Analisis Strategi Coopetition Kelompok Usaha Bersama Zocha Garut Menggunakan Value Net
Ayu Ardhillah Yuliartha1 Prodi S1 Manajemen Bisnis Telekomunikasi dan Informatika, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Telkom
ABSTRAK Dinamika perkembangan ekonomi kreatif di Indonesia berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional yang meningkat secara signifikan. Ekonomi kreatif erat kaitanya dengan industri kreatif dimana industri kreatif merupakan subsistem dari ekonomi kreatif. Industri kreatif merupakan penggerak penciptaan nilai ekonomi pada era ekonomi kreatif yang terdiri dari 15 subsektor. Saat ini, produk kerajinan merupakan salah satu produk unggulan dalam industri kreatif bagi UKM-UKM di daerah-daerah. Salah satu UKM penghasil berbagai kerajinan berbahan dasar akar wangi yang terletak di kota Garut adalah Kelompok Usaha Bersama (KUB) Zocha. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan value net Zocha dan memberikan rancangan strategi coopetition menggunakan Player, Added Value, Rules, Tactics, Scope (PARTS) sehingga dapat menciptakan new value co-creation. Jenis penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif yang melibatkan UKM di kota Garut dalam periode waktu September hingga Desember 2014. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara kepada player yang memiliki kriteria sebagai informan mengenai proses bisnis Zocha. Dari hasil analisis didapatkan bahwa untuk mengimplementasikan new value co-creation, elemen yang mengalami perubahan dalam PARTS yaitu Player, Added Value, Tactics dan Scope sedangkan Rules tetap sama dengan kondisi existing value co-creation. Penelitian ini memberikan implikasi dalam meningkatkan peran Zocha sebagai value co-creator di kota Garut sekaligus menjadi acuan dalam menggabungkan UKM-UKM potensial agar dapat menciptakan nilai bisnis yang lebih besar dalam wujud kolaborasi, baik bagi kota Garut maupun kota lain.
Kata kunci : Coopetition, KUB Zocha, PARTS, UKM, Value Co-creation, Value Net
ABSTRACT The dynamics of the creative economy in Indonesia have an impact on national economic growth which increased significantly. Creative economy close relation to creative industries which is a subsystem of the creative economy. Creative industries is driving the creation of economic value in the era of creative economy consists of 15 subsectors. At present, handicraft products is one of the products featured in the creative industries for SMEs in the regions. One SMEs producing various handicrafts made of vetiver which is located in the town of Garut is the Joint Business Group (KUB) Zocha.This study aims to map the value net Zocha and provide design strategies using PARTS coopetition so as to create new value co-creation. This type of research is qualitative method involving SMEs in the city of Garut in the time period September to
December 2014. Data collection techniques were used interviews to the player who has the criteria as informants about Zocha business processes. From the analysis it was found that to implement new value co-creation, the elements that undergo a change in PARTS is Player, Added Value, Tactics and Scope. Rules remain the same while the existing condition of value co-creation. This research has implications in improving Zocha’s role as value co-creator in Garut city as well as a reference for combining potential SMEs in order to create greater business value in the form of collaboration, both for the city of Garut and other cities. Keywords : Coopetition, KUB Zocha, SMEs, PARTS, Value Co-creation, Value Net
