Ayah, Bunda Jahatkah Cacing di Perutku? Karya : Novi Wiraningrat – Universitas Warmadewa Si Ambu, sepercik cerita. Begitu silaunya sinar mentari yang segera masuk melalui celah-celah jendela, seakan membuka paksa kelopak mataku yang kuyup dan masih sangat sulit untuk dipisahkan. Kicauan burung yang tiada henti, serta hentakan sepatu Ayah dan Bunda yang terdengar kesana-kemari, memaksa badanku yang sangat lemas, untuk segera beranjak dari kediamanku saat ini. Aku sangat ingin memeluk mereka untuk pagi ini, sebelum aku harus berangkat ke sekolah. Pandanganku pun segera mengarah menuju detakan jam dinding yang kini jarumnya tepat berada pada angka 7 dan dengan sehembus napas, jam weker pun berbunyi, itu tandanya 30 menit lagi aku sudah harus terpaku dengan sikap duduk sopan di ruang kelas. “Ambu, Ayah sama Bunda mau berangkat kantor ya, ingat sarapan dulu sebelum berangkat, love you” Ucap Bunda dengan nada lembutnya. Akan kuceritakan terlebih dahulu siapa aku sebenarnya. Namaku Ambu. Kini aku duduk di bangku sekolah dengan pakaian khasku putih biru dan sudah lima belas tahun ku jalani hari-hariku di kota yang banyak orang sebut kota metropolitan ini. Kota ini memang selalu dihiasi dengan orang-orang yang hiruk pikuk, iya seperti orang tuaku. Memang sangat sulit untuk menyempatkan diri menemui mereka untuk sekedar berada pada hangatnya pelukan mereka. Aku adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarga ini. Setiap pagi hanya wangian parfum mereka saja yang bisa kuhirup, tanpa harus bisa sarapan, bersama mereka. Setelah lima menit berlalu dan saat akan beranjak dari tepat tidur, aku merasakan kepalaku begitu berat, badanku terasa lemas dan tiba-tiba perutku terasa mulas.
“Bi- bi Sumi……., Bi, Bi---bi tolong aku bi”, ucapku dengan suara merintih sambil meremas-remas perutku. Segera dengan cepat Bi Sumi menghampiriku, “Kenapa toh den Ambu? Loh badan den Ambu kok panas yah? Den Ambu demam?”, ucap Bibi Sumi dengan nada medoknya yang begitu khas. “Kurang tau nih Bi, ta-ta-tapi, pe…pe--rut ambu benar-benar mulas dan kepala Ambu juga sangat sakit” ucapku dengan nada terputus-putus, hingga meneteskan air mata. “Bibi telponkan taksi dulu ya, biar bibi antar den Ambu ke rumah sakit. Halo taksi? Wes saya minta tolong mas segera meluncur ke Orchid Residence Blok IX no 12 kawasan Jakarta Selatan” ucap Bi Sumi dengan sigap. Menjelang empat menit, taksi pun sampai “Ayo den Ambu, taksiinya sudah sampai, sini bibi bantu, masih kuat den?”, ucap bibi sembari membantuku berjalan. “Masih kok bi, tapi ini perut sakit banget”, ucapku dengan nada yang sok tegar. Sesampainya di rumah sakit terdekat, aku melihat dua orang perawat dan satu orang dokter menghampiriku dan membawakan sebuah bed dengan infus yang menggantung. Sesaat kemudian aku merasakan pusing yang hebat, hingga akhirnya tertidur dan tak tahu entah akan dibawa kemana aku sekarang. “Ayah, Bunda, Bi Sumi dimana kalian? Ambu dimana?”. Sebuah sinar putih terang kembali menyoroti kelopak mata, dan aku pun berusaha membuka mata dan mencari tahu keberadaan sinar tersebut, walau kepalaku masih pusing namun kondisiku sedikit membaik. Disana kulihat ayah, bunda bi Sumi serta seorang dokter. “Ayah, Bunda dan Bi Sumi ada disini sayang, kamu jangan banyak gerak dulu yah, istirahat dulu gih” jawab bunda dengan suara lembutnya. “Iya Bun…. Dokter, dokter, Ambu sakit apa ya?”, tanyaku dengan lugu kepada dokter itu. “Syukurlah Ambu sudah sadar, begini Ambu. Tadi dokter dapatkan banyak cacing pada perut Ambu, mereka berkembang biak disana, tapi syukurlah cacing-cacing itu sudah dikeluarkan”, ucap dokter sembari menaruh termometer pada ketiakku. “Ambu cacingan yah dok? Kok bisa ada cacing dok?”, tanyaku kembali dengan penuh rasa takut dan gelisah, karena itu berarti selama ini Ambu hidup bersama cacing-cacing itu, sungguh mengerikan.
“Iya Ambu, selama ini cacing-cacing itu berada dalam perut Ambu. Untung dek Ambu cepat kemari, sehinnga kami dapat cepat mengeluarkan cacing-cacing itu dan perut Ambu sekarang sudah bersih. Dek Ambu dulu senang jajan sembarang kah atau sering tidak mencucui tangan sebelum makan? Itu bisa jadi penyebab utama kenapa cacing-cacing itu berada dalam perut Ambu.” “Iya dokter, sering jajan sembarang kalau disekolah, soalnya kalau disekolah kan bisa makan bareng temen, bisa ketawa bareng sambil jajan, bisa curhat kalau lagi ada masalah. Nah kalau di rumah…. Kan Ambu Cuma makan sendiri….. Ngga ada yang nemenin, pingin sekali rasanya Ambu makan bersama Ayah dan Bunda” Ucapku dengan mata berkaca-kaca. Ayah dan Bunda pun sesegara menghampiriku, kemudian memelukku dengan erat, aku tak pernah membayangkan hal ini. Tetesan air mata bunda, membasahi punggung bajuku. “Ambu…. Maafkan Ayah dan Bunda ya, selama ini Bunda jarang sekali ada waktu buat kamu”, ucap Bunda sembari mencium pipiku, masih kurasakan tetesan air matanya. “Maafkan Ayah juga ya, Ayah terlalu sibuk dengan urusan Ayah, sampai-sampai Ayah tak ada waktu untuk dengerin masalahmu ataupun untuk kita tertawa bersama, Ayah engga akan ulangi hal ini, Ayah janji nanti kita harus sempatkan waktu untuk selalu makan bersama ya Ambu, Kamu mau kan makan bareng lagi? Makan bareng lagi bersama Ayah dan Bunda”. “Benarkah Ayah, Benarkah Bunda, Benarkah yang kalian katakan? Ambu sudah menantikan hal itu Ayah, Bunda. Ambu sangat senang mendengarnya. Ambu janji………. Ambu engga akan jajan sembarangan lagi. Untuk apa Ambu jajan sembarang lagi, kan nanti bakalan ada Ayah sama Bunda yang nemenin Ambu makan di rumah kan? nanti kita ketawa bareng lagi ya………… Ayah, Bunda”, ucapku dengan tetesan air mata. Semenjak saat itu, aku tidak pernah lagi untuk jajan sembarang di sekolah. Kini setiap pagi selalu kurasakan hangatnya sarapan bersama Ayah dan Bunda. Selalu kuceritakan hal-hal seru disekolah, selalu kuceritakan teman-teman bolaku dan selalu ada kejadian-kejadian lucu disekolah yang bisa kuceritakan bersama mereka dan selalu bisa membuat mereka tertawa. Aku si Ambu, dan aku sangat senang dengan kehidupanku saat ini. Tapi karena si cacing aku makin dekat dengan orang tuaku, selamat tinggal cacing!
