TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT DALAM PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM ( KAJIAN ATAS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DEPOK )
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam ( SHI )
Oleh : DEWI KURNIA SARI NIM : 105045101484
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
1
2
TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT DALAM PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM ( KAJIAN ATAS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DEPOK ) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
DEWI KURNIA SARI NIM : 105045101484
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
3
JAKARTA 1430 H / 2009 H
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
DEWI KURNIA SARI NIM : 105045101484
Di Bawah Bimbingan
Prof. Dr. H. M. Abduh Malik NIP : 150 094 391
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
4
JAKARTA 1430 H / 2009 M PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT DALAM PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM (KAJIAN ATAS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DEPOK) telah diajukan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 12 Juni 2009, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada program Studi Jinayah Siyasah (PI).
Jakarta, 12 Juni 2009 Mengesahkan,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH, MA, MM NIP : 150 210 422
PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH. MA. MM NIP. 150 282 934
( .......................... )
2. Sekretaris
: Sri Hidayati M.Ag NIP. 150 282 403
( .......................... )
3. Pembimbing : Prof. Dr. H. M. Abduh Malik NIP. 150 094391
4. Penguji I
: Asmawi. M.Ag NIP. 150 282 934
( .......................... )
( .......................... )
5
5. Penguji II
: Dr. H. M Nurul Irfan, M.Ag NIP. 150 326 893 LEMBAR PERNYATAAN
( .......................... )
Dengan ini saya nyatakan, bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya sesuaikan dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari skripsi ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedian menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 12 Juni 2009
DEWI KURNIA SARI
6
KATA PENGANTAR
ا ا ا Dengan penuh rasa syukur yang tiada hentinya kepada kehadirat Allah SWT, yang telah memberi penulis kemudahan dari setiap kesulitan yang datang dan kekuatan yang tidak terduga dari setiap kelemahan yang menerpa. Atas rahmat dan karuniamu, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan diwarnai ujian, emosi, kesabaran dan kekuatan dan juga shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi yang membawa rahmat bagi seluruh umat. Di mana skripsi ini penulis susun dengan maksud untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana ( S1 ) jurusan Pidana Islam, Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan judul skripsi “TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT DALAM PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM ( KAJIAN ATAS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DEPOK ) (Analisa Putusan Pengadilan Negeri Depok No.188/Pid.B/ 2008/PN.DPK)”
Penulis menyadari bahwa proses penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan semangat dari berbagai pihak dan untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat : 1. Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Asmawi, M.Ag, ketua Program Studi Jinayah Siayasah dan Sri Hidayati, M.Ag, Sekretaris Program Studi Jinayah Siayasah atas kesabaran dan waktunya dalam menghadapi semua pertanyaan penulis.
7
3. Kepada pembimbing skripsi, Bapak Prof. Dr. H. M. Abduh Malik yang telah memberikan saran, masukan dan pengarahan yang luar biasa bagi proses skripsi ini. 4. Kepada Penguji Munaqasah, Bapak Asmawi M.ag, dan Bapak Dr. H. M Nurul Irfan, M.Ag saya berterima kasih telah menguji saya dengan sabar dan baik. 5. Kepada Kedua Orang Tua tercinta, Bapak H. Urip Bin Muksin dan Ibu Hj. Sri Monah, yang telah menekankan mengenai pentingnya pendidikan dan menghargai ilmu, memberikan dukungan dan do’a yang tidak pernah putus dan juga telah memberikan kepercayaan yang amat besar bagi penulis. 6. Kepada kakak-kakak ku tercinta, Ultamiya, Ulva, Adi Surpto, dan untuk keponakan-keponakan ku intan, Very, putri, Bagus dan adik Pandu, yang selalu memberi dukungan serta motivasi dalam pembuatan skripsi ini. 7. Kepada orang yang kusayangi Handy Pramana Setiawan yang selalu memberikan Support serta menemani penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 8. Kepada teman-teman : Rina, Nafis, Ifadah, Indah terima kasih atas bantuannya baik kecil maupun besar tetapi semuanya sangat berarti bagi penulis, khususnya Laila, rina, dan wiet yang selalu menemani penulis dalam mencari bahan-bahan yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini, dan untuk teman-teman Pidana Islam angkatan 2005 yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu.
8
9. Kepada Pegawai PN Depok, yang telah memberikan data-data yang berkaitan dengan materi skripsi ini, khususnya kepada bagian umum yaitu pak ocha dan panitera muda bapak Insan Kamil. Demikian ucapan terima kasih dari penulis, dan penulis berharap semoga segala kebaikan yang telah diberikan akan mendapatkan pahala dari Allah Swt. Penulis juga berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi orang lain dan dapat menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya. Jakarta, 12 Juni 2009
Penulis
9
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL DAFTAR ISI BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ..........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .........................................
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................
10
D. Metode Penelitian ......................................................................
11
E. Sistematika Penulisan ................................................................
12
TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT A. Tindak Pidana Pemalsuan Surat Menurut Hukum Positif ..........
14
1. Definisi Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pemalsuan Surat ..
14
2. Dasar Hukum Larangan Tindak Pidana Pemalsuan Surat .......
16
3. Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Surat ..............
27
B. Tindak Pidana Pemalsuan Surat Menurut Hukum Pidana Islam...
29
1. Definisi Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pemalsuan Surat …
29
2. Dasar Hukum Larangan Tindak Pidana Pemalsuan Surat …….. 34 3. Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Surat …………. 40
10
BAB III
C. Sebab-sebab Terjadinya Tindak Pidana Pemalsuan Surat ...........
44
D. Kendala dalam Pencegahan Terjadinya Tindak Pidana Pemalsuan
54
DESKRIPTIF ATAS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DEPOK TENTANG PEMALSUAN SURAT
BAB IV
A. Kronologis Perkara ....................................................................
56
B. Putusan dan Pertimbangan Hakim ..............................................
64
PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DEPOK A. Pandangan Hukum Pidana Islam Terhadap Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Surat Dalam Putusan Pengadilan Negeri Depok .............................................................................
66
B. Pandangan Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Depok .............................................................................
BAB V
70
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................
72
B. Saran-Saran ………………………………………………………
74
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………..
75
LAMPIRAN-LAMPIRAN ……………………………………………
11
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam perkembangan dunia, dengan terbentuknya Negara diperlukan hukum demi keamanan warganya. Hukum mengatur perangkat seluruh rakyat yang ada di Negara itu. Hukum ada yang berbentuk tertulis seperti: Undang-Undang dasar 1945 peraturan, perundang-undangan KUHP, yurisprudensi, traktat dan sebagainya, yang dibuat oleh Badan Ekskutif bersama-sama dengan wakil di DPR, dan ada juga hukum yang tidak tertulis seperti: hukum adat, hukum kebiasaan dan sebagainya, yang dibuat oleh orang yang diberi kuasa oleh rakyat seperti tokoh masyarakat dan diakui oleh rakyat serta ditegakkan oleh penegak hukum. Salah satu dampak negatif dan kemajuan teknologi dalam masyarakat adalah terjadinya pergeseran pola hidup, dari pola hidup sederhana menjadi pola hidup konsumtif.
Dengan
banyaknya
keinginan
memiliki
barang-barang
mewah,
mengakibatkan setiap orang ingin menempuh berbagai macam cara untuk memilikinya dimana hal ini sangatlah wajar. Di sisi lain, setiap orang mempunyai kemampuan ekonomi yang berbeda. Padahal untuk memiliki barang-barang yang mewah, perlu financial yang cukup. Hal ini merupakan suatu pencetus terjadinya suatu tindak kejahatan ataupun pelanggaran agar dapat memenuhi atau mengikuti pola hidup konsumtif.
12
Kemajuan yang ada dalam masyarakat akan menambah kemajemukan kepentingan dan memperbanyak kemungkinan timbulnya konflik kepentingan, serta tindakan kejahatan dan pelanggaran dalam masyarakat. Hal ini disebabkan adanya hak untuk sama-sama menikmati kehidupan dari hasil kemajuan ilmu dan teknologi. Oleh karena itu, tidak sedikit orang yang melakukan tindakan melanggar normanorma maupun hukum. Kebutuhan ekonomi merupakan salah satu penyebab terjadinya perbuatan tindak pidana seperti pencurian, pemerasann, penggelapan, pemalsuan, penipuan, dan lain-lain. Di sini penulis hanya akan mengkhususkan pembahasan terhadap tindak pidana pemalsuan khususnya tindak pidana pemalsuan surat baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan kelompok. Dengan adanya tindak pidana pemalsuan yang terjadi banyak pihak yang dirugikan. Baik perseorangan, kelompok, perusahaan ataupun Negara. Pemalsuan itu sendiri mempunyai pengertian sesuai yang diatur dalam pasal 263 Kitab Undang-undang hukum Pidana ( KUHP ) (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perhutangan membebaskan hutang atau yang dapat dipergunakan untuk bukti sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai dan menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, jikalau pemakaian surat itu dapat mendatangkan kerugian, maka karena pemalsu surat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.
13
(2) Di pidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.1 Suatu pergaulan di dalam masyarakat yang teratur dan maju tidak dapat berlangsung tanpa ada jaminan akan kebenaran atas beberapa bukti surat dan atas alat tukar lainnya. Karenanya perbuatan pemalsuan dapat merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup dari masyarakat tersebut. Perbuatan pemalsuan ternyata merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap 2 (dua) norma dasar : 1. kebenaran atau kepercayaan yang pelanggarannya dapat tergolong dalam kelompok kejahatan penipuan; 2. Ketertiban masyarakat yang pelanggarannya tergolong dalam kelompok kejahatan terhadap Negara atau ketertiban umum. 2 Perbuatan pemalsuan sesungguhnya baru dikenal di dalam suatu masyarakat yang sudah maju, dimana surat, uang logam, merek atau tanda tertentu yang dipergunakan untuk mempermudah lalu lintas hubungan di dalam masyarakat. Perbuatan pemalsuan dapat digolongkan pertama-tama dalam kelompok kejahatan penipuan, sehingga tidak semua perbuatan adalah pemalsuan. Perbuatan pemalsuan tergolong kelompok kejahatan penipuan apabila seseorang memberikan gambaran tentang sesuatu keadaan atas barang ( misalnya surat ) seakan-akan asli atau benar, sedangkan sesungguhnya keaslian atau kebenaran tersebut tidak 1
Moeljatno, kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka cipta 2007), h. 35 H.A.K. Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus ( KUHP Buku II ), Cet. 1 (bandung: Alumni, 1982), h. 55 2
14
dimilikinya. Oleh karena itu, dengan gambaran ini orang lain terpedaya dan mempercayai bahwa keadaan yang digambarkan atas barang atau surat tersebut adalah benar atau asli. Peningkatan penggunaan sebagai barang, tanda, tulusan, atau surat yang jaminan keasliannya atau kebenarannya dibutuhkan oleh masyarakat, mengakibatkan timbulnya perbuatan pemalsuan. Peningkatan permintaan akan barang-barang kebutuhan hidup akan menambah kemungkinan atau kesempatan terjadinya perbuatan pemalsuan tidak hanya atas barangnya sendiri, tetapi juga terhadap merek, tanda juga terhadap mereka, tanda dan suratnya yang dibuktikan untuk memberikan jaminan akan kebenaran, keaslian atas asal barang tersebut. Tindak pidana pemalsuan surat itu sendiri dapat digolongkan dalam spesifiknya yang lebih khusus yaitu : 1. Tindak pidana pemalsuan surat dalam bentuk pokok 2. Tindak Pidana pemalsuan surat khusus 3. Tindak Pidana pemalsuan surat otentik dengan isi keterangan palsu 4. Tindak Pidana pemalsuan keterangan dokter 5. Tindak Pidana pemalsuan surat keterangan kelakuan baik 6. Tindak Pidana pemalsuan keterangan jalan dan ijin masuk bagi orang asing 7. Tindak Pidana pemalsuan pengantar kerbau dan sapi 8. Tindak Pidana pemalsuan keterangan tentang hak milik 9. Penyimpanan bahan atau barang untuk dipergunakan dalam pemalsuan surat khusus.