1. Pendahuluan Industri kreatif di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat signifikan sehingga menjadi salah satu pemasok devisa terbesar bagi perekonomian nasional. Di Indonesia, industri ini cukup menarik minat banyak pelaku ekonomi untuk mulai menjajaki prospeknya, tentunya dengan pasar yang cukup menjanjikan baik di dalam maupun diluar negeri. Industri kreatif terdiri dari 14 subsektor diantaranya periklanan, arsitektur, pasar seni dan barang antik, kerajinan, desain, fesyen, video,film dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, televisi & radio, serta riset dan pengembangan. Saat ini, produk kerajinan merupakan salah satu produk unggulan yang juga dapat disebut sebagai produk primadona dalam industri kreatif bagi UKM-UKM di daerahdaerah.[1] Salah satu UKM penghasil berbagai kerajinan berbahan dasar akar wangi yang terletak di kota Garut adalah Kelompok Usaha Bersama (KUB) Zocha Graha Kriya [2]. Franz Limiart sebagai pendiri KUB Zocha memiliki cita-cita untuk memperkenalkan kota Garut mulai dari kancah nasional hingga internasional. Hal tersebut ditunjukkan dengan komitmen Franz untuk tidak membuka cabang di kota lain dengan harapan dapat mendatangkan pelanggan ke kota Garut sehingga turut mengangkat potensi kerajinan, kuliner dan wisata khas Garut. Cita-cita tersebut dapat
terwujud dengan melakukan upaya sistematis salah satunya dengan mengoptimalkan value co-creation yaitu menciptakan nilai pada produk bisnis secara bersama antara dua atau lebih perusahaan. Menurut penelitian Alamanda (2011) dalam publikasi ilmiah Valuable Craft: A Co-creation as a factor of success in Zocha Vetiver Root Industry, saat ini KUB Zocha telah mengimplementasikan value cocreation tetapi hanya melibatkan plasmaplasmanya [3]. Sementara itu, value cocreation memiliki peluang bisnis yang lebih besar dengan turut menggaet UKM-UKM seperti Batik Garutan, Chocodot, Jaket Kulit dan UKM potensial setempat dimana KUB Zocha sebagai inisiator. UKM-UKM yang tadinya bergerak sendiri-sendiri dapat bekerja sama dengan Zocha sebagai Value Co-Creator/ wadah terciptanya kerja sama yang menghasilkan produk yang menciptakan nilai kolaborasi bisnis yang mengedepankan keterlibatan antar pihak termasuk konsumen [4]. Dengan adanya value co-creation, keterlibatan KUB Zocha dengan plasma-plasmanya dan UKM-UKM akan semakin besar sehingga dibutuhkan sebuah strategi untuk menganalisis lingkungan bisnis yang ada. Terdapat strategi yang dapat digunakan untuk melakukan analisis seperti Business Model Canvas, model THE DART dan sebagainya. Namun, untuk mengoptimalkan value cocreation, pemetaan lingkungan bisnis yang dibutuhkan tidak hanya menekankan pada persaingan, tetapi juga kerja sama. Salah
satu strategi dinamis yang memadukan keduanya adalah strategi koopetisi. Strategi koopetisi merupakan salah satu bagian dari teori permainan dimana teori ini merupakan suatu pendekatan yang mengilustrasikan permainan lingkungan bisnis yang melibatkan dua atau lebih perusahaan. Teori permainan membantu memodelkan, menganalisis, dan memahami perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam bisnis [5]. Aplikasi teori permainan mampu mengubah bidang strategi bisnis salah satunya melalui strategi koopetisi, dimana perusahaan dituntut untuk bisa berkompetisi sekaligus bekerja sama untuk menciptakan dan mendapatkan nilai. [6] Pada dunia bisnis internasional, konsep koopetisi telah banyak diaplikasikan di berbagai kasus perusahaan. Sebagai contoh pada studi kasus aspartam untuk Coke dan pepsi oleh perusahaan NutraSweet dan Holland Sweetener pada tahun 1980-an, studi kasus Harnschfeger Industries dan Kranco untuk produksi mesin derek portal pada tahun 1987, studi kasus McCaw dan LIN Broadcasting Corporation untuk lisensi bisnis telepon selular pada tahun 1988, dan studi kasus distribusi batu bara di Florida antara CSX dan Norfolk Southern pada tahun 1990-an. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsep koopetisi mampu diaplikasikan untuk menganalisis persaingan dan permainan bisnis industri. Di Indonesia, salah satu contoh penerapan konsep koopetisi yaitu pada industri perbankan. Sebagai ilustrasi, para nasabah Bank Mandiri tentunya sangat memahami, bahwa mereka dapat melakukan transaksi melalui anjungan tunai mandiri (ATM) milik Bank Mandiri, maupun ATM-ATM milik BRI, BNI, dan bank-bank lainnya. Begitu pula yang terjadi dengan para nasabah bank lain, yang juga dapat memanfaatkan fasilitas ATM Bank Mandiri, BNI, BRI, dan bank lainnya yang terikat dalam suatu kerjasama kemitraan [7]. Aplikasi strategi koopetisi di Indonesia masih minim, padahal masih
