1
ANALISIS PENERAPAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS KOMISI PETUGAS DINAS LUAR ASURANSI DITINJAU DARI ASAS CERTAINTY Suzan Stevan Silaban1 dan Iman Santoso2 1. 2.
Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia E-mail :
[email protected]
Abstrak Ketidaksesuaian peraturan pelaksana Pajak Penghasilan Pasal 21 atas komisi PDLA yaitu PMK No.206/PMK.011/2012 dan Peraturan DJP No.31/PJ/2012 dalam menerapkan PTKP menimbulkan ketidakpastian hukum. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan penerapan Pajak Penghasilan Pasal 21 PDLA yang terdapat dalam peraturan DJP dan PMK ditinjau dari aspek certainty dan pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 PDLA oleh perusahaan asuransi di Indonesia sebagai pemotong pajak. Metode penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknis pengumpulan data wawancara mendalam. Hasil penelitian adalah peraturan DJP dan PMK menimbulkan ketidakpastian (uncertainty) hukum dalam menetapkan hak PDLA untuk mendapatkan pengurangan PTKP dan perusahan asuransi sebagai pemotong pajak menggunakan PMK sebagai acuan dalam penerapan PTKP serta menggunakan peraturan DJP dalam menerapkan tarifnya. Kata kunci : Pajak Penghasilan Pasal 21, Petugas Dinas Luar Asuransi, Asas Kepastian (Certainty) Hukum
Applying Taxable Income Article 21 Analysis of Insurance Affairs Officer Income Terms Of Aspects Certainty Abstract Incompatibility withholding tax regulations implementing income tax article 21 of PDLA commission is PMK No.206/PMK.011/2012 and regulation of DJP No.31/PJ/2012 in applying the taxable income can create legal uncertainty. This study aimed to explain the withholding tax provisions of Tax Income Article 21 to PDLA contained in the regulations DJP and PMK in terms of aspects certainty and explain the implementation of withholding tax of Tax Income Article 21 PDLA by insurance companies in Indonesia as withholder. This study used a quantitative approach with in-depth technical analysis of interviews and literature studies. The result of the study is that the DJP rules and PMK still pose uncertainty rules, there is uncertainty law to ensure the right PDLA as Non-Official Taxpayers for a reduction of PTKP and the insurance company as a withholder using the PMK as a reference in the application of regulatory and non-taxable income using the DJP rules apply charge. Keywords : Withholding Income Tax Art 21, Insurance Affairs Officer, Aspects Certainty.
Pendahuluan
Analisis Penerapan..., Suzan Stevan Silaban, FISIP UI, 2014
2
Usaha perasuransian sebagai salah satu lembaga keuangan non bank menjadi semakin penting peranannya karena kegiatan usahanya disamping memberi proteksi kepada masyarakat juga merupakan lembaga penghimpun dana yang bersumber dari penerimaan premi asuransi dari masyarakat. Industri asuransi mempunyai peran dan fungsi penting yang dapat mempengaruhi pertumbuhan perekonomian dan kesejahteraan rakyat setiap negara, khususnya di Indonesia. Perkembangan industri asuransi tersebut tidak lepas dari faktor strategi pemasaran yang diterapkan oleh masing-masing perusahaan. Pemasaran asuransi tersebut dilakukan dengan berbagai macam strategi oleh pihak yang berkaitan, baik itu berbentuk badan usaha maupun perseorangan. Pihak tersebut salah satunya adalah agen asuransi atau yang dalam istilah perpajakan disebut Petugas Dinas Luar Asuransi (PDLA). Agen asuransi bertindak sebagai perantara penanggung dan tertanggung, mewakili perusahaan asuransi dalam pemberian jasa pelayanan asuransi. Sehingga sejalan dengan berkembangnya dunia industri asuransi saat ini dapat dipastikan bahwa jumlah agen asuransi pun akan terus berkembang. Tabel 2. Perkembangan PDLA di Indonesia Tahun
Des 2012
2013
2014
Target 2015
Jumlah Agen
303.115 orang (13,9%)
