APPENDICES i.
Politik Karikatur
Kritik bisa disampaikan dengan banyak media dan cara. Ada yang memilih menyampaikannya secara vulgar dan frontal hingga berakhir anarkis. Ada pula yang menyajikannya dalam bahasa gambar, yaitu karikatur. Karikatur dengan karakter dan celetukan yang khas, berisi sindiran atau olok-olok, tetapi tetap penuh humor dan sarat pesan. Adalah Timun, tokoh karikatur di harian Kompas ini, dihidupkan melalui monolog oleh Butet Kartaredjasa dalam membuka acara Kick Andy. Celoteh Timun--tokoh rekaan Rachmat Riyadi---menyindir banyak persoalan, mulai dari pidatopidato kosong para politikus, tragedi terbunuhnya Munir, obat-obatan palsu, hingga susu yang mengandung melamin. Sindiran Timun yang sarat pesan berhasil mengundang tawa dan tepukan para penonton. “Tapi, saya bingung ini. Saya ini Timun apa semangka?” celetuk Butet pada akhir penampilannya. “Kalau dari kepalanya, sih, kelapa muda,” ujar Andy yang disambut tawa penonton. *** Rachmat Riyadi merupakan sosok di balik kemunculan “Timun” yang populer di harian Kompas. Kartunis dan penulis strip komik dengan nama samaran Libra ini, juga dikenal lewat berbagai penerbitan yang dibuatnya di majalah dan surat kabar nasional, sebutlah saja “Tomat” di majalah Kawanku, “Toge” di majalah Warta Pramuka, “Tipi” di tabloid Monitor, dan “Dr. Otomot” di tabloid Otomotif. Tekad menggebu-gebu untuk menjadi kartunis dan karikaturis profesional membuat Rahmat meninggalkan kuliahnya di Fakultas Teknik Universitas Katolik Atmajaya Yogyakarta dan hijrah ke Jakarta. Ia kemudian menawarkan gambarnya ke majalah berita mingguan Tempo yang belum memiliki rubrik karikatur, tetapi ditolak oleh Goenawan Mohammad. Terdampar di Jakarta tidak membuat Rahmat patah arang. Setelah malang-melintang ke sana kemari akhirnya dia diterima sebagai reporter di mingguan Ekspres, bahkan menjadi penulis skenario film. Salah satu filmnya yang laris di pasaran berjudul Yang (1985), dibintangi oleh Rano Karno dan Zoraya Perucha. Pada 1981, “Timun” lahir sebagai media penyampai kritik dengan gaya humornya yang khas. Meskipun “Timun” muncul pada masa sensor pemerintah masih ketat, Rahmat tidak merasa takut membuat karikatur politik. Pria kelahiran 61 tahun silam ini menyederhanakan kasus-kasus politik menjadi masalah rumah tangga dengan sentuhan humor yang lebih kental, tetapi tetap terkait dengan kasus-kasus politik yang dibahasnya. Salah satu contohnya soal gas elpiji. “Saya menyederhanakan kasus yang besar menjadi kasus yang sebetulnya bisa terjadi di dalam rumah tangga, “ kata Rahmat. Rahmat yang sudah menujukkan kemampuan menggambarnya sejak kecil menjadikan koran sebagai sumber ide bagi karikaturnya yang selalu bertema sosial politik. “Pokoknya Sabtu saya harus baca koran serius. Saya teliti satu per satu, dari tema yang paling menarik. Dari judul tema itulah saya coba buat kartunnya,“
Universitas Sumatera Utara
jelasnya. Ketika Andy menanyakan siapa yang mengingatkannya ketika merasa bahwa kritikannya terlalu keras atau terlalu kasar, Rahmat menjawab, “Sensornya saya sendiri.” *** Mata melotot laiknya bola pingpong, garis tubuh yang tidak tegas, merupakan ciri karikatur yang rutin menghias majalah Tempo dalam setiap terbitannya. Priyanto Sunarto, sang kreator, dikenal sebagai karikaturnis yang memiliki kepekaan tinggi terhadap situasi dan kondisi yang tengah berlangsung. Andy F. Noya pun dengan spontan menanyakan gaya karikatur Priyanto yang sering terlihat aneh. Ide-ide membuat karikatur biasanya lahir dari rapat redaksi, browsing, dan obrolan. Awalnya memang Priyanto kebingungan untuk menentukan karakter karikaturnya. Rekanrekannya di Tempo pun berucap bahwa kartun yang bagus hanya untuk konsumsi iklan. “Nah, sejak itu saya yakin harus selalu bikin yang jelek,“ guraunya. Karikaturnya yang selalu identik dengan kritikan tentang kondisi sosial politik membuat Priyanto pernah di-blacklist ketika menampilkan tema lemak babi. Tema tersebut dianggap menyinggung sebagian masyarakat. “Apa reaksinya?” tanya Andy. “Yang satu bilang itu menghina, yang lain mengatakan, ‘Nah, itulah fitrah manusia, makanan harus memilih’. Saya tidak perlu menjawab, membiarkan saja pembaca bertengkar sendiri,” terang Priyanto yang disambut tawa para penonton. Tangan Priyanto tampaknya selalu gatal untuk “menyindir”. Ia pernah membuat karikatur bertajuk “Kabinet Langsing, Mbak!” yang mengusung cerita soal pasangan presiden dan wakil presiden periode keempat, Gus Dur dan Megawati. Sindiran itu mengena dengan telak. Ihwalnya, pasangan pemimpin negara tersebut berniat membentuk kabinet yang langsing, tetapi pada kenyataannya malah terus membengkak, mengakomodasi kepentingan partai-partai. Bahkan, Aa Gym yang pernah marah karena film Buruan Cium Gue juga tidak luput dari sindiran dengan karikatur yang berjudul sama. Priyanto yang menjadi seorang karikaturis sejak 1973 melihat ada perbedaan prinsipil antara kritik pada zaman Orde Baru dan kritik pada zaman sekarang ini. Pada zaman Orde Baru, para karikaturis harus banyak akal jika tidak ingin karyanya dicekal. Sebaliknya, zaman sekarang semua bisa dikritik bahkan cenderung kebablasan dengan menyerang pribadi tertentu “Menjadi seorang karikaturis adalah jalan hidup saya yang tak akan mati,” tegas Prayitno yang pernah mendapatkan penghargaan dari PWI. *** Pria bertopi pet, mengenakan kemeja putih polos, dibalut jas yang ditambal sulam di bagian lengan, berpadu celana panjang berwarna gelap itu bernama Oom Pasilkom. Ia tidak hadir di dunia nyata, tetapi amat lekat di hati para pembaca Kompas. G.M. Sudarta-lah yang menciptakan Oom Pasilkom sejak 1997.
