ISSN: 1693-167X
ANTROPOLOGI INDONESIA Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology
Momok Ketimpangan: Waktu, Sejarah, Antropologi, dan Modernitas
No 1 Januari-April 2010
Teori dan Praktek dalam Studi Konflikdi Indonesia ANTROPOLOGI INDONESIA No 1, Januari-April 2010
Kiai Pondok dan Cukong Rokok di Modjosongo: Dilema Institusi Agama dalam Ruang Kapital
Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
ANTROPOLOGI INDONESIA No 1, 2010 Advisory Board
Dean of the Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesia Head of Department of Anthropology, Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesia Head of Center of Anthropological Studies, Department of Anthropology, Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesia Chief of Editors
Tony Rudyansjah Managing Director
Imam Ardhianto Administration & Finance
Sri Paramita Budi Utami Secretary
Dea Kartika Distribution & Circulation
Aang Jatnika Executive Editors
Dian Sulistiawati, Iwan Meulia Pirous, Semiarto Aji Purwanto, Ezra M. Choesin, Irwan M. Hidayana , Dave Lumenta. Technical Assistants
Febrian Board of Editors
Achmad Fedyani Saifuddin, University of Indonesia Birgit Bauchler, University of Frankfurt Engseng Ho, Duke University Greg Acciaioli, University of Western Australia Heddy Shri Ahimsa Putra, Gadjah Mada University Iwan Tjitradjaja, University of Indonesia Martin Slama, Austrian Academy of Sciences Meutia F. Swasono, University of Indonesia Kari Telle, Chr. Michelsen Institute Suraya Afiff, University of Indonesia Timo Kaartinen, University of Helsinki Yasmine.Z. Shahab, Universitas Indonesia Yunita.T. Winarto, Universitas Indonesia
ISSN 1693-167X
ANTROPOLOGI INDONESIA is a refereed international journal
Daftar Isi ANTROPOLOGI INDONESIA NO. 1
Januari-April 2009
Kiai Pondok dan Cukong Rokok di Modjosongo: Dilema Institusi Agama dalam Ruang Kapital Suhadi
1
Momok Ketimpangan: Waktu, Sejarah, Antropologi, dan Modernitas Ismail F. Alatas
14
Teori dan Praktek dalam Studi Konflik di Indonesia Thung Ju Lan
28
Politik Kekerasan (Para Jagoan) dan Dendam di Bali I Ngurah Suryawan
41
Penganekaragaman dan Penyeragaman dalam Aktivitas Nelayan Pulau Sembilan: Sebuah Penjelasan Prosesual dan Kontekstual Munsi Lampe
58
Kiai Pondok dan Cukong Rokok di Modjosongo: Dilema Institusi Agama dalam Ruang Kapital1 Suhadi (Center for Religious and Cross-cultural Studies Gadjah Mada University)
Abstrak Kiai, alumni and santri Ilirkali first confronted with the PRD and SMID who spearheaded the various demonstrations of labor movement in East Java. Now, communism as the common enemy no longer has a clear personification and increasingly blurred. The intensity of the conflict become more intensified in mid-1998 in various areas in Java, forcing the local elites in Modjosongo do institutionalization consolidation of local leaders. Incident “communal praying” is created as common platform transformation media for religion, politics and economics elite’s in Madukara. When labors’ demonstrations took place in Madukara several times in the transition era of the Reformation, Islamic propaganda becoming part of subjugation. This article presents how the position of the santri and the dilemma in the frame space of capital that flourished in the city. Key words: Space of capital, Santri, Labor, Cigarette brokerage Kalau Clifford Geertz telah mengajak Anda mengunjungi Modjokuto (Geertz, 1958), sebuah kota di bagian selatan Jawa Timur (Jatim), saya ingin mengajak Anda singgah sebentar di Modjosongo yang berjarak sekitar 15 km di selatan Modjokuto. Untuk merekam perkembangan bagaimana sebuah kota di Jawa berkembang, lebih khusus lagi perkembangan dalam rentang tahun 1998 sampai 2005. Tak bisa dihindari, untuk mempertautkan dengan
sejarah lokal Modjokuto artikel ini juga menilik perkembangan lokal di kota ini setelah tahun-tahun 1965. Tulisan ini memfokuskan pada pertanyaan bagaimana para elit lokal mengelola kepentingan dalam konteks ideologi pembangunan, serta pertanyaan etis tentang relasi sosial keagamaan di dalamnya yang tak mudah dijawab oleh masyarakat modern. Perkembangan dan hubungan pabrik rokok Madukara di wilayah tengah kota Modjokuto
1
Artikel ini adalah hasil penyempurnaan dari Makalah yang dipresentasikan dalam panel ‘(Re)-Constructing Collective Identities and Religious Imagination in Democratizing Indonesia’ pada Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-4:‘Indonesia in the Changing Global Context: Building Cooperation
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
and Partnership?’, 12–15 Juli 2005, Kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Penulis banyak berterimakasih pada Prof. Merle. C. Ricklefs dan Dr. Pradjarta Dirjosanjato atas diskusi dan perhatiannya dalam proses penelitian ini
1
dengan pesantren Ilirkali di sebelah barat kota menandai pergeseran sosial penting dari apa yang telah terekam dalam studi Clifford Geertz (1958, 1976) maupun Hermawan Sulistyo (2003). Baik Geertz maupun Sulistyo, keduanya menempatkan kaum santri sebagai aktor penting dalam studi-studinya. Singkat kata, Geertz memposisikan kaum santri berhadaphadapan dengan kaum abangan dan kaum priyayi. Sedangkan Sulistyo memperhadapkannya dengan gerakan komunisme. Sementara itu, artikel ini menyajikan sesuatu yang agak lain. Bagaimana posisi kaum santri dan dilemanya dalam bingkai ruang kapital yang berkembang di kota tersebut. Sebagaimana kita mafhum, kapitalisme dan pembangunan masuk tak terhindarkan ke kota-kota di manapun di Jawa mulai awal tahun 1970an. Di Modjosongo, setelah konflik berdarah tahun 1965−1966, kaum santri membuat keputusan titik geser peran sosial yang sangat menentukan bagi masa depannya yang masih terasa hingga kini. Titik Geser Peran Elit Kaum Santri Kalau Anda generasi yang lahir di akhir tahun 1970an dan mengalami masa kanakkanak serta remaja di Modjosongo, Anda pasti mendengar cerita heroik yang terus diulang dari para pelaku kekerasan maupun masyarakat penonton yang bangga dengan kekerasan massal di Modjosongo sepanjang tahun 1965−1966 (Bdk. Cribb, 1990). Ilirkali, sebuah pesantren yang berdiri tahun 1910, menjadi bagian penting dalam kekerasan ini. Korban pertama yang meninggal tanggal 5 Oktober 1965 dalam peristiwa itu jatuh di tangan kelompok santri dari pesantren ini (Sulistyo, 2003, 163). Kiai, alumni dan santri Ilirkali bersama tentara terlibat dalam pembantaian massal yang sangat dahsyat di empat bulan terakhir tahun 1965 serta delapan bulan pertama tahun 1966 dengan gerakan yang lebih sporadis.
