ANALISIS PADA PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT YANG MENGANDUNG GABUNGAN TINDAK PIDANA (CONCURSUS) Tisa Windayani, Nugroho Adipradana, Siradj Okta Fakultas Hukum Unika Atma Jaya
[email protected] Abstract In criminal law, the theory of concurrence (concursus) is strongly exist. If someone had committed several crimes, then she can be prosecuted by applying concursus rule. The verdict require formal and material conditions to be fulfilled. This research is intended to look at the application of the rule of crime concurrence in the setting of Central Jakarta Court, case study of 3 decisions. It is founded that all decisions are not clearly elaborate how concursus requirements had fulfilled by the defendant. Some factors involved. One of the is the relevance of indictment type. The other two, the relevance is unknown. Key word: concursus, decision, criminal procedural law Abstrak Dalam Hukum Pidana dikenal teori tentang perbarengan tindak pidana. Jika seseorang melakukan beberapa perbuatan pidana, dan di antara perbuatan-perbuatan tersebut tidak ada penuntutan/ tidak diadili, maka atas seseorang tersebut dapat diberlakukan penuntutan memakai perbarengan. Putusan pengadilan memiliki syarat formal dan materiil agar menjadi sah dan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan keadilannya. Penelitian ini akan melihat bagaimanakah pelaksanaan concursus (gabungan tindak pidana) pada putusan perkara pidana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Studi Kasus pada 3 (tiga) putusan perkara pidana). Dari 3 (tiga) putusan yang diteliti, ketiganya tidak menjelaskan dan menjabarkan bagaimana syarat-syarat concursus dipenuhi oleh perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor. Pada salah satu putusan hal ini terjadi karena ketidaksesuaian penerapan dakwaan dengan jenis dakwaaannya. Sedangkan pada 2 (dua) putusan lain tidak dapat diketahui mengapa hakim tidak memberikan penjabaran mengenai concursus dalam perkara tersebut. Kata kunci: concursus, putusan, acara pidana
A.
Pendahuluan
Dalam Hukum Pidana dikenal teori tentang perbarengan tindak pidana. Jika seseorang melakukan beberapa perbuatan pidana, dan di antara perbuatan-perbuatan tersebut tidak ada penuntutan/ tidak diadili, maka atas seseorang tersebut dapat diberlakukan penuntutan memakai perbarengan atau concursus. Concursus berfungsi menyederhanakan pemidanaan. Putusan hakim merupakan batas akhir suatu persidangan pidana. Putusan memberikan kewenangan bagi aparat negara untuk melakukan serangkaian tindakan untuk mengembalikan keseimbangan hak dan kewajiban yang rusak akibat tindak pidana. Selain itu, putusan berfungsi memberikan kepastian hukum bagi terdakwa.1 Dengan demikian, putusan memiliki fungsi strategis dan dapat menjadi acuan yang sangat baik untuk menganalisis penegakkan hukum. Jakarta Pusat adalah satu kotamadya di Ibukota Indonesia yang memiliki permasalahan pidana luas dan variatif. Penyelesaian permasalahan pidana di kawasan ini dilakukan di PN Jakpus (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat). PN Jakpus juga menangani perkara HAM dan TIPIKOR. Hal ini merupakan keistimewaan PN Jakpus dibandingkan PN lain di DKI Jakarta. Kondisi ini menjadikan PN Jakpus tepat sebagai titik awal penelitian putusan Hakim di DKI Jakarta sebelum kemudian dilakukan di PN lainnya. Penelitian ini hendak mecari tahu mengenai "Bagaimanakah pelaksanaan concursus (gabungan tindak pidana) pada putusan perkara pidana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat? (Studi Kasus pada 3 (tiga) putusan perkara pidana)" B.
