ANALISIS USAHATANI DAN PEMASARAN BUNGA-POTONG ANGGREK DENDROBIUM (Kasus Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor)
SKRIPSI
DRESTHY AULIA ESTEFAN
H 34076053
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
RINGKASAN DRESTHY AULIA ESTEFAN. Analisis Usahatani dan Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium (Kasus Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor). Di bawah bimbingan DWI RACHMINA.
Sektor pertanian terdiri atas subsektor tanaman pangan, subsektor hortikultura, subsektor kehutanan, subsektor perkebunan, subsektor peternakan, dan subsektor perikanan. Subsektor hortikultura terdiri atas komoditas buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan tanaman obat-obatan yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu sumber pendapatan nasional di masa depan. Salah satu komoditas unggulan hortikultura adalah tanaman hias. Salah satu jenis tanaman hias yang dikembangkan untuk pasar domestik dan ekspor adalah anggrek. Produksi anggrek mengalami penurunan sebesar 13 persen pada tahun 2007, namun di tahun 2008 produksi anggrek meningkat signifikan sebesar 61,42 persen, sehingga komoditas anggrek dapat memberi prospek pasar yang cerah di masa mendatang. Kebutuhan akan anggrek menimbulkan permintaan yang telah menggerakkan sentra produksi anggrek di berbagai daerah. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi anggrek terbesar di Indonesia. Salah satu Kabupaten yang merupakan sentra produksi anggrek di Jawa Barat adalah Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor memiliki jumlah produksi anggrek terbanyak dibandingkan dengan Kabupaten Karawang dan Cirebon yaitu sebesar 1.878.403 tangkai. Selisih antara harga jual yang diterima petani anggrek di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor dengan harga yang diberlakukan pedagang (marjin pemasaran) cukup besar, dimana posisi petani diantara pelaku ekonomi adalah sebagai penerima harga (price taker). Marjin pemasaran yang semakin besar umumnya akan menyebabkan persentase bagian harga yang yang diterima oleh petani (farmer’s share) akan semakin kecil. Penyebaran marjin yang tidak merata dan harga yang rendah ditingkat petani tersebut dapat mempengaruhi pendapatan petani. Penelitian analisis usahatani dan pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium bertujuan untuk: (1) Menganalisis usahatani bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor. (2) Menganalisis sistem pemasaran, saluran pemasaran, struktur dan perilaku pasar serta sebaran marjin pemasaran bunga potong anggrek Dendrobium dari petani sampai konsumen akhir serta memilih alternatif saluran pemasaran yang lebih efisien. Pengambilan responden dilakukan dengan metode sensus dengan jumlah petani 20 orang. Petani dibedakan menurut jumlah tanaman yang diusahakan, yaitu petani skala I yang memiliki kisaran jumlah tanaman 3.000-7.000 tanaman dan petani skala II yang memiliki kisaran jumlah tanaman 8.000-18.000 tanaman. Lembaga pemasaran dipilih secara purposive dengan mengikuti alur saluran pemasaran dari petani produsen sampai ke konsumen akhir. Responden pedagang pengumpul lokal
sebanyak tujuh orang, pedagang pengumpul luar daerah satu orang, pedagang besar dua orang serta tiga floris. Petani skala I memiliki pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp 23,67 juta per tahun dengan R/C 1,91 berarti setiap Rp 1,00 biaya tunai yang dikeluarkan petani untuk menanam anggrek, maka petani akan memperoleh penerimaan Rp 1,91. Pendapatan atas biaya total yang diperoleh sebesar Rp 4,77 juta per tahun dengan R/C 1,11 berarti setiap Rp 1,00 biaya total yang dikeluarkan petani untuk menanam anggrek, maka petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1,11. Petani skala II memiliki pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp 87,28 juta per tahun dengan R/C 3,79 berarti setiap Rp 1,00 biaya tunai yang dikeluarkan petani untuk menanam anggrek, maka petani akan memperoleh penerimaan Rp 3,79. Pendapatan atas biaya total yang diperoleh sebesar Rp 56,74 juta per tahun dengan R/C 1,91 berarti setiap Rp 1,00 biaya total yang dikeluarkan petani untuk menanam anggrek, maka petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1,91. Berdasarkan analisis pendapatan dan R/C rasio, maka dapat disimpulkan bahwa skala usaha berpengaruh terhadap keuntungan atau pendapatan usahatani bunga-potong anggrek Dendrobium. Skala usaha yang lebih tinggi akan menghasilkan pendapatan atau keuntungan yang lebih besar. Struktur pasar yang dihadapi petani bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur adalah oligopsoni sedangkan struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul lokal dan pedagang pengumpul luar daerah adalah oligopoli. Pedagang besar menghadapi struktur pasar yang mengarah ke bentuk duopoli dan floris berada pada struktur pasar persaingan sempurna. Perilaku pasar diidentifikasi dengan mengamati kegiatan pemasaran dalam proses pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga, sistem pembayaran dan kerjasama antar lembaga pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur. Terdapat enam saluran pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur yaitu: (1) Petani → Pedagang Pengumpul Lokal → Konsumen, (2) Petani → Pedagang Pengumpul Lokal → Pedagang Besar (Pasar Bunga Rawabelong) → Konsumen, (3) Petani → Pedagang Pengumpul Lokal → Pedagang Besar (Pasar Bunga Rawabelong) → Floris → Konsumen, (4) Petani → Pedagang Pengumpul Lokal → Pedagang Pengumpul Luar Daerah → Konsumen, (5) Petani → Pedagang Pengumpul Lokal → Pedagang Pengumpul Luar Daerah → Floris → Konsumen, (6) Petani → Pedagang Pengumpul Lokal → Floris → Konsumen. Alternatif saluran pemasaran yang lebih efisien dibandingkan keenam saluran lainnya berdasarkan nilai total marjin, farmer’s share, rasio terhadap biaya dan volume penjualan adalah saluran satu dengan nilai total marjin sebesar Rp 500,00 per tangkai, farmer’s share terbesar yaitu 77,27 persen, rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 10,71 dan serapan volume penjualan terbesar yaitu 83,90 persen. Petani disarankan menggunakan saluran pemasaran yang dapat memberikan farmer’s share tertinggi dan memiliki volume penjualan terbesar. Ketersediaan informasi mengenai pasar dan harga merupakan salah satu cara agar petani memiliki posisi tawarmenawar yang kuat.
ANALISIS USAHATANI DAN PEMASARAN BUNGA-POTONG ANGGREK DENDROBIUM (Kasus Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor)
DRESTHY AULIA ESTEFAN H34076053
Skipsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi
: Analisis Usahatani dan Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium (Kasus Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor)
Nama
: Dresthy Aulia Estefan
NRP
: H34076053
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Dwi Rachmina, MSi NIP. 19631227 199003 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Usahatani dan Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium (Kasus Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor)” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2011
Dresthy Aulia Estefan H34076053
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 20 Juni 1987. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Dudi Damsyik dan Ibu Thiofany Yanaida. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Pajeleran 1 Cibinong, Bogor pada tahun 1998 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTPN 2 Bogor. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMUN 1 Cibadak, Sukabumi diselesaikan pada tahun 2004. Penulis diterima pada Program Studi Diploma III Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur reguler dan diselesaikan pada tahun 2007, kemudian penulis diterima di Program Sarjana Penyelenggaraan Khusus Agribisnis, Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamiin. Segala puji senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan ridha-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyebaran marjin yang tidak merata dan harga yang rendah di tingkat petani dapat mempengaruhi pendapatan petani anggrek di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian mengenai analisis usahatani dan pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor untuk mengetahui tingkat pendapatan petani dan memilih alternatif saluran pemasaran yang lebih efisien. Skripsi ini berjudul “Analisis Usahatani dan Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium (Kasus Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor)”. Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, Maret 2011
Penulis
UCAPAN TERIMAKASIH
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah dibantu oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada: 1. Ir. Dwi Rachmina, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran, motivasi, waktu, kesabaran, dan pengarahan yang amat berarti selama penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS selaku dosen penguji utama yang telah memberikan kritik dan saran yang berguna bagi perbaikan skripsi ini, juga selaku dosen evaluator yang telah memberikan masukan pada saat kolokium penulis. 3. Eva Yolynda Aviny, SP, MM selaku dosen penguji komdik yang telah memberikan saran untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini. 4. Welfrin C Pangabean selaku pembahas yang telah memberikan koreksian dan masukan pada saat seminar penulis. 5. Seluruh petani anggrek Kecamatan Gunung Sindur yang telah banyak membantu dalam pencarian informasi dan penyusunan skripsi ini. 6. Kedua Orang Tuaku, atas segala doa, semangat, dukungan, limpahan kasih sayang dan perhatian yang selalu diberikan kepada penulis. 7. Yang tercinta Suamiku Sumarno, atas segala doa, semangat, dukungan, cinta, kasih sayang dan perhatian yang selalu diberikan kepada penulis. 8. Putri Kecilku tersayang, Nabila Aulia Rayya yang selalu menumbuhkan semangat kepada penulis. 9. Adik-adikku Defany Estha Adjani dan Muhammad Pramudya Aulia Santrie atas doa dan dukungan yang diberikan kepada penulis. 10. Ayah dan Ibu mertuaku serta keluarga besar di Palembang atas doa, dukungan, kasih sayang dan perhatian yang diberikan kepada penulis. 11. Hilda Widianingsih, Allin, Zeffri, Devi, dan teman-temanku atas doa dan dukungannya. 12. Sekretariat Agribisnis atas bantuan dan kerjasamanya selama ini.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................
xiv
BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ............................................................. 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................
1 5 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .........................................................
8
2.1. Karakteristik Tanaman Anggrek ......................................... 2.2. Usahatani Anggrek dan Tanaman Hias Lain ....................... 2.3. Pemasaran Anggrek dan Tanaman Hias Lain ......................
8 9 11
BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN ................................................
16
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................... 3.1.1. Teori Produksi ........................................................... 3.1.2. Teori Biaya Produksi ................................................. 3.1.3. Pendapatan Usahatani ............................................... 3.1.4. Sistem Pemasaran ...................................................... 3.1.5. Saluran Pemasaran .................................................... 3.1.6. Fungsi dan Lembaga Pemasaran ............................... 3.1.7. Struktur, Perilaku dan Keragaan Pasar ...................... 3.1.8. Marjin Pemasaran ...................................................... 3.1.9. Farmer’s Share ......................................................... 3.1.10. Efisiensi Pemasaran ................................................. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ........................................
16 16 19 23 25 26 27 28 30 32 32 33
BAB IV. METODE PENELITIAN .....................................................
35
4.1. Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian ............................. 4.2. Jenis dan Sumber Data ......................................................... 4.3. Metode Penentuan Responden ............................................ 4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ................................ 4.4.1. Analisis Usahatani .................................................... 4.4.2. Analisis Saluran Pemasaran ...................................... 4.4.3. Analisis Lembaga Pemasaran ................................... 4.4.4. Analisis Struktur, Perilaku dan Keragaan Pasar ....... 4.4.5. Analisis Marjin Pemasaran ....................................... 4.4.6. Rasio Keuntungan terhadap Biaya ............................
35 35 36 37 37 39 39 40 40 41
4.4.7. Analisis Farmer’s Share ...........................................
41
BAB V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN .................
43
5.1. Keadaan Geografis dan Keadaan Alam Kecamatan Gunung Sindur ...................................................................... 5.2. Penduduk dan Mata Pencaharian Kecamatan Gunung Sindur .................................................................... 5.3. Karakteristik Petani ............................................................. 5.4. Karakteristik Pedagang .......................................................
44 46 50
BAB VI. ANALISIS USAHATANI DAN PEMASARAN BUNGA-POTONG ANGGREK DENDROBIUM .............
52
43
6.1. Analisis Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium .. 6.1.1. Kegiatan Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium .............................................................. 6.1.2. Analisis Biaya Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium ............................................................... 6.1.3. Analisis Penerimaan Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium ................................................ 6.1.4. Analisis Pendapatan Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium ................................................ 6.2. Analisis Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium . 6.2.1. Saluran Pemasaran .................................................... 6.2.2. Peranan Lembaga Pemasaran .................................... 6.2.3. Struktur Pasar ............................................................ 6.2.4. Perilaku Pasar (Market Conduct) .............................. 6.2.5. Keragaan Pasar (Market Performance) ..................... 6.2.6. Analisis Marjin Pemasaran ........................................ 6.2.7. Farmer’s Share ......................................................... 6.2.8. Rasio Keuntungan dan Biaya .................................... 6.2.9. Alternatif Saluran Pemasaran ....................................
52
64 66 66 69 74 76 78 79 82 83 86
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................
87
7.1. Kesimpulan .........................................................................
87
7.2. Saran ....................................................................................
88
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
89
LAMPIRAN ...........................................................................................
92
52 56 62
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Volume dan Nilai Ekspor Tanaman Hias Indonesia Tahun 2003 – 2008 ................................................................................
2
2. Perkembangan Produksi Tanaman Hias Indonesia Tahun 20062008 ...........................................................................................
3
3. Penjualan Bunga-Potong di Indonesia Tahun menurut Jenia Bunga Tahun 2007 ....................................................................
3
4. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Anggrek di Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2008 ...................................................
5
5. Karakteristik Struktur Pasar ......................................................
29
6. Sentra Produksi Tanaman Hias Unggulan di Jawa Barat Tahun 2008 ...............................................................................
35
7. Komposisi Penduduk Kecamatan Gunung Sindur Berdasarkan Skala Umur Tahun 2010 .............................................................
44
8. Komposisi Penduduk Kecamatan Gunung Sindur Berdasarkan Skala Tingkat Pendidikan Tahun 2010 .......................................
45
9. Komposisi Penduduk Kecamatan Gunung Sindur Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2010 ...................................................
46
10. Komposisi Responden Petani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Berdasarkan Umur di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2010 .................................................................................. ..
47
11. Komposisi Responden Petani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2010 ........................................................
47
12. Jumlah dan Persentase Responden Petani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Berdasarkan Jumlah Tanaman di Kecamatan Gunung Sindur pada Tahun 2010.............................
48
13. Komposisi Responden Petani Bunga-Porong Anggrek Dendrobium Berdasarkan Status Mata Pencaharian Petani di Kecamatan Gunung Sindur pada Tahun 2010 .............
49
14. Komposisi Responden Petani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Berdasarkan Pengalaman Bertani di Kecamatan Gunung Sindur pada Tahun 2010................................................
50
15. Komposisi Responden Pedagang Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Berdasarkan Umur Tahun 2010 .............................
51
16. Sebaran Umur Tanaman Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Milik Petani Responden di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2010 .............................................................................................
53
17. Rata-rata Penggunaan Tenaga Kerja (HOK) untuk Rata-rata 7.575 Tanaman pada Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur untuk Satu Tahun...
56
18. Rata-rata Biaya Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Skala I dan Skala II di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009 - 2010...........................................................
57
19. Rata-rata Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga untuk Petani Skala II pada Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010 ..
58
20. Nilai Rata-rata Penggunaan Pupuk, Insektisida dan Fungisida Petani Skala II pada Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010 .
59
21. Rata-rata Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga untuk Petani Skala I pada Usahatani Bunga Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010 ..
60
22. Nilai Rata-rata Penggunaan Pupuk, Insektisida dan Fungisida Petani Skala I pada Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010 ..
60
23. Perbandingan Persentase Biaya Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Skala I dan Skala II di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010 ...............................................
61
24. Rata-rata Penerimaan Petani Skala I Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009 – 2010 ................................................................................
63
25. Rata-rata Penerimaan Petani Skala II Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009 – 2010 ................................................................................
63
26. Rata-rata Pendapatan dan R/C Rasio Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium pada Skala I dan Skala II di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010 ...............................................
65
27. Pelaksanaan Fungsi Pemasaran di Beberapa Lembaga Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium ......................
70
28. Marjin Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur ........................................................
81
29. Farmer’s Share, Persentase Volume Penjualan dan Persentase Total Marjin pada Saluran Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2010 ............
82
30. Rasio Keuntungan dan Biaya Lembaga Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2010 .......................................................
85
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Fungsi Produksi dan Tiga Daerah Produksi ................................
18
2. Kurva Biaya Total, Biaya Tetap Total, dan Biaya Variabel Total ............................................................................................
21
3. Kurva Biaya Rata-rata, Biaya Variabel Rata-rata, dan Biaya Marjinal ......................................................................................
22
4. Kemungkinan Keuntungan Perusahaan .....................................
24
5. Sistem Pemasaran ………….......................................................
25
6. Marjin Pemasaran........................................................................
31
7. Kerangka Pemikiran Operasional ..............................................
34
8. Saluran Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor .........................
68
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Rata-rata Luas Lahan dan Jumlah Tanaman Usahatani BungaPotong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung sindur Tahun 2009-2010 .........................................................................
92
2. Rata-rata Produksi Bunga-Potong Anggrek Dendrobium pada Skala I per Minggu di Kecamatan Gunung Sindur ......................
93
3. Rata-rata Produksi Bunga-Potong Anggrek Dendrobium pada Skala II per Minggu di Kecamatan Gunung Sindur .....................
94
4. Rata-rata Penggunaan Sarama Produksi Skala I Usahatani BungaPotong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010 .........................................................................
95
5. Rata-rata Biaya Tunai Skala I Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010 ...
96
6. Rata-rata Biaya Diperhitungkan Skala I Usahatani BungaPotong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009 – 2010 ......................................................................
97
7. Rata-rata Penggunaan Sarana Produksi Skala II Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009 – 2010 ..........................................................
98
8. Rata-rata Biaya Tunai Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Skala II di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009 – 2010 .................................................................................
99
9. Rata-rata Biaya Diperhitungkan Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Skala II di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009 – 2010 ......................................................................
100
10. Penggunaan Tenaga kerja Skala I per Tahun Usahatani BungaPotong Anggrek Dendrobium Skala II di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009 – 2010 ..........................................................
101
11. Penggunaan Tenaga Kerja Skala II per Tahun Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009 – 2010 ..........................................................
102
12. Analisis Marjin Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Saluran Satu, Dua dan Tiga di Kecamatan Gunung Sindur .............................................................................
103
13. Analisis Marjin Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Saluran Empat, Lima dan Enam di Kecamatan Gunung Sindur... ..........................................................................
104
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Sektor pertanian terdiri atas subsektor tanaman pangan, subsektor hortikultura, subsektor kehutanan, subsektor perkebunan, subsektor peternakan, dan subsektor perikanan. Salah satu subsektor yang menjadi unggulan adalah hortikultura. Subsektor hortikultura terdiri atas komoditas buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan tanaman obat-obatan yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu sumber pendapatan nasional di masa depan. Tanaman hias merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki kontribusi yang cukup besar dalam pengembangan pertanian di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) tanaman hias terhadap PDB hortikultura cukup besar dengan menunjukkan peningkatan nilai PDB yang cukup signifikan. Pada tahun 2000, kontribusi ekspor tanaman hias pada PDB Indonesia sebesar Rp 4,6 triliun, pada tahun 2008 kontribusi tersebut meningkat menjadi sebesar Rp 7,7 triliun1. Berdasarkan Direktorat Jenderal Hortilkultura (2009) volume ekspor tanaman hias Indonesia pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2005 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 ekspor komoditas tanaman hias mengalami peningkatan sebesar 4.194.111 kg dari tahun sebelumnya, dengan nilai USD 15.027.410. Pada tahun 2006 volume ekspor tanaman hias justru mengalami penurunan, namun memiliki nilai ekspor lebih tinggi dari tahun sebelumnya dengan harga rata-rata tertinggi USD 1,08/kg. Dari data ini menunjukkan sisi permintaan ekspor bunga-potong yang tinggi dan memiliki kecenderungan meningkat. Volume dan nilai ekspor tanaman hias Indonesia tahun 2003-2008 dapat dilihat pada Tabel 1.
1
http://www.deptan.go.id [24 Juni 2010]
Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Tanaman Hias Indonesia Tahun 2003-2008
1.
2003
Volume (Kg) 681.028
2.
2004
14.065.154
12.914.439
0,92
3.
2005
18.259.265
15.027.410
0,82
4.
2006
15.047.349
16.331.671
1,08
5.
2007
15.875.683
12.573.931
0,79
6.
2008
3.343.562
9.230.721
2,76
No.
Tahun
Nilai (USD) 1.387.338
Harga Rata-rata (USD/Kg) 2,03
Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010)
Sebagai salah satu komoditas perdagangan internasional, tanaman hias memiliki potensi atau peluang pasar luar negeri yang cukup baik. Banyak negara yang memanfaatkan tanaman hias sebagai sumber penerimaan devisa yang dominan. Negara-negara tersebut antara lain adalah Belanda, Columbia, Italia, Kenya, Zimbabwe dan Tanzania. Indonesia menempati urutan ke-51 dunia sebagai pengekspor tanaman hias dengan nilai perdagangan kurang dari USD 10 juta. Negara utama tujuan ekspor tanaman hias Indonesia adalah Singapura, Taiwan, Hongkong, Amerika Serikat dan Belanda (Direktorat Jenderal Tanaman Hias 2008). Komoditas tanaman hias juga memiliki prospek yang cukup bagus karena setiap tahunnya rata-rata produksi tanaman hias menunjukkan peningkatan yang signifikan. Data perkembangan produksi tanaman hias dapat dilihat pada Tabel 2. Salah satu jenis tanaman hias yang dikembangkan untuk pasar domestik dan ekspor adalah anggrek. Anggrek termasuk kelompok tanaman hias yang mempunyai kelebihan dari jenis bunga lainnya, kelebihannya adalah spektrum yang luas pada warna, bentuk, ukuran, tekstur dan banyaknya variasi. Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat laju pertumbuhan anggrek pada tahun 2007-2008 paling tinggi jika dibandingkan dengan tanaman hias krisan, mawar, dan sedap malam yaitu sebesar 61,42 persen sehingga komoditas anggrek dapat memberi prospek pasar yang cerah di masa mendatang.
Tabel 2. Perkembangan Produksi Tanaman Hias Indonesia Tahun 2006-2008 Produksi No
Komoditas
2006 2007 (Juta (Juta Tangkai) Tangkai)
Laju Pertumbuhan 2008 (Juta Tangkai)
2006-2007 2007-2008 ( %) ( %)
1.
Anggrek
10.903
9.484
15.309
(13,26)
61,42
2.
Krisan
63.716
66.979
101.777
5,12
51,95
3.
Mawar Sedap Malam Jumlah
40.304
59.493
39.265
47,6
(34)
30.374
21.687
25.598
(28,6)
18,03
145.297
157.643
181.949
4.
Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura, 2009
Secara umum perkembangan pasar anggrek terus berkembang pesat dengan laju ratarata konsumsi sebesar 25 persen dan produksi sebesar 20 persen. Artinya, produksi anggrek harus ditingkatkan untuk memenuhi permintaan konsumen. Permintaan pasar terhadap bunga-potong dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Penjualan Bunga-Potong di Indonesia menurut Jenis Bunga Tahun 2007 No.
Jenis
1. Anggrek 2. Krisan 3. Mawar 4. Lain-lain Sumber : Majalah Flora dan Fauna, 2008
Penjualan (%) 25 25 35 15
Tabel 3 menunjukkan bahwa jenis-jenis bunga-potong mempunyai penjualan tersendiri. Permintaan anggrek mencapai 25 persen dari nilai penjualan, artinya pangsa pasar anggrek menuntut tersedianya bunga potong anggrek dalam jumlah yang besar. Kualitas, kuantitas dan kontinuitas produksi anggrek perlu ditingkatkan untuk mengimbangi permintaan pasar anggrek potong.
Anggrek juga memiliki peluang yang besar dalam proses pengembangan agribisnis. Prospek pengembangan anggrek juga dapat dilihat dari besarnya nilai ekspor anggrek pada tahun 2008 ( 1.710 kg dengan nilai US $ 12.085 ) bila dibandingkan dengan nilai impor anggrek ( 100 kg dengan nilai US $ 50 ) (Ditjen Hortikultura, 2008 ). Dengan kata lain anggrek memiliki potensi pasar internasional yang tinggi. Anggrek yang disukai sebagian besar masyarakat adalah jenis Dendrobium ( 34 % ), diikuti oleh Oncidium Golden Shower ( 26 % ), Cattleya ( 20 %), Vanda ( 17 % ), serta anggrek lainnya ( 3 % ). ( Litbang Deptan, 2007 ). Data tersebut menunjukkan bahwa Dendrobium merupakan jenis anggrek yang paling banyak disukai masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena Dendrobium memiliki keindahan, ketahanan, pertumbuhan yang relatif cepat, dan cara budidaya yang relatif mudah dibandingkan dengan anggrek lainnya. Anggrek Dendrobium dapat dinikmati keindahannya baik sebagai tanaman hias dalam pot maupun sebagai bunga potong penghias ruangan seperti rangkaian bunga dan ucapan pada acara-acara tertentu. Berdasarkan Direktorat Jenderal Hortikultura (2009), anggrek yang banyak diusahakan di Provinsi Jawa Barat adalah Dendrobium Sonia, Dendrobium Thailand White, Dendrobium Burana Green, Dendrobium Wonleng dan Dendrobium Bertha Chong. Anggrek yang banyak diusahakan di Kecamatan Gunung Sindur adalah jenis Dendrobium Thailand White atau petani sering menyebutnya dengan nama Dendrobium putih, yang kebanyakan dipasarkan dalam bentuk bunga-potong. Usaha budidaya anggrek mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, karena usaha budidaya anggrek membutuhkan modal yang relatif besar, penguasaan teknologi dan penguasaan pasar yang baik. Kebutuhan akan anggrek menimbulkan permintaan yang telah menggerakkan sentra produksi anggrek di berbagai daerah. Pulau Jawa memiliki potensi lahan yang lebih baik dibandingkan luar Pulau Jawa. Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa produktivitas anggrek terbesar yaitu 15,55 tangkai/m2 berada di Provinsi Jawa Barat yang merupakan salah satu sentra produksi anggrek terbesar di Indonesia dengan jumlah produksi sebanyak 2.342.062 tangkai pada tahun 2008. Salah satu Kabupaten yang merupakan sentra produksi anggrek di Jawa Barat adalah Kabupaten Bogor. Terdapat
berbagai faktor yang dapat menunjang pengembangan usahatani anggrek seperti iklim. Terdapatnya sarana yang memadai, seperti banyaknya tempat lembaga penelitian, laboratorium kultur jaringan dan sumberdaya manusia yang terampil, yang dapat memberikan andil dalam peningkatan usahatani anggrek di Bogor. Data luas panen, produksi dan produktivitas anggrek di Indonesia menurut provinsi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Anggrek di Indonesia menurut Provinsi Tahun 2008 Luas Panen Produksi (m2) (tangkai) 1. Sumatera Utara 44.123 468.323 2. DKI Jakarta 188.561 385.381 3. Jawa Barat 150.554 2.342.062 4. Jawa Timur 334.123 868.962 5. Banten 284.193 1.528.201 6. Bali 35.181 106.807 7. Kalimantan Barat 49.294 551.072 8. Sulawesi Utara 25.229 248.889 Sumber : Ditjen Hortikultura dan Tanaman Hias, 2009 Provinsi
No.