HARAPAN Karya : Rixi Gahung – Universitas Sam Ratulangi Harapan lahir dari Mimpi di dalam hutan Frontalis. Harapan lahir dengan ukuran yang begitu besar lebih besar dari ibunya, Mimpi. Mimpi adalah sosok yang sangat terkenal di hutan ini, hingga kelahiran Harapan pun menggemparkan seluruh hutan. Kelahirannya seakan membawa aura positif baru ke seluruh pelosok hutan. Seluruh hutan Frontalis bersukacita karena kelahirannya. Sejak usia belia Mimpi selalu mengajarkannya untuk tetap kuat dan bijaksana dalam hidup ini. “Harapan kamu adalah yang terkuat di hutan ini, jika kamu menjadi lemah, hancurlah seluruh hutan.” Pesan Mimpi. Hutan Frontalis ini di pimpin oleh Logika. Logika adalah sosok yang memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat dan dianggap tepat dalam mengambil keputusan. Logika sendiri kurang senang dengan hadirnya Harapan, menurutnya kehadirannya dengan ukuran begitu besar hanya akan membawa kehancuran di seluruh hutan. Tahun demi tahun berganti, Mimpi dan Harapan terus hidup di dalam hutan dengan saling menyayangi. Diusia yang mulai dewasa, Mimpi kembali berpesan “ Nak, jikalau nanti kau akan menjalani hidup ini sendiri , ingatlah 3 hal : Jangan lupakan dirimu, Jangan takut akan Kesalahan dan Jangan lupakan ibumu.” Dengan tanpa ragu Harapan berkata “ Tentu saja Ibu , mana mungkin aku akan takut akan Kesalahan, dan melupakan engkau” sahutnya. Mendengar hal ini Mimpi tersenyum, meski sedikit kuatir dengan anaknya ini. Harapan layaknya anak remaja memiliki teman bergaul. Setia, Buruk, Dendam mereka bertiga adalah teman – teman Harapan. Keempatnya begitu kompak dan senang mencoba halhal baru. Setia adalah yang paling baik dari keempatnya, Buruk yang paling usil, dan Dendam yang paling pemarah. Suatu hari sepulang sekolah muncul ide dari Dendam untuk pergi ke luar hutan Frontalis mencari Kesalahan yang begitu terkenal namun lama tak terlihat. Mendengar
hal ini Harapan berkata “Aku dilarang Ibuku bertemu dengannya.” Buruk membalas katanya “ ibumu ? memangnya dia akan tau ?” Setia juga berkata “ Aku terserah saja, jika Harapan ikut akupun ikut” Harapan membalas “Memangnya buat apa bertemu dengan Kesalahan, apakah dia memang ada ?” Dendam menjawab “dasar penakut ! tentu saja dia nyata ! jika kau tak mau ikut pergi saja kalau begitu” , dengan hati yang bingung Harapan pun mengiyakan kata mereka dan mengikuti mereka ke luar dari Hutan Frontalis. Keempatnya menelusuri jalan yang begitu panjang, hingga tiba di sungai perbatasan. Sungai ini membatasi Hutan Frontalis dan Hutan Parietalis. Mereka beristirahat sebentar ditepi sungai. Sementara beristirahat tiba-tiba hadir seorang yang tak dikenal, dia berkata “ Hai anakanak” Keempatnya kaget dan ketakutan. Orang ini terlihat begitu tua dan kesakitan. “Siapa kamu ?” tanya Harapan. “Kamu sih Harapan itu ?” tanya dia kembali. “Siapa kamu , yaa dia adalah Harapan” kata Buruk. “Kenapa kamu tahu saya adalah Harapan ?” Harapan kembali bertanya. “Kalian terlalu jauh dari rumah , saran saya kembali sebelum Kesalahan datang menghampiri kalian.” Setia kembali bertanya “kamu siapa ?”. “Saya adalah Pengalaman.” Keempatnya begitu kaget dan terheran-heran. Mereka tak menyangkah akan bertemu dengan dia. Pengalaman kembali berkata “Jika kalian menyebrangi sungai ini tak ada jalan untuk kembali, khususnya buatmu Harapan.” Pengalaman kembali berjalan menyusuri sungai. Buruk kemudian berkata setelah Pengalaman pergi “Aku pernah berjumpa orang seperti itu , dia mengaku Pengalaman tapi ternyata bukan, ayo jangan dengarkan dia” Dengan berani keempatnya menyebrangi sungai. Mimpi yang menunggu sendiri di rumah mulai kuatir. Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore tapi Harapan anaknya belum juga pulang. Mimpi kemudian mengambil jaket dan senter dan berjalan mencari Harapan yang belum juga pulang. Harapan dan ketiga temannya akhirnya tiba di seberang sungai. Mereka berjalan di jalan perasaan di tengah hutan Parietalis. Ditengah hutan Kesalahan pun datang. Jalan Perasaan tibatiba terguncang dengan suara Kesalahan. Keempatnya kemudian lari ketakutan kembali ke sebrang sungai. Mereka kemudian melihat sungai yang tadinya ada pun hilang. Kesalahan yang begitu besar berlari dari belakang mengejar keempatnya. Harapan begitu ketakutan hingga tak menyadari ukuran badannya menjadi kecil. Kesalahan pun mendapati mereka dan menyerap energi mereka. Buruk , Setia dan Dendam hilang seketika di serap Kesalahan. Harapan kemudian bersembunyi di balik pohon. “Dimanakah kau Harapan?” teriak Kesalahan. “Dimanakah engkau dan ibumu itu Si Mimpi? Akan ku serap kalian semua.” Harapan yang
ketakutan tiba-tia mengingat sang Ibu. Dengan sedih dia berkata dalam hati “Andai Ibu disini, Andai saja saya mendengar pesannya.” Kesalahan kemudian mengetahui keberadaan Harapan dan menghancurkan pohon tempat dia berlindung. Harapan berhadapan dengan Kesalahan. Dengan sedikit keberanian dia berkata “Aku tak takut ayoo maju” Kesalahan menertawakan keberaniannya dan berkata “Aku yang besar ini kau kira tak cukup kuat menelan engkau” Harapan kemudian menyadari dirinya menjadi kecil. Ketika takut tubuhnya menjadi lebih kecil. Dia lupa kalau dia tak boleh takut akan Kesalahan. Kesalahan yang begitu kuatpun mengambil ancang-ancang untuk memukul Harapan. Ketika pukulan Kesalahan hampir tiba di wajah Harapan, Mimpipun datang menjadi tameng. Mimpi terlempar akibat pukulan Kesalahan. Harapan terkejut dan menangis “ Ibuuu !” kata Harapan. Dengan hati yang sedih Harapan merangkul Ibunya yang tergusur di tanah. Harapan terus menangis dan memuluk eraterat Mimpi Ibunya. Mimpi berkata “Jangan menangis, memang suatu saat nanti kamu akan bertemu Kesalahan, ini memang takdirmu, Jangan menagis kamu belum kalah menghadapinya, yang terpenting bukanlah kalah melawannya , tapi tetap hidup, ingatlah engkau abadi , Harapan engkau tak akan mati, untuk itu ingatlah terus tentang dirimu.” Harapan terus menagis dan bertanya “Ibu kalau begitu apakah engkau juga abadi?” Mimpi menjawab “Ibu adalah pelengkap dirimu, Ibu mungkin akan mati tapi tetap tinggal dirimu” Tiba-tiba tubuh Mimpi bercahaya bersama dengan Harapan , Harapan menyerap Mimpi ibunya , yang dia peluk eraterat. Harapan menjadi begitu besar lebih besar dari kesalahan dan begitu terang. Kesalahan kemudian tak sanggup menghadapinya dan jatuh ke tanah. Cahaya yang terang kemudian hilang dan Harapan kembali ke bentuk normalnya. Harapan jatuh dan pingsan di tanah. Logika yang mengetahui kejadian ini mengirim anak buahnya untuk membawa pulang Harapan. Harapan yang tak sadarkan diri dibawah ke RS untuk dirawat. Ketika sadar Harapan melihat Logika yang mengawasinya. “Dimana Ibuku ?? Dimana dia ?” tanya Harapan. Logika pun memberinya sepucuk surat pemberian Mimpi. Harapan membaca surat tersebut sambil menagis. Dalam surat Mimpi berkata, “Kepada Harapan, kamu adalah keajaiban yang terbesar yang pernah terjadi dalam hidupku, tak pernah sedetikpun aku lupa mensyukuri akan dirimu Harapan, meski terkadang sulit sekali mengurus engkau, tapi ingatlah Ibu selalu ada buatmu, Ibu hadir agar engkau tetap hidup, karena memang begitu semestinya , Mimpi dan Harapan harus menyatu agar engkau tetap menjadi dirimu sendiri, engkau terkadang akan kalah dengan Kesalahan, Engkau tak akan bisa mengalahkannya , karena dia akan terus ada , begitu juga dengan dirimu. Yang terpenting adalah tetap berani menghadapinya. Terima kasih karena sudah menjadi hal paling luar biasa yang pernah terjadi dalam hidupku, percayalah nantinya
kamu akan menjadi yang paling luar biasa di hutan ini menggantikan Logika. Ohh iyaa kamu juga akan bertemu seorang pendamping , kamu akan melihat ibu dalam dirinya, dia adalah Cita-cita” Harapan kemudian berhenti menangis dan tersenyum, dia berjanji akan membawa kata-kata dan jiwa ibunya dalam diri. Cinta Mimpi adalah cinta rela berkorban , rela menanggung Kesalahan sang anak, bahkan rela mati demi sang anak ,Harapan.