344.749 orang
392.669 orang
500.000 orang
Sumber : Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), diolah peneliti
Penghasilan yang diterima oleh agen asuransi memiliki daya tarik karena pada dasarnya komisi yang diterima oleh agen asuransi tersebut dapat dikatakan tanpa batas, sesuai dengan jumlah penjualan yang berhasil dilakukan oleh agen tersebut. Oleh karena itu, komisi PDLA menjadi objek yang menarik dan berpotensial bagi penerimaan Negara melalui Pajak Penghasilan Pasal 21 atas komisi yang diterima oleh PDLA dari perusahaan asuransi sebagai pemberi kerja. Pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas komisi yang diterima PDLA tersebut diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.31/PJ/2012 tentang pedoman teknis tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi menggantikan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.57/PJ/2009 dimana disebutkan dalam Pasal
Analisis Penerapan..., Suzan Stevan Silaban, FISIP UI, 2014
3
10 ayat (2) huruf (c) bahwa Penghasilan Kena Pajak bagi Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan. Dalam pasal 3 huruf (c) angka (11) disebutkan bahwa, bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa, meliputi salah satunya adalah Petugas Dinas Luar Asuransi. Dalam peraturan DJP tersebut Penghasilan Kena Pajak bukan pegawai (Petugas Dinas Luar Asuransi) ditentukan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan,
sementara di PMK No.206/PMK.011/2012 disebutkan bahwa
penghasilan bruto kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender melebihi Rp 2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) atau penghasilan dibayar secara bulanan tidak berlaku atas penghasilan berupa honorarium atau komisi yang dibayarkan kepada petugas dinas luar asuransi. Dengan kata lain, PDLA tidak mendapatkan pengurangan personal atau PTKP sebagai cerminan biaya hidup minimum. Atas ketidaksesuaian kedua peraturan tersebut, menimbulkan pertanyaan ketentuan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk PDLA yang terdapat dalam peraturan DJP dan PMK ditinjau dari aspek certainty dan pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 PDLA yang dilakukan oleh perusahaan asuransi sebagai withholder. Seperti yang dikutip oleh Widodo, Adam Smith mengatakan, bahwa ketentuan pajak yang diwajibkan kepada seseorang untuk membayarnya harus bersifat pasti dan tidak mudah berubah-ubah. Dalam pajak dikenal istilah asas certainty yang artinya pajak yang dibayar oleh wajib pajak harus pasti (certain) dan tidak mengenal kompromi (not arbitrary). Asas kepastian antara lain mencakup kepastian mengenai : •
siapa-siapa yang harus dikenakan pajak (subjek pajak)
•
apa-apa saja yang dijadikan sebagai objek pajak (objek pajak)
•
besarnya jumlah pajak yang harus dibayar
•
bagaimana jumlah pajak yang terutang itu harus dibayar (prosedur pembayaran dan pelaporan pajak)
•
bagaimana hak perpajakan yang diatur dalam ketentuan dan peraturan pelaksanaannya.
Hal tersebut perlu untuk menjamin adanya kepastian hukum. Artinya, kepastian bukan hanya menyangkut kepastian mengenai subjek pajak (dan pengecualiannya), objek pajak (dan pengecualiannya), dasar pengenaan pajak serta besarnya tarif pajak, tetapi juga mengenai
Analisis Penerapan..., Suzan Stevan Silaban, FISIP UI, 2014
4
