BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS 1.1
LANDASAN TEORI
2.1.1 Teori Kepatuhan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kepatuhan berasal dari kata patuh yang berarti suka dan taat terhadap peraturan. Kepatuhan berarti sifat patuh, taat, tunduk pada ajaran dan peraturan. Kepatuhan juga dapat diartikan sebagai suatu perubahan perilaku dari perilaku yang tidak menaati peraturan ke perilaku yang menaati peraturan (Green, 1991). Kepatuhan terhadap peraturan perpajakan telah diatur dalam UndangUndang nomor 28 Tahun 2007 yang bertujuan untuk meningakatkan kepastian dan penegakan hukum, meningkatkan keterbukaan administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak. Peraturan tersebut ditujukan kepada wajib pajak baik badan maupun orang pribadi agar patuh dalam menaati dan menjalankan kewajibannya sebagai wajib pajak. Pernyataan tersebut sesuai dengan teori kepatuhan (Compliance Theory). Teori kepatuhan dapat membuat seseorang lebih patuh pada peraturan yang berlaku, sama halnya dengan wajib pajak yang berusaha patuh terhadap peraturan perpajakan karena selain sebagai kewajiban, juga bermaanfaat terhadap kepribadian wajib pajak itu sendiri.
2.1.2 Pengertian Pajak Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1 mendefenisikan pajak sebagai kontribusi kepada negara yang terutang oleh orang pribadi maupun badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan langsung dan digunakan
untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Prof. Rochmat Soemitro dalam Mardiasmo (2009:1) mendefenisikan pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik secara langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum negara. Definisi pajak tersebut mengandung empat unsur yang penting yaitu: 1.
Pajak dipungut berdasarkan undang-undang yang sifatnya dapat dipaksakan.
2.
Dalam pembayarannya tidak ada kontraprestasi secara langsung dari pemerintah.
3.
Pajak dipungut oleh pemerintah pusat/daerah.
4.
Digunakan untuk
membiayai
pengeluran umum
negara dan
mensejahterakan rakyat. 2.1.3 Pengertian Wajib Pajak Menurut Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 2, wajib pajak adalah
orang pribadi atau badan, meliputi membayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Berdasarkan defenisi diatas, maka terdapat tiga jenis wajib pajak yaitu: 1. Wajib pajak orang pribadi 2. Wajib pajak badan, dan 3. Wajib pajak pemotong/pemungut Menurut Mardiasmo (2009), subjek pajak orang pribadi adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia. 2.1.4 Kepatuhan Wajib Pajak Kepatuhan pajak merupakan kepatuhan seseorang, dalam hal ini wajib pajak terhadap peraturan atau Undang-Undang Perpajakan (Arum Puspa, 2012). (Safri Nurmantu, 2003) mendefenisikan kepatuhan wajib pajak sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Kleper dan Nagin (1989) mengatakan bahwa komponen kepatuhan wajib pajak terdiri atas kepatuhan untuk mendaftarkan diri, kepatuhan untuk membayar kewajiban pajak (tepat jumlah dan waktu) dan kepatuhan untuk melaporkan kewajiban pajak. Kepatuhan pajak dibagai menjadi dua
macam yakni kepatuhan formal dan material. Kepatuhan formal yakni kepatuhan wajib pajak secara formal baik sesuai ketentuan dalam undangundang perpajakan. Kepatuhan material yakni kepatuhan wajib pajak secara material sesuai ketentuan dalam undang-undang perpajakan. Menurut Pratama (2011) wajib pajak patuh adalah wajib pajak yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai wajib pajak yang memenuhi
kriteria
tertentu
yang
dapat
diberikan
pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Setiap tahun pada akhir bulan Januari dilakukan penetapan wajib pajak patuh. Terdapat tiga pendekatan yang lazim yang digunakan untuk menganalisis kepatuhan pajak menurut (Brooks, 1990 dalam Handayani, 2009) yaitu: 1. Pendekatan Ekonomi Menurut pendekatan ekonomi kepatuhan perpajakan merupakan manifestasi perilaku manusia rasional yang membuat keputusan berdasarkan evaluasi antara manfaat dan biaya. Faktor-faktor yang menentukan kepatuhan dalam pendekatan ini adalah tingkat tarif, struktur sanksi, dan kemungkinan terdeteksi oleh hukum. 2. Pendekatan Psikologis Pendekatan ini menyatakan perilaku kepatuhan pajak dipengaruhi oleh
faktor-faktor
cara
panda
seorang
mengenai
moralitas
penyelundupan pajak yang berkaitan dengan ide dan nilai-nilainyang dimilikinya, persepsi dan sikap terhadap probabilitas kemungkinan
terdekteksi, besarnya denda dan lain-lain, perubahan kebiasaan, kerangka subjektif atas keputusan pajak. 3. Pendekatan Sosiologis Pendekatan ini melihat sebab-sebab penyimpangan perilaku seseorang melalui kerangka sistem sosialnya. Menurut para ahli sosiologi, dorongan atau tekanan masyarakat akan membentuk perilaku yang sama efektifnya dengan sistem reward and punishment yang dibuat oleh Pemerintah. Oleh karena itu menurut pendekatan ini faktor-faktor yang mempengaruhi tax avoidance dan tax evasion adalah sikap pemerintah, pandangan mengenai penegakan hukum oleh pemerintah, pandangan mengenai keadilan dan sistem perpajakan, kontak dengan kantor pajak, dan karekteristik demografi. Terdapat beberapa indikator yang dipakai untuk mengukur kepatuhan wajib pajak (Handayani, 2009) yaitu sebagai berikut: 1. Wajib pajak mengisi SPT pajak secara benar sesuai petunjuk pengisian SPT pajak. 2. Wajib pajak melakukan perhitungan pajak dengan benar. 3. Wajib pajak melakukan pembayaran pajak tepat waktu. 4. Wajib pajak melaporkan SPT Tahunan dengan tepat waktu setiap tahun. 5. Wajib pajak tidak pernah menerima surat teguran.
