Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
ANALISIS POTENSI PENGEMBANGAN KAMBING UNGGUL BERDASARKAN KETERSEDIAAN SUMBER PAKAN DI SUMATERA UTARA: “KASUS DI KABUPATEN SIMALUNGUN” (Analysis of the Potential Development of Superior Goat Based on Availability of Feed Resources in North Sumatra: "Cases in the Simalungun Regency") RANTAN KRISNAN dan S.P. GINTING Loka Penelitian Kambing Potong, PO Box 1 Sei Putih, Galang, Sumatera Utara
ABSTRACT An experiment was carried out to investigate The Analysis of the Potential Development of Superior Goats Based on the Availability of Feed Resources in North Sumatera: “Cases in the Simalungun Regency”. The experiment was conducted with four sections of activities, namely: 1) analysis of the ruminants’s characteristics, 2) inventory for production and carrying capacity of agricultural wastes as biomass potential of local feed, 3) utilization of agricultural waste as feed for ruminant, 4) the formulation of goat superior development strategy by optimizing the availability of local feed resources. The method of research using survey methods, while the data used are primary data interviews to farmers (respondents) use the help of a structured questionnaire with answers to the open/closed, whereas secondary data obtained from relevant agencies and review of the literature. The results indicate a potentially sizable Simalungun regency for the development of superior goats based on the availability of feed resources. It can be seen from the data showing: There is support for development policy priority areas in agriculture sector, Livestock density levels are relatively low, Arable farming land managed by farmers are still quite wide, so the potential both as a provider of feed resources in the form of agricultural waste as well as grazing / livestock raising, Biomass potential local feed which allows to the capacities of large livestock units, and Adequate human resources to receive the technology introduced. Therefore, the development strategy should prioritize the development of regional integration patterns and goat-farming technologies to optimize feed utilization as well as suitable in government policies and sufficient capital support. Key Words: Development, Superior Goats, Feed, Simalungun ABSTRAK Telah dilakukan penelitian terhadap Analisis Potensi Pengembangan Kambing Unggul Berdasarkan Ketersediaan Sumber Pakan di Sumatera Utara: “Kasus di Kabupaten Simalungun”. Penelitian dilaksanakan dengan empat bagian kegiatan yaitu : 1) analisis karakteristik ternak ruminansia, 2) inventarisasi produksi dan daya dukung limbah pertanian sebagai potensi biomasa pakan lokal, 3) evaluasi pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak ruminansia, dan 4) perumusan strategi pemanfaatan pengembangan kambing unggul melalui optimalisasi ketersediaan sumber pakan lokal. Metode penelitian menggunakan metode survei, sedangkan data yang digunakan adalah data primer hasil wawancara kepada peternak (responden) menggunakan bantuan kuisioner terstruktur dengan jawaban terbuka/tertutup dan data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait dan tinjauan pustaka. Hasil penelitian menunjukkan Kabupaten Simalungun berpotensi cukup besar untuk pengembangan kambing unggul berbasis ketersediaan sumber pakan. Hal ini dapat dilihat dari data yang menunjukkan adanya dukungan kebijakan pembangunan daerah yang berprioritas pada sektor pertanian/peternakan, Tingkat kepadatan ternak yang relatif rendah, Lahan garapan usahatani yang dikelola oleh petani masih cukup luas sehingga berpotensi baik sebagai penyedia sumber pakan berupa limbah pertanian maupun sebagai tempat penggembalaan/pemeliharaan ternak, Potensi biomasa pakan lokal yang memungkinkan terhadap kapasitas tampung satuan ternak yang cukup besar, SDM yang memadai untuk menerima teknologi yang diintroduksikan. Oleh karena itu, strategi pengembangannya harus memprioritaskan
127
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
pengembangan kawasan pola integrasi kambing-usaha pertanian dan mengoptimalkan teknologi pemanfaatan pakan serta kesinergisan dalam kebijakan pemerintah dan dukungan permodalan yang memadai. Kata Kunci: Pengembangan, Kambing Unggul, Pakan, Simalungun
PENDAHULUAN Subsektor peternakan merupakan salah satu subsektor yang berperan serta dalam menunjang pembangunan nasional. Sasaran pokok subsektor peternakan ini adalah perbaikan gizi masyarakat dan swasembada protein hewani. Meningkatnya permintaan daging yang tidak sebanding dengan peningkatan populasi ternak merupakan suatu hal yang perlu untuk dipikirkan, direncanakan dan diarahkan agar terjamin kebutuhan baik kuantitas maupun kualitas serta harga yang terjangkau oleh konsumen. Peningkatan permintaan protein hewani asal ternak ini adalah peluang yang sangat baik untuk mengembangkan usaha peternakan. Kaitannya dengan pembangunan daerah, Kabupaten Simalungun merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang cukup perhatian dalam upaya mengoptimalkan petensi sumber daya lokalnya. Hal ini tergambar dari visi pembangunannya yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) (DISNAK PROV. SUMUT, 