prosedur pemenuhan kewajibannya antara lain prosedur pembayaran dan pelaporan serta pelaksanaan hak-hak perpajakannya. Menurut Rosdiana, untuk keperluan perpajakan tentunya harus ada ketentuan khusus yang mengatur karena prinsip utama dari ketentuan-ketentuan mengenai biaya-biaya yang diperbolehkan untuk dijadikan pengurang (deductible expenses) dalam menghitung penghasilan neto adalah biaya-biaya tersebut harus mempunyai hubungan langsung dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, atau yang dikenal di Indonesia dengan istilah biaya mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. Dengan demikian pengeluaran yang sifatnya pribadi (untuk kepentingan Wajib Pajak sendiri) tidak bisa dijadikan deductible expenses. Dalam hal ini, tax reliefs juga dapat diberikan dalam bentuk standard tax reliefs dan non standard tax reliefs. Standard tax reliefs tidak berkaitan dengan pengeluaran atau biaya yang dikeluarkan Wajib Pajak dan berlaku untuk seluruh Wajib Pajak yang memenuhi syarat UndangUndang. Bentuk standard tax reliefs, yaitu basic relief untuk penghasilan dari gaji yang tidak tergantung pada status perkawinan atau status keluarga. Relief yang diberikan bagi Wajib Pajak terkait dengan status perkawinannya dan kepada anak yang menjadi tanggungannya atau tanggungan lain. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif yang menggunakan teori sesuai dengan makna yang ada dan menggunakan karakterisktik yang tersedia dalam teori tersebut. Penulis memusatkan pada teori atau paradigma teori untuk menuntun peneliti menemukan masalah, dan menemukan konsep-konsep untuk menganalisis data terkait Pajak Penghasilan PDLA. Jenis penelitian berdasarkan tujuan penelitiannya, termasuk penelitian deskriptif. Berdasarkan manfaat penelitiannya, termasuk penelitian murni karena bersifat untuk kepentingan akademis tanpa disponsori pihak manapun. Dilihat dari dimensi waktu, penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional karena mengambil satu waktu tertentu yaitu pada bulan Januari 2014 hingga Juni 2014. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam dengan pihak Direktorat Jenderal Pajak bagian Peraturan Perpajakan II, Kepala Sub Bidang Evaluasi Kebijakan Pajak dan PNBP, Badan Kebijakan Fiskal, Petugas DInas Luar Asuransi, Staff Departement Finance and Acounting PT XYZ Assurance, Dosen FISIP UI.
Analisis Penerapan..., Suzan Stevan Silaban, FISIP UI, 2014
5
Analisis Data Ketentuan Pemotongan PPh Pasal 21 untuk PDLA dalam Peraturan DJP dan PMK Ditinjau dari Asas Certainty Kepastian hukum merupakan perbuatan atau tindakan penguasa yang berwenang terhadap masyarakat yang didasarkan pada hukum yang berlaku. Suatu peraturan perpajakan ditetapkan bertujuan untuk menjaga agar pelaksanaan perpajakan tertentu dapat dimengerti baik oleh pemotong pajak, pembayar pajak, maupun otoritas pajak sendiri. Demikian halnya dengan peraturan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi PDLA. Dalam hukum dikenal istilah peraturan yang khusus mengesampingkan peraturan yang umum atau disebut dengan “Lex Superior Derogat Legi Inferiori”. Artinya, peraturan perpajakan yang di bawah tidak boleh bertentangan dengan aturan di atasnya, dimana peraturan di bawah harus tetap tunduk terhadap peraturan yang di atasnya. Dengan kata lain, peraturan DJP pun tidak boleh bertentangan dengan PMK. Namun, pada kenyataannya peraturan DJP dalam mengatur pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas komisi PDLA bertentangan dengan PMK yang telah ditetapkan. Dan PMK pun bertentangan dengan Undang-Undang Perpajakan yang memberlakukan PTKP sebagai pengurang dalam perhitungan Pajak Penghasilan WPOP. Ini menjadi hal yang tidak mengindahkan peraturan, hal ini akan berdampak pada besarnya jumlah pajak terutang yang harus dibayar PDLA, dan jelas akan menimbulkan keambiguan bagi perusahaan asuransi, PDLA sebagai Wajib Pajak. Namun, pada kenyataannya hal tersebut tidak menjadi masalah bagi pihak pajak, seperti yang diungkapkan oleh Shodiq (wawancara 3 Juni 2014), “Apalagi nih dia (PMK) posisinya lebih tinggi lagi, gak jadi masalah, sekalipun seperti itu yang akan kalah adalah per DJP itu. Jadi dengan adanya PMK 206 ini dia mengatur khusus tentang PDLA tadi. Dan per DJP ini adalah aturan pelaksanaan dari PMK tersebut.” Pemerintah telah menetapkan tax reliefs untuk Wajib Pajak dalam suatu jumlah yang tetap atau persentase tetap dari penghasilan yang disebut standard tax reliefs. Pihak DJP yang bertugas untuk kepentingan negara dalam mengamankan penerimaan negara menjadi alasan tersendiri. Membuat peraturan Pajak Penghasilan memang adalah wewenang pihak DJP dan pihak yang bersangkutan, dari peraturan yang telah dibuat akan diketahui sasaran kebijakan pajak, administrasi perpajakan dan Undang-Undang yang mengaturnya. Namun, peraturan DJP
