Antropologi Linguistik (ISA345) Silabus dan Bahan Mata Kuliah Disusun oleh Thomas Daniel Huerst (M.A. Ethnologie) 2012
Sinopsis Mata Kuliah: Antropologi Linguistik (linguistic anthropology)1adalah satu cabang dari Ilmu Antropologi yang mengamati dan mempelajari bahasa- bahasa dari sudut Antropologi atau dengan kata lain, hubungan dan berkaitan bahasa dengan kehidupan manusia dan kebudayaan- kebudayaan. Bahasa merupakan satu unsur penting dalam kehidupan manusia yang merasuki segala sesuatunya dari aktivitas serta cara hidup manusia. Bahasa atau kemampuan “berbahasa” manusia tidak hanya menentukan pertumbuhan dan kehidupan manusia (individu) sehari hari akan tetapi sejarah manusia sejak awal sampai kini tidak dapat dibayangkan tanpa kemampuan komunikasi yang luar biasa, ialah bahasa. Kemampuan untuk mengtransformasi pengetahuan diantara individuindividu sesaat dan melalui masa serta ruang mendasari perkembangan dan keunggulan makhluk manusia diantara makhluk- makhluk lain.2 Kepentingan bahasa ini dalam kehidupan manusia, menarik perhatian dari kaum cendekiawan, filsuf dan ilmuwan sejak zaman kuno akan tetapi baru sejak kurang lebih seratus tahun belakang ini telah lahir satu ilmu yang mencoba membahas bahasa sebagai bidang ilmu sendiri yaitu: “ilmu linguistik“. Ilmu linguistik ini dari awal dipelajari oleh tokoh- tokoh dengan latar belakang dan tujuan yang berbeda, sehingga juga pendekatan pada topik- topik bahasa beranekaragam. Kenyataan historis ini menjadikan ilmu linguistik sejak awal terpecah pada berbagai cabang yang masing masing memiliki sudut pandang atau minat khusus terhadap fenomen bahasa. Jumlah dan nama cabang ilmu linguistik serta aliran pelajaran saat ini sangat banyak dan bervariasi salah satu dianataranya adalah antropologi linguistik atau “ anthropological linguistic”. Dengan mengunakan dan memanfaatkan pertemuan dan hasil dari cabang ilmu (linguistik) lain, antropologi linguistik menaruh minat pada persoalan “asal, perkembangan dan tabiat dari bahasa secara umum dan setiap bahasa sendiri secara khusus” atau dengan kata lain,“apakah bahasa itu? dan bagaimana memfungsinya sebagai fenomen kebudayaan? ” 3.
1
Sesuai dengan tata bahasa inggris, „linguistic“ sebagai kata sifat (adjective) dalam penerjemahan disini, menunjukan kepada kata benda berikutnya, yaitu anthropology. Karena maksudnya disini, menentukan salah satu subdisiplin dari antropologi. Istilah antropologi linguistik dapat juga menerjemah dengan „anthropological linguistics“ apabila bermaksud menunjukan subdisiplin/ cabang dari ilmu linguistik tertentu. 2 Dalam ilmu biologi dan psykoanalisis digunakan istilah ontogenese dan phylogenese untuk dua macam pertumbuhan dan perkembangan yg.bermaksud disini, yaitu ontogenese sebagai pertumbuhan satu mahkluk individu dari pertemuan sel sel orang tua sampai dengan kedewasaan, dan phylogenese sebagai perkembangan satu makhluk melalui zaman. 3 Kutipan diambil (terjemah) dari Vivelo, yang mengklarifikasi Linguistik sebagai cabang dari „cultural anthropolgy“ (Vivelo 1995: 43), sedang Koentjaraningrat (1996: 17) mencatat „Ethnolinguistik“ di posisi yang sama.
I.
Tujuan Perkuliahan: Perkuliahan dimaksudkan untuk memberi gambaran pada peserta kelas tentang satu aspek kehidupan dan kebudayaan yang penting, yaitu aspek bahasa. Mahasiswa dapat mengenalkan sejarah, unsur pelajaran serta beberapa teori Linguistik sebagai ilmu tentang bahasa, sambil perkembangan berbagai cabang- cabang ilmu tersebut. Demikian mahasiswa diharapkan dapat mempahami hubungan serta sumbangan pengetahuan timbal balik diantara ilmu Linguistik dan ilmu Antropologi, yang mengakhibatkan kajian Sosiolinguistik, Etnnolinguistik dan Antropologi Linguistk. Mata kuliah dimaksudkan sebagai pengantar umum, dengan mengamati sejarah dan hubungan timbal balik linguistik dengan ilmu lain, serta penjelasan luas mengenai unsur teori linguistik terkenal dan beberapa metode ilmu linguistik. Bahan ajar disusun dengan kutipan asli dan rumusan teori tersebut, sebagai satu teks yang lanjut, dengan maksud dapat dipergunakan sebagai bahan membaca untuk mahasiswa yang berniat, berdasarkan hal bahwa linguistik atau dalam hal ini etnolinguistik/ antropologi linguistik dalam banyak buku pengantar antropologi tidak diamati secara luas, sehingga bagi mahasiswa sulit mencari informasi yang akurat mengenai bidang atau cabang ilmu antropologi ini. Oleh karena itu tidak saja judul- judul bab, akan tetapi juga kata- kata kunci serta tokoh terkemuka ditulis dengan huruf “gemuk” sebagai pembantu dalam pencarian hal tertentu.
II.
Materi Perkuliahan:
Ilmu linguistik (linguistics) Sejarah tercatat, sejak zaman dahulu, menunjukan pencobaan untuk mengambarkan dan menerangkan kemampuan bahasa manusia. Linguistik zaman ini adalah hasil dari satu tradisi kaum cendekiawan (filsafat) Eropa yang awalnya terdapat di Yunani kuno. India dan China masing- masing juga memiliki tradisi pelajaran tentang bahasa (linguistik) sendiri, dimana hasil “ahli linguistik” India mengenai beberapa soal (topik) tercapai lebih seribu tahun sebelum penemuan yang sama terdapat dalam perkembangan ilmu linguistik Barat.
Sejarah linguistik (History of linguistics) Linguistik atau ilmu bahasa seperti digunakan atau dimengerti saat sekarang, berasal semula dengan analisa Sanskrit di India pada zaman perunggu. Mulai dengan Pratishakhyas (sekitar 800 tahun s.M.) yang sepertinya adalah serangkaian tulisan “proto- linguistik” yang mengamati perubahan pada aliran Veda tertentu. Penelitian sistematis tentang teks tersebut kemudian membangkit ilmu Vedanga dari Vyakarana, dengan Pāṇini (520- 460) sebagai tokoh pertama yang karyanya berhasil selamat. Tetapi Pāṇini bersandar pada (mungkin) beberapa generasi ahli tahta bahasa yang diberi referensi dalam tulisanya, dimana beliau menentukan hampir 4000 aturan aturan pengunaan bahasa yang berarti satu tata bahasa Sanskrit yang lengkap. Pendekatan analitis yang digunakan Pāṇini termasuk konsep fonem, morfem dan akar kata, dan pola berfikir
yang luar biasa dan logis membuat beliau menjadi sangat berpengaruhi pada linguistik zaman kuno sampai linguistik modern. Patanjali di abad kedua s.M. masih mengritik Panini, bagaimanapun di abad abad berikutnya tata bahasa dari Panini sepertinya menjadi satu ketentuhan dengan penulis penulis yang bergantung penuh padanya. Bhartrihari (450- 510 M.) mengemukakan satu teori, menurut yang mana tindakan pidato tersusun dari empat langkah, yaitu: pertama, konseptualisasi dari satu gagasan; kedua verbalisasi dan peruntuhan; ketiga, penyampaian suara ke hawa udara, yang ketiganya dilakukan oleh pembicara dan yang keempat, pengertian pidato oleh si pendengar atau penafsir. Di Persia, Timur Tengah, seorang ahli bahasa bernama Sibawayh pada tahun760 dalam karya besar yang berjudul Al-kitab fi al-nahw ( ), “Buku (tentang) tatabahasa”) memberi uraian yang terperinci dan lengkap tentang bahasa Arab termasuk banyak aspek teori bahasa/ linguistik. Dalam buku tersebut beliau misalnya membedakan ilmu fonetik dari fonologi. Linguistik Barat mulai di zaman Yunani kuno dengan rangkaian pikiran tentang tata bahasa seperti dalam Cratylus dari Plato; tetapi tingkat analisa tinggal jauh dibelakang pencapaian linguistik India sampai ke abad ke 19., saat sastra India menyebar dan kemudian terjemah di Eropa. Penerjemahan dan revisi sastra Eropa kuno serta India menjadi topik Ilmu Filologi, yang di abad berikut menempati posisi ilmu bahasa (Linguistik) utama di lingkungan cendekiawan dan universitas- universitas Eropa. Filologi (Philology) adalah studi tentang teks dan tulisan kuno dimana istilahnya berasal dari bahasa Yunani kuno dan berarti cinta (philo) pada belajar dan kesusasteraan (logia). Filologi yang berkembang pesat di abad ke 19., adalah ilmu pengetahuan „modern“ pertama yang berusaha dengan bahasa manusia. Ilmu Filologi meliputi kritik tulisan (textual criticism) yang mana berusaha merekonstruksi satu teks orisinal dari satu penulis melalui naskah naskah, dan kritik tinggi (higher criticism) yang meneliti data belakang penulis, tanggal dan asal mula satu teks. Salah satu cabang lain dari Filologi adalah pemecahan tulisan (decipherment) purba, yang meraih hasil besar di abad ke 19. dengan memecahkan tulisan Mesir kuno dan Assiria. Pemecahan tulisan suku Maya di Mesoamerika mulai di abad ke 19. dan dapat kemajuan besar pada akhir abad ke 20. Dari Filologi ini, lahirlah pada awal abad ke 20. satu ilmu (tentang) bahasa, yang dinamakan “Ilmu Linguistik” atau “Ilmu Linguistik Teoretis”. Ferdinand de Saussure, sebagai guru besar di Geneva /Swiss disebut sebagai “bapak ilmu linguistik” oleh karena beliau yang menuntut perkembangan “satu ilmu baru” (independen) yang sudut pandang berbeda dengan Filologi. Sesuai dengan tuntutan tersebut membangkit satu ilmu bahasa yang mengamati (teoretis) “struktur” dalam bahasa, dalam hal ini satu bahasa pada satu saat tertentu (“sinkron”). Pendekatan ini (independen, teoretis, struktural, dan sinkronik) menjadi dominan di lingkungan universitas Eropa dan Amerika pada abad ke 20. serentak dengan instutionalisasi “Ilmu Linguistik” sebagai bidang (jurusan/ fakultas) yang mandiri. Tokoh Linguistik yang terkenal dan paling luas pengaruhnya sampai saat ini adalah Noam Chomsky (sejak 1950) dari USA, yang mengemukakan teori “transformational –generative grammar”, satu model yang formal tentang bahasa yang dapat diklasifikasi sebagai “linguistik teoretis “murni.
Dari Ilmu Filologi secara langsung berkembang ilmu “Linguistik Perbandingkan Historis” (historical linguistics) atau “Linguistik Komparatif” yang tujuanya adalah mengamati (memperbandingkan) bahasa bahasa dan perubahan mereka melalui zaman (“diakron”). Kesamaan diantara Sanskerta dan bahasa- bahasa Eropa pertama kali tercatat di awal abad ke- 18 dan kemudian menuju penemuan bahasa “Proto-Indo Eropa”. Perhatian ahli filologi kepada bahasa- bahasa kuno, melangkah pada bahasa bahasa yang “eksotis” (terasing) pada abad ke- 19. Dengan harapan bahasa- bahasa “eksotis” tersebut dapat menerangkan dan membantu mengerti tulisan purba dari kebudayaan yang telah musnah. Seperti tersebut diatas, di Eropa dalam abad ke- 19, ahli filologi berpusat kepada bahasa dan sejarah bahasa Indo- Eropa, dengan melaksanakan studi perbandingkan, mereka bermaksud menemui dan membuktikan asal bersama bahasa Eropa dan India, serta menunjukan perkembangan bahasa tersebut. Beberapa cendekiawan yang bertolak dari kitab Injil menganggap, bahwa seluruh bahasa manusia berasal dari satu bahasa yang disebut Adamic language. Banyak dari ahli tersebut percaya juga, bahwa bahasa Yahudi (hebrew language) sesungguhnya sama dengan Adamic language ini. Akan tetapi, keberadaan semacam “bahasa leluhur tunggal” sebagai asal dari semua bahasa yang terdapat di dunia sekerang, seyogia dengan jadwal yang ditunjukan oleh kitab Injil sendiri, tidak dapat sesuaikan dengan teori dan pengetahuan ilmu linguistik modern. Sekitar tahun1880, ahli (imu baru) antropologi Amerika Serikat dibawa perintis Frans Boas (1858- 1942), mulai mencatat (descriptive linguistics) dan meneliti ratusan bahasa suku asli Amerika Utara sebaik mungkin. Sebagaimana perkerjaan ini terus berkembang awal abad ke- 20., terutama di Amerika, ahli linguistik seperti, Edward Sapir berhadapan dengan fenomena,bahwa bahasa- bahasa yang mereka teliti struktur/ tata bahasanya jauh berbeda dengan apa yang dikenal dari bahasa- bahasa Eropa. Dari penemuan inilah bertolak di satu sisi aliran linguistik struktural (structural linguistics) yang menuntut berkembangan satu teori “struktur bahasa” atau “tata bahasa universal” sebagai alat analisa bahasa secara cross cultural, tindakan lanjut adalah linguistik funktional atau . Di sisi lain terbangkit satu thesis perbedaan struktural bahasa bahasa universal yang kemudian dipanggil dengan beberapa ahli antropologi Edward Sapir (1884- 1939) dan Leonard Bloomfield (1887- 1949) sebagai perintis disiplin baru tersebut. Disamping itu Sapir bersama muridnya Benjamin Whorf mengemukakan satu thesis menurut (pola) pikiran manusia ditentukan oleh bahasanya Di benua Eropa terjadi perkembangan linguistik struktural sejajar, paling kuat dipengaruh oleh karya Ferdinand de Saussure, seorang guru bahasa Indo- Eropa dan Linguistik di Geneva/ Swiss. Bukunya dengan judul “Cours de linguistique générale” diterbit tahun 1916 sesudah Ferdinand de Saussure wafat, oleh muridnya Charles Bally dan Albert Sechehaye, berdasarkan skripsi perkualiahan, dan menjadi buku pedoman untuk analisa linguistik di Eropa sejak 1920 an. Pendekatan linguistik yang dimengemukakan oleh Ferdinand de Saussure kemudian diadopsi ke banyak bidang ilmu lain dan menjadi terkenal dengan istilah “structuralism”. Perkembangan aliran pikiran ini, erat berkait dengan tokoh Claude Lévi- Strauss (1908- ), ahli antropologi
Perancis, yang mengunakan pendekatan linguistik dari Ferdinand de Saussure untuk meneliti dan menganalisa unsur- unsur kebudayaan. Dengan buku- buku seperti “Structural Study of Myth“ (1955), “Anthropologie structurale” (1958), “Mythologiques I: Le Cru et la cuit” (1964) atau “The Elementary Structures of Kinship”(1969), Lévi-Strauss memelopori salah satu dari aliran pemikiran antropologi yang terulung dalam abad ini, yaitu “strukturalisme”. Selama Perang Dunia II., dan berberapa muridnya serta teman sekerja mengembangkan bahan belajar untuk sejumlah bahasa yang pengetahuanya dibutuhkan berhubungan dengan usaha perang. Pekerjaan ini meningkatkan perhatian umum kepada ilmu linguistik, yang kemudian menjadi satu disiplin terkemuka di kebanyakan Universitas- universitas di Amerika, sesudah perang telah usai. Mulai sekitar 1980 pendekatan pragmatik, funktional dan kognitiv meningkat dalam ilmu linguistik di Amerika maupun di Eropa.
Ilmu linguistik aktual Dalam pengertian luas linguistik adalah ilmu tentang bahasa manusia, dan seorang linguist adalah seorang yang berkerja dalam ilmu tersebut, yaitu berfikir tentang dan meneliti bahasa. Secara keseluruhan, ilmu linguistik - dalam hal ini pelajaran dan perkerjaan serta pendekatan ahli linguistik kepada topic tertentu - terjadi melalui tiga pedoman yang masing masing terdiri dari dua pola yang berbeda, yang dapat menguraikan berikut: -
-
-
Synchronic and diachronic yaitu sinkronik dan diakronik -- Pelajaran “sinkronik” berusaha belajar (satu) bahasa dan bentuknya pada ketika tertentu, biasanya saat sekarang. Pelajaran “diakronik” meliputi sejarah (satu) bahasa atau kelompok bahasa termasuk perubahannya melalui zaman. Theoretical and applied yaitu teoretis dan terapan (terlaksana) – Linguistik teoretis berusaha mendirikan rangka untuk menguraikan dan mengambarkan salah satu bahasa dan mengembangkan teori teori tentang aspek universal bahasa. Linguistik terapan membawa dan mengunakan teori ini pada wilayah tertentu, yang masing masing dalam bahasa inggris disebut: “psycholinguistics“, „first and second language acquisition“, „text comprehension“, „conversation analysis“, „political discourse analysis“, „gender and language“, „language policies“, „neuro-linguistics“, „media language“, yaitu linguistik terapan mencari jawaban atas pertanyaan yang mengenai seluruh wilayah pengunakan bahasa misalnya: bagaimana manusia memperoleh bahasa pertama dan yang kedua?, bagaimana hubungan bahasa dan akal (otak) manusia?, apakah bentuk khusus mengunakan bahasa dalam politik, media atau berdasarkan jenis kelamin?. Contextual and independent yaitu bergabung dan mandiri - Linguistik gabungan mengamati bentuk dan cara hubungan bahasa dan dunia sekitarnya, maksudnya: fungsi sosial bahasa, cara belajar bahasa (berbicara), bagaimana bahasa dapat diproduksi dan dipahami. Linguistik mandiri mengamati bahasa sendiri tanpa memperhatikan unsur atau hal diluar tetapi yang berkait dengan bahasa. Istilah istilah lain untuk dichotomi ini yang sering digunakan adalah macrolinguistik dan microlinguistik.
Sesuai dengan tiga dichotomi tersebut diatas, seorang yang menyebut dirinya sebagai “linguist” atau “ linguist teoretic ” tanpa spesifikasi yang lebih lanjut, biasanya berurusan secara teoretis
dengan bahasa sebagai fenomen yang berdiri sendiri, terlepas dari ruang lingkungan dan waktu, yangmana juga dianggap sebagai intinya ilmu linguistik . Ilmu dan penelitian bahasa zaman kini dipelajari dan dilaksanakan oleh banyak alih dengan latar belakang dan minat serta sudut pandang yang berbeda sehingga sering terjadi keselisihan mengenai satu topik tertentu.
Wilayah linguistik teoretis Linguistik teoretis sering dibagi dalam beberapa wilayah (disiplin) yang dipelajari kurang lebih indipen. Pemilihan (sub)disiplin atau pembagian wilayah ilmu linguistik sering dilakukan berikut: Fonologi (phonologics) adalah ilmu tentang perbendaharaan fonem sebuah bahasa dan distribusinya. Fonologi berbeda dengan fonetik. Fonetik (phonetics) mempelajari bagaimana bunyi-bunyi fonem seluruh bahasa direalisasikan atau dilafazkan. Fonetik juga mempelajari cara kerja organ tubuh manusia, terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahasa. Salah satu usaha dalam fonetik ialah menetapkan abjad lafazh yang dapat dipergunakan untuk mendeskripsi fonem di seluruh bahasa. Kutipan berikut memperlihatkan abjad fonetik tersebut secara terinci: The International Phonetic Alphabet was originally developed by British and French phoneticians under the auspices of the International Phonetic Association, established in Paris in 1886 (both the organisation and the phonetic script are best known as IPA). It is intended as a notational standard for the phonetic representation of all languages. The alphabet has undergone a number of revisions during its history, including some major ones codified by the IPA Kiel Convention (1989); the most recent revision was in 1993, updated again in 1996. Most letters are taken from the Roman alphabet or derived from it, some are taken from the Greek alphabet, and some are apparently unrelated to any standard alphabet. The sound-values of the consonants that are identical to those in the Latin alphabet in most cases correspond to English usage. [p], [b], [t], [d], [k], [g], [m], [n], [f], [v], [s], [h], [z], [l]. [w]. The vowel symbols that are identical to those in the Latin alphabet ([a], [e], [i], [o], [u]) correspond roughly to the vowels of Spanish or Italian. [i] is like the vowel in meet, [u] like the vowel in food, etc. Most of the other symbols that are shared with the Latin alphabet, like [j], [r], [c], and [y], correspond to sounds those letters represent in other languages. [j] has the sound value of English y in yoke (= German or Dutch j); whereas [y] has the Scandinavian or Old English value of the letter (= German y or ü or French u). The general principle is to use one symbol for one speech segment, avoiding letter combinations such as sh and th in English orthography. Letters that have shapes that are modified Latin letters usually correspond to a similar sound. For example, all the retroflex consonants have the same symbol as the equivalent alveolar consonants, except with a rightward pointing hook coming out of the bottom.
