Jurnal Tingkat Sarjana bidang Senirupa dan Desain
GAMBAR TERAPI DALAM LABIRIN: DIANTARA RUANG Almira Timanta Ginting Suka
Aminudin T.H Siregar M.Sn
Program Studi Sarjana Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB Email:
[email protected]
Kata Kunci : duka, gambar, seni instalasi, labirin, terapi
Abstrak Ayah merupakan sosok yang sangat penting dalam keluarga. Figur yang selalu digambarkan sebagai figure yang kuat, tegas dan pemimpin keluarga. Penulis merupakan seseorang yang sangat dekat dengan ayahnya. Kehilangan sosok ayah menjadi sebuah pukulan yang sangat keras untuk penulis. Penulis akhirnya melewati sebuah tahap kedukaan yang sangat panjang. Penulis sadar bahwa ia harus berusaha melampaui masa lalunya tersebut. Pada akhirnya penulis berada pada sebuah titik untuk menerima kehilangan yang ia rasakan. Dalam titik ini penulis berusaha untuk menggambarkan sebuah karya terapi berbentuk drawing yang kemudian dibentuk menyerupai labirin. Drawing yang digambarkan oleh penulis terbentuk secara intuitif dan ornamentik yang menjadi sebuah metafor dari kebebasan yang ingin penulis rasakan dan penulis memilih bentuk yang ornamentik untuk melampaui kedukaan yang penulis rasakan. Karya ini diharapkan penulis dapat membawa apresiator untuk menikmati kebebasan dibanding kedukaan dan juga proses yang penulis lalui.
Abstract Father figure is one of the most important figures in the family. The figure that is always pictured as a strong, firm, and the head of the family character. Author is someone whom known to be the closest to her father. Losing her father has been a hard hit for the author. She had to pass a long process of grief. At the end, she finally realized that she need to overcome the grief that she felt. At the point, the author tried to represent a therapeutic artwork in the form of labyrinth-shaped drawing installation. The drawing were drawn intuitively and ornamentic which became the metaphor of freedom that she wanted to feel and she also used ornamentic pattern as a representative of how she wanted to overcome the griefing. The author hopes that the labyrinth will take the audience for a walk through it, enjoying the freedom instead of grief and also the process that the author has passed.
1. Pendahuluan Dalam sebuah keluarga, sosok ayah dan ibu merupakan sosok pemimpin bagi anak-anaknya walaupun memiliki tugas yang berbeda. Ayah bertugas sebagai kepala rumah tangga dan mencari nafkah. Sedangkan ibu memiliki tugas untuk mengurus rumah, memasak, dan memberikan perhatian kepada anak-anaknya. Namun walaupun begitu, sosok ayah juga merupakan sosok yang paling dekat dengan anak-anaknya. Sering dikatakan pula bahwa anak perempuan akan dekat dengan ayahnya seperti anak laki-laki akan dekat dengan ibu-nya. Kehilangan salah satu dari peran penting dalam keluarga ini dapat berpengaruh terhadap psikologis anak. Sebagai anak yang paling dekat dengan sosok sang ayah, penulis melihat sosok ayah tidak lagi hanya menjadi orang tua, melainkan menjadi sosok guru, teman, hingga menjadi role model bagi dirinya. Maka dari itu, kehilangan sosok ini secara tiba-titba menjadi sebuah pukulan yang cukup kuat bagi penulis. Kehilangan sosok ayah secara fisik dan secara batin menjadi proses berduka yang berat untuk dihadapi oleh penulis. Kehilangan yang penulis rasakan akhirnya mendorong penulis untuk melewati kedukaan yang panjang. Elisabeth Kübler-Ross dalam bukunya yang berjudul On Death and Dying (1969) mencetuskan 5 tahap kedukaan yaitu: Penyangkalan, Kemarahan, Menawar, Depresi dan yang terakhir, Penerimaan. Tidak bisa diingkari bahwa kehilangan ini telah mendorong penulis untuk melewati proses-proses tersebut untuk menjadi seorang individu yang baru. Proses yang membawa penulis ke tahap Penerimaan Dalam karya ini, penulis berusaha tidak akan lagi membahas mengenai kehilangan tersebut. Namun bercerita tentang proses penerimaan dengan rasa kehilangan yang selama ini mengendap dalam dirinya. Karya instalasi drawing yang akan dibentuk oleh penulis merupakan sebuah metafor kebebasan dalam ruang personal penulis dari menerima
kehilangan sosok ayah menjadi momen penting dalam hidupnya. Sebuah karya yang mengajak apresiator untuk berjalan menelusuri labirin kecil untuk melihat proses penerimaan yang dilewati oleh penulis dan juga agar apresiator lebih merasakan kebebasan dan unsur dekoratif dibanding melihat kedukaan yang ada di dalam karya ini.