1.2
Produktivitas (tangkai/m2) 10,61 2,04 15,55 2,60 5,37 3,03 11,17 9,86
Perumusan Masalah
Petani anggrek di Kabupaten Bogor terpusat di Kecamatan Gunung Sindur. Berdasarkan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor (2009) hampir 70 persen penduduk Kecamatan Gunung Sindur memiliki usaha budidaya anggrek. Petani anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur berjumlah 20 orang. Kabupaten Bogor juga memiliki pedagang pengumpul yang berjumlah ± 200 pedagang yang tersebar di Kecamatan Tajurhalang, Cibinong, Babakan Madang, dan Tamansari. Anggrek merupakan tanaman hias yang konsumennya terdiri atas beberapa lapisan masyarakat. Lembaga pemasaran mempunyai peran yang sangat penting dalam menyalurkan bunga dari produsen ke konsumen. Hal ini disebabkan oleh perbedaan lokasi antara produsen dan konsumen. Adanya perbedaan lokasi dan aktivitas lembaga pemasaran menyebabkan harga di tiap tingkat lembaga pemasaran menjadi
berbeda. Akibat hal tersebut maka masalah yang timbul adalah mengenai penyebaran harga dan keuntungan antar lembaga pemasaran yang tidak merata dimana petani menerima harga yang rendah sedangkan dipihak lain, konsumen membayar mahal. Berdasarkan pengamatan pada bulan Oktober 2010, harga rata-rata anggrek Dendrobium putih pada waktu normal di tingkat petani Kecamatan Gunung Sindur sebesar Rp 80.000,00/ikat, sedangkan harga rata-rata anggrek Dendrobium putih yang dijual di Pasar Rawabelong adalah Rp 125.000,00/ikat. Berdasarkan hal tersebut, apakah petani mendapatkan keuntungan? Serta bagaimanakah usahatani anggrek petani di Kecamatan Gunung Sindur, apakah sudah efisien? Pada waktu-waktu tertentu yang mengindikasikan naiknya kebutuhan anggrek di tingkat petani juga akan naik namun tidak terlalu besar yaitu Rp 125.000,00/ikat dan diikuti dengan kenaikan harga di tingkat pedagang yang mencapai Rp 250.000,00/ikat. Besarnya selisih antara harga jual yang diterima petani dengan harga yang diberlakukan pedagang menunjukkan adanya marjin pemasaran yang besar antara petani dan konsumen dimana posisi petani diantara pelaku ekonomi adalah sebagai penerima harga (price taker). Marjin pemasaran yang semakin besar pada umumnya akan menyebabkan persentase bagian harga yang diterima petani akan semakin kecil. Penyebaran marjin yang tidak merata dan harga yang rendah di tingkat petani dapat mempengaruhi pendapatan petani. Berdasarkan kondisi tersebut, bagaimanakah sistem pemasaran, saluran pemasaran, lembaga-lembaga dan fungsi pemasaran, struktur pasar dan perilaku pasar, serta marjin pemasaran dalam usahatani bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur? Apakah terdapat alternatif saluran pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium yang lebih efisien?
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis usahatani bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor. 2. Menganalisis sistem pemasaran, saluran pemasaran, struktur dan perilaku pasar serta sebaran marjin pemasaran bunga potong anggrek Dendrobium dari
petani sampai konsumen akhir serta memilih alternatif saluran pemasaran yang lebih efisien.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi petani, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber informasi dalam berusahatani dan memilih saluran pemasaran yang paling baik sehingga dapat meningkatkan pendapatan usahataninya. 2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan sehubungan dengan usahatani dan pemasaran anggrek Dendrobium. 3. Sebagai bahan informasi dan bahan pembanding untuk penelitian selanjutnya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Karakteristik Tanaman Anggrek Tanaman anggrek merupakan komoditas yang sangat prospektif untuk
dikembangkan, sebagai komponen agribisnis memiliki potensi sumberdaya genetik yang sangat luas. Sekitar 5.000 jenis anggrek tumbuh di Indonesia dengan jumlah 1.327 jenis tumbuh di Pulau Jawa dan selebihnya tumbuh di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya dan pulau-pulau lainnya. Sejak dekade terakhir kegiatan usaha anggrek berkembang di berbagai daerah dan berperan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang cukup penting. Pada masa kini kegiatan usaha anggrek dilakukan secara komersil yang mampu menggerakkan pertumbuhan industri barang dan jasa. Windiana (2001) dalam penelitiannya menjelaskan jenis tanaman anggrek yang dikembangkan secara dominan untuk pasar domestik dan ekspor antara lain : (1) Cattleya Lisa annx Lucky Strike dan Temanggung Beauty Brasco Pacto Cattleya. (2) Phalaenopsis, berbagai silangan dengan warna ungu kehitaman dan stripe. (3) Doritaenopsis (silangan Doritis dan Phalaenopsis). (4) Meltonia sp dan Odontoglatum serta (5) Dendrobium. Manfaat utama tanaman ini adalah sebagai tanaman hias karena bunga anggrek mempunyai keindahan. Selain itu anggrek bermanfaat sebagai campuran ramuan obat-obatan, bahan minyak wangi/minyak rambut. Jenis anggrek yang banyak dibudidayakan petani di Kecamatan Gunung Sindur adalah anggrek jenis Dendrobium. Keunggulan jenis anggrek ini adalah mampu menghasilkan produk berupa bunga potong dalam jumlah tangkai cukup banyak dalam satu pohonnya. Permintaan komoditi anggrek tersebar mulai dalam bentuk bibit botolan, kompot, seedling, tanaman ramaja dan dewasa sampai kepada tanaman berbunga dan bunga-potong. Bibit botolan dipasarkan oleh para penyilang yang sekaligus sebagai produsen, ke petani yang akan memproduksi tanaman remaja, dewasa dan tanaman berbunga. Para penyilang/produsen tersebut biasanya memasarkan produknya dalam bentuk bibit dalam botol, kompot maupun seedling. Di Kecamatan Gunung Sindur, petani anggrek memasarkan produknya dalam bentuk bunga-potong anggrek Dendrobium.
Profil petani anggrek berdasarkan Direktorat Jenderal Hortikultura dan Tanaman Hias (2009) terdiri atas beberapa skala usaha yaitu skala usaha kecil, sedang dan besar. Skala usaha budidaya anggrek di Indonesia berkisar antara 200 m2 hingga 25 ha. Skala usaha 200-1.000 m2 dimiliki oleh petani pemula maupun petani-petani kecil, dimana skala usaha ini termasuk skala kecil. Petani tersebut umumnya memiliki keterbatasan modal. Sekitar 70 persen petani tersebut tersebar di berbagai sentra produksi anggrek, baik di Pulau Jawa maupun luar Jawa. Usaha budidaya anggrek berskala sedang yaitu antara 1.000-5.000 m2 banyak diusahakan oleh petani-petani di Pulau Jawa. Petani tersebut umumnya telah berpengalaman dalam usaha anggrek minimal lima tahun dan telah menguasai teknologi dan pasar. Skala usaha ini tersebar di Jawa Barat, Jawa Timur, DKI, Banten, DI Yogyakarta, Jawa Tengah dan beberapa daerah di luar Jawa seperti Bali dan Medan. Usaha anggrek dengan luasan lebih dari 5.000 m2 umumnya diusahakan oleh pengusaha besar. Pelaku usaha ini umumnya bermodal kuat, menguasai teknologi cukup baik dan daerah pemasaran yang luas. Pengusaha besar yang melakukan ekspor antara lain PT Eka Karya Graha Flora dan PT Bintang Delapan Hortikultura. Usaha budidaya anggrek dengan skala luas harus dilakukan dengan pengelolaan secara intensif terutama dalam bidang perbenihan.
2.2
Usahatani Anggrek dan Tanaman Hias Lain
Penelitian tentang anggrek telah banyak dilakukan. Hal ini didorong oleh kedudukan tanaman anggrek sebagai tanaman unggulan nasional. Keunggulan tanaman anggrek tidak terbatas pada penampilan fisiknya saja, secara finansial pun anggrek memiliki keunggulan dibandingkan tanaman hias lainnya. Menurut penelitian SIPUK BI (2001) dalam Windiana (2001) anggrek adalah komoditi yang layak untuk diusahakan. Penelitian ini dilakukan dengan asumsi dasar; budidaya anggrek dilakukan didalam rumah kaca (green house) seluas 250 m2 dengan skala model usaha sebesar 40.000 pot seedling. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa net
present value > 0, dan IRR > discount factor. Kriteria-kriteria kelayakan tersebut mengindikasi bahwa anggrek adalah komoditas yang layak secara finansial. Irvani (2001) melakukan penelitian mengenai “Analisis Pendapatan dan Struktur Pemasaran Bunga Anggrek di DKI Jakarta”. Tujuan dari penelitian tersebut adalah mengetahui tingkat pendapatan, titik impas serta aspek-aspek pemasaran yang terjadi meliputi struktur pasar, fungsi pemasaran serta marjin pemasaran dari usahatani anggrek. Sampel yang digunakan adalah sepuluh anggrek dari jenis varietas berbeda. Hasil analisis rata-rata pendapatan bersih usahatani anggrek dalam satu periode produksi menunjukkan bahwa kesepuluh anggrek yang diusahakan menuntungkan, baik ditunjau dari pendapatan dan nilai R/C rasio atas biaya tunai dan totalnya. Dua jenis anggrek yang paling menguntungkan petani yaitu anggrek bulan dan anggrek Dendrobium karena memberikan penerimaan yang lebih dibandingkan dengan delapan jenis anggrek lainnya. Perhitungan titik impasnya menunjukkan bahwa usahatani tersebut berada dalam kondisi yang menguntungkan. Impas unit produk tertinggi terdapat pada anggrek Dendrobium. Tingginya nilai impas disebabkan oleh besarnya biaya tetap total untuk kedua jenis anggrek tersebut. Lubis (2003) melakukan penelitian yang berjudul ”Potensi Pengembangan Anggrek Dendrobium dari Sisi Kelayakan Finansial pada Kebun Anggrek Parung” . Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kelayakan usaha anggrek Dendrobium berdasarkan kinerja finansial dan mengetahui pengaruh perubahan volume produksi, harga input dan harga output terhadap kelayakan finansial usaha anggrek Dendrobium. Berdasarkan hasil analisis disimpulkan bahwa usaha Kebun Anggrek Parung menunjukkan kondisi layak untuk dilaksanakan pada tingkat diskonto 16 persen untuk skenario I dan skenario II. Usaha anggrek untuk skenario II lebih layak daripada skenario I karena memiliki nilai NPV, IRR dan Net B/C Ratio yang lebih tinggi disebabkan penerimaan penjualan lebih tinggi. Rekomendasi yang diberikan oleh penulis adalah usahatani anggrek di Kebun Anggrek Parung dapat terus dilaksanakan dan dikembangkan dengan melakukan usaha sampai tahap peremajaan dan memperhatikan perubahan produksi, harga output dan harga input.
Selain anggrek, penelitian mengenai tanaman hias lainpun telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian Chaizar (2007) berjudul ”Analisis Pendapatan Usahatani Phillodendron Millo, Tanaman Hias Euphorbia dan Tanaman Hias Puring di PD Atsumo, Sawangan, Depok, Jawa Barat”. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pendapatan usahatani yang diperoleh PD Atsumo dan menganasis produk apakah yang akan menjadi produk unggulan pada PD Atsumo. Analisis data dilakukan dengan analisis pendapatan usahatani dan analisis Rasio R/C untuk menganalisis produk usahatani paling efisien yang akan menjadi produk unggulan pada PD Atsumo. Berdasarkan analisis, usahatani bunga-potong Phillodendron Millo dan tanaman hias puring di PD Atsumo menguntungkan sedangkan usahatani tanaman hias tanaman hias Euphoria tidak menguntungkan. Penulis memberikan saran bahwa PD
Atsumo
hendaknya
melanjutkan
pengembangan
usahataninya
setelah
mendapatkan produk unggulan dengan membuka kios tambahan di pasar bunga Rawa Belong atau tempat strategis lainnya agar lebih mudah dijangkau konsumen.
2.3
Pemasaran Anggrek dan Tanaman Hias Lain
Selain penelitian tentang aspek usahatani, berbagai aspek pemasaran yang terkait dengan industri tanaman anggrek dan tanaman hias lainnya juga cukup sering diteliti. Menurut Rahardi (1997), anggrek termasuk tanaman hias komersial. Hal ini dikarenakan anggrek mempunyai daya jual dan nilai ekonomi yang tinggi. Agar penurunan mutu produk dapat dicegah, maka perlu diketahui apa saja sifat tanaman hias komersial, antara lain; a. Tidak bergantung musim, dapat ditanam dan dipanen kapan saja sesuai dengan umur panennya sehingga keberadaan di pasar tidak mengalami kelangkaan. b. Perputaran modal cepat, berumur pendek karena selang waktu antara tanam dan panen tidak lama, sehingga produk dapat cepat terjual. c. Mudah rusak dan beresiko tinggi. Mudah rusak oleh kesalahan perilaku fisik selama pemanenan/pengangkutan sehingga beresiko tinggi. Menurut Windiana (2001), anggrek merupakan salah satu jenis bunga potong yang banyak diminati oleh konsumen dalam negeri disamping mawar, sedap malam,
krisan, gladiol, dan anyelir. Produksi anggrek Indonesia ditujukan untuk pasar ekspor dan pasar dalam negeri. Aspek pasar lainnya yang telah diteliti adalah struktur pasar dari komoditas tanaman anggrek. Menurut Irvani (2001) struktur pasar yg terbentuk untuk tanaman bunga anggrek di DKI Jakarta adalah cenderung menuju pasar bebas (free market). Kondisi tersebut didukung oleh beberapa faktor, antara lain ; jumlah lembaga pemasaran cukup banyak, tidak ada hambatan keluar masuk pasar, dan petani bebas untuk memilih lembaga pemasaran dalam penjualan produknya. Produk yang ditawarkan homogen (anggrek tidak dibedakan baik dalam harga maupun kualitas). Konsumen ditingkat pengecer membedakan anggrek tersebut berdasarkan ada tidaknya bunga serta banyak sedikitnya kuntum bunga pada tanaman anggrek tersebut. Penelitian tentang perilaku konsumen anggrek, yang merupakan salah satu aspek pemasaran dilakukan oleh Harsono (2002) yang mengambil lokasi di Taman Anggrek Ragunan (TAR) pada tahun 2001. Aspek perilaku konsumen yang diteliti adalah ”Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah pembelian terhadap anggrek”. Dalam penelitian tersebut dikemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi pembelian konsumen terhadap anggrek, yaitu: pendapatan konsumen, harga tanaman anggrek, harga tanaman hias selain anggrek, jarak tempat tinggal, frekuensi kunjungan, usia, informasi, motivasi kunjungan, dan jenis kelamin. Berdasarkan hasil penelitian dikemukakan bahwa pendapatan erat kaitannya dengan jumlah pembelian responden terhadap tanaman anggrek. Tanaman anggrek memiliki elastisitas pendapatan sebesar 0,24 persen, sehingga tergolong sebagai barang normal. Setiap terjadi peningkatan pendapatan sebesar satu persen akan
meningkatkan
pembelian sebesar 0,24 persen. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa perubahan pendapatan konsumen tidak sensitif terhadap jumlah pembelian tanaman anggrek. Menurut Harsono (2002), para pembeli tanaman anggrek adalah individu dewasa. Tingkat pembelian anggrek juga dipengaruhi oleh motivasi pembelian dan informasi yang berasal dari manajemen TAR. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa pembelian anggrek karena motivasi bisnis lebih banyak daripada motivasi hobbies. Permintaan para responden yang merupakan golongan hobbies cenderung stabil,
sedangkan permintaan para pedagang akan meningkat pada saat harga kompetitif. Menurut Harsono (2002), bauran pemasaran yang dilakukan oleh manajemen TAR meliputi bauran produk, bauran harga, bauran promosi, dan bauran tempat. Untuk bauran produk, tanaman anggrek yang ada di TAR tersedia dalam berbagai pilihan. Pilihan tersebut mencakup jenis, umur anggrek, dan jenis transaksi (jual-beli maupun rental). Sedangkan saluran pemasaran yang ada sebagian besar ditujukan pada kalangan hobbies. Dikarenakan responden yang berhasil diwawancarai sebagian besar merupakan hobbis (56,6 %). Penetapan harga terhadap produk anggrek merupakan bagian dari bauran harga. Terdapat perbedaan penetapan harga bagi konsumen hobbies dan bagi pedagang, dimana strategi penetapan harga yang diberlakukan untuk pedagang lebih rendah 1530 persen dibandingkan dengan harga yang ditetapkan untuk hobbies. Perlakuan ini membuat para pedagang terutama yang berasal dari luar kota merasa diuntungkan. Sehingga TAR memiliki keunggulan kompetitif dimata para pedagang tersebut. Harsono (2002) juga mengemukakan lokasi TAR bagi konsumen luar kota (sebagian besar pedagang), dianggap sudah cukup strategis. Sedangkan promosi yang dilakukan oleh Pemda DKI sebagai pengelola TAR seringkali tidak dilakukan secara khusus, namun digabung dengan promosi pengembangan wilayah Ragunan sebagai pusat wisata alam di DKI Jakarta. Sehingga promosi yang dilakukan tersebut tidak tepat sasaran. Beberapa penelitian sebelumnya mengenai manajemen pemasaran dilakukan oleh Kusumawardhanie (2003) melakukan penelitian dengan judul ”Analisis Strategi Pemasaran Bunga Anggrek di Taman Anggrek Indonesia Permai (TAIP) Jakarta”. Latar belakang penelitian ini yaitu terbukanya peluang yang besar dalam industri florikultura yang sedang berkembang khususnya terhadap komoditi anggrek. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengidentifikasi bauran pemasaran yang dijalankan penganggrek di TAIP, (2) Menganalisis faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi penganggrek di TAIP, (3) menyusun alternatif strategi yang dapat diterapkan penganggrek TAIP.
Dari hasil penelitian Kusumawardhanie (2003), berdasarkan analisis saluran pemasaran menunjukkan: (1) Produk, tanaman anggrek di TAIP beragam dan disajikan dalam bentuk tanaman anggrek dalam pot, baik yang belum atau sudah berbunga dengan bentuk dan warna yang bervariasi, (2) Penetapan harga jual anggrek pada setiap kavling di TAIP beraneka ragam, (3) Beberapa anggrek di TAIP melakukan penjualan ke daerah-daerah ini biasanya dilakukan oleh penganggrek yang memiliki lahan yang cukup luas, (4) Kegiatan promosi dilakukan TAIP melalui pameran yang diadakan tiga kali setahun bertempat di lapangan parkir TAIP. Penelitian mengenai pendapatan usahatani dan pemasaran bunga gerbera di Kabupaten Sukabumi pernah dilakukan oleh Yus pada tahun 2002. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa usahatani gerbera merupakan usahatani yang layak untuk diusahakan karena memiliki R/C rasio lebih dari satu. Sedangkan pola pemasaran yang dipakai adalah pola: petani → pedagang pengumpul → pedagang Rawabelong → Konsumen. Pengukuran keterpaduan pasar memberikan keterangan bahwa sebenarnya kondisi lokal yang berpengaruh pada pembentukan harga di pasar lokal. Peningkatan pendapatan dapat diperoleh dengan mengubah struktur pasar oliopsoni yang dihadapi sehingga petani dapat memperbaiki posisinya. Informasi dari penelitian-penelitian terdahulu merupakan referensi yang membantu menggambarkan pemasaran komoditas hortikultura serta analisis pendapatannya. Windiana (2001) dan Irvani (2001) menggunakan anggrek sebagai komoditi yang diteliti, sama dengan komoditi yang diteliti dalam penelitian ini. Namun ada perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu dalam hal komoditi yang dianalisis yaitu tanaman hias lainnya dan daerah penelitian. Penelitian ini berusaha mengkaji sistem pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium untuk dapat memberikan alternatif saluran pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium yang lebih efisien bagi petani anggrek di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor serta menganalisis pendapatan usahataninya. Penelitian mengenai sistem pemasaran memang telah banyak dilakukan namun komoditas yang biasa diteliti adalah buah dan sayuran. Diharapkan dengan adanya penelitian ini petani dapat mengetahui alternatif saluran pemasaran yang lebih efisien dan dapat
memberikan farmer’s share terbesar sehingga pendapatan petani akan meningkat dan pada akhirnya petani akan lebih termotivasi untuk meningkatkan produksi anggrek. Selain itu juga diharapkan Kabupaten Bogor mampu mempertahankan dan mengembangkan posisinya sebagai daerah sentra produksi anggrek Dendrobium di Indonesia dan Pulau Jawa khususnya.
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1
Teori Produksi
Produksi adalah kegiatan menghasilkan barang dan jasa. Sumberdaya yang digunakan untuk memproduksi barang dan jasa disebut faktor-faktor produksi. Umumnya faktor-faktor produksi terdiri dari alam atau lahan, tenaga kerja dan modal. Fungsi produksi menjelaskan hubungan teknis yang mentransformasikan input (sumberdaya) dan output (komoditas) (Debertin, 1986). Sedangkan Soekartawi (2003) mendefinisikan fungsi produksi sebagai suatu fungsi yang menggambarkan hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (Y) dan variabel yang menjelaskan (X). Variabel yang dijelaskan biasanya berupa output dan variabel yang menjelaskan biasanya
berupa
input.
Fungsi
produksi
yang
baik
hendaknya
dapat
dipertanggungjawabkan, mempunyai dasar yang logis secara fisik dan ekonomi, mudah dianalisis dan mempunyai implikasi ekonomi. Secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut: Y = f (X1, X2, X3, ... ,Xn) Keterangan: Y
= Output
X1, X2, X3, ... ,Xn
= Input-input yang digunakan dalam proses produksi
Bentuk fungsi produksi dipengaruhi oleh ’Hukum Kenaikan Hasil yang Semakin Berkurang’ (The Law of Deminishing Returns). Hukum ini menjelaskan bahwa jika faktor produksi variabel dengan jumlah tertentu ditambahkan terusmenerus pada sejumlah faktor produksi tetap, akhirnya akan dicapai suatu kondisi dimana setiap penambahan satu unit faktor produksi variabel akan menghasilkan tambahan produksi yang besarnya semakin berkurang. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih fungsi produksi (Soekartawi, 2003), yaitu: 1.
Fungsi produksi harus dapat menggambarkan keadaan usahatani yang sebenarnya terjadi.
2.
Fungsi produksi dapat dengan mudah diartikan khususnya arti ekonomi dan parameter yang menyusun fungsi produksi tersebut.
3.
Fungsi produksi harus mudah diukur atau dihitung secara statistik untuk mengukur tingkat produktivitas dari suatu proses produksi terdapat dua tolak
ukur yaitu produk marjinal dan produk rata-rata. Produk marjinal (PM) adalah tambahan produk yang dihasilkan dari setiap menambah satu-satuan faktor produksi yang dipakai. Sedangkan produk rata-rata (PR) adalah tingkat produktivitas yang dicapai setiap satuan produksi. Kedua tolak ukur ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
=
PM =
PR =
=
Untuk melihat perubahan dari produk yang dihasilkan disebabkan oleh faktor produksi yang dipakai dapat dinyatakan dengan elastisitas produksi. Elastisitas produksi (Ep) adalah rasio tambahan relatif produk yang dihasilkan dengan perubahan relatif jumlah faktor produksi yang dipakai atau persentase perubahan dari produk yang dihasilkan sebagai akibat persentase perubahan faktor produksi yang
digunakan. Pada Gambar 1, dapat dilihat hubungan antara prod produk uk marjinal dan produksi
rata-rata yang menggambarkan perbandingan antara produksi total dengan jumlah input yang digunakan. Pada saat produksi total sudah meningkat, produksi marjinal lebih besar dari produksi rata-rata dalam keadaan menaik.