15
Membuat surat palsu adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya. Membuat surat palsu ini dapat berupa : 1. Membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran (intellectual valschheid) 2. Membuat surat seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain sipembuat surat. Membuat surat palsu yang demikian ini disebut dengan pemalsuan materiil (materiele valschheid). Palsunya surat atau tidak benarnya surat terletak pada asalnya atau si pembuat surat.3 Hukum Islam syariatkan oleh Allah dengan tujuan utama merealisasikan dan melindungi kemaslahatan umat manusia, baik kemaslahatan individu maupun masyarakat. Kemaslahatan yang ingin diwujudkan dalam hukum Islam meyangkut seluruh aspek dharuriyat (primer), Hajjiyat (sekunder), maupun (stabilitas sosial). Bahwasannya di dalam hukum positif yang terdapat di dalam Kitab Undangundang hukum pidana (KUHP) pasal 263 melakukan kesalahan dalam perbuatan tindak pidana pemalsuan surat dan merugikan orang lain dan Negara maka dapat dipidana paling lama 15 (lima belas) tahun penjara. Hukum Islam disyariatkan oleh Allah dengan tujuan utama merealisasikan dan melindungi kemaslahatan umat manusia, baik kemaslahatan individu maupun
3
Adami chazwi, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, Cet. 2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 100
16
masyarakat. Kemaslahatan yang ingin diwujudkan dalam hukum Islam meyangkut seluruh aspek dharuriyat (primer), Hajjiyat (sekunder ). Sedangkan di dalam hukum Islam orang yang melakukan perbuatan tindak pidana pemalsuan surat maka akan terkena hukuman takzir. Takzir adalah hukuman yang ditetapkan syara dan diserahkan sepenuhnya kepada ulil amri untuk menetapkannya, sedangkan para ulama fiqh mendefinisikannya sebagai hukuman yang wajib menjadi hak Allah atau Bani Adam pada tiap-tiap kemaksiatan yang tidak mempunyai putusan tertentu dan tidak pula adalah kefarahnya. 4 Hukuman takzir ini jenisnya beragam namun secara garis besar dapat gibagi. Hukuman takzir yang berkaitan dengan empat kelompok yaitu. 1. Hukuman takzir yang berkaitan dengan dengan kemerdekaan seseorang seperti hukuman penjara dan hukuman pengasingan 2. Hukuman takzir yang berkaitan dengan harta,seperti denda, penyitaan, perampokan harta dan penghancuran barang 3. Hukuman takzir yang berkaitan dengan badan seperi hukuman mati dan hukuman jilid 4. Hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amri dan kemaslahatan umum. 5 Berdasarkan jeni-jenis hukum takzir tersebut di atas, maka hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pemalsuan surat adalah hukuman jilid dan hukuman
4
A. Ruway’i Ar-Ruhaly, fikih umar 2, penterjemahan. Basalamah, (Jakarta: Pustaka AlKautsan, 1994), Cet. 1, h. 110 5 A. Rahman i. Doi., Penjelasan Lengkap huku-hukum Allah (syara), (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 1, h. 292
17
pengasingan. Umar Ibn Al- khattab terhadap Mu’an Ibn Zaidah yang memalsukan stetempel Bait al-mal. Demikian pula terhadap tindak pidana pemalsuan Al-Quran. Khalifah Umar Ibn Al-khattab mengasingkan Mu’an Ibn Zaidah Setelah sebelumnya dikenakan hukuman takzir6. Berdasarkan contoh kasusus yang dipaparkan di atas maka, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya perbuatan memalsukan surat merupakan perbuatan dusta (bohong), karena pada dasarnya di dalam perbuatan tersebut terdapat perbuatan dusta yakni dengan tidak memberikan keterangan yang sebenarnya/seharusnya di dalam surat tanda nomor kendaran bermotor (STNK) yang dipalsukan tersebut, baik mengenai tanda tangannya, stempel, maupun cara memperoleh surat tanda nomor kendaran bermotor (STNK) tersebut, seperti dengan cara instan tanpa membayar pajak kepada Negara. Di dalam Al-Qur’an sejumlah ayat yang melarang dengan tegasuntuk tidak berbuat dusta (al-Kidzb). Sebagaimana di dalam firman Allah surat al-Nahl ayat 116 :
ََ ِ"ُ أَ ِْ َُُُ ا َِْبَ هََا ََلٌ وَهََا َ َامٌ ََْ ُوا#َ$%َِ َ'ُ& ُ&ا$َ(َو (116 :/* ِیَ یََْ ُونَ ََ اِ ا َِْبَ (َیُِْ*ُ&نَ )ا, ا,اِ ا َِْبَ إِن Artinya : “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidah mu secara dusta, “ ini halal dan ini haram ” untuk mengadakan kebohongan-kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-ngadakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. ( An-Nahl : 16 : 116 ).
6
Abd. Al-Aziz Amir, At-Takzir Fi Asy- Syariah Al-Islamiyah, ( Dar Al-Fikr Al-Arabi, 1969 ), h.262-268. Lihat juga A.H. Djazuli, Fiqh Jinayat, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996 ),h.205
18
Perbuatan-perbuatan yang termasuk kepada kelompok yang hukumannya dapat dijatuhkan apabila dikehendaki oleh kemaslahatan umum, tidak bisa ditentukan jenisnya, karena perbuatan tersebut tidak diharamkan karena zatnya melainkan karena sifatnya. Apabila sifat tersebut ada, maka perbuatannya diharamkan, dan apabila sifat tersebut ada, maka perbuatannya diharamkan, dan apabila sifat tersebut tidak ada maka perbuatannya mubah. Sifat yang menjadi alasan (Illat) dikenakannya hukuman atas perbuatan tersebut adalah membahayakan atau merugikan kepentingan umum. Apabila dalam suatu perbuatan terdapat unsur merugikan kepentingan umum, maka perbuatan tersebut dianggap jarimah dan pelaku dikenakan hukuman. Akan tetapi, apabila dalam perbuatan tersebut tidak terdapat unsur merugikan kepentingan umum, maka perbuatan tersebut bukan jarimah dan pelaku tidak dikenakan hukuman. Melihat beberapa permasalahan mengenai pemalsuan surat tersebut itulah yang menarik perhatian penulis serta menjadi alasan bagi penulis untuk menulis judul skripsi: “TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT DALAM PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM ( KAJIAN ATAS PUTUSAN PN. DEPOK)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Hukuman yang merupakan cara pembebanan pertanggung jawab pidana dimaksudkan untuk memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat, atau dengan kata lain adalah sebagai alat menegakkan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu besarnya hukuman harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, yakni tidak boleh melebihi apa yang diperlukan, atau kurang dari yang diperlukan untuk
19
melindungi kepentingan masyarakat serta untuk menjatuhkan akibat-akibat buruk dari perbuatan jahat. Mengingat begitu kompleknya hal-hal yang berhubungan dengan masalah tindak pidana pemalsuan surat, dan guna menghindari kesalah fahaman serta untuk mencapai kesamaan persepsi dalam masalah yang hendak penulis bahas, maka penulis merasa perlu untuk memberikan suatu batasan dan rumusan terhadap masalah yang akan dikaji. Pembahasan skripsi ini akan dibatasi disekitar masalah-masalah tindak pidana pemalsuan surat. Dalam masalah putusan hakim yang akan dianalisis oleh penulis, maka penulis akan menganalisis putusan hakim Pengadilan Negeri Depok yang terjadi tahun 2007 dengan nomor putusan 309/Pts/PID/B2007/PN DEPOK. Namun tidak menutup kemungkinan untuk lebih memperjelas pembahasan, penulis akan menyinggung hal-hal lain yang ada kaitannya dengan permasalahan tersebut. Berdasarkan
pokok-pokok
bahasan
tersebut
di atas,
maka
penulis
merumuskan permasalahannya sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana pemalsuan surat? 2. Bagaimana kajian hukum pidana Islam terhadap putusan Pengadilan Negeri Depok dalam masalah tindak pidana pemalsuan surat?
20
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Supaya pembahasan tentang tindak pidana pemalsuan surat lebih terarah dan mendalam sesuai dengan permasalahan-permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menjelaskan pandangan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana pemalsuan surat. 2. Untuk mengetahui kajian hukum pidana Islam terhadap putusan Pengadilan Negeri Depok dalam masalah tindak pidana pemalsuan surat. Hasil dari pembahasan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum baik hukum Islam maupun hukum positif terutama dalam bidang hukum pidana, hasil studi ini juga diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman kita mengenai tindak pidana pemalsuan surat, dan diharapkan juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan informasi bagi Civitas Akademika terutama perihal tindak pidana pemalsuan surat. Tujuan akhir penelitian ini adalah untuk menyumbangkan pemikiran gagasan buah pikiran sebagai hasil kegiatan penelitian berdasarkan prosedur ilmiah serta melatih kepekaan penulis sebagai mahasiswa terhadap masalah-masalah yang berkembang di lingkungan sekitarnya. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat menjadi refrensi bagi mahasiswa lain sebagai landasan pengembangan ilmu dan semoga bermanfaat bagi masyarakat yang beriman dan sejahtera.
21
D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode Deskriptif Analisis, yaitu pemecahan masalah yang aktual dengan jalan mengumpulkan data, menyusun atau mengklasifikasikannya kemudian menganalisis data dan menginterpretasikannya dalam rangka menguji hipotesis atau mejawab pertanyaan.7 Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu data yang diperoleh dari literatur dan refrensi yang berhubungan dengan judul skripsi ini, dan penelitian lapangan (field research), melakuakan
analisis
terhadap
putusan
hakim
Pengadilan
Negeri
Depok
No.309/Pts/PID/B2007 dengan menggunakan teknik pengumpulan data (studi dokumentasi), dengan cara melihat dan mengumpulkan dokumen yang telah ada dan memiliki keterkaitan dengan masalah yang akan dibahas.