2
Ceritanya sangat berlainan dengan apa yang diperagakan oleh para pemimpin Ilirkali tiga puluh tahun kemudian. Pada awal Agustus 1996 pemerintah sudah mulai mengeluarkan sinyalemen yang membabi-buta bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) berada di balik kerusuhan Sabtu Kelabu, 27 Juli 1996, di kantor PDI Jakarta (Jawa Pos, 2/8/1996). Pemerintah dan militer merasa akan menghadapi sebuah tantangan yang besar sekali, sehingga perlu meminjam pengaruh tokoh agama. Abdurrahman Wahid melihat NU akan dimanfaatkan kembali oleh rezim Soeharto dalam isu komunisme ini. Oleh karena itu, PBNU pada 1 Agustus 1996 mengeluarkan seruan agar “warga NU hendaknya ikut menjaga keamanan dan ketertiban kehidupan masyarakat, berbangsa, bernegara dan beragama”. Di balik seruan yang “datar” ini Gus Dur mengingatkan supaya warga NU tidak terlibat dan melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan destruktif. Ia meminta agar warga NU berkoordinasi dengan pengurus PBNU, Badan Otonom di bawah NU, atau lembaga NU yang ada di atasnya (Jawa Pos, 2/8/1996). Pemerintah dan militer sejak awal mulai mewacanakan PRD (Partai Rakyat Demokratik) berada di belakang kerusuhan 27 Juli. Dalam temu alumni pesantren Gontor di Gedung Granada Jakarta, Kasad R. Hartono, mengajak umat Islam untuk waspada dengan keberadaan PRD (Jawa Pos, 2/8/1996). Pemerintah mulai mengidentifikasi bahwa PRD adalah metamorfosa dari PKI yang membalik gerakan “Desa mengepung Kota”-nya PKI menjadi “Kota mengepung Desa” (Jawa Pos, 3/8/1996). Nasution, tanggal 4 Agustus juga angkat bicara dengan menjelaskan tiga taktik komunisme-leninisme: infiltrasi-subversi, perlawanan terbuka, dan perang saudara (Jawa Pos, 5/8/1996). Di Jawa Timur, Pangdam V Brawijaya, Mayjen TNI Imam Utomo, dengan cepat
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
merespons masalah ini. Pada tanggal 4 Agustus 1996 dia mengungkapkan bahwa TNI sedang mengejar aktivis PRD dan SMID (Solidaritas Mahasiwa Indonesia untuk Demokrasi) yang menyebar di Surabaya, Modjosongo, dan sebuah kota kecil di utara Modjosongo. Mereka merupakan para aktivis yang mempelopori berbagai demo di kantong-kantong gerakan buruh di Jawa Timur (Jawa Pos, 5/8/1996). Sampai akhir Agustus, para aktivis PRD dan SMID banyak ditangkap di kota besar dan kota kecil di Jawa Timur. Sementara sampai akhir bulan Agustus 1996, tidak ada informasi penangkapan aktivis di Modjosongo (Jawa Pos, 5,11,13/8/1996). Tidak bisa dijelaskan secara pasti apakah sebenarnya sinyalemen Pangdam V Brawijaya tentang penyebaran aktivis PRD dan SMID sampai ke Modjosongo yang tidak tepat atau aparat tidak bisa menangkap aktivisaktivis PRD dan SMID di Modjosongo. Di Jawa Timur, awalnya ternyata kiai-kiai NU tidak bisa menolak ajakan untuk tidak mengkonsolidasikan diri dalam keputusan politik penguasa dan militer dalam isu komunisme ini. Rais Syuriyah PWNU Jatim pada era itu dan seorang kiai kharismatik dari Paiton mengikuti “Apel Merah Putih” di Surabaya yang mengeluarkan statemen kebulatan tekad memberantas perusuh dan menumpas komunisme seperti PRD, SMID dan LSM-LSM berpaham komunis (Jawa Pos, 6/8/1996)2. Meskipun ketua PBNU, Gus Dur, ingin agar kiai-kiai NU tidak masuk dalam bingkai kepentingan penguasa dalam isu ini, tapi sepertinya kiai-kiai masih sulit mengambil jarak dengan isu komunisme yang sangat dekat dengan masa lalu mereka. Sementara di Modjosongo dan sebuah kota di utara Modjosongo saat itu masih 2
Apel Merah Putih ini dihadiri pula oleh Gubernur Jatim, Kasdam V Brawijaya, dan Ketua MUI Jatim.
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
hidup beberapa tokoh yang pernah secara loyal berkonfrontasi fisik dengan PKI tahun 1965−1966, termasuk seorang kiai kharismatik dari pesantren Ilirkali. Modjosongo, tempat konfrontasi fisik paling hebat pembunuhan massal 1965−1966, dipilih sebagai ikon kebangkitan anti komunisme di Jawa Timur. Peringatan kelahiran Banser secara nasional tahun itu akan diperingati secara besar-besaran di Modjosongo. Sampai di sini kita bisa menguji apakah isu ini akan berkembang menjadi konflik dan kekerasan massa. Di sisi lain, para simpatisan PDI proMegawati saat itu juga telah menyebar luas di Modjosongo. Pada Pemilu 1997, mereka memboikot dengan tidak pergi ke TPS dan malah pergi bersama-sama ke kota di mana Sukarno dimakamkan. (Wawancara dengan Sk, Agustus 2003). Sementara itu sikap superioritas kaum santri atas kaum abangan masih terpelihara terus dan sangat kuat di kalangan para kiai (Wawancara dengan Im, Juli 2003).3 Tetapi sepertinya dalam rentang lebih dari tiga puluh tahun sejak konflik 1965−1966 terdapat pergeseran pilihan politik para kiai yang penting. Peringatan kelahiran Banser dengan acara utama ”Apel Akbar Banser” diselenggarakan di sebuah stadion kota Modjosongo, tanggal 31 Agustus 1996 dengan inspektur upacara Pangdam V Brawijaya. Rupanya Modjosongo telah diincar menjadi ikon anti-komunisme di saat-saat yang tidak menentu tersebut (Bdk. Chandra Ap, 2001). Menurut perkiraan panitia sehari sebelumnya, upacara akan diikuti oleh sekitar 10 ribu anggota Banser. Agenda simbolik yang utama dari apel akbar ini adalah “ikrar kesetiaan kepada NU dan NKRI” (Jawa Pos, 3
Kiai Imron mengungkapkan kekecewaannya kepada Abdurrahman Wahid yang telah mengucapkan “mencoblos PDIP sama saja dengan mencoblos PKB” dalam kampanye Pemilu 1999. Akibatnya para kiai di Modjosongo merasa kesulitan membangun opini bahwa PKB adalah partainya kaum santri dan PDIP adalah partainya kaum abangan.