Analisis Penerapan..., Suzan Stevan Silaban, FISIP UI, 2014
6
dan PMK yang telah ditetapkan tersebut masih menimbulkan kerancuan, dengan jumlah pajak lebih besar yang dibayarkan oleh PDLA memang dapat memenuhi kebutuhan dana untuk keperluan negara dan dapat meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak penghasilan. Tetapi hal tersebut tidak meningkatkan kesejahteraan dan keadilan bagi PDLA sebagai Wajib Pajak. Karena kebijakan pajak yang dikeluarkan tidak menyentuh hak PDLA sebagai Wajib Pajak untuk mendapatkan pengurangan berupa PTKP. Upaya untuk memastikan keberadaan suatu peraturan perpajakan adalah peraturan yang lebih rendah sebaiknya hanya mengatur tentang pelaksanaan saja. •
Subjek Pajak Penghasilan Dalam PER DJP No. 31/PJ/2012 pasal 3 huruf (c), disebutkan penerima penghasilan yang
dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi yang merupakan Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa, yang diantaranya adalah PDLA. Penerima penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan. Menurut penuturan Shodiq (Wawancara 3 Juni 2014) dasar penetapan PDLA dalam kategori bukan pegawai, “Karena PDL asuransi tersebut tidak terikat dalam suatu perusahaan, itu aja kata kuncinya. Kalo begitu kan artinya bukan pegawai.” PDLA yang disebut sebagai Bukan Pegawai merupakan pekerja lepas yang mewakili perusahaan asuransi untuk berhubungan dengan nasabah dalam menjual produk asuransi, atas jasanya tersebut seorang PDLA menerima komisi berdasarkan jumlah persentase tertentu dan karenanya PDLA menjadi subjek Pajak Penghasilan. •
Objek Pajak Penghasilan Kemudian pada PER DJP No. 31/PJ/2012 Pasal 5 ayat (1) huruf (e) disebutkan objek
Pajak Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah imbalan kepada Bukan Pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan jasa yang dilakukan. •
Jumlah Pajak Terutang Pada PER DJP No. 31/PJ/2012 Pasal 10 ayat (2) huruf (c), Penghasilan Kena Pajak Bukan
Pegawai (PDLA) yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan, yaitu PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf (a) UU PPh atas jumlah kumulatif
Analisis Penerapan..., Suzan Stevan Silaban, FISIP UI, 2014
7
Penghasilan Kena Pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan. Besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan. Tarif yang ditetapkan dalam pemotongan Pajak Penghasilan PDLA tersebut akan menentukan besarnya jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh PDLA melalui perusahaan asuransi. •
Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Melalui pemotong pajak sebagai pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya
pajak yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku, perusahaan asuransi melaksanakan pemotongan Pajak Penghasilan bagi PDLA. PDLA hanya perlu melaksanakan kewajiban perpajakan lainnya, seperti mendaftarkan diri untuk mendapat NPWP. Setelah itu perusahaan asuransi sebagai pemotong pajak akan menghitung jumlah pajak yang harus dibayarkan sesuai dengan peraturan yang berlaku. •
Hak perpajakan Mengenai hak-hak perpajakan PDLA pun tidak berbeda dengan Wajib Pajak lainnya,