banyak sektor industri yang berpotensi untuk dikembangkan. Melihat cita-cita pemilik Zocha yang ingin memperkenalkan kota Garut melalui upaya value co creation, keterlibatan KUB Zocha dengan berbagai pihak yang nantinya akan semakin besar dan aplikasi konsep koopetisi di Indonesia yang masih minim. KUB Zocha menginginkan analisa mengenai koopetisi di antara industri sejenis yang bergerak dibidang kerajinan kreatif. Koopetisi yang merupakan bagian dari permainan bisnis digambarkan melalui sebuah alat yang dinamakan jaring nilai (Value Net) yang dikembangkan oleh Adam M. Brandenburger dan Barru J Nalebuff . Value Net merupakan alat yang digunakan untuk memetakan kelompok utama yang berpengaruh dalam lingkungan bisnis sehingga perusahaan dapat mengetahui siapa saja pelanggan, pemasok, komplementor dan pesaingnya. Untuk mengevaluasi hasil pemetaan melalui value net, penulis menggunakan analisis PARTS sebagai alat evaluasi untuk mendeteksi pemain (player) yang terlibat dalam lingkungan koopetisi, nilai tambah (Added Value) yang dimiliki pemain, aturan (Rules) yang berlaku dalam permainan, taktik (Tactics) yang digunakan untuk menjalankan permainan dan cakupan (Scope) permainan bisnis. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus yang dilakukan secara intensif dan mendetail terhadap suatu kasus, yang bisa berupa peristiwa, lingkungan, dan situasi tertentu yang memungkinkan untuk mengungkapkan atau memahami suatu. [8] Penelitian ini menggunakan value net untuk memetakan lingkungan bisnis Zocha saat ini yang dievaluasi menggunakan PARTS sehingga dapat menghasilkan rekomendasi strategi coopetition untuk menciptakan new value co-creation. Dalam proses validasi data, penelitian ini menggunakan teknik triangulasi data.
2. Tinjauan Pustaka 2.1.1 Teori Permainan (Game Theory) Teori permainan merupakan salah satu alat yang sangat penting untuk memahami dunia bisnis modern. Teori permainan pertama kali diluncurkan oleh John Von Neumann dan ahli ekonomi Oskar Morgenstern melalui bukunya yang berjudul Theory of Games and Economic Behavior pada tahun 1944 (Brandenburger dan Nalebuff, 1997:20). Teori permainan adalah teknik yang digunakan untuk menganalisis situasi di mana dua atau lebih individu (atau lembaga) hasil dari suatu tindakan dengan salah satu dari mereka tidak hanya bergantung pada tindakan tertentu yang diambil oleh mereka sendiri tetapi juga pada tindakan yang diambil oleh yang lain (atau orang lain). Dalam keadaan ini rencana atau strategi individu yang bersangkutan akan tergantung pada harapan tentang apa yang orang lain lakukan. [9] Teori permainan meningkatkan pengambilan keputusan strategis dengan memberikan pemahaman yang berharga tentang interaksi beberapa agen kepentingan pribadi. Oleh karena itu, teori permainan semakin banyak digunakan dalam bisnis dan ekonomi (Erhun dan Keskinocak, 2003:5). Teori permainan memiliki keunggulankeunggulan berdasarkan karakteristiknya (Brandenburger dan Nalebuff,1997:21) yaitu sebagai berikut : 1. Teori permainan terfokus langsung pada masalah yang paling mendesak: menemukan strategi yang tepat dan mengambil keputusan yang tepat. 2. Teori permainan sangat efektif bila ada banyak faktor yang bergantung dan tidak ada keputusan yang dapat diambil secara terpisah dari banyak keputusan.