Diacritic marks can be combined with IPA signs to transcribe slightly modified phonetic values or secondary articulations. There are also special symbols for suprasegmental features such as stress and tone. When characters from the IPA phonetic alphabet are embedding in another script they are isolated from from the rest of the text with either slashes ("/") or square brackets ("[" and "]").
Morfologi (morphology) mempelajari struktur intern kata kata satu bahasa, yaitu cara dan arti bagaimana bagian kata bergabung menjadi satu kata. Sintaks/ sintaksis (syntax) adalah ilmu yang mempelajari aturan, atau "hubungan berpola" yang mengatur bagaimana kata-kata dalam kalimat bergabung. Ilmu ini membahas bagaimana kata berbeda yang dapat dikelompokan sebagai nomina, adjektif, verba dll. digabungkan ke dalam klausa yang pada gilirannya bergabung ke dalam kalimat. Semantik (semantics) adalah ilmu tentang arti kata (leksikal semantik), dan bagaimana kata kata bergabung untuk memberi arti kepada kalimat kalimat. Stilistiks/ Gaya bahasa (stylistics) mempelajari bentuk dan cara menyusun kata dan kalimat dalam satu bahasa, berdasarkan intensi dan minat. Pragmatik (pragmatics) mempelajari tentang pengunaan bahasa dalam konteks misalnya komunikasi. Walaupun tidak ada kesepakatan umum tentang kepentingan sendiri setiap wilayah tersebut, sebagaimana kebanyakan ahli linguistik akan setuju, bahwa pembagian diatas tidak dapat membatas satu dengan yang lain, akan tetapi setiap subdisiplin diatas memilik pengertian dasar sendiri yang menaruh penelitian dan pelajaran akademis. --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Excurs fonologi dan morfologi Berikut akan dijelaskan beberapa istilah- istilah terpenting dari kajian linguistik: Fonem (phonem): kelas bunyi yg. terkecil yang menyebabkan perbedaan arti. Contoh dari bahasa indonesia : tumbang: tumpang, canda: janda. Alofon (alophon): bunyi berbeda yg. termasuk dalam kelas bunyi yaitu fonem (arti yang sama) yang sama. Contoh: separuh: separo, berpikir: berfikir. Morfem (morphem): (dalam linguistik) kombinasi (unit) bunyi terkecil yg. mengandung arti dalam satu kata. Morfem dapat dua macam ialah morfem bebas (free morphem) yang bisa berdiri sendiri, dan morfem terikat (bound morphem) yang sendiri tidak mempunyai arti dalam bahasa tertentu. Contoh: bulanan, terpenting (bulan, penting = free morphem, an, ter = bound morphem). ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aliran konseptual linguistik Diachronic linguistics
Padahal pusat linguistik teoretis berkenakan dengan belajar bahasa- bahasa pada sesaat (biasanya saat sekarang), linguistik diakronik meneliti bagaimana bahasa berubah melalui zaman, kadang meliputi beberapa abad. Linguistik historis mempunyai keduanya, yaitu sejarah sendiri yang menarik (termasuk posisi sebagai titik awal ilmu linguistik), serta dasar teoretis yang kuat untuk
meneliti perubahan bahasa. Perspektif bersejarah terdapat khas dalam linguistik bandingkan historis dan etimologi. Rupanya di kalangan universitas AS, sudut pandang anti-historis lebih populer, hingga di banyak jurusan, kuliah pengantar linguistik meliputi linguistik historis sekedar saja. Penggantian titik perhatian tersebut mulai dengan Ferdinand de Saussure dan menjadi unggul dengan Noam Chomsky. Applied linguistics
Sedang linguistik teoretis berkenakan dengan mencari dan mencatat keumuman masing masing dalam bahasa bahasa dan diantara seluruh bahasa, linguistik terapan mempergunakan hasil dari pengusahaan teoretis untuk wilayah lain. Istilah “linguistik terapan” biasanya menunjuk pada pengunaan penelitian linguistis berkaitan dengan belajar bahasa. Akan tetapi pengetahuan ilmu linguistik juga digunakan dalam wilayah lain,misalnya sintesis suara (speech synthesis) dan penamatan suara (speech recognition) mengunakan pengetahuan linguistik untuk memberi rangka suara pada komputer. Contextual linguistics
Wilayah dimana linguistik bergabung dengan ilmu ilmu lain disebut “contextual linguistics”. Padahal pusat linguistik teoretis berusaha demi “kepentingan” sendiri, linguistik aliran interdisipliner mengenai bagaimana bahasa berkait dengan dunia luar. Wilayah dimana linguistik bergabung dan kerjasama dengan ilmu sosial lain adalah sociolinguistics, anthropological linguistics dan linguistic anthropology. Critical discourse analysis adalah wilayah dimana linguistik bertemu dengan retorika dan filsafat. Ilmu kedoktoran bergabung dengan ilmu linguistik dalam psycholinguistics dan neurolinguistics. Wilayah interdisipliner lain adalah language acquisition, , startificational linguistics dan cognitive science. Istilah evolutionary linguistics digunakan untuk disiplin yang menanyakan asal usul dan perkembangan bahasa. Diawal cabang linguistik ini bergantung pada ilmu pengetahuan lain terutama arkeologi dan biologi, misalnya dalam “Stammbaumtheorie” dari August Schleicher. Zaman kini evolutionary linguistik mendasarkan tanggapan bahwa bahasa adalah salah satu sitem adapsi yang komplek, dan berkerja dengan simulasi komputer. Individual speakers, language communities, and linguistic universals
Perbedaan diantara ahli linguistik satu dengan yang lain terjadi juga mengenai tujuan penelitian dalam hal jumlah atau kwantitas “objek penelitianya”. Ada yang mengamati bahasa dan perkembangan berbicara satu orang saja, biasanya seorang anak dari umur beberapa bulan sampai ke usia remaja. Golongan lain meneliti salah satu speech community (komunitas bahasa tertentu), contoh untuk aliran linguistik ini adalah riset tentang “blach engish vernacular”. Aliran lain mengamati banyak bahasa- bahasa dan mencari kesamaan dasar (linguistic universals), dalam fonologi atau syntax misalnya, yang jika diangkat pada tingkat abstrak berlaku untuk semua bahasa manusia. Aliran tersebut terakhir paling didorong oleh karya Noam Chomsky dan jadi topik perhatian untuk banyak ahli dalam bidang psycholinguistics dan cognitive sience, karena
linguistics universals dianggap sebagai hal yang penting dalam usaha mengerti caranya human mind (otak atau akal manusia) berkerja dan berfungsi. Description and prescription
Bagian besar usaha linguistik zaman ini adalah penelitian dan pelajaran murni deskriptif. Ahli linguistik berusaha menjelaskan fenomena dan inti bahasa tanpa memberi pernilian atau petunjuk pada pelaksanaan dan pengunaan bahasa dan tata bahasa. Demikian hal juga mengenai rintisan bahasa dan aturan berbicara untuk masa yang akan datang. Hanya beberapa amatir dan ahli linguistik yang prescribe aturan- aturan bahasa, yaitu yang menuntut pengunaan bahasa yang “benar”, dengan menentukan satu pedoman yang dianggap wajib untuk dituruti. Sedang golongan ini bermaksud menentukan dan menuntuk apakah menurut mereka adalah “pengunaan bahasa yang tidak sah” (incorrect usage), aliran deskriptif akan mencoba mencari usul asal dari pengunaan semacam itu, dan mereka akan menamakan sebagai “idiosyncratic”, atau mereka akan mencari aturan tetap satu bahasa, yang akan dianggap tidak sah oleh golongan prescreptivists, karena berbagai alasan, misalnya asal dari dialek yang tidak dapat membenarkan atau pengunaan bahasa yang baru. Speech versus writing Dalam ilmu linguistik sekarang, kebanyakan ahli beranggapan, bahwa bahasa lisan atau berbicara lebih dasar dan demikian lebih penting untuk meneliti dan mempelajari daripada bahasa tertulis. Salah satu hal yang mendukung anggapan tersebut ialah, sebab berbicara adalah kenyataan umum untuk semua manusia dimana mana di dunia, sedang banyak kebudayaan zaman ini apalagi masa lampau tidak mengunakan komunikasi tulis. Sebab lain ialah bahwa seorang belajar berbicara lebih dahulu dan lebih mudah daripada menulis. Beberapa cognitive scientists berargumentasi bahwa akal manusia memiliki dari pembawaan semacam “language module”, yang dianggap lebih dapat dimengerti melalui meneliti cara perkembangan “kemampuan” berbicara daripada cara perkembangan menulis. Akan tetapi ahli linguistik bersepakat, bahwa mempelajari bahasa tertulis adalah kerja yang berarti dan berharga. Khusus untuk penelitian yang membutuhkan data yang luas dan banyak lebih ringan berkerja dengan bahasa tertulis. Lagi pula mempelajari “sistem menulis” sendiri adalah subbidang dari ilmu linguistik.
Tokoh dan kajian linguistik terkemuka (Important linguists and schools of thought ) Seperti terungkap di bab “Sejarah ilmu linguistik”, pemulaian ilmu linguistik berasal dalam pelajaran dan penelitian filologi. Dasar- dasar linguistik dewasa ini, terutama linguistik bandingkan historis, baik tipologis maupun genetis telah diletakkan oleh ahli dan sarjana filologi di Eropa sejak awal abad ke 19.
Filologi Diantara ahli linguistik pada pemulaian ilmu bahasa- bahasa adalah Franz Bopp (1791- 1867), yang sering dianggap sebagai tokoh yang meletakkan dasar- dasar ilmu perbandingkan bahasa.
Secara sistematis ia membandingkan akhiran- akhiran dari kata- kata kerja dalam bahasa Sansekreta, Yunani, Latin, Persia dan Jerman, dan hasilnya diterbitkan tahun 1816. Kemudian Rasmus Christian Rask (1787- 1832) memperlihatkan dalam bukunya (1818), bahwa kata- kata dalam bahasa Jerman mengandung unsur- unsur bunyi yang teratur hubunganya dengan kata- kata bahasa- bahasa Indo- Eropa lainya. Penemuanya yang terpenting dari studi perbandingan beberapa bahasa Eropa- Utara adalah yang disebut Lautverschiebung (pertukaran bunyi) antara bahasa Latin/ Yunani di satu pihak dan bahasa Jerman di pihak lain. Hubungan- hubungan bunyi itu kemudian disempurnakan lagi oleh Jakob Ludwig Grimm (1785- 1863) seorang ahli filologi dari Jerman, dalam bukunya “Deutsche Grammatik” (jilid II. 1822) dan kemudian terkenal dengan nama Lautgesetz (hukum bunyi) atau dengan nama Grimm’s Gesetz (Grimm’s law/ hukum Grimm). Pergeseran bunyi yang dijumpai Grimm, secara ringkas dirumuskan dalam tabel berikut: Grimm's Gesetz (Pertukaran bunyi Bahasa Jerman) Bahasa indo- eropa : Non– Jerman → Jerman 1. Deaspiration: *bh *dh *gh *b *d *g 2. Verhärtung: *b *d *g *p *t *k 3. Frikativierung: *p *t *k *f * *h Penemuan dari Jakob Grimm ini menjadi bahan dasar untuk satu kelompok ahli linguistik akhir abad ke 19., yang menyebut dirinya “Junggrammatiker” (“tata bahasa baru”). Tokoh penting dari ahliran ini ada Karl Verner yang menjelaskan 1875 dengan apa kemudian disebut “hukum Verner”, pengecualian yang terdapat dalam “Grimm’s Gesetz”. Salah satu tokoh linguistik terkemuka, yang berasal dari ahliran “Junggrammatiker”, adalah Leonard Bloomfield (18871949), yang menjadi tokoh linguistik besar di Amerika Serikat, dengan bukunya “Introduction to the Study of Language” (1914, jilid berikutnya “Language”). Karya ini memberi pengantar dan pengertian linguistik untuk kalangan umum, dan adalah salah satu buku linguistik terkenal. Seorang filsuf Jerman, yaitu Friedrich von Schlegel (1772- 1829) membangkit dengan karyanya yang berjudul: “Über die Sprache und Weisheit der Inder” (1808) tidak saja pola pikiran ahliran filsafat “Romantik”4, akan tetapi juga menuangkan klassifikasi bahasa- bahasa, dengan membagi bahasa- bahasa dunia dalam bahasa fleksi dan bahasa berafiks. Klassifikasi bahasa ini disempurnakan oleh Wilhelm von Humboldt (1767- 1835) dengan mengunakan istilah- istalah yang lazim dipakai sampai sekarang yaitu: bahasa isolatif, bahasa fleksi, bahasa aglutinatif dan bahasa inkorporatif. Akan tetapi keunggulan Wilhelm v. Humboldt sebagai perintis ilmu linguistik berdasarkan pikiran dan sudut pandangnya yang ia mengemukakan dalam karya “ Über die Kawi-Sprache auf der Insel Java, nebst einer Einleitung über die Verschiedenh. des menschl. Sprachbaues u. ihren Einfluß auf die geist. Entwickl. des Menschgeschlechts, 3 jilid., (18301835)5. Humboldt yang memiliki pengetahuan yang luas tentang banyak bahasa serta mempunyai latar belakang berfilsafat, meninjau dalam kata pengantar, yang baru diterbit setelah Humboldt 4
„Romantik“ adalah istilah ahliran filsafat berasal dari Jerman, dimana ahli filsuf dan kaum cendekiawan secara umum menentang sistem sosial dan sudut pikiran „kaum ningrat“ . Salah satu unsur pikiran tersebut adalah pencarian asal atau „akar“ bangsa national, etnis, kebudayaan, dan bahasa, dengan meneliti kebudayaan India. [Helferich 1992: 273, 486] 5 Judul ini berarti: „Tentang bahasa Kawi di Pulau Jawa, serta kata pengantar tentang keanekaragam bentuk bahasa manusiawi dan pengaruhnya terhadap perkembangan akal mahkluk manusia“.
wafat, hubungan bahasa dan akal manusia. Berikut salah dua unsur pikiran (kutipan) dari Humboldt yang ditanggapi oleh ahli linguistik di awal ke- 20.: - Bahasa sebagai „Energeia“ [yunani: enérgeia „kegiatan“], sebagai „Geisteskraft“(„gaya akal“), yang membangkit dirinya terus- menerus dengan „mengunakan bahan terbatas secara tidak terbatas“ („von endlichen Mitteln einen unendlichen Gebrauch“). „Konsepsi energetis“ ini diketemu lagi dalam „generative transformational grammar“ dari Noam Chomsky. - Bahasa menentukan pandang manusia terhadap dunia. „Die Sprache ist das bildende Organ des Gedanken“ („bahasa ialah alatnya yang membentukan akal“), dan „Der Mensch lebt mit den Gegenständen hauptsächlich,..so, wie die Sprache sie ihm zuführt“ (“seorang hidup dengan benda benda terutama..seperti dibawa kepadanya oleh bahasanya sendiri”).Tanggapan ini yang kemudian terkenal dengan istilah „Weltansicht“(world-view)hipotesis, meneladani teori linguistik Sapir- Whorf. Satu langkah besar dalam usaha ilmu filologi untuk mencari asal usul bahasa Eropa, dilakukan oleh August Schleicher (1821- 1868). Tokoh Jerman ini mengumpulkan hasil ilmu bahasa sesaat dalam buku “Compendium der vergleichenden Grammatik der indogermanischen Sprachen.” (1961/62), dan mengemukakan pengertian baru. Schleicher melihat bahasa sebagai “organisme” dan dengan meminjam istilah dan konsep6 dari ilmu biologi, ia mencetuskan satu teori perkembangan bahasa, yang terkenal sebagai “Stammbaumtheori” (“teori batang pohon/ silsilah”), dimana ia mengunakan grafik “pohon” untuk menjelaskan hubungan bahasa kerabat yang menurun dari satu “Ursprache” (proto-bahasa). Untuk memecahkan beberapa masalah yang terdapat dalam “Stammbaumtheorie”, Johannes Schmidt (1843- 1901) seorang sarjana lain mencetuskan tahun 1872 sebuah teori baru yang disebut “Wellentheorie” (“teori gelombang”). Dalam teori ini terdapat bahwa antara dialekdialek ada bentuk- bentuk antara, yang mempersulitkan batas antar dialek.
Linguistik teoretis klasik Ferdinand de Saussure (1857- 1913) lahir di Geneva/ Swiss membangun fundasi untuk perkembangan linguistik di abad ke- 20 dan karyanya“Cours de linguistique générale” (1916)7 menjadi salah satu buku linguistk erkemuka. Dalam karya ia menekankan pandang sinkronik untuk linguistik atau ilmu bahasa- bahasa, berlawanan dengan pandang diakronik yang berdasarkan studi historis dan usaha filologi di abad ke- 18 dan ke- 19. Pendekatan sinkronik berarti, mengamati struktur bahasa sebagai sistem funktional pada satu saat tertentu, dan pendekatan ini kemudian menjadi sudut pandang umum dalam kalangan ahli bahasa berikutnya. Ferdinand de Saussure menuntut melihat linguistik sebagai salah satu cabang dari satu “ilmu umum tentang signs” (isyarat) yang ia menyebut semiologi (dari Yunani: “semeîon” = isyarat/ tanda). Berikut uraian singkat dari teori linguistik Ferdinand de Saussure 8: The nature of the linguistic sign 6
Pada tahun 1860 Charles Darwin telah publikasi „On The Origin of Species by Means of Natural Selection, or The Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life.“ yang menjadi „konsep perkembangan organisme biologis“ atau „evolotionisme“ terkenal. 7 Terjemah dan terbit dalam bahasa Inggris: „Course in General Linguistics” (trans. Wade Baskin, 1959, trans. Roy Harris, 1983). 8 Uraian ini ikut bahan khulia dari Dr. Mary Klages, Associate Professor of English, University of Colorado at Boulder, dengan tambahan dan keterangan/ perjemahan oleh penulis.