2. Tekhnik Pengumpulan Data Adapun sumber data yang penulis pergunakan adalah sumber data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diambil dalam buku dan kitab berkaitan dengan bahasa penulis. Data sekunder yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu buku-buku dan data-data yang relevan dengan masalah yang penulis bahas dalam skripsi ini.
7
Alimuddin Tuwu, Pengantar Metode Penelitian, dalam Consuelo G. Sevilla, et.all., An Introduction To Research Methods, (Jakarta: UI Press), h. 71
22
Mengenai teknik pengumpulan data, yang penulis gunakan adalah menggunakan bahan dokumen yang tertulis terbentuk buku-buku, salinan putusan hakim Pengadilan Negeri Depok No.309/Pts/PID/B2007 yang hasilnya berupa kutipan atau catatan.
3. Tekhnik Analisis Data Setelah data-data terkumpul, kemudian penulis mengolah dan menganalisa data tersebut dengan menggunakan metode : 1. Metode Induktif, yaitu suatu cara menganalisa data yang bertitik tolak dari data yang bersifat khusus, kemudian ditarik atau diambil kesimpulan yang bersifat umum 2. Metode Komperatif, yaitu membandingkan antara keduanya yakni antara hukum Islam dengan hukum positif. Adapun sebagai pedoman penulisan dalam skripsi ini, penulisan pedoman pada buku pedoman.Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,T. 2007.
E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara menyeluruh dan sistimatis dari penulisan. Adapun penulisan ini mempumyai sistematika sebagai berikut :
23
Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, sistimatika penulisan dan diakhiri dengan penutup. Bab kedua, pada bab ini membahas tinjauan umum tentang tindak pidana pemalsuan surat, tindak pidana pemalsuan surat menurut hukum positif dan hukum pidana islam, definisi tindak pidana dan tindak pidana pemalsuan surat, dasar hukum larangan tindak pidana pemalsuan surat, sanksi bagi pelaku tindak pidana pemalsuan surat, sebab-sebab terjadinya tindak pidana pemalsuan surat, kendala dalam pencegahan terjadinya tindak pidana pemalsuan. Bab ketiga, Bab ini membahas tentang deskriptif atas putusan pengadilan negeri depok tentang pemalsuan surat, meliputi kronologis perkara, putusan dan pertimbangan hakim Bab keempat, pada bab ini adalah inti dari permasalahan judul skripsi ini yaitu membahas tentang pandangan hukum pidana islam terhadap putusan pengadilan negeri depok, pandangan hukum pidana islam terhadap sanksi bagi pelaku tindak pidana pemalsuan surat dalam putusan pengadilan negeri depok, pandangan hukum pidana islam terhadap sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana pemalsuan surat dalam putusan pengadilan negeri depok. Bab kelima, bab ini merupakan bab penutup, pada bab ini penulis akan menarik kesimpulan dan saran-saran mengenai apa yang diambil dalam judul skripsi ini.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT
A. Tindak Pidana Pemalsuan Surat Menurut Hukum Positif 1. Definisi Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pemalsuan Surat Ada berbagai istilah untuk tindak pidana (mencakup kejahatan dan pelanggaran), antara lain delict (delik), perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbuatan yang boleh dihukum, pelanggaran pidana Criminal act, dan sebagainya. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana8. Tindak pidana adalah Perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana9 Tindak pidana adalah istilah yang dikenal dari hukum pidana belanda, yaitu “stafbaar feit”. Simons menerangkan bahwa stafbaar feit adalah suatu perbuatan manusia dangan sengaja atau lalai, di mana perbuatan tersebut diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang, dan dilakukan oleh manusia yang dapat dipertaggung jawabkan. Sedangkan Van Hamel merumuskan stafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging), yang dirumuskan dalam waktu yang
8
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Asy-Syaamil, 2001), Cet.2,
h. 132. 9
Departeman Pendidikan dan kebudayaan, Kanus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 1989
24
25
bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (stafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.10 Di dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, pemalsuan menurut bahasa berarti proses, perbuatan atau cara memalsukan
11
. Sedangkan surat menurut
bahasa selembaran kertas yang berisi huruf, angka atau tulisan Kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat dengan istilah kejahatan pemalsuan adalah berupa kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur keadaan ketidak benaran atau palsu atas suatu (objek), yang sesuatu tampak dari luar seolah-olah banar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya Perbuatan-perbuatan itu dapat berupa penghapusan kalimat, kata, angka, tanda tangan, dapat berupa penambahan dengan satu kalimat, kata atau angka, dapat berupa penggantian kalimat, kata, angka, tanggal atau tanda tangan Dengan demikian diambil garis besarnya bahwa yang dimaksud dengan kejahatan atau tindak pidana pemalsuan surat adalah suatu perbuatan kejahatan perbuatan ini dilakuakan, sudah ada sebuah surat di sebut surat asli. Kemudian pada surat yang asli ini, terhadap isinya (termasuk tanda tangan dan cap stempel kepolisian ) dilakukan pemalsuan surat. Yang tersebut tampak dari luar seolaholah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.
10
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), Cet.7, h. 56. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991) Cet. 2, h. 639 11
26
2. Dasar Hukum Larangan Tindak Pidana Pemalsuan Surat Sumber utama hukum pidana adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang terdiri dari tiga buku yang secara umum sistematikanya adalah sebagai berikut Buku I
: Mengatur peraturan-peraturan umum (algemeene bepalingen)
Buku II : Mengatur tentang kejahatan (misdrivent) Buku III : Mengatur tentang pelanggaran (overtredingen)12 Secara umum kejahatan mengenai pemalsuan dapat kita temukan dalam buku II KUHP yang dapat dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu : 1. Kejahatan sumpah palsu (Bab IX KUHP) 2. Kejahatan Pemalsuan uang (Bab X KUHP) 3. Kejahatan Pemalsuan materai dan merek (Bab XI KUHP) 4. Kejahatan Pemalsuan surat (Bab XII KUHP)13 Masalah tindak pidana pemalsuan surat termasuk ke dalam kejahatan pemalsuan surat yang diatur dalam bab XII buku ke-2 KUHP, yaitu dari pasal 263 sampai dengan 276, yang dapat dibedakan menjadi tujuh macam kejahatan pemalsuan surat, yakni : 1. Pemalsuan surat pada umumnya bentuk pokok pemalsuan surat, (KUHP pasal 263)
12
Prof. Satochid Kertanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah dan Pendapat Para Ahli Hukum Terkemuka Bagian 1, (t.t, Balai Lektur Mahasisw, t.th.), h. 38 14 Adami Chazawi, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002), h.3
27
2. Pemalsuan surat yang diperberat, (KUHP pasal 264) 3. Menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam akta otentik (KUHP pasal 266) 4. Pemalsuan surat keterangan dokter (KUHP pasal 267-268) 5. Pemalsuan surat-surat tertentu (KUHP pasal 269,270 dan 271) 6. Pemalsuan keterangan pejabat tantang hak milik (KUHP pasal 275) 7. menyimpan bahan atau benda untuk pemalsuan surat (KUHP pasal 275)14 Kejahatan pemalsuan surat pada umumnya adalah berupa pemalsuan surat dalam bentuk pokok (bentuk standar)yang dimuat dalam pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP, yang rumusannya adalah sebagai berikut : Ayat (1) Barang siapa yang membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasanhutang, atau yang diperuntukan sebagai bukti dari pada suatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surrat tarsebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, di pidana jika psmakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama 6 (enam tahun) Ayat (2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan beragam.15
14 15
Ibid, h.97 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 2004), h.105
28
Yang dimaksud surat di sini adalah segala surat yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin ketik, dan sebagainya. Membuat surat palsu yaitu membuat surat yang isinya tidak benar atau bukan semestinya, sehingga menunjukkan asal surat yang tidak benar. Sedangkan penggunaannya harus dapat mendatangkan kerugian. Maksudnya tidak perlu kerugian itu betulbetul sudah ada, baru kemungkinan saja adanya kerugian itu sudah cukup yang dimaksud dengan kerugian di sini tidak saja hanya meliputi kerugian materiil, akan tetapi juga dilapangan kemasyarakatan, kesusilaan, kehorrmatan dan sebagainya Adapun pengertian surat sebagaimana di ungkapkan Adami Chazawi. dalam bukunya yang berjudul kejahatan mengenai pemalsuan adalah : “suatu lembaran kertas yang di atasnya terdapat tulisan yang terdiri dari kalimat dan huruf termasuk angka yang mengandung berisi buah pikiran atau makna tertentu, yang dapat berupa tulisan dengan tangan, dengan mesin ketik, printer komputer, dengan mesin cetakan dan dengan alat dan cara apapun” Membuat surat palsu (valsheid in geserift) adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu, palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya. `Di samping isinya dan aslinya surat yang tidak benar dari memuat surat palsu, dapat juga tanda tangannya yang tidak benar. Tanda tangan yang dimaksud di sini adalah termasuk juga tanda tangan dengan menggunakan cap atau stempel tanda tangan.
29
Adapun yang dimaksud perbuatan memalsu (vervalsen) surat adalah berupa perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun orang-orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain atau berbeda dengan isi semua. Perbedaan prinsip antara membuat surat palsu dengan memalsu surat adalah dalam membuat surat palsu sebelum perbuatan dilakukan, belum ada surat yang dicontoh, kemudian surat yang dibuat itu sebagian atau seluruhnya bertentangan dengan kebenaran. Seluruh tulisan dalam surat itu dihasilkan oleh sipelaku sendiri. Sedangkan memalsu surat adalah membuat surat yang mencontohkan surat asli yang telah ada sebelumnya. Tidak semua surat dapat menjadi obyek pemalsuan surat, melainkan terdapat pada empat macam surat yakni : 1) Surat yang menimbulkan suatu hak 2) Surat yang menimbulkan suatu perikatan 3) Surat yang menimbulkan pembebasan hutang 4) Surat yang diperuntukan bukti mengenai suatu hal16 Walaupun pada umumnya sebuah surat tidak melahirkan secara langsung adanya suatu hak, melainkan hak itu timbul dari adanya perikatan hukum (perjanjian) yang tertuang dalam surat itu, tetapi dalam surat-surat itu yang disebut surat pormil yang langsung melahirkan suatu hak tertentu misalnya STNK, SIM, Ijazah, Cek, wesel, dan lain sebagainya. 16
Adami Chazawi, Op. Cit, h. 101
30
Surat yang berisi suatu perikatan pada dasarnya adalah berupa surat yang karena perjanjian itu melahirkan hak. Contohnya seperti pemalsuan pada surat tanda nomor kendaraan bermotor, dimana si pemilik kendaraan wajib membayar pajak ditiap tahunnya untuk memperpanjang ke aktifan nomor kendaraan. Ini merupakan, melahirkannya suatu perikatan, antara pemilik kendaraan dan Negara. Mengenai unsur “surat yang diperuntukan sebagai bukti akan adanya suatu hal”, di dalamnya ada dua hal yang perlu dibicarakan yakni, mengenai diperuntukan sebagai bukti, dan tentang suatu hal adalah berupa kejadian atau peristiwa tertentu baik yang karena diadakan (misalnya perkawinan) maupun karena peristiwa alam (misalnya kelahiran dan kematian). Peristiwa tersebut mempunyai suatu akibat hukum. Sedangkan yang dimaksud dengan bukti adalah karena sifatnya, surat itu mempunyai kekuatan pembuktian (bewijskracht). Unsur kesalahan dalam pemalsuan surat pada pasal 263 ayat (1) KUHP yakni “dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat palsu atau surat palsu ini seolah-olah isinya benar dan tidak palsu”. Maksud yang demikian sudah harus ada sebelum atau setidak-tidaknya pada saat akan memulai perbuatan itu. Pada unsur atau kalimat “seolah-olah isinya benar dan tidak palsu” mengandung makna bahwa adanya orang-orang yang terpadaya dengan digunakan surat-surat tersebut, dan surat itu berupa alat yang digunakan untuk memperdaya orang menganggap surat itu asli dan tidak palsu, bisa orang-orang pada umumnya dan bisa juga orang tertentu.