Metode Penelitian Penelitian ini memakai metode normatif analitis. Alat analisis penelitian ini adalah
Panduan Pertanyaan yang dibuat menggunakan bahan-bahan hukum di atas. Panduan Pertanyaan adalah serangkaian pertanyaan tertutup yang jawabannya ditemukan di dalam putusan obyek
penelitian. Setiap jawaban tersebut memiliki poin untuk menentukan kualitas putusan obyek penelitian dalam hal yang disebutkan pada rumusan masalah. Panduan Pertanyaan dibuat menggunakan peraturan perundang-undangan, teori hukum, dan doktrin hukum. B. Landasan Teori a. Gabungan Tindak Pidana S.R Sianturi dalam bukunya menjelaskan bahwa perbarengan merupakan terjemahan dari samenloop atau concursus, yang mana pemahamannya adalah perbarengan dua atau lebih tindak pidana yang dipertanggungjawabkan pada satu orang atau beberapa orang dalam rangka penyertaan. Tindak pidana-tindak pidana tersebut sesuai dengan yang telah dirumuskan dalam ketetntuan peraturan pidana1. Gabungan tindak pidana ada, jika satu orang melakukan beberapa delik padahal di antara waktu-waktu melakukannya ia tidak dihukum karena salah satu delik itu 2. Schaffmeister,
Keijzer
dan
Sutorius
mengemukakan
bahwa
perbarengan
merupakan
permasalahan yang bertalian dengan pemberian pidana, dan hal-hal yang menjadi penekanan dalam perbarengan adalah sebagai berikut: a. beberapa perbuatan pidana yang dilakukan harus diadili pada waktu yang sama atau secara bertahap. Perbarengan dikatakan terjadi ketika dilakukan beberapa perbutan pidana sebelum salah satu perbuatan pidana itu diajukan ke pengadilan. b. ada (beberapa) perbuatan yang dalam kehidupan sehari-hari dipandangan sebagi satu kesatuan, namun masuk dalam beberapa perbuatan pidana, dan dengan demikian merupakan beberapa perbuatan yang diancam dengan dengan pidana 3. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan adanya perbarengan adalah4:
1) Ada dua/lebih tindak pidana (sebagaimana dirumuskan dalam perundang-undangan) dilakukan 2) Bahwa dua/lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang (atau dua orang/lebih dalam rangka penyertaan) 3) Bahwa dua/lebih tindak pidana tersebut, belum ada yang diadili 4) Bahwa dua/lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus. b. Jenis-Jenis Gabungan Tindak Pidana a.
Gabungan sebagai satu peristiwa (Pasal 63; Concursus idealis) Menurut Pasal 63, gabungan sebagai satu peristiwa ada jika "sesuatu perbuatan termasuk dalam beberapa aturan hukuman", ada dengan kata lain jika karena suatu peristiwa dilanggar lebih dari satu pasal pidana 5. Berikut bunyi Pasal 63: (1) Bila suatu tindak pidana masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan -aturan itu; bila pidananya berbedabeda, maka yang dikenakan adalah yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. (2) Bila suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan. Salah satu contohnya menurut Hazewinkel-Suringa adalah ketika seorang yang melanggar pasal 317 KUHP dengan memasukan surat pengaduan palsu kepada seorang penguasa, dapat sekaligus melanggar pasal 220 KUHP apabila ia tahu bahwa yang dilaporkan itu bukan orang yang melakukan suatu tindak pidana 6. b. Gabungan sebagai satu perbuatan yang dilanjutkan (Pasal 64) Bunyi Pasal 64 ayat (1) dan (2) adalah sebagai berikut:
(1) Kalau antara beberapa perbuatan ada perhubungannya, meskipun perbuatan itu masingmasing telah merupakan kejahatan atau pelanggaran, sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan yang berturut-turut, maka hanyalah satu ketentuan pidana saja yang digunakan ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya. (2)Begitu juga hanyalah satu ketentuan pidana saja yang dijalankan, apabila orang disalahkan memalsukan atau merusak uang dan memakai benda, yang terhadapnya dilakukan perbuatan memalsukan atau merusak uang itu.
Menurut R. Sugandhi, beberapa perbuatan yang antara satu dengan lainnya ada kaitannya, dapat dianggap sebagai satu perbuatan yang berkelanjutan (yang diteruskan), apabila menurut pengetahuan dan praktek memenuhi syarat sebagai berikut: i) Timbul dari suatu niat, kehendak atau putusan. ii) Perbuatan-perbuatan itu harus sama atau sama macamnya. Misalnya: Pencurian dengan pencurian, dari pencurian yang ringan sampai yang berat; Penggelapan dengan penggelapan, dari penggelapan yang ringan sampai yang berat Penganiayaan dengan penganiayaan, dari penganiayaan yang ringan sampai penganiyaan yang berat 7. Dalam tafsiran dari Hoge Raad Belanda, dengan satu tambahan syarat yaitu tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu harus pendek. Prof Kansil mengemukakan bahwa syarat "adanya satu kehendak" adalah
merupakan hasil
kesimpulan dari kata "dilanjutkan" (voortgezet) dari perbuatan berlanjut itu sendiri. Sedangkan syarat kedua merupakan hasil dari pengambilan kesimpulan secara a contrario dari bunyi ayat 2 yang menentukan, bahwa juga harus diperlakukan satu ketentuan hukum pidana apabila seorang dipersalahkan melakukan sutau pemalsuan
atau perusakan uang logam, dan mempergunakan benda itu yang terhadapnya dilakukan pemalsuan dan perusakan. c. Gabungan sebagai beberapa perbuatan (Pasal 65; Concursus Realis) Diatur di dalam Pasal 65: (1). Jika ada gabungan beberapa perbuatan, yang masing-masingnya harus dipandang sebagai satu perbuatan bulat dan yang masing-masingnya merupakan kejahatan yang terancam dengan pidana pokok yang sama, maka satu pidana saja yang dijatuhkan. (2) Maksimum pidana itu adalah jumlah maskimum yang diancamkan asas tiap-tiap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari yang terberat ditambah sepertiganya .
