BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan 1. Permasalahan Relasi antarindividu dalam masyarakatnya merupakan kegiatan alamiah dalam hidup ini. Rasa saling membutuhkan satu sama lain juga merupakan sifat kodrat manusia dalam sosialitasnya, bahwa tak ada satupun manusia yang dapat memenuhi sendiri seluruh kebutuhan hidupnya. Seluruh keterhubungan ini menjadi interaksi yang penuh makna. Hubungan komplementer ini tentu saja tidak hanya merupakan realitas simbiose mutualistis dalam masyarakat manusia, namun bisa menjadi saling menguasai dan saling menindas. Hubungan-hubungan antarmanusia yang saling menguasai dan saling menindas ini berpotensi untuk munculnya konflik yang tidak berkesudahan. Meskipun fenomena ini tidak merupakan keniscayaan dan konflik tidak senantiasa dimaknai sebagai perkelahian secara fisik, namun sebagian besar dalam kehidupan masyarakat manusia, konflik bergulir secara terus-menerus mewarnai sejarah manusia. Secara teoritis memang konflik terjadi karena munculnya masyarakat manusia. Pengandaian hidup harmoni, saling mengisi antarkelebihan dan kekurangan masing-masing individu merupakan idealisme hubungan yang manusiawi, sekaligus merupakan cita-cita hidup manusia. Hakikat kodrat monopluralis manusia
melengkapi pengandaian keseharusan atau idealisme dalam kehidupan sosialitas manusia. Manusia dalam kodratnya yang multidimensional, senantiasa bersifat paradoksal (Snijders, 2004: 80). Kodrat manusia yang monopluralis semakin menunjukkan bahwa manusia akan senantiasa dihadapkan dalam persoalanpersoalan kemanusiaannya yang serba paradoks dan dituntut untuk melakukan hal yang seimbang, agar dalam perkembangan kehidupan sosialitasnya tidak timpang. Upaya ini bukan hal yang mudah dilakukan mengingat berbagai kepentingan dan cara memahami diri dan yang lain yang tidak selalu sama. Gambaran ini tercatat dalam sejarah kehidupan manusia. Sejarah kehidupan manusia hingga kini telah direkam dan ditulis dalam bukti-bukti sejarah. Manusia sekaligus sebagai pelaku dan pembuat sejarah. Pembacaan sejarah kehidupan manusia telah menimbulkan beragam reaksi, di satu sisi disebabkan oleh perbedaan cara pandang terhadap sebuah sejarah itu sendiri, di sisi yang lain pelaku sejarah dipengaruhi oleh perbedaan cara pandangnya terhadap dunianya. Pembacaan sejarah manusia secara bias gender misalnya, merupakan wacana yang tidak pernah berakhir. Dunia pada mulanya dipandang sebagai milik laki-laki. Dunia manusia dianggap telah dipandang dan dikelola bahkan direkayasa dalam kacamata kelaki-lakian. Seluruh perilaku manusia telah dianggap digerakkan dalam pola kelaki-lakian. Di sinilah pemahaman tentang begitu dominannya sistem patriarkat. Tuhan, alam, manusia, budaya, dan lainnya seolah-olah digambarkan dalam kacamata kelaki-lakian.
Fenomena ini telah merangsang munculnya gerakan feminisme, yang berupaya mendobrak paradigma manusia yang dianggap sekian lama ber-mindset patriarkat. Pola patriarkat dipandang sebagai hal yang sangat tidak menguntungkan bagi kaum perempuan, karena manusia sering tidak dipahami melalui kodratnya tetapi lebih dipahami dalam budayanya. Dunia menurut Feminisme, perlu diubah dengan cara pandang yang baru: melihat, berpikir, dan bertindak secara keperempuanan (Arivia, 2003: 16). Artinya, selama ini mindset manusia telah dipola dalam kerangka kelaki-lakian, yang disamakan dengan kegagahan, kekuatan, terang, logis, rasional, dan sifat-sifat yang dianggap positif karena maskulinitasnya. Sementara kelembutan, emosi, lemah, gelap, merupakan sifat-sifat yang dianggap negatif dan senantiasa diidentikkan dengan perempuan. Feminisme kemudian mencoba mengubah pola pandang manusia terhadap diri dan lingkungannya secara baru. Sifat-sifat yang dianggap identik dengan milik perempuan bukanlah sifat yang negatif, sehingga berkembang beragam gerakan feminisme, sesuai dengan titik pijak perjuangannya. Pada intinya gerakan feminisme mencoba merengkuh kesetaraan atas hak-hak kaum perempuan yang sekian lama terpasung. Putnam Tong mengatakan, pemikiran feminis perlu dihargai, meskipun tidak pernah menemui akhir, pemikirannya memungkinkan setiap perempuan untuk berpikir, bukan saja untuk mendapatkan kebenaran, tetapi juga kebenaran yang membebaskan perempuan (Tong, 1998: v-vi). Kebebasan di sini tidak bisa dipahami secara liar, namun harus dicari argumentasi yang membenarkan adanya kebebasan, karena kebebasan senantiasa dihadapkan dengan
realitas determinisme manusia. Kebebasan tidak diartikan sebagai penyangkalan terhadap karakter mutlak dari adanya hubungan-hubungan kausal manusia dengan dirinya maupun di luar dirinya (Leahy, 1984: 135-136). Gerakan feminisme setelah berkembang dengan sedemikian pesatnya, pada kenyataan perjuangannya pun menimbulkan reaksi. Gerakan feminisme merupakan aksi dari pemikiran dan perjuangan sebelumnya, namun faktanya tidak seluruh gerakan feminisme mendapatkan respon yang serba positif. Gerakan feminisme oleh sebagian kelompok dipandang
mencari-cari pembenaran diri atas
ketidakadilan gender dengan upayanya mencari kesalahan dan kelemahan sistem dan praktek dalam kehidupan sosial, bahkan ranah politik serta hal-hal yang menyangkut negara dikesankan sebagai tidak berpihak terhadap kebutuhan kaum perempuan. Cara pandang manusia terhadap diri dan lingkungannya, jika demikian, seakan-akan dapat dilakukan secara terpisah, laki-laki atau perempuan, maskulin atau feminin. Apakah dunia memang dapat dilihat secara ekstrem demikian. Bukankah ini akan semakin membuat jurang dalam usaha memandang dunia secara komprehensif? Apakah memang dapat dilakukan secara demikian ketika manusia dilihat hakikatnya? Penelitian banyak dilakukan untuk melakukan upaya mencari solusi tentang bagaimana memandang manusia seutuhnya. Penelitian mengenai moralitas bertubitubi dilakukan guna mencari jawaban tentang moralitas manusia. Penelitian antropologi, sosiologi, psikologi, bahkan filsafat juga telah dilakukan, sebagai
