ANALISIS PERSEPSI PETANI TERHADAP LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (Studi Kasus di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor)
SKRIPSI
AJEN MUKAROM H34066008
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
RINGKASAN AJEN MUKAROM. Analisis Persepsi Petani Terhadap Lembaga Keuangan Syariah (Studi Kasus di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan DWI RACHMINA). Keberadaan sumber pembiayaan dalam bentuk kredit sangat penting dalam pengembangan produktivitas pada sektor pertanian terutama untuk petani skala kecil. Saat ini di Indonesia telah berkembang Lembaga Keuangan Syariah, baik Bank Umum Syariah (BUS) maupun Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Kehadiran Lembaga Keuangan Syariah tersebut tepat untuk mengembangkan sektor pertanian, karena karakteristik pembiayaan syariah sesuai dengan kondisi bisnis pertanian. Hal ini dikarenakan mekanisme transaksi pada bank syariah menggunakan skema bagi hasil. Pertumbuhan bank syariah yang pesat dan peningkatan pembiayaan di sektor pertanian belum diikuti oleh pemahaman dan pengetahuan petani tentang sistem operasional perbankan syariah dan mekanisme dalam mengakses skimskim pembiayaan untuk pertanian pada Lembaga Keuangan Syariah. Sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat aksesibilitas petani dalam memperoleh pembiayaan untuk menjalankan kegiatan usahataninya. Tujuan dari Penelitian ini adalah (1) menganalisis sumber-sumber pembiayaan yang selama ini dimanfaatkan petani subsistem onfarm di Kecamatan Dramaga, (2) menganalisis pengetahuan masyarakat pertanian subsistem onfarm terhadap LKS (3) menganalisis persepsi masyarakat pertanian subsistem onfarm terhadap LKS. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, dengan desa terpilih yaitu Desa Sukawening dan Desa Petir. Waktu pengumpulan data di lapangan dilakukan dari Februari hingga Maret 2009. Responden penelitian adalah petani subsektor tanaman pangan sebanyak 43 responden, subsektor perikanan sebanyak 9 (sembilan) responden dan subsektor peternakan sebanyak 8 (delapan) responden. Pemilihan responden dilakukan dengan stratified random sampling dari populasi petani dilokasi penelitian yang tergabung pada kelompok tani. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif tabulasi silang dan analisis pendapatan usahatani. Hasil penelitian menunjukkan dari petani yang pernah mengajukan permohonan pembiayaan, lembaga keuangan yang diakses petani responden terdiri atas lembaga keuangan non formal dan lembaga keuangan formal. Bahkan ada juga dari responden yang mengakses keduanya. Pada subsektor tanaman pangan lembaga keuangan yang paling banyak diakses oleh petani pada subsektor tanaman pangan adalah lembaga keuangan non formal yaitu diakses oleh 54,55 persen, lembaga keuangan formal diakses oleh 27,27 persen, dan yang mengakses keduanya 18,18 persen. Lembaga keuangan non formal yang banyak diakses yaitu tengkulak. Tengkulak lebih menarik untuk diakses petani karena prosedur pembiayaan tidak rumit, prosesnya cepat, tanpa agunan dan berdasarkan kepercayaan. Disamping itu cara pengembalian pinjaman kepada tengkulak sesuai dengan harapan petani yaitu musiman. Lembaga keuangan formal lainnya yang
diakses petani subsektor perikanan seluruhnya lembaga keuangan formal yaitu KKP dan Bank NISP. Namun responden yang mengajukan KKP permohonannya ditolak. Sedangkan petani subsektor peternakan mengakses ke lembaga keuangan formal saja yaitu ke Bank Niaga dan Bank HSBC. Dilihat dari aspek pendapatan, pada subsektor perikanan nilainya lebih besar dibandingkan subsektor tanaman pangan dan subsektor peternakan. Pendapatan rata-rata atas biaya tunai pada subsektor tanaman pangan sebesar Rp 6.948.888 per Ha/tahun. Sedangkan pendapatan rata-rata atas biaya total Rp 5.702.939 per Ha/tahun. Pendapatan rata-rata atas biaya tunai petani subsektor perikanan Rp 36.940.289 per Ha/tahun sedangkan pendapatan rata-rata atas biaya total Rp 36.863.754 per Ha/tahun. Pada subsektor peternakan pendapatan rata-rata atas biaya tunai Rp 14.483.333 per 1000 ekor/tahun. Sedangkan pendapatan ratarata atas biaya total Rp 13.864.281 per 1000 ekor/tahun. Keragaman pendapatan petani pada setiap subsektor di atas menunjukkan potensi permintaan pembiayaan pada sektor pertanian. Namun demikan meskipun informasi mengenai pendapatan usahatani tersebut merupakan potensi penyaluran pembiayaan bagi LKS, tinggi rendahnya pendapatan petani pada setiap subsektor tidak mempengaruhi petani untuk mengakses LKS. Hal tersebut dilihat dari hasil tabulasi silang yang menunjukkan tidak ada satu pun petani yang pernah mengakses bank syariah. Dilihat dari aspek skala usaha, usahatani pada subsektor tanaman pangan dan perikanan didominasi oleh petani skala kecil. Sedangkan pada subsektor peternakan didominasi oleh skala menengah. Seperti halnya pada pendapatan, besar kecilnya skala usahatani, tidak menunjukkan kemampuan petani dalam mengakses LKS. Karena dipastikan 100 persen petani responden tidak ada yang pernah akses ke bank syariah. Persepsi petani responden terhadap LKS cukup beragam. Persepsi terhadap sistem bunga ditanyakan pada seluruh responden penelitian. Karena dapat mempengaruhi motivasi responden memilih LKS. Umumnya dengan sistem bunga pinjaman, responden merasa diberatkan. Beberapa persepsi yang ditanyakan kepada responden yang pernah mendengar informasi tentang LKS: Sebagian besar mengetahui LKS sebagai lembaga keuangan yang berdasarkan syariah, menurut kesan terhadap LKS umumnya mengatakan LKS kurang dikenal masyarakat, terdapat kelebihan pada LKS, dan mayoritas menyebutkan kelebihan pada LKS bebas dari riba. Selain itu, sebagian besar responden juga memiliki persepsi bahwa pada LKS terdapat kelemahan yaitu kurang informasi dan sosialisasi. Dengan demikian sebagian besar responden memiliki persepsi bahwa sosialisasi yang dilakukan LKS kurang baik. Persepsi responden menurut prospek LKS, mayoritas menilai kurang baik. Persepsi agar LKS menjadi pilihan petani ditanyakan kepada seluruh responden penelitian yaitu LKS dalam menyalurkan pembiayaan tidak menerapkan prosedur pembiayaan yang sulit dan berharap agar LKS lebih meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat pertanian.
ANALISIS PERSEPSI PETANI TERHADAP LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (Studi Kasus di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor)
AJEN MUKAROM H34066008
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Skripsi : Analisis Persepsi Petani Terhadap Lembaga Keuangan Syariah (Studi Kasus di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor) Nama
: Ajen Mukarom
NRP
: H34066008
Disetujui, Pembimbing
Ir. Dwi Rachmina, MSi NIP. 131 918 503
Diketahui, Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 131 415 082
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Persepsi Petani Terhadap Lembaga Keuangan Syariah (Studi Kasus di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor)” adalah benar karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2009 Ajen Mukarom H34066008
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 17 Desember 1981. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Muslih dan Ibunda Mamay Komarah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 1 Kertasari Tasikmalaya pada tahun 1994 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1997 di SLTP Islam Trijaya Cikukulu Karangnunggal Tasikmalaya. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMUN 1 Karangnunggal Tasikmalaya diselesaikan pada tahun 2000. Pada tahun 2000 hingga 2002 penulis bekerja pada sebuah perusahaan swasta. Kemudian pada tahun 2003 melanjutkan pendidikan pada Program Diploma 3 Higiene Makanan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor diselesaikan pada tahun 2006. Pada tahun 2006 Penulis diterima pada Program Sarjana Agribisnis Penyelenggaraan Khusus, Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif pada beberapa kegiatan organisasi intra kampus maupun ekstra kampus, diantaranya dipercaya menjadi Ketua Komisi A DPM KM FKH IPB Periode 2004-2005, Sekretaris Umum HMI Komisariat FKH IPB periode 2004-2005, Himpro Ornithologi, Ketua HMI Cabang Bogor periode 2006-2007, MPKPC HMI Cabang Bogor periode 20082009, dan Pengurus TIDAR Daerah Bogor periode 2009-2014.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Persepsi Petani Terhadap Lembaga Keuangan Syariah (Studi Kasus di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor)”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sumber-sumber pembiayaan yang selama ini dimanfaatkan petani subsistem onfarm di Kecamatan Dramaga, menganalisis sejauhmana pengetahuan masyarakat pertanian subsistem onfarm terhadap LKS dan menganalisis persepsi masyarakat pertanian subsistem onfarm terhadap LKS. Sehingga harapannya dapat dihasilkan rekomendasi dan saran untuk kemajuan sektor pertanian khususnya pada subsistem penunjang. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan karya ilmiah ini masih terdapat kekurangan dan keterbatasan serta kendala-kendala yang dihadapi. Maka dari itu, penulis mengharapkan saran dan masukan yang membangun guna untuk penyempurnaan skripsi ini sehingga bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Mei 2009 Ajen Mukarom
UCAPAN TERIMA KASIH Proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, dorongan dan do’a berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Ir. Dwi Rachmina, MS selaku dosen pembimbing atas kebaikan, bimbingan, arahan, waktu dan kesabaran yang telah dicurahkan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. 2. Ir. Narni Farmayanti, MSc., selaku dosen evaluator pada kolokium proposal penelitian penulis yang telah meluangkan waktu untuk menyampaikan masukan dan saran. 3. Ir. Harmini MS, sebagai dosen dari komisi akademik yang telah bersedia untuk menjadi penguji pada ujian sidang hasil penelitian ini. 4. Dr. Ir. Harianto, MS, sebagai dosen penguji pada sidang hasil penelitian. 5. Kedua orangtua penulis ayahanda dan ibunda, yang tak henti-hentinya mencurahkan perhatian, do’a, motivasi, kasih sayang, dan membesarkan penulis. 6. Kanda Uus Solihudin, Teteh Ferawati Rosita D, dan Adinda Amin Nuryamin yang selalu memberikan motivasi dan menanmkan optimisme kepada penulis. 7. Seseorang yang menjadi sumber inspirasi dan penyemangat yang telah menemani dan mengisi hari-hari penulis. 8. Kepala Desa Sukawening Bapak Husen, Kepala Desa Petir dan staff, Pak Amir Aming, Pak Enja Sudrajat dan para petani Desa Sukawening dan Desa Petir yang telah memberikan informasi dan membantu penulis 9. Keluarga besar Kelompok Tani Minasaluyu, Bakti Putra, Saluyu dan peternak ayam broiler yang telah bersedia menjadi responden penelitian. 10. Sdr. Arief Rivai yang telah bersedia untuk menjadi pembahas pada seminar skripsi. 11. Sahabat-sahabatku, Zenal, Imran, Eni, Rahma, yang selalu bersedia untuk berdiskusi dengan penulis. 12. Keluarga besar HMI Cabang Bogor dan Komisariat FKH yang telah mengisi
hari-hari
penulis
dengan
khasanah
keilmuan.
13. Teman seperjuangan Wahyu, Meylani, Ayla, Risman, Galih dan temanteman Mahasiswa Agribisnis Penyelenggaraan Khusus, Mayor Minor 1, atas semangat, pengertian dan sharing selama penelitian hingga penulisan skripsi, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuannya. Tanpa kalian perjuangan ini tak akan berarti. Pada akhirnya, hanya Allah-lah yang akan membalas segala kebaikan kalian. Semoga kebaikan yang telah saudara perbuat diganti dengan pahala yang berlipat. Amin.
Bogor, Mei 2009 Ajen Mukarom
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..........................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. viii PENDAHULUAN ................................................................................... 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................. 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 1.4 Kegunaan Penelitian ............................................................................
1 1 5 6 6
II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 2.1 Karakteristik Kredit dan Pembiayaan pada Bank Konvensional ....... 2.1.1 Analisis Kredit ........................................................................... 2.1.2 Unsur-unsur Kredit..................................................................... 2.1.3 Jenis-jenis Kredit........................................................................ 2.1.4 Jaminan Kredit ........................................................................... 2.1.5 Sumber-sumber Kredit ............................................................... 2.1.6 Penerapan Metode Bunga pada Bank Konvensional ................. 2.2 Karakteristik Kredit dan Pembiayaan pada Bank Syariah .................. 2.2.1 Konsep Dasar Bank Syariah....................................................... 2.2.2 Konsep Operasi Bank Syariah ................................................... 2.2.3 Jenis-jenis Pembiayaan Pada Bank Syariah............................... 2.2.4 Aplikasi Metode Bagi Hasil ....................................................... 2.3 Perbandingan Bank Syariah dengan Bank Konvensional .................. 2.3.1 Persamaan Bank Syariah dan Konvensional.............................. 2.3.2 Perbedaan Bank Syariah dan Konvensional .............................. 2.3.3 Sistem Bagi Hasil vs Sistem Bunga ........................................... 2.4 Kajian-kajian Empirik......................................................................... 2.4.1 Sumber-Sumber Kredit di Tingkat Petani.................................. 2.4.2 Persepsi Terhadap Bank Syariah ............................................... 2.4.3 Persamaan dan Perbedaan dengan Kajian Empirik .................... Sebelumnya ................................................................................
8 8 8 10 11 12 13 13 14 15 15 16 19 19 19 20 21 23 23 25 26
III KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................. 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................................. 3.1.1 Aksesibilitas Kredit Pertanian.................................................. 3.1.2 Ukuran Penampilan Usahatani ................................................ 3.1.3 Persepsi Petani ........................................................................ 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ......................................................
28 28 28 31 32 34
I
IV METODE PENELITIAN ....................................................................... 37 4.1 Lokasi dan Waktu ............................................................................ 37 4.2 Jenis dan Sumber Data ...................................................................... 37
4.3 Metode Penentuan Sampel ............................................................... 37 4.5 Pengolahan dan Analisis Data........................................................... 39 4.6 Definisi Operasional.......................................................................... 40 V
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ................................. 5.1 Kondisi Geografis ............................................................................ 5.2 Kondisi Demografi............................................................................ 5.3 Kondisi Perekonomian ..................................................................... 5.4 Sarana dan Prasarana......................................................................... 5.5 Lokasi Responden Penelitian ............................................................ 5.6 Karakteristik Petani Responden ....................................................... 5.6.1 Karakteristik Responden berdasarkan Kelompok Umur ......... 5.6.2 Karakteristik Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan .... 5.6.3 Karakteristik Responden berdasarkan ………………………. Jumlah Tanggungan dalam Keluarga ...................................... 5.6.4 Karakteristik Responden berdasarkan Pengalaman Berusahatani ........................................................ 5.6.5 Karakteristik Responden berdasarkan Status Usahatani ......... 5.6.6 Karakteristik Responden berdasarkan Skala Usaha ................
VI ANALISIS PERSEPSI PETANI TERHADAP LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH ................................................ 6.1 Lembaga-Lembaga Keuangan yang Menjadi Sumber Pembiayaan Usahatani Responden di Kecamatan Dramaga ................................. 6.2 Daya Jangkau Responden Terhadap Lembaga Keuangan Syariah ... 6.2.1 Daya Jangkau Petani Responden Terhadap Lembaga............... Keuangan Syariah Dilihat dari Aspek Pendapatan.................... 6.2.2 Daya Jangkau Petani Responden Terhadap Lembaga .............. Keuangan Syariah Dilihat dari Aspek Skala Usaha................. 6.3 Persepsi Responden Terhadap Lembaga Keuangan Syariah ...........
41 41 42 43 45 46 49 49 50 52 53 54 56 58 58 68 73 80 82
VII KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 95 7.1 Kesimpulan ...................................................................................... 95 7.2 Saran.................................................................................................. 96 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 97 LAMPIRAN.................................................................................................... 99
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Struktur PDB Menurut Sektor Lapangan Usaha Tahun 20042008 Berdasarkan Harga yang Berlaku..........................................
1
2. Penyaluran Pembiayaan oleh Bank Syariah Berdasarkan Sektor Ekonomi Maret – November 2008.................................................
4
3. Perbedaan Antara Bank Syariah dengan Bank Konvensional........
20
4. Perbedaan Antara Sistem Bunga dengan Bagi Hasil......................
22
5. Sebaran Kemiringan Lereng menurut Luas Penyebarannya di Kecamatan Dramaga Tahun 2004........…………….………….
41
6. Luas Lahan di Kecamatan Dramaga menurut Pola Penggunaan Lahan Tahun 2008…......................................................................
42
7. Sebaran Jumlah dan Persentase Penduduk Kecamatan Dramaga menurut Kelompok Umur Tahun 2008 .………………………....
42
8. Sebaran Jumlah dan Persentase Penduduk Kecamatan Dramaga menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2008......................................
43
9. Sebaran Jumlah dan Persentase Penduduk Kecamatan Dramaga menurut Mata Pencaharian Tahun 2008......……………………...
43
10. Data Produksi Tanaman Pangan Utama di Kecamatan Dramaga Tahun 2008…….............................................................................
44
11. Data Produksi Perikanan di Kecamatan Dramaga Tahun 2008.....
45
12. Data Produksi Subsektor Peternakan di Kecamatan Dramaga Tahun 2008.....................................................................................
45
13. Sebaran Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Sukawening menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2008..………………………
47
14. Sebaran Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Sukawening menurut Mata Pencaharian Tahun 2008......……………………...
47
15. Sebaran Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Petir menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2008..............………………………..
48
16. Sebaran Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Petir menurut Mata pencaharian Tahun 2008.............................………………..
48
17. Data Jenis Ternak menurut Jumlah yang Terdapat di Desa Petir Tahun 2008……………..............................................…………...
49
18. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Kelompok Umur dan Subsektor Usahatani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008.......................................................……….............................
50
19. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Tingkat Pendidikan dan Subsektor Usahatani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008.....................................................................................
52
Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Tingkat Pendidikan dan Subsektor Usahatani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008…….............................................................................
52
Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Jumlah Tanggungan dalam Keluarga dan Subsektor Usahatani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008………………………….......... Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Pengalaman dan Subsektor Usahatani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008.....
54
Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Status Usaha dan Subsektor Usahatani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008……................................................................................……
56
Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Subsektor Tanaman Pangan menurut Skala Usaha di Kecamatan Dramaga Tahun 2008…………................…………………………………………
56
Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Subsektor Perikanan berdasarkan Skala Usaha di Kecamatan Dramaga Tahun 2008……………………………………………………................
57
Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Subsektor Peternakan berdasarkan Skala Usaha di Kecamatan Dramaga Tahun 2008……………………………….....…………………… Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Pengalaman dalam Mengajukan Pembiayaan di Kecamatan Dramaga Tahun 2008...........................................................................…………….
53
57
59
Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Sumber Pembiayaan yang Pernah Diakses di Kecamatan Dramaga Tahun 2008……………………................................................................
61
Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Alasan tidak Mengakses Pembiayaan dari Lembaga Keuangan di Kecamatan Dramaga Tahun 2008.....................................................................
68
Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Perolehan Informasi mengenai LKS di Kecamatan Dramaga Tahun 2008................................................................................................
69
Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Beberapa Alasan Belum Pernah Mengakses LKS di Kecamatan Dramaga Tahun 2008.....................................................................................
73
Rata-Rata Struktur Biaya Usahatani Responden menurut Subsektor Usahatani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008.......................................
77
Rata-Rata Penerimaan Usahatani Responden menurut Subsektor Usahatani di di Kecamatan Dramaga Tahun 2008..................................
78
Pendapatan Rata-Rata Respoden Setiap Subsektor di Kecamatan Dramaga Tahun 2008.....................................................................
79
Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Subsektor Tanaman 2
Pangan menurut Skala Usahatani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008................................................................................................
80
Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Subsektor Perikanan menurut Skala Usahatani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008................................................................................................
80
Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Subsektor Peternakan menurut Skala Usahatani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 ....................................................................................
81
Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Persepsi terhadap Sistem Bunga Pinjaman di Kecamatan Dramaga Tahun 84 2008................................................................................................ Sebaran Jumlah dan Persentase Responden yang Pernah Mendengar LKS menurut Pengetahuan terhadap LKS di Kecamatan Dramaga Tahun 2008............................................................................................... 85 Sebaran Jumlah dan Persentase Responden yang Pernah Mendengar LKS menurut Kesan terhadap LKS ....................................................... 87 Sebaran Jumlah dan Persentase Responden yang Pernah Mendengar LKS menurut Persepsi Terhadap Kelebihan Bank Syariah di Kecamatan Dramaga Tahun 2008................................ Sebaran Jumlah dan Persentase Responden yang Mengetahui Ada Kelebihan Pada LKS menurut Kriteria Kelebihan di Kecamatan Dramaga Tahun 2008............................................................................... Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Persepsi mengenai Kelemahan pada LKS di Kecamatan Dramaga Tahun 2008.................. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden yang Mengetahui Kelemahan pada LKS menurut Kriteria Kelemahan di Kecamatan Dramaga Tahun 2008............................................................ Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Persepsi Terhadap Sosialisasi Yang Dilakukan LKS di Kecamatan Dramaga Tahun 2008.......................................................................................................... Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Prospek LKS pada Masa Mendatang di Kecamatan Dramaga Tahun 2008.......................................................................................................... Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Opini Responden Agar LKS Menjadi Pilihan Petani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008............................................................................................... Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Harapan Responden Terhadap LKS di Kecamatan Dramaga Tahun 2008..........................................................................................................
87
88 89
89
91
91
92 94
3
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Bagan Kerangka Pemikiran Operasional…………………………
36
2.
Skema Formula Penentuan Responden…………………………..
38
3.
Skema Pengambilan Sampel Kuisioner..........................................
39
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Daftar Responden Subsektor Tanaman Pangan...................................
100
2. Daftar Responden Subsektor Perikanan ..............................................
102
3. Daftar Responden Subsektor Peternakan.............................................
103
4. Daftar Riwayat Pinjaman Responden Penelitian.................................. 104
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara agraris, sektor pertanian dan pedesaan memiliki peranan sangat strategis dalam pembangunan nasional. Peranan tersebut, di antaranya adalah sebagai andalan matapencaharian mayoritas penduduk Indonesia, penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, sumber devisa, bahan baku industri, penyediaan bahan pangan dan gizi, serta sebagai pendorong sektor-sektor ekonomi riil lainnya. Berdasarkan data BPS (2008), peranan dan konstribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dari tahun 2004 hingga triwulan I tahun 2008 rata-rata menyumbang sebesar 13,74 persen berada pada urutan ketiga setelah sektor industri pengolahan dan perdagangan, hotel dan restoran. Perkembangan PDB tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini: Tabel 1. Struktur PDB Menurut Sektor Lapangan Usaha Tahun 2004-2008 Berdasarkan Harga yang Berlaku No 1 2 3 4 5 6 7
Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, gas dan air minum Bangunan Perdagangan, hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi 8 Keuangan, persewaan,dan jasa perusahaan 9 Jasa-jasa Keterangan: *triwulan I tahun 2008 Sumber: Badan Pusat Statistik (2008) (diolah)
Tahun (%) 2006 2007 12,9 13,8 11,0 11,1 27,5 27,0 0,9 0,9 7,5 7,7 15,0 14,9 6,9 6,7
2004 14,3 8,9 28,0 1,0 6,6 16,0 6,2
2005 13,1 11,1 27,4 0,9 7,0 15,6 6,5
8,5
8,3
8,1
7,7
7,5
Laju(%) /Tahun 0,04 0,40 -0,36 -0,04 0,20 -0,20 0,04 -0,20
10,3
9,9
10,0
10,0
9,6
0,14
2008* 14,5 10,9 27,0 0,8 7,7 15,0 6,4
Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Nasional yang rendah dibandingkan sektor industri pengolahan dan perdagangan, hotel serta restoran terkait erat dengan penyempitan lahan pertanian dan produktivitas tenaga kerja yang rendah pada sektor tersebut. Perluasan lahan pertanian, optimalisasi produktivitas, dan peningkatan pendapatan petani bisa dijadikan alternatif untuk mendorong peningkatan kontribusi pertanian terhadap PDB nasional. Namun seringkali upaya untuk meningkatkan produktivitas sektor pertanian tersebut dihadapkan pada persoalan aksesibilitas terhadap sumberdaya modal.
Keberadaan sumber pembiayaan dalam bentuk kredit
sangat penting
dalam pengembangan produktivitas pada sektor pertanian terutama untuk petani skala kecil. Ketersediaan kredit/pembiayaan yang memadai dapat menciptakan pembentukan modal bagi usahatani sehingga dapat meningkatkan produksi, pendapatan, dan menciptakan surplus yang dapat digunakan untuk membayar kembali kredit yang diperoleh. Sumber pembiayaan (kredit) pertanian tersebut dapat diperoleh dari Lembaga Keuangan Formal maupun Lembaga Keuangan Non-Formal. Lembaga Keuangan Non-Formal diantaranya terdiri atas bank keliling, pedagang hasil pertanian, pelepas uang, pedagang sarana produksi dan lain sebagainya. Lembaga Keuangan Formal diantaranya terdiri atas Lembaga Keuangan Konvensional (LKK) dan Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Pada Lembaga Keuangan Formal seperti LKK umumnya menyediakan dana dengan suku bunga rendah. Namun demikian, petani kecil tidak bisa akses dikarenakan beberapa kendala: (1) petani tidak memiliki agunan sertifikat tanah, (2) pembayaran secara bulanan tidak sesuai dengan usahatani yang memberikan siklus produksi musiman dan (3) petani kecil umumnya belum familier dengan prosedur administrasi yang harus dipenuhi, sehingga sekarang ini LKK lebih banyak diakses oleh kelompok petani kaya. Padahal aksesibilitas terhadap sumberdaya modal harus diartikan sebagai keterjangkauan yang harus dimiliki dua sisi; ada pada saat diperlukan dan berada dalam jangkauan untuk memanfaatkannya. Selain itu, salah satu alasan utama petani kurang akses ke Lembaga Keuangan Formal adalah keuntungan tingkat bunga rendah yang diberikan dikalahkan oleh lebih banyaknya waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan kredit. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang berbeda dengan cara perbankan konvensional. Saat ini di Indonesia telah berkembang Lembaga Keuangan Syariah, baik Bank Umum Syariah (BUS) maupun Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Kehadiran Lembaga Keuangan Syariah tersebut tepat untuk mengembangkan sektor pertanian, karena karakteristik pembiayaan syariah sesuai dengan kondisi bisnis pertanian. Hal ini dikarenakan bank syariah menggunakan skema bagi hasil.
