ISSN : 2460-8815
PEMANFAATAN LIMBAH KERTAS KORAN SEBAGAI BAHAN PENGGANTI AGREGAT KASAR DALAM CAMPURAN PAPERCRETE SERTA APLIKASINYA UNTUK ELEMEN STRUKTUR RINGAN DAN NON STRUKTUR RAMAH LINGKUNGAN Arqowi Pribadi1 1
Program Studi Teknik Lingkungan, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Jl. Jend. A. Yani 117 Surabaya Email:
[email protected]
ABSTRAK Limbah adalah bahan sisa yang dihasilkan dari suatu proses produksi, baik skala rumah tangga, industri maupun pertambangan. Kertas memiliki kandungan kimia dan alami yang bagus sehingga limbah kertas bisa didaur ulang menjadi berbagai macam bentuk. Kertas koran bekas diolah dahulu menjadi bubur kertas agar pengadukan campurannya lebih mudah. Papercrete adalah suatu material bangunan terbuat dari campuran kertas yang didaur ulang, semen portland, pasir dan air. Pengujian absorpsi dan permeabilitas pada papercrete menggunakan metode eksperimental di laboratorium setelah benda uji berumur 28 hari. Variasi campuran menggunakan perbandingan berat semen, kertas, pasir (SKP) 1:1:1; SKP 1:2:1; SKP 1:3:1; SKP 1:1:2; SKP 1:2:2; SKP 1:3:2 dengan perbandingan faktor air semen (FAS) adalah 1. Benda uji berbentuk silinder berdiameter 7,5cm dan tinggi 27,5cm sebanyak 18 buah untuk uji absorpsi dan 18 buah untuk uji permeabilitas dengan tiga buah benda uji tiap variasi campurannya. Hasil pengujian absorpsi menunjukkan benda uji SKP 112 memiliki nilai absorpsi terkecil yaitu 35,64%, sedangkan benda uji SKP 131 memiliki nilai absorpsi terbesar yaitu 85,73% dengan lama perendaman 10,5 menit. Pada pengujian permeabilitas benda uji SKP 111 memiliki nilai koefisien permeabilitas terkecil yaitu 2,13505x10-7m/dt, sedangkan benda uji SKP 132 memiliki nilai koefisien permeabilitas terbesar yaitu 5,17191x10-6m/dt selama 1 menit. Kondisi ini menunjukkan bahwa nilai absorpsi dan nilai koefisien permeabilitas pada papercrete akan semakin besar bersamaan dengan penambahan prosentase bubur kertas ke dalam campuran. Pemanfaatan limbah kertas koran untuk pembuatan papercrete ini diharapkan mampu mengurangi permasalahan sampah kertas dan memberi keuntungan perawatan kondisi lingkungan dan sumber daya alam melalui produk material papercrete yang ramah lingkungan pada elemen struktur ringan dan non struktur seperti pembuatan dinding partisi, pengganti paving block dan rabat beton lantai. Kata kunci: pemanfaatan limbah, kertas koran, absorpsi, permeabilitas, papercrete dan aplikasinya
1.
PENDAHULUAN
Jenis limbah dapat berupa padat, cair, gas dan debu. Salah satu jenis limbah padat yang sering banyak dijumpai dalam masyarakat saat ini adalah kertas koran. Tingkat konsumsi kertas di Indonesia dan seluruh dunia mengalami peningkatan yang drastis. Konsumsi kertas pada tahun 2003 mencapai 5,31 juta ton, untuk tahun 2004 kebutuhan konsumsi kertas menjadi 5,40 juta ton, untuk tahun 2005 kebutuhan konsumsi kertas meningkat lagi menjadi 5,61 juta ton dan pada tahun 2009 konsumsi kertas dapat mencapai 6,45 juta ton (Pusgrafin, 2009). Dalam lingkup secara nasional (dengan asumsi jumlah penduduk 180 juta jiwa, laju produksi sampah 2 liter/orang/hari dan komposisi 6,17%) jumlah timbunan sampah kertas di Indonesia bisa mencapai 1.599.000 ton/tahun. Total kebutuhan kertas koran untuk para penerbit pers di dalam negeri saja pada tahun 2015 diperkirakan rata-rata mencapai 17 ribu ton per bulan dan dalam waktu setahun bisa mencapai 204 ribu ton. Sementara itu, sejalan dengan meningkatnya jumlah dan aktivitas penduduk, jumlah timbunan sampah kertas juga akan terus meningkat bersamaan dengan meningkatnya jumlah sampah pada jenis lainnya. Penanganan sampah khususnya kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya masih menggunakan paradigma 3P yaitu Pengumpulan, Pengangkutan dan Pembuangan. Sampah dikumpulkan di dalam suatu wadah dan diangkut ke Tempat Pembuangan Sampah (TPS) serta selanjutnya dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) hanya sekedar untuk dibuang saja. Dalam paradigma tersebut sampah masih belum dilihat sebagai sumber daya sehingga diperlukan cara pandang baru untuk melihat sampah sebagai sumber daya yang dapat AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1 1
ARQOWI PRIBADI
dimanfaatkan secara optimal dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari khususnya bidang material bangunan. Paradigma ini telah terkonsep dalam 3R yaitu mengurangi jumlah sampah (reduce), memanfaatkan kembali sampah (reuse) dan mendaur ulang kembali sampah (recycle). Salah satu jenis sampah yang belum dapat terkelola secara baik adalah jenis sampah kertas. Sampah kertas sebagai salah satu bahan baku industri daur ulang pada saat ini masih belum termanfaatkan secara maksimal sehingga hanya sekitar 70% saja yang bisa dimanfaatkan kembali ataupun didaur ulang, sedangkan jumlah timbunan sampah kertas dapat mencapai sekitar 10% dari jumlah keseluruhan limbah sampah. Sampah kertas memang merupakan sumber daya yang belum dimanfaatkan secara optimal, padahal jumlah dan potensinya cukup besar. Konsekuensi peningkatan konsumsi kertas akan membawa dampak tingginya limbah kertas yang dihasilkan. Besarnya jumlah limbah kertas yang ada memberikan peluang terhadap upaya pemanfaatan limbah kertas tersebut. Pemanfaatan sampah kertas baik itu untuk digunakan kembali (reuse) maupun didaur ulang (recycle) mutlak dilakukan supaya jumlah sampah kertas bisa dikurangi dan sumber daya alam pepohonan (bahan baku dalam pembuatan kertas) dapat terselamatkan secara baik dan tepat. Dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan limbah kertas diperlukan sekali suatu sistem pengelolaan yang baik dengan melibatkan berbagai pihak seperti kalangan masyarakat, industri maupun pemerintah. Permasalahan limbah kertas tidak lepas dari permasalahan sampah secara keseluruhan sehingga strategi pengelolaannya juga terkait dengan pengelolaan sampah kota secara keseluruhan. Dengan adanya dukungan sistem yang baik serta keterlibatan berbagai pihak, maka sampah kertas dan sampah kota lainnya dapat segera tertanggulangi secara tuntas dan juga menyeluruh.
Gambar 1. Limbah kertas koran yang belum dimanfaatkan secara baik Tabel 1. Konsumsi sampah kertas di Indonesia Tahun
Sampah kertas (ton)
Asal Indonesia 1992 430.000 1993 526.300 1994 630.000 1995 700.000 1996 980.000 (Sumber: Ditjen Cipta Karya, 1999)
Impor 882.500 872.400 1.009.500 1.054.150 1.297.000
Jumlah total sampah kertas terolah (ton) 1.312.500 1.398.700 1.639.500 1.754.150 2.277.000
Stok nasional kertas (ton) 1.844.400 2.091.700 2.339.100 2.641.390 3.119.970
Dari beberapa pertimbangan diatas, usaha mendaur ulang limbah kertas merupakan salah satu tindakan nyata yang harus dilakukan untuk mengurangi dampak buruk terhadap alam lingkungan. Keberadaan kertas koran memang sangat berlimpah dan tekstur yang dimiliki selalu memunculkan suatu ide tidak hanya berfungsi secara estetika, namun juga secara teknis yaitu bangunan akan menjadi lebih ringan, ekonomis dan nyaman. Salah satu jenis campuran yang biasanya menggunakan bahan dasar dari kertas sering dikenal dengan nama papercrete. Penggunaan bahan pencampur dari kertas ini untuk memperoleh beton ringan yang memenuhi persyaratan baik secara ekonomis maupun non-struktural. Pertimbangan secara ekonomis didasarkan atas biaya produksi untuk menghasilkan agregat ringan dan pengerjaan struktur betonnya sendiri. Secara non-struktural papercrete biasa digunakan sebagai bahan pengganti bata pada dinding, bahan pada lantai dan bermacam-macam ornamen lainnya. Penggunaan beton ringan 2
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1
PEMANFAATAN LIMBAH KERTAS KORAN SEBAGAI BAHAN PENGGANTI AGREGAT KASAR DALAM CAMPURAN PAPERCRETE SERTA APLIKASINYA UNTUK ELEMEN STRUKTUR RINGAN DAN NON STRUKTUR RAMAH LINGKUNGAN
pada proyek konstruksi sipil memiliki beberapa keunggulan diantaranya adalah beratnya lebih ringan dibandingkan dengan material lain. Hal ini bisa dilihat pada penggunaan beton ringan untuk dinding partisi yang akan mengurangi beban konstruksi dibanding jika menggunakan dinding bata. Dalam hal ini, tentunya papercrete memiliki kelebihan atau keistimewaan dan juga kekurangan.
2.
METODE PENELITIAN
Metodologi penelitian adalah langkah-langkah atau metode yang dilakukan dalam penelitian suatu masalah, kasus, gejala, fenomena atau lainnya dengan jalan ilmiah untuk menghasilkan suatu jawaban yang rasional. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode eksperimental yaitu metode yang dilakukan dengan mengadakan suatu percobaan secara langsung di laboratorium untuk mendapatkan data (hasil) dan menghubungkannya dengan variabel yang diselidiki. Dalam penelitian ini terdapat beberapa variabel yaitu variabel bebas dan variabel tak bebas. Variabel bebas dalam penelitian adalah papercrete pada variasi campuran, sedangkan variabel tak bebas adalah absorpsi dan permeabilitas pada papercrete.
Bahan dasar material kertas Kertas bila dilihat dari segi material pembentuknya merupakan bagian rangkaian serat cellulose kayu (material berserat). Cellulose adalah bahan material terbanyak kedua di dunia setelah material batu. Bahan cellulose menjadi pembentuk utama dinding kayu tanaman hijau yang bisa menjadi bahan kain hingga kertas. Cellulose (selulosa) merupakan polimer alam yang memiliki gugusan rantai terhubung dengan molekul gula dan terbentuk dari molekulmolekul yang lebih kecil. Jaringan selulosa (cellulose fibers) dan serat yang lebih kecil dinamakan fibrils. Gugusan rantai ini mengandung banyak hidrogen yang mengikat molekul OH dengan sifat ikatan yang kaku, mengkristal, stabil dan sangat kuat. Jaringan fibers kering yang terjalin satu sama lain dan melekat kuat satu sama lainnya serta melekat kuat dengan ikatan hidrogen. Hal inilah yang menjadikan hidrogen sebagai dasar dari kekuatan papercrete. Berdasarkan rumusan ikatan kimia dasar pada material papercrete, maka bisa ditambahkan pula bahan-bahan lain untuk memperkuat dan memperkaya variasi adukan campurannya.
Gambar 2. Gugusan rantai cellulose Pelapisan adukan campuran dengan semen akan memperkuat jaringannya, sedangkan penggunaan kaolinite akan membuat material lebih halus dan menimbulkan efek semi glossy. Bahan ini juga diuji dengan dipendam dalam tanah dan hasilnya bahwa material ini tahan terhadap bakteri dan tetap utuh. Perlakuan dan campuran apapun yang akan digunakan perlu diperhatikan adalah bagaimana papercrete ini menjebak udara di dalamnya. Ketika air sudah menguap dengan sempurna, maka akan terbentuk ribuan rongga-rongga kecil berisi udara. Inilah yang menyebabkan papercrete sangat ringan dan sebagai insulator terbaik. Papercrete juga memiliki respons yang jauh lebih lembut, lebih tinggi redaman dan penyerapan energinya daripada material lainnya (beton, baja, kayu). Penambahan pasir dan material lainnya hanya berakibat menjadi lebih berat walaupun tetap memiliki efek insulator yang baik sehingga material tambahan lain yang akan digunakan dapat disesuaikan dengan kebutuhannya.
Benda uji papercrete Benda uji berupa silinder beton yang dicetak dalam pipa PVC berdiameter 7,5cm dan tinggi 27,5cm untuk pengujian absorpsi dan permeabilitas pada papercrete. Penggunaan bubur kertas pada adukan campuran papercrete dilakukan variasi antara berat bubur kertas dengan berat pasir. Benda uji berjumlah 18 buah dengan variasi adukan campuran masing-masing 3 buah untuk pengujian absorpsi pada papercrete dan benda uji berjumlah 18 buah dengan variasi adukan campuran masing-masing 3 buah untuk pengujian permeabilitas pada papercrete. Contoh pembacaan kode benda uji SKP-A111 berarti adukan papercrete menggunakan campuran 1 Semen : 1 Kertas : 1 Pasir, sedangkan jika kode benda uji SKP-A132 berarti adukan papercrete menggunakan campuran 1 Semen : 3 Kertas : 2 Pasir. AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1 3
ARQOWI PRIBADI
Tabel 2. Jumlah dan kode benda uji untuk pengujian absorpsi pada papercrete Perbandingan campuran Semen : Kertas : Pasir 1. SKP-A 111 1:1:1 2. SKP-A 121 1:2:1 3. SKP-A 131 1:3:1 4. SKP-A 112 1:1:2 5. SKP-A 122 1:2:2 6. SKP-A 132 1:3:2 Jumlah benda uji untuk pengujian absorpsi (Sumber: Pribadi, 2010) No.
Kode benda uji
Umur (hari)
Jumlah 3 3 3 3 3 3 18
28
Tabel 3. Jumlah dan kode benda uji untuk pengujian permeabilitas pada papercrete Perbandingan campuran Umur Semen : Kertas : Pasir (hari) 1. SKP-A 111 1:1:1 2. SKP-A 121 1:2:1 3. SKP-A 131 1:3:1 28 4. SKP-A 112 1:1:2 5. SKP-A 122 1:2:2 6. SKP-A 132 1:3:2 Jumlah benda uji untuk pengujian permeabilitas (Sumber: Pribadi, 2010) No.
Kode benda uji
Jumlah 3 3 3 3 3 3 18
7,5cm
27,5cm
Gambar 3. Benda uji untuk pengujian absorpsi dan permeabilitas pada papercrete
Metode pembuatan bubur kertas dan benda uji papercrete Jenis kertas yang digunakan dalam pembuatan bubur kertas adalah kertas koran bekas. Langkah-langkah pembuatan bubur kertas adalah kertas yang akan dicampur air dipotong menjadi bagian-bagian kecil untuk memudahkan dalam proses penyerapan air. Potongan kertas kemudian dimasukkan ke dalam ember yang berisi air dan direndam selama sekurang-kurangnya 1 hari. Kertas yang telah direndam selanjutnya diaduk dengan menggunakan bor yang telah dipasangi dengan pengaduk khusus. Proses pengadukan dilakukan sampai diperoleh bubur kertas yang sangat halus. Langkah-langkah dalam pembuatan benda uji penelitian adalah menyiapkan semua material dan peralatan yang akan digunakan untuk adukan campuran papercrete. Selanjutnya menyiapkan cetakan dan kemudian menimbang masingmasing material penyusun papercrete berdasarkan pada perhitungan mix design. Langkah berikutnya ialah membuat adukan papercrete dengan cara manual, mengaduk material yang telah ditimbang menggunakan cangkul atau cetok semen dan kemudian melakukan kegiatan pengecoran dengan menuangkan adukan papercrete ke dalam cetakan serta memberi tanda untuk masing-masing sampel benda uji. Proses selanjutnya adalah melakukan pemadatan, setelah cetakan terisi penuh oleh adukan papercrete dan meratakan permukaan serta membiarkan selama 7x24 jam. Tahapan 4
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1
PEMANFAATAN LIMBAH KERTAS KORAN SEBAGAI BAHAN PENGGANTI AGREGAT KASAR DALAM CAMPURAN PAPERCRETE SERTA APLIKASINYA UNTUK ELEMEN STRUKTUR RINGAN DAN NON STRUKTUR RAMAH LINGKUNGAN
terakhir adalah membuka cetakan secara pelan-pelan agar benda uji papercrete tidak rusak dan kemudian melakukan perawatan dengan cara mengangin-anginkan benda uji papercrete dalam suhu ruangan sampai berumur kira-kira 28 hari (batas waktu pengujian).
Metode pengujian absorpsi dan permeabilitas pada papercrete Metode pengujian absorpsi pada papercrete dilakukan terhadap benda uji silinder beton berdiameter 7,5cm dan tinggi 27,5cm. Adapun langkah-langkah pengujian absorpsi pada papercrete adalah apabila benda uji telah berumur 28 hari dan reaksi hidrasi semen dianggap selesai, selanjutnya benda uji dikeringkan dengan menggunakan oven sampai mencapai berat yang konstan (kira-kira 1 hari). Tahapan berikutnya ialah mengeluarkan benda uji dari oven dan kemudian menimbang semua benda uji menggunakan timbangan digital. Proses selanjutnya ialah merendam benda uji dengan batas waktu perendaman selama 10,5 menit; 30 menit, 60 menit, 1440 menit, 2880 menit dan 4320 menit. Tahapan terakhir adalah membuat benda uji dalam kondisi SSD (kering permukaan) dengan mengusap permukaan papercrete menggunakan kain/lap kering dan kemudian menimbang kembali masing-masing benda uji selama batas waktu perendaman tersebut diatas. Nilai absorpsi pada papercrete diperoleh dengan membandingkan perbedaan antara berat benda uji dalam kondisi SSD dan berat benda uji dalam kondisi kering oven. Metode pengujian permeabilitas pada papercrete dilakukan terhadap benda uji silinder beton berdiameter 7,5cm dan tinggi 27,5cm. Adapun langkah-langkah pengujian absorpsi pada papercrete adalah apabila benda uji telah berumur 28 hari, kemudian benda uji dikeringkan dengan menggunakan oven sampai mencapai berat yang konstan (kira-kira 1 hari). Langkah berikutnya ialah selang air bertekanan dipasang pada permukaan atas benda uji dengan memberi lubang sebesar pipa selangnya. Pipa selang yang berisi air di-sealed dan diikat dengan klem pada atas permukaan benda uji. Tahapan selanjutnya adalah benda uji dikenakan air bertekanan 1 kg/cm2 selama 48 jam, dilanjutkan air bertekanan 3 kg/cm2 selama 24 jam dan air dengan tekanan 7 kg/cm2 selama 24 jam. Proses berikutnya ialah selang air bertekanan dilepas dan kemudian dipasang selang transparan berisi air yang diletakkan pada penyangga, diamkan selama 1 menit untuk mengetahui penurunan air yang terjadi dan tingginya air jatuh. Tahapan terakhir adalah benda uji dibelah dan diukur kedalaman penetrasi air dan diameter sebaran air sehingga nilai koefisien permeabilitas dapat dihitung berdasarkan pada hukum NISS (2001). Tabel 4. Tekanan air dan waktu penekanan pada pengujian permeabilitas papercrete No.
Tekanan air Waktu (kg/cm2) (jam) 1. 1 48 2. 3 24 3. 7 24 (Sumber: Suwandojo siddiq, makalah seminar ITB, 1987)
Analisis perhitungan nilai absorpsi dan permeabilitas pada papercrete Absorpsi beton adalah suatu peristiwa masuknya air melalui pipa-pipa kapiler atau pori-pori yang terdapat pada permukaan beton dan ini biasanya sering terjadi pada bangunan air. Hal ini merupakan masalah yang sangat serius bagi papercrete sendiri, karena masalahnya seberapa besar daya resap papercrete sendiri terhadap air tanah bila air itu meresap melalui pondasi papercrete dan merambat hingga ke dinding. Nilai absorpsi (serapan air) adalah suatu nilai dimana air dapat masuk atau menembus beton yang berpori dan nilai ini biasanya dinyatakan dalam bentuk prosentase (%). Menurut Tjokrodimuljo (1996) besarnya serapan air pada beton dapat diukur dengan menggunakan nilai perbandingan antara berat beton dalam keadaan kering oven dengan berat beton dalam kondisi SSD selama batas waktu perendaman yang telah ditentukan dan dapat dirumuskan dengan menggunakan persamaan : R =
W Wk x 100% Wk
(1)
dengan R = nilai absorpsi (serapan air) pada papercrete, W = berat papercrete dalam kondisi SSD dan Wk = berat papercrete dalam keadaan kering oven. Permeabilitas adalah sifat dapat dilewati/dimasuki zat atau gas. Jadi permeabilitas beton adalah kemudahan cairan atau gas untuk melewati beton. Beton yang baik adalah beton yang relatif tidak bisa dilewati air/gas atau mempunyai permeabilitas yang rendah dan beton juga mempunyai sifat tidak bisa kedap air secara sempurna. Baik dalam ASTM maupun BS tidak ada yang mendeskripsikan secara rinci tentang pengujian permeabilitas beton, namun berdasarkan A. M. Neville dan J. J. Brooks (1987) pengujian permeabilitas beton dapat diukur dari percobaan sampel beton yang AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1 5
ARQOWI PRIBADI
di-sealed dan diberi air yang bertekanan pada sisi atas saja dan meliputi aspek banyaknya air yang mengalir lewat pada ketebalan beton pada waktu tertentu (seperti disyaratkan pada SK SNI S-36-1990-03 ayat 2.2.1). Permeabilitas beton biasanya dinyatakan sebagai nilai koefisien permeabilitas yang dievaluasikan dalam persamaan NISS (2001) :
k =
A' l ho ln At hi
(2)
dengan k = nilai koefisien permeabilitas papercrete, A’ = luas penampang pipa, l = kedalaman penetrasi air, A = luas penampang sebaran sampel benda uji, t = waktu yang diperlukan, ho = tinggi air mula-mula sampel benda uji dan hi = tinggi air akhir sampel benda uji.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengujian absorpsi pada papercrete Pengujian absorpsi bertujuan mengetahui besarnya air yang bisa diserap oleh papercrete dengan membandingkan antara berat yang telah melewati perendaman dalam air (kondisi jenuh kering permukaan) dengan berat dalam kondisi kering oven. Adapun waktu perendaman yang dilakukan dalam penelitian ini adalah selama 10,5 menit; 30 menit, 60 menit, 1440 menit, 2880 menit dan 4320 menit. Pada tahapan awal ini dilakukan pengamatan terhadap besarnya serapan air oleh masing-masing sampel papercrete selama batas waktu perendaman yang telah ditentukan dan kemudian dilakukan pengolahan data untuk mengetahui besarnya prosentase nilai absorpsi (serapan air). Tabel 5. Hasil perhitungan nilai absorpsi pada papercrete No.