2. Proses Studi Kreatif Penulis menggunakan tiga buah teori dalam membentuk karya tugas akhir ini, yaitu: Fungsi Personal Seni, Lima Tahap Kedukaan dan Seni sebagai Terapi. Fungsi personal seni merupakan sebuah teori yang dicetuskan oleh Edmund Burke Feldman dalam bukunya ‘Art as Image and Ideas’ . Fungsi personal seni merupakan sebuah fungsi seni yang paling umum dilihat pada sebuah karya. Hal ini dikarenakan kebanyakan karya yang tercipta terbentuk dari pengalaman personal seniman. Tema-tema seperti kematian, cinta dan lainnya sudah sering menjadi tema yang digunakan untuk sebuah karya oleh seniman, namun yang membedakannya adalah sentuhan pribadi/personal dari sang seniman. Fungsi personal seni menjadi sebuah fungsi yang dimanfaatkan oleh seniman untuk menumpahkan perasaannya mengenai cinta, atau kematian yang ia alami. Teori ‘Lima Tahap Kedukaan’ (Five Stages of Grief) merupakan sebuah teori yang dicetuskan oleh Elisabeth KüblerRoss, seorang psikiatris asal Swiss yang fokus kepada tema kematian dan kehilangan. Buku Elisabeth yang berjudul ‘On Death and Dying’ (1969) merupakan buku dimana ia pertama kali mencetuskan teori ini. Menurut Elisabeth, terdapat 5 tahapan yang akan dilewati oleh seseorang jika ia mendapatkan sebuah musibah kehilangan, perceraian dan kasus lainnya yang berdampak besar pada diri seorang individu. Kelima tahapan ini tidak harus dialami seluruhnya oleh individu tersebut dan juga tidak harus berurutan. Kelima tahapan tersebut terdiri dari Penyangkalan dan Isolasi diri, Kemarahan, Menawar, Depresi dan Penerimaan. Seni sebagai Terapi (art as therapy) menurut The America Art Therapy Association merupakan sisi lain seni yang bertujuan untuk terapi,untuk individu-individu yang mengalami suatu penyakit, trauma atau permasalahan lain dalam hidupnya. Melalui sebuah proses kreasi dan pembuatan karya, individu-individu ini diharapkan dapat meningkatkan kepekaan terhadap dirinya dalam menghadapi stress dan pengalaman traumatic, meningkatkan kemampuan kognitifnya, dan menikmati proses kreasinya. Konsep ini berdasarkan bagaimana dalam proses kreasi pembentukan karya dapat membantu konflik dan masalah, mengembangkan kemampuan diri, memperbaiki sikap dan sifat, mengurangi stress, hingga meningkatkan kepercayaan diri. Penulis juga menggunakan teori teknik seni instalasi dan drawing dalam membentuk karya ini. Seni Instalasi merupakan salah satu salah satu bentuk seni site specific yang berbentuk 3 dimensional. Biasanya istilah ini diperuntukkan untuk karya-karya site-specific yang berada di interior. Seni instalasi memang dikhususkan untuk karya yang ingin merespon atau membentuk ruang. Karya seni instalasi biasanya dapat dinikmati dari beberapa sudut dan banyak juga yang bersifat interaktif dengan apresiator. Sedangkan drawing merupakan salah satu media dalam membentuk karya seni. Menurut Wikipedia, Drawing adalah sebuah bentuk dari seni rupa dengan menggunakan beberapa instrumen menggambar untuk menandai kertas atau medium 2 dimensi lainnya. Instrumen ini juga termasuk pensil, pulpen dan tinta, pastel, kapur, penghapus, spidol, dan lain sebagainya. Gambar biasanya dilakukan diatas kertas atau medium 2 dimensi lainnya seperti kanvas, papan, hingga kardus. Dalam karya ini penulis mengacu pada 3 seniman sebagai referensi antara lain Anila Quayyum Agha, Etsuko Fukaya dan Yosuke Goda. Dalam karya ketiga seniman ini dapat terlihat dengan jelas aspek ornamen yang digunakan.
Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1| 2
Almira Timanta Ginting
Gambar 1. Sketsa penempatan panel
Sebenarnya ketiga seniman ini membahas mengenai hal-hal yang sangat berbeda. Aspek ornamen yang terdapat pada karya ketiga seniman ini membentuk persepsi bahwa ketiga karya yang diciptakan oleh seniman-seniman ini terlihat rumit. Kerumitan yang terbentuk oleh persepsi apresiator akhirnya membentuk persepsi indah dan menyenangkan untuk dilihat. Hal-hal ini yang diacu oleh penulis dalam karya tugas akhirnya. Karya tugas akhir ini akhirnya dibentuk sebagai sebuah media terapi bagi penulis untuk menerima masa lalu yang penulis rasakan. Sebagai mahasiswa Seni Rupa, penulis merasa masalah yang penulis rasakan ini dapat diselesaikan melalui karya. Pada akhirnya penulis mengangakat tema seni sebagai terapi dalam karya ini. Penulis ingin karya ini menunjukkan sebuah proses yang dibangun oleh penulis untuk akhirnya berada di keadaan dimana ia dapat menerima kehilangan tersebut. Selain kesamaan yang penulis rasakan dengan ketiga seniman yang menjadi acuannya, terdapat hal berbeda yang membedakan karya penulis dengan ketiga seniman acuannya tersebut. Dalam karya ini penulis tidak ingin menghadirkan hal-hal yang bersifat representatif (figur, benda, dsb). Penulis ingin karya ini non-representatif sehingga dapat melepaskannya dari fikiran masa lalunya. Karya ini akhirnya dibentuk dengan proses awal yaitu survey ke galeri dimana penulis akan mendisplay karya tugas akhir ini dan kemudian membentuk sketsa ruangan galeri tersebut secara 3D. Setelah proses ini penulis dapat menentukan tinggi dan bentuk panel yang akan ia gunakan untuk membentuk instalasi drawing ini. Tinggi dan bentuk panel ini menjadi acuan ukuran kertas yang akan digambarkan visual ornamen penulis. Proses penggambaran ini menggunakan tinta cina dan spidol agar detail yang diinginkan penulis dapat tercapai. Setelah penggambaran selesai, kertas kemudian ditempelkan ke panel dan yang terakhir membentuk karya di galeri.
