Kota dalam Labirin Ayah Finsa E Saputra
“Kota ini tak dapat menampung monumen kita. Kota ini begitu kecil, tak ada cukup ruang,” ujar ayah. Ayah adalah labirin. Labirin adalah kota. Dan kota adalah ayah. Maka perjalanan pulang menjadi cukup rumit. Bus berdecit. Aku dapat merasakan gir juga sambungan besi yang rapuh. Meledaklah, agar perjalanan terhenti. Kota di ambang pelatarannya, dan riuh redam segera bergantian dengan suara pedagang asongan penjaja dompet. Aku ingat, dompet di pangkuanku, wajah ayah yang terselip di lipatan dompetku. Ia bersama ibu. Mesra. Tapi, ayah tampak angkuh. Kerut wajah separuh bayanya ialah gurat kekokohan. Seperti ukiran pada sebuah totem. Monumen. Atau patung. Ya, ayah menjelang ujung. Ajal mengintainya dari setiap kerut seprai tempat tidur. Dan uban adalah monumen kematian. Menambah renta penampilan ayah. Juga kerapuhan dan keropos menghiasi wajahnya kini. Tapi, di balik lembar air kaca mukanya, aku masih tahu masih berdiri bangunan. Yang terumit. Sebuah labirin. ***** Aku tiba di Surabaya. Di terminal tua, sebuah angkutan kota mengangkutku. Rencanaku, sebelum sampai rumah aku hendak mampir ke jalan Tunjungan. Aku lebih rindu tempat ini daripada ayah. Lebih nyata. Terlebih, dua puluh tahun lampau, masa kecilku ialah jalanan ini. Ayah adalah penjagal terkenal. Ia terlampau ulung bila hanya sekedar memburaikan usus dari balik perut. Ayah lebih tangguh lagi. Ia mampu menarik dengan sekejap isi otak dari libang hidung. Ayah adalah tersangka yang membunuh untuk temannya, Ramos. Ia pria yang mampu menuntaskan dendam kematian temannya tersebut. Ketika aku berusia tujuh tahun. Ayah baru keluar dari lapas Medaeng. Itulah pertemuan pertamaku dengan ayah. Dan ibu meninggal setahun sebelumnya. Aku dijemput dari rumah nenek. Ia adalah seorang tegap dengan topi berlidah supir truk. Badannya kekar. Dan tatapannya kala itu yang kuingat benar. Sungguh mata itu teduh. Lebih sejuk dari mata ibu. Kami naik colt menuju Surabaya dari Sidoarjo. Di dalam colt, ayah tersenyum padaku dan mengatakan, “Kelak, kau akan berterima kasih pada ayah.” Saat itu, aku sangat berterima kasih, aku dapat bertemu ayah. Ibu bercerita, adalah ayah meringkuk bertahun lamanya di balik penjara. Dan ia lebih
senang aku tak menjenguknya. Ia harus menjalani hukumannya, agar jera. “Aku ingin menjenguk ayah, bu,” pintaku. “Biar ayah menjadi seorang bapak. Dengan menyimpan kerinduan terhadapmu, anakku.” Aku tak mengerti. Kesalahan ayahpun kuketahui belakangan. Colt masuk ke arah Surabaya. Macet berhiruk pikuk. Dan kendaraan saling berjejal. Dari balik jaket, sepotong coklat diberikan Ayah padaku. Saat coklat habis, tanpa kusadari, kami tiba di jalanan Tunjungan. Cuaca amat panas. Dan kami berhenti di sudut perempatan, duduk pada sebuah warung. Kami meminum sebotol kola. “Di dalam penjara, ayah ingin melihatmu.” “Kata ibu..” “Ya, sudahlah.” Aku lupa selanjutnya. Hanya kuingat rasa karbonasi yang rinyainya menyengat lidah. Dan, mengusir panas. Kola itulah yang kuingat. Kenangan di mana pengalaman pertamaku yang menyenangkan. Aku terjaga. Kenek angkutan membangunkanku. Ketika turun, wajahku tertampar oleh kepul asap yang baunya gosong. Dan matari menyengat aspal. Aku melihat fatamorgana. Bercak darah. Bukan, genangan yang becek. Kubangan darah. Dan kudengar orang-orang lantang berteriakan. Aku salah. Fatamorgana itu ilusi. Dan kenyataan adalah sebuah kecelakaan mengenaskan. Seorang pria terkapar. Tak bergerak. Bronpit nya terguling dan bagian ekornya telah remuk. Seorang polisi termakan kesibukan, lalu lintas jadi ribut dan mampat. Kupalingkan muka, karena mual memaksa kepalaku terasa berdenyut. Ketika kusapukan pandangan ke arah lain, aku melihat sebuah logo. Bertuliskan: Siola. Kusam dan terlihat telah termakan waktu. Kucari warung tempat aku menyesap sebotol kola pertamaku. Nihil. Warung itu berganti dengan lapak penjaja kaset video. Namun, aku tak terlalu kecewa. Kola hanya kenangan manis, saat pertama di mana penasaran dan hasrat sensasi bersublim menjadi satu. Membentuk satu bangunan solid; kenangan masa kecil yang berbekas. Jejak nostalgia. Walaupun kelak, waktu yang bergulir menyajikan pengalaman sejenis. Tetap saja hambar. Dan terlupakan. Jalanan ini sudah cukup mematik kepuasan atas sebuah kerinduan. Kerinduan adalah sesuatu yang tak akan terulang, kata ayah. Sebuah geretan menyulut rokok di ujung bibirku. Dan samar,aroma anyir darah terangkut dari jalanan. Kusandarkan punggungku pada sebuah dinding. Di jalanan, kecelakaan telah berlalu. Dan kusesap manis limun.