3
31/8/1996). Dalam kondisi awal pergolakan reformasi, Apel Akbar Banser nasional di Modjosongo ini menjadi tanda masih terseraknya dan ketidakpastian ke mana arah politik kiai di banyak tempat, termasuk di Modjosongo. tetapi dengan berlangsungnya Apel Banser tersebut, sebenarnya para kiai telah membuat pilihan awal yang sangat mengkhawatirkan. Sebab, bagi penguasa dan militer mereka kemudian mudah dibenturkan dengan kelompok yang dicap kiri, PRD, atau siapapun yang berani menentang pemerintah. Sementara itu, sebenarnya saat itu reimaginasi komunisme sebagai musuh bersama tidak lagi memiliki personifikasi yang jelas dan semakin kabur. Mungkin kenyataan ini menjadi penting sekali mengapa reproduksi isu komunisme tidak berlanjut kembali setelah sebuah kekerasan yang kemudian bergeser menjadi konflik dan kekerasan antar agama pertama terjadi di Situbondo, sebuah kabupaten kira-kira 250 km di timur Modjosongo. Di Situbondo, kekerasan massa terjadi pada saat proses pengadilan terhadap seseorang yang dituduh menghina agama dan kiai. Beberapa gereja dan banyak toko menjadi sasaran amuk massa. Peristiwa yang terjadi sekitar enam minggu setelah Apel Banser, tersebut memberikan pelajaran berharga kepada elit-elit kaum santri di Modjosongo apakah mereka memilih kekerasan di Modjosongo atau sebaliknya, mempersiapkan konsolidasi agar kasus yang sama tidak terjadi di Modjosongo. Ternyata pilihan kedua inilah yang menjadi pilihan para elit lokal di Modjosongo. Melihat intensitas konflik yang semakin menguat pada pertengahan 1998 di berbagai wilayah di Jawa, para elit lokal di Modjosongo mulai memperbincangkan pelembagaan konsolidasi tokoh-tokoh lokal untuk mengelola platform perdamaian yang telah dimulai secara informal antar para elit lokal sebelumnya. Pada tanggal 10 Mei 1998 diadakan pertemuan
4
pertama di rumah kiai Asnawi, seorang alumni pesantren Ilirkali yang telah berdikari mendirikan pesantren sendiri di Modjosongo. Pertemuan tersebut dihadiri para kiai terkemuka dari berbagai pesantren di Modjosongo, pengurus PCNU, pengusaha, dan aktivis muda NU (Subakir, 2003: 86). Pertemuan tersebut kemudian melahirkan pelembagaan sebuah paguyuban antar umat beragama dan penghayat kepercayaan yang sangat penting untuk masa depan perdamaian di Modjosongo. Kegiatan pertama Paguyuban ini, doa bersama antarumat beragama, diselenggarakan pada 28 Juli 1998 di sebuah kampus Islam swasta yang proses berdirinya banyak disokong oleh pabrik rokok Madukara. Doa bersama yang sebenarnya agak kaku ini lebih menunjukkan upaya kampanye perdamaian yang dipelopori para elit agama dengan melibatkan umat beragama secara massif, diikuti sekitar dua ribu orang. Meskipun diberi nama “doa bersama”, pada praktiknya, doa dilakukan sendiri-sendiri menurut agama dan aliran masing-masing dalam ruang yang berbeda dan terpisah, sehingga sebenarnya kebersamaan yang dimaksud lebih menunjukkan kebersamaan “waktu”, tetapi setidaknya acara ini cukup berhasil sebagai media transformasi platform bersama para elit agama, politik dan ekonomi yang telah terumuskan sebelumnya kepada massa yang lebih luas. Peristiwa ini juga menjadi tanda bahwa elit agama yang sekaligus menjadi elit kultural (Bdk. Wahid, 1974) masih memiliki pengaruh yang luas di masyarakat. Meskipun kiai Asnawi dan beberapa pengurus NU di mana seorang kiai muda dari pesantren Ilirkali menjadi Rais Syuriyah NU kota itu merupakan garda depan Paguyuban, tetapi pesantren Ilirkali secara institusi baru melibatkan diri di Paguyuban secara intensif dan mendalam satu tahun setelah Paguyuban dibentuk. Sebuah keputusan yang agak menge-
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
jutkan berlangsung ketika pesantren Ilirkali tiba-tiba ditempati acara “halal bi halal antar agama Paguyuban” tanggal 29 Januari 2000. Setahun berikutnya, 3 Pebruari 2001, acara yang sama juga diadakan kembali di pesantren Ilirkali. Kemudian tanggal 9 Pebruari 2001 di salah satu komplek terbesar pesantren ini juga berlangsung malam keakraban antaragama yang diprakarsai Paguyuban (Subakir, 2003: 114−118). Pada titik inilah terdapat pergeseran peran yang dimainkan oleh pesantren Ilirkali di masa lalu, 1965−1966, dengan perannya di era transisi Reformasi 1998. Meskipun, sebagaimana diungkapkan di bawah nanti dalam kajian Sulistyo (2003), titik geser kaum santri di kota ini mulai terlihat sebelum Pemilu 1971, namun perannya kini dalam membangun harmoni dan kohesi sosial semakin nyata dan mendalam. Di masa lalu peran agama diperuntukkan untuk pendorong kekerasan, dan kini, agama menjadi bagian penting penyokong usaha-usaha perdamaian. Menarik untuk menelusuri kapan titik awal pergeseran peran kaum santri di Modjosongo terjadi. Di bagian akhir bukunya, Sulistyo (2003) sudah mulai menangkap arah pergeseran peran sosial politik pesantren Ilirkali setelah peristiwa 1965−1966, khususnya tentang respons pesantren Ilirkali terhadap Pemilu 1971, dia menulis sebagaimana berikut ini: ”Di tempat-tempat konflik dan pembunuhan (yang) terjadi secara intens... para bekas aktor sudah kehabisan tenaga untuk menjalankan permainan lama. Mereka juga tidak tertarik lagi untuk terlibat dalam permainan politik yang baru (Pemilu 1971), karena prioritas mereka pada masalah ekonomi. ...Santri pesantren dari generasi yang lebih muda dipengaruhi oleh kiai mereka untuk lebih memusatkan tenaga pada tujuan yang paling pokok: pengajaran Al-Quran. Lebih dari itu, banyak santri yang terlibat dalam konflik NU-PKI telah lulus. Kini bukan saat yang tepat untuk membuka konflik
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