upaya saling melengkapi dalam mencari jalan terbaik dalam persoalan tentang manusia. Pemikiran-pemikiran
tersebut
mengundang
reaksi
dengan
mempertentangkannya melalui pemikiran yang baru. Carol Gilligan, seorang psikolog dan feminis Amerika, menyatakan bahwa terdapat bias laki-laki dalam psikologi moral. Gilligan (1993: 18-23) mengritik Kohlberg karena seluruh subjeknya adalah laki-laki, tidak mempertimbangkan perbedaan sosialisasi seorang anak perempuan dan laki-laki dalam budaya manusia. Laki-laki secara tradisi terkondisi menjadi otonom dan bebas, sementara perempuan diandaikan menjadi makhluk yang tergantung dan pasif. Gilligan (1993: 62) menyatakan, ada perbedaan karakteristik perempuan dan laki-laki yang kemudian dapat memunculkan persoalan interpretasi. Ada perbedaan cara dalam membangun hubungan dalam sosialitas manusia, antara lakilaki dan perempuan. Laki-laki menunjukkan moralitasnya dengan berpijak pada prinsip-prinsip kesamaan hak, sementara perempuan berpijak pada kepedulian. Dengan demikian perempuan tidak berpijak pada pandangan kesamaan semua manusia seperti halnya laki-laki, namun berpijak pada keunikan masing-masing. Konsep ini menurut peneliti menjadi sangat menarik untuk digunakan dalam memahami hakikat manusia. Persoalan feminisme ini menjadi salah satu bagian dalam persoalan filsafat manusia. Memahami hakikat manusia yang seharusnya dapat dilakukan dengan menganalisis dimensi manusia yang menyangkut hubungan antarindividu dalam sosialitas, Tuhan, dan alamnya, seringkali tidak dipahami secara seimbang.
Persoalan yang sering kali menyeruak adalah klaim-klaim kebenaran salah satu pihak di antara kelompok atau sosialitasnya. Moralitas akan berpengaruh pada pembentukan bangunan keadilan seperti yang digambarkan Kohlberg, namun justru menurut Gilligan keadilan akan menciptakan superioritas dalam unit-unit kehidupan, sengaja atau tidak perempuan senantiasa mendapat posisi inferior. Gilligan menganggap pentingnya kepedulian sebagai hubungan yang lebih personal dan tidak menciptakan superior-inferior. Berdasar pada konsep kepedulian Carol Gilligan yang unik ini, maka peneliti menganggap perlu untuk menggali pandangan Gilligan tentang manusia, dan bagaimana manusia bereksistensi secara unik melalui komunikasi atau relasi yang oleh Gilligan lebih banyak menyoroti relasi antargender.
2. Rumusan masalah 1. Apa yang dimaksud konsep etika kepedulian Carol Gilligan? 2. Apa hakikat manusia dalam pandangan etika kepedulian Carol Gilligan? 3. Apa kritik terhadap konsep etika kepedulian Carol Gilligan? 4 . Apa relevansi hakikat manusia dalam konsep etika kepedulian Carol Gilligan terhadap pemahaman hubungan antargender di Indonesia?
B. Keaslian Penelitian Sejauh peneliti melakukan penelusuran, tema-tema yang ditulis oleh Carol Gilligan dan tentang pemikiran etika kepedulian Carol Gilligan telah banyak
dilakukan dengan sudut pandang berbagai bidang ilmu, seperti psikologi, etika, dan feminisme. Berikut hasil penelusuran peneliti. 1. Gatens (1991) dalam Feminism and Philosophy, Perspectives on Difference and Equality, memilih eksistensi laki-laki dan perempuan dalam kajian feminisme dan filsafat. 2. Larrabee (1993) dalam An Ethic of Care, Feminist and Interdisciplinary Perspectives, menganalisis tentang konsep etika kepedulian Carol Gilligan melalui perspektif filsafat. 3. Will Kymlicka (2004) dalam tulisannya “Pengantar Filsafat Politik Kontemporer”; Kajian khusus atas teori-teori keadilan. Kymlicka mengangkat objek material teori-teori keadilan dalam perspektif filsafat politik. 4. Dean (2006), The Value of Humanity in Kant’s Moral Theory, Clorend on Press, Oxford. Dean menganalisis problem-problem kemanusiaan melalui teori moral Immanuel Kant. Buku ini menganalisis problem-problem kemanusiaan melalui teori moral Immanuel Kant. Buku ini terdiri dari dua bab yaitu mengenai Kehendak Baik, dan Bentuk Kemanusiaan sebagai Prinsip Moral. Pada bab pertama dijelaskan bahwa kehendak baik sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan bab kedua menyangkut otonomi dan tanggung jawab. 5. Ricki Threezardi (2006), Konsep Etika Kepedulian Menurut Carol Gilligan (Sebuah Kritik terhadap Etika Keadilan Lawrence Kohlberg), Skripsi
Fakultas Filsafat UGM. Skripsi ini mengangkat objek material konsep etika kepedulian Carol Gilligan, dengan objek formal etika. 6. Virginia Held (2006) dalam The Ethics of Care: Personal, Political, and Global, Oxford University Pres, New York. Held menulis tentang kepedulian sebagai teori moral, dan kepedulian yang dikaitkan dengan hak dan kewajiban. 7. Held (2006) dalam buku The Ethics of Care: Personal, Political, and Global yang berisi dua bab: Care and Moral Theory, dan Care and Society. Held menguraikan pada bagian pertama, bahwa kepedulian sebagai teori moral, nilai, dan bagaimana prakteknya. Held menuliskan pada bagian kedua, bagaimana kepedulian dikaitkan dengan hak dan keadilan dalam konteks global. 8. Slote (2007) dalam The Ethics of Care and Empathy, Routledge, USA and Canada, menulis perkembangan psikologi dan pentingnya filsafat moral. Slote menulis bahwa revolusi dalam filsafat moral Copernican telah menggerakkan empati. Ide-ide dan institusi yang patriarkat telah meminggirkan kepedulian dan empati terhadap perempuan. Slote memosisikan peran penting filsafat moral dalam penelitian neurobiologi dan perkembangan psikologi, untuk menemukan hubungan antara pikiran dan emosi, diri dan interrelasinya. Slote kemudian mengangkat karya Carol Gilligan sebagai tulisan yang penting untuk mendapatkan suara yang berbeda.
