RUANG KAJIAN
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN RELEVANSINYA UNTUK INDONESIA Julissar An-Naf Abstract Hingga dekade 1980-an teori dan praktik pembangunan sangat didominasi oleh paradigma Neo-Klasik yang mengejar pertumbuhan ekonomi (economic growth) yang dikotomis, karena di satu sisi memperhitungkan efisiensi penggunaan modal, tenaga kerja, gandrung pada efisiensi teknologi namun di sisi lain susutnya sumberdaya alam dan rusaknya lingkungan tidak diperhitungkan dalam akuntansi pembangunan (Development Accounting). Kemudian kenyataan empirik membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi sesungguhnya bersifat semu bahkan dalam jangka panjang menghasilkan kalkulasi yang negatif. Manakala telah sampai pada deplesi sumberdaya alam disertai parahnya destruksi lingkungan pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat bahkan menjadi negatif. Karena itu para pakar perencanaan pembangunan yang menganut faham environmentalist mulai memikirkan konsep dan strategi baru dari pembangunan yang mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi namun konservasi lingkungan tetap terpelihara dengan baik. Perubahan persepsi tersebut dikenal dengan istilah Sustainable Development atau Pembangunan Berkelanjutan. Sejak tahun 1987 beberapa definisi dari Pembangunan Berkelanjutan disepakati dan penerapan teori dan prinsipnya pun ditetapkan. Empat puluh tahun terakhir Indonesia menganut paradigma pembangunan yang tipikal mengeksploitasi sumberdaya alam dengan segala dampak negatifnya terhadap lingkungan. Itupun hanya mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tidak lebih dari 7 persen dan sulit dipertahankan. Susutnya sumberdaya alam seperti minyak, bahan tambang, hutan nyaris bagi Indonesia untuk tidak dapat melanjutkan pembangunan. Karena itu mau tidak mau paradigma lama harus mulai ditinggalkan sebelum mencapai kebntuan (development dead-lock). Paradigma baru yang lebih sustainable harus mulai dirintis dan diimplementasikan sehingga mampu menciptakan modus-modus ekonomi baru yang mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dengan dampak negatif yang seminimal mungkin terhadap destruksi lingkungan. Keywords: Development, Sustainable, Relevancy to Indonesia
Lahirnya Paradigma Pembangunan Berkelanjutan
Konsep dan Definisi Pembangunan Berkelanjutan
Sampai dengan dekade 1980-an perencanaan dan strategi pembangunan masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (economic growth), baik pada negara-negara sosialis yang menerapkan perencanaan yang terpusat maupun pada negara-negara kapitalis yang menerapkan perencanaan yang liberal. Filosofi pertumbuhan ekonomi dilatarbelakangi oleh Teori Neo-Klasik dimana pertumbuhan merupakan fungsi dari modal dan teknologi sedangkan sumberdaya alam sama sekali tidak diperhitungkan karena dianggap pemberian alam yang melimpah. Filosofi tersebut telah melahirkan berbagai ekses terhadap lingkungan, sosial, budaya, maupun hak asasi manusia. Dampak dari penerapan filosofi tersebut telah menimbulkan kemiskinan yang merajalela, rusaknya ekosistem, pencemaran, bahkan ancaman terhadap eksistensi manusia dan kemanusiaan (Pearce and Warford, 1993). Pengalaman hingga tahun 1980an memperlihatkan bahwa hambatan pertumbuhan ekonomi terjadi apabila faktor sumberdaya alam dan lingkungan tidak dikelola dengan baik. Jika ekonomi dan lingkungan dikelola dengan baik maka pertumbuhan ekonomi akan terjadi dalam lingkungan yang terpelihara kelestariannya. Perubahan persepsi di atas dikenal dengan istilah Sustainable Development sebagai babak baru dari teori pembangunan dan sekaligus mengakhiri perdebatan antara pertumbuhan ekonomi dan penyelamatan lingkungan (Ibid.).