2.1.5 Sanksi Pajak Menurut Ali (2001) audit dan sanksi merupakan kebijakan yang efektif untuk mencegah ketidak patuhan. Sanksi merupakan tindakan yang digunakan untuk menghukum yang seseorang yang melanggar peraturan. Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan
(norma
perpajakan)
akan
dituruti/dipatuhi, dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar Wajib Pajak tidak melanggar norma perpajakan (Mardiasmo, 2009). Menurut United States Government Accountabillity Office (2009) sanksi perpajakan dimaksudkan untuk mendorong kepatuhan pelaporan perpajakan. Sanksi tersebut harus tegas untuk mencegah ketidak patuhan. Menurut Lubis (2010) mengutarakan bahwa adapula sanksi-sanksi perpajakan bagi wajib pajak orang pribadi, yaitu sebagai berikut: 1.
Rp.100.000 apabila Surat
Pemberitahuan (SPT) Masa tidak
disampaikan atau disampaikan tidak sesuai dengan batas waktu, misalnya paling lambat 20 hari setelah akhir masa pajak. 2.
Sanksi bunga untuk Pajak Penghasilan (PPh) wajib pajak orang pribadi, yaitu sebesar 2% sebulan untuk selamalamanya 24 bulan atas jumlah pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar.
3.
Sanksi pidana bagi wajib pajak orang pribadi yang karena kealpaannya.
Yadnyana
(2009) mengemukakan pandangan tentang sanksi
perpajakan tersebut diukur dengan indikator sebagai berikut: 1. Sanksi pidana yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak cukup berat. 2. Sanksi adminstrasi yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak sangat ringan. 3. Pengenaan sanksi yang cukup berat merupakan salah satu sarana mendidik wajib pajak. 4. Sanksi pajak harus dikenakan kepada pelanggarnya tanpa toleransi. 5. Pengenaan sanksi atas pelanggaran pajak dapat dinegosiasikan. 2.1.6 Kesadaran Wajib Pajak Kesadaran wajib pajak merupakan kemauan dari diri wajib pajak tanpa ada paksaan dari pihak lain untuk melaksanakan dan mematuhi peraturan perpajakan yang telah berlaku. Irianto dalam Widayanti dan Nurlis (2010) menguraikan bahwa bentuk kesadaran yang mendorong wajib pajak membayar pajak terdiri dari tiga bentuk. Pertama, kesadaran bahwa
pajak
merupakan
bentuk
partisipasi
dalam
menunjang
pembangunan negara. Pernyataan ini berarti bahwa wajib pajak rela membayar pajak karena merasa tidak dirugikan akibat membayar pajak tersebut. Kedua, kesadaran penundaan pembayaran pajak dan pengurangan beban pajak sangat merugikan negara. Disini wajib pajak mengerti akan akibat yang akan ditimbulkan oleh penundaan pajak dan pengurangan
beban pajak yang mengakibatkan negara mengalami kekurangan sumber daya finansial dalam membiayai pembangunan negara. Ketiga kesadaran bahwa pajak ditetapkan berdasarkan Undang-undang yang dapat dipaksakan. Pernyataan yang terakhir ini berarti bahwa wajib pajak akan membayar pajak karena sudah diatur dalam undang-undang dan sudah menjadi kewajiban mereka dalam membayar pajak sebagai wajib pajak. Menurut Manik Asri (2009) wajib pajak dikatakan memiliki kesadaran apabila: 1. Mengetahui adanya Undang-Undang dan ketentuan perpajakan. 2. Mengetahui fungsi pajak untuk pembiayaan negara. 3. Memahami bahwa kewajiban perpajakan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 4. Memahami bahwa membayar pajak dilakukan oleh masyarakat untuk kepentingan negara. 5. Memahami bahwa penundaan pembayaran pajak dan pengurangan beban pajak sangat merugikan negara. 6. Memahami bahwa pajak ditetapkan berdasarkan Undang-undang yang dapat dipaksakan. 2.1.7 Integritas Integritas didefinisikan sebagai suatu elemen karakter yang melandasi timbulnya pengakuan professional. Integritas merupakan
kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan bagi anggota dalam menguji semua keputusan yang diambilnya (Haryono, 2013). Integritas wajib pajak meliputi sikap berani, jujur, bijaksana dan bertanggung jawab dalam menaati segala peraturan Undang-undang perpajakan yang berlaku. Sunarto (2003) menyatakan bahwa integritas merupakan sikap yang dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak dapat menerima kecurangan prinsip. 1.