Universitas Sumatera Utara
Konon, namanya diambil dari kata “Si Kompas”, yang kalau diulang-ulang menjadi “sikompassikompas”. Maka, lahirlah nama unik itu. Oom Pasilkom tidak hanya dikenal lewat media cetak, tokoh karikatur ini bahkan sempat difilmkan di layar lebar maupun layar televisi. Butet Kartaredjasa, yang mendapat kehormatan memerankan Oom pasilkom selama 13 episode di sebuah produksi sinema elektronik mengatakan bahwa tokoh karikatur yang diperankan memiliki wajah Indonesia dengan sisa-sisa londo, yang oke nasionalis, tetapi tetap Jawa. “Ya, inilah, memaksakan diri pengin jadi orang kaya, tapi tetap memamerkan kemiskinan,“ ujar Butet menjawab pertanyaan Andy soal jas bertambal menjadi penanda Oom Pasikom. G.M. Sudarta hingga kini masih aktif mengajar di suatu perguruan tinggi di Jepang selama 4 tahun. Baginya, dunia kartun adalah media yang tepat untuk menyampaikan kritik melalui humor ringan, tetapi menggelitik. Oleh karena itu, “Oom Pasikom” selalu mengangkat topik-topik yang hangat di bicarakan di media massa dan di masyarakat. Selain Oom Pasikom, Sudarta juga banyak membuat karikatur-karikatur kritis lainnya. Ia mengaku tantangan yang ada pada zaman Orde Baru membuatnya lebih kreatif untuk berkarya. Sasaran kritiknya tidak hanya Presiden, tetapi juga keadaan dan rakyat yang kerap menjadi kegelisahannya. “Kartunis itu oposan yang berdiri di luar pagar, tidak memihak ke mana-mana, hanya di pihak yang lemah.” tegas Sudarta. Selain G.M. Sudarta, ada Agustin Sibarani yang kenyang makan asam garam karena sudah membuat karikatur sejak masa Bung Karno. Pada usianya yang ke-83 ini, Agustin sudah jarang memproduksi karikatur karena alasan kesehatan. Bakat dan keterampilannya menggambar mulai terasa lewat pertemuannya dengan Haryadi, seorang pelukis yang berdomisili di Yogyakarta pada awal 1948. Masa-masa pemberontakan banyak memberikan inspirasi bagi Agustin, terutama dari dunia yang telah digeluti sebelumnya, dunia militer. Sejak 1950-an, pria kelahiran Pematangsiantar, Sumatera Utara ini banyak mengkritik tokoh-tokoh politik lewat coretannya yang tegas dan kejam. Karya-karya karikaturnya pada era 1950-an hingga awal 1970-an tersebar di sejumlah penerbitan. Ketika Orde Baru berjaya, Agustin menjadi salah satu karikaturis yang dicekal, karya-karyanya dilarang muncul di berbagai media. Meskipun demikian, ia terus menghasilkan karya yang tajam dan kontroversial. Sebagian karyanya masih tersimpan apik di musium kartun di Denpasar, Bali, termasuk karikaturnya mengenai modal asing yang dibuat pada 1959. Lukisan wajah Sisingamangaraja XII yang tersemat pada lembaran uang Rp 1.000,00 pada masa lalu ternyata merupakan karya Agustin Sibarani. Sayangnya, penggunaan repro lukisan oleh Bank Indonesia tersebut tanpa seizin Agustin. Upaya hukum yang ditempuh pada 1988 pun mengalami kegagalan. Lukisan tersebut kali pertama diproduksi pada 1959 dan dipamerkan pada pengukuhan Sisingamangaraja XII sebagai pahlawan nasional.