Pada Gambar 1, dapat pula dilihat hubungan antara produksi total (PT), produk rata-rata (PR) dan produk marjinal (PM) sebagai berikut (Doll and Orazem, 1984): Output
Y
Produk Total
I
II
III
Input
PM/PR
Produk Rata-Rata
0
X3
X2
X3 Produk Marjinal
Input X
Gambar 1. Fungsi Produksi dan Tiga Daerah Produksi Sumber : (Doll and Orazem, 1984)
1.
Daerah I memperlihatkan Produk Marjinal (PM) lebih besar dari produk rata-rata variabel input (X) ditransformasikan ke dalam produk (Y) meningkat hingga PR mencapai maksimal pada akhir daerah I.
2.
Daerah II terjadi ketika PM menurun dan lebih rendah dari PR. Pada keadaan ini PM sama atau lebih rendah dari PR, tapi sama atau lebih tinggi dari 0 (nol). Daerah II berada diantara X2 dan X3. Efisiensi variabel input diperoleh saat awal daerah II.
3.
Daerah III dicapai ketika MP negatif. Daerah III tercapai ketika jumlah berlebih dari input variabel yang dikombinasikan dengan input tetap. Selain itu pada kenyataannya total output mulai menurun. Selain itu daerah ini juga memperlihatkan batas garis daerah II dan III.
Selain itu dari Gambar 1 juga dapat dilihat hubungan antara PM dan PT serta PM dan PR dengan besar kecilnya elastisitas produksi (Soekartawi, 1986): 1.
Elastisitas Produksi (Ep) = 1 bila PR mencapai maksimum atau PR sama dengan PM-nya.
2.
Elastisitas Produksi = 0, terjadi saat PM = 0 dalam situasi PR sedang menurun.
3.
Elastisitas Produksi (Ep) > 1 bila PT menaik pada tahapan ”increasing rate” dan PR juga menaik di daerah I. Pada kondisi ini petani masih mampu memperoleh sejumlah produksi yang cukup menguntungkan manakala sejumlah input masih ditambahkan.
4.
1>Ep>0, pada kondisi ini tambahan sejumlah input tidak diimbangi secara proporsional oleh tambahan output yang diperoleh. Peristiwa seperti ini terjadi di daerah II, dimana pada sejumlah input yang diberikan maka PT tetap menaik pada tahapan ”decreasing rate”.
5.
Elastisitas Produksi (EP) < 0 yang berada pada daerah III; pada situasi yang demikian PT dalam keadaan menurun, nilai PM menjadi negatif dan PR dalam keadaan menurun. Dalam situasi ini setiap upaya untuk menambah sejumlah input tetap akan merugikan bagi petani yang bersangkutan. Output dari suatu usahatani dipengaruhi oleh faktor-faktor produksi (input)
yang digunakan. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk penggunaan faktor-faktor produksi akan mempengaruhi besarnya pendapatan usahatani.
3.1.2
Teori Biaya Produksi Biaya produksi dapat didefinisikan sebagai semua pengeluaran yang
dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan bahanbahan mentah yang akan digunakan untuk menciptakan barang-barang yang diproduksikan perusahaan tersebut. Biaya produksi yang dikeluarkan setiap perusahaan dapat dibedakan atas dua jenis biaya, yaitu biaya eksplisit dan biaya tersembunyi (imputed cost). Biaya eksplisit adalah pengeluaran-pengeluaran yang berupa pembayaran dengan uang untuk mendapatkan faktor-faktor produksi dan bahan mentah yang dibutuhkan. Sedangkan biaya tersembunyi adalah taksiran
pengeluaran terhadap faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh perusahaan itu sendiri (Lipsey, Courant, Purvis, Steiner, 1995). Analisis mengenai biaya produksi menganalisis juga tentang beberapa jenis biaya, antara lain : (1) Biaya Total (TC atau Total Cost), adalah biaya total untuk menghasilkan tingkat output tertentu. Biaya total dibagi menjadi dua bagian, yaitu biaya tetap total (total fixed cost=TFC) dan biaya variabel total (total variable cost=TVC). Biaya tetap adalah biaya yang tidak berubah dengan output;biaya ini akan sama jika output sebanyak satu unit maupun lebih. Biaya yang berkaitan langsung dengan output, meningkat dengan meningkatnya produksi dan menurun dengan menurunnya produksi disebut biaya variabel. (2) Biaya Total Rata-rata (average total cost=ATC), juga disebut biaya rata-rata (average cost=AC), adalah biaya total untuk menghasilkan jumlah output tertentu dibagi dengan jumlah output tersebut. Biaya total rata-rata dapat dibagi menjadi biaya tetap rata-rata (average fixed cost=AFC) dan biaya variabel rata-rata (average variable cost=AVC) dengan cara yang sama seperti biaya-biaya total. (3) Biaya Marjinal (marginal cost=MC), adalah kenaikan biaya total yang disebabkan oleh meningkatnya laju produksi sebesar satu unit, karena biaya tetap tidak berubah dengan output, biaya tetap marjinal akan selalu nol. Oleh karena itu biaya marjinal adalah biaya variabel marjinal dan berubahnya biaya tetap tidak akan mempengaruhi biaya marjinal. Dalam Gambar 2 dilukiskan tiga jenis kurva: (i) kurva TFC, yang menggambarkan biaya tetap total; (ii) kurva TVC, yang menggambarkan biaya variabel total; dan (iii) kurva TC yang menggambarkan biaya total. Kurva TFC berbentuk horizontal karena nilainya tidak berubah berapa pun jumlah barang yang diproduksi. Sedangkan kurva TVC bermula dari titik nol dan semakin lama semakin bertambah tinggi. Ini menggambarkan bahwa: (a) pada saat tidak ada produksi TVC = 0, dan (b) semakin besar produksi semaki besar nilai biaya variabel total (TVC). Bentuk kurva TVC yang pada akhirnya semakin tegak menggambarkan bahwa produksibdipengaruhi oleh hukum hasil yang semakin berkurang. Yaitu apabila
produksi semakin banyak, sejumlah biaya produksi tertentu yang dikeluarkan akan menghasilkan jumlah produksi yang semakin sedikit. Kurva TC adalah hasil dari penjumlahan kurva TFC dan TVC. Oleh sebab itu kurva TC bermula dari pangkal TFC, dan jika ditarik garis tegak diantara TVC dan TC panjang garis itu adalah sama dengan jarak diantara kurva TFC dengan sumbu datar.
Biaya Total TC
TVC
TF C
O
Output
Gambar 2. Kurva Biaya Total, Biaya Tetap Total dan Biaya Variabel Total Sumber : (Lipsey, Courant, Purvis, Steiner 1995) Kurva biaya tetap rata-rata (AFC), biaya variabel rata-rata (AVC), biaya total ratarata (ATC), dan biaya marjinal (MC) dapat dilihat pada Gambar 3. Biaya tetap rata-rata yang berbentuk menurun dari kiri atas ke kanan bawah karena menggambarkan bahwa semakin besar jumlah produksi, maka semakin kecil biaya tetap rata-rata. Kurva AVC, AC dan MC berbentuk huruf U. Bentuk kurva tersebut mencerminkan bahwa kegiatan produksi dipengaruhi oleh hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang, yaitu pada waktu produksi masih sangat rendah penambahan sejumlah tertentu biaya produksi akan menyebabkan penambahan jumlah produksi yang lebih banyak, tetapi apabila produksi sudah semakin banyak, sejumlah tertentu biaya produksi akan mengakibatkan penambahan produksi yang semakin sedikit. Sebagai akibat keadaan ini, pada waktu jumlah produksi sedikit kurva AVC,
AC dan MC menurun, dan pada waktu jumlah produksi sudah sangat banyak kurva AVC, AC dan MC arahnya menaik.
Biaya per Unit
MC
ATC AVC
AFC Output O
qc
Gambar 3. Kurva Biaya Rata-rata, Biaya Variabel Rata-rata dan Biaya Marjinal Sumber : (Lipsey, Courant, Purvis, Steiner, 1995)
Dalam usahatani terdapat biaya usahatani yang berupa biaya tunai dan biaya tidak tunai. Biaya tunai usahatani (farm payment) didefinisikan sebagai jumlah biaya yang dikeluarkan untuk pembelian barang dan jasa usahatani. Biaya tunai usahatani merupakan biaya untuk benih, pupuk, fungisida, insektisida, media tanam, tali, tenaga kerja luar keluarga, pajak lahan dan sewa traktor. Biaya tidak tunai usahatani adalah biaya yang diperhitungkan yaitu sumberdaya milik petani atau keluarga misalnya biaya untuk penyusutan alat, tenaga kerja dalam keluaga dan sewa lahan.
3.1.3
Pendapatan Usahatani Usahatani menurut Hernanto (1995) didefinisikan sebagai organisasi dari
alam, kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Ketatalaksanaan organisasi itu sendiri diusahakan oleh seorang atau sekumpulan
orang-orang. Dengan demikian dapat diketahui bahwa usahatani terdiri atas manusia petani (bersama keluarganya), tanah (bersama fasilitas yang ada di atasnya seperti bangunan-bangunan, saluran air) dan tanaman ataupun hewan ternak. Menurut Soeharjo dan Patong (1973), tujuan dari setiap petani dalam menjalankan usahataninya berbeda-beda. Apabila motif usahataninya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, baik dengan melalui atau tanpa melalui peredaran uang, maka usahatani demikian disebut usahatani pencakup kebutuhan keluarga (subsistence farm). Bila motif usahatani didorong oleh keinginan untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, maka usahatani yang demikian disebut usahatani komersial (commercial farm). Usahatani yang baik adalah usahatani yang bersifat produktif dan efisien yaitu mempunyai produktivitas tinggi dan bersifat kontinyu. Pendapatan usahatani ada dua jenis, yaitu pendapatan total usahatani dan pendapatan tunai usahatani. Pendapatan total usahatani merupakan selisih antara penerimaan total dengan biaya total. Pendapatan tunai usahatani dihitung dari selisih antara penerimaan total dengan biaya tunai. Penerimaan usahatani (farm receipt) didefinisikan sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan semua pokok usahatani (Soekartawi, 2002). Penerimaan usahatani meliputi jumlah penambahan inventaris, nilai penjualan hasil, nilai penggunaan rumah dan yang dikonsumsi (Hernanto, 1995). Penerimaan usahatani ada dua yaitu penerimaan total usahatani dan penerimaan tunai usahatani. Penerimaan total usahatani (total farm revenue) adalah nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani ditambah nilai penggunaan untuk konsumsi keluarga. Penerimaan tunai usahatani didefinisikan sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani. Pendapatan dapat juga disebut keuntungan. Pada Gambar 4 digambarkan empat kemungkinan dalam corak keuntungan atau kerugian perusahaan (atau keadaan keseimbangan perusahaan), yaitu mendapat untung lebih normal, mendapat untung normal, mengalami kerugian tetapi masih dapat membayar biaya variabel, dan dalam keadaan menutup atau membubarkan perusahaan.
P
M C
A C P0
AVC
E0
B
P1
A1E1 E2
P2
MR0 A0
E3
O
Q3 Q2 Q1 Q0
d1=AR1=Mr1
MR1 MR2 MR3
Q
Gambar 4. Kemungkinan Keuntungan Perusahaan Sumber : (Lipsey, Courant, Purvis, Steiner, 1995) Pada Gambar 4 dapat dilihat keadaan kegiatan perusahaan yang memperoleh untung lebih normal yaitu apabila harga lebih tinggi dari biaya rata-rata minimum. Jika harga adalah P0 maka perusahaan akan mendapat keuntungan lebih normal. Keuntungan ini dicapai pada waktu jumlah produksi adalah Q0 dan besarnya adalah P0E0A0B. Gambar 4 juga menggambarkan keadaan dimana perusahaan mendapat keuntungan normal. Suatu perusahaan dikatakan mendapat keuntungan normal apabila harga adalah P1. Pada harga ini MC dipotong oleh MR1 pada titik E1, dan titik E1 tersebut adalah titik singgung garis d1=AR1=MR1 dengan kurva AC. Karena AC=AR1, (biaya total rata-rata = hasil penjualan rata-rata) maka biaya total adalah sama dengan hasil penjualan total. Gambar 4 menunjukkan keadaan dimana perusahaan mengalami kerugian tetapi masih dapat beroperasi, yaitu harga lebih rendah dari biaya total rata-rata, tetapi lebih tinggi dari biaya variabel rata-rata. Hal ini berarti hasil penjualan yang diperoleh perusahaan melebihi biaya variabel yang dikeluarkan, tetapi kelebihan tersebut belum dapat menutupi biaya tetapnya. Dalam Gambar 4 kesamaan antara MC dan MR2 dicapai titik E2, maka produksi yang harus dicapai perusahaan untuk meminimumkan kerugian adalah Q2. Biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan adalah sebanyak
OQ2A1P1 dan hasil penjualannya adalah sebanyak OQ2E2P2. Ini berarti kerugian minimum yang ditanggung perusahaan adalah sebesar P2E2A1P1. 3.1.4
Sistem Pemasaran Pemasaran merupakan rangkaian tahapan fungsi yang dibutuhkan untuk
mengubah input atau produk mulai dari titik produsen sampai ke titik konsumen akhir (Dahl dan Hammond, 1977). Serangkaian fungsi tersebut terdiri atas proses produksi, pengumpulan, pengolahan dan penyaluran oleh pedagang pengumpul, grosir, pedagang pengecer sampai konsumen seperti yang terlihat pada Gambar 5.
Produsen Produksi
Pengumpul
Pengolahan
Pedagang pengumpul, Grosir, Pedagang Eceran
Penyaluran Konsumen
Gambar 5. Sistem Pemasaran (Sumber : Dahl dan Hammond, 1977)
3.1.5
Saluran Pemasaran Saluran pemasaran adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung yang
terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk barang atau jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Sebuah saluran pemasaran melaksanakan tugas memindahkan barang dari produsen ke konsumen. Hal itu mengatasi kesenjangan waktu, tempat dan pemilikan yang memisahkan barang atau jasa dari orang-orang yang membutuhkan atau menginginkannya.
Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006) dalam Faisal (2010), saluran pemasaran terdiri dari pedagang perantara yang membeli dan menjual barang dengan tidak memperdulikan apakah mereka memiliki barang dagangan atau hanya bertindak sebagai agen dari pemilik barang. Panjang atau pendeknya saluran pemasaran yang dilalui oleh suatu komoditi bergantung pada beberapa faktor, yaitu: 1. Jarak antara produsen dan konsumen. Semakin jauh jarak antara produsen dan konsumen biasanya semakin panjang saluran yang ditempuh oleh komoditi tersebut. 2. Sifat produk. Produk yang cepat atau mudah rusak harus segera diterima konsumen, sehingga menghendaki saluran yang pendek dan cepat. 3. Skala produksi. Jika produksi berlangsung dalam ukuran-ukuran kecil maka jumlah produk yang dihasilkan berukuran kecil, sehingga akan tidak menguntungkan bila produsen langsung menjual ke pasar. Hal ini berarti membutuhkan kehadiran pedagang perantara dan saluran yang akan dilalui komoditi akan cenderung panjang. 4. Posisi keuangan pengusaha. Produsen yang posisi keuangannya kuat cenderung untuk memperpendek saluran pemasaran karena akan dapat melakukan fungsi pemasaran lebih banyak dibandingkan dengan pedagang yang posisi keuangannya lemah. Dengan kata lain, pedagang yang memiliki modal kuat cenderung memperpendek saluran pemasarannya. 3.1.6
Fungsi dan Lembaga Pemasaran Serangkaian fungsi yang dipergunakan dalam menggerakkan input dari titik
produsen sampai konsumen akhir terdiri dari fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi-fungsi pemasaran tersebut adalah kegiatan produktif (meningkatkan nilai guna bentuk, tempat, waktu dan kepemilikan), sedangkan pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut dilakukan oleh skala perusahaan atau individu yang disebut sebagai lembaga pemasaran (Dahl dan Hamond, 1977). Kohls dan Uhl (1985) menjelaskan fungsi-fungsi pemasaran yang ada sebagai berikut:
1. Fungsi pertukaran adalah kegiatan yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dari barang/jasa yang dipasarkan, meliputi kegiatan pembelian dan kegiatan penjualan. 2. Fungsi fisik adalah semua tindakan yang berhubungan langsung dengan barang dan jasa yang menimbulkan kegunaan tempat, bentuk dan waktu, meliputi kegiatan penyimpanan, pengolahan, dan pengangkutan. 3. Fungsi fasilitas adalah semua tindakan yang berhubungan dengan kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen, meliputi fungsi standarisasi dan grading, fungsi penanggungan risiko, fungsi pembayaran dan fungsi informasi pasar. Penggolongan lembaga pemasaran menurut Limbong dan Sitorus (1987) didasarkan pada fungsi, peguasaan terhadap suatu barang, kedudukan dalam suatu pasar serta bentuk usahanya yaitu: 1) Berdasarkan fungsi yang dilakukan: a. Lembaga pemasaran yang melakukan kegiatan pertukaran, seperti pengecer, grosir dan lembaga perantara lainnya. b. Lembaga pemasaran yang melakukan kegiatan fisik seperti pengolahan, pengangkutan dan penyimpanan. c. Lembaga pemasaran yang menyediakan fasilitas-fasilitas pemasaran seperti informasi pasar, kredit desa, KUD, Bank Unit Desa dan lain-lain. 2) Berdasarkan penguasaan terhadap suatu barang; a. Lembaga pemasaran yang menguasai dan memiliki barang yang dipasarkan, seperti pedagang pengecer, grosir, pedagang pengumpul dan lain-lain. b. Lembaga pemasaran yang menguasai tetapi tidak memiliki barang yang dipasarkan seperti agen, broker, lembaga pelelangan dan lain-lain. c. Lembaga pemasaran yang tidak menguasai dan tidak memiliki barang yang dipasarkan seperti lembaga pengangkutan, pengolahan dan perkreditan. 3) Berdasarkan kedudukannya dalam suatu pasar: a. Lembaga pemasaran bersaing sempurna, seperti pengecer beras, pengecer rokok dan lain-lain.
b. Lembaga pemasaran monopolistis, seperti pedagang bibit dan benih. c. Lembaga pemasaran oligopolis, seperti importir cengkeh dan lain-lain. d. Lembaga pemasaran monopolis, seperti perusahaan kereta api, perusahaan pos dan giro dan lain-lain. 4) Berdasarkan bentuk usahanya: a. Berbadan hukum, seperti perseroan terbatas, firma dan koperasi. b. Tidak berbadan hukum, seperti perusahaan perseorangan, pedagang pengecer, tengkulak dan sebagainya. 3.1.7 Struktur, Perilaku dan Keragaan Pasar Menurut Dahl dan Hammond (1977), struktur pasar adalah dimensi yang menjelaskan sistem pengambilan keputusan oleh perusahaan maupun industri, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, konsentrasi perusahaan, jenis-jenis dan diferensiasi produk serta syarat-syarat masuk pasar. Ada empat faktor penentu dari karakteristik struktur pasar: (a) jumlah dan ukuran pasar; (b) kondisi atau keadaan produk; (c) kondisi keluar atau masuk pasar; (d) tingkat pengetahuan informasi pasar yang dimiliki oleh partisipan dalam pemasaran misalnya biaya, harga dan kondisi pasar antara partisipan. Struktur pasar sangat diperlukan dalam analisis sistem pemasaran karena melalui analisis struktur pasar, secara otomatis akan dapat dijelaskan bagaimana perilaku partisipan yang terlibat (market performance). Dahl dan Hammond (1977) mengemukakan lima jenis struktur pasar dengan berbagai karakteristiknya, secara terinci dapat dilihat pada Tabel 5. Struktur pasar persaingan sempurna memiliki ciri-ciri terdapat banyak penjual dan pembeli. Setiap penjual maupun pembeli menguasai sebagian kecil dari barang/jasa yang ada di pasar. Pembeli dan penjual sebagai penerima harga (price taker) dan bebas keluar masuk pasar (freedom for entry and exit), barang/jasanya homogen (homogenous product). Pasar monopolistik terdapat banyak pembeli dan penjual yang melakukan transaksi pada berbagai tingkat harga dan bukan atas dasar satu harga pasar. Produk
yang dijual tidak homogen. Produk dapat dibedakan menurut kualitas, ciri atau gaya, service atau pelayanan yang berbeda, perbedaan pengepakan, warna kemasan dan harga. Penjual melakukan penawaran yang berbeda untuk segmen pembeli yang berbeda dan bebas menggunakan merek, periklanan dan personal selling. Tabel 5. Karakteristik Struktur Pasar No.
1.
Karakteristik Jumlah Sifat pembeli Produk dan Penjual Standar/ Banyak Homogen
2.
Banyak
Differensiasi
3.
Sedikit
Standar
4.
Sedikit
Differensiasi
5.
Satu Unik Sumber : Dahl dan Hammond, 1977
Struktur Pasar Sudut Penjual Persaingan Murni Persaingan Monopolistik Oligopoli murni Oligopoli differensiasi Monopoli
Sudut Pembeli Persaingan Murni Persaingan Monopolistik Oligopoli murni Oligopoli differensiasi Monopsoni
Pasar oligopoli terdiri dari beberapa penjual yang sangat peka akan strategi pemasaran dan penetapan harga perusahaan lainnya. Produk dapat berupa produk homogen atau produk heterogen. Sedikitnya jumlah penjual ini disebabkan tingginya hambatan untuk memasuki industri yang bersangkutan. Hambatan ini seperti paten, kebutuhan modal yang besar, pengendalian bahan baku, pengetahuan yang sifatnya perorangan dan lokasi yang langka. Pasar monopoli terdapat satu penjual yang berbentuk perusahaan monopoli, pemerintah atau swasta menurut undang-undang dan dapat berupa monopoli swasta murni. Produk hanya satu dan tidak dapat bersubstitusi dengan barang lain dan ada pengendalian harga dari penjual. Tindakan diskriminasi harga dengan menjual produk yang sama pada tingkat harga yang berbeda-beda dan pada pasar yang berbeda. Perilaku pasar menurut Dahl dan Hammond (1977) merupakan pola atau tingkah laku dari lembaga-lembaga pemasaran yang menyesuaikan dengan struktur
pasar dimana lembaga-lembaga tersebut melakukan kegiatan penjualan dan pembelian, penentuan harga dan kerjasama antar lembaga pemasaran. Perilaku pasar dapat diketahui dengan mengamati praktik penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh masing-masing lembaga pemasaran, sistem penentuan harga, kemampuan pasar menerima jumlah produk yang dijual, stabilitas pasar dan pembayaran serta kerjasama di antara berbagai lembaga pemasaran. Struktur pasar dan perilaku pasar akan menentukan keragaan pasar yang dapat diukur melalui peubah harga, biaya, pemasaran dan jumlah komoditas yang diperdagangkan sehingga akan memberikan penilaian baik atau tidaknya sistem pemasaran. Keragaan pasar juga dapat diidentifikasi melalui penggunaan teknologi dalam pemasaran, pertumbuhan pasar, efisiensi penggunaan sumberdaya, penghematan pembiayaan dan peningkatan jumlah barang yang dipasarkan sehingga mencapat keuntungan maksimum (Dahl dan Hammond, 1977). 3.1.8
Marjin Pemasaran Pengertian marjin pemasaran sering dipergunakan sebagai perbedaan antara
harga di berbagai tingkat lembaga pemasaran di dalam sistem pemasaran. Pengertian marjin pemasaran ini sering digunakan untuk menjelaskan fenomena yang menjembatani gap antara pasar di tingkat petani (farmer) dengan pasar di tingkat eceran (retailer). Pengertian marjin pemasaran juga mengandung pengertian dari konsep ”derived supply” dan ”derived demand”. Permintaan turunan (derived demand) diartikan sebagai permintaan turunan dari ”primary demand” yaitu permintaan dari konsumen akhir, sedangkan derived demand-nya adalah permintaan dari pedagang eceran. Derived supply adalah penawaran di tingkat pedagang eceran yang merupakan turunan dari penawaran di tingkat petani (primary supply) (Dahl dan Hammond, 1977). Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 6.
