Pendidikan Antropologi dan Pembangunan Indonesia 1 Amri Marzali (Universitas Indonesia) Abstract This article was written in response to a challenge put forth by two non-anthropologists over the role of anthropologists in Indonesian national development. The challenge was made by the late Dr. Y.B. Mangunwijaya (Kompas 24 January 1996) and Dr. Benjamin Lumenta (Kompas 29 January 1996). In fact, a response was given by Prof. Parsudi Suparlan (Kompas 3 February 1996) and the author (Republika 2 May 1996). Also related to the matter is an article by Prof. S. Budhisantoso (Republika 24 May 1996). This article is an extention of the author’s own article that appeared in Republika of May 2, 1996. He finds that his ideas on the role of anthropologists in national development could not be covered adequately in the brief newspaper article, and requires an extended and serious discussion—even more so since the present articles touches upon the anthropological education system in Indonesia, specifically at the Department of Anthropology at the University of Indonesia. Thus, the article brings forth three main points, that is the role of anthropologists in Indonesia, the development of the anthropological education system in Indonesia, and Indonesian development.
Pengantar Suatu ketika, seorang kawan, lulusan MA Applied Anthropology dari sebuah universitas terkenal di Amerika, mengeluh sambil bertanya kepada saya: ‘Meski sudah lulus MA Antropologi Pembangunan dari Amerika, saya masih belum mengerti bagaimana menerapkan ilmu antropologi dalam pembangunan Indonesia. Bagaimana peranan saya sebagai seorang sarjana antropologi dalam proyek-proyek pembangunan, misalnya proyek pembangunan dam?’ 1
Tulisan ini merupakan revisi dari naskah yang disajikan dalam Sesi tentang ‘Menjelang Abad ke-21: Teori dan Metodologi’, dalam Seminar ‘Memasuki Abad ke-21: Antropologi Indonesia menghadapi Krisis Budaya Bangsa’, tgl. 6-8 Mei 1999 di Pusat Studi Jepang, Kampus UI, Depok.
96
Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang menarik dan sangat relevan dengan perkembangan situasi ilmu antropologi di Indonesia pada beberapa tahun terakhir. Inilah pertanyaan tentang hubungan ilmu antropologi dengan kenyataan yang ada, atau dalam konteks Indonesia, hubungan antara ilmu antropologi dengan pembangunan Indonesia. Singkatnya, pertanyaan ini berkaitan dengan kegunaan ilmu antropologi dalam kegiatankegiatan praktis. Dalam konteks yang sama, namun dalam situasi yang berbeda, saya pun pernah menghadapi beberapa pengalaman yang serupa dengan apa yang dipertanyakan kawan di atas. Pengalaman itu merupakan hal yang nyata, bukan pengandaian. Misalnya, suatu lembaga ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
sosial-ekonomi pernah meminta kepada saya, dalam kapasitas sebagai seorang antropolog, untuk mengevaluasi, dan kemudian menyusun program peningkatan kesejahteraan kelompokkelompok masyarakat desa hutan. Dalam kesempatan lain, saya diminta, juga dalam kapasitas sebagai seorang yang dianggap ahli dalam metode penelitian etnografi (metode kualitatif), untuk menyusun teknik-teknik pengumpulan data dan analisis data dalam penelitian-penelitian public policy dan business administration. Mendengar pertanyaan dan keluhan kawan di atas, dan merenungi pula pengalaman berharga yang saya alami sendiri, muncullah pada diri saya beberapa kesimpulan. Seorang sarjana antropologi, untuk dapat menggunakan ilmunya dalam kegiatan-kegiatan yang praktis, untuk dapat memanfaatkan ilmunya bagi pembangunan Indonesia, perlu menguasai beberapa pengetahuan dasar. Pertama, seorang antropolog (khususnya antropolog sosiokultural) seharusnya menguasai cukup pengetahuan tentang paradigma khas antropologi sosiokultural, termasuk teori, konsep, pendekatan, dan metode penelitian antropologi. Kedua, antropolog seharusnya juga memahami teoriteori pembangunan secara umum, sekurangkurangnya dalam garis besarnya. Ketiga, antropolog tersebut seharusnya mengikuti dan memahami kebijakan-kebijakan dalam pembangunan di Indonesia, termasuk cara-cara bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut diimplementasikan dalam program dan proyek yang dikelola oleh departemen-departemen tertentu. Terakhir, penting juga bagi seorang antropolog untuk menguasai bahasa Inggris, mengingat bahwa sebagian besar literatur antropologi ditulis dalam bahasa Inggris. Jadi, terdapat empat komponen pokok yang harus dikuasai seseorang antropolog sosio-kultural apabila dia ingin berkiprah dalam ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
kegiatan praktis, dalam kapasitas sebagai seorang antropolog. Apa sajakah isi dari masing-masing komponen tersebut?
