Bab 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Dalam menjalani kehidupan, manusia memiliki kodrat. Kodrat itu antara lain; lahir, menikah dan meninggal dunia. Pada umumnya wanita menikah di usia yang lebih muda daripada pria. Wanita di dunia wilayah berkembang menikah di usia sangat muda (Crawford, 2004: 284). Hal ini disebabkan kurangnya tingkat pengetahuan pendidikan serta tingkat kesejahteraan ekonomi. Oleh karena itu banyak wanita dalam usia remaja yang menikah muda baik dari turut campur tangan keluarga ataupun atas dasar cinta. Hal ini juga menunjukkan bahwa manusia pada usia muda pun siap mengemban tugas menjalani kehidupan pernikahan. Dengan menikah baik pria dan wanita dapat memperoleh kehidupan psikologi yang lebih baik. Menurut Waite & Joyner dalam Cawford (2004: 295), orang yang menikah atau tinggal bersama dalam hasil laporan hubungan seksual eksklusif mengemukakan bahwa orang ini memiliki kepuasan atau ketenangan emosional yang lebih baik dan kebahagiaan fisik atau jasmani dari seks ketimbang orang yang melajang. Dalam menjalani pernikahan, tentunya wanita diharapkan menjadi ibu rumah tangga yang dapat mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga sepenuhnya. Menurut Lopata dalam Imamura (1992: 12) definisi ibu rumah tangga ialah wanita yang bertanggung jawab pada kehidupan rumahnya, dengan dia mengerjakan sendiri ataupun memperkerjakan orang lain untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Menurut Lopata dalam Imamura ( 1992:13 ), dalam kehidupan moderen saat ini, pria yang bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan, keluar dari rumah lebih awal
x
kemudian pulang sehabis bekerja hingga larut malam. Mereka berharap seluruh pekerjaan rumah tangga telah terselesaikan dan berharap aktifitasnya di dalam rumah tidak terganggu. Kewajiban isteri ialah membiarkan suaminya beristirahat agar dapat melanjutkan pekerjaan keesokan harinya. Abad ke-21 dicirikan dengan persaingan di dunia kerja dan peluang kerja, sehingga membuka peluang besar bagi wanita untuk masuk dalam dunia kerja. Hal ini disebabkan dengan meningkatnya wanita yang berpendidikan, dan kemampuan bekerja yang setara dengan pria. Seiring dengan tingginya tingkat pendidikan dewasa ini, banyak wanita usia dewasa awal memasuki dunia profesionalisme dengan bekerja. Semakin tingginya pendidikan yang dimiliki, dapat menunjang mereka untuk cepat memiliki pekerjaan dengan jabatan yang bagus. Banyaknya wanita yang bekerja setelah mereka menyelesaikan pendidikan membawa akibat bagi tugas perkembangan lain. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang dijalani, semakin berambisi pula para wanita menjadi pekerja. Hal ini meningkatkan komitmen terhadap karir dan penundaan pernikahan. Wanita pada usia awal yang bekerja atas keahlian yang dimilikinya, secara otomatis akan menunda diri mereka untuk menikah dan menjadi ibu untuk beberapa tahun kedepan tanpa promosi untuk memperoleh jabatan yang tinggi dalam pekerjaan (Steinhoff dan Tanaka, 1989: 108). Akan tetapi, dalam Look Japan (1990 : 8) wanita bekerja saat ini, minimal mereka telah menamatkan pendidikan menengah ke atas, berumur tiga puluhan, bekerja dan mungkin memiliki anak. Bagi wanita, bekerja merupakan kesempatan untuk menunjukkan diri. Dengan bekerja memungkinkan seorang wanita mengekspresikan dirinya sendiri dengan cara yang kreatif dan produktif untuk menghasilkan sesuatu yang mendatangkan kebanggan
ix