Language is based on a naming process, by which things get associated with a word or name. Saussure says this is a pretty naive or elementary view of language, but a useful one, because it gets across the idea that the basic linguistic unit has two parts (hal. 646). Those two parts Saussure names the “concept” [konsep] and the “sound image”[khayal bunyi]. The sound image is not the physical sound (what your mouth makes and your ear hears) but rather the psychological imprint of the sound, the impression it makes. An illustration of this is talking to yourself--you don't make a sound, but you have an impression of what you're saying. The linguistic sign (sême) is made of the union of a concept and a sound image. The union is a close one, as one part will instantly conjure the other; Saussure's example is the concept "tree" and the various words for tree in different languages. When you are a speaker of a certain language, the sound image for tree in that language will automatically conjure up the concept "tree." The meaning of any sign is found in the association created between the sound image and the concept. Another way to define a linguistic sign is that a sign is the combination of a signifier [yg. menunjuk] and a signified [yg. ditunjuk], where the sound image is the signifier and the concept the signified. The sign, as union of a signifier and a signified, has two main characteristics. 1. “The bond between the signifier and signified is arbitrary” [semau-maunya/ secara kebetulan] (hal. 647). There is nothing in either the thing or the word that makes the two go together, no natural, intrinsic, or logical relation between a particular sound image and a concept. An example of this is the fact that there are different words, in different languages, for the same thing. Dog is "dog" in English, "perro" in Spanish, "chien" in French, "Hund" in German. This principle dominates all ideas about the structure of language. It makes it possible to separate the signifier and signified, or to change the relation between them. This makes possible the idea of a single signifier which could be associated with more than one signified, or vice-versa, which makes ambiguity [hal berarti dua] and multiplicity of meaning [hal bermacam arti] possible. Language is only one type of semiological system Any system of signs, made up of signifiers and signifieds, is a semiotic or signifying system.. Think, for example, of football referee signals, baseball signs, astrological signs. Any time you make up a secret code or set of signals you are making your own signifying system. There may be some kinds of signs that seem less arbitrary than others. Pantomime, sign language, gestures seem to have a logical relation to what they represent, but Saussure insists that all signs are arbitrary. Saussure discusses whether symbols, such as the use of scales for the idea of justice, are innate or arbitrary, and decides that these too are arbitrary, or based on community agreement. He also dismisses onomatopoeia [kata yg. bunyi seperti
artinya] as still conventional, agreed-upon approximations of certain sounds. Think, for example, about the sounds attributed to animals. While all roosters crow pretty much the same way, that sound is transcribed in English as "cock-a-doodle-do" and in Spanish as "cocorico." Interjections also differ. In English one says "ouch!" when one bangs one's finger with a hammer; in French one says "Aie!". Admittedly, Saussure is not very interested in how communities agree on fixing or changing the relationships between signifiers and signifieds. He focuses on a synchronic analysis of language as a system or structure, meaning that he examines it only in the present moment, without regard to what its past history is, or what its future may be. 2. The second characteristic of the sign is that the signifier (here, meaning the spoken word or auditory signifier) exists in time, and that time can be measured as linear. You can't say two words at one time; you have to say one and then the next, in a linear fashion. (The same is true for written language: you have to write one word at a time (though you can write over an already written word) and you generally write the words in a straight line). This idea is important because it shows that language (spoken language, anyway) operates as a linear sequence, and that all the elements of a particular sequence form a chain. The easiest example of this is a sentence, where the words come one at a time and in a line, one after the other, and because of that they are all connected to each other. Linguistic value According to Saussure thought is a shapeless mass (hal. 649), which is only ordered by language. One of the questions philosophers have puzzled over for centuries is whether ideas can exist at all without language. Saussure says no ideas preexist language; language itself gives shape to ideas and makes them expressible. In other words, from Saussure's point of view, thought cannot exist without language. This leads to an important structuralist and post-structuralist idea, which is that language shapes all our conceptions of ourselves and our reality. Sound is no more fixed than thought, though sounds can be distinguished from each other, and hence associated with ideas. Sounds then serve as signifiers for the ideas which are their signifieds. Signs, in this view, are both material/physical (like sound) and intellectual (like ideas). This is important to Saussure because he wants to insist that language is not a thing, a substance, but a form, a structure, a system. His image is that thought and sound are like the front and back of a piece of paper (and the paper is the linguistic sign); you can distinguish between the two, but you can't separate them. Saussure talks about languages (langage) by introducing the dichotomy: langue [“bahasa resmi”] and parole [bahasa, bicara], he sais: “A sign is the basic unit of langue (a given language at a given time). Every langue is a complete system of signs. Parole (the speech of an individual) is an external manifestation of langue.” (hal. 811) The arbitrary nature of the sign explains why language as a system (langue) can only arise in social relations. It takes a community to set up the
relations between any particular sound image and any particular concept (to form specific paroles). Saussure focuses on the langue, which he names also a “apparatus for classification“, as the subject of linguistic inquiry, whereas the parole is of minor interest. The langue only excists in the „speach community“, not in any individual, which is not capable to change or even modify a specific langue. The langue is a clear object in the confuse masses of Langage. The main core of the langue is the idea of a system, and therefore that of value . An individual can't fix value [nilai] for any signifier/signified combination (hal. 649). You could make up your own private language, but no one else would understand it; to communicate, two or more people have to agree on what signifiers go with what signifieds. Value is thus defined as the collective meaning assigned to signs, to the connections between signified and signifier. The value of a sign is determined, however, not by what signifiers get linked to what particular signifieds, but rather by the whole system of signs used within a community. Value is the product of a system or structure [yaitu langue], not the result of individual signified- signifier relations. As Saussure says: “Language is a system of interdependent terms in which the value of each term results solely from the simultaneous presence of the others.” (hal. 650) Value is always composed of two kinds of comparisons among elements in a system. The first is that dissimilar things can be compared and exchanged, and the second is that similar things can be compared and exchanged. A good example of this is money. [satu helai “seratus ribu rupiah” adalah signifier berhubung dengan signified seratus –kali- seribu rupiah. Value seratus ribu rupiah detetapkan sebagai alat tukar dengan sesuatu lain macamnya - misalnya 30kg beras -, atau sesuatu yang sesama macamnya – dua helai “limapulu ribu rupiah”. Nilai uang juga contoh yang baik untuk menjelaskan sifat arbitrary. Satu helai “seratus ribu rupiuah” bernilai demikian karena sepakatan kita semua, bukan karena bahan (kertasnya) bernilai sesungguhnya seratus ribu rupiah. Words work the same way. A word can be exchanged for something similar--another word, a synonym--or for something dissimilar--an idea, for example. In both cases (money or word), it is the system itself which creates value, and sets up the ways that exchanges can be made. A signifier, such as a coin or a word, when considered alone, has only a limited relation to its own signified; when considered as part of a system, a signifier has multiple relations to other signifiers in the system. The most important relation between signifiers in a system, the relation that creates value, is the idea of difference [perbedaan]. One signifier has meaning within a system, not because it's connected to a particular signified, but because it is not any of the other signifiers in the system. The word “cat” has meaning, not because of the animal it's associated with, but because that word is not “hat” or “bat” or “car” or “cut”.
The system of linguistic units depends thus on the idea of difference; one unit has value within the system because it is not some other unit within the system (hal. 652). This idea of difference depends upon the idea of binary opposites. To find out what a word or sign is not, you compare it to some other word or sign. (And because language exists in time and space, you can only do this comparison one word at a time, hence always forming binary pairs, pairs of two.) A binary pair shows the idea of difference as what gives any word value: in the pair cat/cats, the difference is the “s”; what makes each word distinct is its difference from the other word. Syntagmatic and associatives relations The most important kind of relation between units in a signifying system, according to Saussure, is a syntagmatic [mengenai ilmu nahu] relation. This means, basically, a linear relation. In spoken or written language, words come out one by one (see above, the second characteristic of the linguistic sign). Because language is linear, it forms a chain, by which one unit is linked to the next. An example of this is the fact that, in English, word order governs meaning. "The cat sat on the mat" means something different than "The mat sat on the cat" because word order--the position of a word in a chain of signification--contributes to meaning. (The sentences also differ in meaning because "mat" and "cat" are not the same words within the system). Combinations or relations formed by position within a chain, like where a word is in a sentence, are called syntagms. Examples of syntagms can be any phrase or sentence that makes a linear relation between two or more units.The terms within a syntagm acquire value only because they stand in opposition to everything before or after them. Each term is something because it is not something else in the sequence. Syntagmatic relations are most crucial in written and spoken language, in discourse, where the ideas of time, linearity, and syntactical meaning are important. Signs are stored in your memory, for example, not in syntagmatic links or sentences, but in associative groups. Associative relations are only in your head, not in the structure of language itself, whereas syntagmatic relations are a product of linguistic structure. [All page references in this lecture refer to Ferdinand de Saussure's “Course in General Linguistic” dalam: Adams and Searle, (penerbit), “Critical Theory Since 1965.”] Meskipun berasal dari filologi, Ferdinand de Saussure memberi definisi baru “ilmu bahasa ”, yang berlawan dengan usaha ahli linguistik sebelumnya, dengan mengemukakan pendekatan yang mengabaikan hal historis dan kenyataan pengunaan bahasa, sehingga teorinya diklassifikasi sebagai antihistoric dan mentalistic. Pendekatan yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure mendapat banyak penganut dan memberi pedoman untuk perkerjaan ahli linguistik di abad ke20, terutama di kalangan linguistik teoretis, akan tetapi sudut pandang yang tegas antihistoric dan mentalistic juga membangkit kritik dari berbagai aliran linguistik lain. Aliran pertama yang menangkap dan mengembangkan teori Ferdinand de Saussure adalah kelompok ahli linguistik, yang terkenal sebagai “Sekola Praha” (“Prague school”), dengan tokoh terkemuka Roman Jakobson. Roman Osipovich Jakobson (1896- 1982) lahir di Russia dan ikut
serta dalam “Moscow Linguistic Circle” (“Rundingan Linguistik Moskaw”), satu aliran linguistik yang juga kenal dengan istilah “Formalisme Rusia”, sebelum pindah ke Praha pada tahun 1920. Tiga assumsi mengenai topik ilmunya (bahasa), yang dapat disimpulkan dari pelajaran Ferdinand de Saussure, yaitu: systematic nature of language, relational conception of the elements of language dan arbitrary nature of linguistic elements mendasarkan teori linguistik yang dikembangkan dan dinamakan “structuralism” oleh Jakobson dan temanya. Teori linguistik dari “Sekola Praha” melihat bahasa sebagai “alat kommunikasi funktional”, dengan mengamati “sistem isyarat struktural” dalam konteks nyata, atau dengan kata lain, mengamati bahasa- bahasa yang konkret seperti digunakanya. Sedemikian pelajaran „Sekola Praha“ mengabaikan pemisahan langue dan parole, serta sudut pandang sinkronik, yang disyaratkan oleh F. Saussure, dengan menerapkan konsep struktural untuk menjelaskan perubahan bahasa. Hal penting dalam analisa bahasa - menurut aliran ini - adalah „the speakers intention“(tujuan/ minat sang pembicara), yaitu „fungsi pengunaan bahasa“, sehingga demikian teori ini juga terkenal sebagai „functionalism“ atau „functional linguistik“.9 Roman Jakobson, yang berkerja banyak tentang sastra dan syair, migrasi ke Amerika Serikat sesudah mulai Perang Dunia II., dimana ia bertemu dan berkerjasama dengan banyak tokoh linguistik dan antropologi termasuk Claude Lévi- Strauss, Frans Boas dan Leonard Bloomfield. Ia menetap di AS sebagai guru besar di Universitas Harvard, dan mengembangkan beberapa konsep teori linguistik yang menjadi penting dalam ilmu linguistik sampai zaman sekarang. Tiga konsep ini adalah: linguistic typology, markedness dan linguistic universals. Secara ringkas tiga konsep dan juga topic penelitan tersebut, yang berkaitan satu sama yang lain, dapat diuraikan demikian: -
typology : adalah klassifikasi bahasa- bahasa berdasarkan kesamaan dalam struktur tata bahasa (berhadapan dengan klassifikasi berdasarkan kesamaan asal). markedness : adalah pelajaran tentang “tingkat kodrat” tata bahasa. linguistic universals : adalah pelajaran mengenai unsur umum pada (seluruh) bahasa- bahasa di dunia.
Dalam karya „Linguistics and poetics“ (1960) Jakobson mengemukakan satu model menurut yang mana terdapat enam faktor dan fungsi dalam penyampaian bahasa atau kommunikasi yaitu: konteks (juga disebut referen oleh Jakobson), yang menjadi dasar bahwa kommunikasi dapat menimbulkan fungsi referential, yaitu menyampaikan arti. referential: conveys information about some real phenomenon pesan; yang dalam fungsi poetiknya bisa jadi topik sendiri; poetic: focuses on the text independent of reference pengirim, yang minatnya terungkap oleh fungsi emotif. expressive: describes feelings of the speaker;
9
Pelajaran dan teori „functionalism“ dapat, menurut sejarah dan sudut pandang, dibagi dua yaitu „aliran amerika“ dan „aliran eropa“. Dimana „functionalism“ di Eropa menunjuk pada sistem dalam bahasa, sedang aliran Amerika mengamati hubungan bahasa dengan kegiatan manusia lain.
penerima, yang dapat diacak oleh fungsi konatif dari pesan; conative: attempts to elicit some behavior from the addressee kontak atau channel di dalamnya terwujud fungsi fatis; phatic: builds a relationship between both parties in a conversation metalingual: self-references kode, yang fungsi metalinguistik adalah kedua pihak saling mengerti pesanya. Aliran “functionalism” dalam ilmu linguistik adalah satu wilaya ilmu yang sangat luas dan rumit, dengan banyak ahli dan peneliti yang (sedang) berkerja dalam berbagai sub- cabang dengan berbagai teori dan projek penelitian. Satu tokoh terkemuka ialah Joseph Greenberg yang mengembangkan teori dan program riset tentang “linguistic universals”. Ahli linguistik yang berusaha dalam bidang tersebut juga terkenal sebagai “typologists”, dan “unsur umum bahasa” yang mereka teliti sebagai “greenbergian universals”. Metode yang digunakan oleh “typologists” adalah induktif, dengan memperbandingkan data dari banyak bahasa. Oleh karena kesimpulan induktif hanya sebaik sebaiknya data yang mendasarkanya ahli tersebut mengunakan teknik khusus untuk mendapatkan representative language samples. Secara terinci metode ini mencoba menghindar “genetic and areal bias“ (prasangka genetis dan geografis), karena jika dalam satu ”sample“ akan termasuk terlalu banyak bahasa dari satu „rumpun bahasa“ atau satu wilayah geografis, “sample” tersebut tidak akan mengambarkan “crosslinguistic variation“ sesungguhnya. Hal penting lain mengenai “greenbergian universals”, ialah bahwa mereka tidak seharusnya disadari oleh pembicara sendiri (not cognitively represented), atau dengan kata lain “universals” ini tidak termasuk “I-language“ (Internal- language). Beberapa tokoh penting lain dan topiknya dalam wilayah “functional- typological” linguistik, tercatat menurut tanggal publikasinya, adalah: Dik, Simon C. 1978: „Functional grammar“ , Givón, Talmy 1984: „Functional- typological approach.“, Foley/VanValin, Robert 1984: „Role and reference grammar“, Halliday, Michael A. K. 1985: „Systemic grammar“.
Linguistik modern Salah satu – atau mungkin satu satunya - ahli linguistik terkemuka dan terpengaruh di abad ke20. ialah Noam Chomsky. Teori yang dimengemukakan oleh tokoh ini, serta aktifitasnya sebagai „pengomentar“ politik, mendapat perhatian luas, pujian serta kritik dari kalangan ilmuwan dan masyarakat biasa. Dr. Avram Noam Chomsky (lahir 1928) belajar ilmu filsafat dan linguistik di University of Pennsylvania/ AS, dan mendapat gelar Ph:D. pada tahun 1955, kemudian ia menjadi guru besar linguistik di Massachusetts Institute of Technology/ AS. Dalam thesis kedoktoran Noam Chomsky telah mengemukakan unsur- unsur satu teori linguistik yang ia kemudian mengembangkan dan mempublikasi dalam buku “Syntactic Structures” (1957). Teori tersebut, yang terkenal dengan istilah ”Transformational grammar” atau ”Transformational- generative grammar”, adalah salah satu “mentalistic”teori linguistik yang sangat berpengaruh dalam ilmu linguistik sendiri dan pada ilmu lain. Berikut uraian unsur- unsur teori Noam Chomsky, serta kutipan dari “Language and Mind” :
„The purely internalist approach I have been outlining is concerned with the faculty of language: its initial state, and the states it assumes. Suppose that Peter's language organ is in state L. We can think of L as Peter's language; when I speak of a language here, that is what I mean. So understood, a language is something like "the way we speak and understand", one traditional conception of language. The theory of Peter's language is often called the "grammar" of his language, and the theory of the initial state of the faculty of language is called "universal grammar", adapting traditional terms to a different framework. Peter's language determines an infinite array of expressions, each with its sound and meaning. In technical terms, his language "generates" the expressions of his language. The theory of his language is therefore called a generative grammar. In ”transformational grammar”, utterances (words, phrases, and sentences) correspond to abstract ”surface structures” [struktur muka], which in turn correspond to more abstract ”deep structures”[struktur dalam]. Transformational rules, along with phrase structure rules and other structural principles, govern both the creation and interpretation of utterances. With a limited set of grammar rules and a finite set of terms, man is able to produce an infinite number of sentences, including sentences nobody has ever said before. The capability to structure our utterances in this way is innate [dari pembawaan], a part of the genetic endowment of human beings, and is called universal grammar. We are largely unconscious of these structural principles, as we are of most other biological and cognitive properties. „The problem was faced by attempts to find general properties of rule systems that can be attributed to the faculty of language itself, in the hope that the residue will prove to be more simple and uniform....We can think of the initial state of the faculty of language as a fixed network connected to a switch box; the network is constituted of the principles of language, while the switches are the options to be determined by experience.... Each possible human language is identified as a particular setting of the switches - a setting of parameters, in technical terminology.“ One main claim of Noam Chomsky regarding universal grammar is — that the grammatical principles underlying languages are completely fixed and innate, and the differences among the world's languages can be characterized in terms of parameter settings in the brain, which are likened to switches. (Hence the term principles and parameters, often given to this approach.) “We assume further that the language organ is like others in that its basic character is an expression of the genes. How that happens remains a distant prospect for inquiry, but we can investigate the genetically-determined "initial state" of the language faculty in other ways. Evidently, each language is the result of the interplay of two factors; the initial state and the course of experience. We can think of the initial state as a "language acquisition device" that takes experience as "input" and gives the language as an "output" - an "output" that is internally represented in the mind/brain. The input and the output are both open to examination: we can study the course of experience and the properties of the languages that are acquired.” In this view, a child learning a language need only acquire the necessary lexical items (words) and morphemes, and determine the appropriate parameter settings, which can be done based on a few key examples.
This approach is motivated by: - the astonishing pace at which children learn languages, - the similar steps followed by children all across the world when learning languages, - the fact that children make certain characteristic errors as they learn their first language, whereas other seemingly logical kinds of errors never occur (and, according to Chomsky, should be attested if a purely general, rather than language-specific, learning mechanism is being employed). Chomsky's ideas have had a strong influence on researchers investigating language developement in children or language acquisition [perolehan bahasa], but most researchers who work in this area do not support Chomsky's theories, often preferring emergenist or connectionist theories based around general processing mechanisms in the brain. “It seems clear that we must regard linguistic competence — knowledge of a language — as an abstract system underlying behaviour, a system constituted by rules that interact to determine the form and intrinsic meaning of a potentially infinite number of sentences. Such a system — a generative grammar — provides an explication of the Humboldtian idea of "form of language," which in an obscure but suggestive remark in his great posthumous work, “Über die Verschiedenheit des Menschlichen Sprachbaues,” Humboldt defines as "that constant and unvarying system of processes underlying the mental act of raising articulated structurally organised signals to an expression of thought." Such a grammar defines a language in the Humboldtian sense, namely as "a recursively generated system, where the laws of generation are fixed and invariant, but the scope and the specific manner in which they are applied remain entirely unspecified.” “ Assuming the rough accuracy of conclusions that seem tenable today, it is reasonable to suppose that a generative grammar is a system of many hundreds of rules of several different types, organised in accordance with certain fixed principles of ordering and applicability and containing a certain fixed substructure which, along with the general principles of organisation, is common to all languages.” The Chomskyan approach towards competence of language use and syntax, is termed generative grammar, though quite popular, has been challenged by many, especially those working outside of the United States. Chomskyan syntactic analyses are often highly abstract, and are based heavily on careful investigation of the border between grammatical and ungrammatical constructs in a language. Such grammaticality judgments can only be made accurately by a “ideal native speaker”. In the generative paradigm, the search for linguistic universals aims at discovering the properties of “universal grammar”, the innate module of the mind/brain which enables children to acquire and represent linguistic knowledge. Equating universal with principle of universal grammar also has important methodological or epistemological consequences; in other words, it affects the way in which the linguist goes about searching for universals and deciding whether or not a statement captures a linguistic universal. Notably, the “evidence of a single language” may be enough for a generativist to postulate that “x” is a principle of universal grammar and, therefore, universal. The following example (proposed situation) should explain the methodological principles of generativistic linguists: a. - „x“ (for example a particular phrase struktur) is part of the linguistic knowledge of speakers of a language „L“.
b. - Children exposed to the utterances of speakers of „L“ do not have enough evidence to discover „x“ by inductive means. Proving a and b may not be easy, but, once done, it's all it takes to formulate a poverty-of-the-stimulus argument. Under generativist assumptions, (a+b) shows that „x“ must be innate, and therefore a part of universal grammar, and therefore universal.