Ada berbagai definisi dari Pembangunan Berkelanjutan. Tapi semua definisi berfokus pada bagaimana agar perekonomian dapat tetap berlanjut dalam jangka panjang, terutama untuk memberi kesempatan pada generasi yang akan datang memperoleh kehidupan yang lebih baik. World Commission on Environment and Development (WECD), sejak tahun 1987 memberikan deskripsi dari Pembangunan Berkelanjutan sebagai berikut: “Sustainable development is development that meets the needs of present generations without compromising the ability of future generations to meet their own needs“ (Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka). Definisi lain dari Pembangunan yang berkelanjutan: “The economic development in a specified area (region, nation, the globe) is sustainable if the total stock of resources - human capital, physical reproducible capital, environmental resources, exhaustible resources does not decrease over time” (Pembangunan ekonomi di suatu daerah tertentu (wilayah, negara, dunia) dikatakan berkelanjutan bila jumlah total sumberdaya tenaga kerja, barang modal yang dapat diproduksi kembali, sumberdaya alam, sumberdaya yang habis 47 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
pakai tidak berkurang dari waktu ke waktu) (Ibid.) Penerapan Teori dan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan Secara teoritis prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dapat diterapkan pada berbagai sektor pembangunan. Sebagai contoh diambil pada sektor pertanian. Untuk pembangunan pertanian yang berhasil, Bank Dunia (di dalam Conway and Barbier,1990:23) menyarankan agar tiga kriteria berikut dapat dipenuhi:
First, it must be sustainable, by insuring the conservation and proper use of renewable resources (Pertama, harus berkelanjutan, dengan menjamin pelestarian dan penggunaan yang wajar dari sumberdaya yang terbarukan); Second, it must promote economic efficiency (Kedua, harus meningkatkan efisiensi ekonomi); Third, its benefits must be distributed equitably (Manfaatnya harus terdistribusi secara merata).
Untuk kasus pembangunan pertanian, konsep dan definisi dari pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture) antara lain dijabarkan oleh Conway dan Barbier (1990:10) sebagai pertanian yang:
Penerapan Konsep, Prinsip dan Tujuan Pembangunan Bekelanjutan dalam pembangunan secara luas dapat dilakukan dengan menetapkan kaidah-kaidahnya (Djajadiningrat, 1992; Pearce and Warford, 1993): 1. Pemerataan dan Keadilan (Equity and Justice). Pemerataan dan Keadilan di sini menyangkut dimensi etika, yakni adanya kesenjangan antara negara
High, efficient and stable production (Produksinya tinggi, efisien dan stabil); Low and inexpensive inputs, in particular making full use of the techniques of organic farming and indigenous traditional knowedge (Menggunakan sarana 48
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
produksi yang rendah dan murah, terutama menggunakan seenuhya teknik pertanian organik dan pengetahuan-pengetahuan lokal dan tradisional); Food security and self-sufficiency (“Keamanan pangan” dan swaembada pangan); Conservation of wildlife and bioogical diversity (Melestarikan “kehidupan liar” dan keanekaagaman hayati); Preservation of traditional values and the small family farm (Melestarikan nilai-nilai tradisional dan pertanian keluarga berskala kecil); Help for the poorest and disadvantaged: in particular those on marginal land, the landless, women, children and tribal minorities (Menolong kaum termiskin dan terpojokan: terutama petani yang berlahan sempit, buruh tani, kaum perempuan, anak-anak dan kaum suku minoritas); A high level of participation in development decision by the farmers themselves (Partisipasi yang tinggi dari para petani sendiri dalam proses pengambilan keputusan-keputusan pembangunan).
ataupun daerah yang kaya dan miskin serta masa depan generasi mendatang yang tidak dapat dikompromikan dengan kegiatan generasi masa kini. Karena itu aspek Pemerataan dan Keadilan ini harus dijawab baik untuk generasi masa kini maupun untuk generasi mendatang. Karena itu strategi dan perencanaan pembangunan harus dilandasi premis seperti: distribusi penguasaan lahan, distribusi faktor-faktor produksi, pemerataan peran dan kesempatan kaum wanita, kelompok marjinal, dan lain sebagainya.
Keberlanjutan ekologis menjamin keberlanjutan eksistensi bumi. Untuk menjamin keberlanjutan ekologis integritas tatanan lingkungan harus dipelihara melalui upaya-upaya peningkatan daya dukung, daya asimilasi, dan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya yang dapat dipulihkan (renewable resources). 5. Keberlanjutan Ekonomi (Economic Sustainability). Menjamin kemajuan ekonomi secara berkelanjutan dan mendorong efisiensi ekonomi. Tiga unsur utama untuk mencapai keberlanjutan ekonomi makro yaitu efisiensi ekonomi, kesejahteraan ekonomi yang berkesinambungan, serta meningkatkan kemakmuran dan distribusi kemakmuran.