Aku Ingin Punya Keluarga Cemara, Ma! Karya : Hasna Nur dan Fidya Ainun Tikha – Universitas Muhammadiyah Malang Keheningan mengawal lamunanku menuju tidur yang kuharapkan tidak akan terputus oleh suara sentakan di pertengahan malam. Ya, aku adalah wanita karir, aku butuh istirahat untuk besok memulai kegiatan yang menjauhkan ku dari kewajiban seorang wanita, ibu, dan istri. Tiga kata yang berujuk ke jenis yang sama dengan beban yang berbeda. Aku nomor sekiankan status itu untuk mengejar karir ku, karir begitu berharga bagiku. Kerja dan menghasilkan uang adalah hal yang menyenangkan, mendapatkan uang yang berlimpah dan berkutat pada deadline adalah kesukaanku. Sebaiknya aku pekenalkan dahulu tentang aku dan keluargaku. Namaku adalah Hana, seorang wanita, ibu dan istri, aku paling senang disebut wanita karir. Sebenarnya karir apa yang kubangga-banggakan ini, aku seorang dokter spesialis anak, ada tiga rumah sakit yang kupegang setiap hari nya, mungkin aku lebih cocok di sebut wanita pekerja, tapi menurutku itu kurang elegan jadi kusebut diriku wanita karir. Suami ku adalah seorang pegawai negeri sipil di pemerintahan kota, ia sama sibuk nya seperti aku. Kami dikaruniai 2 orang anak. Mereka memiliki aktifitas layaknya anak sekolah pada umumnya, namun sepulang sekolah mereka memiliki tambahan belajar yaitu les di sebuah lembaga bimbingan belajar dan mereka mengikuti kursus private bahasa inggris. Semua kegiatan ini cukup membuat kami sekeluarga tidak bisa mempraktekkan fungsi keluarga seutuhnya. Aku sadar banyak momen penting yang kulewatkan, dan aku tidak menyesal. Dibenakku akan kulatih anak ku menjadi kuat, di kecewakan banyak orang tidak menangis, berjuang sendiri tidak bersedih, dan menentukan pilihan dengan percaya diri. Kami berkomunikasi seperlunya, bertukar pikiran sesempatnya, tidak ada cerita keluh kesah
pelajaran di sekolah, tidak ada aduan tentang teman sekolah yang nakal, kupikir mereka sudah bisa mengatasinya sendiri, dan ya kupikir aku berhasil mendidik mereka. Handphoneku berdering kring kring kring. Kulihat nama Jhon disana. “Hallo Ma, mama sudah mau berangkat kerja? hari Sabtu besok ada acara wisudaku ma, wali murid di undang semua ke sekolah, surat undangannya aku taruh di meja biasanya, tapi sepertinya mama belum baca, apa mama bisa datang?” kata Jhon lirih. “iya dek mama datang kalau gak ada cito ya.” jawabku “Hmmm iya ma” Putra pertama ku tiba-tiba menelepon meminta aku datang ke acara wisuda SMA nya. Aku tidak serius mengatakan iya, pada akhirnya aku tidak datang, ayahnya pun tidak. Mungkin orang lain mengatakan aku jahat atau apalah, tapi apakah lebih jahat jika aku tidak bekerja dan tidak bisa memenuhi kebutuhan anak-anakku. Segala pembelaan dipikiranku ku muncul untuk tetap pada pendirian wanita karir ku dengan karier nomor satu. Sampai kutemukan surat untuk ku dari putraku di meja biasanya. Ya memang kami sering bertukar surat via meja. Teruntuk mama dan papa Ma, pa sebuah kewajiban bagiku memberikan hasil yang baik dalam pembelajaranku di sekolah selama tiga tahun ini. Ma, pa tadi pagi aku resmi lulus dari SMA, aku wisuda dan disana banyak teman ku dan orang tuanya, sedangkan orang tua ku tidak ada. Itu bukan masalah ma, pa, karena memang aku di didik seperti itu bukan? Ma, pa aku mendapatkan nilai UN paling tinggi, dan aku lulusan terbaik, ini semua hasil belajarku dan ini untuk membuat mama papa bahagia, tapi aku bingung bagaimana agar mama papa tahu tentang ini padahal kita tidak selalu bertemu. Terima kasih mama dan papa sudah memberikn aku kesempatan bersekolah di tempat yang sangat bagus, banyak ilmu yang aku dapat dan sangat lengkap, namun ada satu yang tidak bisa kupahami, ilmu tentang keluarga sangat sulit menurutku, mereka bilang keluarga tempat mencurahkan segalanya, mereka bilang keluarga adalah tempat pembelajaran utama dan pertama, jika memang seperti itu, aku tidak bisa memahaminya ma, pa. Dan di akhir surat ini, mama pernah mengatakan agar aku menentukan pilihan dengan percaya diri dan sendiri, ma aku memilih untuk tidak melanjutkan kuliah. Aku tidak meminta
pendapat mama dan papa, bukankah sikap ini yang diinginkan mama dan papa? Cukup selalu doakan aku dalam setiap langkahku, dan terima kasih mama dan papa. Surat yang lebih panjang dari biasanya. Tidak terlalu membuatku tersentuh. Yang paling aku soroti adalah ketika dia mengatakan tidak meneruskan ke perguruan tinggi. Apa kata orang jika tahu putraku tidak kuliah. Kemudian, balasanku. Ikuti saja alurnya, tetap lanjutkan kuliah, dan jangan pikirkan apa itu ilmu keluarga, mama juga tidak tahu. Sekarang pikirkan saja cara untuk masuk universitas terbaik. Mama dan papa selalu mendukungmu. Sejenak aku teringat kepada putri kecilku, Gill yang tadi pagi buta membangunkanku dari tidur dan menanyakan PR sekolah tentang silsilah keluarga. Kali ini tidur malamku benarbenar penuh lamunan dan sejenak hening merenungkan keadaan yang terjadi. “Ma, bangun” “Hmmm” kataku sambil membuka mata “Ma, sebelumnya Gill minta maaf bangunkan mama sepagi ini. Aku pengen tanya sesuatu buat tugas sekolahku” “Iya, Apa dek?” “Ma, tolong jelaskan aku tentang silsilah keluarga kita ma” Lalu, aku menjelaskan silsilah keluarga dengan seadanya dan singkat. Tiba-tiba Gill berceletuk “Aku pengen punya keluarga cemara, ma” “Cemara apa? Pohon cemara itu kah?” pungkasku “Bukan ma, Keluarga yang saling melengkapi dan selalu ada satu sama lain. Seperti kata cerita temanku, mereka selalu menyisihkan waktu untuk keluarga walaupun sekedar menonton TV bersama, makan bersama dan bercanda bersama. Sehingga hidup ini terasa sejuk ma seperti pohon cemara yang selalu menyejukkan orang di sekitarnya.” Sontak aku hanya memandangi wajah gill dan memeluknya, betapa dingin badannya dan ku belai rambut keritingnya sembari berkata