31
Dalam unsur “jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat” mengandung pengertian bahwa : pemakaian surat belum dilakukan hal ini terlihat dari adanya perkataan “jika” dan karena penggunaan pemakaian surat belum dilakukan, maka dengan sendirinya kerugian itu belum ada, hal ini dapat terlihat dari adanya perkataan “dapat”. Tidak ada ukuran-ukuran tertentu untuk menentukan akan adanya kemungkinan kerugian jika surat palsu atau surat dipalsu itu dipakai, hanya berdasarkan pada akibat-akibat yang dapat dipikirkan oleh orang-orang pada umumnya yang biasanya terjadi dari adanya penggunaan surat semacam itu. Kerugian yang dimaksud tidak saja kerugian yang bernilai atau dapat dinilai dengan uang atau kerugian dibidang kekayaan, akan tetapi dapat juga berupa kerugian-kerugian lainnya seprti dipersukarnya pengawasan, menutup-nutupi penggelapan yang terjadi dan lain sebagainya. Pada ayat (2) terdapat pula unsur pemakaian surat palsu atau surat dipalsu itu dapat menimbulkan kerugian, walaupun perihal unsur ini baik pada ayat (1) kemungkinan akan timbul kerugian itu adalah akibat dari pemakaian surat palsu atau surat dipalsu, akan tetapi pemakaian surat itu belum dilakuakn, karena yang baru dilakukan adalah membuat surat palsu dan memalsu surat saja. Sedangkan pada ayat (2) pemakian surat itu sendiri sudah dilakukan, akan terapi kerugian itu tidak perlu nyata-nyata timbul.
32
Pada ayat (1) kehendak ditunjukkan pada perbuatan memakai, tetapi perbuatan memakainya bukan merupakan perbuatan yang dilarang, sedangkan ayat (2) perbuatan yang dilarang adalah memakai. Unsure “perbuatan” pada ayat (2) dirumuskan dalam bentuk abstrak yang dalam kejadian senyatanya memerlukan wujud tertentu, misalnya menyerahkan, menunjukan, mengirimkan, menjual, menukar, menawarkan dan lain sebagainya, yang wujud-wujud itu sudah harus terjadi untuk dapat dipidananya melakukan kejahatan. Maksud dari unsur kesalahan pada ayat (1) yakni “dengan sengaja “. Mengandung arti bahwa, pelaku menghendaki melakukan perbuatan memakai, ia sadar atau insyaf bahwa surat yang ia gunakan adalah surat palsu atau surat dipalsu, atau mengetahui bahwa penggunaan surat itu adalah seolah-olah pemakaian surat asli dan tidak palsu, dan ia sadar atau mengetahui bahwa penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian. Unsur kesengajaan yang demikian itu harus dibuktikan. Selain ayat 263 di atas di dalam KUHP juga terdapat aturan mengenai pemalsuan surat yang diperberat yakni yang dirumuskan dalam pasal 264 ayat (1) dan (2) serta dalam pasal 266 ayat (1) dan (2) sebagai berikut :
33
Pasal 264 ayat (1) dan (2) Ayat (1) Pemalsuan surat dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 tahun, jika dilakuakn terhadap : 1. Akta-akta otentik 2. Surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu Negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum 3. Surat sero atau surat hutang atau sertifikatsero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan dan maskapai 4. Talon, tanda bukti deviden atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti eurat-surat itu 5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukan untuk diedarkan. Ayat (2) Dipidana dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak asli atau dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakian surat itu dapat menimbulkan keriugian. Pasal 266 ayat (1) dan (2) Ayat (1) Barang siapa menyuruh memasukan keterangan palsu kedalam suatu akta ontentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Ayat (2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakian tersebut dapat menimbulkan kerugian
34
Pasal 267 ayat (1), (2 dan (3)) Ayat (1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun Ayat (2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau untuk menahannya di situ, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun enam tahun Ayat (3) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran. Pasal 268 ayat (1) dan (2) Ayat (1) Barang siapa membuat secara palsu atau memalsu surat keterangan dokter tentang ada atau tidak adanya penyakit, kelemahan atau cacat, dengan maksud untuk menyesatkan penguasa umum atau penanggung, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Ayat (2) Diancam dengan dipidana yang sama, barang siapa maksud yang sama memakai surat keterangan yang tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah surat itu benar dan tidak dipalsu Psal 269 ayat (1) dan (2) Ayat (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsu surat keterangan tanda kelakuan baik, kecakapan, kemiskinan, kecacatan, atau keadaan lain, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu supaya diterima dalam pekerjaan atau supaya menimbulkan kemurahan hati dan pertolongan, diancam dengan pidana penjara paling satu tahun empat bulan.
35
Ayat (2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat keterangan yang palsu atau yang dipalsukan tersebut dalam ayat pertama, seolah-olah surat itu sejati dan tidak dipalsukan. Pasal 270 ayat (1) dan (2) Ayat (1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan pas jalan atau surat penggantinya, kartu keamanan, surat perintah jalan atau surat yang diberikan menurut ketentuan undang-undang tentang pemberian izin kepada orang asing untuk masuk dan menetap di Indonesia, ataupun barangsiapa menyuruh beri surat serupa itu atas nama palsu atau nama kecil yang palsu atau dengan menunjuk pada keadaan palsu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan Ayat (2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat yang tidak benar atau yang dipalsu tersebut dalam ayat pertama, seolah-olah benar dan tidak palsu atau seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran Pasal 271 ayat (1) dan (2) Ayat (1) Barangsiapa membuat palsu atau memalsukan surat pengantar bagi kerbau atau sapi, atau menyuruh beri surat serupa itu atas nama palsu atau dengan menunjuk pada keadaan palsu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan Ayat (2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat yang palsu atau yang dipalsukan tersebut dalam ayat (1), seolah-olah isisnya sesuai dengan kebenaran Pasal 275 ayat (1) dan (2)
36
Ayat (1) Barangsiapa menyimpan bahan atau benda yang diketahuinya bahwa diperuntukkan untuk melakukan salah satu kejahatan berdasarkan pasal 264 No. 2-5, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Ayat (2) Bahan-bahan dan benda-benda itu dirampas.17 Akta ontentik yaitu surat yang dibuat menurut bentuk dan syarat- ayarat yang ditetapkan oleh Undang-Undang, oleh pegawai umum. Dalam hal ini dapat dicontohkan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) dan lain sebagainya. Yang menyebabkan diperberatnya pemalsuan surat pada pasal 264 tersebut terletak pada faktor macam surat. Surat-surat tertentu yang menjadi obyek kejahatan adalah surat-surat yang mengandung kepercayaan yang lebih bessar akan kebenaran isinya. Pada surat-surat itu mempunyai derajat kebenaran yang lebih tinggi dari pada surat-surat biasa atau surat lainnya. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa, rumusan pasal 264 ayat (2) adalah sama dengan rumusan pasal 263 ayat (2) perbedaannya hanya pada jenis surat yang dipakai. Dalam pasal 263 ayat (2) adalah surat pada umumnya, sedangkan pasal 264 ayat (2) adalah surat-surat tertentu yang mempunyai derajat kebenaran yang lebih tinggi dan kepercayaan yang lebih besar
17
Andi Hamzah, S.H., Op. Cit, h.106
37
dari pada surat pada umumnya. Dan berdasarkan pasal-pasal tersebut menunjukan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan dasar hukum larangan pemalsuan surat yang merupakan hukum Lex Generalis18. Atas dasar tersebut, maka hukum dibuat dan diberlakukan sebagai perlindungan kepada setiap orang agar dapat memberikan rasa aman dari semua perbuatan yang dapat mengganggu dan mengancamnya. Adanya sanksi dalam hukum, diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada setiap manusia dari berbagai gangguan tersebut. Tindak pidana pemalsuan surat merupakan salah satu perbuatan yang dirasa mengganggu dan merugikan, sehingga ketentuan sanksinya harus benar-benar ditegakkan.
3. Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Surat Hukum dibuat dan diberlakukan sebagai perlindungan kepada setiap orang agar dapat memberikan rasa aman dari semua perbuatan yang dapat mengganggu dan mengancamnya. Adanya sanksi dalam hukum, diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada setiap manusia dari berbagai gangguan tersebut. Tindak pidana pemalsuan surat merupakan salah satu perbuatan yang dirasa mengganggu dan merugikan, sehingga ketentuan dan sanksinya harus benar-benar ditegakkan. Begitu pula di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana akan ditemukan ketentuan sanksi pidana bagi siapa saja yang membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pelunasan 18
Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Pokok-pokok Hukum Pidana, (Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 2004), Cet. 1, h. 134
38
hutang atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada suatu hal, atau melakukan pemalsuaan terhadap akta-akta otentik. Hal ini terdapat dalam KUHP pasal 263 ayat (1) dan (2), 264 ayat (1) dan (2) dan 266 ayat (1) dan (2) yang rumusannya isinya sudah saya tulis terdapat di halaman 22 s/d 24. Pasal 274 Ayat (1) Barangsiapa membuat palsu atau memalsukan surat keterangan seorang pejabat selaku penguasa yang sah, tantang hak milik atau hak lainnya atas sesuatu barang, dengan maksud untuk memudahkan penjualan atau penggadaiannya atau untuk menyesatkan pegawai negeri kehakiman atau kepolisian tentang aslinya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun. Ayat (2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan malsud tersebut, memakai surat keterangan itu seolah-olah sejati dan tidak dipalsukan Berdasarkan adanya beberapa ketentuan hukum serta sanksi yang telah diatur dan ditetapkan dalam hukum positif. Hal ini terdapat di dalam Kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) yakni pasal 263, 264, 266, dan 274 tentang
pemalsuan surat, surat palsu atau memalsukan surat itu termasuk
kedalam suatu kejahatan atau tindak pidana yakni kejahatan mengenai pemalsuan, sehingga terdapat pelakunya dapat diberikan sanksi sesuai dengan ketentuan hukum yang telah ditetapkan.