Beberapa penelusuran Jstore ditemukan jurnal yang berisi tulisan-tulisan Carol Gilligan dan tentang Carol Gilligan. Tulisan-tulisan berikut lebih menonjolkan aspek moral, psikologi, dan feminisme. 1. Auerbach, Judy, Linda Blum, dkk., (1985), On Gilligan’s “In a Different Voice”, Feminist Studies (Jurnal) Vol. 11 No.1 (Spring 1985) hal.149-161. Objek material yang diambil adalah karakteristik laki-laki dan perempuan, dengan objek formal feminisme. 2. Carol Gilligan (1986), Replay by Carol Gilligan, Signs (Jurnal), Vol. 11 No.2 (Winter 1986) hal.324-333. Gilligan memilih konsep diri sebagai objek kajian dan etika sebagai objek formal. 3. Hayles (1986) dalam Anger in Different Voices: Carol Gilligan and “The Mill on the Floss, Signs (Jurnal) Vol. 12 No.1 (Autumn, 1986) hal.23-39. Ia melakukan kritik atas tulisan Giiligan sebagai tulisan tentang hidup dalam wacana etika. 4. Blum (1988) dalam Gilligan and Kohlberg: Implication for Moral Theory, Ethics (Jurnal), Vol. 98 No.3 (April 1988) hal. 472-491. Blum menulis perbedaan konsep Gilligan dan Kohlberg dalam sudut pandang filsafat. 5. Gilligan (1995) dalam Hearing the Difference: Theorizing Connection, Hypatia (Jurnal), Vol. 10 No.2 (Spring 1995) hal 120-127. Gilligan menganalisis perubahan konsep dunia manusia dalam sudut pandang etika. 6. Gilligan and Goldberg (2000) dalam An Interview with Carol Gilligan: Restoring Lost Voices, The Phi Delta Kappan (Jurnal), Vol. 81 No.9 (May
2000) hal. 701-702, 704, mengkaji perempuan dan laki-laki dalam sudut pandang moral.
Hasil penelusuran tentang objek materi yang berkaitan dengan konsep etika kepedulian Gilligan telah banyak dilakukan penelitian dengan menggunakan sudut pandang filsafat moral, psikologi, dan feminisme. Upaya menemukan hakikat manusia dalam konsep etika kepedulian Gilligan dengan sudut pandang Filsafat Manusia
belum
dilakukan,
sehingga
keaslian
penelitian
ini
dapat
dipertangggungjawabkan.
C. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian dengan tema di atas adalah sebagai berikut. 1. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini mengurai persoalan dan menambah pengetahuan tentang pemahaman kompleksitas persoalan mengenai cara pandang manusia terhadap diri dan orang lain serta bagaimana cara mengatasinya. Pemahaman ini akan didapatkan dengan melakukan pendekatan berbagai disiplin ilmu. Filsafat utamanya filsafat manusia, merupakan salah satu disiplin ilmu yang memberi kontribusi dalam upaya memahami manusia secara hakiki dengan melihat tidak hanya pada aspek budaya tetapi juga kodratnya, sehingga pengayaan pengetahuan tentang manusia tidak saja dikaji secara dikotomi melalui perspektif masing-masing keilmuan yang kebenarannya bersifat observasional, namun filsafat bermanfaat untuk mencari kebenaran hakiki dengan cara pandang yang reflektif dan rasional.
2. Bagi Filsafat Sebuah penelitian filsafat yang dilakukan melalui kategori berpikir filsafati, yang salah satunya melakukan analisis kritis terhadap fenomena problematika kehidupan manusia, penelitian ini akan menghasilkan suatu pemahaman tentang hakikat manusia dalam konsep yang dimiliki seorang tokoh. Kajian filosofis dengan melandaskan diri pada aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis, penelitian ini akan menghasilkan konsep tentang manusia yang tidak lagi melihat perbedaan sebagai salah satu unsur yang dapat mengubah hakikatnya sebagai manusia, namun sebagai suatu keunikan yang harus dihargai. 3. Bagi Bangsa Indonesia Hasil penelitian ini memberikan kontribusi pemahaman tentang pentingnya memahami manusia secara utuh tanpa menghilangkan keunikannya sebagai individu. Hasil penelitian ini sangat penting dan relevan untuk membangun semangat kepedulian dan keadilan terhadap sesama (keseimbangan individu-sosialitas manusia), membangun kesadaran bangsa Indonesia yang memiliki keberagaman etnis, geografis, bahasa, dan budaya (membangun kepedulian). Penelitian ini memberi kontribusi pada upaya membangun relasi gender yang ideal. Penelitian ini juga bermanfaat bagi Indonesia dalam menyusun kebijakan publik yang tidak bias gender.