2003). Pertanian dan peternakan memberikan kontribusi paling besar terhadap pendapatan daerah, sehinga sektor tersebut akan menjadi sektor yang perlu mendapat perhatian khusus dan akan menjadi sektor andalan bagi Kabupaten Simalungun. Oleh karena itu, peluang pengembangan pada kedua sub sektor tersebut terbuka cukup besar misalnya saja pengembangan ternak kecil seperti kambing. Budidaya ternak kambing tidak memerlukan dukungan lahan yang luas apabila dibandingkan dengan budidaya ternak besar. Potensi pasarnya yang sudah jelas dan juga ternak kambing biasa dijadikan sebagai tabungan jangka pendek petani. Usaha ternak kambing sudah tidak asing lagi bagi masyarakat petani dimanapun termasuk di Kabupaten Simalungun. Namun demikian, kebanyakan pengusahaannya masih bersifat sampingan, belum sepenuhnya berorientasi komersial. Skala pemilikan usaha ternak cukup rendah dan kurang rasional dengan jenis ternak
128
yang dipelihara adalah lokal. Manajemen pemeliharaan umumnya masih tradisional dengan pemberian rumput sebagai pakan tunggal sehingga produktivitasnya rendah. Di sisi lain ketersediaan ternak kambing unggul berpeluang untuk dikembangkan, disamping sumber potensi bahan lokal yang bisa dijadikan sebagai pakan ternak cukup melimpah, terutama yang berasal dari limbah pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan terlebih dahulu suatu kajian analisis potensi pengembangan kambing unggul berdasarkan ketersediaan sumber pakan. Hal ini menjadi penting dalam menentukan strategi pengembangan ternak yang tepat sasaran. METODOLOGI Penelitian dilaksanakan dengan empat bagian kegiatan yaitu: 1) analisis karakteristik ternak ruminansia; 2) inventarisasi produksi dan daya dukung limbah pertanian sebagai potensi biomasa pakan lokal; 3) evaluasi pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak ruminansia; dan 4) perumusan strategi pemanfaatan pengembangan kambing unggul melalui optimalisasi ketersediaan sumber pakan lokal. Kegiatan 1. Analisis karakteristik ternak ruminansia Tujuan penelitian ini untuk mengetahui karakteristik ternak ruminansia meliputi jumlah dan struktur populasi berdasarkan satuan ternak dan tingkat kepadatan ternak di wilayah Kabupaten Simalungun. Sumber data penelitian adalah data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait yang meliputi data statistik tentang gambaran umum wilayah, sumberdaya manusia (penduduk), potensi lahan dan penggunaannya, serta sumberdaya pertanian dan peternakan. Perhitungan jumlah populasi ternak ruminansia berdasarkan umur ternak
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
digunakan nilai konversi (persentase) dari ternak anak, muda dan dewasa terhadap populasi masing-masing ternak ruminansia. Nilai persentase yang digunakan terlihat pada Tabel 1. Untuk menghitung jumlah satuan ternak (ST) ruminansia untuk setiap jenis ternak, dihitung populasi ternak berdasarkan struktur populasi (ekor) dikalikan dengan nilai standar satuan ternak. Kepadatan ternak dibedakan dalam tiga tipe kepadatan yaitu kepadatan ekonomi, kepadatan usaha tani dan kepadatan wilayah (DITJENNAK dan BALITNAK, 1995). Kepadatan ekonomi ternak diukur dari jumlah populasi (ST) dalam 1000 penduduk. Kriterianya yaitu sangat padat > 300, padat > 100 – 300, sedang 50 – 100, dan jarang <50. Kepadatan usaha tani diukur dari jumlah populasi (ST) per hektar lahan usaha tani. Kriterianya yaitu sangat padat > 2, padat > 1 – 2, sedang 0,25 – 1,0, dan jarang < 0,25. Kepadatan wilayah yaitu jumlah populasi (ST) per km2. Kriteria yang digunakan adalah kategori sangat padat > 50, padat > 20 – 50, sedang 10 – 20 dan jarang < 10.
produk, kandungan bahan kering, protein dan TDN dari masing-masing limbah pertanian tersebut. Data yang diperoleh berupa jumlah atau ketersediaan sumber pakan dari masingmasing limbah pertanian, kemudian dikonversikan tehadap kapasitas daya tampung satuan ternak (ST). Standar nasional yang sering digunakan untuk menunjukkan kapasitas tampung satuan ternak adalah 2,3725 berdasarkan bahan kering, 0,2409 berdasarkan protein, dan 1,5695 berdasarkan TDN. Kegiatan 3. Evaluasi pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak ruminansia Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik individu peternak (umur, pendidikan, pekerjaan, pengalaman bertani/beternak); aspek manajemen pakan ternak (sistem pemberian pakan, penggunaan pakan tambahan, penyediaan pakan); dan mengevaluasi pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak ruminansia. Data yang digunakan adalah data primer melalui metode survei dengan melakukan wawancara kepada peternak (responden) menggunakan bantuan kuisioner terstruktur dengan jawaban terbuka dan tertutup. Jumlah petani peternak yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 10% dari total jumlah peternak yang ada di kelompok tani suatu lokasi secara acak (random sampling) sesuai dengan pendapat MANTRA dan KASTO (1995). Data hasil survei evaluasi pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak ruminansia dianalisis secara statistik deskriptif (MATTJIK dan SUMERTAJAYA, 2000) dengan tabulasi data, konversi data, rataan data dan diolah dengan menggunakan bantuan SPSS versi 12.0.1.