39
B. Tindak Pidana Pemalsuan Surat Menurut Hukum Pidana Islam 1. Definisi Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pemalsuan Surat Di dalam hukum Islam, tindak pidana dikenal dengan istilah “Jinayah” atau “Jarimah”. Pengertian “ Jinayah” yang digunakan para fuqaha adalah sama dengan istilah “Jarimah”, yang didefinisikan sebagai larangan-larangan hukum yang diberikan Allah yang pelanggarnya dikenakan hukuman baik berupa hal atau takzir.19 Para ahli hukum Islam, jinayah adalah sinonim dengan kejahatan. Namun di Mesir, istilah ini memiliki konotasi yang berbeda. Ia diterapkan untuk kejahatan yang diancam dengan hukuman mati, kerja paksa seumur hidup atau penjara. Dengan kata lain hanya ditujukan bagi kejahatan-kejahatan berat. Sementara syariah memerlukan setiap kejahatan sebagai Jinayah. 20 Adapun pengertian jarimah dalam kamus Arab-Indonesia menurut bahasa adalah dosa atau durhaka.21. Sedangkan jinayah menurut bahasa mengandung arti kesalahan, dosa atau criminal. Sementara Ahmad Hanafi mendefinisikan jarimah sebagai delik, tindak pidana, pidana.
19
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jindi Al-Islami, (Beirut: Ar-Risalah, 1998), Cet. 14. h.66 Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Asy-Syamil, 2001), Cet. 2, h.132-133. 21 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989) h.92 20
40
Pengertian jarimah menurut istilah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Mawardi adalah perbuatan yang dilarang oleh syara yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau takzir.22 Adapun pengertian jinayat yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah “suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara baik perbuatan tesebut mengenai jiwa, harta atau lainnya.23 Hukum pidana Islam dalam artinya yang khusus membicarakan tentang satu persatu perbuatan beserta unsur-unsurnya yang berbentuk jarimah dibagi tiga golongan, yaitu golongan hudud yaitu golongan yang diancam dengan hukuman had, golongan qishas dan diyat yaitu golongan yang diancam dengan hukuman qishas dan diyat, dan golongan takzir yaitu golongan yang diancam dengan hukuman takzir.24 Jarimah hudud terbagi kepada tujuh macam jarimah, antara lain :Jarimah zina dan Jarimah qadzaf, Jarimah syarb al-khamr dan jarimah pencurian, Jarimah hirabah, Jarimah riddah dan jarimah pemberontakan. Sedangkan jarimah qishas dan diyat hanya terbagi ke dalam dua macam yakni pembunuhan dan penganiayaan, namun apebila diperluas jumlahnya terbagi menjadi lima macam,
22
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) Cet. 1, h.ix. Ibid 24 Ahmad Hanafi, Pengantar dan sejarah Hukum Islam, (Jakarta, PT Bulan Bintang, 1995), Cet. 7, h. 48. 23
41
yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja, pembunuhan karena kesalahan, penganiayaan sengaja, dan penganiayaan tidak sengaja. 25 Selain dari kedua golongan jarimah tersebut termasuk dalam golongan takzir. Jarimah-jarimah takzir tidak ditentukan satu persatunya, sebab penentuan macam-macam jarimah takzir diserahkan kepada penguasa Negara pada suatu masa, dengan disesuaikan kepada kepentingan yang ada pada waktu itu. Pengertian takzir menurut bahasa adalah menolak dan mencegah, sedangkan menurut istilah adalah hukuman-hukuman yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash syariat secara jelas dan diserahkan kepada Ulil Amri atau ijtihad hakim.26 Adapun mengenai jarimah takzir, dilihat dari segi sifatnya terbagi kepada tiga bagian, yakni takzir karena telah melakukan perbuatan maksiat, takzir karena telah melakukan perbuatan merugikan atau membahayakan kepentingan umum, dan takzir karena melakukan suatu pelanggaran. Di samping itu, apabila dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), maka takzir dapat dibagi atas tiga golongan, yaitu : 1. Golongan jarimah takzir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud dan Kisas, akan tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi atau terdapat syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nishab, atau pencurian yang dilakukan oleh keluarga sendiri. 25
Muslich, Hukum Pidana Islam, h. xi Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarimah Wal “Uqubah Fi al-Fiqh Al-Islami, (Kairo: Dar Al-Fikr Al-Arabi, 1998), h.57. 26
42
2. Golongan jarimah takzir yang jenisnya terdapat di dalam nash syara, akan tetapi hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap (risywah) dan mengurangi takaran atau timbangan. 3. Golongan jarimah takzir yang jenis dan hukumannya belum ditentukan oleh syara. Dalam hal ini diserahkan sepenuhnya kepada Ulil Amri untuk menentukannya, seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah. Abdul Aziz Amir, seperti yang dikutip dari buku wardi Muslich yang berjudul Hukum Pidana Islam, membagi jarimah takzir secara rinci kepada beberapa bagian 27, yaitu : 1. Jarimah takzir yang berkaitan dengan pembunuhan. 2. Jarimah takzir yang berkaitan dengan pelukaan. 3. Jarimah takzir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan dan kerusakan akhlak 4. Jarimah takzir yang berkaitan dengan harta 5. Jarimah takzir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu 6. Jarimah takzir yang berkaitan dengan keamanan umum. Lebih lanjut lagi, pada jarimah takzir yang berkaitan dengan kemashlatan umum, Abdul Aziz Amir membaginya kepada beberapa kelompok yaitu : a. Jarimah yang mengganggu keamanan Negara / pemerintah, seperti spionase san percobaa kudeta b. Jarimah risywah/ suap 27
Ibid., h. 225-256
43
c. Tindakan melampaui batas dari pegawai / pejabat menjalankan kewajiban. Misalnya penolakan hakim untuk mengadili suatu perkara, atau kesewenangan-wenangan hakim dalam menentukan suatu perkara. d. Pelayanan yang buruk dari aparatur pemerintah terhadap masyarakat. e. Melawan petugas pemerintah dan membangkang terhadap peraturan, seperti melawan petugas pajak, penghinaan terhadap pengadilan, dan menganiaya polisi. f. Pemalsuan tanda tangan dan stempel. g. Kejahatan yang berkaitan dengan ekonomi seperti penimbunan bahanbahan pokok, mengurangi timbangan dan takaran, dan menaikkan harga dengan semana-mena.28 Apabila melihat kepada macam-macam jarimah, yakni jarimah hudud, kisas dan diyat, maka terlihat bahwa tindakan pemalsuan surat tidak termasuk ke dalam kedua macam jarimah tersebut, karena tindak pemalsuan surat baik jenisnya maupun sanksinya tidak disebutkan dalam nash. Berdasarkan salah satu jenis jarimah takzir yang berkaitan dengan kemashlatan umum menurut Abdul Aziz Amir tersebut, yakni jarimah pemalsuan tanda tangan dan stempel, maka terlihat adanya kesesuaian antara jarimah pemalsuan tanda tangan dan pemalsuan stempel tersebut dengan tindak pidana pemalsuan surat. Mengingat dari ketiga jarimah tersebut terdapat persamaan dalam perbuatan yakni adanya perbuatannya yakni adanya perbuatan, proses atau 28
Ibid., h. 257.
44
cara memalsukan adanya objek., di mana objek tersebut bisa berupa tanda tangan, suratnya, stempel baitul mal atau al-Quran. Bahkan, apabila melihat dari kasuskasus pemalsuan surat yang terjadi biasanya pemalsuan itu dilakukan terhadap tanda tangan pejabat atau stempel yang seharusnya ada dalam surat tersebut. Di dalam hukum Islam belum ada pembahasan secara jelas dan khusus mengenai pemalsuan surat. Akan tetapi, terlihat adanya kesesuaian antara jarimah pemalsuan tanda tangan dan pemalsuan stempel dangan tindak pidana pemalsuan surat tersebut, maka tindak pidana pemalsuan surat ini harus dikatagorikan kedalam jarimah takzir mengingat tindak pidana pemalsuan surat ini baik jenis maupun hukumannya tidak disebutkan di dalam nash syara secara jelas.