D. Tujuan Penelitian Penelitian dengan judul “Konsep Etika kepedulian Carol Gilligan Dalam Perspektif Filsafat
Manusia,
Relevansinya
Bagi
Pemahaman Hubungan
Antargender di Indonesia” bertujuan untuk: 1. Menguraikan konsep Etika Kepedulian Carol Gilligan. 2. Upaya menemukan, mengurai, serta menyusun secara analitis hakikat manusia dalam konsep Etika Kepedulian Carol Gilligan. 3. Menemukan kelemahan dan kelebihan konsep etika kepedulian Carol Gilligan dalam perspektif filsafat manusia. 4. Menemukan relevansi hakikat manusia menurut Carol Gilligan dalam memahami hubungan antargender di Indonesia.
E. Tinjauan Pustaka Jung (1959: 13-20) dengan teori kepribadiannya, menjelaskan bahwa pada setiap individu memiliki sifat-sifat maskulin atau feminin. Individu berjenis kelamin laki-laki, memiliki sifat feminin (Anima), dan pada perempuan memiliki sifat maskulin (Animus). Konsep Jung ini mengawali pemikiran dalam penelitian ini, yang sebelumnya tidak dijadikan landasan teori dalam melihat manusia secara utuh. Suara yang berbeda dari Carol Gilligan dijadikan upaya untuk melihat manusia dari aspek psikologi perempuan. Penelitian ini tidak berhenti sampai pemahaman konsep kepedulian Carol Gilligan yang merupakan kekhasan perempuan, namun bagaimana konsep Gilligan ini kemudian memberi kontribusi dalam memahami manusia secara utuh. Apakah Gilligan mampu melihat diri
sebagai manusia, secara utuh, ataukah sama dengan para feminis atau bahkan para psikolog, pemikir, dan filsuf laki-laki dan perempuan yang memiliki keberpihakan? Auerbach, Judy, Linda Blum, dkk., (1985: 149-161) mengatakan bahwa ada perbedaan paradigma dalam membaca karakteristik moral laki-laki dan perempuan. Laki-laki secara moral memiliki karakteristik yaitu otonomi, rasional, dan empati terhadap hak individu. Karakteristik ini dilihat oleh beberapa feminis sebagai “fungsional” hanya dalam sosialitas masyarakat manusia karena sosialitas itu didominasi melalui kompetisi, klas, dan kepentingan militer. Karakteristik moral perempuan dalam keterhubungan, budaya, dan empati pada pertanggungjawaban kepada sesama, dilihat sebagai peringatan manusia terhadap generasi mendatang, hakikat keterhubungan manusia, dan perhatian yang terbagi yang dimiliki manusia dalam menghadapi hidup. Hayles (1986: 23-39) membuat kritik atas pandangan Carol Gilligan dalam Anger in Different Voices: Carol Gilligan and The Mill on the Floss. Hayles berpendapat bahwa Gilligan tidak menulis tentang hidup, tetapi hanya sebuah narasi tentang etika kebiasaan laki-laki dan etika kepedulian perempuan. Gilligan membuat suatu pandangan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai suara yang berbeda sehingga membentuk moralitas yang berbeda di antara keduanya. Blum (1988: 472-491) mengungkap perbedaan secara filosofis pandangan Carol Gilligan dan Kohlberg dalam Gilligan and Kohlberg: Implication for Moral Theory. Blum awalnya menyitir pendapat Kohlberg yang mengatakan bahwa kepedulian seperti yang digambarkan Gilligan bukanlah dalam pengertian moral. Kepedulian secara moral akan tergantung pada hak dan keadilan, padahal Gilligan
memisahkan dua domain ini secara jelas sebagai ranah moralitas laki-laki dan perempuan. Perkembangan selanjutnya, kepedulian secara psikologi tergantung pada perasaan keadilan dan hak,
di sinilah persoalan muncul. Blum sendiri
mengklaim karya Gilligan tentang moralitas kepedulian, merupakan filsafat moral pertama yang penting untuk melanjutkan implikasinya sebagai sumbangan bagi sebuah teori moral dalam kategori etika kontemporer. Gatens (1991: 5-7) memberi warna baru tentang perseteruan klaim laki-laki dan perempuan dalam memahami hakikat manusia. Gatens menggunakan kaca mata filsafat untuk memahami manusia secara komprehensif, melihat bagaimana manusia dilihat dalam perbedaan dan kesetaraannya. Manusia menurut J.J. Rousseau (Gatens, 1991: 10) dibedakan dalam pemahaman laki-laki dan perempuan. Laki-laki hanyalah sesekali laki-laki, perempuan selalu perempuan. Gambaran laki-laki dipahami sebagai makhluk dengan keluasannya, sementara perempuan dipahami dengan keterbatasannya. Laki-laki adalah sekaligus seorang laki-laki (kejadian) dan subjek universal. Kemungkinan laki-laki tidak berhubungan dengan waktu, tempat atau hal-hal yang khusus, agaknya laki-laki dapat melebihi semuanya ini, termasuk jenis kelaminnya, dalam keprihatinan pada kebenaran yang abstrak dan prinsip. Perempuan, secara berlawanan, selalu seorang perempuan: perempuan dibatasi oleh tempatnya, waktunya, kekhususannya, badan dan hasratnya, singkatnya, jenis kelaminnya. Gatens justru memberi kesimpulan bagaimana melihat manusia (laki-laki dan perempuan) secara berbeda. Gatens mengritik kelemahan utama teori feminis yakni selalu mengkaji pada taraf sosio-politik saja. Padahal menurut Gatens, jika
asumsi diletakkan pada taraf metafisika, teori hakikat manusia dan epistemologi juga adalah sesuatu yang netral gender. Kecuali menyangkut seks, perempuan dan laki-laki adalah sama. Larrabee (1993: 69-84) menganalisis tentang konsep etika kepedulian Carol Gilligan melalui perspektif filsafat. Larrabee menuliskan perbedaan dan relevansi pandangan Gilligan dengan Kohlberg secara gestalt untuk menjelaskan perkembangan kepribadian moral. Brennan dalam tulisan Carol Gilligan (1995:120-125), dituliskan bahwa Brennan tertarik dengan keterhubungan perempuan dalam sosialitas dan transformasi kultural karena sejarah keterhubungan ini ada dalam bahaya yang terpendam. Mendengarkan suara perempuan memperjelas etika kepedulian, bukan karena perempuan sebagai alasan perpaduan politik dan psikologi realitas yang saling berhubungan yang tersuarakan, sebaliknya tidak terucap atau menghilang begitu saja. Lapisan sosial yang patriarkat tergantung pada “regeneration on disconnection from women”. Perempuan tidak mengetahui apa yang diketahui, tidak berpikir apa yang dipikirkan, dan tidak merasakan apa yang dirasakan. Ini kemudian menjadikan perempuan kehilangan pengalamannya, bahkan “sense of reality”-nya. Megawangi (1999: 261-263), justru karena banyaknya feminisme yang berkutat pada persamaan perempuan dan laki-laki, maka Megawangi kemudian menekankan perbedaan perempuan dan laki-laki. Perbedaan itu diletakkan dalam konteks yang memberdayakan potensi masing-masing gender supaya dapat difungsikan secara komplementer. Megawangi, inilah yang semestinya dilakukan