Kegiatan 2. Inventarisasi produksi dan daya dukung limbah pertanian sebagai potensi biomasa pakan lokal Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi potensi limbah pertanian sebagai biomasa sumber pakan lokal. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait berupa angka produksi per musim tanam dan luas panen dari tanaman pangan, tanaman hortikultura dan tanaman perkebunan. Data pendukung lainnya adalah laporan atau hasil kajian berbagai sumber pustaka tentang rasio limbah terhadap
Tabel 1. Struktur populasi ternak dan standar satuan ternak menurut umur dan jenis ternak Jenis ternak
Persentase ternak (%)
Standar satuan ternak (ST)
Anak
Muda
Dewasa
Anak
Muda
Dewasa
Sapi
0,1699
0,2668
0,5633
0,25
0,60
1,00
Kuda
0,1422
0,2692
0,5896
0,25
0,60
1,00
Kerbau
0,1114
0,2515
0,6371
0,29
0,69
1,15
Kambing
0,1092
0,1423
0,7485
0,04
0,08
0,16
Domba
0,3190
0,1428
0,8253
0,04
0,07
0,14
129
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
Kegiatan 4. strategi pengembangan kambing unggul melalui optimalisasi ketersediaan sumber pakan lokal Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi pemanfaatan limbah tanaman sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Kabupaten Simalungun. Data yang digunakan untuk perumusan strategi adalah data kualitatif dan kuantitatif hasil penelitian 1, 2 dan 3 yang kemudian diolah dan dianalisis menggunakan metode pengolahan data analisis SWOT. Tahapan-tahapan teknik perumusan SWOT berpedoman kepada DAVID (2001). HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik ternak di Kabupaten Simalungun Kondisi peternakan di Kabupaten Simalungun sudah menjadi bagian dari kehidupan dan tidak terpisahkan dari sistem pertanian, walaupun masih bersifat tradisional dan sambilan yang sudah turun-temurun. Pemeliharaan ternak apa adanya sehingga masukan teknologi belum begitu nyata dalam produksi ternak, otomatis produktivitas ternak masih rendah. Populasi ternak di kabupaten Simalungun (Data Simalungun Dalam Angka, 2006) adalah sebagai berikut: 28.804 ekor sapi (22.060 ST), 41.652 ekor kerbau (39.091 ST), 19 ekor kuda (15 ST), 52.050 ekor kambing (7.053 ST), 20.054 ekor domba (2.773 ST), 84.030 ekor babi, 3.000.487 ekor ayam buras, dan 135.364 ekor itik. Populasi ternak kambing menduduki urutan ketia terbanyak untuk ternak ruminansia kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa ternak kambing memegang peranan penting bagi ketersediaan sumber protein hewani di kabupaten Simalungun. Secara umum, kegiatan peternakan ini masih dapat dijadikan komoditas andalan Kabupaten Simalungun, karena selain mampu untuk memenuhi kebutuhan lokal, ternak yang dihasilkan di Kabupaten Simalungun ini juga sudah mampu untuk memenuhi kebutuhan penduduk di luar wilayah Kabupaten Simalungun. Namun demikian, upaya pengembangan masih sangat diperlukan, terlebih apabila diproyeksikan untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Strategi
130
pengembangan dapat dilakukan pada tiga aspek, yiatu: 1) perbaikan mutu genetik ternak, 2) optimalisasi sumber pakan lokal, dan 3) perbaikan manajemen budidaya ternak. Introduksi ternak unggul merupakan salah satu cara dalam upaya perbaikan mutu genetik ternak. Jenis kambing Boerka merupakan alternatif yang sangat baik untuk bisa dikembangkan di kabupaten simalungun. Selain mempunyai karakteristik yang baik, ternak jenis inipun mampu beradaptasi dengan jenis pakan lokal berkualitas rendah. Sejauh ini belum diketahui jenis kambing apa saja yang berkembang di daerah simalungun, namun dapat diduga jenis kambing lokal masih mendominasi dipelihara oleh peternakan rakyat. Kepadatan ternak ruminansia Berdasarkan kepadatan ekonomi ternak, maka wilayah Kabupaten Simalungun menunjukkan kepadatan ekonomi ternak yang sedang (85,36 ST / 1.000 jiwa penduduk). Hasil ini mengindikasikan bahwa tidak ada kompetisi antara ternak dengan penduduk di wilayah Kabupaten Simalungun dalam hal penyediaan makanan, sehingga biaya pakan untuk kebutuhan ternak relatif cukup murah. Disamping itu, kepadatan ekonomi ternak yang sedang memberikan pula indikasi bahwa di wilayah Simalungun tersebut jumlah kepemilikan ternak ruminansia oleh peternak masih dalam jumlah relatif rendah, sehingga memungkinkan untuk dilakukan pengembangan populasi. Tabel 2. Kepadatan ternak ruminansia di Kabupaten Simalungun Jenis kepadatan
Nilai kepadatan
Status kepadatan
Ekonomi ternak (ST/1000 jiwa)
85,36
Sedang
0,23
Jarang
16,18
Sedang
Usaha tani (ST/ha) 2
Wilayah (ST/km )
Hal serupa terjadi juga pada jenis kepadatan usaha tani yang memperbandingkan jumlah populasi ternak ruminansia dengan luas lahan usaha tani. Berdasarkan data pada Tabel 2 terlihat nilai kepadatan usaha tani termasuk
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