3. Teori permainan adalah alat yang sangat penting untuk diperkenalkan kepada orang-orang lain dalam organisasi. 4. Teori permainan adalah ancangan yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan. Muggy dan Stamm (2013) mendefinisikan teori permainan sebagai alat yang ampuh untuk pemodelan interaksi independen pengambil keputusan, termasuk para pemangku kepentingan dalam sistem rantai pasokan kemanusiaan. Sebuah cabang matematika lama digunakan di bidang ekonomi dan ilmu politik untuk model interaksi manusia, teori permainan juga telah diterapkan pada rantai pasokan komersial untuk memaksimalkan nilai (Ketchen dan Hult, 2007), mengoptimalkan usaha kooperasi (kerjasama) (Cachon dan Zipkin, 1999), dan bentuk strategi pemasaran (Huang dan Li, 2001). Teori permainan model desentralisasi pengambil keputusan sebagai pemain dalam permainan, masingmasing membuat keputusan sesuai dengan struktur permainan dan tujuan. Hasil dari game merupakan hasil interaksi antara pengambil keputusan. [10] Perkembangan teori permainan, dijelaskan oleh Fang, Hipel dan Kilgour (1993). Selanjutnya Bradenburger dan Nalebuff (1997) memperkenalkan teori permainan yang mengarah pada model teori permainan kooperatif dengan mempopulerkan istilah koopetisi (coopetition) dan mengembangkan pola pikir baru dalam bentuk teori permainan sebagai alat untuk memadukan persaingan dan kerjasama yang merupakan makna dari koopetisi. Koopetisi telah dikembangkan dalam beberapa studi kasus Siregar (2006), Rusko (2008), Alamanda et al. (2011,2012), Lacoste (2013). 2.1.2 Koopetisi (Coopetition) Koopetisi berarti kerjasama dan kompetisi. Koopetisi merupakan strategi
perusahaan modern yang menggabungkan kompetisi dan kerjasama dimana dua atau lebih organisasi bersaing dan bekerjasama untuk menciptakan nilai sekaligus bersaing untuk mendapatkan nilai yang lebih besar (Brandeburger dan Nalebuff, 1997:18). Padula dan Dagnino (2007) dalam Rusko (2008) memperkenalkan gagasan koopetisi sebagai sintesis dua paradigma : "Gangguan persaingan dalam Struktur permainan kooperasi " yang mengklaim bahwa koopetisi memberikan pandangan yang lebih realistis dari terungkapnya hubungan kerjasama (kooperasi). [11] Koopetisi adalah strategi bisnis berbasis pada kombinasi kerja sama dan kompetisi, berasal dari pemahaman bahwa pesaing bisnis bisa mendapatkan keuntungan dan menciptakan nilai-nilai ketika mereka bekerja bersama-sama. Model bisnis koopetisi didasarkan pada teori permainan, yang merupakan pendekatan ilmiah (dikembangkan selama Perang Dunia Kedua) untuk memahami berbagai strategi dan hasil melalui permainan yang dirancang secara khusus. [12] Lado, Boyd dan Hanlon (1997) dalam Yami et al (2010:44) menjelaskan koopetisi sebagai hubungan antara dua perusahaan berdasarkan kerjasama untuk mengembangkan produk baru dan menciptakan nilai dan kemudian kompetisi untuk mendapatkan bagian dari memasarkan dan mendistribusikan kembali nilai yang telah dibuat. [13] Bradenburger dan Nalebuff (1997) menggambarkan koopetisi sebagai bagian permainan bisnis yang berkaitan dengan penciptaan dan pemberdayaan nilai. Secara skematis keseluruhan skenario permainan bisnis digambarkan dalam sebuah alat yang dinamakan jaring nilai (value net).