2
Ada beberapa alasan yang menguatkan agar sektor pertanian diberdayakan melalui bank syariah 1 : Pertama, sistem syariah lebih sesuai dengan karakter petani dan pertanian di Indonesia, sehingga lebih memungkinkan untuk diterapkan, dibandingkan dengan sistem bunga. Pada sistem syariah, yang dituntut adalah kemampuan petani untuk memproduksi hasil pertanian. Misalnya pada skema pembiayaan bai' as salaam, dimana petani mendapatkan modal untuk berproduksi sesuai biaya aktual yang dibutuhkan dan mendapat keuntungan dengan persentase tertentu. Kewajiban petani berdasarkan skema tersebut adalah menyerahkan produk pertanian dengan kriteria yang telah disepakati kepada pemberi modal. Bank dapat menunjuk suatu lembaga untuk memasarkan produk pertanian tersebut. Berbeda dengan sistem konvensional, dimana yang menjadi titik tekannya adalah pengembalian pinjaman plus bunga. Kedua, bank syariah lebih menitikberatkan pada investasi di sektor riil, dan sektor pertanian merupakan bagian dari sektor riil. Sehingga mampu menjawab problematika aksesibilitas pembiayaan bagi petani. Bank ini pun dapat menjadi jembatan untuk mengintegrasikan pasar keuangan syariah dengan sektor pertanian, antara lain melalui penerbitan sukuk untuk pertanian. Ketiga, bank syariah dapat menjadi substitusi kebijakan subsidi pemerintah untuk sektor pertanian. Selama ini subsidi yang diberikan pemerintah lebih menitikberatkan pada subsidi sarana produksi pertanian. Pada praktiknya seringkali subsidi tersebut salah sasaran akibat terjadinya moral hazard. Di Indonesia perbankan syariah tumbuh dan berkembang dengan baik. Penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini mengalami pertumbuhan pesat. Hingga Oktober 2008 jumlah jaringan kantor bank syariah mencapai 1440 unit. Jaringan kantor tersebut telah menjangkau masyarakat di 33 propinsi dan di banyak kabupaten/kota. Sementara itu jumlah Bank Umum Syariah (BUS) hingga Oktober 2008 berjumlah lima Bank Umum Syariah. Selama tahun 2008, Return on Asset (RoA) perbankan syariah mencapai 2,5 persen dan Return on Equity
1
Sufie. 2008. http/www.Menggagas bank pertanian syariah akhi sufie.htm. 20 Januari 2009
3
(RoE) mencapai 76,7 persen. Kontribusi utama dari piutang murabahah yang mencapai 45,3 persen dari seluruh total pendapatan perbankan syariah (BI, 2008). Pada tahun 2008, jumlah pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah mencapai Rp 37,7 triliun. Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan syariah mencapai 36,7 persen. Pertumbuhan tabungan mudharabah mencapai 31,65 persen dan deposito mudharabah mencapai 38,79 persen yang merupakan proporsi terbesar pada triwulan ketiga tahun 2008. Sementara itu pembiayaan yang diberikan kepada UMKM oleh industri perbankan syariah sampai September 2008 mencapai Rp 27,18 triliun (72,13%), pembiayaan kepada non-UMKM mencapai Rp10,5 triliun (27,87%). Pertumbuhan pembiayaan kepada sektor UMKM sampai dengan posisi September 2008 sebesar 38,91 persen. Pembiayaan untuk sektor pertanian yang disalurkan oleh bank syariah Maret hingga November 2008 relatif masih kecil dan berfluktuasi namun kecenderungan mengalami peningkatan seperti ditunjukan pada Tabel 2. Tabel 2. Penyaluran Pembiayaan Oleh Bank Syariah Berdasarkan Sektor Ekonomi Maret – November 2008 (Juta Rupiah) Sektor Ekonomi Pertanian, Kehutanan dan Sarana Pertanian Pertambangan Perindustrian Listrik, air dan gas Konstruksi Perdagangan, restoran&hotel Pengangkutan, pergudangan &Komunikasi Jasa dunia usaha Jasa sosial Lain-lain Total
Nilai Pangsa(%)
Maret 2008 850.236 2,87
Juni 2008 999.775 2,93
September 2008 1.225.275 3,25
Oktober 2008 1.227.441 3,22
November 2008 1.257.064 3,26
Nilai Pangsa(%) Nilai Pangsa(%) Nilai Pangsa(%) Nilai Pangsa(%) Nilai Pangsa(%) Nilai Pangsa(%)
816.666 2,76 1.511.641 5,10 99.416 0,34 2.479.959 8,37 4.380.500 14,78 1.231.316 4,16
545.990 1,60 1.670.380 4,90 157.007 0,46 3.306.929 9,70 4.416.032 12,95 1.951.502 5,72
584.518 1,55 1.420.171 3,77 223.802 0,59 3.744.926 9,94 4.441.180 11,79 2.289.517
611.744 1,61 1.408.079 3,70 278.848 0,73 3.699.693 9,71 4.382.947 11,50 2.077.840 5,45
608.655 1,58 1.414.524 3,67 301.064 0,78 3.767.485 9,77 4.598.479 11,93 2.172.122 5,63
Nilai Pangsa(%) Nilai Pangsa(%) Nilai Pangsa(%) Nilai Pangsa (%)
8.907.076 30,06 1.965.151 6,63 7.387.495 24,93 29.629.456 100
10.236.447 30,02 2.361.650 6,93 8.453.955 24,79 34.099.667 100
11.383.489 30,21 2.735.069 7,26 9.632.640 25,56 37.680.587 100
12.388.928 32,52 2.707.825 7,11 9.313.996 24,45 38.097.341 100
11.931.068 30,94 2.742.305 7,11 9.764.757 25,33 38.557.523 100
Sumber: Bank Indonesia (2008)
4
Pertumbuhan bank syariah yang pesat dan kecenderungan peningkatan pembiayaan di sektor pertanian belum diikuti oleh pemahaman dan pengetahuan masyarakat terutama petani tentang sistem operasional perbankan syariah dan mekanisme dalam mengakses skim-skim pembiayaan untuk pertanian pada Lembaga Keuangan Syariah sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat aksesibilitas petani dalam memperoleh pembiayaan untuk menjalankan kegiatan usahataninya. Disamping hal tersebut, Mayoritas penduduk Indonesia merupakan penganut Agama Islam dan sebagian besar memiliki mata pencaharian dalam bidang pertanian. Namun, masyarakat belum menunjukkan minat dan perhatian yang besar terhadap perbankan syariah. Hal ini ditunjukkan oleh masyarakat yang lebih banyak memilih bank konvensional dibandingkan bank syariah. 1.2 Perumusan Masalah Memperhatikan data yang ada mengenai pertumbuhan bank syariah, karakteristik bank syariah, dan potensi pembiayaan syariah untuk sektor pertanian, seyogianya LKS lebih menarik untuk diakses oleh petani. Akan tetapi pada kenyataan petani umumnya lebih tertarik mengakses lembaga keuangan non formal dan lembaga keuangan konvensional sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi usahataninya. Pangsa pembiayaan pertanian yang disalurkan oleh perbankan syariah pun relatif masih sangat kecil nilainya jika dibandingkan dengan pangsa pembiayaan pada sektor ekonomi lain dan masih jarang diakses oleh petani pada subsistem usahatani. Selain itu, LKS merupakan salah satu bentuk lembaga pembiayaan yang menyalurkan dananya untuk kegiatan ekonomi yang bergerak pada sektor riil, salah satunya yaitu sektor pertanian. Jika dilihat dari nilai pembiayaan yang dikeluarkan oleh bank syariah pada sektor pertanian mengalami peningkatan (periode Maret-November 2008), tetapi peningkatan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan pangsa pembiayaan syariah untuk pertanian (Tabel 2). Di Kecamatan Dramaga sektor pertanian merupakan sektor ekonomi yang potensial untuk dikembangkan dan sebagian besar penduduk di Kecamatan Dramaga memiliki mata pencaharian dalam bidang pertanian. Hal tersebut menunjukkan bahwa di Kecamatan Dramaga terdapat potensi permintaan
5
pembiayaan (kredit) termasuk terhadap LKS. Selain itu, di Kecamatan Dramaga juga telah beroperasi beberapa LKS diantaranya, Bank Syariah Mandiri, Bank Muammalat, Bank Syariah Amanah Ummah, Bank Syariah Bina Rahmah, KBMT Tadbiirul Ummah, dan BMT Aliya. Perkembangan LKS di Kecamatan Dramaga tersebut tidak diikuti dengan peningkatan pembiayaan ke sektor pertanian subsistem onfarm, dan yang dapat dijangkau oleh petani pada subsistem onfarm masih sangat sedikit. Padahal berdasarkan kondisi tersebut seyogianya LKS dapat memanfaatkan potensi penyaluran pembiayaan dan petani pun bisa menjangkau pembiayaan pada LKS tersebut. Namun keberadaan LKS di Kecamatan Dramaga belum menunjukkan kemampuan petani dalam menjangkau pembiayaan yang tersedia pada LKS. Berdasarkan uraian tersebut maka permasalahan dirumuskan dalam bentuk pertanyaan berikut: 1. Apa saja sumber-sumber pembiayaan yang selama ini dimanfaatkan petani subsistem onfarm di Kecamatan Dramaga? 2. Apakah LKS yang beroperasi di Kecamatan Dramaga diketahui oleh masyarakat pertanian subsistem onfarm? 3. Bagaimanakah persepsi masyarakat pertanian subsistem onfarm terhadap LKS? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan diatas, maka dapat dirumuskan tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis sumber-sumber pembiayaan yang selama ini dimanfaatkan petani subsistem onfarm di Kecamatan Dramaga. 2. Menganalisis sejauhmana pengetahuan masyarakat pertanian subsistem onfarm terhadap LKS. 3. Menganalisis persepsi masyarakat pertanian subsistem onfarm terhadap LKS. 1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan dari Penelitian ini adalah: 1. Bagi penulis, penelitian ini dapat memberikan wawasan dan ilmu pengetahuan terutama mengenai perkembangan sektor perbankan di Indonesia dan tingkat pengetahuan petani terhadap perbankan.
6
2. Bagi pembaca dan peneliti lain, dapat berguna sebagai informasi dan bahan rujukan untuk pengembangan penelitian selanjutnya. 3. Bagi pemerintah, industri bank syariah
dan pembuat keputusan pada
sektor pertanian, diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam merumuskan kebijakan dalam hal pembiayaan pertanian sehingga kebijakan yang disusun tepat sasaran.
7
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Kredit dan Pembiayaan Pada Bank Konvensional Bank konvensional adalah bank yang dalam operasionalnya menerapkan metode bunga yang sudah menjadi kebiasaan dan telah dipakai secara meluas dibandingkan metode bagi hasil. Jadi, bank konvensional adalah bank dalam artian Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998 yang menjalankan usahanya dengan metode bunga (Wibowo dan Widodo, 2005). Menurut Undang-Undang RI nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan yang dimaksud dengan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Sedangkan pengertian pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. 2.1.1 Analisis Kredit Dalam hal pemberian kredit, pihak perbankan akan mengadakan perjanjian terlebih dahulu dengan pihak peminjam, dimana sebelum perjanjian tersebut disepakati pihak peminjam mengajukan proposal terlebih dahulu kepada pihak perbankan untuk dianalisa latar belakang atau perusahaan, prospek usaha, dan jaminan yang diberikan pihak peminjam, sehingga dapat memberikan keyakinan kepada pihak bank bahwa proyek yang akan dibiayai dengan kredit bank cukup layak (feasible). Pemberian kredit yang tanpa melalui tahap analisis akan dapat menyebabkan kerugian bagi pihak perbankan karena dapat menimbulkan kredit macet. Analisis kredit ini dapat mencegah kemungkinan terjadinya kegagalan peminjam dalam memenuhi kewajiban untuk melunasi kredit yang diterimanya
8
(angsuran pokok) beserta bunga yang sudah disepakati dan sudah diperjanjikan bersama berdasarkan akad kredit yang dibuat. Terdapat beberapa cara dalam melakukan analisis kredit diantaranya, menganalisis kredit berdasarkan prinsip 5C+1 yang meliputi sebagai berikut (Dendawijaya, 2001) : 1) Character (C1) Analisis mengenai watak/karakter berkaitan dengan integritas calon debitur. Integritas ini sangat menentukan willingness to pay atau kemauan membayar kembali nasabah atas kredit yang telah dinikmatinya. Biasanya untuk mengetahui karakter calon debitur perbankan memperoleh informasi melalui korespondensi antarbank yang dikenal dengan bank information. 2) Capital (C2) Pembiayaan suatu proyek yang akan dijalankan debitur tidak seluruhnya berasal dari bank, tetapi dibiayai bersama antara bank dan debitur. Oleh karena itu, pihak debitur wajib memiliki sejumlah dana guna dapat berpartisipasi
dalam
pembiayaan
proyeknya.
Penilaian
terhadap
permodalan sangat erat kaitannya dengan nilai modal yang dimiliki calon nasabah guna membiayai proyek yang akan dijalankan. 3) Capacity (C3) Capacity adalah penilaian terhadap nasabah kredit dalam hal kemampuan memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian pinjaman atau akad kredit, yakni melunasi pokok pinjaman disertai bunga sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat yang diperjanjikan. 4) Conditions of Economy (C4) Faktor-faktor bisnis yang berada dilingkungan sekitar lokasi proyek akan memberikan pengaruh yang kuat terhadap corak bisnis atau proyek yang akan dibangun. Dalam rangka proyeksi pemberian kredit, kondisi perekonomian harus pula ikut dianalisis. 5) Collateral (C5) Collateral atau agunan kredit merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum permohonan kredit disetujui. Collateral pada umumnya berupa barang-barang yang diserahkan peminjam kepada
9
bank sebagai jaminan atas kredit atau peminjam yang diterimanya. Dengan demikian, collateral atau jaminan berfungsi sebagai: a. Bagian dari pelaksanaan prinsip kehati-hatian b. Cara yang dilakukan bank untuk
mengantisipasi kemungkinan
terjadinya kegagalan usaha atau proyek yang dibiayainya c. Cara untuk mendorong nasabah agar bersungguh-sungguh dalam melaksanakan proyeknya d. Pengganti pembayaran apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada bank 6) Constraints (C6) Constrainsts merupakan faktor hambatan atau rintangan berupa faktorfaktor sosial psikologis yang ada pada suatu daerah yang menyebabkan suatu proyek tidak dapat dilaksanakan. Analisis kredit dengan metode lain yang diyakini perbankan lebih teliti, tepat dan akurat
adalah metode 6A, sebagai berikut: analisis aspek yuridis,
analisis aspek pasar dan pemasaran, analisis aspek teknis, analisis aspek manajemen, analisis aspek keuangan dan, analisis aspek ekonomi. 2.1.2 Unsur-Unsur Kredit Ada beberapa unsur yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas kredit : 1) Kepercayaan Dimana pihak perbankan memiliki kepercayaan terhadap pihak peminjam, kepercayaan ini dapat diperoleh pihak bank bila telah melakukan analisis pada saat mengajukan proposal, sesuai dengan prosedur terhadap pihak peminjam. 2) Kesepakatan Pada saat proposal pengajuan kredit telah disetujui oleh pihak bank yang bersangkutan maka selanjutnya dilakukan kontrak kesepakatan dan ditandatangani oleh pihak bank dan pihak peminjam. 3) Jangka waktu Setiap kredit yang diajukan pasti terdapat jangka waktu tertentu, hal ini akan disesuaikan dengan jangka waktu yang telah disepakati pada saat
10
kontrak kesepakatan. Jangka waktu dapat berbentuk jangka pendek, jangka menengah ataupun jangka panjang. 4) Resiko Semakin panjang waktu pinjaman maka akan membuat pengembalian pokok dan bunganya jauh lebih besar dibandingkan dengan bila kita memilih jangka pendek karena hal ini akan berkaitan dengan resiko tidak tertagihnya kredit. Sebab sejauh ini yang menanggung resiko adalah pihak bank. 5) Balas jasa Balas jasa didalam bank umum adalah berupa bunga dan biaya administrasi. Hal ini merupakan keuntungan yang dapat diperoleh oleh pihak bank. 2.1.3 Jenis-Jenis Kredit Ada beberapa macam kredit yang diberikan oleh bank umum dan bank perkreditan rakyat untuk masyarakat, terdiri dari beberapa jenis : 1) Dilihat dari jenis kegunaannya a. Kredit investasi Kredit ini diberikan kepada perusahaan yang baru akan berdiri untuk keperluan membangun pabrik baru. b. Kredit modal kerja Kredit ini diberikan kepada perusahaan yang telah berdiri, namun membutuhkan
dana
untuk
meningkatkan
produksi
dalam
operasionalnya. Misalnya dalam hal membayar gaji pegawai atau untuk membeli bahan baku. 2) Dilihat dari segi sektor usaha a. Kredit pertanian, diberikan untuk membiayai sektor perkebunan atau pertanian rakyat. b. Kredit peternakan, diberikan untuk jangka pendek misalnya untuk peternakan ayam dan jangka panjang misalnya untuk kambing ataupun sapi c. Kredit industri, diberikan untuk membiayai industri kecil, menengah atau besar.
11
d. Kredit perumahan, diberikan untuk membiayai pembangunan atau pembelian rumah. 2.1.4 Jaminan Kredit Dalam melakukan peminjaman, pihak peminjam dapat memberikan jaminan atau tanpa jaminan. Namun di Indonesia pihak bank selama ini masih memberikan pinjaman dengan jaminan sedangkan untuk pinjaman tanpa jaminan belum lazim diterapkan di Indonesia. Adapun jaminan yang dapat dijadikan jaminan kredit oleh bank yang akan memberikan pinjaman adalah sebagai berikut : 1) Dengan jaminan a. Jaminan benda berwujud yaitu barang-barang yang dapat dijadikan jaminan seperti : tanah, bangunan, kendaraan bermotor, mesin-mesin, barang dagangan, tanaman b. Jaminan benda tidak berwujud yaitu benda yang merupakan suratsurat yang dijadikan jaminan seperti : sertifikat saham, sertifikat obligasi, sertifikat deposito, wesel c. Jaminan Orang Orang atau lembaga yang memberikan jaminan kepada seseorang yang akan melakukan pinjaman. Dimana orang atau lembaga yang memberikan jaminan memiliki nama baik atau perusahaan yang bonafit, sehingga bank menjadi percaya untuk memberikan pinjaman kepada orang yang diberi jaminan tersebut. 2) Tanpa Jaminan Kredit yang diberikan kepada perusahaan yang telah loyal kepada bank yang akan mengeluarkan pinjaman selain itu perusahaan tersebut adalah perusahaan yang bonafit.
12
2.1.5 Sumber-sumber kredit Hasil Penelitian Supriatna (2003), menyebutkan keberadaan sumber kredit sangat penting dalam pengembangan produksi usahatani terutama untuk petani berlahan sempit dan petani tidak berlahan (petani gurem). Kredit tersebut digunakan baik untuk tujuan produksi, kegiatan ekonomi lainnya dan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. Sumber-sumber kredit berdasarkan organisasinya dapat dikelompokan ke dalam tiga bagian, yaitu: (a) lembaga kredit informal terdiri atas bank keliling, pedagang hasil pertanian, pelepas uang, pedagang sarana produksi; (b) lembaga kredit formal terdiri atas Koperasi Unit Desa (KUD), Bank Perkreditan Rakyat (BPR), BRI Unit Desa dan lembaga pegadaian; dan (c) kredit program pemerintah terdiri atas Usaha Pelayanan Kredit Desa (UPKD) dana APBD dan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) dana APBN. 2.1.6 Penerapan Metode Bunga pada Bank Konvensional Menurut Wibowo dan Widodo (2005), bank konvensional dapat memperoleh dana dari pihak luar, misalnya dari nasabah yang berupa rekening giro, deposit on call, sertifikat deposito, dana transfer, saham dan obligasi. Sumber ini merupakan pendapatan bank paling besar. Pada saat bank konvensional menerima dana dari sumber-sumber pendapatannya, bank juga harus menempatkan dana tersebut ke bentuk kredit untuk memperoleh pendapatan bunga. Hampir 70 persen usaha bank berupa kredit sehingga sumber pendapatan utama bank berasal dari penyaluran kredit dalam bentuk bunga. Karakteristik dari metode bunga yang membedakannya dengan pendapatan melalui cara lain adalah sebagai berikut: 1) Jumlah pengembalian (pinjaman pokok + bunga) telah ditetapkan sebelumnya (a predetermined of return). Jumlah ini tidak dikaitkan dengan produktivitas debitur yang aktual dan nyata. 2) Suku bunga telah ditetapkan sebelumnya (a predetermined rate of interest) dan disamakan bagi semua nasabah. 3) Penarikan predetermined rate of return secara hukum tetap dilakukan, meskipun debitur menderita kebangkrutan. Perhitungan bunga kredit dapat menggunakan beberapa metode berikut: 1) Sliding Rate 13
Pembebanan bunga terhadap nilai pokok utang akan semakin menurun dari bulan ke bulan (periode) sesuai dengan menurunnya jumlah nilai pokok pinjaman sebagai akibat dari pembayaran cicilan pokok pinjaman tersebut. 2) Flat Rate Pembebanan bunga terhadap nilai pokok pinjaman akan tetap dari bulan ke bulan (periode), meskipun telah diangsur terhadap nilai pokok pinjaman tersebut. 3) Floating Rate (bunga mengambang) Pembebanan bunga terhadap nilai pokok pinjaman yang ditentukan secara mengambang sesuai dengan perkembangan tingkat suku bunga di pasar (money market rate). Pasar yang sering dijadikan standar menurut Wibowo dan Widodo (2001), adalah SIBOR (Singapore Interbank Offered Rate) atau LIBOR (London Interbank Offered Rate). 4) Discounted Rate Bunga dijadikan sebagai nilai pengurang dari pokok harga. Hal ini diterapkan pada sertifikat deposito atau repurchase agreement. 2.2 Karakteristik Kredit dan Pembiayaan Pada Bank Syariah Ascarya (2007), mendefinisikan bank syariah sebagai lembaga keuangan yang berfungsi memperlancar mekanisme ekonomi di sektor riil melalui aktivitas usaha (investasi, jual beli, atau lainnya) berdasarkan prinsip syariah, yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan nilai-nilai syariah yang bersifat makro maupun mikro. Menurut Boesono dan Hudiono (2007) paling tidak, ada tiga prinsip dalam operasional bank syariah yang berbeda dengan bank konvensional, terutama dalam pelayanan terhadap nasabah, yang harus dijaga oleh para bankir, yaitu: (1) prinsip keadilan, yakni imbalan atas dasar bagi hasil dan margin keuntungan ditetapkan atas kesepakatan bersama antara bank dan nasabah, (2) prinsip kesetaraan, yakni nasabah penyimpan dana, pengguna dana dan bank memiliki hak, kewajiban, beban terhadap resiko dan keuntungan yang berimbang, dan (3)
14
prinsip ketenteraman, bahwa produk bank syariah mengikuti prinsip dan kaidah muamalah Islam (bebas riba dan menerapkan zakat harta). 2.2.1 Konsep Dasar Bank Syariah Menurut Tanjung dan Perwataatmadja (2007), bank syariah dirancang untuk terbinanya kebersamaan dalam menanggung resiko usaha dan berbagi hasil usaha antara: pemilik dana (shahibul mal) yang menyimpan uangnya di bank dengan bank selaku pengelola dana (mudharib), dan disisi lain bank selaku pemilik dana dengan masyarakat yang membutuhkan dana, baik yang berstatus pemakai dana maupun pengelola usaha (mudharib). Pada sisi pengerahan dana masyarakat (funding), shahibul mal berhak atas bagi hasil dari usaha bank sesuai dengan porsi yang telah disepakati bersama. Bagi hasil yang diterima shahibul mal akan naik turun secara wajar sesuai dengan keberhasilan usaha bank dalam mengelola dana yang dipercayakan kepadanya. Tidak ada biaya yang perlu digeserkan, karena bagi hasil bukan konsep biaya. 2.2.2 Konsep Operasi Bank Syariah Bank syariah merupakan lembaga keuangan yang berfungsi memperlancar mekanisme ekonomi di sektor riil melalui aktivitas investasi atau jual beli, serta memberikan pelayanan jasa simpanan/perbankan bagi para nasabah. Mekanisme kerja bank syariah adalah sebagai berikut: Bank syariah melakukan kegiatan pengumpulan dana dari nasabah melalui deposito/investasi maupun titipan giro dan tabungan. Dana yang terkumpul kemudian diinvestasikan pada dunia usaha melalui investasi sendiri (nonbagi hasil/trade financing) dan investasi dengan pihak lain (bagi hasil/investment financing). Ketika ada hasil, maka bagian keuntungan untuk bank dibagi kembali antara bank dan nasabah pendanaan. Disamping itu, bank syariah dapat memberikan berbagai jasa perbankan kepada nasabahnya (Ascarya, 2007). Menurut Tanjung dan Perwataatmadja (2007),
dalam mengelola dana
nasabah bank syariah memiliki empat jenis pendapatan yaitu: pendapatan bagi hasil, margin keuntungan, imbalan jasa pelayanan, sewa tempat penyimpanan harta, dan pengembalian biaya administrasi. Pada pendapatan bagi hasil, besar kecilnya pendapatan tergantung pada pilihan yang tepat dari jenis usaha yang dibiayai. Memberikan porsi bagi hasil yang lebih besar kepada mudharib akan
15
memotivasi mudharib untuk lebih giat berusaha. Lain halnya pada pendapatan margin keuntungan, pilihan terletak pada apakah ingin sekaligus untung besar per transaksi tetapi menjadi mahal dan tidak laku, atau keuntungan kecil tetapi dengan volume yang besar karena murah dan laku. Pendapatan bank dapat dioptimalkan dengan
mengambil
kebijakan
keuntungan
kecil
per
transaksi
untuk
memperbanyak jumlah transaksi yang dibiayai. Pada penyaluran dana pada masyarakat, sebagian besar pembiayaan bank disalurkan dalam bentuk barang/jasa yang dibelikan bank untuk nasabahnya. Dengan demikian, pembiayaan hanya diberikan apabila barang/jasanya telah ada terlebih dahulu, baru ada uang. Dengan metode tersebut maka masyarakat dipacu untuk memproduksi barang/jasa selanjutnya barang yang dibeli/diadakan menjadi jaminan utang (collateral). 2.2.3 Jenis-jenis Pembiayaan Utama pada Bank Syariah Sebagai sektor bisnis riil yang berpotensi untung maupun rugi, sektor pertanian sangat relevan untuk mendapatkan modal dari lembaga pembiayaan perbankan syariah. Prinsip perbankan syariah didasarkan atas prinsip syirkah (kemitraan usaha) dengan menerapkan sistem profit-loss sharing dalam operasionalnya. Menurut Wibowo dan Widodo (2005), ada tujuh jenis pembiayaan utama pada bank dengan sistem bagi hasil, yaitu: 1) Pembiayaan Musyarakah, yaitu pembiayaan sebagian kebutuhan modal pada suatu usaha untuk jangka waktu terbatas sesuai dengan kesepakatan. Hasil usaha bersih dibagi antara bank sebagai penyandang dana (shahibul mal) dengan pengelola usaha (mudharib) sesuai kesepakatan. Umumnya, porsi bagi hasil ditetapkan sesuai dengan persentase kontribusi masingmasing. Pada akhir jangka waktu pembiayaan, dana pembiayaan dikembalikan kepada bank. Pada pembiayaan musyarakah bank boleh ikut serta dalam manajemen proyek yang dibiayai. 2) Pembiayaan Mudharabah, yaitu pembiayaan seluruh kebutuhan modal pada suatu usaha untuk jangka waktu terbatas sesuai kesepakatan. Hasil usaha bersih dibagi antara bank penyandang dana (shahibul mal) dengan pengelola usaha (mudharib) sesuai kesepakatan. Umumnya, porsi bagi
16
hasil ditetapkan bagi mudharib lebih besar daripada shahibul mal. Pada akhir jangka waktu pembiayaan, dana pembiayaan dikembalikan kepada bank. Pada pembiayaan mudharabah bank tidak boleh ikut serta dalam manajemen proyek yang dibiayai. Biasanya pembiayaan dengan akad ini diberikan untuk pembiayaan aneka barang seperti pembelian sepeda motor. 3) Pembiayaan Murabahah, yaitu pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu barang/jasa dengan kewajiban mengembalikan talangan dana tersebut seluruhnya pada waktu jatuh tempo. Bank memperoleh margin dari transaksi jual-beli antara bank dengan pemasok dan antara bank dengan nasabah. Model pengembalian talangan dana seluruhnya pada waktu jatuh tempo biasanya diberikan kepada objek pembiayaan yang tidak segera menghasilkan, seperti misalnya untuk kebutuhan traktor petani tidak mungkin dibayar kembali sebelum tanamannya menghasilkan. 4) Pembiayaan Bai’u Bithaman Ajil, yaitu pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu barang/jasa dengan kewajiban mengembalikan talangan dana tersebut secara menyicil sampai lunas dalam jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Bank memperoleh margin keuntungan dari transaksi jual-beli antara bank dengan pemasok dan antara bank dengan nasabah. Model pengembalian talangan dana secara menyicil biasanya diberikan kepada objek pembiayaan yang dapat segera menghasilkan seperti misalnya untuk kebutuhan kendaraan angkutan umum yang segera dapat menghasilkan setelah kendaraan diterima. 5) Pembiayaan Bai assalam, yaitu pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu barang/jasa yang sudah wujud tetapi masih harus menunggu waktu penyerahannya, dengan kewajiban mengembalikan talangan dana tersebut secara menyicil atau dibayar sekaligus sampai lunas dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan. Bank memperoleh marjin keuntungan dari transaksi jual beli antara bank dengan pemasok dan antara bank dengan nasabah
17
6) Pembiayaan Istishna, yaitu pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu barang/jasa yang belum wujud dan harus dibuat sesuai spesifikasi yang telah ditetapkan dengan kewajiban mengembalikan talangan dana tersebut secara menyicil atau dibayar sekaligus sampai lunas dalam jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Bank memperoleh margin keuntungan dari transaksi jual beli antara bank dengan pemasok dan antara bank dengan nasabah. 7) Pembiayaan Ijarah, yaitu pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk memiliki suatu barang/jasa dengan kewajiban menyewa barang tersebut sampai jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Pada akhir jangka waktu tersebut, pemilikan barang dihibahkan kepada nasabah atau dibeli oleh nasabah. Bank memperoleh margin keuntungan melalui pembelian dari pemasok dan sewa dari nasabah. 8) Pembiayaan ar-Rhan, yaitu pembiayaan berupa pinjaman dana tunai dengan jaminan barang bergerak yang relatif nilainya tetap seperti perhiasan emas, perak, intan, berlian, dan batu mulia, untuk jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Nasabah diwajibkan membayar utangnya pada saat jatuh tempo dan membayar sewa tempat penyimpanan barang jaminannya.
Bank
memperoleh
pendapatan
berupa
sewa
tempat
penyimpanan barang jaminan. 9) Pembiayaan Qardhul Hassan, yaitu pembiayaan berupa pinjaman tanpa dibebani biaya apapun bagi kaum dhuafa yang merupakan asnaf zakat/infak/shadaqah dan ingin memulai usaha kecil-kecilan. Nasabah hanya diwajibkan mengembalikan pinjaman pokoknya saja pada waktu jatuh tempo sesuai dengan kesepakatan dengan membayar biaya-biaya administrasi yang diperlukan. Nasabah yang berhasil dianjurkan membayar zakat/infaq/shadaqah untuk memperkuat dana qardhul hasan. Bank memperoleh pengembalian biaya administrasi dan menampung zakat dari nasabah yang berhasil usahanya. Dari jenis-jenis pembiayaan diatas, setidaknya ada empat jenis produk pembiayaan syariah yang dipandang ideal untuk sektor pertanian yaitu
18
mudharabah, murabahah, bai assalam dan musyarakah. Produk mudharabah dan murabahah lebih preferable sebagai pilihan utama dibandingkan produk pembiayaan lainnya. Namun yang secara konsep sangat cocok untuk sektor pertanian adalah pembiayaan bai assalam. 2.2.4 Aplikasi Metode Bagi Hasil Wibowo dan Widodo (2005), dalam konsep ekonomi syariah uang dipandang sebagai flow concept. Uang harus berputar dalam perekonomian dan tidak mengenal metode time value of money karena metode ini menambahkan nilai kepada uang semata-mata dengan bertambahnya waktu dan bukan usaha. Konsep ekonomi syariah justru mengenal money value of money, yaitu waktu memiliki nilai ekonomi dan manajemen moneter yang efisien dan adil tidak didasarkan pada penerapan metode bunga. Pada bank syariah, kepentingan nasabah penyimpan dana, bank, dan debitur, dapat diharmonisasikan karena dengan metode bagi hasil, kepentingan pihak ketiga tersebut paralel, yaitu memperoleh imbalan bagi hasil sesuai dengan keadaan yang benar-benar terjadi. Untuk itu manajemen bank akan berusaha mengoptimalkan keuntungan pemakai dana. 2.3 Perbandingan antara Bank Syariah dengan Bank Konvensional 2.3.1 Persamaan Bank Syariah dan Konvensional Wibowo dan Widodo (2005) menyebutkan, persamaan antara bank syariah dengan bank konvensional terletak pada salah satu tujuannya dalam mencari keuntungan dan pelayanan masyarakat dalam lalulintas uang. Persamaan lainnya adalah dalam persaingan antarbank. Tanpa memandang bank syariah atau bank konvensional, masyarakat cenderung memilih bank dengan pelayanan yang paling baik. Pada akhirnya, bank yang terbaik dalam memberikan layanan yang akan memenangkan persaingan. Apalagi kalau melihat kondisi pasar perbankan di Indonesia, bahwa 80 persen nasabah penyimpan dana diperebutkan oleh 15 ribu bank-bank besar, sedangkan 20 persen pasar nasabah penyimpan dana diperebutkan oleh lebih banyak lagi bank-bank kecil.