oleh setiap orang. Upaya ini yang ditawarkan Megawangi sebagai pencarian alternatif konsep kesetaraan gender yang dapat mewujudkan relasi gender yang harmonis, bukan yang antagonis dan potensial terhadap rawannya konflik. Megawangi membuat perumpamaan hubungan individu yang ideal, sehat, dan penciptaan individu yang bermoral adalah bangunan keluarga. Keluarga adalah institusi yang memberikan peluang anggotanya untuk belajar menghormati, melindungi, dan melengkapi, meskipun perannya berbeda-beda. Bakker menjelaskan bahwa dalam memahami manusia senantiasa dilakukan secara utuh, dengan melibatkan unsur atau pihak yang lain. Setiap individu menyadari eksistensinya justru karena adanya kesadaran akan yang lain, demikian juga sebaliknya, yang lain memberikan kesadaran bagi adanya kesadaran individu (Bakker, 2000: 27-28). Memahami unsur-unsur dalam diri individu dilakukan secara utuh, bahwa secara material maupun spiritual, manusia tidak berdiri sendiri-sendiri dan terlepas dari yang lain. Bakker menyatakan, meskipun selalu akan terkait dengan yang lain, individu juga harus dihargai keunikannya. Tidak ada satu orang pun yang sama persis, identik dengan yang lain. Ke-aku-an ini menggambarkan bahwa di dunia ini terdapat aku-aku yang jumlahnya sangat banyak dan tak akan didapatkan aku yang identik. Gadis Arivia (2003:307-312) berangkat dari asumsi bahwa selama ini filsafat lebih berpihak pada laki-laki, dari mulai filsuf laki-laki hingga suara kefilsafatannya pun berpihak pada laki-laki. Arivia menguraikan bahwa sejarah dalam kefilsafatan memberi ruang lebih banyak pada para filsuf laki-laki daripada
perempuan. Filsafat sudah saatnya harus berperspektif perempuan, menyuarakan hak-hak dan suara perempuan, serta pengakuan terhadap filsuf-filsuf perempuan. Kymlicka
(2004:318-365)
menulis
tentang
Feminisme.
Kymlicka
menguraikan persoalan seputar feminisme dalam 3 (tiga) pokok persoalan, yaitu Persamaan Gender dan Diskriminasi, Publik dan Privat, dan Etika Kepedulian. Berawal dari pembedaan publik dan privat mengakibatkan peran-peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki identik dengan publik, sedangkan perempuan dekat dengan wilayah domestik. Moralitas menjadi terpecahpecah ke dalam pembagian kerja moral, yang mana milik laki-laki dan mana milik perempuan. Peran-peran ini menurut Kymlicka digunakan untuk menjustifikasi patriarki. Muncullah tokoh-tokoh feminisme, termasuk salah satunya adalah Carol Gilligan. Gilligan mengatakan (Kymlicka, 2004:250-251), dalam kenyataannya sensibilitas moralitas laki-laki dan perempuan adalah berbeda. Perempuan memiliki nalar dalam “suara yang berbeda”. Inilah yang oleh Carol Gilligan disebut sebagai Etika Kepedulian, sementara moralitas laki-laki digunakan istilah Etika Keadilan. Carol Gilligan melawankan keduanya. Magnis Suseno (2005: 236-241) menggali tema tentang Etika Kepedulian di salah satu babnya. Magnis Suseno menuliskan bagaimana Carol Gilligan melawankan Etika Kepedulian dengan Etika Keadilan Immanuel Kant. Magnis Suseno dalam tulisannya ini mengeluarkan beberapa pertanyaan mengenai Etika Kepedulian sebagai berikut. 1. Apakah etika kepedulian juga bisa dipakai dalam hubungan dengan orang lain yang tidak dikenal?
2. Apakah etika kepedulian juga relevan untuk menjawab pertanyaan bagaimana menata masyarakat atau hubungan internasional, padahal etika kepedulian berorientasi personal, konkret, situasional? 3. Apakah sebuah etika yang tidak berpusat pada keadilan memadai? 4. Apakah etika kepedulian adalah “moralitas khusus untuk kaum perempuan”? Keempat pertanyaan tersebut di atas adalah penting dalam membincangkan etika. Pertanyaan keempat paling relevan dalam diskursus moralitas yang menyangkut laki-laki dan perempuan. Carol Gilligan menunjukkan kepedulian sebagai kekhasan yang dimiliki perempuan. Gilligan menulis karyanya mengenai tema ini dalam judul “In The Different Voice”. Etika kepedulian feminis memulai dengan hubungan, sesuatu yang fundamental dalam hidup. Manusia hidup berhubungan dengan manusia yang lain. Hubungan tersebut dalam perkembangannya menciptakan struktur patriarkat. Tekanan antara “a relational psychology” dan “a patriarchal social order” ditangkap secara paradoks: kehidupan dalam struktur patriarkat, perempuan menemukan dirinya sendiri untuk menghentikan keterhubungan supaya memiliki keterhubungan. Etika kepedulian ini menjadi suara perlawanan. Perbincangan etika kepedulian yang senantiasa dikaitkan dengan etika keadilan, selalu saja mendapat reaksi yang beragam bagi kaum etika. Posisi masingmasing senantiasa dipertanyakan bahkan pada keterkaitan keduanya. Threezardi (2006) secara jelas mengangkat permasalahan kedua etika itu dalam pertanyaanpertanyaan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah pemikiran etika kepedulian yang ditawarkan oleh Carol Gilligan? (2) Bagaimanakah konsep etika keadilan Lawrence
Kohlberg?