terhadap diri sendiri, terutama jika prestasinya mendapatkan penghargaan dan umpan balik yang positif. Melalui bekerja, wanita berusaha menemukan arti dan identitas dirinya, dan pencapaian tersebut mendatangkan rasa percaya diri dan kebahagiaan. Di samping kebutuhan rasa percaya diri, wanita bekerja di luar rumah antaranya adalah untuk memenuhi kebutuhan finansial mereka (Rini, 2002). Kebutuhan finansial ini terkait dengan kebutuhan untuk mencukupi perekonomian rumah tangganya. Hal ini ditegaskan oleh Tachibanaki (2010), setelah menikah mereka melanjutkan bekerja di luar atau menjadi pencari nafkah sepenuhnya. Berdasarkan uraian di atas pada usia awal manusia tidak hanya mempersiapkan diri untuk menikah dan membina keluarga melainkan juga bekerja. Oleh karena itu tidak mengherankan bila hampir sebagian besar individu dewasa awal, berkecimpung dalam dunia kerja, baik laki-laki maupun perempuan. Sejak berakhirnya Perang Dunia II dan munculnya industrialisasi di Jepang, sistem negara keluarga dihapuskan. Perang Dunia Kedua menahan pertambahan penduduk kota karena selama perang arus penduduk yang kembali ke daerah pedesaan lebih banyak daripada jumlah penduduk kota. Dibandingkan masyarakat pedesaan, masyarakat kota lebih cepat mengalami perubahan dalam sistem keluarga sebagai akibat dari banyak mendapat pilihan variasi pekerjaan dan terbatasnya lahan untuk medirikan rumah bagi tempat tinggal mereka. Asas demokrasi mulai diberlakukan dalam kehidupan berkeluarga dengan munculnya tenaga kerja wanita dalam berbagai bidang (Tobing, 2006: 43). Perkembangan industri yang pesat disertai dengan penurunan angka ketergantungan keluarga petani mengakibatkan sejumlah besar laki-laki muda dewasa meninggalkan lapangan kerja pertanian dan mencari pekerjaan di sektor non-pertanian. Akibatnya
x
kebanyakkan lahan-lahan pertanian hanya dikerjakan oleh anggota keluarga berusia lanjut dan kaum wanita. Industrialisasi di Jepang semakin maju dan profesi di bidang perindustrian menjadi mata pencaharian terbanyak yang kemudian mengubah Jepang menjadi negara industri. Selain itu, meluasnya pemikiran individualistik dan digalakkanya pendidikan bagi semua warga mengakibatkan munculnya tenaga kerja wanita. Menjelang akhir tahun 1990-an untuk petama kali jumlah tenaga kerja di Jepang menurun secara amat tajam, akibat resesi ekonomi hal inilah yang membuat kehidupan perempuan di Jepang dalam dunia pekerjaan mengalami peningkatan, karena mulai menyetarakan kesempatan bekerja bekerja dengan laki-laki. Hal ini mendorong perempuan masuk ke pasar tenaga kerja, tidak saja sebelum menikah, melainkan juga setelah mereka menikah. Oleh karena itu, para wanita bekerja ini memilih untuk menunda memiliki anak dalam usia produktif mereka untuk melahirkan. Hal inilah yang membuat penulis ingin meneliti hubungan peningkatan jumlah wanita bekerja sehingga menyebakan timbulnya fenomena shoushika di Jepang saat ini, karena fenomena shoushika telah membuat keresahan dalam masyarakat dewasa Jepang saat ini Beberapa alasan orang tua saat ini mengkhawatirkan munculnya fenomena shoushika yang dilakukan oleh tiga peneliti Jepang, yang bernama Miyamoto, Iwagami, dan Yamada dalam Widiastuti (2004; 35) ialah sebagai berikut ; 1. Meningkatnya perasaan resah dan tidak tenang orang tua tentang siapa yang akan merawat mereka kelak tua nanti. 2.
Meningkatnya jumlah generasi muda yang telah dewasa, tetapi belum menikah dan masih bergantung kepada orang tuanya.