“Iya, sekarang kerjakan PR nya yang baik biar jadi keluarga cemara, setelah itu bergegas mandi, sarapan dan berangkat sekolah ya sayang” bujukku. Malam semakin larut, namun bayangan-bayangan tentang keluarga masih semrawut di atas kepalaku seperti kicauan burung yang berputar-putar tanpa arah semakin membuat berat kepalaku memikirkan ini. Aku melihat wajah suamiku seperti menyiratkan kata “Tidak ada kata terlambat, kita menciptakan keluarga ini, kita yang membuatnya, kita yang harus melaluinya, kita pula yang harus bertanggung jawab atas ini semua” Sembari aku tersenyum memandanginya dengan penuh kepercayaan bahwa esok pasti akan lebih baik. Aku sadar bahwa keluarga adalah segalanya dan tempat pertama menjadi curahan hati, pelampiasan perasaan dan edukasi terbaik untuk anggota keluarganya. Menjalankan fungsi keluarga dengan mencapai goals merupakan cita – cita ku saat ini. Mulai sekarang aku akan belajar, belajar menjadi istri, ibu untuk anak-anakku dan dokter untuk pasienku.
Keluargaku Bahagiaku Karya : Ni Made Pramita Widya Suksmarini - Universitas Udayana
Cahaya lampu yang menyorot, barisan penonton yang bersiap dengan kamera, dan tepuk tangan meriah dari mereka adalah hal yang biasa aku jumpai. “Wah, kamu cantik banget lenggak-lenggok di panggung, Alika,” ucap seseorang yang menemuiku di belakang panggung. “Terimakasih banyak,” jawabku seraya memberikan senyuman kepadanya. Ya, inilah aku, gadis 19 tahun yang bernama Alika. Remaja yang cukup beruntung karena bisa tampil di depan banyak orang tanpa rasa malu. Tidak banyak yang tahu kalau masa laluku tak seindah seperti keadaanku saat ini.
Aku adalah seorang anak gadis yang lahir di keluarga sederhana. Penghasilan ayahku sebagai penggarap sawah tetangga terasa cukup, walaupun ia adalah tulang punggung satusatunya di keluargaku. Hidup di desa yang jauh dari hingar bingar kota adalah kebahagiaan tersendiri bagi keluargaku.
Namun, semuanya berubah ketika aku berumur 2 tahun. Di saat teman-teman seusiaku sudah bisa berjalan tanpa dibantu orang tua mereka, untuk berdiri saja tubuhku tak sanggup. Kecemasan ibuku akan perkembangan putri sulungnya, mendorong ayah dan ibu untuk memeriksakan keadaanku ke rumah sakit terbesar di desaku. Cobaan hidup dari Yang Maha Kuasa memang tidak bisa kita tunda. Dokter menyatakan bahwa aku mengalami gangguan saraf yang mengharuskan dilakukannya terapi di kota. Awalnya orang tuaku ragu untuk membawaku terapi. Sebab mahalnya biaya berobat di kota, ditambah kala itu sedang terjadi krisis moneter.
Dengan perhitungan yang matang-matang, akhirnya ayah dan ibu memberanikan diri untuk membawaku ke kota. Kesehatan itu mahal. Terapi 3 kali sebulan selama 4 bulan memakan biaya 5 juta rupiah, setara gaji ayahku selama 1 tahun. Dengan segera ayahku menuju bank terdekat untuk meminjam uang demi melunasi biaya pengobatanku. Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Ketika menunggu antrian di bank, ayahku bertemu seorang pria yang berpakaian rapi. Sambil menunggu antrian, orang itu menyapa ayah dengan ramah dan perbincangan antara keduanya pun berlangsung. Pria itu adalah designer pakaian yang terkenal sedunia. Mendengar cerita ayah tentang tujuannya ke bank untuk meminjam uang mengetuk hati kecil pria itu. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya diberikan kepada pria itu oleh ayah dan ibuku. Biaya pengobatan yang mencekik leher ayahku, telah dibayar lunas oleh pria yang dermawan itu. Bahkan dia bersedia untuk membiayai perawatanku sampai sembuh total demi mengurangi beban orangtuaku.
Dengan penuh kesabaran dan kepercayaan yang tinggi, ayah dan ibu merawat dan memberikan nutrisi yang sangat diperlukan untuk kesembuhanku. Setiap harinya aku diberikan makanan empat sehat lima sempurna yang lengkap dengan susu tinggi kalsium dan suplemen untuk tulang. Kasih sayang orang tuaku berbuah hasil. Di umur 3 tahun aku sudah bisa berjalan sendiri bahkan mulai bisa berlari. Ketika ulang tahunku yang ke empat, rumahku kedatangan tamu tak terduga. Pria yang telah membantu pengobatanku dulu, datang memberikan hadiah di hari spesialku. Dia juga menawarkanku untuk menjadi model untuk karyanya dalam festival. Sejak saat itulah aku belajar untuk menjadi orang yang percaya diri dan tampil di depan khalayak tanpa rasa malu. Ayah dan ibu selalu memotivasi dan mendukungku. Mereka juga tak pernah lupa untuk mengingatkan akan kesehatanku. Tak ada yang lebih berharga dari senyuman mereka. Akan ku balas pengorbanan ayah dan ibu dengan membahagiakan mereka di hari tuanya. Sungguh besar pengaruh keluargaku dalam kehidupanku. Generasi yang sukses berawal dari keluarga yang bahagia dan saling mendukung.