“Di sini, dulu adalah sebuah kerajaan. Siola adala gaya hidup. Dan di sini juga romantika ayah dan ibu berbenih,” terang ayah. Aku beranjak dekat dengan semakin dekat dengan ayah. Seakan mengganti tujuh tahun kekosongan tanpa seorang ayah. Kami tumbuh sebagai seorang sahabat. Ia mengajarkanku banyak hal. Termasuk menyusun album foto dari air mata. Ayah sosok melankolis. Seperti hujan deras yang mengguyur Surabaya. Di sini, kukontruksi kenangan ayah: “Kami, ayah dan ibu, tak sabar menuju Siola. Tapi sayang becak adalah denyut nadi. Lamat. Tak mengenal kelobaan, ditekuri jalanan dengan kesabaran. “Berhari-hari lamanya kami merancang hari ini. Menikmati kola dan memanjakan mata dengan parawarna. Surabaya tak pernah bosan untuk panas. Dan melewati genteng kali, kami sudah melihat pemuda dann pemudi yang angkuh berlenggang. Kalimas sedang jernih, dan beberapa sampan melintas. Masa itu, inilah romantisme itu. Ibumu selalu sibuk dengan coklat. Mulutnya sibuk mencecapi manis. Kulihat, ada tempias cahaya dari permukaan Kalimas memantul ke permukaan bola mata ibumu. Inilah yang membuat ayah rindu. “Kami tak dapat menepi tepat di pintu utama Siola. Hari terlampau ramai. Ketika kami hendak turun dari becak, rok ibu tersangkut ujung bibir becak. Ibu tersungkur. Kau lihat luka yang berbanjar di ujung kening ibu. Itulah lukanya. Dan kala itu, Siola adalah festival di mana banyak manusia melepas canda. Mereka terbahak melihat sial ibu. Darah mengucur anakku, menenggelamkan wajah ibu. Karena itulah ayah menikahi ibumu. Luka itu. “Semenjak itu ibu, tak pernah berkunjung ke Siola. Ia seperti memendam luka. Tapi, lain ayah. Tempat itu adalah kerajaan hiburan. Gelora di hati ayah yang tak pernah pudar. Di mana, generasi tempat ayah mengecap pengalaman hidup sering membuang masa muda. Di sanalah seharusnya masa muda dihabiskan. Kelak, generasimu juga memiliki monumen yang serupa. “Dan ibu kehilangan keriaan masa muda. Gelora masa mudanya ialah luka yang berbanjar di keningnya. Kesedihan. Kemurungan. Karena itu ayah mengawini ibumu. Ibumu, memiliki apa yang tak Siola tawarkan.” Aku tercenung. Menilik Kalimas dari kejauhan. Di hadapanku hilir mudik manusia berseliwer. Angin melayap. Kering. Entah kenapa, selalu aku mencari sesuatu di tempat ini. Seakan tempat ini yang melahirkanku. Lagipula, setiap kuinjakkan kakiku di Surabaya, ayah selalu bertitah agar aku menghirup udara Siola sebelum menemuinya. Totem milik ayah, Ketika kuhirup udara, hanya debu yang menyusup. ***** Adapun waktu ashar menyertai ketukanku. Pintu terbuka. Dan wajah Nuri, adikku, kulihat pertama. Ia menjabat dan mencium telapak tanganku sebelum menggiringku ke kamar
ayah. Bau rumah ini tetap sama: aroma jamur yang mengendap pada dinding semen. Dua tahun aku mengais nafkah di pulau seberang, masih rumah yang sama seperti dulu. Di kamar hanya kudapati seorang tua yang tertidur dengan mulut ternganga. Kugugat keinginan Nuri yang ingin membangunkan ayah. Dari pulas dan sumbang dengkur dapat kulihat bahwa ayah menikmati tidur siangnya. Aku menyeret sebuah bangku tepat di samping dipan. Dari dekat kulihat wajah ayah. Uban kini seperti ilalang yang tumbuh di bekas sabana yang hangus terbakar. Dan kulit ayah adalah tanah tandus yang berkerut. Aku melihat sebuah buku tulis yang kusam. Terbaring seperti ayah. Buku yang menikmati masa tua bersama kertas yang kuning. Kuhirup bau dari sisa debu yang diusap. Sebuah catatan. Tulisan