19
2.3.2 Perbedaan Bank Syariah dan Konvensional Perbedaan antara sistem pembiayaan syariah dan konvensional terletak pada landasan operasional, peran dan fungsi bank, distribusi risiko usaha dan sistem pengawasan seperti dinyatakan pada Tabel 3. Tabel 3. Perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional No
Uraian
1
Landasan operasional
Bank Konvensional • • •
2
Peran dan Fungsi Bank
•
• •
3
Resiko usaha
• •
4
Sistem pengawasan
•
Bank Syariah
Prinsip materialisme Komoditi yang diperdagangkan Instrumen imbalan terhadap pemilik uang ditetapkan di muka menggunakan bunga
• •
Sebagai penghimpun dana masyarakat dan meminjamkan kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit dengan imbalan bunga Sebagai penyedia jasa pembayaran Menerapkan hubungan debitur kreditur antara bank dengan nasabah
•
Resiko bank tidak ada kaitannya dengan resiko debitur atau sebaliknya. Antara pendapatan bunga dengan beban bunga dimungkinkan terjadi selisih negatif Tidak adanya nilai-nilai religius yang mendasari operasional sehingga aspek moralitas seringkali dilanggar
•
• •
• •
• •
•
Prinsip syariah Uang hanya sebagai alat tukar Dilarang menggunakan sistem bunga Memakai cara bagi hasil dari keuntungan jasa atau transaksi riil Sebagai penerima dana titipan nasabah Sebagai manajer investasi Sebagai penyedia jasa pembayaran selama tidak bertentangan dengan syariah Sebagai pengelola dana kebajikan Menerapkan hubungan kemitraan Dihadapi bersama antara bank dan nasabah Tidak mengenal negatif spread (selisih negatif)
Ada dewan Pengawas Syariah, sehingga operasional bank syariah tidak menyimpang dari syariah.
Sumber: Hosen (2006) Perbedaan paling mendasar terletak pada distribusi resiko usaha. Pada sistem pembiayaan konvensional (berbasis bunga), balas jasa modal ditentukan berdasarkan persentase tertentu dan risiko sepenuhnya ditanggung oleh salah satu pihak. Untuk hal nasabah sebagai deposan, risiko sepenuhnya berada pada pihak bank dan sebaliknya apabila nasabah sebagai peminjam, risiko sepenuhnya berada di tangan peminjam. Sementara pada sistem syariah ditetapkan sistem bagi hasil
20
dimana jasa dan modal diperhitungkan berdasarkan keuntungan dan kerugian yang diperoleh yang didasarkan pada akad. Prinsip utama dari akad ini adalah keadilan antara pemberi modal dan pemakai modal. Prinsip ini berlaku baik bagi debitur maupun kreditur. 2.3.3 Sistem Bagi Hasil vs Sistem Bunga Di dalam sistem perbankan konvensional banyak unsur-unsur yang bertentangan dengan ajaran Islam, unsur yang paling sering diperbincangkan adalah penerapan sistem bunga kepada para nasabahnya, baik yang menabung maupun yang meminjam uang. Bunga bank dari transaksi dalam hukum Islam adalah haram, karena termasuk dalam kategori riba, dalam sistem bunga terdapat pihak yang menderita kerugian, namun di pihak lain mendapat keuntungan atas kerugian tersebut. Sebagai alternatif sistem bunga dalam ekonomi konvensional, ekonomi Islam menawarkan sistem bagi hasil (profit and loss sharing), ketika pemilik modal (surplus spending unit) bekerja sama dengan pengusaha (deficit spending unit) untuk melakukan kegiatan usaha. Apabila kegiatan usaha menguntungkan, keuntungan dibagi berdua, dan apabila kegiatan usaha menderita kerugian, kerugian ditanggung bersama. Sistem bagi hasil menjamin adanya keadilan dan tidak ada pihak yang tereksploitasi. Sistem bagi hasil dapat berbentuk musyarakah atau mudharabah dengan berbagai variasinya. Pada perekonomian konvensional, sistem riba, flat money, comodity money, fractional reserve system dalam perbankan, dan pembolehan spekulasi menyebabkan penciptaan uang (kartal dan giral) dan tersedotnya uang di sektor moneter untuk mencari keuntungan tanpa resiko. Akibatnya, uang atau investasi yang seharusnya tersalur ke sektor riil untuk tujuan produktif sebagian besar lari ke sektor moneter dan menghambat pertumbuhan bahkan menyusutkan sektor riil dan penciptaan uang tanpa nilai tambah akan menimbulkan inflasi. Pada akhirnya pertumbuhan ekonomi yang menjadi tujuan akan terhambat. Untuk melihat perbedaan antara sistem bunga dan bagi hasil dapat dilihat pada Tabel 4.
21
Tabel 4. Perbedaan Antara Sistem Bunga dan Bagi Hasil Bunga
Bagi hasil
1.
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi usaha akan selalu menghasilkan keuntungan. 2. Besarnya persentase didasarkan pada jumlah dana/modal yang dipinjamkan 3. Bunga dapat mengambang/variabel, dan besarnya naik turun sesuai dengan naik turunnya bunga patokan atau kondisi ekonomi 4. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah usaha yang dijalankan peminjam untung atau rugi. 5. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun keuntungan naik berlipat ganda. 6. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama Sumber: Ascarya (2007)
1.
2. 3. 4.
5. 6.
Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil disepakati pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi. Besarnya rasio bagi hasil didasarkan pad jumlah keuntungan yang diperoleh. Rasio bagi hasil tetap tidak berubah selama akad masih berlaku, kecuali diubah atas kesepakatan bersama. Bagi hasil bergantung pada keuntungan usaha yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh pihak bank dan debitur. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan keuntungan Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
Menurut Wibowo dan Widodo (2005), perbedaan bagi hasil dengan metode bunga dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Upaya preventif menghadapi kredit bermasalah a. Pada metode bagi hasil, saat nasabah mengalami kerugian, hal ini merupakan indikasi bahwa nasabah mengalami inefesiensi usaha sehingga bank dapat menyarankan dengan segera upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi melalui restrukturisasi biaya. b. Pada metode bunga,
Pada saat debitor mengalami kerugian, bank
kurang transfaran untuk melihat indikasi inefisiensi usaha karena kenaikan biaya dapat bersumber dari naiknya biaya bunga atau biaya lainnya. Bank baru mengetahui masalah yang dihadapi oleh debitur saat debitur telah terlambat menunggak pembayaran. Bila debitur gagal panen/usaha, maka akan timbul pembiayaan bermasalah yang dapat berakhir dengan penyitaan 2) Moral hazard a.
Pada metode bagi hasil, Bank dapat langsung mengetahui masalah yang dihadapi oleh mudharib dalam pemasaran (omset penjualan maupun gejolak harga penjualan). Bila nasabah mengalami kegagalan
22
usaha/panen, maka akan dibayar pada masa panen berikutnya sampai lunas. b.
Pada metode bunga, debitur tidak ada motivasi untuk berbohong karena beban bunganya tetap sama apakah ia berbohong atau tidak. Bank hanya memberikan sanksi bagi yang menunggak tanpa memberikan insentif setiap kali pembayaran angsuran
3) Resiko kerugian usaha a. Metode bagi hasil, sejak awal yaitu pada saat realisasi pendapatan lebih kecil dari proyeksinya, penanganan masalah nasabah yaitu tidak tercapainya
proyeksi
pendapatan
cenderung
sebagai
tindakan
mempertahankan imbalan bagi hasil bank, dan menyelamatkan aset bank serta sekaligus menjaga kelangsungan usaha nasabah b. Metode bunga, seluruh kerugaian adalah tanggungjawab debitur. Bank cenderung pasif mengantisipasi sejak awal kemungkinan terjadinya kerugian nasabah. Bank baru aktif melakukan remedial setelah timbul masalah. Resiko kerugian bank diperkecil dengan usaha remedial. Penanganan
kredit
bermasalah
cenderung
sebagai
tindakan
penyelamatan aset. Remedial bank cenderung sulit mendapatkan kerjasama dari debitur untuk menyelesaikan utangnya. 2.4 Kajian- Kajian Empirik 2.4.1 Sumber-Sumber Kredit di Tingkat Petani Hasil Penelitian Supriatna (2003) mengenai aksesibilitas petani kecil pada sumber kredit pertanian di tingkat desa: studi kasus petani padi di NTB, melihat fakta bahwa kredit sudah menjadi bagian hidup dan ekonomi usahatani petani kecil, bila kredit tidak tersedia tingkat produksi dan pendapatan usahatani akan turun drastis. Dalam memenuhi pembiayaan usahatani, di samping menggunakan modal sendiri petani juga melakukan pinjaman kredit. Lembaga pendanaan yang paling banyak diakses petani berturut-turut adalah pedagang saprotan, penggilingan padi, UPKD, KKP, pelepas uang dan pegadaian. Lembaga-Lembaga Kredit Formal seperti BRI Unit Desa dan BPR sebenarnya menyediakan kredit dengan suku bunga rendah, tetapi petani kecil masih kurang akses dikarenakan tidak memiliki agunan sertifikat tanah, cara pembayaran bulanan tidak sesuai dengan tipe usahatani padi yang memberikan 23
penerimaan musiman dan para petani pada umumnya belum paham dengan prosedur administrasi yang rumit. Sesuai dengan karakteristik petani dan usahatani padi, petani kecil mengharapkan kredit dengan agunan bukan sertifikat tanah tetapi bentuk barang bergerak, kredit diberikan dalam bentuk uang, periode kredit musiman, cara pengembalian kredit satu kali setelah panen dan tingkat suku bunga kredit 18 persen per tahun. Akibatnya lembaga kredit formal hanya diakses oleh kelompok masyarakat ekonomi menengah ke atas seperti petani kaya, pemilik penggilingn padi, pedagang hasil, pedagang saprotan dan lainnya. Sebaliknya petani kecil terpaksa hanya akses ke lembaga kredit informal yang menetapkan suku bunga kredit tinggi. Dari hasil kajian Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2007), mengenai potensi pembiayaan syariah untuk sektor pertanian padi dan palawija di Jawa Barat diketahui bahwa pengetahuan petani terhadap perbankan syariah masih terbatas, dimana hanya 32 persen yang pernah mendengar tentang bank syariah. Dalam hal pengetahuan bahwa bank syariah sesungguhnya juga menyediakan pembiayaan untuk usaha pertanian, hanya 10 persen yang mengetahui. Namun ada hubungan yang positip antara skala usaha maupun keaktifan dalam berorganisasi terhadap aksesibilitas terhadap lembaga perbankan. Umumnya pelaku usaha yang telah menjadi nasabah perbankan adalah pengusaha maju ataupun mereka yang aktif dalam organisasi petani. Dalam hal sistem dan prosedur pembiayaan perbankan syariah yang lebih disukai, 90 persen responden menginginkan jika produk pembiayaan yang mereka terima didasarkan atas perhitungan bagi hasil, maka mereka lebih menyukai pembagian dihitung dari hasil bersih, bukan dari hasil kotor. Selain itu, responden juga lebih menyenangi jika menerima pembiayaan dalam bentuk uang tunai, bukan berupa fisik, diterima sekaligus, dan pembiayaan diperhitungkan hanya per musim tanam, tidak setahun sekaligus. Pelaku usaha pertanian yang telah dapat mengakses perbankan umumnya dicirikan dengan (1) skala usaha cukup besar baik dalam omset maupun luas lahan, (2) aktif dalam organisasi petani sehingga bisa membangun networking,
24
dan (3) telah memiliki sertifikat/BPKB sebagai agunan; serta memiliki tingkat pendidikan dan keluasan wawasan. 2.4.2 Persepsi Terhadap Bank Syariah Menurut Ratnawati dkk. (2000) dalam penelitiannya mengenai Potensi, Preferensi dan Perilaku Masyarakat di Wilayah Jawa Barat terhadap Bank Syariah menyatakan bahwa mayoritas responden setuju dengan keberadaan perbankan dalam perekonomian dengan alasan perbankan merupakan salah satu institusi yang sangat penting dalam mendorong kinerja perekonomian. Tanpa kehadiran bank, ekonomi tidak dapat berkembang. Kesan yang berkembang dalam masyarakat terhadap bank syariah adalah (1) bank syariah merupakan bank dengan sistem bagi hasil (2) bank syariah adalah bank islami, (3) bank syariah adalah bank khusus orang Islam, Sedangkan (4) Responden lain mengatakan tidak memiliki pengetahuan tentang operasional bank syariah. Kelompok responden yang dapat menerima sistem bunga diterapkan pada perbankan adalah 58 persen untuk responden selain nasabah bank syariah. Alasan yang dikemukakan adalah (1) bunga digunakan untuk merangsang masyarakat dalam menyimpan uang di bank, (2) dalam ukuran yang wajar bunga diperbolehkan, (3) bunga sebagai balas jasa atas modal, (4) terpaksa karena tidak ada alternatif lainnya. Adapun persentase masyarakat yang tidak setuju dengan sistem bunga dalam perbankan cukup signifikan 42 persen untuk kategori nasabah bank syariah dan 45 persen untuk total responden). Alasan yang dominan dari kelompok masyarakat yang menolak sistem bunga adalah (1) bunga bank merupakan riba, (2) bunga bank memberatkan nasabah, (3) ada keragu-raguan terhadap sistem bunga dalam hukum agama yaitu antara halal dan haram (subhat). Adapun persepsi masyarakat terhadap penerapan sistem bagi hasil sebanyak 92 persen untuk kelompok nasabah bank syariah dan 94 persen dari total responden dapat menerima sistem bagi hasil dengan alasan: (1) karena sistem bagi hasil lebih sesuai dengan syariah agama yang dianut (2) sistem bagi hasil lebih adil dan menguntungkan. Untuk kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan bagi hasil disebabkan karena kurang mengerti terhadap operasionalnya, dirasa kurang menguntungkan, belum ada bukti dan sulit dalam perhitungannya.
25
Karim business consulting dan Promp (2004) dalam Zaenudin 2006, dalam penelitiannya Menumbuh kembangkan Lembaga keuangan syariah (LKS) sebagai basis pembangunan ekonomi ummat. Dari hasil riset yang dilakukan menunjukan bahwa persepsi atau pemahaman sebagian masyarakat masih keliru tentang bank syariah, antara lain: 1) Pengetahuan masyarakat tentang bank syariah hanyalah bank tanpa bunga, disamping itu mereka tidak tahu tentang mekanisme bagi hasil. Sehingga responden beranggapan bila menabung di bank syariah tidak memperoleh apa-apa, sebab selama ini mereka memperoleh bunga bila menabung di bank konvensional. 2) Persepsi masyarakat bahwa bagi hasil nilainya lebih kecil dibanding bunga. Oleh karena itu mereka lebih memilih menabung di bank konvensional yang dapat memberikan return yang lebih besar dalam bentuk bunga. 3) Bank syariah baru akan digunakan oleh masyarakat hanya untuk hal-hal yang berhubungan dengan akhirat dan tanpa mencari profit duniawi. 4) Dalam persepsi responden, produk yang paling tepat atau paling cocok untuk bank syariah adalah produk tabungan haji. Hal ini didasari oleh pemahaman bahwa ibadah haji adalah ibadah suci. Dan agar terjaga kesuciannya dan diridhai serta menjadi haji mabrur, maka uang yang digunakan untuk ibadah pun harus halal dan hal tersebut dapat dilakukan dengan menabung di bank syariah 5) Ada beberapa faktor yang membuat bank syariah kurang menarik atau kurang diminati oleh responden, diantaranya adalah mereka beranggapan bahwa bank syariah menawarkan keuntungan yang lebih rendah dibanding bank konvensional, selain itu mereka merasa cukup puas dengan menabung di bank konvensional. 2.4.3 Persamaan dan Perbedaan dengan Kajian-Kajian Empirik Sebelumnya Hasil Penelitian Supriatna (2003) mengenai aksesibilitas petani kecil pada sumber kredit pertanian di tingkat desa: studi kasus petani padi di NTB. Penelitian tersebut bersifat deskriptif diuraikan menurut hasil interprestasi data tabulasi. Adapun persamaan dari hasil-hasil kajian empirik tersebut dengan penelitian yang dilakukan ini yaitu menganalisis sumber-sumber kredit di tingkat petani, 26
menganalisis kemampuan petani dalam menjangkau LKS dan melihat persepsi masyarakat terhadap LKS. Perbedaan dengan kajian empirik sebelumnya pada umumnya terdapat pada lokasi, tujuan dan responden penelitian. Pada penelitian Supriatna (2003) penelitian dilakukan di Nusa Tenggara Barat dan responden yang diteliti adalah dikhususkan pada petani padi saja. Sedangkan dalam penelitian ini petani responden dibagi kedalam tiga subsektor (subsektor tanaman pangan, perikanan, dan peternakan). Tujuan dari penelitian tersebut adalah (a) mengidentifikasi sumber-sumber kredit petanian yang ada di tingkat petani, (b) mengidentifikasi sumber kredit yang diakses oleh petani dan (c) mengidentifikasi karakteristik skim kredit yang diharapkan oleh petani. Disamping itu hasil penelitian Supriatna (2003) lebih melihat aksesibilitas terhadap lembaga kredit formal dalam hal ini lembaga keuangan konvensional dan lembaga keuangan informal. Perbedaan dengan hasil penelitian Tim Kajian Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2007) terletak pada objek kajiannya, pada penelitian tersebut dilakukan pada petani padi dan palawija serta cakupan lokasi penelitian lebih luas yaitu di Jawa Barat. Perbedaan dari tujuan penelitian tersebut mengukur analisis kelayakan usahatani, pengetahuan dan persepsi tidak hanya diukur dari sisi petani saja tetapi juga diukur dari sisi perbankan syariah terhadap pelaku usahatani, pola pembiayaan, prospek dan kendala pembiayaan syariah di sektor pertanian, dan rumusan model pembiayaan syariah untuk sektor pertanian. Perbedaan dengan hasil penelitian Ratnawati dkk (2000), pada penelitian tersebut responden merupakan masyarakat umum baik yang pernah menjadi nasabah bank syariah maupun yang menjadi nasabah bank konvensional. Tujuan umum dari penelitian tersebut ingin menganalisis potensi pengembangan bank syariah pada wilayah penelitiannya dan preferensi dari pelaku ekonomi terhadap bank syariah.
27
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Aksesibilitas Kredit Pertanian Menurut Tampubolon (2002), selain modernisasi dibutuhkan untuk menciptakan keterkaitan yang sinergis dan menguntungkan petani kecil dari agribisnis hulu, agribisnis usahatani, dan agribisnis hilir, diperlukan pula upaya untuk memperlancar dan memperkuat keterkaitan melalui layanan subsistem pendukung dan kebijakan. Salah satu komponen yang sangat strategis dalam subsitem ini adalah pendanaan termasuk didalamnya pelayanan perbankan. Para Petani di negeri ini sebenarnya memiliki peluang yang amat luas untuk memanfaatkan dana dari luar untuk kemajuan usahanya di bidang pertanian untuk keperluan investasi dan modal kerja, baik dari sumber-sumber formal maupun informal , bahkan dari perorangan. Namun, amat memprihatinkan karena akses dari berbagai pelaku tersebut tidaklah sama atau bahkan akses pelaku agribisnis di usahatani yang sebagian besar adalah petani dan peternak kecil sangat terbatas. Rendahnya akses para pelaku usahatani terhadap kredit sebenarnya dapat dipahami. Hal itu antara lain disebabkan usaha yang kecil-kecil sehingga pinjaman mereka pun kecil-kecil. Lembaga Keuangan Formal sangat sulit melayani nasabah seperti ini ditinjau dari segi efisiensi. Selain itu usaha di sektor usahatani adalah usaha yang penuh dengan resiko, sehingga lembaga keuangan kurang tertarik pada sektor tersebut. Oleh sebab itu tanpa kredit program akses petani dan peternak dapat dikatakan sangat rendah. Untuk melindungi supaya tetap bertahan dalam bisnisnya, pihak lembaga keuangan, termasuk bank, menerapkan beberapa prinsip dan prosedur yang harus dipenuhi oleh peminjam. Diantara prinsip yang dikenal adalah 5-C. Dari hasil beberapa studi terungkap bahwa dari 5 faktor C + 1 dalam prinsip penyaluran kredit yang paling ditonjolkan adalah agunan (collateral). Tanpa disadari dalam derajat tertentu prinsip dan prosedur tersebut telah mengurangi akses petani terhadap pasar kredit atau uang. Padahal aksesibilitas harus diartikan sebagai daya
28
jangkau petani dalam mendapatkan kredit/pinjaman/pembiayaan baik dilihat daya jangkau berdasarkan jarak tempat tinggal maupun daya jangkau dalam arti yang lebih luas, yaitu kemudahan dalam mendapatkan dana dari sumber kredit tersebut. Taryoto dkk. (1992), masalah yang seringkali dihadapi oleh petani adalah terdapatnya keterbatasan akses pada sumberdaya, baik sumberdaya lahan maupun permodalan dalam mengelola usahataninya. Dalam kaitannya dengan pelaksana penyalur kredit dan pemanfaatan kredit, masalah mendasar yang dihadapi adalah sejauhmana aksesibilitas pemanfaat kredit dengan pelaksana penyalur kredit yang ada. Hal ini erat hubungannya dengan prasyarat tepat waktu dan tepat jumlah dalam proses penyaluran kredit yang bersangkutan. Telah menjadi suatu hal yang umum diketahui bahwa kebanyakan masalah perkreditan pertanian diwarnai oleh tidak dipenuhinya prasyarat tepat waktu dan tepat jumlah tersebut dengan baik. Apabila tidak diikuti dengan perangkat kebijaksanaan penunjang yang tepat, deregulasi perbankan dapat berakibat pada makin berkurangnya kesempatan petani kecil untuk dapat mengakses fasilitas perkreditan pertanian. Golongan miskin merupakan pembayar kredit yang baik. Tetapi dengan prosedur bank yang ada, mereka tidak terjangkau oleh layanan lembaga perbankan dan mereka dilayani oleh rentenir dengan bunga yang tinggi. Dengan cara ini mereka akan tetap miskin karena pendapatan mereka sebagian digunakan untuk membayar bunga pada rentenir. Peningkatan produktivitas dapat dicapai melalui penggunaan benih unggul, pemupukan yang tepat, memperbaiki sistem pengolahan tanah dan cara bercocok tanam, serta memperbaiki pengolahan usahatani, termasuk pengelolaan dalam pengendalian hama dan pengelolaan penggunaan air. Dengan kata lain peningkatan produktivitas dapat dicapai melalui peningkatan penggunaan teknlogi dalam arti luas. Dalam rangka penerapan teknologi inilah, pada umumnya petani khususnya petani kecil, mengalami hambatan terutama dalam pengadaan dana untuk membeli berbagai input produksi, seperti misalnya pembelian pupuk, obatobatan, sewa alat pengolah tanah dan untuk membayar tenaga kerja. Persepsi petani terhadap kredit didekati dengan pendapat petani mengenai pentingnya arti kredit bagi mereka. Dengan identifikasi persepsi ini, dapat digali sejauh mana pemikiran normatif petani terhadap kredit. Perilaku petani terhadap kredit diidentifikasikan dengan intensitas akses mereka terhadap kredit, baik dari 29
segi frekuensi pengembalian kredit, maupun dari jumlah atau besarnya kredit yang diambil. Kredit untuk Petani Kredit dapat diartikan sebagai pengalihan kontrol atas sejumlah dana dari satu pihak ke pihak lainnya yang disertai sejumlah persyaratan. Dengan demikian pengadaan kredit menyangkut dua pihak, yaitu pemberi pinjaman dan pihak yang meminjam. Kredit juga menyangkut harga, yaitu harga yang harus dibayar untuk transfer hak atas sejumlah dana. Harga ini biasanya berupa bunga yang dikenakan kepada pihak peminjam. Petani skala kecil merupakan target intervensi perkreditan yang penting. Ada beberapa alasan yang sering dikemukakan yang mendukung pentingnya kredit bagi petani kecil. Pertama, usahatani yang dimiliki petani kecil relatif efisien, dengan batasan dan kendala yang dihadapinya petani kecil ternyata mampu mengkombinasikan berbagai faktor produksi secara optimal. Kedua, usahatani yang diusahakan memiliki potensi produksi yang tinggi jika menerapkan teknologi secara lengkap. Sering akibat keterbatasan modal petani tidak mampu membeli sarana produksi dengan jumlah ataupun kualitas yang dibutuhkan, sehingga potensi produktivitas dari usahataninya tidak terwujud. Ketiga, petani sering mengalami kekurangan uang kas dalam periode-periode tertentu. Sifat produksi pertanian yang musiman, menyebabkan aliran uang petani memiliki pola spesifik, yang ditunjukkan oleh aliran masuk dan keluar uang kas yang penyebarannya tidak merata. Keempat, petani sering mengalami kesulitan untuk mengikuti prosedur kredit baku yang dipraktekkan lembaga keuangan formal. Salah satu kendala yang dihadapi petani untuk memperoleh kredit adalah ketidakmampuannya menyediakan jaminan sesuai dengan kriteria jaminan lembaga keuangan formal. Kelima, harga kredit di pedesaan dianggap cenderung monopolistik, sehingga harga kredit yang harus di bayar petani berada jauh diatas yang dianggap pantas. Pasar kredit di pedesaan terdiri dari kredit formal dan informal. Kredit yang disediakan lembaga keuangan formal biasanya memiliki bunga relatif rendah daripada bunga kredit yang dikenakan oleh pembunga uang. Dengan adanya subsidi yang diberikan pada kredit pedesaan, maka bunga kredit untuk petani ini
30
sering lebih rendah daripada bunga yang berlaku di pasar kredit. Namun demikian ternyata banyak petani yang mengalami kesulitan untuk memperoleh akses pada kredit tersebut. Meskipun sudah jauh lebih sederhana daripada prosedur kredit yang berlaku umum, ketidaktahuan petani secara rinci terhadap prosedur, hak dan kewajiban menjadikan posisi petani menjadi lemah dalam hal kredit formal ini. Banyak kasus menunjukan bagaimana petani sering dirugikan dalam urusan kredit ini. Pada saat pencairan kredit, dengan berbagai alasan ada petani tidak menerima jumlah uangnya secara penuh atau ada petani yang telah rajin mengangsur atau mengembalikan kreditnya, ternyata uang angsuran tersebut belum sampai ke pihak perbankan. 3.1.2 Ukuran Penampilan Usahatani Soekartawi (1986), menyatakan bahwa banyak istilah yang digunakan untuk menyatakan ukuran penampilan usahatani, yaitu diantaranya ukuran pendapatan dan keuntungan. Besaran pendapatan yang diperoleh dari usahatani tergantung pada: luas lahan usahatani, efisiensi kerja dan efisiensi produksi. Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan biaya yang telah dikeluarkan. Pendapatan usahatani dibedakan menjadi dua yaitu pendapatan tunai dan pendapatan atas biaya total yang sering disebut yang sering disebut sebagai pendapatan total. Tingkat pendapatan usahatani dapat dinyatakan dalam persamaan matematika sebagai berikut: Itunai = NP – BT Itotal = NP – (BT+BD) Keterangan: Itunai
= Tingkat pendapatan bersih tunai
Itotal
= Tingkat pendapatan bersih total
NP
= Nilai produk, merupakan hasil perkalian jumlah output dengan harga
BT
= Biaya tunai
BD
= Biaya diperhitungkan Analisis pendapatan usahatani selalu disertai dengan pengukuran efisiensi
pendapatan usahatani. Untuk mengetahui efisiensi suatu usahatani terhadap penggunaan satu unit input dapat digambarkan oleh nilai rasio penerimaan dan
31
biaya yang merupakan perbandingan antara penerimaan kotor yang diterima usahatani dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam proses produksi atau yang biasa dikenal dengan analisis R/C rasio. Perhitungan R/C rasio dapat dirumuskan sebagai berikut: R/C rasio atas biaya tunai
= Total Penerimaan Total Biaya Tunai
R/C rasio atas biaya total
= Total Penerimaan Total Biaya
3.1.3 Persepsi Petani Rangkuti (2003), mendefinisikan persepsi individu sebagai proses dimana individu memilih, mengorganisasikan dan mengartikan stimulus yang diterima melalui alat inderanya menjadi suatu makna. Meskipun demikian, makna dari proses suatu persepsi tersebut juga dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu individu yang bersangkutan. Proses persepsi terhadap suatu jasa tidak mengharuskan petani tersebut mengunakan jasa tersebut terlebih dahulu. Persepsi merupakan cara seseorang melihat realitas di luar dirinya atau di dunia sekelilingnya. Dalam hal ini, petani sering kali memutuskan pembelian suatu produk berdasarkan persepsinya terhadap produk atau jasa tersebut (Sumarwan, 2004). Rakhmat (2002) mendefinisikan persepsi sebagai pengalaman tentang objek, perisitiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Dengan demikian, persepsi merupakan pemberian makna pada stimuli inderawi. Persepsi sebagai proses dimana tiap inidividu menyeleksi, mengorganisasikan dan menginterpretasikan stimulus ke dalam bentuk yang berharga dan divisualiasasikan sebagai gambaran dunia (Shiffman dan Kanuk, 2000). Rakhmat merumuskan dalil mengenai persepsi yaitu: 1) Persepsi bersifat selektif secara fungsional. Dalil ini berarti bahwa objekobjek yang mendapat tekanan dalam persepsi orang, biasanya adalah objek-objek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi. 2) Medan perseptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti.
32
3) Sifat-sifat perseptual dan kognitif dari substruktur ditentukan pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan. Menurut dalil ini, jika individu dianggap sebagai anggota kelompok, maka semua sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan dipengaruhi oleh keanggotaan kelompoknya, dengan efek berupa asimilasi atau kontras. Rakhmat (2002), mengemukakan ada dua faktor yang mempengaruhi persepsi individu, antara lain: 1) Faktor fungsional, berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan halhal lain yang disebut sebagai faktor-faktor personal. Dalam hal ini, yang membentuk persepsi bukan bentuk atau jenis stimuli, melainkan karakteristik orang yang memberikan respon pada stimuli itu. Faktorfaktor fungsional pembentuk persepsi lazim disebut sebagai kerangka rujukan. Dalam kegiatan komunikasi, kerangka rujukan mempengaruhi bagaimana orang memberi makna pada pesan yang diterimanya. 2) Faktor struktural, berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf individu. Proses persepsi Menurut Setiadi (2003), persepsi merupakan proses yang terdiri dari seleksi, organisasi dan interpretasi terhadap stimulus. 1) Seleksi perseptual Seleksi perseptual terjadi, ketika konsumen menangkap dan memilih stimulus berdasarkan pada psychology set yang dimiliki, yaitu berbagai informasi yang ada dalam memori konsumen. Sebelum seleksi persepsi terjadi, maka terlebih dahulu stimulus harus mendapat perhatian dari konsumen. 2) Organisasi persepsi Organisasi persepsi berarti bahwa konsumen mengelompokan informasi dari berbagai sumber ke dalam pengertian yang menyeluruh untuk memahami lebih baik dan bertindak atas pemahaman. Prinsip dasar dari organisasi persepsi adalah penyatuan yang berarti bahwa berbagai stimulus akan dirasakan
sebagai
suatu
yang
dikelompokan
secara
menyeluruh.
Pengorganisasian seperti ini memudahkan untuk memperoses informasi dan memberikan pengertian yang terintegrasi terhadap stimulus.
