BAB 2 KAJIAN TEORI 2.1. Teori Belajar 2.1.1. Teori Gagne Menurut Gagne, dalam belajar matematika ada dua objek yang dapat diperoleh siswa, yaitu objek langsung dan objek tak langsung. Lebih jauh lagi Gagne mengungkapkan bahwa belajar dapat dikelompokkan menjadi 8 tipe belajar, yaitu belajar isyarat, stimulus respon, rangkaian gerak, rangkaian verbal, membedakan, pembentukan konsep, pembentukan aturan, dan pemecahan masalah. Kedelapan belajar itu terurut menurut taraf kesukarannya dari belajar isyarat sampai ke belajar pemecahan masalah. Belajar pemecahan masalah adalah tipe belajar yang paling tinggi karena lebih kompleks dari pembentukan aturan (Suherman, 2003: 33). Dalam pemecahan masalah, biasanya ada lima langkah yang harus dilakukan yaitu: (a). menyajikan masalah dalam bentuk yang jelas; (b). menyatakan masalah dalam bentuk yang operasional; (c). menyusun hipotesishipotesis alternative dan prosedur kerja yang diperkirakan baik; (d). mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya; (e). mengecek kembali hasil yang sudah diperoleh (Suherman, 2003: 33). Teori Gagne dalam penelitian ini berhubungan erat kaitannya bagaimana dapat menyelesaikan pemecahan masalah dengan model Problem Based Learning. 2.1.2. Teori Bruner Jerome Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan. Bruner, melalui teorinya itu, mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda(alat peraga). Melalui alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan
dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikan itu (Suherman, 2003: 44). Lebih jauh lagi Bruner mengemukakan bahwa dalam proses belajarnya anak melewati 3 tahap, yaitu : (a). Enaktif; (b). Ikonik; (c). simbolik. Teori Bruner dalam penelitian ini erat kaitannya dengan pembelajaran berbasis masalah yaitu pada saat siswa mencari penyelesaian masalah. Siswa dalam menyelesaiakan masalah harus dapat melihat apa saja yang diketahui, caracara yang mungkin dalam menyelesaikan masalah sehingga akan diperoleh satu atau beberapa solusi bahkan tidak ada solusi. 2.1.3. Teori Van Hiele Menurut Van Hiele (Suherman 2003: 51) mengemukakan bahwa tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran, dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berfikir anak kepada tingkatan berfikir yang tinggi. Van Hiele menyatakan bahwa lima tahap belajar anak dalam belajar geometri, yaitu : a. Tahap pengenalan (visualisasi) b. Tahap analisis c. Tahap pengurutan (dedukasi informal) d. Tahap deduksi e. Tahap akurasi Teori Van Hiele dalam penelitian ini berhubungan dengan materi yang di gunakan dalam penelitian yaitu segiempat. 2.2. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Menurut Suhardjono (1995: 60) pengembangan adalah kegiatan yang dapat berupa perancangan, perencanaan atau rekayasa yang dilakukan dengan berdasar metode ilmiah guna memecahkan permasalahan yang ada. Untuk mendapatkan
perangkat yang memenuhi kriteria minimal, dibutuhkan model pengembangan yang ada, yaitu: 2.2.1. Model Four-D Menurut Thiangarajan, Semmel dan Semmel (dalam Trianto: 65 – 78), model pengembangan pembelajaran terdiri dari empat tahap yang dikenal dengan sebutan Four-D Model (Model 4-D). keempat tahap tersebut meliputi : Tahap 1 : Pendefisian (Define) Tujuan tahap ini adalah menetapkan dan mendefinisikan syarat yang diperlukan dalam pembelajaran. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini meliputi : a. analisis awal-akhir, b. analisis siswa, c. analisis materi, dan d. analisis tugas. Tahap 2 : Perancangan (Design) Tujuan tahap ini adalah merancang perangkat pembelajaran sehingga diperoleh prototipe (perangkat pembelajaran contoh) yang sesuai dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan, yaitu perangkat pembelajaran kubus dan balok. Tahap ini dimulai setelah ditetapkan tujuan pembelajaran khusus. Kegiatan pada tahap ini meliputi : a. penyusunan tes, b. pemilihan media, c. pemilihan format, dan d. perencanaan awal.