hanya saja dalam hal ini PDLA tidak mendapatkan pengurangan PTKP sebagai pengurang atas pertimbangan biaya hidup minimum. PDLA harus membayar Pajak Penghasilannya tanpa dikurangi PTKP untuk memperhitungkan biaya-biaya mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan serta biaya hidup minimum bagi diri sendiri dan anggota keluarganya. Sementara Pasal 22 ayat ayat (2) Peraturan DJP No.31 tahun 2012, disebutkan Bukan Pegawai tersebut wajib membuat surat pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada awal tahun kalender atau pada saat dimulai menjadi Subjek Pajak dalam negeri sebagai dasar penentuan PTKP dan wajib menyerahkannya kepada pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 pada saat mulai bekerja. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa Bukan Pegawai yang dimaksud adalah PDLA dapat membuat surat pernyataan terkait tanggungan keluarga untuk mendapatkan PTKP tersebut. Namun pengurangan PTKP tersebut tetap saja tidak berlaku bagi PDLA karena kedudukan Peraturan DJP yang lebih rendah daripada PMK, pajak yang dibayarkan untuk Pajak Penghasilan PDLA pun terlalu besar. Seperti yang diungkapkan oleh Michael (wawancara 19 Mei 2014), “Menurut saya sih terlalu besar ya, apalagi misalnya ada agen baru memulai bekerja di asuransi dimana memang income-nya belum terlalu besar apalagi karna gak ada PTKP tadi malah banyak banget dia bayar pajak.” Tabel 3. Indikator Kepastian Hukum Pemotongan PPh Pasal 21 atas Komisi PDLA
Analisis Penerapan..., Suzan Stevan Silaban, FISIP UI, 2014
8
Indikator Kepastian Hukum
Kategori
Kepastian tentang subjek Pajak Penghasilan Pasal 21 atas komisi PDLA Kepastian tentang objek Pajak Penghasilan Pasal 21 atas komisi PDLA
Memenuhi Asas Kepastian
Kepastian tentang jumlah pajak terutang PPh Pasal 21 atas komisi PDLA Kepastian tentang tata cara pembayaran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas komisi PDLA Kepastian tentang hukum yang mengatur hak perpajakan PDLA untuk mendapatkan PTKP Sumber : diolah oleh peneliti
Memenuhi Asas Kepastian
Memenuhi Asas Kepastian
Memenuhi Asas Kepastian Tidak Memenuhi Asas Kepastian
Berdasarkan indikator yang digunakan untuk mengukur kesesuaian asas kepastian hukum (certainty) maka dalam hal pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 atas komisi PDLA telah memenuhi asas kepastian hukum karena telah sesuai dengan kategori yang dimaksud, namun dalam hal kejelasan peraturan dan ketentuan untuk mendapatkan hak berupa PTKP sebagai perngurang atas pajak penghasilannya terdapat keraguan dan ketidakpastian pada peraturan PMK yang menyebutkan PTKP tidak diberlakukan dalam hal pengurangan PPh PDLA. Kondisi ini menimbulkan kerugian bagi pihak PDLA sebagai Wajib Pajak karena PPh yang harus dibayarkan menjadi lebih besar. Pelaksanaan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Komisi PDLA yang Dilakukan oleh Perusahaan Asuransi sebagai Pemotong Pajak •
Prosedur Pembayaran Komisi Kepada PDLA oleh Perusahaan Asuransi Pada umumnya, pembayaran komisi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada
PDLA adalah sesuai dengan penjualan polis yang berhasil dilakukan oleh agen asuransi tersebut. Persentasi yang ditetapkan oleh masing-masing perusahaan pun berbeda-beda tergantung kesepakatan awal antara perusahaan terkait dengan agen yang melaksanakan penjualan. Pencairan atau pembayaran komisi yang dilakukan oleh perusahaan pun berbeda tergantung dari masing-masing perusahaan. Bisa dilakukan setiap awal bulan, tengah bulan, akhir bulan, tengah dan akhir bulan atau di setiap penjualan polis yang dilaporkan. Seperti yang dilakukan oleh perusahaan asuransi menurut penuturan Vivi berikut (wawancara 06 Juni 2014), “Setiap bulan agen itu terima komisi dua kali, setiap tanggal 15 dan tanggal 30, tengah dan akhir bulan. Dan akan kita kirimkan ke rekening masing-masing agen.”