tangan ayah: “Aku terdampar pada sebuah bangku dengan bau air mani yang menyengat. Juga pegas tersembul membuat aku terjaga. Bioskop Kalibokor memang tak nyaman untuk disinggahi tidur,” ujar kalimat pembuka dalam catatan ayah. “Lindap cahaya layar belum buyar. Dan desah birahi bintang film beradu dengan erangan jembel-jembel ingusan di sekitar. Di sampingku mulut Ramos yang menganga menghembuskan bau menyengat arak. Ia tertidur pulas. Selalu. Dan wajah gosong khas Ambon itu berkeringat. Sayup kucium bau ketiak menyengat. Ramos selalu menanggalkan pakaiannya. Bahkan, aku tak pernah tahu apabila ia memiliki sebiji kaos. “Bioskop Kalibokor adalah gudang di mana serapahan „cuk!‟ bertebaran. Terlebih ketika layar utuh menampilkan belahan dada yang bergelinjang. Seperti ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Film di hadapanku telah kutonton lebih dari sekali. Dan gambar di layar telah menguning. Terkadang ketika sundut rokok penanda film akan selesai muncul, aku dapat mendengar bunyi seperti dengkur yang panjang. “Kelak, bila kumiliki seorang anak, akan kuajarkan menikmati saat seperti ini. Kehidupan bohemia yang seperti tertulis di banyak buku. Bioskop adalah teleskop dan rumah ibadah di tempat yang satu. Inilah untung hidup di kota. Mendapatkan hiburan dan kepuasan batiniyah secara bersamaan. Alangkah bahagianya dilahirkan saat ini. Di tengah jaman yang berkembang. Tapi tetap ibu akan menghukumku bila tahu aku menghabiskan waktu di bioskop ini. Tapi, bukankah ini bukan jaman susah, di mana manusia harus berperang. “Di seberang bioskop ini, ada sebuah kios buku bekas. Sekolah yang lebih menyenangkan dari sekolah. Toko itu milik Talib. Talib juga seorang penyair, penjudi, dan manusia bengal yang ditakuti. Akupun takut terhadapnya. Tapi rasanya segan lebih menjajahiku. Ia mengenalkanku pada bacaan. Sebuah kategori yang lolos dari pembelajaran di sekolahan. Sastra, komik, juga banyak hal yang menyenangkan. Kukira aku ingin menjadi penyair kelak. Seperti Talib. Dan aku ingin memiliki daya pikir seperti Talib, otak yang demikian encer. Otak yang dapat menilai hal secara berbeda. „Di kepalaku, tertanam sebuah labirin.„ “Kelak pula, jika aku mempunyai anak, ingin kuwariskan pula labirin di kepalaku
kepadanya. Sama persis dengan labirin di kepalaku.” Dan memang ayah mewariskannya padaku sebuah labirin. Yang persis. Pria tua di hadapanku ini mewariskan segala pola pikirnya kepadaku. Begitulah ayah membesarkanku. Ia wariskan apa yang ia punya. Nuri pernah berkata: “Kau adalah ayah. Atau kau terjebak dalam sosok ayah.” Setetes liur menitik hingga mengalir di bibir layu ayah. Membentuk sebuah aliran sungai. Wajah tua ini mengajarkanku menjelajah labirin di kepalanya, seperti mengajarkanku melafalkan „cuk!‟ dengan kekhidmatan. Begitulah ia memberiku identitas sebagai anaknya. Di balik tembok kamar, terdengar sorai orang. Hari telah sore. Dan semarak keramaian di luar sana adalah merayakan akhir sebuah hari. Aku mendengar banyak „cuk!‟ bertaburan di udara. Di sampul catatan ayah tersemat tiga baris kalimat: “Adalah kita yang membangun monumen, merayakan ingatan melawan lupa dan syahwat keabadian. Tapi, kota kita tak lebih luas dari kata.” Maka, inilah mengapa pulang adalah kerumitan. Menatap wajah ayah yang pulas. Keriput yang mengiringi ayah. Bertemu demikian dengan ayah, menuju kota tempat aku dilahirkan. Pulang pada labirin. Surabaya, 25 September 2010