Dikatakan perbarengan tindakan jamak atau perbarengan dua/lebih tindakan, apabila tindakan-tindakan itu berdiri sendiri dan termasuk dua/lebih ketentuan pidana yang dilakukan oleh satu orang. Tindakan-tindakan tersebut dapat berupa tindakan-tindakan sejenis, tetapi bukan sebagai perwujudan dari satu kehendak, dan dapat juga berupa tindakan-tindakan yang beragam8. c. Peran Concursus dalam Hukum Pidana Setiap kejahatan yang terbukti harus dipidana setara dengan kerusakan yang diakibatkannya. Ini adalah dasar pemikiran just deserts. Apapun tujuan pemidanaan, entah itu retributive, deterrence, restorative, restitutive, atau tujuan lain yang dapat dipikirkan hukum pidana modern9; pasti menekankan pada layaknya hukuman. Kita dapat membayangkan mengenai kelayakan sebuah hukuman dengan sebuah kejahatan, asosiasi positif antara kejahatan tertentu dan hukuman tertentu. Jika satu kejahatan dihukum dengan satu hukuman, maka dua kejahatan setara dengan dua hukuman. Akan tetapi, kejahatan tidak dilakukan dengan maksud akumulatif semacam ini. Seorang pencuri yang mencuri 3 buah mobil hari ini dan 2 mobil lagi keesokan harinya, mungkin bermaksud memiliki 5 mobil (sehingga mungkin maksud dia
akumulatif), tetapi kerusakan kepada tiap korbannya tetaplah satu mobil (diasumsikan dia mencuri dari 5 orang berbeda). Ini jika kita meminjam pandangan viktimologi--sehingga menghukum dia dengan hukuman pencurian dikali 5 justru tidak menjamin pemulihan korban 10. Bayangkan situasinya: jika dihukum kurang dari penjumlahan 5 pencurian, pelaku mungkin dianggap belum dihukum cukup layak, karena ada satu atau dua pencurian yang belum terhukumkan. Siapa yang menganggap demikian? Mestinya korban. Korban perlu melihatnya begini: pelaku pasti akan dihukum lebih berat daripada satu pencurian, dan itu sudah lebih berat daripada kerusakan yang dialaminya. Mestinya itu sudah layak. Keberatan intuitif dari korban pasti muncul dengan keinginan menghukum sangat berat, dan itulah yang ingin dihindari ketika negara mengambil alih hak menghukum pribadi11. Ilustrasi di atas akan lebih mengalami kompleksitas ketika kejahatan yang dilakukan berbeda satu dan yang lainnya, tetapi penggabungan pidana tetap relevan. d. Jenis-jenis Dakwaan Jenis dakwaan 1.
Dakwaan Tunggal
Bentuk paling sederhana dari dakwaan adalah Dakwaan Tunggal. Dalam bentuk ini, Penuntut Umum hanya menuduhkan satu saja delik kepada tersangka, atas satu perbuatan saja. Bentuk ini digunakan jika perbuatan tersebut sederhana pembuktiannya 12
2.
Dakwaan Alternatif
Pada bentuk ini, Penuntut Umum membuat dakwaan kedua sebagai alternatif dakwaan kesatu. Tersangka melakukan satu perbuatan, namun Penuntut Umum melihat bahwa ada unsur-unsur delik dalam perbuatan itu yang meragukan, yang mengarah kepada dua delik berbeda yang saling bertentangan. Perbedaannya dengan alternatif, delik satu dan yang lain di sini bukanlah pasangan perbuatan yang berlawanan--melainkan gradual. Susunan dakwaan dimulai dari delik yang lebih berat hukumannya pada primair, diikuti yang lebih ringan hukumannya pada subsidair 13. Pembuktiannya dimulai dari dakwaan primair lebih dahulu. Jika sudah terbukti, putusan dapat Iangsung diambil. Jika dakwaan primair tidak terbukti, pembuktian dilanjutkan ke dakwaan subsidair .
3. Dakwaan Berlapis
4.Dakwaan Kumulatif
Dalam model ini, penuntut umum membuat dakwaan kesatu dan dakwaan kedua dan dakwaan ketiga, dan seterusnya 14. Setiap dakwaan mewakili satu delik yang mandiri, karena memang secara terjadinya peristiwa hukumnya memang mandiri terhadap dakwaan yang lainnya 15. Setiap dakwaan harus dibuktikan, dan untuk setiap dakwaan yang terbukti hukumannya dijumlahkan. Hukuman agregat tersebut tidak boleh lebih dari hukuman tertingginya ditambah dengan sepertiganya.
e. Pemidanaan Landasan utama dalam menjatuhkan putusan dengan pidana penjara, maka berlaku Pasal 12 KUHP, yaitu16: (1) Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu. (2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut. (3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahan pidana karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan Pasal 52. (4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun.