Harga (P)
Nilai
Sr
marjin=
(Pr-Pf) Qrf Sf
Pr Marjin
Nilai Marjin Dr
Pf Df
Jumlah (Q) Qr,f Gambar 6. Marjin Pemasaran (Sumber: Dahl dan Hammond, 1977) Keterangan: Pf
: Harga di tingkat petani
Pr
: Harga di tingkat pengecer (retailer)
Sf
: Penawaran dari petani (primary supply)
Sr
: Penawaran dari tingkat retailer (derived supply)
Df
: Permintaan output di tingkat retailer atau perantara (derived demand)
Dr
: Permintaam output dari konsumen akhir (primary demand)
Qr,f
: jumlah output yang ditransaksikan oleh petan dan retailer Dahl dan Hammond (1977) menyatakan bahwa nilai Marketing margin adalah
selisih harga antara di konsumen dengan petani dikalikan dengan jumlah produk yang dipasarkan. Secara matematik sederhana Value of the Marketing Margin (VMM) = (Pr-Pf) Q. Gambar 6 menunjukkan nilai marjin pemasaran merupakan hasil perkalian dari perbedaan harga di tingkat lembaga pemasaran dengan jumlah produk yang dipasarkan. 3.1.9
Farmer’s Share
Farmer’s share merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk menentukan efisiensi pemasaran yang dilihat dari sisi penerimaan petani. Kohls dan Uhl (1985) mendefinisikan farmer’s share sebagai bagian yang diterima oleh petani dari harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Farmer’s share diperoleh dari hasil bagi antara Pf dan Pr, dimana Pf adalah harga di tingkat petani dan Pr adalah harga yang dibayar oleh konsumen akhir. Jika harga yang ditawarkan pedagang/lembaga pemasaran semakin tinggi dan kemampuan konsumen dalam membayar harga semakin tinggi, maka bagian yang diterima oleh petani semakin sedikit. Semakin besar marjin maka penerimaan petani relatif kecil. Dengan demikian dapat diketahui adanya hubungan negatif antara marjin pemasaran dengan bagian yang diterima petani. 3.1.10 Efisiensi Pemasaran Pemasaran yang efisien merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam sistem pemasaran, dimana sistem pemasaran memberikan kepuasan kepada setiap pihak-pihak yang terlibat, antara lain produsen, konsumen, dan lembaga-lembaga pemasaran. Menurut Sudiyono (2002) untuk mengukur efisiensi pemasaran dapat dilakukan pendekatan struktur, keragaan, dan tingkah laku pasar. Upaya perbaikan efisiensi pemasaran dapat dilakukan dengan meningkatkan output pemasaran dan mengurangi biaya pemasaran. Menurut Sudiyono (2002) secara sederhana konsep efisiensi ini didekati dengan rasio output-input, suatu proses pemasaran dikatakan efisien apabila: 1. Output tetap konstan dicapai dengan input yang lebih sedikit. 2. Output meningkat sedangkan input yang digunakan tetap konstan. 3. Output dan input sama-sama mengalami kenaikan, tetapi laju kenaikan output lebih cepat dari pada input. 4. Output dan input sama-sama mengalami penurunan, tetapi penurunan output lebih lambat dari pada input. Efisiensi pemasaran dapat dibedakan atas efisiensi teknis (operasional) dan efisiensi ekonomis (harga). Menurut Saefuddin dan Hanafiah (1986) efisiensi teknis
berarti pengendalian fisik daripada produk dan mencakup dalam hal-hal: prosedur, teknis, dan besarnya skala operasi, dengan tujuan penghematan fisik seperti mengurangi kerusakan (waste), mencegah merosotnya mutu produk dan penghematan tenaga kerja. Sedangkan dalam pengukuran efisiensi ekonomis maka marjin pemasaran sering dipakai sebagai alat ukur. 3.2
Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian ini akan mengkaji analisis usahatani dan aspek pemasaran bunga-
potong anggrek Dendrobium di daerah sentra produksi anggrek di Bogor. Penelitian ini akan melibatkan berbagai lembaga pemasaran seperti petani, lembaga perantara (pedagang) dan konsumen akhir. Analisis usahatani dianalisa dengan menghitung penerimaan dan pengeluaran untuk mengetahui pendapatan petani bunga-potong anggrek Dendrobiun dan efisiensi pendapatannya diukur dengan R/C rasio. Bila nilai R/C lebih besar dari satu maka usahatani ini efisien untuk dilaksanakan, tetapi apabila nilai R/C kurang dari satu berarti usahatani ini tidak efisien untuk dilaksanakan. Selanjutnya aktifitas pemasaran yang melibatkan petani dan pedagang sampai ke konsumen akhir akan dianalisa melalui analisis saluran pemasaran, fungsi dan lembaga pemasaran, struktur dan perilaku pasar dan marjin pemasaran. Marjin pemasaran yang diperoleh akan menentukan saluran pemasaran yang lebih efisien guna meningkatkan pendapatan petani melalui farmer’s share yang selanjutnya akan memberikan alternatif saluran pemasaran yang terbaik. Kerangka operasional ini dapat dilihat pada Gambar 7.
Usahatani bunga potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor Masalah: 1. Apakah usahatani bunga potong anggrek Dendrobium efisien untuk diusahakan petani di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor? 2. Bagaimana sistem,saluran, struktur dan perilaku pasar serta marjin tataniaga bunga potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor sudah efisien? Apakah terdapat alternatif saluran tataniaga yang lebih efisien?
Usahatani Anggrek
input
output
Jumlah
Harga
Biaya Produksi
Jumlah
Pasar output
Harga
Penerimaan Usahatani
Analisis Pemasaran: -Saluran pemasaran -Struktur dan perilaku pasar
- Pendapatan Usahatani - R/C Rasio
- Usahatani anggrek menguntungkan -Saluran pemasaran yang lebih efisien
Gambar 7. Kerangka Pemikiran Operasional
Efisiensi Pemasaran: -Marjin pemasaran -Rasio keuntungan terhadap biaya -Farmer’s share
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1
Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan
pertimbangan bahwa daerah yang terpilih merupakan salah satu daerah sentra produksi anggrek Dendrobium di Pulau Jawa. Lokasi yang dipilih untuk pengambilan sampel adalah Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, karena anggrek merupakan komoditas unggulan di daerah tersebut. Sentra produksi tanaman anggrek di Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Sentra Produksi Tanaman Hias Unggulan di Jawa Barat Tahun 2008 No. 1.
Komoditas Anggrek
Kabupaten/ Kota Bogor
Produksi (tangkai)
Kecamatan Utama
1.878.403 Gunung Sindur
Karawang
553.422 Cikampek
Cirebon
160.950 Sawangan
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, 2009 Berdasarkan Tabel 6, Kabupaten Bogor memiliki jumlah produksi tanaman anggrek terbanyak dibandingkan dengan Karawang dan Cirebon yaitu 1.878.403 tangkai. Sentra produksi tanaman anggrek di Kabupaten Bogor terletak di Kecamatan Gunung Sindur. 4.2
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh
melalui
wawancara
terstruktur
dengan
menggunakan
instrumen
kuisioner.
Wawancara dilakukan dengan petani dan lembaga-lembaga pemasaran yang terkait. Data primer mencakup aspek kegiatan usaha antara lain: harga jual produk yang dihasilkan, harga input, biaya tunai, biaya diperhitungkan, biaya pemasaran dan biaya
lain-lain
dalam
kegiatan
usahatani
dan
pemasaran
bunga-potong
anggrek
Dendrobium. Data sekunder merupakan kumpulan data yang telah diolah lebih lanjut, dapat diperoleh dari instansi-instansi terkait, seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Tanaman Hias dan Hortikultura, situs-situs internet yang memiliki informasi yang dibutuhkan, serta literatur-literatur atau kepustakaan yang relevan dengan penelitian ini seperti laporan penelitian terdahulu, buku, majalah, surat kabar, dan sebagainya. 4.3
Metode Penentuan Responden Populasi penelitian adalah petani anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung
Sindur, Kabupaten Bogor. Penentuan responden usahatani dilakukan dengan metode sensus yaitu dengan mendatangi semua petani bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 20 responden petani anggrek Dendrobium. Pada penelitian ini, analisis usahatani dilakukan kepada dua skala usaha berdasarkan jumlah tanaman. Adapun skala usaha tersebut adalah skala I (petani yang memiliki jumlah tanaman 3.000-7.000 tanaman) dan skala II (petani yang memiliki jumlah tanaman 8.000-18.000 tanaman). Pembagian skala ini dilakukan karena sebaran jumlah tanaman anggrek yang dimiliki petani responden di Kecamatan Gunung Sindur tidak merata serta untuk mengetahui pengaruh rataan jumlah tanaman terhadap proporsi penerimaan, penggunaan biaya, pendapatan petani dan R/C rasio. Penentuan responden untuk pemasaran ditentukan dengan metode snowball sampling dengan mengikuti alur pemasaran mulai dari petani anggrek Dendrobium sampai ke tingkat konsumen. Dari tingkat produsen atau petani akan diketahui kemana aliran produk dan lembaga-lembaga apa saja yang terlibat dalam pemasaran produk sampai ke konsumen. Metode ini digunakan berdasarkan informasi dari responden sebelumnya sehingga responden yang terpilih di saluran pemasaran disesuaikan dengan pola pemasaran yang terjadi di lokasi penelitian
4.4
Metode Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data akan dilakukan dengan menggunakan alat bantu yaitu
kalkulator dan software komputer Microsoft Excel 2007. Analisa data yang digunakan dalam peneltian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dalam penelitian ini meliputi analisis saluran pemasaran, peranan lembaga pemasaran, struktur dan perilaku pasar. Analisis kuantitatif dalam penelitian ini meliputi analisis usahatani yaitu analisis biaya usahatani, analisis penerimaan usahatani, analisis pendapatan usahatani, R/C rasio, marjin pemasaran serta farmer’s share. 4.4.1
Analisis Usahatani Usahatani adalah suatu kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk menghasilkan
output (penerimaan) dengan input fisik, tenaga kerja dan modal sebagai korbanannya. Penerimaan total adalah nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu. Pengeluaran total usahatani adalah semua nilai input yang dikeluarkan dalam proses produksi. Pendapatan adalah selisih penerimaan total dengan total pengeluaran (Soekartawi, et. al, 1986). Rumus penerimaan total biaya dan pendapatan adalah: TR
= Py x Qy
TC
= TFC + TVC
π
= TR - TC
Keterangan: TR
= Total penerimaan usahatani (Rp)
TC
= Total biaya usahatani (Rp)
π
= Pendapatan atau keuntungan usahatani (Rp)
Py
= Harga output (Rp/tangkai)
Qy
= Jumlah output (tangkai)
TFC
= Total biaya tetap (Rp)
TVC
= Total biaya variabel (Rp)
Pengeluaran total dapat dibedakan menjadi dua yaitu pengeluaran tetap dan tidak tetap (variabel). Biaya variabel adalah pengeluaran yang tidak digunakan untuk proses produksi tertentu dan jumlahnya berubah sebanding dengan besarnya produksi
seperti biaya tenaga kerja. Sedangkan biaya tetap adalah pengeluaran yang tidak tergantung pada besarnya produksi seperti biaya penyusutan alat-alat pertanian. Penelitian ini menggunakan konsep biaya tunai dan biaya diperhitungkan dimana biaya tunai adalah biaya yang dik dikeluarkan eluarkan dalam bentuk tunai, yang terdiri atas biaya sarana produksi, tenaga kerja luar keluarga dan pajak. Sedangkan biaya diperhitungkan adalah biaya yang pengeluarannya tidak dalam bentuk tunai, yang terdiri atas bibit, penyusutan serre house, pot, media tanam, penyusutan alat dan penggunaan tenaga kerja dari dalam keluarga. Biaya penyusutan alat-alat pertanian diperhitungkan dengan membagi selisih antara nilai sisa yang ditafsirkan dengan lamanya modal dipakai. Metode yang digunakan ini adalah metode garis lurus. Metode ini digunakan karena jumlah penyusutan alat setiap tahunnya dianggap sama dan diasumsikan tidak laku apabila dijual. Rumus yang digunakan yaitu (Warren, Reeve, Fess, 2008): Biaya Penyusutan =
Keterangan : Nb = Nilai pembelian (Rp) Ns = Tafsiran nilai sisa (Rp) n = Jangka usia ekonomis (tahun)
Suatu usaha dikatakan efisien secara ekonomis dari usaha lain apabila rasio output terhadap inputnya lebih menguntungkan dari usaha lain. Return and Cost
Ratio (R/C rasio) merupakan perbandingan antara nilai output dan inputnya atau perbandingan antara penerimaan dengan pengeluaran usahatani.
Dalam penelitian ini, setelah diketahui keuntungan dari usahatani anggrek Dendrobium kemudian keuntungan dibandingkan de dengan ngan menggunakan R/C rasio
dengan rumus: R/C = Keterangan: TR = Total penerimaan (Rp)
TC = Total biaya (Rp) Jika nilai R/C rasio lebih besar dari satu maka usaha tersebut layak, sebaliknya jika nilai R/C rasio kurang dari satu maka usaha tersebut tidak layak untuk dilaksanakan.
4.4.2
Analisis Saluran Pemasaran Saluran pemasaran adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung yang
terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk dan jasa siap untuk digunakan
atau dikonsumsi. Saluran pemasaran anggrek dapat ditelusuri dari titik produsen sampai ke konsumen akhir. Alur pemasaran tersebut dijadikan dasar dalam menggambar pola saluran pemasaran.
4.4.3
Analisis Lembaga Pemasaran Analisis ini digunakan untuk mengetahui lembaga-lembaga pemasaran yang
melakukan fungsi-fungsi pemasaran, yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan juga fungsi fasilitas. Lembaga-lembaga ini juga berfungsi sebagai sumber informasi mengenai suatu barang dan jasa. Analisis dari fungsi pemasaran diperlukan antara lain untuk mengetahui
fungsi-fungsi yang dilakukan oleh setiap lembaga pemasaran yang terlibat, penghitungan kebutuhan biaya dan fasilitas yang dibutuhkan. Lebih lanjut, dari
analisis fungsi-fungsi pemasaran ini akan dapat dihitung besarnya marjin pemasaran.
4.4.4 Analisis Struktur, Perilaku dan Keragaan Pasar Metode analisis ini digunakan untuk mengetahui apakah struktur pasar tersebut cenderung mendekati persaingan sempurna atau persaingan tidak sempurna dengan melihat komponen-komponen yang mengarahkan pasar ke suatu struktur tertentu. Struktur pasar dapat diketahui dengan mengetahui jumlah pembeli dan penjual yang terlibat, heterogenitas produk yang dipasarkan, kondisi dan keadaan produk, kemudian memasuki pasar, serta informasi perubahan harga pasar. Data yang digunakan merupakan hasil pengamatan di lapangan dan wawancara langsung dengan berbagai responden. Tingkah laku pasar dapat dianalisis dengan mengamati praktik penjualan dan pembelian antara produsen, pedagang, pengumpul, pedagang grosir, hingga pedagang pengecer, sistem penentuan dan pembayaran harga serta kerjasama antar lembaga pemasaran. Keragaan pasar dapat diidentifikasi melalui penggunaan teknologi dalam pemasaran, pertumbuhan pasar, efisiensi penggunaan sumberdaya penghematan pembiayaan dan peningkatan jumlah barang yang dipasarkan. 4.4.5
Analisis Marjin Pemasaran Melalui penelusuran saluran pemasaran diharapkan dapat diperoleh informasi
tentang marjin pada setiap lembaga pemasaran. Marjin pemasaran merupakan perbedaan harga diantara lembaga pemasaran. Dengan marjin pemasaran dapat diketahui biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran. Besarnya marjin pemasaran pada dasarnya merupakan pertambahan dari biaya-biaya pemasaran dan keuntungan yang diperoleh masing-masing lembaga. Secara matematis, marjin pemasaran dapat dinyatakan sebagai berikut (Limbong dan Sitorus, 1987): Mi = Pri – Pfi Mi = Ci + πi Keterangan: Mi = Marjin pemasaran pada lembaga ke-i (Rp/tangkai) Pri = Harga tingkat eceran ke-i Pfi = Harga tingkat petani ke-i
Ci = Biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh lembaga ke-i (Rp/tangkai)
πi = Keuntungan pemasaran yang diperoleh lembaga ke-i (Rp/tangkai) Perjalanan suatu produk ke konsumen selalu melibatkan beberapa lembaga pemasaran sehingga marjin pemasaran total yang terjadi merupakan penjumlahan marjin pemasaran dari setiap lembaga pemasaran. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan: Mt = Total marjin pemasaran (Rp/tangkai) i = 1,2,3,...,n
4.4.6
Rasio Keuntungan terhadap Biaya
Penyebaran marjin pemasaran bunga potong anggrek Dendrobium dapat pula dilihat berdasarkan persentase keuntungan terhadap biaya pemasaran pada masingmasing lembaga pemasaran. Perhitungan dapat dilakukan dengan menggunakan
rumus (Asmarantaka, 2009): Rasio keuntungan terhadap biaya =
4.4.7
x 100%
Analisis Farmer’s Share Indikator lain yang digunakan untuk membandingkan harga yang diterima
produsen dibandingkan dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir adalah
farmer’s share yang dinyatakan dalam persentase. Secara matematis, farmer’s share (Limbong dan Sitorus, 1987):
Fs = Keterangan: Fs = Farmer’s share Pf = Harga di tingkat produsen/petani Pr = Harga di tingkat konsumen
Jika harga yang ditawarkan pedagang/lembaga pemasaran semakin tinggi dan kemampuan konsumen dalam membayar semakin tinggi, maka bagian yang diterima oleh petani akan semakin sedikit. Hal ini dikarenakan petani menjual komoditinya dengan harga yang relatif rendah. Semakin besar marjin maka penerimaan petani relatif kecil. Dengan demikian dapat diketahui adanya hubungan negatif antara marjin pemasaran dengan bagian yang diterima petani.
BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1
Keadaan Geografis dan Keadaan Alam Kecamatan Gunung Sindur Kecamatan Gunung Sindur merupakan salah satu kecamatan yang ada di
Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kecamatan Gunung Sindur berada pada ketinggian ±125 meter di atas permukaan laut dengan suhu udara rata-rata 27ºC, membuat tanaman anggrek Dendrobium dapat tumbuh secara optimal. Wilayah Kecamatan Gunung Sindur secara geografis terletak di Kabupaten Bogor dengan batas-batas sebagai berikut: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Serpong. 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Ciseeng. 3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Rumpin. 4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Parung. Berdasarkan Laporan Tahunan Kecamatan Gunung Sindur (2010) luas wilayah administratif Kecamatan Gunung Sindur 4.881 hektar, yang terbagi menjadi 10 desa, 43 dusun, 89 RW dan 344 RT. Lokasi penelitian meliputi dua desa yaitu Desa Cibinong dan Desa Rawakalong. Kedua desa tersebut merupakan pusat usahatani bunga-potong anggrek Dendrobium, karena sejak tahun 1985-1989 di Kecamatan Serpong yang berada di sebelah Utara Kecamatan Gunung Sindur terdapat satu perusahaan bunga-potong anggrek jenis Dendrobium yaitu PT PAGI (Papayarwarna Agro Indonesia), dimana sebagian responden (15 persen) pernah menjadi petani plasma bagi perusahaan tersebut. Namun adanya kesalahan manajemen membuat perusahaan tersebut gulung tikar. Karena para petani telah memiliki pengetahuan yang memadai tentang budidaya anggrek Dendrobium, maka mereka tetap melanjutkan usahataninya dan bahkan ada sebagian warga yang ikut menggeluti usaha yang sama hingga saat ini. Jarak Kecamatan Gunung Sindur ke daerah potensial untuk pemasaran bungapotong anggrek Dendrobium yaitu Jakarta sejauh 30 km. Sarana transportasi ke daerah-daerah potensial di kota Jakarta relatif mudah yaitu dengan angkutan umum
dan kendaraan pribadi dengan kondisi jalan yang mulus. Kondisi sarana transportasi yang memadai ini mempermudah akses bagi perkembangan pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur.
5.2
Penduduk dan Mata Pencaharian Kecamatan Gunung Sindur Jumlah penduduk Kecamatan Gunung Sindur pada tahun 2010 sebanyak
9.603 orang. Komposisi penduduk Kecamatan Gunung Sindur berdasarkan Skala Umur dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Komposisi Penduduk Kecamatan Gunung Sindur Berdasarkan Skala Umur Tahun 2010 Skala Umur (tahun)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Balita
643
6,70
5 – 15
2.932
30,53
16 – 30
3.144
32,74
31 – 45
1.967
20,48
917
9,55
9.603
100,00
>46 Total Sumber : Kecamatan Gunung Sindur, 2010
Berdasarkan Tabel 7, usia produktif penduduk Kecamatan Gunung Sindur yaitu pada skala umur 16-30 tahun sebanyak 3144 orang dan umur 31-45 tahun sebanyak 1967 orang. Namun, petani anggrek di Kecamatan Gunung Sindur rata-rata berada pada rentang umur 31-45 tahun (20,48 persen) dan lebih dari 46 tahun (9,55 persen) karena sebagian dari petani anggrek yang ada dulunya merupakan petani plasma PT PAGI yang sejak tahun 1985 telah mengusahakan anggrek Dendrobium. Sebagian besar penduduk Kecamatan Gunung Sindur berpendidikan SD atau sederajat sebanyak 3.755 orang atau 39,10 persen dari total penduduk. Jumlah penduduk yang tidak pernah sekolah 210 orang atau 2,19 persen dan yang menyelesaikan S-1 sebanyak 90 orang. Dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah
biasanya seorang petani memiliki keterbatasan pengetahuan dan sikap namun pengalaman dan keterampilan dalam berusahatani anggrek juga merupakan faktor penunjang bagi sebagian besar petani anggrek yang pendidikannya rendah. Komposisi penduduk berdasarkan skala tingkat pendidikan secara terinci dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Komposisi Penduduk Kecamatan Gunung Sindur Berdasarkan Skala Tingkat Pendidikan Tahun 2010 Tingkat Pendidikan Belum sekolah
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1.336
13,91
Usia 7-45 tahun tidak pernah sekolah
210
2,19
Pernah sekolah SD tetapi tidak tamat
243
2,53
Tamat SD/sederajat
3.755
39,10
Tamat SLTP/sederajat
1.948
20,29
Tamat SLTA/sederajat
1.988
20,70
D-1
9
0,09
D-2
0
0
D-3
24
0,25
S-1
90
0,94
9.603
100,00
Total Sumber : Kecamatan Gunung Sindur
Berdasarkan Tabel 9 penduduk Kecamatan Gunung Sindur sebagian besar mempunyai mata pencaharian sebagai buruh yaitu sebesar 1.843 orang atau 86,16 persen. Mata pencaharian sebagai petani anggrek Dendrobium masuk kedalam komposisi penduduk buruh/swasta dengan jumlah yang tidak terlalu besar yaitu 20 orang.
Tabel 9. Komposisi Penduduk Kecamatan Gunung Sindur Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2010 Mata Pencaharian
Jumlah (orang)
Buruh/swasta Pegawai negeri Pedagang Penjahit Tukang batu Tukang kayu Montir Dokter Sopir TNI/Polri Bidan Perawat Total Sumber : Kecamatan Gunung Sindur, 2010
5.3
1843 69 71 11 67 18 18 2 27 5 4 4 2.139
Persentase (%) 86,16 3,26 3,32 0,51 3,13 0,84 0,84 0,09 1,26 0,23 0,18 0,18 100,00
Karakteristik Petani Karakteristik petani yang akan diuraikan meliputi: umur petani, tingkat
pendidikan, status kepemilikan lahan, luas lahan dan status usahatani. Adapun karakteristik yang akan diuraikan adalah sebagai berikut: a. Umur Petani Berdasarkan hasil wawancara dari 20 responden petani bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur, pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa petani responden bunga-potong anggrek Dendrobium sebesar 11 orang berkisar pada umur 25-39 tahun (55 persen). Fakta ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani responden bekerja pada umur produktif dan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas bunga-potong anggrek Dendrobium sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan usahataninya.
Tabel 10. Komposisi Responden Petani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Berdasarkan Umur di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2010 Skala Umur (tahun) 25 – 39 40 – 54 55 – 70 Total
Jumlah (orang) 11 6 3 20
Persentase (%) 55,00 30,00 15,00 100,00
b. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap tingkat adopsi teknologi dan inovasi yang sedang berkembang. Pada umumnya, semakin tinggi tingkat pendidikan, maka proses penyerapan teknologi akan semakin cepat. Adapun tujuan dari teknologi dan inovasi adalah untuk memperbaiki usahatani baik dari segi produksi maupun produktivitas. Berdasarkan hasil wawancara pada 20 responden petani bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur dapat dilihat komposisi tingkat pendidikan petani responden seperti yang ditunjukkan pada Tabel 11. Tingkat pendidikan petani responden bunga-potong anggrek Dendrobium terbesar yaitu tamat SLTP atau sederajat sebanyak 8 orang (40 persen).
Tabel 11. Komposisi Responden Petani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2010 Tingkat Pendidikan Tamat SD atau Sederajat Tamat SLTP atau Sederajat Tamat SLTA atau Sederajat Tamat Diploma Tamat Sarjana Total
Jumlah (orang)
Persentase (%) 4 8 6 1 1 20
20,00 40,00 30,00 5,00 5,00 100,00
c. Status Kepemilikan Lahan Seluruh responden petani bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur memiliki lahan sendiri. Lahan yang dimiliki biasanya merupakan lahan pekarangan sehingga langsung berdampingan dengan rumah tinggal dimana lahan tersebut cukup luas untuk dijadikan kebun anggrek. Ada pula petani yang sengaja membeli lahan baru untuk berusahatani anggrek Dendrobium karena lahan yang dimiliki kurang maksimal untuk dipakai bertani. Lahan yang dimiliki responden seluruhnya diusahakan untuk menanam tanaman anggrek potong Dendrobium. d. Luas Lahan dan Jumlah Tanaman Pada usahatani anggrek Dendrobium, selain luas lahan jumlah tanaman juga mempengaruhi produksi karena pada kenyataannya banyak petani responden yang memiliki luas lahan yang sama namun jumlah tanamannya berbeda. Rata-rata jumlah tanaman yang dimiliki petani responden adalah 7.575 tanaman yang secara terinci terdapat pada Lampiran 3. Apabila dilihat dari jumlah tanaman ternyata jumlah tanaman petani responden cukup beragam, yaitu dari petani yang hanya memiliki 3.000 tanaman sampai dengan petani yang memiliki 18.000 tanaman. Pada Tabel 11 diketahui bahwa 11 orang (55 persen) petani bunga-potong anggrek Dendrobium memiliki kisaran jumlah tanaman sebanyak 3.000 - 7.000 tanaman dan Sembilan orang (45 persen) memiliki kisaran jumlah tanaman sebanyak 8,000 – 18.000 tanaman. Secara terinci dapat dilihat pada Lampiran 4 dan Lampiran 5.
Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden Petani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Berdasarkan Jumlah Tanaman di Kecamatan Gunung Sindur pada Tahun 2010 Jumlah Tanaman 3.000 – 7.000 8.000 – 18.000 Jumlah
Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Jumlah (orang)
Persentase (%) 11 9 20
55,00 45,00 100,00
e. Status Mata Pencaharian Petani Pada Tabel 13 sebagian besar responden bermatapencaharian pokok sebagai petani bunga-potong anggrek Dendrobium (70 persen). Berdasarkan hasil wawancara, mata pencaharian sampingan misalnya buruh dan wiraswasta. Responden yang bermatapencaharian pokok sebagai petani anggrek melakukan pengelolaan di kebun dengan lebih intensif baik sendiri maupun dengan bantuan tenaga kerja luar keluarga sedangkan responden yang menganggap usahatani anggrek sebagai usaha sampingan mengelola kebun terutama dengan bantuan tenaga kerja keluarga (istri) dan tenaga kerja luar keluarga. Alasan petani menanam anggrek adalah usaha turun-temurun atau pengembangan usaha dari yang telah dirintis pendahulunya, untuk memperoleh penghasilan karena keuntungan yang cukup besar serta prospek yang bagus dan iklim di lokasi penelitian cocok untuk pengembangan anggrek Dendrobium.
Tabel 13. Komposisi Responden Petani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Berdasarkan Status Mata Pencaharian Petani di Kecamatan Gunung Sindur Pada Tahun 2010 Status Mata Pencaharian Petani Pokok Sampingan Total
Jumlah (orang) 14 6 20
Persentase (%) 70,00 30,00 100,00
f. Pengalaman Bertani Pengalaman bertani dapat mempengaruhi cara bertani dan budidaya bungapotong anggrek Dendrobium. Petani anggrek yang telah memiliki pengalaman bertani pada umumnya dapat mengatur biaya yang dikeluarkan untuk usahatani. Berdasarkan wawancara, responden petani bunga-potong anggrek Dendrobium yang mempunyai pengalaman bertani 0-14 tahun sebanyak 4 orang (20 persen) dan yang mempunyai pengalaman bertani 15-30 tahun sebanyak 16 orang (80 persen) seperti yang ditunjukkan pada Tabel 14.
Tabel 14. Komposisi Responden Petani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Berdasarkan Pengalaman Bertani di Kecamatan Gunung Sindur Pada Tahun 2010 Pengalaman Bertani
Jumlah (orang)
0-14 15-30 Total
5.4
Persentase (%) 4 16 20
20,00 80,00 100,00
Karakteristik Pedagang Pedagang yang terlibat dalam saluran pemasaran bunga-potong anggrek
Dendrobium ini terdiri dari pedagang pengumpul lokal, pedagang pengumpul luar daerah, dan pedagang besar. Pedagang pengumpul lokal merupakan pedagang pengumpul yang berasal dari daerah penelitian, tersebar di Kecamatan Gunung Sindur sedangkan pedagang pengumpul luar daerah merupakan pedagang pengumpul yang berasal dari luar daerah penelitian yaitu daerah Jakarta. Pedagang besar merupakan pedagang yang menjual bunga dalam jumlah besar yang berpusat di Pasar Rawabelong. Karakteristik umum pedagang yang akan diuraikan meliputi umur pedagang dan pengalaman berdagang. a. Umur Pedagang Umur adalah salah satu faktor yang mempengaruhi cepat lambatnya kinerja pedagang. Pada tingkat petani pedagang, hanya ada satu orang yang berumur 39 tahun. Sedangkan pedagang pengumpul lokal di Kecamatan Gunung Sindur yang berumur 31-45 tahun ada lima orang dan 46-60 tahun ada dua orang. Selain pedagang pengumpul lokal, ada juga pedagang pengumpul luar daerah. Pedagang pengumpul luar daerah ini hanya ada satu orang dengan umur 45 tahun. Ada pula pedagang besar yaitu pedagang bunga-potong anggrek Dendrobium di Pusat Promosi dan Pemasaran Bunga Rawabelong Jakarta. Komposisi responden pedagang berdasarkan umur ditunjukkan pada Tabel 15.
Tabel 15. Komposisi Responden Pedagang Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Berdasarkan Umur Tahun 2010 Skala Umur (tahun) 31-45
Pedagang Pengumpul
Pedagang Pengumpul Luar Daerah
Pedagang Besar
Jumlah Persentase Jumlah Persentase (orang) (%) (orang) (%) 5 71,43 1 100,00
Jumlah Persentase (orang) (%) 1 50,00
46-60
2
28,57
-
-
1
50,00
Total
7
100,00
1
100,00
2
100,00
b. Pengalaman Berdagang Pengalaman berdagang dapat mempengaruhi cara dan keahlian berdagang bunga-potong anggrek Dendrobium misalnya menentukan volume penjualan, kerjasama dengan petani dan antar pedagang serta kecepatan memperoleh informasi pasar. Berdasarkan wawancara, empat pedagang pengumpul lokal mempunyai pengalaman berdagang 15-30 tahun sedangkan tiga pedagang pengumpul lokal lainnya mempunyai pengalaman berdagang 0-14 tahun. Satu pedagang besar di Pasar bunga Rawabelong mempunyai pengalaman berdagang 0-14 tahun dan satu pedagang besar lainnya mempunyai pengalaman berdagang 15-30 tahun.
BAB VI ANALISIS USAHATANI DAN PEMASARAN BUNGA-POTONG ANGGREK DENDROBIUM
6.1
Analisis Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Pada penelitian ini, analisis terhadap usahatani dilakukan kepada dua skala
usaha berdasarkan jumlah tanaman. Adapun skala usaha tersebut adalah skala I (petani yang memiliki jumlah tanaman 3.000-7.000 tanaman) dan skala II (petani yang memiliki jumlah tanaman 8.000-18.000 tanaman). Pembagian skala ini dilakukan karena sebaran jumlah tanaman anggrek yang dimiliki petani responden di Kecamatan Gunung Sindur tidak merata serta untuk mengetahui pengaruh rataan jumlah tanaman terhadap proporsi penerimaan, penggunaan biaya, pendapatan petani dan R/C rasio. Adapun analisis yang dilakukan mengacu kepada konsep pendapatan atas biaya yang dikeluarkan, yaitu biaya tunai dan biaya total. Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan dalam bentuk tunai, seperti biaya sarana produksi, dan tenaga kerja luar keluarga. Sedangkan yang termasuk biaya total adalah biaya tunai yang dikeluarkan ditambah dengan biaya diperhitungkan. Biaya diperhitungkan adalah biaya yang pengeluarannya tidak dalam bentuk tunai. Contohnya adalah biaya diperhitungkan untuk bibit, media tanam, pot ukuran 18cm, penyusutan serre house, penyusutan alat dan penggunaan tenaga kerja dari dalam keluarga.
6.1.1
Kegiatan Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Bunga-potong anggrek Dendrobium menjadi tanaman hias unggulan yang
banyak dikembangkan di Kecamatan Gunung Sindur karena sejak tahun 1985-1989 terdapat satu perusahaan bunga-potong anggrek jenis Dendrobium yaitu PT PAGI (Papayarwarna Agro Indonesia) yang lokasinya tidak jauh dari Kecamatan Gunung Sindur, yaitu di Kecamatan Serpong. Saat ini Kecamatan Gunung Sindur menjadi sentra produksi bunga-potong anggrek Dendrobium karena beberapa warga di Kecamatan Gunung Sindur pernah menjadi petani plasma bagi PT PAGI sehingga setelah perusahaan tersebut gulung tikar di tahun 1989, sebagian warga yang pernah
menjadi petani plasma tetap melanjutkan usahatani bunga-potong anggrek Dendrobium tersebut hingga sekarang. Akhirnya, saat ini banyak warga di Kecamatan gunung Sindur memilih menjadi petani anggrek karena usahatani bungapotong anggrek Dendrobium ini telah menjadi usaha turun-temurun dan prospeknya tetap menjanjikan hingga saat ini. Secara umum bunga-potong anggrek Dendrobium yang banyak diusahakan di daerah penelitian berwarna putih. Sebagian besar selain ditanam di halaman rumah juga ditanam di lahan sendiri. Umur produktif tanaman anggrek potong adalah dua tahun hingga empat tahun. Pada tahun pertama baru dapat berproduksi sebanyak 20 persen, yang kemudian meningkat menjadi 100 persen mulai tahun kedua hingga keempat dan di tahun kelima mulai menurun hingga 40 persen (Sutiyoso, 2002). Umur tanaman yang dimiliki petani responden disajikan dalam Tabel 16.
Tabel 16. Sebaran Umur Tanaman Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Milik Petani Responden di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2010 Umur Tanaman Anggrek (Tahun) 2 3 4 5 Jumlah
Jumlah Petani Responden (Orang)
Persentase (%) 1 8 6 5 20
5,00 40,00 30,00 25,00 100,00
Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat bahwa sebaran umur tanaman bungapotong anggrek Dendrobium milik petani responden yang paling banyak dimiliki adalah umur tiga tahun, yaitu sebanyak delapan orang petani atau 40 persen. Kemudian dilanjutkan dengan umur tanaman yang lebih tua yaitu empat tahun terdiri dari enam orang petani atau 30 persen dan lima tahun terdiri dari lima petani atau 25 persen. Sedangkan umur tanaman yang lebih muda yaitu umur dua tahun hanya satu orang petani atau lima persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa rata-rata umur tanaman bunga-potong anggrek Dendrobium milik petani responden relatif dalam
umur yang produktif untuk menghasilkan bunga. Setelah umur lima tahun tanaman anggrek potong harus diganti dengan yang baru, begitu juga dengan pot yang diganti ketika tanaman juga diganti sedangkan media tanam diganti setelah penggunaan selama dua tahun. Penggantian tanaman dengan yang baru dilakukan karena selama umur lima tahun tanaman sudah tidak produktif lagi dalam menghasilkan bunga. Pengamatan terhadap tanaman anggrek di kebun selama penelitian dilakukan pada tanaman yang produktif untuk berbunga dalam periode satu tahun. Kegiatan usahatani bunga-potong anggrek Dendrobium dilakukan secara sistematik, mulai dari pembuatan konstruksi bangunan, penanaman, pemupukan, penyiraman, penyemprotan obat-obatan, pemeliharaan dan panen. Lama pembuatan konstruksi bangunan tergantung pada luas lahan yang akan ditutupi dengan serre house. Kegiatan berlanjut dengan penanaman, dimana pada tanaman anggrek potong, petani responden hanya melakukan satu kali pindah tanam yaitu menanam dari tahap seedling lalu ke tahap remaja. Petani anggrek potong lebih memilih menanam dari tahap seedling, yang berukuran lebih tinggi (± 7 cm) karena kompot memiliki resiko kematian yang lebih tinggi. Tanaman dalam tahap seedling ditanam pada polybag atau
pot
ukuran
sedang
selama
kurang
lebih
empat
bulan,
kemudian
dipindahtanamkan ke polybag atau pot ukuran besar hingga berbunga yang membutuhkan waktu sekitar enam bulan dan dapat dipanen. Kegiatan pemupukan dan penyemprotan obat-obatan pada tanaman anggrek potong dilakukan secara intensif yaitu pupuk dua kali dalam seminggu serta obatobatan yang terdiri dari insektisida dan fungisida satu kali dalam seminggu. Penyemprotan pupuk dan fungisida sudah mulai dilakukan sejak tanaman masih berupa seedling hingga remaja. Faktor cuaca cukup mempengaruhi dalam penyemprotan pupuk, insektisida dan fungisida. Pada musim kemarau sebaiknya penyemprotan pupuk lebih ditingkatkan, sebaliknya pada musim hujan dimana penyemprotan insektisida dan fungisida lebih intensif untuk mencegah serangan hama dan penyakit yang lebih banyak muncul pada musim hujan. Pemeliharaan tanaman pada anggrek potong lebih diutamakan untuk menjaga kesehatan tanaman itu sendiri. Pemeliharaan yang dilakukan seperti pembuangan
rumput maupun daun-daun kering atau biasa disebut dengan penyiangan serta pengecekan tanaman. Pengecekan tanaman ini dilakukan sebagai pendeteksian dini agar tanaman yang terkena penyakit atau rusak dapat segera diketahui. Pemanenan bunga-potong anggrek Dendrobium dilakukan pada saat tanaman memasuki umur produktif yaitu umur dua tahun. Setelah pertama kali dipanen, tanaman secara kontinyu akan terus menghasilkan tangkai bunga sehingga petani dapat memanen setiap minggunya. Hal inilah yang menjadi kelebihan bunga-potong anggrek jenis Dendrobium yaitu tanamannya mudah berbunga dan dapat mengeluarkan lebih dari dua tangkai bunga pada waktu bersamaan dan tidak mengenal musim (sepanjang tahun). Pemanenan dilakukan dengan cara menggunting secara miring pangkal tangkai bunga. Tangkai dipotong miring untuk memperluas areal penyerapan, sehingga bunga tidak cepat layu (tetap segar) ketika dipasarkan. Bunga-potong anggrek Dendrobium yang siap dipasarkan disamping keindahan bentuk dan warnanya juga harus memenuhi persyaratan lainnya yaitu panjang tangkai 30-40 cm, 75-80 persen bunga dalam satu tangkainya sudah mekar, bertangkai tebal dan tidak lentur, mahkota dan kelopaknya tebal dan tertata dalam permukaan yang rata, kuntum berbaris rapi pada tangkai dan tidak merunduk, serta tidak ada kuncup yang mati atau rontok sebelum mekar (Sarwono, 2002). Pilihan warna yang dapat bertahan lama dan paling sering diminta konsumen adalah warna putih. Tenaga kerja yang digunakan di lokasi penelitian adalah tenaga kerja luar keluarga dan tenaga kerja dalam keluarga, namun demikian semua petani responden menggunakan tenaga kerja luar keluarga khususnya tenaga kerja pria karena kegiatan yang dilakukan di lahan cukup berat jika mengandalkan tenaga kerja dalam keluarga saja. Tenaga kerja dalam keluarga yang terlibat terdiri dari suami dan istri namun jarang sekali mereka bekerja secara penuh pada pekerjaan usahatani. Upah rata-rata untuk tenaga kerja pria adalah Rp 20.000,00 per hari kerja pria. Seangkan upah untuk tenaga kerja wanita adalah Rp 10.000,00 per hari kerja wanita. Jumlah jam kerja di lokasi penelitian berkisar kurang lebih delapan jam per hari, yang dimulai dari pukul 07.00 – 12.00 kemudian dilanjutkan lagi pada pukul 13.00 – 16.00 yang dihitung
sebagai satu HOK. Adapun rincian HOK dari masing-masing kegiatan yang dilakukan oleh petani dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Rata-rata Penggunaan Tenaga Kerja (HOK) untuk Rata-rata 7.575 Tanaman pada Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur untuk Satu Tahun Kegiatan Pembuatan konstruksi Penanaman Pemupukan dan penyiraman Penyemprotan obat Pemeliharaan Panen Jumlah
Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga Luar Keluarga (HOK) (HOK) 54,00 25,25 20,05 242,45 147,15 39,45 14,70 190,35 178,70 72,00 108,00 623,50 468,60
Keberhasilan dalam pengembangan komoditas bunga-potong anggrek Dendrobium sebagai salah satu komoditas potensial di Kabupaten Bogor, khususnya di Kecamatan Gunung Sindur, harus didukung dengan adanya kebijakan pemerintah baik dalam bidang teknologi, prasarana, infrastruktur, permodalan, pemasaran dan lainnya. Dukungan kebijakan pemerintah mempunyai peran yang sangat penting karena tidak semua infrastruktur pertanian dapat disediakan sendiri oleh pelaku agribisnis.
6.1.2
Analisis Biaya Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Biaya usahatani bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung
Sindur terdiri dari biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Rata-rata biaya usahatani untuk skala I dan skala II secara terinci dapat dilihat pada Tabel 18. Berdasarkan Tabel 18 dan perhitungannya secara terinci dapat dilihat pada Lampiran 7 dan Lampiran 10, dapat diketahui ternyata biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani skala II lebih besar dari biaya diperhitungkannya. Adapun biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani tersebut adalah Rp 31.124.444,45 dan biaya diperhitungkan yang dikeluarkan sebesar Rp 30.535.161,11. Besarnya biaya tunai yang dikeluarkan
oleh petani skala II dikarenakan petani ini banyak menggunakan sumber daya yang berasal dari luar keluarga. Sumber daya tersebut meliputi tenaga kerja, pupuk, insektisida, fungisida, dan pot ukuran 8 cm. Tabel 18. Rata-rata Biaya Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Skala I dan Skala II di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010 Komponen A. Biaya Tunai 1. Sarana Produksi - Pupuk - Insektisida - Fungisida - Pot ukuran 8 cm 2. Tenaga kerja luar keluarga Total Biaya Tunai B. Biaya Diperhitungkan 1. Bibit 2. Pot ukuran 18 cm 3. Media tanam 4. Penyusutan serre house 5.Penyusutan alat 6. Sewa lahan 7. Tenaga kerja dalam keluarga Total Biaya Diperhitungkan C. Total Biaya (A+B)
Skala I
Skala II
4.647.272 1.796.727 964.364 1.636.364 12.504.200 21.548.927
10.026.666,24 3.881.171,91 1.681.586,57 3.205.555,56 12.428.600 31.223.580,28
4.981.818,18 500.011 2.659.090,90 3.250.011 212.500 84.681,81 7.212.726,64 18.900.839,53 40.449.820,53
9.742.222,22 917.777,78 5.461.111,11 5.921.555,22 557.322,22 106.283,33 7.828.888,89 30.535.161,11 61.758.741,39
Pada penelitian ini diketahui bahwa tenaga kerja digunakan oleh petani untuk melakukan kegiatan seperti pembuatan konstruksi bangunan, penanaman, pemupukan dan penyiraman, penyemprotan obat, pemeliharaan dan panen. Besarnya tenaga kerja yang dikeluarkan oleh petani skala II dikarenakan sumber tenaga kerja yang dimiliki petani dari dalam keluarga tidak sanggup untuk melakukan seluruh pekerjaan usahatani yang cukup berat. Akibatnya petani harus mengeluarkan biaya tunai yang besar untuk membiayai tenaga kerja dari luar keluarga ini. Biaya tunai yang harus dikeluarkan oleh petani skala II adalah Rp 12.428.600,00. Adapun penggunaan
tenaga kerja luar keluarga untuk petani skala II dapat dilihat pada Tabel 19 dan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 11. Tabel 19. Rata-rata Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga untuk Petani Skala II pada Usahatani Bunga-Potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010 Kegiatan Jumlah HOK Pembuatan konstruksi 66,67 Penanaman 27,44 Pemupukan dan penyiraman 249,22 Penyemprotan obat 38,44 Pemeliharaan 170,33 Panen 69,33 Jumlah 621,43
Upah (Rp) 20.000,00 20.000,00 20.000,00 20.000,00 20.000,00 20.000,00
Jumlah (Rp) 1.333.400,00 548.800,00 4.984.400,00 768.800,00 3.406.600,00 1.386.600,00 12.428.600
Selain tenaga kerja yang menyebabkan besarnya biaya tunai yang dikeluarkan petani pada skala II adalah pupuk, insektisida, fungisida, dan pot ukuran 8 cm. Biaya yang dikeluarkan petani untuk penggunaan pupuk adalah Rp 10.026.666,24. Pupuk yang digunakan merupakan jenis pupuk majemuk yaitu Hyponex yang mengandung unsur N, P, dan K serta berbagai unsur makro dan mikro yang diperlukan untuk tanaman anggrek. Obat-obatan yang digunakan terdiri atas insektisida dan fungsida. Insektisida yang digunakan ada dua jenis yaitu rizotin dan samit sedangkan fungisida yang digunakan yaitu dithane. Obat-obatan ini digunakan satu kali dalam seminggu dan rutin disemprotkan setiap minggunya untuk mencegah serangan hama dan penyakit khususnya di musim hujan. Hama yang paling dominan menyerang adalah thrips anggrek (Dichromothrips smithi atau Eugniothrips smithi). Dampak serangannya dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat, bunga berguguran, daun berubah bentuk, daun berwarna keperakan dan produksi bunga menurun. Sedangkan penyakit yang sering menyerang adalah penyakit layu yang disebabkan oleh cendawan Fusorium oxysporum. Penyakit ini menyerang tanaman melalui akar atau luka bekas potongan. Gejala serangan berupa menguningnya tanaman dan terkadang menjadi layu. Perhitungan penggunaan pupuk, insektisida, dan fungisida pada usahatani bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan
Gunung Sindur saat tanaman produktif untuk berbunga. Adapun perincian pengunaan pupuk dan obat-obatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Nilai Rata-rata Penggunaan Pupuk, Insektisida dan Fungisida Petani Skala II pada Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010 Komponen 1. Pupuk hyponex 2. Insektisida -Rizotin -Samit 3. Fungisida -Dithane
Jumlah Fisik Harga (Rp/satuan) 192 kg 52.222,22
Nilai (Rp) 10.026.666,24
37,33 liter 8,00 liter
92.777,77 52.222,22
3.463.394,15 417.777,76
29,33 kg Total
57.333,33
1.681.586,57 15.589.424,72
Kondisi yang terjadi pada petani skala II terjadi pula pada petani skala I. petani skala I dalam melakukan kegiatan usahataninya lebih banyak mengeluarkan biaya tunai daripada diperhitungkannya. Hal ini terjadi karena sumber daya yang dimiliki oleh petani ini sama dengan petani skala II yaitu berasal dari luar keluarga. Walaupun kondisi penggunaan biaya tunainya sama, yaitu lebih besar daripada biaya diperhitungkannya, tetapi besarnya tidak sama. Biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani skala I sebesar Rp 21.548.927,00. Perbedaan besarnya biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani skala I dan skala II disebabkan oleh jumlah sumber daya yang dimiliki. Perbedaan sumber daya ini dapat dilihat pada besarnya tenaga kerja luar keluarga yang digunakan, seperti yang disajikan pada Tabel 21 dan secara rinci terdapat pada Lampiran 10.
Tabel 21. Rata-rata Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga untuk Petani Skala I pada Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010 Kegiatan Jumlah HOK Pembuatan konstruksi 43,67 Penanaman 23,45 Pemupukan dan penyiraman 236,91 Penyemprotan obat 40,27 Pemeliharaan 206,73 Panen 74,18 Jumlah 625,21
Upah (Rp) 20.000,00 20.000,00 20.000,00 20.000,00 20.000,00 20.000,00
Jumlah (Rp) 873.400,00 469.000,00 4.738.200,00 805.400,00 4.134.600,00 1.483.600,00 12.504.200,00
Perbedaan jumlah sumber daya yang digunakan petani skala I juga dapat dilihat melalui penggunaan pupuk, insektisida dan fungisida yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan petani skala II. Adapun perincian penggunaan pupuk, insektisida dan fungisida pada petani skala I dapat dilihat pada Tabel 22. Sedangkan rincian biaya tunai yang dikeluarkan masing-masing skala dapat dilihat pada tabel Lampiran 5 dan Lampiran 8.
Tabel 22. Nilai Rata-rata Penggunaan Pupuk, Insektisida dan Fungisida Petani Skala I pada Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010 Komponen 1. Pupuk hyponex 2. Insektisida -Rizotin -Samit 3. Fungisida -Dithane
Jumlah Fisik 91,5 kg
Harga (Rp/satuan) 50.833,33
Nilai (Rp) 4.647.272,00
20,46 liter 6,4 liter
73.750,00 45.000
1.508.727,00 288.000,00
18,31 kg Total
52.666,67 964.364,00
Apabila dilihat dari penggunaan biaya diperhitungkannya diketahui bahwa biaya yang dikeluarkan oleh petani skala II adalah sebesar Rp 30.535.161,11. Apabila dibandingkan, nilai biaya ini lebih besar dari nilai biaya diperhitungkan yang
dikeluarkan oleh petani skala I. Adapun nilai biaya diperhitungkan yang dikeluarkan oleh petani skala I sebesar Rp 18.900.839,53. Komponen biaya diperhitungkan yang dikeluarkan petani skala I dan skala II terdiri atas bibit, pot ukuran 18 cm, media tanam, penyusutan serre house, penyusutan alat, sewa lahan, dan tenaga kerja dalam keluarga. Rincian penggunaan biaya dperhitungkan untuk petani skala I dan petani skala II dapat dilihat pada Lampiran 6 dan Lampiran 9.