Paradigma antropologi Antropologi, khususnya antropologi sosiokultural adalah satu disiplin ilmu dengan ciri-ciri dan tradisi yang khas, berbeda dari disiplin-disiplin ilmu yang lain. Antropologi adalah sebuah science. Terdapat beberapa butir penting dalam tradisi keilmuan antropologi sosiokultural yang harus diketahui secara mendalam oleh mahasiswanya. Objek kajian ilmu antropologi Antropologi sosiokultural, secara tradisional, berasal dari hasil kajian terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang berskala kecil, relatif terisolasi, dan sederhana secara teknologi, sosial, politik, dan ekonomi. Mereka antara lain adalah kelompok-kelompok Orang Aborigin di Australia, suku-sukubangsa di Papua dan Papua Nugini, kelompok-kelompok Indian di Amerika, kelompok-kelompok Orang Dayak di pedalaman Kalimantan, sukusukubangsa di Afrika, dan seterusnya. Hampir seluruh teori, metode, konsep, dan pendekatan antropologi sosiokultural berasal dari kajiankajian terhadap masyarakat semacam itu. Pada masa lalu, masyarakat seperti ini disebut dengan istilah masyarakat primitif atau masyarakat savage oleh para penelitinya. Penelitinya, yaitu para antropologi, adalah anggota dari masyarakat modern yang berasal dari Eropa dan Amerika. Karena itu, studi tentang masyarakat primitif dan savage ini mereka sebut sebagai studi tentang ‘other culture’. Memang, antropologi adalah studi tentang budaya dari masyarakat lain. Peneliti dan masyarakat obyek kajiannya berbeda tataran budayanya. Meskipun pada masa kini, kelompok masyarakat seperti ini sudah hampir pupus 97
dari muka bumi, tinggalan-tinggalan teori, konsep, metode, dan pendekatan—hasil dari kajian terhadap kelompok-kelompok ini—tetap mendominasi paradigma antropologi. Sebagai contoh, konsep dan metode penelitian the culture of poverty dari Oscar Lewis (1966) merupakan konsep dan metode penelitian modern dalam antropologi sosiokultural, yang berasal dari kajian terhadap kampung-kampung kumuh di perkotaan Amerika Latin. Konsep ini baru muncul pada pertengahan tahun 1960-an. Namun, akar dari konsep tersebut adalah tradisi penelitian etnografi tradisional pada masyarakat primitif, savage, sederhana yang berskala kecil, seperti yang dulu dirintis oleh Malinowski (1961), Margaret Mead (1955), Radcliffe-Brown (1933), dsb. pada awal abad ke-20. Metodologi Dalam antropologi sosiokultural, metodologi tidak terlepas dari teori. Secara teoretis dan metodologis, antropologi terbagi ke dalam dua peringkat. Peringkat bawah disebut etnografi, sedangkan peringkat atas adalah etnologi. Pada peringkat bawah, melalui hasil karya etnografi lapangan, seorang antropolog sosiokultural disebut sebagai etnografer. Pada tingkat selanjutnya, melalui karya-karya komparatif, dia akan menjadi seorang etnolog. Etnografi adalah metode penelitian lapangan, secara mendalam dan terlibat, dengan mengambil satu kelompok sosial tertentu sebagai kasus. Secara tradisional, kelompok sosial tersebut adalah sebuah sukubangsa. Karena itu, hasil penelitian etnografi dapat disebut pula sebagai deskripsi mengenai budaya suatu sukubangsa tertentu. Jadi, etnografi adalah metode penelitian yang khas antropologi, sekaligus hasil laporan dari penelitian tersebut. Etnografi adalah kerja lapangan sekaligus buku laporannya. 98
Karena pada masa lampau sukubangsa selalu diasumsikan bersifat homogen secara sosiokultural, maka gambaran sosiokultural sebuah sukubangsa dianggap dapat terwakili oleh sebuah komunitas yang tipikal dari sukubangsa tersebut. Demikianlah, misalnya, ‘agama Jawa’ dianggap oleh Clifford Geertz (1960) akan terwakili dengan melakukan penelitian etnografi terhadap komunitas ‘Mojokuto’ dekat Kediri. Atau, budaya Orang Trobriand, menurut Malinowski (1961), cukup terwakili dengan meneliti komunitas Kiriwana di Kepulauan Trobriand, Irian Timur. Dengan adanya kebiasaan seperti ini, etnografi sering juga disebut sebagai kajian komunitas. Di Inggris, istilah lain untuk antropologi sosiokultural adalah ‘micro sociology’, karena antropologi (antropologi sosial) meneliti masyarakat berskala kecil, atau juga disebut ‘comparative sociology’, karena generalisasi dicapai dengan menggunakan pendekatan komparatif. Etnografi merupakan metode penelitian lapangan yang asli antropologi. Bahkan, etnografi dapat dikatakan sebagai fondasi dari antropologi sosiokultural. Hal ini dapat disimak dari apa yang dikatakan oleh beberapa tokoh besar peletak dasar ilmu antropologi semisal Margaret Mead (1955, 1960, 1970); Clifford Geertz (1960, 1963, 1969, 1973), Adamson Hoebel dan E.L. Frost (1976). Singkatnya, belajar tentang etnografi berarti belajar tentang fondasi dari ilmu antropologi, khususnya antropologi sosiokultural. Ciri-ciri khas dari metode penelitian etnografi ini adalah: kajian kasus dengan sifat holistik-integratif, thick description, dan analisis kualitatif dalam rangka mencapai native’s point of view. Teknik pokok dalam pengumpulan data adalah observasi partisipasi dan wawancara mendalam. Metode etnografi biasanya tidak menggunakan analisis statistik yang bersifat kuantitatif, superfisial, dan segANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
mented. Bagaimanapun, etnografi adalah pekerjaan tingkat awal dari seorang antropolog yang profesional. Etnografi adalah satu pekerjaan inisiasi bagi seseorang yang ingin menjadi antropolog profesional. Seseorang tidak mungkin dapat diakui sebagai seorang antropolog profesional sebelum dia melakukan sebuah etnografi, dan melaporkan hasil penelitiannya. Hasil penelitiannya ini harus dinilai kualitasnya oleh para antropolog senior. Setelah itu, jika etnografer ini tetap tinggal menggeluti kegiatan seperti itu, tanpa ada usaha untuk meningkat ke peringkat yang lebih tinggi, maka dia tidak akan menjadi seorang etnolog, atau antropolog yang sesungguhnya. Tingkat pekerjaan yang harus dilakukan selanjutnya adalah apa yang disebut dengan comparative study, baik secara diakronis maupun secara sinkronis. Dalam fase ini dia tidak lagi wajib pergi ke lapangan, seperti yang dilakukannya dulu sewaktu menghasilkan sebuah etnografi. Tetapi, dia pergi ke perpustakaan. Setelah memilih topik tertentu sebagai fokus penelitiannya, dia mulai melakukan pekerjaan perbandingan. Misalnya, dia memilih topik tentang upacara kematian. Dia membanding-bandingkan upacara-upacara tersebut di antara beberapa sukubangsa di dunia. Dari hasil perbandingan ini akan muncul sebuah generalisasi, atau sebuah teori tentang upacara kematian. Ini adalah perbandingan sinkronis, yaitu membandingkan berbagai upacara kematian pada berbagai sukubangsa pada masa kini. Antropolog ini juga dapat melakukan perbandingan secara diakronis, misalnya membandingkan sistem pertanian yang dipraktekkan Orang Jawa pada 10.000 tahun yang lalu, dengan yang dipraktekkan mereka pada 5.000 tahun yang lalu, dan dengan praktek itu pada masa kini. Hasilnya adalah sebuah teori tentang perkembangan sistem pertanian di ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
Jawa. Sehubungan dengan sistem pertanian ini, atau sistem mata pencaharian hidup secara umum, banyak orang yang tidak menyadari bahwa pada suatu masa dulu, seluruh penduduk Jawa yang ‘modern’ ini adalah pemburu dan peramu seperti Orang Tugutil yang ‘primitif’ di Halmahera. Setelah itu, pada suatu titik masa tertentu, kemampuan kultural Orang Jawa dapat mengembangkan sistem pertanian primitif, yaitu sistem pertanian berladang tebang-bakar seperti yang dipraktekkan kebanyakan Orang Dayak pada masa kini. Sekitar th. 700 Masehi, Orang Jawa mampu mengembangkan sistem pertanian sawah basah. Terakhir, pada masa akhir-akhir ini, petani Jawa mulai berkembang menjadi petani modern dan komersil. Buku Coming of Age in Samoa oleh Margaret Mead (1955) adalah sebuah laporan etnografi dengan metode kajian kasus secara kualitatif. Setelah selesai melakukan kajian ini, dan menerbitkan hasilnya, maka Margaret Mead sudah sukses melewati suatu fase inisiasi untuk menjadi seorang antropolog sosiokultural. Dia sudah boleh dinobatkan menjadi seorang etnografer. Namun demikian, Margaret Mead belum dapat disebut sebagai seorang etnolog. Dia baru akan menjadi etnolog setelah dia melakukan comparative study terhadap beberapa kelompok masyarakat, dengan mengambil satu topik tertentu sebagai bahan kajian. Dari kajian komparatif ini harus muncul sebuah teori atau generalisasi tertentu. Setelah itu barulah dia menjadi etnolog, atau antropolog tingkat tinggi. Bukunya yang berjudul Male and Female (1960) misalnya, dapat dikatakan sebagai hasil karyanya sebagai seorang antropolog, bukan lagi seorang etnografer. Contoh lain, misalnya buku Schism and Continuity ini an African Society (1957) adalah 99
sebuah laporan etnografi dari Victor Turner, sedangkan seorang Victor Turner yang etnolog terlihat antara lain dalam bukunya, antara lain The Ritual Process: Structure and Anti-Structure (1977). Buku The Religion of Java (1960) adalah karya Clifford Geertz sebagai seorang etnografer, sedangkan buku Islam Observed (1969), atau Peddlers and Princess (1963), adalah karya Geertz sebagai seorang antropolog. Jadi, ada satu jarak waktu dan jarak teoretis antara seorang etnografer dan seorang antropolog. Lihat tabel 1 tentang tugas atau tujuan dari kerja ilmiah antropologi sosiokultural sebagai sebuah science. Tabel 1 Sumber: Spradley dan McCurdy (1972:7).
Teori Ethnology
Goals of Socio-cultural Anthropology Explanation Comparison Classification
Ethnography
Description
Saya tidak akan memperbincangkan hal teori ini terlalu mendalam dalam tulisan ini. Bagaimanapun, perlu diingat bahwa antropologi sebagai sebuah disiplin ilmu, mempunyai tugas untuk menjawab pertanyaan besar tertentu. Seluruh kerja ilmiah antropologi ditujukan untuk membahas dan menjawab suatu masalah dasar tertentu. Apakah masalah dasar yang ingin dicari jawabannya oleh ilmu antropologi? Pertama adalah masalah: Why societies differ? Mengapa berbagai masyarakat di muka bumi ini berbeda-beda? Mengapa berbagai kelompok sosial di muka bumi ini berbedabeda? Mengapa mereka berbeda dalam bentuk fisik, adat, bahasa, sistem sosial, politik, agama, dst.? Untuk menjawab pertanyaan ini, melalui kajian klasifikasi dan komparasi secara sinkronis maupun diakronis, para antropolog 100
telah melahirkan berbagai teori, a.l. adalah: teori evolusi kebudayaan, teori historical particularism, teori difusi kebudayaan, dan teori neoevolusionisme. Kedua adalah masalah: How societies differ? Kalau kelompok dan masyarakat berbeda, apanya yang berbeda, bagaimana bentuk perbedaannya, bagaimana persisnya perbedaan tersebut? Diperlukan satu studi etnografi yang holistik dan mendalam dari berbagai-bagai masyarakat di muka bumi ini. Untuk memenuhi keperluan ini, maka lahirlah teori-teori seperti struktural-fungsional, teori strukturalisme Perancis, teori cognitive anthropology, dan teori symbolic anthropology. Masalah dasar ketiga adalah tentang: What is the relationship between the individual and society? Bagaimanakah hubungan antara seorang individu dengan masyarakat? Bagaimanakah hubungan antara seorang individu Jawa dengan masyarakat Jawa secara keseluruhan? Atas dasar ciri-ciri apakah sehingga seorang individu boleh mengaku, atau diakui oleh umum, sebagai seorang Jawa? Bagaimana prosesnya bahwa semua bayi yang dilahirkan di dunia ini, yang secara sosial dan kultural adalah sama-sama ‘tabula-rasa’nya, tetapi setelah dewasa bayi yang satu menjadi Orang Jawa, bayi yang lain menjadi Orang Bugis, dan bayi yang lain lagi menjadi Orang Belanda, atau Cina? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar ini, ilmu antropologi telah mengembangkan teori anthropology-personality. Semua ini, dalam taraf tertentu harus dikuasai oleh seseorang yang ingin menjadi antropolog profesional. Dalam kenyataannya, banyak orang yang berijazah antropologi yang kurang menguasai hal ini, karena di Indonesia, bahan bacaan dan kesempatan orang untuk membaca sangat terbatas. Lagipula untuk mempelajari ini diperlukan bimbingan dari orang yang sudah berpengalaman. ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
Teori-teori pembangunan Syarat berikutnya bagi seorang antropolog untuk dapat berkiprah di dalam dunia nyata adalah penguasaan akan teori-teori pembangunan. Secara umum terdapat beberapa teori pembangunan yang dipelajari oleh ahliahli ilmu sosial, termasuk ahli ilmu antropologi. Teori ekonomi pembangunan, atau pertumbuhan ekonomi, meskipun merupakan perkembangan yang khas dalam ilmu ekonomi, tetapi karena teori ini mendominasi kebijakankebijakan pembangunan dalam masyarakat Dunia Ketiga, maka ahli ilmu-ilmu sosial lain mau tidak mau harus mempelajarinya, sekurang-kurangnya secara garis besar. Sementara itu, ahli ilmu-ilmu sosial lain, seperti sosiologi dan politik, telah mengembangkan teori pembangunan yang disebut teori modernisasi. Inti dari teori ini adalah usaha pembangunan institusional (perekayasaan struktur sosial) dan pembangunan mentalitas manusia (perekayasaan kultural). Teori ini bukan lagi patut dipelajari oleh mereka yang mengaku antropolog, melainkan justru memerlukan masukan-masukan antropolog dalam proses pengembangannya. Pada matra internasional berkembang teori dependensi dan pendekatan sistem global. Matra universal adalah matra yang jarang dimasuki oleh antropolog, karena secara tradisional perhatian antropolog adalah pada small scale society. Antropolog cencerung berwawasan suntuk, yaitu ‘think locally, act globally ’. Mereka yang meneliti tentang masyarakat Orang Dayak, hanya berpikir dan berkutat di sekitar masalah Orang Dayak saja. Padahal wawasan yang seperti ini tidak sesuai dengan tradisi awal ilmu antropologi, yang bertujuan untuk menjawab mengapa kelompok dan masyarakat manusia berbeda di seluruh dunia. Seharusnya seorang antropolog meANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
megang semboyan ‘act locally, think globally ’. Melalui kajian-kajian kasus pada masyarakat lokal tertentu, antropolog harus berpikir secara global tentang perbedaan dan persamaan masyarakat di seluruh dunia. Berdasarkan atas kenyataan kurangnya antropolog Indonesia yang berwawasan nasional—wawasan mereka hanya sebatas masyarakat sukubangsa yang mereka kaji— maka sampai kini kita bisa mengatakan bahwa yang namanya antropolog Indonesia itu belum ada. Ini belum menyebut tentang antropolog Indonesia yang berwawasan universal.
Kebijakan dan program pembangunan Indonesia Satu hal lagi yang perlu dikuasai oleh para antropolog adalah masalah pembangunan Indonesia. Garis besar pembangunan Indonesia, atau pembangunan masyarakat dan manusia Indonesia ditetapkan oleh MPR setiap lima tahun dalam apa yang disebut Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN ini kemudian dirinci ke dalam REPELITA. Pelaksanaannya terwujud dalam kebijakan, program, dan proyekproyek Departemen. Semua kebijakan dan implementasinya ini harus didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Jadi, dalam pembangunan Indonesia terdapat lima hal yang perlu diperhatikan, yaitu: Pancasila dan UUD 1945, GBHN, PELITA dan Kebijakan-kebijakan Departemen. Tentu saja tidak seluruh hal tersebut perlu dikuasai oleh seorang antropolog yang ingin ikut berkiprah dalam pembangunan Indonesia. Dia cukup mengonsentrasikan dirinya pada suatu bidang atau suatu aspek pembangunan yang digelutinya. Ambil contoh tentang seorang antropolog yang bergelut dalam bidang pembangunan kehutanan, khususnya pembangunan masyarakat desa hutan. Dia mungkin perlu mulai 101
belajar dari UUD No. 33 Pasal (3), yang berbunyi ‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-bearnya kemakmuran rakyat’. Dari sini kemudian meningkat pada penguasaan Bidang Kehutanan dalam GBHN pada tingkat nasional. Setelah itu, dia perlu mempelajari dengan cermat UU Kehutanan no. 41 Th. 1999 (juncto No. 5 Th. 1967), beserta segala Keputusan Menteri dan Dirjen yang relevan. Barulah setelah itu dia masuk ke dalam aspek khusus, yaitu program dan proyek-proyek yang berkenaan dengan pembangunan masyarakat desa hutan. Bagaimanapun, perlu diingatkan bahwa keterlibatannya dalam bidang di atas tetap dalam kapasitas sebagai seorang antropolog. Artinya, sebagai seorang antropolog, dia adalah juga seorang etnografer yang menguasai pengetahuan mengenai budaya dari berbagai sukubangsa di Indonesia. Ketika antropolog tersebut diminta untuk menyusun sebuah program pembangunan masyarakat desa hutan di Kalimantan, misalnya, dia bukan hanya menguasai dasar-dasar kebijakan pembangunan masyarakat desa hutan, melainkan juga dianggap menguasai ciri-ciri umum masyarakat dan kultur suku-sukubangsa di Kalimantan.
Situasi Jurusan Antropologi UI Kini saya ajak Anda untuk kembali pada masalah pokok tulisan ini, yaitu menjawab pertanyaan kawan di atas. Jawaban atas pertanyaan kawan tersebut, dan juga pemecahan atas masalah pribadi yang saya hadapi dalam berbagai proyek kerja pembangunan, dapat saya kemukakan sebagai berikut. Seorang antropolog tidak akan pernah memahami cara menerapkan ilmu antropologi dalam pembangunan Indonesia, dan juga tidak akan mengerti peranan yang harus dimainkan 102
sebagai seorang antropolog dalam proyekproyek pembangunan, kecuali bila dia menguasai pengetahuan yang memadai tentang sekurang-kurangnya tiga komponen yang telah diuraikan di atas, yaitu paradigma ilmu antropologi, teori-teori sosial pembangunan, dan kebijakan serta program pembangunan Indonesia. Kini, mari kita bawa pertanyaan di atas ke lingkungan Jurusan Antropologi UI, satu lingkungan yang saya kenal baik, tempat saya hidup dan bergaul sejak tahun 1962, ketika saya pertama kali masuk sebagai mahasiswa. Sampai seberapa jauh mahasisawa dan sarjana antropologi FISIP-UI menguasai ketiga komponen di atas, sehingga memungkinkan mereka dengan lebih mudah menerapkan ilmu antropologi untuk kegunaan praktis? Pertama patut digarisbawahi bahwa Jurusan Antropologi UI, sebagai pewaris tradisi ilmu antropologi dari Dunia Barat, selama ini berada di bawah bayang-bayang nilai ilmu murni (pure science ). Prinsipnya, tujuan pendidikan antropologi adalah untuk mencapai ‘the accumulation of reliable knowledge’, mengutip kata-kata Carlo Lastrucci. Antropologi adalah satu disiplin ilmu yang terutama bertujuan untuk pengembangan teori dan konsep. Apakah ilmu itu akan bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, apakah akan berfungsi dalam sistem pembangunan Indonesia, adalah pertanyaan yang berada di luar bayang-bayang sistem kurikulumnya. Bagaimanapun, pada masa akhir-akhir ini, gerakan pembangunan Indonesia yang dilancarkan sejak zaman Orde Baru, yang dipelopori oleh ahli-ahli ekonomi, telah memberi pengaruh pada beberapa ahli antropologi yang merasa terpanggil. Perhatian terhadap pembangunan Indonesia sudah nampak dan dipelopori oleh Prof. Koentjaraningrat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa tulisan dan ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
penelitian beliau tentang ‘nilai-nilai budaya’. Selain itu, sejak tahun 1970-an, Prof. Koentjaraningrat telah membuka satu mata kuliah baru di Jurusan Antropologi UI dengan judul ‘Antropologi Pembangunan’. Dalam mata kuliah itu, saya sendiri telah terlibat sebagai salah seorang pengajarnya sejak awal. Namun demikian, gerakan pembangunan yang menggebu-gebu di seluruh Indonesia dan keterlibatan antropolog dalam berbagai kegiatan pembangunan, nampaknya tidak membawa pengaruh banyak terhadap sistem kurikulum Jurusan Antropologi UI. Meskipun dalam kenyataan, beberapa staf pengajarnya telah terlibat dalam kegiatan pembangunan Indonesia. Sampai tahun 1992, di samping mata kuliah Antropologi Pembangunan, sulit untuk menemukan mata kuliah lain yang dapat membekali mahasiswa antropologi untuk dapat ikut berkiprah dalam kegiatan praktis pembangunan. Akibatnya, penguasaan mahasiswa antropologi akan 3 komponen pokok yang disebutkan di atas tetap rendah. Apa yang urgen diperlukan oleh Jurusan Antropologi dalam rangka memberdayakan lulusannya untuk berkiprah dalam kegiatan pembangunan pada masa kini adalah satu sistem kurikulum yang sistematik dan terarah, yang ditujukan untuk menghasilkan antropolog-antropolog yang mempunyai kemampuan dalam menerapkan ilmu mereka dalam pembangunan Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, dalam Lokakarya Jurusan Antropologi UI 1994 telah ditambahkan beberapa mata kuliah baru dalam sistem kurikulum Jurusan, yang dapat menolong mahasiswa menghubungkan/menerapkan ilmu antropologi pada pembangunan Indonesia. Mata-mata kuliah yang berhubungan dengan antropologi terapan/pembangunan tersebut adalah: a) Analisis Faktor Sosial-Kultural dalam Pembangunan, b) Antropologi Terapan, c) Dampak Pembangunan terhadap Masyarakat ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
dan Budaya Daerah, d) Manajemen dan Kultur, serta e) Industrialisasi dan Perubahan Kebudayaan. Di samping itu, beberapa mata kuliah yang ada, seperti Hubungan Antarsukubangsa, Antropologi Kesehatan, Antropologi Perkotaan, dan Perubahan Sosial-Budaya juga dapat disisipi warna antropologi terapan, jika sedikit-banyak dalam perkuliahan tersebut diberikan pemikiran-pemikiran yang bersifat ‘problem oriented’ dan ‘problem solving’. Masalah berat yang paling mendasar di Jurusan Antropologi UI, dan di berbagai Jurusan di seluruh universitas di Indonesia, adalah tidak adanya tenaga yang terdidik dan ahli dalam bidang ilmu pendidikan. Selama ini ilmu pendidikan telah ditempatkan di IKIP (yang kini berubah status menjadi universitas, red.), dan tidak pernah ada di universitas (di luar universitas yang semula adalah IKIP, red.). Seolaholah universitas itu bukanlah sebuah lembaga pendidikan. Akibatnya, dosen-dosen perguruan tinggi di Indonesia pada umumnya tidak menguasai ilmu pendidikan. Mereka tidak terdidik dalam menyusun Satuan Acara Perkuliahan, dalam menyelenggarakan evaluasi proses belajar-mengajar, apalagi dalam bidang administrasi pendidikan.2 Padahal, mereka itu pada hakekatnya adalah seorang ‘guru’. Mereka tidak berbeda dari guru di SMU, SLTP, dan SD. Tugas mereka adalah mendidik dan mengajar murid dari tidak mengetahui apa-apa sampai memiliki sejumlah kemampuan ilmu tertentu. Mereka tidak cukup hanya menguasai materi ilmu tertentu, tetapi juga harus mampu menransfer ilmu tersebut kepada anak didiknya. Pada tingkat Jurusan terlihat situasi kurangnya tenaga yang mampu menyusun kurikulum Jurusan. Padahal, kurikulum Jurusan 2
Di Universitas Indonesia, kelemahan ini mulai diusahakan untuk diatasi melalui program-program penataran yang diselenggarakan oleh P4TUI (Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Tinggi).
103
adalah kawah penggodogan yang menentukan ke mana mahasiswa itu akan dibawa. Kurikulum menentukan jenis, kualitas, dan kemampuan dari sarjana yang akan dihasilkan oleh Jurusan tersebut. Apa yang terjadi selama ini adalah semacam upaya melanjutkan warisan kurikulum lama, tanpa ada kesadaran mengapa warisan seperti itu harus dilanjutkan. Tanpa ada pertanyaan tentang perlunya perubahan. Selama ini tidak ada pertanyaan kritis, mengapa suatu mata kuliah harus diajarkan di Jurusan Antropologi. Mengapa satu mata kuliah merupakan mata kuliah wajib, sedangkan yang lain adalah pilihan? Mengapa ada matamata kuliah tertentu, yang diberikan di Fakultas atau Jurusan lain, perlu dianjurkan untuk diikuti oleh mahasiswa Antropologi? Apa yang ingin dicapai oleh suatu mata kuliah tertentu? Kemampuan minimal semacam apakah yang dapat dikuasainya setelah dia mengikuti mata kuliah tersebut? Sarjana Antropologi semacam apa yang akan dihasilkan oleh sebuah Jurusan atau Program Studi, yang di dalamnya diajarkan sejumlah mata kuliah tertentu?
Salah satu tantangan antropologi pembangunan di Indonesia Kini, saya ingin menggugah perhatian para antropolog pada satu masalah kecil, tetapi sangat penting, tempat sumbangsih ilmu antropologi sangat diperlukan dalam pembangunan Indonesia, yaitu aktualisasi konsep budaya atau culture. Budaya adalah salah satu konsep pokok dalam ilmu antropologi, dan juga merupakan konsep penting dalam pembangunan bangsa Indonesia. Di manakah titik temu dan titik pisah antara Jurusan Antropologi dengan Pembangunan Indonesia ketika orang bicara tentang budaya? Apakah ilmu antropologi dapat memberikan sumbangsihnya bagi pembangunan Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi ‘Pemerintah 104
memajukan kebudayaan nasional Indonesia’? Pemerintah, dari sudut pembangunan Indonesia—sesuai dengan UUD 1945 dan GBHN—memandang budaya atau kultur dari dua sudut pendekatan, yaitu pendekatan sektoral dan pendekatan regional. Secara sektoral, budaya dianggap sebagai salah satu dari sekian banyak sektor kehidupan kemasyarakatan. Dalam GBHN (khususnya 1993) sektor kebudayaan ini digabungkan dengan sektor kesejahteraan rakyat dan pendidikan. Kemudian secara lebih rinci, sektor kebudayaan ini dipecah lagi ke dalam sub-sub sektor yang lebih kecil. Isi dari sekotr kebudayaan ini adalah sebagai berikut: • kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; • nilai budaya Indonesia; • tanggung jawab sosial dan disiplin nasional; • pembauran bangsa; • bahasa dan sastra; • kesenian; • perbukuan dan kepustakaan; dan • warisan budaya dalam bentuk artefak, lokasi, bangunan dan tulisan kuno. Dengan uraian di atas dapat diartikan bahwa kebudayaan, menurut pengertian pemerintah, adalah salah satu sektor kehidupan yang terdiri atas 8 sub-sektor. Kita perlu mempertanyakan, seberapa jauh definisi seperti itu dapat diterima oleh antropologi sebagai sebuah disiplin ilmu. Bagaimanapun, dalam kenyataannya, definisi tersebut telah menjadi dasar bagi program operasional Direktorat Jenderal Kebudayaan, tidak peduli apakah antropologi dapat menyetujuinya, apakah antropologi mau ikut serta berkiprah bersama Direktorat itu. Selanjutnya, secara regional, kultur dipandang oleh pemerintah sebagai ‘sesuatu yang khas’ yang menjadi milik masing-masing ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
sukubangsa yang ada di Indonesia. Apakah yang dimaksud dengan ‘sesuatu yang khas’ yang dimiliki bersama oleh suatu sukubangsa di Indonesia? Hal ini tidak dijelaskan oleh pemerintah. Kita hanya bisa mereka-reka. Misalnya, kebudayaan Sunda, adalah hal-ihwal yang berkaitan dengan ciri-ciri sosial khas Orang Sunda. Kebudayaan Sunda menyangkut bahasa Sunda, tarian Sunda, mata pencaharian hidup Orang Sunda, sistem kekerabatan Orang Sunda, dsb. Jadi, definisi pemerintah tentang kultur dari sudut pandang regional masih belum jelas. Beberapa kalimat di bawah ini, yang tercantum dalam naskah UUD 1945 dan Penjelasannya, dapat menjadi titik tolak untuk menjawab pertanyaan di atas: • pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia (Pasal 32, UUD 1945); • kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya; • kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa; dan • usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan (Penjelasan Tentang Undang-Undang Dasar Negara Indonesia). Dari butir-butir di atas terlihat banyak hal yang belum jelas definisinya dan tujuannya. Apakah definisi dari ‘kebudayaan’, ‘kebudayaan nasional Indonesia’, ‘kebudayaan bangsa’, ‘kebudayaan lama dan asli’, dan ‘usaha kebudayaan’? Bagaimana menyusun program dan implementasi ‘memajukan kebudayaan nasional’? Bagaimana mengukur keberhasilan program ‘memajukan kebudayaan nasional’ tersebut? Ini adalah pertanyaan dan sekaligus tantangan. Kemudian, apa pula beda ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
antara ‘kebudayaan’, ‘budaya’, dan ‘adab’? Demikianlah sejumlah masalah yang masih mengganjal sehubungan dengan pengertian konsep kebudayaan secara regional. Berdasarkan uraian di atas, muncul satu pertanyaan yang mendasar. Bagaimana mungkin pemerintah memajukan kebudayaan, baik secara sektoral maupun secara regional, jika definisi dan tolok ukur dari konsep kebudayaan itu belum jelas? Apakah ini bukan tanggung jawab para antropolog untuk ikut membantu membenahinya?
Konsep kultur dalam ilmu antropologi Dalam ilmu antropologi masa kini terdapat dua aliran besar dalam pendefinisian konsep kultur (culture), yaitu aliran behavioral dan aliran ideational. Aliran behavioral melihat kultur sebagai a total way of life. Aliran ini cocok dengan pandangan almarhum Prof. Koentjaraningrat. Dengan mengutip tulisan Kluckhohn (1953), Koentjaraningrat selalu menganjurkan murid-muridnya untuk memilahmilah total way of life ini ke dalam 7 unsur Pada masa kini, konsep ini masih digunakan oleh para antropolog yang menekuni bidang studi evolusi kebudayaan dan ekologi manusia. Namun, memilah konsep ini ke dalam 7 unsur universal tidak banyak lagi dibicarakan orang sebagai sesuatu yang sangat berguna sebagai pisau analisis. Ini adalah metode pemilahan yang muncul pada masa awal perkembangan ilmu antropologi. Pemilahan ini hanya berguna dalam rangka kerja etnografi, yaitu kerja mengumpulkan data tentang budaya dari suatu sukubangsa selengkap-lengkapnya. Sementara itu, aliran ideational melihat kultur sebagai sesuatu yang abstrak, sesuatu yang bersifat ideational (gagasan, pemikiran), yang berfungsi dalam membentuk pola perilaku suatu kelompok maysarakat. Kultur yang abstrak tersebut dapat berbentuk: sistem 105
pengetahuan, the state of mind, spirit, belief, meaning, ethos, value, the capability of mind, dan sebagainya. Di sini kita melihat perbedaan cara-cara pemerintah dan cara-cara ilmu antropologi dalam mendefinisikan konsep kultur atau budaya.3 Di satu pihak kita melihat konsep kultur pemerintah yang berorientasi pada program praktis, dan problem oriented, yaitu pada pembangunan bangsa. Namun, definisi dan tolok ukurnya belum jelas. Di sisi lain kita melihat definisi kultur dari ilmu antropologi yang lebih berorientasi pada pengembangan teori dan penggunaannya dalam riset pengumpulan data. Kedua definisi ini sulit untuk dipertemukan. Inilah tantangan bagi para antropolog untuk mempertemukannya. Tugas ini termasuk ke dalam apa yang disebut antropologi terapan atau antropologi pembangunan. Untuk saat ini saya tidak akan melanjutkan pembahasan ini lebih lanjut. Hal ini memerlukan pembicaraan yang panjang, dan mungkin perlu 3
Sebenarnya Pemerintah RI, cq Direktorat Jenderal Kebudayaan tidak bicara tentang kultur atau budaya. Yang menjadi concern mereka adalah ‘kebudayaan’, yaitu hal ihwal yang berkaitan dengan budaya. Karena itu, kita perlu berhati-hati dalam menggunakan konsep ‘budaya’ dan konsep ‘kebudayaan’. Terjemahan Direktorat Jenderal Kebudayaan dalam bahasa Inggris adalah The Directorate General of Cultural Affairs, bukan The Directorate General of Culture.
melibatkan banyak pihak, baik pihak eksekutif maupun akademisi. Ini memerlukan diskusi dan polemik. Kita harap pihak yang berwewenang di Direktorat Jenderal Kebudayaan sudi mengambil inisiatif untuk memulai diskusi dan polemik ini. Tentu saja dengan partisipasi kita semua yang mengaku sebagai antropolog. Tugas pokok kita kini terutama adalah bagaimana caranya membantu agar program pembangunan kultur yang sedang dikerjakan pemerintah dapat berjalan secara efektif dan sesuai dengan ilmu yang diajarkan di perguruan tinggi, khususnya antropologi. Bagaimana membuat apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, bangsa, dan negara sesuai dengan, atau dapat dipenuhi oleh perguruan tinggi. Kita memerlukan satu benang yang menghubungkan sistem pendidikan di perguruan tinggi dengan apa yang dibutuhkan masyarakat dan negara. Kita memerlukan satu kurikulum Jurusan Antropologi yang mampu memberdayakan lulusannya, yang mampu membuat lulusan antropologi ikut berkiprah dalam kancah pembangunan Indonesia, yang mampu mengangkat ilmu antropologi sejajar dengan ilmu-ilmu elit lain, seperti ilmu ekonomi, ilmu teknologi, ilmu kedokteran, dsb. Antropologi adalah sebuah science, sama seperti ilmu fisika, ekonomi, biologi, teknik sipil, arsitektur, dsb., yang di samping mempunyai sisi ilmiah juga mempunyai sisi terapan.
Kepustakaan Geertz, C. 1960 The Religion of Java. Glencoe, Ill.: The Free Press of Glencoe. 1963 Peddlers and Princess. Chicago: University of Chicago Press. 1969 Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia. New Haven: Yale University Press. 1973 The Interpretation of Culture. New York: Basic Books, Inc. Hoebel, A.E. dan E.L. Frost 1976 Cultural and Social Anthropology . New York: McGraw-Hill Inc.
106
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
Kluckhohn, C. 1953 ‘Universal Categories of Culture’, dalam A.L. Kroeber (peny.) Anthropology Today. Chicago: University of Chicago Press. Hal.: 304-320. Lewis, O. 1966 La Vida: A Puerto Rican Family in the Culture of Poverty – San Juan and New York. New York: Random House. Malinowski, B. 1961(1922) Argonauts of the Western Pacific. New York: Dutton. Mead, M. 1955 Coming of Age in Samoa . New York: Mentor Books. 1960(1949) Male and Female . New York: Mentor Books. 1970 ‘The Art and Technology of field Work’, dalam R. Naroll dan R. Cohen (peny.) A Handbook of Method in Cultural Anthropology. Columbia: Columbia University Press. Hal.: 246-265. Radcliffe-Brown, A.R. 1933(1922) The Andaman Islanders. Cambridge: Cambridge University Press. Spradley, J. dan D.W. McCurdy 1971 The Cultural Experience: Ethnography in Complex Society. Chicago: Science Research Associates, Inc. Turner, V. 1957 Schism and Continuity in an African Society: A Study of Ndembu Village Life. Manchester: Manchester University Press. 1977 The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. Ithaca: Cornell University Press.
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
107