Universitas Sumatera Utara
“Saya kurang tahu persis kenapa upaya hukum itu gagal. Alasannya mungkin tentang administratif. Tetapi, mungkin juga ada unsur lain. Pada waktu itu jarang sekali pengadilan memenangkan rakyat biasa,“ kata Gorky, anak Agustin Sibarani. *** Eko Nugroho, salah satu komikus muda yang mewakili generasi komikus underground Indonesia menggagas sebuah komik berjudul Daging Tumbuh. Komik ini awalnya hanya dikenal dikalangan mahasiswa, tetapi kemudian meluas di kalangan komunitas komik underground dan masyarakat Yogyakarta. Nama Daging Tumbuh muncul atas keinginan untuk memutarbalikan logika manusia dari sebuah perkataan. Komik ekspresif berisi kata-kata “menjijikan” yang tidak lazim di masyarakat. Karya-karya komik strip dan karikatur yang mengisi kompilasi ini mulai dikumpulkan sejak 2000 dari komikus lain yang tidak mampu memublikasikan karyanya. Penjualannya dilakukan dan didistribusikan dari tangan ke tangan serta keuntungan yang diperoleh dikumpulkan untuk membuat edisi berikutnya atau proyek seni rupa lainnya. Uniknya, setiap edisi hanya dicetak dan dijual sebanyak 150 eksemplar, selebihnya pembeli diperbolehkan untuk memfotokopi sendiri jika kehabisan. “Nggak ditangkap gara-gara pembajakan?” tanya Andy. “Ya, kami memang mengiyakan, sih. Halal untuk di-copy malahan,“ jawab Eko dan disambut tepuk tangan para penonton. Kumpulan komik karya Eko lainnya yang sudah diterbitkan oleh sebuah penerbit independen adalah The Konyol. Komik ini berisi cerita keseharian yang terjadi di masyarakat dan dikemas dengan humor segar. Sejak krisis ekonomi pada 1998, Eko sudah rajin membuat komik selebaran bolak-balik dan membagikan 50 sampai 100 lembar fotokopi komiknya ke pedagang pasar dan tukang becak dengan maksud menghibur. Eko yang terpilih sebagai salah satu Manusia Cemerlang tahun 2005 oleh majalah Tempo ini merasa karikatur telah menjadi bagian hidup dan menginspirasi studinya sejak duduk di bangku SMP hingga SMA. Meskipun kritis melalui karya-karya karikaturnya, ia jarang menggambar figur tokoh yang disindirnya dan lebih mementingkan teks sindirannya. “Dari semua yang Anda alami, kritik melalui kartun atau karikatur itu efektif nggak, sih?” tanya Andy ingin tahu. “Sejauh bagaimana kritik itu mampu menyampaikan pesannya sendiri. Apakah masyarakat bisa menerima kritik sebagai hal yang menyenangkan sekaligus mencerdaskan atau justru menyuramkan situasi? Ini tantangan kartunis atau karikaturis untuk memunculkan karya-karya yang tidak hanya bisa mengkritik, tetapi juga bisa menjadi badut,” jawab Eko. *** Dwi Koendoro Brotoatmojo atau Dwi Koen, komikus yang memulai membuat komik sejak 1958, sangat identik dengan cerita rekaannya, “Panji Koming”. Komik strip
Universitas Sumatera Utara
yang selalu muncul di harian Kompas edisi minggu ini mengambil latar belakang zaman Majapahit pada 1293-1520 dengan dua tokoh utamanya Koming, si abdi dalem yang penuh sopan santun dan Pailul, si orang kampung yang ceplas-ceplos. Atas saran seniornya, kartunis G.M. Sidharta, Dwi Koen membuat riset untuk menyambungkan berbagai isu dan peristiwa yang berkembang dalam masyarakat. Meskipun dibuat dengan setting zaman Majapahit, “Panji Koming” dianalogikan dengan kondisi Indonesia masa kini, terutama masa Orde Baru dan sesudahnya. “Saya mau menyindir perilaku yang tidak manusiawi dengan bahasa yang tidak terlalu vulgar, dengan canda,” ujarnya. “Panji Koming” mulai dimuat di Kompas edisi Minggu sejak 14 Oktober 1979. Komik ini pun terkadang mengalami ancaman tidak naik cetak jika gambarnya dinilai terlalu berani. Namun, sejak 1999, ketika Soeharto terjungkal dari takhtanya, Dwi Koen lebih berani memainkan goresan penanya. Setiap hari ia membuat karikatur-karikatur, kartun-kartun dengan figur pejabat-pejabat yang mau dikritik. Sampai-sampai Efix Mulyadi, wartawan kebudayaan, mengatakan, “Dwi Koen muntah.” Dalam membuat kartun, Dwi Koen terlebih dahulu melakukan riset kecil melalui koran dan televisi untuk mendapatkan materi kartun yang menarik. Proses selanjutnya, Dwi Koen akan membuat dialog dan menempatkan gambar tokohnya satu per satu. Pengerjaan gambar kartun dilakukan secara manual menggunakn kertas dan pensil. Barulah hasil dari gambar ini di-scan melalui komputer. “Panji Koming” memang kerap menjadi tingkah polah anggota DPR. “Kita melihat ada pertengkaran di dalam DPR, mereka sebagai wakil rakyat malah berantem sendiri,” jelas Dwi. “Pailul selalu jadi korban disini karena rakyat jadi gampang dikorbankan, ya?” tohok Andy. Selama membuat “Panji Koming”, Dwi selalu berpegang teguh pada kode etik Kompas, yaitu “membela hati nurani rakyat”. Baginya, selama tidak melanggar kode etik tersebut maka tidak akan ada masalah dan aman. “Ini mengenai melawan musuh dalam selimut. Ini mengenai korupsi, ya?” tanya Andy menunjuk salah satu kartun “Panji Koming” yang ditampilkan. “Iya. Ini masih lama sebelum ramai-ramai berita korupsi di DPR. Tapi, saya cobacoba bikin karena ada kabar-kabar semacam itu ... kabar-kabar yang tidak terlalu open. Ternyata, di belakang SBY sendiri banyak tikusnya,” jawab Dwi Koen panjang lebar. Butet kemudian turut bergabung dan mengakui kedekatannya dengan pelesetan “Panji Koming”. Butet memang tumbuh besar dalam tradisi ketoprak dan “Panji Koming” tidak jauh berbeda dengan ketoprak zaman baru. Bentuk kritik yang ada dalam “Panji Koming” dalam kebudayaan Jawa disebut guyon parikeno. “Seperti para punakawan dalam cerita pewayangan. Kami mengkritik para petinggi dengan cara menciptakan kejenakaan. Mencubit, tapi yang dicubit tidak merasa sakit,” urai Butet diiringi tepuk tangan penonton.