Tabel 23. Perbandingan Persentase Biaya Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Skala I dan Skala II di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 20092010 Komponen Skala I % A. Biaya Tunai 1. Sarana Produksi - Pupuk 4.647.272 11,49 - Insektisida 1.796.727 4,44 - Fungisida 964.364 2,38 - Pot ukuran 8 cm 1.636.364 4,05 2. Tenaga kerja luar keluarga 12.504.200 30,91 Total Biaya Tunai 21.548.927 53,27 B. Biaya Diperhitungkan 1. Bibit 4.981.818,18 12,32 2. Pot ukuran 18 cm 500.011 1,24 3. Media tanam 2.659.090,90 6,57 4. Penyusutan serre house 3.250.011 8,03 5.Penyusutan alat 212.500 0,52 6. Sewa lahan 84.681,81 0,21 7. Tenaga kerja dalam keluarga 7.212.726,64 17,83 Total Biaya Diperhitungkan 18.900.839,53 46,73 C. Total Biaya (A+B) 40.449.766,53 100,00
Skala II
%
10.026.666,24 3.881.171,91 1.681.586,57 3.205.555,56 12.428.600 31.223.580,28
1,23 6,28 2,72 5,19 20,12 50,56
9.742.222,22 917.777,78 5.461.111,11 5.921.555,22 557.322,22 106.283,33 7.828.888,89 30.535.161,11 61.758.741,39
15,77 1,49 8,84 9,59 0,90 0,17 12,68 49,44 100,00
. Total biaya usahatani yang dikeluarkan oleh petani skala I yaitu petani yang memiliki kisaran jumlah tanaman 3.000-7.000 tanaman adalah sebesar Rp 40.449.202,53 sedangkan total biaya yang dikeluarkan oleh petani skala II yaitu petani yang memiliki kisaran jumlah tanaman 8.000-18.000 tanaman adalah sebesar Rp 61.758.741,39. Pada Tabel 23 dapat dilihat dengan jelas bahwa biaya usahatani yang dikeluarkan oleh petani skala I maupun petani skala II mempunyai rentang perbedaan
yang hampir sama. Sebagai contoh biaya tunai yang dikeluarkan petani skala I menyumbang 53,27 persen dari total biayanya, hal ini tidak jauh berbeda dengan biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani skala II yang menyumbang 50,56 persen dari total biayanya. Begitu juga dengan biaya diperhitungkan pada petani skala I yang menyumbang 46,73 persen dari total biayanya tidak jauh beda dengan biaya diperhitungkan petani skala II yang menyumbang 49,44 persen dari total biayanya.
6.1.3
Analisis Penerimaan Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Penerimaan usahatani bunga-potong anggrek Dendrobium dihitung dari hasil
perkalian antara jumlah hasil produksi bunga-potong dengan harga yang terjadi selama satu tahun. Produksi bunga-potong anggrek Dendrobium didapat dari hasil panen selama setahun. Harga bunga-potong anggrek Dendrobium yang digunakan berasal dari dua komponen yaitu harga tinggi dan harga normal. Harga tinggi terjadi pada saat kondisi pasar ramai atau permintaan tinggi sehingga secara otomatis ratarata harga di tingkat perani juga mengalami peningkatan yaitu menjadi Rp 125.000,00 per ikat. Rata-rata harga normal di tingkat petani sebesar Rp 80.000,00 per ikat. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari petani, permintaan tinggi terjadi pada saat bulan-bulan perayaan seperti lebaran, natal, imlek, dan bulan-bulan hajatan. Jumlah produksi bunga-potong anggrek Dendrobium dihitung dalam satu tahun dimana seluruh petani melakukan pemanenan dua kali dalam seminggu dengan asumsi produksi bunga setiap minggu sama untuk satu tahun. Data secara terinci terdapat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3. Dalam perhitungannya, produksi bungapotong anggrek Dendrobium setiap petani volumenya dijumlahkan setiap minggunya lalu rata-rata produksi per minggu digunakan untuk mendapatkan rata-rata produksi setiap bulannya. Untuk penerimaan usahatani yaitu total penerimaan 12 bulan. Penerimaan usahatani petani bunga-potong anggrek Dendrobium ini dihitung melalui dua skala petani, yaitu petani skala I dan petani skala II, secara lengkap disajikan pada Tabel 24 dan Tabel 25.
Tabel 24. Rata-rata Penerimaan Petani Skala I Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 20092010 Uraian Penerimaan saat harga tinggi Penerimaan saat harga normal Total
Jumlah Harga/ikat Fisik (Rp) (ikat) 5 190,80 125.000,00 7 267,12 80.000,00 12 457,92
Banyak Bulan
Nilai (Rp) 23.850.000,00 21.369.600,00 45.219.600,00
Penerimaan petani skala I sebesar Rp 45.219.600,00 dengan penerimaan pada saat harga tinggi sebesar Rp 23.850.000,00 atau sebesar 52,74 persen dari total penerimaan sedangkan penerimaan saat harga normal adalah Rp 21.369.600,00 atau sebesar 47,26 dari total penerimaan. Sehingga pada saat harga tinggi petani skala I dapat memperoleh tambahan penerimaan sebesar 11,61 persen dari total penerimaan saat harga normal.
Tabel 25. Rata-rata Penerimaan Petani Skala II Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010
Uraian Penerimaan saat harga tinggi Penerimaan saat harga normal Total
Jumlah Harga/ikat Fisik (Rp) (ikat) 5 500 125.000,00 7 700 80.000,00 12 1.200
Banyak Bulan
Nilai (Rp) 62.500.000,00 56.000.000,00 118.500.000,00
Penerimaan petani skala II sebesar Rp 118.500.000,00 dengan penerimaan pada saat harga tinggi sebesar Rp 62.500.000,00 sedangkan penerimaan saat harga normal sebesar Rp 56.000.000,00. Maka, pada saat harga tinggi petani skala II memperoleh tambahan penerimaan sebesar 10,4 persen dari total penerimaan saat harga normal.
6.1.4
Analisis pendapatan Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Usahatani bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur
termasuk dalam usahatani komersial (Commercial farm) karena tujuan dari kegiatan usahatani bunga-potong anggrek Dendrobium di daerah ini adalah untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Keuntungan usahatani bunga-potong anggrek Dendrobium ditentukan oleh hasil produksi, biaya yang dikeluarkan dan harga yang terjadi di pasar. Suatu usahatani akan dikatakan menguntungkan jika selisih antara penerimaan dengan pengeluarannya bernilai positif. Selisih tersebut akan dinamakan pendapatan atas biaya tunai jika penerimaan totalnya dikurangkan dengan pengeluaran tunai, sedangkan apabila penerimaan totalnya dikurangkan dengan pengeluaran totalnya maka selisih tersebut akan dinamakan pendapatan atas biaya total. Berdasarkan analisis pendapatan pada Tabel 26 terlihat bahwa pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh petani skala II lebih besar dari pendapatan atas biaya totalnya, yaitu dengan nilai pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp 87.276.419,72 dan Rp 56.741.258,61 untuk pendapatan atas biaya total. Besarnya pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh petani adalah karena biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani lebih rendah dari biaya totalnya. Hal tersebut juga terjadi pada petani skala I dimana biaya tunainya sebesar Rp 21.548.363,00 dan biaya total sebesar Rp 40.449.202,53. Pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh sebesar Rp 23.671.237 dan pendapatan atas biaya total sebesar Rp 4.770.397,47. Apabila dibandingkan maka diketahui pendapatan yang diperoleh petani skala I, baik atas biaya tunai maupun biaya totalnya ternyata lebih rendah dari petani yang terdapat pada skala II. Adapun yang menyebabkan petani skala I memperoleh pendapatan yang lebih rendah adalah dikarenakan jumlah tanaman yang diusahakan masih sedikit yaitu berkisar 3.000-7.000 tanaman padahal biaya usahatani yang dikeluarkan cukup besar.
Tabel 26. Rata-rata Pendapatan dan R/C Rasio Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium pada Skala I dan Skala II di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010 Komponen A. Jumlah Total Penerimaan B. Total Biaya Tunai C. Total Biaya Diperhitungkan D. Jumlah Total Biaya (B+C) E. Pendapatan Atas Biaya Tunai (A-B) F. Pendapatan Atas Biaya Total (A-D) G. R/C Atas Biaya Tunai ( A/B ) H. R/C Atas Biaya Total ( A/D )
Skala I (Rp) 45.219.600,00 21.548.927,00 18.900.839,53 40.449.766,53 23.670.673,00 4.769.833,47 1,91 1,11
Skala II (Rp) 118.500.000,00 31.223.580,28 30.535.161,11 61.758.741,39 87.276.419,72 56.741.258,61 3,79 1,91
Apabila dilihat perbandingan antara penerimaan dan biaya (R/C rasio) atas biaya tunai dan biaya totalnya seperti yang tertera pada Tabel 25 maka dapat disimpulkan
bahwa
usahatani
bunga-potong
anggrek
Dendrobium
yang
dikembangkan oleh petani skala I dan II di Kecamatan Gunung Sindur pada dasarnya layak untuk diusahakan karena memiliki R/C rasio yang lebih besar dari satu. Hal ini berarti bahwa usahatani bunga-potong anggrek Dendrobium tersebut masih dapat memberikan keuntungan. Namun, apabila dibandingkan maka diketahui ternyata R/C rasio yang diperoleh petani di skala I lebih rendah dari petani yang ada di skala II. Adapun R/C rasio yang diperoleh petani pada skala I adalah 1,91 untuk R/C atas biaya tunai dan 1,11 untuk R/C atas biaya total. Angka yang dihasilkan tersebut memiliki arti bahwa setiap Rp 1,00 biaya tunai dan biaya total yang dikeluarkan petani anggrek maka akan memberikan penerimaan sebesar Rp 1,91 untuk R/C atas biaya tunai dan 1,11 untuk R/C atas biaya total. Sedangkan R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total yang diperoleh petani skala II masing-masing sebesar 3,79 dan 1,91 yang artinya setiap Rp 1,00 biaya tunai dan biaya total yang dikeluarkan petani anggrek maka akan memberikan tambahan penerimaan sebesar Rp 3,79 untuk R/C atas biaya tunai dan Rp 1,91 untuk R/C atas biaya total. Dapat dilihat bahwa banyaknya jumlah tanaman anggrek yang diusahakan berpengaruh terhadap keefisienan pendapatan usahatani bunga-potong anggrek Dendrobium, semakin besar
jumlah tanaman yang diusahakan maka akan mendatangkan keuntungan yang lebih besar dengan asumsi perawatan tanaman dilakukan dengan intensif. 6.2
Analisis Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Penelaahan pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium pada penelitian ini
diawali dari petani sebagai produsen, pedagang pengumpul lokal, pedagang pengumpul luar daerah, pedagang besar di Pasar Rawabelong, floris sampai ke konsumen akhir. Adapun yang dianalisis adalah saluran pemasaran, fungsi setiap lembaga pemasaran, struktur dan perilaku pasar, marjin pemasaran, rasio keuntungan terhadap biaya dan farmer’s share.
6.2.1
Saluran Pemasaran Hasil produksi bunga-potong anggrek Dendrobium dari Kecamatan Gunung
Sindur, Kabupaten Bogor sebagian besar oleh 20 petani responden dijual ke pedagang pengumpul lokal (100 persen) dengan volume penjualan pada saat penelitian yaitu 334 ikat (16.700 tangkai). Penjualan ke pedagang pengumpul lokal ini disebabkan oleh berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh petani dalam merawat tanaman anggreknya, dimana kegiatan tersebut dilakukan sepanjang pagi hingga sore hari, sedangkan untuk menjaga kesegarannya sebaiknya anggrek potong dipasarkan pada pagi hari. Selain itu juga karena jauhnya lokasi penjualan dari kebun mereka, yaitu di Pusat Pemasaran bunga Rawabelong dan floris yang ada di Jakarta. Gambar 8 menjelaskan bahwa terdapat enam saluran pemasaran yang digunakan petani dalam menyampaikan barangnya ke konsumen. Saluran tersebut antara lain: 1. Saluran 1
: Petani → Pedagang Pengumpul Lokal → Konsumen
2. Saluran 2
: Petani → Pedagang Pengumpul Lokal → Pedagang Besar (Pasar
Bunga Rawabelong) → Konsumen 3. Saluran 3
: Petani → Pedagang Pengumpul Lokal → Pedagang Besar (Pasar
Bunga Rawabelong) → Floris → Konsumen 4. Saluran 4
: Petani → Pedagang Pengumpul Lokal → Pedagang Pengumpul Luar
Daerah → Konsumen
5. Saluran 5
: Petani → Pedagang Pengumpul Lokal → Pedagang Pengumpul Luar
daerah → Floris → Konsumen 6. Saluran 6
: Petani → Pedagang Pengumpul Lokal → Floris → Konsumen
Berdasarkan Gambar 8 dapat diketahui bahwa 100 persen hasil produksi bunga-potong anggrek Dendrobium milik petani Kecamatan Gunung Sindur dijual ke pedagang pengumpul lokal. Seluruh pedagang pengumpul membawa bunga-potong anggrek Dendrobium tersebut ke Pasar Bunga Rawabelong. Alasan utama dipilihnya Pasar Rawabelong karena pasar itu merupakan pasar induk bunga yang paling besar. Segala jenis bunga yang berasal dari daerah manapun diperdagangkan, bahkan pedagang dari pasar bunga lain seperti Cikini, Barito, dan Tebet menggunakan Pasar Rawabelong sebagai tempat mendapat bunga yang mereka butuhkan. Transaksi untuk pasar-pasar tersebut berlangsung di pasar ini. Pada dasarnya petani memiliki kebebasan untuk menentukan saluran mana yang akan dipilih. Dari hasil wawancara dengan petani, seluruh penjualan bunga-potong anggrek Dendrobium pada setiap saluran melalui pedagang pengumpul lokal yang rajin mendatangi petani untuk membeli bunga-potong anggrek Dendrobium. Pada saluran satu, pedagang pengumpul lokal menjual langsung bunga-potong anggrek Dendrobium kepada konsumen di Pasar Bunga Rawabelong dengan volume penjualan yang terserap sebesar 83,9 persen. Para pedagang pengumpul lokal ini berjualan di atas sepeda motor dari pagi hingga siang hari. Namun, ada pula pedagang pengumpul lokal yang menjual bunga-potong anggrek Dendrobium terlebih dahulu ke pedagang besar di Pasar Rawabelong seperti yang terjadi pada saluran dua dan tiga. Hal ini dilakukan dengan alasan menghemat waktu dan lebih praktis karena tidak perlu lama menunggu konsumen datang. Harga jual antara pedagang pengumpul lokal yang langsung berjualan di pasar dengan pedagang besar hampir sama. Hal ini dikarenakan informasi harga antar sesama pedagang di pasar mudah diperoleh, kalaupun ada perbedaan harga jual, hal tersebut dikarenakan adanya proses tawarmenawar antara pedagang dengan konsumen. Pedagang besar di Pasar Bunga Rawabelong selain menjual bunga-potong anggrek Dendrobium langsung kepada
konsumen seperti pada saluran dua, juga menjual kepada floris seperti di Pasar Bunga Cikini dan Barito untuk digunakan sebagai bunga tambahan dalam rangkaian (saluran tiga).
1,4%
8,2%
Pedagang
Pengumpul Luar
6,7%
Floris
Daerah
1,5% 83,9%
Petani
Pedagang Pengumpul Lokal (100%)
6,5%
Pedagang Besar (Pasar Rawa
Belong)
1,8% Konsumen Akhir (100%)
4,7%
Gambar 8. Saluran Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor Saluran empat, lima dan enam hanya dipergunakan oleh pedagang pengumpul lokal dengan volume sebesar 1.603 tangkai atau 9,6 persen dari keseluruhan hasil produksi di Kecamatan Gunung Sindur. Sebagian besar bunganya dijual ke pedagang pengumpul luar daerah dimana dari pengumpul tersebut langsung dijual kembali ke konsumen langganannya seperti hotel-hotel dan tempat dekorasi lainnya, seperti yang terjadi pada saluran empat. Saluran lima terjadi setelah penjualan bunga-potong anggrek Dendrobium ke konsumen oleh pedagang pengumpul luar daerah. Pengumpul tersebut biasanya menjual anggrek Dendrobium di Pasar Bunga Rawabelong, juga diatas sepeda motor.
Selanjutnya bunga-potong anggrek Dendrobium tersebut dibeli oleh floris untuk digunakan sebagai bunga tambahan untuk merangkai. Saluran enam merupakan saluran yang selalu digunakan oleh pedagang pengumpul lokal untuk menyalurkan bunga-potong anggrek Dendrobium ke pedagang pengumpul luar daerah dan ke floris di daerah Jakarta.
6.2.2
Peranan Lembaga Pemasaran Kegiatan yang dilakukan lembaga pemasaran untuk memperlancar arus
bunga-potong anggrek Dendrobium dari produsen ke konsumen dinamakan fungsi pemasaran. Umumnya fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan dapat dikelompokkan dalam fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Setiap lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium mulai dari produsen sampai ke konsumen akhir mempunyai fungsi pemasaran yang berbedabeda. Pada Tabel 27 dapat ditunjukkan bahwa ada lima lembaga pemasaran yaitu petani, pedagang pengumpul lokal, pedagang pengumpul luar daerah, pedagang besar (Pasar Bunga Rawabelong) dan floris. a.
Petani Seluruh petani responden bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan
Gunung Sindur umumnya tidak menemui kesulitan dalam penjualan karena pedagang pengumpul lokal dan petani pedagang selalu siap mengambil produksi bunga-potong anggrek Dendrobium petani. Petani memasarkannya dalam bentuk ikatan dimana satu ikat terdiri dari 50 batang anggrek Dendrobium. Pada umumnya petani menjual ke pengumpul langganan yang mendatangi kebun petani dan hampir tidak pernah langsung menjualnya ke pasar. Pemilihan rantai pemasaran ke pengumpul oleh petani dengan pertimbangan tidak ada biaya transportasi, biaya pasar dan lokasi petani ke pasar tujuan yang cukup jauh. Apabila panen dilakukan oleh pengumpul maka upah pemanenan ditanggung oleh pengumpul. Panen atau pemetikan biasanya dilakukan seminggu dua kali. Cara petani menjual ke pengumpul adalah cara langsung dari kebun-kebun petani yang didatangi langsung oleh pengumpul. Pada umumnya satu kebun petani memiliki satu
hingga tiga pengumpul yang sudah menjadi langganan dan jumlah ikatan yang diambil disesuaikan agar pengumpul-pengumpul yang memanen di kebun yang sama masing-masing mendapatkan jatah bunga. Sistem langganan ini awalnya terbentuk dari kebiasaan pengumpul yang mengambil bunga di kebun petani yang didatanginya, misalnya pengumpul A mengambil bunga dari petani B dan C sehingga ketika pengumpul A ingin mengambil pasokan bunga lagi maka ia akan mendatangi kebun petani B dan C dan begitu seterusnya yang terjadi di Kecamatan Gunung Sindur. Sistem langganan ini memudahkan pengumpul dalam mengambil bunga sekaligus petani sehingga tidak perlu repot-repot dalam menjual hasil panennya. Namun, karena itulah informasi pasar dan harga dikuasai oleh pengumpul sehingga harga jual ditentukan oleh pedagang pengumpul. Cara tersebut membuat posisi tawar petani menjadi lemah. Dari uraian tersebut maka fungsi pemasaran yang dilakukan oleh petani adalah fungsi pertukaran berupa penjualan. Tabel 27. Pelaksanaan Fungsi Pemasaran di Beberapa Lembaga Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Lembaga Pemasaran Petani
Fungsi Pemasaran
Pedagang Pengumpul Lokal
Fungsi Pertukaran Fungsi Pertukaran Fungsi Fisik Fungsi Fasilitas
Pedagang Pengumpul Luar Daerah
Fungsi Pertukaran Fungsi Fisik Fungsi Fasilitas
Pedagang Besar
Fungsi Pertukaran Fungsi Fisik Fungsi Fasilitas
Floris
Fungsi Pertukaran Fungsi Fisik Fungsi Fasilitas
b.
Pedagang Pengumpul Lokal
Aktivitas Penjualan Pembelian dan penjualan Pengumpulan dan pengangkutan Penanggungan resiko, sortasi, pembiayaan dan informasi pasar Pembelian dan penjualan Penyimpanan dan pengangkutan Penanggungan resiko, pembiayaan dan informasi pasar Pembelian dan penjualan Penyimpanan Penanggungan resiko, pembiayaan dan informasi pasar Pembelian dan penjualan Penyimpanan dan pengangkutan Penanggungan resiko, pembiayaan dan informasi pasar
Pedagang pengumpul lokal ini merupakan penduduk yang berlokasi berdekatan dengan kebun anggrek yang masih berada dalam Kecamatan Gunung Sindur. Pedagang pengumpul lokal yang berada di Kecamatan Gunung Sindur sebanyak tujuh orang. Salah seorang pedagang pengumpul lokal tersebut meluaskan usahanya dengan berusahatani anggrek. Cara pembelian yang dilakukan pedagang pengumpul lokal dari petani, kadang dipanen petani atau kadang pedagang pengumpul lokal yang memetik sendiri. Pedagang pengumpul lokal ini kemudian memasarkan bunga-potong anggrek Dendrobium ke pedagang besar di Pasar Rawabelong atau langsung ke konsumen dengan cara berjualan di atas sepeda motor yang juga dilakukan di pasar. Sistem pembayaran bunga-potong anggrek Dendrobium dari petani dilakukan secara tunai. Pedagang pengumpul lokal yang ada di Kecamatan Gunung Sindur mengambil 100
persen dari hasil produksi bunga-potong anggrek Dendrobium
selama seminggu di Kecamatan Gunung Sindur atau sekitar 16.700 tangkai. Bungapotong anggrek Dendrobium ini selanjutnya dibawa ke pasar tujuan dengan menggunakan alat transport sepeda motor. Dua pedagang pengumpul menjualnya langsung di atas sepeda motor dan satu pedagang pengumpul menjualnya terlebih dahulu ke pedagang besar di Pasar Rawabelong. Pedagang pengumpul lokal melaksanakan fungsi pertukaran, yaitu pembelian dan penjualan, fungsi fisik yaitu pengumpulan dan pengangkutan dari kebun petani dan ke Pasar Rawabelong serta fungsi fasilitas yaitu penanggungan resiko, pembiayaan dan informasi pasar. Penyortiran dilakukan pedagang pengumpul karena dikhawatirkan selama pengumpulan dan pengangkutan bunga ada yang cacat. Informasi pasar harus diketahui oleh pedagang pengumpul lokal untuk memasarkan bunga-potong anggrek Dendrobium. Pembiayaan biasanya meliputi pemetikan dan transportasi. c.
Pedagang Pengumpul Luar Daerah Pedagang pengumpul luar daerah yang terlibat dalam pemasaran bunga-
potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur hanya satu orang. Pedagang pengumpul luar daerah ini merupakan pedagang pengumpul yang
menerima pasokan bunga dari salah satu pedagang pengumpul lokal di Kecamatan Gunung Sindur. Pedagang pengumpul lokal tersebut langsung mendatangi rumah pedagang pengumpul luar daerah untuk menyetorkan hasil petikannya. Pembayaran dilakukan secara tunai. Pedagang pengumpul luar daerah selanjutnya menjual bunga tersebut ke konsumen langganannya yaitu hotel-hotel dan tempat-tempat dekorasi. Konsumen hotel ini selalu mendatangi rumah pengumpul luar daerah untuk mengambil bunga-potong anggrek Dendrobium yang dipesan secara rutin. Selain itu pedagang
pengumpul
luar
daerah
juga
menjual
bunga-potong
anggrek
Dendrobiumnya di Pasar Rawabelong di atas sepeda motor. Namun, hal ini dilakukan jika terdapat kelebihan bunga. Dalam satu minggu biasanya hanya satu kali terjadi penjualan di pasar. Pedagang pengumpul luar daerah melakukan fungsi pertukaran yaitu pembelian dan penjualan, fungsi fisik yaitu penyimpanan dan pengangkutan ke pasar serta fungsi fasilitas yaitu penanggungan resiko, pembiayaan dan informasi pasar. d.
Pedagang Besar (Rawabelong) Pedagang besar di Pasar Bunga Rawabelong yang terlibat dalam saluran
pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium dari Kecamatan Gunung Sindur sebanyak dua orang. Pedagang ini menerima pasokan bunga dari satu pedagang pengumpul lokal yang tidak berjualan di pasar. Alasan pedagang pengumpul ini tidak berjualan di pasar karena keterbatasan waktu dan selain itu juga pedagang pengumpul lokal ini sudah menjadi langganan pedagang besar. Penyerahan bunga dilakukan di tempat pedagang besar sehingga pembelian tersebut berlangsung di Pasar Rawabelong. Hal ini terjadi karena pedagang pengumpul lokal datang ke Pasar Rawabelong yang dituju dan pedagang besar tidak melakukan pengangkutan terhadap bunga-potong anggrek Dendrobium tersebut. Cara pembayaran yang dilakukan oleh pedagang besar selalu tunai karena pedagang pengumpul lokal takut bila terjadi tunggakan dan dapat merugikan dirinya sendiri. Kegiatan yang dilakukan selain pembelian juga penjualan bunga-potong anggrek Dendrobium tersebut lalu dijual baik langsung ke konsumen maupun ke floris. Floris ini biasanya berasal dari Pasar Bunga Barito dan Cikini yang
membelinya untuk digunakan sebagai bunga tambahan dalam rangkaian bunga. Cara pembayarannya semua dilakukan secara tunai. Sistem langganan antara pedagang besar dan pedagang pengumpul terjadi sejak transaksi awal antara pedagang besar dan pedagang pengumpul bunga-potong anggrek Dendrobium di Pasar Rawabelong. Sistem ini dibuat selain agar pasokan bunga dapat berjalan secara terus menerus juga dapat melakukan pesanan mendadak jika diperlukan. Pesanan mendadak dapat terjadi di bulan-bulan hajatan atau hari-hari besar seperti menjelang imlek, lebaran maupun natal. Pedagang pengumpul lokal biasanya kesulitan untuk memenuhi pesanan yang sifatnya mendadak karena ketersediaan bunga di kebun petani tidak bisa dipastikan. Pedagang besar umumnya mempunyai informasi yang akurat tentang bunga yang terjadi dan banyaknya produksi yang harus disiapkan pedagang pengumpul lokal. Misalnya pada satu atau dua bulan menjelang hari-hari besar mereka akan memerlukan bunga dengan jumlah berpuluh-puluh ikat. Keadaan ini seolah-olah membuat petani atau pedagang pengumpul lokal untuk segera memenuhi pada waktu yang telah ditentukan. Dari kondisi tersebut dapat diketahui sebenarnya yang memegang peranan lebih penting adalah pedagang besar. Sering juga terjadi kekurangan pasokan bunga-potong anggrek Dendrobium untuk pasar karena kebutuhan bunga pada waktu-waktu tertentu yang sangat banyak. Pedagang pengumpul lokal tidak bisa berbuat banyak sebab bunga merupakan produk pertanian yang tidak bisa bertahan lama (perishable), jika dikumpulkan dahulu dan disimpan terlalu lama akan membusuk dan juga bersifat meruah (voluminous). Gambaran ini menunjukkan posisi tawar menawar pedagang pengumpul lemah jika dibandingkan dengan pedagang besar. Dengan demikian fungsi pemasaran yang dilakukan oleh pedagang besar adalah fungsi pertukaran berupa penjualan dan pembelian, fungsi fisik berupa penyimpanan dan fungsi fasilitas berupa penanggungan resiko penyusutan.
e.