ix
3. Meningkatnya harapan bantuan untuk mengurus anak oleh anak perempuanya yang telah menikah, atau telah memiliki anak, tetapi tetap bekerja dan membutuhkan bantuan dengan pekerjaan rumah tangga dan perawatan anak kepada orang tuanya. 4. Meningkatnya harapan orang tua bahwa anak-anak perempuannya atau menantu perempuannya akan merawat mereka di masa tuanya. Beberapa alasan munculnya kekhawatiran orang tua terhadap fenomena shoushika di atas menunjukkan rasa cemas masyarakat dewasa atau orang tua di Jepang saat ini terhadap kehidupan mereka kelak setelah menjadi tua atau lansia. Karena harapan mereka ialah ketika mereka memasuki usia senja, mereka dapat dirawat dan diurus oleh anak perempuan mereka, ataupun menantu mereka. Akan tetapi, mereka menemukan kenyataan bahwa baik anak perempuan mereka maupun menantu, memiliki kehidupan selain bekerja di dalam rumah mengurusi orang tua mereka. Anak perempuan mereka bekerja baik saat belum menikah dan terus melanjuti bekerja setelah mereka menikah. Bahkan setelah bekerja pun banyak dari anak perempuan tersebut tetap tinggal serumah dengan orantua mereka walaupun telah memiliki penghasilan. Dengan tinggal terus dengan orang tuanya, anak perempuan tersebut merasa nyaman, sehingga tidak merasa perlu untuk menikah, memiliki kehidupan rumah tangga sendiri, dan mempunyai anak. Begitu juga dengan menantu perempuan mereka yang bekerja, sehingga wanita-wanita ini tidak memiliki waktu yang cukup untuk merawat kedua orang tua mereka di rumah serta membesarkan anak-anak mereka. Para wanita bekerja ini mengharapkan tenaga bantuan dari orang lain untuk
x
merawat orang tua mereka dan mengerjakan pekerjaan rumah tangganya ( Widiastuti, 2004:35 ). Menurut data jumlah kelahiran penduduk dalam Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang tahun 2009, jumlah kelahiran bayi di Jepang pada tahun 2002 ialah 1.190.547 orang dan pada tahun 2007 jumlah kelahiran bayi di Jepang menurun menjadi 1.089.818 orang. Akibat tingkat kelahiran yang terus menurun, Jepang dihadapkan pada masalah berkurangnya pertambahan generasi penurus. Seperti yang telah kita ketahui, bila tingkat kelahiran tidak meningkat, seluruh penduduk Jepang akan mulai menurun lebih dari 1 persen pertahun. Oleh karena itu mengakibatkan ketidakstabilan terhadap masa depan pertumbuhan perekonomian dan sosial di Jepang. Hal ini menyebabkan terjadinya fenomena shoushika yang menimbulkan keresahan dalam masyarakat mengenai siapa yang akan membiayai dan merawat mereka ketika memasuki usia senja kelak.
2. Rumusan Permasalahan Penulis tertarik untuk menganalisis peningkatan jumlah wanita bekerja, karena meningkatnya taraf pendidikan sehingga mengakibatkan munculnya fenomena penurunan tingkat kelahiran bayi (shoushika).
3. Ruang Lingkup Permasalahan Ruang lingkup permasalahan dalam skripsi ini adalah menganalisis peningkatan jumlah wanita bekerja, karena meningkatnya taraf pendidikan, sehingga wanita bekerja memilih untuk menunda memiliki anak yang mengakibatkan penurunan tingkat kelahiran bayi (shoushika), yang terjadi pada kurun waktu 2002-2007. Peneliti akan
ix
membatasi penelitian pada wanita bekerja yang sudah menikah dan memilih untuk menunda memiliki anak, yang dilihat dari sudut pandang teori feminisme di Jepang.
4. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan latar belakang peningkatan jumlah wanita bekerja, sehingga memilih untuk menunda memiliki anak yang mengakibatkan penurunan tingkat kelahiran bayi (shoushika), dalam kurun waktu 2002-2007 ditinjau dari sudut pandang teori feminisme di Jepang. Manfaat dari penelitian ini adalah agar kita lebih memahami kehidupan wanita bekerja di Jepang, khususnya wanita bekerja yang telah menikah dan memilih menunda untuk memiliki anak terhadap penurunan tingkat kelahiran bayi (shoushika) pada kurun waktu 2002-2007.
5. Metode Penelitian Penulis menggunakan dua metode. Metode yang pertama ialah metode studi kepustakaan dengan mengumpulkan data-data yang diperoleh dari buku, majalah, jurnal, artikel. Selain itu penulis juga menggunakan metode penelitian deskriptif analitis, menjelaskan data-data yang diperoleh dari buku, majalah, jurnal,artikel, dan kemudian menganalisisnya.
x
6. Sistematika Penulisan Bab 1 merupakan Pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan permasalahan, ruang lingkup permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, serta sistematika penelitian. Pada bab 2 berisi Landasan teori. Dalam bab ini penulis akan menggunakan teori feminisme sosialis yang digunakan untuk menganalisis data-data yang telah ada. Pada bab 3 Analisis Data berisi analisis pemaparan beberapa dampak penundaan memiliki anak pada tenaga kerja wanita di Jepang terhadap penurunan tingkat kelahiran bayi (shoushika) dengan teori feminisme yang berkembang di Jepang yang digunakan penulis. Setelah itu pada bab 4 Simpulan dan Saran, berisi jawaban dari rumusan permasalahan dan untuk peneliti selanjutnya untuk meneliti permasalahan penurunan tingkat kelahiran bayi (shoushika) dari sudut pandang lainnya. Pada bab 5 Ringkasan, berisi keseluruhan isi skripsi secara singkat, sehingga mempermudah untuk mengetahui isi skripsi ini.
ix