pada kategori jarang (0,23 ST/ha). Hasil ini mengindikasikan bahwa lahan garapan usahatani yang dikelola oleh petani masih mendukung pengembangan ternak ruminansia. Luas lahan garapan usaha tani disamping berpotensi sebagai sumber pakan baik berupa hijauan atau limbah tanaman pangan, juga sebagai tempat penggembalaan/pemeliharaan ternak. Peluang pengembangan ternak ruminansia sangat memungkinkan pula bila dilihat dari luas wilayah yang ada di Kabupaten Simalungun. Berdasarkan kepadatan wilayah pada Tabel 2 yaitu jumlah populasi ternak ruminansia per luas wailayah (ST/km2) dengan kategori sangat padat > 50, padat > 20 – 50, sedang 10 – 20, dan jarang < 10, maka Kabupaten Simalungun termasuk dalam kategori kepadatan wilayah yang sedang (16,18 ST/km2). Hal ini menunjukkan bahwa populasi ternak ruminansia masih rendah dibanding luas wilayah, sehingga populasinya masih dapat ditingkatkan. Potensi biomasa pakan lokal di Kabupaten Simalungun Strategi pemanfaatan sumber pakan lokal sangat dibutuhkan dalam pengembangan kambing unggul di Simalungun, karena walau bagaimanapun pakan merupakan faktor terpenting dalam usaha peternakan. Penggunaan bahan pakan konvensional sering menjadi tidak ekonomis apalagi dilakukan pada peternakan rakyat dengan skala kepemilikan ternak yang sedikit. Oleh karena itu langkah yang tepat untuk pengembangan ternak kambing di Simalungun yaitu melalui optimalisasi sumber pakan lokal yang bersifat inkonvensional. Pakan lokal dalam bahasan ini adalah setiap bahan baku yang merupakan sumberdaya lokal yang berpotensi dimanfaatkan sebagai pakan secara efisien oleh ternak kambing, baik sebagai suplemen, komponen konsentrat atau pakan dasar. Pakan lokal tersebut dapat berupa hasil sisa tanaman (crop residues), hasil ikutan /samping/limbah tanaman (crop-byproducts), dan hasil ikutan/samping/limbah industri agro (agroindustry-byproducts). Pertanian di kabupaten Simalungun merupakan sektor yang memberikan kontribusi cukup besar bagi
sumber pendapatan daerah. Sektor ini terbagi menjadi subsektor tanaman pangan, tanaman hortikultura, dan tanaman perkebunan yang tentunya menghasilkan potensi biomasa yang cukup besar sebagai sumber pakan lokal bagi pengembangan ternak ruminansia di kabupaten Simalungun. Tanaman pangan Secara kuantitatif tanaman pangan merupakan subsektor yang memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap ketersediaan pakan lokal dikarenakan luas areal tanam dan rasio limbah terhadap produk utama yang relatif tinggi. Padi (Oryza sativa) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan terbesar di Kabupaten Simalungun. Luas panennya adalah 74.721 ha untuk padi sawah dan 17.548 ha untuk padi gogo dengan produktivitas yang cukup tinggi yaitu bisa mencapai 4,54 ton/ha/musim tanam untuk padi sawah dan 2,64 ton/ha/musim tanam untuk padi gogo. Komoditas ini menghasilkan beberapa limbah yang berpotensi sebagai pakan ternak diantaranya jerami padi, dedak dan bekatul yang jumlahnya masing-masing 2,17; 0,94; 0,39 ton BK/ha (padi sawah), dengan rasio limbah/produk adalah 1,5 untuk jerami, 0,24 untuk dedak dan 0,10 untuk bekatul. Tanaman jagung (Zea mays) menempati urutan kedua dengan luas panen 66.935 ha dan produktivitas sebesar 4,37 ton/ha/musim tanam. Dengan rasio limbah/produk sebesar 3,0, maka akan diperoleh limbah jerami jagung sebanyak 245.793 ton BK atau 3,67 ton BK/ha (bahan kering 28%). Sentra produksi jagung di Kabupaten Simalungun terdapat di Kecamatan Dolok Silau, Raya, Purba dan Harnggaol Horison. Selanjutnya adalah tanaman ubi kayu, selain menghasilkan daun sebanyak 1,09 ton BK/ha juga diperoleh onggok dari hasil pengolahannya sebesar 13.006 ton BK atau sekitar 1,01 ton BK/ha (BK 14%). Tanaman ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan tanaman pangan yang dapat menghasilkan fraksi daun sebagai pakan sumber protein untuk ruminansia dengan potensi produksi sebesar 1,2 – 1,9 t BK/ha dan (GOMEZ dan VALDIVIESO, 1984).
131
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
Dilihat secara keseluruhan ternyata kontribusi tanaman pangan terhadap ketersediaan bahan pakan di Kabupaten Simalungun mencapai 569.802 ton (ketersediaan bahan kering), 42.324 ton (ketersediaan protein kasar) dan 284.786 ton (ketersediaan TDN). Apabila dikonversikan pada kapasitas tampung satuan ternak (ST), maka pakan lokal berbasis tanaman pangan mampu menampung 12.229 ST (berdasar BK), 9.108 ST (berdasar PK) dan 9.648 ST (berdasar TDN). Pola ketersediaan bahan asal tanaman pangan umumnya musiman, sehingga diperlukan upaya pengolahan (processing) untuk preservasi agar dapat digunakan sepanjang tahun. Secara logistik, bahan terdistribusi secara meluas, sehingga koleksi bahan membutuhkan transportasi yang intensif, terutama bila akan diolah menjadi pakan komersial. Namun, untuk pemeliharaan kambing skala kecil-menengah distribusi yang luas relatif sesuai dengan pola distribusi populasi kambing yang merupakan bagian dari usaha pertanian dengan pola mix farming.
di Kabupaten Simalungun adalah 2.321 ha dan poduksinya 21,53 ton/ha BK (segar), tentunya menawarkan potensi sumber pakan dari limbah nenas yang cukup tinggi yaitu bisa mencapai 5.848 ton BK atau 2,52 ton BK/ha. Limbah tersebut termasuk ke dalam kategori limbah basah (wet byproducts) dengan kadar air sekitar 70%, sehingga dapat rusak dengan cepat apabila tidak segera diproses. Secara keseluruhan potensi limbah tanaman hortikulutra juga memberikan kontribusi terhadap ketersediaan sumber pakan sebesar 29.013 ton (ketersediaan bahan kering), 2.194 ton (ketersediaan protein kasar) dan 15.143 ton (ketersediaan TDN). Apabila dikonversikan pada kapasitas tampung satuan ternak (ST), maka pakan lokal berbasis tanaman pangan mampu menampung 12.229 ST (berdasar BK), 9.108 ST (berdasar PK) dan 9.648 ST (berdasar TDN). Peran perusahaan agro dinilai penting terhadap perkembangan pakan lokal berbasis hortikultura di Simalungun misalnya saja PT Parasawita Organik yang mengolah buah nenas menjadi pineaple juice concentrate.