Tahap 3 : Pengembangan (Develop) Tujuan tahap ini adalah menghasilkan draf perangkat pembelajaran yang telah direvisi berdasarkan masukan para ahli, data yang diperoleh dari uji coba. Kegiatan pada tahap ini meliputi : a. validasi perangkat oleh pakar/ahli diikuti dengan revisi, b. simulasi dan ujian keterbacaan, serta c. uji coba lapangan dengan siswa yang sesungguhnya. Tahap 4 : Desiminasi (Desseminate) Tahap ini merupakan tahap penyebaran yaitu menggunakan perangkat yang telah dikembangkan pada skala yang lebih luas. Pendesiminasian bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh efektivitas kegiatan pembelajaran dengan perangkat yang telah dikembangkan, untuk mencapai tujuan pembelajaran. 2.2.2. Model PLOMP Plomp (Hobri, 2009: 24-26) memberikan suatu model pengembangan dalam mendesain pendidikan yang terbagi dalam 5 fase, yaitu meliputi: Fase 1 : Investigasi Awal (Preliminary Investigation) Kegiatan yang dilakukan pada fase ini terfokus pada pengumpulan dan analisis informasi, mendefinisikan masalah dan merencanakan kegiatan selanjutnya. Kegiatan pada tahap ini adalah : a. mengidentifikasi informasi, b. analisis informasi, c. mengkaji teori-teori, d. mendefinisikan atau membatasi masalah, dan e. merencanakan kegiatan lanjutan. Fase 2 : Desain (Design) Kegiatan pada fase ini lebih difokuskan kepada hasil yang telah didapatkan pada fase investigasi awal, kemudian dirancang solusinya. Hasilnya berupa dokumen didesain. Desain meliputi suatu proses sistematik dimana masalah yang lengkap dari fase sebelumnya dibagi atas bagian-bagian masalah
dan diterapkan bagian-bagian solusinya. Selanjutnya dihubungkan menjadi suatu struktur yang lengkap. Fase 3 : Realisasi/Konstruksi (Realization/Construction) Fase ini merupakan salah satu
fase produksi disamping fase desain.
Dalam fase ini dibuat fase teknik pelaksanaan keputusan, tetapi fungsi keputusan tidak dibuat. Pada fase ini, dihasilkan produk pengembangan berdasarkan desain yang telah dirancang. Produknya adalah buku model, perangkat pembelajaran (Silabus, RPP, buku siswa dan buku guru), serta instrumen penelitian. Fase 4 : Tes, Evaluasi, dan Revisi (Test, Evaluation, and Revision) Pada fase ini dipertimbangkan kualitas solusi yang telah dikembangkan dan dibuat keputusan yang berkelanjutan didasarkan pada hasil pertimbangan. Evaluasi merupakan proses mengumpulkan, memproses dan menganalisis informasi secara sistematis untuk menilai solusi yang telah dibuat. Dapat dikatakan bahwa fase evaluasi ini menentukan apakah spesifikasi disain telah terpenuhi atau tidak. Selanjutnya direvisi, kemudian kembali kepada kegiatan merancang, dan seterusnya. Siklus yang terjadi ini merupakan siklus umpan balik dan berhenti setelah memperoleh solusi yang diinginkan. Fase 5 : Implementasi (Implementation) Pada fase ini solusi yang dihasilkan didasarkan pada hasil evaluasi. Solusi ini diharapkan memenuhi masalah yang dihadapi. Dengan demikian, solusi disain ini dapat diimplementasikan atau dapat diterapkan dalam situasi yang memungkinkan masalah tersebut secara aktual terjadi. Kelima tahap yang telah dideskripsikan di atas disajikan dalam bentuk skema berikut.