2. Dasar Hukum Larangan Tindak Pidana Pemalsuan Surat Sebagaimana uraian sebelumnya bahwa, di dalam hukum Islam, pembahasan secara khusus dan jelas, mengenai tindak pidana pemalsuan surat ini belum ditemukan, akan tetapi, bukan berarti tidak ada ketentuan yang bisa dijadikan landasan larangan tarhadap tindak pidana pemalsuan ini, mengingat hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash al-Quran maupun as-Sunah, untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara universal, relevan pada setiap zaman (waktu), dan makan (ruang) manusia.29
29
Said Agil Husin al-Munawar, hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadani, 2004), Cet. 1, h. 6
45
Secara umum, perbuatan memalsukan surat merupakan perbuatan dusta (bohong), karena pada dasarnya di dalam perbuatan tersebut terdapat perbuatan dusta yakni dengan tidak memberikan keterangan yang sebenarnya / seharusnya di dalam surat yang dipalsukan tersebut, baik mengenai tanda tangannya, stempel maupun cara memperoleh surat tersebut, seperti dengan cara instant tanpa ingin membayar pajak kendaraan bermotor kepada Negara.. Di dalam al-Quran terdapat sejumlah ayat yang melarang dengan tegas untuk tidak berbuat dusta (al-Kidzb). Secara etimologis, kata al-Kidzb difahami sebagai lawan dari al-Shidiq. Lafadz kadzaba dalam segala bentuknya terdapat 283 buah di dalam al-Quran. Ungkapan dusta dalam ayat-ayat tesebut sering ditunjukan kepada orang kafir, karena mereka tidak membenarkan Wahyu Allah, bahkan mereka sering membuat ungkapan tandingan dalam rangka mendustakan ayat. Dalam surat al-Nahl ayat 116 Allah mengingatkan :
ََ ِ"ُ أَ ِْ َُُُ ا َِْبَ هََا ََلٌ وَهََا َ َامٌ ََْ ُوا#َ$%َِ َ'ُ& ُ&ا$َ(َو (116 :/* ِیَ یََْ ُونَ ََ اِ ا َِْبَ (َیُِْ*ُ&نَ )ا, ا,اِ ا َِْبَ إِن Artinya : Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan Ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orangorang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung (Q.S. An-Nahl ayat 116 ). Jelas sudah, bahwa berbohong adalah sifat tercela dan sangat berbahaya, termasuk dalam konteks pemalsuan surat yang berarti berbohong dalam memberikan keterangan yang sebenarnya di dalam isi surat tersebut
46
Hukum Islam sangat mengecam perbuatan-perbuatan yang mengandung unsur
kebohongan
dan
kepalsuan
karena
akibat-akibat
buruk
yang
ditimbulkannya, seperti contoh perbuatan sumpah palsu dan kesaksian palsu. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh bukhari dan muslim yang bersumber dari Abu Bakrah yang berbunyi :
ُ &ُلَ رَﺱ%َ; َل%َ; ُ8ْ َ ُ8, َ ا6ِ9َِ ر8َِ َْ َةَ َْ أ6ََِِْ ِْ أ, ِ ا4ْ5َ َْ ل ِ8, رَﺱُ&لَ ا%َ ََ ی%َ ُْ; ِ ِﺉ%َ5َْ َ ِ ا5َْآAِ ُُْ>5َ أُﻥ%َ ََ أ,َِ وَﺱ8ََْ ُ8, ا,َِ ﺹ8, ا ُ وَ;َ&ْل%َ َلَ أ%َ'َK َIََJَK %ً>ِ,ُنَ ﻡ%ََیِْ وَآ4ِ ِ وَُ'ُ&قُ ا ْ&َا8, %ِ ُْ َاكDِEْ لَ ا%َ; %َOُ &ُ'َ زَالَ ی%ََK ِورLM دَةُ ا%َOَDَورِ وLM وَ;َ&ْلُ ا%َ َورِ أLM دَةُ ا%َOَDَورِ وLM ا (رى%S5 اQ)روا Artinya : Dari Abdurrahman bin Abi Bakrah, dari bapaknya berkata, Rasulullah SAW bersabda, maukah kalian saya beritahu tentang dosa-dosa besar?, kami menjawab tentu wahai Rasulullah, beliau bersabda, menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, pada saat itu beliau duduk bersandar, lalu bersabda, juga ucapan atau kesaksian palsu, beliau terus bersabda tentang kesaksian palsu (HR. Bukhari).30 Selain itu, perbuatan memalsu juga termasuk ke dalam penipuan dan pengelabuan. Islam melarang umatnya mengelabui dan menipu dalam berbagai hal, sekalipun dalam menjalankan jual beli dan seluruh permuamalahan diantara manusia. Sebab, penipuan dan pengelabuan adalah suatu perbuatan aniaya dan orang, yakni meletakan sesuatu bukan pada tempatnya. Di samping itu, penipuan dan pengelabuan merusak kewajiban tanggung jawab dan kepercayaan serta membiasakan diri memakai yang haram. Karena itu penipuan dan pengelabuan
30
Bukhari. Al-Maktabatu Samilah, Juz 18.h.372
47
termasuk ke dalam salah satu sifat orang munafik. Orang yang menipu dan mengelabui, maka pada dirinya telah melekat seperempat kadar munafik. 31 Sebagaimana hadis Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang berbunyi :32
8K ﻡ آT ار: ل%; وﺱ8 ا65 ا و ا ن ا45 ﻡW# ﺥ8K V ﻥ% آO ﻡW# ﺥ8K V ﻥ%وﻡ آ%# ا% ﺥ%'K% ن ﻡ%آ , "اﺥ4 واذا وW روای6K &ﻥ% ﺥ$ اذا او: %O 4ق ی% ا (رى%S5 اQ ) رواJK ﺹ%ر واذا ﺥ4Z 4ه%ث آب واذا4(واذا Artinya : Dan Abdullah Ibnu Amr, bahwa nabi Muhammad Saw telah bersabda: “Ada empat perkara, barang siapa terdapat sifat itu, maka ia benar-benar seorang munafik dan barang siapa yang ada dalam dirinya salah satu dari sifat-sifat tersebut, maka ia memiliki karekter kemunafikan hingga ia melepaskannya, yaitu jika dipercaya ia berkhianat, (dalam riwayat lain: jika berjanji ia mengingkari), jika berbicara ia berdusta, jika membuat perjanjian ia tidak serta, dan jika berdebat ia berlaku curang.”(H.R. Bukhari). Penipuan sering terjadi dalam hal jual beli, seperti dalam suatu riwayat ketika suatu hari, Rasullah Saw melewati penjual makanan, kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam barang dagangan tersebut. Ternyata didapatinya makanan yang dijual itu basah, dan sudah tidak baik untuk dimakan.33 Hal ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah, yang berbunyi :
31
TM. Hasbi Ash-Shiddiqi, Al-Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1998), Cet. 1, h. 583 Muhammad Nashiriddin Al-Bani, Mukhtashar Shahih Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004), Cet. 2, h. 33. 33 Said Agil Husin Munawwar, MA dan Abdul Mustaqim, M.Ag, Asbabul Wurud (Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio Kontkstual), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Cet. 1, h. 125 32
48
ْ َ ِة5ُ ََ ﺹ, ََ ﻡ,َِ وَﺱ8ََْ ُ8, ا,َِ ﺹ8, رَﺱُ&لَ ا, هُ َیْ َةَ أَن6ََِْ أ ِم%َ\,_ ِ^َ ا%َ ﺹ%َ هََا ی%َلَ ﻡ%َ'َK %ًََ ُ8ُ\ِ%َْ أَﺹVَ %َ َK %َOِK ُQَ4ََ ی/ََدْﺥAَK ٍم%َ\َ] ُQْ یَ َا6َمِ آ%َ\,_ َ&ْقَ اK ُ8ََْ\َ ﺝ%ََKَلَ أ%َ; ِ8, رَﺱُ&لَ ا%َءُ ی%َ, ُ ا8َْ%َلَ أَﺹ%َ; ( ﻡQ )روا6َِ ﻡIََْK ,cَZ َْسُ ﻡ%, ا Artinya : Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasullah Saw Pernah berjalan melewati onggokan makanan yang akan dijual, Lalu beliau memasukan tangannya kedalam onggokan itu, maka tanpa diduga sebelumnya jari-jarinya yang basah itu seraya bertanya: “ada apa di dalamya itu?” Orang yang mempunyai makanan tersebut menjawab: “mungkin basah karena kehujanan ya Rasullah”. Lalu Rasullah pun bertanya lagi kepadanya : “mengapa tidak kamu letakkan yang basah itu di atas agar supaya diketahui orang lain? Barang siapa yang menipu, maka ia bukan termasuk umatku”. (HR. Imam Muslim). Islam melarang segala macam bentuk penipuan dan pengelabuan, termasuk perbuatan pemalsuan surat, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan zhalim. Adapun dari segi bahasa pengertian zhalim ialah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Ia adalah perbuatan melampaui batas atau bertindak terhadap hak manusia dengan cara yang tidak benar. Allah mengharamkan manusia berlaku zhalim terhadap sesamanya sebagaimana hadist Rasullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi ;
َ ْLd 'ُ&ا ا,$لَ ا%َ; َ,َِ وَﺱ8ََْ ُ8, ا,َِ ﺹ8, رَﺱُ&لَ ا,ِ أَن8, ِ ا4ْ5َ ِْ ِ ِ%ََْ ﺝ َُْْ5َ; َن%ََ ﻡَْ آiَْ أَه,gLh ا,ِنEَK ,gLh 'ُ&ا ا,$ِ وَاWَﻡ%َِ'ْ تٌ یَ&ْمَ ا%َُُf َْLd ا,ِنEَK ( ﻡQْ )رواOُ َرِﻡ%َ*َ&ا ﻡLَ*َْءَهُْ وَاﺱ%َُْ ََ أَنْ ﺱََُ&ا دِﻡOَََ Artinya : Dari Jabir bin Abdullah bahwasannya Rasullah Saw telah bersabda: Hindarilah kezhaliman, karena kezhaliman itu adalah kegelapan pada hari kiamat kelak. Jauhilah kekikiran, karena kekikiran itu telah mencelakakan (menghancurkan) orang-orang sebelum kalian
49
yang menyebabkan mereka menumpahkan darah dan menghalalkan yang diharamkan. (H.R. Muslim) 34 Berdasarkan adanya kesesuaian antara tindak pidana pemalsuan surat dengan jarimah pemalsuan tanda tangan dan pemalsuan stempel, maka tindakan Khalifah Umar ibn Al-Khatab yang pernah memberikan hukuman terhadap Mu’an ibn Zaidah, sebagai pelaku jarimah pemalsuan stempel Bait-Mal cukup untuk dijadikan landasan hukum larangan terhadap tindak pidana pemalsuan surat tersebut35. Karena tindakan pemberian hukuman oleh Khalifah Umar ibn AlKhatab terhadap pelaku pemalsuan tersebut menunjukkan bahwa, setiap perbuatan memalsukan adalah melakukan perbuatan yang dilarang karena termasuk ke dalam perbuatan dusta, penipuan, dan pengelabuan. Sedangkan perbuatan menipu dan mengelabui merupakan perbuatan zhalim yang dapat merugikan bahkan dapat mencelakakan orang lain, karena zhalim adalah perbuatan menganiaya. Oleh karenanya harus diberikan hukuman bagi siapa saja yang melakukannya, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 279.
ََُُْ رُءُوسK ُْْ5ُ$ ْ وَإِن8ِ ِ &ُِ وَرَﺱ8, ْذَﻥُ&ا ِ*َ ْبٍ ﻡَِ اAَK َْ\َُ&ا$ َْ ِْنEَK (279 :' ة5 َُْ&نَ )اdُ$ %َ َُِْ&نَ وdَ$ َ( ُِْ أَﻡْ&َا Artinya : Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya(AlBaqarah 279) .
34
Subhan dan Imran Rasyadi, Ringkasan Shahih Muslim, (Jakarta, Pustaka Azzam, 2003), Cet.