Mimpi Buruk Aku menyesal, Dave… Karya : Hafmi Ersya – Universitas Muhammadiyah Malang
“Dave!!! Turun dari kamarmu!!!” “Aku sedang sibuk, Mom.” Terdengar teriakan yang tak kalah nyaring dari lantai 2. “Pihak sekolah baru saja menelponku, Dia melaporkan perbuatanmu. Sekarang juga turun dari kamarmu atau kusita semua gadget!!” Ibu Dave membalas dengan nada mengancam. “BYAARR”, Suara pintu yang dibanting cukup menggetarkan dinding rumah sampai ke lantai bawah, diikuti dengusan kesal Dave yang dengan malas menuruni anak tangga sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dave, remaja tanggung 16 tahun dengan kecerdasan luar biasa yang diwarisi dari kedua orang tuanya. Wajahnya pun tak bisa disebut sebagai tampang pas-pasan. Wajar bila banyak gadis di SMA-nya begitu tergila-gila pada Dave. “Kau membuatku malu, Dave, Kenapa kau—.” “Aku tak merayunya, Mom, gadis gila itu yang mencoba mendekatiku.” Potong Dave. Ibu Dave menggeleng tak percaya. Pekerjaan di kantor tempatnya bekerja cukup menguras tenaga dan pikirannya hari ini, ditambah lagi ulah Dave—anak lelaki semata wayangnya—yang sempurna membuat kepalanya serasa ingin meledak. Ia merebahkan diri ke sofa seraya mencoba menenangkan pikiran. Memejamkan mata sejenak dan membukanya secara paksa. Berharap ini hanyalah mimpi buruk. Namun kenyataan ini cukup kuat menghujam ulu hati, perih. Sudah sejak lama ia mengkhawatirkan hal ini, namun setiap kali ia berusaha membujuk dirinya untuk mengatakan hal yang sebenarnya ia alami pada Dave, ia takut anaknya membenci dirinya. Ia takut menerima kenyataan bahwa Dave juga menderita sama dengan yang ia derita. Namun malam ini, semuanya harus usai.
Dave masih berdiri mematung dengan muka tertekuk di hadapan ibunya yang terlihat sangat kurus dan kulit pucat. Wanita itu mendongak pada Dave dan mencoba melunakkan emosinya. Memikir ulang segala ucapan yang akan ia katakan. Ini sudah terjadi, dan Ia harus segera mengakuinya. Menarik napas dalam berkali-kali dan menahan air matanya yang mulai terbendung di sudut mata. “Dave, apakah kau marah pada Dad?” tanya wanita itu dengan berusaha tegar. Suara nya bergema di setiap sudut rumah yang cukup besar dan mewah untuk ditinggali oleh 2 orang. Dave melirik ibunya, ia semakin dapat melihat dengan jelas tulang pipi ibunya yang sangat menonjol. Tapi ia benci ibunya menyebut kata “Dad”. Ia memalingkan muka sebagai tanda bahwa ia sudah muak membahas segala hal tentang Dad. Tanpa menjawab sepatah kata pun pertanyaan ibunya. Ibu Dave memahami perasaan anaknya dan menarik napas dalam (lagi). “Tak apa. Tak apa kalau kau tidak menjawab pertanyaanku. Tapi perlu kau ketahui, Dave, Aku amat sangat menyesal atas kejadian itu. Sungguh aku tak pernah mengira akan seperti ini dampak yang aku alami. Sungguh—.” Ia tak sanggup lagi menahan air matanya. Tangisnya memotong kalimatkalimat yang membuatnya sakit. Sembari menangis sesenggukan ia tetap berusaha melanjutkan kalimatnya. “Aku telah berusaha mati-matian menyelamatkan masa depanku setelah ayahmu pergi meninggalkanku dengan janin laki-laki di rahimku—yaitu, Kau, Dave. Ia memaksaku untuk menggugurkan kandunganku namun aku menolaknya. Aku memutuskan berhenti sekolah karena malu sedangkan orangtuaku begitu murka dan mengusirku dari rumah. Aku mengungsi di rumah kerabat sampai kau lahir dan berusia 3 tahun. Selama itu aku berjuang kesana kemari mencari pekerjaan demi sesuap nasi.” Dave merasa iba dengan kata-kata ibunya. “Aku berhasil mendapatkan pekerjaan itu, Dave. Kau bisa merasakan sekolah dan kehidupan normal layaknya teman-temanmu. Bahkan kau terlalu pintar dan tampan. Namun aku sadar aku mengulangi kesalahan yang sama. Kau tak membutuhkan barang-barang mahal itu. Kau tak pernah mendapatkan kasih sayang yang utuh dari orang tuamu. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku. Maafkan aku—.” “Sudahlah, Mom. Aku juga mengerti perasaanmu.” Dave mendekap bahu ibunya. Ibu Dave mengusap air matanya. Menatap Dave dengan wajah penuh penyesalan, takut, dan sedikit lega. Sekarang waktunya untuk memberi tahu Dave sesuatu yang lebih krusial. Mengenai dirinya dan juga Dave.
“Dave, Mom ingin memberi tahumu tentang sesuatu. Tentang berat badanku yang terus menurun, nafsu makan yang terus berkurang, dan tubuhku yang semakin melemah dan sakitsakitan. Sebenarnya—.” Menarik napas lebih dalam. “Sebenarnya, aku menderita HIV/AIDS yang ditularkan oleh ayahmu, Dave. Dan kemungkinan besar, kau, kau—.” “Aku juga mengidapnya, Mom, sudah kuketahui sejak dulu. Aku memang terlalu pintar untuk memahami pembicaraan yang kau lakukan dengan temanmu di ujung telepon saat aku masih berusia 7 tahun.” Wanita itu terperangah tak percaya menatap Dave. “Dan aku dengan sengaja memanfaatkan gadis bodoh yang berusaha mendekatiku. Aku hanya ingin balas dendam atas kelakuan yang pernah Dad lakukan padamu, Mom. Karena aku tahu, gadis itu adalah anak perempuan Dad dengan wanitanya yang lain.” Dave menutup kalimatnya yang dingin sambil berdiri unuk bersiap pergi. Dave melangkahkan kaki keluar rumah dan meninggalkan ibunya yang diam mematung dengan pandangan kosong. Tanpa mencoba untuk bangun dari mimpi buruknya.
MOVE ON, dong……. Karya :Yustin Marinta – Universitas Hasanuddin Setelah pukul 7 pagi aku bergegas, seperti biasa aku berjalan menyusuri kamar pasien dengan membawa status dan stetoskop ditanganku, ini hari ketiga aku ngak pulang. Sahur dan buka puasa pun benar-benar miris. Belum lagi jadwal ujian yang benar-benar udah dekat. Gak kebayang harus puasa sambil jaga itu kayak nonton The Conjuring sendirian di bioskop. Benerbener horror deh pokoknya. Tapi disyukurin aja banyak yang kepengen bisa di posisi kayak aku sekarang tapi mereka belum bisa. Tak terasa ini tahun terakhir kami di dunia per’koas’an yang katanya ‘huta rimba’ ini. “Reyy”. tiba-tiba seseorang memanggilku. Aku berbalik dan yah dia Erin, cewek yang pernah 4 tahun menjalin hubungan pacaran denganku, kini terlihat sedang berjalan ke arahku. Matanya berbinar dan senyum sumringahnya semakin membuat proses move on yang kujalani kini harus kumulai dari awal lagi. Dia sudah dipacari seorang dokter Residen bulan lalu. Sedih banget yah, kita putus tanggal 24 februari, waktu itu dia bilang udah bosan dengan hubungan kami, kebayangkan sakitnya dibilangin bosan padahal lagi pas serius-seriusnya. Lambat laun, aku tau dia udah deket sama seorang dokter. Yah apalah daya koas ini. “hai rin, ngapain lu disini?” balasku sambil menutupi kenangan indah 4 tahun kami. “iya nih, aku ada tugas dinas deket sini, eh apa kabar lu?” “oh gitu, baik kok” “gimana koasnya?” “yah gitu deh….” “…..” Sorenya aku pulang, Sesampai di rumah, aku langsung mengucap salam dan langsung menyalami tangan papa dan mama, kelihatan banget bahagianya apalagi mama langsung nyuruh mandi dan siap-siap katanya mau buka puasa di rumah tante Arni, katanya keluarga besarnya mama mau buka puasa bersama hari ini.