Though transformations continue to be important in Chomsky's current theories, he has now abandoned the original notion of Deep Structure and Surface Structure. Initially, two additional levels of representation were introduced (LF — Logical Form, and PF — Phonetic Form), and then in the 1990 Chomsky sketched out a new program of research known as Minimalism, in which Deep Structure and Surface Structure no longer featured and PF and LF remained as the only levels of representation. Much current research in transformational grammar is inspired by Chomsky's Minimalist Program, outlined in his book “The Minimalist Program” (1995). The new research direction involves the further development of ideas involving economy of derivation and economy of representation which had started to become significant in the early 1990s, but were still rather peripheral aspects of transformationalgenerative grammar theory. Economy of derivation is a principle stating that movements (i.e. transformations) only occur in order to match interpretable features with uninterpretable features. Chomsky's work in linguistics has had major implications for psychology and its fundamental direction in the 20th century. His theory of a universal grammar was a direct challenge to the established behaviorist theories of the time and had major consequences for understanding how language is learned by children and what, exactly, is the ability to interpret language. The more basic principles of this theory (though not necessarily the stronger claims made by the principles and parameters approach described above) are now generally accepted. In 1959, Chomsky published a long-circulated critique of B.F. Skinner’s “Verbal Behavior” (1957), a book in which the leader of the behaviorist psychologists that had dominated psychology in the first half of the 20th century argued that language was merely a "behavior.” Skinner argued that language, like any other behavior — from a dog salivating in anticipation of dinner, to a master pianist performance — could be attributed to ”training by reward and penalty over time.” Language, according to Skinner, was completely learned by cues and conditioning from the world around the language-learner. Chomsky's critique of Skinner's methodology and basic assumptions paved the way for a revolution against the behaviorist doctrine that had governed psychology. In his 1966 “Cartesian Linguistics” and further in “Language and Mind” (1968), Chomsky laid out an explanation of human language faculties [akal bahasa manusia] that has become the model for investigation in other areas of psychology. Much of the present conception of how the mind works draws directly from ideas that found their first persuasive author of modern times in Chomsky.
There are three key ideas. First, is that the mind is “cognitive” [bisa mengamati], or that the mind actually contains mental states, beliefs, doubts, and so on. The former view had denied even this, arguing that there were only ”stimulus-response” [penggertak- jawab] relationships like ”If you ask me if I want X, I will say yes”. By contrast, Chomsky showed that the common way of understanding the mind, as having things like beliefs and even unconscious mental states, had to be right. Second, he argued that large parts of what the adult mind can do are ”innate”. While no child is born automatically able to speak a language, all are born with a powerful language learning ability (“language acquisition device” or “LAD“) which allows them to soak up several languages very quickly in their early years. Chomsky claims that the utterances to which a child is exposed, the “stimulus” lack enough structure to explain how the child acquires linguistic knowledge; this is his poverty-of-the-stimulus argument. Subsequent psychologists have extended this thesis far beyond language; the mind is no longer considered a “blank slate” (“tabula rasa”) at birth. Finally, Chomsky made the concept of “modularity ” a critical feature of the mind's cognitive architecture. The mind is composed of an array of interacting, specialized subsystems with limited flows of inter-communication. This model contrasts sharply with the old idea that any piece of information in the mind could be accessed by any other cognitive process (optical illusions, for example, cannot be ”turned off” even when they are known to be illusions). Dengan aliran generative linguistics, yang juga dikenal sebagai nativist dan formalistic linguistic, serta aliran functional- typological linguistics sudah disebut dua aliran linguistik teoretis terpenting masa ini. Seperti terlihat dalam uraian diatas, pendekatan mengenai linguistic universals, dibawa paradigma generative, cukup berbeda dengan pendekatan yang digunakan oleh aliran (atau linguistic typology yang dimengemukakan oleh J.H. Greenberg). Berbedaan aliran tersebut tidak saja dalam teori tentang bahasa akan tetapi juga mengenai metode ilmia. Sedang golongan tipologis mengunakan metode inductive, dengan memperbandingkan data dari jumlah bahasa yang besar, aliran generatif, mengunakan metode deductive dengan “membuktikan” unsur linguistik umum (“universal grammar”) tertentu melalui argumentasi “poverty-of-the-stimulus”. Aliran linguistik penting lain termasuk cognitive linguistics dengan tokoh terkemuka George P. Lakoff. Lakoff adalah guru besar di University of California, Berley, yang terkenal dengan teori tentang “kepentingan metafora untuk cara pikiran manusia dan kebudayaan”.yang dipublikasi dalam buku “Metaphors We Live By“(1980). Dalam teori lain, yang berjudul “embodied mind”, Lakoff mengemukakan bahwa “human cognition” (pengamatan pikiran manusia) tidak lepas dari “low-level” facilities as the sensorimotor system and the emotions (organ pengamatan “dasar” dan perasaan). Salah satu tokoh lain dari aliran ini adalah Eleanaor Rosch dengan teorinya mengenai klasifikasi semantik yang disebut „prototype theory“. Dalam teori ini dikatakan bahwa konsep sematik manusia terjadi melalui „kata kunci“: “By prototypes we have generally meant the clearest cases of category membership defined operationally by people's judgements of goodness of membership in the category „ ("Principles of Categorization". 1978).
Linguistik interdisipliner (Interdisciplinary linguistic) Linguistik zaman ini memang salah satu ilmu yang luas, dengan banyak tokoh dan aliran selain yang sudah diuraikan diatas. Apalagi linguistik dan teori- teori linguistik telah banyak diassimilasi ke ilmu- ilmu lain dan membangkit wilayah ilmu interdisipliner seperti: neurolinguistics (ilmu kedoktoran, neurobiologi), language acquisition (ilmu pendidikan, ilmu jiwa), psycholinguistics (ilmu jiwa), computational linguistics (software developement) serta sociolinguistics, ethnolinguistics dan anthropological linguistics, dimana yang tiga tersebut terakhir adalah ilmu- ilmu yang berlekat sebagai gabungan linguistik dengan ilmu sosial.
Neurolinguistik Neurolinguistics adalah ilmu yang mengamati dan meneliti otak manusia mengenai cara sebagaimana terjadi “pengertian”, “produksi” dan “pengetahuan” bahasa, biar bahasa lisan, tertulis maupun bahasa isyarat. Secara dasar neurolinguistik berkembang sebagai ilmu interdisipliner, diantara linguistik, psikologi, neurobiologi dan computerteknik. Peneliti dalam ilmu ini memiliki latar belakang yang beranekaragam dan melibatkan bermacam teknik eksperimen serta sudut pandang teoretis. Dalam sejarah ilmu, istilah neurolinguistik paling terkenal berkait dengan aphasiology, atau gejala afasia. Perumusan artinya menyebutkan “kehilangan sebagian atau seluruh kemampuan bicara karena penyakit, cacat atau cedera pada otak”. Berikut ringkasan gejala – gejala yang tercakup afasia: afasia broca terjadi berakibat kerusakan pada bagian otak terutama bagian sebelah kiri sebagai pusat kemampuan kognitif, dimana pasien tidak mampu mengerti pelajaran morfologi. Istilah afasia wernicke menunjukkan ketidakmampuannya untuk memahami arti dan ragam bahasa lisan. Pasien yang tidak mampu mengerti informasi akibat kerusakan pada arcuate fasciculus, mengalami afasia konduksi. Pada akhirnya ketidakmampuan untuk membaca disebut alexia, sedangkan pasien yang tidak mampu menulis disebut agrafis. Beberapa contoh menunjukan, bahwa tidak hanya “kerusakan” berdasarkan kekerasan atau penyakit akan tetapi juga “lingkungan sosial” yang tidak azasi bisa mengakibatkan afasia. Contoh yang bermaksud disini adalah kisah beberapa anak feral 10, yang juga terkenal sebagai “anak sirigala”. Seperti Victor si”bocah liar dari Averyon”, seorang anak laki- laki yang ditemu keliling di hutan dekat desa Averyon di Perancis pada tahun 1799. Ia berlaku sebagai binatang buas dengan makan dari lantai/ bumi, membenci mandi dan pakaian serta hanya mengeluaran bunyi liar. Meskipun Victor kemudian dijaga dan diajar berbicara oleh seorang doktor bertahun tahun, ia hanya dapat mengerti beberapa kata saja. Kisah yang semirip disiarkan dari India sekitar tahun1960. Anak laki laki di India ditangkap oelh serombongan pemburu dari gerombolan sirigala dan kemudian diberi nama si”Ramu”. Kondisi fisik dan rohaninya mengenaskan, “Ramu” hanya bisa merangkak, dan akhibat afasia ia hanya mengeluarkan bunyi menyalak atau melolong sebagai hasil didikan induk serigala. Meskipun diberi perawatan medis, ia hanya mencapai umur 10
Istilah „homo ferus” yang diperkenalkan oleh naturalis Swedia Carolus Linnaeus alias Carl von Linne (1707 1778), menunjuk pada makhluk manusia yang berkarakter jalang, liar tak berbudaya, yaitu bertentangan dengan konsep “homo sapiens”.
pendek dan meninggal singkat setelah ditangkap. Kasus serentak terbuka di Los Angeles/ AS tahun 1970, saat ditemukan seorang gadis berumur 13 tahun, yang dikurung terisolir oleh bapaknya sepanjang umurnya. Pertumbuhanya tertinggal, ia tidak mampu jalan dan tidak bisa berbicara. Meskipun ahli psikologi mengajar “Genie” (nama yang diberinya pada gadis tersebut) bertahun- tahun, dia hanya dapat berkomunikasi seperti seorang anak berumur dua tahun, dengan mengunakan paling “tiga kata kalimat”. Kasus berlainan dari aphasiology dilapor oleh Battro dengan kisah seorang anak laki- laki, yang bernama “Nico”, yang mengalami “hemispherectomy” (kehilangan cerebral hemisphere) sebelah kiri, saat umurnya tiga tahun.
T2 weighted MRI scans of Nico’s head. Lightest areas show missing cortex.
Meskipun demikian, Nico menjadi juara kelasnya di bidang “bahasa, menulis dan bicara”. Kisah ini menyarani, bahwa otak Nico mampu mengulangi organisasi mental untuk “berbahasa” atau membangun ulang “kemampuan kognitif” di bagian otak lain yang masih utuh, atau secara umum bahwa otak anak- anak mengalami re- organisasi penting selama pertumbuhanya berlanjut. Mekipun kini diketahui, bahwa sejumlah “neuron” baru terbangkit setelah seorang jadi dewasa, tetapi kebanyakan sudah ada saat lahir. Apalagi “synapses” terbangkit dan hilang cepat khusus sewaktu umur kecil, satu proses yang terkenal sebagai “synaptogenesis”. Seperti dapat melihat di gambar berikut, pada umur enam bulan seorang memiliki synapses sekitar sepuluh kali lipat daripada saat lahir, yang separuh sudah hilang sampai umur sepuluh tahun.
Huttenlocher (1990) showing synaptic density in human visual cortex as a function of age.
Kelihatanya seperti otak manusia menjadi cepat “over- connected”, akan tetapi hanya menetapkan atau menahankan hubungan (connection) yang berguna, satu proses yang kadang disebut “neural darwinismus”, dengan kata lain rupanya otak manusia mengembangkan jaluran neural secara “use it of loose it” (“guna atau buang”). Proses ini sepertinya berlanjut cukup lama, misalnya “prefrontal cortex” sering tidak sempurna perkembangnya sebelum seorang mencapai umur 19 tahun. Akhir akhir ini, salah satu gen, yang dinamakan FOXP2, ditentukan oleh ahli neurologi (Liegeois et al, 2003), sebagai menangung perkembangan struktur neural “bahasa”. Kemajuan teknologi medis memungkinkan penemuan seperti ini, dengan membuka jalan untuk menyelidiki otak manusia lebih rinci, secara memotret dan memeriksa aktifitas elektrofisik, saat aktifitas berbahasa sedang berlanjut. Meskipun begitu ahli neurolinguistik dapat mengindikasikan bagian otak yang aktif dalam proses pikiran dan berbicara, mereka belum dapat menentukan sebagaimana proses kognitif dan kemampuan bahasa terwujud di otak manusia. Metode lain yang digunakan dalam cognitive neuroscience bahasa adalah computational modeling, yang dapat membantu menguji validitas hipotesis- hipotesis mengenai organisasi neural bahasa, sambil membangkit penunjuk baru untuk penelitian selanjutnya.
Language acquisition Language acquisition atau “cara sebagaimana seorang anak mendapat berbicara”, adalah pendebat lama di kalangan ahli linguistik, psikologi dan cabang ilmu lain. Pendepat tersebut sekelilling pertanyaan: “Apakah manusia mampu berbicara berdasarkan pembawaan genetis (nature), atau berdasarkan pemeliharaan atau asuhan (nurture).” Kajian yang cenderung kepada persepsi pertama disebut nativism, termasuk Noam Chomsky serta kebanyakan ethologists
seperti Konrad Lorenz11, sedang kedudukan kedua didukung oleh behaviourists seperti B.F.Skinner dan empirists seperti Jean Piaget 12. Aliran nativist linguistics sangat berpengaruhi oleh Noam Chomsky dengan teorinya “universal grammar”, dimana ia menuntut, bahwa anak- anak lahir dengan kodrat genetis yang ia menyebut language acquisition device (LAD), dan hanya membutuhkan pendorongan dari lingkungan untuk mampu berbicara (sempurna). Posisi berlawanan paling ekstrem berdiri dalam kajian “behaviourism” yang dimelepolori oleh B.F.Skinner dengan perumusan bahasa sebagai “stimulus- reponse chain”( penggertak- jawab rantai). Kalangan behaviourist menolak bahwa ada unsur pembawaan apapun yang mendasarkan “kemampuan berbahasa”. Dalam teori terkenal mengenai cognitive development (perkembangan kognitif), Jean Piaget (1896 – 1980) mengemukakan rancangan dengan beberapa istilah- istilah khusus, sebagai hasil dari pengamatan dan wawacara khas (clinical interview) anak- anak. Rumus constructivistis teori dari Piaget dapat dilihat berikut: Piagetian theory is based on several assumptions. Firstly, that when born children have only non-specific domain general skills (i.e. general learning skills not tailored for any specific task or information set like language).The components of this general learning system are: Schemas Organization of schemas, via adaptation using: Assimilation and Accommodation Schemas are sets of mental operations to be applied to ideas, concepts etc. which change as development occurs Organization is the ability to co-ordinate schemas, ideas, concepts to complete a task or form a more complex representation. Adaptation: the striving for balance or equilibrium with the environment (sometimes called equilibration). The ability to successfully interact with the environment with current skills. This occurs by the processes of either… Assimilation by which a child takes in new information and fits it into an existing schema...or Accommodation by which a child changes a schema to accommodate new information. Piaget argued that children develop in stages, and that all their cognitive abilities largely change in parallel. Although he argued for this stage approach, he did not think there was a distinct dividing line between each stage, as each is a continuous process of assimilation and accommodation. However, the order by which the stages happen should be the same for all children although the ages of attainment may vary slightly, assuming there are no developmental problems. Sensori motor 11
Action based Object permance; begins at 8 months
Aliran ilmu „ethology“, yaitu studi perbandingkan perilaku binatang serta kajian yang menarik kesimpulan dari ethology untuk menjelaskan perilaku manusia („Humanethology“), dalam hal ini sering disebut „biologism“. 12 „Empericism“ adalah sudut pandang filsafat yang mendesak bahwa semua pengetahuan (manusia) brasal dari informasi- informasi yang terdapat dari pancaindra, yaitu bahwa objektifitas/ kebenaran ada saja „di luar“ (Furth 1972). „Behaviourism“ adalah aliran ethology berasal AS, yang menentukan hanya lingkungan hidup dan belajar kenal sebagai asal perilaku, yaitu sama sekali menolak unsur perilaku dari pembawaan, atau – sebagai aliran yang kurang keras („neo behaviourism“) – dianggap pembawaan dalam hal ini tidak penting.(Erben 1988)
Stage < 2yrs
Understanding of causality – 10 months Symbolic (representational) thought – 18months
Preoper ational stage (27)
Symbolic (semiotic) function Symbolic play Solve problems mentally Precausal (transductive) Reasoning Magical thinking (thinking some will make it happen) animism Egocentricism Irreversibility Centration Mental operations Conservation (depends on decenetration and reversibility) horizontal decalage.
Concret e Operatio nal Stage (711) Formal Operatio nal Stage (11+)
Critics:
Think abstractly, relativistically, hypothetically. Renewed geocentricism Elkind Personal fable imaginary audience Stages are invariant (no skipping) Age at reaching stage do vary across cultures. Young children are more competent than Piaget thought. eg. Even 2 year can see from another’s perspective.
disusun menurut Bell (2003)
Pendepat di kalangan linguist dan ahli psikologi mengenai language acquisition berlanjut, dimana kebanyakan ahli menganut “jalan menegah” diantara teori yang tersebut. Meskipun mereka berpendapat bahwa konsep “universal grammar” dari Noam Chomsky, dalam hal kesamaan kemampuan bahasa diantara seluruh bahasa manusia, menunjuk asas yang wajar, banyak meragukan bahwa struktur bahasa ditentukan oleh pembawaan sekuat Chomsky menuntut. Social interactionist seperti ahli psikologi Catherine Snow di Universitas Harvard misalnya menunjuk, berdasarkan pengamatan hubungan orang tua dan anak, bahwa pengajaran dari pihak orang tua lebih sempurna daripada Chomsky menuntut dengan argumenya “poverty of stimulus”. Ahli linguistik Eric Lenneberg menentukan masa yang memutuskan kemampuan belajar berbahasa berakhir dengan sekitar 12 tahun. Ia menuntut, bahwa jika seorang tidak belajar (satu) bahasa sebelumnya, orang itu tak akan pernah mampu belajar satu bahasa dengan benar lagi. Pendapat ini terkenal sebagai “Critical Period Hypothesis”. Kisah yang mendukung tesis tersebut adalah kasus masyarakat bisu- tuli di Nicaragua. Sampai tahun 1986, negeri Nicaragua tidak memiliki pendidikan atau “bahasa isyarat” formal untuk orang bisu- tuli. Saat masyarakat Nicaragua mencoba memperbaiki situasi tersebut, mereka menemui , bahwa anak diatas umur tertentu mengalami kesulitan untuk belajar bahasa, serta sebagian anak bisu-tuli mengunakan isyarat- isyarat aneh untuk berkomunikasi satu sama yang lain. Seorang ahli AS, Judy Kegel kemudian mengamati anak tersebut dan menemui, bahwa anak- anak tersebut telah membangunkan “bahasa isyarat” sendiri, termasuk “fonologi isyarat” dan sintaks. Kegel menemui juga sekitar 300 orang dewasa yang, meskipun telah menumbuhi dalam lingkungan
azasi, tak pernah membelajari satu bahasa, dan kemudian tidak mampu membelajari bahasa secara sempurna, mereka hanya dapat belajar kata- kata tetapi tidak mampu belajar sintaks. Masa kemampuan belajar paling kencang dan efektif bersesuaian dengan masa perkembangan pertumbuhan otak dan bentuknya.
Konsepsi Antropologi linguistik (anthropological linguistics anthropology )
versus
linguistic
Anthropological linguistics dan linguistic anthopology adalah dua istilah dalam bahasa Inggris yang artinya sulit untuk memperbedakan. Menurut tata bahasa bahasa Inggris bagian pertama dari kesatuan istilah masing masing adalah kata bersifat (adjective) yang menerangkan kata benda berikut (noun). Sehingga dapat menyimpulkan “anthropological linguistics” adalah satu bagian tertentu dari linguistik sedang “linguistic anthropology “adalah satu bagian tertentu dari antropologi. Akan tetapi perbedaan morfologis ini sesungguhnya hanya dapat menetapkan sebagai penunjuk klassifikasi ilmu- ilmu tersebut. Antropological linguistics dan linguistic antropologi memiliki sejarah ilmu, kajian ilmu dan wilayah penyelidikan yang sama, sehingga perbedaan menurut analisa semantis, sangat tipis atau boleh dikatakan tidak ada sama sekali. Antropologi linguistik adalah kajian tentang hubungan bahasa dengan kehidupan manusia atau kajian tentang manusia melalui bahasa yang mereka memiliki. Berdasarkan pengertian luas tersebut dua istilah lain yaitu ethnolinguistics dan sociolinguistics mengarah ke tujuan yang sama. Betapa erat tiga ilmu tersebut berkait satu sama yang lain dapat melihat dengan mengamati klassifikasi ilmu dari beberapa ahli antropologi terkemuka. Dalam buku “Handbuch der Kulturanthropologie” Robert F. Vivelo mencatat dalam klassifikasi cabang ilmu antropologi “linguistik” sebagai sub- cabang dari “Kulturanthropologie” 13(1995: 43). Sedang klassifikasi yang digambar oleh Koentjaraningrat dalam “Pengantar Antropologi” (1996), mencatat “etnolinguistik” sebagai istilah di tempat yang sama sebagai sub- cabang dari “Antropologi budaya”. Secara ringkas dapat membahas kajian anthropological linguistics mengenai berkaitan dengan cabang ilmu linguistik sebagai berikut: Descriptive (or synchronic) linguistics Mencatat dialek (bentuk satu bahasa yang digunakan oleh komunitas bahasa tertentu, yang meliputkan kajian fonologi, morfologi, sintaks, sematink dan tata bahasa. Historical (or diachronic)linguistics Mencatat perubahan pada dialek- dialek atau bahasa- bahasa melalui zaman. Kajian ini meliputkan kajian tentang perbedaan bahasa dan rumpun bahasa, perbandingkan bahasa, etimologi serta filologi.