33
3) Interpretasi perseptual Proses terakhir dari persepsi adalah memberikan interpretasi atas stimuli yang diterima konsumen. Setiap stimuli yang menarik perhatian konsumen, baik disadari atau tidak akan diinterpretasikan oleh konsumen. Dalam proses interpretasi, konsumen membuka kembali berbagai informasi yang telah tersimpan dalam memorinya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi dan selain itu memungkinkan terjadinya perbedaan persepsi antar individu terhadap objek yang sama. Faktor-faktor tersebut: 1) Keadaan pribadi orang yang mempersepsi Hal ini merupakan faktor yang terdapat dalam diri individu yang mempersepsikan. Misalnya, kebutuhan, suasana hati, pengalaman masa lalu dan karakterisitik lain yang terdapat dalam diri individu. Adanya faktor fungsional yang dapat menyebabkan perbedaan persepsi pada setiap orang terhadap suatu objek yang sama. 2) Karakteristik target yang dipersepsi Dalam hal ini target tidak dilihat sebagai suatu yang terisolasi, maka hubungan antar target dan latar belakang, serta kedekatan/kemiripan dan hal-hal yang dipersepsi dapat mempengaruhi persepsi orang. 3) Konteks situasi terjadinya persepsi Waktu dipersepsinya suatu kejadian juga dapat mempengaruhi persepsi, demikian pula dengan lokasi, cahaya, panas atau faktor situasional lainnya. 3.2 Kerangka pemikiran Operasional Sektor pertanian merupakan salah satu sektor perekonomian yang memiliki peranan sangat strategis dalam pembangunan perekonomian nasional. Peran tersebut di antaranya adalah sebagai andalan mata pencaharian mayoritas penduduk, penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, sumber devisa, bahan baku industri, dan perannya dalam penyediaan bahan pangan dan gizi, serta sebagai pendorong bergeraknya sektor-sektor ekonomi riil lainnya. Sektor pertanian juga berperan sebagai penyangga perekonomian nasional pada masa krisis.
34
Pengelolaan sumberdaya pertanian diperlukan input dimana salah satunya adalah modal usahatani. Ketersediaan dan aksesibilitas terhadap sumber permodalan oleh para petani sifatnya sangat crucial baik sebagai modal kerja (pembelian input produksi) maupun untuk modal investasi (pengadaan lahan/pembelian alsintan). Beberapa hasil kajian menunjukkan bahwa tingkat sebaran aplikasi suatu teknologi ternyata berbanding lurus dengan ketersediaan permodalan. Demikian halnya dengan penampilan usahatani seringkali dijadikan sebagai kriteria kelayakan oleh pihak kreditur dalam menyalurkan kredit /pembiayaan. Untuk
menjaga
kesinambungan
peran
sektor
pertanian
dalam
pembangunan ekonomi nasional tentunya tidak bisa terlepas dari praktek lembaga keuangan sebagai lembaga penunjang untuk pembiayaan sektor pertanian. Perbankan syariah merupakan salah satu bentuk lembaga keuangan yang karakteristiknya cocok sebagai lembaga pembiayaan pada bidang pertanian. Aksesibilitas pelaku usahatani terhadap LKS dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain, aspek lokasi, performance usahatani dalam hal ini dapat dilihat dari aspek pendapatan atau skala usaha, dan perilaku petani. Perilaku individu/masyarakat/lembaga terhadap pihak lainnya sangat tergantung dari sejauhmana persepsi dan pengetahuan yang dimiliki. Dalam kaitan hubungan kerjasama pembiayaan antara perbankan syariah dengan para pelaku usahatani, maka pengetahuan dan persepsi masing-masing pihak terhadap pihak lainnya sangat menentukan intensitas hubungan kerjasama pembiayaan yang dilakukan. Penampilan usaha, pengetahuan dan persepsi pelaku usaha pertanian terhadap perbankan syariah akan menentukan perilaku para pelaku usaha pertanian apakah perbankan syariah sesuai sebagai sumber pendanaan bagi usahanya. Disisi lain, pengetahuan dan persepsi yang positif dari pihak perbankan syariah terhadap sektor pertanian akan mendorong perbankan untuk memberikan alokasi kredit yang memadai pada sektor pertanian atau sebaliknya. Adapun bagan kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 1.
35
•
• Peranan Strategis Sektor Pertanian Kesulitan modal dan Keterkaitan dengan Sumber Permodalan
Daya Jangkau Petani terhadap Lembaga Keuangan Syariah
Non performance usahatani Jarak
Performance Usahatani Pendapatan Skala Usaha
Persepsi terhadap LKS
Rekomendasi untuk meningkatkan aksesibilitas petani terhadap pembiayaan syariah
Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional
36
IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor dengan mengambil dua desa yaitu Desa Sukawening dan Desa Petir. Pemilihan dua desa tersebut dilakukan secara sengaja berdasarkan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan sentra tanaman pangan, peternakan dan perikanan di Kecamatan Dramaga, jumlah penduduk menurut lapangan kerja, keberadaan Lembaga Keuangan Syariah serta pertimbangan peneliti. Waktu pengumpulan data di lapangan dilaksanakan dari Februari sampai dengan Maret 2009. 4.2 Jenis dan Sumber data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer diperoleh melalui observasi dan wawancara langsung dengan responden menggunakan alat bantu daftar pertanyaan (kuisioner). Data sekunder diperoleh dengan cara mempelajari litelatur yang relevan dengan topik penelitian. Pengambilan data sekunder diperoleh juga dari literaturliteratur, hasil penelitian terdahulu, jurnal, artikel, situs Badan Pusat Statistik, Dinas Kependudukan Kabupaten Bogor, Laporan Kantor Kecamatan Dramaga, Laporan-laporan Kantor Kepala Desa di Kecamatan Dramaga, situs Bank Indonesia, situs Deptan dan instansi-instansi terkait yang dapat mendukung penelitian. 4.3 Metode Penentuan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah petani yang bergerak pada subsektor tanaman pangan, subsektor perikanan dan subsektor peternakan. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan stratified random sampling. Pemilihan desa yang diteliti dilakukan berdasarkan kritera sebagai berikut: (1) Jumlah penduduk berdasarkan matapencaharian, (2) Jumlah penduduk berdasarkan agama (3) Keberadaan Lembaga Keuangan Syariah, dan (4) Pertimbangan peneliti. Setelah terpilih dua desa, dilanjutkan tahap berikut yaitu penetapan populasi pelaku usahatani. Penetapan populasi dibagi berdasarkan tiga strata yaitu, strata I
37
petani subsektor tanaman pangan, strata II petani subsektor perikanan (pembudidaya ikan), dan strata III petani subsektor peternakan. Subpopulasi petani subsektor tanaman pangan 160 orang, petani subsektor perikanan 32 orang dan petani subsektor peternakan 29 orang. Jadi total populasi adalah 221 orang. Jumlah responden yang diharapkan dalam penelitian ini adalah 60 orang karena ukuran minimum sampel yang dapat digunakan sebagai desain penelitian minimal 30 subjek. Hal ini dimaksudkan dengan alasan agar dapat mewakili karakteristik dari petani yang dijadikan responden penelitian. Pada setiap subsektor ditambahkan masing-masing 3 responden cadangan untuk mengantisipasi kuisioner yang gagal. Penentuan jumlah responden dalam penelitian ini dihitung berdasarkan proporsi dengan formula perhitungan sebagai berikut: Populasi
N1
N2
N1 f1=
N3
N2 f1=
Subpopulasi
N2 Sampel fraction
f1=
N
N
N
n1= f1 . n
n2= f2 . n
n3= f3 . n
Besar subsample per strata
Gambar 2. Skema formula penentuan responden Sumber: Nazir (2005) Jadi berdasarkan formula tersebut maka dapat ditetapkan jumlah responden penelitian sebagai berikut: 1. Responden subsektor tanaman pangan n tanaman pangan= (160/221) x 60 = 43,4 ≈ 43 responden 2. Responden subsektor perikanan n pembudidaya ikan= (32/221) x 60 = 8,7≈9 responden 3. Responden subsektor peternakan n peternak = (29/221) x 60 = 7,9 ≈ 8 responden
38
Jadi total responden dalam penelitian ini adalah 60 orang. Skema pengambilan sampel populasi tertera pada Gambar 4. Kecamatan Dramaga
D1
D2
D3
Subsektor Tanaman Pangan N= 160 n= 43,4≈43
D4
D5
D6
D7
D8
D9
Subsektor Perikanan N= 32
Subsektor Peternakan N= 29
n= 8,7≈9
n= 7,9≈8
D10
Keterangan: D= Desa, N= Subpopulasi, n= Sampling Gambar 3. Skema pengambilan sampel kuisioner 4.5 Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan perangkat komputer dengan aplikasi program software Microsoft Excel 2007. Analisis data yang akan dilakukan adalah analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif berupa analisis deskriptif dengan menggunakan alat analisis tabulasi silang, sedangkan analisis kuantitatif yaitu analisis yang digunakan untuk menghitung pendapatan. Analisis Deskriptif Metode deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari analisis deskriptif ini adalah untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 2005). Analisis deskriptif memberikan informasi mengenai sekumpulan data dan mendapatkan gagasan untuk keperluan analisis selanjutnya, meliputi
39
ukuran penyebaran, persentase, frekuensi, distribusi, tabel, diagram dan grafik untuk menjelaskan karakteristik responden. Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menggambarkan persepsi dan aksesibilitas petani terhadap lembaga keuangan syariah dengan menggunakan
tabulasi
data.
Tabulasi
data
deskriptif
digunakan
untuk
menggolongkan, mengurutkan, menyederhanakan data. Tabulasi data dipakai untuk mengindentifikasi karakteristik responden, aksesibilitas, persepsi responden dan informasi khusus yang dijawab oleh responden melalui kuisioner. 4.6 Definisi Operasional Untuk memberikan pengertian yang jelas dan tidak menimbulkan keraguan, beberapa definisi operasional dari variabel-variabel yang digunakan perlu dijelaskan. a. Daya jangkau adalah kemampuan responden untuk memperoleh pembiayaan bagi usahataninya, baik pembiayaan dari Lembaga Keuangan Syariah maupun dari Lembaga Keuangan Konvensional. b. Persepsi responden adalah penapsiran responden terhadap Lembaga Keuangan Syariah c. Usahatani adalah setiap organisasi dari alam, kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. d. Subsektor usahatani adalah jenis usahatani yang dijalankan terdiri dari subsektor tanaman pangan, subsektor perikanan dan subsektor peternakan. e. Penampilan usahatani adalah gambaran yang dijadikan ukuran ekonomi usahatani
40
V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Kondisi Geografis Kecamatan Dramaga adalah salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Kecamatan Dramaga merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Ciomas. Sebelumnya Dramaga merupakan wilayah kemantren ketika masih tergabung dalam Kecamatan Ciomas. Batas wilayah Kecamatan Dramaga secara administratif adalah sebagai berikut: Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kemang, sebelah timur dengan Kecamatan Kota Bogor, sebelah barat dengan Kecamatan Ciampea, dan di sebelah selatan dengan Kecamatan Ciomas. Jarak pusat pemerintahan kecamatan dengan desa/kelurahan yang terjauh 8,2 Km, Ibukota Kabupaten Bogor 30 Km, Ibukota Provinsi Jawa Barat 120 Km dan dengan Ibukota Negara RI 60 Km. Pemerintahan Kecamatan Dramaga terdiri dari 10 desa, 34 dusun, 71 RW (Rukun Warga), dan 307 RT (Rukun Tetangga), tersebar di sepuluh desa di Kecamatan Dramaga. Adapun Desa yang ada di Kecamatan Dramaga adalah sebagai berikut: Desa Babakan, Ciherang, Cikarawang, Dramaga, Neglasari, Petir, Purwasari, Sinarsari, Sukadamai dan Sukawening. Kondisi iklim Kecamatan Dramaga tergolong ke dalam klasifikasi A: sangat basah. Rata-rata bulan basah (CH>100mm) adalah 11,5 bulan dan bulan kering (CH<60mm) adalah 0,5 bulan. Menurut Oldemen jumlah hujan dalam 10 tahun terakhir mencapai rata-rata 4.003,4 mm/tahun. Rata-rata bulan basah (CH>200) adalah 9,5 bulan dan rata-rata bulan kering (CH<100) satu bulan. Kecamatan Dramaga memiliki luas wilayah 2.437,64 Ha dan berada pada ketinggian 500m dpl dengan suhu udara antara 220C – 300C. Kecamatan Dramaga dibagi kedalam tiga kelas kemiringan lereng sebagaimana tertera pada Tabel 5. Tabel 5. Sebaran Kemiringan Lereng menurut Luas Penyebarannya di Kecamatan Dramaga Tahun 2004 No Kemiringan Lereng (%) Luas (Ha) Persentase (%) 1 0-2 720,82 32,00 2 >2-15 1371,57 60,89 3 >15-40 160,13 7,11 Total luas penyeberan 2252,52 100,00 Sumber: Bappeda Kabupaten Bogor (2004)
41
Pola penggunaan lahan di Kecamatan Dramaga terdiri atas lahan persawahan, tanah kering, tanah basah, tanah perkebunan negara, dan tanah yang dipergunakan untuk fasilitas umum. Adapun rincian pola penggunaan lahan di Kecamatan Dramaga dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Luas Lahan di Kecamatan Dramaga menurut Pola Penggunaan Lahan Tahun 2008 No 1
Penggunaan Lahan Tanah Sawah Irigasi Teknis Irigasi Setengah Teknis Irigasi Sederhana Tadah Hujan/Sawah Rendengan 2 Tanah Kering Pekarangan/Bangunan/Emplasement Ladang/Tanah Huma 3 Tanah Basah Rawa Empang/Kolam 4 Tanah Perkebunan Negara 5 Tanah Keperluan Fasilitas Umum Lapangan Olah Raga Kuburan Sumber: Data Monografi Kecamatan Dramaga (2008)
Luas (Hektar) 945,00 621,00 142,00 152,00 57,00 1.145,00 971,00 174,00 48,00 3,34 44,46 274,00 1331,00 1,00 1,33
5.2 Kondisi Demografi Kecamatan Dramaga memiliki kepadatan penduduk 3.526 jiwa/Km2 dengan jumlah total penduduk 91.865 jiwa terdiri atas laki-laki 47.180 jiwa dan perempuan 44.685 jiwa. Jika dilihat dari kelompok umur, penduduk Kecamatan Dramaga sebagian besar termasuk ke dalam kelompok umur produktif yaitu usia 20-55 tahun. Penduduk Kecamatan Dramaga berdasarkan kelompok umur disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Sebaran Jumlah dan Persentase Penduduk Kecamatan Dramaga menurut Kelompok Umur Tahun 2008 Kisaran Usia (tahun) Jumlah 0–6 10.532 7- 12 10.044 12 – 18 10.982 19 – 24 19.342 25 – 55 19.246 56 – 79 2.121 > 79 8.082 Total 80.349 Sumber: Data Monografi Kecamatan Dramaga (2008)
Persentase (%) 13,11 12,50 13,67 24,07 23,95 2,64 10,06 100,00
42
Persentase dan jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianut di Kecamatan Dramaga terdiri dari pemeluk Agama Islam sebanyak 99,74 persen (91.624 jiwa), Katolik sebanyak 0,12 persen (112 jiwa), Protestan 0,11 persen (97 jiwa), Hindu 0,03 persen (26 jiwa), dan Budha 0,01 persen (6 jiwa). Pendidikan penduduk Kecamatan Dramaga bisa dikatakan masih rendah. Hal tersebut seperti yang ditunjukkan pada Tabel 8. Sedikit sekali dari penduduk Kecamatan Dramaga yang memperoleh pendidikan hingga perguruan tinggi. Tabel 8. Sebaran Jumlah dan Persentase Penduduk Kecamatan Dramaga menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2008 Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) Belum Sekolah 10.484 Tidak tamat SD 9.408 Tamat SD/sederajat 28.564 Tamat SLTP 10.515 Tamat SLTA 8.402 Tamat Akademi 673 Tamat Perguruan Tinggi 1377 Buta Huruf 272 Sumber: Data Monografi Kecamatan Dramaga (2008)
Persentase (%) 15,04 13,50 40,98 15,09 12,06 0,97 1,98 0,39
5.3 Kondisi Perekonomian Penduduk yang bekerja di Kecamatan Dramaga terdiri dari 12.636 jiwa untuk laki-laki dan 9.419 jiwa untuk perempuan dengan total angkatan kerja 22.055 jiwa. Kegiatan perekonomian penduduk didominasi oleh kegiatan pada sektor pertanian. Kegiatan perekonomian penduduk Kecamatan Dramaga berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Sebaran Jumlah dan Persentase Penduduk Kecamatan Dramaga menurut Mata Pencaharian Tahun 2008 Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) Petani 9.889 Pengusaha 8 Pengrajin 189 Industri kecil 185 Pertukangan 308 Pedagang 4785 Pengemudi 1904 PNS 947 TNI/Polri 64 Pensiunan 209 Lain-lain 729 Sumber: Data Monografi Kecamatan Dramaga (2008)
Persentase (%) 47,19 0,04 0,91 0,89 1,45 23,08 9,18 4,56 0,30 1,00 3,51
43
Data mata pencaharian penduduk di atas merupakan gambaran bahwa usaha-usaha produktif masyarakat pada umumnya masih berjalan dengan baik walaupun kondisi perekonomian sedang dilanda krisis global. Apalagi di Kecamatan Dramaga terdapat pasar sebagai pusat kegiatan perdagangan penduduk untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Kegiatan Perekonomian di Kecamatan Dramaga juga didukung oleh keberadaan beberapa lembaga keuangan. Beberapa lembaga keuangan yang mendukung kegiatan usaha ekonomi masyarakat di Kecamatan Dramaga adalah: BNI, BRI, Bank Syariah Mandiri, Bank Jawa Barat, Bank Syariah Amanah Ummah, BPRS Bina rahmah, BMT Aliya, KBMT Syariah Tadbirul Ummah. Disamping itu, Industri yang berkembang di Kecamatan Dramaga terdiri dari industri skala sedang (3 buah), industri kecil (14 buah), dan industri rumah tangga (25 buah). Usaha lainnya adalah hotel (1 buah) dan rumah makan (Pemerintah Kecamatan Dramaga, 2008). Pada sektor pertanian, produksi ketela pohon, sayur-sayuran dan padi di Kecamatan Dramaga merupakan komoditi tanaman pangan yang dominan. Data produksi tanaman pangan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Data Produksi Tanaman Pangan Utama di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 No Jenis Komoditas Tanaman Pangan Rata-Rata Produksi (ton/ha) 1 Padi 4,00 2 Jagung 3,00 3 Ketela pohon 38,00 4 Ketela rambat/ubi 5,00 5 Kacang tanah 1,00 6 Kedelai 0,50 7 Sayur-sayuran 4,50 8 Buah-buahan 2,00 9 Lain-lain 5,00 Sumber: Data Monografi Pemerintah Kecamatan Dramaga (2008)
Selain komoditi tanaman pangan, Kecamatan Dramaga juga mempunyai usaha perikanan air tawar yang dikembangkan oleh penduduk setempat. Data produksi perikanan penduduk di Kecamatan Dramaga dapa dilihat pada Tabel 11.
44
Tabel 11. Data Produksi Perikanan di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 No Jenis Ikan 1 Ikan Mas 2 Ikan Gurame 3 Ikan Mujaer 4 Ikan Lele 5 Ikan Patin 6 Ikan Bawal Sumber: Data Monografi Kecamatan Dramaga (2008)
Rata-rata Produksi (ton/ha) 7.050 8.280 9.250 1.120 1.170 2.120
Subsektor pertanian lain yang dikembangkan di Kecamatan Dramaga adalah
subsektor
peternakan.
Berdasarkan
jenisnya
usahaternak
yang
dikembangkan di Kecamatan Dramaga dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Data Produksi Subsektor Peternakan di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 No Jenis Ternak 1 Ayam Broiler (pedaging) 2 Ayam Layer (petelur) 3 Ayam buras 4 Itik 5 Sapi 6 Domba Sumber: Data Monografi Kecamatan Dramaga (2008)
Rata-rata Produksi (ton/ha) 19.750 17.950 3.894 1.95 29 3.754
5.4 Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana pendukung kegiatan pemerintahan dan sosial ekonomi di Kecamatan Dramaga diantaranya: Balai Desa 10 buah, Kantor Desa 10 buah, Kantor Kecamatan. Instansi otonom yang terdapat di Kecamatan Dramaga terdiri atas: Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Pertanian, dan Pengairan dan Binamarga. Total Instansi otonom empat instansi. Instansi BUMN/BUMD terdapat delapan buah diantaranya: Bulog, Telkom, PT Pos dan Giro, PLN, BNI, BRI, Bank Jabar, Bank Syariah Mandiri. Institusi Pendidikan di Kecamatan Dramaga terdiri dari pendidikan formal dan
informal.
Pendidikan
formal
terdiri
atas
Sekolah
Dasar/sederajat,
SLTP/sederajat, SMU/sederajat, akademi dan perguruan tinggi tiga buah. Institusi pendidikan informal terdiri atas beberapa kegiatan kursus komputer, kursus bahasa, pendidikan pesantren, dan lain-lain. Kegiatan perekonomian masyarakat ditunjang dengan adanya Pasar Dramaga sebagai pusat transaksi masyarakat di Kecamatan Dramaga. Untuk menunjang aktivitas masyarakat di Kecamatan Dramaga dilengkapi oleh sarana 45
transportasi berupa angkutan kota sebagai sarana transportasi sehari-hari dengan kondisi jalan di Kecamatan Dramaga berupa jalan berlapis aspal. Sarana lain yang terdapat di Kecamatan Dramaga yaitu saran kesehatan berupa Puskesmas, klinik, apotik dan beberapa sarana kesehatan lainnya. Disamping sarana kesehatan, terdapat pula sarana-sarana kegiatan keagamaan masyarakat berupa mesjid dan majlis taklim. 5.5 Lokasi Responden Penelitian Dari 10 desa yang terdapat di Kecamatan Dramaga, desa yang terpilih sebagai lokasi penelitian yaitu Desa Sukawening dan Desa Petir. Responden penelitian yang terdapat di Desa Sukawening merupakan petani subsektor tanaman pangan dan subsektor perikanan. Sedangkan responden yang diambil dari Desa Petir yaitu responden subsektor peternakan. Desa Sukawening memiliki luas wilayah 246.380 Ha terdiri atas tanah sawah 183.160 Ha dan tanah darat 63.220 Ha. Batas wilayah Desa Sukawening berturut-turut adalah sebelah utara berbatasan dengan Desa Neglasari, Desa Sinarsari, dan Desa Ciherang, sebelah timur berbatasan dengan Desa Ciapus, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sukadamai, dan sebelah barat dengan Desa Petir. Kondisi geografis Desa Sukawening memiliki ketinggian tanah 550m dpl dengan topografi (dataran rendah, tinggi, padat) 38 m. Banyaknya curah hujan pertahun 33mm/tahun, dan suhu udara rata-rata 240C. Jarak dari Pusat Pemerintahan Desa Sukawening ke Kecamatan Dramaga sejauh 3 km, jarak dari Pusat Pemerintahan Kabupaten 35 Km, jarak dari ibukota propinsi 135 Km dan jarak dari pusat ibukota negara 65 Km. Jumlah penduduk Desa Sukawening 7.327 jiwa, terdiri atas laki-laki 3.772 jiwa dan perempuan 3.555 jiwa dengan kepadatan penduduk 2,46 per km. Penduduk Desa Sukawening seratus persen merupakan pemeluk Agama Islam. Dilihat dari tingkat pendidikan, penduduk Desa Sukawening
sebagian besar
berpendidikan hanya sampai Sekolah Dasar dan SLTP. Tingkat pendidikan penduduk Desa Sukawening dapat dilihat pada Tabel 13.
46
Tabel 13. Sebaran Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Sukawening menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2008 Tingkat Pendidikan Usia 7 – 15 tahun tidak sekolah Usia 7 – 15 tahun yang sedang sekolah Buta Aksara dan angka Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SMU Tamat Akademi (D1 – D3) Tamat Sarjana Total
Jumlah (jiwa) 19 148 38 24 378 135 67 4 2 815
Persentase (%) 2,33 18,16 4,66 2,94 46,38 16,56 8,22 0,49 0,25 100,00
Sumber: Data Monografi Desa Sukawening (2008) Penduduk Desa Sukawening sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, pedagang, dan pengemudi. Data penduduk Desa Sukawening berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Sebaran Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Sukawening menurut Mata Pencaharian Tahun 2008 Mata pencaharian Petani Buruh tani Pengemudi Pedagang Swasata Pengojeg Pertukangan Wiraswasta PNS Lainnya Total
Jumlah (jiwa) 585 336 425 545 226 270 125 121 36 62 2.731
Persentase (%) 21,42 12,30 15,56 19,96 8,28 9,89 4,58 4,43 1,32 2,27 100,00
Sumber: Data Monografi Desa Sukawening, (2008) Adapun responden penelitan subsektor peternakan berasal dari Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Desa Petir memiliki luas wilayah 420 Ha. Batas wilayah lokasi ini berturut-turut adalah sebelah utara berbatasan dengan Desa Neglasari, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sukajadi Kecamatan Taman Sari, sebelah barat berbatasan dengan Desa Purwasari, dan sebelah timur berbatasan dengan desa sukawening. Kondisi geografis Desa Petir mempunyai ketinggian dari permukaan laut 300m, topografi sedang dan suhu udara rata-rata 300C. Jarak dari Kecamatan 5 km dengan lama tempuh 20 menit dan jarak dari ibukota kabupaten 35 km dengan lama tempuh 120 menit.
47
Desa petir mempunyai jumlah penduduk sebanyak 12.282 jiwa yang terdiri dari laki-laki 5.344 jiwa dan perempuan 6.938 jiwa. Hampir 100 persen penduduk Desa Petir merupakan pemeluk Agama Islam. Tingkat pendidikan penduduk Desa Petir mayoritas Sekolah Dasar. Penduduk Desa Petir berdasarkan pendidikan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Sebaran Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Petir menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2008 Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%) Belum Sekolah 1.351 54,32 Usia 7-45 tahun tidak pernah sekolah 83 3,34 Pernah sekolah tapi tidak tamat SD 155 6,23 Tamat SD/sederajat 516 20,75 SLTP/sederajat 228 9,17 SLTA/sederajat 126 5,07 Diploma 12 0,48 Sarjana 16 0,64 Total 2.487 100,00 Sumber: Data Monografi Desa Petir, Kecamatan Dramaga (2008)
Kegiatan ekonomi penduduk Desa Petir sangat beragam. Namun sebagian besar bermata pencaharian sebagai buruh swasta, petani dan buruh tani. Data Penduduk Desa Petir berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Sebaran Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Petir menurut Mata pencaharian Tahun 2008 Mata pencaharian Petani Buruh tani Buruh swasta PNS Pengrajin Pedagang Peternak Dokter Total Sumber: Data Monografi Desa Petir, (2008)
Jumlah (orang) 760 698 1.112 50 24 67 42 1 2.754
Persentase (%) 27,60 25,34 40,38 1,82 0,87 2,43 1,53 0,04 100,00
Desa Petir mempunyai lahan pekarangan yang cukup luas, topografi sedang dengan luas areal pertanian 214 Ha. Hal ini dapat dijadikan potensi yang cukup besar bagi pengembangan usahaternak ayam broiler. Pada Tabel 17 dapat dilihat macam-macam ternak yang terdapat di Desa Petir.
48
Tabel 17. Data Jenis Ternak menurut Jumlah yang Terdapat di Desa Petir Tahun 2008 No Jenis Ternak Jumlah (Ekor /tahun) 1 Ayam Ras 400.000 2 Ayam Buras 980 3 Domba 230 4 Kerbau 20 Sumber: Data Monografi Desa Petir (2008) Tabel 17 menunjukkan bahwa ternak ayam ras pedaging (broiler) mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan di Desa Petir. Usahaternak ayam broiler menduduki peringkat pertama dari total populasi ternak. 5.6 Karakteristik Petani Responden Deskripsi karakteristik petani responden dilihat dari beberapa kriteria diantaranya adalah kelompok umur, tingkat pendidikan, status dalam keluarga, pengalaman usahatani, status usaha, kepemilikan lahan (skala usaha), jumlah tanggungan, pengeluaran. 5.6.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Kelompok Umur Berdasarkan kelompok umur, petani responden dari ketiga subsektor dikelompokkan kedalam empat kelompok, yaitu kelompok umur 25 – 35 tahun, 36 – 45 tahun, 46 – 55 tahun, dan di atas 55 tahun sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 18. Pengelompokkan tersebut bertujuan untuk membedakan responden berdasarkan umur produktif dan tidak produktif. Pada subsektor tanaman pangan responden yang memiliki usia masih produktif hampir seimbang dengan responden yang berada pada usia tidak produktif, usia produktif yaitu berkisar antara 20 tahun sampai 55 tahun dengan petani responden yang sudah tidak dapat dikatakan pada usia produktif dengan usia di atas 55 tahun yaitu sebesar (48,84 %). Menurut Paramdiyan (1999) umur produktif dari seseorang antara umur 20 tahun sampai 55 tahun. Pada subsektor perikanan sebagian besar responden terdiri atas responden yang memiliki usia tidak produktif lagi. Responden yang memiliki usia masih produktif yaitu berkisar antara usia 36 – 45 tahun sebesar 44,44 persen. Petani responden yang sudah tidak dapat dikatakan pada usia produktif dengan usia di
49
atas 55 tahun yaitu sebesar 55,56 persen lebih banyak 11,12 persen daripada responden dengan usia produktif. Secara umum responden penelitian pada subsektor peternakan berdasarkan kelompok usia tampak merata. Namun jika dikelompokan berdasarkan usia produktif dan tidak produktif sebagian besar berada pada usia produktif atau kurang dari 55 tahun. Peternak yang umurnya berkisar antara 25 – 35 tahun sebanyak 25 persen, peternak berusia 36 – 45 tahun 25 persen, berusia 46-55 tahun 25 persen dan peternak dengan usia non produktif 25 persen. Distribusi tersebut dapat diartikan bahwa sebaran peternak berdasarkan kelompok umur tersebar merata. Tabel 18. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Kelompok Umur dan Subsektor Usahatani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Kelompok Umur 25 – 35 36 – 45 46 – 55 >55 Total
Tanaman Pangan Jumlah Persentase (orang) (%) 3 6,98 8 18,60 11 25,58 21 48,84 43 100,00
Perikanan Jumlah Persentase (orang) (%) 0 0,00 4 44,44 0 0,00 5 55,56 9 100,00
Peternakan Jumlah Persentase (orang) (%) 2 25,00 2 25,00 2 25,00 2 25,00 8 100,00
5.6.2 Karakteristik Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan Berdasarkan tingkat pendidikan Responden Subsektor Tanaman Pangan, diketahui bahwa lebih dari setengah responden memiliki tingkat pendidikan yang rendah yaitu hanya tamat Sekolah Dasar 51,16%, bahkan 39,53% dari responden pendidikannya tidak tamat Sekolah Dasar, hanya 6,98% dari responden yang berpendidikan sampai SLTP dan hanya 2,33 % saja yang tamat SMU dan diantara responden tidak ada satu responden pun yang pernah mengenyam pendidikan tinggi dan tidak sekolah pada penelitian ini. Padahal menurut Mosher (1987), petani berperan sebagai pengelola yang akan berhadapan dengan berbagai alternatif yang harus diputuskan dan harus dipilih untuk diusahakan. Petani dengan tingkat pendidikan yang lebih baik dapat menerima pengetahuan secara tertulis dan mempunyai hubungan terhadap tingkat penerimaan suatu teknologi. Semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka akan memudahkan mereka dalam memahamai dan mengadopsi teknologi dan hal-hal baru dalam kegiatan
50
usahataninya, sehingga dapat meningkatkan produktivitas serta pendapatan usahatani. Responden subsektor perikanan jika dilihat dari segi pendidikannya, juga memiliki karakteristik yang mirip dengan petani pada subsektor tanaman pangan. Petani responden memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah. Sebanyak 77,78 persen responden hanya menyelesaikan pendidikan sampai Sekolah Dasar. Hanya 11,11 persen responden yang tamat SLTA, bahkan 11,11 persen lagi tidak pernah
mengenyam
pendidikan
formal.