Secara spesifik, hakim dalam memutus suatu pidana, tidak dapat menjatuhkan sanksi yang lebih sedikit dari pidana minimum ataupun lebih lama dari pidana maksimal. Lebih lanjut dari Pasal 12 KUHP, dalam menjatuhkan pemidanaan dalam suatu putusan, hakim harus berpedoman juga pada pengaturan yang khusus. Pengaturan secara khusus terdapat pada Buku I KUHP juga, yakni dalam hal terjadinya percobaan (pidana dikurangi sepertiga), serta pada saat terjadinya perbarengan tindak pidana (concursus)
yang merupakan batasan penelitian ini. Terjadinya perbarengan tindak pidana (concursus) secara normatif mempengaruhi batas penjatuhan pidana yang dapat diberikan oleh hakim. C.
Pembahasan
Untuk dapat mengetahui bagaiamana penerapan concursus di PN Jakarta Pusat, Penulis mengambil 3 (tiga) putusan yang mengandung concursus pada dakwaannya. Ketiga putusan tersebut kemudian dianalisa dengan menggunakan panduan pertanyaan putusan hakim. 1. Perkara No. PDM-1199/JKTPS/06.11 a. Kasus Posisi Tanggal
Keterangan DAKWAAN KESATU
13 Maret 2011 Pukul 11.00 WIB
13 Maret 2011 Pukul 20.00 WIB
Terdakwa datang ke kos temannya yang bernama Willy dan Hendi (keduanya belum tertangkap pada saat perkara ini diputus). Kemudian terdakwa, Willy dan Hendi merencanakan akan melakukan pencurian di Toko Pazia Mall Grand Indonesia tempat Hendy bekerja. Hendy menyerahkan 3 anak kunci. Terdakwa mendatangi Toko Pazia Mall Grand Indonesia Lt. 3 East Mall dengan membawa troly untuk membawa barang hasil curian. Dengan menggunakan 3 anak kunci yang sebelumnya diberikan oleh Hendy membuka pintu toko dan kemudia tanpa seijin manajemen PT. Pazia Pilar Mercycom selaku pemilik toko Pazia mengambil 24 unit laptop berbagai merk. DAKWAAN KEDUA
10 Februari 2011
Terdakwa dengan memo bertuliskan Pazia yang didapat dari Hendy dan dengan mengaku sebagai karyawan toko Pazia mengambil 2 unit Galaxy Tab Full dan 2 unit Galaxy Tab Light
b. Dasar Hukum yang Digunakan Pertama: Pasal 363 ayat (1) ke 3, 4 dan 5 KUHP Kedua : Pasal 378 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
c. Analisis Putusan sudah didukung oleh dua alat bukti yang sah sebagaimana ditetapkan oleh Pasal 183 jo. Pasal 185 KUHAP. Alat bukti tidak diperoleh dengan cara yang melawan hukum oleh Jaksa/Penuntut Umum. Perolehan dan penggunaan alat bukti sebagai dasar putusan sudah sesuai dengan aturan dalam KUHAP. Penuntut umum membuat 2 dakwaan yang bersifat kumulatif, sehingga setiap dakwaan harus dibuktikan seluruhnya. Di dalam Surat Tuntutan, Penuntut Umum telah menjelaskan mengenai bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi kedua dakwaan dimaksud. Namun di dalam putusan ini, Majelis hakim tidak menjelaskan dan membuktikan apakah terdakwa benarbenar telah terbukti memenuhi semua dakwaan Peuntut Umum. Pada bagian "MENGADILI" pada putusan tersebut Majelis Hakim hanya menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencurian dalam keadaaan memberatkan. Sedangkan dakwaan Penuntut Umum adalah dakwaan kumulatif. Majelis hakim dalam memutuskan sebuah dakwaan kumulatif seharusnya menjelaskan dalam putusannya mengenai terbukti atau tidaknya semua dakwaan. Yang sangat ganjil adalah, pada halaman 3 terdapat penjelasan singkat tentang unsur dari pasal 378 (dakwaan kedua), namun terdakwa akhirnya didakwa dengan Pasal 363 ayat (1). Sebagai konsekuensi dari tidak dijelaskannya semua dakwaan yang mana mencakup pasal 64 mengenai perbuatan berlanjut, maka hakim tidak mempertimbangkan adanya fakta bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan seperti dalam pasal 378 (dawaan kedua) secara berlanjut. Yang mana, mempengaruhi ancaman maksimum pidana yang dapat dibebankan pada terdakwa, yang pada akhirnya dapat juga mempengaruhi putusan hakim. Putusan hakim tidak menjelaskan dan membuktikan apakah perbuatan terdakwa memenuhi semua dakwaan. Padahal seharusnya dalam dakwaan kumulatif, semua dakwaan harus dijelaskan dan dibuktikan dalam putusan hakim. Hal ini berakibat pasal