15 menit kemudian aku udah siap, adekku aja sampai ngejekin. “kak, itu mandi atau ngunyah permen?” “permen karet dek, ngak manis kalau di lama-lamain” “ngak usah baper kak, move on gih” “laper bukan baper dek”. Adikku juga
salah satu tempat curhat paling ampuh untuk semua masalah deh
pokoknya, mulai dari masalah temen, mantan, pelajaran, ujian, sampai dia bisa dijadiin pasien bayaran untuk latihan osce dulu. Pokoknya bestlah kalau urusan curhat ke dia. Cuman dia biasa juga curhat ke mama. Jadi secara tidak langsung curhatanku sampai ke telinga mama. Dan jeng jeng jeng mama tahu semuanya. Udah kayak ember bocor aja nih anak sama mamanya. “tetap jadi anak mama yang keren dan gentle yah, harus tegas dan gak boleh putus asa” ini yang kudengar dari seorang perempuan yang tiap hari menelpon dan mengirimiku pesan saat aku jauh dari rumah, sahabat sekaligus mamaku ini adalah wanita yang paling kukagumi. Setelah beberapa saat kami berempat berangkat ke rumah tante Arni yang jaraknya cukup dekat dari rumah, sekitar 10 menit kami sudah sampai. Kami disambut hangat di rumah itu, keakraban yang tidak bisa didapatkan jika berbicara soal keluarga papa. Bukan bermaksud membandingkan, tapi yah emang gitu kok kenyataannya, opa dan oma dari papa udah cerai, di usia mereka yang sudah tua mereka hidup terpisah, kami juga tak jarang mendengar konflik antara adik dan kakak papa yang cuman bisa ngeributin tanah dan tokoh milik keluarga papa. Untunglah, papa tidak mau terlibat dengan urusan seperti itu. Baginya, gaji sebagai pegawai pajak sudah cukup, ia tidak mau membebani pikirannya. Udah 1 tahun sih sebenarnya kita gak ketemu opa sama oma, “kayaknya mereka udah gak terlalu peduli soal cucunya” pikirku. Pukul 9 malam kami sekeluarga pulang ke rumah, aku langsung masuk kamar dan berbaring sambil ngecek tugas dan main hp, yah cek-cek path dan lihatin line, siapa tau ada yang penting kan, eh tiba-tiba papa masuk bawak bantal dan selimutnya. “diusir istri yah pa?” “gak, mau awasin kamu supaya belajar dan gak ketiduran” “aku gak ujian kok besok” “oma katanya sakit, kamu bisa jengukin kan besok?” “ha?oma sakit apa?” “katanya kemarin jatuh di tangga” “rumah sakit mana pa” “RS X” dan kebetulan ternyata itu RS tempat aku jaga Keesokan harinya aku bergegas terlebih dahulu mengunjungi oma di kamarnya, keadaannya sudah lumayan membaik, aku menyakan kabarnya lalu ia menjawabku pelan dan singkat “sudah mendingan”, aku tak mengobrol lama bersama oma karena jawaban yang ia berikan seolah dingin kepadaku, aku tak membebani pikiranku sebagaimana yang ayah lakukan
sejak dulu, yang jelasnya kami tetap peduli pada oma. Si Inem, tukang masak di rumah oma yang menemani oma di RS berbisik padaku bahwa oma sudah sering sakit-sakitan sejak konflik anak-anaknya. Jelas aku sudah tidak terlalu tau kabar dari saudara-saudara papa yang seolah sudah hilang kontak dengan kami. Sesekali bertemu mungkin dikesempatan yang tidak disengaja, dan aku juga sudah mulai lupa dengan masalah-masalah keluarga papa. Beberapa hari berlalu, esok oma akan keluar dari RS, kutanyakan pada Inem tentang opa, lalu Inem menjawabnya dengan pesimis “tuan tidak akan datang, katanya sibuk”. Yahhhhh Sedingin pagi ini, kumulai lagi cerita hidupku dengan seluruh rutinitas dan puasa yang kujalani. Hari kemenangan sudah dekat, aku tak sabar ingin kembali ke rumah. “Serumit biokimia” pikirku tentang masalah keluarga kami. Tapi menurutku kebahagiaan kecil keluarga kami sudah lebih dari cukup untuk menjadi tempat yang selalu kurindukan untuk pulang. Kisah cinta bersama Erin cukuplah kujadikan pengalaman pahitku, aku sudah siap berpetualang lagi, karena akan selalu ada tempat di hati mama papa dan adikku yang akan menerima segala keadaanku. Ini cinta sejati yang sebenarnya kurasakan, cinta dari keluarga yang selalu mendukungku. Beberapa bulan berlalu, kami akan melaksanakan ujian akhir. Persiapan pasti, tapi masih berasa bodoh aja di banding teman-teman yang lain. Habis ujian, tiba-tiba pengen nonton film horror yang katanya lagi jadi tending topic minggu ini. Sendirian nonton udah jadi budaya pribadi kalau adikku gak mau nonton. Saat berjalan dari lobby bioskop tiba-tiba aku berpapasan dengan Erin dan tunangannya. Dan ternyata tunangannya adalah seorang yang kukenal. Jantungku berdetak lebih cepat dari normalnya, bukan detakan seperti 24 Februari lalu, tapi aku kaget bukan main. Selama ini aku tidak mencari tau siapa sosok yang merebut Erin dari genggamanku, aku hanya masa bodoh dan terfokus pada sakit hatiku. Ternyata tunangannya adalah adik dari istri om ku sendiri, aku pikir mungkin tak akan pernah lepas dari masalah keluarga papa, sekarang Erin, besok apalagi yah yang diambil. “hu move on dong, plis” bisikku untuk memungut serpihan hatiku lagi malam itu.
PEJAMKAN MATA!! Karya : Eli Ezer Simangunsong – Universitas Pattimura “Apa yang kau pikirkan dari kalimat ‘memejamkan mata’?” Tanya Ibuku “Tidur?” “Yang lain?” “Berdoa?” “Ya..” Jawab Ibuku sambil tersenyum, “Lakukan itu saat hati, pikiran, dan perasaanmu tidak dapat menanggulangi setiap persoalan yang ada!..” Lanjut Ibuku lagi sambil menunjuk dadaku, kepala, dan setelah itu mengecup pipiku.