Indikator
pendidikan
tersebut
menunjukkan bahwa petani responden dalam mengelola budidaya ikan lebih mengandalkan pengalaman. Menurut Soekartawi (1986) yang dinamakan petani kecil adalah petani yang diantaranya memiliki pengetahuan terbatas dan kurang dinamik. Responden subsektor peternakan juga memperlihatkan tingkat pendidikan yang tidak jauh berbeda dengan responden subsektor lainnya . Berdasarkan tingkat pendidikannya, peternak ayam broiler memiliki tingkat pendidikan yang sangat rendah yaitu 37,50 persen tidak sampai tamat Sekolah Dasar dan 37,50 persen hanya tamat Sekolah Dasar. Hanya 12,50 persen yang tamat SLTP dan 12,50 persen lulus SLTA. Tidak ada satupun responden yang tidak pernah sekolah dan pernah duduk di perguruan tinggi. Persentase tingkat pendidikan tersebut menunjukkan bahwa responden penelitian tingkat pendidikan formalnya sangat rendah. Padahal tingkat pendidikan yang tinggi akan mempengaruhi cara dan pola fikir peternak ke arah yang lebih maju dan dinamis. Karakteristik responden penelitian berdasarkan tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 19.
51
Tabel 19. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut tingkat Pendidikan dan Subsektor Usahatani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Tingkat Pendidikan
Tanaman Pangan Jumlah Persentase (orang) (%)
Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD SLTP SLTA Perguruan Tinggi Total
Perikanan Jumlah Persentase (orang) (%)
Peternakan Jumlah Persentase (orang) (%)
0
0,00
1
11,11
0
0,00
17 22 3 1
39,53 51,16 6,98 2,33
0 7 0 1
0,00 77,78 0,00 11,11
3 3 1 1
37,50 37,50 12,50 12,50
0 43
0,00 100,00
0 9
0,00 100,00
0 8
0,00 100,00
Merujuk pada Tabel 19 dapat disimpulkan bahwa sumberdaya manusia yang mengelola sektor pertanian di Kecamatan Dramaga didominasi oleh sumberdaya manusia dengan tingkat pengetahuan dan wawasan yang rendah. Kondisi tersebut tentunya membutuhkan perhatian yang serius dari pemerintah setempat agar sumberdaya manusia pada sektor pertanian lebih maju dalam hal keilmuan dan wawasan. Karena tingkat pendidikan yang rendah akan mempengaruhi respon terhadap informasi, produktivitas dan penerapan inovasi teknologi pertanian. 5.6.3 Karakteristik Responden berdasarkan Jumlah Tanggungan dalam Keluarga Rata-rata responden subsektor peternakan memiliki beban tanggungan di keluarganya. Sebagian besar responden memiliki jumlah tanggungan keluarga antara 3 - 4 orang yaitu sebanyak 37,21 persen dan di urutan kedua responden yang memiliki tanggungan 1-2 orang sebanyak 32,95 persen dan 16,8 persen yang memiliki tanggungan 5 – 6 orang. Hanya 13,95 persen petani responden yang tidak memiliki tanggungan keluarga diantaranya karena responden berstatus janda dan duda memiliki anak namun sudah mandiri. Responden subsektor perikanan yang memiliki jumlah tanggungan dalam keluarganya adalah tanggungan 3-4 orang sebanyak 55,56 persen, tanggungan 1-2 orang 33,33 persen dan tidak memiliki tanggungan 11,11 persen. Petani Responden yang tidak memiliki tanggungan merupakan responden yang memiliki
52
status janda. Diantara petani responden tidak ada yang memiliki tanggungan di atas lima orang. Pada subsektor peternakan jumlah tanggungan dalam keluarga terdiri atas 25 persen peternak memiliki tanggungan 1-2 orang, sebagian besar memiliki tanggungan 3-4 orang yaitu 62,50 persen dan 12,50 persen memiliki tanggungan di atas 6 orang. Jumlah tanggungan dalam keluarga mencerminkan besarnya biaya kebutuhan keluarga responden yang harus dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. Sehingga akan mempengaruhi jumlah modal yang diinvestasikan kembali bagi kegiatan ternaknya. Sebaran responden berdasarkan jumlah tanggungan dalam keluarga dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Jumlah Tanggungan dalam Keluarga dan Subsektor Usahatani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Jumlah Tanggungan Tidak memiliki tanggungan 1 – 2 orang 3 – 4 orang 5 – 6 orang > 6 orang Total
Tanaman Pangan Jumlah Persentase (orang) (%) 6 14 16 7 0 43
13,95 32,56 37,21 16,28 0,00 100,00
Perikanan Jumlah Persentase (orang) (%) 1 3 5 0 0 9
11,11 33,33 55,56 0,00 0,00 100
Peternakan Jumlah Persentase (orang) (%) 0 2 5 0 1 8
0,00 25,00 62,50 0,00 12,50 100,00
5.6.4 Karakteristik Responden berdasarkan Pengalaman Berusahatani Dari penelitian ini dipastikan semua responden tanaman pangan memiliki pengalaman dalam berusahatani. Sebagian besar responden yaitu 25,58 persen responden baru memiliki pengalaman berusahatani antara 17 – 27 tahun. Pengalaman berusahatani yang dimiliki oleh petani menunjukkan lamanya petani berkecimpung dalam usahatani tanaman pangan. Semakin lama pengalaman usahatani seseorang maka dapat disimpulkan petani sudah memahami teknik budidaya dalam kegiatan usahatani yang dijalankannya. Pengalaman responden pada subsektor perikanan dalam mengelola usaha budidaya ikannya, sebesar 44,44 persen responden memiliki pengalaman 0-5 tahun, sebesar 55,56 persen responden memiliki pengalaman 6-16 tahun. Tidak ada satupun diantara responden yang memiliki pengalaman di atas 16 tahun. Pengalaman berusahatani yang dimiliki oleh petani menunjukkan lamanya petani
53
berkecimpung dalam mengelola usahataninya. Semakin lama pengalaman biasanya petani semakin bertambah pengetahuannya. Sehingga dapat memahami teknis budidaya ikan dengan baik. Demikian juga dari hasil wawancara dilapangan, menurut responden dalam membudidayakan ikan faktor pengalaman menjadi faktor penentu keberhasilan dalam budidaya. Lebih lanjut responden mengungkapkan, pembudidaya ikan dengan tingkat pendidikan yang tinggi sekalipun keberhasilannya tetap ditentukan oleh lamanya pengalaman. Pada subsektor peternakan sebagian besar responden, 50 persen memiliki pengalaman 6- 16 tahun, 37,50 persen responden memiliki pengalaman 0-5 tahun dan sisanya 12,50 persen memiliki pengalaman 17-27 tahun. Menurut hasil wawancara dengan responden di lapangan, mereka menyebutkan bahwa pengalaman dalam beternak ayam broiler memiliki peranan yang sangat penting dan menentukan. Menurut mereka peternak dengan pendidikan yang tinggi, tingkat kesuksesan dalam beternak ayam broiler tetap ditentukan oleh pengalaman. Surya (1997) menggolongkan pengalaman seorang peternak antara 1-5 tahun digolongkan sebagai peternak kurang berpengalaman, kelompok peternak 6-10 tahun dan antara 11-15 tahun digolongkan sebagai peternak berpengalaman, peternak dengan pengalaman 16-20 tahun dikatakan sangat berpengalaman. Karakteristik responden berdasarkan pengalaman berusahatani disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Pengalaman dan Subsektor Usahatani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Pengalaman 0–5 6 – 16 17 – 27 28 – 38 39 – 49 >49 Total
Tanaman Pangan Jumlah Persentase (orang) (%) 8 18,60 8 18,60 11 25,58 5 11,63 6 13,95 5 11,63 43 100,00
Perikanan Jumlah Persentase (orang) (%) 4 44,44 5 55,56 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 9 100,00
Peternakan Jumlah Persentase (orang) (%) 3 37,50 4 50,00 1 12,50 0 0,00 0 0,00 0 0,00 8 100,00
5.6.5 Karakteristik Petani Responden berdasarkan Status Usahatani Pada subsektor tanaman pangan hampir sebagian besar responden menggantungkan hidupnya dari usahatani. Sebesar 72,09 persen responden mengungkapkan bahwa bertani merupakan pekerjaan utama mereka. Hal tersebut
54
dikarenakan responden tidak
memiliki banyak pilihan akibat berbagai
keterbatasan yang mereka miliki. Namun responden tersebut diantaranya ada yang memiliki pekerjaan diluar usahatani untuk memperoleh tambahan pendapatan diantaranya ada yang menjadi buruh tani, pedagang dan tukang pijat. Petani responden yang memilih usahatani sebagai pekerjaan sampingan sebesar 12 persen. Diantara pekerjaan utama mereka yaitu pedagang, PNS, pengemudi, penjahit dan lainnya. Petani responden yang memiliki pekerjaan di luar usahatani tentunya akan memperoleh tambahan pendapatan. Tambahan pendapatan tersebut dipergunakan untuk konsumsi atau sebagai modal untuk membeli input produksi pertanian. Dari total petani responden yang menjalankan kegiatan budidaya ikan sebagian besar dari mereka menggantungkan hidupnya pada sektor tersebut. Sebesar 66,67 responden mengaku bahwa membudidayakan ikan merupakan pekerjaan utama bagi mereka, 33,33 persen dari responden memilih budidaya ikan hanya sebagai pekerjaan sampingan. Namun demikian meskipun sebagian besar responden mengatakan budidaya ikan sebagai pekerjaan utama, mereka memiliki pekerjaan sampingan, diantaranya sebagai buruh tani, dan wiraswasta. Petani responden yang mengatakan bahwa budidaya ikan sebagai pekerjaan sampingan umumnya pekerjaan utama mereka berdagang di Pasar TU dan .di antara mereka ada menyewakan kontrakan. Sehingga dengan demikian setiap responden berpeluang memperoleh pendapatan tambahan di luar usahatani dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Pada subsektor peternakan berdasarkan status usahanya, sebagian besar peternak yaitu 87,50 persen menjadikan beternak ayam broiler sebagai mata pencaharian utama. Mereka beralasan bahwa sulit mencari pekerjaan lain. Sisanya 12,50 persen menjadikan beternak sebagai mata pencaharian sampingan. Sebaran responden berdasarkan status usahataninya disajikan pada Tabel 22.
55
Tabel 22. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Status Usaha dan Subsektor Usahatani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Status Usaha Pekerjaan Utama Pekerjaan Sampingan Total
Tanaman Pangan Jumlah Persentase (orang) (%)
Perikanan Jumlah Persentase (orang) (%)
Peternakan Jumlah Persentase (orang) (%)
31
72,09
6
66,67
7
87,50
12 43
27,91 100,00
3 9
33,33 100,00
1 8
12,50 100,00
5.6.6 Karakteristik Responden berdasarkan Skala Usaha Soekartawi et al (1986), dua ciri yang menonjol dari petani kecil ialah kecilnya kepemilikan lahan dan penguasaan sumberdaya serta rendahnya pendapatan yang diterima. Hernanto (1989), mengungkapkan ada empat golongan petani berdasarkan pengusahaan lahan usahatani, yaitu petani dengan golongan petani berlahan luas (lebih dari 2 hektar), golongan petani berlahan sedang (0,5 sampai 2 hektar), golongan petani berlahan sempit (kurang dari 0,5 hektar) dan golongan petani yang tidak memiliki lahan. Berdasarkan hasil penelitian mayoritas petani responden tergolong kedalam petani berskala kecil sebanyak 62,79 persen dengan pengusahaan lahan di bawah 0,5 hektar. Golongan petani menengah hanya 11,63 persen. Namun tidak sedikit juga yang tergolong kedalam petani besar yaitu sebesar 25,58 persen. Semakin luas lahan yang dimiliki atau diusahakan oleh petani, maka kemungkinan besaran pendapatan petani akan semakin tinggi. Karena banyaknya komoditas yang diusahakan, sehingga akan mempengaruhi pula terhadap output usahatani. Sebaran responden subsektor tanaman pangan berdasarkan skala usaha dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Subsektor Tanaman Pangan menurut Skala Usaha di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Skala Usaha Kecil <0,5 Ha Menengah 0,5 - < 1 Ha Besar 1 - ≥ 2 Ha Total
Jumlah (orang) 27 5 11 43
Persentase (%) 62,79 11,63 25,58 100,00
Berdasarkan skala usahanya responden subsektor perikanan didominasi oleh responden dengan skala usaha kecil. Hal tersebut ditunjukkan pada Tabel 24. Luas lahan yang dipergunakan untuk kolam budidaya dengan luasan di bawah 0,5 hektar terdiri dari 66,67 persen responden. Hanya 33,33 persen saja yang 56
mengusahakan lahan untuk kolam budidaya antara 0,5 - <1 hektar. Bahkan tidak ada sama sekali yang mengusahakan lahan untuk kolam budidaya di atas 1 (satu) hektar. Tabel 24. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Subsektor Perikanan menurut Skala Usaha di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Skala Usaha Kecil <0,5 Ha Sedang 0,5 - < 1 Ha Besar 1 - ≥ 2 Ha Total
Jumlah (orang) 6 3 0 9
Persentase (%) 66,67 33,33 0,00 100,00
Pada subsektor peternakan skala usaha ternak ayam broiler dibagi menjadi skala kecil, sedang dan besar. Usaha ternak skala kecil jika peternak memiliki jumlah kurang dari 2.000 ekor, skala sedang dengan kepemilikan jumlah ternak antara 2.000 – 10.000 ekor, dan skala besar dengan jumlah kepemilikan ternak lebih dari 10.000 ekor2. Skala usaha lebih dari 10.000 harus memiliki izin usaha peternak dari dinas atau instansi terkait. Tampak pada Tabel 25 mayoritas responden pada subsektor peternakan memiliki skala usaha sedang yaitu 2000 – 10.000 ekor sebanyak 87,50 persen dan hanya 12,50 persen yang berskala usaha >10.000 ekor. Tidak ada peternak yang usahaternaknya dalam skala kecil. Distribusi responden berdasarkan skala usaha dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Subsektor Peternakan menurut Skala Usaha di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Skala Usaha (ekor) < 2000 2000 – 10.000 > 10.000 Total
Jumlah (orang) 0 7 1 8
Persentase (%) 0,00 87,50 12,50 100,00
2
www.trobos.com/show_article.php. Peternakan Broiler Skala Kecil: Terlupakan Tapi Tetap Ada. Diakses pada tanggal 25 Maret 2009.
57
VI ANALISIS PERSEPSI PETANI TERHADAP LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH 6.1 Lembaga-Lembaga Keuangan yang Menjadi Sumber Pembiayaan Usahatani Responden di Kecamatan Dramaga Keberadaan sumber pembiayaan sangat penting dalam pengembangan produktivitas usahatani, terutama untuk petani berlahan sempit dan petani yang tidak memiliki lahan. Pembiayaan tersebut digunakan untuk tujuan produksi, kegiatan ekonomi lainnya dan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga petani. Berdasarkan bentuknya lembaga pemberi pembiayaan yang terdapat di wilayah penelitian dapat dikelompokkan kedalam dua bagian, yaitu: (a) lembaga pembiayaan informal didominasi oleh tengkulak atau pedagang hasil pertanian, dan pelepas uang atau rentenir; (b) lembaga pembiayaan formal terdiri atas lembaga keuangan konvensional dan lembaga keuangan syariah. Lembaga keuangan konvensional diantaranya, Bank BNI, Bank BRI, Bank Jabar, Bank BTN dan Kredit Program Pemerintah. Adapun lembaga keuangan syariah diantaranya Bank Muammalat, LKS Amanah Ummah, LKS Mandiri, LKS Bina Rahmah, BMT Tadbirul Ummah, dan BMT Aliya. Responden subsektor tanaman pangan pada umumnya tidak begitu mengenal prosedur untuk mengakses pembiayaan di lembaga keuangan formal, baik pada LKK maupun LKS, demikian juga dengan kredit program. Hal tersebut dibuktikan dengan riwayat pinjaman responden yang mayoritas mengakses sumber pembiayaan informal (lampiran 4). Pada Tabel 26 menunjukkan pengalaman petani dalam mengajukan permohonan pembiayaan bahwa dari 43 petani responden subsektor tanaman pangan sebesar 51,16 persen responden pernah mengajukan pembiayaan baik ke lembaga pembiayaan formal maupun informal. Sedangkan 48,84 persen lagi belum pernah mengajukan pembiayaan baik ke lembaga pembiayaan formal ataupun informal. Pada subsektor perikanan, sebagaimana pada responden subsektor tanaman pangan keberadaan sumber pembiayaan bagi petani subsektor perikanan sama pentingnya untuk keberlanjutan usaha. Petani subsektor perikanan memerlukan pembiayaan untuk membiayai operasional budidaya ikan yang menjadi sumber mata pencaharian mereka. Mayoritas responden subsektor 58
perikanan yaitu sebesar 77,78 persen belum pernah mengajukan permohonan pembiayaan baik ke lembaga keuangan formal maupun informal. Hanya 22,22 persen responden saja yang pernah berhubungan dengan sumber pembiayaan. Pada subsektor peternakan pengalaman responden dalam mengajukan pembiayaan, hanya 25 persen responden yang pernah mengajukan pembiayaan ke lembaga keuangan formal. Sedangkan 75 persen responden belum pernah sama sekali mengajukan pembiayaan untuk membiayai usahanya. Adapun sebaran jumlah dan persentase responden menurut pengalaman dalam mengajukan pembiayaan bagi usahataninya dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Pengalaman dalam Mengajukan Pembiayaan dari Berbagai Sumber Pembiayaan di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Uraian a. Belum Pernah b. Pernah Total
Tanaman Pangan Jumlah (%) 21 48,84 22 51,16 43 100,00
Perikanan Jumlah (%) 7 77,78 2 22,22 9 100,00
Peternakan Jumlah (%) 6 75,00 2 25,00 8 100,00
Responden subsektor tanaman pangan yang belum pernah mengajukan pembiayaan mengungkapkan alasan tidak mengajukan pembiayaan karena tidak ingin memiliki beban utang pada siapapun. Dari 22 responden subsektor tanaman pangan yang pernah mengajukan pembiayaan sebagian besar mengajukan pinjaman pada lembaga keuangan non formal yaitu sebesar 54,55 persen. Lembaga keuangan non formal yang banyak diakses oleh responden subsektor tanaman pangan adalah tengkulak (pedagang hasil). Sedangkan responden yang mengakses ke lembaga keuangan formal sebesar 27,27 persen. Di antara lembaga keuangan formal tersebut yaitu Bank BRI, Koperasi, Kredit Program Pemerintah dan Bank Jabar.
Adapun responden yang mengakses ke lembaga keuangan
formal dan lembaga keuangan non formal sebesar 18,18 persen. Tidak terdapat responden yang pernah meminjam modal dari pelepas uang atau yang sering dikenal dengan istilah rentenir, karena tingkat suku bunga pinjaman yang dibebankan oleh rentenir sangat besar dan memberatkan petani. Jika dilihat dari besarnya persentase responden yang meminjam modal dari lembaga keuangan non
59
formal yaitu tengkulak menunjukkan bahwa lembaga tersebut lebih mudah diakses oleh para petani. Pada subsektor perikanan, dari 2 responden yang pernah mengajukan permohonan pembiayaan. Seluruhnya (100%) mengajukan pembiayaan ke lembaga keuangan formal. Sebesar 50 persen dari responden subsektor perikanan yang pernah mengajukan pembiayaan, permohonannya ditolak. Responden tersebut di antaranya mengajukan permohonan kredit program. Menurut responden tersebut, permohonannya ditolak karena pihak penyedia pembiayaan tidak bersedia mencairkan dana karena ada sejumlah pembiayaan macet yang belum diselesaikan oleh kelompok tani lain. Sehingga dana tersebut mengendap dan tidak dapat digulirkan. Di samping itu responden merupakan bagian dari kelompok tani yang sudah menjuarai kompetisi budidaya ikan hingga tingkat Propinsi Jawa Barat. Sehingga penyedia pembiayaan beralasan kelompok tani tersebut harus mampu mengelola usaha budidaya ikan secara mandiri, termasuk masalah permodalan. Padahal hambatan terbesar yang dihadapi responden terkait dengan kepemilikan modal untuk biaya operasional pemeliharaan ikan. Selama ini petani responden memanfaatkan modal yang sangat terbatas, yang mereka peroleh dari pekerjaan diluar budidaya ikan. Aksesibilitas responden subsektor perikanan terhadap sumber pembiayaan, yang memiliki pekerjaan utama di luar usaha budidaya ikan relatif lebih baik bila dibandingkan dengan responden yang menjadikan budidaya ikannya sebagai pekerjaan utama. Meskipun tingkat pendidikannya hanya Sekolah Dasar, tapi responden tersebut memiliki wawasan dan pergaulan yang luas, responden juga merupakan ketua kelompok tani Mina Saluyu, sehingga hal-hal yang berhubungan dengan prosedur pembiayaan bisa dipenuhi dengan baik. Diantara responden subsektor perikanan yang pernah mengajukan pembiayaan dan permohonannya diterima memperoleh akses pembiayaan dari Bank NISP. Sedangkan pada subsektor peternakan diantara responden yang pernah mengajukan dan mengakses pembiayaan berasal dari lembaga keuangan formal. Responden tersebut mendapatkan fasilitas pembiayaan dari Bank Niaga dan Bank HSBC. Adapun sumber-sumber pembiayaan yang pernah diakses petani responden ditunjukkan pada Tabel 27.
60
Tabel 27. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Sumber Pembiayaan yang Pernah Diakses di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Sumber Pembiayaan yang Pernah Diakses Responden a. Lembaga Keuangan Formal b. Lembaga Keuangan Non Formal c. Lembaga Keuangan Formal dan Non Formal Total
Tanaman Pangan Jumlah (%) 6 27,27
Perikanan Jumlah (%) 2 100,00
Peternakan Jumlah (%) 2 100,00
12
54,55
0
0,00
0
0,00
4
18,18
0
0,00
0
0,00
22
100,00
2
100,00
2
100,00
Pada Tabel 27 menunjukkan bahwa responden subsektor tanaman pangan yang pernah mengakses sumber pembiayaan, mayoritas mendapatkan dana untuk usahataninya dari lembaga keuangan non formal yaitu tengkulak. Menurut responden, prosedur untuk memperoleh pinjaman dari tengkulak lebih mudah dibandingkan dengan akses ke sumber pembiayaan lainnya. Untuk mengajukan pembiayaan atau pinjaman modal ke tengkulak tidak memerlukan syarat yang rumit. Para petani cukup dengan mengajukan permohonan secara lisan. Apabila disetujui, pinjaman pun bisa langsung cair pada saat itu juga tanpa harus menunggu berhari-hari. Menurut Supriatna (2003), yang dijadikan pertimbangan dalam pemberian pembiayaan lembaga keuangan non formal adalah aspek kepercayaan, pembiayaan diberikan kepada para petani yang dipercaya melakukan pembayaran cukup lancar. Sistem pembayaran yang dilakukan petani pun tidak diangsur setiap bulan, melainkan dibayar sekaligus pada saat petani panen. Bentuk pembayaran pun dengan hasil panen atau dengan uang tunai. Sehingga mekanisme pembayaran tersebut sangat meringankan petani. Petani responden subsektor tanaman pangan pun hampir tidak memiliki kendala prosedural pada saat mengajukan pembiayaan ke tengkulak atau pedagang hasil. Petani cukup dengan mengajukan permohonan secara lisan dan pada saat itu pula pinjaman modal dicairkan. Tidak ada jaminan apapun yang dikenakan oleh tengkulak yang memberikan pinjaman karena mereka menerapkan prinsip kepercayaan. Hanya saja petani responden berkewajiban untuk menjual hasil panennya ke tengkulak yang bersangkutan pada saat panen raya. Namun besarnya plafond pinjaman yang diberikan tengkulak tidak sebesar responden
61
yang menerima pembiayaan dari lembaga keuangan konvensional. Besarnya plafond pinjaman dari tengkulak berkisar antara Rp 200.000 sampai Rp 5.000.000 tergantung dari pengajuan dan kesepakatan kedua belah pihak. Jenis pinjaman yang diberikan oleh tengkulak kepada petani responden seluruhnya berbentuk uang tunai. Proses pengajuan pinjaman oleh responden dari mulai persiapan, pengajuan, hingga pencairan hanya satu hari saja. Bentuk pengembalian pinjaman pun lebih fleksibel, dapat berupa uang tunai atau hasil panen. Akan tetapi tengkulak lebih mengharapkan bentuk pengembalian dengan hasil panen. Padan lembaga keuangan formal lain halnya dengan prosedur mengakses pembiayaan pada lembaga keuangan non formal. Pada lembaga keuangan formal petani diwajibkan memenuhi syarat-syarat administrasi tertentu yang seringkali dianggap rumit oleh sebagian besar petani. Disamping itu, cara pembayaran yang dilakukan petani harus mengangsur setiap bulan dengan tingkat bunga tertentu. Tidak hanya itu, petani pun seringkali mengeluarkan sejumlah biaya untuk dapat mengakses sumber-sumber pembiayaan tersebut. Tentunya hal yang demikian dapat memberatkan dan menghambat petani dalam mengakses modal yang disediakan lembaga keuangan formal. Responden subsektor tanaman pangan yang pernah mengajukan dan mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan, selain akses pembiayaan ke lembaga keuangan formal, juga terdapat responden yang mengakses pembiayaan dari lembaga keuangan formal diantaranya ke bank, koperasi dan kredit program. Satu orang responden diantaranya pernah mengajukan pembiayaan ke BRI namun permohonannya ditolak. Menurut responden tersebut permohonannya ditolak karena menurut analis kredit bank, daerah tempat tinggal responden tersebut (Sukabakti) merupakan wilayah yang termasuk kedalam daftar hitam kredit macet pihak perbankan, sehingga bank tidak bisa menerima permohonan pembiayaan yang diajukan tersebut. Responden yang permohonannya diterima oleh BRI, nilai plafond pembiayaan yang diterima cukup bervariasi yaitu antara Rp 5.000.000 sampai Rp 40.000.000. Jenis agunan yang diagunkan oleh petani responden umumnya berupa sertifikat tanah dan bangunan. Bentuk pembiayaan yang diterima berupa uang tunai dengan lama pinjaman tergantung dari kesepakatan dan besarnya pinjaman. Lama pengembalian pinjaman berkisar antara 12 – 24 bulan dengan suku bunga 62
2,5 – 6,9 persen perbulan. Besarnya angsuran yang harus dicicil responden perbulannya berkisar antara Rp 500.000 hingga Rp 6.600.000
tergantung
besarnya nilai plafond pembiayaan yang diterima responden, suku bunga dan lamanya cicilan. Adapun lama pengajuan hingga pembiayaan dicairkan berkisar antara 1 – 7 hari. Bentuk cicilan yang harus dibayarkan oleh responden berupa uang tunai. Sejumlah persyaratan yang dipenuhi oleh responden dalam mengajukan pembiayaan ke BRI terdiri dari foto copy kartu identitas, sertifikat tanah, foto copy kartu keluarga, rekening listrik, pelunasan SPPT, dan mengisi formulir permohonan pinjaman. Diantara petani responden yang mengajukan pembiayaan ke BRI diantaranya ada yang mengeluarkan sejumlah biaya pada saat pengajuan pembiayaan. Besarnya biaya tersebut berkisar antara Rp 50.000 – Rp 2.000.000. Responden mengakui bahwa sejumlah uang tersebut dikeluarkan untuk biaya administrasi dan uang pelicin yang diberikan kepada petugas bank, agar pinjaman bisa diproses dan cepat cair. Responden yang pernah mendapatkan pembiayaan dari koperasi, nilai plafond pembiayaan yang diterima sebesar Rp 3.000.000 bahkan ada yang Rp 100.000.000. Dalam prosedur pembiayaan pun pihak koperasi tidak menerapkan agunan. Karena petani responden tersebut merupakan petani yang sudah berhubungan baik dengan koperasi dan dapat dipercaya. Apalagi satu diantara responden tersebut memiliki kedekatan dengan penguasa pada saat itu. Bentuk pembiayaan yang diterima berupa uang tunai dengan periode pinjaman selama 10 – 12 bulan. Bunga pinjaman yang diberlakukan 0,5 persen perbulan. Lama proses pengajuan oleh responden dalam mengakses pembiayaan tersebut berkisar antara 1-2 hari dari sejak mengajukan permohonan hingga pinjaman tersebut cair. Bentuk pengembalian yang harus dibayarkan petani responden berupa uang tunai dengan cara pembayaran sekaligus di akhir periode pinjaman. Menurut responden terakhir kali memperoleh pinjaman dari koperasi diperoleh pada tahun 1990 dan 1999, hingga kini belum memperoleh lagi pembiayaan serupa. Petani responden berasumsi bahwa pihak koperasi saat ini kurang memperdulikan petani yang kekurangan modal. Petani responden pun menuturkan bahwa meskipun saat ini ada beberapa kredit program pemerintah
63
untuk sektor pertanian, namun mereka kesulitan untuk mengakses pembiayaan tersebut dikarenakan prosedur pengajuan terlalu rumit. Demikian juga halnya dengan responden yang pernah memperoleh kredit program. Mereka terakhir kali memperoleh pembiayaan masing-masing pada tahun 1990 dan 2003. Besarnya nilai plafond pembiayaan yang diterima responden sebesar Rp 500.000 dan Rp 2.500.000. Pada saat mengajukan permohonan, petani responden tidak diharuskan mengagunkan aset. Bentuk pembiayaan yang diterima responden berupa uang tunai. Lamanya pinjaman berkisar antara empat hingga 12 bulan tergantung kesepakatan responden dengan pihak pengelola KKP. Prosedur pengajuan pun tidak rumit sehingga pembiayaan bisa cair dalam tempo satu hari. Bentuk pengembalian yang harus dibayarkan oleh petani peminjam berupa uang tunai yang bisa dibayarkan dengan cara diangsur ataupun sekaligus tergantung kesepakatan pihak pengelola KKP dengan petani peminjam. Petani responden yang mengakses pembiayaan dari Bank Jabar memperoleh nilai plafond pembiayaan sebesar Rp 15.000.000. Bentuk pembiayaan berupa uang tunai dengan tingkat suku bunga 5,7 persen per bulan. Lama periode pinjaman 48 bulan dengan besar cicilan Rp 450.000 per bulan dan bentuk pengembalian berupa uang tunai. Lamanya proses pengajuan pembiayaan hingga cair diperkirakan 1-7 hari. Prosedur pengajuan pada Bank Jabar pun tidak jauh berbeda dengan prosedur pengajuan pada Bank BRI. Adapun syarat pengajuan yang dipenuhi responden berupa foto copy KTP suami dan istri, SK 80, SK AGB, dan kartu pegawai. Namun responden pada saat pengajuan permohonan tidak mengeluarkan biaya sebagaimana dilakukan responden yang mengakses pembiayaan ke Bank BRI. Pada subsektor perikanan, diantara responden yang pernah mengajukan pembiayaan dan permohonannya diterima memperoleh fasilitas pembiayaan dari Bank NISP dengan nilai plafond pinjaman Rp 40.000.000. Jenis agunan yang diagunkan berupa kios dagang. Bentuk pembiayaan yang diperoleh berupa uang tunai dengan lama pinjaman 12 bulan, tingkat suku bunga yang diberlakukan 4,2 persen per bulan. Besarnya cicilan yang harus dibayarkan responden setiap bulannya Rp 6.000.000. Proses pengajuan pembiayaan dari mulai persiapan persyaratan hingga pembiayaan dicairkan 1-3 hari. Besar biaya yang dikeluarkan 64
responden untuk mengakses pembiayaan tersebut sebesar Rp 1.000.000. Responden beralasan bahwa biaya tersebut dikeluarkan untuk mempercepat pencairan pengajuan pembiayaan. Persyaratan administrasi yang dilengkapi responden untuk pengajuan pembiayaan ke Bank NISP terdiri atas foto copy KTP, rekening listrik, rekening telepon, surat nikah, agunan, dan slip setoran kendaraan roda empat. Selengkapnya riwayat pinjaman responden dapat dilihat pada lampiran 4. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, peternak yang pernah mengajukan dan mengakses pembiayaan dari lembaga keuangan formal mendapatkan fasilitas pembiayaan dari Bank Niaga dan Bank HSBC. Nilai plafond yang diperoleh peternak yang mendapatkan pembiayaan dari Bank Niaga sebesar Rp 100 juta. Jaminan yang diagunkan berupa sertifikat tanah. Bentuk pembiayaan yang diperoleh berupa uang tunai dengan lama pengembalian 36 bulan. Besarnya suku bunga pinjaman yang harus dibayar bersama-sama modal pinjaman sebesar 1,5 persen per bulan. Proses pengajuan hingga pembiayaan bisa dicairkan berkisar antar 1-7 hari. Bentuk pengembalian oleh peternak tersebut berupa uang tunai yang diangsur setiap bulan selama 36 bulan. Peternak dalam mengajukan pembiayaan ke Bank Niaga tersebut mengeluarkan biaya sebesar Rp 2.000.000. Biaya tersebut diakui peternak responden untuk mempercepat proses pencairan pembiayaan. Biaya tambahan di luar biaya yang ditentukan oleh pihak bank sangat merugikan peternak. Karena nilai plafond yang diperoleh peternak tidak seratus persen diterima secara utuh. Selain itu budaya tersebut merupakan kebiasaan yang sesungguhnya
melanggar
hukum.