Universitas Sumatera Utara
Bagi Butet, kritik pada dasarnya sebuah tindakan atau kebijakan yang diselewengkan. Tidak melancarkan sindiran kepada sosok, tokoh, tetapi lebih mengarah ke kebijakan. Ada pihak-pihak yang memang mencoba mengakali kebijakan untuk kepentingan sendiri dan merugikan khalayak. Melalui buku Presiden Guyonan, Butet membagi mimpinya tentang sebuah negeri yang digambarkan dalam sebuah keluarga yang penuh toleransi antara suami-istri dengan keyakinan agama yang berbeda dengan anaknya. Dalam cerita ini tidak ada unsur kekerasan dan menampilkan perasaan saling menghargai terhadap keberagaman dalam rumah tangga. Pemerintah zaman sekarang dirasai oleh Dwi Koen lebih akomodatif terhadap kritikkritik, seperti yang ditampilkan dalam “Panji Koming”. Bahkan, menurut Profesor Widjojo Nitisastro, “Panji Koming” itu tajam, tetapi tidak menyakitkan. “Nah, ada satu lagi strip dari ‘Panji Koming’ yang menarik. Semua orang naik ke kapal dan terlihat semua sibuk, yang satu ke sana yang satu ke sini. Nakhodanya ini, kalau dilihat-lihat, Presiden, ya?” tanya Andy. “Simbol bahtera kita, negara kita, “ jawab Dwi Koen. Selain “Panji Koming”, Dwi Koen juga menciptakan komik Lagenda Saung Kampret. Pada 2005, komik ini mendapatkan lima penghargaan dari Komik Asia Awards. Seribu jalan menuju Roma, pun ada ribuan jalan untuk menyampaikan kegelisahan. Salah satunya dengan rangkaian kata-kata dan gambar yang bernuansa satir, penuh sindiran. Simbol-simbol semacam itulah yang kita perlukan untuk mengasah kepekaan dalam menangkap pesan. Kritik dalam simbol, mengajarkan kita untuk tidak menjadi manusia yang buta dan tuli dalam mencerna makna.
Universitas Sumatera Utara
ii.
Menuntut Ilmu Hingga Ke Negeri Kanguru
BRIDGE (Building Relationship through Intercultural Dialogue and Growing Engagement) adalah program kemitraan Australia-Indonesia di bidang pendidikan melalui program pertukaran guru-guru dan sister schools. Sudah 92 orang guru Indonesia yang berasal dari berbagai daerah berkunjung ke Australia untuk melihat dan belajar proses ajar-mengajar di negeri kanguru tersebut. Mereka kemudian diharapkan bisa menerapkan dan mengimplementasikan apa yang telah mereka pelajari selama mengikuti program BRIDGE ke sekolah masing-masing. Ahmad Fais, guru Biologi SMA Al Hikmah Surabaya, Jawa Timur, adalah salah satu guru yang berkesempatan ke Australia dan ditempatkan di sekolah Cathedral College di negara bagian Victoria melalui program BRIDGE. Selama 21 hari ia belajar banyak tentang hubungan pendidikan internasional dalam peningkatan kompetensi guru dan kemampuan berbahasa Inggris. Sekembalinya mengikuti program tersebut, Fais mulai mengembangkan bahasa Inggris di sekolah dengan sebuah pin kecil. Berawal ketika Fais berkunjung ke bank dan melihat teller menggunakan pin smile, melayani customer dengan senyuman, ide pin ini kemudian diadopsi dan dicobakan untuk mengembangkan bahasa Inggris di SMA Al-Hikmah. “Saya ambil ide itu, kemudian kenapa tidak itu dicoba di sekolah saya, tapi bukan smile. Masa guru disuruh senyum terus itu, kan, ...,” terang Fais tidak meneruskan jawabannya sambil tertawa. “Nanti dibilang gendeng iki ...,” timpal Andy disambut tawa oleh penonton. Pin smile kemudian dimodifikasi menjadi pin “Speak English with me, please,” artinya siapa saja yang bertemu dengan pengguna pin harus berbahasa Inggris. Dalam satu minggu, satu orang mendapat dua hari, Senin-Selasa untuk guru IT, Rabu-Kamis untuk guru sosial dan sains, dan Jum’at-Sabtu untuk pustakawan, satpam, dan office boy. Jadi, tidak hanya bagi guru, program pin ini juga berlaku bagi cleaning service, office boy, dan satpam dengan harapan bahasa Inggris itu menjadi program yang menyeluruh tidak hanya bagi guru, tetapi juga bagi seluruh karyawan SMA Al Hikmah. “Bagaimana ketika ide ini diterapkan, apa reaksi guru-guru atau kepala sekolah?” selidik Andy. “Yang paling pertama itu gini, Bung Andy, orang yang ... guru-guru yang dapat pin ini biasanya ...awalnya banyak omong jadi tidak banyak omong,” kata Fais disambut tertawa seluruh penonton. Menurut Fais, dengan program pin ini guru-guru lebih banyak bekerja sehingga cukup membantu efektivitas sekolah. Fais juga menerapkan model belajar meja bundar. Sebuah model belajar dua arah yang memungkinkan semua siswa sebagai sumber belajar dan guru di kelas tidak lagi sebagai satu-satunya sumber ilmu, tetapi sebagai fasilitator. Tidak hanya itu, semua siswa diwajibkan untuk membuat tugas rutin literature review, yaitu membaca satu buku, membuat review-nya dalam bahasa Inggris, dan mengunggahnya ke WIKISPACE sehingga dapat berbagi informasi dengan teman-teman mereka di Australia. Tugas rutin ini diharapkan dapat mengoptimalkan sumber daya siswa,