2.1.3 Jala Nilai (Value Net) Jala Nilai (Value Net) merupakan perkembangan dari model rantai nilai (value chain model) Porter (1985). Fakta bahwa rantai nilai (value chain) sebagai model penciptaan nilai terlalu kaku dan berurutan, dan tidak dapat merespon perubahan, mendorong terciptanya jala nilai yang lebih fleksibel. Jala nilai adalah jaringan yang dinamis fleksibel di mana para aktor (pemain) menciptakan nilai melalui kolaborasi. Jala nilai dikembangkan untuk memfasilitasi analisis, deskripsi dan studi tentang sistem penciptaan nilai, dan mengambil kegiatan daripada perusahaan sebagai elemen kunci dari analisis strategis (Parolini, 1999). Perusahaan dianggap sebagai node kompleks dalam kompleks jaring nilai yang saling bergantung,di mana kesuksesan datang melalui kolaborasi dan menciptakan lingkungan bisnis dimana masing-masing aktor (pemain) bisa sukses.[14] Jala nilai (Value Net) adalah peta skematis yang dirancang untuk mewakili semua pemain dalam suatu permainan dan saling keterkaitan diantara para. Interaksi atau hubungan terjadi baik secara vertikal maupun horizontal. Sepanjang dimensi vertikal terjadi hubungan antara pelanggan – perusahaan − pemasok. Sedangkan dimensi horizontal melibatkan kompetitor − perusahaan – komplementer (Brandenburger dan Nalebuff, 1997:34). Dalam bisnis, fokus pada salah satu sisi bisnis dan melupakan yang lain sering terjadi. Untuk itu value net dirancang untuk mengatasi kecenderungan tersebut. Adapun kerangka dasar value net (Brandenburger dan Nalebuff, 1997) diilustrasikan dalam diagram di bawah:
PELANGGAN
PESAING
PERUSAHAAN
KOMPLEMENTOR
PEMASOK
Gambar 2.1 Value Net (Jala Nilai) Sumber: Brandenburger & Nalebuff (1997:35) Pada kerangka jaring nilai, terdapat beberapa sudut pandang yang perlu diperhatikan. Tetapi, pada prosesnya menebarkan jaring nilai seringkali hanya melihat dari satu sudut pandang yaitu menempatkan diri di tengah dan kemudian melihat ke sekeliling ke pelanggan, pemasok, pesaing dan komplementor. Padahal pada kenyataannya masih ada pelanggan dari pelanggan, pemasok dari pemasok, pesaing dari pesaing, dan komplementor dari komplementor. Secara tidak langsung, pemain dalam hal ini memainkan banyak peran yang menjadikan permainan jauh lebih rumit. Adakalanya melihat seseorang hanya memainkan satu peran dan tidak menyadari peran lain yang mungkin juga dimainkan. Jaring nilai dapat digunakan untuk mengatasi kompleksitas tersebut (Brandenburger & Nalebuff, 1997). Adapun langkah-langkah dalam menggunakan value net sebagai berikut : 1. Value net (jala nilai) menggambarkan berbagai peran dari para pemain. Terdapat kemungkinan dimana pemain yang sama menduduki lebih dari
satu peran secara bersamaan. Pemetaan value net adalah langkah pertama menuju perubahan permainan. 2. Mengidentifikasi semua elemen dari permainan. Ada lima elemen permainan (model PARTS) yaitu Player (pemain), Added Value (nilai tambah), Rules (aturan), Tactics (taktik), Scope (cakupan). [15] 2.1.4 PARTS Menurut Brandenburger dan Nalebuff (1997:100) PARTS merupakan elemen-elemen yang dapat digunakan untuk mengubah permainan bisnis. Adapun elemen-elemen permainan tersebut yaitu : 1. Player (Pemain) Pemain atau pihak-pihak yang terlibat dalam permainan bisnis yang terdiri dari pelanggan, pemasok, pesaing, dan komplementor. 2. Added Value (Nilai Tambah) Nilai tambah yang dimiliki oleh pemain dalam permainan nilai tambah menentukan siapa yang diantara pemain yang mempunyai kekuatan dalam suatu permainan dan siapa yang akan mendapatkan perolehan nilai yang lebih besar. 3. Rules (Aturan) Aturan yang berlaku di dalam permainan yang menentukan struktur cara permainan dijalankan. Dalam bisnis, tidak ada perangkat aturan yang universal. Aturan dapat bersumber dari kebiasaan, kontrak atau undang-undang. 4. Tactics (Taktik) Alat yang digunakan untuk mempengaruhi atau mengubah persepsi pemain dalam pemainan dimana suatu permainan sangat dipengaruhi oleh berbagai cara orang-orang yang berbeda mempersepsikan sesuatu.
5. Scope (Cakupan) Ruang lingkup permainan bisnis yaitu batas-batas yang secara implisit dibuat pemain atas permainan ketika mendefenisikan permainan tersebut. Berdasarkan batas-batas pihak lain tersebut, perusahaan dapat mengambil keuntungan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif dan mengubah permainan. Untuk mengubah suatu permainan, perlu untuk mengubah satu atau beberapa elemen dimana kelima elemen tersebut dapat memberikan cara baru untuk mengubah suatu permainan menarik menjadi permainan yang baru secara keseluruhan. 3. Hasil dan Pembahasan
3.1
Existing Value Net Zocha Instansi : TNI, POLRI, Kejaksaan Swasta : Hotel, Resto dan Salon Masyarakat (wisatawan) kelas ekonomi menengah ke atas
Chocodot
Pabrikasi Benang
Batik Garutan Jaket Kulit UKM Pulus Wangi
Hasil penelitian ini berupa pemetaan value net lingkungan bisnis Zocha yang dituangkan dalam existing value net dan new value net. Kemudian pada bagian terakhir dari penelitian ini akan memberikan rekomendasi strategi coopetition berupa perubahan new value net yang dievaluasi dan dianalisis menggunakan PARTS yang bertujuan untuk menciptakan new value cocreation.