Meskipun
peternak
dapat
mengakses
pembiayaan pada bank tersebut, tetapi peternak seringkali dirugikan dengan kebiasaan-kebiasaan tersebut. Peternak responden yang memperoleh akses pembiayaan dari Bank HSBC, memperoleh pembiayaan dengan nilai plafond Rp 6.000.000 selama 24 bulan. Dana yang diperoleh tersebut digunakan untuk biaya operasional usahaternak. Jaminan yang diagunkan oleh peternak tersebut berupa sertifikat tanah. Bentuk pembiayaan yang diterima berupa uang tunai dengan besar bunga pinjaman 1,5 persen perbulannya. Proses pengajuan dari mulai persiapan
65
persyaratan hingga dana dicairkan berkisar antara 1-5 hari. Bentuk pengembalian (cicilan) berupa uang tunai dengan nilai angsuran Rp 340.000 setiap bulan. Seperti halnya peternak yang mengakses pembiayaan dari bank Niaga, responden subsektor peternakan yang mendapatkan akses pembiayaan dari bank HSBC pun mengeluarkan dana tambahan di luar ketentuan yang ditetapkan pihak bank. Besarnya biaya tersebut Rp 500.000, responden mengakui bahwa biaya tersebut dibayarkan sebagai pelicin agar permohonan pembiayaan yang diajukan lolos verifikasi. Adapun riwayat pinjaman dan sumber-sumber pembiayaan yang diakses peternak dapat dilihat pada lampiran 4. Dari beberapa responden yang pernah mengakses pembiayaan pada lembaga keuangan formal diantaranya dapat dicirikan (a) memiliki skala usaha atau kepemilikan lahan yang relatif besar, (b) memiliki pekerjaan di luar usahatani, (c) pernah berhubungan dengan bank sebelumnya. Responden yang memiliki usaha atau kepemilikan lahan relatif besar lebih meyakinkan bagi pihak bank pada saat dilakukan analisis pembiayaan. Responden yang memiliki pekerjaan di luar usahatani dinilai oleh pihak bank memiliki peluang untuk dapat membayar angsuran pembiayaan. Karena tidak tergantung pada hasil usahatani. Pihak bank menilai usaha pada sektor pertanian merupakan usaha yang memiliki resiko cukup tinggi dan penuh dengan ketidakpastian. Adapun responden yang pernah berhubungan dengan bank sebelumnya, sudah memiliki pengalaman dalam mengakses pembiayaan dari bank, sehingga dapat memahami prosedur-prosedur yang ditetapkan oleh bank. Selain responden yang pernah mengakses pembiayaan terdapat responden yang belum pernah mengajukan pinjaman baik ke lembaga keuangan formal maupun non formal. Responden subsektor tanaman pangan yang belum pernah mengajukan pembiayaan mengemukakan beberapa alasan tidak mengakses pembiayaan termasuk dari bank. Adapun hambatan-hambatan tersebut, sebesar 19,05 persen terhambat karena besarnya angsuran per bulan, sebesar 14,29 persen tidak tertarik karena besarnya angsuran dan tingkat suku bunga yang dibebankan oleh pemberi pinjaman. Kemudian 38,10 persen keberatan karena besarnya angsuran dan ketersediaan jaminan. Sebanyak 19,05 persen karena besarnya angsuran, cara pengembalian dan tingkat suku bunga yang dibebankan, dan 9,52 persen responden terhamabat karena besarnya angsuran, tingkat suku bunga, dan 66
ketersediaan jaminan. Pada umumnya petani mengharapkan besarnya angsuran pinjaman dapat dijangkau oleh mereka dan tingkat suku bunga yang diharapkan pun tidak terlalu besar atau bila memungkinkan tanpa bunga pinjaman. Petani khawatir pada saat tidak mampu mengangsur cicilan tiap bulan, bunga pinjaman akan menjadi berlipat ganda seperti halnya yang sering diterapkan oleh rentenir. Responden juga khawatir jika pembayaran pembiayaannya macet, maka jaminan yang diagunkan akan dieksekusi oleh pihak bank, sedangkan responden tanaman pangan pada umumnya merupakan petani skala kecil dimana pada umumnya kepemilikan lahan pun sangat terbatas, dilain pihak untuk menjalankan usahataninya petani membutuhkan modal yang tidak sedikit. Pada subsektor perikanan, responden yang tidak pernah mengajukan pinjaman ke lembaga keungan formal maupun lembaga keuangan informal seperti halnya responden subsektor tanaman pangan beralasan tidak ingin memiliki beban utang. Di samping itu terdapat beberapa prosedur dalam memperoleh pembiayaan yang menurut pendapat petani subsektor perikanan tersebut memberatkan, diantaranya 42,86 persen responden terkendala dengan besarnya angsuran dan tingkat suku bunga yang dibebankan, 28,57 persen terkendala dengan besarnya angsuran, cara pengembalian pinjaman, dan tingkat suku bunga, 28,57 persen terkendala dengan besarnya angsuran, tingginya tingkat suku bunga pinjaman dan jaminan. Pada dasarnya responden pada subsektor perikanan tidak keberatan dengan prosedur tersebut, namun seringkali mereka menginginkan jaminan yang diagunkan berupa harta bergerak seperti kendaraan bermotor. Pada umumnya jaminan yang diinginkan oleh bank berupa sertifikat tanah dan bangunan. Sehingga ada rasa takut pada responden apabila ada kendala pada saat pembayaran cicilan, tanah dan bangunan yang diagunkan dieksekusi oleh bank. Hasil penelitian Supriatna (2003), menginformasikan bahwa sesuai dengan karakteristik petani pada umumnya, petani kecil mengharapkan pembiayaan dengan agunan bukan berupa sertifikat tanah tetapi barang bergerak, pembiayaan dalam bentuk uang tunai, periode pembiayaan musiman, cara pengembalian pembiayaan satu kali setelah panen dan tingkat suku bunga pembiayaan dibawah 18 persen pertahun. Sedangkan pada subsektor peternakan, diantara peternak responden ada juga yang tidak tertarik untuk mengakses pembiayaan dari lembaga keuangan 67
formal seperti bank. Peternak beralasan tidak ingin memiliki beban utang. Namun diantaranya terdapat peternak yang tertarik untuk mengakses pembiayaan dari bank, namun terkendala oleh beberapa hal seperti besarnya angsuran dikemukakan oleh 66,67 persen, besarnya angsuran dan suku bunga dikemukakan oleh 16,67 persen dan besarnya angsuran serta ketersediaan jaminan diungkapkan oleh 16,67 persen. Selengkapnya di antara kendala-kendala tersebut dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Alasan tidak Mengakses Pembiayaan dari Lembaga Keuangan di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Alasan Tidak Mengakses a. Besarnya angsuran b. Besarnya angsuran dan suku bunga c. Besarnya angsuran dan ketersediaan jaminan d. Besarnya angsuran, cara pengembalian dan suku Bunga e. Besarnya angsuran, suku bunga dan ketersediaan Jaminan Total
Tanaman Pangan Jumlah (%) 4 19,05
Perikanan Jumlah (%) 0 0,00
Peternakan Jumlah (%) 4 66,67
3
14,29
3
42,86
1
16,67
8
38,10
0
0,00
1
16,67
4
19,05
2
28,57
0
0,00
2 21
9,52 100,00
2 7
28,57 100,00
0 6
0,00 100,00
6.2 Daya Jangkau Responden terhadap Lembaga Keuangan Syariah Berdasarkan perolehan informasi mengenai LKS sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 29, sebesar 39,53 persen responden subsektor tanaman pangan menyatakan pernah mendengar LKS. Responden yang pernah mendengar tentang LKS rata-rata memperoleh informasi dari media massa atau media elektronik yaitu sebanyak 13,95 persen dan sebagian besarnya 25,58 persen memperoleh informasi mengenai LKS dari teman. Tidak ada satupun responden yang mendapatkan informasi dari petugas LKS yang turun secara langsung ke lapangan. Hal ini menunjukkan bahwa sosialisasi yang dilakukan oleh LKS yang terdapat di Kecamatan Dramaga kepada masyarakat yang berada di lingkungan yang sama sangat rendah. Padahal semestinya sesuai dengan klaim bank syariah yang membiaya sektor riil dimana salah satunya merupakan sektor pertanian seyogyanya pihak LKS melakukan upaya untuk merangkul dan mempermudah
68
petani setempat dalam mengakses pembiayaan yang disediakan oleh LKS tersebut. Pada subsektor perikanan, perolehan informasi dan pengetahuan responden terhadap keberadaan LKS berbeda dengan petani responden tanaman pangan. Sebagian besar 55,56 persen pernah mendengar tentang LKS dan sebanyak 44,44 persen belum pernah mendengar tentang LKS. Responden yang pernah mendengar LKS sebanyak 33,33 persen mendengar informasi mengenai LKS dari teman, 11,11 persen mengetahuinya dari iklan yang ditayangkan media massa maupun elektronik dan sisanya 11,11 persen memperoleh informasi dari petugas bank. Namun demikian meskipun mayoritas responden pernah mendapatkan informasi mengenai LKS, seratus persen responden belum ada yang pernah mengakses pembiayaan dari LKS. Sedangkan pada subsektor peternakan pengetahuan responden terhadap LKS, sebanyak 50 persen peternak responden pernah mendengar LKS dan 50 persen belum pernah mendengar tentang LKS. Responden yang pernah mendengar LKS pada umumnya memperoleh informasi mengenai LKS dari media elektronik sebesar 37,25 persen dan dari teman 12,50 persen. Jumlah dan persentase responden menurut perolehan informasi mengenai LKS di Kecamatan Dramaga tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Perolehan Informasi mengenai LKS di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Uraian Belum pernah Pernah mendengar • Sumber informasi a. Petugas bank b. Media massa/elektronik c. Teman Total
Tanaman Pangan Jumlah (%) 26 60,47 17 39,53 0 6 11 43
0,00 13,95 25,58 100,00
Perikanan Jumlah (%) 4 44,44 5 55,56 1 1 3 9
11,11 11,11 33,33 100,00
Peternakan Jumlah (%) 4 50,00 4 50,00 0 3 1 8
0,00 37,50 12,50 100,00
Dilihat dari kemampuan petani dalam menjangkau pembiayaan dari LKS dipastikan seluruh responden penelitian (100%) menyatakan bahwa belum pernah mengajukan permohonan pembiayaan ke LKS. Sedangkan jika dilihat dari jarak tempat tinggal responden tanaman pangan dan subsektor perikanan yang berada di
69
Desa Sukawening ke LKS terdekat hanya berkisar antara 3-4 km dengan waktu tempuh kurang lebih 10-15 menit. Demikian juga dengan lokasi tempat tinggal responden subsektor peternakan yang berjarak 5 km dari lokasi LKS terdekat dengan waktu tempuh 15 hingga 20 menit. Namun ditinjau dari jarak tempat tinggal pun tidak ada responden yang mengetahui keberadaan LKS secara langsung dari pihak LKS. Hal tersebut berarti bahwa sosialisasi yang dilakukan oleh LKS yang berada di Kecamatan Dramaga intensitasnya sangat rendah. Ada beberapa alasan belum mengakses ke LKS yang dikemukakan responden. Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 30, sebesar 41,86 persen responden subsektor tanaman pangan mengungkapkan bahwa alasan responden belum pernah mengakses LKS karena tidak ada informasi dan pengetahuan tentang prosedur dan skim-skim pembiayaan yang tersedia di LKS. Padahal informasi sangat penting bagi responden untuk memutuskan mengakses atau tidak mengakses pembiayaan di LKS. Sebesar 46,51 persen responden menganggap bahwa LKS sama saja dengan bank konvensional. Persamaan tersebut dilihat dari kemudahan dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan di LKS diantaranya: (a) jaminan; bahwa menurut petani responden LKS juga menerapkan jaminan sebagaimana pada bank umum atau bank konvensional. Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, bahwa agunan merupakan faktor yang seringkali menghambat responden dalam mengakses pembiayaan baik di bank konvensional maupun LKS. (b) bunga; bahwa menurut petani responden pada LKS menerapkan sistem bunga juga, hanya digantikan dengan istilah bagi hasil dimana pada prinsipnya merupakan kelebihan pinjaman yang harus dibayarkan pada saat mengangsur cicilan, (c) angsuran: bahwa menurut petani cara yang diterapkan LKS sama dengan yang diterapkan bank konvensional dimana pembayaran cicilan diangsur setiap bulan. Padahal petani mengharapkan sistem pembayaran dilakukan setiap musim panen. Karena mereka tidak memiliki sumber penghasilan lain yang dapat diandalkan untuk membayar cicilan. (d) syarat administrasi; pada umumnya petani responden menginginkan pengajuan pembiayaan pada LKS seperti halnya mengajukan pembiayaan ke tengkulak atau pedagang hasil pertanian yang hanya berdasarkan kepercayaan. Petani responden tidak begitu paham dengan syarat-syarat administratif yang menurut mereka sangat rumit untuk dipenuhi. Hal tersebut bisa 70
dikatakan wajar karena pada umumnya petani responden memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Sehingga sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan dan wawasan yang dimiliki. Sebesar 9,30 persen responden pada subsektor tanaman pangan terkendala karena tidak ada informasi dan pengetahuan tentang LKS dan beranggapan kalau LKS sama saja dengan bank konvensional. Selain itu ada juga diantaranya responden yang terkendala karena tidak ada LKS dekat tempat tinggal. Menurut responden ini jarak LKS dengan tempat tinggal cukup jauh, sehingga untuk menjangkaunya harus mengeluarkan biaya transportasi lagi. Namun alasan ini hanya dikemukakan oleh 2,33 persen. Adapun beberapa alasan yang diungkapkan responden subsektor perikanan tidak mengakses pembiayaan pada LKS antara lain, sebesar 66,67 persen menyatakan tidak memiliki pengetahuan dan informasi yang cukup mengenai prosedur pengajuan pembiayaan pada LKS karena LKS belum begitu populer di wilayah penelitian. Hal tersebut kemungkinan karena kurangnya promosi oleh LKS yang berada di wilayah penelitian. Sebesar 22,22 persen responden subsektor perikanan mengungkapkan bahwa LKS sama saja dengan bank konvensional dan 11,11 persen karena ketersediaan jaminan dan penghasilan yang tidak menentu. Pernyataan tersebut dapat dimaklumi mengingat pada LKS juga menerapkan prinsip (5C+1) yang sama dengan bank konvensional hanya terdapat beberapa perbedaan dalam mekanisme transaksi. Menurut Dendawidjaya (2001), analisis pembiayaan yang diterapkan oleh bank diantaranya menerapkan prinsip 5C+1 yaitu character, capital, capacity, condition of economic, collateral dan constraints. Menurut Supriatna (2003), perbedaan mendasar antara sistem pembiayaan syariah dan konvensional terletak pada distribusi resiko usaha. Pada sistem pembiayaan konvensional, balas jasa modal ditentukan berdasarkan persentase tertentu dan resiko sepenuhnya ditanggung oleh salah satu pihak. Untuk hal nasabah sebagai deposan, resiko sepenuhnya berada pada pihak bank dan sebaliknya apabila nasabah sebagai peminjam, resiko sepenuhnya berada di tangan peminjam. Sementara pada sistem syariah ditetapkan sistem bagi hasil dimana jasa dan modal diperhitungkan berdasarkan keuntungan dan kerugian yang diperoleh yang didasarkan pada "akad". Prinsip utama dari "akad" ini adalah keadilan antara pemberi modal dan pemakai modal. 71
Hal lain, sektor pertanian dikenal sebagai sektor usaha yang cukup beresiko dan penuh ketidakpastian yang menyebabkan minat lembaga pembiayaan untuk mendanai usaha sektor ini relatif rendah. Selain itu menurut Soekartawi (1986), ciri dari petani kecil salah satunya mempunyai sumberdaya terbatas sehingga menciptakan tingkat kesejahteraan hidup yang rendah. Tentunya hal tersebut sangat mempengaruhi tingkat aksesibilitas petani terhadap sumbersumber pembiayaan tadi. Pada subsektor peternakan sebagian besar responden (50%) menganggap bahwa LKS tidak ada bedanya dengan bank konvensional dilihat dari aspek bunga pinjaman, jaminan dan persyaratan administrasi lainnya. Sebanyak 37,50 persen responden mengungkapkan akses terhambat karena minimnya sosialisasi dan informasi yang diberikan secara langsung oleh LKS setempat dan sebesar 12,50 persen menyatakan ketersediaan jaminan dan penghasilan yang tidak menentu. Dari uraian mengenai daya jangkau responden dari ketiga subsektor dapat diartikan bahwa daya jangkau responden terhadap LKS dikatakan sangat rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari persentase responden yang pernah mengakses LKS. Seratus persen responden belum pernah ada yang mengakses pembiayaan dari LKS. Rendahnya daya jangkau responden sebagian besar dikarenakan munculnya anggapan bahwa LKS tidak berbeda dengan bank konvensional dan kurangnya promosi yang dilakukan oleh manajemen LKS yang berada di Kecamatan Dramaga, sehingga responden tidak
mengetahui secara pasti prosedur
pembiayaan pada LKS. Apalagi sebagian besar responden berpendidikan rendah dan kurang aktif dalam mencari informasi.
72
Tabel 30. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Alasan Belum Pernah Mengakses LKS di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Alasan Belum Mengakses LKS a. Tidak ada informasi dan pengetahuan tentang LKS b. LKS sama saja dengan bank Konvensional
Tanaman Pangan Jumlah (%)
c.Tidak ada informasi dan pengetahuan tentang LKS dan LKS sama saja dengan Bank konvensional d.Tidak ada LKS dekat tempat tinggal e. Ketersediaan jaminan dan penghasilan tidak menentu Total
Perikanan Jumlah (%)
Peternakan Jumlah (%)
18
41,86
6
66,67
3
37,50
20
46,51
2
22,22
4
50,00
4
9,30
0
0,00
0
0,00
1
2,33
0
0,00
0
0,00
0 43
0,00 100,00
1 9
11,11 100,00
1 8
12,50 100,00
Dilain pihak, manajemen LKS yang terdapat di Kecamatan Dramaga dan sekitarnya masih memandang sektor pertanian pada subsistem usahatani sangat beresiko dan penuh dengan ketidakpastian. Maka dari itu, kebijakan alokasi kredit untuk sektor pertanian pada subsistem usahatani pun nilainya sangat kecil. Lebih jauh lagi mereka menuturkan bahwa pada umumnya petani yang terdapat di Kecamatan Dramaga meskipun memiliki lahan namun pada umumnya tidak bersertifikat melainkan hanya berupa girig. Sehingga pada saat mengajukan pembiayaan seringkali girig tersebut tidak dapat dijaminkan. Selain itu manajemen LKS beralasan bahwa dana yang dipergunakan bagi pembiayaan berasal dari dana pihak ketiga, sehingga dalam menyalurkan dana tersebut pihak LKS dituntut untuk berhati-hati. 6.2.1 Daya Jangkau Petani Responden terhadap Lembaga Keuangan Syariah Dilihat dari Aspek Pendapatan Salah satu indikator kelayakan yang dianalisa perbankan pada saat memberikan pembiayaan yaitu pendapatan petani. Pendapatan digunakan untuk mengetahui gambaran secara umum mengenai struktur biaya usahatani, penerimaan dan pendapatan dari kegiatan usahatani yang dijalankan. Metode yang digunakan dalam menghitung pendapatan usahatani yaitu dengan cara membandingkan antara pendapatan usahatani dari ketiga subsektor.
Analisis
pendapatan usahatani ini menggunakan hasil pendapatan rata-rata atas biaya tunai
73
dan atas biaya total dari ketiga subsektor dalam satu tahun. Untuk subsektor peternakan dan subsektor perikanan dihitung berdasarkan hasil konversi terhadap satuan luas lahan dalam hektar (Ha). Sedangkan untuk subsektor peternakan dihitung berdasarkan hasil konversi kedalam per seribu ekor ayam. Hasil penghitungan ini digunakan untuk melihat pengaruh pendapatan terhadap aksesibilitas dari setiap subsektor terhadap LKS dilihat dari pendapatan usahatani. 1) Biaya Usahatani Komoditas yang banyak diusahakan oleh petani subsektor tanaman pangan umumnya terdiri dari padi, jagung, buncis, kacang panjang, bengkuang, ubi jalar, ketela pohon, dan tanaman buah diantaranya jeruk, jambu klutuk dan pepaya. Komoditas yang diusahakan oleh petani subsektor perikanan yaitu ikan gurame, mas dan bawal. Sedangkan pada subsektor peternakan yaitu mengusahakan ayam broiler (pedaging). Rata-rata lahan yang diusahakan oleh petani subsektor tanaman pangan seluas 0,5 Ha. Petani subsektor perikanan rata-rata mengusahakan lahan seluas 0,3 Ha. Sedangkan untuk petani subsektor peternakan besarnya usaha diukur berdasarkan jumlah ekor ayam yang diusahakan. Rata-rata jumlah ayam yang diusahakan sebanyak 8625 ekor per periode. Masa tanam dan masa panen petani subsektor tanaman pangan untuk petani yang mengusahakan padi, jagung, buncis, dan kacang panjang biasanya berkisar antara 2-3 kali dalam setahun. Untuk petani yang mengusahakan bengkuang dan ubi jalar 2 (dua) kali dalam setahun, ketela pohon satu kali dalam setahun. Sedangkan untuk petani yang mengusahakan tanaman tahunan seperti tanaman jeruk, pepaya dan jambu kelutuk tentunya berbeda dengan tanaman musiman. Jika terpelihara dengan baik tanaman tahunan tersebut dapat bertahan 37 tahun. Panen pada tanaman tahunan dilakukan seminggu satu kali sesuai dengan kondisi. Pada subsektor perikanan siklus budidaya dan masa panen erat kaitannya dengan ukuran benih ikan yang ditebar pada saat penanaman, lama pemeliharaan dan pakan yang diberikan. Jika tahapan penebaran ikan gurame dimulai dari bibit dengan ukuran tiga jari panen bisa mencapai dua kali dalam setahun, namun bila pembenihan dimulai pada tahapan larva, panen ikan bisa mencapai dua tahun sekali. Pemanenan ikan dilakukan pada saat ukuran bobot rata-rata ikan telah 74
mencapai 500 gram hingga 1 kg per ekor. Namun demikian selain mengusahakan ikan gurame petani pada subsektor perikanan mengusahakan ikan mas dan bawal. Sehingga selama menunggu panen ikan gurame, petani dapat memperoleh pemasukan dari hasil penjualan ikan mas dan bawal. Dari mulai penanaman hingga panen untuk ikan mas dan gurame bisa mencapai 2 (dua) kali dalam setahun yaitu setiap 5 (lima) dan 6 (enam) bulan sekali. Namun hal tersebut sangat tergantung dari ukuran dan kualitas benih ikan yang dibudidayakan. Periode budidaya dan masa panen petani subsektor peternakan sangat beragam berkisar antara 3-6 periode, namun periode rata-rata berkisar 5 (lima) periode budidaya dalam setahun. Dalam satu periode budidaya, ayam broiler baru dapat dipanen pada hari ke-32. Rata-rata bobot ayam yang bisa dipanen 1,5 kg per ekor dengan harga jual rata-rata Rp 12.750 per kg. Skala usaha dan siklus budidaya dari ketiga subsektor usahatani akan berpengaruh terhadap besaran biaya yang dikeluarkan untuk membiayai kegiatan tersebut. Selain itu akan berpengaruh juga terhadap besar kecilnya penerimaan dan pendapatan usahatani. Analisis biaya pada usahatani subsektor tanaman pangan, subsektor perikanan dan subsektor peternakan dibagi menjadi dua yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya variabel adalah biaya yang nilainya dipengaruhi oleh besarnya produksi dari masing-masing subsektor. Sedangkan biaya tetap adalah biaya yang besarnya tidak ditentukan oleh besarnya produksi pada masing-masing subsektor. Biaya variabel pada usahatani subsektor tanaman pangan diantaranya adalah biaya pembelian benih, biaya pupuk, biaya obat-obatan, biaya pestisida, dan biaya tenaga kerja. Sementara yang termasuk kedalam jenis biaya tetap diantaranya adalah biaya pajak lahan, penyusutan peralatan, biaya sewa lahan untuk petani responden yang status lahannya sewa. Pada subsektor perikanan yang termasuk ke dalam biaya variabel diantaranya biaya pembelian bibit ikan, biaya pakan, pembelian pupuk kandang, biaya pembelian garam, kapur dan tenaga kerja. Sementara yang termasuk ke dalam biaya tetap diantaranya adalah biaya pajak lahan, penyusutan peralatan, biaya sewa lahan untuk petani responden yang status lahannya sewa.
75
Pada subsektor peternakan komponen biaya variabel dalam usaha ternak ini adalah biaya doc, biaya pakan, obat-obatan, vaksin, vitamin, bahan desinfektan, deterjen, sekam, gas, kayu bakar, minyak tanah, listrik, tenaga kerja, biaya pemanenan, dan biaya pembersihan kandang. Biaya untuk doc, pakan, vaksin, obat-obatan dan bahan kimia, seluruhnya ditanggung dari pihak inti, namun peternak tetap wajib membayarnya jika telah mendapatkan pembayaran hasil panen. Biaya tetap pada usaha ternak ayam broiler meliputi biaya penyusutan kandang dan biaya penyusutan peralatan. Biaya tetap dan biaya variabel yang dibebankan kepada petani ada terdiri dari biaya tunai dan ada yang tidak tunai (diperhitungkan). Pembagian jenis biaya tunai dan diperhitungkan ini dinilai penting karena analisis pendapatan yang dilakukan pada penelitian ini juga dibagi menjadi pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Biaya tunai pada usahatani subsektor tanaman pangan terdiri dari biaya penggunaan sarana produksi, biaya tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga, biaya pajak lahan, dan biaya sewa lahan. Sedangkan yang termasuk kedalam biaya diperhitungkan adalah biaya penyusutan, dan tenaga kerja dalam keluarga. Biaya tunai pada subsektor perikanan terdiri dari biaya bibit ikan, biaya pakan, kapur, garam, pembelian pupuk kandang, dan biaya tenaga kerja luar keluarga. Sedangkan yang termasuk kedalam biaya diperhitungkan terdiri atas biaya penyusutan dan biaya tenaga kerja dalam keluarga. Biaya tunai pada subsektor peternakan terdiri dari biaya pembelian DOC, biaya pakan, obat-obatan, vaksin, vitamin, bahan desinfektan, deterjen, sekam, gas, kayu bakar, minyak tanah, listrik, tenaga kerja, biaya pemanenan, dan biaya pembersihan kandang. Sedangkan biaya diperhitungkan terdiri atas biaya penyusutan kandang dan peralatan. Adapun rata-rata struktur biaya tunai dan biaya total dari masing-masing subsektor dapat dilihat pada Tabel 31.