2. Pendekatan Integratif (Integrative Approach). Pembangunan berkelanjutan mengutamakan keterkaitan antara manusia dengan alam. Manusia mempengaruhi alam dengan cara-cara yang bermanfaat atau merusak. Keberlanjutan masa depan hanya dimungkinkan bila pengertian tentang kompleksnya keterkaitan antara sistem alam dan sosial dapat dipahami dan cara-cara yang integratif (terpadu) diterapkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
6. Keberlanjutan Sosial Budaya (Social - Cultural Sustainability). Secara menyeluruh keberlanjutan sosial dan budaya dinyatakan dalam keadilan sosial, harga diri manusia, dan peningkatan kualitas hidup seluruh manusia. Keberlanjutan segi sosial budaya mempunyai sasaran: stabilitas penduduk, pemenuhan kebutuhan dasar manusia, memelihara keanekaragaman budaya, serta mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.
3. Perspektif Jangka Panjang (Long Term Perspective). Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan dilaksanakan penilaian yang berbeda dengan asumsi normal dalam prosedur pengenaan discounting. Perspektif jangka panjang merupakan visi dari pembangunan berkelanjutan sedangkan saat ini visi jangka pendek masih mendominasi dalam pengambilan keputusan.
7. Keberlanjutan Politik (Political Sustainability). Keberlanjutan politik dicirikan dengan adanya penghormatan terhadap hak asasi manusia, demokrasi, serta kepastian kesediaan pangan, air dan pemukiman.
4. Keberlanjutan Ekologis (Ecological Sustainability). 49 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
8. Keberlanjutan Pertahanan dan Keamanan (Defense and Security Sustainability). Keberlanjutan kemampuan menghadapi dan mengatasi tantangan, ancaman, gangguan baik dari dalam maupun dari luar yang langsung dan tidak langsung dapat membahayakan integritas, identitas, keberlangsungan negara dan bangsa.
indikator yang tepat, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Todaro (1989) mengemukakan beberapa ciri umum Negara-negara Berkembang (Developing Countries) yang umumnya masih memiliki standar hidup yang rendah dibandingkan dengan Negara-negara Maju (Deve loped Countries). Ciri-ciri tersebut adalah: standar hidup yang rendah; produktivitas yang rendah; tingkat pertumbuhan penduduk dan beban ketergantungan yang tinggi; tingkat pengangguran yang tinggi dan meningkat terus serta kekurangan pekerjaan; sangat tergantung pada produksi pertanian dan barang ekspor primer; dominasi, ketergantungan dan kepekaan yang besar dalam hubungan internasional. Ciri-ciri di atas sekaligus dapat diturunkan menjadi indikator keberhasilan pembangunan dari Negara-negara Berkembang tersebut, yaitu: Pendapatan Nasional; Pertumbuhan Ekonomi; Pendapatan per Kapita; Distribusi Pendapatan Nasional; Kemiskinan; Kesehatan Masyarakat; Pendidikan Masyarakat; Produktivitas Masyarakat; Pertumbuhan Penduduk; Pengangguran dan Setengah Menganggur.
Implementasi dari kedelapan kaidah di atas sejauh ini dapat dikelompokan ke dalam tiga kelompok analisa, yaitu analisa biaya ekonomi (economic cost analysis), analisa biaya lingkungan (environmental cost analysis), dan analisa biaya sosial (sosial cost analysis). Suatu perencanaan proyek-proyek pembangunan yang dikatakan berkelanjutan (sustainable) harus dibuktikan dengan analisa, bahwa manfaat atau benefit lebih besar dari cost (economic cost + environmental cost + sosial cost), atau bila sebaliknya, proyek-proyek pembangunan tersebut dikatakan tidak berkelanjutan. Indikator kelanjutan
Pembangunan
Ber-
Untuk mengetahui keberhasilan rencana pembangunan dan implementasinya perlu dilakukan evaluasi. Sesuai dengan teknik dan jenis perencanaannya, evaluasi dapat dilakukan dengan pendekatan mikro seperti evaluasi proyek (project evaluation), evaluasi sektoral (sectoral evaluation) ataupun dengan pendekatan makro seperti evaluasi komprehensif (comprehensive evaluation). Selanjutnya dalam mengevaluasi perlu ditetapkan indikator-
1. Pendapatan Nasional. Pendapatan Nasional Bruto (Gross National Product/GNP) suatu negara adalah hasil dari aktivitas perekonomian secara keseluruhan dari negara tersebut. Pendapatan Nasional Bruto per Kapita sering digunakan sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk di suatu negara. Bagi Negara-negara Berkembang yang umumnya pendapatannya hanya berasal dari dalam negeri (domestic) GNP lebih dikenal 50
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
dengan istilah Gross Domestic Product (GDP) atau Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Konsep pendapatan ini dapat diturunkan ke tingkat regional menjadi pendapatan regional.