Stainless Imitasi Kelompok Tenun Kelompok Petani Kelompok Bordir Kelompok Pengrajin Batok Kelompok Pengrajin Bambu Kelompok Pengrajin Bulu itik Kelompok Pengrajin Box Kelompok Jahit
Berdasarkan potret strategi Zocha saat ini, yang digambarkan pada Existing Value Net di atas, dapat diketahui bahwa pelanggan Zocha adalah kalangan menengah atas yang terdiri dari instansi pemerintah dan swasta. Instansi pemerintah terdiri dari TNI,POLRI dan kejaksaan yang memanfaatkan produk Zocha sebagai cinderamata (kenang-kenangan) pada saat mengadakan sebuah acara kantor atau untuk rekan bisnis, swasta terdiri dari hotel, resto dan salon yang memanfaatkan produk Zocha sebagai perlengkapan untuk desain interior
ruangan spa seperti tempat sabun dan penghias ruangan dari akar wangi, buku daftar harga dan service dengan hiasan akar wangi, serta wisatawan (masyarakat) yang memanfaatkan produk Zocha sebagai oleh-oleh ketika berkunjung ke kota Garut. Produk yang dihasilkan Zocha dihasilkan dari kelompok usaha yang terdiri dari delapan kelompok yaitu kelompok petani akar wangi, kelompok tenun, kelompok jahit, kelompok bordir, kelompok pengrajin batok, kelompok pengrajin bambu, kelompok pengrajin hiasan kupu-kupu dari bulu itik, dan kelompok pengrajin box. Kelompok usaha tersebut di dalam value net bertindak sebagai pemasok yang menghasilkan barang setengah jadi kemudian diserahkan kepada pihak Zocha. Selanjutnya barang setengah jadi yang dihasilkan dari pemasok disempurnakan oleh pihak Zocha dengan menggunakan barang pelengkap dari pabrikasi benang dan stainless imitasi sebagai komplementor dengan berbagai kreatifitas untuk menambah nilai produk sebelum ditawarkan kepada konsumen. Sedangkan untuk pesaing, Zocha sendiri pada awalnya mengakui bahwa sejauh ini belum terdapat pesaing usaha yang berfokus pada pengembangan kerajinan akar wangi di kota Garut, namun berdasarkan analisa penulis, Zocha memiliki beberapa pesaing yaitu Chocodot, batik garutan, jaket kulit dan UKM pulus wangi. Hal tersebut dikarenakan Chocodot, batik garutan, jaket kulit dan UKM pulus wangi juga merupakan icon kota Garut yang dapat dijadikan sebagai oleh-oleh atau cinderamata oleh para pelanggan terutama untuk para wisatawan yang mengunjungi kota Garut.
3.2 Rancangan Strategi Coopetition KUB Zocha menggunakan New Value Net dan PARTS untuk memunculkan New Value Co-creation Zocha Instansi : TNI, POLRI, Kejaksaan Swasta : Hotel, Resto dan Salon Masyarakat (wisatawan) kelas ekonomi menengah ke atas Batik Garutan Toko Oleh-oleh
UKM-UKM Kerajinan akar di luar kota Garut baik di dalam maupun di luar negeri
Batik Garutan Jaket Kulit Chocodot Plasma Binaan Zocha
Dan Lainya
Batik Garutan Jaket Kulit Chocodot UKM Pulus Wangi Dan lainya
PARTS New Value Co-creation Untuk mengimplementasikan Player new value co-creation. Perubahan player yang terjadi dapat dilihat pada gambar 4.3 yaitu new value net. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa implementasi value cocreation ke depanya menuntut adanya kolaborasi dan sinergi diantara pemain, dimana pemain dalam value net memiliki tersebut memiliki satu, dua atau lebih peran yang berbeda.