13
Buku tersebut adalah terjemahan bahasa Jerman dari buku orisinal yang berjudul „Cultural Anthropology Handbook. A Basic Introduction.“ (1978), sehingga „cultural anthropology“ tercatat sebagai „Kulturanthropologie“.
Ethnolinguistics Mencatat keanekaragam bahasa- bahasa di dunia, serta menyelidiki kesamaan dasar mereka. Analisa hubungan diantara kebudayaan, pikiran dan bahasa, terutama melalui peninjauan pada etnis - dalam hal ini sebagai komunitas bahasa - yang kecil/ sedang seperti masyarakat terasing. Sociolinguistics Analisa fungsi sosial bahasa dan hubungan diantara anggota satu komunitas bahasa mengenai hal sosial, politik, dan ekonomi.
Linguistik
perbandingkan comparative linguistics)
historis
(Historical
or
Linguistik perbandingkan historis adalah terutama kajian mengenai bahasa- bahasa yang tampaknya mempunyai hubungan karena kesamaan dalam kata kata leksikal, seperti ciri morfologi dan fonologi atau dalam sintaks. Linguistik bandingkan historis berniat menglasifikasi bahasa- bahasa dunia berdasarkan asal usul yang sama dan mempersoalkan perubahanperubahan unsur bahasa yang terjadi pada suatu bahasa. tertentu. Kebanyakan penelitian dilakukan tentang bahasa- bahasa di wilayah bahasa Indo- Eropa. Bahasa- bahasa berubah dalam waktu. Mungkin satu bahasa akan berubah sekali sehingga tiada lagi kesamaan dengan aslinya. Perkiraan menyelang- menyelingkan, tetapi anggapan yang disetujui oleh kalangan besar ahli linguistik ialah, bahwa sesudah 10.000 tahun satu bahasa telah lengkap berubah yaitu kehilangan unsur kesamaan dengan bahasa diawalnya. Linguistik perbandingan historis membangun silsilah kerabat bahasa, seperti dipelopori oleh August Schleicher. Dasar silsilah bahasa ini adalah metode bandingkan (method comparative): bahasa- bahasa yang dianggap mempunyai hubungan kerabat dibandingkan satu sama yang lain, ahli linguistik mencari korespondensi fonemis berdasarkan kajian mengenai perubahan bahasa seperti dipelopori oleh Jakob Grimm - dan kemudian mengunakan hasilnya untuk merumus hipotesis terbaik mengenai bentuknya bahasa asalnya. Validasi metode ini terdapat dengan mengajukanya pada bahasa- bahasa seperti bahasa Romawi (romance languages) atau bahasa Jerman (germanic languages), yang pertama termasuk Perancis, Italik, Spanyol, Rumania dan Portugis yang kedua Inggris, Jerman, Swedia, Norwegia Belanda. Dengan mengunakan metode tertentu, seperti aturan “Lautverschiebung”, ahli linguistik mengadakan pemulihan (reconstruction) bahasa proto- Roman, yang tidak sesuai tetapi semirip dengan bahasa Latin, dan proto- Jerman yang adalah bahasa purba yang tidak memiliki naskah- naskah tertulis sama sekali. Kedua bahasa purba tersebut adalah behasa kerabat yang menurun dari satu bahasa proto- Indo- Eropa, yang dianggap bicara sekitar 5000 tahun yang lalu. Ahli linguistik mengembangkan bahasa Proto-Indo-Europa berdasarkan data dari sepuluh cabang kelompok tersebut ialah: Jerman, Italik, Keltik, Gaulis, Baltik, Slavia, Armenia, Yunani dan Indo- Iran.
Bahasa – bahasa kerabat yang berasal dari bahasa proto yang sama selalu akan memperlihatkan kesamaan- kesamaan berikut: 1. Kesamaan sistem bunyi (fonetik) dan susunan bunyi (fonologi). 2. Kesamaan morfologis, yaitu kesamaan dalam bentuk kata dan kesamaan dalam bentuk gramatikal. 3. Kesamaan sintaksis, yaitu kesamaan relasi antara kata- kata dalam sebuah kalimat. Sehubungan dengan kesamaan- kesamaan ini diantara dua bahasa, perlu kiranya ditegaskan bahwa pertalian fonetis saja belum tentu mengandung kemiripan makna, atau kemiripan fonetis dan makna belum tentu membuktikan bahwa kedua bentuk itu berasal dari satu bentuk proto yang sama. Kemiripan fonetis dan makna, yang terdapat dalam bahasa- bahasa, dapat terjadi karena tiga faktor, yaitu: 1. Karena warisan langsung (inheritance) oleh dua bahasa atau lebih dari satu bahasa proto yang sama. Bentuk yang sama tersebut dinamakan cognate (bentuk kerabat). 2. Karena faktor kebetulan (by chance/ accident). Misalnya kata “haus” dalam bahasa Indonesia dan “ Haus” dalam bahasa Jerman (yang artinya “rumah”), atau “nass” bahasa Jerman dan “ nas” dalam bahasa Zuni, yang sama- sama artinya “basah”.Bentuk yang sama ini disebut false cognate (kerabat palsu). 3. Karena pinjaman (borrow/ loan). Satu kemiripan bentuk fonetis- makana terjadi karena suatu bahasa akseptor menyerap unsur tertentu dari sebuah bahasa donor akibat kontak dalam sejarah. Dalam bahasa Indonesia misalnya terdapat banyak loanwords (kata pinjaman) dari Sanskerta, Arab, Portugis, Dutch, China dan beberapa bahasa lain. Kira kira 750 kata dalam bahasa Indonesia berasal dari Sanskerta, terutama kata dalam bidang agama, seni dan ilmu. Katakata tersebut adalah pinjaman langsung atau melalui bahasa Jawa kuno. Sekitar 1000 kata berasal dari bahasa Arab (juga Persia dan Yahudi) terutama kata keagamaan dan ilmu, dan sekitar 125 kata lain berasal dari bahasa Portugis (juga Spanyol dan Italia), kata tersebut ada kata umum yang kebanyakan berhubungan dengan benda yang dibawa oleh perdagang barat zaman dulu. Sekitar sebanyak 10,000 kata ada kata pinjaman dari Dutch, termasuk banyak kata dari bahasa- bahasa Eropa lain, yang terkenal sebagai “International Vocabulary”. Beberapa contoh “loanwords” tersebut dengan asalnya adalah: Dutch: “polisi”,”kualitas”, ”telepon”, “bis”, “kopi”, “rokok” atau “universitas” Portugis/ Espanol: “sabun” (jabon), “jendela”, „arloji“ (reloj), „sepatu“ (zapatos) China: “pisau”, “loteng”, „pangsit“ Sanskerta/ Hindi: “putra”, “meja”, “kaca”, „berita“, „duka“, „sengsara“, „rupa“,“agama“ Arab: “maaf”, khatulistiwa”, “syarat”, „hukum“ Lima konsonan, yaitu “f”, “v” “sy”, “z” dan “kh” yang terdapat dalam kata- kata bahasa Indonesia sekarang, menunjukan kata yang bersangkutan sebagai kata pinjaman. Karena bahasa Indonesia “meminjam” banyak dari bahasa- bahasa lain, terdapat banyak sinonim, seperti halnya dengan “pustaka” (Sanskerta), “kitab” (Arab) dan “buku” (Dutch), yang artinya dasar (dalam bahasa asalnya masing- masing) sama, dengan perbedaan“ tipis” dalam pengunaan/ artinya dalam bahasa Indonesia.
Metode ilmu linguistik berbandingkan historis
Seperti terlihat diatas satu bahasa bisa melipatkan berbagai unsur dari bahasa- bahasa lain daripada bahasa asalnya (seperti diturunkan dari orang tua kepada anaknya), terutama oleh karena hubungan diantara kebudayaan- kebudayaan. Disampingnya kata dalam satu bahasa ke bahasa yang berikut, dalam evolusi bahasa, bisa berubah melalui zaman. Unsur penting dari metode yang digunakan oleh ahli linguistik bandingkan historis dalam menetukan kerabatan bahasa serta mengadakan pengelompokan bahasa- bahasa, adalah sebagai berikut: Core or basic vocabulary (kosa kata dasar)
Dalam pemerikasaan bahasa- bahasa ahli linguistik memfokusi kepada kata- kata yang dianggap menjadi syarat hidup- matinya sebuah bahasa, yaitu kata dasar yang dimiliki bahasa tersebut sejak awal perkembanganya. Kosa kata ini, seperti juga nama metodenya, disebut kosa kata dasar (core/ basic vocabolary) atau perbendaharaan kata dasar. Metode in bertolak dari satu asumsi bahwa perbendaharaan kata dalam suatu bahasa dapat dibedakan dalam dua kelompok yang besar, yaitu: 1. Kata- kata yang tidak gampang berubah, misalnya kata- kata mengenai anggota tubuh, katakata ganti, kata- kata yang menyatakan perasaan, kata- kata yang bertalian dengan cuaca dan alam, kata- kata bilangan, dan kata- kata yang berhubungan dengan alat dan perlengkapan rumah tangga yang dianggap ada sejak permulaan. Semua kata in dimaksudkkan dalam sebuah kelompok yang disebut kosa kata dasar. 2. Kata- kata yang mudah berubah, yaitu kata- kata yang dipinjamkan kepada/ dan dari bahasa lain. Misalnya kata untuk bahan/ barang yang mudah difusi atau yang bahan berdagang serta petemuan baru, seperti baju, meja, kursi lampu. Kata- kata ini disebut kata- kata budaya (cultural words). Essential grammatical elements (unsur tata bahasa)
Karena struktur tata bahasa juga dianggap tidak gampang merubah, unsur tata bahasa tertentu diamati dengan maksud mengverifikasi salah satu teori kerabat diantara dua bahasa. Sebagai contoh, misalnya pengunaan kata bantuan untuk menentukan waktu/ masa kisah dalam satu bahasa daripada mengunakan sistem morfem terikat atau perubahan fonetis yang teratur dengan fungsi/ tujuan yang sama, bisa menujukan kepada tingkat kerabat bahasa terkait. Perubahan kosa kata
Metode- metode lain yang digunakan dalam menentukan tingkat kerabat bahasa- bahasa serta melaksanakan pengelompokan bahasa- bahasa, adalah menentukan aturan perubahan pada kosa kata (arti/ semantik) tertentu, seperti dipelopori oleh Jakob Grimm dengan hukum “Lautverschiebung”. Untuk menentukan lebih lanjut hubungan kerabat diantara beberapa bahasa dengan jumlah kosa kata yang sama atau semirip, digunakan metode yang disebut inovasi atau pembaharuhan. Metode ini bertolak dari suatu asumsi bahwa pada satu waktu, karena suatu alasan atau sebabsebab tertentu, suata bahasa kerabat memperbaharuhi satu atau lebih kosa kata dasarnya.
Pembaharuan ini terjadi bukan karena pinjaman atau pengaruh dari luar, akan tetapi karena daya tumbuh dari bahasa itu sendiri. Dengan mengadakan kata- kata dasarnya, maka hal itu menjadi pertanda bahwa sudah tumbuh pula suatu inti bagi suatu kelompok bahasa yang baru. Inovasi pertama- tama terjadi karena salah ucap atau salah tulis sebuah kata dalam transsisi teks. Pembaharuan bisa mengakhibatkan terjadi perubahan makna. Dalam perjalanan waktu ada kata tua yang berubah maknanya, sedangkan dalam bahasa kerabat yang lain makna dan bentuk fonetis tua tetap dipergunakan. Contoh dalam konteks bahasa Indonesia adalah kata “hulu”. Kata “hulu” dulu berarti “kepala”, seperti masih bertahan dalam berberapa bahasa Austronesia Barat. Dalam bahasa Melayu dan Indonesia kata “hulu” berupa makna sehingga berarti “tangkai”, “bagian udik sungai”. Kadang- kadang terjadi bahwa dalam bahasa yang sudah mengalami inovasi makna tersebut, makna lama masih bertahan dalam ungcapan tertentu, sehingga masih mengandung fungsi periferal (contoh: „penghulu“), sementara makna yang baru dengan bentuk yang lama itu menduduki fungsi primer. Bentuk- bentuk tua dengan makna yang lama yang masih bertahan dalam bahasa sekarang disebut “relik”, sedangkan bentuk yang diperbaharuhi disebut inovasi. Leksikostatistik/ Glotokronologi (Lexicostatistics/ Glottochronology)
Metode-metode linguistik bandingkan historis lain yang digunakan untuk pengelompokan bahasa dan perkiraan usia bahasa, terkenal dengan istilah leksikostatistik dan glotokronologi. Kedua istilah tersebut mempunyai berkaitan yang erat dan sering digunakan bersama ataupun sinonim. Pengertian pokok antara kedua istilah ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Leksikostatistik: adalah satu teknik dalam pengelompokan bahasa yang lebih cenderung mengutamakan peneropongan kata- kata (leksikon) secara statistik, untuk kemudian berusaha menetapkan pengelompokan itu berdasarkan prosentase kesamaan dan perbedaan suatu bahasa dengan bahasa lain. 2. Glotokronologi: adalah suatu teknik dalam linguistik historis yang berusaha mengadakan pengelompokan dengan lebih mengutamakan perhitungan waktu atau perhitunhan usia bahasa- bahasa kerabat. Dalam hal ini usia bahasa tidak dihitung secara mutlak dalam suatu tahun tertentu, tetapi dihitung (diperkirakan) secara umum, mislnya mempergunakan satuan ribuan tahun. Dalam kenyataan kedua teknik itu selalu dipakai secara bergandengan, karena untuk menghitung usia bahasa dengan “glotokronologi” harus dipergunakan “leksikostatistik”. Sebaliknya untuk mengadakan pengelompokan bahasa dengan metode “leksikostatistik” tersirat juga masalah waktu, yang menjadikan landasan bagi pengelompokan itu. Sebab itu untuk selanjuutnya dalam mengadakan pengelompokan bahasa- bahasa berlandasan usia bahasa, kedua istilah tersebut dipakai dengan pengertian yang sama. Perkembangan metode leksikostatistik/ glotokronolgi berkait dengan dua tokoh Amerika, yaitu Edward Sapir dan Morris Swadesh. Lahir di Jerman Edward Sapir (1884- 1939) belajar dengan Frans Boas di AS., dan kemudian menjadi guru esar di Chikago dan Yale. Ia terkenal sebagai pelopor dalam linguistic antrhopology, dan linguistik aliran “american structural
linguistics”. Tokoh ini adalah salah satu ahli yang menunjukan dan meneliti hubungan erat diantara bahasa dan kebudayaan. Teorinya yang pertama kali dikemukakan 1921 kemudian dikembangkan oleh muridnya Benjamin Whorf sejak 1940 dan terkenal sekarang sebagai SapirWhorf hypotesis. Sapir meneliti berbagai bahasa- bahasa penduduk asli Amerika Utara termasuk Athabaskan, Chinook, Navajo, Nootka, Paiute, Takelma, Wishram dan Yana. Morris Swadesh (1909- 1967) belajar dibawa Edward Sapir dan mengembangkan unsur pikiran Sapir mengenai hubungan kronologis diantara kebudayaan dan bahasa. Dari penelitian- penelitian yang dilakukan terhadp berbagai bahasa – bahasa Sapir memperoleh empat asumsi dasar sebagai titik tolak untuk metode lexicostatistics/ glottochronology, yaitu: 1. Sebagian kota kata suatu bahasa sukar sekali berubah bila dibandingkan dengan bagian lainya. 2. Ketahanan (retensi) kosa kata dasar adalah konstan sepanjang masa. 3. Perubahan kosa kata dasar pada semua bahasa adalah sama. 4. Berdasarkan prosentase kerabat dua bahasa, dapat dihitung waktu pisah kedua bahasa tersebut. Asumsi pertama sesuai dengan pengertian kosa kata dasar, seperti telah diurai diatas. Moris Swadesh mengusulkan sekitar 200 kosa kata dan menyusun daftar kosa kata dasar yang berdiri dari 100 kata yang kemudian terkenal sebagai Shwadesh list. Daftar kosa kata dasar tersebut berdiri dari kata- kata ganti, kata- kata bilangan, kata mengenai anggota badan serta sifat dan aktivitas, kata- kata alam dan sekitarnya dan kata perlengkapan sehari hari yang dianggap sebagai unirversal. Berikut sebagian kata-kata dalam Shwadesh list dalam uturan abjad a- d: 1. Abu 14. Bagaimana 27. Benih 40. bunga 2. Air 15. Baik 28. Bengkak 41. bunuh 3. Akar 16. Bakar 29. Berenang 42. buru 4. Aku 17. Balik 30. Berjalan 43. buruk 5. Alir 18. Banyak 31. Berat 44. burung 6. Anak 19. Bapak 32. Beri 45. busuk 7. Angin 20. Baring 33. Besar 46. cacing 8. Anjing 21. Baru 34. Bilamana 47. cium 9. Apa 22. Basah 35. Binatang 48. cuci 10. Api 23. Batu 36. Bintang 49. daging 11. Apung 24. Beberapa 37. Buah 50. dan 12. Asap 25. Belah 38. Bulan 51. danau 13. Awan 26. Benar 39.bulu 52. darah Asumsi kedua dan ketiga yang diuji dalam beberapa bahasa, diantaranya ada yang memiliki naskah-naskah tulis, menunjukan bahwa dalam setiap 1.000 tahun, kosa kata dasar satu bahasa bertahan dengan angka rata- rata 80,5%, yaitu dapat dirumuskan bahwa dari daftar kosa kata dasar satu bahasa dengan jumlah 200 kata, setelah 1000 tahun akan tinggal 161 kata (80,5 x 200 = 161). Selanjutnya sebagai kesimpulan berdasarkan asumsi- asumsi diatas dapat menentukan usia perpisahan diantara dua bahasa kerabat sebagai berikut: Jumlah kata kerabat diantara dua bahasa 200- 162 161- 132
Usia (tahun) perpisahan antara bahasa tersebut 0 - 500 500 - 1000
131- 106 105- 86 85- 70
1000- 1500 1500- 2000 2000- 2500 ....dan seterusnya [ Keraf 1996: 125]
Beberapa ahli membantah asumsi- asumsi yang mendasarkan teknik Leksikostatisktik/ Glotokronologi, terutama halnya bahwa retensi kosa kata dasar sama diantara semua bahasa bahasa, termasuk bahasa dengan naskah tulis dan bahasa lisan (tanpa naskah tulis). Kalangan besar ahli linguistik menganggap metode tersebut sah untuk mendapat mengelompokan dan menetapkan hubungan dan tingkat kerabatan bahasa- bahasa. Dengan mempergunakan dasar-dasar leksikonstatistik, Morris Shwadesh mengusulkan suatu klasifikasi untuk mendefinisi perbedaan diantara bahasa, dialek, keluaraga bahasa dan rumpun bahasa, dengan menetapkan angka kerabatan diatas 81 % sebagai dialek, angka diantara 80%36% sebagai keluarga bahasa dan persentase diantara 35%- 12% sebagai rumpun bahasa. Klasifikasi Shwadesh seperti dikemukakan diatas hanya berlaku sebagai dasar, dan kadang istilah- istilah tertentu dalam satu kasus tidak digunakan serentak oleh semua ahli.