baru dengan terlibat aktif dalam pemilu. Kini saatnya untuk mengumpulkan tulang-tulang yang terpisah...” (Sulistyo, 2003, 228−229). Bertemunya Kiai Pondok dan Cukong Rokok Arah keberpihakan pesantren Ilirkali pada platform perdamaian dan “pembangunan” (developmentalisme) semakin jelas sekitar satu dekade setelah Pemilu 1971 tersebut. Keberpihakan ini pada saat bersamaan juga menunjukkan siapa partner penting bagi Ilirkali di tingkat lokal. Ketika Tan Tek Ho -pendiri pabrik rokok Madukara- meninggal dunia, kiai Mahbub, salah satu pemimpin Ilirkali generasi kedua, mengungkapkan kesan-kesannya mengenai Tan Tek Ho sebagai berikut: ”...karena dulu dia pernah melarat, dia sekarang jadi suka membantu orang. ...Kalau tidak ada Madukara, Modjosongo gelap dan tidak punya pamor. Tek Ho seperti ingin membagi keuntungan yang diperolehnya bersama masyarakat...” (Majalah Tempo, 7/9/1985)
Ungkapan ”kalau tidak ada Madukara, Modjosongo gelap dan tidak punya pamor” menjadi penanda penting telah terbukanya ruang integrasi antara kiai Mahbub sebagai kiai pondok terbesar di Modjosongo dengan Tan Tek Ho sebagai cukong rokok terbesar. Si cukong rokok, demikianlah Tek Ho sering dipanggil oleh orang-orang terdekatnya. Begitu juga namanya yang sangat popular di masyarakat Modjosongo. Mengenai istilah “cukong”, secara literal bisa diartikan sebagai “juragan” atau “majikan”. Menurut beberapa literatur, istilah tersebut biasanya disandarkan pada etnisitas tertentu, khususnya China. Dalam perkembangannya, istilah “cukong” bisa bermakna positif, tapi tidak jarang juga pernah dipakai dalam konotasi yang negatif. Di artikel ini, istilah “cukong” dipakai lebih
5
dalam pengertian yang positif. Tidak ada informasi secara pasti relasi Kiai Mahbub dan Tan Tek Ho pada waktu itu. Biografi tentang tiga tokoh Ilirkali hanya mencatat relasi kiai Mahbub dengan pemimpin-pemimpin politik dan militer. Tetapi satu hal yang penting dicatat adalah pengakuan kiai Mahbub sendiri bahwa Tan Tek Ho biasa memberikan komitmen sosial tanpa woro-woro. Artinya, sejak awal kemungkinan telah terjadi hubungan yang dekat antara Ilirkali dan Madukara. Sampai di sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa pada saat bersamaan sebenarnya antara keduanya telah berkomunikasi untuk membangun platform sosial bersama. Kedekatan kiai Mahbub dengan Tan Tek Ho semakin tampak misalnya ketika dia menghadiri pemakaman Tan Tek Ho tak jauh dari pusat pabrik Madukara. Pada umumnya, mendoakan orang non-Muslim ketika meninggal dunia masih merupakan sesuatu yang kurang lazim, termasuk di Modjosongo sendiri. Lebih dari itu ternyata kiai Mahbub bersama sebagian santri Ilirkali membacakan tahlil (doa-doa) selama tujuh hari berturut-turut dan saat peringatan empat puluh hari setelah meninggalnya Tan Tek Ho di salah satu masjid di dalam pabrik rokok Madukara (Wawancara dengan Mh, Desember 2004). Tan Tek Ho lahir di Fujian-Cina pada tahun 1923 dan diajak berimigrasi keluarganya pertama kali ke Sampang, Madura, pada tahun 1926. Dia pindah ke Modjosongo untuk bekerja di perusahaan rokok milik pamannya, Tan Kiem Liong, bernama ”Rokok Tjap 67”. Pada awal tahun 1961, Modjosongo telah menjadi penghasil rokok terbesar kedua setelah Kudus. Di Kudus Jawa Tengah sendiri, telah berkembang banyak pabrik rokok di awal abad 20 sebelum kemudian perkembangannya merembet ke Jawa Timur di sekitar jalur sungai Brantas (Castles, 1982). Tan Tek Ho memisahkan diri dari perusa-
6
haan pamannya dan mulai merintis perusahaan rokoknya sendiri pada tahun 1956, dan sejak 1958 mendaftarkan perusahaannya dengan bendera ”Pabrik Rokok Tjap Madukara” (Hanusz, 2003: 148). Perusahaan ini mulai berkembang pesat setelah pada tahun 1979 ikut berkompetisi dalam persaingan SKM (Sigaret Kretek Mesin), menyusul dua perusahaan rokok besar lainnya yang telah mendahuluinya (Young, 1997). Pada tahun 1968, pemerintah Orde Baru di bawah UU penanaman modal dalam negeri, memberikan lisensi mekanisasi hanya kepada empat perusahaan rokok nasional, salah satunya Madukara. Madukara yang kini menjadi perusahaan terbesar di Modjosongo memiliki nilai penting tersendiri bagi masyarakat Modjosongo. Perusahaan rokok ini menentukan perekonomian di tingkat lokal. Madukara mengambil porsi 68 % dari industri yang ada di Kota Modjosongo. Selain itu perusahaan ini juga memberikan kontribusi terbesar dalam PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) masyarakat Kota Modjosongo, yakni sekitar Rp 15,594 trilyun dari total PDRB Rp 19,727 trilyun. Pada bulan Desember 2002 perusahaan ini mempekerjakan 15.344 karyawan tetap dan 25.675 karyawan tidak tetap (Laporan Keuangan Konsolidasi Tahun Terakhir 2001 & 2002: 10). Antara Ruang Dakwah dan Kepentingan Keberadaan Madukara tidak hanya bermanfaat bagi pekerja-pekerjanya, tapi secara tidak langsung juga bagi elit-elit lokal yang lain. Bagi pesantren Ilirkali, Madukara setidaknya menjadi dua arena pengelolaan kepentingan. Pertama, kepentingan dakwah Islam dan kepentingan ekonomi. Pada awalnya program Islamisasi atau menurut bahasa kaum santri lebih sering disebut “dakwah Islam” menemukan praktiknya karena dorongan kebutuhan perusahaan
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
Madukara untuk “menertibkan” karyawannya dengan standar “moral” yang berkembang pada umumnya di lingkungan sekitar. Seorang responden yang pernah menjadi humas perusahaan ini menuturkan hal demikian: “…ketika awal mula dibangun asrama pegawai perempuan di salah satu unit, sore sampai malam hari para pekerja perempuan banyak yang diapeli, diajak, atau dijemput pacarnya. Bahkan di pinggir-pinggir jalan banyak perempuan pekerja dan pacarnya berduaan. Suasana ini mengganggu perasaan umum masyarakat, termasuk para pimpinan Madukara. Mereka seperti pelacur saja. Untuk itu, muncul ide untuk memberikan penerangan moral melalui dakwah keagamaan. Saat itu pula Madukara mulai menjalin kerjasama dengan pesantren, kiai-kiai dan ustadz-ustadz. Kemudian pada tahun 1983 dibangun masjid di sebuah unit tersebut untuk pusat kegiatan dakwah Islam” (Wawancara dengan Mh, Desember 2004).
Program-program keagamaan di Madukara antara lain berbentuk pengajian, belajar membaca al-Quran, peringatan hari-hari besar Islam, pengajian Ramadhan, pesantren kilat, safari keagamaan ke desa-desa dan ke pesantren-pesantren, penyantunan anak-anak yatim, pemberian sumbangan kepada para santri di pesantren-pesantren, dan lain sebagainya (Wawancara dengan Mh, Desember 2004). Pada umumnya pengajian yang diselenggarakan berisi ajaran ibadah praktis atau seruan-seruan moral. Meskipun sejauh ini tidak ada respons negatif yang muncul ke permukaan dari buruh terhadap program dakwah Islam, tapi beberapa bentuk dakwah kadang-kadang terkesan memaksakan diri. Misalnya, sebuah ceramah agama diadakan di dalam pabrik Madukara tanpa harus mengurangi jam kerja dan produktifitas kerja buruh. Sebuah media lokal menggambarkan sebuah ceramah agama di bulan Ramadhan tahun 2003 yang diselenggarakan di dalam pabrik, sementara para buruh
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
tetap aktif bekerja. Muballigh atau muballighah, langsung masuk ke ruang kerja para karyawan dan memberikan pengajian di sana. Tetapi, para karyawan Madukara tetap melakukan kerja seperti biasanya. Tidak ada yang terganggu sama sekali. Sementara, sang muballigh atau muballighah terus memberikan siraman rohani. Di luar dugaan, ternyata pengajian itu sama sekali tidak mengganggu kerja dan para karyawan tetap bisa mendengarkan isi pengajian itu. Tak ayal, meski mereka terlihat terus bekerja seperti biasanya, tetapi begitu ada joke-joke segar dari muballigh mereka langsung koor tertawa. Atau, jika ada sautan shalawat untuk ditirukan, ternyata mereka juga membaca salawat bersama-sama dengan tangan tetap bekerja melinting rokok (RK, 13/11/2004). Saat berlangsung demo-demo buruh di Madukara beberapa kali di era transisi Reformasi, dakwah Islam menjadi bagian dari alat penundukan. Para kiai sering memberikan seruan melalui ceramah agama kepada para buruh untuk tidak ikut demonstrasi (Wawancara dengan Mh, Desember 2004). Integrasi dan Proses Saling Ketergantungan Pada bulan Nopember tahun 1999, NU di tingkat nasional menyelenggarakan hajatan rutin lima tahunannya, Muktamar. Sejak jauh hari sebelumnya pesantren Ilirkali telah ditunjuk sebagai tuan rumah. Sementara itu meskipun pesantren Ilirkali merupakan pesantren terbesar di Modjosongo, tapi pesantren ini memiliki banyak kekurangan sarana fisik. Tanah pesantren di sekitar lingkungan tempat tinggal para kiai hampir penuh dimanfaatkan untuk ruang kelas dan kamar santri. Masjid yang terletak di muka pesantren induk juga merupakan masjid tua yang tidak terlalu luas.
7
Kondisi ini menuntut Ilirkali berpikir keras mengatasi kekurangan fisiknya untuk sebuah Muktamar NU, di mana kiai-kiai Ilirkali saat itu menjadi pengurus inti organisasi ini di tingkat lokal maupun pusat. Biasanya Muktamar NU selalu ramai dan semarak. Di tempat ini akan datang pengurus pusat, wilayah, dan cabang yang tersebar luas di mana-mana, termasuk beberapa pengurus cabang istimewa dari luar negeri. Keramaian mungkin tidak disebabkan oleh banyaknya pengurus, tapi malah kehadiran massa NU kultural yang bisa dipastikan mencapai ribuan atau bahkan puluhan ribu orang. Tetapi pada praktiknya, sebenarnya Ilirkali juga tidak harus membuat persiapan berlebihan, sebab sebagian massa organisasi ini biasa istirahat dan tidur di pojok-pojok pondok, di masjid, atau tempat-tempat lainnya. Memang juga ada trend para kiai, pengurus NU, dan alumni pesantren lebih memilih tidur di hotel dibanding di area pondok saat Muktamar. Meskipun demikian, persiapan fisik yang utama yang harus dipersiapkan Ilirkali sebenarnya hanya beberapa hal seperti menyediakan lapangan yang cukup menampung ribuan massa, kamarkamar untuk sebagian tamu istimewa, sebuah ruang atau aula dalam ukuran besar yang mampu menampung kebutuhan sidang-sidang, dan sebuah masjid yang lebih besar dari masjid yang sekarang ini ada. Beberapa tahun sebelumnya, persiapan pembebasan (pembelian) tanah dilakukan oleh Ilirkali. Pesantren ini menyiapkan sebuah tanah sangat luas untuk pembangunan beberapa gedung Muktamar, yang terletak persis di sebelah selatan dan barat pondok induk. Seorang pemimpin panitia lokal Muktamar tidak mengetahui secara pasti darimana dana-dana untuk proses pembebasan tanah ini (Wawancara dengan As, Desember 2004). Setelah waktu kian dekat dengan gawe Muktamar,
8
Ilirkali semakin merasa segera membangun dua gedung utama, yaitu aula dan masjid. Kebutuhan dana untuk dua gedung ini termasuk kebutuhan yang besar. Berikutnya dalam masalah ini kita bisa melihat bagaimana pola hubungan dan kerjasama antara dua elit lokal strategis (Keller, 1984) ini berlangsung. Ketika waktu sudah semakin dekat dan ada beberapa kebutuhan utama yang belum tersedia, Madukara merasa terpanggil untuk membantu. Istilah “terpanggil” di sini muncul, sebagaimana nanti digunakan untuk mengungkapkan bahwa kiai “terpanggil” ikut menyelesaikan konflik buruh dan unjuk rasa di Madukara. Istilah “terpanggil” mewakili kondisi hubungan yang interdependen antara Ilirkali dan Madukara. Pada praktiknya, bukan kiai Ilirkali yang datang ke Madukara untuk meminta bantuan. Presiden Komisaris Madukara dan salah satu direkturnya sowan atau berkunjung ke rumah kiai Imron untuk menanyakan apa yang bisa dibantu oleh Madukara. Padahal Presiden Komisaris sendiri dikenal jarang sekali berhubungan langsung dengan para kiai, sehingga peristiwa kedatangannya ke Ilirkali mengindikasikan masalah tersebut sangat penting dan Madukara sungguh ingin membantu meringankan beban Ilirkali. Kemudian, kiai Imron mengungkapkan ada dua gedung besar yang perlu dibangun, aula dan masjid. Selanjutnya sang Presiden Komisaris Madukara ini menyanggupi untuk membantu pembangunan aula. Sementara di kemudian hari masjid berdiri atas bantuan seorang pengusaha lokal lainnya (Wawancara dengan Mh, Desember 2004). Sampai di sini kita menangkap kesan bahwa hubungan antara Madukara dengan Ilirkali memang telah mapan dan berlangsung dalam waktu lama. Hubungan tersebut misalnya ditandai dengan model-model komunikasi yang telah “baku” dan keinginan keras untuk