Added Value
Rules
Untuk mengimplementasikan new value co-creation, melalui kolaborasi dan sinergi ukm, nilai tambah Zocha dapat menjadi lebih besar dan lebih tinggi di mata pelanggan. Hal tersebut dikarenakan Zocha dapat menciptakan produk dengan kolaborasi bahan baku atau bahan pelengkap yang beragam seperti sentuhan bahan batik garutan dan kulit sehingga pilihan inovasi yang ditawarkan kepada pelanggan pun dapat bervariasi, hanya bagaimana Zocha mampu memanfaatkan kreatifitas sebagai nilai tambah mendasar yang dimiliki untuk menciptakan produk yang bernilai tinggi untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Aturan merupakan salah satu elemen yang juga berperan penting dalam mengendalikan proses bisnis. Namun, untuk mengimplementasikan new value co-creation oleh Zocha, tidak ada aturan baru yang seharusnya dibuat ataupun dipermasalahkan. Hanya saja Zocha perlu mempertahankan aturan yang telah dibuat bersama pemasok agar dapat menjalankan bisnis dengan baik seperti saat ini. Hal tersebut penting untuk diperhatikan karena pada prinsipnya jika dilihat pada value net, pelanggan dan pemasok memiliki hubungan yang simetrik yang berarti keduanya memiliki peran yang sama. Bekerja sama dengan pemasok sama pentingnya dengan mendengarkan
Tactics
Scope
keinginan pelanggan. Oleh karena itu, penting untuk menjalin hubungan yang baik dengan pemasok melalui penciptaan aturan yang memberikan keuntungan bersama seperti halnya kepada pelanggan. Untuk mengimplementasikan new value co-creation, Zocha harus tetap menjalankan taktik yang digunakan pada existing value co-creation dan menambah media untuk memperluas akses, seperti memaksimalkan internet untuk memperluas jangkauan pasar sekaligus dapat menjadi media interaktif yang menghubungkan antara Zocha dan pelanggan agar lebih fleksibel dalam menjalin komunikasi satu sama lain. Untuk mengimplementasikan new value co-creation, cakupan bisnis Zocha nantinya akan menjadi lebih besar. Hal tersebut dikarenakan, kolaborasi antara Zocha, batik garutan, jaket kulit dan chocodot tidak lagi mengandalkan bahan dasar akar wangi yang dikreasikan sedemikian rupa. Tetapi, memungkinkan terciptanya suatu produk baru yang bisa saja bahan dasarnya adalah batik garutan, jaket kulit, dan chocodot dan akar wangi hanya sebagai pelengkap, begitupun sebaliknya.
4. Kesimpulan dan Saran 4.1 Kesimpulan 1. Value net KUB Zocha saat ini yang disebut sebagai existing value net dipetakan menjadi empat bagian utama yaitu 1) Pelanggan Zocha yaitu kalangan menengah ke atas yang terdiri dari instansi pemerintah, swasta dan wisatawan, 2) komplementor Zocha yang terdiri dari pabrikasi benang dan toko stainless imitasi, 3) pemasok Zocha yang terdiri dari delapan kelompok usaha binaan, 4) pesaing Zocha yang terdiri dari batik garutan, jaket kulit, chocodot dan UKM Pulus wangi. 2. New value net dipetakan menjadi empat bagian utama, 1) Pelanggan Zocha yaitu kalangan menengah ke atas yang terdiri dari instansi pemerintah, swasta, wisatawan, batik garutan dan toko oleholeh, 2) komplementor Zocha yang terdiri dari batik garutan, jaket kulit, chocodot dan lainya, 3) pemasok Zocha yang terdiri dari plasma binaan Zocha, batik garutan, jaket kulit, chocodot, UKM pulus wangi dan lainya, 4) pesaing Zocha yang terdiri dari UKMUKM kerajinan akar di luar kota Garut baik di dalam maupun di luar negeri. Elemen PARTS yang mengalami perubahan yaitu Player, Added Value, Tactics, dan Scope. Player dalam hal ini mengalami perubahan dengan adanya kolaborasi yang tadinya hanya memiliki satu peran saja di dalam value net, kini dapat memainkan dua atau lebih peran yang berbeda. Added Value dalam hal ini menjadi lebih besar dikarenakan Zocha dapat menciptakan produk dengan kolaborasi sumber daya dan inovasi yang lebih beragam dengan UKM potensial khas Garut, Tactics dalam hal ini mengalami perubahan dengan menambah media untuk memperluas akses, dan Scope dalam hal ini mengalami perubahan menjadi lebih
besar karena produk yang dihasilkan tidak hanya berasal dari akar wangi saja melainkan dari berbagai sumber bahan baku yang dikreasikan sedemikian rupa untuk menciptakan produk yang inovatif. 4.2 Saran Menjadikan masyarakat kota Garut sebagai brand endoser produk, menghasilkan produk-produk baru yang kolaboratif diantara UKM potensial, melakukan penjajakan ke UKM-UKM untuk menambah cakupan bisnis, menyiapkan SDM yang minim dengan membuat pelatihan ke pesantren atau masyarakat yang memiliki keinginan yang kuat, memanfaatkan teknologi informasi seperti internet khususnya media sosial website dan instagram untuk memperluas akses kepada pelanggan dan juga mitra lainya, mempertahankan dan meningkatkan elemen rules dengan pemasok agar tidak menghambat proses produksi.