Kode benda uji
1. SKP-A 111 2. SKP-A 121 3. SKP-A 131 4. SKP-A 112 5. SKP-A 122 6. SKP-A 132 (Sumber: Pribadi, 2010)
Nilai absorpsi pada papercrete setelah direndam selama (%) 10,5 30 60 1440 2880 4320 menit menit menit menit menit menit 44,28 46,42 47,20 48,98 50,28 50,57 60,74 62,69 63,72 67,53 68,76 69,50 85,73 87,22 88,41 93,57 95,32 97,07 35,64 36,73 37,33 38,87 40,22 40,65 49,57 50,42 51,30 53,79 55,20 55,92 62,23 63,63 64,85 68,02 69,45 70,12
Nilai Absorpsi Tiap Variasi Campuran (%)
120 100 SKP-A 111 80
SKP-A 121 SKP-A 131
60
SKP-A 112 SKP-A 122
40
SKP-A 132 20 0 0.18 0.5
1
24
48
72
Waktu Perendaman (jam)
Gambar 4. Perbandingan nilai absorpsi pada papercrete tiap variasi campuran dengan waktu perendaman Hasil perhitungan menunjukkan bahwa besarnya nilai absorpsi pada papercrete mulai dari variasi campuran 111, 121, 131, 112, 122 dan 132 selama perendaman 10,5 menit berturut-turut adalah 44,28 %; 60,74 %; 85,73 %; 35,64 %; 49,57 % dan 62,23 %. Pada benda uji papercrete SKP-A 112 (campuran 1 semen : 1 kertas : 2 pasir) adalah benda uji papercrete yang memiliki nilai absorpsi (serapan air) terkecil, sedangkan benda uji papercrete SKP-A 131 (campuran 1 semen : 3 kertas : 1 pasir) memiliki nilai absorpsi (serapan air) terbesar. Nilai absorpsi pada papercrete sangat dipengaruhi sekali oleh besarnya prosentase penambahan bubur kertas pada tiap-tiap variasi campuran. Pada 6
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1
PEMANFAATAN LIMBAH KERTAS KORAN SEBAGAI BAHAN PENGGANTI AGREGAT KASAR DALAM CAMPURAN PAPERCRETE SERTA APLIKASINYA UNTUK ELEMEN STRUKTUR RINGAN DAN NON STRUKTUR RAMAH LINGKUNGAN
campuran dengan prosentase bubur kertas paling banyak memiliki nilai absorpsi (serapan air) yang paling tinggi atau bisa dikatakan bahwa semakin banyak prosentase penambahan bubur kertas pada campuran, maka akan semakin besar pula nilai absorpsi pada beton kertas. Kondisi ini disebabkan oleh banyaknya pori-pori yang terjadi pada papercrete sehingga membuat bahan kertas lebih leluasa dalam menyerap air. Pada adukan campuran dengan prosentase penambahan bubur kertas yang sama seperti kondisi diatas, namun ada penambahan agregat halus (pasir) pada setiap variasi campuran diperoleh hasil yang lebih baik. Hal ini disebabkan oleh pasir akan menutupi pori-pori yang terjadi pada papercrete sehingga bahan kertas lebih sulit untuk menyerap air dan kondisi ini akan berimbas dengan menurunnya nilai serapan air pada papercrete. Hal ini juga berarti bahwa kualitas papercrete akan meningkat dan semakin baik untuk digunakan bila dilihat dari parameter nilai absorpsinya. Nilai absorpsi (serapan air) papercrete pada masing-masing variasi campuran akan semakin besar seiring dengan bertambahnya waktu perendaman dan kondisi ini akan terus terjadi sampai papercrete dalam keadaan jenuh air. Hal ini sudah terlihat jelas mulai dari perendaman 48 jam ke perendaman 72 jam sudah sangat kecil nilai prosentase penambahan serapan airnya. Hal ini sudah dapat disimpulkan bahwa papercrete dalam waktu 1 hari telah mencapai kondisi jenuh air.
Hasil pengujian permeabilitas pada papercrete Pengujian permeabilitas bertujuan mengetahui besarnya nilai penetrasi dan permeabilitas papercrete dengan cara memberi tekanan air pada benda uji. Adapun standar pemberian tekanan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah air bertekanan 1 kg/cm2 selama 48 jam, dilanjutkan air bertekanan 3 kg/cm2 selama 24 jam dan air dengan tekanan 7 kg/cm2 selama 24 jam. Nilai koefisien permeabilitas masing-masing variasi adukan campuran pada papercrete dapat dihitung dengan menggunakan persamaan NISS (2001) yang sudah dikombinasikan dan diintegrasikan. Tabel 6. Hasil perhitungan nilai koefisien permeabilitas pada papercrete No.
Kode benda uji
Nilai koefisien permeabilitas (m/dt) 0,213505 x 10-6 1,21904 x 10-6 2,29956 x 10-6 1,18858 x 10-6 3,30194 x 10-6 5,17191 x 10-6
1. SKP-A 111 2. SKP-A 121 3. SKP-A 131 4. SKP-A 112 5. SKP-A 122 6. SKP-A 132 (Sumber: Pribadi, 2010)
Nilai Koefisien Permeabilitas (m/dt)
0.000006 0.000005 0.000004 0.000003 0.000002 0.000001 0 Variasi Campuran S KP-P 111
S KP-P 121
S KP-P 131
S KP-P 112
S KP-P 122
S KP-P 132
Gambar 5. Nilai koefisien permeabilitas pada papercrete tiap variasi campuran Hasil perhitungan menunjukkan bahwa besarnya nilai koefisien permeabilitas pada papercrete mulai dari variasi campuran 111, 121, 131, 112, 122 dan 132 selama 1 menit berturut-turut adalah 2,13505 x 10-7 m/dt; 1,21904 x 10-6 m/dt; 2,29956 x 10-6 m/dt; 1,18858 x 10-6 m/dt; 3,30194 x 10-6 m/dt; 5,17191 x 10-6 m/dt. Pada benda uji papercrete SKP-A 111 (campuran 1 semen : 1 kertas : 1 pasir) adalah benda uji papercrete yang memiliki nilai koefisien permeabilitas terkecil, sedangkan benda uji papercrete SKP-A 132 (campuran 1 semen : 3 kertas : 2 pasir) memiliki nilai koefisien permeabilitas terbesar. Nilai koefisien permeabilitas pada papercrete dipengaruhi oleh besarnya prosentase penambahan bubur kertas pada masing-masing variasi campuran. Pada campuran dengan prosentase bubur AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1 7
ARQOWI PRIBADI
kertas paling banyak memiliki nilai koefisien permeabilitas terbesar sehingga bisa dikatakan bahwa semakin banyak prosentase penambahan bubur kertas pada adukan campuran, maka akan semakin besar pula nilai koefisien permeabilitas pada papercrete. Kondisi ini juga berarti kualitas papercrete akan menurun dan memiliki kekedapan yang sangat kecil serta bersifat permeabel. Pada adukan campuran dengan prosentase penambahan bubur kertas yang sama seperti kondisi diatas, namun ada penambahan agregat halus (pasir) pada setiap variasi campurannya diperoleh hasil yang buruk. Adanya penambahan pasir pada campuran masih belum bisa menurunkan nilai koefisien permeabilitasnya. Bahkan hasil yang didapatkan malah lebih besar dibandingkan dengan tanpa menambahkan variasi pasirnya. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh penambahan pasir ke dalam adukan campuran kurang dapat menyatu secara homogen dengan pasta semen sehingga terbentuk rongga-rongga udara yang semakin besar dan mengakibatkan kepadatannya semakin berkurang. Kondisi ini berarti kualitas papercrete akan menurun dan bersifat porous serta mudah dilalui oleh air (permeabel).
Hubungan antara nilai absorpsi dengan nilai permeabilitas pada papercrete Grafik hubungan antara nilai absorpsi dan nilai koefisien permeabilitas tiap variasi campuran dapat digunakan untuk mencari seberapa besar prosentase penambahan bubur kertas ke dalam campuran yang paling baik diantara variasi campuran untuk menghasilkan papercrete dengan kinerja terbaik bila dilihat dari parameter nilai absorpsi dan nilai koefisien permeabilitasnya. Nilai absorpsi dan nilai koefisien permeabilitas akan semakin bertambah seiring dengan penambahan bubur kertas dan mengalami suatu penurunan apabila ada pengurangan bubur kertas ke dalam adukan campuran. Kondisi ini disebabkan oleh air yang digunakan untuk proses kimia hidrasi semen lebih cepat dan lebih banyak diserap oleh material kertas sendiri sehingga proses hidrasi semen menjadi kurang sempurna sehingga mengakibatkan rongga-rongga pada permukaan beton semakin banyak dan kepadatan menjadi semakin berkurang. 100
Nilai Absorpsi (%)
90
1440 menit
80 70
Variasi Bubur Kertas
10,5 menit
60
1440 menit
Variasi Bubur Kertas dan Pasir Variasi Bubur Kertas
10,5 menit
50 40
Variasi Bubur Kertas dan Pasir
30 20 10 0 0
1E-06
2E-06
3E-06
4E-06
5E-06
6E-06
Nilai Koefisien Permeabilitas (m/dt)
Gambar 6. Hubungan antara nilai absorpsi dengan koefisien permeabilitas selama 10,5 menit dan 1440 menit Aplikasi penggunaan papercrete pada elemen struktur ringan dan non struktur ramah lingkungan
Gambar 7. Bangunan rumah sederhana yang terbuat dari papercrete 8
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1
PEMANFAATAN LIMBAH KERTAS KORAN SEBAGAI BAHAN PENGGANTI AGREGAT KASAR DALAM CAMPURAN PAPERCRETE SERTA APLIKASINYA UNTUK ELEMEN STRUKTUR RINGAN DAN NON STRUKTUR RAMAH LINGKUNGAN
Gambar 8. Pembuatan dinding bangunan rumah berbahan papercrete
Gambar 9. Papercrete sebagai bahan pengganti paving block
Gambar 10. Papercrete sebagai bahan rabat beton untuk lantai
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1 9
ARQOWI PRIBADI
4.
KESIMPULAN
Berdasarkan pada hasil pengujian dan pembahasan yang telah dilakukan terhadap material kertas koran, maka pemanfaatan limbah kertas koran sebagai alternatif untuk pembuatan adukan campuran papercrete dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain : 1. Limbah kertas koran dapat dijadikan sebagai salah satu material alternatif untuk pembuatan adukan campuran papercrete dan sekaligus mampu mengurangi segala permasalahan sampah kertas khususnya di kota-kota besar Indonesia. 2. Survey lapangan juga menunjukkan bahwa pemanfaatan limbah kertas koran memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi dan beratnya sangat ringan jika dibandingkan dengan adukan campuran material lain seperti serat, kerikil, kayu dan bambu. 3. Sifat material kertas yang sangat cepat menyerap air dalam proses hidrasi semen menyebabkan papercrete memiliki kekedapan yang sangat kecil, bersifat porous dan mudah dilalui oleh air (permeabel) sehingga material kertas kurang cocok dan tepat apabila akan digunakan sebagai material yang disyaratkan dalam pembuatan beton kedap air. 4. Nilai absorpsi dan nilai permeabilitas pada papercrete akan mengalami kenaikan seiring dengan prosentase penambahan bubur kertas ke dalam masing-masing variasi campurannya. Kondisi ini disebabkan oleh material kertas yang ada di dalam adukan campuran papercrete hanya berfungsi sebagai filler atau pengisi saja tanpa memberikan daya dukung yang baik terhadap sifat absorpsi dan permeabilitasnya. 5. Hasil penelitian merekomendasikan bahwa variasi campuran yang paling baik untuk menghasilkan adukan campuran papercrete berkinerja terbaik jika dilihat dari parameter nilai absorpsi dan permeabilitasnya adalah adukan campuran dengan menggunakan perbandingan prosentase penambahan bubur kertas sangat kecil dalam tiap variasi campurannya.
DAFTAR PUSTAKA Arief, G. Satyarno, I. dan Tjokrodimuljo, K. (2008). Kajian Pemanfaatan Limbah Kertas Koran Untuk Pembuatan Panel Papercrete. Tugas Akhir, Program Studi S1 Teknik Sipil Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Tersedia di : http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/cef/article/view/17405.pdf. Ditjen Cipta Karya. (1999). Kajian Teknis Pengelolaan Sampah Kertas Kawasan Perkotaan. Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta. Gloria, P. and Indrani, H. C. (2014). “Potensi Kertas Koran dan Gabus sebagai Alternatif Material Akustik”. Jurnal INTRA, Vol. 2, No. 2, 146-153. Pribadi, A. (2010). Tinjauan Absorpsi Dan Permeabilitas Beton Kertas Pada Variasi Campuran. Tugas Akhir, Program Studi S1 Teknik Sipil Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Sari, TI. Maryadi dan Haviz, M. (2012). Pembuatan Bioetanol Dari Koran Bekas Dengan Hidrolisis Asam Encer (Studi Pengaruh Konsentrasi, Waktu Dan Temperatur Hidrolisis). Prosiding SNTK TOPI 2012, ISSN. 19070500. Pekanbaru. Wahyono, S. (2014). “Pengelolaan Sampah Kertas Di Indonesia”. Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol. 2, No. 3, 276280.
10
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1
ISSN : 2460-8815
STUDI LITERATUR TENTANG PENCEMARAN UDARA AKIBAT AKTIVITAS KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN KOTA SURABAYA Yusrianti Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Jl. Jend. A. Yani 117 Surabaya Email:
[email protected]
ABSTRAK Surabaya merupakan kota kedua terbesar di Indonesia. Permasalahan transportasi di kota ini hampir sama dengan di DKI Jakarta, Bandung dan Medan. Kota Surabaya, sebagai sebuah kota metropolitan, mempunyai volume lalu lintas yang sangat tinggi. Volume lalu lintas yang tinggi akan menimbulkan konsekuensi terhadap peningkatan polusi udara akibat gas buang dari kendaraan bermotor (Abubakar, 2006). Sejalan dengan itu pertumbuhan pada sektor transportasi, yang diproyeksikan sekitar 6% sampai 8% per tahun, pada kenyataannya tahun 1999 pertumbuhan jumlah kendaraan di kota besar hampir mencapai 15% per tahun. Dengan menggunakan proyeksi 6-8% maka penggunaan bahan bakar di Indonesia diperkirakan sebesar 2,1 kali konsumsi tahun 1990 pada tahun 1998, sebesar 4,6 kali pada tahun 2008 dan 9,0 kali pada tahun 2018 (World Bank, 1993 cit KLH, 1997).Berbagai studi yang dilaksanakan menunjukkan bahwa transportasi merupakan sumber utama pencemaran udara. Pencemaran udara dan sektor transportasi rata – rata berkisar 70% dari total pencemaran udara. Di dalam laporan WHO (1992) dinyatakan paling tidak 90% dari CO di udara perkotaan berasal dari emisi kendaraan bermotor. Menggunakan bahan bakar alternatif merupakan salah satu bentuk upaya perbaikan kualitas udara di Kota Surabaya.Bahan bakar alternatif, selain BBM, yang dapat digunakan diantaranya : CNG (compressed natural gas), LPG (Liquid Petroleum Gas) dan bensin super TT sudah mulai digunakan di Indonesia walaupun masih dalam skala terbatas. Untuk masyarakat yang mempunyai kendaraan bermotor agar memeriksakan kendaraannya jangan sampai kadar emisi gas buang melebihi ambang batas, terutama dengan pemeliharaan kendaraan yang baik dan benar. Kata kunci: pencemaran udara, kendaraan bermotor, transportasi, emisi
1.
PENDAHULUAN
Surabaya merupakan kota kedua terbesar di Indonesia. Permasalahan transportasi di kota ini hampir sama dengan di DKI Jakarta, Bandung dan Medan. Kota Surabaya, sebagai sebuah kota metropolitan, mempunyai volume lalu lintas yang sangat tinggi. Volume lalu lintas yang tinggi akan menimbulkan konsekuensi terhadap peningkatan polusi udara akibat gas buang dari kendaraan bermotor (Abubakar, 2006). Apalagi sebagian besar kendaraan bermotor yang beroperasi di Kota Surabaya masih menggunakan bahan bakar minyak (BBM) berupa Premix, Premium atau Solar.Penggunaan BBM menjadi penyumbang besar terhadap polusi udara karena di dalam bahan bakar tersebut terkandung bahan – bahan yang membahayakan terhadap kesehatan manusia dan merusak lingkungan. Bahan – bahan yang terkandung dalam BBM diantaranya: CO, HC, NOx, SOx, timbal dalam bentuk senyawa TEL (Tetra Ethil Lead) dan sejenisnya (Abubakar, 2006). Kendaraan bermotor akan menyebabkan pencemaran udara. Semakin meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di daerah perkotaan akan mengakibatkan penurunan kualitas udara bersih akibat emisi dari hasil pembakaran bahan bakar kendaraan tersebut. Asap dari kendaraan bermotor akan mengeluarkan gas – gas yang beracun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2004, di beberapa propinsi terutama di kota-kota besar seperti Medan, Surabaya dan Jakarta, emisi kendaraan bermotor merupakan kontribusi terbesar terhadap konsentrasi NO 2 dan CO di udara yang jumlahnya lebih dari 50% (Simanjuntak, 2007). Di dalam udara terkandung gas yang terdiri dari 78% nitrogen, 20% oksigen, 0,93% argon, 0,03% karbon dioksida, dan sisanya terdiri dari neon, helium, metan dan hidrogen. Komposisi tersebut dikatakan sebagai udara normal dan dapat mendukung kehidupan manusia. Namun, akibat aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan, udara sering kali menurun kualitasnya. Perubahan ini dapat berupa sifat-sifat fisis maupun kimiawi. Perubahan kimiawi dapat
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1 11
YUSRIANTI
berupa pengurangan maupun penambahan salah satu komponen kimia yang terkandung dalam udara. Kondisi seperti itu lazimdisebut dengan pencemaran (polusi) udara Permasalahan polusi udara akibat emisi kendaraan bermotor sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan terutama di kota-kota besar, salah satunya adalah di kota Surabaya (Wardhana, 1995). Pencemaran udara adalah masuknya atau tercampurnya unsur-unsur berbahaya ke dalam atmosfir yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan sehingga menurunkan kualitas lingkungan. Dengan demikian akan terjadi gangguan pada kesehatan manusia. Terdapat dua jenis sumber pencemaran udara, yang pertama adalah pencemaran akibat sumber alamiah (natural sources) seperti letusan gunung berapi dan yang kedua berasal dari kegiatan manusia (anthropogenic sources) seperti yang berasal dari transportasi, emisi pabrik, dan lain-lain. Pencemaran udara dapat terjadi dimana-mana, seperti di dalam rumah, sekolah, dan kantor. Pencemaran seperti ini sering disebut dengan pencemaran dalam ruangan (indoor pollution). Sedangkan pencemaran di luar ruangan (outdoor pollution) berasal dari emisi kendaraan bermotor, industri, perkapalan, dan proses alami oleh makhluk hidup. Sumber pencemar udara dapat diklasifikasikan menjadi sumber diam dan sumber bergerak. Sumber diam terdiri dari pembangkit listrik, industri dan rumah tangga. Sedangkan sumber bergerak adalah aktifitas lalu lintas kendaraan bermotor di darat dan tranportasi laut (Simanjuntak, 2007). Dengan kemajuan ekonomi yang sangat pesat mendorong semakin bertambahnya kebutuhan akan transportasi, di lain sisi lingkungan alam yang mendukung hajat hidup manusia semakin terancam kualitasnya, sehingga efek negatif polusi udara terhadap kehidupan manusia semakin hari semakin bertambah. Tingkat pencemaran udara di Surabaya sudah mencapai tingkat mengkhawatirkan dan sektor transportasi merupakan kontributor utama bagi pencemaran udara ini.
Gambar 1. Kondisi Jalan Blauran-Praban (2014) Menurut data Kasatlantas Polrestabes Surabaya pada tahun 2014, setiap bulan pertambahan kendaraan di Surabaya selalu di atas 17 ribu. Rata-rata, setiap bulan sepeda motor di Surabaya bertambah 13.441. Sementara itu, kendaraan roda empat atau lebih tiap bulan rata-rata bertambah 4.042. Jika ditotal, setiap bulan rata-rata kendaraan di Surabaya bertambah 17.483. Data kepolisian menyebutkan, saat ini jumlah kendaraan di Surabaya mencapai angka 4,5 juta ( 4.521.629). Jumlah kendaraan roda dua di Surabaya mencapai 3.625.999, sisanya merupakan kendaraan roda empat atau lebih. Total keseluruhan ada 915.630 kendaraan (http://www.jawapos.com/baca/artikel/9796/kendaraan-disurabaya-tambah-17-ribu-lebih-sebulan). Dengan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor akan menyebabkan penurunan kualitas udara akibat emisi polutan dari hasil pembakaran bahan bakar sehingga beberapa penelitian telah membahas pencemaran udara akibat emisi polutan pada kendaraan bermotor.
2.
STUDI LITERATUR
Menurut Simanjuntak (2007), pencemaran udara dapat disebabkan oleh sumber bergerak dan sumber tidak bergerak yang meliputi sektor transportasi, industri, dan domestik. Pencemaran udara merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang serius di Indonesia saat ini, sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dan peningkatan ekonomi transportasi. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara : 1. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang 12
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1
STUDI LITERATUR TENTANG PENCEMARAN UDARA AKIBAT AKTIVITAS KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN KOTA SURABAYA
2. 3. 4.