Tanaman hortikultura
Tanaman perkebunan
Tanaman hortikultura yang tersedia di Kabupaten Simalungun dan dinilai penting sebagai sumber pakan kambing adalah tanaman pisang dan nenas. Tanaman pisang (Musa spp.) menghasilkan produk limbah/sampingan yang beragam, sehingga relatif tersedia sepanjang tahun. Secara kumulatif, fraksi batang, daun/tangkai daun dapat menghasilkan bahan pakan (BK) sebesar 4,72 ton BK/ha dengan pola ketersediaan sepanjang tahun. Rasio limbah/produk untuk masing-masing limbah tersebut adalah 1,04 batang pisang, 0,75 anakan pisang dan 0,69 untuk daun. Luas areal panen tanaman pisang di Kabupaten Simalungun mencapai 4.900 ha dengan tingkat produksinya 16,05 ton segar/ha. Ampas nenas (Annanas communis L) berupa kulit dan sisa perasan daging merupakan limbah pengolahan buah nenas menjadi jus nenas (konsentrat). Sebuah pabrik dengan kapasitas mesin 240/ton hari, mampu menghasilkan limbah dengan rasio yang tinggi terhadap produk utama yaitu mencapai 6,5. Sedangkan rasio limbah terhadap buah itu sendiri sebesar 78 %. Luas panen buah nenas
Sumatera Utara merupakan salah satu sentra perkebunan di Indonesia. Komoditi hasil perkebunan di Kabupaten Simalugun yang paling penting saat ini adalah kelapa sawit, karet, dan coklat yang tersebar pada perkebunan rakyat, negara, serta swasta asing dan nasional, baik dengan skala besar maupun kecil. Perkebunan kelapa sawit di Sumatera utara umumnya meningkat tajam dari tahun ke tahun. Hal ini memberi konsekuensi terhadap limbah ikutan yang merupakan potensi biomasa sumber pakan lokal bagi ternak ruminansia. Dari tanaman perkebunan, kelapa sawit (Elaeis guinensis) menawarkan keragaman produk paling tinggi. Pola ketersediaan bahan seperti bungkil inti sawit (BIS), solid, pelepah, daun dan serat perasan buah bersifat sepanjang tahun dengan interval yang pendek (harian). Dengan kecenderungan laju perluasan areal tanam yang tajam 12,6% per tahun (LIWANG, 2003), maka potensi kelapa sawit dalam menyumbang pakan lokal akan semakin penting. Secara kumulatif, dari semua fraksi limbah tanaman kelapa sawit dapat menghasilkan bahan pakan (BK) sebesar
132
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
10,15 ton BK/ha. Pada umumnya limbah sawit ini digolongkan sebagai sumber serat/energi dan sumber protein. Produktivitas buah kakao (Theobroma cocoa) segar di Kabupaten Simalungun mencapai sekitar 1,06 ton/ha dengan komposisi kulit buah 74,0% dan biji 2,0%. Sedangkan rasio limbah terhadap produk itu sendiri sebesar 2,02 untuk buah dan 0,24 untuk kulit biji. Biji kakao menghasilkan hasil ikutan berupa kulit biji sebesar 2,0% dari berat biji. Dari ketiga fraksi limbah kakao, ternyata kulit buah merupakan limbah yang paling banyak dihasilkan yaitu sebesar 10.936 ton BK (1,81 ton BK/ha). Limbah kakao menawarkan pula produk limbah sebagai pengganti hijauan, yaitu daun kakao sebanyak 0,28 ton BK/ha. Luas panen dari tanaman ini mencapai 6.028 ha. Selain tanaman sawit dan kakao, ternyata tanaman perkebunan yang paling cukup luas di Kabupaten Simalungun adalah karet dengan luas panen sekitar 19.034 ha. Limbahnya berupa biji karet dapat menjadi sumber pakan dengan produksi mencapai 3.762 ton BK atau 0,20 ton BK/ha. Secara keseluruhan, tanaman perkebunan memberikan kontribusi terhadap ketersediaan bahan pakan sebesar 994.277 ton (berdasar BK) dan 97.131 ton (berdasar PK), serta 571.813 ton (berdasar TDN). Apabila dikonversikan pada kapasitas tampung satuan ternak (ST), maka pakan lokal berbasis tanaman perkebunan mampu menampung 419.084 ST (berdasar BK), 403.202 ST (berdasar PK) dan 364.328 ST (berdasar TDN). Nilai ini lebih besar dibanding potensi limbah tanaman hortikultura, tetapi lebih kecil dibandingkan potensi limbah tanaman pangan. Tentunya hal ini sesuai dengan besarnya penggunaan lahan (land utilization) dari masing-masing komoditas tanaman tersebut. Apabila melihat populasi ternak ruminansia di Kabupaten Simalungun pada Th 2005 yang berjumlah 142.579 ekor dengan populasi kambingnya sebesar 52.050 ekor, maka peluang penambahan ternak sangat terbuka lebar. Penambahan populasi tersebut bisa mencapai 671.482 ST (berdasarkan BK) atau 588.001 ST (berdasarkan PK) dan 555.427 ST (berdasarkan TDN). Tentunya penambahan ini tidak hanya untuk ternak kambing saja, melainkan bisa secara merata untuk ternak