76
Tabel 31. Rata-Rata Struktur Biaya Usahatani Responden menurut Subsektor Usahatani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Jenis Biaya
Biaya Tunai Rata-rata(Rp) Biaya Diperhitungkan ratarata (Rp) Biaya Total Rata-rata (RP)
Subsektor Tanaman Pangan (per Ha/tahun) 6.218.599
Subsektor Perikanan (per Ha/tahun)
Subsektor Peternakan (per1000ekor/tahun)
17.631.933
81.141.667
1.245.849 7.464.448
76.535 17.708.468
619.052 81.760.719
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, biaya variabel dan biaya tetap yang dibebankan kepada petani ada yang bersifat tunai dan ada yang bersifat tidak tunai (diperhitungkan). Biaya tunai pada subsektor tanaman pangan terdiri dari biaya penggunaan sarana produksi seperti pupuk dan pestisida, biaya penggunaan tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga (TKLK) serta biaya pajak lahan yang dibebankan bagi petani yang status lahan milik atau biaya sewa lahan bagi petani dengan status lahan sewa. Sedangkan yang termasuk kedalam biaya diperhitungkan diantaranya biaya penyusutan peralatan dan biaya tenaga kerja dalam keluarga (TKDK). Besarnya nilai rata-rata biaya tunai dan diperhitungkan pada subsektor tanaman pangan yaitu Rp 6.218.599 dan Rp 1.245.849. Sehingga total biaya rata-rata yang dikeluarkan oleh responden subsektor tanaman pangan persatuan luas (Ha) per tahun adalah Rp 7.464.448. Biaya tunai pada subsektor perikanan sebagian besar dikeluarkan untuk biaya pembelian pakan, bibit ikan, pupuk kandang, kapur, garam, dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). serta biaya pajak lahan yang dibebankan bagi petani yang status lahan milik atau biaya sewa lahan bagi petani dengan status lahan sewa. Sedangkan yang termasuk kedalam biaya diperhitungkan diantaranya biaya penyusutan peralatan dan biaya tenaga kerja dalam keluarga (TKDK). Besarnya nilai rata-rata biaya tunai dan diperhitungkan pada subsektor perikanan yaitu Rp 17.631.933 dan Rp 76.535. Sehingga biaya total rata-rata yang dikeluarkan oleh responden subsektor perikanan per satuan luas (Ha) per tahun adalah Rp 17.708.468. Biaya tunai pada subsektor peternakan terdiri dari biaya pembelian DOC, pakan, obat-obatan, vaksin, vitamin, bahan desinfektan, deterjen, sekam, gas, kayu
77
bakar, minyak tanah, listrik, tenaga kerja luar keluarga (TKLK), biaya pemanenan, dan biaya pembersihan kandang. Sedangkan biaya diperhitungkan terdiri atas biaya penyusutan kandang dan peralatan. Besarnya nilai biaya tunai rata-rata dan diperhitungkan pada subsektor peternakan yang dihitung berdasarkan konversi per 1000 ekor adalah Rp 81.141.667 dan Rp 619.052. Sehingga total biaya rata-rata yang dikeluarkan oleh responden subsektor peternakan adalah Rp 81.760.719. 2) Penerimaan Usahatani Soekartawi (1986), mengemukakan bahwa yang dimaksud penerimaan usahatani adalah hasil kali antara produksi yang diperoleh dengan harga jual produk. Penerimaan pada analisis ini yaitu penerimaan rata-rata usahatani dalam satu tahun yang disajikan pada Tabel 32. Pada subsektor tanaman pangan nilai penerimaan rata-ratanya Rp 13.167.487. Nilai penerimaan rata-rata pada subsektor perikanan Rp 54.572.222 dan nilai penerimaan rata-rata pada subsektor peternakan Rp 95.625.000. Tabel 32. Rata-Rata Penerimaan Usahatani Responden menurut Subsektor Usahatani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Penerimaan Usahatani Penerimaan Rata-Rata (Rp)
Subsektor Tanaman Pangan (Per Ha/Tahun) 13.167.487
Subsektor Perikanan (Per Ha/Tahun) 54.572.222
Subsektor Peternakan Per 1000 ekor/Tahun 95.625.000
Tampak pada Tabel 32, penerimaan rata-rata paling tinggi pada subsektor peternakan. Perbedaan tersebut lebih disebabkan oleh harga jual produk yang lebih tinggi dibanding subsektor lainnya. 3) Pendapatan Usahatani Analisis pendapatan usahatani pada masing-masing subsektor terdiri dari pendapatan rata-rata atas biaya tunai dan pendapatan rata-rata atas biaya total dari setiap subsektor. Untuk komponen biaya dibagi menjadi biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Informasi pendapatan pada setiap subsektor dapat dilihat pada Tabel 33.
78
Tabel 33. Pendapatan Rata-Rata Respoden menurut Subsektor di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Jenis Pendapatan Pendapatan rata-rata atas biaya tunai (Rp) Pendapatan rata-rata atas biaya total (Rp)
Tanaman Pangan (Per Ha/Tahun)
Perikanan (Per Ha/Tahun)
Peternakan (Per 1000 ekor/tahun)
6.948.888
36.940.289
14.483.333
5.702.939
36.863.754
13.864.281
Dilihat dari aspek pendapatan pada Tabel 33 menunjukkan bahwa pendapatan pada subsektor perikanan nilainya lebih besar dibandingkan subsektor tanaman pangan dan subsektor peternakan. Pendapatan rata-rata atas biaya tunai petani subsektor perikanan Rp 36.940.289 sedangkan pendapatan rata-rata atas biaya total Rp 36.863.754. Pendapatan rata-rata atas biaya tunai pada subsektor tanaman pangan sebesar Rp 6.948.888 per tahun. Sedangkan pendapatan rata-rata atas biaya total Rp 5.702.939. Pada subsektor peternakan pendapatan rata-rata atas biaya tunai Rp 14.483.333. Sedangkan pendapatan rata-rata atas biaya total Rp 13.864.281. Perbedaan perbandingan angka pendapatan pada subsektor perikanan dengan subsektor peternakan karena pada subsektor peternakan meskipun angka penerimaan tinggi akan tetapi biaya operasional pada subsektor peternakan jauh lebih tinggi dibanding kedua sektor lainnya, terutama biaya untuk pembelian pakan dan DOC. Sedangkan perbedaan angka pendapatan dengan subsektor tanaman pangan disebabkan oleh nilai ekonomis dari output yang dihasilkan dari subsektor tanaman pangan nilainya lebih rendah dibandingkan subsektor perikanan. Keragaman pendapatan petani pada setiap subsektor di atas menunjukkan potensi permintaan pembiayaan pada sektor pertanian. Namun demikan meskipun informasi mengenai pendapatan usahatani tersebut merupakan potensi penyaluran pembiayaan bagi LKS, tinggi rendahnya pendapatan petani pada setiap subsektor tidak menunjukkan tingginya aksesibilitas petani terhadap LKS. Hal tersebut dilihat dari hasil tabulasi silang yang menunjukkan tidak ada satu pun petani yang pernah mengakses LKS.
6.2.2 Daya Jangkau Petani Responden Terhadap Lembaga Keuangan 79
Syariah dilihat dari Aspek Skala Usaha Dilihat dari aspek skala usaha, mayoritas petani responden pada subsektor tanaman pangan tergolong kedalam petani berskala kecil sebanyak 62,79 persen dengan pengusahaan lahan di bawah 0,5 hektar. Golongan petani menengah hanya 11,63 persen. Namun tidak sedikit juga yang tergolong kedalam petani besar yaitu sebesar 25,58 persen. Semakin luas lahan yang dimiliki atau diusahakan oleh petani, maka kemungkinan besaran pendapatan petani akan semakin tinggi. Karena banyaknya komoditas yang diusahakan, sehingga akan mempengaruhi pula terhadap output usahatani. Skala usahatani responden subsektor tanaman pangan berdasarkan skala usaha dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Subsektor Tanaman Pangan menurut Skala Usahatani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Skala Usaha Jumlah (orang) Persentase (%) Kecil <0,5 Ha 27 62,79 Menengah 0,5 - < 1 Ha 5 11,63 Besar 1 - ≥ 2 Ha 11 25,58 Total 43 100,00 Skala usaha responden subsektor perikanan didominasi oleh responden dengan skala usaha kecil. Hal tersebut ditunjukkan pada Tabel 35. Luas lahan yang dipergunakan untuk kolam budidaya dengan luasan di bawah 0,5 hektar terdiri dari 66,67 persen responden. Hanya 33,33 persen saja yang mengusahakan lahan untuk kolam budidaya antara 0,5 - <1 hektar. Bahkan tidak ada sama sekali yang mengusahakan lahan untuk kolam budidaya di atas satu hektar. Tabel 35. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Subsektor Perikanan menurut Skala Usahatani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Skala Usaha Jumlah (orang) Persentase (%) Kecil <0,5 Ha 6 66,67 Menengah 0,5 - < 1 Ha 3 33,33 Besar 1 - ≥ 2 Ha 0 0,00 Total 9 100,00 Pada subsektor peternakan skala usaha ternak ayam broiler dibagi menjadi skala kecil, sedang dan besar. Usaha ternak skala kecil jika peternak memiliki jumlah kurang dari 2.000 ekor, skala sedang dengan kepemilikan jumlah ternak antara 2.000 – 10.000 ekor, dan skala besar dengan jumlah kepemilikan ternak
80
lebih dari 10.000 ekor 3 . Tampak pada Tabel 37 mayoritas responden memiliki skala usaha peternakan yang menengah yaitu 2000 – 10.000 ekor sebanyak 87,50 persen dan hanya 12,50 persen yang berskala usaha >10.000 ekor. Tidak ada peternak yang usahaternaknya dalam skala kecil. Skala usaha responden pada subsektor peternakan dapat dilihat pada Tabel 37. Tabel 36. Sebaran dan Jumlah Responden Subsektor Peternakan menurut Skala Usahatani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Skala Usaha (ekor) Jumlah (orang) Persentase (%) < 2000 0 0,00 2000 – 10.000 7 87,50 > 10.000 1 12,50 Total 8 100,00 Skala usaha dari masing-masing subsektor cukup beragam. Namun seperti halnya pendapatan usahatani. Sekala usaha tidak linier dengan tingkat aksesibilitas petani terhadap LKS. Tingginya pendapatan dan skala usaha petani tidak menunjukkan adanya hubungan dengan tingkat aksesibilitas terhadap LKS. Rendahnya akses petani terhadap LKS tersebut lebih disebabkan oleh keterbatasan informasi yang dimiliki responden. Promosi yang dilakukan LKS yang berada di Kecamatan Dramaga pun masih kurang. Sehingga tidak banyak dari responden yang tahu mengenai cara mengakses pembiayaan di LKS. Disamping itu persepsi responden terhadap LKS juga memberikan pengaruh penting terhadap aksesibilitas responden. Demikian juga dengan persepsi dari LKS terhadap usaha bidang pertanian di sektor produksi. Menurut beberapa manajemen LKS yang terdapat di Kecamatan Dramaga dan sekitarnya, meskipun ada skim kredit untuk sektor pertanian LKS sangat sulit untuk menyalurkan pembiayaan pertanian pada sektor produksi karena karakterisitik usahatani yang penuh dengan ketidakpastian. Lembaga keuangan syariah yang terdapat di kecamatan Dramaga lebih tertarik menyalurkan pembiayaan pada sektor perdagangan dengan akad pembiayaan Mudharabah.
Op.cit
3
81
Padahal menurut Wibowo dan Widodo (2005), ada tujuh jenis pembiayaan utama pada LKS dengan sistem bagi hasil. Dari jenis-jenis pembiayaan tersebut setidaknya ada empat jenis produk pembiayaan syariah yang dipandang ideal untuk sektor pertanian yaitu mudharabah, murabahah, bai assalam dan musyarakah. Produk mudharabah dan murabahah lebih preferable sebagai pilihan utama dibandingkan produk pembiayaan lainnya. Namun yang secara konsep sangat cocok untuk sektor pertanian adalah pembiayaan bai assalam. Pihak perbankan menganggap bahwa sektor pertanian memiliki tingkat resiko yang tinggi, terutama pembiayaan pada subsistem onfarm. Sementara untuk aspek perdagangan, tingkat resiko sama saja dengan sektor ekonomi lainnya. Walaupun demikian, potensi pembiayaan untuk sektor pertanian tetap masih prospektif untuk mendapatkan pembiayaan. Prospek ini terkait dengan demand terhadap produk pertanian yang terus mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan. Proporsi alokasi pembiayaan oleh perbankan terhadap sektor pertanian dipengaruhi oleh plafond pembiayaan yang tersedia. Menurut pihak LKS hanya disediakan tiga persen (3%) skim pembiayaan untuk sektor pertanian. Meskipun tersedia pihak LKS tidak berani menanggung resiko karena tingginya ketidakpastian di bisnis pertanian. Ada beberapa pertimbangan pihak pengelola perbankan syariah dalam menentukan prioritas pembiayaan pada masing-masing sektor ekonomi adalah: (1) tingkat resiko usaha, (2) percepatan perputaran modal, (3) sumber pendapatan, umumnya perbankan lebih yakin membiayai nasabah yang memiliki pendapatan tetap, (4) ketersediaan agunan, (5) karakteristik nasabah, (6) historis perusahaan serta (7) kemudahan prosedur pengembalian pinjaman. 6.3 Persepsi Responden terhadap Lembaga Keuangan Syariah Salah satu persepsi responden yang dapat mempengaruhi motivasi dalam mengakses LKS yaitu persepsi mengenai sistem bunga pinjaman. Persepsi mengenai sistem bunga ditanyakan kepada seluruh responden penelitian baik yang pernah mendengar tentang LKS maupun yang belum pernah mendengar informasi tentang LKS. Sebesar 30,23 persen responden subsektor tanaman pangan merasa bahwa sistem bunga bank “memberatkan” bagi mereka, meskipun hanya sedikit
82
saja dari responden yang pernah mengakses pembiayaan pada bank konvensional. Responden yang mengatakan sistem bunga pinjaman bertentangan dengan syariah Islam sebanyak 16,28 persen, menyatakan “wajar-wajar saja” 20,93 persen. Responden tersebut berpendapat bahwa bunga yang diterapkan merupakan bentuk keuntungan bagi pihak bank. Responden yang mengungkapkan bahwa bunga pinjaman adalah wajar pada umumnya merupakan responden yang pernah mengakses pembiayaan dari bank konvensional. Ada juga responden yang berpendapat bahwa penerapan bunga pinjaman tidak menjadi masalah asal penentuan bunga tersebut disepakati keduabelah pihak yaitu pihak pemberi pinjaman dan peminjam. Responden yang berpendapat demikian sebanyak 2,33 persen. Responden lainnya sebesar 2,33 persen berpendapat bunga pinjaman memberatkan bagi petani namun menurutnya sah-sah saja jika disepakati kedua pihak, 6,98 persen berpendapat bunga pinjaman “wajar-wajar saja” selama bunga pinjaman tersebut tidak memberatkan dan masih terjangkau oleh petani. 4,65 persen responden yang mengungkapkan bahwa bunga pinjaman “memberatkan dan bertentangan dengan syariah agama. Sebanyak 4,6 responden berpendapat bunga pinjaman “ hal yang sah-sah saja diterapkan karena merupakan ketentuan dan peraturan pemerintah, yang terpenting bagi petani dipermudah dalam mengakses pembiayaan”. Sebanyak 11,63 persen dari responden tidak memberikan pendapat. Petani responden yang tidak memberikan pendapat tersebut beralasan bahwa mereka memang tidak pernah berhubungan dengan bank. Sehingga tidak mengetahui sama sekali tentang bunga pinjaman. Pendapat yang berkembang pada responden subsektor perikanan mengenai sistem bunga pinjaman cukup beragam. Sebanyak 22,22 persen berpendapat bahwa sistem bunga memberatkan bagi petani. Sebanyak 44,44 persen mengatakan sistem bunga bertentangan dengan syariah agama Islam atau dengan kata lain hukumnya riba. Sebanyak 11,11 persen responden berpendapat bahwa sistem bunga pinjaman ‘tidak boleh”, menurut petani responden lebih baik jika bank menerapkan sistem bagi hasil karena ada distribusi resiko dan keuntungan antara kedua pihak. Selanjutnya, ada juga responden yang berpendapat bahwa bunga bank memberatkan, namun sah-sah saja jika disepakati kedua pihak. Pendapat tersebut dikemukakan oleh 11,11 persen responden. Sebanyak 11,11 83
persen responden berpendapat bahwa pemberlakuan sistem bunga pada bank “sahsah saja karena sudah menjadi ketentuan dan peraturan, yang terpenting bagi petani dipermudah dalam mengakses pembiayaan tersebut”. Pendapat responden subsektor peternakan mengenai sistem bunga pinjaman, 50 persen responden berpendapat bahwa ketentuan tersebut bagi petani memberatkan, 12,50 persen menyatakan kalau sistem bunga bertentangan dengan syariah agama islam (riba), 12,50 persen menyatakan wajar sebagai bentuk keuntungan bagi bank, 12,50 persen menyatakan wajar tetapi harus proporsional, dan 12,50 persen menyatakan sah-sah saja karena merupakan ketentuan dan peraturan, yang terpenting masyarakat dipermudah dalam mengakses pembiayaan yang tersedia. Meskipun pendapat responden sangat beragam pada dasarnya mereka membutuhkan pembiayaan untuk usahataninya. Kebutuhan atas biaya tersebut merupakan potensi permintaan yang dapat ditindak lanjuti oleh LKS terdekat. Adapun persepsi responden terhadap sistem bunga pinjaman dapat dilihat pada Tabel 37. Tabel 37. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Persepsi terhadap Sistem Bunga Pinjaman di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Uraian • • • •
Memberatkan Bertentangan dengan syariah agama islam Wajar-wajar saja sebagai bentuk keuntungan bagi bank • Tergantung dari kedua belah • pihak, jika kedua pihak menyetujui tidak ada permasalahan • Memberatkan, tetapi sah-sah saja jika disepakati kedua belah pihak • Wajar-wajar saja asal tidak memberatkan • Memberatkan dan bertentangan dengan syariah agama islam • Sah-sah saja karena merupakan ketentuan pemerintah, yang terpenting akses dipermudah • Tidak berpendapat Total
Tanaman Pangan Jumlah (%) 13 30,23 7 16,28
Perikanan Jumlah (%) 2 22,22 4 44,44
Peternakan Jumlah (%) 4 50,00 1 12,50
9
20,93
0
0,00
1
12,50
1
2,33
0
0,00
0,00
1
2,33
1
11,11
0,00
3
6,98
1
11,11
2
4,65
0
0
2
4,65
1
5 43
11,63 100,00
0 9
1
12,50
11,11
1
12,50
0,00 100,00
0 8
0,00 100,00
Seperti telah ditunjukkan pada Tabel 29, berdasarkan perolehan informasi mengenai LKS, sebanyak 17 orang atau 39,53 persen responden pada subsektor
84
tanaman pangan pernah mendengar tentang LKS dan 26 orang atau 60,47 persen belum pernah mendengar LKS. Pada subsektor perikanan responden yang pernah mendengar tentang LKS sebanyak 5 orang atau 55,56 persen dan 4 orang atau 44,44 persen belum pernah mendengar tentang LKS. Pada subsektor peternakan sebanyak 4 orang atau 50 persen responden pernah mendengar LKS dan 4 orang atau 50 persen lagi belum pernah mendengar informasi tentang LKS. Responden yang pernah mendengar informasi mengenai LKS dari ketiga subsektor, memiliki pengetahuan dan pemahaman yang beragam tentang LKS. Dari total responden yang pernah mendengar informasi mengenai LKS, pada subsektor tanaman pangan 29,41 persen menyatakan bahwa LKS merupakan bank dengan sistem bagi hasil, sebanyak 58,82 persen menyatakan bank berdasarkan Syariah Islam, sebanyak 5,88 persen menyatakan bank yang berdasarkan kemitraan, dan 5,88 persen bank yang menjual produk syariah. Meskipun dari sebagian responden memiliki pengetahuan tentang LKS tetapi tidak ada satu pun dari responden yang memanfaatkan jasa LKS tersebut. Hal ini, dimungkinkan karena responden tidak memahami mekanisme operasional dari LKS. Pada subsektor perikanan hal yang diketahui responden tentang LKS, sebanyak 20 persen mengetahui LKS sebagai bank yang menerapkan sistem bagi hasil, sebanyak 80 persen mengetahui bahwa LKS merupakan bank yang dalam operasionalnya berdasarkan syariah Agama Islam. Pada responden subsektor peternakan mengetahui LKS sebagai bank dengan sistem bagi hasil diungkapkan oleh 50 persen dan bank yang berdasarkan syariah 50 persen. Pengetahuan dan pemahaman responden mengenai LKS dapat dilihat pada Tabel 38.
85
Tabel 38. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden yang Pernah Mendengar LKS menurut Pengetahuan terhadap LKS di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Uraian a. Bank dengan sistem bagi hasil b. Bank berdasarkan syariah c. Bank berdasarkan kemitraan d. Bank yang menjual produk syariah Total
Tanaman Pangan Jumlah (%) 5 29,41 10 58,82 1 5,88 1 5,88 17
100,00
Perikanan Jumlah (%) 1 20,00 4 80,00 0 0,00 0 0,00 5
100,00
Peternakan Jumlah (%) 2 50,00 2 50,00 0 0,00 0 0,00 4
100,00
Persepsi responden subsektor tanaman pangan yang pernah mendengar informasi tentang LKS terhadap cukup beragam. Persepsi tersebut digambarkan oleh kesan responden terhadap LKS. Dari responden subsektor tanaman pangan yang pernah mendengar LKS, memiliki kesan bahwa LKS merupakan bank islami dimana semua aktivitas operasionalnya menerapkan cara-cara yang islami diungkapkan oleh 17,65 persen. Sebanyak 5,88 persen mengungkapkan kesan LKS bagi mereka merupakan bank orang Islam yang peruntukannya dikhususkan bagi umat Islam.
Sebesar 41,18 persen berpendapat bahwa LKS dalam
operasionalnya sama saja dengan bank konvensional. Responden berpendapat bahwa prosedur pengajuan permohonan pembiayaan pada LKS tidak berbeda dengan bank konvensional pada umumnya. Prosedur pembiayaan tersebut dilihat dari syarat-syarat pengajuan pembiayaan berupa syarat administratif, bentuk jaminan, besarnya angsuran, suku bunga dan cara pengembalian pembiayaan. Responden mengharapkan perbankan syariah dapat membuka akses selebarlebarnya kepada petani dalam mengakses pembiayaan yang disediakan. Kemudahan akses yang dimaksud oleh petani responden berdasarkan hasil wawancara diantaranya tidak mengharuskan adanya jaminan, besarnya angsuran dapat dijangkau, tanpa bunga, dan cara pengembalian dilakukan musiman. Adanya persepsi responden yang memiliki kesan bahwa LKS sama saja dengan bank konvensional merupakan tantangan tersendiri bagi LKS untuk menjelaskan mekanisme dan hakikat bertransaksi di LKS. Hal tersebut juga mengisyaratkan bahwa responden tidak melihat hakikat transaksi pada LKS. Responden lebih melihat dari tingkat kemudahan dan keringanan dalam mengakses sumber pembiayaan. Selain itu, responden yang berpendapat bahwa
86
LKS kurang dikenal diungkapkan oleh 35,29 persennya. Merupakan suatu hal yang wajar jika responden menyatakan LKS merupakan bank yang kurang dikenal masyarakat. Karena sebagian besar responden subsektor tanaman pangan tidak memiliki pengetahuan mengenai LKS. Responden subsektor perikanan memiliki kesan terhadap LKS, sebagai bank islami dikemukakan oleh 40 persen. Sedangkan kesan pada sebagian besar 60 persen, LKS merupakan bank yang kurang dikenal masyarakat, terutama masyarakat pedesaan yang pada umumnya petani. Kurang dikenalnya LKS menurut responden karena LKS kurang gencar dalam melakukan promosi. Sehingga tidak banyak responden yang mengetahui keberadaan LKS di Kecamatan Dramaga. Kesan responden subsektor peternakan terhadap LKS, 50 persennya menilai kesan LKS merupakan bank bagi hasil, 25 persen menilai LKS merupakan bank islami, dan yang menarik adalah sebanyak 25 persen menyatakan bahwa LKS “sama saja dengan bank konvensional”. Kesan responden mengenai LKS dapat dilihat pada
Tabel 39.
Tabel 39. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden yang Pernah Mendengar LKS menurut Kesan terhadap LKS Uraian a. Bank bagi hasil b. Bank islami c. Bank orang islam d. Sama saja dengan bank konvensional e. Kurang dikenal Total
Tanaman Pangan Jumlah (%) 0 0,00 3 17,65 1 5,88 7 41,18 6 17
35,29 100,00
Perikanan Jumlah (%) 0 0,00 2 40,00 0 0,00 0 0,00 3 5
60,00 100,00
Peternakan Jumlah (%) 2 50,00 1 25,00 0 0,00 1 25,00 0 4
0,00 100,00
Disamping kesan responden terhadap LKS, responden yang pernah mendengar informasi tentang LKS juga mengungkapkan beberapa kelebihan pada LKS. Pada Tabel 40 dapat dilihat sebagian besar dari responden subsektor tanaman pangan yaitu 58,82 persen menilai ada kelebihan pada LKS, sebesar 41,18 persen menyatakan bahwa tidak ada kelebihan pada LKS. Pada subsektor perikanan 80 persen mengungkapkan terdapat kelebihan pada LKS dan 20 persen menyatakan tidak ada kelebihan. Penilaian pada responden subsektor peternakan
87
sebanyak 75 persen menilai ada kelebihan dan 25 persen mengungkapkan tidak ada kelebihan pada LKS. Tabel 40. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden yang Pernah Mendengar LKS menurut Persepsi Terhadap Kelebihan LKS di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Uraian a. Ada b. Tidak Ada Total
Tanaman Pangan Jumlah (%) 10 58,82 7 41,18 17 100,00
Perikanan Jumlah (%) 4 80,00 1 20,00 5 100,00
Peternakan Jumlah (%) 3 75,00 1 25,00 4 100,00
Adapun diantara kelebihan dari LKS yang diungkapkan oleh responden dapat dilihat pada Tabel 41. Menurut responden yang menyatakan terdapat kelebihan pada LKS sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 40, responden subsektor tanaman pangan mengungkapkan kelebihan pada LKS sebagai bank yang bebas dari riba diungkapkan oleh 60 persen. Sebesar 30 persen menyatakan pada operasionalnya LKS sesuai dengan syariah Agama Islam dan sisanya 10 persen menyatakan bahwa pada LKS ada sistem tawar menawar bagi hasil. Meskipun persentase responden yang menilai adanya kelebihan jika bertransaksi di LKS relatif kecil, namun hal tersebut merupakan potensi yang cukup baik untuk pengembangan pasar LKS. Kelebihan pada LKS yang diungkapkan responden subsektor perikanan yang mengetahui ada kelebihan pada LKS, bank bebas riba diungkapkan oleh 50 persen dan berdasarkan syariah agama diungkapkan oleh 50 persennya. Menurut responden LKS dalam menyalurkan pembiayaan tidak menerapkan sistem bunga kepada nasabah. Pada subsektor peternakan, persepsi responden yang mengungkapkan terdapat kelebihan pada LKS, sebesar 25 persen diantaranya mengungkapkan kelebihan LKS bebas dari riba. Sebanyak 75 persen menyatakan pada LKS ada tawar menawar bagi hasil. Namun meskipun responden mengetahui adanya kelebihan pada LKS dibandingkan bank konvensional tidak ada satupun responden yang mengakses LKS.