Universitas Sumatera Utara
dengan membaca buku literature dan menceritakan kembali dalam bentuk review bahasa Inggris dengan kata-kata yang singkat dan mudah dipahami. Selain itu, Fais juga menerapkan morning brieving untuk para guru. Para guru harus menghadiri sebuah pertemuan selama 10-15 menit sebelum pelajaran dimulai. Pertemuan ini sebagai forum untuk berdoa, membahas perkembangan sekolah, dan bercerita secara bergiliran dengan menggunakan bahasa Inggris. *** Pengalaman belajar ke Negeri Kanguru melalui program BRIDGE juga sempat dirasakan oleh Abdul Latif, guru Bahasa Indonesia di SMA Negeri 5 Surabaya. Di Australia, Abdul Latif ditempatkan di Tranby College, Baldavis, Australia Barat. Ia bertugas mem-back up guru Bahasa Indonesia sekolah tersebut, memperkenalkan budaya-budaya Indonesia kepada para siswa dan menyusun sebuah project bersama Ibu Vicky Richardson yang menjadi partnernya. Banyak hal yang Abdul Latif dapatkan selama mengikuti program BRIDGE. Yang paling mengesankan baginya adalah bagaimana guru-guru di Australia mengapresiasi muridnya. Di sana murid diposisikan sebagai rekan kerja dan teman. “Iya, saya pernah punya pengalaman, ada seorang murid menunjukkan tugasnya kepada guru. ‘Mr. Steve, this is my assignment,’ gurunya mengatakan, ‘Oh, well done, very good, you are very clever.’ Kemudian, saya lihat, wah, pekerjaan gitu saja very good,’ cerita Abdul Latif. Menurut Abdul Latif, setiap usaha murid walaupun kecil tetap harus dihargai. Kepada murid-muridnya, Abdul Latif berkata “If you make mistake I am happy because you are still learning, I am happy. But if you are right I am happier.” Berkaca dari pengalamannya itulah, ia menerapkan bahwa apa pun yang siswa kerjakan, meskipun sedikit, ia beri poin. “Bagaimana reaksi murid-murid dengan cara Anda ini?” “Oh, ketika saya membaca buku ... ‘Oke, Anak-Anak, siapa yang ...,’ ini sudah mengancung semua, Pak,” ungkap Abdul Latif yang membuat Andy dan penonton pun tertawa. “Iya, bahkan ketika misalnya ...’Oke Anak-Anak, tolong, ya, ini LCD dibawa ke sana,’ lalu, ‘Ada poinnya, Pak, ya?’” Abdul Latif mengungkapkan bahwa program BRIDGE dengan situs web WIKISPACE-nya sangat bermanfaat bagi guru dan siswa. Melalui WIKISPACE, siswa di sekolahnya bisa berkomunikasi langsung dengan siswa di Tranby College. Teknologi menjadi jembatan untuk berbagi ilmu dan memperluas persahabatan. *** Terpilih untuk mengikuti program BRIDGE ke Australia, Johanes Budi Waluyo sangat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memperkenalkan budaya Indonesia khususnya budaya Lombok. Tidak tanggung-tanggung, ia pun memboyong pakaian adat Sasak-nya. Guru Bahasa Inggris lulusan IKIP Mataram yang dikenal sabar dan disenangi muridmuridnya saat mengikuti program BRIDGE ini, mengerahkan segala kemampuannya
Universitas Sumatera Utara
untuk menarik simpati murid-murid Australia agar proses belajar tidak membosankan. Budi pun memberi suasana lain dalam mengajar dengan meminta muridnya menyanyi sampai menonton film. Metode mengajar yang diperoleh dari program BRIDGE, kini ditetapkan Budi di tempat mengajarnya SMAK Kesuma Cakra Negara Mataram. Ia membuat kelas belajar bernuansa Australia untuk menambah motivasi belajar siswanya. Perlengkapan belajar mengajar dan materi ajar pun disiapkan sedemikian rupa untuk memudahkan dirinya di kelas. Selama di Australia, Budi banyak belajar mengenai kedisiplinan murid dan kebersihan. “Ketika istirahatnya yang cukup lama, anak-anak di Victor Harbor High School itu ada yang ke mal, ada yang ke supermarket, ada yang