ruminansia lainnya sesuai potensi atau sentra ternak daerah di Kabupaten Simalungun. Evaluasi pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak ruminansia Keadaan umum peternak Berdasarkan survei terhadap responden, maka diperoleh data keadaan umum petani/peternak di Kabupaten Simalungun. Ditinjau dari karakteristik umur, peternak berada pada kisaran umur 24 – 55 tahun dengan rata-rata berumur 38 tahun. Sebanyak 60% masuk kategori muda, 40% kategori paruh baya, dan 0% kategori tua. Hal ini mengindikasikan bahwa umur peternak termasuk dalam usia produktif yang identik dengan produktivitas kerja yang tinggi. CHAMDI (2003) mengemukakan, semakin muda usia peternak umumnya rasa keingintahuan terhadap sesuatu semakin tinggi dan minat untuk mengadopsi terhadap introduksi teknologi semakin tinggi. Pendidikan formal dari peternak hampir semuanya (96%) mendapatkan sekolah lanjutan dan sekitar 4% hanya lulusan SD. Hal ini menjadi faktor positif bagi perencanaan pengembangan peternakan di Kabupaten simalungun mengingat pendidikan yang cukup akan memudahkan dalam menyerap inovasi teknologi. Sementara itu, bila ditinjau dari tingkat pendidikan nonformal, peternak masih sangat jarang mendapatkannya. Kondisi ini memungkinkan peranan yang lebih aktif lagi dari balai-balai penyuluhan, lembaga penelitian dan instansi terkait lainnya. Pekerjaan utama dari peternak responden menunjukkan bermata pencaharian di bidang pertanian, baik itu usaha tani sebagai pekerjaan utamanya ataupun usaha ternaknya yang dijadikan sebagai pekerjaan utamanya. Bahkan diduga ada sebagian responden yang menjadi buruh tani/ternak sebagai pekerjaan utamanya. Pengalaman usaha tani relatif lebih lama dibanding pengalaman beternak yaitu masing-masing 2 – 30 tahun untuk lama usaha tani dan 1 – 11 tahun untuk lama usaha ternak. Lamanya berusaha tani dari responden dapat dikategorikan yaitu cukup berpengalaman sebesar 84%, perpengalaman 24% dan sangat berpengalaman 12%. Sedangkan lamanya
133
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
beternak dari responden semuanya termasuk kategori cukup berpengalaman. Pemeliharaan ternak dan pemberian pakan Manajemen pemeliharaan ternak dan pemberian pakan merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan karena akan menjadi penentu keberhasilan dalam suatu usaha peternakan. Berdasarkan hasil survei menunjukkan pemeliharaan ternak yang dilakukan peternak responden sebagian besar (76%) dilakukan secara tradisional yaitu ternak dilepas siang hari, kemudian dikandangkan pada malam hari, sedangkan sisanya sekitar 24% memelihara ternak dengan sistem dikandangkan sepanjang hari. Menurut DEVENDRA dan BURNS (1994) bahwa sistem pemeliharaan ternak di pedesaan pada umumnya secara tradisional dan belum menggunakan teknologi dalam manajemen pemeliharaannya. Tingginya jumlah peternak melepas ternaknya di siang hari dan dikandangkan di malam hari, tentunya dengan beberapa alasan, diantaranya lahan masih tersedia untuk melepas ternak, hijauan yang cukup walaupun dimusim kemarau, serta keamanan ternak dari pencurian lebih terjaga. Areal untuk melepas ternakpun cukup beragam, yaitu hampir 72% responden melepas ternak di areal dekat sawah, kebun, pekarangan pada waktu siang hari dan diberi rumput potongan di malam hari, sedangkan sisanya sekitar 4% merumput di padang penggembalaan. Namun ada sekitar 24% yang hanya diberi rumput/daun potongan saja yaitu bagi ternak yang sistem pemeliharaannya dikandangkan penuh. Berdasarkan jenis hijauan yang diberikan, terdapat sekitar 52% responden yang memberi ternaknya rumput, daun-daunan dan limbah pertanian, 36% responden yang memberi rumput dan daun-daunan, 8% responden memberi rumput dan limbah pertanian, dan sekitar 4% responden hanya memberi rumput saja. Mengenai jenis pakan tambahan yang diberikan, hampir sebagian besar (76% responden) tidak menggunakannya, sedangkan sisanya ada yang menggunakan garam, dedak dan kombinasi keduanya yaitu sekitar 8% responden.