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
saling menjaga kepentingan satu dengan yang lainnya. Dilema Integrasi Agama dalam Institusi Kapital Kalau dalam dua kasus di atas, pesantren lebih bersifat memanfaatkan ruang integrasi dalam bekerjasama dengan Madukara, dalam kasus ini kita akan mendapatkan gambaran bagaimana pesantren Ilirkali memberikan kontribusi untuk sebuah masalah pelik yang dihadapi oleh Madukara, yakni demonstrasi buruh. Karena keterbatasan ruang, di sini tidak dipaparkan demonstrasi buruh tersebut secara kronologis. Kasus demonstrasi buruh yang dimaksud di sini adalah dua demonstrasi buruh, pertama, demonstrasi buruh Maret−April 2000, dan kedua, demonstrasi buruh bulan Mei 2002. Unjuk rasa buruh yang disebut pertama merupakan unjuk rasa terbesar yang melibatkan puluhan ribu buruh dan mengakibatkan perusahaan sampai sempat menutup pabrik secara resmi. Dua demonstrasi tersebut diprakarsai oleh Sarbumusi (Serikat Buruh Muslim Seluruh Indonesia), sebuah sarekat buruh di bawah NU. Para kiai memiliki peran penting dalam usaha penyelesaian konflik perusahaan dan buruh di Madukara. Kiai Asnawi, alumni Ilirkali, terlibat menjadi mediator pertemuan antara Sarbumusi dengan pihak manajemen Madukara tanggal 8 April 2000 dalam demonstrasi Maret−April 2000 (Kompas, 12/4/2000). Sementara itu, unjuk rasa bulan Mei 2002 dapat berhenti setelah para kiai dan pemerintah lokal memberikan “pengarahan” kepada para demonstran di lapangan. Setidaknya, empat kiai dari pesantren-pesantren besar di Modjosongo datang (Kompas, 4/6/2002). Keterlibatan kiai-kiai sebagai mediator perundingan antara buruh dengan perusahaan rokok Madukara maupun terjun langsung ke
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
lapangan untuk menghentikan demonstrasi adalah peristiwa yang menarik sekali dan tidak terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Pada awalnya, kiai Asnawi termasuk yang paling aktif, tetapi kemudian banyak kiai lain tertarik ikut dalam persoalan ini, termasuk kiai paling kharismatik di Modjosongo, kiai Imron Ilirkali. Rupa-rupanya pola seperti ini terjadi kembali dalam kasus ini sebagaimana kasus dalam Paguyuban antar agama sebagaimana dibahas di awal tulisan. Kiai Asnawi menceritakan rumahnya sering dijadikan pertemuan antara manajemen Madukara, pengurus Sarbumusi, dan perwakilan buruh ketika di antara mereka terjadi konflik. Ruang tamu rumahnya yang cukup luas, dengan kursi-kursi yang berjajar panjang dan saling berhadapan, menjadi ajang musyawarah antar mereka di mana dia menjadi mediatornya (Wawancara dengan Ai, Sept 2003). Semula kiai Asnawi memposisikan dirinya sebagai mediator, tetapi secara mudah bisa dilihat orientasinya untuk memihak keputusan-keputusan perusahaan. Seorang responden dari pihak Madukara memberikan penjelasan kerjasama antara Madukara dan para kiai sudah terjalin sangat lama, sehingga ketika terjadi masalah di Madukara para kiai “terpanggil” dengan sendirinya untuk datang membantu menyelesaikan. Pada praktiknya, biasanya beberapa pejabat Madukara datang kepada kiai dan menceritakan masalah yang sedang terjadi, tentang demonstrasi para buruh. Setelah mendengar cerita tersebut, para kiai pada umumnya langsung paham apa maksud kedatangan mereka. Tanpa harus dikatakan secara rinci, para kiai kemudian paham apa yang harus mereka lakukan (Wawancara dengan Rh, April 2004). Pada umumnya, para kiai tertarik dengan sendirinya untuk mengatasi masalah konflik pabrik Madukara dan buruh yang berlarut-
9
larut, karena sudah dalam waktu yang lama hubungan Madukara dengan para kiai sangat dekat. Lebih lanjut dia menceritakan kalau para kiai merasa malu dan tidak enak dengan Madukara karena selama ini merekalah yang memberikan pembinaan rohani dan moral kepada para buruh Madukara. Kalau terus terjadi demontrasi berarti pembinaan para kiai tidak berhasil atau gagal (Wawancara dengan Mh, Desember 2004). Sampai di sini kita bisa melihat pertautan antara masalah ini dengan program-program Islamisasi atau dakwah di dalam pabrik Madukara yang telah berjalan dalam waktu panjang. Dengan program dakwah tersebut, para kiai sampai melihat harus menjadi pihak yang ikut bertanggung jawab secara tidak langsung terhadap proses lancarnya perjalanan perusahaan. Praktiknya, ketika para kiai datang ke arena demontrasi di lapangan, demonstrasi secara berangsur-angsur surut dan akhirnya bubar. Para demonstran banyak yang mengenal para kiai yang datang dan dalam tradisi yang berlaku para kiai di Modjosongo memiliki kharisma yang sangat tinggi. Tidak jarang para demonstran kemudian malah ada yang menjabat tangan dan mencium tangan para kiai tersebut (Wawancara dengan Rh, April 2004). Oleh karena itu kemudian, manajemen Madukara sering melibatkan para kiai untuk menghentikan unjuk rasa buruh, di samping juga mendatangkan walikota dan pejabat pemerintah daerah yang lain. Dalam masalah ini, posisi para kiai sangat jelas terlihat sebagai pembela kapital. Sarbumusi termasuk serikat buruh yang paling aktif memotori dua demonstrasi di atas. Sarbumusi memang datang di saat yang tepat, ketika euforia kebebasan mendapatkan angin segar di era Reformasi. Meskipun menganggap Sarbumusi sebagai serikat buruh yang keras atau radikal, sepertinya pihak Madukara
10