Daftar Pustaka [1] Majalah Global Review. (2012). Menilik Kontribusi Industri Kreatif Bagi Ekonomi Negara. [online]. http://www.majalahglobalreview.com/e konomi/perdagangan/9-perdagangan/127-menilik-kontribusi-industri-kreatifbagi-ekonomi-negara.html [26 November 2014]. [2] Liputan 6 SCTV. [2009]. Kreasi Akar Wangi Andalan Garut.[online].http://news.liputan6.com/r ead/232701/kreasi-akar-wangi-andalangarut.[27 November 2014] [3] Alamanda, DT dan Abdullah R. 2011. ”Valuable Craft: A Co-creation as a factor of success in Zocha Vetiver Root Industry”, Proceeding of The 3rd
Indonesia International Conference on Innovation, Entrepreneurship, & Small Business (IICIES 2011) July 26-28, 2011 – Gedung Merdeka, Bandung, Indonesia. [4] Prihastuti, M.I Atika. (2015). Analisis Value Co-creation Kelompok Usaha Bersama Zocha Garut Menggunakan Business Model Canvas. Skripsi pada S1 Manajemen Bisnis Universitas Telkom Bandung : Tidak Diterbitkan. [5] Erhun, Feryal dan Ponar Keskinocak. (2003). Game Theory in Business Application. [6] Brandenburger, A. and B. Nalebuff (1997). Co-Opetition. Jakarta: Proffesional Books. [7]
Siregar, S. L. (2006). Ko-opetisi Perbankan di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi IV, Institut Teknologi Surabaya, Indonesia.
[8] Prastowo, Andi. (2011). Memahami Metode-Metode Penelitian: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis. Jogyakarta: AR-RUZZ Media. [9] Charmichael, Fiona. (2005). A Guide to Game Theory. [E-book]. Tersedia: http://libgen.org/book/index.php?md5=4 DC6C38C4E0643C6EBAE86EFFD446 086 [18 November 2014] [10] Muggy, Luke dan Jessica L. Heier Stamm. (2013). Game Theory Application in Humanitarian Operation: a review. Journal of Humanitarian Logistics and Supply Chain Management, Vol.4 Iss 1 pp.4-23. [11] Rusko, Rauno. (2008). Exploring the concept of coopetition: A typology for the strategic moves of the Finnish forest industry. Industrial Marketing Management 40, 311-320.
[12] Mongkhonvanit, Jomphong. (2014). Coopetition for Regional Competitiveness. [E-book]. Tersedia: http://libgen.org/book/index.php?md5=7 77c25acb9cc62fb7969965817c23b07 [2 Desember 2014] [13] Yami, said et al. (2010). Coopetition. [E-book]. Tersedia: http://libgen.org/book/index.php?md5= EBB37A1841F568699C83EFC8D252E 0F4 [3 November 2014]. [14] Kähkönen, Anni-Kaisa. (2010). Value Net- a New Business Model for The Food Industry ?.British Food Journal,Vol.114 Iss 5 pp.681-70. [15] Lendel, Villiam. (2007). The Value Net. Journal of Information, Control and Management System, Vol.5,No.2.