Untuk lebih memperoleh gambaran yang sesungguhnya tentang pemerataan kesejahteraan ekonomi perlu diketahui distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan sering diukur dengan membagi penduduk menjadi 5 atau 10 kelompok (quintiles atau deciles) sesuai dengan tingkat pendapatannya. Kemudian menetapkan proporsi yang diterima oleh masingmasing kelompok pendapatan. Cara lain yang lazim digunakan untuk melihat distribusi pendapatan adalah dengan menggunakan Kurva Lorenz. Semakin besar cekungan kurva semakin tinggi tingkat ketidakmerataan. Selanjutnya ukuran distribusi pendapatan dapat diukur dengan “Rasio Konsentrasi Gini” (Gini Consentration Ratio) atau lebih sederhana disebut dengan Koefisien Gini.
2. Pertumbuhan Ekonomi. Tingkat Pertumbuhan Ekonomi diukur dengan prosentase peningkatan GNP atau GDP dari tahun ke tahun. Sering pula diukur dalam bentuk ratarata per periode tertentu, misalnya per 5 tahun, 10 tahun, atau 20 tahun sesuai dengan kebutuhan analisa. Sebagai contoh, menurut sistem klasifikasi PBB, negara-negara yang tergolong “paling tidak berkembang” (underdeveloped) hanya mempunyai rata-rata pertumbuhan GNP minus 0,3% per tahun antara tahun 1965 sampai 1985. Sedangkan pada negara-negara yang tergolong “berkembang” (developing) mempunyai rata-rata pertumbuhan GNP sebesar 3,7% per tahun pada periode yang sama.
Koefisien Gini adalah ukuran ketidakseimbangan/ketimpangan (pendapatan, kesejahteraan) agregat (keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna).
3. Pendapatan Rata-rata per Kapita. Pendapatan Rata-rata per Kapita diukur dari GDP pada tahun tertentu dibagi Jumlah Penduduk pada tahun yang sama, biasanya dikalkulasi dalam Dollar Amerika Serikat (US$). Ukuran ini baru menunjukan potensi tingkat kesejahteraan ekonomi secara umum, belum bisa menunjukan tingkat pemerataan kesejahteraan ekonomi yang sesungguhnya. Dengan kata lain, pada suatu negara yang Pendapatan Rata-rata per Kapita-nya tinggi mungkin saja sebagian besar rakyatnya masih hidup dalam kemiskinan.
Dalam prakteknya, Koefisien Gini pada negara-negara yang dikenal begitu tajam ketimpangan kesejahteraan di kalangan penduduknya berkisar antara 0,50 hingga 0,70. Sedangkan untuk negara-negara yang distribusi pendapatannya dikenal paling merata, Koefisien Gini berkisar antara 0,20 sampai 0,35. 5. Kemiskinan. Tingkat kemiskinan diukur dengan menentukan konsep “Kemiskinan Absolut” (Absolute Poverty) atau “Garis Kemiskinan” (Poverty Line), yaitu:
4. Distribusi Pendapatan Nasional. 51
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
“tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum terhadap makanan, pakaian dan perumahan untuk menjamin kelangsungan hidup”.
7. Pendidikan Masyarakat. Salah satu indikator penting untuk mengukur tingkat pendidikan masyarakat adalah “Tingkat Melek Huruf” (Literacy) atau sebaliknya “Tingkat Buta Huruf” (Iliteracy). Sebagai contoh, di antara negara-negara yang paling terbelakang Tingkat Melek Huruf Rata-rata hanya mencapai 34% dari jumlah penduduk dibanding dengan di negara-negara berkembang dan negara-negara maju yang mencapai masing-masing 65% dan 99%.
Angka Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) di atas akan berbeda dari satu negara ke negara lainnya, bahkan dari satu daerah ke daerah lainnya, serta berubah dari waktu ke waktu. Pernah ditetapkan “Garis Kemiskinan Internasional” sebesar US $ 125,/orang/tahun (atas dasar harga konstan 1980). Itu berarti seseorang yang konsumsinya kurang dari US $ 125,- per tahun dapat digolongkan berada di bawah garis kemiskinan atau berada dalam kemiskinan absolut. Besar-kecilnya prosentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan/berada dalam kemiskinan absolut menunjukan tingkat kesejahteraan ekonomi rakyat dari suatu negara.