(3)Bagaimanakah kritik etika kepedulian Carol Gilligan terhadap
etika keadilan Kohlberg? (4) Bagaimana posisi etika kepedulian dalam ranah filsafat moral (etika)? Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian Threezardi adalah bahwa menurut Carol Gilligan terjadi bias gender dalam konsep etika keadilan menurut Kohlberg. Keadilan hanya dilekatkan pada laki-laki. Laki-laki identik dengan jujur dan adil, sementara perempuan identik dengan peduli. Menurut Carol Gilligan, etika kepedulian adalah khas perempuan. Penelitian ini tidak membahas mengapa cara berpikir laki-laki dan perempuan dianggap berbeda mengenai etika, dan bagaimana sesungguhnya hubungan keduanya. Penelitian ini hendak menunjukkan sikap penolakan Carol Gilligan terhadap pemikiran Kohlberg mengenai etika keadilan, karena dianggap tidak personal, sementara etika kepedulian dalam pemikiran Carol Gilligan merupakan bentuk etika yang mengutamakan pendekatan personal.
F. Landasan Teori Filsafat manusia berupaya juga menggali hakikat manusia dengan kategorikategori yang menyangkut persoalan-persoalan seputar manusia, meliputi hubungan antar unsur-unsur pembentuknya, hubungan antarpersonal, hubungan manusia dengan lingkungannya, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Manusia dalam pandangan Anton Bakker digambarkan melalui pemahaman atau pengakuan “Aku” dan “Yang Lain”. Identitas diri tergambar bersamaan
dengan pengakuan atas identitas yang lain. Hanya karena memiliki arti untuk yang lain, individu dapat memahami diri dan mengakui diri. Anton Bakker memandang manusia dari sisi hubungan saling mengada. Adanya seseorang tidaklah serta merta muncul, tetapi sejauh adanya pengakuan yang lain atas ada-ku. Ada-ku itu sesuai dengan sesuatu yang menurut pemikiranku menjadi penghargaan dari pihak yang-lain terhadap aku, positif maupun negatif (Bakker, 2000: 39). Anton Bakker menguraikan gambaran saling mengada antara aku dan yang lain. Anton Bakker memberi kesimpulan bahwa individu menjadi “aku” berkat adanya yang lain. Ketertentuanku seluruhnya bergantung pada pengakuanku terhadap yang-lain, dan pengakuan mereka terhadapku. Anton Bakker juga mengurai tentang gambaran saling mengada ini sebagai hubungan timbal balik antara aku dan yang-lain. Bakker mengatakan, tak ada aku dan yang-lain yang benar-benar asli. Karena masing-masing darinya saling mengisi, maka berarti aku dan yang-lain saling memberi arti (Bakker, 2000: 45). Gambaran dan situasi ini menunjukkan adanya hubungan komplementer antarmanusia. Bakker mengungkapkan bahwa meskipun terjadi korelasi antarindividu, pengakuan diri terhadap yang lain juga didasari oleh pengakuan atas keunikan yang dimiliki oleh masing-masing individu, bahkan keunikan juga dimiliki pada unsurunsur pembentuknya. Substansi manusia dipandang dalam totalitas, keseluruhan unsur yang membentuk diri, yang terpisah dengan yang lain, yang oleh Bakker disebut sebagai Individu (Bakker, 2000: 123). Bakker menguraikan individu sebagai berikut.
Individu dimaknai sebagai memandang manusia dari segi material. Keunikannya akan didapatkan ketika memahami struktur dalam diri. Individu adalah gestalt, sebagai Est id qoud est indivisum in se, et divisum a quolibet alio, tidak terbagi di dalam dirinya sendiri, dan terpisah dari segala yang lain (Bakker, 2000: 127). Personalitas dipahami untuk memandang manusia dari aspek spiritualnya. Keunikan aspek spiritual ini yang akan membedakan kepribadian manusia. Individu dan person tidaklah dilawankan satu dengan yang lain, namun keduanya saling menentukan sebagai wujud (individu) dan gaya (personalitas) keunikan (Bakker, 2000: 128). Keduanya merupakan kesatuan dalam memahami manusia, untuk mendapatkan identitas manusia sebagai individu dan person yang konkret. Individu dan person tidaklah saling membatasi, namun justru saling menyediakan. Semakin dari satu orang ini dapat dipahami seluruh kemanusiaannya, maka sebaliknya semakin nampak singularitas orang-orang lain sebagai sesuatu yang mempunyai makna mutlak bagi dirinya. Meskipun idealnya dilakukan pengandaian saling terjadi ketermuatan satu sama lain, namun paradoks dalam memahami individu kerap dilakukan. Individualisme, merupakan hasil dari cara pandang yang berat sebelah, bahkan pandangan yang ekstrem untuk keberpihakan, menunjukkan pemahaman keunikan manusia secara sempit. Manusia bisa saja mengakui keunikan yang satu tetapi melalaikan keunikan yang lain, melihat yang lain sebagai yang cacat, melakukan isolasi dan menuju pada fragmentarisasi persekutuan manusia dan mengabaikan uniformikasi antarorang.