134
Ketersediaan hijauan dan limbah pertanian merupakan hal yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan. Survei menunjukkan sekitar 80% responden menyatakan hijauan dan limbah pertanian selalu tersedia sepanjang tahun. Namun ada juga 8% responden yang menyatakan ketersediaan hijauan maupun limbah pertanian fluktuasi atau musiman, bahkan ada sekitar 12% responden menyatakan limbah pertanian tidak tersedia. Hasil di atas mengindikasikan bahwa ketersediaan hijauan pakan tidak begitu dipengaruhi musim. Begitu juga dengan ketersediaan limbah pertanian yang dapat dikatakan selalu tersedia, dikarenakan pola atau sistem tanam yang terus berlangsung sepanjang tahun, baik tanaman pangan, hortikultura maupun tanaman perkebunan. Penggunaan limbah pertanian sebagai pakan Penggunaan limbah tanaman sebagai pakan ternak ruminansia di tingkat peternak tergolong cukup tinggi yaitu hampir 60% responden. Sebagian besar limbah tanaman yang digunakan peternak berasal dari limbah tanaman pangan (52%), sedangkan sisanya sekitar 8% berasal dari limbah tanaman perkebunan dan kombinasi berbagai limbah. Ada beberapa faktor yang menjadi alasan peternak responden menggunakan limbah pertanian, diantaranya: 1) Limbah pertanian dijadikan pakan saat panen dimana ketersediannya melimpah dan umumnya diberikan dalam bentuk segar, 2) Limbah pertanian digunakan sebagai stok pakan yang disimpan dalam jumlah terbatas dan diberikan ketika musim kemarau tiba atau ketika bukan musim panen, 3) Penggunaan limbah sebagai pakan umumnya dilakukan peternak yang memiliki lahan dan mengusahakannya (menanam). Sedangkan faktor yang menjadikan peternak tidak menggunakan limbah pertanian, yaitu: 1) Umumnya petani membakar limbah tanaman terutama jerami padi karena secepatnya akan dilakukan pengolahan tanah untuk penanaman kembali khususnya pada lahan sawah dengan pola tanam lebih dari sekali dalam setahun; 2) Limbah pertanian banyak yang bersifat voluminus (amba) sehingga menyulitkan peternak untuk
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
mengangkut dalam jumlah banyak untuk diberikan kepada ternak, dan umumnya lahan pertanian jauh dari pemukiman peternak sehingga membutuhkan biaya dalam pengangkutan; 3) Tidak tersedianya tempat penyimpanan limbah pertanian dan peternak tidak bersedia menyimpan/menumpuk limbah di sekitar rumah/kolong rumah; dan 4) Peternak menganggap bahwa ketersediaan hijauan masih mencukupi sebagai pakan ternak. Berdasarkan pemaparan di atas disimpulkan bahwa penyebab peternak tidak menggunakan limbah pertanian sebagai pakan ternak adalah keterbatasan teknologi dalam upaya penyimpanan, pengawetan maupun peningkatan kualitas dari limbah tersebut, sehingga potensi biomasa yang melimpah saat panen tidak bisa termanfaatkan dengan optimal. Bukti dari keterbatasan pengetahuan peternak tentang teknologi pengolahan pakan dapat dilihat dari hasil survei yang menunjukkan sekitar 84% responden tidak mengetahui teknologi pakan, sedangkan hanya sekitar 16% responden saja yang mengetahuinya. Teknologi yang diketahui oleh sebagian peternakpun, umumnya tidak diterapkan pada kegiatan usaha ternak. Oleh karena itu kerjasama yang komperhensif dari berbagai pihak menjadi mutlak diperlukan dalam pengembangan ternak ruminansia berbasis sumber bahan pakan lokal, disamping dukungan peranan pemegang kebijakan daerah. Strategi pengembangan kambing unggul melalui optimalisasi ketersediaan sumber pakan lokal Analisis lingkungan internal dan eksternal merupakan analisis terhadap keadaan internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap upaya pemanfaatan sumber pakan lokal dalam pengembangan kambing Unggul di Kabupaten Simalungun. Identifikasi faktor internal meliputi kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses), dan faktor eksternal meliputi faktor peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dipaparkan berikut ini. Kekuatan (Strengths). Faktor-faktor yang diidentifikasi sebagai kekuatan yang dimiliki dalam pengembangan kambing unggul melalui pemanfaatan ketersediaan sumber pakan lokal di Kabupaten Simalungun adalah sebagai
berikut: 1) Potensi sumberdaya alam yang dimiliki terutama ketersediaan dan penggunaan lahan pertanian yang cukup luas, sehingga memungkinkan menghasilkan biomasa pakan yang tinggi bagi ternak ruminansia. Potensi biomasa ini meliputi ketersediaan hijauan sepanjang tahun dan ketersediaan limbah pertanian sebagai pakan ternak; 2) Potensi sumber daya manusia yang baik yaitu memiliki tingkat pendidikan yang cukup sehingga memudahkan dalam menyerap teknologi dan manajemen usaha ternak yang diintroduksikan. Tenaga kerja yang cukup banyak menunjang usaha peternakan; 3) Ternak unggul yang akan dikembangkan memiliki karakteristik yang cukup baik dengan pencapaian bobot badan yang maksimal dengan tingkat adaptasi pakan yang toleran terhadap pakan lokal; 4) Dukungan kebijakan Pemerintah dalam pembangunan sektor pertanian dan peternakan; 5) Peran serta lembaga penyuluhan dan lembaga penelitian maupun instansi terkait dalam upaya pembinaan teknis dan diseminasi teknologi peternakan melalui sentra-sentra produksi kelompoktani; dan 6) Kelompok tani/peternak pelaksana kegiatan usaha tersebar di seluruh wilayah pedesaan. Kelemahan (Weaknesses). Faktor-faktor yang diidentifikasi sebagai kelemahan meliputi: 1) Pemanfaatan dan pengolahan sumber pakan lokal yang belum optimal. Kebiasaan petani peternak membakar limbah pertanian setelah panen; 2) Sarana dan prasarana pengangkutan dan tempat penyimpanan limbah pertanian tidak tersedia. Diketahui bahwa karakteristik limbah pertanian umumnya bersifat voluminus (amba) sehingga menyulitkan pengangkutan dan peyimpanan dalam jumlah banyak; 3) Sifatnya yang mudah rusak dari limbah pertanian memerlukan teknologi pengolahan ataupun pengawetan, sedangkan tingkat pengetahuan dan penerapan teknologi ini masih rendah; 4) Pengadaan bibit ternak unggul yang masih sulit, dan 5) Kebutuhan modal yang cukup untuk usaha ternak yang lebih rasional, disamping tata niaga pemasaran produk yang masih lemah (belum dikoordinir dengan baik). Peluang (Opportunities). Faktor-faktor yang diidentifikasi sebagai peluang yaitu: 1) Jumlah populasi ternak ruminansia yang dominan dibandingkan dengan ternak lainnya dan tersebar di seluruh wilayah di kabupaten