ke kantin. Mereka makan. Tetapi, 10 menit sebelum bel, mereka sudah baris di depan kelas. Sayangnya hal tersebut susah diterapkan di Indonesia,” ungkap Budi sedih. “Kenapa susah?” “Istirahat satu jam, hilang semua anak saya, Pak,” jawab Budi yang membuat Andy dan penonton tertawa. Saya diminta bercerita mengenai reaksinya saat tahu bila anak-anak TK dan SD di Australia sudah diajari bahasa Indonesia, Budi menuturkan bahwa ia sangat kaget. Saat mengunjungi kelas Preparation, di sebuah SD Victor Harbor, murid-muridnya langsung mengucapkan, “Celamat pagi, Pak Budi,” lalu menyanyi lagu “Satu-Satu Aku Sayang Ibu”. “Saya hampir nangis terharu mendengar ‘Catu-Catu Saya Cayang Ibu’ ...,” ungkap Budi diiringi gelak tawa Andy dan penonton. *** Sri Wuryaningsih dan Keni Putih adalah guru SMA Negeri 70 Jakarta Selatan yang mengikuti program BRIDGE ke Australia selama tiga minggu. Mereka berdua ditempatkan di sebuah sekolah umum, yaitu Parramatta High School yang terletak di daerah pinggiran kota Sydney. Disekolah ini siswanya sebagian berasal dari berbagai negara dan budaya yang berbeda-beda, seperti Afghanistan, Filipina, Malaysia, Afrika, China, bahkan dari Indonesia. Selain itu, guru-guru yang mengajar pun berasal negara yang berbeda-beda juga, seperti Yunani, Bosnia, Fiji, dan lain-lain. Meskipun mereka berbeda-beda, mereka telah diajarkan untik selalu menghormati sesama. Sri dan Keni, selain mengajar bahasa dan kebudayaan Indonesia, juga mengajarkan tentang agama Islam di sekolah ini. Menurut Sri, active-learning, di mana siswa mendapat porsi yang banyak untuk mengeksplorasi potensi mereka adalah perbedaan dasar mengajar anak-anak di Australia dengan anak-anak di Indonesia. Selain itu, sistem pendidikan disekolah tempatnya mengajar tidak memiliki peraturan mengenai seragam, juga tidak mengenal sistem naik kelas dan tidak naik kelas “Waktu Anda ke sana, Anda kaget karena tidak ada sistem naik kelas dan tidak naik kelas. Tapi, di sekolah sana itu, sekolah apa, sih, sebenarnya?” tanya Andy dengan penasaran dan penuh selidik. “Menurut sistem pendidikan di sana, sekolah itu sesuai dengan umurnya, sesuai dengan kebutuhannya. Berbeda dengan sekolah di Indonesia yang ada kriteria kenaikan kelas, dengan sikap, dengan nilai kognitif, dengan nilai psikomotor, dan
Universitas Sumatera Utara
sebagainya. Untuk mereka, mereka sesuai dengan penilaian oleh guru, tidak ada kriteria-kriteria seperti yang kami kenal di sekolah kami,” ungkap Sri. Selama di Australia, Sri dan Keni tinggal di rumah seorang guru di Kings Langley sekitar 20 menit perjalanan dari sekolah. Keduanya merasa tidak aneh selama tinggal bersama guru setempat, Diana Uren, karena pemilik rumah ternyata paham tentang kebudayaan Indonesia. Sri dan Keni mengaku terkesan dengan program pertukaran guru ini karena banyak manfaat yang bisa diperoleh. Selain bisa melihat secara langsung sistem belajar dan mengajar di Australia yang bisa diterapkan di Indonesia, juga bisa lebih mengerti dengan kebudayaan dan adat istiadat warga Australia. Selain itu, mereka membuat sebuah kesepakatan yang mengikat SMA Negara 70 Jakarta Selatan dan Parramatta High School sebagai sister school. *** Eny Ratih dan Eko Raharjo, guru Kimia dan guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dari SMA 8 Jakarta, juga terpilih mengikuti program BRIDGE. Mereka berdua ditempatkan di sebuah sekolah swasta Katolik khusus putri yang bernama Monte Saint Angelo Mercy College yang terletak di Sydney bagian utara. Di sekolah tersebut, selain memperkenalkan budaya Indonesia dan mengajar Bahasa Indonesia, Eny dan Eko juga ikut menjelaskan tentang agama Islam. “Mereka sangat ingin tahu mengenai agama Islam. Tadi saya tanya-tanya dengan teman-teman, cuma satu saya yang mengajar agama Islam, saya tidak sama seperti yang lain mungkin, saya mengajar shalat, wudu, kemudian pilgrimate ... pergi haji,” ungkap Eny. “Kalau kami, karena host-nya adalah guru Bahasa Indonesia, kami mengajar Bahasa Indonesia ... bahasa gaul gitu,” kata Eko. Mendengar guru-guru bercerita pengalaman mereka selama mengikuti program BRIDGE ke Australia, Arif Rachman, Pemerhati