Konsep kepribadian menurut Jung digolongkan dalam Personality Function, Psyche, dan self. Manusia dalam pandangan Jung sangatlah unik karena memiliki ragam kepribadian yang berbeda-beda pada setiap individu. Personality Function dipahami sehubungan dengan pengalaman hidup individu yang berbedabeda, sehingga memengaruhi temperamen pada masing-masing individu tersebut. Psyche merupakan gabungan atau jumlah dari keseluruhan isi mental, emosional dan spiritual seseorang. Psyche menyangkut unsur kesadaran dan bawah sadar. Bawah sadar dari Psyche dibentuk atau berisikan banyak hal dan beragam antara orang yang satu dengan yang lainnya, dan dari waktu ke waktu. Isi yang tersembunyi ini sebagian bersifat individual, sebagian lagi kolektif. Isi dalam alam bawah sadar adalah sangat jauh lebih banyak dan beragam jika dibandingkan dengan isi kesadaran. Self adalah kepribadian total (total personality) baik kesadaran maupun bawah sadar. Self adalah pusat dari kepribadian. Self ini yang menjadi keunikan manusia. Keunikan manusia ini oleh Carl Gustav Jung ditulis dalam bukunya yang berjudul AION.
Salah satu tema tentang “The Self”, Jung (1959: 24-25)
menjelaskan bahwa
adalah penting ego seharusnya berlabuh dalam dunia
kesadaran dan bahwa kesadaran harus diperkuat oleh suatu penyesuaian yang tepat. Kebajikan-kebajikan tertentu seperti perhatian, ketelitian, kesabaran, dll., adalah nilai yang besar di sisi moral, sama seperti tepatnya pengamatan terhadap gejala ketidaksadaran dan kritik diri objektif adalah berharga di sisi intelektual (Jung, 1959: 24 – 25).
Jung mengatakan bahwa terjadinya persoalan moral disebabkan oleh konflik kewajiban dan kekuatan alamiah yang tak terkendali. Jung menawarkan hasil penyelidikannya tentang Anima dan Animus. Anima dan Animus digambarkan Jung sebagai dasar teori ketidaksadaran kolektif (transpersonal). Pengandaian bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk biseksual. Setiap individu secara fisik mengeluarkan hormon seks lakilaki dan perempuan, sedangkan secara psikologis, sifat-sifat maskulin dan feminin terdapat pada kedua jenis. Jung mengaitkan aspek feminin kepribadian laki-laki dan aspek maskulin pada perempuan, yang disebut dengan arkhetipe. Arkhetipe feminin pada laki-laki disebut anima, dan arkhetipe maskulin pada perempuan disebut Animus (Supratiknya, 1993: 189 – 190).
G. Metode Penelitian 1. Bahan/Materi Penelitian Penelitian ini akan membagi dua literatur, yaitu pustaka primer dan pustaka sekunder. a) Pustaka primer: Gilligan, Carol, 1993, In A Different Voice, Psychological Theory and Women’s Development, Cambridge, MA: Harvard University Press. a) Pustaka sekunder adalah pustaka yang mendukung kepustakaan primer, yaiitu literatur tentang Filsafat manusia dan tulisan orang lain tentang Carol Gilligan dan pemikirannya.
1) Pustaka yang berhubungan dengan Filsafat Manusia: Drijarkara, 1969, Filsafat Manusia, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Huijbers, 1986, Manusia Merenungkan Dirinya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Carrel, Alexis, 1987, Misteri Manusia, Penerbit Remadja Karya, Bandung. Verhaar, J.W.M., 1989, Identitas Manusia, Menurut Psikologi dan Psikiatri Abad ke-20, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Bakker, Anton, 2000, Antropologi Metafisik, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Leahy, Louis, 2001, Siapakah Manusia? Sintesis Filosofis tentang Manusia, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Snijders, Adelbert, 2004, Antropologi Filsafat, Manusia: Paradoks dan Seruan, Kanisius, Yogyakarta. Snijders, Adelbert, 2006, Manusia dan Kebenaran, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
2) Pustaka tentang Carol Gilligan: Cole, Eve Browning and Susan Coultrap McQuin, 1992, Explorations in Feminist Ethics; Theory and Practice, Indiana University Press, Blooming and Indianapolis. Larrabee, Mary Jeanne, 1993, An Ethic of Care; Feminist and Interdisciplinary Perspectives, Routledge, New York.
Hekman, Susan J., 1995, Moral Voices Moral Selves; Carol Gilligan and Feminist Moral Theory, Polity Press in Association with Blackwell Publishers Ltd. Held, Virginia, 2006, Ethics of Care, Oxford University Press, Oxford. Clement, Grace, 1996, Care, Autonomy, and Justice; Feminism and the Ethic of Care, Westview Press, The United States of America. Robinson, Fiona, 1999, Globalizing Care; Ethics, Feminist Theory, and International Relations, Westview Press, The United States of America.
2. Jalan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut. a. Mengumpulkan data, yaitu mencari sebanyak-banyaknya data mengenai Pemikiran Carol Gilligan, karya-karya yang membahas pemikiran Carol Gilligan, dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan filsafat manusia, baik didapatkan dari buku, jurnal, maupun internet. Seluruh data adalah data kepustakaan karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. b. Mengklasifikasi data, yaitu data yang sudah diperoleh akan diidentifikasi dan dikelompokkan berdasarkan kategori besar dalam filsafat yaitu ontologi, epistemologi, dan axiologi, serta data dikelompokkan berdasarkan kategori pembahasan filsafat manusia. Tidak seluruh data berupa tulisan Carol Gilligan dan tulisan mengenai Carol Gilligan dipakai dalam penelitian ini.
Pengelompokan dimaksudkan agar langkah penelitian menjadi lebih mudah karena dilakukan pengelompokan data. c. Analisis data, yaitu pengolahan data menggunakan langkah-langkah metodis filsafat sedemikian rupa sehingga memenuhi syarat sebagai penelitian filsafati.