5. 6. 7. 8. 9.
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
19. 20. 21. 22.
23. 24. 25. 26.
27. 28. 29. 30.
menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya; Pengendalian pencemaran udara adalah upaya pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara serta pemulihan mutu udara; Sumber pencemar adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya; Udara ambien adalah udara bebas dipermukaan bumi pada lapisan troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya; Mutu udara ambien adalah kadar zat, energi, dan/atau komponen lain yang ada di udara bebas; Status mutu udara ambien adalah keadaan mutu udara di suatu tempat pada saat dilakukan inventarisasi; Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien; Perlindungan mutu udara ambien adalah upaya yang dilakukan agar udara ambien dapat memenuhi fungsi sebagaimana mestinya; Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar; Mutu emisi adalah emisi yang boleh dibuang oleh suatu kegiatan ke udara ambien; Sumber emisi adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dari sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak maupun sumber tidak bergerak spesifik; Sumber bergerak adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari kendaraan bermotor; Sumber bergerak spesifik adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari kereta api, pesawat terbang, kapal laut dan kendaraan berat lainnya; Sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat; Sumber tidak bergerak spesifik adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat yang berasal dari kebakaran hutan dan pembakaran sampah; Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah batas kadar maksimum dan/atau beban emisi maksimum yang diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambien; Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor adalah batas maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor; Sumber gangguan adalah sumber pencemar yang menggunakan media udara atau padat untuk penyebarannya, yang berasal dari sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, atau sumber tidak bergerak spesifik; Baku tingkat gangguan adalah batas kadar maksimum sumber gangguan yang diperbolehkan masuk ke udara dan/atau zat padat; Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor adalah batas maksimum energi suara yang boleh dikeluarkan langsung dari mesin dan/atau transmisi kendaraaan bermotor; Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu; Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang menggunakan mesin dan/atau transmisi tipe baru yang siap diproduksi dan dipasarkan, atau kendaraan yang sudah beroperasi tetapi akan diproduksi ulang dengan perubahan desain mesin dan sistem transmisinya, atau kendaraan bermotor yang diimpor tetapi belum beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia; Kendaraan bermotor lama adalah kendaraan yang sudah diproduksi, dirakit atau diimpor dan sudah beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia; Uji tipe emisi adalah pengujian emisi terhadap kendaraan bermotor tipe baru; Uji tipe kebisingan adalah pengujian tingkat kebisingan terhadap kendaraan bermotor tipe baru; Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) adalah angka yang tidak mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu, yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya; Inventarisasi adalah kegiatan untuk mendapatkan data dan informasi yang berkaitan dengan mutu udara; Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan; Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup; Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1 13
YUSRIANTI
Tabel 1. Baku Mutu Udara Ambien Nasional No.
Parameter
1
SO2 (Sulfur Dioksida)
2
CO (Karbon Monoksida)
3
NO2 (Nitrogen Dioksida)
4 5 6
7 8
9
10
O3 (Oksidan) HC (Hidro Karbon) PM10 (Partikel < 10 µm) PM2,5 (*) (Partikel<2,5 µm) TSP (Debu) Pb (Timah Hitam)
Waktu Pengukuran 1 Jam 24 Jam 1 Thn 1 Jam 24 Jam
900 µg/Nm 365 µg/Nm3 60 µg/Nm3 30.000 µg/Nm3 10.000 µg/Nm3
1 Thn 1 Jam 24 Jam
Metode Analisis
Peralatan
Pararosanilin
Spektrofotometer
NDIR
NDIR Analyzer
400 µg/Nm3 150 µg/Nm3
Saltzman
Spektrofotometer
1 Thn 1 Jam 1 Thn 3 Jam
100 µg/Nm3 235 µg/Nm3 50 µg/Nm3 160 µg/Nm3
Chemiluminescent
Spektrofotometer
24 Jam
150 µg/Nm3
Gravimetric
24 Jam 1 Thn 24 Jam 1 Thn 24 Jam 1 Thn
65 µg/Nm3 15 µg/Nm3 230 µg/Nm3 90 µg/Nm3 2 µg/Nm3 1 µg/Nm3
Gravimetric Gravimetric Gravimetric
Hi - Vol Hi - Vol Hi - Vol
Gravimetric Ekstraktif Pengabuan
Hi - Vol
Dustfall (Debu Jatuh)
30 hari
Total Fluorides (as F)
Baku Mutu 3
Flame lonization
Gas Chromatogarfi Hi - Vol
AAS
Gravimetric
Cannister
24 Jam
10 Ton/km2/Bulan (Pemukiman) 20 Ton/km2/Bulan (Industri) 3 µg/Nm3
Specific Ion
Impinger atau
90 hari
0,5 µg/Nm3
Electrode
40 µg/100 cm2 dari kertas limed filter 150 µg/Nm3
Colourimetric
Countinous Analyzer Limed Filter
1 mg SO3/100 cm3 Dari Lead Peroksida
Colourimetric
11
Fluor Indeks
30 hari
12
Khlorine & Khlorine Dioksida
24 Jam
13
Sulphat Indeks
30 hari
Specific Ion Electrode
Paper Impinger atau Countinous Analyzer Lead Peroxida Candle
*Catatan : Nomor 10 s/d 13 hanya diberlakukan untuk daerah/kawasan Industri Kimia Dasar (Sumber: PP RI Nomor 41 Tahun 1999)
14
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1
STUDI LITERATUR TENTANG PENCEMARAN UDARA AKIBAT AKTIVITAS KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN KOTA SURABAYA
Gambar 2. Sumber bergerak pencemaran udara dari bus
Gambar 3. Sumber bergerak pencemaran udara dari mobil Menurut Anna, dkk (2011) emisi kendaraan bermotor di jalan disebabkan oleh tiga faktor yaitu volume total kendaraan bermotor, karakteristik kendaraan bermotor dan kondisi umum lalu lintas saat itu. Menurut Soedomo,dkk (1990) transportasi darat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap setengah dari total emisi SPM10, untuk sebagian besar timbal, CO, HC dan NOx di daerah perkotaan, dengan konsentrasi utama terdapat di daerah lalu lintas yang padat, dimana tingkat pencemaran udara sudah dan/atau hampir melampaui standar kualitas udara ambient. Sejalan dengan itu pertumbuhan pada sektor transportasi, yang diproyeksikan sekitar 6% sampai 8% per tahun, pada kenyataannya tahun 1999 pertumbuhan jumlah kendaraan di kota besar hampir mencapai 15% per tahun. Dengan menggunakan proyeksi 6-8%, maka penggunaan bahan bakar di Indonesia diperkirakan sebesar 2,1 kali konsumsi tahun 1990 dan pada tahun 1998; sebesar 4,6 kali pada tahun 2008 dan 9,0 kali pada tahun 2018 (World Bank, 1993 cit KLH, 1997). Pada tahun 2020 setengah dari jumlah penduduk Indonesia akan menghadapi permasalahan pencemaran udara perkotaan yang didominasi oleh emisi dari kendaraan bermotor. Tabel 2. Interval tingkat pencemaran udara di ruas jalan kota-kota besar No.
Lokasi/Kota
HC NOx CO (ppm) (ppm) (ppm) 1. Bandung 0,10-5,0 0,016-0,123 0,01-6,67 2. Surakarta 0,10-2,85 0,006-0,050 0,06-4,87 3. Yogyakarta 0,10-6,80 0,019-0,094 1,31-7,86 4. Semarang 2,50-5,12 0,003-0,490 0,64-5,68 5. Surabaya 2,50-6,70 0,016-0,123 0,01-6,67 6. Denpasar (Bali) 2,60-8,30 0,023-0,189 0,48-11,53 7. Serang (Banten) 0,80-8,00 0,001-0,111 0,061-4,206 (Sumber: Nanny, Puslitbang Jalan dan Jembatan, 2008)
O3 (ppm) 0,002-0,081 0,008-0,040 0,005-0,025 0,020-0,040 0,002-0,081 0,005-0,035 0,003-0,076
SPM10 (µg/m3) 6,0-212,0 10,0-114,0 34,0-131,0 41,0-189,0 6,0-212,0 15,0-239,0 9,0-260,0
SOx (ppm) 0,001-0,50 0,003-0,020 0,001-0,010 0,003-0,040 0,001-0,050 0,001-0,010 0,049-0,276
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1 15
YUSRIANTI
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis-jenis zat pencemar udara Zat-zat pencemar udara, yang berasal dari kegiatan manusia adalah sebagai berikut : a. Karbon Monoksida (CO) Gas buang kendaraan bermotor merupakan sumber utama bagi karbon monoksida di berbagai perkotaan. Data mengungkapkan 60%-70% pencemaran udara di Indonesia disebabkan karena benda bergerak atau transportasi umum yang berbahan bakar solar terutama berasal dari Metromini. Formasi CO merupakan fungsi dari rasio kebutuhan udara dan bahan bakar dalam proses pembakaran di dalam ruang bakar mesin diesel. Percampuran terbaik antara udara dan bahan bakar terutama yang terjadi pada mesin-mesin yang menggunakan Turbocharge merupakan salah satu strategi untuk meminimalkan emisi CO. Karbon monoksida yang meningkat di berbagai perkotaan dapat mengakibatkan turunnya berat janin dan meningkatkan jumlah kematian bayi serta kerusakan otak. Karena itu, strategi penurunan kadar karbon monoksida akan tergantung pada pengendalian emisi seperti pengggunaan bahan katalis yang dapat mengubah bahan karbon monoksida menjadi karbon dioksida dan penggunaan bahan bakar terbarukan yang rendah polusi bagi kendaraan bermotor. b. Nitrogen Oksida (NOx) Sampai tahun 2000 NOx yang berasal dari alat transportasi laut di Jepang menyumbangkan 38% dari total emisi NOx (25.000 ton/tahun). Gas NOx terbentuk atas tiga fungsi yaitu Suhu (T), Waktu Reaksi (t) dan konsentrasi Oksigen (O2), NOx = f (T, t, O2). Ada 3 jenis teori yang mengemukakan terbentuknya Nox yaitu : 1. Thermal NOx (Extended Zeldovich Mechanism) : Proses ini disebabkan gas nitrogen yang beroksidasi pada suhu tinggi pada ruang bakar (>1800 K). Thermal Nox didominasi oleh emisi NO (NOx → NO + NO2). 2. Prompt NOx : Formasi NOx ini akan terbentuk cepat pada zona pembakaran. 3. Fuel NOx : NOx formasi ini terbentuk karena kandungan N dalam bahan bakar. Kira-kira 90% dari emisi NOx adalah disebabkan proses thermal NOx dan tercatat dengan penggunaan HFO (Heavy Fuel Oil), bahan bakar yang biasa digunakan di kapal, menyumbangkan emisi NOx sebesar 20-30%. Nitrogen oksida yang berada di udara yang dihirup oleh manusia dapat menyebabkan kerusakan paru-paru. Setelah bereaksi dengan atmosfir, zat ini membentuk partikel-partikel nitrat yang amat halus dapat menembus bagian terdalam paru-paru. Selain itu, zat oksida jika bereaksi dengan asap bensin yang tidak terbakar secara sempurna dan zat hidrokarbon lainnya akan membentuk ozon rendah atau kabut berawan coklat kemerahan yang menyelimuti sebagian besar kota di dunia. c. Sulfur Oxide (SOx) Emisi SOx terbentuk dari fungsi kandungan sulfur dalam bahan bakar, selain itu kandungan sulfur dalam pelumas, juga menjadi penyebab terbentuknya Sox emisi. Struktur sulfur terbentuk pada ikatan aromatic dan alkyl. Dalam proses pembakaran sulfur dioxide dan sulfur trioxide terbentuk dari reaksi : S + O2 → SO2 SO2 + ½ O2 → SO3 Kandungan SO3 dalam SOx sangat kecil sekali yaitu sekitar (1-5)% saja. Gas yang berbau tajam, tapi tidak berwarna ini dapat menimbulkan serangan asma, gas ini pun apabila bereaksi di atmosfir akan membentuk zat asam. Badan kesehatan dunia (WHO) juga menyatakan tahun 1997-2003 jumlah sulfur dioksida di udara telah mencapai ambang batas. d. HydroCarbon (HC) Emisi Hidrokarbon (HC) terbentuk dari bermacam-macam mesin merupakan sumber pencemar. Penyebabnya adalah karena tidak terbakarnya bahan bakar secara sempurna dan tidak terbakarnya minyak pelumas silinder. Emisi HC pada bahan bakar HFO yang biasa digunakan pada mesin-mesin diesel besar akan lebih sedikit jika dibandingkan dengan mesin diesel yang berbahan bakar Diesel Oil (DO). Emisi HC ini berbentuk gas methan (CH4). Jenis emisi ini dapat menyebabkan leukemia dan kanker. e. Partikulat Matter (PM) Partikel debu dalam emisi gas buang ini terdiri dari bermacam-macam komponen. Bukan hanya berbentuk padatan, tapi juga berbentuk cairan yang mengendap dalam partikel debu. Pada proses pembakaran debu terbentuk dari pemecahan unsur hidrokarbon dan setelah proses oksidasi. Dalam debu tersebut terkandung debu sendiri dan beberapa kandungan metal oksida. Dalam kelanjutan proses ekspansi di atmosfir, kandungan metal dan debu tersebut membentuk partikulat. Beberapa unsur kandungan partikulat adalah karbon, SOF (Soluble Organic Fraction), debu, SO4 dan H2O. Sebagian benda partikulat keluar dari cerobong pabrik sebagai asap hitam tebal, tetapi yang paling berbahaya adalah butiran-butiran halus sehingga dapat menembus bagian terdalam paru-paru. Diketahui juga bahwa di beberapa kota besar di dunia perubahan menjadi partikel sulfat di atmosfir banyak disebabkan karena proses oksida oleh molekul sulfur.
16
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1
STUDI LITERATUR TENTANG PENCEMARAN UDARA AKIBAT AKTIVITAS KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN KOTA SURABAYA
Dampak kendaraan bermotor terhadap tingkat polusi udara di kota Surabaya Berbagai studi yang dilaksanakan menunjukkan bahwa transportasi merupakan sumber utama pencemaran udara. Pencemaran udara dan sektor transportasi rata-rata berkisar 70% dari total pencemaran udara. Di dalam laporan WHO (1992) dinyatakan paling tidak 90% dari CO di udara perkotaan berasal dari emisi kendaraan bermotor. Pada umumnya, dari berbagai sektor yang potensial dalam mencemari udara, maka, sektor transportasi memegang peran yang sangat besar dibanding dengan sektor yang lainnya. Di kota-kota besar, kontribusi gas buang kendaraan bermotor sebagai sumber polusi udara mencapai 60-70%, sementara, kontribusi gas buang dari cerobong asap industri hanya berkisar 10-15%, dan sisanya berasal dari sumber pembakaran lain; misalnya rumah tangga, pembakaran sampah, kebakaran hutan dan lain-lain (BPLH DKI Jakarta, 2013). Pada jam-jam tertentu ada beberapa titik padat kendaraaan bermotor yang tingkat polusinya sudah melampaui ambang batas. Ada tempat-tempat tertentu mulai terlihat penurunan kualitas udara terutama karena macet. Keracunan akibat dari emisi gas buang kendaraan bermotor sangat rentan terkena bagi masyarakat yang menjadikan jalanan sebagai tempat untuk mengais rejeki. Menurut Hickman (1999) setiap liter bahan bakar yang dibakar akan bisa mengemisikan sekitar 100 gram Karbon Monoksida; 30 gram Oksida Nitrogen; 2,5 kg Karbon Dioksida dan berbagai senyawa lainnya termasuk senyawa sulfur ini akan memberikan konstribusi terhadap polusi udara atmosfir. Secara visual selalu terlihat asap dari knalpot kendaraan dengan bahan bakar solar dan tidak terlihat pada kendaraan berbahan bakar bensin. Emisi kendaraan bermotor berupa nitrogen, karbon dioksida dan uap air bukan merupakan gas yang berbahaya namun selain dari gasgas tersebut ternyata emisi kendaraan bermotor mengandung karbon monoksida (CO), senyawa hidrokarbon (HC), berbagai oksida nitrogen (NOx), oksida sulfur (SOx) dan partikulat debu termasuk timbal (Pb). Menurut Department of Environment and Conservation (2005) kendaraan bermotor merupakan sumber utama polusi udara di daerah perkotaan dan menyumbang 70% emisi NOx, 52% emisi VOC dan 23% partikulat. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 45 Tahun 1997 tentang Indeks Standar Pencemar Udara, Pemerintah menetapkan Indeks Standar Pencemar Udara merupakan angka yang tidak mempunyai satuan untuk menggambarkan kondisi kualitas udara ambien di lokasi dan waktu tertentu didasarkan pada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya sebagaimana tabel di bawah ini. Tabel 3. Indeks standar pencemar udara No. 1.
Kategori
Rentang
Penjelasan Tingkat kualitas udara yang tidak memberikan efek bagi Baik 0 – 50 kesehatan manusia atau hewan dan tidak berpengaruh pada tumbuhan, bangunan, ataupun estetika 2. Tingkat kualitas udara yang tidak berpengaruh pada kesehatan Sedang 51 – 100 manusia atau hewan tetapi berpengaruh pada tumbuhan yang sensitif, dan nilai estetika 3. Tingkat kualitas udara yang bersifat merugikan pada manusia Tidak sehat 101 – 199 ataupun kelompok hewan yang sensitif atau bisa menimbulkan kerusakan pada tumbuhan ataupun nilai estetika 4. Tingkat kualitas udara yang dapat merugikan kesehatan pada Sangat tidak sehat 200 – 299 sejumlah segmen populasi yang terpapar 5. Tingkat kualitas udara berbahaya yang secara umum dapat Berbahaya 300 – lebih merugikan kesehatan yang serius pada populasi (Sumber: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.45 Tahun 1997) Ismiyati, dkk (2014) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor penting yang menyebabkan dominannya pengaruh sektor transportasi terhadap pencemaran udara perkotaan di Indonesia, antara lain : a. Perkembangan jumlah kendaraan yang cepat (eksponensial); b. Tidak seimbangnya antara prasarana transportasi dengan jumlah kendaraan yang ada; c. Pola lalu lintas perkotaan berorientasi memusat akibat terpusatnya kegiatan perekonomian dan perkantoran; d. Masalah turunan akibat pelaksanaan kebijakan pengembangan kota yang ada, misalnya daerah pemukiman penduduk yang semakin menjauhi pusat kota; e. Kesamaan waktu aliran lalu lintas; f. Jenis, umur dan karakteristik kendaraan bermotor; g. Faktor perawatan kendaraan; h. Jenis bahan bakar yang digunakan; i. Jenis permukaan jalan; j. Siklus dan pola mengemudi (driving pattern). AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1 17
YUSRIANTI
Menurut Yanismai bahwa kendaraan baru umumnya pembakaran dalam mesinnya bagus sehingga kadar CO yang dikeluarkan sedikit. Mobil atau kendaraan tua banyak mengeluarkan gas CO karena proses pembakaran dalam mesin jelek. Pembakaran yang tidak sempurna dari proses pembakaran bahan bakar akan menimbulkan gas CO yang tinggi dan hal ini sering terjadi pada proses pembakaran dari kendaraan bermotor terutama kendaraan yang kurang pemeliharaannya. Selain itu karburator atau injector, saringan udara atau bensin yang kotor, serta kualitas bensin yang rendah juga bisa jadi penyebab meningkatnya CO. Menurut Suksmeri (2003) menyatakan bahwa banyak faktor lain yang menyebabkan tinggi rendahnya konsentrasi CO diudara, misalnya kecepatan angin dapat mendistribusikan polutan ke lokasi lain, faktor kelembaban udara yang mampu mengikat polutan sehingga konsentrasinya relatif tinggi dan juga dari tanaman itu sendiri karena setiap jenis tanaman memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menyerap polutan. Dilihat dari jenis bahan bakar yang digunakan oleh kendaraan, besarnya kontribusi emisi gas buang dapat ditunjukkan pada tabel 4 dibawah ini. Tabel 4. Kontribusi gas buang berdasarkan jenis bahan bakar No.
Jenis gas buang
1. Karbonmonoksida (CO) 2. Hidrokarbon 3. NOx 4. SO2 5. Timah Hitam (Pb) 6. CO2 7. Asap (Sumber: Pertamina Jakarta, 2001) 1997)
Konstribusi berdasarkan jenis BBM Bensin (%) Diesel (%) 89,0 11,0 73,0 27,0 61,0 39,0 15,0 85,0 100,0 0,0 53,0 47,0 1,0 99,0
Kendaraan bermotor yang menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) mengandung timah hitam (leaded) berperan sebagai penyumbang polusi cukup besar terhadap kualitas udara dan kesehatan. Kondisi tersebut semakin diperparah lagi oleh terjadinya krisis ekonomi yang melanda negara kita sejak tahun 1997, dimana kondisi kendaraan bermotor dan angkutan sangat buruk akibat mahalnya beberapa suku cadang dan perawatan yang kurang baik sehingga proses pembakaran menjadi kurang sempurna. Upaya untuk mengurangi dampak polusi/pencemaran udara Upaya pengendalian pencemaran udara akibat kendaraan bermotor mencakup upaya-upaya pengendalian baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga dapat menurunkan tingkat emisi dari kendaraan bermotor secara efektif, antara lain (Sudrajad, 2006) : a. Mengurangi jumlah mobil lalu lalang, misalnya dengan jalan kaki, naik sepeda, kendaraan umum atau naik satu kendaraan pribadi bersama teman-teman (car pooling); b. Melakukan perawatan mobil dengan saksama agar tidak boros bahan bakar dan asapnya tidak mengotori udara, c. Meminimalkan pemakaian AC dengan memilih AC non-CFC dan hemat energi; d. Memilih bensin yang bebas timbal. Menurut Widyawati (2011) solusi untuk pengendalian pencemaran polusi udara di Kota Surabaya, antara lain : a. Dengan Hukum Kesehatan Lingkungan pencemaran udara bisa dikendalikan dalam upaya pencegahan dan/atau penanggulangan dampak dari pencemaran udara; b. Pemerintah melakukan sosialisasi Peraturan Pemerintah dan Undang-Undang yang mengatur lingkungan hidup agar dapat menimbulkan kesadaran pada masyarakat terhadap pentingnya pelestarian lingkungan hidup untuk masa kini dan juga mendatang. Menurut Irawan (2009) yaitu dengan menggunakan pemanfaatan teknologi pengontrolan gas emisi, antara lain : a. Modifikasi mesin; b. Modifikasi pada saluran gas buang; c. Modifikasi penggunaan bahan bakar atau sistem bahan bakarnya. Menurut Machsus (2008) menyatakan bahwa dengan menggunakan bahan bakar alternatif merupakan salah satu bentuk upaya perbaikan kualitas udara di Kota Surabaya. Bahan bakar alternatif, selain BBM yang dapat digunakan diantaranya : CNG (Compressed Natural Gas), LPG (Liquid Petroleum Gas) dan juga bensin super TT sudah mulai digunakan di Indonesia walaupun masih dalam skala terbatas.