Etnolinguistik (Ethnolinguistics) Salah satu topic atau usaha penting dalam ilmu ethnolinguistics adalah mencatat keanekaragam bahasa- bahasa di dunia, serta menyelidiki kesamaan dasar mereka. Dimana tampak langsung hubungan erat atau kesamaan dengan tujuan historical linguistics, sehingga klasifikasi bahasabahasa dunia dapat dilihat sebagai bidang interdisipliner dengan ahli- ahli, yang masing- masing mempunyai latar belakang yang lebih cenderung kepada linguistik maupun pada etnologi atau antropologi. Ahli-ahli linguistik bandingkan historis dan etnolinguistik tersebut telah berhasil menglasifikasi, kebanyakan bahasa bahasa di dunia dalam berbagai keluarga dan rumpun bahasa tertentu. Menurut “Ethnologue language family index“ jumlah bahasa yang “hidup” di dunia mencapai 6.809 bahasa, yang tersebar di beberapa wilayah dunia sebagai berikut dapat dibagidengan 1.013 bahasa di benua Amerika, 2058 Total Living Languages . Percentage The Americas 1,013 15% Africa 2,058 30% Europe 230 3% Asia 2,197 32% The Pacific 1,311 19% -------------------------------------------------------------------------------TOTAL 6,809 [http://www.ethnologue.com] Salah satu rumpun bahasa, disamping bahasa- bahasa Indo- Eropa, yang sejak lama dan dengan baik diteliti oleh ahli linguistik dan antropologi adalah rumpun bahasa Austronesia. Rumpun bahasa Austronesia, adalah rumpun bahasa yang tersebar paling luas secara geografis, sebelum
ekspansi kolonial bangsa- bangsa Eropa memperluas penyebaran bahasa Eropa tertentu. Dari pulau Madagaskar sebelah timur benua Afrika sampai pulau Rapa Nui (Easter- Island) di Laut Pazifik, dari Taiwan sampai ke Selandia Baru, termasuk kepulauan dan benua Asia Tenggara terdapat bahasa- bahasa dengan kerabatan yang menunjukan berkembangan dari satu protobahasa yang sama. Rumpun bahasa lain yang terdapat di wilayah daratan Asia Tenggara di disebut Autro- Asiatik, yang sekaligus mempunyai bertalian dengan rumpun bahasa Austronesia. Berikut klasifikasi dasar kedua rumpun bahasa tersebut: Rumpun Austro- Asiatik terbagi atas empat kelompok dengan masing masing sub- kelompok terpenting, yaitu: - Austro- Asiatik Barat dengan bahasa- bahasa Khasi, Nikobar dan Wa- Palaung- Riang. - Austro- Asiatik Timur dengan bahasa- bahasa Mon, Khmer dan Moi - Champa dengan bahasa- bahasa Cham, Raglai, Jarai, dan Rade. - Yumbri Rumpun Austronesia mempunyai selusin cabang utama, yang mana salah satu nyaris ditemukan eksklusif di Taiwan dan pulau pulau dekat (Bahasa bahasa Formosa, yang tidak bertalian ke Cina). Semua bahasa Austronesia yang dibicara di luar Taiwan, terkecuali Yami, termasuk cabang Melayu-Polinesia, yang kadang-kadang juga disebut Extra-Formosan. Mengenai tingkat kerabat bahasa bahasa Formosa klasifikasi Austronesia berikut menyusul dua rancang: Austronesian Formosian classification I
Amis Atayalic Bunun Kulunic Paiwan Puyuma Rukai Saisiyat Thaoic Tsouic Malayo-Polynesian (see below)
Yang tak terklasifikasi (unclassified) Austronesian Formosan classification II
Atayalic "Tsou-Malayo-Polynesian" o Tsouic (includes Rukai) o "Paiwan-Malayo-Polynesian" Paiwanic (includes Amis, Bunun)
Malayo-Polynesian (see below)
Consensus Malayo-Polynesian classification (Wouk & Ross 2002) Malayo-Polynesian
Outer Hesperonesian, or Outer Western Malayo-Polynesian: Borneo and the Philippines: Many small groups of languages, with the most important languages being Tagalog, Cebuano, Hiligaynon, Ilokano, Kapampangan, Malagasy Nuclear Malayo-Polynesian (possibly dispersed from Sulawesi) o Sunda-Sulawesi, or Inner Western Malayo-Polynesian: Western Indonesia: Javanese, Sundanese, Malay (Malaysian/Indonesian), Cham (of Vietnam), Balinese, Buginese (of Sulawesi), Chamorro (of Guam), Palauan o Central-Eastern Malayo-Polynesian Central Malayo-Polynesian: Around the Banda Sea: Languages of Timor, Sumba, Flores, and the Malukus Eastern Malayo-Polynesian, or "Melanesian", if this is taken to subsume Micronesian and Polynesian Halmahera-Geelvink Bay: Languages of Halmahera and western Irian Jaya, the most important being Buli and Biak Oceanic West Oceanic: Languages of coastal New Guinea from Jayapura east, and the Solomon Islands Manus, possibly including the language of Yap, in Micronesia East Oceanic South Solomons South Vanuatu Remote Oceanic New Caledonia, the most important being Paicĩ Loyalty Islands North Vanuatu Micronesian, such as Chuukese, Gilbertese Fijian-Polynesian languages, such as Samoan
Hubungan antara bahasa dan kebudayaan Hubungan diantara kebudayaan dan bahasa suatu bangsa atau kelompok etnis adalah topik lain dari ilmu etnolinguistik. Topik ini bisa disebut kajian sinkronik atau teoretis dalam cabang ilmu tersebut dibandingkan dengan kajian diakronik yang meliputkan klasifikasi dan pengelompokan bahasa tersebut diatas. Kajian teoretis ethnolinguistics atau linguistic antropology membangkit dengan pikiran yang dimengemukakan oleh Edward Sapir dan Benjamin Whorf yang kemudian terkenal sebagai Sapir- Whorf Hipotesis. Teori tersebut sangat mempengaruhi diskusi ilmu Antropologi serta linguistik sampai sekarang, dan karena itu akan diuraikan lebih terinci berikut, termasuk data biografis kedua tokoh tersebut dan kutipan terkemuka.
The Sapir- Whorf Hipotesis
Edward Sapir : 1884: Born in Poland (then Prussian) to Lithuanian Jewish parents. 1901-1909: Columbia University. B.A. and MA in German, Columbia University (1904, 1905). 1907-1908: Collaborated with Alfred Kroeber to map indigenous languages of California. Studied with Boas 1909 Ph.D. in Anthropology. 1910-1925: Canadian Geological Survey. 1925-1930: University of Chicago. 1931-1939: Yale University. 1939: Died.
Benjamin Lee Whorf: 1897: Born in Winthrop, Mass. 1913: BS in Chemical Engineering, MIT. 1919-1930: Insurance inspector. 1931-1935: Studied Linguistics and Anthropology with Sapir at Yale. 1936-1938: Researcher and Lecturer in Anthropology at Yale. 1941: Died.
“Human beings do not live in the objective world alone, nor alone in the world of social activity as ordinarily understood, but are very much at the mercy of the particular language which has become the medium of expression for their society. It is quite an illusion to imagine that one adjusts to reality essentially without the use of language and that language is merely an incidental means of solving specific problems of communication or reflection. The fact of the matter is that the ‘real world’ is to a large extent unconsciously built upon the language habits of the group. No two languages are ever sufficiently similar to be considered as representing the same social reality. The worlds in which different societies live are distinct worlds, not merely the same world with different labels attached ... We see and hear and otherwise experience very largely as we do because the language habits of our community predispose certain choices of interpretation.” (Sapir 1929: 69) “We see and hear and otherwise experience very largely as we do because the language habits of our community predispose certain choices of interpretation”. (Edward Sapir quoted by. Whorf 1939: 134) “We dissect nature along lines laid down by our native languages. The categories and types that we isolate from the world of phenomena we do not find there because they stare every observer in the face; on the contrary, the world is presented in a kaleidoscopic flux of impressions which has to be organized by our minds – and this means largely by the linguistic systems in our minds. We cut nature up, organize it into concepts, and ascribe significances as we do, largely because we are parties to an agreement to organize it in this way – an agreement that holds throughout our speech community and is codified in the patterns of our language.” (Whorf 1940: 213-14)
Titik tolak yang mendasarkan teori Sapir- Whorf, terkenal juga sebagai “linguistic relativity”, dengan artinya bahwa suatu bahasa (bahasa ibu) yang seorang bicara mempengaruhi tampaknya realitas. Yaitu sudut pandang yang telah dipelopori oleh Wilhelm v. Humbuldt dengan “Weltansicht- hipotesis”. Istilah “linguistic relativity” termasuk anggapan bahwa konsepsi yang berdasarkan bahasa seorang, mempengaruhi cara berfikir (atau akal) orang tersebut, termasuk cara mengatasi kesulitan atau menyelesaikan persoalan. Titik tolak teori Sapir- Whorf juga dinamakan dengan istilah yang berbunyi berlawanan yaitu “linguistic determinism”, dengan artinya bahwa suatu bahasa menentukan cara dengan yang mana seorang mengamati dan mengatur realitas. Posisi yang diwakili oleh kedua istilah tersebut memusar mengenai “tingkat” ketentuan (determinasi) diantara determinasi tegas atau lemah. Sedang banyak cendekiawan menolak versi teori tegas, menurut bahasanya menentukan akal seorang, versi yang lemah menurut yang mana akal seorang dipengaruhi oleh bahasanya, disetujui oleh kalangan besar. Seperti dapat dilihat dalam kutipan berikutnya, Whorf sendiri mewakili posisi yang lebih cenderung kepada “linguistic relativity” atau “weak determinism”. “There are connections but not correlations or diagnostic correspondences between cultural norms and linguistic patters”. (Whorf 1939: 159) Edward Sapir merumuskan masalah tersebut, setelah meneliti beberapa bahasa- bahasa Indian Amerika, dan muridnya Whorf kemudian mengembangkan teori tersebut berdasarkan pengalaman sebagai inspektur asuransi kebakaran serta hasil dari penelitian bahasa Hopi. Bahasa Hopi mempunyai beberapa unsur bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Eropa (Inggris), sehingga Whorf mengemukakan beberapa pertanyaan dan tanggapan. Seperti dikutip berikut: “Are our own concepts of ‘time,’ ‘space,’ and ‘matter’ given in substantially the same form by experience to all men [sic], or are they in part conditioned by the structure of particular languages?”... “ Are there traceable affinities between (a) cultural and behavioural norms and (b) large-scale linguistic patterns?” (Whorf 1939: 138) “...the cue to a certain line of behaviour is often given by the analogies of the linguistic formula in which the situation is spoken of.” (Whorf 1939: 137) “Our language patterns often require us to name a physical thing by a binomial that splits the reference into a formless item plus a form” (Whorf 1939: 141). Contoh dalam bahasa Inggris termasuk: “cup of coffee,” “stick of butter,” dan “piece of meat”. Dimana menurut Whorf Hopi dalam setiap contoh hanya akan mengunakan satu kata tertentu. “The noun itself implies a suitable type-body or container.”...“the give-and-take between language and the culture as a whole where is a vast amount that is not linguistic but yet shows the shaping influence of language”. (Whorf 1939: 147). “As in my fire casebook, people act about situations in ways which are like the ways they talk about them” (Whorf 1939: 148).
“The formal equality of the spacelike units by which we measure and conceive time leads us to consider the ‘formless item’ or ‘substance’ of time to be homogenous and in ratio to the number of units. Hence our prorata allocation of value to time, lending itself to the building up of a commercial structure based on time-prorata value: time wages […], rent, credit, interest, depreciation charges, and insurance premiums” (Whorf 1939: 153). “One phase of this is behaviour evincing a false sense of security or an assumption that all will always go smoothly, and a lack in foreseeing and protecting ourselves against hazards. Our technique of harnessing energy does well in routine performance, and it is along routine lines that we chiefly strive to improve it—we are, for example, relatively uninterested in stopping the energy from causing accidents […], which it is doing constantly”. (Whorf 1939: 154) “Concepts of ‘time’ and ‘matter’ are not given in substantially the same form by experience to all men [sic] but depend upon the nature of the language or languages through the use of which they have been developed”. (Whorf 1939: 158) “There are connections but not correlations or diagnostic correspondences between cultural norms and linguistic patterns” (Whorf 1939: 159) Terutama empat hal dianggap sebagai bukti yang dapat mendukung teori dari SapirWhorf: 1. Codifiability14 differences among languages, i.e., what ‘gets lost’ in translation from one language to another. Latin: two words for blood: sanguis (blood inside the body), cruor (blood flowing outside the body). This is the least compelling class of evidence. Experts always have an elaborate vocabulary for mapping a domain of experience. 2. Linguistic codifiability and behavioral concomitants. Experimental evidence shows that the ability to recognize certain distinctions in the color spectrum (e.g., that between blue and green) is affected by the number of distinctions found in the particular vocabulary. Even though all speakers have the physiological ability to perceive distinctions among the primary colors, the particular vocabulary determines how easy it is for a speaker of a given language to recognize those distinctions. 3. Linguistic structure and cultural concomitants. The grammar, rather than mere codifiability differences, is what tells us about worldview. For example, in Navajo, there is no clear grammatical separation between the action and the actors and objects involved in that action. 4. Linguistic structure and behavioral concomitants. For example, Navajo verb forms encode shape, flatness and flexibility of objects acted upon. In a study aboutt parameters that are used to class three objects presented to speakers of Navajo. The Navajo subjects tended to group together two flat objects over two blue objects, etc. 14
Istilah „codifiability“ dapat terjemah sebagai „kemampuan menentukan“
Dengan pengembangan dan perluasan penelitian bahasa- bahasa di dunia, jumlah contoh yang menunjukan keanekaragam dan variasi konsepsi linguistik mengenai kenyataan- kenyataan alam makin meningkat. Misalnya suku bangsa Eskimo yang mempunyai 22 istilah yang berbeda untuk salju, sedang suku bangsa lain hanya beberapa. Meskipun demikian, pendebat dalam kalangan ahli linguistik dan antropologi berlanjut mengenai hal entah kemampuan konsepsi menuntut struktur bahasa atau sebaliknya struktur bahasa menentukan kemampuan konsepsi. Mengenai kasus salju tersebut, pertanyaan adalah: “Bilamana juga anggota suku bangsa lain, mendapat mengerti variasi konsepsi salju yang terdapat dalam bahasa Eskimo?” meskipun pengalaman misalnya tidak meliputkan “salju”. Salah satu kenyataan yang berlawan dengan sudut pandang “linguistik determinism”, ialh kemampuan manusia untuk belajar satu bahasa kedua atau lebih yang mempunyai variasi konsepsi yang sangat berbeda dengan “bahasa ibunya” atau bahasa pertama. Secara ringkas dapat menyimpulkan, bahwa pendebat tersebut adalah: “entah akal manusia menentukan bahasa atau bahasa menentukan akal manusia?” Atau dengan kata lain pertanyaan mengenai asal mula bahasa.
Sosiolinguistik (sociolinguistics) Konsep variasi bahasa
Kajian etnolinguistik lain, yang mengembang secara interdisipliner dengan sosiolinguistik , terutama terakhir dua dekade belakang ini, termasuk variasi- variasi yang terdapat dalam satu bahasa yang terkenal dengan istilah sosiolek dan idiolek. Perbedaan dengan dialek sebagai variasi geografis , idiolek dan sosiolek terdapat diantara penganut satu bahasa setempat atau dengan kata lain, bagian dari penganut satu bahasa resmi mengunakan (berbicara) salah satu variasi dari bahasa resmi tersebut secara individual (idiolek) atau berkelompok (sosiolek). Yang bermaksud dengan idiolek, ialah variasi bahasa ciri khas seorang sendiri. Variasi ini tidak bersifat umum dan biasanya hanya meliputkan beberapa unsur khas yang satu individu memiliki dalam mengunakan bahasanya, dan tidak menghambat komunikasi dengan penganut sesama bahasa serta. Konsep sosiolek digunakan untuk variasi satu bahasa tertentu yang digunakan oleh kelompok masyarakat dengan status sosial tertentu. Variasi bahasa sosiolek tidak hanya melibatkan perbedaan leksikal akan tetapi juga sintaksis dan tata bahasa. Konsep ini berbeda dengan jargon atau slang yang adalah juga variasi (leksikal) satu bahasa, akan tetapi variasi yang tidak berkait dengan kelas sosial yang resmi atau formal, akan tetapi variasi yang lebih berkait dengan situasi/ lingkungan atau kegiatan, seperti jargon “penguna” narkoba atau pencuri. Konsep sosiolek berbeda juga dengan konsep standard language (bahasa resmi), yang mana adalah bahasa yang ditetapkan untuk pidato (pembicaraan) umum, meskipun sering sosiolek dari elit sosial satu masyarakat menjadi standard language.
Language and gender (bahasa laki laki dan bahasa perempuan )
Kajian sosiolinguistik termasuk juga mengpenelitian dan teori tentang variasi bahasa berdasarkan gender (konsep kelamin), terutama di berbagai bahasa bahasa Indo- Eropa. Sebagai peninjauan mengenai kajian tersebut, berikut kutipan dari satu makalah 15: Gender, Status and Power in Discourse Behavior of Men and Women Fed by the advances of civil rights in the United States during the 1960s and 1970s, the feminist movement also gained momentum. At the same time, sociolinguistics provided mechanisms for the scientific investigation of language variation on the basis of both socio-economic and gender factors. With respect to a number of sociolinguistic factors including gender these studies investigated linguistic features such as phonological variability of male and female differences. The goal, on the one hand, was to determine the stratification of these variables and, on the other hand, to find support for a mechanism of synchronic change. The differential use of these variables was interpreted as constituting a gender pattern. Women were found to be closer to a prestige norm than men. Women, it seems, are considerably more disposed than men to upgrade themselves into the middle-class and less likely to allocate themselves to the working-class - a finding which confirms the common observation that status consciousness is more pronounced among women. (Martin 1954:58) Additional confirmation comes from self-evaluation studies. The percentages of overreporting by women and those of under-reporting by men on the (er)-variable in East Anglia, for instance, show a significant difference.
Overreporting Underreporting Accurate
Total 43
Male 22
Female 68
33
58
14
23
28
18 (based
on
Trudgill
1998:26)
These quantitative studies on the relationship between gender and variable language use are contrasted with qualitative (interpretive) approaches. In her seminal publications Lakoff (1975) claimed that the differential use of language needed to be explained in large part on the basis of women's subordinate social status and the resulting social insecurity. Lakoff observed that women's use of color terms (mauve, ecru, lavender), of adjectives (divine, adorable), their frequent use of tag-questions (John is here, isn't he?) and weak expletives (Oh fudge I've put the peanut butter in the fridge again!) differed radically from male use. Taking her cue from Bernstein's (1972) theory of language codes she claimed that women's linguistic behavior is deficient when 15
Makalah ini terdapat dalam internet dibawa „Linguistik online 5, 1/00“
contrasted with male speech behavior. As one explanation for this deficiency she pointed to the differences in the socialization of men and women. At the same time another qualitative approach to male-female speech variation developed (Thorne/Henley 1975, Maltz/Borker 1982). Cultural rather than factors of socialization were seen as being responsible for speech differentiation. Women and men are seen as constituting subgroups of the speech community. Finally, social constructivist approaches emphasize the notion of "doing gender" which "involve complex socially guided perceptual, interactional, and micropolitical activities" (West/Zimmermann 1991: 13-14). This in turn was the basis for the suggestion to use the category gender as a point of departure for the analysis of variation (Kramarae 1986, Torres 1992). One of the major criticisms of quantitative studies regarding the gender variable is related to methodological considerations. Coates/Cameron (1989:17) remark that "men's linguistic behavior is seen as normal; when women's differs, it has to be explained". Claims made by the qualitative or interpretative paradigm, on the other hand, do not only include the linguistic and social contexts of the speech situation, but also the cultural and psychological ones. Linguistic Variables Interactional patterns in same-sex and cross-sex studies provide evidence for the fundamental difference between men's and women's linguistic behavior. In this section I will give a short account of question tags and interruptions. Other studies on language use in communication with respect to amount of speech and control of topic show similar patterns for the distribution of variation between men and women. Question
Tags
Lakoff (1975) observed that, in certain contexts, women use question tags more frequently than men do. She defines the tag-question as: „a declarative statement without the assumption that the statement is to be believed by the addressee: one has an out, as with questions. [The] tag gives the addressee leeway, not forcing him [sic] to go along with the views of the speaker.“ (Lakoff 1975:16) Furthermore, she claims that downtoning a statement shows lack of confidence. Support for this position comes from those situations in which either verification of the statement can be made by mere inspection: John is here, isn't he? or where it reflects the opinion of the speaker: The way prices are rising these days is horrendous, isn't it? Clearly, these sentences need not be questioned and, thus, demonstrate the speaker's insecurity. As early as 1975, a study showed that these observations would not hold up. In fact, men produced more tag-questions than women. Recent evaluative reaction studies also support this position. Further analyses reveal additional properties of tag-questions. In addition to expressing uncertainty, insecurity and the wish to be accepted (cf (1)), tagquestions also function as expressions of politeness, as hedging and boosting devices.
Moreover, they facilitate communication. In (2) the speaker's haven't you gives the addressee, Andrew, a chance to pick up on the topic suggested by the speaker and get into a conversation with Frank. (1) Showing insecurity: I graduated last year, didn't I? (2) Facilitating conversation: Andrew this is our new neighbor, Frank. Andrew has just changed jobs, haven't you? (Holmes (1992: 318)) For the different functions of the tag-question, Holmes (1992: 319) reported the following results: Function of tag Expressing uncertainty Facilitative Softening Confrontational Total N
Women 35%
Men 61%
59% 6% -100% 51
26% 13% -100% 39
As can be seen, men use question tags more often to express uncertainty while women use them largely to facilitate communication. Coates/Cameron define an affective function for tags which are directed toward the addressee and signal solidarity. On the other hand, tag-questions also serve a modal function . As such they are speaker oriented and indicate a request for information or a confirmation of the information. ( Showing 3 solidarity: ) ( Indicating 4 uncertainty: ) (Coates/Cameron 1989: 82)
You were missing last week, weren’t you? His portraits are quite static by comparison, aren’t they?