Pendidik/Kepala Sekolah Lab School, memandang program ini sangat penting untuk dikembangkan. Tantangannya adalah 51 juta murid dari SD sampai SMA dan 2,7 juta guru, dengan satu kelas terdiri atas 40 orang, kuncinya ada pada guru-guru yang mempunyai cita-cita tinggi dan keberanian untuk masuk ke dalam budaya yang baru tanpa mengalami yang disebut dislokasi kultural atau gegar budaya. Mereka bisa menyesuaikan diri dengan cepat. *** Setiap guru ternyata punya pengalaman yang berbeda di berbagai daerah di Australia, termasuk Sally Kharisma Putri dan Kasim Bahri Batubara, guru SMUN Sumatera Selatan sendiri merupakan sekolah negeri hasil kerja sama Departemen Pendidikan dan Sampoerna Academy. Sekolah ini mempunyai sekitar 80-an siswa terpilih yang mendapatkan beasiswa dari Sampoerna dan tinggal di asrama. Sally dan Kasim merupakan dua dari lima guru yang juga tinggal di asrama dan ikut mengawasi siswa-siswa tersebut. Sekolah ini memang baru mempunyai satu angkatan, yaitu kelas X atau SMA kelas 1. Melalui program BRIDGE, mereka berdua ditempatkan di Kangaroo Island and Community Education (KICE) di Kingscote, Kangaroo Island, Australia. Di sekolah
Universitas Sumatera Utara
yang lokasinya terpencil ini, keduanya mengajar bahasa dan kebudayaan Indonesia. Mengajar bahasa Indonesia di Australia, bagi Sally dan Kasim tidaklah begitu sulit. Ini dikarenakan semua alat peraganya cukup lengkap. Hampir di semua dinding di ruang kelas terdapat kalimat dalam bahasa Indonesia dan Inggris sehingga sangat memudahkan para siswa belajar bahasa Indonesia. Selain itu, rasa ingin tahu mereka besar sekali. “Jadi, waktu kami ada tur keliling Kangaroo Island, sembari tur, di mobil dia menyamperi dan duduk di sebelah kami, terus dia nanya, ‘What is cool in Indonesia?’ Cool in Indonesia is ...nyantai aja,” tutur Sally. “Terus, ada lagi yang lain, dia tanya bahasa slang lain di Indonesia seperti apa ... terus kami bilang, ‘Cape, deh.” “Mereka bisa menirukan?” tanya Andy. “Ya, mereka bisa niruin. Tapi, penggunaannya, ketika dia mengantarkan kami dari satu ruangan ke ruangan lain, dia justru bilang gini, ‘Bu, saya cape, deh,’” kata Sally yang disambut gelak tawa penonton. Selain mengajar bahasa dan kebudayaan Indonesia, Sally dan Kasim juga mempelajari budaya dan adat istiadat warga Australia dengan tinggal di rumah seorang guru setempat. Sally dan Kasim mengaku banyak manfaat yang bisa diambil melalui program pertukaran guru ini, salah satunya mengajar dengan tidak membosankan dan menggurui. Selain itu, siswa hendaknya dirangsang dengan berbagai latihan melalui praktik lapangan. Sally dan Kasim yang baru pulang dari Australia sudah punya rencana untuk menerapkan beberapa konsep yang mereka lihat dan pelajari di sana ke sekolah masing-masing. “Saya paling geregetan itu mau menerapkan environmentalist-nya mereka di sini,” kata Sally. “Apa itu? Yang mereka lakukan di sana apa?” tanya Andy ingin tahu. “Jadi kami pernah jalan ke salah satu bay di sana, Paddington Bay. Kami mungutin sampah, dalam satu hari itu kami mungutin sampah dan kami mau menerapkan itu ke anak-anak murid karena di sana mereka peduli banget dengan lingkungannya. Bahkan, ada salah satu special subject di sana yang bener-bener belajar tentang sampah gitu. Gimana sampah itu bisa diurai, terus gimana penggunaan ulangnya, dan itu tidak masuk ke science, tapi terpisah dari science,” ungkap Sally. “Kalau Kasim?” tanya Andy. “Karena saya mengajar bahasa Inggris juga, jadi saya mau minta anak-anak ... itu project mereka juga sebenarnya, mereka akan membuat short story. Cerita pendek di dalam bahasa Indonesia dan kami di sekolah saya, Insya Allah, saya akan ajak anakanak untuk membuat short story juga, tapi dalam bahasa Inggris,” jawab Kasim. *** Sejak kecil Umiyanti Umar, guru Bahasa Inggris SMPN 2 Pattallassang, Sulawesi Selatan, sudah bercita-cita menjadi guru. Keinginannya kuat untuk mengajar membuatnya menerima tanpa ragu tawaran sebagai tenaga pengajar sukarela di
Universitas Sumatera Utara