18
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1
STUDI LITERATUR TENTANG PENCEMARAN UDARA AKIBAT AKTIVITAS KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN KOTA SURABAYA
Menurut Nanny (2008) menyatakan bahwa dampak-dampak pencemaran udara kendaraan bermotor dapat juga dicegah dengan cara pemilihan rute lalu lintas yang cukup jauh dari areal berpenduduk dan mengurangi kemacetan lalu lintas, misalnya dengan pembuatan jalan bypass tidak memasuki areal permukiman, mempertahankan integritas komersial dan sosial jalan, tapi masih membolehkan akses ke jalan raya. Selain itu juga, dapat dilakukan mitigasi perbaikan desain untuk meminimalkan pencemaran udara akibat kendaraan bermotor yang meliputi : a. Pemilihan alinyemen jalan tidak melalui daerah dekat permukiman, sekolah dan perkantoran; b. Menyediakan kapasitas jalan yang cukup memadai untuk menghindari kemacetan lalu lintas dengan proyeksi peningkatan arus lalu lintas di masa yang akan datang; c. Menghindari penempatan perpotongan jalan yang sibuk; d. Memperhitungkan pengaruh arah angin dalam penentuan lokasi jalan dan bangunan pelengkapnya, seperti penempatan pompa bensin di dekat permukiman; e. Sebisa mungkin harus menghindari lereng curam dan belokan tajam yang akan mendorong penurunan atau peningkatan kecepatan serta shifting; f. Laburi jalan-jalan yang berdebu terutama di daerah-daerah padat penduduk; g. Penanaman vegetasi yang tinggi, berdaun lebat dan juga rapat diantara jalan dan pemukiman untuk menyaring pencemaran udara. Selanjutnya berbagai upaya yang dapat juga dilakukan dengan cara, antara lain : a. Mengupayakan reboisasi sebab menghasilkan oksigen yang sangat kita perlukan, sementara karbondioksida yang dihasilkan oleh mesin-mesin kendaraan bermotor maupun industri pabrik akan diserap oleh tumbuhan tersebut. Selain itu, tumbuh-tumbuhan yang rindang dapat mengatasi panasnya suhu yang diakibatkan oleh pembakaran pada mesin kendaraan bermotor terutama pada saat lalu lintas macet; b. Beberapa negara maju telah mencoba membuat sistem pengendali mesin mobil yang dapat menurunkan kadar karbon monoksida dan nitrogen sebagai akibat dari pembakaran mesin mobil; c. Dengan pembatasan izin bagi angkutan umum kecil dan memperbanyak kendaraan angkutan massal seperti bus atau kereta api semakin diperbanyak. Kemudian, kontrol terhadap jumlah kendaraan pribadi juga harus sering dilakukan seiring dengan perbaikan pada sejumlah angkutan umum.
4.
KESIMPULAN
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa orang dapat kita simpulkan : 1. Aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan.Pencemaran udara dapat didefinisikan sebagai kondisi atmosfer yang terdiri atas senyawa-senyawa dengan konsentrasi tinggi diatas kondisi udara ambien normal, sehingga menimbulkan dampak negatif bagi manusia, hewan vegetasi, maupun benda lainnya. 2. Seringkali peraturan sudah dikeluarkan tetapi seiring berjalannya waktu, aturan kadang pelan-pelan terkikis seolah dilupakan. Tindakan yang pernah dilakukan dengan melibatkan pihak berwajib, misalnya SAMSAT dan POLANTAS. Setiap kendaraan diwajibkan menjalani uji emisi untuk persyaratan kir. Namun kenyataannya banyak kendaraan yang tak layak jalan masih tetap beroperasi di jalan. Hal ini karena di Indonesia yang kesadaran masyarakatnya masih rendah tentang arti pentingnya kesehatan dan keamanan berkendara masih rendah. Kebijakan yang mengatur masalah emisi kendaraan sudah ada dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan dan juga Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2006 tentang Ambang Batas Emisi Kendaraan Bermotor Lama. 3. Selanjutnya, pembatasan usia kendaraan terutama bagi angkutan umum juga perlu mendapatkan pertimbangan secara khusus, mengingat, semakin tua kendaraan, apalagi yang kurang terawat, sangat berpotensi besar sebagai penyumbang polutan udara. Selaras dengan itu, pembangunan MRT dan Electronic Road Pricing (ERP), juga mendesak untuk direalisasikan. Di samping itu, pengaturan lalu lintas, rambu-rambu dan tindakan tegas terhadap pelanggaran berkendara benar-benar dapat diwujudkan, begitu juga uji emisi yang dilakukan secara berkala, serta penanaman pohon berdaun lebar di pinggir jalan, terutama yang lalu lintasnya padat, dapat juga mengurangi polusi udara. 4. Masalah lingkungan adalah tanggung jawab masyarakat dan pemerintah yang tentunya pemerintah sendiri harus melaksanakan program untuk masyarakat dalam hal menangani sekaligus mengantisipasi pencemaran udara. Dalam hal ini pemerintah harus membuat sarana untuk meminimalisir pencemaran udara tersebut misalnya dengan pembuatan paru-paru kota berupa taman di tengah kota, penyuluhan kepada masyarakat agar mau menanam tumbuh-tumbuhan disekitar pekarangan rumah. Selain upaya pemerintah terhadap industri yang mengeluarkan asap yang berbahaya bagi pencemaran udara janganlah diberikan ijin untuk mendirikannya di tengah kota atau disekitar kota. Untuk masyarakat yang mempunyai kendaraan bermotor agar memeriksakan kendaraannya jangan sampai kadar emisi gas buang melebihi ambang batas, terutama dengan pemeliharaan kendaraan yang baik dan benar. AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1 19
YUSRIANTI
DAFTAR PUSTAKA Abubakar Iskandar, 2006. Perkiraan Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk Transportasi Darat, Badan Litbang Perhubungan Departemen Perhubungan RI Jakarta. Anna, dkk, 2011. Pengaruh Keberadaan Parkir dan Pedagang Kaki Lima Terhadap Biaya Kemacetan dan Polusi Udara di Jalan Kolonel Sugiono Malang, Jurnal Rekayasa Sipil Volume 5, No.3 – 2011 ISSN 1978 – 5658. Bovi, Naniek, ____. Tingkat Kemampuan Penyerapan Tanaman Hias Dalam Menurunkan Polutan Karbon Monoksida, Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol.4 No.1. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Department of Environment & Conservation (NSW), 2005, Clean Car for NSW, ISBN 1 74137 1074. Hickman A J. 1999. Methodology for Calculating Transport Emissions and Energy Consumption.Transport Research Laboratory. Kementerian Menteri Lingkungan Hidup RI, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup N0. 45 Tahun 1997 tentang Indeks Standar Pencemar Udara. Nanny K, G. Gunawan, 2008. Polusi Udara Akibat Aktivitas Kendaraan Bermotor di Jalan Perkotaan Pulau Jawa dan Bali, Puslitbang Jalan dan Jembatan. Ismiyati, Marlita D, Saidah D. 2014. Pencemaran Udara Akibat Emisi Gas Buang Kendaraan Motor. Jurnal Manajemen Transportasi & Logistik (JM TransLog)-Vol.01 No.03. Widyawati.B . 2011. Dampak Kepadatan Lalu Lintas Terhadap Polusi Udara Kota Surabaya. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Narotama Volume XX, No.20, April. Machsus, Basuki R. 2008. Penggunaan BBG pada Kendaraan Bermotor di Kota Surabaya. Jurnal Aplikasi: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini, Volume 4, Nomor 1, Februari. Irawan RM Bagus. 2009. Efektivitas Pemasangan Catalytic Converter Kuningan Terhadap Penurunan Emisi Gas Carbon Monoksida pada Kendaraan Motor Bensin.Traksi. Vol. 9. No. 1, Juni, http://jurnal.unismus.ac.id. Simanjuntak A.G. 2007. Pencemaran Udara.Buletin Limbah Vol. 11 No.1. Pusat Teknologi Limbah Radioaktif. Sudrajad, A. 2006. Pencemaran Udara, Suatu Pendahuluan. http://
[email protected] [3 Januari 2013]. Soedomo, dkk. 1990. Model Pendekatan dalam Analisis Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara. Studi Kasus di Jakarta, bandung dan Surabaya, Penelitian KLH-Jurusan Teknik Lingkungan ITB Bandung. Suskmeri, 2003. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kadar Karbonmonoksida di Beberapa Ruas Jalan di Kota Padang. Tesis. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41, 1999. Tentang Standar Kualitas Udara Ambien. Jakarta. Yanismai, ___. Hubungan Antara Kepadatan Lalu Lintas dengan Kualitas Udara di Kota Padang, http://repository.unand.ac.id/412/1/yanismai_01209040.rtf. Wardhana, A.W, 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Edisi Revisi, Penerbit Andi, Yogyakarta.
20
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1
ISSN : 2460-8815
PENGARUH AKTIFITAS KENDARAAN BERMOTOR TERHADAP KEBISINGAN DI KAWASAN PERTOKOAN COYUDAN SURAKARTA Dyah Ratri Nurmaningsih1, Kusmiyati2, Agus Riyanto SR3 1
Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Ampel Surabaya 2 Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta 3 Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta
ABSTRAK Semakin pesatnya aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor berdampak meningkatnya intensitas polusi suara berupa kebisingan bagi lingkungan disekitar jalan tersebut. Kawasan pertokoan Coyudan Surakarta diambil sebagai objek penelitian karena kawasan tersebut terletak pada kawasan bisnis kota Surakarta atau CBD (Central Bussiness Distric) dan juga kawasan akses lalu lintas perkotaan Surakarta yang cukup padat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey (dengan menggunakan alat) dan metode analisa pendekatan (dengan menggunakan rumus empiris). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa besar nilai tingkat kebisingan telah melampaui baku mutu yang diijinkan, yaitu 70 dB(A) untuk kawasan perdagangan dan jasa. Penanganan/ alternatif solusi dari penelitian ini dilakukan sesuai keadaan karakteristik lokasi yang diteliti : penanaman pohon-pohon kecil di pinggir ruas jalan dengan menggunakan media pot, hal ini disebabkan oleh pada daerah ini sudah tertutup paving. Pohon-pohon yang dapat dimanfaatkan antara lain: palem botol, lidah mertua, bambu-bambuan, kemuning, dll, dan juga penggunaan bahan penyerap suara (seperti permadani) pada dinding dan lantai. Kata kunci: lalu lintas, CBD dan kebisingan
1.
PENDAHULUAN
Latar belakang masalah Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang dengan pembangunan yang sangat pesat, hal ini dapat dilihat dari perkembangan ekonominya yang cukup pesat. Akibat dari perkembangan ekonomi tersebut serta jumlah penduduk yang cukup besar, maka berkembang pula aktivitas dan kegiatan masyarakat di segala bidang sehingga membutuhkan sarana penunjang yang memadai, dimana semua itu memerlukan sarana transportasi untuk memperlancar kegiatan dan aktivitas tersebut sekaligus merupakan salah satu penunjang perkembangan suatu wilayah (Astaleni, 2002). Begitu juga dengan kota Surakarta yang merupakan salah satu wilayah perkotaan di Indonesia yang terletak di Provinsi Jawa Tengah yang saat ini sedang berkembang, baik dalam bidang industri, jasa, permukiman, pendidikan, perdagangan maupun transportasi (Kadyarsi, 2006). Perkembangan jumlah dan macam sarana transportasi pada jalan raya tersebut tentunya mempunyai dampak pada lingkungan di sepanjang jalan tersebut. Dampak yang terjadi salah satunya adalah meningkatnya intensitas polusi suara berupa kebisingan bagi lingkungan disekitar jalan tersebut (Setiawan et all, 2002). Bising adalah bunyi yang tidak dikehendaki yang dapat mengganggu dan atau membahayakan kesehatan. Lalu lintas merupakan salah satu sumber kebisingan yang mengganggu sebagian besar masyarakat perkotaan (Poernomosidhi, 1995). Salah satu sumber bising lalu lintas jalan antara lain berasal dari kendaraan bermotor, baik roda dua, tiga maupun roda empat, dengan sumber penyebab bising yaitu bunyi klakson saat kendaraan ingin mendahului atau minta jalan. Gesekan mekanis antara ban dengan badan jalan pada saat pengereman mendadak dan kecepatan tinggi; suara knalpot akibat penekanan pedal gas secara berlebihan atau knalpot imitasi; tabrakan antara sesama kendaraan; pengecekan pengapian di bengkel pemeliharaan; dan frekuensi mobilitas kendaraan, baik dalam jumlah maupun kecepatan (Depkes, 1995 seperti dalam kutipan Ikron et all, 2005). Dalam perencanaan transportasi jalan perlu dikaji mengenai tingkat kebisingan dan emisi gas buang akibat volume lalu lintas terhadap lingkungan di sekitar jalan tersebut (Purwandi, 2006). Dalam penelitian ini penulis mengambil kawasan pertokoan Coyudan Surakarta sebagai obyek penelitian mengenai seberapa besar tingkat kebisingan dan emisi gas yang terjadi.
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN
VOLUME 1, NOMOR 1
21
DYAH RATRI NURMANINGSIH
Begitu juga dengan kawasan pertokoan Coyudan yang merupakan kawasan strategis sebagai pusat kegiatan perdagangan atau bisnis utama (Central Bussiness Distric) di Kota Surakarta, sehingga mengakibatkan tingginya volume lalu lintas pada kawasan tersebut. (Wahyudi, 2002). Tingginya volume lalu lintas menyebabkan dampak negatif seperti kebisingan lalu lintas yang pada akhirnya dapat mengganggu kegiatan jual beli, disamping itu juga dapat mengganggu kesehatan. Kondisi lalu lintas pada kawasan pertokoan Coyudan dapat dilihat pada Gambar 1. di bawah ini.
Gambar 1. Kondisi lalu lintas kawasan pertokoan Coyudan Dengan adanya uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, penulis menganggap perlu diadakannya penelitian mengenai tingkat kebisingan yang disebabkan oleh arus lalu lintas yang melewati kawasan tersebut. Hasil dari penelitian diharapkan bisa meminimalisir permasalahan tersebut, sekaligus mencari alternatif solusinya.
Maksud dan tujuan Mengetahui besar nilai kebisingan yang terjadi akibat lalu lintas di kawasan pertokoan Coyudan Surakarta, usaha penanganan yang sesuai dengan permasalahan dan karakter daerah tersebut serta sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan dalam hubungannya dengan perencanaan transportasi atau perancang bangunan agar dapat lebih memperhatikan kondisi lingkungan yang ada. mencari alternatif solusinya.
Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di kawasan pertokoan Coyudan Surakarta, dengan pertimbangan karena kawasan ini termasuk sebagai salah satu pusat kegiatan perdagangan utama atau CBD (Central Bussiness Distric) di Surakarta dan sebagai akses lalu lintas yang strategis dan padat. Setelah dilakukan survey pendahuluan terhadap lalu lintas yang ada di kawasan ini, maka pengukuran kebisingan dan pengambilan data lalu lintas dilakukan selama 3 jam antara pukul 11.00 – 14.00 BBWI yang dinyatakan sebagai waktu terpadat dalam satu hari. Dan hari pelaksanaan yaitu pada hari Senin dan Rabu untuk mewakili keadaan lalu lintas dalam satu minggu.
2.
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini dimulai dari studi pustaka, metode survey awal untuk penentuan lokasi dan waktu penelitian, survey lanjutan untuk perolehan data, kemudian metode analisa dengan menggunakan alat dan metode analisa pendekatan (dengan menggunakan rumus empiris). Hasil analisa kemudian di bandingkan dengan Tabel 1. Baku Tingkat Kebisingan, apakah memenuhi baku mutu kebisingan yang ditetapkan atau tidak.
22
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1
PENGARUH AKTIFITAS KENDARAAN BERMOTOR TERHADAP KEBISINGAN DI KAWASAN PERTOKOAN COYUDAN SURAKARTA
Tabel 1. Baku tingkat kebisingan No. Peruntukan kawasan/lingkungan kegiatan Tingkat kebisingan dB(A) 1. Perumahan dan pemukiman 55 2. Perdagangan dan jasa 70 3. Perkantoran dan perdagangan 65 4. Ruang terbuka hijau 50 5. Industri 70 6. Pemerintah dan fasilitas umum 60 7. Rekreasi 70 8. Bandar Udara, Stasiun kereta api, Pelabuhan laut 70 9. Cagar budaya 60 10. Rumah sakit dan sejenisnya 55 11. Sekolah atau sejenisnya 55 12. Tempat ibadah atau sejenisnya 55 (Sumber: Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Kep-48/MENLH/1996, 25 November 1996)
3.
ANALISIS, HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis kebisingan secara rumus empiris Perhitungan tingkat kebisingan berdasarkan rumus empiris menggunakan data volume lalu lintas (Q), kecepatan rata-rata kendaraan (V), prosentase kendaraan berat (p) dan gradien jalan (G). Contoh perhitungan diambil pada waktu jam puncak pada salah satu titik kajian yang diteliti yaitu kawasan pendidikan Sekolah Menengah Pertama Pangudi Luhur Bintang Laut Surakarta pada hari Senin, 25 Januari 2010 pukul 11.00-14.00 BBWI, sebagai berikut : Volume jam puncak (Q) : 4919 kend/jam Kecepatan rata-rata (V) : 32,99 km/jam Jarak titik kajian/ ½ Lebar jalan : 8,5 km Gradien jalan :2% Persentase kendaraan berat pada jam puncak (p) : 0,53 % Analisa : a. Basic Noise Level (BNL) L10 = 42,2 + 10 log Q dB(A) = 42,2 + 10 log 4919 dB(A) L10 = 79,12 dB(A) b. Koreksi terhadap kecepatan rata-rata kendaraan berat
500 5p C1 33 logV 40 10 log1 68,8dB( A) V V 500 5.0,53 C1 33 log 32,99 40 68,8dB( A) 10 log1 32,99 32,99 C1 = -4,27 dB(A) c. Koreksi terhadap gradien C2 = 0,3 . G dB(A) = 0,3 . 2 dB(A) C2 = 0,6 dB(A) d. Koreksi terhadap kondisi antara sumber bunyi dengan penerima (termasuk dalam lebih besar 50% diperkeras atau tidak menyerap bunyi) d’
h d
dengan h = ketinggian titik penerima dari muka tanah, d’ = panjang garis pandangan dari sumber bunyi ke penerima, d = jarak sumber bunyi dengan penerima AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1 23
DYAH RATRI NURMANINGSIH
Lokasi : dekat jalan h = 1,5 m d = 8,5 m d’ =
1,5 2 8,5 2 = 8,63 m
C3 = -10 log (d’/13,5) dB(A) = -10 log (8,63/13,5) dB(A) C3 = 1,95 dB(A) e. Predicted Noise Level (PNL) PNL = BNL + C1 + C2 + C3 = 79,12 + (-4,27) + 0,6 + 1,95 PNL = 77,39 dB(A) Menggunakan langkah yang sama dengan perhitungan di atas untuk mencari nilai Predicted Noise Level (PNL) semua titik kajian penelitian dan hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. berikut ini. Tabel 2. Analisa tingkat kebisingan kawasan pertokoan Coyudan hari Senin, 25 Januari 2010 Waktu
BNL (L10) dB(A) (5) 74,74 74,73 74,70 74,92 75,10 75,36 75,44 75,33 75,05
C1 dB(A) (6) -5,07 -5,07 -5,02 -4,98 -4,98 -4,95 -4,91 -4,95 -4,98
11:00 – 12:00 11:15 – 12:15 11:30 – 12:30 11:45 – 12:45 12:00 – 13:00 12:15 – 13:15 12:30 – 13:30 12:45 – 13:45 13:00 – 14:00 Rata-rata PNL Berdasarkan baku tingkat kebisingan (Tabel 1) Kriteria (Sumber: hasil penelitian Nurmaningsih, 2011)
C2 dB(A) (7) 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6
C3 dB(A) (8) 3,39 3,39 3,39 3,39 3,39 3,39 3,39 3,39 3,39
PNL dB(A) (5)+(6)+(7)+(8) 73,66 73,65 73,67 73,93 74,10 74,40 74,52 74,37 74,06 74,04 > 70 tidak aman
Tabel 3. Analisa tingkat kebisingan kawasan pendidikan pertokoan Coyudan hari Rabu, 27 Januari 2010 Waktu
BNL (L10) dB(A) (5) 74,56 74,66 74,66 74,97 75,01 75,09 75,26 75,00 74,96
C1 dB(A) (6) -4,90 -4,96 -5,01 -4,98 -5,02 -4,93 -4,90 -4,93 -4,93
11:00 – 12:00 11:15 – 12:15 11:30 – 12:30 11:45 – 12:45 12:00 – 13:00 12:15 – 13:15 12:30 – 13:30 12:45 – 13:45 13:00 – 14:00 Rata-rata PNL Berdasarkan baku tingkat kebisingan (Tabel 1) Kriteria (Sumber: hasil penelitian Nurmaningsih, 2011)
24
C2 dB(A) (7) 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6
C3 dB(A) (8) 3,39 3,39 3,39 3,39 3,39 3,39 3,39 3,39 3,39
PNL dB(A) (5)+(6)+(7)+(8) 73,65 73,70 73,64 73,98 73,98 74,14 74,35 74,06 74,02 73,95 > 70 tidak aman
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1
PENGARUH AKTIFITAS KENDARAAN BERMOTOR TERHADAP KEBISINGAN DI KAWASAN PERTOKOAN COYUDAN SURAKARTA
Analisis kebisingan secara non empiris Data kebisingan diperoleh dari hasil pengukuran dengan alat sound level meter dari Laboratorium Teknik Sipil Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pengukuran dilakukan pada hari Senin dan Rabu pukul 11.00 – 14.00 BBWI. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3. berikut ini. Tabel 4. Tingkat kebisingan lalu lintas kawasan pertokoan Coyudan Surakarta Jam
Senin, 25 Januari 2010 dB(A) 74,74 74,73 74,70 74,92 75,10 75,36 75,44 75,33 75,05 > 70
11:00 – 12:00 11:15 – 12:15 11:30 – 12:30 11:45 – 12:45 12:00 – 13:00 12:15 – 13:15 12:30 – 13:30 12:45 – 13:45 13:00 – 14:00 Berdasarkan baku tingkat kebisingan (Tabel 1) tidak aman Kriteria (Sumber: hasil penelitian Nurmaningsih, 2011)
Rabu, 27 Januari 2010 dB(A) 73,66 73,65 73,67 73,93 74,10 74,40 74,52 74,37 74,06 > 70 tidak aman
Pembahasan hasil analisis Tingkat kebisingan pada kawasan pertokoan Coyudan dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui bahwa untuk seluruh lokasi penelitian, nilai intensitas kebisingan yang diperoleh sudah melewati ambang batas/baku mutu yang diijinkan untuk kawasan perdagangan dan jasa yaitu 70 dB(A). Grafik nilai besar tingkat kebisingan pada kawasan pertokoan Coyudan dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2. Besar tingkat kebisingan pada kawasan pertokoan Coyudan Nilai kebisingan tertinggi pada ruas jalan kawasan pertokoan Coyudan terjadi pada hari Senin, 25 Januari 2010 pukul 12:30-13:30 yaitu sebesar 74,52 dB(A). Hal ini dikarenakan pada jam tersebut banyak masyarakat yang datang ataupun pulang untuk/ setelah melakukan kegiatan ekonomi, disamping itu karena ruas jalan Secoyudan merupakan akses jalan yang selalu padat lalu lintas. Dari gambar di atas juga dapat dilihat bahwa hasil penelitian baik dengan menggunakan metode empiris menghasilkan nilai yang tidak terlampau jauh jika dibandingkan dengan metode non empiris, sehingga perhitungan intensitas kebisingan rumus empiris masih bisa dipertanggungjawabkan.