Diagram : Skema model pengembangan Plomp (Suradi, 2008: 5). 2.2.3. Model KEMP Pengembangan sistem pembelajaran menurut Kemp (1994) secara lengkap dan menyeluruh terdiri atas sembilan unsur, yaitu: 1) masalah pembelajaran (instructional problems), 2) karakteristik siswa (learner characteristics), 3) analisis tugas (task analysis), 4) tujuan pembelajaran (instructional objectives), 5) urutan isi (content sequencing), 6) strategi pembelajaran (instructional strategies), 7) penyampaian pembelajaran (instructional delivery), 8) instrumen tes (evaluation instruments), 9) pemilihan media atau sumber pembelajaran (instructional resources). Dalam penelitian ini akan digunakan pengembangan perangkat model Plomp dengan langkah-langkah yang telah dikemukakan secara detail di atas. 2.3. Problem Based Learning 2.3.1. Pengertian PBL
Pembelajaran berbasis masalah merupakan inovasi pendidikan. Menurut Barbara J Dutch (1995), pembelajaran Berbasis masalah (Problem Based Learning) sebagai landasan dasarnya adalah metode instruksional yang bercirikan penggunaan “masalah kehidupan yang nyata” (kontektual). Masalah tersebut sebagai dasar siswa untuk belajar secara kritis dan kemampuan penyelesaian masalah serta mendapatkan konsep ilmu yang mendasar dari pelajaran tersebut. Dari Stanford University Newsletter on Teaching (2001) di katakan: “…….PBL begins with the assumption that learning is an active integrated, and constructive process influenced by social and contextual factors….” Dalam pembelajaran
berbasis masalah suasana diwarnai dan
dipengaruhi oleh hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan sosial dan kontektual. Pembelajaran berbasis masalah akan berjalan dengan baik jika guru juga berperan dalam pembelajaran tersebut. Seorang guru dalam pembelajaran berbasis masalah harus memberikan kekuasaan kepada siswa untuk bertanggung jawab dalam pembelajaran. Selain itu seorang guru harus siap untuk memberikan beberapa wewenangnya sendiri dalam kelas tersebut terhadap para siswanya. Menurut David Kauffman (1998), peran fasilitator (guru) dalam pembelajaran berbasis masalah akan efektif jika: 1) Menstimulasi komunikasi antar siswa dari pada dengan guru itu sendiri 2) Memberikan kesempatan penuh terhadap siswa untuk menemukan sendiri apa yang diperlukan dalam suatu materi pembelajaran dari pada memaksakan pengetahuan guru itu sendiri. 3) Intervensi guru dilakukan, jika diskusi para siswa sudah keluar dari jalur yang ditentukan. 4) Berfungsi sebagai nara sumber bagi para siswa dari pada sebagai penentu kesimpulan akhir.
5) Memberikan nilai tambah bagi siswa yang mencari materi tambahan dengan belajar pada kesempatan-kesempatan yang lain. 2.3.2. Karakteristik PBL Menurut Arends (2008), karakteristik pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) yaitu: 1) Pengajuan pertanyaan atau masalah Pengajuan masalah bukan hanya mengorganisasikan prinsip-prinsip atau keterampilan akademik tertentu, pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang keduaduanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk peserta didik. Mereka mengajukan situasi kehidupan nyata yang autentik, menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu. Menurut Ibrahim dan Nur (2000) merancang situasi masalah yang sesuai memerlukan perencanaan uyang matang. Situasi masalah yang baik harus memenuhi kriteria yaitu: a) Masalah harus autentik. Artinya masalah harus lebih
berakar pada
pengalaman dunia nyata siswa. b) Permasalahan seharusnya tidak terdefinisi secara ketat dan menghadapkan suatu makna misteri atau teka-teki. Hal ini dilakukan agar jawaban siswa tidak sederhana dan menghendaki adanya alternatif pemecahan. c) Masalah seharusnya bermakna bagi siswa dan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual mereka. d) Masalah seharusnya cukup luas untuk memungkinkan guru menggarap tujuan instruksional mereka dan masih layak dalam waktu, tempat, dan sumber daya yang terbatas. e) Masalah haruslah memperoleh keuntungan dari usaha kelompok dan kelompok tidak terhambat oleh masalah itu.