Aku,. aku terlahir dari seorang Ibu yang luar biasa. Pagi hari Ibuku bekerja sebagai tukang cuci, siang sebagai tukang parkir, malam sebagai petugas kebersihan. Setiap hari Ibu melakukan rutinitas ini tanpa mengeluh dan menggerutu. Setengah lima pagi beliau bangun tidur, mengucap syukur adalah tindakan selanjutnya yang menandakan Ibu tidak pernah lupa kepada sang pemberi nafas kehidupan. Mempersiapkan makan minum adalah aktifitas selanjutnya sembari membangunkanku dari tidur panjang yang terkadang tidak kenal waktu untuk bangun. Ibu.. Ibu selalu mengantar ku berangkat ke sekolah sewaktu aku masih berada di bangku sekolah dasar, ‘sekalian pergi ke tempat menyuci’ itu alasannya. Menginjak SMP, sempat ku katakan untuk tidak mengantarkanku ke sekolah lagi, karena sudah dewasa ujarku. Dengan senyuman khasnya, Ibu menjawab “Baiklah.. Hati-hati ya kalau di jalan!!.” Teman-teman SMP ku sering mengejekku dengan sebutan “Anak Tukang Parkir”. Sebab sepulang nyuci, Ibuku selalu memainkan perannya sebagai ‘Tukang Parkir’ di pasar dekat
sekolahku. Ibuku tidak pernah malu menyembunyikan identitasnya. Beliau selalu menanyakan bagaimana keadaanku di sekolah sembari menyapa teman-temanku. Dari lubuk hati yang paling dalam, aku sempat malu memilikinya. Aku pikir alasanku cukup manusiawi. Anak mana yang tidak malu melihat Ibunya bekerja sebagai tukang parkir?. Tapi aku tidak pernah menyampaikannya secara langsung. Selain tidak ingin menyakiti hati Ibuku, aku juga berpikir kalau beliau memainkan peran ini untuk alasan ekonomi. Aku tidak pernah memiliki seorang Ibu yang mengajak anaknya bermain dan mengajari anaknya mengerjakan tugas-tugasnya. Aku terlatih mengerjakannya sendiri. Sempat aku mengajak Ibuku untuk bermain, akan tetapi saat aku mengajaknya, Ibu harus merelakan jam kerja tugas kebersihan kota. Untuk menanyakan tugas-tugas sekolah, Ibuku selalu tidak mempunyai waktu yang tepat. Karena Ibuku selalu pulang larut malam dari pekerjaannya sebagai petugas kebersihan, sedangkan aku sudah duluan terlarut dalam mimpi-mimpiku. Ibuku tidak pernah memarahiku sewaktu nilai-nilai sekolahku jelek, malah memotivasi agar terus berusaha untuk mendapatkan nilai terbaik. Sempat aku terlena dengan keadaan “pembiaran nilai”, menurutku. Namun, suatu kali Aku mengintipnya menangis, menangis mendoakanku. Waktu itu pembagian hasil ujian dan nilai ujianku sangatlah jelek. Saat dia melihat hasilnya, dia tersenyum sambil berkata, “Jangan pernah berhenti berusaha ya..”. Malamnya, aku terbangun dari tidur karena ingin ke kamar mandi, aku mendengarnya menangis dan mendoakanku. Mendoakan sekolahku dan segala aktifitasku. Detik itu, aku bertekad untuk selalu berprestasi. Saat ini aku sungguh bangga padanya, bangga akan semua yang telah Ibuku lakukan. Walaupun Ibuku tukang cuci, beliau telah menjadi tukang cuci yang terbaik. Setiap rumah tempat Ibuku bekerja, tak ada satupun yang meninggalkan kesan negatif. Banyak yang mengatakan, kalau hasil kerja Ibuku sangatlah baik. Sebab selain menjadi tukang cuci, Ibuku selalu memperhatikan kebersihan rumah tempat Ibuku bekerja. Pernah suatu kali di lingkungan kami banyak yang terkena demam berdarah. Melihat kejadian ini Ibuku mengumpulkan semua Ibu-Ibu untuk membersihkan lingkungan, menaburkan bubuk abate di setiap penampungan air dan memberantas jentik-jentik nyamuk. Bukan itu saja, di tempat Ibuku bekerja sebagai tukang cuci, Ia juga menutup setiap genangan-genangan air dan
mengubur barang-barang bekas. Walau terkadang itu bukan pekerjaannya. Oleh sebab itu, banyak tetanggaku yang bangga memiliki seorang pecinta lingkungan seperti beliau. Ibuku juga berhasil menjadi tukang parkir terbaik. Walaupun seorang wanita, beliau tidak pernah malu menjalani pekerjaannya. Banyak yang mengatakan, selain sebagai tukang parkir, Ibuku juga sebagai pengingat, pengingat orang-orang yang memarkirkan kendaraannya untuk tidak membuang sampah sembarangan. Sewaktu diperingati, ada yang langsung sadar dan membuang sampahnya. Ada juga yang sudah diperingati tapi tidak sadar akan kesalahannya, sehingga Ibuku yang membuang sampahnya. Ibuku juga kreatif, sepulang kerja sebagai petugas kebersihan, dia membawa sekarung, bahkan lebih, gelas-gelas minuman bekas dan plastik-plastik yang masih bisa terpakai. Dia mendaur ulang menjadi barang yang berguna dan terkadang menjualnya. Sehingga bisa dikatakan Ibuku telah menjadi petugas kebersihan terbaik. Ibuku itu pembersih. Dia tidak pernah membiarkan tubuhnya dalam keadaan kotor lalu mencicipi makanan. Bahkan untuk berinteraksi denganku pun, kalau Ibuku masih dalam keadaan kotor, dia harus mandi terlebih dahulu lalu berbicara kepadaku. Kalau aku diberi kesempatan sekali lagi untuk meminta maaf, maka aku akan melakukannya. Sebab aku belum bisa membahagiakannya dengan maksimal. Aku ingin mengatakan, “Maaf Ibu, kalau aku sempat malu diantar oleh Ibu ke sekolah. Maaf kalau aku pernah malu memiliki seorang Ibu yang bekerja sebagai tukang parkir. Ibu tahu.. saat itu, teman-teman sekolahku mengatakan, kalau Ibu selalu mengajar mereka untuk tidak buang sampah sembarangan saat mereka berpapasan dengan Ibu. Kadang mereka acuh tak acuh, tapi lama kelamaan saat melihat Ibu dengan tekun membuang sampah yang mereka buang, akhirnya mereka mengikuti jejak Ibu. Jejak itu berlanjut ke sekolah kami, hingga sekolah kami dinobatkan sebagai sekolah terbersih. Saat itu aku mulai bangga diejek ‘Anak Tukang Parkir’ Bu. Aku juga ingin berterima kasih Bu, Walau Ibu tidak pernah mengajariku mengerjakan tugastugas sekolah. Tapi Ibu selalu mengajarkan hal-hal yang lebih berguna. Ibu mengajariku untuk tidak membuang sampah sembarangan, bahkan sampah kecil sekalipun. Ibu juga selalu mengingatkanku untuk menyuci tangan sebelum memasukkan makanan ke dalam mulutku. Aku ingat suatu kali, saat aku sangat lapar, dan dengan gegabahnya memasukkan makanan tanpa cuci tangan. Besoknya aku mengalami diare dan dengan tepat Ibu berkata kalau aku
belum menyuci tangan sebelum makan. Dengan sabar Ibu menasehatiku untuk tidak mengulanginya. Satu yang lebih penting adalah, Ibu selalu mengingatkan kalau aku harus memperhatikan lingkungan dan orang-orang di sekitarku . Tidak boleh pilih salah satu, karena keduanya adalah berkaitan. Terima kasih Bu.. dari usaha dan kerja keras Ibu, aku bisa kuliah, kerja, dan bisa sampai menerima penghargaan lingkungan ini Bu. Penghargaan ini aku dedikasikan buat Ibu. Walaupun sudah tiga tahun kita pisah, tapi semua pelajaran hidup yang Ibu berikan tetap bermanfaat, bukan hanya untuk aku, tapi untuk orang banyak. Terima kasih juga buat perkataan yang Ibu ucapkan sebelum menghembuskan nafas. Saat itu Ibu menanyaiku arti ‘Memejamkan Mata’, dan dengan senyuman khas Ibu, Ibu menjawabnya. Aku akan selalu memejamkan mata disaat ada persoalan-persoalan yang tidak bisa aku selesaikan Bu. Titip salam buat Ayah, aku beruntung memiliki kalian berdua.