64 tentang perbuatan berlanjut tidak juga dijelaskan oleh hakim. Dari segi penalaran hukum yang seharusnya bersifat sistematis, Majelis hakim jelas tidak logis dan sistematis dalam memutuskan perkara ini, karena seperti sudah dijelaskan pada angka 2, hakim tidak membuktikan dalam putusannya mengenai perbuatan terdakwa memenuhi semua dakwaan. Hakim tidak mengemukakan apakah pemeriksaan terhadap saksi memperkuat dakwaan jaksa atau sebaliknya. Hakim tidak menjelasakan perbuatan terdakwa yang mana yang dianggap memenuhi unsur-unsur rumusan pasal yang didakwakan. Hakim tidak menjabarkan mengenai Pasal 64 perbarengan perbuatan, apakah terdakwa memenuhi pasal 64 atau tidak. Putusan Hakim tidak secara menyeluruh mencerminkan penalaran hukum yang logis. Tidak semua yang menjadi pertimbangan hakim diuraikan secara jelas dan berurut, sehingga semua unsur-unsur yang dituduhkan tidak dibuktikan dan bagaimana kaitannya dengan putusan hakim juga tidak jelas. 2. Perkara Pidana 1707/PID.B/2011/PN.JKT.PST a.Kasus Posisi Tanggal
Keterangan DAKWAAN KESATU
27 Desember Terdakwa mendapatkan Purchase Order berupa alat-alat kesehatan dari Rumah Sakit Thamrin berupa pengadaan sarung tangan dengan total nilai Rp. 407.000.000 2010 (empat ratus tujuh juta rupiah) No. PO-45973/12.2010
14 Januari 2011 Saksi Tjan Tek An menyerahkan uang sejumlah Rp. 80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) kepada Terdakwa sebagai modal dalam pengadaan barang tersebut.
17 Januari 2011 Saksi Tjan Tek An menyerahkan uang sejumlah Rp. 156.375.000,- (seratus lima puluh enam juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) kepada Terdakwa sebagai modal dalam pengadaan barang tersebut.
20 Januari
Terdakwa mendapatkan Purchase Order berupa alat-alat kesehatan dari Rumah Sakit Thamrin berupa pengadaan Panoramic Agfa, Developer & Mixer, Film
2011
GFA dengan total nilai Rp. 101.517.000,- (seratus satu juta lima ratus tujuh belas ribu rupiah) No. PO-00083/01.2011
21 Januari 2011 Saksi Tjan Tek An menyerahkan uang sejumlah Rp. 86.785.000,- (delapan puluh enam tujuh ratus delapan puluh lima ribu rupiah) kepada Terdakwa sebagai modal dalam pengadaan barang tersebut. Setelah menerima uang dari saksi Tjan Tek An, ternyata Purchase Order berupa alat-alat kesehatan dari Rumah Sakit Thamrin tersebut tidak pernah dilaksanakan oleh Terdakwa dan sebenarnya adalah fiktif. Selain itu Terdakwa juga menyerahkan cek No. ER 607124 senilai Rp. 481.094.000,- (empat ratus delapan puluh satu juta sembilan puluh empat ribu rupiah) sebagai pengembalian uang milik saksi Tjan Tek An sekaligus uang keterlambatan, namun ternyata tidak dapat dicairkan dengan alasan tidak cukup dana. DAKWAAN KEDUA
27 Desember Terdakwa mendapatkan Purchase Order berupa alat-alat kesehatan dari Rumah Sakit Thamrin berupa pengadaan sarung tangan dengan total nilai Rp. 407.000.000 2010 (empat ratus tujuh juta rupiah) No. PO-45973/12.2010
14 Januari 2011 Saksi Tjan Tek An menyerahkan uang sejumlah Rp. 80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) kepada Terdakwa sebagai modal dalam pengadaan barang tersebut.
17 Januari 2011 Saksi Tjan Tek An menyerahkan uang sejumlah Rp. 156.375.000,- (seratus lima puluh enam juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) kepada Terdakwa sebagai modal dalam pengadaan barang tersebut.