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1 25
DYAH RATRI NURMANINGSIH
Pembahasan alternatif solusi Dari pembahasan di atas diketahui bahwa nilai kebisingan telah melampaui baku mutu yang diijinkan, sehingga diperlukan penanganan yang sesuai dengan keadaan lingkungan lokasi penelitian. Sedangkan untuk mengurangi kebisingan pada kawasan pertokoan Coyudan dapat dilakukan penanaman pohon-pohon kecil di pinggir ruas jalan dengan menggunakan media pot, hal ini karena pada daerah ini sudah tertutup paving. Menurut Werdiningsih (2007) pohon-pohon yang dapat dimanfaatkan antara lain: palem botol, lidah mertua, bambu-bambuan, kemuning dan lainlainnya. Disamping itu juga penggunaan bahan penyerap suara (seperti permadani) pada dinding dan lantai, sehingga diharapkan dapat mengurangi bunyi dan gaung akibat geseran ataupun getaran-getaran suara keras lainnya (Handoko, 2010). Selain itu, pengurangan kebisingan juga dapat dilakukan dengan pelarangan pemakaian mobil atau motor dengan knalpot terbuka, perbaikan kualitas sarana transportasi umum sehingga pemilihan transportasi umum akan menjadi pilihan utama dalam melakukan aktifitas sehari-hari, mensosialisasikan budaya berjalan dan bersepeda untuk tujuan perjalanan yang dekat.
4.
KESIMPULAN
Besar nilai tingkat kebisingan tertinggi di kawasan pertokoan Coyudan Surakarta terjadi pada pukul 12:30-13:30. Dari hasil penelitian dengan menggunakan metode empiris menghasilkan nilai yang tidak terlampau jauh jika dibandingkan dengan metode non empiris, sehingga perhitungan dengan menggunakan metode empiris masih dapat dipertanggungjawabkan. 1. Besar nilai tingkat kebisingan tertinggi akibat arus lalu lintas berdasarkan pendekatan empiris untuk kawasan Pertokoan Coyudan Surakarta adalah 74,52 dB(A), batas besar tingkat kebisingan menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Kep-48/MENLH/1996 25 November 1996 untuk kawasan perdagangan dan jasa adalah sebesar 70 dB(A), sehingga tingkat kebisingan sudah melebihi baku mutu yang ditetapkan. 2. Besar nilai tingkat kebisingan tertinggi akibat arus lalu lintas berdasarkan data di lapangan (pengukuran dengan menggunakan alat) untuk kawasan pertokoan Coyudan Surakarta adalah 73,37 dB(A), batas besar tingkat kebisingan menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Kep-48/MENLH/1996 25 November 1996 untuk kawasan perdagangan dan jasa adalah sebesar 70 dB(A), sehingga tingkat kebisingan sudah melebihi baku mutu yang ditetapkan. Pengurangan kebisingan dapat dilakukan dengan pelarangan pemakaian mobil atau motor dengan knalpot terbuka, perbaikan kualitas sarana transportasi umum sehingga pemilihan transportasi umum akan menjadi pilihan utama dalam melakukan aktifitas sehari-hari, mensosialisasikan budaya berjalan dan bersepeda untuk tujuan perjalanan yang dekat. Adapun penanganan yang dilakukan dengan melihat keadaan lingkungan disekitar lokasi penelitian, yaitu: dipertanggungjawabkan. 1. Penanaman pohon-pohon kecil di pinggir ruas jalan dengan menggunakan media pot hal ini karena pada daerah ini sudah tertutup paving. Pohon-pohon yang dapat dimanfaatkan antara lain: palem botol, lidah mertua, bambu-bambuan, kemuning dan lain-lainnya. 2. Penggunaan bahan penyerap suara (seperti permadani) pada dinding dan lantai.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1996, Baku Tingkat Kebisingan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Nomor : Kep48/MENLH/II/1996/25/Nopember1996, Jakarta. Anonim, 1997, Manual Kapasitas Jalan Indonesia, Directorat Jenderal Bina Marga. Anonim, 1997, Perencanaan Transportasi, Universitas Guna Dharma Jakarta, Jakarta. Anonim, 2004, Panduan Membaca Peta Rupabumi Indonesia, Pusat Pelayanan Jasa dan Informasi, Bakosurtanal, Cibinong. Didownload : http://eksan.komite-sman2bjb.web.id/wp-content/uploads/2008/04/panduanmembaca-peta.pdf Astaleni, Siti Nuryanti, 2002, Studi Analisa Tingkat Kebisingan Akibat Lalulintas Serta Dampaknya Terhadap Lingkungan, Universitas Gunadharma. Buchari, 2007, Kebisingan Industri dan Hearing Conservation Program, Universitas Sumatera Utara, Medan. usu repository Didownload: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1435/1/07002749.pdf Handoko, Sungging, 2010, Kebisingan dan Pengaruhnya pada Lingkungan Hidup. EDUCARE: Jurnal Pendidikan dan Budaya. Didownload: http://educare.e-fkipunla.net/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=56 Hidayati, N., 2007, Pengaruh Arus Lalu Lintas terhadap Kebisingan (Studi Kasus Beberapa Zona Pendidikan di Surakarta), Staf pengajar jurusan Teknik Sipil - Universitas Muhammadiyah SurakartaJurnal Dinamika Teknik Sipil Vol 7, Januari 2007 45:54. Hobbs, F. D., 1995, Perencanaan dan Teknik Lalulintas I, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
26
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1
PENGARUH AKTIFITAS KENDARAAN BERMOTOR TERHADAP KEBISINGAN DI KAWASAN PERTOKOAN COYUDAN SURAKARTA
Ikron, Djaja, I. M., & Wulandari, R. A., 2005, Pengaruh Kebisingan Lalulintas Jalan Terhadap Gangguan Kesehatan Psikologis Anak SDN Cipinang Muara Kecamatan Jatinegara, Kota Jakarta Timur, Propinsi DKI Jakarta, Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Masnur, S. I., 2008, Evaluasi Peruntukan Lahan Setelah Pelebaran Jalan (Studi Kasus Kecamatan Medan Sunggal), Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumarta Utara, Medan. Miro, F., 2005, Perencanaan Transportasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Mulyono, S. G., 2005, Analisa Kebisingan Akibat Arus Lalulintas Di Beberapa Rumah Sakit Di Kota Surakarta, Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta. Nurmaningsih, D. R., 2011, Analisis Tingkat Kebisingan Dan Emisi Gas Buang Secara Empiris Dan Non Empiris Serta Alternatif Solusinya (Studi Kasus Kawasan Pendidikan Sekolah Menengah Pertama Pangudi Luhur Bintang Laut Surakarta Dan Kawasan Pertokoan Coyudan), Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pariyanto, A., 2005, Prediksi Tingkat Kebisingan dan Emisi Gas Buang Kendaraan pada Jalan Jenderal Sudirman – Sukoharjo, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pudjowati, U. R., 2008, Efiktivitas Peredaman Kebisingan Kendaraan Bermotor Dengan Menggunakan Vegetasi Di Jalan Tol Waru – Sidoarjo, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. Poernomosidhi, P.I.F. (1995). “Review on Road Environment Condition and Research on Traffic Noise and Air Pollution in Indonesia”, Paper for the Technical Visit to Public Work Research Institute, Tsukuba, Japan, 25th Sept.– 6th Oct. 1995. Purwandi, J., 2006, Analisis Tingkat Kebisingan Dan Emisi Gas Buang Di Jalan Slamet Riyadi Dan Alternatif Solusinya (Kajian Empirikal Dan Non Empirikal), Tesis Magister Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Surakarta. Puspita, R. D., 2005, Pengaruh Tingkat Kebisingan Akibat Lalulintas Terhadap Konsentrasi Belajar Mengajar Di Sekolah Serta Dampak Emisi Gas Buang Yang Ditimbulkan Bagi Kesehatan ( Studi Kasus SDN Kleco II dan SMP Muhammadiyah 5 Surakarta), Universitas Muhammadiyah Surakarta. Santoso, G. D., 2006, Analisis Tingkat Kebisingan Dan Emisi Gas Buang Akibat Lalulintas Serta implikasinya Terhadap Karakteristik Tata Guna Lahan (Studi Kasus Ruas Jalan Raya Sukowati Km. 0+ 000 – Km. 5+000 DenganTitik Tinjauan Km. 0+000 Dari Pusat Kota Sragen), Tesis Magister Teknik Sipil Program Pasca Sarjana, Universitas Muhammadiyah Surakarta Setiawan, R., Arief, T. D., Handayani, N., & Sawitri, P., 2002, Analisa Tingkat Kebisingan Laulintas Pada Jalan Tol Ruas Waru – Sidoarjo, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan, Universitas Kristen Petra, Surabaya. Soehodho, S., & Taufick, E. S., 2005, Study On Correlation Between motor Vichle Emmision And Public Health, Professor of Center for Transport Studies Department of Environmental Science, University of Indonesia, University of Indonesia. Sugiarta, A. A. G., 2008, Dampak Bising Dan Kualitas Udara Pada Lingkungan Kota Den Pasar, Jurusan Argo Sains Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, Den Pasar. Sukarto, H., 2006, Transportasi Perkotaan dan Lingkungan, Jurusan Teknik Sipil - Universitas Pelita Harapan, Banten. Sukirman, S., 1994, Dasar-dasar Perencanaan Geometrik Jala, Nova, Bandung. Wahyudi, E., 2002, Penanganan Persoalan Lalulintas Di Kawasan Perdagangan Secoyudan Surakarta, Departemen Teknik Planologi, Institut Teknologi Bandung. Wardhana, Wisnu Arya, 2001, Dampak Pencemaran Lingkungan, Andi Offset, Yogyakarta. Werdiningsih, Hermin, 2007, Kajian Penggunaan Tanaman sebagai Alternatif Pagar Rumah. ENCLOSURE : Volume 6 No. 1 Maret 2007, Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Pemukiman. Didownload: http://eprints.undip.ac.id/18508/1/4.pdf.
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1 27
ISSN : 2460-8815
ANALISIS UKURAN AGREGAT KASAR PADA SIFAT MEKANIS BETON Abdul Hakim Prodi Teknik Lingkungan, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Jl. Jenderal A. Yani 117 Surabaya, Email:
[email protected] ABSTRAK Beton yang baik adalah beton yang mempunyai sifat-sifat yang baik, yaitu beton memiliki kuat tekan yang baik, mudah dalam pengerjaannya, berdurabilitas dan ekonomis yaitu penggunaan material yang tepat dan ukuran yang sesuai. Dari sifat-sifat beton di atas salah satu yang mempengaruhi adalah ukuran agregat kasar. Maksud ukuran agregat kasar di sini tidak hanya pada besar diameter agregat tetapi juga gradasi dari agregat tesebut, oleh karena itu penelitian ini untuk menguji dari pengaruh tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan eksperimen di Laboratorium dengan pembuatan benda uji silinder beton. Target kuat tekan beton pada umur 28 (dua puluh delapan) hari adalah 20 MPa dan 40 MPa. Selain itu diuji pada besaran mekanis lainnya seperti Kekuatan tarik, modulus kelenturan dan modulus elastisitas sehingga berdasarkan hasil pengujian beton yang dilakukan di Laboratorium ini akan diperoleh hubungan diameter agregat terhadap sifat-sifat beton. Hasil penelitian ini diperoleh bahwa beton dengan menggunakan campuran agregat ukuran diameter 40 mm memeliki kuat tekan yang lebih besar hingga 5 % dari kuat tekan beton dengan diameter agregat 20mm, demikian pula pada besaran mekanik lainnya yang menunjukkan bahwa beton dengan agregat diameter maksimum 40 mm lebih besar daripada beton dengan ukuran agregat maksimum 20 mm. Kata Kunci: ukuran agregat, sifat-sifat beton, biaya
1. PENDAHULUAN Beton merupakan salah satu bagian konstruksi yang penting dalam bangunan infrastuktur baik di perkotaan maupun di pedesaan seperti : Bangunan gedung, perumahan, jalan raya, drainase, saluran irigasi, jembatan, bendungan, saluran pengelak dan bangunan pelimpah (spillway) pada waduk dan bangunan-bangunan lainnya. Beton merupakan salah satu material yang paling banyak digunakan dalam dunia konstruksi. Di Indonesia, hampir 60% meterial yang digunakan dalam pekerjaan konstruksi adalah beton (concrete), yang pada umumnya dipadu dengan baja (composite) atau jenis lainnya (Mulyono, 2004: 135). Perpaduan ini biasa disebut sebagai beton bertulang. Berbeda dengan baja yang harus dibuat di pabrik, pembuatan beton untuk keperluan praktis misalnya rumah tinggal tidak memerlukan sumber daya berkeahlian khusus dalam pembuatannya. Hal ini membuat material beton semakin populer dan semakin banyak digunakan dalam dunia konstruksi. Beton banyak digunakan karena sifat-sifatnya yang baik seperti pengerjaan yang mudah, memiliki kuat tekan sesuai yang diperlukan sehingga mampu memikul beban yang berat, tahan terhadap temperatur yang tinggi dan dibentuk dari material-material lokal yang mudah didapat. Beton mempunyai jenis yang bermacam-macam sesuai dengan tingkat kualitasnya, beton mutu normal menurut SNI-2002, yaitu beton yang mempunyai kuat tekan antara 21- 41 MPa, Sedangkan kriteria beton mutu tinggi selalu berubah sesuai dengan kemajuan tingkat mutu yang berhasil dicapai. Pada tahun 1950-an, beton dengan kuat tekan 30 MPa sudah dikategorikan sebagai beton mutu tinggi. Pada tahun 1960an hingga awal 1970-an, kriterianya lebih lazim menjadi 41 MPa. Saat ini, disebut mutu tinggi untuk kuat tekan diatas 50 MPa, dan diatas 80 MPa sebagai beton mutu sangat tinggi, sedangkan untuk diatas 120 MPa bisa dikategorikan sebagai beton bermutu ultra tinggi (Supartono, 1998). ACI Committae 2002 tentang High Strength Concrete merevisi definisinya menjadi memperoleh campuran dengan kuat tekan desain spesifikasi 55 MPa atau lebih.. Campuran beton yang baik adalah beton yang mempunyai sifat-sifat yang baik, yaitu beton memiliki kuat tekan terhadap beban yang sudah direncanakan pada saat umur beton telah mencapai umur 28 hari, mudah dalam pengerjaannya yaitu dalam proses pengangkutan dan pada saat penuangan di lokasi pengecoran, berdurabilitas
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1 28
STUDI LITERATUR TENTANG PENCEMARAN UDARA AKIBAT AKTIVITAS KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN KOTA SURABAYA
yaitu beton memiliki umur yang panjang atau tahan lama dan ekonomis yaitu penggunaan material yang tepat dan ukuran yang sesuai. Dari sifat-sifat beton di atas salah satu yang mempengaruhi adalah ukuran agregat. Maksud ukuran agregat di sini tidak hanya pada besar diameter agregat tetapi juga gradasi dari agregat tesebut, oleh karena itu penelitian tesis ini untuk menguji dari pengaruh tersebut.
2. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan eksperimen di Laboratorium Teknologi Bahan Konstruksi Universitas Islam Sultan Agung Semarang . Dengan pembuatan benda uji silinder, beton ditarget mencapai kuat tekan mutu normal 20 MPa dan 40 MPa.
Bahan atau materi penelitian Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat beton yang akan diuji adalah: Semen tipe I merek Semen Gresik, Pasir dari Muntilan, Split ukuran maksimal 20 mm, dan 40 mm, Air, Mix design yang digunakan untuk beton mutu normal dan beton mutu tinggi adalah metode ACI.
Alat penelitian Dalam penelitian ini alat yang akan digunakan antara lain: Portable Mixer, centong, timbangan, scope, ember, mould dan perlengkapannya, alat tes slump , meteran, termometer.
Langkah penelitian Langkah-langkah pelaksanaan penelitian ini terangkum dalam bagan alir sebagai berikut:
Studi Pustaka
Persiapan
Analisa Data
Pengumpulan Data
Pengetesan
Perawatan
Proposal
Trial Mix Design
Pembuatan Benda Uji
Laporan Penelitian Gambar 1. Langkah Pelaksanaan Penelitian Variabel Data Data dalam penelitian ini berupa kumpulan sampel beton dengan keterangan sebagai berikut: a. Sampel berupa silinder dengan diameter 15 cm dan tinggi 30 cm b. Tes Kuat tekan dan kuat lentur beton: 7 hari, 14 hari, dan 28 hari c. Tes Kekuatan tarik sampel beton pada umur 28 hari d. Tes Modulus kelenturan pada umur 28 hari e. Tes Modulus Elastisitas pada umur 28 hari f. Jumlah sampel 72 benda uji dengan keterangan sebagai berikut:
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NONOR 1 29
ABDUL HAKIM
Tabel 1 Jumlah benda uji beton No 1
2
Waktu Tes Kuat Tekan dan lentur
Mutu Beton
7 hr
14 hr
28hr
Jumlah
Ukuran maksimal 19
6
6
6
18
Ukuran maksimal 40
6
6
6
18
Komulatif
36
Beton Mutu Normal
Beton Mutu Tinggi Ukuran maksimal 12
6
6
6
18
Ukuran maksimal 19
6
6
6
18
Komulatif Total benda uji
No 1 2 3
Jenis Tes Mekanik Tes Kekuatan tarik Tes Modulus Elastisitas Tes Kekuatan lentur
36 72
Jumlah sampel 6 silinder 6 silinder 6 balok
Metode analisis hasil Berdasarkan hasil pengujian beton yang dilakukan di Laboratorium akan diperoleh hubungan besar diameter agregat terhadap sifat-sifat beton.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Tes material seperti dilakukan sebelum menentukan proporsi mix beton. Dalam menentukan proporsi mix beton menggunakan metode American Concrete Institu (ACI) dengan hasil seperti di bawah ini:
Kuat Tekan MPa 20 20 40 40
Uk. Max. Agregat (mm) 20 40 20 40
Tabel 5. Tabel proporsi mix campuran sampel beton Slump Kadar FAS P/A Air Semen udara (cm) % % (kg) (kg) 10±2 2,5 0,54 62 195 361,20 10±2 2,5 0,54 62 195 361,20 10±2 2,5 0,43 60 195 453 10±2 2,5 0,43 60 195 453
Pasir
Split
(kg) 1071 1071 997,05 997,05
(kg) 651,27 651,27 651,27 651,27
Hasil Uji Kuat tekan beton Pengujian kuat tekan beton dilakukan setelah benda uji beton mencapai umur 7 (tujuh) hari, 14 (empat belas) hari dan pada umur 28 (dua puluh delapan) hari. Dari hasil pengujian seperti pada tabel di bawah ini:
30
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1
STUDI LITERATUR TENTANG PENCEMARAN UDARA AKIBAT AKTIVITAS KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN KOTA SURABAYA
Tabel 6.Tabel hasil kuat tekan beton Kuat Tekan Rata-Rata Beton (Kg/cm²) Mutu beton
7 hari
14 hari
28 hari
No f’c 1
20
2
40
D20mm
D40mm
D20mm
149,15 163,18 178,10 Selisih pada umur 28 hari 181,61 183,36 305,31 Selisih pada umur 28 hari
D40mm 175,47 308.82
D20mm
D40mm
201,79 212,31 (5,0%) 386,90 398,30 (2,9%)
Gambar 5 Grafik perbandingan hasil tes kuat tekan beton f’c 20 MPa dengan agregat kasar berdiameter 20 mm dan 40 mm
7
1
2
Gambar 6 Grafik perbandingan hasil tes kuat tekan beton f’c 40 MPa dengan agregat kasar berdiameter 20 mm dan 40 mm Dari tabel 6 dan grafik 5 dan 6 di atas dapat diketahui bahwa beton dengan menggunakan agregat berukuran diameter 40 mm lebih besar kuat tekannya pada umur 7 (tujuh) hari, 14 (empat belas) hari dan 28 (dua puluh delapan) hari daripada beton yang menggunakan agregat berukuran diameter 20 mm. Pada grafik terlihat untuk umur beton 28 (dua puluh delapan) hari, mutu beton f’c 20 MPa dengan agregat berukuran 40 mm memeliki kuat tekan 10,52 Kg/cm² lebih besar daripada beton dengan agregat ukuran 20 mm. Kemudian untuk mutu beton f’c 40 MPa dengan agregat berukuran 40 mm memeliki kuat tekan 11,46 Kg/cm² lebih besar daripada beton dengan agregat berukuran 20 mm.