sekolah yang kini dikenal dengan nama SMPN 2 Pattallasang, Sulawesi Selatan. Umiyanti tidak patah meskipun harus melakukan proses belajar mengajar yang berpindah-pindah dengan menumpang di sekolah-sekolah lain karena sekolahnya belum memiliki gedung sendiri. Lebih-lebih ketika melihat delapan orang siswanya yang begitu antusias. Bersama dengan lima orang ibu guru lainnya, ia aktif mencari murid dengan mendatangi warga agar anak-anaknya tetap melanjutkan sekolah sehingga seiring dengan waktu jumlah muridnya terus bertambah. SMPN 2 Pattallasang merupakan sekolah yang dibangun dengan bantuan biaya dari Pemerintah Australia dalam program kerja sama District Communication AIBEP (Australia Indonesia Basic Education Program). Kini sekolah ini telah menjadi sekolah percontohan hingga memiliki 314 siswa, 11 ruang kelas, dan mendapat tambahan 15 guru dari Dinas Pendidikan Kabupaten Gowa. Pada Maret 2009 lalu, Umiyanti mendapat kesempatan untuk mengikuti program BRIDGE dan ditempatkan di sekolah Loreto Manville Hall yang menjadi sister school SMPN 2 Pattallasang. Sekembalinya dari Australia, ia pun mencoba menerapkan fun teaching kepada siswa yang diajarnya dan membagikan pengalaman tersebut kepada guru-guru yang lain agar belajar di kelas tidak menjadi sesuatu yang menegangkan dan membosankan, tetapi membuat siswa merasa senang dan nyaman di kelas dan dapat menerima pelajaran dengan baik. Para siswa pun mengaku senang dengan metode belajar baru itu. Selain itu, Umi juga mulai mengajarkan perbedaan antara bahasa InggrisAmerika dan bahasa Inggris-Australia karena ada beberapa sapaan dan bahasa sehari-hari yang berbeda dengan yang dipelajari di buku. Untuk ke depannya, Umi berharap bisa menerapkan sistem ICT (Interactive Classroom Technique) untuk pembelajaran di kelas, khususnya bahasa Inggris, karena siswa bisa lebih efektif menerima pelajaran secara visual dari pada hanya mendengar. “Pakai film?” tanya Andy. “Iya, karena selama ini, kan, saya hanya buat pajangan-pajangan di kelas mereka, yang bisa membantu mereka dalam belajar,” ungkap Umi. *** Bagi Anastasia Iin Normawati, Kepala Sekolah SMP Negeri 12 Sungai Raya Pontianak yang juga pernah mengikuti program BRIDGE, hal utama yang ingin diterapkan di sekolahnya adalah pembelajaran, bagaimana siswa sangat antusias dalam belajar meskipun yang mereka pelajari hanya sedikit. Walaupun begitu, mereka banyak menggali dari yang sedikit itu. Selama tiga tahun pelaksanaan program ini, ada hubungan baik yang sudah diciptakan antara banyak sekolah di Indonesia dan di Australia. Namun, hal yang penting adalah bahwa hubungan ini dilanjutkan oleh guru-guru mereka sendiri ketika mereka kembali ke Indonesia dengan menggunakan alat komunikasi, seperti internet. Selain itu, ada manfaat untuk kedua belah pihak dalam ilmu pendidikan dengan melihat bagaimana sistem pendidikan di negara yang lain. “Saya kira proses pembagian pengalaman masing-masing guru ini sangat berguna untuk kedua pihak. Dan, saya sedikit terkejut bahwa bahasa gaul sangat populer di beberapa sekolah di Australia,” ungkap Michael Bliss, Minister of Counselor Kedubes Australia. “Tapi, ini sangat berguna untuk murid Australia dan pemerintah
Universitas Sumatera Utara
Australia punya tujuan yang penting, yaitu lebih banyak warga negara Australia punya kemampuan untuk berbahasa Indonesia.” Menurut Arif Rachman, program ini adalah suatu ujung tombak untuk menciptakan perdamaian dunia karena dalam pembelajaran di UNESCO dikenal ungkapan learning to know: jadi tahu, learning to do: mengerjakan, learning to be: menjadi orang, dan learning to live together. Jadi, hidup bersama itu dari mulai tahu, yang dalam hal ini dikerjakan melalui suatu program seperti BRIDGE ini, karena terjadi pembelajaran tentang diri sendiri (personal), orang yang berbeda ( interpersonal), budaya yang berbeda (intercultural), dan yang terakhir adalah yang disebut global. “Jadi, Mas Andy, kalau mau membuat dunia ini damai, ini adalah salah satu yang disebut politik lunak ... soft power policy yang harus terus-menerus melalui guruguru yang sangat berdedikasi ini, yang sangat pengabdi di Australia maupun di Indonesia, Insya Allah, kawasan kita dan dunia ini akan menjadi dunia yang damai,” terang Arif Rahman.[]
Universitas Sumatera Utara