20 Januari 2011 Terdakwa mendapatkan Purchase Order berupa alat-alat kesehatan dari Rumah Sakit Thamrin berupa pengadaan Panoramic Agfa, Developer & Mixer, Film GFA dengan total nilai Rp. 101.517.000,- (seratus satu juta lima ratus tujuh belas ribu rupiah) No. PO-00083/01.2011
21 Januari 2011 Saksi Tjan Tek An menyerahkan uang sejumlah Rp. 86.785.000,- (delapan puluh enam tujuh ratus delapan puluh lima ribu rupiah) kepada Terdakwa sebagai modal dalam pengadaan barang tersebut. Setelah menerima uang dari saksi Tjan Tek An, ternyata Purchase Order berupa alat-alat kesehatan dari Rumah Sakit Thamrin tersebut tidak pernah dilaksanakan oleh Terdakwa dan sebenarnya adalah fiktif. Selain itu Terdakwa juga menyerahkan cek No. ER 607124 senilai Rp. 481.094.000,- (empat ratus delapan puluh satu juta sembilan puluh empat ribu rupiah) sebagai pengembalian uang milik saksi Tjan Tek An sekaligus uang keterlambatan, namun ternyata tidak dapat dicairkan dengan alasan tidak cukup dana.
b.Dasar Hukum yang Digunakan
Pasal 378 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Pasal 372 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP c. Analisis Putusan hakim tersebut tidak memuat dakwaan sebagaimana terdapat dalam Surat Dakwaan yang menurut Pasal 197 ayat (1) huruf c KUHAP wajib ada di suatu Putusan. Akibat dari tidak terpenuhinya/tidak dimuatnya dakwaan dalam Putusan tersebut, maka menurut Pasal 197 ayat (2) KUHAP, hal itu seharusnya mengakibatkan putusan batal demi hukum. Mengenai alat bukti, putusan tersebut memuat dua alat bukti, dimana sesuai Pasal 183 KUHAP memuat ketentuan bahwa "Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah", dan pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP juga menyatakan bahwa "Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya". Pada putusan hakim terdapat keterangan saksi (Tjan Tek an dan Andhika alias Andhika), keterangan terdakwa yang membenarkan kesaksian para saksi, serta barang bukti (slip transfer bank, kwitansi, pernyataan terdakwa). Pada putusan hakim tidak teridentifikasi adanya alat bukti yang diperoleh dengan cara melawan hukum. Penerapan hukum pembuktian telah diterapkan sesuai undang-undang dimana hakim menggunakan teori pembuktian positif. Tidak teridentifikasi apakah Hakim menganilisis secara proporsional argumen penasihat hukum dan penuntut umum. Argumen Penuntut Umum dan Terdakwa telah diperhatikan dan dipertimbangkan, namun tidak dijelaskan apakah argumen terdakwa tersebut merupakan argumen Penasihat Hukum. Putusan dibuat dengan musyawarah majelis hakim pada tanggal 29 November 2011 dan diucapkan pada hari yang sama. Putusan hakim tidak mengikuti syarat formalitas sesuai KUHAP. Tidak teridentifikasi proporsionalitas penerapan analisis antara penasihat hukum terdakwa dan penuntut umum. Sehingga dapat dikatakan bahwa putusan hakim tidak mengikuti prosedur hukum acara pidana. Pada putusan terlihat dari berbagai
macam alat bukti serta keterangan saksi-saksi. Penuntut umum membuat 2 dakwaan yang bersifat alternatif, sehingga tidak setiap dakwaan harus dibuktikan seluruhnya. Berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap, hakim telah dapat membuktikan unsur tindak pidana dan kesalahan atas dakwaan kesatu, sehingga dakwaan kedua tidak dipertimbangkan lagi. Dakwaan kesatu adalah Pasal 378 KUHP yang memiliki 3 unsur yakni: barang siapa; dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum; dengan memakai nama palsu atau martabat palsu dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi utang maupun menghapus piutang. Sementara Pasal 64 KUHP adalah jika antara beberapa perbuatan meskipun masing-masing merupakan atau pelanggaran ada hubungannya sedemikian rupa harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut. Baik Pasal 378 KUHP maupun Pasal 64 KUHP telah terbukti pada persidangan dengan alat bukti yang mencukupi. Pembuktian Pasal 64 mengenai perbuatan berlanjut terlihat pada fakta bahwa adanya penawaran kerjasama dari terdakwa kepada saksi Tjan Tek An yang dilanjutkan dengan penyetoran dana oleh Tjan Tek An, yang selanjutnya ditemukan bahwa Purchase Order yang ditawarkan kepada saksi Tjan Tek An hanya fiktif dan uang yang telah disetorkan digunakan oleh terdakwa untuk kepentingan pribadi. Namun demikian pada putusan tidak terlihat mengenai pembuktian mengenai sifat fiktif pada Purchase Order tersebut. Pada putusan hakim tidak teridentifikasi penggunaan yurisprudensi, walaupun dalam tuntutan Penuntut Umum menggunakan yurisprudensi. Terdapat disparitas antara ancaman maksimal pidana dalam undang-undang denga sanksi pidana dalam requisitoir dan dengan sanksi pidana dalam putusan. Berturut-turut adalah penjara 4 tahun, penjara 2 tahun, dan penjara 1 tahun 3 bulan. Putusan juga tidak teridentifikasi menggunakan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat berupa hukum adat dan/atau