Floris
Floris adalah lembaga pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium yang menerima pasokan bunga dari pedagang besar, pedagang pengumpul lokal atau pedagang pengumpul dua untuk digunakan sebagai bunga tambahan dalam rangkaian bunga, bukan untuk dijual kembali dalam bentuk ikatan. Banyaknya bunga yang dibeli jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan rangkaian, baik untuk rangkaian di karangan bunga atau rangkaian di dalam vas. Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh floris adalah fungsi pertukaran yaitu penjualan dan pembelian, fungsi fisik yaitu penyimpanan dan pengangkutan dari pedagang besar ke floris serta fungsi fasilitas yaitu penanggungan resiko penyusutan, pembiayaan dan informasi pasar.
6.2.3
Struktur Pasar Struktur pasar dapat diidentifikasi dengan melihat lembaga pemasaran,
kebebasan untuk keluar masuk pasar yang dialami oleh para pelaku pasar, sifat produk yang diperjualbelikan dan informasi pasar yang diperoleh. Uraian mengenai struktur pasar yang dihadapi oleh para pelaku pasar dalam pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium adalah sebagai berikut: a.
Petani Struktur pasar yang dihadapi petani bunga-potong anggrek Dendrobium di
Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor mengarah ke oligopsoni. Hal ini dilihat dari jumlah petani sebagai penjual sebanyak 20 orang sedangkan jumlah pedagang pengumpul lokal sebanyak 7 orang artinya jumlah petani sebagai penjual cukup banyak dibandingkan jumlah pedagang sebagai pembeli. Petani juga tidak dapat mempengaruhi harga yang berlaku di pasar. Sumber informasi tentang harga dan pasar dibawa oleh pedagang sehingga penentuan harga dilakukan oleh pihak pedagang sehingga menjadikan petani sebagai price taker dan tidak memiliki posisi tawar-menawar yang kuat dalam penentuan harga. Komoditi yang diperjualbelikan bersifat homogen yaitu bunga-potong anggrek Dendrobium.
b.
Pedagang Pengumpul Lokal
Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul lokal di Kecamatan Gunung Sindur mengarah ke bentuk oligopoli. Hal ini dicirikan dengan dua pedagang besar dan konsumen akhir sebagai pembeli lebih banyak, sedangkan pedagang pengumpul lokal sebagai penjual lebih sedikit yaitu tujuh orang. Pedagang pengumpul lokal yang ada merupakan pedagang pengumpul yang sudah memiliki langganan petani dari dulu sehingga sulit bagi pedagang pengumpul lainnya untuk memasuki pasar apabila belum memiliki langganan petani karena petani tidak akan mau bunganya dipetik oleh pedagang yang bukan langganannya. Itulah sistem tidak tertulis yang berlangsung hingga sekarang. Sistem pembayaran antara pedagang pengumpul lokal dengan petani dan pedagang pengumpul lokal dengan pedagang besar dilakukan secara tunai dimana penentuan harga berdasarkan kesepakatan bersama tergantung kondisi permintaan di Pasar Rawabelong. Komoditi yang diperjualbelikan di tingkat pedagang pengumpul lokal bersifat homogen yaitu bungapotong anggrek Dendrobium. c.
Pedagang Pengumpul Luar Daerah Pedagang pengumpul luar daerah yaitu pedagang dari luar daerah produksi
bunga-potong anggrek Dendrobium dan merupakan lembaga pemasaran yang timbul karena adanya petani pedagang di Kecamatan Gunung Sindur. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengumpul luar daerah ini mengarah ke oligopoli. Hal ini dicirikan dengan pedagang pengumpul luar daerah sebagai penjual lebih sedikit yaitu satu orang sedangkan konsumen akhir sebagai pembeli lebih banyak. Komoditi yang diperjualbelikan di tingkat pedagang pengumpul luar daerah juga bersifat homogen yaitu bunga-potong anggrek Dendrobium. d.
Pedagang Besar (Rawabelong) Struktur pasar yang dihadapi pedagang besar bunga-potong anggrek
Dendrobium di Pasar Rawabelong bersifat duopoli. Hal ini dicirikan dengan dua pedagang besar sebagai penjual dan konsumen serta floris sebagai pembeli lebih banyak. Pedagang besar di Pasar Rawabelong membutuhkan modal yang cukup besar yaitu minimal sebesar Rp 2 juta karena mereka berjualan di lapak dalam pasar yang dipungut biaya sewa per bulannya, berbeda dengan pedagang pengumpul lokal yang
berjualan di pasar juga namun hanya di atas sepeda motor di tempat parkir sehingga hanya dikenakan biaya parkir dan retribusi saja. Selain itu pedagang besar juga harus memiliki komunikasi dan kepercayaan yang baik dengan lembaga pemasaran yang lain. Sistem pembayaran antara pedagang besar dengan pedagang pengumpul lokal dilakukan secara tunai. Komoditi yang diperjualbelikan bersifat heterogen yaitu bunga-potong anggrek Dendobium, anggrek Vanda Douglas dan bunga-potong anggrek James Storii. e.
Floris Floris merupakan tempat penjualan bunga baik bunga yang dirangkai atau
bunga yang belum dirangkai. Strukrur pasar yang dihadapi floris mengarah pada bentuk pasar bersaing sempurna. Hal ini dicirikan dengan banyak floris sebagai penjual dan banyak konsumen akhir sebagai pembeli. Floris juga membutuhkan modal yang relatif besar yaitu minimal Rp 1 juta. Komoditi yang diperjualbelikan homogen misalnya rangkaian bunga. Sistem pembayaran yang dilakukan floris terhadap pedagang besar dan petani pedagang adalah tunai. Floris membeli bungapotong anggrek Dendrobium untuk digunakan sebagai bunga tambahan dalam rangkaian dimana jumlah bunga yang dibeli disesuaikan dengan kebutuhan rangkaian.
6.2.4
Perilaku Pasar (Market Conduct) Perilaku pasar dapat diidentifikasi dengan mengamati kegiatan pemasaran
dalam proses pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga, sistem pembayaran dan kerjasama antar lembaga pemasaran. a.
Praktik Pembelian dan Penjualan Dalam pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium, setiap lembaga
pemasaran melakukan pembelian dan penjualan, kecuali petani yang hanya melakukan kegiatan penjualan saja. Pembelian bunga-potong anggrek Dendrobium dari petani dilakukan dengan sistem langganan antara pedagang pengumpul sehingga masing-masing pedagang pengumpul lokal sudah memiliki akses ke petani dengan jumlah ikatan yang telah disetujui dengan petani. Hal ini dilakukan agar masing-
masing pengumpul mendapatkan bagian karena dalam satu kebun petani hasilnya bisa diambil oleh satu hingga tiga pengumpul, tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Cara pembayaran untuk setiap lembaga pemasaran dilakukan secara tunai, tidak ada sistem penundaan pembayaran karena bila hal itu terjadi dikhawatirkan dapat mempersulit pembelian pasokan bunga dari lembaga pemasaran sebelumnya. b.
Sistem Penentuan Harga Posisi petani adalah sebagai penerima harga. Pada level petani dan pedagang
pengumpul lokal, informasi harga dibawa oleh pedagang dari pasar ke petani pada saat akan membeli bunga-potong anggrek Dendrobium di kebun. Dalam kondisi seperti ini penguasaan informasi harga sangat didominasi oleh pedagang pengumpul lokal. Selain itu adanya hubungan kekerabatan antara petani dengan pedagang pengumpul lokal dan petani pedagang membuat petani seolah-olah tidak mempunyai pilihan lain. Dengan demikian walaupun terjadi tawar-menawar, penentuan harga tetap lebih banyak ditentukan oleh pedagang pengumpul lokal. Proses penentuan harga antara pedagang pengumpul lokal dengan pedagang besar lebih banyak dipengaruhi oleh adanya kesepakatan bersama, tergantung harga bunga-potong anggrek Dendrobium yang ada di pasar. Biasanya, pedagang besar menetapkan harga berdasarkan ramai atau tidaknya permintaan karena harga bungapotong anggrek Dendrobium tidak terlalu berfluktuasi kecuali menjelang hari-hari besar dan musim perayaan. Begitu juga bagi pedagang pengumpul lokal yang langsung berjualan di pasar. Harga yang diberikan ke konsumen ditentukan dengan melihat kondisi permintaan bunga-potong anggrek Dendrobium, terkadang harga yang ditentukan tidak jauh berbeda dengan harga pedagang besar. Proses penentuan harga antara pedagang besar dengan floris dan pedagang pengumpul lokal dengan floris dibentuk berdasarkan tawar-menawar tetapi terkadang untuk pedagang yang mempunyai langganan, harga yang terbentuk berdasarkan kesepakatan bersama.
6.2.5
Keragaan Pasar (Market Performance)
Struktur pasar dan perilaku pasar akan menentukan keragaan pasar yang dapat diukur melalui peubah harga, biaya, marjin pemasaran dan jumlah komoditi yang diperdagangkan. Keragaan pasar juga dapat diidentifikasi melalui penggunaan teknologi dalam pemasaran, pertumbuhan pasar, efisiensi penggunaan sumber daya, penghematan biaya, dan peningkatan jumlah barang yang dipasarkan sehingga mencapai keuntungan maksimum. Volume penjualan yang melalui pedagang pengumpul lokal untuk semua saluran sebesar 100 persen atau 16.700 tangkai. Pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium
sudah
menggunakan
teknologi
transportasi
dan
teknologi
telekomunikasi. Alat transportasi yang digunakan dalam pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium adalah sepeda motor. Penggunaan teknologi komunikasi adalah penggunaan telepon, baik telepon rumah maupun telepon seluler. Teknologi komunikasi dapat menunjang kelancaran pemasaran pada semua lembaga pemasaran. Teknologi pengemasan belum terlalu berarti, bunga-potong anggrek Dendrobium dari petani hanya diikat saja, tidak dimasukkan dalam kardus bahkan dalam pengangkutan cukup dibungkus dengan kertas koran saja. Efisiensi penggunaan sumber daya sudah dilakukan pedagang besar, antara lain dengan cara lebih memilih pembelian bunga-potong anggrek Dendrobium dari pedagang pengumpul lokal daripada langsung ke petani. Pedagang besar jauh lebih menguntungkan membeli dari pedagang pengumpul lokal karena dengan membeli bunga-potong anggrek Dendrobium ke pedagang pengumpul lokal sudah berada di pasar, maka tidak dibutuhkan biaya transportasi, sedangkan jika membeli dari petani, maka harus ada biaya transportasi. Pedagang pengumpul luar daerah juga sudah mempertimbangkan hal tersebut. Pedagang ini mengambil bunga-potong anggrek Dendrobium dari pedagang pengumpul lokal yang membawanya ke rumah sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi untuk mengambil. Pengangkutan ke hotel juga tidak dilakukan karena pihak hotel mengambil bunga ke rumah. Biaya transportasi akan dikeluarkan oleh pedagang pengumpul luar daerah jika melakukan penjualan di Pasar Rawabelong. 6.2.6
Analisis Marjin Pemasaran
Pemasaran merupakan serangkaian aktivitas bisnis yang menghubungkan titik produksi primer (petani) dengan konsumen akhir. Outputnya adalah kepuasan konsumen atas barang dan jasa tersebut. Sedangkan inputnya adalah tenaga kerja, modal dan manajemen. Marjin pemasaran diartikan melalui selisih antara harga di tingkat konsumen dengan harga yang diterima produsen yang diperoleh dengan satuan rupiah per tangkai bunga-potong anggrek Dendrobium. Dalam penelitian ini, marjin pemasaran dihitung berdasarkan keenam saluran pemasaran. Adapun analisis marjin dan penyebarannya antar lembaga yang terlibat secara rinci dapat dilihat pada tabel di Lampiran 12 dan Lampiran 13. Secara umum petani menyalurkan bunga-potong anggrek Dendrobium melalui pedagang pengumpul lokal. Pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium saluran satu sampai dengan saluran enam dapat dilihat pada Tabel 28. Saluran pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur yaitu: 1. Petani → Pedagang Pengumpul Lokal → Konsumen 2. Petani → Pedagang Pengumpul Lokal → Pedagang Besar (Pasar Bunga Rawabelong) → Konsumen 3. Petani → Pedagang Pengumpul Lokal → Pedagang Besar (Pasar Bunga Rawabelong) → Floris → Konsumen 4. Petani → Pedagang Pengumpul Lokal → Pedagang Pengumpul Luar Daerah → Konsumen 5. Petani → Pedagang Pengumpul Lokal → Pedagang Pengumpul Luar Daerah → Floris → Konsumen 6. Petani → Pedagang Pengumpul Lokal → Floris → Konsumen Pada pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium, untuk saluran satu total biaya yang dikeluarkan adalah sebesar Rp 42,71 per tangkai (1,94 persen), yang terdiri dari biaya pemetikan sebesar Rp 20,42 per tangkai, biaya sortasi sebesar Rp 13,27 per tangkai, biaya transportasi sebesar 7,95 per tangkai serta biaya parkir dan retribusi sebesar Rp 1,07 per tangkai.
Pada pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium, untuk saluran dua total biaya yang dikeluarkan adalah Rp 232,32 per tangkai, yang terdiri dari biaya pemetikan sebesar Rp 20,42 per tangkai, biaya tenaga kerja Rp 45,75 per tangkai, biaya sewa tempat Rp 121,41 per tangkai dan biaya penyusutan Rp 22,45 per tangkai. Pada pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium, untuk saluran tiga total biaya yang dikeluarkan adalah Rp 667,95 per tangkai, yang terdiri dari biaya pemetikan sebesar Rp 20,42 per tangkai, biaya sortasi sebesar Rp 13,27 per tangkai, biaya transportasi sebesar Rp 7,95 per tangkai, biaya parkir dan retribusi sebesar 1,07 per tangkai, biaya tenaga kerja Rp 45,75 per tangkai, biaya sewa tempat Rp 121,41 per tangkai, biaya penyusutan Rp 22,45 per tangkai, biaya tenaga kerja Rp 239,20 per tangkai, biaya transportasi Rp 61,23 per tangkai dan biaya pengemasan Rp 136,07 per tangkai. Pada pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium, untuk saluran empat total biaya yang dikeluarkan adalah Rp 102,71 per tangkai, yang terdiri dari biaya pemetikan sebesar Rp 20,42 per tangkai, biaya sortasi sebesar Rp 13,27 per tangkai, biaya transportasi Rp 7,95 per tangkai dan biaya pengemasan Rp 60,00 per tangkai. Pada pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium, untuk saluran lima total biaya yang dikeluarkan adalah Rp 511,87 per tangkai, yang terdiri dari biaya pemetikan sebesar Rp 20,42 per tangkai, biaya sortasi sebesar Rp 13,27 per tangkai, biaya transportasi Rp 89,59 per tangkai, biaya parkir dan retribusi Rp 13,32 per tangkai, biaya tenaga kerja Rp 239,20 per tangkai dan biaya pengemasan Rp 136,07 per tangkai. Pada pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium, untuk saluran enam total biaya yang dikeluarkan adalah Rp 589,23 per tangkai, yang terdiri atas biaya pemetikan sebesar Rp 20,42 per tangkai, biaya sortasi Rp 13,27 per tangkai, biaya transportasi Rp 7,95 per tangkai, biaya tenaga kerja Rp 383,23 per tangkai dan biaya pengemasan Rp 163,29 per tangkai. Total keuntungan paling besar diperoleh dari saluran pemasaran enam yaitu sebesar Rp 835,77 per tangkai. Sedangkan keuntungan terkecil berada pada saluran pemasaran satu yaitu sebesar Rp 457,29 per tangkai. Saluran pemasaran yang
memiliki total marjin paling kecil adalah saluran satu, yaitu sebesar Rp 500,00 per tangkai, sekaligus memiliki total biaya pemasaran paling kecil antara keenam saluran yang ada, yaitu 42,71 per tangkai. 6.2.7
Farmer’s Share Farmer’s share digunakan untuk membandingkan harga yang dibayarkan
konsumen akhir dan dinyatakan dalam persentase. Farmer’s share berhubungan negatif dengan marjin pemasaran, artinya semakin tinggi marjin pemasaran maka bagian yang diterima petani akan semakin rendah. Farmer’s share yang diterima pada saluran pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium dapat dilihat pada Tabel 29.
Tabel 29. Farmer’s Share, Persentase Volume Penjualan dan Persentase Total Marjin pada Saluran Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2010
Saluran Pemasaran Saluran 1 Saluran 2 Saluran 3 Saluran 4 Saluran 5 Saluran 6
Harga di Volume Tingkat Penjualan Petani (%) (Rp) 1.700,00 83,90 1.700,00 1,80 1.700,00 4,70 1.700,00 1,50 1.700,00 6,70 1.700,00 1,40
Harga di Tingkat Konsumen (Rp) 2.200,00 2.500,00 3.000,00 2.500,00 3.000,00 3.125,00
Farmer’s Share (%)
Total Marjin
77,27 68,00 56,67 68,00 56,67 54,40
22,73 32,00 43,33 32,00 43,33 45,60
Volume masing-masing pedagang yang terlibat dalam saluran pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium yaitu pedagang pengumpul lokal sebesar 100,00 persen, pedagang besar sebesar 6,5 persen, pedagang pengumpul luar daerah sebesar 8,2 persen, dan floris 12,8 persen. Petani di Kecamatan Gunung Sindur menjual hasil panennya melalui pedagang pengumpul lokal. Harga yang diterima petani ditentukan oleh pedagang pengumpul lokal yang mendatangi kebun. Petani tidak memiliki
kekuasaan untuk menetapkan harga sehingga petani belum memiliki kedudukan kuat dalam penawaran harga sehingga kedudukan petani masih sebagai price taker. Bagian terbesar yang diterima petani adalah pada saluran satu yaitu sebesar 77,27 persen. Sedangkan bagian terkecil yang diterima petani dalah saluran enam yaitu sebesar 54,40 persen, dari keenam saluran diatas dapat diketahui bahwa saluran satu merupakan saluran pemasaran yang paling menguntungkan bagi petani. Bagi petani informasi ini dapat digunakan sebagai alternatif saluran pemasaran jika ingin mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
6.2.8
Rasio Keuntungan dan Biaya Biaya pemasaran adalah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran
dalam menyalurkan bunga-potong anggrek Dendrobium dari petani ke konsumen akhir yang dinyatakan dalam rupiah per tangkai. Sedangkan keuntungan lembaga pemasaran merupakan selisih antara marjin pemasaran dengan biaya yang dikeluarkan. Pada saluran satu, total biaya yang dikeluarkan adalah Rp 42,71 per tangkai. Biaya pemasaran seluruhnya ditanggung oleh pedagang pengumpul lokal yaitu sebesar Rp 42,71 per tangkai. Sedangkan keuntungan diperoleh pedagang pengumpul lokal yaitu sebesar Rp 457,29 per tangkai. Pada saluran dua, total biaya yang dikeluarkan adalah Rp 232,32 per tangkai. Biaya pemasaran terbesar ditanggung oleh pedagang besar yaitu Rp 189,61 per tangkai dan biaya pemasaran terendah ditanggung oleh pedagang pengumpul lokal yaitu sebesar Rp 42,71 per tangkai. Sedangkan keuntungan terbesar diperoleh pedagang pengumpul lokal yanitu sebesar Rp 457,29 per tangkai dan keuntungan terendah diperoleh oleh pedagang besar yaitu Rp 110,39 per tangkai. Pada saluran tiga, total biaya yang dikeluarkan adalah Rp 667,95 per tangkai. Biaya pemasaran terbesar ditanggung oleh floris yaitu sebesar Rp 436,50 per tangkai dan biaya pemasaran terendah ditanggung oleh pedagang pengumpul lokal yaitu sebesar Rp 42,71 per tangkai dan keuntungan terendah diperoleh floris yaitu Rp 63,50 per tangkai.
Pada saluran empat, total biaya yang dikeluarkan adalah Rp 102,71 per tangkai. Biaya pemasaran terbesar ditanggung oleh pedagang pengumpul luar daerah yaitu sebesar Rp 60,00 per tangkai dan biaya pemasaran terendah ditanggung oleh pedagang pengumpul lokal yaitu sebesar Rp 42,71 per tangkai. Sedangkan keuntungan terbesar juga diperoleh pedagang pengumpul lokal yaitu sebesar Rp 457,29 per tangkai dan keuntungan terendah diperoleh pedagang pengumpul luar yaitu sebesar Rp 240,00 per tangkai. Pada saluran lima, total biaya yang dikeluarkan adalah Rp 511,87 per tangkai. Biaya pemasaran terbesar ditanggung oleh floris yaitu sebesar Rp 436,50 per tangkai dan biaya pemasaran terendah ditanggung oleh pedagang pengumpul luar daerah yaitu sebesar Rp 32,66 per tangkai dan keuntungan terendah diperoleh floris yaitu Rp 63,50 per tangkai. Pada saluran enam, total biaya yang dikeluarkan adalah Rp 589,23 per tangkai. Biaya pemasaran terbesar ditanggung oleh floris yaitu sebesar Rp 546,52 per tangkai dan biaya pemasaran terendah ditanggung oleh petani pedagang yaitu sebesar Rp 42,71 per tangkai. Sedangkan keuntungan terbesar diperoleh petani pedagang yaitu sebesar Rp 457,29 per tangkai dan keuntungan terendah diperoleh floris yaitu Rp 378,48 per tangkai. Untuk mengetahui lembaga yang paling besar memperoleh keuntungan dapat dilihat melalui rasio keuntungan terhadap biaya. Rasio ini menunjukkan besarnya keuntungan yang diperoleh terhadap biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh masingmasing lembaga pemasaran. Nilai rasio dapat dilihat pada Tabel 30, dimana semakin tinggi nilai rasio semakin besar keuntungan yang diperoleh.
Tabel 30. Rasio Keuntungan dan Biaya Lembaga Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2010 Lembaga Pemasaran Pedagang Pengumpul Lokal Keuntungan (Rp) Biaya (Rp)
1
2
457,29 (20,76%) 42,71 (1,94%) 10,71
457,29 (18,29%) 42,71 (1,71%) 10,71
Saluran Pemasaran 3 4 457,29 (15,24%) 42,71 (1,42%) 10,71
Rasio π/C Pedagang Pengumpul Luar Keuntungan (Rp) Biaya (Rp) Rasio π/C Pedagang Besar Keuntungan (Rp)
110,39 (4,42%) 189,61 (7,58%) 0,58
Biaya (Rp) Rasio π/C Floris Keuntungan (Rp)
Biaya (Rp) Rasio π/C
6
457,29 (18,29%) 42,71 (1,71%) 10,71
457,29 (15,24%) 42,71 (1,42%) 10,71
457,29 (14,63%) 42,71 (1,37%) 10,71
240,00 (9,60%) 60,00 (2,40%) 4,00
267,34 (8,91%) 32,66 (1,02%) 8,18
110,39 (3,68%) 189,61 (6,32%) 0,58 63,50 (2,12%) 436,50 (14,55%) 0,15
Biaya (Rp) Rasio π/C Total Keuntungan (Rp)
5
457,29 (20,76%) 42,71 (1,94%) 10,71
567,68 (22,89%) 232,32 (9,29%) 2,44
632,05 (21,67%) 667,95 (22,27%) 0,95
697,29 (27,89%) 102,71 (4,11%) 6,79
63,50 (2,12%) 436,50 (14,55%) 0,15
378,48 (12,11%) 546,52 (17,49%) 0,69
788,13 (26,27%) 511,87 (17,06%) 1,54
835,77 (26,74%) 589,23 (18,85%) 1,41
Berdasarkan Tabel 30, rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing saluran pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium yaitu saluran satu sampai dengan saluran enam, rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran terbesar diperoleh pedagang pengumpul lokal yaitu sebesar 10,71. Rasio 10,71 berarti untuk setiap Rp 1,00 per tangkai biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran tersebut maka akan diperoleh keuntungan sebesar Rp 10,71 per tangkai bunga-potong anggrek Dendrobium.