2) Berfokus pada keterkaitan antar disiplin Meskipun pengajaran berbasis masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, matematika, ilmu-ilmu sosial), masalah yang akan diselidiki telah dipilih yang benar-benar nyata agar dalam pemecahannya peserta didik meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran. 3) Penyelidikan autentik Pengajaran berbasis masalah mengharuskan peserta didik melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan. Sudah barang tentu, metode penyelidikan yang digunakan bergantung pada masalah yang sedang dipelajari. 4) Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya Pembelajaran berbasis masalah menuntut peserta didik untuk menghasilkan produk tertentu dalam karya nyata dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk itu dapat berupa transkrip debat, laporan, model fisik, video atau program komputer. 5) Kerjasama Pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa yang bekerjasama satu sama lain, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerjasama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir. 2.3.3. Siklus PBL Siklus belajar pada PBL adalah sebagai berikut:
Masalah
Penerapan Pengetahuan
Apa yang tidak kita ketahui
Belajar apa yang tidak perlu kita ketahui Gambar : Siklus PBL Menurut Fogarty (1997), langkah-langkah PBL adalah sebagai berikut: 1) Menemukan masalah 2) Mendefinisikan masalah 3) Mengumpulkan fakta-fakta 4) Menyusun dugaan sementara 5) Menyelidiki 6) Menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan 7) Menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif 8) Menguji solusi permasalahan. Sedangkan empat tahap interative PBL menurut Guedri (2001) yaitu: 1) Pengenalan masalah 2) Brainstroming 3) Secara individual: membaca-meneliti-mempersiapkan return 2.4. Aktivitas Aktivitas belajar menurut Usman (1955:17), mengatakan bahwa aktivitas belajar siswa digolongkan dalam beberapa hal, yaitu:
1).
Aktivitas visual (visual activities) seperti membaca, menulis melakukan eksperimen dan demonstrasi.
2).
Aktivitas lisan (oral activities) seperti membaca, tanya jawab, diskusi dan menyanyi.
3).
Aktivitas mendengarkan (listening activities) seperti mendengarkan penjelasan guru, ceramah dan pengarahan.
4).
Aktivitas gerak (motor activities) seperti senam, menari dan menulis.
5).
Aktivitas menulis (writing activities) seperti mengarang, membuat makalah, membuat surat.
2.5. Motivasi Motivasi berasal dari kata”motif” yanag diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu (Sardiman, 2010: 73). Selajutnya masih menurut Sardiman motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif pada saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan/mendesak. Menurut Mc. Donald (Sardiman, 2010: 73) motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Dengan demikian motivasi akan menyebabkan terjadinya sesuatu perubahan energi yang ada pada diri manusia, sehingga akan bergayut dengan persoalan gejala kejiwaan, perasaan dan juga emosi, untuk kemudian bertindak atau melakukan sesuatu. Motivasi itu dapat dirangsang oleh factor dari luar tetapi motivasi itu dating Sardiman (2010:85) menyebutkan tiga fungsi motivasi diantaranya: 1). Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor untuk melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor peggerak dari setiap kegiatan yang dikerjakan
2). Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuan 3). Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan bagi tujuan tersebut. Didalam proses pembelajaran peranan motivasi ada dua yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi instrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau fugsinya tidak perlu diransang dari luar, karena dari dalam setiap individu sudah ada dorongan diturunkan saat
untuk secara
seseorang
melakukan internal
dalam
melakukan
sesuatu. pekerjaan aktivitas
Motivasi itu
sendiri
yang
di
intrinsik yang
terjadi
mana
dia
merasa senang dan puas dalam melakukan, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yag aktif dan berfungsi karena ada rangsangan dari luar, misalnya ingin
mendapatkan
pujian
atau
imbalan
apabila
dalam
konteks
sudah
menyelesaikan
pekerjaannya (Tella:2007:151). Motivasi
yang
dicerminkan
belajar-mengajar
mengembangkan orientasi motivasi positif dalam belajar,
dan
Pedidik harus tahu
bagaimana kreatifitas dan konstruktif dari Peserta didik yang beraneka ragam. Oleh karena itu, untuk membuat instruksi yang efektif dan menarik, seseorang harus memiliki pengetahuan tentang lingkungan kontekstual dan budaya yang mendefinisikan
kepentingan
dari
Peserta
didik
tersebut
(Ames
dalam