1, h.256 35
Abd. Al-Aziz Amir, At-Takzir Fi Asy- Syariah Al-Islamiyah, ( Dar Al-Fikr Al-Arabi, 1969 ), h.262-268. Lihat juga A.H. Djazuli, Fiqh Jinayat, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996 ),h.205
50
3. Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Surat. Dalam uraian sebelumya telah dikemukakanbahwa tindak pidana pemalsuan surat digolongkan kedalam jarimah takzir, karena berdasarkan kesesuaian dengan jarimah pemalsuan tanda tangan, pemalsuan stempel dan pemalsuan Al-Quran. Oleh karenanya terhadap tindak pidana pemalsuan surat maka ini dijatuhkan hukuman takzir kepada setiap pelakunya. Hukuman takzir adalah hkuman yang belum ditetapkan syara dan diserahkan sepenuhnya kepada Ulil Amri untuk menetapkannya. Sedangkan para ulama fiqh mendefinisikannya sebagai hukuamn yang wajib menjadi hak Allah atau bani adam pada tiap-tiap kemaksiatan yang tidak mempunyai batasan tertentu dan tidak pula ada kafarahnya36. Hukuman takzir ini jenisnya beragam namun secara garis besar dapat dibagi dalam empat kelompok, yaitu: 1. Hukuman takzir yang berkaitan dengan badan, seperti hukuma mati dan hukuman jilid. 2. hukuman takzir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, seperti hukuman pemjara dan hukuman pengasingan. 3. Hukuman takzir yang berkaitan dengan harta, seperti denda, penyitaan, perampasan harta dan penghancuran barang
36
Ruway’i Ar-Ruhaly, Fiqh Umar , Penerjemah A.M. Basalamah, (Jakarta: Pustaka ALKautsar, 1994), Cet. 1, h. 110
51
4. hukum-hukuman lain yamg ditentukan oleh Ulil Amri demi kemashalatan umum37. Berdasarkan jenis-jenis hukuman takzir tersebut di atas, maka hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana pemalsuan surat adalah hukuman jilid dan hukuman pengangsingan. Hal ini berdasarkan atas tindakan Khalifah Umar Ibn al-Khattab terhadap Mu’an Ibn Zaidah yang memalsukan stempel Bait al-Maal. Demikian pula terhadap tindak pidana pemalsuan al-Qura, Khalifah Umar Ibn al-Khattab mengangsingkan Mu’an Ibn Zaidah setelah sebelumnya dikenakan hukuman takzir. Hukuman jilid dala pidana takzir ditentukan berdasarkan al-Quran, asSunah serta Ijma. Di dalam al-Quran misalnya terdapat dalam Surat an-Nisa’ ayat 34 yang berbunyi :
Tِ ِﺝ%َmَْ ا6ِK ,ُُ ُوهJْ وَاه,ُُ&هdِ\َK ,ُُ&زَهhُُ&نَ ﻥK%َSَ$ 6ِ$%, وَا ِ ً ا5َ آ%oَِ َن%ََ آ8, ا, إِن%ًِ5َ ﺱ,ِOََْ ُ&اnْ5َ$ %ََK َُْ ْ\َ]َِنْ أEَK ,ُْ ُِ&ه9وَا (34 :ء% )ا Artinya : wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (Annisa: 34) Meskipun hukuman jilid merupakan hukuman had, dan dalam ayat di atas takzir tidak dijatuhkan oleh Ulil Amri melainkan oleh suami, namun oleh para
37
A. Rahaman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, (Syariah), (Jakarta: PT, Raja Grafimdo Persada 2002), Cet. 1, h.292-293
52
ulama ayat tersebut dijadikan daar diperbolehkannya hukuman takzir dijatuhkan oleh Ulil Amri38. Sedangkan hadis yang menunjukkan bolehnya takzir dengan jilid adalah Hadis Abu Burdah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi :39
َُ یَ'ُ&ل,َِ وَﺱ8ََْ ُ8, ا,َِ ﺹ8, َ رَﺱُ&لَ اTَُِ ﺱ8,رِي أَﻥ%َ#َْﻥAْ ُ ْدَةَ ا6ََِْ أ ِ8, ُودِ ا4ُ ِْ ﻡt4َ 6ِK %, َِ َةِ أَﺱْ&َاطٍ إhَ ََ&ْقK ٌ4ََُ أ4َْJُ(َ ی Artinya : “Dari Abu burdah al-Anshori r.a. bahwa dia mendengar Rasullah SAW bersabda: “seseorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali cambukan, kecuali dalam salah satu dari had Allah SWT”. (H.R. Muslim). Dan pandangan para ulama, terdapat perbedaan dalam materi maksimal dan minimal hukuman jilid dalam jarimah takzir. Imam Al-Yusuf mengatakan tidak boleh lebih dari pada 39 (tiga puluh sembilan) kali dan batas serendahnya harus mampu memberikan dampak preventive dan represif. Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa batas maksimal adalah 79 (tujuh puluh sembilan) kali, dan ulama Syafiah berpendapat batas maksimal tidak boleh dari 10 (sepuluh) kali, sedang menurut Imam Maliki batas maksimal jilid dalam takzir boleh melebihi had selama mengandung kemashalatan40. Ketentuan mengenai hukuman pengangsingan redapat dalam al-Quran surat al-Maidah ayat 33 yang berbunyi:
38
Muslich, Hukum Pidana Isalam,, h. 196. Al-Bani, Penterjemah Imron Rosadi, Mukhtashar shahih Muslim, h. 745. 40 Ahmad Dzazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 198 39
53
ْ َدًا أ%ََK َِرْضAْ ا6ِK َُ وَیَْ\َ&ْن8َ &َُ وَرَﺱ8, رُِ&نَ ا%َ*ُِیَ ی, َاءُ اMَ ﺝ%َ,إِﻥ ن َِرْضAْ فٍ أَوْ یُ َْ&ْا ﻡَِ ا%َُِْ ﻡِْ ﺥOُُِْ وَأَرْﺝOِی4َْ أَیT,_َ'ُ$ ُْ&ا أَو5,َ#ُُ&ا أَوْ ی,َ'ُی (33 :ة4ﺉ% ٌِ )اdَ ٌﺥِ َةِ ََابwْ ا6ِK ُْOَ َ و%َْﻥL4 ا6ِK ٌْيMُِْ ﺥOَ َiِ َذ Artinya : Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar (Al-Maidah 33). Meskipun ketentuan hukuman pengangsingan dalam ayat tersebut dimaksudkan kepada pelaku jarimah hudud, tetapi para ulama menerapkan hukuman pengangsingan ini dalam jarimah Takzir41. Tempat pengangsingan menurut Imam Malik adalah Negara Muslim ke Negara non-Muslim, dan Imam Abu Hanifah menyamakannya dengan penjara, sedangkan menurut Imam Syafi’i yaitu jarak antara kota asal dengan kota pembuangannya adalah jarak perjalanan Qashar. Adapun lama pengangsingan menurut Imam Abu Hanifah adalah 1 (satu) tahun, sedangkan Syafi’iah dan sebagian Hanabilah tidak boleh melebihi 1 (satu) tahun, dan menurut sebagian yang lain, bila hukum pengangsingan itu sebagai hukuman takzir boleh lebih dari 1 (satu) tahun. Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa hukuman yang dapat diberikan kepada pelaku tendak pidana pemalsuan surat menurut hukum Islam adalah berupa hukuman takzir yakni dalam bentuk hukuman jilid dan pengangsingan.
41
Ibid, h. 209
54
Sebagimana Khalifah Umar Ibn al-Khattab telah mengasingkan Mu’an Ibn Zaidah yang memalsukan stempel Bait al-Maal setelah sebelumnya dijilid sebanyak 100 (seratus kali).
C. Sebab-sebab Terjadinya Tindak Pidana Pemalsuan Surat Dalam hal mencari sebab-sebab kriminalitas dapat dengan berbagai metode yang tidak terlepas dari sejarah perkembangan krimonologi, selanjutnya pula perlu diteliti latar belakang biologic dari kriminalitas dengan mempergunakan ilmu psikologi, karena biologi criminal mengenai penyelidikan kepribadian penjahat dalam interaksinya dengan kejahatan, diamana antara lain faktor keturunan diperhatikan. Kriminalitas dapat pula ditinjau dari sudut sosiologi, yaitu perkembangan kepribadian criminal tidak dapat lepas dari pengaruh lingkungan sosial. Secara teoritis, peranan krimonologi, dalam menelah satu kejahatan atau perilaku menyimpang adalah untuk :
a. Memperoleh pengertian yang lebih mendalam mengenai perilaku manusia dan lembaga-lembaga sosial masyarakat yang mempengaruhi kecenderungan dari penyimpangan norma-norma hukum. b. Mencari cara-cara yang lebih baik untuk mempergunakan pengertian ini dalam melaksanakan kebijaksanaan sosial
yang dapat mencegah atau
mengurangi dan menanggulangi kejahatan.42
42
Soerjono Soekanto. Hengki Liklikuwata, dan Mulyana W. Kusumah, Krimonologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Ghlia Indonesia, 1986), hlm. 18.
55
Dengan kata lain, analisis krimonologi berguna untuk menjelaskan sebabsebab yang mendorong terjadinya kejahatan. Menurut para ahli krimonologi, terdapat beberapa teori yang membahas peranan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya kejahatan dan perilaku menyimpang, diantaranya : a. Faktor-faktor sosio struktual b. Faktor-faktor interaksi c. Faktor-faktor pencetus d. Faktor-faktor reaksi sosial.43
Faktor-faktor Sosio Struktual Terdapat beberapa teori yang menekankan peranan penting Faktor-faktor sosio struktual dalam membahas kejahatan, dan perilaku menyimpang, antara lain teori tentang kejahatan dan kondisi ekonomi (W.A Bonger), teori Anomi (Robert Merton), teori-teori sub kebudayaan teori-teori konflik dan sebagainya. Dari analisis teori-teori tersebut serta kemungkinan perkembangannya untuk menjelaskan masalah penjahat, kejahatan serta reaksi sosial terhadap penjahat dan kejahatan, timbul beberapa teori penting yaitu: 1. Teori differential opportunity structure Dalam buku Mulyana W. Kusuma yang berjudul “Kriminologi dan Masalah Kejahatan Suatu Pengantar Ringkas”, teori ini dikembangkan oleh
43
Mulyana W. Kusumah, Krimonologi dan Masalah Kejahatan Suatu Pengantar Ringkas, (Jakarta: Amirco, 1984), hlm. 29
56
Richard A. . Cloward dan Lloyd E. Ohlin, yang mengetengahkan beberapa postulat, antara lain : a. Delinkuensi adalah suatu aktifitas sengan tujuan yang pasti, meraih kekayaan melalui cara-cara yang tidak sah b. Sub kebudayaan delinkuensi terbentuk apabila terdapat kesenjangan antara tujuan-tujuan yang dikehendaki secara cultural diantara kaum muda golongan (lapisan) bawah dengan kesempatan-kesempatan yang terbatas dalam mencapai tujuan-tujuan ini melalui cara-cara yang sah. c. Jenis-jenis sub kebudayaan delinkuensi berkembang dalam hubungannya dengan perbedaan cara-cara yang tidak sah untuk mencapai tujuan. 44
2. Teori Mengenai krisis ekonomi dan kejahatan Menurut teori ini terdapat korelasi antara ketidak mampuan ekonomi suatu masyarakat dengan kejahatan yang terjadi criminal maupun kejahatan ekonomi, seperti tidak pidana pemalsuan; khususnya tindak pidana pemalsuan surat.45 Berapa kesimpulan teori tersebut, di antaranya: a) Pertumbuhan ekonomi berkolerasi secara positif walaupun berbeda-beda dengan angka laju yang tinggi dari sebagian besar kejahatan. b) Melalui pengukuran indicator-indikator ekonomi pada tingkat mikro yang tercermin dalam pengangguran, kelesuan bisnis serta hilangnya daya beli
44 45
Ibid., hlm. 30 Ibid., hlm. 32.
57
dapat ditandai adanya peningkatan yang tajam dari sebagian besar kejahatan. c) Tenggang waktu antara fluktuasi ekonomi dan peningkatan angka laju kejahatan berbeda-beda sesuai dengan jenisnya, masyarakat dan waktu.