Coates/Cameron's study of a 45,000-word corpus of the "Survey of English" at University College, London, showed similar results to Holmes' study. Women use more affective-facilitative tags while men use more modal ones. In contrast to Holmes no softening tags were found. With respect to the function of uncertainty and insecurity a further differention should be considered. Coates/Cameron assume an uncertainty on the part of the speaker for the modal function. However, as the contrast with (1) demonstrates, the uncertainty in (4) concerns the information and not the speaker. Function of tag Modal Affective (facilitative) Affective
Women
Men
25% 75%
40% 60%
--
--
(softening) Total Number of Tags
36
60 (based
on
Coates/Cameron
1989:85)
Interruptions, Overlaps and Minimal Responses Interruptions are generally considered to be violations of the rules of conversation. According to Sacks/Schegloff/Jefferson's (1974) model of the structure of conversation, turns of speech are assigned such that the current speaker has the largest options. Particularly in cultures such as the United States, furthermore, it is important that the gap between turns be kept short. This may lead to overlaps at the end of the first speaker's turn and the beginning of the next speaker's turn. By observing the no gaprule overlaps in conversations, therefore, are generally considered as facilitating. Finally, another facilitating strategy is the use of minimal responses. During the turn of the first speaker the addressee will provide agreement or encouragement through short interjections. Given the interactional situation the relationship between interruptions, overlaps and minimal responses is a gradual one. Therefore, it will be necessary to distinguish them on a scalar dimension. The three categories may be delineated along such a scale representing five different aspects of turn-taking: 1. Outright interruptions 2. Overlaps in which the second speaker takes the floor by default (i.e. based on an ensuing silence of the first speaker) 3. Overlaps that allow for a soft transition between the first and second speaker 4. Overlaps at the end of the first speaker's turn that are supportive and may encourage the speaker to continue 5. Minimal responses during a turn Early studies on interruptions and related phenomena seem to indicate a larger tendency on the part of men to interrupt in cross-sex conversations while in same-sex conversations no significant differences were found. Summary The studies on question tags and interruptions, on amount of speech and control of topic in conversations amount to a considerable body of research regarding the differential use of language by male and female speakers. Where the studies differed in the observation and interpretation of the data, significant changes of method resulted. Question tags were seen as constituting different functions depending on context, and interruptions had to be defined more carefully. Overall, the studies support Lakoff's initial observation that status is a major component in the explanation of male-female differences.
Dominance The participants in a conversation use a number of strategies to achieve their conversational goals. One of these goals may be to dominate other participants of the speech situation. The question whether gender or status and power is the motivating force for conversational behavior has been resolved in favor of status and power in the literature. Most studies find that in mixed talks men tend to be more dominating than women. One of the obvious strategies for achieving this goal, as we have seen, is the use of interruptions. Their use is generally explained by the relative power of the participants which derives from their social status. The higher incidence of interruptions, thus, is seen in the relatively high social and economic status of men. Women, on the other hand, are powerless regarding their social position. This is reflected in fewer interruptions in cross-sex conversations. Similarly, low social status is often characterized by passivity and low vitality. This in turn results in the wish to be accepted by the dominating group. The verbal expressions of this accommodating behavior are, among others, tag-question. Nevertheless, personality differences will have to be considered as well. Individual subjects will react differently in certain situations. In addition, maleness and femaleness are not discrete categories. While it is true that statistical means show specific features for men and women standard deviations can be fairly large, resulting in overlap. Indeed, psychological tests of college students in the United States found such an overlap between women and men on a scale of masculinity. Difference Imagine a male speaker who is receiving repeated nods or "mm hmm"s from the woman he is speaking to. She is merely indicating that she is listening, but he thinks she is agreeing with everything he says. Now imagine a female speaker who is receiving only occasional nods and "mm hmm"s from the man she is speaking to. He is indicating that he doesn't always agree; she thinks he isn't always listening. (Maltz/Borker 1998: 422) From this observation, Maltz/Borker conclude that the differences between men's and women's speech can be explained using an anthropological approach in the study of "culture and social organization." Holmes (1998) extends this approach to formulate a set of sociolinguistic universals. Among these are: 1. Women and men develop different patterns of language use. (1998: 462) 2. Women tend to focus on the affective functions of an interaction more often than men do. (1998: 463) 3. Women tend to use linguistic devices that stress solidarity more often than men do. (1998: 468) 4. Women tend to interact in ways which will maintain and increase solidarity. (1998: 472) 5. Women are stylistically more flexible than men. (1998: 475)
Language in Relation to Gender, Status and Power Gender related variability seems to be associated with the difference approach, while the dominance approach is supported mainly by variability on the basis of power. Power, on the other hand, is derived from social, economic and sociohistorical status. The question whether variability must be explained in terms of gender or status, however, cannot be answered conclusively on the basis of the literature discussed so far. Most studies cited here seem to favor the dominance approach. Nevertheless a number of studies cast doubt on this conclusion. Conclusion We have seen that both the dominance and the difference approaches can be employed to explain variation in speech situations. In addition, the personality of the individual and the vitality of the group are also involved in the explanation of variability in language use. There is evidence that the vitality factor in the female subculture is increasing resulting in growing assertiveness. Given such a process, the significance of structures such as tag-questions and of behavioral patterns such as interruptions will diminish for a determination of the differentiation of men and women with respect to language use. Gender and status rather than gender or status will be the determinant categories. [Kunsmann, Felix 2000] Bahasa dan status sosial
Salah satu bentuk sosiolek lain, adalah variasi bahasa tertentu yang bertolak dari status sosial atau kelas sosial dalam satu masyarakat, seperti ditemukan dalam beberapa kebudayaan tradisional yang memiliki stratifikasi horisontal masyarakat yang nyata dan jelas. Contoh terkenal untuk sosiolek ini terdapat dalam bahasa Jawa. Dimana berbagai variasi bahasa atau tingkat bahasa patut dipergunakan dalam komunikasi dengan anggota masyarakat dengan status sosial tertentu. Secara dasar atau umum bahasa Jawa mempunyai tiga tingkat bahasa, yaitu bahasa rendah, menengah dan tinggih. Meskipun ahli linguistik mengamati variasi yang lebih besar yang digunakan berkaitan dengan peristiwa- peristiwa khusus. Salah satu sosiolek lain, yang tidak langsung menunjukan kepada status sosial penganut bahasa, adalah bahasa ritual atau bahasa religius. Variasi bahasa ini sering sinonim dengan bahasa tabu, yaitu variasi bahasa yang hanya boleh dipergunakan dalam konteks kepercayaan/ keagamaan, seperti dalam pelaksanaan ritual. Variasi bahasa religius dapat dibagi dalam dua kelompok dasar, yaitu pertama variasi yang bersifat terutama fungsional atau kontekstual, seperti halnya dengan bahasa Arab dalam agama Islam atau bahasa Latin dalam Agama Kristen Katolik, dan kedua variasi yang lebih bersifat sosial dimana pengunaan variasi bahasa tersebut terbatas pada kelompok masyarakat tertentu, yaitu pemimpin/ perilaku religius.
Asal
mula language)
bahasa
Manusia
(Origin
of human
Sejak berabad-abad kaum cendekiawan berfikir dan menulis mengenai asal mula bahasa manusia. Tetapi sampai saat ini, terdapat hanya sedikit sekali hal- hal yang dapat dianggap sebagai penunjuk nyata mengenai the “origin of language”. Ketidapastian tersebut berdasarkan dua hal, pertama berkaitan dengan pengetahuan mengenai presejarah manusia yang masih rudimenter dan penuh spekulasi, hal yang kedua berdasarkan ciri bahasa yang semula hanya ada bahasa lisan dan tidak meninggalkan bukti arkeologis. Yang kita dapat mendasarkan, ialah tanggapan, bahwa kapan- kapan dalam human evolution salah satu sistem komunikasi verbal timbul dari bentuk proto- linguistik atau nonverbal komunikasi. Penjelasan yang lebih terinci sampai saat ini masih bersifat spekulatif. Kepentingan pengembangkan bahasa atau komunikasi verbal dalam proses yang terkenal sebagai evolusi manusia, tidak dapat diragukan oleh ahli antropologi dan cendekiawan lain, seperti persetujuan terdapat mengenai keunggulan sistem komunikasi manusia yang disebut bahasa itu. Kajian Etologis (Ethological research)
Homo sapiens memiliki sistem komunikasi yang tidak terdapat di mahkluk lain, bahasa verbal manusia adalah unggul dari sisi kemampuan tranformasi informasi. Meskipun semua ahli setujui dengan hal tersebut, pendebat memutar mengenai kemampuan akal atau konsepsional, dalam hal bahwa beberapa penelitian yang dilakukan oleh ahli linguistik dan ahli etologi mengenai kemampuan akal primata (kera besar) menunjukan dan mengemukakan hal yang mentajubkan. Seperti diuraikan dalam maklah berikut: Originally, researchers thought they might be able to teach some unsuspecting apes spoken language. The most successful attempt was made in the 1950s by Cathy and Keith Hayes of the Yerkes Laboratory of Primate Biology in Atlanta. However, after several years of having her lips pulled around and her mouth squished and rearranged, their juvenile chimp, Vicki, could only muster a few words ("Mama," "Papa," "cup," and "up"). Chimps and other non-human primates simply don't seem to have the necessary anatomical apparati to produce human. However, this failure did not deter others from seeking alternate strategies to teach apes language. Two psychologists from the University of Nevada, Beatrix and Allen Gardner, in 1966 became the first researchers to start teaching chimps sign language. Their first student, Washoe, has since been transferred to the tutelage of Roger and Deborah Fouts of Central Washington University. Washoe, nearing age 30, has now used more than 1,000 taught signs in American Sign Language ("Ameslan"), and since instruction of new signs stopped in 1970, she has learned many more by her own observation. Washoe has mastered more than 200 of these signs under the Fouts' "reliable" criteria; a sign is reliable if three different observers see a chimp use a given sign in the correct context on each of fifteen consecutive days.
Washoe has surprised the Gardners and Foutses, and the scientific world, not only by learning hundreds of words, and effectively using them in complex "sentences," but by doing this usually without prompting, in a way eerily similar to the way we ourselves use language. Even with such an extensive vocabulary, Washoe occasionally finds the words she knows lacking, and will simply invent new words when she doesn't know an appropriate one. Such innovations include labeling a fur coat as "hair coat" and a candy bar as "candy banana." A peer chimp, Lucy, came up with "cry hurt food" when she didn't know the word for radish. According to Roger Fouts, Washoe can communicate empathy and sorrow. She signs "hurt" and "sorry" in addition to offering physical comfort when others seem upset. "It shouldn't come as a surprise," says Fouts, "that apes have emotions." Chimpanzees and other apes show significant development of the limbic region of the brain, the area thought to control emotional responses. It would be bizarre if other animals didn't have emotions, Fouts adds. However, we shouldn't expect chimps to communicate all of their emotions through semantic language; we humans certainly don't. Gesture, expression, tone, and other non-semantic features often communicate much more than just words alone. In the wild, Fouts suggests, chimps may take these subtler forms of "language" to the extreme. When other chimps fail to respond to Washoe's signed pleas, she knows to resort to physical communication. Once Washoe spotted a snake near a fellow chimp. She frantically signed "Come hug, come hug" to the chimp, but to no avail. Washoe finally rushed to her friend's side, and led the chimp away from danger by hand. The lab chimps also are able to express another area of their psyche: their curiosity and inquisitiveness. While Washoe only rarely asks questions using proper interrogative pronoun signs (what, where, etc.), she indicates questioning by gestural signals, such as raising her eyebrows, and holding the sign in its position for a long time. This usage is not improper; many deaf humans use similar gestures to make signed sentences into questions. Perhaps the most impressive use of Ameslan by the chimps, according to Fouts, is their use of "private signing." Hidden cameras have recorded the chimpanzees signing things to themselves, even in instances of imaginary play. On one occasion, a juvenile chimp, Loulis, grabbed Washoe's magazine and ran off. Washoe then signed to herself, "Bad, bad, bad!" Fouts notes that chimps will occasionally sign to themselves "Gotta be quiet." Such uses counter arguments that apes only use learned language when "cued" by human trainers, and only for some sort of reward. Washoe and her companions have fulfilled another requirement of language--that of teaching and learning. The young chimp Loulis learned to use Ameslan by observing others, and from others (especially Washoe) molding his hands to form proper signs. Loulis even abides by many of the grammatical rules of Ameslan, without any formal instruction. However, before proclaiming true language use by Washoe and Company, we mustn't forget the sine qua non of language: syntax. Fouts states that Washoe does know certain (but not all) fundamental rules of syntax, such as the
difference between "Roger tickle Washoe" and "Washoe tickle Roger." Imperfect syntax should not negate the importance of this and other ape language studies though. As Fouts argues, language in apes is not black and white; we should strive instead to understand the degree to which apes use language, both in the lab and in the wild. Certain researchers have looked beyond sign language as the lingua franca between humans and chimps. Georgia State's Duane Rumbaugh and Sue Savage-Rumbaugh, originally of the Yerkes Lab in Atlanta, have devised an elaborate automated machine that parcels out goodies to chimps, and shows them slides and video tapes. To operate the machine, and ask it for treats, chimps punch "lexigrams" (symbols composed of various shapes and lines) on a large keyboard. Each lexigram represents a different word. Two closely related species, chimpanzees (Pan troglodytes) and, later, bonobos, or "pygmy" chimps (Pan paniscus), have been pupils of this invented language, which lab workers have labelled "Yerkish”. Two-way communication is possible through the machine. In fact, two chimps, Sherman and Austin, learned to use the machine to ask each other for tools the other possessed in order to open containers of food. Sherman and Austin, and the first student of "Yerkish," Lana, were tested for comprehension of categories of objects. Shown food items and tools, and the lexigrams representing each one, Sherman and Austin were able to arrange new objects into the proper general categories of "food" and "tool" perfectly (except for one instance when Sherman labeled a sponge "food," probably because he occasionally nibbles on them). Poor Lana, however, had seemingly not acquired these abstract concepts. Recently bonobos have shown particular success with Yerkish, perhaps because they forage in larger parties on average than chimpanzees, where social communication between each individual is necessary to maintain group cohesion. Instead of simply responding to questions and commands posed by the machine, bonobos are now using their new language to express themselves spontaneously. Kanzi, a male bonobo, learned Yerkish entirely by watching human trainers and his own mother use the system. Now Kanzi can understand, Savage-Rumbaugh estimates, between two and three thousand spoken English words, as well as all of the 250-plus keys on the Yerkish keyboard. Kanzi is apparently trilingual, if you count bonobish. Kanzi and friends seem to understand many of the complexities of human language. When presented with a tomato, a bonobo will respond to the command "Go and get the tomato that is inside the microwave" by correctly retrieving the distant tomato rather than the one that is visible. Bonobos use Yerkish to discuss things they will do hours in the future, as well as things they did yesterday. They know, for example, the word "later," and use this term to convey activities they plan on doing at another time. They also comprehend the possibility of deceit in language. One bonobo was sitting with Savage-Rumbaugh and another trainer, Liz, when Savage-Rumbaugh placed some M&Ms in a bag, in plain view of the other two. When Liz left the room, SavageRumbaugh took out the M&Ms and replaced them with a bug. The bonobo signalled
"bad" in light of her trainer's chicanery. When Liz came back and looked through the bag for the candy, Savage-Rumbaugh asked the bonobo what Liz was looking for. It signalled "M&M," despite the fact that they were not in the bag. Human children up to the age of four or five would likely answer instead "bug," not being able to separate the knowledge of the duped assistant from their own knowledge. As for the dreaded "s" word--syntax--the chimps taught Yerkish apparently understand spoken English syntax perfectly well (as the tomato example shows). In his signed "utterances," Kanzi employs what Savage-Rumbaugh labels "protogrammar." Like Washoe, he seems to have rules he has worked out on his own. However, Savage-Rumbaugh maintains that the ability to communicate complex ideas and messages, rather than the specific order of the messages' component parts, is what indicates a profound comprehension of language use. It is "extraordinarily anthropocentric," says Savage-Rumbaugh, to expect apes to use language in exactly the same way we do. One initial skeptic of these studies was Herb Terrace of Columbia University. He trained a young chimp, Nim, in Ameslan. He then performed an exhaustive study of Nim's use of word order. Nim rarely used any regular pattern in combining words, and when he did, he seemed to be merely copying the previous statement of the trainer. Most researchers in primate language have not taken this critique to heart; first of all, Nim was only a juvenile, and even juvenile human children have trouble with word order. Also, Nim had dozens of different human trainers; this instability may have impeded his progress in acquiring proper grammar. Moreover, it is the way chimpanzees use language as a whole, rather than their use of specific syntactic relations, that most impresses scientists. Their ability to manipulate language for the purposes of deception may most effectively prove that they are using language in thoughtful ways. Anecdotal evidence from field studies has demonstrated duplicity in primate behavior in the wild. Jane Goodall has commented on numerous instances when individual chimps, foraging in a larger group, will come across a source of food, not give a food-location call, and later circle back when the others are out of sight to eat it up. Working with language-trained chimps, David Premack, recently retired from the University of Pennsylvania, performed an experiment in which chimps were instructed to indicate to two different trainers where food was hidden in their enclosures. One trainer would always share the food with the chimps, while the other one would always eat all the food himself. Gradually, the chimps learned to withhold accurate information from the "greedy" trainer, and would often mislead him or her with their signals. Roger Fouts notes that, while discerning chimp intentions is essentially impossible (as it is with humans), chimps do demonstrate as wide a spectrum of deceit as is found in human behavior. Gorillas (Gorilla gorilla) are not the monsters we make them out to be--they are, rather, "peace-loving vegetarians" according to Francine Patterson of the Woodside, California-based Gorilla Foundation. Patterson's acquisition of a baby gorilla named Hanabi-Ko (Japanese for "fireworks child"), or "Koko" for short, has done
much to turn back the tide of gorilla bad press. Koko has since used American Sign Language to show the world her sensitive, humorous, and often stubborn personality. Patterson has had a hard time keeping track of Koko's vocabulary--the gorilla has used many hundreds of different signs (matching and then surpassing the chimps' performance) with varying frequency since Project Koko's inception in 1972. Patterson stresses, however, that having a huge vocabulary isn't all that necessary; fluent human Ameslan users can get by easily with 500 to 1,000 signs, compounded by gesture and expression. An English dictionary may have as many as 200,000 words, while an Ameslan version has only 2,000. English may be unnecessarily wordy, verbose, prolix...(you get the point). A study of graduate-level essays at Stanford University found that students used on average only 300 different words per essay--and graduate students are renowned for being excessively prolix. Although getting Koko to use her knowledge of sign-language has proven difficult at times, her stubborness has also provided insight into her grasp of Ameslan. Once when Patterson was drilling Koko on anatomical terminology, the gorilla signed, "Think eye ear eye nose boring." One undoubtedly thinks of human schoolchildren when reading that statement. Like Washoe, Koko has created new terms for unnamed objects: "elephant baby" for a Pinnochio doll; "bottle match" for a cigarette lighter; and "eye hat" for a mask, to name a few. Koko has displayed her comprehension of the representative nature of words additionally through "overgeneralizations"--a term for when one learned sign takes on new meanings. Patterson notes that, having learned "straw," Koko applied this sign as a name for plastic tubes, hoses, and even cigarettes. "Tree" similarly came to signify asparagus and scallions. Responding to spoken English as well as Ameslan, Koko also can understand the relationship between spoken and signed words. This link is most evident in her interest in rhyme. Patterson reports that Koko can use Ameslan signs to "rhyme" words that would rhyme if spoken aloud in English. She once signed "flower stink fruit pink," and when Patterson remarked about her rhyme, Koko continued, "Love meat sweet." Koko's a poet, and apparently she knows it. Koko also is a comedian, according to Patterson. One target of her humor, and ridicule, is a researcher named Ron. When asked, "Who Ron," Koko responded, "Stupid devil." When later asked "What is funny?" Koko demonstrated her mastery of sarcasm: She signed "Koko love Ron" and gave him a kiss, grinning the whole time. This gorilla has also mastered a less honorable technique: lying. Once, when playing roughly, Koko nipped a trainer, and then signed "Not teeth." Reprimanded by the trainer, "Koko you lied," Koko meekly admitted "Bad again Koko." On another occasion, a trainer discovered Koko eating a crayon. When the trainer cried, "You're eating crayon!" Koko made the sign for "lip" and pretended to be applying lipstick. Readers may recall a traumatic episode in Koko's life, when her pet kitten, All Ball, escaped and was run over by a car. Koko openly expressed her grief by signing "Sad" repeatedly. Moreover, she seems to understand concepts of life and death
surprisingly well. When asked where gorillas come from, she pointed to her abdomen, and when asked when gorillas die, she signed "Trouble old." Where do they go once dead?: "Comfortable hole." It shouldn't surprise you too much now that, on various intelligence tests given to Koko over the years, Patterson reports that Koko has recorded I.Q. scores from 70 to 95 (not too far below the human average of 100), and that's including deductions for answering "flower" for "What is good to eat?" and "tree" for "Where do you go to sleep?" It was only a matter of time before scientists gave the fourth and final great ape, the orang utan (Pongo pygmaeus), its fair shot at language mastery. Orangs actually have fared as well or better than chimps and gorillas on various cognitive tests. The first attempt to teach an orang a human language was made by Lyn Miles, of the University of Tennessee. Miles taught Ameslan to a male orang named Chantek. Learning his first word in less than a month, Chantek went on to learn and use more than 150 signs, and can form simple sentences. Chantek too can create novel words, labeling contact lens solution "eye drink." Deceit? Chantek shows that too--lying an average of three times a week, calculates Miles. Chantek has also invented some of his own grammatical rules. If referring to an action in conjunction with an object present ("play ball" for example), Chantek places the action first, whereas if the object is not visible, he places the object sign ahead of the verb ("Ball, play"). In the wild, orang utans lead mostly solitary lives. Stable groups are formed only between a female and her young. This apparent lack of sociality has caused scientists to wonder whether the orangs' perceived language ability really derives from social interactions between individuals, as has been theorized for other apes. Miles suggests another possibility, "the extractive foraging origin." Orang utans are fruiteaters, and because of this food source's scarcity, they must be able to remember over the course of several years the location of various reliable fruiting trees within a vast territory, and routes between such sources. Another cognitive capability orangs show is expertise with tools--the most complex tool use witnessed in captivity by a great ape. Chantek, observes Miles, can put together a chain of at least 22 different tool tasks to attain a goal (for example, using a key to open a box to get wire cutters to open a cage to get a hammer, for up to 22 commands). It was only recently that researchers discovered intricate tool ability by orangs in the wild. The general cognitive ability of orangs, seen in their foraging strategies and their tool use, may then underlie their capacity to learn human language. [Hawes, Alex 1995] Penemuan paleoantropologi (Paleoanthropological Developements)
Hasil dari penelitian dengan kera besar tersebut, sama sekali tidak membuktikan kesamaan kemampuan akal atau kemampuan komunikasi primat dengan manusia, akan tetapi menunjukan hal yang menarik terhadap pendekatan teoretis mengenai asal mula bahasa manusia, dalam hal bahwa kemampuan akal primat tersebut tampaknya lebih besar dan berpotensi daripada
diperkirakan sebelumnya. Kemampuan dan potensial primat tersebut mendukung pengunaan teori evolusi sebagai alat mencari asal usul linguistik, yaitu melihat bahasa manusia sebagai „hasil“ perkembangan dari unsur unsur kommunikasi verbal yang lebih rudimenter. Meskipun beberapa sistem komunikasi16 binatang sangat mengakumkan17 dan banyak mungkin belum diketahui, Perbandingkan dengan sistem sistem signal lain biar akustik maupun nonakustik linguistik adalah sistem signal yg. paling “terbuka” yg. beri kesempatan untuk kombinasi kombinasi (jumlah signal) yg. tidak terbatas. (Schmidbauer 1974: 143) Mengenai evolusi komunikasi berbahasa verbal dalam sejarah evolusi makluk manusia, beberapa ahli misalnya bertolak dari kenyataan bahwa tengorok Homo Neandertaliensis menunjukan ketidakmampuan untuk ucapakan infentar vokal seperti Homo Sapiens . Hal ini dianggap sebagai penunjuk atas kemampuan akal yang rendah dan kalah dengan nenek moyang manusia. Akan tetapi kesimpulan semacam ini, mungkin terlalu buru- buru jika kemampuan berbicara dianggap sebagai proses evolutioner atau hasil dari salah satu proses evolutioner sendiri, dengan maksud bahwa species Homo sebelum manusia (Homo Sapiens Sapiens) memiliki kemampuan komunikasi verbal yang tidak sesama manusia modern, sesuai dengan jumlah ucapan fonetis, akan tetapi mungkin telah mampu berbicara dengan sistem fonetis yang kurang besar jumlahnya tetapi dengan struktur dasar yang sama. Yakni kebersamaan dalam struktur mengunakan ucapkan fonetis yang “berpindah”, yaitu ucapkan atau bunyi fonetis yang memiliki makna dalam uraian tertentu dan lepas dari dorongan atau kejadian lingkungan langsung. Penemuan dan perkiraan ahli Paloaantropologi yang beranggapan bahwa Homo Neandertaliensis mengubur kawan- kawan secara khas18, menunjukan kepada kemampuan akal dan berfikir yang sudah tidak animalis lagi, serta mendukung anggapan bahwa mereka telah mampu berkomunikasi lebih kompleks daripada turut naluri saja.