135
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
Simalungun; 2) Sistem budidaya ternak masih bersifat tradisional. Peternak umumnya menjadikan rumput sebagai pakan tunggal, sehingga kualitas pakan yang diperoleh ternak tidak memungkinkan tercapainya pertambahan bobot badan maksimal; 3) Usaha pertanian yang semakin intensif sehingga berimplikasi pada meningkatnya jumlah produksi limbah pertanian; 4) Limbah pertanian/industri pengolahannya belum dimanfaatkan optimal sebagai bahan pakan; 5) Belum ada industri pakan ternak ruminansia baik skala kecil maupun menengah/besar; 6) Penguasaan dan pengetahuan petani pada teknologi pengolahan pakan masih terbatas; 7) Ketersediaan biomasa pakan lokal memungkinkan pengembangan ternak ruminansia (daya tampung satuan ternak) yang cukup besar; dan 8) Kebijakan pemerintah Simalungun maupun Provinsi Sumatera Utara yang tertuang dalam visi dan misi pembangunan dengan mengedepankan pemanfaatan sumber daya yang ada dan menjadikan subsektor pertanian/peternakan menjadi prioritas. Ancaman (Threats). Faktor-faktor internal yang diidentifikasi sebagai ancaman diantaranya: 1) Tingkat pemotongan ternak ruminansia yang cenderung lebih tinggi dibandingkan peningkatan populasi setiap tahunnya; 2) Impor ternak dan daging semakin meningkat yang mengindikasikan keterbatasan kemampuan pola pengembangan ternak berbasis usaha peternakan rakyat dalam menjamin ketersediaan daging untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri; 3) Usaha ternak kambing atau ruminansia masih bersifat sambilan dan kurangnya permodalan; 4) Terjadinya penyakit ternak dan pemotongan ternak betina produktif; dan 5) Keamanan berusaha ternak tidak terjamin di beberapa wilayah, sehingga menyebabkan menurunnya animo masyarakat untuk memelihara ternak. Formulasi strategi pengembangan Dengan melihat faktor-faktor lingkungan internal dan ekternal di atas dan memperhatikan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat diharapkan arah kebijakan pengembangan ternak kambing unggul berbasis ketersediaan pakan lokal sesuai dengan sasaran. Strategi yang dapat diterapkan
136
yaitu dengan cara mengoptimalkan faktor kekuatan dan peluang maupun meminimalkan faktor kelemahan dan ancaman seperti berikut: Pengembangan kawasan pola integrasi ternak kambing dengan usaha pertanian (tanaman pangan, tanaman perkebunan dan tanaman hortikultura). Optimalisasi penerapan teknologi pakan limbah pertanian melalui pemberdayaan masyarakat pola partisipatif. Peningkatan dan pengembangan sarana prasarana pengembangan teknologi pakan limbah pertanian. Sinergi dan keterpaduan antar sektor (peternakan-pertanian) dalam kebijakan pemerintah untuk pengembangan ternak kambing. Penyediaan modal usaha dari pemerintah dan lembaga keuangan melalui kerjasama dengan kelembagaan peternak untuk memacu usaha ternak yang lebih rasional. KESIMPULAN Dari hasil analisis potensi pengembangan kambing unggul berdasarkan ketersediaan sumber pakan di Kabupaten Simalungun, Sumatera utara dapat disimpulkan mempunyai potensi bahwa cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari data yang menunjukkan bahwa: 1) Adanya dukungan kebijakan pembangunan daerah yang berprioritas pada sektor pertanian/peternakan; 2) Tingkat kepadatan ternak yang relatif rendah; 3) Lahan garapan usahatani yang dikelola oleh petani masih cukup luas sehingga berpotensi baik sebagai penyedia sumber pakan berupa limbah pertanian maupun sebagai tempat penggembalaan/pemeliharaan ternak; 4) Potensi biomasa pakan lokal yang memungkinkan terhadap kapasitas tampung satuan ternak yang cukup besar; 5) SDM yang memadai untuk menerima teknologi yang diintroduksikan serta antusiasme yang cukup besar dari peternak terhadap teknologi pengolahan pakan. Berdasarkan hal itu maka strategi pengembangannya harus memprioritaskan pengembangan kawasan pola integrasi kambing dan mengoptimalkan teknologi pemanfaatan pakan serta kesinergisan dalam kebijakan pemerintah dan dukungan permodalan yang memadai.
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
DAFTAR PUSTAKA CHAMDI, A.N. 2003. Kajian profil sosial usaha kambing di Kecamatan Kradenan kabupaten Grobogan. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 29 – 30 September 2003. Bogor: Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 312 – 317.
GOMEZ, G., M. VALDIVISO, D. DE LA CUESTA and T.S. SALCEDO. 1984. Effect of variety and plant age on the cyanide content of whole root cassava chips and its reduction by sun-drying. Anim. Feed Sci. Technol. 11: 57 – 65. LIWANG, T. 2003. Palm oil mill management. Burotrop 19: 38.
effluent
DAVID, F.R. 2001. Strategic Management: Concepts and Cases. 8th Ed. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
MANTRA, I.B. dan KASTO. 1995. Penentuan sampel. Dalam: Metode Penelitian Survei. SINGARIBUAN, A. dan S. EFFENDI (Eds.). LP3ES, Jakarta. hlm. 149 – 174.
DEVENDRA, C. dan M. BURNS. 1994. Produksi Kambing di daerah Tropis. Penerbit ITB, Bandung.
MATTJIK A.A. dan SUMERTAJAYA. 2000. Perancangan Percobaan. Jilid I. IPB Press, Bogor.
DISNAK PROVINSI SUMATERA UTARA. 2003. Buku Statistik Peternakan Tahun 2003. Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Utara.
PEMERINTAH KABUPATEN SIMALUNGUN. 2006. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Simalungun Tahun 2006 – 2010. http://www.rpjmd. simalungun co.id. (11 Desember 2009).
DITJENNAK dan BALITNAK. 1995. Pedoman Analisis Potensi Wilayah Penyebaran dan Pengembangan Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Balai Penelitian Ternak.
137