8. Produktivitas Masyarakat. Konsep produktivitas masyarakat sangatlah kompleks. Pada dasarnya produktivitas masyarakat adalah kemampuan individu-individu dalam masyarakat tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Hal itu meliputi keterampilan, kemampuan manajerial, daya kreasi, serta emosi dan ambisi untuk hidup lebih sejahtera. Tingkat produktivitas tenaga kerja di negara-negara sedang berkembang lebih rendah dibanding negara-negara maju. Produktivitas yang rendah tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh kelesuan fisik dan ketidakmampuan fisik maupun mental untuk menahan tekanan pekerjaan sehari-hari.
6. Kesehatan Masyarakat. Tingkat kesehatan masyarakat dapat terukur dari “Harapan Hidup Ratarata”(Life Expectancy Rate) dan “Tingkat Kematian Bayi Rata-rata” (Infant Mortality Rate) yaitu jumlah bayi yang mati sebelum usia 1 tahun setiap 1000 kelahiran. Harapan Hidup Rata-rata di negara-negara paling terbelakang di dunia pada tahun 1988 misalnya hanya mencapai 49 tahun, dibanding dengan 57 tahun di negara-negara Dunia Ketiga dan 73 tahun di negara-negara maju. Sedangkan Tingkat Kematian Bayi Rata-rata mencapai 124 di negaranegara yang terbelakang dibanding 96 di negara-negara berkembang dan 15 di negara-negara maju.
9. Pertumbuhan Penduduk. Pertumbuhan Penduduk (Population Growth) dihitung dari “Tingkat Kelahiran” (Birth Rate) dikurangi “Tingkat Kematian” (Mortality Rate). Tingkat kelahiran di negara-negara berkembang pada umumnya sangat tinggi yaitu berkisar antara 30-40 setiap 1000 penduduk per tahun, sedangkan di negara-negara maju hanya kurang dari setengahnya. 52
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
Sementara itu “Tingkat Kematian” (jumlah orang yang meninggal setiap 1000 penduduk per tahun) di negaranegara berkembang juga relatif tinggi dibanding dengan negara-negara maju. Karena adanya usaha-usaha perbaikan kesehatan di negaranegara berkembang, tingkat kematian juga menjadi relatif rendah. Akibatnya “Rata-rata Pertumbuhan Penduduk” di negara-negara berkembang menjadi sekitar 2,1% dibandingkan dengan 0,6% di negara-negara maju.
pendidikan yang diukur dari tingkat melek huruf dewasa serta lamanya bersekolah; 3. Pendapatan yang diukur dari Produk Domestik Bruto. Sejalan dengan mulai digandrunginya paradigma Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development), dikembangkan pula indi kator-indikator pembangunan yang memiliki kriteria sebagai berikut (IUCN, UNEP dan WWF, 1993): 1. Melestarikan sistem-sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati: Kemajuan dalam pencegahan pencemaran Kemajuan dalam memulihkan dan memepertahankan integritas ekosistem Kemajuan dalam mengembangkan sistem daerah suaka yang komprehensif Kemajuan dalam memulihkan dan mempertahankan spesies dan sediaan genetik 2. Menjamin keberlanjutan penggunaan sumberdaya yang dapat diperbarui dan meminimkan penipisan sumberdaya yang tak dapat diperbarui: Status atau kondisi sumberdaya suatu sektor Status atau kondisi infrasruktur ekologi suatu sektor Kesesuaian dan pertentangan antara suatu sektor dengan keberlanjutan sektorsektor lainnya 3. Berusaha tidak melampaui daya dukung ekosistem: Konsumsi pangan, air, kayu, mineral per kapita Pola pertumbuhan penduduk
10. Tingkat Pengangguran dan Setengah Menganggur. Pengertian dari “Setengah Menganggur” (underemployment) adalah penduduk kota atau desa yang bekerja di bawah jam kerja normal (harian, mingguan, atau musiman), meliputi juga mereka yang berkerja secara normal dengan waktu penuh tapi produktivitasnya rendah. Sedangkan “Pengangguran Terbuka” (unemployed) adalah penduduk yang mampu dan ingin bekerja tetapi tidak tersedia lapangan pekerjaan. Tingkat pengangguran terbuka di Dunia Ketiga saat ini kira-kira 10% hingga 15% dari angkatan kerja perkotaan. Angka dari mereka yang setengah menganggur di perkotaan maupun pedesaan diperkirakan jauh lebih besar. Untuk mengukur pembangunan manusia dan mutu kehidupan manusia, United Nations Development Program (UNDP) menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI). HDI mempunyai tiga komponen sebagai berikut: 1. Panjang Usia yang diukur dari harapan hidup sejak lahir; 2. Tingkat pengetahuan atau 53