tidak bisa berbuat otoriter kepadanya. Hal ini sangat terkait dengan posisi Sarbumusi sendiri yang berada di bawah NU, organisasi para kiai lokal yang menjadi partner paling penting Madukara. Selain posisi sulit yang dihadapi oleh Madukara dalam menyikapi Sarbumusi, tapi rupa-rupanya Sarbumusi juga menghadapi masalah yang tidak kalah problematis. Apakah pengurus Sarbumusi akan memperjuangkan terus kepentingan buruh mati-matian, sementara di sisi lain secara institusi mereka juga berada di bawah patronnya, para kiai NU lokal, yang cenderung memihak pada kepentingan perusahaan Madukara. Sarbumusi pertama kali didirikan oleh kiai-kiai NU di Sidoarjo tahun 1955. Dalam waktu lama di era Orde Baru, serikat buruh ini tidak aktif di mana-mana. Baru setelah Soeharto lengser NU merekomendasikan agar menghidupkan kembali Sarbumusi. Muktamar NU tahun 1999 di Ilirkali merekomendasikan kepada PBNU untuk mengambil langkah-langkah agar Sarbumusi dapat diaktifkan kembali di lingkungan warga NU (Hasil Muktamar NU 1999). Tidak lama setelah, itu pada tahun 2000 PBNU mengeluarkan surat instruksi kepada PWNU dan PCNU seluruh Indonesia yang berisi seruan untuk membentuk Sarbumusi di daerah masing-masing. Menarik di sini melihat posisi Sarbumusi di antara buruh pabrik Madukara dan para kiai. Kalau antara Madukara dan para kiai memiliki satu jalur kepentingan, di mana sebenarnya tempat Sarbumusi? Pada satu sisi Sarbumusi telah membuktikan mampu menggerakkan berbagai unjuk rasa yang membawa sedikitbanyak perbaikan bagi kaum buruh. Tetapi rupanya posisi kiai yang berada di belakang perusahaan Madukara mampu berpengaruh pada melunaknya Sarbumusi dalam beberapa kesempatan. Sebuah perundingan antara manajemen Madukara dengan perwakilan bu-
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
ruh dan Sarbumusi berlangsung dengan mediasi kiai Asnawi. Perundingan ini berjalan lancar (Kompas, 12/4/2000). Biasanya, berarti ada negosiasi yang banyak dimenangkan perusahaan. Unjuk rasa tiga hari berturut-turut bulan Mei 2002 berhenti setelah kiai Imron Ilirkali ikut turun ke lapangan di mana Sarbumusi kemudian mensepakai jalan perundingan yang diadakan tanggal 11 Juni 2002 (Kompas, 14/6/2002). Meskipun ketua Sarbumusi sering mengatakan masih banyak tuntutan buruh yang belum dipenuhi oleh perusahaan (Kompas, 14/6/2002), tetapi rupanya radikalismenya dalam memprakarsai berbagai unjuk rasa berangsur-angsur menurun setelah keterlibatan kiai dalam konflik antara perusahaan dan buruh di Madukara. Sampai di sini Sarbumusi memang terlihat ingin menjaga equilibrium (keseimbangan) posisinya di antara dua kepentingan yang saling kontradiktif, kepentingan buruh sebagai konstituennya; dan kepentingan kiai sebagai patron kultural dan patronnya secara kelembagaan. Kesimpulan dan Refleksi Melalui kajian ini, kota Modjosongo telah menjadi salah satu studi kasus yang penting tentang hubungan antara pusat kekuasaan agama dan kekuasaan kapital di masyarakat Jawa kontemporer yang penting kita cermati. Modjosongo di masa lalu menjadi arena polarisasi budaya dan politik yang mendalam yang kemudian antara lain terwujud dalam kekerasan massa terbesar dalam sejarah Modjosongo modern, pembunuhan massal 1965−1966, meskipun dalam kekerasan tersebut polarisasi antara kaum santri dan para pendukung komunisme memang tidak berdiri sendiri dan sangat rumit. Setelah itu, di kota ini juga berlangsung beberapa kali kerusuhan
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
anti Cina yang baru berhenti akhir tahun 1970. Meskipun berlangsung berbagai konflik dan kekerasan massa di banyak tempat mulai tahun 1996 dan baru berhenti pada awal tahun 2000an, di kota ini tidak berlangsung konflik dan kekerasan massa yang berarti. Selain peran dua elit lokal strategis, peran paguyuban antar umat beragama dan penghayat kepercayaan sangat signifikan. Dua institusi lokal yang menjadi studi perhatian tulisan ini, Madukara yang dalam beberapa perluasan sebagai elit ekonomi dan pesantren Ilirkali yang dalam beberapa perluasan sebagai elit kultural menunjukkan proses perjalanannya yang sangat menarik. Dalam perkembangannya, Madukara tidak saja menjadi lokomotif ekonomi belaka, tapi sekaligus merumuskan peran sosial. Peran sosial yang dimainkan oleh Madukara tidak begitu saja diberikan, tapi dengan sebuah harapan adanya jaminan sosial tentang keamanan dan perdamaian. Di sisi lain, pesantren Ilirkali setelah terlibat secara penuh dalam konflik 1965−1966, kemudian mencari orientasi baru yang bisa memperkokoh peran sosialnya tanpa harus meninggalkan peran utamanya dalam bidang dakwah Islam. Rupanya pertemuan dan integrasi keduanya bermula dari proses ini. Sebelum masa transisi Reformasi, kedua elit lokal tersebut telah menyediakan nilai bersama tentang perdamaian sebagai titik pijak integrasi keduanya. Nilai kolektif ini penting sekali sebagai modal sosial untuk keluar dari konflik dan kekerasan yang banyak terjadi di mana-mana dewasa ini. Bagi hubungan keduanya nilai kolektif perdamaian mensyaratkan adanya integrasi kepentingan. Dalam koteks seperti itulah beberapa kerjasama antara Madukara dan Ilirkali bisa dipahami, misalnya Islamisasi di Madukara, keterlibatan para kiai untuk menghentikan unjuk rasa-unjuk rasa, dan donasi finansial yang diberikan Madukara
11
kepada pesantren Ilirkali. Integrasi antara agama dan industri telah mendorong elit-elit agama merumuskan nilai kolektif baru yang berbeda dari nilai yang dijalankan sebelumnya. Sampai di sini kita bisa menarik pelajaran penting bahwa identitas agama tidak berdiri sendiri dan terpisah dari identitas-identitas yang lain. Memang berlebihan mengatakan bahwa kedua institusi di atas menjadi aktor tunggal yang sepenuhnya bertanggung jawab terhadap berlangsungnya kehidupan sosial yang mampu keluar dari kekerasan massa. Namun keduanya setidaknya telah menjadi aktor penting menyemai nilai kolektif perdamaian dan mengelolanya dalam praktik-praktik sosial.