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Sanksi Pajak pada Kepatuhan Wajib Pajak Teori kepatuhan diartikan sebagai suatu perubahan perilaku dari perilaku yang tidak menaati peraturan ke perilaku yang menaati peraturan (Green, 1991). Teori ini sesuai dengan Undang-Undang nomor 28 Tahun 2007 yang bertujuan meningakatkan kepastian dan penegakan hukum, keterbukaan administrasi perpajakan dan kepatuhan sukarela wajib pajak. Peraturan tersebut ditujukan kepada wajib pajak baik badan maupu orang pribadi agar patuh dalam menaati dan menjalankan kewajibannya sebagai wajib pajak. Sanksi Pajak merupakan hukuman yang dibuat oleh pemerintah yang dikenakan pada wajib pajak yang tidak mematuhi Undang-undang perpajakan yang berlaku. Wajib pajak akan mematuhi pembayaran bila memandang bahwa sanksi akan lebih memberatkan dirinya (Jatmiko, 2006). Apabila wajib pajak dikenai sanksi karena tidak mematuhi Undang-undang perpajakan, maka biaya yang dikeluarkan oleh
wajib pajak itu akan lebih banyak dibandingkan sebelum dikenakan sanksi. Penelitian yang dilakukan oleh Utami dan Kardinal (2007), dan Mustikautama (2012) menemukan bahwa sanksi pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak. Berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan oleh peneliti yakni: H1: Sanksi pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak. 2.2.2 Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak pada Kepatuhan Wajib Pajak Kesadaran wajib pajak merupakan kondisi dimana wajib pajak mengetahui, mematuhi, dan melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar dan sukarela. Apabila pemahaman dan pelaksanaan kewajiban perpajakan semakin baik, maka tingkat kesadaran wajib pajak semakin tinggi sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan perpajakannya (Muliari dan Ery, 2011). Pernyataan ini didukung oleh teori kepatuhan yang dikemukakan oleh (Green, 1991), bahwa kepatuhan dianggap sebagai perubahan perilaku dari perilaku mereka yang tidak menaati peraturan menjadi menaati peraturan. Penelitian yang dilakukan oleh Putri dan Jati (2014) dan Pratiwi dan Ery (2014) menemukan bahwa kesadaran wajib pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak. Berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan oleh peneliti yakni:
H2: Kesadaran wajib pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak. 2.2.3 Pengaruh Integritas dalam Hubungan Sanksi Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan
(norma
perpajakan)
akan
dituruti/dipatuhi, dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah (preventif) agar Wajib Pajak tidak melanggar norma perpajakan (Mardiasmo, 2009). Sanksi pajak yang diberikan oleh pemerintah kepada wajib pajak adalah salah satu tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Integritas seorang wajib pajak dalam menaati Undang-undang perpajakan sangatlah dibutuhkan wajib pajak. Apabila seorang wajib pajak tidak memiliki integritas maka wajib pajak tersebut tidak akan pernah jujur dan
tidak
memiliki
tanggung
jawab
dalam
membayar
sanksi
perpajakannya. Secara teori apabila integritas seorang wajib pajak tinggi maka dengan diberikannya sanksi maka seorang wajib pajak akan mematuhi peraturan perpajakan yang berlaku. Dengan kata lain, teori kepatuhan dijadikan alat ukur bagaimana wajib pajak mematuhi peraturan perpajakan karena selain sebagai kewajiban, juga bermaanfaat terhadap tolak ukur itikad baik wajib pajak itu sendiri. Dari pernyataan diatas maka integritas mamput memoderasi pengaruh sanksi pajak terhadap kepatuhan wajib pajak.
H3: Integritas mampu memoderasi pengaruh sanksi pajak terhadap kepatuhan wajib pajak. 2.2.4 Pengaruh Integritas dalam Hubungan Kesadaran Wajib Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Integritas yang tinggi tentunya akan lebih baik dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, dimana kesadaran wajib pajak berada pada posisi yang baik. Kesadaran wajib pajak akan lebih baik jika moral (berani, jujur, bijaksana dan bertanggung jawab) penduduk baik. Apabila seorang wajib pajak memiliki moral yang baik maka kesadaran wajib pajak untuk mematuhi peraturan perpajakan juga akan semakin meningkat. Integritas mencerminkan bagaimana seseorang patuh atau tidak terhadap suatu aturan. Artinya semakin tinggi integritas, maka semakin patuh mereka dan begitu sebaliknya. Berdasarkan pernyataan diatas maka integritas mampu memoderasi pengaruh kesadaran wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak. H4: Integritas mampu memoderasi pengaruh kesadaran wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak