PENDIDIKAN DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN oleh Emil Salim
Paus Fransiskus telah menerbitkan ensiklik "Laudato Si'" yang memuat diagnosa tentang kondisi bumi kita yang sedang dilanda berbagai krisis lingkungan yang mengancam keberlanjutan kehidupan manusia, seperti polusi akibat budaya sampah, polusi yang mampu mempengaruhi perubahan iklim, semakin langkanya air bersih, dan hilangnya keaneka-ragaman hayati. Disamping itu kualitas hidup manusia dan sosial merosot dan ini berimbas pada ketimpangan global. I. AKAR KRISIS EKOLOGI Akar krisis ekologi terletak dalam diri manusia yang didominasi oleh paradigma teknokratis dan peri kehidupan antroposentris sehingga manusia "tidak lagi merasakan alam sebagai norma yang berlaku, atau sebagai tempat berlindung yang hidup." Alam menjadi obyek untuk dieksploitasi. Sesungguhnya semua saling terkait sebagai berbagai komponen dari suatu ekologi integral mempertautkan ekologi ekonomi, sosial dan ,ingkungan. Ekologi manusia tidak terlepas dari gagasan kesejahteraan umum sebagai pemersatu dalam etika sosial. Konsep kesejahteraan umum juga meluas ke generasi masa depan. Kita tidak bisa bicara tentang pembangunan berkelanjutan tanpa solidaritas antar-generasi. Karena bumi yang kita huni adalah juga milik generasi mendatang. Dunia macam apa ingin kita tinggalkan untuk generasi depan? Terselip disini kesadaran bahwa yang dipertaruhkan adalah martabat kita sendiri. Kitalah yang pertama-tama berkepentingan mewariskan planet yang layak huni bagi generasi selanjutnya. Tak kurang
penting bukan hanya memikirkan kaum miskin masa depan, tetapi juga perlu ditanggulangi kaum miskin sekarang ini. Maka selain solidaritas yang adil antar-generasi, juga mendesak membaharui solidaritas intra-generasi. Dalam berusaha menanggulangi berbagai kerusakan lingkungan ini, perlu dikembangkan beberapa jalur dialog yang dapat membawa kita keluar dari spiral kehancuran manusia dan lingkungan. Berbagai dialog tentang lingkungan sudah dilaksanakan dalam forum politik internasional, seperti Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro (1992), disusul dengan Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan "Rio+20" di Rio de Janeiro, 2012. Juga di dalam negara-negara berlangsung dialog untuk kebijakan baru nasional dan lokal yang menghasilkan proses transparansi pada pengambilan keputusan di tingkat proyek. Pada saat kesejahteraan umum dibahas, tumbuh kebutuhan mendesak agar politik dan ekonomi secara tegas diabdikan pada kehidupan, terutama kehidupan manusia. Krisis keuangan 2007-2008 terbukti tidak ditanggapi dengan meninjau-ulang kriteria usang yang terus memerintah dunia. Gelembung keuangan umumnya juga menjadi gelembung produksi. Dalam konteks ini, perlindungan lingkungan tidak dapat dijamin semata-mata atas dasar perhitungan finansial tentang "biaya-danmanfaat". Lingkungan tidak dilindungi secara memadai oleh mekanisme "pasar". Perlu dibuang kesan tentang pasar bahwa masalah akan terselesaikan dengan meningkatkan keuntungan perusahaan dan individu. Dalam pola fikir profit, tak ada ruang untuk berfikir tentang irama alam, regenerasi alamiah atau kompleksitas ekosistem yang diubah oleh ulah manusia. Keanekaragaman hayati dianggap sebagai sumber daya alam untuk dieksploitasi, tanpa memahami fungsi hakikinya. Karena itu perlu "mengubah model pembangunan global, merefleksi tanggung jawab atas makna ekonomi dan tujuannya dan memperbaiki kesalahan dalam fungsi dan applikasinya". Kita juga butuhkan politik berpandangan luas bisa mengajukan pendekatan komprehensif dan mampu mengintegrasikan berbagai aspek dari krisis ke dalam suatu dialog interdisipliner. Seringkali politik itu sendiri bertanggung-jawab atas hilang wibawa dan reputasinya karena korupsi dan buruknya kebijakan publik. Bila ekonomi terobsesi dengan keuntungan ekonomi belaka dan politik terobsesi untuk mempertahankan dan meningkatkan kekuasaannya, maka hasilnya adalah rangkaian konflik yang merusak lingkungan dan kegagalan melindungi yang lemah. Oleh karena itu maka kesadaran terhadap ancaman krisis budaya dan ekologi harus diterjemahkan ke dalam adat kebiasaan baru. Sehingga lahirlah kebutuhan akan pendidikan lingkungan untuk menciptakan
"kewarganegaraan ekologis" menumbuhkan perilaku yang memungkinkan kita menghayati kesadaran bahwa kehidupan di bumi ini berharga. Dalam kaitan inilah "hubungan antara pendidikan estetika yang tepat dan pelestarian lingkungan tidak boleh diabaikan." Pendidikan yang efektif adalah yang mampu menyebarkan cara berfikir baru tentang manusia, kehidupan, masyarakat dan hubungan kita dengan alam. Menghayati panggilan untuk melindungi karya Allah adalah bagian penting dari kehidupan yang saleh. Demikian pokok-pokok fikiran Paus Fransiscus dalam Ensiklik Laudato Si' tentang Perawatan Rumah Kita Bersama. II. "MERAWAT RUMAH KITA BERSAMA" Dalam melaksanakan pembangunan Indonesia sangatlah penting untuk menghayati semangat dan orientasi pembangunan "Merawat Rumah Kita Bersama", terutama dalam menanggapi tantangan pembangunan bangsa di masa depan menjelang 100 tahun usia Republik Indonesia di tahun 2045. Tantangan pertama adalah menanggapi dampak demografi pada pembangunan. Penduduk Indonesia akan meningkat dari 230 juta (2012) ke 316 juta jiwa (2050). Sedangkan penduduk global akan naik dari 7 milyar (2012) ke 9 milyar (2050). Pertumbuhan penduduk Indonesia ini mendorong naiknya ekonomi menghasilkan Produk Domestik Bruto US$ 3.500 per orang (2012) ke US$ 14.500 per orang (2050); Sedangkan Produk Global Bruto naik dari US$ 70 trilliun 2012) ke 200 trilliun (2050); Jika kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) diusahakan "business as usual" menurut pola pembangunan konvensional akan memberi tekanan besar dan melampaui "bio-kapasitan" tanah-air Indonesia dan bumi sejagat. Jika ditelusuri Produksi PDB menurut pulau maka tampak bahwa: 1. Jawa hasilkan 57% PDB Nasional, DKI Jakarta saja 16%; 2. Sumatera hasilkan 24%, Riau saja 7%; 3. Kalimantan hasilkan 10%, Kalimantan Timur saja 7%; 4. Sulawesi hasilkan 4%, Sulawesi Selatan saja 2%; 5. Bali dan Nusa Tenggara hasilkan 3%, Bali saja 1,24%; 6. Maluku dan Papua hasilkan 2,2%, Maluku saja 0,3%; Praktis 82% PDB Indonesia dihasilkan oleh pulau-pulau Jawa-Sumatera dan Bali yang
terletak di bagian barat Indonesia dan sisa PDB dihasilkan oleh kepulauan bagian timur Indonesia. Dan ketimpangan pendapatan juga terdapat di dalam satuan pulau masing-masing. Ketimpangan pembangunan PDB Indonesia diikuti ketimpangan dalam pembagian pendapatan. Bila gariskemiskinan rata-rata nasional adalah 11,96% (2012) maka propinsi yang menderita persentase penduduk miskina di atas rata-rata nasional adalah 1. Papua 31,11%; 7. Gorontalo 17,33% 12. Sulawesi Tengah 15,4% 2. Papua Barat 28,2%. 8. Bengkulu 17,7%. 13. Sul.Tenggara 15,4% 3. Maluku 21,78% 9. Lampung 16,18%. 14. Sumatera Slt. 13,78% 4. Nusa T.Timur 20,88%. 10.Jateng 15,34%. 15. Jatim 13,85% 5. Nusa T.Barat 18,63% 11. DIYogja 16,05%. 16. Sulawesi Barat 13,29% 6. Aceh 19,46% Penduduk 7 propinsi lain berada DIBAWAH rata-rata nasional. Yang merisaukan bahwa pola pembangunan yang terlaksana di beberapa propinsi merekam jejakekologi pembangunan yang sudah melampaui bio-kapasitas propinsi, sehingga menghasilkan "defisit" yang menunjukkan bahwa tekanan pembangunan fisik telah melampaui ambang-batas sustainabilitas eko-region di propinsi bersangkutan. Dan menjadi peka terhadap kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan) beserta risiko kebakaran, kekurangan air dan kenaikan suhu panas. JEJAK EKOLOGI DAN BIO-KPASITAS (ha/orang tahun 2010). Indonesia: jejak ekologi 1,13 biokapasitas. 1,32 Akibat dampak: Riau 2,69 1,31 Defisit Jambi 3,89 3,17 Defisit Sulawesi Utara 1,79 1,21 Defisit Nusa Tenggara Barat 0,65 0,33 Defisit Bali 1,76 0,24 Defisit Jawa 3,01 0,20 Defisit Jejak ekologi adalah luas areal yang tereksploitasi.. Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2012.
Dari gambaran ini tampak bahwa pola pembangunan konvensional yang berpedoman pada peningkatan rasio manfaat-biaya ekonomi semata tidaklah menjamin keberlanjutan pembangunan, terutama bagi generasi masa depan. Karena itulah Konferensi Tingkat Tinggi tentang Peta Jalan Pembangunan Global 2015-2030 bulan September 2015 di Perserikatan Bangsa-Bangsa sepakat merubah pola Pembangunan Konvensional ke dalam pola Pembangunan Berkelanjutan (sustainable) yang mencakup pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan yang dilaksankan secara serentak dengan sasaran pembangunan global mencapai tingkat kemiskinan 0% di tahun 2030. Implikasi dari pola pembangunan berkelanjutan adalah bahwa (1) dimensi pembangunan ekonomi perlu perbaiki pengembangan "Human Development Index", (2) dimensi sosial memperbaiki tercapainya "Millennium Development Goals" yang mencakup segi-segi kesehatan, pendidikan, pengangguran, kemiskinan, dll; dan (3) dimensi lingkungan memperbaiki "rasio jejak ekologi terhadap bio-kapasitas agar kurang dari satu, pengendalian kadar pencemaran CO yang berimbas pada kenaikan suhu bumi, dll. Sehingga pola pembangunan bersifat multi-disiplin mencakup dimensi ekonomi-sosial-lingkungan yang melalui analisa "general equilibirum" mencapai ketiga-tiga sasaran secara simultan. Lahirlah konsep-konsep "sustainable inclusive growth with equity", "natural resource base enrichment", teknologi "reuse-reduce-recycling"dalam pengelolaan non-renewable resources. Tersimpul disini bahwa pelaku pembangunan berkelanjutan tidaklah homogin tunggal dan terdiri dari berbagai fihak yang berbeda kepentingan. Karena proses pembangunan berlangsung melalui mekhanisme harga dalam pasar maka fihak yang "kuat" dalam menyatakan fungsi-preferensinya umumnya menang. "Harga" dalam pasar ditentukan oleh fihak yang mampu mempengaruhi harga karena didukung oleh kekuatan ekonominya. Sehingga "pasar" cendrung mencerminkan preferensi mereka yang kuat daya keuangannya untuk menopang "harga" di pasar. Sehingga harga tidak lagi mencerminkane kelangkaan komoditas, tetapi kekuatan pembeli yang ditopang oleh dana keuangannya. Faktor-faktor eksternalitas yang ditimbulkan oleh perubahan mutu lingkungan alam dan dampak pembangunan pada tatanan sosial tidak digubris karena kuatnya intervensi pelaku ekonomi yang menyandang dana sehingga pasar tidak memperhitungkan biaya sosial dan biaya lingkunganSehingga fungsi pasar sebagai pengatur alokasi resources sesungguhnya terdistorsi oleh "the power of money."
Sering penyandang dana juga bisa mempengaruhi perimbangan kekuatan politik. Dan bertemulah kepentingan ekonomi dengan kepentingan politik dalam wujud "mafia ekonomi dan politik" yang bersenjatakan "the power of money". Proses demokrasi di tanah-air kita adalah mahal, karena calon-calon pemimpin membutuhkan dana besar untuk merebut suara rakyat dalam pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, bahkan dalam pemilihan Pimpinan Partai. Indonesia belum menemukan model pemilihan pemimpin secara demokratis yang bebas dari pengaruh mereka yang punya uang. Sehingga dalam politik dan ekonomi, fihak penentu adalah "mereka yang menguasai uang". Dalam kaitan inilah Ensiklik Laudato Si' tentang Perawatan Rumah Kita Bersama dari Paus Fransiskus menjadi relevan. Besar peranan pemimpin-pemimpin agama untuk menumbuhkan kekuatan etika-moral yang mengimbangi sebagai "counter-vailing power" kekuatan kekuasaan uang. Kesadaran beretika, bermoral dan beragama perlu dibangkitkan agar lebih unggul dari mereka yang mengandalkan "the power of money." Kekuatan intrinsik dalam diri manusia perlu dibangkitkan oleh kesadaran beragama "menjalin tali hubungan dengan Tuhan sebagai pegangan menjalin tali hubungan antar manusia". Bermodalkan pemahaman etika dan moral agama, pendidikan dikembangkan untuk mengikis habis pandangan hidup vulgar yang "memberhalakan uang sebagai sumber peroleh kekuatan ekonomi dan kekuasaan politik." Inilah sesungguhnya hakekat inti yang perlu dihayati para pendidik di berbagai tingkat pendidikan untuk membangun peri-laku "manusia merawat rumah kita bersama". Sesungguhnya Indonesia sudah mencatat langkah tindak konkrit para Pemimpin Agama dalam merawat bumi Nusantara kita. Pater Bollen mengajak jemaahnya di gereja Katholik Maumere, Nusa Tenggara Timur untuk bergotong-royong memulihkan fungsi penyerapan air hujan dalam tanah yang dibangun menjadi teras bangku yang ditanami pohon lamtoro. Setelah para jemaah gereja bekerja bertahun-tahun, alam gersang mampu menghidupkan Kali Lei kembali di Maumere, NTT. Begitu pula Kyai Haji Basid, Pemimpin Pondok Pesantren "An-Nuqayah" di Guluk-guluk, Sumenep, Madura, memimpin santri-santri dan penduduk sekitar untuk menanam pohon di tanah kering-gersang Madura. Setelah bekerja bertahun-tahun tumbuh hutan rimbun yang mampu menguap embun dan menarik curah hujan, sehingga secara berangsur terbentuk kali
yang tumbuh menjadi sungai. Motivasi yang mendorong Kyai Haji Basid bekerja bertahun-tahun membangun hutan alam adalah dorongan keyakinan beragamanya untuk mendapatkan air bersih bagi kesempurnaan menjalankan ibadah salat. Indonesia dianugerahi Tuhan sebagai satu-satunya negara kepulauan di dunia yang terletak di khatulistiwa dengan "tropical biological natural resource daratan dan lautan" terkaya di dunia. Sehingga dengan sains dan teknologi, Indonesia memiliki produk bersaing unggulan dengan nilai tambah sumber daya keanekaragaman hayati tropis daratan dan lautan yang kaya melimpah. Karena itu kita perlu: 1. Melestarikan kawasan "eko-region" tiap pulau sebagai habitat alami microba, bakteri, jamur dll sebagai sumber daya genetika flaura-fauna; 2. Mengembangkan ilmu science dan teknologi untuk mengembangkan obat-farmasi berbasis "mikroba alami fauna-flora" memerangi TBC,, anti-Kanker, dll; 3. Mengembangkan Mikroba Penyubur Perakaran pengganti pupuk-kimia mengganti pestisida kimia dan mengembangkan Agen-Perombak Bahan Kimia Agro; 4. Menumbuhkan Bio-farming diversitas pangan (kentang hitam Nganjuk, Varietas Umbi Tacca di pasir kering Madura dan Bangka; 5. Mengembagkan sumber daya Marin Tropis mengolah laut untuk pangan, obat, kosmetika; 6. Membangun Bio-pestisida, bio-ethanol, bio-fuel, bio-pellet (antara lain untuk interior mobil) berbasis sampah plastik; 7. Mengembangkan hewan dan ikan sebagai sumber pangan, obat, kosmetika, dll; 8. Menerapkan teknologi restorasi biodiversitas dan ekosistem untuk sustainabilitas alami. Posisi Indonesia yang unik sebagai negara kepulauan di kawasan khatulistiwa memberi berkah kekayaan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang harus dinaikkan nilai tambahnya sebagai sumber peningkatan kesejahteraan rakyat kita engan pola pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan. Dan inilah harus menjadi pedoman para guru-pendidik untuk menginternalisasikan orientasi dan pemahaman ilmu Science-TechnologyEngineering-Mathematika-Ilmu Sosial-Budaya kepada anak-didik kita untuk bisa menciptakan "nilai tambah atas keunikan kekayaan alam kita" sebagai arahan pendidikan anak didik kita untuk memberi substansi pada tiga jalur ekonomi-sosial-lingkungan dalam pola pembangunan berkelanjutan. III PERANAN PENDIDIKAN BAGI GENERASI BONUS DEMOGRAFI. Pemimpin-pemimpin kita, seperti Bung Karno lahir 1901 dan menjadi Presiden di tahun 1945.
Pak Harto lahir 1921 dan menjadi Presiden di tahun 1967. Ada siklus hidup 40 tahun dengan pematangan puncak manusia pada usia 40-tahunan. Sehingga pada usia 40 tahun tumbuhlah elan dan kreatifitas manusia menuju puncak prestasinya. Berkat berhasilnya Indonesia melaksanakan Program Keluarga Berencana, maka kita beruntung menikmati "bonus demografi", yaitu tumbuhnya potensi percepatan pertumbuhan ekonomi yang dipicu oleh menurunnya rasio ketergantungan (dependency ratio) penduduk (dihitung dari jumlah penduduk 0-14 tahun ditambah dengan penduduk usia 65 tahun+ dibagi dengan penduduk usia produktif (5-64 tahun). Struktur penduduk yang didominasi oleh kelompok usia produktif 15-64 tahun ini meningkatkan suplai angkatan kerja, naiknya potensi tabungan, dan naiknya kualitas sumber daya manusia berkat membaiknya kesehatan dan pendidikan. Pada tahun 2012 "rasio ketergantungan penduduk kita menunjukkan proses turun meliwati batas 50% di tahun 2012. Dan akan mencapai titik terendah (46,9%) antara tahun 2028-2031. Sehingga dalam periode inilah generasi 15-64 tahun mendominasi profil kependudukan kita. Apabila generasi ini terlatih, terdidik, sehat dan cerdas, maka sumber daya manusia Indonesia seperti ini mampu mendobrak ketertinggalan Indonesia dalam pembangunan dibandingkan negara-negara lain. Hal ini juga difahami kalangan bisnis yang memperhitungkan kebangkitan pasar yang berpangkal pada tumbuhnya jumlah generasi muda. Kita perlu waspada bahwa generasi muda ini tidak menjadi potensi industri yang justru merusak kualitas generasi muda ini. Akhir-akhir ini tampak meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol dan rokok di kalangan generasi muda. Citi-ciri ketiga industri Na(rkoa)-Rok(ok)-a(lkohol) alias NAROKA ini adalah ciri-ciri menumbuhkan "kecanduan" (addiction) pada pemakainya. Dan sekali anak-muda masuk genggaman kecanduan ini, seumur hidup ia terikat pada NAROKA dengan akibat hancurnya kualitas generasi muda kita. Sehingga para pendidik perlu aktif serta dakam pembrantasan proses addiction oleh NAROKA agar generasi muda tidak terjerumus dalam "neraka hidup" ini. Karena itu sangatlah penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia generasi ini. Generasi muda ini berusia usia 20-han ke atas(lahir di tahun 90-han ke atas) dan akan mencapai usia 40-han di tahun 2020-han. Sehingga generasi ini dan yang akan datang berkesempatan membawa kita ke 100 tahun Indonesia Merdeka di tahun 2045. Pada ujung jalan usia Indonesia 100 tahun inilah sudah harus dicapai Indonesia yang lepas lamdas, keluar dari perangkap keterbelakangan dan "Middle Income Trap". Terlepas dari belenggu "vested interests groups", berbagai mafia ekonomi dan politik, penuh kesadaran dan komitmen membangun Indonesia yang sejahtera ekonominya, adil kehidupan masyarakat tanpa ketimpangan dan dalam lingkungan alam tropis Indonesia yang utuh lestari di tahun 2045. Sasaran ini bisa dicapai apabila pola pembangunan konvensional didobrak menempuh jalan Manusia Ber-Tuhan berkat reformasi pola pendidikan menuju pembentukaan Manusia yang Utuh, menghayati perikehidupan keselarasan antara manusia dengan Tuhan, antara manusia dengan sesama manusia dan masyarakat, dan antara manusia dengan lingkungan alam, yang mampu dengan penuh kesadaran "membangun dan merawat Bumi Nusantara kita bersama". Jakarta, 17 Februari 2016