Bagi para elit agama, perumusan identitas agama sebagai penyokong sistem sosial yang kuat dan mapan pada saat bersamaan memiliki konsekuensi serta pertanyaan etis yang penting dicermati. Bagaimana persekongkolan elit agama dengan elit kapital bisa membawa benturan dengan nilai-nilai dan kepentingan yang berbeda di dalam masyarakat agama itu sendiri, misalnya konflik nilai antara para kiai yang membela kapital dengan nilai organisasi semisal Sarbumusi yang seharusnya membela kepentingan kaum buruh.
Referensi Castle, L. 1982 Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus. Jakarta: Sinar Harapan. Cribb, R.t 1990 The Indonesian Killing of 1965-1966 Studies from Java and Bali. Monash: Monash University. Chandra Ap, T. 2001 ”Shalawat Badr: Puncak Radikalisme Catatan Awal Keterlibatan Banser dalam Tragedi Kemanusiaan Tahun 1965-1966”, dalam Konferensi Sejarah Nasional KeVII, Jakarta 28-30 Oktober 2001. makalah tidak diterbitkan. Geertz, C. 1958 Modjokuto: Religion in Java. Massachusetts: Center for International Studies, Massachusetts Institute of Technology 1976 The Religion of Java. Chicago: The University of Chicago Press. Hanusz, M. 2003 Kretek, The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes. Jakarta-Singapore: Equinox Publishing. Keller, S. 1984 Penguasa dan Kelompok Elit, Peranan Elit Penentu dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial dan Rajawali Press. Litbang Kompas 2001 Profil Daerah Kabupaten dan Kota, jilid 1 dan jilid 2. Jakarta: Kompas.
12
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
Subakir, A. 2003 Merajut Persaudaraan Sejati Antar Ummat Beragama 5 Tahun PKUB Kota. Litbang PKUB. Sulistyo, H. 2003 Palu Arit di Ladang Tebu Sebuah Pembantaian Massal yang Terlupakan, (cet. Ketiga). Jakarta: Gramedia. Young, K. 1997 “Sebuah Enclave Industri dalam Lingungan Pedesaan”, dalam Balanced Development East Java in The New Order, Pembangunan yang Berimbang Jawa Timur dalam Era Orde Baru. Jakarta: Gramedia. Wahid, A. 1974 “Pesantren Sebagai Subkultur”, dalam M. Dawam Rahardjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES. Media Massa RK Jawa Pos Kompas Majalah Tempo Dokumen Kota dalam angka 2002. PT Perusahaan Rokok, Laporan Tahunan Konsolidasi 2002. PT Perusahaan Rokok, Laporan keuangan Konsolidasi Tahun Terakhir 31 Desember 2002 dan 2001. Surat Instruksi PBNU No: 2910/A.II.03/VIII/2000 tanggal 5 Agustus 2000. Selebaran resmi , “Taushiyah Masyayikh Pesantren”, tanggal 4 September 2004. Wawancara 1. Mh, humas perusahaan rokok 2. Rh, direktur perusahaan rokok 3. As, pengurus NU kota 4. Asn, kiai pesantren 5. Im, kiai pesantren
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
13
Antropologi Indonesia diterbitkan dengan tujuan ikut mengembangkan ilmu antropologi sosial dan budaya di Indonesia. Redaksi menerima sumbangan artikel baik yang bersifat teoretis, hasil penelitian maupun etnografis. Karangan tidak harus sejalan dengan pendapat Redaksi. Kriteria artikel yang dapat dimuat dalam jurnal ini: •
• •
•
hasil-hasil penelitian etnografi mengenai salah satu masyarakat dan kebudayaan (kelompok etnik), terutama di Indonesia; hasil penelitian terapan di bidang antropologi atau antropologi pembangunan; pembahasan/diskusi mengenai teori/metodologi dalam ilmu antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya; dan tinjauan buku terhadap buku teks antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya. Buku yang dikaji berlaku bagi buku yang diterbitkan 3 tahun terakhir untuk terbitan dalam negeri dan 5 tahun terakhir untuk terbitan luar negeri.
Artikel masih akan disunting oleh Dewan Redaksi. Naskah agar diserahkan kepada Redaksi sebanyak 2 kopi dalam bentuk ketikan dengan program MS Word, spasi rangkap, di atas kertas HVS kuarto dengan panjang karangan maksimal 5000 kata. Bila dimungkinkan pengiriman naskah disertai dengan filenya dalam disket ukuran 3.5” (format MS-DOS). Mohon agar disertakan abstrak maksimal 250 kata dalam bahasa Inggris untuk artikel berbahasa Indonesia, atau sebaliknya. Semua catatan dalam artikel hendaknya tersusun rapi dengan ketentuan penulisan ilmiah yang berlaku. Catatan kaki agar ditulis di bagian bawah halaman dan tidak pada bagian belakang artikel. Daftar pustaka agar dibuat menurut abjad nama pengarang dengan contoh sebagai berikut: Geertz, C. 1984 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, dalam Koentjaraningrat (peny.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hlm. 246–274. Koentjaraningrat 1974 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. Manoppo-Watupongoh, G.Y.J. 1995 ‘Wanita Minahasa’, Antropologi Indonesia 18(51):64–74.
Guidelines for contributors • Not more than 5000 words. • Please add an abstract of not more than 250 words in Indonesian if the article is in English and vice-versa. A note on the author’s affiliation, a short biodata, address and contact numbers are required. • Please send us two copies of manuscript, plus a diskette of 3.5”, specifying the software used (preferably MS Word for Windows). • The manuscript should be typed in double spacing on A4 size paper with a margin of 3 cm all round. • References: • please specify all references in the text by author, year of publication and page numbers; e.g. (Koentjaraningrat 1990:107). • in the list of references please state author, year of publication, title, place of publisher, and publisher; e.g. Gilmore, D. 1990 Manhood in the Making: Cultural Concepts of Masculinity. New Haven and London: Yale University Press. • If it is a chapter in a book, or an article in a journal please give the title of book/journal and the page numbers. In the case of journal please give the Volume and issue number. e.g. Geertz, C. 1980 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, in Koentjaraningrat (ed.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pp.246–274. Marvin, G. 1984 ‘The Cockfight in Andalusia, Spain: Images of the Truly Male’, Anthropological Quarterly 57(2):60–70. • Footnotes instead of end notes should be kept to a minimum and numbered consecutively throughout the text. • Tables and figures should be numbered according to their sequence in the text.
copyright © 2010
ANTROPOLOGI INDONESIA a refereed international journal Department of Anthropology, Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesia 3rd floor suite 306, Building B, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424 Phone/Fax: +62 21 78881032 e-mail:
[email protected]