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
Laju fertilitas total Kerapatan penduduk
harga sebagian besar produk pertanian maupun industri Indonesia di pasaran internasional. Hal itu diperberat pula dengan masalahmasalah micro economy yang tidak terselesaikan dan berbagai miss management di dalam bidang pemerintahan. Akibatnya pemerintah mengalami kesulitan neraca pembayaran dan sangat mengandalkan hutang luar negeri yang sudah sangat spektakuler jumlahnya. Akhirnya semuanya bermuara pula pada krisis politik sehingga Suharto, B.J. Habibie dan K.H. Abdurahman Wahid harus turun dari kursi kepresidenan hanya dalam kurun 1998-2001. Gejala dan ekses di atas tidak lepas dari paradigma pembangunan yang diyakini sejak awal, yaitu pikiran Rostow (1971) dengan teori The Stage of Economic Growth-nya yang merupakan salah satu turunan dari teori Neo-Klasik. Agaknya memang tidak mudah keluar dari kungkungan paradigma tersebut bahkan nyaris terikat dalam pola ketergantungan seperti diterangkan oleh Arief dan Sasono (1980). Karena itu dalam suasana yang terjepit seperti di atas harus dicari jalan ketiga (the third way) dan paradigma Sustainable Development dapat memenuhi jawaban dari permasalahannya: pertumbuhan ekonomi yang disyarati dengan konservasi alam tanpa terikat dengan pola ketergantungan.
Relevansinya Untuk Indonesia Catatan yang perlu dikemukan mengenai Indonesia dengan rangkaian Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA)-nya, oil boom yang dimulai tahun 1973 memberikan sumbangan yang sangat menentukan pada Perekonomian Indonesia. Sejak PELITA II anggaran pembangunan dapat melampaui budget. Ini dikarenakan meningkatnya penerimaan negara dari ekspor minyak mentah. Sumbangan dari ekspor minyak dan gas bumi pada nilai ekspor pada periode PELITA III meningkat rata-rata 75,2 persen per tahun. Sejalan dengan itu terjadi perkembangan yang memuaskan dalam neraca pembayaran. Anggaran pembangunan selama REPELITA III meningkat 274 persen. Selama periode REPELITA IV kecenderungan perkembangan perekonomian global yang menguntungkan ditambah dengan turunnya harga minyak secara drastis di pasaran internasional memaksa pemerintah untuk mengambil langkah-langkah penyesuaian (readjustment and reform) di berbagai bidang seraya mencoba menggalakan ekspor non-migas (Department of Information Republic of Indonesia 1991). Memasuki awal REPELITA VI agaknya Indonesia tidak berhasil menemukan jalan keluar dalam menghadapi krisis ekonomi global. Pada periode REPELITA VI pun format keunggulan komparatif (comparative advantages) dari Ekonomi Indonesia belum tampak. Hal itu diindikasikan dengan tidak mampu bersaingnya harga-
Referensi Anonim (1990), The Interparliamentary Conference on the Global Environment. April 29-May 2, 1990. Washington D.C.
54 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
Arief, Sritua and Adi Sasono (1980) Indonesia: Dependency and Underdevelopment. Meta, Kuala Lumpur.
Department of Information Republic of Indonesia (1991) Indonesia 1991: An Official Handbook. Department of Information, Directorate of Foreign Information Services.
Conway, G.R. and E.B. Barbier (1990) After the Green Revolution: Sustainable Agriculture for Development. London, Earthscan Publication Ltd.
Pearce, D.W. and J.J. Wardford (1993) World Without End, Economics, Environment and Sustainable Development. Oxford University Press.
IUCN, UNEP dan WWF (1993) Bumi, Wahana Strategi Menuju Kehidupan yang Berkelanjutan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Rostow, W.W. (1971) The Stage of Economic Growth. Cambridge University Press.
Djajadiningrat, S.T. (1992) Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Membangun Tanpa Merusak Lingkungan. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Todaro, M.P. (1989) Economic Development in the Third World, Fourth Edition. Longman Group Limited.
55 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005