kebiasaan. Putusan hakim menunjukkan terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana Pasal 372 serta pasal 64 KUHP. Bentuk dakwaan alternatif sehingga ketika dakwaan kesatu sudah terpenuhi unsur-unsurnya, maka dakwaan kedua tidak dipertimbangkan lagi. Dengan demikian putusan hakim telah membuktikan unsur tindak pidana dan kesalahan secara lengkap. Pasal 64 KUHP tentang perbuatan berlanjut juga telah terbukti pada adanya pemenuhan unsur-unsur pasal 372 KUHP secara berlanjut. Majelis hakim mempertimbangkan segala sesuatu yang terungkap di persidangan baik itu keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, serta barang bukti maupun bukti lainnya setelah dihubungkan satu sama lainnya untuk menentukan sejauh mana fakta hukum yang terungkap di persidangan. Secara umum, putusan hakim mencerminkan silogisme antara peraturan perundang-undangan, dakwaan (premis mayor) dengan fakta-fakta hukum yang terdapat pada alat-alat bukti berupa barang bukti maupun keterangan saksi (premis minor). Pada keadaan terdapat silogisme (terhubung norma dengan faktanya) sehingga secara umum tidak ada jumping conclusion. Namun secara khusus, bahwa tidak terlidentifikasi pembuktian mengenai sifat fiktif dari Purchase Order yang ditawarkan terdakwa, sehingga pembuktian dirasakan memiliki jumping conclusion dalam hal ini. Dari 5 metode penafsiran hukum: gramatika, historis, sistematis, telelologis, dan otentik. Penafsiran yang terkandung dari analisis hakim adalah gramatika (berdasarkan pada bunyi UU dengan berpedoman pada arti kata-kata dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat yang dipakai UU) dan otentik. Putusan hakim telah mencerminkan penalaran hukum yang logis. Secara umum, yang menjadi pertimbangan hakim diuraikan secara jelas dan berurut, sehingga pada umumnya unsure-unsur yang dituduhkan tidak terhubungkan dengan fakta dan konklusinya, kecuali secara khusus bahwa tidak ada pembuktian mengenai sifat fiktif dari Purchase Order yang dianggap sebagai tipu muslihat dalam unsure Pasal 378 KUHP.
3. Perkara Pidana No. 31/Pid.B/2009/PN.PL.R. a. Kasus Posisi Tanggal 27 2010
Keterangan Februari -18:15 Terjadi tindak pidana pencurian dengan buah Handphone Nexian milik korban di Petamburan Kecamatan Tanah Abang Jakarta dilakukan penangkapan dan penggeledahan penyitaan terhadap barang bukti HP Nexian
kekerasan atas barang berupa satu Jalan Petamburan II Kelurahan Pusat oleh Para Tersangka. Telah oleh Penyidik. Telah dilakukan
-19:30 Korban menangkap Para Tersangka di Jalan Petamburan I gang Nazar Kelurahan Petamburan Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat dengan bantuan paman korban. Dari tangan para tersangka diamankan uang Rp. 300.000,- yang merupakan hasil penjualan barang yang dirampas para tersangka dari korban. 28 2010
Februari -Telah dilakukan penahanan terhadap Para Tersangka oleh Penyidik sampai dengan 19 Maret 2010
20 Maret 2010 -Telah dilakukan penahanan terhadap Para Tersangka oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat sampai dengan 28 April 2010 14 April 2010
-Telah dilakukan penahanan terhadap Para Tersangka oleh Penuntut Umum sampai dengan 03 Mei 2010
28 April 2010
-Telah dilakukan penahanan terhadap Para Tersangka oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sampai dengan 27 Mei 2010
28 Mei 2010
-Telah dilakukan penahanan terhadap Para Tersangka oleh Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sampai dengan 26 Juli 2010.
b. Dasar hukum yang digunakan
Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP; subsidair: Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP.
c. Analisis
Putusan ini memenuhi unsur-unsur di dalam 197 KUHAP.
Syarat
formal
putusan
tersedia lengkap dan baik. Antara lain, adanya kepala putusan, identitas lengkap para terdakwa, pencantuman dakwaan, pencantuman tuntutan, hari dan tanggal putusan, perintah supaya terpidana ditahan. Putusan ini sudah mencantumkan adanya dua alat bukti yaitu keterangan saksi dan keterangan terdakwa. Negatief wettelijk yang kita anut mengharuskan adanya dua alat bukti ditambah keyakinan hakim sebelum hakim dapat memutuskan seseorang bersalah. Akan tetapi, dalam putusan ini tidak terlihat adanya penggalian dari hakim terhadap sumber hukum lain seperti doktrin maupun putusan terdahulu. Putusan tersebut sudah memenuhi prosedur hukum acara pidana. Terkait hukum pidana materiil, semua dibuktikan secara lengkap. Namun, hakim tidak menggali pembuktian dengan penafsiran, ataupun memakai doktrin dan teori lain. Bahkan teori concursus yang dapat muncul di sini, secara ada dua unsur: kekerasan dan pencurian. Hakim memandang kasus ini secara sederhana, terlalu sederhana sehingga penempatan dakwaan subsidair seakan tidak bermakna, dakwaan yang dari awal diyakini tidak perlu dibuktikan-sekadar memenuhi formalitas. Jika aspek concursus lebih diperdalam dengan melihat unsur tambahan pada pencurian di sini, putusan mungkin akan menyadari bahwa aspek kekerasan di sini dapat menjadi tidak terlalu relevan. Putusan sudah mencerminkan penalaran hukum yang logis (runut dan sistematis) tetapi analisis belum mandalam. D. Kesimpulan dan Saran
Dari ketiga putusan yang diteliti terlihat bahwa penerapan concursus tidak selalu diterapkan sebagimana mestinya. Hal ini disebabkan beberapa factor yang berbeda diantara satu putusan dengan putusan lainnya.