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NONOR 1 31
ABDUL HAKIM
Standar Nasional Indonesia telah memberikan langkah-langkah untuk melakukan evaluasi beton keras dengan memperhatikan hasil uji kekuatan tekan silinder beton. Dalam konsep tata cara perancangan dan pelaksanaan konstruksi beton -1989 5.6.2.3 atau dalam Pedoman Beton 1989 pasal 4.7 tercantum bahwa pelaksanaan beton dapat diterima jika hasil kekuatan beton memenuhi dua syarat yang ditentukan yaitu: (1). Nilai rata-rata dari semua pasangan hasil uji (terdiri dari empat pasangan benda uji) tidak kurang dari (f’c+0,82S) dengan S adalah standar deviasi. (2). Tidak satupun dari benda uji yang nilainya kurang dari 0,85 f’c. Menurut PBI 71, bahwa beton tanpa menggunakan aditif, prosentase pencapaian kuat tekan untuk tiap tiap umurnya adalah sebagai berikut: a. Beton dengan umur 7 (tujuh) hari pencapaian kuat tekannya adalah 65% b. Beton dengan umur 14 (empat belas) hari pencapaian kuat tekannya adalah 88% c. Beton dengan umur 28 (dua puluh delapan) hari pencapaian kuat tekannya adalah 100%. Dari keterangan di atas dapat ditabelkan sebagai berikut:
Mutu beton f’c 20 MPa
Tabel 7 Tabel hasil kuat tekan beton f’c 20 MPa f’c Ekp. Umur (hari) f’c PBI 71 D20 D40 7 130 149.45 163,18 14 176 178,10 175,47 28 200 201,79 212,31
Mutu beton f’c 20 MPa
Tabel 8 Tabel hasil kuat tekan beton f’c 40 MPa f’c Ekp. Umur (hari) f’c PBI 71 D20 D40 7 260 181,61 183,36 14 340 305,31 308.82 28 400 386,90 398,30
f’c SNI 110,5 149,6 170
f’c SNI 221 289 340
Gambar 7 Grafik perbandingan hasil tes kuat tekan beton f’c 20 MPa antara eksperimen dengan PBI 71 dan SNI
Gambar 8 Grafik perbandingan hasil tes kuat tekan beton f’c 40 MPa antara PBI 71 dan SNI. 32
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1
STUDI LITERATUR TENTANG PENCEMARAN UDARA AKIBAT AKTIVITAS KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN KOTA SURABAYA
Dari grafik di atas diketahui pencapaian kuat tekan antara eksperimen dengan standar PBI 71 dan SNI dan dari grafik diperoleh bahwa pada mutu f’c 20 MPa, kuat tekan eksperimen hampir sama dengan pencapaian PBI, sedangkan mutu f’c 40 Mpa hanya umur 28 (dua puluh delapan) hari yang sama dengan PBI71. Hal ini berarti bahwa uji kuat tekan beton f’c 20 MPa dan f’c 40 MPa masih sesuai dengan standar PBI 71.
Hasil Uji Tarik Tak Langsung (Split cylinder test) pengujiaan kuat tarik dan tegangan belah beton dilakukan dengan benda uji slinder ukuran diameter 15 cm dan panjang 30 cm dengan hasil seperti tabel dan grafik di bawah ini: Tabel 9 Kuat Tarik dan Tegangan Belah Mutu Beton (Mpa) f’c 20 D20 f’c 40 D40 f’c 40 D20 f’c 40 D40
Fas
0,54
0,43
Kuat tekan terhadap tarik rata – rata beton (Kg)
Tegangan belah rata – rata beton (Kg/cm²)
9,33
13,21
12.33
17,40
11,00
15,56
14,44
20,22
Selisih perbandingan (%) (24%)
(23%)
Dari hasil pengujian kuat tarik diperoleh bahwa untuk mutu beton f’c 20 maupun mutu beton f’c 40 MPa, nilai kuat tarik tertinggi dihasilkan oleh beton dengan menggunakan agregat kasar berdiameter 40 mm dengan selisi antara 4 sampai 5%
0,5
0,4
Gambar 9 Grafik perbandingan tegangan belah beton dengan faktor air semen Pada beton dengan fas 0,54 tegangan belah tertinggi dihasilkan oleh beton dengan agregat kasar berdiameter 40 mm yaitu 17,4 Kg/cm², sedangkan beton dengan fas 0,43 tegangan belah tertinggi dihasilkan oleh beton dengan agregat kasar berdiameter 40 mm yaitu 20,22 Kg/cm²
Kuat Lentur Beton (Modulus of Rupture) Kuat lentur beton merupakan kemampuan beton didalam menahan momen. Nilai kuat lentur beton hasil penelitian dibandingkan dengan kuat lentur yang dipersyaratkan SNI 03-2846 (2002) pasal 11.5 yaitu sebesar Fr =0,7 Hasil kuat lentur beton disajikan pada Tabel 4.8 sebagai berikut :
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NONOR 1 33
.
ABDUL HAKIM
Tabel 10 Kuat Lentur perbandingan beton dengan agregat berdiameter 20 mm dan 40 mm Mutu beton (MPa)
Kuat lentur ratarata beton (MPa)
f’c 20 D20 f’c 20 D40 f’c 40 D20 f’c 40 D40
6 ,4 2 6 ,6 2 8 ,5 3 8 ,9 4
Kuat lentur beton (Mpa)menurut SNI 03-2847-2002 Ps 11.5 Fr = 0,7√f’c 3 ,1 4 3 ,2 2 4 ,3 5 4 ,4 2
54
Fr Eks/ Fr SNI 2 ,0 5 2 ,0 6 1 ,9 6 2 ,0 2
43
Gambar 10. Kuat lentur Beton Rata - Rata dengan Water Cement Ratio Pada gambar 10 terlihat bahwa semakin semakin kuat tekan maka kuat lentur beton semakin tinggi. Besar kuat lentur untuk beton dengan agregat ukuran diameter 20 mm lebih kecil daripada ukuran diameter maksimal 40 mm. Dari gambar 4.12 dapat disimpulkan kuat lentur beton hasil penelitian untuk semua komposisi lebih tinggi dibandingkan dengan kuat lentur menurut formasi yang ditetapkan SNI-03-2847 (2002) pasal 11.5 yaitu sebeasar Fr =0,7
(tabel IV.14).
Hasil Tes Modulus Elastisitas Pengujian modulus elastisitas beton dilakukan dengan cara memberikan beben secara bertahap sampai mencapai beban 40% beban puncak. Benda uji (ΔL) untuk menghitung regangan longitudinal diperoleh dari hasil pembacaan pada gauge yang dipasang pada benda uji. Nilai modulus elastisitas beton hasil pengujian dibandingkan dengan modulus elastisitas yang dipersyaratkan SNI 03-2846(2002) pasal 10.5 yaitu sebesar Ec = 4700
.
Hasil penelitian dengan percobaan di Laboratorium diperoleh hasil modulus elastisitas beton disajikan pada tabel 11 berikut ini:
34
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1
STUDI LITERATUR TENTANG PENCEMARAN UDARA AKIBAT AKTIVITAS KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN KOTA SURABAYA
Tabel 11. Modulus Elastisitas (E) perbandingan beton dengan agregat berdiameter 20 mm dan 40 mm Modulus Elastisitas Rata-rata Beton (Mpa)
Modulus Elastisitas Menurut SNI 032847-2002 Ps 10.5
Mutu beton (MPa)
FAS
f’c 20 D20 f’c 20 D40
0 ,5 4
15200,8 18777,3
21112,89 21656,24
0 ,7 2 0 ,8 8
f’c 40 D20 f’c 40 D40
0 ,4 3
26806 22618,9
29234,60 29662,18
0 ,9 1 0 ,7 6
54
43
Gambar 11. Perbandingan Modulus Elastisitas Beton dengan agregat berdiameter 20 mm dan agregat dengan ukuran diameter 40 mm Dari gambar 11 ditunjukan bahwa semakin kecil nilai fas beton modulus elastisitas beton makin tinggi. Pada beton dengan fas 0,54 modulus elastisitas tertinggi dihasilkan oleh beton dengan agregat ukuran 20 mm yaitu 93495 Kg/cm², untuk beton dengan dengan fas 0,43 modulus elastisitas tertinggi dihasilkan oleh beton dengan ukuran agregat 40 mm yaitu 91682 Kg/cm².
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pembahasan hasil percobaan di Laboratorium seperti di atas, maka dapat diambil kesimpulan mengenai pengaruh ukuran diameter agregat kasar terhadap sifat-sifat beton mutu normal. Kesimpulan. a. Dengan proporsi mix yang sama, agregat berukuran diameter maksimal 40 menjadikan beton lebih besar kuat tekannya hingga 5% daripada menggunakan agregat 20 mm. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Simamora bahwa menggunakan agregat besar yang dicampur dengan agregat kecil dengan perbandingan optimum memiliki kuat tekan lebih besar daripada beton yang dominan menggunakan ukuran agregat kecil. b. Sampel beton dengan diameter agregat 40 mm memiliki tegangan belah lebih besar 24% terhadap pembandingnya yaitu diameter agregat 20 mm. Hal ini sesuai dengan kuat tekannya, semakin besar kuat tekan berarti kuat tarik juga semakin besar. c. Kuat lentur dari percobaab beton dengan agregat besar (40 mm) lebih besar 5% daripada dengan agregat kecil (20 mm).
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NONOR 1 35
ABDUL HAKIM
Saran Dalam percobaan ini disarankan kepada peneliti berikutnya sebagai berikut: a. Perlu penelitian lebih lanjut, dengan variasi perbandingan ukuran split dan kuat tekan rencana yang lebih beragam, untuk mengetahui perilaku kekuatan tekan pada berbagai usia (variasi lanjutan). b. Memperbanyak benda uji per variasi pada penelitian selanjutnya agar data yang didapat lebih akurat
DAFTAR PUSTAKA: 1.
Antonius, (2011); Teknologi Bahan, Bahan Kuliah, Program Pasca Sarjana Magister Teknik Sipil, fakultas Teknik Unissula, Semarang. 2. Aprizon A, Pramudiyanto (2008); High Strength Concrete; www.pramudiyanto.wordpress.com 3. Civil Engineering Portal, http://www.engineeringcivil.com/, portal khusus untuk teknik sipil. 4. Mulyono, T., (2004); Teknologi Beton, Andi, Yogyakarta 5. F.X Supartono; Beton berkinerja tinggi, keunggulan dan permasalahannya; Jakarta : Seminar HAKI tanggal 25 Agustus 1998 6. Novica (1994); Pengaruh ukuran Maksimum Agregat dan Faktor Air Semen terhadap Sifat Mekanis Beton; Tesis Magister, ITB, 14 Oktober 1994. 7. Simamora (2008); Pengaruh komposisi agregat kasar beton terhadap kuat tekannya; Jurnal–2005 8. Syamsi Nur (2005); Pengaruh Perawatan terhadap Daya Tahan Beton; Jurnal Simetrika Vol.4 no.2 – Agustus 2005: 317-322. 9. Triasmoko (2005); Studi Komparasi Mutu dan Biaya untuk Kolom Beton Mutu Normal sampai Mutu Tinggi; Tesis Magister, Unissula, September 2005. 10. Waddel. J.J,(1974) Concrete Construction Handbook, Mc Graw-Hill. 11. Wahyudi L., Rahim A.Syahril (1997); Struktur Beton Bertulang, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
36
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1
ISSN : 2460-8815
STATUS KUALITAS AIR DAS CISANGGARUNG, JAWA BARAT Rr Diah Nugraheni Setyowati Teknik Lingkungan, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Jl. Jend. A. Yani 117 Surabaya Email:
[email protected]
ABSTRAK Kualitas air merupakan salah satu komponen lingkungan yang sangat penting dan sebagai indikator sehatnya suatu daerah aliran sungai. Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan meningkatnya kegiatan masyarakat dan industri mengakibatkan perubahan fungsi lingkungan. Hal ini berdampak negatif terhadap kelestarian sumberdaya air yang diindikasikan dengan semakin meningkatnya daya rusak air. Degradasi yang terjadi di daerah aliran sungai berdampak pada perubahan aktifitas tata guna lahan dan ekosistem yang termasuk di dalamnya. Pemanfaatan fungsi sungai yang tercemar setara dengan kondisi kelangkaan air. Tingkat penurunan kualitas air akan mempengaruhi kelestarian sumberdaya air yang tersedia untuk penggunaan yang bermanfaat, dan pada gilirannya akan membatasi tata guna lahan produktif. DAS (daerah aliran sungai) Cisanggarung termasuk dalam wilayah Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah, kabupaten yang termasuk dalam DAS Cisanggarung yaitu Kabupaten Cirebon dan Kuningan berada di Provinsi Jawa Barat, dan Kabupaten Brebes berada di Provinsi Jawa Tengah. Curah hujan yang terjadi di DAS Cisanggarung rata-rata sebesar 2.032 mm. Potensi aliran rata-rata mencapai kapasitas sebesar 2,0 milyar meter kubik per tahun. Vegetasi yang ada sebagian besar berupa hutan, lahan pertanian, lahan perkebunan, lahan belukar dan lahan permukiman. Penelitian dilaksanakan di 6 Stasiun Pemantauan Kualitas Air Daerah Aliran Sungai Cisanggarung, yang secara administrasi masuk ke dalam wilayah kabupaten kuningan dan kabupaten Cirebon dengan tujuan untuk mengidentifikasi kualitas air sungai di DAS Cisanggarung, kemudian dapat diketahui status kualitas air di DAS Cisanggarung tersebut. Berdasarkan peruntukan air dan baku mutu air, maka diperoleh hasil bahwa Sungai Cisanggarung termasuk golongan B, C, D yaitu air yang memenuhi syarat untuk peruntukan golongan B (air baku air minum), golongan C (air untuk keperluan perikanan dan peternakan), golongan D (air yang digunakan untuk pertanian dan dapat digunakan untuk usaha perkotaan, industri dan pembangkit listrik tenaga air. Dari hasil dari analisa diperoleh faktor pembatas, adalah BOD, COD, kekeruhan, nitrat, ortho phospat, ammonium, amoniak, dan fecal coliform adalah melebihi baku mutu B, C, D sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air. Dan dari penelitian telah didapatkan hasil bahwa kadar BOD, COD, kekeruhan, amoniak, ammonium, nitrat, ortho phospat, dan kadar fecal coliform, telah melebihi baku mutu B, C, D yang diperbolehkan. Hal ini disebabkan karena pada daerah aliran sungai Cisanggarung banyak sekali kegiatan pertanian, perkebunan dan limbah rumah tangga dari pemukiman sehingga kualitas air sungai menjadi tidak baik. Kata kunci: kualitas air, sumberdaya air, daerah aliran sungai
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Masalah utama sumber daya air meliputi kuantitas air yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan manusia yang terus meningkat dan kualitas air untuk keperluan domestik terus menurun khususnya untuk air minum. Sebagai sumber air minum masyarakat, maka harus memenuhi beberapa aspek yang meliputi kuantitas, kualitas dan kontinuitas (WHO, 2004). Kualitas air adalah istilah yang menggambarkan kesesuaian atau kecocokan air untuk penggunaan tertentu, misalnya: air minum, perikanan, pengairan/ irigasi, industri, rekreasi dan sebagainya. Peduli kualitas air adalah mengetahui kondisi air untuk menjamin keamanan dan kelestarian dalam penggunaannya. Kualitas air dapat diketahui dengan melakukan pengujian tertentu terhadap air tersebut. Pengujian yang biasa dilakukan adalah uji kimia, fisik, biologi, atau uji kenampakan (I-CLEAN, 2007). AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1 37
Rr Diah Nugraheni Setyowati
Kualitas air merupakan salah satu komponen lingkungan yang sangat penting dan sebagai indikator sehatnya suatu daerah aliran sungai. Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan meningkatnya kegiatan masyarakat dan industri mengakibatkan perubahan fungsi lingkungan. Hal ini berdampak negatif terhadap kelestarian sumberdaya air yang diindikasikan dengan semakin meningkatnya daya rusak air. Degradasi yang terjadi di daerah aliran sungai berdampak pada perubahan aktifitas tata guna lahan dan ekosistem yang termasuk di dalamnya. Pemanfaatan fungsi sungai yang tercemar setara dengan kondisi kelangkaan air. Tingkat penurunan kualitas air akan mempengaruhi kelestarian sumberdaya air yang tersedia untuk penggunaan yang bermanfaat, dan pada gilirannya akan membatasi tata guna lahan produktif. Menurut Effendi (2003), kualitas air yaitu sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat energi atau komponen lain di dalam air. Kualitas air dinyatakan dengan beberapa parameter yaitu parameter fisika seperti: Total Padatan Terlarut (TDS), Total Padatan Tersuspensi (TSS), dan sebagainya), parameter kimia (pH, Oksigen Terlarut (DO), BOD, kadar logam dan sebagainya), dan parameter biologi (Kandungan Bakteri Coliform, E-coli, keberadaan plankton, dan sebagainya). Pengukuran kualitas air dapat dilakukan dengan dua cara, yang pertama adalah pengukuran kualitas air dengan parameter fisika dan kimia, sedangkan yang kedua adalah pengukuran kualitas air dengan parameter biologi (Sihotang, 2006). Daerah aliran sungai merupakan penghubung antara kawasan hulu dengan kawasan hilir, sehingga pencemaran di kawasan hulu akan berdampak pada kawasan hilir. DAS meliputi semua komponen lahan, air dan sumberdaya biotik yang merupakan suatu unit ekologi dan mempunyai keterkaitan antar komponen. Dalam suatu ekosistem DAS terjadi berbagai proses interaksi antar berbagai komponen yaitu tanah, air, vegetasi dan manusia. Sungai sebagai komponen utama DAS mempunyai potensi seimbang yang ditunjukkan oleh daya guna sungai tersebut, antara lain untuk pertanian dan energi. Namun demikian sungai juga dapat memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan, antara lain meluapnya air sungai dapat menyebabkan banjir, pembawa sedimentasi, pembawa limbah (Endiriyanti, 2011). DAS Cisanggarung termasuk dalam wilayah Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah, kabupaten yang termasuk dalam DAS Cisanggarung yaitu Kabupaten Cirebon dan Kuningan berada di Provinsi Jawa Barat, dan Kabupaten Brebes berada di Provinsi Jawa Tengah. Curah hujan yang terjadi di DAS Cisanggarung rata-rata sebesar 2.032 mm. Potensi aliran rata-rata mencapai kapasitas sebesar 2,0 milyar meter kubik per tahun. Vegetasi yang ada sebagian besar berupa hutan, lahan pertanian, lahan perkebunan, lahan belukar dan lahan permukiman (Balai PSDA WS CimanukCisanggarung, 2008). Kualitas air permukaan bergantung pada lingkungan sekitarnya sehingga diharapkan dapat mendukung ekosistem perairan dan memiliki nilai estetis. Kualitas air yang menurun disebabkan sumber pencemar sebagai akibat dari perubahan faktor-faktor lingkungan (Asdak, 2007). Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Beban pencemar adalah istilah yang dikaitkan dengan jumlah total bahan pencemar yang masuk ke dalam lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai hasil dari aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pada areal tertentu dalam kurun waktu tertentu. Besarnya beban pencemar yang masuk ke perairan tergantung aktivitas manusia di sekitar daerah aliran sungai yang masuk perairan tersebut.Sumber pencemar terdiri atas 2 bentuk, yaitu: 1. 2.
Point sources, sumber pencemar yang membuang limbah cair ke dalam badan air pada lokasi tertentu. Nonpoint sources, terdiri atas banyak sumber yang tersebar, baik ke badan airmaupun ke air tanah pada suatu daerah yang luas.
Pencemaran air dapat menjadi makin luas, tergantung dari kemampuan badan air penerima polutan untuk mengurangi kadar polutan secara alami. Apabila kemampuan badan air tersebut rendah dalam mereduksi kadar polutan, maka akan terjadi akumulasi polutan dalam air sehingga badan air akan menjadi trofik. Kategorisasi dari polutan air dengan melihat dampaknya terhadap sistem sungai sehingga dapat dibedakan menjadi tiga jenis polutan utama (Davie, 2008) yaitu:
Senyawa beracun, yang menyebabkan gangguan pada aktivitas biologis lingkungan akuatik. Oksigen mempengaruhi keseimbangan senyawa, baik konsumsi oksigen atau menghambat transfer oksigen antara udara dan air. Hal ini juga termasuk polusi termal pada kondisi kelarutan oksigen dalam air akan berkurang dengan semakin meningkatnya temperatur. Padatan tersuspensi, partikel padat tersuspensi dalam air.
Kecepatan tiga kategori tersebut mengalami proses bergantung pada beban polutan yang telah ada di sungai, temperatur dan pH air, jumlah air yang mengalir di sungai dan potensi pencampuran sungai. Karakteristik aliran 38
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1
STATUS KUALITAS AIR DAS CISANGGARUNG, JAWA BARAT
sungai yang pada gilirannya dipengaruhi oleh waktu, sifat aliran di sungai (misalnya bentuk dari kurva durasi aliran), serta kecepatan dan turbulensi aliran. Hal ini menunjukkan keterkaitan yang kuat antara kualitas air dan kuantitas air dalam sistem sungai (Davie, 2008).
Maksud dan tujuan Mengidentifikasi kualitas air sungai di DAS (daerah aliran sungai) Cisanggarung, sehingga kemudian dapat diketahui status kualitas air di DAS Cisanggarung tersebut.