Saxena,2010:8) 2.6. Kemampuan Berpikir Kreatif Berpikir kreatif adalah suatu proses berpikir yang menghasilkan berbagai macam jawaban yang mungkin dihasilkan. Pehkonen (1997: 65) mendefinisikan berpikir kreatif sebagai kombinasi antara berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi tapi masih dalam kesadaran. Pada saat kita menerapkan
berpikir kreatif dalam memecahkan suatu masalah, pemikiran divergen menghasilkan banyak ide yang berguna dalam menyelesaiakan masalah. Selanjutnya Silver (1997: 76) menjelaskan bahwa menggunakan masalah terbuka dapat member siswa banyak sumber pengalaman dalam menafsirkan masalah, dan mungkin pembangkitan solusi berbeda dihubungkan dengan penafsiran yang berbeda. Lebih lanjut lagi silver (1997: 76) menjelaskan komponen berpikir kreatif dalam pemecahan masalah melalui tabel berikut: Pemecahan Masalah Siswa menyelesaikan masalah dengan bermacammacam solusi dan jawaban
Komponen Berpikir Kreatif Kefasihan (fluency)
Siswa menyelesaikan (menyatakan) dalam satu cara kemudian dalam cara lain Fleksibilitas(flexibility) Siswa mendiskusikan berbagai metode penyelesaian Siswa memeriksa jawaban dengan berbagai metode penyelesaian dan kemudian membuat
Kebaharuan (novelty)
metode yang baru yang berbeda Tabel : Komponen Berpikir Kreatif dan Pemecahan Masalah Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kemampuan berpikir kreatif siswa adalah kemampuan siswa dalam menghasilkan banyak kemungkinan jawaban dan cara dalam memecahkan masalah. Menurut Langrehr (2006), untuk melatih berpikir kreatif siswa harus didorong untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: 1) membuat kombinasi dari bererapa bagian sehingga terbentuk hal yang baru; 2) menggunakan ciri-ciri acak dari suatu benda sehingga terjadi perubahan dari desain yang sudah ada menjadi desain yang baru;
3) mengeliminasi suatu bagian dari sesuatu halsehingga diperoleh kegunaan yang baru; 4) memikirkan kegunaan alternative dari sesuatu hal sehingga diperoleh kegunaan yang baru; 5) menyusun ide-ide yang berlawanan dengan ide-ide yang sudah biasa digunakan orang sehingga diperoleh ide yang baru; 6) menentukan kegunaan bentuk ekstrim dari suatu benda sehingga ditemukan kegunaan baru dari benda tersebut. 2.7. Tinjauan Materi Segiempat Berdasar Permendiknas nomor 22 Tahun 2006, materi segiempat diajarkan di kelas 7 semester 2 dengan standar kompetensi memahami konsep segitiga dan segiempat serta menentukan ukurannya dengan Kompetensi dasar yang minimal harus dikuasai yaitu: (1). Menghitung keliling segiempat; (2). Menghitung Luas segiempat; (3). Menghitung keliling dan luas segiempat serta menggunakannya dalam pemecahan masalah. Pada materi segiempat kita akan membahas mengenai pengertian, sifat-sifat, keliling dan luas dari persegi panjang, persegi, jajar genjang, belah ketupat, layang-layang, dan trapesium. 2.8. Kerangka Berpikir Kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif bila seluruh komponen yang berpengaruh dalam kegiatan belajar mengajar saling mendukung dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Pendekatan konvensional adalah cara penyampaian materi pelajaran yang sering dilakukan oleh guru matematika. Dalam kegiatan seperti ini, guru sangat mendominasi dan menentukan semua kegiatan pembelajaran. Sehingga siswa akan menjadi cepat bosan, kurang menumbuhkan kreativitas serta kurang dapat menyerap materi pelajaran.
Hal terpenting dalam pembelajaran matematika sebenarnya adalah bagaimana dapat menciptakan suatu pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa sehingga siswa dapat menyukai pelajaran matematika. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan adalah dengan pendekatan Problem Based Learning. Pendekatan Problem Based Learning merupakan pendekatan pembelajaran yang membuat siswa berkembang dan mandiri. Pada pembelajaran ini siswa aktif berdiskusi dengan kelompok dan mempunyai berbagai macam cara dalam menyelesaikan sebuah masalah. Aktifitas siswa dirancang dalam buku siswa yang telah dirancang menggunakan pendekatan Problem Based Learning. Sehingga pembelajaran matematika dengan pendekatan Problem Based Learning diharapkan dapat membantu siswa untuk memahami materi pelajaran yang bersifat abstrak. Sehingga kemampuan berpikir kreatif matematika siswa dalam materi segiempat dapat memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal yang telah ditetapkan yaitu 68. 2.9. Hipotesis Berdasarkan kajian teori yang telah dijabarkan, diperoleh hipotesis sebagai berikut: 1). Perangkat pembelajaran matematika dengan pendekatan Problem Based Learning pada materi segiempat kelas 7 yang telah dikembangkan memenuhi kriteria valid. 2). Perangkat pembelajaran matematika dengan pendekatan Problem Based Learning pada materi segiempat kelas 7 memenuhi kriteria efektif.