a. Pada putusan No. PDM-1199/JKTPS/06.11, concursus yang berupa perbuatan
berlanjut ( Pasal 64) tidak dijabarkan dan tidak diterapkan oleh hakim. Hal ini terjadi karena hakim tidak menerapkan/membuktikan dakwaan kedua, dimana Pasal 64 termasuk ke dalam dakwaan kedua, walaupun jenis dakwaan adalah dakwaan kumulatif. b. Pada putusan No. 1707/PID.B/2011/PN.JKT.PST, Pasal 64 KUHP, yang merupakan indikasi adanya gabungan tindak pidana telah dibuktikan pada saat unsur-unsur Pasal 378 KUHP dibuktikan. Kasus ini menunjukkan bahwa pada saat membuktikan gabungan (sebagai perbuatan berlanjut), dakwaan tidak lagi memuat pasal-pasal pidana yang mencerminkan perbuatan-perbuatan yang dianggap berlanjut tersebut. Pasal 378 KUHP telah mewakili berbagai perbuatan yang secara yuridis dapat berdiri dengan pasal sendiri. Misalnya, dalam rangka membuktikan Pasal 378 KUHP (penipuan), pada kasus ini terkandung juga perbuatan menggunakan puchase order fiktif yang dapat dikategorikan sebagai delik pemalsuan, tetapi pada dakwaan tidak disebutkan pasal pemalsuan tersebut. Khusus pada kasus ini, bahwa purchase order yang digunakan itu adalah fiktif, tidak dibuktikan. Namun, persidangan telah membuktikan penggunaan purchase order fiktif tersebut. c. Pada putusan No. 31/Pid.B/2009/PN.PL.R, walaupun dakwaan tetap disusun berlapis, sehingga terlihat adanya concursus idealis, hakim tetap membuktikan dengan cara sederhana. Dakwaan subsidair di sini disiapkan sebagai hiasan formal saja. Sehingga penerapan teori concursus di sini tidak terlalu bermanfaat, karena penyusunan dakwaan berlapis dari awal terlihat hanya sebagai formalitas.
Saran 1. Hakim diharapkan untuk melakukan pembuktian sesuai dengan jenis dakwaan. Karena ketidaksesuaian dengan jenis dakwaan akan berpengaruh pada putusan yang dihasilkan hakim. 2. Dalam putusan yang mengandung concursus hendaknya hakim menjabarkan pemenuhan syarat concursus dari perbuatan pidana terdakwa.
1
Hukum (juga agama atau ideologi apapun) sering digunakan sebagai pembenaran semua perbuatan negara-1 S.R. Sianturi, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, 2002, hal. 391. 2 Prof. CST. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana-Hukum Pidana Untuk Tiap Orang, Pradnya Pramita, 2004 3 Schaffmeister, Keijzer dan Sutorius seperti diterjemahkan oleh Prof, Dr, J,E, Sahetapi dalam Hukum 4 Pidana, S.R. Sianturi, Op cit hal. 391. 5 Prof. CST. Kansil, op cit hal 68. 6 Prof. CST. Kansil, ibid hal 78 7
R. Sugandhi. Op cit, hal 80-81. S.R. Sianturi, S.H., op cit hal 399-400. 9 mengenai tujuan pemidanaan alternatif yang lebih menarik, baca juga Finklestein, Claire. A Contractarian 10 baca juga New Foundation dst 11 mengenai ius puniendi dan ius poenale, baca juga von Hirsch, A. Censure and Sanctions. Oxford: 12 bahkan dalam kerangka pikir retributivis sekalipun, tingkat hukuman menunjukkan prioritas pemidanaan. 13 13 berbeda dengan dakwaan alternatif yang di dalamnya penuntut umum menggunakan kata atau untuk 14 hal ini berbeda dengan Pasal 365 KUHP misalnya, yang sudah mengakomodasi pencurian dan 15 Pasal 12 KUHP 8