Tabel 41. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden yang Mengetahui Ada 88
Kelebihan Pada LKS menurut Kriteria Kelebihan di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Uraian • Bebas Riba • Sesuai syariah agama • Ada tawar menawar bagi hasil Total
Tanaman Pangan Jumlah (%) 6 60,00 3 30,00 1 10,00 10 100,00
Perikanan Jumlah (%) 2 50,00 2 50,00 0 0,00 4 100,00
Peternakan Jumlah (%) 1 25,00 0 0,00 2 75,00 3 100,00
Selain kelebihan pada LKS, responden juga mengungkapkan kelemahan yang terdapat pada LKS. Tabel 42 menunjukkan diantara responden yang menilai terhadap kelemahan pada LKS, sebesar 100 persen responden subsektor tanaman pangan menyatakan terdapat kelemahan pada LKS. Pada subsektor perikanan sebesar 80 persen responden mengatakan terdapat kelemahan dan 20 persen menjawab tidak ada kelemahan. sedangkan pada subsektor peternakan 50 persen responden
menyatakan terdapat kelemahan pada LKS dan sisanya 50 persen
menyatakan tidak terdapat kelemahan. Tabel 42 menunjukkan persepsi responden mengenai kelemahan yang terdapat pada LKS. Tabel 42. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Persepsi mengenai Kelemahan pada LKS di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Uraian a. Ada b. Tidak Ada Total
Tanaman Pangan Jumlah (%) 17 100,00 0 0,00 17 100,00
Perikanan Jumlah (%) 4 80,00 1 20,00 5 100,00
Peternakan Jumlah (%) 2 50,00 2 50,00 4 100,00
Diantara kelemahan-kelemahan yang terdapat pada LKS menurut responden subsektor tanaman pangan diantaranya informasi dan sosialisasi kurang diungkapkan oleh 64,71 persen, prosedur pembiayaan sulit 5,88 persen, fasilitas kurang lengkap 17,65 persen, jarang memberikan kredit ke UMKM 5,88 persen dan jasa pinjaman tinggi diungkapkan oleh 5,88 persen responden. Persepsi tersebut bertolak belakang dengan
pendapat Ascarya (2007), dimana LKS
merupakan lembaga keuangan yang berfungsi memperlancar mekanisme ekonomi di sektor riil melalui aktivitas investasi atau jual beli, serta memberikan palayanan jasa simpanan/perbankan bagi para nasabah. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor perekonomian sektor riil, dengan demikian seyogianya LKS berperan serta dalam mengembangkan sektor tersebut. 89
Menurut persepsi responden subsektor perikanan yang mengetahui kelemahan pada LKS yaitu kurangnya informasi dan sosialisasi mengenai LKS diungkapkan oleh 50 persen dan fasilitas transaksi yang dimiliki oleh LKS kurang lengkap diungkapkan oleh 50 persen. Sedangkan menurut responden subsektor peternakan kelemahan utama pada LKS adalah informasi dan sosialisasi kurang. Persepsi tersebut diungkapkan oleh 100 persen responden subsektor peternakan. Hal tersebut berbanding lurus dengan tingkat aksesibilitas responden dimana 100 persen responden belum pernah mengakses LKS. Padahal penduduk di Kecamatan Dramaga merupakan pasar potensial untuk perluasan pasar LKS karena mayoritas penduduk di Kecamatan Dramaga beragama Islam dan bermata pencaharian sebagai petani. Adapun kelemahan-kelemahan pada LKS yang diungkapkan responden dapat dilihat pada Tabel 43. Tabel 43. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden yang Mengetahui Kelemahan pada LKS menurut Kriteria Kelemahan di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Kelemahan Informasi dan sosialisasi kurang Prosedur pembiayaan sulit Fasilitas kurang lengkap Jarang memberikan kredit ke UMKM Jasa pinjaman tinggi Total
Tanaman Pangan Jumlah (%) 11 64,71 1 5,88 3 17,65 1 1 17
5,88 5,88 100,00
Perikanan Jumlah (%) 2 50,00 0 0,00 2 50,00 0 0 4
0,00 0,00 100,00
Peternakan Jumlah (%) 2 100,00 0 0,00 0 0,00 0 0 2
0,00 0,00 100,00
Dalam hal sosialisasi yang dilakukan LKS, mayoritas dari responden yang pernah mendengar LKS memberikan pendapat sebesar 94,12 persen subsektor tanaman pangan menilai bahwa sosialisasi dan promosi yang dilakukan LKS terhadap masyarakat sekitar kurang baik. Hanya 6,25 persen yang menilai sosialisasi LKS di wilayah responden “baik”. Berdasarkan penilaian petani responden terhadap sosialisasi LKS yang berada di wilayah penelitian, berbanding lurus dengan tingkat aksesibilitas petani responden di wilayah yang sama. Pada pembahasan sebelumnya 100 persen dari responden penelitian menyatakan belum pernah mengajukan permohonan pinjaman ke LKS. Kurangnya sosialisasi tersebut memungkinkan menjadi faktor utama rendahnya akses petani responden terhadap LKS yang berada di wilayah tersebut. Apalagi tingkat pengetahuan dan tingkat 90
pendidikan responden pada umumnya rendah. Sehingga minat responden terhadap informasi pun sangat rendah. Tentunya hal tersebut sangat ironis, mengingat letak Kecamatan Dramaga yang terletak di Kabupaten Bogor bisa dikatakan strategis, dekat dengan wilayah ibukota, terdapat beberapa perguruan tinggi dan akses informasi pun sudah demikian luas. Pada subsektor perikanan 100 persen menilai bahwa sosialisasi yang dilakukan pihak LKS dalam mempromosikan produk pembiayaan sangatlah kurang. Hal tersebut tentunya sangat bertolakbelakang dengan cita-cita pengembangan LKS. Sedangkan responden subsektor peternakan menilai sosialisasi yang dilakukan oleh LKS sebanyak 25 persen memberikan penilaian “baik”. Namun 75 persen menilai bahwa sosialisasi LKS “kurang baik”. Hal tersebut terbukti dengan tingkat aksesibilitas responden yang rendah terhadap LKS. Persepsi mengenai sosialisasi yang dilakukan LKS dapat dilihat pada Tabel 44. Tabel 44. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Persepsi Terhadap Sosialisasi Yang Dilakukan LKS di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Uraian a. Baik b. Kurang baik Total
Tanaman Pangan Jumlah (%) 1 6,25 16 94,12 17 100,00
Perikanan Jumlah (%) 0 0,00 5 100,00 5 100,00
Peternakan Jumlah (%) 1 25,00 3 75,00 4 100,00
Selain persepsi terhadap sosialisasi yang dilakukan oleh LKS, responden penelitian yang pernah mendengar informasi tentang LKS juga memberikan persepsi mengenai prospek LKS di Indonesia, sebagian besar responden subsektor tanaman pangan (88,24%) menyatakan kurang baik dan 11,76 persen memberikan penilaian “baik”. Responden yang menyatakan prospek LKS kurang baik, karena menurut mereka jumlah masyarakat yang memanfaatkan jasa LKS jauh lebih kecil dibandingkan masyarakat yang memanfaatkan bank konvensional. Responden subsektor perikanan mengungkapkan kurangnya sosialisasi dan promosi LKS, tentunya mempengaruhi persepsi petani responden terhadap prospek LKS di Indonesia. Diantara responden yang memberikan penilaian sebanyak 20 persen menilai prospek LKS di Indonesia baik, sedangkan sebagian besar (80%) menyatakan bahwa LKS memiliki prospek dan perkembangan yang 91
kurang baik di Indonesia. Persepsi yang ada pada responden subsektor peternakan mengenai prospek LKS pada masa mendatang 75 persen yang memberikan penilaian menyatakan baik dan 25 persen menyatakan kurang baik. Adapun persepsi responden mengenai prospek LKS dapat dilihat pada Tabel 45. Tabel 45. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Prospek LKS pada Masa Mendatang di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Uraian a. Baik b. Kurang baik Total
Tanaman Pangan Jumlah (%) 2 11,76 15 88,24 17 100,00
Perikanan Jumlah (%) 1 20,00 4 80,00 5 100,00
Peternakan Jumlah (%) 3 75,00 1 25,00 4 100,00
Meskipun tingkat pengetahuan petani responden terhadap keberadaan LKS masih kurang. Responden mengemukakan agar LKS bisa menjadi sumber pembiayaan alternatif untuk sektor pertanian. Opini tersebut tergambarkan pada pendapat yang dikemukakan oleh responden, seperti yang disajikan pada Tabel 46. Pendapat responden agar LKS menjadi pilihan petani ditanyakan kepada seluruh responden penelitian. Menurut responden subsektor tanaman pangan agar LKS bisa menjadi pilihan petani, hal-hal yang harus diperhatikan: (a) sesuai dengan prinsip syariah diungkapkan oleh 11,63 persen, (b) prosedur pembiayaan tidak sulit 65,12 persen, (c) harus sesuai dengan prinsip syariah dan prosedur pembiayaannya tidak menyulitkan 4,65 persen, (d) prosedur pembiayaan tidak sulit dan lokasi LKS strategis 4,65 persen, (e) sesuai dengan prinsip syariah, prosedur pembiayaan tidak sulit, sekaligus memberikan hasil kompetitif 13,95 persen. Pada subsektor perikanan, responden mengungkapkan jika LKS ingin menjadi pilihan bagi para petani maka ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi LKS antara lain: (a) prosedur pembiayaan tidak sulit diungkapkan oleh 66,67 persen, (b) harus sesuai dengan syariah sekaligus prosedur pembiayaan tidak sulit diungkapkan oleh 33,33 persen. Sedangkan pada subsektor peternakan agar LKS bisa menjadi pilihan petani dan masyarakat umum, ada beberapa saran yang diajukan diantaranya (a) prosedur pengajuan pembiayaan tidak sulit, diungkapkan oleh mayoritas responden (75 %) dan (b) bagi hasil lebih kompetitif diungkapkan
92
oleh 25 persen responden. Jika melihat opini yang berkembang pada responden tersebut, sebenarnya responden memiliki ketertarikan untuk mengakses skim pembiayaan pada LKS. Tabel 46. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Opini Responden Agar LKS Menjadi Pilihan Petani di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Uraian Sesuai dengan prinsip syariah Prosedur pembiayaan tidak sulit Bagi hasil kompetitif Sesuai prinsip syariah dan prosedur pembiayaan tidak sulit Prosedur pembiayaan tidak sulit dan lokasi LKS strategis Sesuai prinsip syariah, prosedur pembiayaan tidak sulit, dan bagi hasil kompetitif Total
Tanaman Pangan Jumlah (%) 5 11,63 28 65,12 0 0,00
Perikanan Jumlah (%) 0 0,00 6 66,67 0 0,00
Peternakan Jumlah (%) 6 75,00 0 0,00 2 25,00
2
4,65
3
33,33
0
0,00
2
4,65
0
0,00
0
0,00
6 43
13,95 100,00
0 9
0,00 100,00
0 8
0,00 100,00
Adapun harapan responden subsektor tanaman pangan terhadap LKS antara lain: meningkatkan sosialisasi (79,07%), meningkatkan bagi hasil (2,33%), memberikan pinjaman lunak dan pengembalian pinjaman musiman (9,30%), meningkatkan sosialisasi sekaligus bagi hasil (4,65%), dan meningkatkan sosialisasi sekaligus menyalurkan pembiayaan lunak (4,65%). Jika dilihat besarnya persentase responden yang berharap LKS dapat meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat menggambarkan bahwa pada dasarnya responden memiliki keinginan untuk dapat mengakses LKS. Pada
subsektor
perikanan
harapan
petani
terhadap
LKS
dapat
meningkatkan sosialisasi secara intensif baik secara langsung maupun melalui media diungkapkan oleh 88,89 persen responden. Sebanyak 11,11 persen mengharapkan agar LKS meningkatkan sosialisasi sekaligus menyalurkan pinjaman lunak kepada petani, sehingga masyarakat lebih tertarik untuk bertransaksi pada LKS. Senada dengan responden subsektor tanaman pangan dan perikanan, harapan peternak terhadap LKS, agar LKS meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat diungkapkan oleh 50 persen responden, sedangkan peternak yang mengharapkan LKS memberikan pinjaman lunak dengan pengembalian per periode panen diungkapkan oleh 25 persen responden, meningkatkan sosialisasi
93
dan bagi hasil 12,50 persen, meningkatkan sosialisasi dan menyalurkan pinjaman lunak 12,50 persen. Harapan-harapan yang diungkapkan tersebut dapat dimengerti mengingat kebutuhan petani akan modal tidak dapat dihindarkan. Menurut Taryoto (1992), sering akibat keterbatasan modal, petani tidak mampu membeli sarana produksi dengan jumlah ataupun kualitas yang dibutuhkan, sehingga potensi produktivitas dari usahataninya tidak terwujud. Petani juga sering mengalami kekurangan uang kas dalam periode-periode tertentu. Sifat produksi pertanian yang musiman, menyebabkan aliran uang petani memiliki pola spesifik, yang ditunjukkan oleh aliran masuk dan keluar uang kas yang penyebarannya tidak merata. Disamping itu, petani sering mengalami kesulitan untuk mengikuti prosedur kredit baku yang dipraktekkan lembaga keuangan formal. Salah satu kendala yang dihadapi petani untuk memperoleh kredit adalah ketidakmampuannya menyediakan jaminan sesuai dengan kriteria jaminan lembaga keuangan formal dan harga kredit di pedesaan dianggap cenderung monopolistik, sehingga harga kredit yang harus di bayar petani berada jauh diatas yang dianggap pantas. Tabel 47. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden menurut Harapan Responden Terhadap LKS di Kecamatan Dramaga Tahun 2008 Uraian a. Meningkatkan sosialisasi b. Meningkatkan bagi hasil c. Memberikan pinjaman lunak dengan pengembalian musiman
Tanaman Pangan Jumlah (%) 34 79,07 1 2,33
Perikanan Jumlah (%) 8 88,89 0 0,00
Peternakan Jumlah (%) 4 50,00 0 0,00
4
9,30
0
0,00
2
25,00
d. Meningkatkan sosialisasi dan bagi hasil
2
4,65
0
0,00
1
12,50
e. Meningkatkan sosialisasi dan memberikan pinjaman lunak Total
2 43
4,65 100,00
1 9
11,11 100,00
1 8
12,50 100,00
94
VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Kesimpulan dari analisis persepsi petani terhadap lembaga keuangan syariah di Kecamatan Dramaga adalah: 1) Sebagian besar petani membiayai usahataninya menggunakan sumber pembiayaan dari modal sendiri, tetapi ada juga petani yang menggunakan sumber pembiayaan dari luar. Sumber pembiayaan dari luar yang diakses petani di antaranya diperoleh dari lembaga keuangan non formal dan lembaga keuangan formal, tetapi ada juga petani yang mengakses keduanya. Namun dari semua petani responden subsektor tanaman pangan, perikanan dan peternakan tidak ada yang menggunakan LKS sebagai sumber pembiayaan usahataninya. 2) Dilihat dari aspek pendapatan dan skala usahatani, baik petani yang memiliki pendapatan dan skala usaha besar maupun petani yang memiliki pendapatan dan skala usaha kecil, tidak ada yang mengakses pembiayaan dari LKS. 3) Persepsi petani responden terhadap LKS cukup beragam. Persepsi terhadap sistem bunga ditanyakan pada seluruh responden penelitian. Karena dapat mempengaruhi motivasi responden memilih LKS. Umumnya dengan sistem bunga pinjaman, responden merasa diberatkan. Beberapa persepsi yang ditanyakan kepada responden yang pernah mendengar informasi tentang LKS: Sebagian besar mengetahui LKS sebagai lembaga keuangan yang berdasarkan syariah, menurut kesan terhadap LKS umumnya mengatakan LKS kurang dikenal masyarakat, terdapat kelebihan pada LKS, dan mayoritas menyebutkan kelebihan pada LKS bebas dari riba. Selain itu, sebagian besar responden juga memiliki persepsi bahwa pada LKS terdapat kelemahan yaitu kurang informasi dan sosialisasi. Dengan demikian sebagian besar responden memiliki persepsi bahwa sosialisasi yang dilakukan LKS kurang baik. Persepsi responden menurut prospek LKS, mayoritas menilai kurang baik. Persepsi agar LKS menjadi pilihan petani ditanyakan kepada seluruh responden penelitian yaitu LKS dalam menyalurkan pembiayaan tidak menerapkan prosedur 95
pembiayaan yang sulit dan berharap agar LKS lebih meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat pertanian. 7.2 Saran 1) Dalam merancang skim kredit untuk petani kecil, lembaga keuangan hendaknya mempertimbangkan karakteristik petani sebagai salah satu pengguna, seperti masih rendahnya tingkat pendidikan, dukungan asset, keterampilan, produktivitas, dan pendapatan usahatani sehingga skim kredit yang ditetapkan harus dalam batas-batas jangkauan kemampuan petani.
Sesuai
dengan
batasan
tersebut
petani
pada
umumnya
mengharapkan kredit tanpa agunan, bunga rendah/tanpa bunga, periode kredit musiman dan cara pembayaran satu musim sekali. 2) LKS hendaknya meningkatkan promosi, informasi dan sosialisasi kepada masyarakat dengan mengadakan seminar-seminar, pertemuan, untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai prosedur dalam memperoleh pembiayaan dari bank syariah. 3) Petani sebagai pengguna kredit seyogianya dapat menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan
dan
prosedur
pembiayaan
yang diberlakukan
perbankan agar tercapai sinergitas antara kedua belah pihak. Selain itu petani sebaiknya lebih aktif dalam mencari informasi mengenai pembiayaan pada bank syariah dan cara mengakses pembiayaan tersebut. 4) Hendaknya
pemerintah
dapat
mendorong
bank
syariah
untuk
meningkatkan penyalurkan pembiayaan pada sektor pertanian. Sesuai dengan prinsip bank syariah yang menyalurkan pembiayaan pada sektor riil. 5) Penelitian ini hanya terbatas pada aksesibilitas petani terhadap lembaga keuangan syariah, untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengkaji perbandingan tingkat aksesibilitas petani terhadap lembaga keuangan syariah dan konvensional dengan menggabungkan aksesibilitas dari sudut demand side dan supply side.
96
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Potensi Pembiayaan Syariah untuk Sektor Pertanian Padi dan Palawija di Jawa Barat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor Ascarya. 2007. Akad dan Produk Bank Syariah. Divisi Perguruan Tinggi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. [Bappeda] Badan Perencanaan Daerah. 2004. Penyusunan Kawasan Terpilih Pusat Pengembangan Desa (KTP2D) di Kabupaten Bogor. Pemerintah Kabupaten Bogor. Cibinong. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Indikator Ekonomi Nasional Triwulan I Tahun 2008. BPS. Jakarta. [BI] Bank Indonesia. 2008. Statistik Perbankan Syariah. www.bi.go.id. (23 Januari 2008). Boesono dan Hudiono. 2007. Antara Idealisme Usaha dan Nilai-nilai Rohani. http://batampos.co.id. (23 Januari 2009). Dendawidjaya. 2003. Manajemen Perbankan. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hernanto F. 1995. Ilmu Usahatani. Cetakan ketiga. Penebar Swadaya. Jakarta. Hosen. 2006. Buku Saku Bank-ku Syariah. Pusat Komunikasi dan Ekonomi Syariah. Jakarta Mosher AT. 1987. Menggerakkan dan Membangun Pertanian: Syarat-syarat Pokok Pembangunan dan Modernisasi. Krisnandhi dan Bahrin S, penerjemah; Jakarta: CV Yasaguna. Terjemahan dari: Getting Agriculture Moving. Nazir M. 2005. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Bogor Pemerintah Desa Sukawening. 2006. Data Monografi Desa Sukawening, Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor Tahun 2006. Desa Sukawening. Bogor Pemerintah Desa Petir. 2006. Data Monografi Desa Petir, Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor Tahun 2006. Desa Petir. Bogor Pemerintah Kecamatan Dramaga. 2008. Data Monografi Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor Tahun 2008. Pemerintah Kecamatan Dramaga. Bogor Paramdiyan D. 1999. Analisis Pemasaran Ayam Buras di Kabupaten Ciamis, Studi Kasus di Kelompok Peternak Wargi Sabiyo Desa Mangunjaya Kecamatan Cisaga. Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Rakhmat J. 2002. Psikologi Manusia. PT Remaja Rosda Karya. Bandung. Rangkuti F. 2003. Measuring Consumer Satisfaction: Gaining Customer Relationship Strategy. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Ratnawati A dkk. 2000. Potensi, Preferensi, dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah di Jawa Barat. IPB. Bogor
97
Shiffmann L. G. and L.L. Kanuk. 2000. Consumer Behavior. Prentice Hall International, Inc. New Jersey. Setiadi N.J. 2003. Perilaku Konsumen; Konsep dan implikasi untuk Strategi dan Penelitian Pemasaran. Prenada Media. Jakarta Soekartawi, Soeharjo, Dilon J.L., Hardaker J.B. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. UI-Press. Jakarta Sumarwan U. 2003. Perilaku Konsumen. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta Supriatna. 2003. Aksesibilitas Petani Kecil Pada Sumber Kredit Pertanian di Tingkat Desa: Studi Kasus Petani Padi di NTB. Balai Besar Pengkajian dan PengembanganTeknologi Pertanian. Bogor Surya W.D. 1997. Hubungan Faktor Sosial Ekonomi Peternak dan Pemeliharaan Sapi Perah di Wilayah Kerja Poskeswan Tanjung Sari Sumedang. Jurusan Kitwan Kesmavet FKH IPB. Bogor Tampubolon S.M.H. 2002. Suara dari Bogor “sistem dan usaha agribisnis, kacamata sang pemikir”. Pusat Studi Pembangunan IPB dan USESE Foundation. Bogor Tanjung dan Perwataatmadja. 2007. Bank Syariah, Teori, Praktik dan Peranannya. PT. Senayan Abadi. Jakarta Taryoto dkk. 1992. Perkembangan Perkreditan Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian-Balitbang Pertanian. Bogor. Wibowo dan Widodo. 2005. Mengapa Memilih Bank Syariah. Ghalia Indonesia. Bogor Zaenudin. 2006. Preferensi Masyarakat Terhadap Gadai Syariah pada Kantor Cabang Pegadaian Syariah Margonda Depok Tahun 2005. Tesis. Kekhususan Ekonomi dan Keuangan Syariah. Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam. Program pascasarjana. UI
98
LAMPIRAN
100
Lampiran 1. Daftar Responden Penelitian Subsektor Tanaman Pangan No Nama Jenis Umur Jumlah Pendidikan Responden Kelamin (tahun) Tanggungan Formal 1 Anda Laki-laki 45 3 Tidak tamat SD 2 Enjun Laki-laki 48 2 Tidak tamat SD 3 Ukar Laki-laki 60 1 Tidak tamat SD 4 Endih Laki-laki 50 3 SD 5 Acu Laki-laki 39 3 SMP 6 Kardi Titim Laki-laki 50 3 Tidak tamat SD 7 Bah Ro’i Laki-laki 65 SD 8 Mihad Laki-laki 50 5 SD 9 Suhata Laki-laki 78 5 SD 10 Hamzah Laki-laki 79 3 SD 11 Hamid Laki-laki 65 3 Tidak tamat SD 12 Endang Laki-laki 58 4 SD 13 Hj. Ursih Perempuan 48 0 SD 14 Urip Laki-laki 40 4 SD 15 Wawan Laki-laki 45 4 SD 16 H. Sake Laki-laki 80 6 SD 17 Jaya Laki-laki 39 4 SD 18 Lulus Laki-laki 30 3 SD 19 Narti Perempuan 57 SD 20 Enja Sudrajat Laki-laki 80 - Tidak tamat SD 21 Ujang Laki-laki 61 5 SD 22 Ganda Laki-laki 42 3 SD 23 Amad Laki-laki 35 1 SD 24 Onip Laki-laki 45 5 SD 25 Anda Laki-laki 51 4 SD 26 H. Acing Laki-laki 60 1 Tidak tamat SD 27 Hj. Ratnasari Perempuan 58 1 Tidak tamat SD
Pengalaman Skala Usaha Usahatani (Ha) 15 0,20 20 0,15 40 0,10 2 0,12 1 0,10 25 0,15 5 0,30 10 0,10 50 0,10 25 0,30 40 0,10 20 1,00 10 1,00 18 1,00 1 0,24 29 1,00 6 0,10 8 0,20 5 0,15 39 2,00 15 0,50 22 0,20 14 0,50 5 0,30 30 1,00 30 1,00 14 0,80
Status Lahan Milik Gadai Milik Sewa Gadai Milik Milik Milik Milik Milik Milik Sewa Milik Sewa Milik Milik Gadai Milik Milik Milik Sewa Milik Gadai Sewa Milik Milik Milik
Status Usaha Utama Utama Utama Utama Utama Utama Utama Utama Sampingan Utama Utama Utama Sampingan Utama Sampingan Utama Utama Sampingan Sampingan Utama Utama Sampingan Utama Utama Utama Utama Sampingan
Pekerjaan Diluar Usahatani Buruh Buruh Buruh Pengemudi Buruh Dagang Buruh Wirausaha Wiraswasta Pengemudi Dagang Wiraswasta Dagang Pns Dagang Tk.Pijat Dagang Dagang
101
Lampiran 1. Daftar Responden Penelitian Subsektor Tanaman Pangan (Sambungan) No Nama Jenis Umur Jumlah Pendidikan Pengalaman Responden Kelamin (tahun) Tanggungan Formal Usahatani 28 Andi Laki-laki 60 1 Tidak tamat SD 40 29 Juju Laki-laki 48 3 Tidak tamat SD 25 30 Bu Ujang Perempuan 65 1 Tidak tamat SD 50 31 Edeng Laki-laki 79 1 Tidak tamat SD 60 32 Sunjana Laki-laki 40 4 SMP 19 33 Ukat Laki-laki 50 2 SD 25 34 Satni Perempuan 55 - Tidak tamat SD 35 35 Samsu Laki-laki 60 1 Tidak tamat SD 30 36 Aas Laki-laki 70 - Tidak tamat SD 50 37 Toni Laki-laki 66 5 SD 50 38 H. Entong Laki-laki 50 2 SMP 25 39 Mahrup Laki-laki 63 1 Tidak tamat SD 46 40 H. Atang Laki-laki 55 2 SD 39 41 Kanta Laki-laki 60 5 Tidak tamat SD 5 42 Nurji Laki-laki 35 1 SMU 2 43 Enoh Laki-laki 67 3 SD 20
Skala Usaha (Ha) 0,20 1,00 0,20 0,35 0,15 1,00 0,10 0,20 0,30 0,40 2,00 0,50 2,00 0,10 0,10 0,50
Status Lahan Milik Milik Milik Milik Milik Milik Milik Milik Milik Milik Milik Milik Milik Pinjam Milik Milik
Status Usaha Sampingan Utama Utama Utama Utama Sampingan Utama Sampingan Utama Utama Sampingan Sampingan Utama Utama Utama Utama
Pekerjaan Diluar Usahatani Penjahit Dagang Buruh Wiraswasta Buruh Dagang Buruh Wiraswasta Dagang Dagang -
102
Lampiran 2. Daftar Responden Penelitian Subsektor Perikanan No Nama Jenis Umur Jumlah Responden
Kelamin
(tahun) Tanggungan
Pendidikan
Pengalaman
Skala
Status
Status
Pekerjaan Diluar
Formal
Usahatani
Usaha (m2)
Lahan
Usaha
Usahatani
1
Suwarji
Laki-laki
45
4
SMU
10
0,30
Milik
Sampingan
Dagang
2
Sugandi
Laki-laki
39
4
SD
13
0,50
Milik
Sampingan
Dagang
3
Marhup
Laki-laki
63
4
SD
3
0,70
Milik
Utama
Dagang
4
Anim Wijaya
Laki-laki
54
11
SD
14
0,80
Sewa
Utama
-
5
Yusup
Laki-laki
40
3
SD
2
0,03
Milik
Utama
Wiraswasta
6
Emad
Laki-laki
67
1
SD
5
0,13
Milik
Utama
-
7
Anay
Perempuan
62
-
Tidak Sekolah
10
0,10
Gadai
Sampingan
Dagang
8
Umar
Laki-laki
42
4
SD
7
0,10
Gadai
Utama
Buruh
9
Endi
Laki-laki
58
1
SD
4
0,09
Sewa
Utama
-
103
Lampiran 3. Daftar Responden Penelitian Subsektor Peternakan No Nama Jenis Umur Jumlah Pendidikan Responden
Kelamin
(tahun) Tanggungan
Formal
Pengalaman
Skala
Status
Status
Pekerjaan
Beternak
Usaha
Lahan
Usaha
Diluar
(ekor)
Usahatani
1
Ugan
Laki-laki
61
2
Tidak tamat SD
6
3.500
Sewa
Utama
-
2
Jakar
Laki-laki
31
3
SMP
10
4.000
Sewa
Sampingan
Dagang
3
Daryanto
Laki-laki
49
3
SMU
18
25.000
Milik
Utama
Wiraswasta
4
Arif
Laki-laki
30
3
SD
5
4.500
Sewa
Utama
-
5
Nandi
Laki-laki
50
4
Tidak tamat SD
3
5.000
Milik
Utama
Dagang
6
Madyunus
Laki-laki
40
1
Tidak tamat SD
4
6.000
Sewa
Utama
-
7
Idus
Laki-laki
56
1
SD
10
8.500
Sewa
Utama
-
8
Ukar
Laki-laki
40
4
SD
6
4.000
Sewa
Utama
-
104
Lampiran 4. Riwayat Pinjaman Responden Penelitian Nama Responden Hamzah Bah Ro’i
Sumber Kredit
Tahun Akses
Nilai Plafond (Rupiah)
Bunga /bulan (%) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,50 0,00 0,00 5,70 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,80 0,00 0,00 1,48 0,00 2,50 6,90 2,80 0,00 0,00 4,2 1,5 1,5
Bentuk Pinjaman
Tengkulak 2008 300.000 Uang Tengkulak 2008 1.000.000 Uang KKP 1990 2.500.000 Uang Urip Tengkulak 2000 3.000.000 Uang Enja Sudrajat KUD 1990 100.000.000 Uang Acu Tengkulak 2009 500.000 Uang Onip Tengkulak 2008 1.500.000 Uang Ganda Bank Jabar 2006 15.000.000 Uang Toni Tengkulak 2000 1.000.000 Uang KUT 1999 3.000.000 Uang Satni Tengkulak 2008 200.000 Uang Jaya Tengkulak 2007 1.000.000 Uang Ukar Tengkulak 2009 300.000 Uang Juju Tengkulak 2009 2.000.000 Uang Aas KKP 2003 500.000 Uang Tengkulak 2009 400.000 Uang Ujang BRI 2008 15.000.000 Uang Tengkulak 2009 4.000.000 Uang Anda Tengkulak 2000 2.900.000 Uang Hj. Ursih BRI 2007 40.000.000 Uang Kardi titim Tengkulak 2008 300.000 Uang H. Entong BRI 2007 10.000.000 Uang Narti BRI 2002 5.000.000 Uang Hj. Ratnasari BRI 2008 15.000.000 Uang H. Atang Tengkulak 2009 500.000 Uang Endang Tengkulak 2008 5.000.000 Uang Sugandi NISP 2008 40.000.000 Uang Daryanto Bank Niaga 2001 100.000.000 Uang Jakar Bank HSBC 2007 6.000.000 Uang Jenis Agunan: A= Sertifikat tanah dan bangunan B= Surat berharga seperti daftar gaji, SK, BPKB kendaraan dll.
Lama Pinjaman (bulan) 4 3-5 12 12 12 4 3 48 3 10 6 12 3 3 4 3 24 2 3 24 3-4 12 12 24 3-6 4-12 12 36 24
Biaya Pengajuan (Rupiah) 300000 2000000 50000 1.000.000 2.000.000 340.000
Besar Angsuran (Rupiah)
Jenis Agunan -
450.000 250.000 320.000 125.000 925.000 2.335.000 1.050.000 500.000 925.000 6.600.000 4.300.000 340.000
B A A A A A A A A
Persiapan Hingga Cair (hari) 1 1 1 1 1-2 1 1 1-7 1 1 1 1 1 1 1 1 1-7 1 1 1-15 1 1-3 1-2 1-3 1 1 1-3 1-7 1-5
Bentuk Pembayaran
Cara Pengembalian
Uang tunai Hasil Uang tunai Hasil Uang tunai Hasil Hasil Uang tunai Hasil Uang tunai Hasil Hasil Hasil Hasil Uang tunai Hasil Uang tunai Hasil Hasil Uang tunai Hasil Uang tunai Uang tunai Uang tunai Hasil Hasil Uang tunai Uang tunai Uang tunai
Musiman Musiman Musiman Musiman Musiman Musiman Musiman Bulanan Musiman Bulanan Musiman Musiman Musiman Musiman Bulanan Musiman Bulanan Musiman Musiman Bulanan Musiman Bulanan Bulanan Bulanan Musiman Musiman Bulanan Bulanan Bulanan