3. Analisis Data Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan menggunakan metode hermeneutik, dengan langkah-langkah metodis sebagai berikut. a. Analisis; tidak seluruh data akan digunakan dalam penelitian ini. Sebagian dari data tersebut akan dikelompokkan sesuai kebutuhan, data yang relevan saja yang akan dijadikan acuan dalam penelitian ini, kemudian dilakukan interpretasi guna mendapatkan kejelasan pandangan umum mengenai konsep yang dimiliki Carol Gilligan. Kata-kata kunci yang digunakan Carol Gilligan dalam konsep etika kepedulian akan dibedah dan dianalisis tidak dalam ranah etika, namun dalam ranah filsafat manusia. Pada intinya dalam metode ini dilakukan reduksi data (tidak seluruh karya Carol Gilligan digunakan), klasifikasi data (hasil reduksi data Carol Gilligan kemudian dikelompokkan berdasarkan kategori kajian Filsafat Manusia), Display data (memetakan data dan sistematisasi data yang menyangkut pemikiran Carol Gilligan), terakhir dilakukan interpretasi (memberi pemaknaan terhadap data yang ada, mulai dari pengumpulan data sampai pada penarikan kesimpulan).
b. Verstehen; usaha memahami pemikiran Carol Gilligan secara mendalam dan memahami makna dan simbol-simbol dalam hubungan antarmanusia, agar mendapatkan pemahaman yang komprehensif. c. Interpretasi; dilakukan penafsiran-penafsiran terhadap konsep etika kepedulian Carol Gilligan untuk mendapatkan pemahaman atas hakikat manusia, yang tentu saja akan dikembangkan dengan menggunakan kategori-kategori persoalan dalam filsafat manusia. Metode ini dilakukan sebagai upaya untuk mengungkapkan, menerangkan, dan menerjemahkan teks yang ada. d. Heuristik; langkah analisis, pemahaman, dan penafsiran dilakukan untuk mendukung penelitian yang pada akhirnya akan ditemukan suatu teori baru dalam mengkaji pandangan manusia dalam konsep etika kepedulian Carol Gilligan dengan tetap menggunakan perspektif filsafat manusia.
H. Sistematika Penelitian Disertasi ini disusun dalam 6 (enam) bab, yaitu: BAB I. PENDAHULUAN, berisi: Latar belakang yang mendasari ketertarikan peneliti untuk melakukan penelitian. Bab ini juga merangkum rumusan masalah yang akan dijadikan kunci dalam meneliti dan mencari jawaban atas rumusan masalah tersebut. Karena penelitian ini bukanlah merupakan penelitian yang serba baru, maka bab ini menyebutkan beberapa hasil penelitian yang sudah pernah dilakukan dengan objek material yang sama dengan yang peneliti pilih, sehingga penelitian ini akan nampak perbedaannya dalam hasil. Selanjutnya, bab ini memaparkan manfaat dan
tujuan dilakukan penelitian. Objek formal penelitian ditampakkan dalam landasan teori, dan hasil-hasil penelitian yang terdahulu dipaparkan dalam tinjauan pustaka. Penelitian ini juga menggunakan metode yang khas dalam ilmu Filsafat, dengan didukung oleh bahan primer dan sekunder. BAB II. RUANG LINGKUP FILSAFAT MANUSIA. Filsafat manusia merupakan perspektif atau sudut pandang yang digunakan peneliti untuk mengasah objek material, sehingga dalam bab ini peneliti akan menguraikan beberapa hal tentang filsafat manusia, seperti titik tolak kajian filsafat manusia dan dimensi manusia dalam kajian filsafat manusia. Karena banyaknya materi dalam membahas filsafat manusia, maka peneliti hanya akan memaparkan Disertasi ini dengan hal-hal yang berkaitan dengan persoalan
jiwa-badan,
individu-person,
individu-sosial,
unsur
pengetahuan, relasi antarindividu, dan otonomi. BAB III. KONSEP ETIKA KEPEDULIAN CAROL GILLIGAN. Konsep Etika Kepedulian Carol Giligan adalah objek material yang dipilih oleh peneliti untuk diteliti dalam paradigma filsafat manusia, sehingga peneliti akan memaparkan bab ini mulai dari Riwayat Hidup Carol Gilligan, Karyakarya Carol Gilligan, Tokoh yang mempengaruhi pemikiran Carol Gilligan, Pokok-pokok pikiran Carol Gilligan, dan Konsep Etika Kepedulian. BAB IV. HAKIKAT MANUSIA DALAM PANDANGAN CAROL GILLIGAN. Bab ini adalah proses analisis kritis konsep etika kepedulian Carol Gilligan yang diasah menggunakan perspektif Filsafat Manusia untuk mendapatkan
pandangan Gilligan tentang manusia. Peneliti berusaha mengkaji dengan menggunakan meode Hermeneutik filosofis untuk menemukan hakikat manusia dalam pandangan Carol Gilligan. Beberapa pihak yang mengritik konsep etika kepedulian Carol Gilligan akan diuraikan dalam bab ini. Peneliti juga melakukan kritik terhadap konsep yang dimiliki Carol Gilligan untuk mendapatkan sisi kelebihan dan kelemahan konsep Gilligan tersebut. BAB V. RELEVANSI KONSEP ETIKA KEPEDULIAN CAROL GILLIGAN DALAM
PEMAHAMAN
HUBUNGAN
ANTARGENDER
DI
INDONESIA. Peneliti berusaha untuk merelevansikan konsep Carol Gilligan tentang hakikat manusia dalam upaya pemahaman manusia tentang hubungan antargender. Peneliti menganggap penting untuk mengaitkan dua hal ini karena persoalan gender menjadi isu sentral saat ini dan diskursus tentang feminisme juga sangat membumi dalam memahami hubungan antargender. Bab ini diharapkan dapat memberi pencerahan dalam pembangunan bangsa Indonesia agar pelaksanaannya senantiasa berlandaskan pada prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yaitu kepedulian dan keadilan yang netral gender. BAB VI. PENUTUP. Peneliti dalam bab ini menyimpulkan beberapa temuan atas permasalahan yang diajukan dalam rumusan masalah Bab I. Peneliti juga memberikan rekomendasi dalam bagian saran, bagi peluang-peluang dan pentingnya dilakukan penelitian yang sama dalam perspektif yang
berbeda. Penelitian dalam perspektif yang berbeda akan menghasilkan kesimpulan dan pemahaman yang lebih komprehensif.