Lokasi dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di 6 (enam) Stasiun Pemantauan Kualitas Air Daerah Aliran Sungai Cisanggarung, yang secara administrasi masuk ke dalam wilayah kabupaten kuningan dan kabupaten Cirebon. Berikut ini adalah lokasi penelitian : Tabel 1. Lokasi Penelitian No
Kode
Stasiun
Desa
Kecamatan
Kabupaten
Stasiun
Sampling
1
CG 1
Mata air Darmaloka
Darma
Darma
Kuningan
2
CG 2
Outlet Darma
Darma
Darma
Kuningan
3
CG 3
Jembatan Cibinuang
Cibinuang
Cibinuang
Kuningan
4
CG 4
Jembatan Bantarwangi
Purwasari
Garawangi
Kuningan
5
CG 5
Bendung Cikeusik
Cikeusik
Cidahu
Kuningan
6
CG 6
Jembatan Losari
Losari
Losari
Cirebon
Sumber : Balai PSDA WS Cimanuk-Cisanggarung (2008)
Penelitian ini dilaksanakan sekitar 6 bulan, dengan lokasi penentuan pemantauan air permukaan yang berasal dari daerah aliran sungai dengan penjelasan sebagai berikut : a. b. c.
Sumber alamiah, yaitu lokasi pada tempat yang belum terjadi atau masih sedikit pencemaran, Sumber air tercemar, yaitu lokasi pada tempat yang telah mengalami perubahan (di hilir sumber pencemar), Sumber air yang dimanfaatkan, yaitu lokasi pada tempat penyadapan pemanfaatan sumber air tersebut.
Tabel 2. Sumber Pencemar Sungai No
Stasiun Sampling
Sumber Pencemar
1
Kode Stasiun CG 1
Mata air Darmaloka
-
2
CG 2
Outlet Darma
perikanan, desa, pertanian
3
CG 3
Jembatan Cibinuang
desa, pertanian
4
CG 4
Jembatan Bantarwangi
perkotaan, pertanian
5
CG 5
Bendung Cikeusik
desa, pertanian
6
CG 6
Jembatan Losari
desa, pertanian
Sumber : Balai PSDA WS Cimanuk-Cisanggarung (2008) AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1 39
Rr Diah Nugraheni Setyowati
2. METODE PENELITIAN Metodologi penelitian merupakan langkah-langkah atau metode yang dilakukan dalam penelitian suatu masalah, kasus, gejala, fenomena atau lainnya dengan jalan ilmiah untuk menghasilkan suatu jawaban yang rasional. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif eksplanatif yaitu metode yang dilakukan dengan pendekatan studi kasus. Studi kasus dilaksanakan untuk memperoleh data-data dari fenomena yang berlangsung dan mencari keterangan-keterangan secara faktual dari suatu kelompok, sehingga kesimpulan yang diperoleh dapat dipergunakan untuk menggambarkan kasus-kasus lain yang sama tipenya (Arikunto, 2006). Menurut Haslam (1995), kualitas air secara umum mengacu pada kandungan pollutan yang terkandung dalam air dan kaitannya untuk menunjang kehidupan ekosistem yang ada di dalamnya. Parameter fisika, kimia, biologi yang digunakan pada penelitian ini dalam menentukan kualitas air sungai DAS Cisanggarung adalah sebagai berikut : a.
Temperatur/ Suhu Air Kenaikan suhu menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen, namun di lain pihak juga mengakibatkan turunnya oksigen dalam air (Effendi, 2003). Kenaikan suhu mengakibatkan: turunnya oksigen terlarut, kecepatan reaksi kimia meningkat, sehingga mahluk hidup di dalamnya akan mati.
b.
Daya Hantar Listrik (DHL) Merupakan taraf kegaraman air. Perairan alami memiliki DHL 0,02 – 1,50 µmhos/cm.
c.
Derajat Keasaman (pH) Merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Perairan yang baik mempunyai nilai pH = 7 (netral).
d.
Padatan Terlarut Total (Total Dissolved Solid/ TDS) TDS cenderung mengalami peningkatan dari hulu ke hilir, karena terdapat pemukiman penduduk di sekitar bagian tengah dan hilir. Baku mutu air menurut PP No 82 tahun 2001, kadar maksimum TDS yang diperbolehkan dalam penggunaan air golongan I, II, III adalah 1000 mg/l, sedangkan untuk golongan IV sebesar 2000 mg/l.
e.
Dissolved Oxygen (DO) Jeffries dan Mills (1996) membagi status kualitas air berdasarkan kadar oksigen terlarut, sebagaimana dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Status Kualitas Air berdasarkan Kadar Oksigen Terlarut No 1 2 3 4
f.
Kadar oksigen terlarut > 6,5 mg/l 4,5 – 6,4 mg/l 2,0 – 4,4 mg/l < 2,0 mg/l
Status kualitas air Tidak tercemar – tercemar sangat ringan Tercemar ringan Tercemar sedang Tercemar berat
Biological Oxygen Demand (BOD) Lee (1998) mengklasifikasikan besarnya tingkat pencemaran air untuk organisme akuatik berdasarkan kandungan BOD menjadi 4 golongan, sebagaimana tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Status Kualitas Air berdasarkan BOD No 1 2 3 4
Nilai BOD
Status kualitas air
< 3,0 ppm 3,0 – 5,0 ppm 5,1 – 14,9 ppm > 15,0 ppm
Tidak tercemar Tercemar ringan Tercemar sedang Tercemar berat
g.
Chemycal Oxygen Demand (COD) Merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi kimia.
h.
Amoniak dan Amonium Kadar amoniak dan amonium yang tinggi pada air sungai selalu menunjukkan adanya pencemaran.
40
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1
STATUS KUALITAS AIR DAS CISANGGARUNG, JAWA BARAT
i.
Nitrat Merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air. Konsentrasi nitrat yang tinggi menyebabkan pencemaran. Schmidt (1978) dalam Wardoyo (1989) membagi status kualitas air berdasarkan nilai nitrat, sebagaimana dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini. Tabel 5. Status Kualitas Air berdasarkan Kandungan Nitrat No
Kadar Nitrat
Status Kualitas Air
1 2 3
< 0,003 mg/l 0,003 – 0,014 mg/l >0,014 mg/l
Tidak tercemar – tercemar sangat ringan Tercemar sedang Tercemar berat
j.
Orto Phospat Merupakan bentuk fosfat yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, kandungan fosfat yang terdapat di perairan umum tidak lebih dari 0,2 mg/l.
k.
Kekeruhan (Turbidity) Merupakan suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh cahaya dapat menembus air, dimana cahaya yang menembus air akan mengalami pemantulan oleh bahan-bahan tersuspensi dan bahan koloid (Jeffries dan Mills, 1996). Turbiditas penting bagi kualitas air, terutama berkenaan dengan estetika, daya filter dan disinfeksi.
l.
Bakteri Coliform BMFT Project 02 WT 8851 (1993) menerangkan adanya organisme coliform dalam air dianggap sebagai bukti kontaminasi karena organisme ini asal usulnya dari dalam pencernaan manusia atau hewan berdarah panas lainnya.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data series yang diperoleh dari tahun 2008-2013, berikut ini diperoleh hasil penelitian sebagai berikut: a.
Temperatur / Suhu Air Kenaikan suhu menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen, namun di lain pihak juga mengakibatkan turunnya oksigen dalam air (Effendi, 2003). Kenaikan suhu mengakibatkan: turunnya oksigen terlarut, kecepatan reaksi kimia meningkat, sehingga mahluk hidup di dalamnya akan mati. Berdasarkan data series yang diperoleh dari tahun 2008-2013, menunjukkan bahwa temperatur air di DAS Cisanggarung berkisar antara 24,5°C – 34,3°C. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air golongan B, C, D untuk parameter temperatur air di daerah hulu DAS Cisanggarung (CG-1) lebih rendah dibandingkan temperature di daerah hilir (CG-6), hal ini disebabkan karena adanya perbedaan ketinggian elevasi permukaan tanah di DAS Cisanggarung. Di samping itu, penggunaan lahan di lokasi hilir banyak didominasi oleh lahan perkebunan, pertanian dan pemukiman, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi temperatur air sungai.
b.
Daya Hantar Listrik (DHL) Merupakan taraf kegaraman air. Perairan alami memiliki DHL 0,02 – 1,50 µmhos/cm. Melihat hasil pengujian kualitas air pada Stasiun Pemantauan Kualitas Air DAS Cisanggarung, Dilihat dari parameter kualitas air, nilai DHL daerah hulu DAS Cisanggarung (CG-1) lebih rendah dibandingkan temperature di daerah hilir (CG-6), karena di bagian hilir sungai banyak mengandung kadar zat padat terlarut dalam air. Berdasarkan hasil analisis kualitas air dari 6 stasiun pemantauan kualitas air DAS Cisanggarung, menunjukkan bahwa DHL berkisar antara 101 µmhos/cm - 980 µmhos/cm yang artinya masih dibawah ambang batas nilai DHL sebesar 2.250 µmhos/cm (Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air). Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa air DAS Cisanggarung dapat digunakan sebagai air baku untuk air minum, pertanian maupun perikanan.
c.
Derajat Keasaman (pH) Merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Perairan yang baik mempunyai nilai pH = 7 (netral). Dari pemantauan pada Stasiun Pemantauan Kualitas Air DAS Cisanggarung menunjukkan bahwa derajat keasaman air (pH) berkisar antara 6,81 -7,79. Artinya dari hasil analisis tersebut, derajat keasaman air di
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1 41
Rr Diah Nugraheni Setyowati
daerah tersebut masih memenuhi syarat sebagai air minum dari batas yang diperbolehkan yaitu 6-9 (Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air). d.
Padatan Terlarut Total (Total Dissolved Solid/ TDS) TDS cenderung mengalami peningkatan dari hulu ke hilir, karena terdapat pemukiman penduduk di sekitar bagian tengah dan hilir. Baku mutu air menurut PP No 82 tahun 2001, kadar maksimum TDS yang diperbolehkan dalam penggunaan air golongan I, II, III adalah 1000 mg/l, sedangkan untuk golongan IV sebesar 2000 mg/l. Berdasarkan pemantauan air dari 6 stasiun pemantauan kualitas air DAS Cisanggarung menunjukkan bahwa daerah hulu DAS Cisanggarung (CG-1) lebih rendah dibandingkan temperatur di daerah hilir (CG-6). Pada stasiun tersebut diperoleh nilai tds maksimal 942 mg/l, artinyamasih di bawah ambang batas nilai total padatan terlarut (TDS) yaitu sebesar 1000 mg/l (Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air). Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa air DAS Cisanggarung dapat digunakan sebagai air baku untuk air minum, pertanian maupun perikanan.
e.
Dissolved Oxygen (DO) Berdasarkan hasil analisis kualitas air dari 6 stasiun pemantauan kualitas air DAS Cisanggarung, menunjukkan bahwa DO berkisar antara 3,63 mg/l – 13,11 mg/l. Parameter kualitas air tersebut masih di bawah ambang batas minimal yang dipersyaratkan oksigen terlarut (DO) yaitu sebesar > 3 mg/l (Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air). Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa air DAS Cisanggarung dapat digunakan sebagai air baku untuk air minum, pertanian maupun perikanan.
f.
Biological Oxygen Demand (BOD) Berdasarkan hasil analisis kualitas air dari 6 stasiun pemantauan kualitas air DAS Cisanggarung, menunjukkan bahwa BOD berkisar antara 1,28 mg/l – 46,00 mg/l. Dilihat dari parameter kualitas air nilai BOD sebesar 6 mg/l (Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air). Hal ini menunjukkan bahwa bila dilihat dari parameter BOD air DAS Cisanggarung tidak memenuhi baku mutu golongan B, C, D.
g.
Chemycal Oxygen Demand (COD) Merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi kimia. Berdasarkan hasil analisis kualitas air dari 6 stasiun pemantauan kualitas air DAS Cisanggarung, menunjukkan bahwa COD berkisar antara 2,23 mg/l – 115,17 mg/l. Dilihat dari parameter kualitas air nilai COD sudah diatas ambang batas minimal yang dipersyaratkan COD, sebesar 10 mg/l (Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air). Hal ini menunjukkan bahwa dilihat dari parameter COD air DAS Cisanggarung kurang baik digunakan sebagai air baku untuk air minum, air pertanian maupun perikanan.
h.
Amoniak dan Amonium Berdasarkan hasil analisis kualitas air dari 6 stasiun pemantauan kualitas air DAS Cisanggarung, menunjukkan bahwa kadar Amoniak berkisar antara 0,02 mg/l – 1,25 mg/l. Dilihat dari parameter kualitas air nilai amoniak sudah diatas ambang batas minimal yang dipersyaratkan yaitu sebesar 0,50 mg/l (Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air). Hal ini menunjukkan bahwa dilihat dari parameter kadar amoniak air DAS Cisanggarung kurang baik digunakan sebagai air baku untuk air minum, air pertanian maupun perikanan. Berdasarkan hasil analisis kualitas air dari 6 stasiun pemantauan kualitas air DAS Cisanggarung, menunjukkan bahwa kadar Ammonium berkisar antara 0,02 mg/l – 1,11 mg/l. Dilihat dari parameter kualitas air nilai Ammonium sudah diatas ambang batas minimal yang dipersyaratkan yaitu sebesar 0,50 mg/l (Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air). Hal ini menunjukkan bahwa dilihat dari parameter kadar Ammonium air DAS Cisanggarung kurang baik digunakan sebagai air baku untuk air minum, air pertanian maupun perikanan.
i.
Nitrat Merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air. Konsentrasi nitrat yang tinggi menyebabkan pencemaran. Berdasarkan hasil analisis kualitas air dari 6 stasiun pemantauan kualitas air DAS Cisanggarung, menunjukkan bahwa Nitrat berkisar antara 0,03 – 6,99. Dilihat dari parameter kualitas air nilai nitrat masih dibawah ambang batas minimal yang dipersyaratkan nitrat, sebesar 10 mg/l (Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air). Hal ini menunjukkan bahwa dilihat dari parameter nitrat air DAS Cisanggarung masih dapat digunakan sebagai air baku untuk air minum, air pertanian maupun perikanan.
42
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1
STATUS KUALITAS AIR DAS CISANGGARUNG, JAWA BARAT
j.
Orto Phospat Merupakan bentuk fosfat yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, kandungan fosfat yang terdapat di perairan umum tidak lebih dari 0,2 mg/l. Berdasarkan hasil analisis kualitas air dari 6 stasiun pemantauan kualitas air DAS Cisanggarung, menunjukkan bahwa ortho phospat berkisar antara 0,04 – 3,22. Dilihat dari parameter kualitas air nilai ortho phospat sudah melebihi ambang batas minimal yang dipersyaratkan ortho phospat sebesar 0,20 mg/l (Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air). Hal ini menunjukkan bahwa dilihat dari parameter ortho phospat air DAS Cisanggarung kurang baik untuk digunakan sebagai air baku untuk air minum, air pertanian maupun perikanan.
k.
Kekeruhan (Turbidity) Merupakan suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh cahaya dapat menembus air, dimana cahaya yang menembus air akan mengalami pemantulan oleh bahan-bahan tersuspensi dan bahan koloid (Jeffries dan Mills, 1996). Turbiditas penting bagi kualitas air, terutama berkenaan dengan estetika, daya filter dan disinfeksi. Berdasarkan hasil analisis kualitas air dari 6 stasiun pemantauan kualitas air DAS Cisanggarung, menunjukkan bahwa kekeruhan air berkisar antara 1,05 NTU – 1.770 NTU. Dilihat dari parameter nilai kekeruhan air sudah melebihi ambang batas minimal yang dipersyaratkan yaitu 5 NTU (Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air). Hal ini menunjukkan perlunya ada perlakuan khusus untuk mengurangi kadar kekeruhan tersebut.
l.
Bakteri Coliform/ Fecal Coliform BMFT Project 02 WT 8851 (1993) menerangkan adanya fecal coliform dalam air dianggap sebagai bukti kontaminasi karena organisme ini asal usulnya dari dalam pencernaan manusia atau hewan berdarah panas lainnya. Berdasarkan hasil analisis laboratorium kualitas air dari 6 stasiun pemantauan kualitas air DAS Cisanggarung, menunjukkan bahwa fecal coliform berkisar antara 15.000 – 950.000 MPN/100ml. Dilihat dari parameter kualitas air kandungan fecal coliform sudah melebihi ambang batas minimal yang dipersyaratkan kandungan fecal coliform sebesar 2000 MPN/100ml (Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air). Hal ini menunjukkan bahwa dilihat dari parameter kandungan fecal coliform air DAS Cisanggarung tidak memenuhi baku mutu golongan B, C, D yaitu air baku untuk air minum, air pertanian, peternakan maupun perikanan.
4. KESIMPULAN Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air, menentukan baku mutu air ke dalam 6 golongan : a. Golongan A, adalah air yang dapat digunakan sebagai air minum langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu b. Golongan B, adalah air yang dapat digunakan sebagai air baku air minum c. Golongan C, adalah air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan pertanian d. Golongan D, adalah air yang dapat digunakan untuk pertanian dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industri dan pembangkit listrik e. Golongan B, C, D adalah air yang memenuhi peruntukkan golongan B, C, D f. Golongan C, D adalah air yang memenuhi peruntukkan golongan C dan D Berdasarkan peruntukan air dan baku mutu air, maka diperoleh hasil bahwa Sungai Cisanggarung termasuk golongan B, C, D yaitu air yang memenuhi syarat untuk peruntukan golongan B (air baku air minum), golongan C (air untuk keperluan perikanan dan peternakan), golongan D (air yang digunakan untuk pertanian dan dapat digunakan untuk usaha perkotaan, industri dan pembangkit listrik tenaga air. Dari hasil dari analisa diperoleh faktor pembatas, adalah BOD, COD, kekeruhan, nitrat, ortho phospat, ammonium, amoniak, dan fecal coliform adalah melebihi baku mutu B, C, D sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air. Tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air, yaitu baku mutu untuk parameter BOD sebesar 6 mg/l, COD sebesar 10 mg/l, Kekeruhan 5 NTU, nilai Amoniak yang dipersyaratkan yaitu sebesar 0,50 mg/l, nilai Ammonium yang dipersyaratkan yaitu sebesar 0,50 mg/l, nilai Nitrat yang dipersyaratkan sebesar 10 mg/l, Ortho Phospat sebesar 0,20 mg/l, kandungan fecal coliform sebesar 2000 MPN/100ml. Untuk lebih jelasnya kualitas air daerah aliran sungai Cisanggarung, dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini.
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1 43
Rr Diah Nugraheni Setyowati
Tabel 6. Status Kualitas Air DAS Cisanggarung berdasarkan Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air Stasiun Pemantauan Kelas Faktor Pembatas Kualitas Air Kualitas Air CG 1, CG 2, CG 3, B CG 4, CG 5, CG 6 CG 1, CG 2, CG 3, C CG 4, CG 5, CG 6 CG 1, CG 2, CG 3, D CG 4, CG 5, CG 6 Sumber : Analisa Data (2014)
BOD, COD, kekeruhan, amoniak, ammonium, nitrat, ortho phospat, fecal coliform melebihi batas ambang minimum yang diperbolehkan BOD, COD, kekeruhan, amoniak, ammonium, nitrat, ortho phospat, fecal coliform melebihi batas ambang minimum yang diperbolehkan BOD, COD, kekeruhan, amoniak, ammonium, nitrat, ortho phospat, fecal coliform melebihi batas ambang minimum yang diperbolehkan
Kadar BOD, COD, kekeruhan, amoniak, ammonium, nitrat, ortho phospat, dan kadar fecal coliform, telah melebihi baku mutu B, C, D yang diperbolehkan. Hal ini disebabkan karena pada daerah aliran sungai Cisanggarung banyak sekali kegiatan pertanian, perkebunan dan limbah rumah tangga dari pemukiman sehingga kualitas air sungai menjadi tidak baik.