Komunikasi nonverbal Meskipun bahasa verbal adalah alat komunikasi dan unsur unggul bagi makluk manusia, bahasa verbal tersebut tidak satu satunya alat komunikasi yang kita mengunakan sehari hari. Berbagai bentuk dan macam signal digunakan oleh manusia sebagai komunikasi/ bahasa nonverbal disamping atau terpisah dengan bahasanya verbal. Yang bermaksud dengan bahasa nonverbal 16
Linguistik (bahasa manusia) dilihat sebagai salah satu dari berbagai sistem kommunikasi binatang terutama mamalia, termasuk bunyi akustik dan ultrasonik, gerakan tubuh, kodrat cium dll. 17 Misalnya sistem komunikasi ultrasonik yang digunakan oleh ikan paus, yang kita hanya dapat meneliti dengan mengunakan peralatan canggih. 18 A large number of tools and weapons have been found, more advanced than those of Homo erectus. Neandertals were formidable hunters, and are the first people known to have buried their dead, with the oldest known burial site being about 100,000 years old. They are found throughout Europe and the Middle East. Western European Neandertals usually have a more robust form, and are sometimes called "classic Neandertals". Neandertals found elsewhere tend to be less excessively robust. (Trinkaus and Shipman 1992; Trinkaus and Howells 1979; Gore 1996)
disini tidak meliputkan bahasa- bahasa isyarat (sign languages) yang digunakan oleh manusia tuli- bisu, oleh karena bahasa isyarat resmi tersebut memiliki struktur internal (tata bahasa) dan external (kemampuan akal19) yang sama dengan bahasa verbal, dan oleh karena itu harus dilihat sebagai salah satu bahasa atau “komunikasi verbal”. Arti nonverbal communication (NVC) justru dipergunakan untuk segalahnya bentuk penyampaian atau aspek satu pesan yang tidaklah disampaikan oleh kata- kata yang harafiah, pengertian ini ternyata sangat luas dan meliputkan unsur dan bentuk komunikasi yang lisan dan tidak lisan, sadar/ sengaja atau tidak sadar/ sengaja, tertulis dan tidak tertulis serta ruang, waktu dan benda. Kultur, jenis kelamin dan status sosial mempengaruhi komunikasi nonverbal meskipun unsur NVC tertentu dianggap bersifat universal. Jenis utama NVC adalah kinesics, paralinguistics serta chronemics, proxemics dan object communication. Chronemics mengacu pada cara bagaimana orang menggunakan dan menginterpretasi waktu. Istilah proxemics diperkenalkan oleh ahli antropologi Edward T. Hall pada tahun 1963 untuk mendeskripsikan ukuran jarak antara orang-orang ketika mereka saling berhubungan yaitu berkomunikasi. Hall mengemukakan bahwa jarak sosial mempunyai korelasi langsung dengan jarak fisik, dan beliau menguraikan empat ukuran jarak, yaitu: " jarak teman karib (intimate) untuk memeluk, menyentuh atau berbisik ( 15-45 cm) " jarak pribadi (personal) untuk interaksi antar teman yang baik ( 45-120 cm) " jarak sosial (social) untuk interaksi antar kenalan ( 1.2-3.5 m) " jarak publik (public) digunakan untuk pembicaraan di depan umum ( lebih 3.5 m) Hall sendiri menekankan bahwa ukuran jarak tersebut sangat dipengaruhi oleh kebudayaan, dan bisa lebih kecil (misalnya di Amerika Latin) atau lebih besar (Eropa Utara). Selain kebudayaan, agama dan gender adalah faktor yang menentukan jarak tersebut. Object communication yang paling umum adalah pakaian. Cara berpakaian menentukan ciri kepribadian seorang, meskipun tanggapan ini justru sering dianggap sebagai satu macam stereotyping. Kelompok sosial sering mengunakan pakaian untuk menentukan diri sebagai kelompok dan memperbedakan diri dari masyarakat lain. Contoh yang baik untuk pakaian sebagai format komunikasi obyek adalah pakaian seragam. Komunikasi obyek meluas di luar pakaian ke perhiasan badan lain, seperti cincin, anting atau tatoo dan piercing. Paralinguistik
Komunikasi nonverbal yang menjadi focus perhatikan ahli antropologi dan linguistik adalah parabahasa (para- language) dan bahasa tubuh (body- language) dimana kajian masing masing dikenal sebagai paralinguistik dan kinesika. Kadang parabahasa digunakan dengan pengertian luas, yaitu untuk semua format komunikasi nonverbal termasuk kinesika, tetapi kebanyakan ahli membatasi istilah parabahasa pada unsur yang berkait dengan suara, seperti berbagai bentuk vokalisasi atau titi nada, intonasi dan volume suara, yang mendampingi aktifitas bicara atau yang bisa berdiri sendiri sebagai alat komunikasi yang sering digunakan untuk menyampaikan emosi. Perbedaan dengan bahasa verbal pengeluaran atau ucapkan para- bahasa 19
Selain kemampuan akal dalam konteks ini lebih penting adalah kesadaran .
sering dilakukan tidak atau kurang sadar yaitu tidak sengaja. Unsur yang termasuk golongan komunikasi tersebut adalah suara ketawa, tangis atau bunyi suara yang tidak mempunyai makna yang jelas. Kinesika
Kinesika (kinesics) adalah penafsiran bahasa tubuh seperti guratan ekspresi dan isyarat tubuh atau,secara lebih formal, perilaku non verbal (tanpa bicara) yang berkaitan dengan pergerakan, baik dari sebagian dari badan maupun dari badan secara keseluruhan. Istilah kinesics pertama kali digunakan oleh Ray Birdwhistell, seorang penari ballet yang menjadi ahli antropologi, pada tahun 1952. Beliau tertarik pada fenomena dan cara komunikasi melalui perawakan, isyarat, cara berpendirian, dan pergerakan. Untuk tujuan menganalisa orang dalam berbagai situasi sosial dan cara mereka berkomunikasi melalui bahasa tubuh, R. Bridwhistell mengunakan teknik film, sehingga dapat menunjukkan aneka ragam tingkat komunikasi yang tidak atau sulit dilihat jelas dengan cara lainnya. Beberapa ahli antropologi lain kemudian bergabung dalam studi tersebut termasuk Margaret Mead dan Gregory Bateson. Bertuntun erat pada atas linguistik deskriptif, Birdwhistell berargumentasi bahwa semua pergerakan badan mempunyai maksud atau arti (yaitu tidak kebetulan), dan bahwa format- format bahasa non verbal ini, mempunyai suatu tata bahasa yang dapat diteliti dengan mengunakan terminologi seperti tata bahasa verbal. Sehingga beliau mengemukakan istilah "kineme" sebagai pengganti istilah „fonem“, untuk menamakan suatu kelompok pergerakan yang tidak sama tetapi yang dapat digunakan dengan cara tukar menukar tanpa mempengaruhi artinya sosial" . Istilah- istilah lain yang digunakan oleh beliau dalam analisa gerakan tubuh adalah: Emblem : " Lencana "- suatu pengganti untuk kata-kata dan ungkapan Illustrator: " Jurugambar" - menemani atau menguatkan pesan lisan. Affect Display: "penunjukan emosi". Regulator: " Pengatur" - kendalikan langkah dan arus komunikasi. Adaptor: melepas tekanan fisik atau emosional. Menurut Bridwhistell tidak ada gejala universal dalam pajangan kinesik, suatu kesimpulan yang diragukan oleh banyak ahli, diantara Paul Ekman atau Eibl- Eibelsfeld yang dan menentukan unsur „universal“ dalam gurutan ekspresi berdasarkan analisa dari data luas termasuk dari etnisetnis terpencil. Zaman ini kinesik - diantara lain - digunakan untuk mendeteksi penipuan/ dusta misalnya dalam wawancara polisi atau lamaran kerja. Pewawancara mengamati khusus gugus pergerakan untuk menentukan kejujuran orang yang diwawancara. Bahasa tubuh (body language)
Bahasa tubuh adalah suatu istilah dengan pengertian luas untuk bentuk komunikasi dimana digunakan atau terdapat pergerakan badan termasuk isyarat dan gurutan ekspresi, sebagai penganti, atau sebagai suatu komplemen untuk bunyi verbal dan bahasa lisan, atau bentuk komunikasi lain.
Paralanguage dan body language telah secara ekstensif diamati dalam psikologi sosial. Dalam pengertian umum dan psikologi populer, istilah- istilah tersebut paling sering dipergunakan untuk format komunikasi yang dianggap terjadi tanpa disengaja, tetapi sesungguhnya pembedaan antara bahasa tubuh yang tidak sengaja dan yang sengaja sering kabur. Sebagai contoh: suatu senyuman atau suatu lambaian mungkin ada yang diberi dengan sengaja atau tidak dengan sengaja. Bahasa tubuh sengaja (voluntary) kurang dibahas secara umum, sebab gejala ini nampak tidak meragukan: voluntary body language itu mengacu pada pergerakan, isyarat dan pose yang dengan sengaja dibuat oleh seorang ( tersenyum, menjabat tangan, menirukan tindakan), dan yang biasanya dibuat oleh seorang dengan niat (tengah atau penuh hati) sebagai satu perwujudan dari apa ia ingin menyampaikani. Istilah ini dapat dipergunakan bagi banyak jenis komunikasi sunyi/ nonverbal, seperti isyarat formal. Asal bahasa tubuh Hubungan bahasa tubuh dengan komunikasi binatang telah sering dibahas. Body language manusia mungkin ada suatu lanjutan bentuk komunikasi yang telah digunakan oleh nenek moyang kita yang belum mempunyai bahasa verbal , atau mungkin saja bahwa paralanguage dan body language telah merubah sedang sudah ada bahasa verbal. Beberapa jenis binatang sepertinya sangat pintar pada pendeteksikan bahasa tubuh manusia, kedua-duanya yang sengaja dan yang tidak sengaja. Bahasa tubuh dapat dilihat sebagai produk dari pengaruh lingkungan dan kodrat genetis. Anak buta bisa senyum dan tertawa sungguhpun mereka belum pernah melihat suatu senyuman. Ahli etologi Iraneus Eibl-Eibesfeldt mengklaim bahwa sejumlah unsur dasar bahasa tubuh adalah universal karena diketemui lintas batasan kebudayaan dan oleh karena itu harus ditetapkan sebagai pola teladan tindakan di bawah kendali naluri (instinct). Beberapa bentuk bahasa tubuh manusia menunjukkan kesinambungan dengan isyarat komunikatif kera, meskipun kadang dengan perubahan dalam arti. Isyarat - mungkin kurang emotional - , yang bervariasi antar kebudayaan (sebagai contoh isyarat untuk menandai " ya" dan " tidak"), ternyata harus dipelajari atau dimodifikasi melalui pelajaran, pada umumnya melalui pengamatan tak sadar atas lingkungan. Pentingnya bahasa tubuh di dalam kelompok Ketika berfikir tentang bahasa tubuh biasanya kita memikirkan tentang one-to-one komunikasi. Akan tetapi ada indikasi bahwa bahasa tubuh mungkin lebih penting lagi dalam komunikasi berkelompok. Di dalam suatu kelompok setiap orang mempunyai masing masing suatu bahasa tubuh terbuka bagi semua orang lain dalam kelompok tersebut, sedang yang berbicara biasanya hanya seorang sekaligus. Dengan kata lain, semakin besar kelompok, semakin besar dominasi bahasa tubuh. Contoh (kebudayaan barat) Mempertunjukkan telapak tangan seseorang kepada pendengar boleh berarti kejujuran dan keterbukaan, menyembunyikan telapak tangan bisa berarti penipuan. Mengerak tangan ke arah mulut atau menyentuh hidung bisa juga menandai adanya penipuan.
Menunjukan dengan suatu lutut atau kaki ke arah seorang lain boleh berarti anda mempunyai minat atau rasa suka terhadap orang tersebut. Menunjukan badan anda ke arah lain daripada kepada seorang yang anda bertemu (berbicara) berarti anada lebih suka akan tidak bertemu dengan orang tersebut dan lebih suka akan pindah ke arah yang anda sedang menunjuk.
Perlakuan diam sendiri, sering adalah juga suatu format paralanguage, dengan berbagai penafsiran, yang pada umumnya bergantung pada individu yang berkait. Menurut salah satu penafsiran, memandang diam ke lantai atau menghindari kontak mata langsung, menunjukkan bahwa seseorang sedang berpikir tentang suatu masalah yang mempengaruhinya secara emosional. Tidak melihat para mata seorang, bisa juga menandai adanya penipuan atau rasa malu, karena perlakuan ini berarti seorang akan lebih suka berada di suatu tempat lain daripada bicara dengan orang yang bersankutan, yakni ketidaknyamaan dan rasa risau sebagai “teman” dari perbohongan. Gurutan ekspresi (facial expressions)
Pada tahun1862 tokoh Perancis, Guillaume Duchenne mempuplikasi sebuah buku dengan fotofoto gurutan ekspresi, yang kemudian dipublikasi ulang oleh Charles Darwin. Melalui rangsangan elektris Duchenne menentukan otot yang mana bertanggung jawab untuk gurutan ekspresi yang berbeda. Penemu teori evolusi terkenal Charles Darwin tertarik pada fenomen facial expressions dan gerakan tubuh dan mempublikasi karya dengan judul “The expressions of emotions in man and animals” pada 1872, dimana beliau mengemukakan teori tentang kesinambungan psikologi manusia dengan perilaku binatang: “‘... yang muda dan kaum tua dari ras yang jauh berbeda, kedua-duanya bersama manusia dan binatang, mengekpresikan sikap yang sama dengan pergerakan yang sama.”’ Di tengah abad yang ke- 20 kebanyakan ahli antropologi dan psikologi bertolak dari sudut pandang yang berlawanan dan percaya bahwa guratan ekspresi itu dipelajari seluruhnya dan oleh karena itu bisa berbeda antar kebudayaan. Tetapi hasil penelitian kemudian (menyangkut pengamatan orang pendalaman Irian/ Papua Guinea dan Afrika yang sebelumnya tidak atau hanya sedikit berhubungan dengan dunia luar) telah mendukung sebagian besar tanggapan dari Charles Darwin, terutama sekali untuk ungkapan emosi: kemarahan, kesedihan, ketakutan, kejutan, jijik, kebahagiaan dan penghinaan. Penelitian penelitian juga telah menunjukan, bahwa gurutan yang dibuat dengan sadar/ sengaja dapat memancing emosi yang bersesuaian. Gestures (isyarat)
Gestures adalah suatu format komunikasi tidak lisan yang dibuat dengan bagian dari badan terutama tangan, dan digunakan sebagai ganti komunikasi lisan atau dalam kombinasi denganya. Berbeda dengan format body language lain isyarat biasa digunakan sengaja dan sadar. Banyak isyarat mempunyai bersifat offensif; termasuk cara untuk menyatakan penghinaan, permusuhan, atau persetujuan ke arah (orang) yang lain. Jumlah pengunaan isyarat sebagai pendamping bahasa verbal sangat bervariasi diantara kebudayaan dan suku etnis. Kelompok tertentu dalam satu
masyarakat (subcultures) bisa juga mengunakan isyarat, lebih sering dan sebagai bahasa khusus dibanding masyarakat umum. Kebanyakan isyarat tidak mempunyai arti yang spesifik dan universal dan bisa bervariasi arti berdasarkan konteks kebudayaan, atau telah ubah dari konteks (kebudayaan) aslinya. Tetapi isyarat tertentu mempunyai arti yang jelas dan lintas budaya misalnya dalam lingkungan lintas udara atau „bahasa silam“.