3. Hasil Studi dan Pembahasan Karya ini merupakan sebuah karya instalasi drawing yang terdiri dari 9 buat panel putih melengkung. Kesembilan panel ini disusun berlapis. Lapisan terluar dan tengah masing-masing 4 panel dan 1 panel berbentuk silinder ditempatkan ditengah. Lapisan tengah dan panel silinder digantung sehingga bagian atas panel sejajar dengan lapisan panel terluar. Masing-masing lapisan berjarak 1.5 meter sehingga memungkinkan apresiator untuk berjalan diantara. Pada masingmasing panel ditempelkan drawing yang telah dibentuk oleh penulis di bagian dalam panel. Drawing yang dibentuk oleh penulis memang sengaja dibentuk secara non-representatif dan intuitif. Pembentukan visual ini adalah agar penulis tidak kembali lagi ke masa lalunya. Visual ornamentik ini menjadi sebuah kebebasan bagi penulis dan menjadi sebuah keindahan yang ingin dia rasakan dibanding kedukaan. Warna hitam-putih yang digunakan oleh penulis menjadi sebuah metafor. Warna putih sering diasosiasikan dengan pensucian dan warna hitam sering Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1 | 3
Gambar 2. Hasil akhir karya saat didisplay di galeri
diasosiasikan dengan warna yang tegas/misterius. Kedua warna ini digabungkan dalam karya seniman sehingga merepresentasikan penetralan terhadap masa lalu penulis. Penarikan garis dalam karya ini merupakan sebuah terapi bagi penulis. Ketika penulis berjarak dengan karya ini dan melihat dari jauh, kerumitan dan juga keindahan yang penulis lihat menjadi sebuah perasaan bebas dan puas bagi penulis. Komposisi drawing karya ini sama sekali tidak direncakan dan dilakukan secara intuitif. Karya ini dibentuk menyerupai labirin karena bagi penulis labirin memiliki bentuk memusat dan sering diasosiasikan dengan perjalanan spiritual. Berbeda dengan maze yang merupakan sebuah wahana permainan yang memang dibentuk untuk menyesatkan orang-orang yang masuk ke dalamnya. Labirin selalu berbentuk memusat dan hanya memiliki 1 jalur dengan pintu masuk dan keluar yang sama. Pada bagian tengah apresiator dapat masuk ke panel melingkar sehingga apresiator dikelilingi oleh gambar non-representatif yang tertutup dari gangguan visual luar.
4. Penutup / Kesimpulan Penulis akhirnya mengaplikasikan seni sebagai terapi dalam bentuk karya gambar berbentuk labirin. Penulis menganggap karya ini menggambarkan proses yang ia alami selama ini. Penggambaran visual secara intuisi dan nonrepresentatif juga akhirnya menjadi media terapi bagi penulis. Terutama bagaimana pembentukan karya ini berawal dari hanya tarikan garis dan berkembang menjadi sebuah visual yang rumit. Pembentukan visual yang terbentuk dari bentukbentuk dasar ini tanpa sadar menjadi proses terapi bagi penulis. Perjalanan yang di alami oleh pengunjung dan bagaimana pengunjung tertarik untuk melihat lebih dekat ke dalam karya dikarenakan bentuk panel yang menyerupai labirin juga merupakan sebuah tanda keberhasilan karya ini bagi penulis. Terlihat dari bagaimana terdapat proses ‘berjalan’ dan ‘melihat’ yang dilalui oleh para pengunjung. Penulis sadar bahwa rasa kehilangan ini tidak dapat seluruhnya menghilang, namun setidaknya melalui karya ini penulis dapat menggambarkan bahwa dirinya tidak lagi dibawah bayang-bayang kehilangan yang dahulu ia rasakan. Bahwa karya ini merupakan diri penulis yang baru.
Ucapan Terima Kasih Artikel ini didasarkan kepada catatan proses berkarya dalam Tugas Akhir Program Studi Sarjana Seni Rupa FSRD ITB. Proses pelaksanaan Tugas Akhir ini disupervisi oleh pembimbing Aminudin T.H. Siregar, M.Sn.
Daftar Pustaka •
Anilla Quayyum Agha http://hyperallergic.com/155821/artprize-winner-anila-quayyum-agha-talks-sacredspaces-and-religion/, Diakses pada Rabu, 27 Mei 2015 Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1| 4
Almira Timanta Ginting
•
Drawing, https://en.wikipedia.org/wiki/Drawing, Diakses pada Senin 15 Februari 2016
•
Feldman, Edmund Burke (1967), Art as image and ideas, Prentice-Hall,inc.
•
Kübler-Ross, Elizabeth (1969), On Death and Dying, Scribner Macmillan.
•
Parker, Raetta. “The Meaning of Colors” (https://resources.oncourse.iu.edu/access/content/user/rreagan/Filemanager_Public_Files/meaningofcolors.htm diakses 15 Februari 2016)
•
Perbedaan Labyrinth dan maze, http://www.diffen.com/difference/Labyrinth_vs_Maze, Diakses pada Senin 15 februari 2016
•
Wall drawings by Yosuke Goda, http://www.juxtapoz.com/current/wall-drawings-by-yosuke-goda, Diakses pada Kamis,28 Mei 2015
Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1 | 5