Terminasi Karya : Fitra Ananta T. – Universitas Muhammadiyah Malang
Libur kuliah panjang telah tiba. Ketimbang menjelajah kesana kemari, aku lebih memilih menghabiskkan waktuku di kampung halaman. Maklum anak perantauan, sudah sering menikmati indahnya alam kota orang di sela kuliah, sekarang saatnya family time. Sekarang jam 10 pagi, hanya aku yang berada di rumah. Ayah dan ibu di kantor dan adikku, Anto, di sekolah. Aku memainkan PS4 milik adikku untuk menghilangkan jenuh. Tanganku bergantian antara memainkan tombol-tombol stick dengan memobilisasi rokok yang menyala dari asbak ke mulutku, menghisapnya dalam-dalam, menghembuskan asap putih samarnya, mengetuk-ngetuk batangan itu ke asbak untuk menjatuhkan abunya dan meletakkannya kembali ke asbak, kemudian kembali fokus ke game. Sebenarnya, sebagai seorang mahasiswa kesehatan, aku paham sekali dampak buruk dari rokok ini. Hanya saja adiksi yang terkandung di dalamnya membuatku sulit berhenti. Kalau mengingat-ingat kapan pertama kali aku merokok, hal itu sungguh membuatku menyesal. Tiba-tiba di sela lamunanku, terdengar pintu depan terbuka. Ternyata Anto yang datang, cepat sekali. Biasanya anak SMP seperti dia pulangnya di atas jam 12 siang. “Cepat banget pulang, To? Bolos ya?” tanyaku. “Enggaklah kak, guru-guru pada rapat. Jadi pulang cepat,” jawabnya. “Oalah, ayo sini main PS,” ajakku. Tanpa ke kamar terlebih dahulu untuk berganti pakaian, Anto langsung duduk di sampingku seraya menggeletakkan tasnya. Setelah satu jam bermain, aku mengecek HP-ku
hanya untuk menyadari gadget tersebut dalam keadaan mati. Karena malas beranjak dari posisi duduk untuk mengambil charger-ku, aku pun meminjamnya ke Anto saja. “To, pinjam charger HP dong.” “Itu kak, ambil aja di tasku.” Ia menunjuk tas yang tadi diletakkannya sembarangan. Aku sedikit menggeser posisi dudukku ke belakang untuk mendekat ke tas tersebut. Membuka ritsleting tas tersebut, lalu memasukkan tanganku untuk mengubek-ubek isinya. Cukup banyak isi tas adikku, dan tentu saja menjadi sulit untuk menemukan charger yang mungkin sudah terburai kusut di antara kumpulan benda-benda di dalam tas. Lalu aku meraba sebuah benda yang rasanya tidak asing lagi untukku. Bentuknya balok, dan indra perabaku tak mungkin lupa akan bagaiamana teksturnya. Lantas aku keluarkan benda itu dari tas, dan benar saja. Sebungkus rokok. Pikiran berkecamuk di kepalaku. Tentu saja aku ingin marah melihat hal ini. Tapi, ini mengingatkanku saat aku pertama kali merokok, lebih tepatnya, saat aku pertama kali ketahuan merokok. Saat itu aku masih kelas 1 SMP, lebih muda dibanding Anto yang sekarang kelas 3. Ayahku melihat langsung saat aku merokok bersama teman-teman di lapangan sepak bola dekat rumah. Dengan kasar, ia menarik tanganku dan membawaku sampai ke rumah. Kemarahannya atas kegiatanku itu hanya kubantah dengan kalimat, “ayah dan kakek juga merokok, terus kenapa aku nggak boleh?”. Percayalah kawan, aku cukup bandel dan sering berdebat dengan orang tuaku, dan aku tahu kalau argumenku benar jika mereka hanya bisa menjawab, “berani melawan orang tua kamu, hah?” Memori itu yang membuatku ragu untuk menegurnya. Jika memang ia ada hubungan kuat dengan benda mematikan ini, aku yakin dia akan menjawab hal yang serupa dengan jawabanku beberapa tahun yang lalu. Tapi, mana mungkin aku diam. Aku beranikan diri untuk memanggilnya. “Anto!” Ia menoleh ke arahku. Aku berusaha membuat raut wajah sekeras mungkin, lalu menumpahkan kalimat penggertak untuknya, “Apa ini?!” Hening.
Anto hanya menatapku keheranan. Aku ulangi lagi, “Apa ini? Jawab!” “Bungkus rokok, kak,” jawabnya. Sekarang berganti aku yang keheranan. Aku tidak berharap jawaban yang secara harafiah. Kalian tahu kan maksudku, aku ingin dia panik karena aku sudah mengetahui rahasianya. Tapi, dia tadi menjawab bungkus rokok. Lalu aku lihat ke dalam isinya, dan kosong. Ini memang hanya sebuah bungkus rokok. Aku dan Anto saling bertatapan lagi, kali ini sama herannya. Tapi sepertinya Anto paham situasinya, dan angkat bicara. “Kak Robi, itu sisa dari bahan perlombaanku,” ujar Anto. “Lomba?” tanyaku tak yakin. Ia mengeluarkan HP dari sakunya, lalu menunjukkan sebuah foto dari HP tersebut. “Aku lupa ngasih tau, minggu lalu aku juara mading tiga dimensi tingkat provinsi. Bahan-bahannya tentu saja dari barang bekas, termasuk bungkus rokok tersebut. Aku selalu meminta ayah untuk tidak buang bungkus rokoknya setelah habis. Kakak tahu sendiri kan hebatnya ayah dalam merokok. Kalau kakak ada disini sebulan yang lalu, bahan-bahanku pasti terkumpul lebih cepat. Haha..,” jelasnya. Aku baru menyadari bahwa bungkus rokok ini adalah merek yang sama dengan milik ayah. Anto sudah menjelaskan semuanya, tapi aku hanya bisa tenang setelah pertanyaan terakhir ini. “Tapi, kamu nggak ~” “Enggak kak,” potong Anto. “Aku nggak akan, doakan aku tahan dari godaan merokok. Hehe..” Tentu saja, dik. Syukurlah kau tak terpengaruh kebiasaan kakak dan ayahmu ini, batinku. Aku telah salah mengikuti hal yang tidak seharusnya dari sosok panutanku. Akhir-akhir ini, aku sudah semakin dewasa dan memikirkan dampak ke depan dari kebiasaan ini. Bukan hanya untuk diriku, tapi untuk orang lain terutama generasi penerusku. Kalau ini diteruskan, anak dan cucuku hanya akan berdalih yang sama sepertiku dulu dan akhirnya tercipta lingkaran mematikan. Tapi adikku bisa memutus lingkaran tersebut untuk sekarang, dan kuharap bisa
dihentikan untuk seterusnya. Aku pun masih berusaha menghilangkan kebiasaan merokok. Jangan sampai kebiasaan ini berlanjut ketika aku membentuk keluarga baru. Aku membuang bungkus rokok pembuat salah paham ini ke tong sampah, lalu mencari charger milik Anto lagi. Setelah ketemu, segera kuisi daya HP-ku, lalu kembali memposisikan diri di depan televisi dan memegang stick. “Ayo, To, lanjut mainnya!”