DAFTAR PUSTAKA Agus, F,. N. Sinukaban. A. N. Ginting. H. Santoso dan Sutadi. 2007. Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air. Penerbit Pengurus Pusat Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia 2004-2007. Jakarta. Agustiningsih, D. 2012. Analisis Kualitas Air dan Beban Pencemaran Berdasarkan Penggunaan Lahan di Sungai Blukar Kabupaten Kendal. Arsyad, S,. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Asdak, C., 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Athena, S., Hendro. M, Anwar. M, Haryono. 2004. Kandungan Bakteri Total Colidan E. Coli / fecal Coli Air Minum dari Depot Air Minum Isi Ulang di Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Coskun, H.G,. C. Arganei. and G. F Usta. 2008. Analysis of Land Use Change and Urbanization in the Kaculcekmece Water Rasin (Istanbul, Turkey) with Temporal Satelitte Data Using Remote Sensing and GIS Sensors. 8, 72137223. De la cruz, A.I,.and P.K. Barten. 2007. Land Use Effects on Streamflow an water Quality in the Northestern United States. CRC Press. Florida-USA. Deutsch, G.W. and Busby, L.A., 2000. Community-Basid Water Quality Monitoring. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta. Endiriyanti, 2011. Pengaruh Penggunaan Lahan di Daerah Aliran Sungai Cisanggarung Terhadap Kualitas Air. Ghufrona, R.R., Diviyanti dan Nurroh, S., 2006. Analisis Tutupan Lahan Terhadap Kualitas Air Situ Burung Desa Cikarawang Kabupaten Bogor. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. I-CLEAN., 2007. pH.http://www.mysaltz.net. Diakses tanggal 26 Maret 2014. Kusnaedi., 2002. Mengolah Air Gambut dan Air Kotor untuk Air Minum. Penerbit Swadaya. Jakarta. Logan, T.J., 1990. Sustainable Agriculture and Water Quality. Sustainable Agricultural Systems. Soil and Water Conservation Society. Ankeny, Iowa. 44 AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1
STATUS KUALITAS AIR DAS CISANGGARUNG, JAWA BARAT
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai. Pennsylvania, L.E., 2006. Land Use and Water Quality. Prasetyo, S. dan Padmono, J., 1993, Alternatif Pengelolaan Limbah Cair dan Padat RPH. BPPT, Jakarta. Sofyan, I., 2004. Percentage of Total Impervious Area (PTIA) sebagai Salah Satu Faktor Penting Dalam Perencanaan Tata Ruang DAS. Sumarmo, LG., 2000. Konsep Usaha Tani Ramah Lingkungan. Puslitbangtan, Bogor. Supangat, AB. 2008, Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Terhadap Kualitas Air Sungai Di Kawasan Hutan Pinus Di Gombong, Kebumen, Jawa Tengah. Supriharyono, 2009. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir Dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Suriawiria., Unus. 2003. Air dalam Kehidupan dan Lingkungan yang Sehat. Penerbit Alumni. Bandung. Sutjianto, R., 2003. Biodeversitas Plankton Sebagai Indikator Kualitas Perairan. FMIPA UNHAS. Makassar. Sutrisno, T., dan E. Suciastuti. 2002. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Cipta Rineka. Jakarta. Tafangenyasha, C., and T. Dzinomwa. 2005. Land-use Impact o River Water Quality in Lowveld Sand River System in South-East Zimbabwe. Land-use and Water Resource. Triono, R., 2007. Pengaruh Perubahan Fungsi Lingkungan Terhadap Kelestarian Mata Air Sebagai Sumber Air. Bersih Di Kawasan Cagar Alam Pegunungan Cyclop Distrik Abepura Kota Jayapura. UGM. Yogyakarta. WHO., 2004. Guidelines For Drinking Water Quality. Third Edition. Volume 1: Recomentadtion. Geneva. Wiwoho., 2005. Model Identifikasi Daya Tampung Beban Cemaran Sungai dengan Model QUAL2E. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1 45
ISSN : 2460-8815
STUDI LITERATUR TEKNOLOGI FITOREMEDIASI UNTUK PEMULIHAN EKOSISTEM LAUT TERKONTAMINASI LOGAM BERAT Widya Nilandita1 1
Program Studi Teknik Lingkungan, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Jl. Jend. A. Yani 117 Surabaya Email:
[email protected]
ABSTRAK Ekosistem laut disinyalir banyak terkontaminasi bahan pencemar baik organik maupun in organik. Pencemaran inorganik berupa logam berat berasal dari berbagai aktivitas seperti industri, kapal dan pelabuhan, tumpahan minyak, pengolahan limbah maupun kegiatan pertambangan. Letak geografis ekosistem estuari sangat berpeluang menjadi tempat penumpukan limbah yang berasal dari kegiatan sepanjang pantai dan kegiatan sebelah hulu. Keseimbangan ekologi lingkungan perairan pantai akan tetap terjaga apabila keberadan mangrove dipertahankan karena mangrove dapat berfungsi sebagai biofilter, agen pengikat dan perangkap polusi. Teknologi-teknologi konvensional ini dianggap tidak ekonomis dan berdampak negative bagi ekosistem perairan. Studi literatur ini membahas tentang penggunaan mangrove dan cara menghitung potensi tumbuhan mangrove untuk fitoremediasi ekosistem laut yang terkontaminasi logam berat. Mangrove mempunyai kemampuan dalam menyerap logam berat, sehingga bisa digunakan untuk proses fitoremediasi pada ekosistem laut terutama ekosistem astuari. Kata kunci: Kontaminasi logam berat, Ekosistem Laut, Fitoremediasi, Mangrove
1.
PENDAHULUAN
Ekosistem laut merupakan salah satu ekosistem alamiah akuatik yang paling besar di planet bumi ini. Luas area laut memang mencakup hampir 80% wilayah bumi. Ekosistem laut dibagi menjadi beberapa ekosistem yaitu: ekosistem laut dalam dan ekosistem laut dangkal. Ekosistem laut disinyalir banyak terkontaminasi bahan pencemar baik organik maupun in organik. Pencemaran inorganik berupa logam berat berasal dari berbagai aktivitas seperti industri, kapal dan pelabuhan, tumpahan minyak, pengolahan limbah maupun kegiatan pertambangan (Peters et al., 1999). Selain itu, aktivitas pertanian yang menggunakan insektisida dan pupuk secara berlebihan juga akan meningkatkan konsentrasi logam berat yang berhilir di daerah pesisir (Alloway,1994; Hasim dan Hughes, 2009). Konsentrasi logam berat yang tinggi akan menyebabkan kerusakan lingkungan dan meningkatkan daya toksisitas, persistan dan bioakumulasi logam itu sendiri (Lindsey et al., 2004). Secara geografis ekosistem estuari sangat berpeluang menjadi tempat penumpukan limbah yang berasal dari kegiatan sepanjang pantai dan kegiatan sebelah hulu. Dampak pencemaran dibagian hulu yang dihubungkan oleh aliran sungai, dapat segera dirasakan dampaknya oleh ekosistem perairan payau dan ekosistem pantai yang berada dibagian hilir sungai tersebut. Keseimbangan ekologi lingkungan perairan pantai akan tetap terjaga apabila keberadan mangrove dipertahankan karena mangrove dapat berfungsi sebagai biofilter, agen pengikat dan perangkap polusi. Masukan sumber pencemar sangat banyak, mangrove memilki toleransi yang tingi terhadap logam berat (Mac Farlane dan Burchet, 2001; Gunarto, 2014). Mangrove juga merupakan tempat hidup berbagai jenis gastropoda, kepitng pemakan detritus, dan bivalvia pemakan plankton sehinga akan memperkuat fungsi mangrove sebagai biofilter alami. Berbagai jenis ikan baik yang bersifat herbivora, omnivore maupun karnivora hidup mencari makan di sekitar mangrove terutama pada waktu air pasang (Gunarto, 2014). Limbah logam berat merupakan polutan yang berbahaya bagi makhluk hidup yang mengalami keterpaparan oleh unsur ini. Hal ini dikarenakan unsur logam berat merupakan unsur yang tidak dapat diciptakan maupun tidak dapat hancur (non degradable) sehinga selalu ada di alam. Selain itu unsur logam berat juga memilki kemampuan daya racun yang tingi dan dapat terakumulasi pada jaringan tubuh makhuk hidup sehinga keberadanya di lingkungan sangat tidak dinginkan (Kariada.N et al, 2014). Proporsi utama penghilangan logam berat adalah melalui proses pengikatan (Kadlec dan Keoleian, 1986). Muatan positif logam berat menyebabkan logam berat dapat segera terserap, dikomplekskan dan diikat dengan partikel tersuspensi, yang kemudian menetap di substrat. Pengendapan logam berat sebagai garam tidak larut seperti karbonat, bikarbonat dan hidroksida dalam proses lain yang mengarah pada penghapusan logam berat jangka 46
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1
WIDYA NILANDITA
panjang. Garam-garam ini dibentuk oleh reaksi logam berat dengan bahan kimia lain yang hadir dalam kolom air dan tidak larut sehingga garam mengendap ke bawah menjadi tetap dalam substrat lahan basah (Sheoran dan Sheoran, 2006). Endapan alkali, kolam pertukaran ion, penyerapan secara elektrokimia, teknologi membrane filtrasi adalah teknologi yang tersedia untuk menghilangkan logam berat. Teknologi-teknologi konvensional ini dianggap tidak ekonomis dan berdampak negative bagi ekosistem perairan. Fitoremediasi adalah suatu teknologi pemanfaatn tumbuhan untuk mengurangi bahkan menghilangkan kehadiran bahan pencemar di dalam tanah dan air. Fitoremediasi menjadi pilihan menjajikan mengingat tidak membutuhkan biaya yang besar dan secara estetik mendukung upaya penghijauan lingkungan. 2.
EKOSISTEM LAUT
Ekosistem air laut biasanya juga dinamakan sebagai ekosistem bahari. Ekosistem air laut merupakan ekosistem paling luas di permukaan bumi. Lebih dari dua pertiga bagian bumi ini merupakan ekosistem laut. Ekosistem air laut ditandai oleh salinitas (kadar garam) yang tinggi dengan ion Cl dapat mencapai 55% terutama di daerah laut tropik, karena suhunya tinggi (sekitar 25 °C) dan penguapan besar. Pada daerah dingin, suhu air laut merata sehingga air dapat bercampur, hal ini mengakibatkan daerah permukaan laut tetap subur dan banyak plankton serta ikan. Gerakan air dari pantai ke tengah menyebabkan air bagian atas turun ke bawah dan sebaliknya, sehingga memungkinkan terbentuknya rantai makanan yang berlangsung baik.Ekosistem air laut juga dapat dibagi lagi menjadi ekosistem: a. Ekosistem laut dalam Ekosistem laut dalam terdapat di laut dalam atau palung laut yang gelap karena tidak dapat ditembus oleh cahaya matahari. Pada ekosistem laut dalam tidak ditemukan produsen. Organisme yang dominan, yaitu predator dan ikan yang pada penutup kulitnya mengandung fosfor sehingga dapat bercahaya di tempat yang gelap. b. Ekosistem terumbu karang Ekosistem terumbu karang terdapat di laut yang dangkal dengan air yang jernih. Organisme yang hidup di ekosistem ini, antara lain hewan terumbu karang (Coelenterata), hewan spons (Porifera), Mollusca (kerang, siput), bintang laut, ikan, dan ganggang. Ekosistem terumbu karang di Indonesia yang cukup terkenal di antaranya Taman Nasional Bawah Laut Bunaken. c. Ekosistem estuari Ekosistem estuari terdapat di daerah percampuran air laut dengan air sungai. Salinitas air di estuari lebih rendah daripada air laut, tetapi lebih tinggi daripada air tawar, yaitu sekitar 5 – 25 ppm. Di daerah estuari dapat ditemukan tipe ekosistem yang khas, yaitu padang lamun (seagrass) dan hutan mangrove. Padang lamun, merupakan habitat pantai yang biasanya ditumbuhi seagrass. Tumbuhan ini memiliki rizom dan serabut akar, batang, daun, bunga, bahkan ada yang berbuah. Seagrass berbeda dengan alga karena mempunyai sistem reproduksi dan pertumbuhan yang khas. Seagrass tumbuh menyebar membentuk padang rumput di dalam air dengan perpanjangan rizom. Jenis hewan di padang lamun, antara lain duyung (Dugong dugon), bulu babi (Tripneustes gratilla), kepiting renang (Portunus pelagicus), udang, dan penyu. Ekosistem hutan mangrove, terdapat di daerah tropis hingga subtropis. Ekosistem ini didominasi oleh tanaman bakau (Rhizophora sp.), kayu api (Avicennia sp.), dan bogem (Bruguiera sp.). Tumbuhan bakau memiliki akar yang kuat dan rapat untuk bertahan di lingkungan berlumpur yang mudah goyah oleh hempasan air laut. Akar napasnya berfungsi untuk mengambil oksigen langsung dari udara. Tumbuhan bakau memiliki buah dengan biji vivipari yang sudah berkecambah dan berakar panjang saat masih di dalam buah sehingga langsung tumbuh ketika jatuh ke lumpur. Hewan-hewan yang hidup di ekosistem ini, antara lain burung, buaya, ikan, biawak, kerang, siput, kepiting, dan udang. Hutan mangrove banyak terdapat di pesisir pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Papua, Bali, dan Sumbawa. d. Ekosistem pantai pasir Ekosistem pantai pasir terdiri atas hamparan pasir yang selalu terkena deburan ombak air laut. Di tempat ini angin bertiup kencang dan cahaya matahari bersinar kuat pada siang hari. Vegetasi atau tumbuhan yang dominan adalah formasi pes-caprae dan formasi barringtonia. Formasi pes-caprae terdiri atas tanaman berbatang lunak dan berbiji (terna), misalnya Ipomoea pes-caprae, Vigna marina, dan Spinifex littoreus. Formasi barringtonia terdiri atas perdu dan pohon, misalnya Barringtonia asiatica, Terminalia catappa, Erythrina, Hibiscus tiliaceus, dan Hernandia. AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1 47
STUDI LITERATUR TENTANG PENCEMARAN UDARA AKIBAT AKTIVITAS KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN KOTA SURABAYA
e.
Hewan yang hidup di pantai pasir, misalnya kepiting dan burung. Pantai pasir antara lain terdapat di Bali, Lombok, Papua, Bengkulu, dan Bantul (Yogyakarta). Ekosistem pantai batu Sesuai dengan namanya, ekosistem Sesuai dengan namanya, ekosistem pantai batu memiliki banyak bongkahan batu besar maupun batu kecil. Organisme dominan di smi, yaitu ganggang cokelat, ganggang merah, siput, kerang, kepiting, dan burung. Ekosistem ini banyak terdapat di pantai selatan Jawa, pantai barat Sumatra, Bali, Nusa Tenggara dan Maluku.
3. TEKNOLOGI FITOREMEDIASI LOGAM BERAT EKOSISTEM LAUT Terkait dengan fitoremidiasi di pesisir, perlu diketahui karakteristik fisikokimia perairan dan sedimen (Yoon et al., 2006). Kondisi fisikokimia perairan akan berpengaruh terhadap kondisi sedimen dan fisiologi serta pertumbuhan mangrove. Di sedimen, kandungan logam berat yang ada juga sangat dipengaruhi oleh kapasitas pertukaran ion, pH, redoks, spesiasi logam berat, ketersedian nutrien dan salinitas sedimen (Greger, 2004). Fitoremidiasi dihitung dengan tiga pendekatan biologi yaitu: 1. Biological Accumulation Coefficient (BAC) (Khan et al., 2013). BAC juga sama dengan Enrichment Coefficient (EF) dimana didapatkan dengan cara membagi konsentrasi logam pada sedimen konsentrasi logam berat dengan daun (Cui et al., 2007) BAC/EF= [Logam Berat] Daun/[Logam Berat] Sedimen 2. Biological Transfer Coefficient (BTC) atau Translocation Factor (TF) didefinisikan sebagai konsentrasi logam berat pada daun dibagi dengan konsentrasi logam berat pada akar (Zu et al., 2005; Cui et al., 2007; MacFarlane et al., 2007; Khan et al., 2013). BTC/EF= [Logam Berat] daun/[Logam Berat] akar 3. Bio-Concentration Factor (BCF) adalah rasio antara konsentrasi logam berat pada akar dengan konsentrasi logam berat pada sedimen (Yoon et al., 2006; MacFarlane et al., 2007; Khan et al., 2013). BCF= [Logam Berat] akar/[Logam Berat] sediment Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hamzah (2013), di Hutan Lindung Muara Angke Kapuk dan Taman Margasatwa Muara Angke, menunjukkan bahwa organ akar dan daun tumbuhan Rhizophora mucronata, Rhizopora apiculata, Sonneratia caseolaris dan Avicennia marina memiliki kemampuan menyerap logam berat Pb, Cu dan Zn (Tabel 1) Tabel 1. Kandungan logam Cu, Zn, dan PB pada Akar dan Daun
Kr´bek dk (201) dalam penelitanya menyampaikan, bahwa mangrove merupakan hyperacumulators yang baik, mangrove bukan saja mampu tumbuh di tanah dengan konsentrasi unsur beracun yang tingi, tetapi mereka juga mengumpulkan/ mengakumulasi unsur tersebut di dalam batang dan daun dengan jumlah yang mungkin lebih tingi dan mematikan bagi organisme hidup lainya. Beberapa tanaman (metalophytes) dapat tumbuh dalam substrat dengan kondisi konsentrasi logam yang sangat tinggi (salt dk, 195; broks 198; boyd 207 dalam kr´bek dk, 201). Clark dk (198) dalam kumar dk (201), ekosistem mangrove memainkan peran penting sebagai filter dan pengendalian polusi alami karena kekhasan system akarnya yang berhasil mengendalikan kualitas air dan merupakan perangkap sedimen serta partikel yang diangkut oleh arus ke lautan dari muara.
48
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1
WIDYA NILANDITA
Hamzah dkk (2013) juga meneliti besar konsentrasi logam berat seberapa besar konsentrasi kandungan logam berat dari lingkungan yang diserap oleh jaringan akar, kemudian disebar dan diakumulasikan kejaringan lainnya (daun dan kulit batang) dengan menghitung BAC, BCF dan BTC (tabel 2)
Tabel 2. Nilai BCF daun, BCF akar dan TF mangrove
MacFarlane et al. (2007); dan Khan et al. (2013) menyatakan bahwa untuk mengetahui seberapa besar perpindahan logam dari satu jaringan ke jaringan yang lain, bisa diketahui dari faktor bioakumulasi/enrichment (BAC/EC), biokonsentrasi (bioconcentration factor/BCF) dan biotranslokasi (BTC/TF). Dalam hal ini, BAC/EC merupakan rasio kandungan logam berat dalam daun dengan kandungan logam berat pada sedimen, BCF merupakan rasio kandungan logam berat dalam akar dengan kandungan logam berat di sedimen, sedangkan BTC/TF merupakan rasio konsentrasi logam berat dalam daun dan akar. Selain itu, BCF dan BTC bisa digunakan untuk mengetahui potensi tumbuhan untuk tujuan fitoremidiasi (Yoon et al., 2006). Untuk tujuan fitoremidiasi, Hamzah dkk (2013) melakukan pendekatan BAC, BCF dan BTC dengan kriteria spesies tumbuhan yang memiliki nilai BAC dan BCF tinggi, namun nilai BTC-nya rendah (Yoon et al.,2006). Untuk mempermudah perhitungan fitoremidiasi dilakukan pengurangan antara nilai BAC/BCF dengan BTC dan hasilnya adalah FTD daun dan akar (Tabel 3) Tabel 3 Nilai FTD daun dan akar mangrove
Berdasarkan hasil perhitungan FTD akar dan daun dapat disimpulkan bahwa Sonneratia caseolaris 3 diduga dapat digunakan untuk tujuan fitoremidiasi khususnya fitostabilisasi. Penelitian Nazli,dkk (2010) juga berkesimpulan bahwa Sonneratia caseolaris potensial untuk digunakan dalam fitoremediasi. Proses akumulasi dan mobilisasi logam dengan menggunakan jaringan akar dikenal dengan istilah fitostabilisasi. Fitostabilisasi mampu meminimalisir pergerakan polutan (logam berat) dalam sedimen (Susarla et al., 2002). 4.
KESIMPULAN
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1 49
STUDI LITERATUR TENTANG PENCEMARAN UDARA AKIBAT AKTIVITAS KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN KOTA SURABAYA
Mangrove memiliki kemampuan menyerap logam berat dari lingkungan, sehingga bisa digunakan sebagai agen fitoremediasi pada ekosistem laut terutama ekosistem estuari. Diperlukan penelitian untuk menggali potensi tumbuhan mangrove lainnya yang biasa digunakan dalam proses fitoremediasi.
DAFTAR PUSTAKA Alloway, B.J. 1994. Toxic Metals in Soil–Plant Systems, Chichester, Uk: John Wiley and Sons. Gunarto. 2014. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumberhayati Perikanan Pantai. Jurnal Litbang Pertanian 23 (1): 15-21. Cui, S., Q. Zhou & L. Chao. 2007. Potential Hyperaccumulator of Pb, Zn, Cu and Cd in Endurant Plants Distributed in an Old Smeltery, Northeast China. Environ. Geol. 51:1043-1048. Hamzah, F. & Pancawati,Y. 2013. Fitoremidiasi Logam Berat dengan Menggunakan Mangrove. Ilmu Kelautan. Vol. 18(4):203-212 Hashim, N.R. & F. Hughes. 2009. The Responses of Secondary Forest tree Seedlings to Soil enrichment in Peninsular Malaysia: An Experimental Approach. Trop. Ecol. 3(1):50-55. Kadlec, P.H & Keoleian,G.A. 1986. Metal Ion Exchange on Peat. In Peat and water, PP 61-93 (Fuchsman, C. H., Ed) Amsterdam Elsevier. Khan, M.U., M. Ahmed, S.S. Shaukat, K. Nazim & Q.M. Ali. 2013. Effect of Industrial Waste on Early Growth and Phytoremidation Potential. Avicennia Marina (Forsk.) Vierh. Pak. J. Bot, 45(1):17-27. Kr´bek, B., Mihaljevic, M., Sracek, O., Kne´sl, I., Etler, V. dan Nyambe, I. 201. The Extent of Arsenic and of Metal Uptake by Aboveground Tisues of Pteris vitata and Cyperus involucratus Growing in Coper- and Cobalt- Rich Tailngs of the Zambian Coperbelt. Arch Environ Contam Toxicol 61:28–242. MacFarlane, G.R. & M.D. Burchett. 2001. Photosynthetic Pigments and Peroxides Activity as Indicators of Heavy Metal Stress in the Grey Mangrove Avicennia marina (Forsk.) Veirh. Mar. Poll. Bull. 42: 233-240. MacFarlane, G.R., C.E. Koller & S.P. Blomberg. 2007. Accumulation and Partitioning of Heavy Metals in Mangroves: A Synthesis of Field Based Studies. Chemosphere. 69:1454-1464. Nazli, M.F & Hashim, N.R. 2010. Heavy metal concentration in an Important Mangrove Species, Sonneratia caseolaris,in Peninsular Malaysia. EnvironmentAsia 3(special issue) (2010) 50-55. on line www.tshe.org/EA. (Akses tanggal 1 Agustus 2015). Peters, E.C., N.J. Gassman, J.C. Firman, R.H. Richmond & E.A. Power. 1997. Ecotoxicology of Tropical Marine Ecosystems. Environ. Toxicol. Chem. 16:12–40. Sheoran, A.S & Sheoran, V. 2006. Heavy metal removal mechanism of acid mine drainage in wet land: a critical review. Mineral Eng, 19:105-116 Susarla, S., V.F. Medina & S.C. McCutcheon. 2002. Phytoremediation, an Ecological Solution to Organic Contamination. Ecol. Eng. 18:647–658. Yoon, J., C. Xinde, Z. Qixing & L.Q. Ma. 2006. Accumulation of Pb, Cu, and Zn in Native Plants Growing on a Contaminated Florida Site. Sci. Total Environ. 368(2–3):456-464. Zu, Y.Q., Y. Li, J.J. Chen, H.Y. Chen, L. Qin & C. Schvartz. 2005. Hyperaccumulation of Pb, Zn and Cd in herbaceous grown on lead-zinc mining area in Yunnan, China. Environ. Internat. 31:755-762.
50
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN VOLUME 1, NOMOR 1