Analisis Penerapan..., Suzan Stevan Silaban, FISIP UI, 2014
9
•
Pemotongan PPh Pasal 21 atas Komisi PDLA Pemungutan PPh Pasal 21 atas komisi PDLA dilakukan oleh perusahaan asuransi sebagai
pihak pemotong pajak. Melalui sistem ini diberi wewenang kepada pihak perusahaan asuransi untuk menentukan besarnya pajak terutang oleh PDLA sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku. Sistem pemotongan pajak oleh perusahaan asuransi ini memiliki manfaat baik bagi PDLA maupun bagi fiskus dalam melaksanakan kewajibannya. Diantaranya, meningkatkan kepatuhan PDLA dalam membayar PPh, bagi fiskus mengurangi masalah pemungutan karena telah dibantu oleh pihak ketiga. Hal tersebut juga berkaitan dengan asas pay as you earn melalui withholding tax system, perusahaan asuransi melakukan pemotongan/pemungutan dengan mengurangkan PPh dari penghasilan PDLA pada saat pembayaran komisi dan kemudian menyetornya ke Negara, sehingga dianggap menjadi lebih efektif dan mudah. Pembayaran pajak yang dilakukan pun pada saat yang “menyenangkan” PDLA, yaitu saat PDLA menerima tambahan kemampuan ekonomis berupa komisi. Pemotong pajak adalah pihak yang diberi wewenang untuk memotong Pajak Penghasilan. Dalam pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 PDLA diketahui bahwa perusahaan asuransi
tidak
menerapkan
pengurangan
PTKP
seperti
yang
diatur
dalam
PMK
No.206/PMK.011/2012. Pemotong pajak menggunakan Per DJP sebagai acuan dalam pemotongan Pajak Penghasilan PDLA dalam peraturan tersebut dijelaskan tarif yang harus dikenakan. Simpulan dan Rekomendasi 1. Penetapan subjek pajak, objek pajak dan tata cara pembayaran dan pelaporan Pajak Penghasilan PDLA telah dijelaskan secara pasti dalam peraturan DJP. Namun, dalam hal penerapan PTKP masih menunjukkan tidak adanya kepastian hukum (uncertainty). Pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan oleh perusahaan asuransi sebagai pemotong pajak menggunakan PMK No.206/PMK.011/2012 sebagai acuan penerapan PTKP, sementara dalam penerapan tarifnya menggunakan Peraturan DJP No.31/PJ/2012. Agar terciptanya kepastian hukum dalam hal peraturan pemotongan Pajak Penghasilan PDLA dalam menerapkan PTKP, sebaiknya PMK harus diubah mengikuti UU yang secara hierarki lebih tinggi untuk memberlakukan pengurangan PTKP sebagai hak pengurang perpajakan PDLA agar dapat menggambarkan kepastian (certainty) dan keselarasan hukum.
Analisis Penerapan..., Suzan Stevan Silaban, FISIP UI, 2014
10
2. Pembayaran komisi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada PDLA adalah setelah dipotong Pajak Penghasilan menggunakan tarif pada peraturan DJP. Tidak adanya PTKP sebagai pengurang dalam pemotongan Pajak penghasilan PDLA menjadikan pajak yang harus dibayar oleh PDLA lebih besar. Pajak Penghasilan lebih bayar yang dibayarkan oleh PDLA adalah pajak yang tidak seharusnya terutang sehingga sebaiknya dapat diperhatikan oleh Pemerintah, untuk dapat di refund atau ditindaklanjuti sehingga tidak merugikan pihak PDLA sebagai Wajib Pajak. Daftar Referensi Rosdiana, Haula, Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak : Kebijakan dan Implementasi di Indonesia, Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2013 , Rasin Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2005 Mikesell, John L., Fiscal Administration : Analysis and Applications for the Public Sector, USA : The Dorsey Press, 1982 Nitisusastro, Mulyadi, Asuransi dan Usaha Perasuransian di Indoensia, Jakarta: Alfabeta, 2013 Suhartono, Rudy, Wirawan B. Ilyas, Pajak Penghasilan, Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2007 Waluyo, Didik Budi, Memahami Undang-Undang Dan Peraturan Pelaksanaan Pajak Penghasilan Pasal 21, Jakarta : Gramedia, 2010 Widodo, Widi, Dedy Djefris, Tax Payer’s Rights, Bandung : Alfabeta, 2008
Analisis Penerapan..., Suzan Stevan Silaban, FISIP UI, 2014