6.2.9
Alternatif Saluran Pemasaran Berdasarkan perhitungan marjin pemasaran, saluran satu memiliki total marjin
yang paling kecil yaitu sebesar Rp 500,00 per tangkai, sekaligus memiliki total biaya pemasaran paling kecil yaitu sebesar Rp 42,71 per tangkai. Rasio keuntungan dan biaya pada analisis pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium pada semua saluran pemasaran yaitu sebesar 10,71. Rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 10,71 berarti setiap Rp 1,00 biaya pemasaran yang dikeluarkan akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp 10,71 per tangkai. Bagian terbesar yang diterima petani bunga-potong anggrek Dendrobium juga berada pada saluran satu yaitu sebesar 77,27 persen. Namun, selain dilihat dari total marjin, rasio keuntungan terhadap biaya dan farmer’s share, volume penjualan bunga-potong anggrek Dendrobium yang melewati keenam saluran tersebut juga harus diketahui, yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 30. Berdasarkan volume penjualan, saluran satu merupakan saluran pemasaran dengan volume penjualan terbesar yaitu 83,9 persen dimana pedagang pengumpul lokal yang memperoleh bunga-potong anggrek Dendrobium dari petani di Kecamatan Gunung Sindur langsung menjualnya di Pasar Rawabelong yang merupakan pusat promosi bunga dan tanaman hias di Jakarta sekaligus sebagai pusat konsumen bunga terbesar. Maka, saluran satu merupakan alternatif saluran pemasaran yang lebih efisien dan menguntungkan petani.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa usahatani
dan pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium yang dikembangkan di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor adalah sebagai berikut: 1. Usahatani bunga-potong anggrek Dendrobium yang dikembangkan oleh petani di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor ini memberikan keuntungan karena nilai pendapatan atas biaya totalnya memiliki nilai positif baik untuk petani skala I maupun petani skala II. Selain itu, nilai R/C atas biaya total dan R/C atas biaya tunai yang diperoleh lebih besar dari satu yang berarti usahatani bunga-potong anggrek Dendrobium ini layak untuk dikembangkan oleh petani di Kecamatan Gunung Sindur. Besarnya skala usaha mempengaruhi tingkat pendapatan usahatani bungapotong anggrek Dendrobium, semakin besar skala yang diusahakan maka keuntungan yang diperoleh semakin besar pula. Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan R/C rasio, petani skala II memiliki nilai R/C rasio lebih besar dibandingkan dengan petani skala I. R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total petani skala I masing-masing sebesar 1,91 dan 1,11. R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total untuk petani skala II masing-masing 3,79 dan 1,91. 2. Struktur pasar yang dihadapi petani bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur adalah oligopsoni sedangkan struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul lokal dan pedagang pengumpul luar daerah adalah oligopoli. Pedagang besar menghadapi struktur pasar yang mengarah ke bentuk duopoli dan floris berada pada struktur pasar bersaing sempurna. Perilaku pasar didentifikasi dengan mengamati kegiatan pemasaran dalam proses pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga, sistem pembayaran dan kerjasama antar lembaga pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur. 3. Terdapat enam saluran pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur. Dari keenam saluran pemasaran tersebut, saluran yang memiliki volume penjualan terbesar adalah saluran satu yaitu sebesar 83,9 persen dari
keseluruhan hasil produksi bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur. Bila dilihat dari total marjin, farmer’s share serta rasio keuntungan terhadap biaya, diketahui bahwa saluran satu lebih efisien dibandingkan dengan saluran dua, tiga, empat, lima dan enam. Hal ini berarti saluran pemasaran satu merupakan alternatif saluran yang lebih efisien dibandingkan dengan saluran pemasaran lainnya.
7.2
Saran Usahatani bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung
Sindur sebaiknya tetap dipertahankan oleh petani dan terus dikembangkan. Hal ini dikarenakan usahatani ini cukup efisien dan menguntungkan petani. Petani sebaiknya meningkatkan skala usahanya dengan memperbanyak jumlah tanaman anggrek yang diusahakan, karena berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, skala usaha menentukan pendapatan usahatani bunga-potong anggrek dendrobium. Semakin banyak jumlah tanaman anggrek yang diusahakan maka biaya tetap rata-rata per satuan tangkai bunga-potong anggrek Dendrobium akan semakin rendah, maka akan dapat meningkatkan R/C rasio usahatani bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur. Untuk pemasarannya, petani disarankan menggunakan saluran pemasaran yang banyak digunakan oleh petani dan dapat memberikan farmer’s share yang tinggi serta memberikan kepuasan kepada konsumen yaitu saluran yang memiliki volume penjualan terbesar.
DAFTAR PUSTAKA
Asmarantaka, Ratna W. 2009. Pemasaran Produk-produk Pertanian. Di dalam Nunung Kusnadi, Anna Fariyanti, Dwi Rachmina, Siti Jahroh, editor. Bunga Rampai Agribisnis. Bogor: IPB Press. Hlm 19-43. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Anggrek. http://www.litbang.deptan.go.id.[25 Oktober 2010] Chaizar, M. 2007. Analisis Pendapatan Usahatani Phillidendron Millo, Tanaman Hias Euphorbia dan Tanaman Hias Puring di PD Atsumo, Sawangan, Depok, Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dahl, D. C. and Hammond J. W. 1977. Market and Price Analysis. The Agricultural Industries. McGraw-Hill Book Company, Inc New York. Debertin, D.L. 1986. Agricultural Production Economics. New York: Macmillan Publishing Company. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. 2009. Sentra Produksi Tanaman Hias di Jawa Barat. Direktorat Jenderal Hortikultura. 2010. Volume dan Nilai Ekspor Tanaman Hias di Indonesia. http://www.hortikultura.deptan.go.id. Direktorat Jenderal Hortikultura. 2008. Data Base Ekspor-Impor Anggrek. Jakarta; Direktorat Jenderal Hortikultura Direktorat Jenderal Hortikultura. 2006-2008. Data Produksi Tanaman Hias Indonesia: Direktorat Jenderal Hortikultura. http://www.hortikultura.deptan.go.id.[24 Juni 2010] Direktorat Jenderal Hortikultura dan Tanaman Hias. 2009. Profil Tanaman Hias. Jakarta; Direktorat Jenderal Hortikultura. Doll, John P. dan Frank Orazem. 1984. Production Economics Theory with Application 2nd Edition. John Wiley & Sons, Inc. Canada. Faisal, M. 2010. Analisis Tataniaga Sapi Potong PT Kariyana Gita Utama Cicurug Sukabumi. Skripsi. Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Harsono, T. M. 2002. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Jumlah Pembelian terhadap Anggrek. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hernanto, Fadholi. 1995. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta Irvani, B. 2001. Analisis Pendapatan dan Struktur Pemasaran Bunga Anggrek di DKI Jakarta. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kecamatan Gunung sindur. 2010. Potensi Kecamatan Gunung Sindur. Bogor. Kohls, R.L. and J.N. Uhl. 1985. Marketing of Agricultural Products. MacMillian Publishing Company. New York.
Kusumawardhanie, A. 2003. Analisis Strategi Pemasaran Bunga Anggrek di Taman Anggrek Indonesia Permai (TAIP) Jakarta. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Soial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Limbong, W.H. dan P. Sitorus. 1987. Pengantar Tataniaga Pertanian. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lipsey, Richard G., Courant, Paul N., Purvis, Douglas D., Steiner Peter O. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Binarupa Aksara. Jakarta. Llamas, K. A. 2003. Tropical Flowewring Plant A Guide to Identification and Cultivation. Timber Press, Inc. Oregon. Lubis, M. B. 2003. Potensi Pengembangan Anggrek Dendrobium sp. dari Sisi Analisis Kelayakan Finansial pada Kebun Anggrek Parung. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nurfitria, M. 2004. Pengaruh Komposisi Larutan Pengawet terhadap Vase Life Bunga Anggrek Dendrobium. Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Pranata, A. S. 2005. Panduan Budidaya dan Perawatan Anggrek. Agromedia Pustaka. Jakarta. Puspitaningtyas, D. M., S. Mursidawati, Sutrisno dan J Asikin.2003. Anggrek Alam di Kawasan Konservasi Pulau Jawa. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya Bogor. Rahardi, R. 1997. Kemitraan Pemerintah Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur di Indonesia. Koperasi Jasa Profesi LPPN. Jakarta. Sandra, E. 2005. Membuat Anggrek Rajin Berbunga. Agromedia Pustaka. Jakarta. Soeharjo, A. dan Patong. 1973. Sendi-sendi Pokok Usahatani. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian. IPB. Soekartawi, A. Soeharjo, John, L. Dillon dan J. Brian Hardaker. 1986. Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. UI-Press. Jakarta. Soekartawi. 1996. Manajemen Agribisnis Bunga Potong. UI Press. Jakarta. Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. UI Press. Jakarta. Soekartawi. 2003. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Fungsi Cobb-Douglas. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sudiyono, A. 2002. Pemasaran Pertanian. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang. Sukirno, S. 2005. Mikroekonomi Teori Pengantar. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Warren, Carl S., Reeve, James M., dan Fess, Philip E. 2008. Pengantar Akuntansi Buku Satu Edisi 21. Salemba Empat. Jakarta. Windiana. 2001. Analisis Efisiensi Pemasaran Anggrek Potong di DKI Jakarta. Skripsi. Jurusan IlmuIlmu Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lampiran 1. Rata-rata Luas Lahan dan Jumlah Tanaman Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010
No. Responden 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Rata-rata
Luas Lahan (m2) 2.000 300 1.000 1.500 200 700 1.000 800 800 1.000 1.500 800 1.200 600 1.500 1.000 500 800 300 1.000 925
Jumlah Tanaman 18.000 3.000 8.000 10.000 4.500 6.000 7.000 6.000 5.000 8.000 11.000 6.500 13.000 4.000 10.000 8.000 4.500 7.000 4.000 8.000 7.575
Lampiran 2. Rata-rata Produksi Bunga-Potong Anggrek Dendrobium pada Skala I per Minggu di Kecamatan Gunung Sindur
No. Responden 2. 5. 6. 7. 8. 9. 12. 14. 17. 18. 19. Rata-rata
Jumlah Tanaman Produksi satu minggu (ikat) 3.000 5 4.500 11 6.000 12 7.000 15 6.000 11 5.000 8 6.500 10 4.000 6 4.500 9 7.000 12 4.000 6 5.227 9,54
Lampiran 3. Rata-rata Produksi Bunga-Potong Anggrek Dendrobium pada Skala II per Minggu di Kecamatan Gunung Sindur
No. Responden 1. 3. 4. 10. 11. 13. 15. 16. 20. Rata-rata
Jumlah Tanaman 18.000 8.000 10.000 8.000 11.000 13.000 10.000 8.000 8.000 10.444
Produksi satu minggu (ikat) 54 20 22 16 25 39 27 15 11 25
Lampiran 4. Rata-rata Penggunaan Sarana Produksi Skala I Usahatani Bunga Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010
No. Responden 2.
Pupuk 2.400.000
Insektisida 900.000
Fungisida 600.000
Pot Ukuran 8 cm 900.000
5. 6. 7. 8. 9. 12. 14. 17. 18. 19. Rata-rata
2.640.000 4.800.000 9.600.000 5.280.000 4.800.000 4.800.000 4.800.000 4.800.000 4.800.000 2.400.000 4.647.272
840.000 2.760.000 2.700.000 2.700.000 2.580.000 1.680.000 840.000 1.284.000 2.640.000 840.000 1.796.727
600.000 1.224.000 1.200.000 1.320.000 1.200.000 1.224.000 720.000 720.000 1.200.000 600.000 964.364
1.350.000 1.800.000 1.750.000 1.800.000 1.500.000 2.600.000 1.200.000 1.800.000 2.100.000 1.200.000 1.636.364
Lampiran 5. Rata-rata Biaya Tunai Skala I Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010
No. Responden 2. 5. 6. 7. 8. 9. 12.
Penggunaan Sarana Produksi 4.800.000 5.430.000 10.584.000 15.250.000 11.100.000 10.080.000 10.304.000
Tenaga Kerja Luar Keluarga 11.640.000 15.340.000 14.880.000 12.220.000 11.840.000 11.920.000 13.520.000
14. 17. 18. 19 Rata-rata
7.560.000 8.604.000 10.740.000 5.040.000 9.044.727
9.560.000 10.160.000 12.140.000 14.320.000 12.503.636
Lampiran 6. Rata-rata Biaya Diperhitungkan Skala I Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010 No. Responden 2. 5. 6. 7. 8. 9. 12. 14. 17. 18. 19. Rata-rata
Bibit 1.800.000,00 4.050.000,00 6.000.000,00 7.000.000,00 6.000.000,00 5.000.000,00 5.850.000,00 3.600.000,00 4.500.000,00 7.000.000,00 4.000.000,00 4.981.818,18
Media Tanam 1.575.000,00 2.250.000,00 3.150.000,00 3.500.000,00 3.150.000,00 2.625.000,00 3.250.000,00 2.000.000,00 2.250.000,00 3.500.000,00 2.000.000,00 2.659.090,90
Pot Uk.18 cm 300.000,00 450.000,00 600.000,00 700.000,00 750.000,00 625.000,00 650.000,00 400.000,00 450.000,00 875.000,00 500.000,00 500.011,00
Penyusutan Serre House 2.310.000,00 2.500.000,00 2.792.000,00 4.850.000,00 3.250.000,00 7.568.000,00 5.654.000,00 4.620.000,00 3.880.000,00 5.628.000,00 3.250.000,00 3.250.011,00
Penyusutan Alat 187.500,00 125.200,00 378.750,00 210.550,00 212.500,00 227.500,00 205.500,00 378.750,00 114.000,00 134.750,00 162.500,00 212.500,00
Sewa Lahan 85.450,00 55.000,00 71.400,00 101.500,00 95.800,00 85.500,00 94.500,00 108.600,00 66.000,00 102.300,00 65.450,00 84.681,81
TKDK HKP HKW 1.340.000,00 1.880.000,00 2.220.000,00 1.780.000,00 3.840.000,00 1.920.000,00 6.840.000,00 1.440.000,00 7.760.000,00 2.060.000,00 9.980.000,00 7.940.000,00 2.910.000,00 4.400.000,00 1.310.000,00 5.640.000,00 1.700.000,00 6.640.000,00 1.410.000,00 4.740.000,00 1.590.000,00 5.576.363,00 1.636.363,64
Lampiran 7. Rata-rata Penggunaan Sarana Produksi Skala II Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010
No. Responden 1. 3. 4. 10. 11. 13. 15. 16. 20. Rata-rata
Pupuk 9.600.000,00 10.560.000,00 10.560.000,00 9.600.000,00 9.600.000,00 9.600.000,00 10.560.000,00 10.560.000,00 9.600.000,00 10.026.666,67
Insektisida
Fungisida
4.320.000,00 2.700.000,00 5.280.000,00 1.800.000,00 4.560.000,00 5.280.000,00 4.320.000,00 3.060.000,00 2.640.000,00 3.773.333,33
1.800.000,00 1.440.000,00 1.800.000,00 1.200.000,00 1.530.000,00 2.880.000,00 1.800.000,00 1.440.000,00 1.320.000,00 1.690.000,00
Pot Ukuran 8 cm 5.400.000,00 2.400.000,00 2.500.000,00 3.200.000,00 3.300.000,00 3.250.000,00 4.000.000,00 2.400.000,00 2.400.000,00 3.205.555,56
Lampiran 8. Rata-rata Biaya Tunai Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Skala II di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010
No. Responden 1. 3. 4. 10. 11. 13. 15. 16. 20. Rata-rata
Penggunaan Sarana Produksi 21.120.000,00 17.100.000,00 20.140.000,00 15.800.000,00 18.990.000,00 21.010.000,00 20.680.000,00 17.460.000,00 15.960.000,00 18.695.555,56
TKLK 13.280.000,00 12.340.000,00 13.360.000,00 11.660.000,00 13.560.000,00 13.660.000,00 13.040.000,00 10.640.000,00 10.320.000,00 12.428.888,89
Lampiran 9. Rata-rata Biaya Diperhitungkan Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Skala II di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010 No. Responden
Bibit
M edia Tanam
Pot Uk. 18 Penyusutan Penyusutan cm Serre House Alat
1. 16.200.000,00 9.450.000,00 1.440.000,00 14.089.000,00 3. 7.520.000,00 4.200.000,00 640.000,00 3.450.000,00 4. 9.400.000,00 5.250.000,00 1.000.000,00 4.420.000,00 10. 7.520.000,00 4.000.000,00 800.000,00 2.250.000,00 11. 10.340.000,00 5.775.000,00 1.100.000,00 1.075.000,00 13. 11.700.000,00 6.825.000,00 1.040.000,00 6.950.000,00 15. 9.000.000,00 5.250.000,00 800.000,00 9.260.000,00 16. 8.000.000,00 4.200.000,00 640.000,00 6.354.000,00 20. 8.000.000,00 4.200.000,00 800.000,00 5.446.000,00 Rata-rata 9.742.222,22 5.461.111,11 917.777,78 5.921.555,56
750.650,00 556.000,00 725.000,00 698.500,00 450.650,00 554.600,00 465.000,00 405.500,00 410.000,00 557.322,22
Sewa Lahan 153.000,00 86.400,00 115.150,00 75.500,00 121.000,00 112.400,00 118.250,00 76.500,00 98.350,00 106.283,33
TKDK HKP
HKW
4.100.000,00 1.040.000,00 200.000,00 3.260.000,00 3.020.000,00 2.240.000,00 9.140.000,00 1.660.000,00 6.740.000,00 2.470.000,00 8.700.000,00 2.500.000,00 5.520.000,00 2.430.000,00 6.400.000,00 2.560.000,00 6.520.000,00 1.960.000,00 5.593.333,33 2.235.555,55
Lampiran 10. Penggunaan Tenaga Kerja Skala I per Tahun Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Skala II di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010
Pembuat an Pemupukan dan Penanaman Kontruksi Penyiraman No. Responden T KLK T KLK T KDK T KLK T KDK HKP HKP HKP HKW HKP HKP HKW 2. 30 0 0 20 240 0 52 5. 30 30 0 0 290 0 82 6. 50 34 0 0 284 124 0 7. 60 32 0 0 266 130 0 8. 40 15 32 0 296 164 0 9. 30 36 0 0 192 254 0 12. 60 24 10 24 243 152 55 14. 30 36 0 0 168 52 35 17. 30 10 32 0 129 140 64 18. 90 15 15 10 196 152 26 19. 30 26 15 13 296 105 34 Rata-rata 43,67 23,45 9,45 6,09 236,91 115,73 31,67
Penyemprotan Obat
Pemeliharaan
Panen
T KLKT KDK T KLK T KDK T KLK T KDK HKP HKW HKP HKP HKW HKP HKP HKW 36 19 180 0 116 96 48 0 48 15 267 96 0 96 0 96 35 20 245 48 96 96 0 96 36 10 169 206 48 48 96 96 48 0 145 96 110 48 96 96 26 24 264 125 0 48 96 0 39 16 214 123 164 96 96 48 42 14 154 106 48 48 48 48 37 14 206 48 106 96 48 0 48 21 210 48 105 48 96 0 48 21 220 48 112 96 48 0 40,27 15,82 206,73 76,73 82,27 74,18 61,09 43,67
Lampiran 11. Penggunaan Tenaga Kerja Skala II per Tahun Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Skala II di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010
No. Responden 1 3 4 10 11 13 15 16 20 Rata-rata
Pembuatan Kontruksi T KLK HKP
Penanaman
Pemupukan dan Penyiraman
Penyempro tan Obat
Pemeliharaan
Panen
T KDK T KDK T KLK T KLK T KDK T KLKT KDK T KLK T KLK T KDK HKP HKP HKW HKP HKP HKW HKP HKW HKP HKP HKW HKP HKP HKW
90 26 15 0 296 96 0 48 0 156 46 104 48 48 0 60 32 0 10 264 0 96 48 10 165 0 124 48 0 96 60 34 15 10 280 120 0 48 16 150 0 118 96 0 96 60 20 28 0 240 160 54 28 20 187 153 112 48 96 0 60 36 20 0 295 102 132 34 18 205 101 115 48 96 0 90 25 25 15 267 164 0 40 14 165 184 187 96 48 48 60 35 15 17 294 96 26 28 21 187 96 104 48 48 96 60 21 10 15 167 127 24 24 21 164 114 121 96 48 96 60 18 19 36 140 109 16 48 0 154 102 48 96 96 96 66,67 27,44 16,33 11,44 249,22 108,22 38,67 38,44 13,33 170,33 88,44 114,78 69,33 53,33 58,67
Lampiran 12. Analisis Marjin Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Saluran Satu, Dua, dan Tiga di Kecamatan Gunung Sindur
Uraian 1. Petani Biaya Produksi Keuntungan Harga Jual 2. Pedagang Pengumpul Lokal Harga Beli Biaya Pemasaran a. Biaya Pemetikan b. Biaya Sortasi c. Biaya Transportasi d. Biaya Parkir dan Retribusi Keuntungan Total Marjin Harga Jual π/C 3. Pedagang Besar Harga Beli Biaya Pemasaran a. Biaya Tenaga Kerja b. Biaya Sewa Tempat c. Biaya Penyusutan Keuntungan Total Marjin Harga Jual π/C 4. Floris Harga Beli Biaya Pemasaran a. Biaya Tenaga Kerja b. Biaya Transportasi c. Biaya Pengemasan Keuntungan Total Marjin Harga Jual π/C 5. Konsumen Akhir Total Biaya Pemasaran Total Keuntungan Total Marjin π/C Farmer’s Share
Saluran 1 Rp/Tgk. %
Saluran 2 Rp/Tgk. %
Saluran 3 Rp/Tgk %
1.318,90 381,10 1.700,00
59,95 17,32 77,27
1.318,90 381,10 1.700,00
52,76 15,24 68,00
1.318,90 381,10 1.700,00
43,96 12,70 56,67
1.700,00 42,71 20,42 13,27 7,95 1,07 457,29 500,00 2.200,00 10,71
77,27 1,94 0,93 0,60 0,36 0,05 20,76 22,73 100,00
1.700,00 42,71 20,42 13,27 7,95 1,07 457,29 500,00 2.200,00 10,71
68,00 1,71 0,82 0,53 0,32 0,04 18,29 20,00 88,00
1.700,00 42,71 20,42 13,27 7,95 1,07 457,29 500,00 2.200,00 10,71
56,67 1,42 0,68 0,44 0,26 0,04 15,24 16,67 73,33
2.200,00 189,61 45,75 121,41 22,45 110,39 300,00 2.500,00 0,58
88,00 7,58 1,83 4,86 0,90 4,42 12,00 100,00
2.200,00 189,61 45,75 121,41 22,45 110,39 300,00 2.500,00 0,58
73,33 6,32 1,52 4,05 0,75 3,68 10,00 83,33
2.500,00 436,50 239,20 61,23 136,07 63,50 500,00 3.000,00 0,15
83,33 14,55 7,97 2,04 4,54 2,12 16,67 100,00
100,00
100,00
100,00
42,71 1,94 457,29 20,76 500,00 22,73 10,71 77,27 persen
232,32 9,29 567,68 22,89 800,00 32,00 2,44 68 persen
667,95 22,27 632,05 21,67 1.300,00 43,33 0,95 56,67 persen
Lampiran 13. Analisis Marjin Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Saluran Empat, Lima, dan Enam di Kecamatan Gunung Sindur
Uraian 1. Petani Biaya Produksi Keuntungan Harga Jual 2. Pedagang Pengumpul Lokal Harga Beli Biaya Pemasaran a. Biaya Pemetikan b. Biaya Sortasi c. Biaya Transportasi d. Biaya Parkir dan Retribusi Keuntungan Total Marjin Harga Jual π/C 3. Pedagang Pengumpul Luar Harga Beli Biaya Pemasaran a. Biaya Transportasi b. Biaya Parkir dan Retribusi c. Biaya Pengemasan Keuntungan Total Marjin Harga Jual π/C 4. Floris Harga Beli Biaya Pemasaran a. Biaya Tenaga Kerja b. Biaya Transportasi c. Biaya Pengemasan Keuntungan Total Marjin Harga Jual π/C 5. Konsumen Akhir Total Biaya Pemasaran Total Keuntungan Total Marjin π/C Farmer’s Share
Saluran 4 Rp/Tgk. %
Saluran 5 Rp/Tgk. %
Saluran 6 Rp/Tgk %
1.318,90 381,10 1.700,00
52,76 15,24 68,00
1.318,90 381,10 1.700,00
46,63 12,70 56,67
1.318,90 381,10 1.700,00
44,76 12,19 54,40
1.700,00 42,71 20,42 13,27 7,95 1,07 457,29 500,00 2.200,00 10,71
68,00 1,71 0,82 0,53 0,32 0,04 18,29 20,00 88,00
1.700,00 42,71 20,42 13,27 7,95 1,07 457,29 500,00 2.200,00 10,71
56,67 1,42 0,68 0,44 0,26 0,03 15,24 16,67 73,33
1.700,00 42,71 20,42 13,27 7,95 1,07 457,29 500,00 2.200,00 10,71
54,40 1,37 0,65 0,42 0,25 0,03 14,63 16,00 70,40
2.200,00 60,00 60,00 240,00 300,00 2.500,00 4,00
88,00 2,40 2,40 9,60 20,00 100,00
2.200,00 32,66 20,41 12,25 267,34 300,00 2.500,00 8,18
64,00 1,02 0,64 0,38 8,91 16,00 80,00
2.500,00 436,50 239,20 61,23 136,07 63,50 500,00 3.000,00 0,15
83,33 14,55 7,97 2,04 4,54 2,12 16,67 100,00
2.200,00 546,52 383,23 163,29 378,48 925,00 3.125,00 0,69
70,40 17,49 12,26 5,22 12,11 29,60 100,00
100,00 102,71 4,11 697,29 27,89 800,00 32,00 6,79 68 persen
100,00 511,87 17,06 788,13 26,27 1.300,00 43,33 1,54 56,67 persen
100,00 589,23 18,85 835,77 26,74 1.425,00 45,60 1,41 54,40 persen