3. Teori-teori kriminologi kritis Pelopornya adalah William J. Clambliss, yang mengemukakan bahwa kejahatan berasal dari orang-orang yang bertindak secara rasional sesuai dengan posisi klasnya. Kejahatan adalah suatu reaksi
atas kondisi kehidupan klas
seseorang dan senantiasa berbeda-beda tergantung pada struktur-struktur politik dan ekonomi masyarakat. Pelaku kejahatan adalah orang-orang yang bertindak secara rasional untuk bereaksi terhadap kondisi-kondisi kehidupan golongan sosialnya di dalam masyarakat: Adalah fakta bahwa kejahatan-kejahatan tertentu dapat dipandang sebagai pernyataan
kekurangan-kekurangan
pemenuhan
kebutuhan
hidup
yang
disebabkan dan dipertahankan oleh truktur-struktur sosial ekonomi yang bersangkutan. Pencurian dapat dilakukan karena kebutuhan ekonomi mendesak serta ketidakadilan pembagian pendapatan masyarakat. Kejahatan terhadap benda disebabkan karena keserakahan yang dirangsang oleh alat-alat produksi dan secara reklame kapasitas.46 Faktor-faktor Interaksi
46
Ibid., hlm 37
58
Di sini menekankan perlunya aspek pewarisan nilai-nilai dan normanorma khususnya terhadap anak-anak yang tengah mengalami tahap proses sosialisasi. Hasil penelitian para tokoh dari aliran ini seperti Clifford R. Shaw dan Herny D. MC. Kay menunjukann pada daerah atau wilayah dalam angka kejahatan rendah terdapat banyak keseragaman, kesamaan nilai-nilai dan sikap-sikap konvensional dalam hubugannya dengan pengasahan anak, penyesuaian diri terhadap hukum dan lain-lain yang erat kaitannya.47 Sedangkan di wilayah dengan dengan angka laju kejahatan tinggi berkembang sistem nilai-nilai moral yang saling bertentangan dan saling mendesak. Dapat disimpulkan bahwa kejahatan bisa timbul dan dipelajari memulai interaksi dengan orang-orang lain dalam kelompok-kelompok pribadi yang intim. Proses belajar itu menyangkut teknik-teknik melakukan kejahatan
serta
motif-motif,
dorongan-dorongan,
sikap-sikap
pembenaran-pembenaran yang mendukung dilakukannya kejahatan.
47
Ibid., hlm. 39.
dan
59
Faktor-faktor Reaksi Sosial Salah satu teori dalam krimonologi yang juga mencoba menjelaskan kejahatan dari perspektif reaksi sosial adalah teori yang dikemukakan oleh Edwin Lemert. Dalam buku Mulyana W. Kusuma yang berjudul “Krimonologi dan Masalah Kejahatan Suatu Pengantar Ringkas” Lemert menguraikan tentang proses-proses seseorang diasingkan sebagai pelaku penyimpangan dan akibatnya karir kehidupannya terorganisasikan atau terbentuk secara pribadi di sekitar status-status sebagai pelaku penyimpangannya.48 Menurut Lemert, reaksi sosial terhadap suatu penyimpangan dapat mempengaruhi jiwa pelaku penyimpangan tersebut untuk melakukan tindakan penyimpangan lebih daripada yang terjadi sebelumnya. 49 Dalam hal ini Lemert memperkenalkan perbedaan utama antara penyimpangan primer dengan penyimpangan sekunder. Penyimpangan primer menunjukan keadaan seseorang yang melakukan tindakan melanggar noema akan tetapi hal itu masih dipandang asing oleh pribadinya. Sedangkan penyimpangan sekunder menyangkut kasus seseorang mengorganisasikan ciri-ciri psikologisnya di sekitar peranan menyimpang. Penyimpangan sekunder seringkali merupakan pelanggaran norma yang diulangi dan terwujud sebagai hasil reaksi sosial. Semacam proses feed
48 49
Ibid., hlm 85 Ibid., hlm 50
60
back sering kali terjadi dalam keadaaan pengulangan penyimpangan mengandung reaksi sosial, dan kemudian merangsang tindakan penyimpangan lebih lanjut. Dalam bukunya “Social Pathology” yang dikutip oleh Mulyana W. Kusuma dalam buku yang berjudul “Kriminologi dan Masalah Kejahatan Suatu Pengantar Ringkas”, Lemert mengemukakan antara lain : Urutan interaksi yang mengarah pada penyimpangan sekunder dapat dilukiskan sebagai berikut : 1
Penyimpangan primer
2
Hukuman-hukuman sosial
3
Penyimpangan primer lebih jauh,
4
Penolakan-penolakan dan hukuman-hukuman
5
Penyimpangan lebih jauh, mungkin dengan rasa bermusuhan dan dendam yang mulai tertuju pada mereka yang menghukum.
6
Krisis terdapat dalam “tolerance quatient” tercermin dalam tindakan formal melalui stigmatisasi atas pelaku Penyimpangan,
7
Memperkuat kelakuan menyimpang sebagai reaksi atas hukuman dan stigmatisasi, dan
8
Penerimaan akhir status pelaku penyimpangan dan usaha-usaha penyesuaian dengan peranan-peranan penyimpangan. 50
50
Ibid., hlm. 87.
61
Keseluruhan teori di atas telah meberikan analisis dari sudut pandang yang saling melengkapi mengenai faktor-faktor yang melandasi terjadinya kejahatan atau perilaku yang menyimpang. Menurut Mohammad Mustofa, berdasarkan analisis situasional, maka faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya kejahatan-kejahatan tersebut dapat digolongkan ke dalam 3 (tiga) faktor utama, yakni:51 Faktor Sosial Ekonomi Faktor ini berkaitan dengan masalah pendidikan dan kesempatan kerja. Kedua hal tersebut diduga mempunyai andil besar bagi tumbuhnya kejahatan terhadap harta benda. Masalah pendidikan, tidak hanya menyangkut pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan tetapi juga menyangkut peranan lembaga pendidikan formal (sekolah) dalam mentransformasikan nilai dan norma umum masyarakat kepala anak didik. Peranan ini semakin besar artinya bagi masyarakat perkotaan, dimana suami istri banyak aktifitas di luar rumah, sehingga kuantitas pertemuannya dengan anak-anaknya menurun. Padahal sosialisasi nilai dan norma umum masyarakat antara lain dipengaruhi oleh intensitas hubungan orang tua dengan baik.
51
Muhammad Mustofa, “Kejahatan dan Kekerasan, Tinjauan Krimonologis,” dalam Media Indonesia, Selasa, 18 Mei 1993, hlm. 4.
62
Faktor Sosio Legal Berdasarkan filosofi hukum, seseorang tidak dapat berdalil bahwa pelanggaran hukum yang dilakukannya karena tidak tahu adanya hukum. Hal ini adalah untuk menjaga adanya kepastian hukum. Pelaku pelanggaran hukum tidak dapat membela diri hanyadengan alas an tidak tahu ada hukum yang mengatur perbuatan tersebut. Namun demikian bisa saja terjadi seseorang melakukan pelanggaran hukum karena ia tidak tahu bahwa perbuatan tersebut dilarang dan diberikan sanksi
berupa
hukuman.
Karena
itu
hendaklah
ada
upaya
untuk
mensosialisasikan nilai dan norma hukum kepada masyarakat. Sosialiasasi nilai dan norma hukum tersebut dimaksud agar terdapat jaminan bahwa warga masyarakat telah dikenalkan dengan hukum yang berlaku. Dengan demikian diharapkan bahwa hukum yang berlaku dijadikan bahan pertimbangan untuk bertindak Faktor sosio legal lain yang perlu memperoleh perhatian adalah fungsionalisasi penegak hukum. Sosialisasi nilai dan norma hukum secara dini tidak akan berarti apabila dalam kenyataan hukum yang berlaku banyak dilanggar dan tidak ditegakkan. Faktor Sosial Budaya Di dalam masyarakat di samping nilai norma yang berlaku secara umum, terdapat pula nilai dan norma yang berlaku pada kelompok-kelompok masyarakat local, yang kadang-kadang berbeda dan bahkan bertentangan
63
dengan nilai dan norma umum masyarakat luas. Mengingat bahwa masyarakat kita sangat pluralistik, maka pendekatan sosial budaya dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan adalah mutlak dilakukan. Selain faktor-faktor di atas, segara praktis suatu kejahatan atau tindak pidana termasuk tindak pidana pemalsuan timbul dikarenakan dua hal, yakni adanya niat dan kesempatan. Suatu tindak pidana pemalsuan dapat terlaksana apabila terpenuhi dua unsur tersebut, artinya timbul niat dan ada kesempatan untuk melakukan niat tersebut. Seseorang yang mempunyai niat untuk melakukan sesuatu tindak pidana, jika tidak mempunyai kesempatan yang memungkinkan untuk itu, maka niat atau tindak pidana tidak akan terkasana. Demikian juga sebaliknya, seseorang yang mempunyai kesempatan untuk melakukan suatu perbuatan (tindak pidana) akan tetapi jika ia sama sekali tidak mempunyai niat untuk melakukan perbuatan tersebut, maka tindak pidana akan terjadi, sebab jika hanya ada salah satu unsur saja, tidaklah mungkin terjadi tindak pidana pemalsuan. Suatu uapaya penanggulangan atau pencegahan akan lebih berdaya guna jika upaya tersebut berpangkal tolak dari asas kausalitas (sebab akibat). Artinya tidak hanya menitikberatkan pembahasan kepada aspek akibatnya, tetapi yang terpenting upaya pencegahan tersebut harus menyentuh faktorfaktor penyebabnya.
64
Oleh karena itu , strategi pencegahan dan pengurangan kejahatan harus dikembangkan kea rah : 1. Memperkecil faktor-faktor yang mendorong orang melakukan kejahatan 2. Memperkecil kecenderungan orang menjadi korban kejahatan. 3. Meningkatkan kemampuan pranata sistem peradilan pidana dalam menindak dan mencegah kejahatan. 52
D. Kendala Dalam Pencegahan Terjadinya Tindak Pidana Pemalsuan Untuk mencegah terjadinya tindak pidana pemalsuan, banyak sekali kendalakendala yang dihadapi. Karena untuk mengatasinya tidaklah mudah, membutuhkan banyak dukungan dari segala unsur. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui kendalakendala yang biasanya dihadapi. Kendala-kendala tersebut antara lain :53 1. Kekurangsadaran dari orang-orang yang melakukan tindak pidana pemalsuan. Bahwa dalam hal ini yang harus ditekankan adalah para pelaku tindak pidana pemalsuan. Banyak diantara para pelaku tindak pidana pemalsuan yang belum sadar mengenai apa yang diperbuatnya. Karena tindak pidana pemalsuan merupakan tindakan yang sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri sesuatu barang yang seluruh atau sebagian adalah milik oaring lain yang ada dalam kekuasaanya bukan karena kejahatan, sehingga mereka merasa tindakannya bukan tidak pidana.
52 53
Ibid., hlm. 5. Mulyana W. Kusuma, Op. Cit., hlm. 101.
65
2. Kurangnya ketegasan dari pihak penegak hukum dalam menindak para perilaku tindak pidana pemalsuan. Bahwa dalam permasalahan untuk memberikan tindakan kepada seorang pelaku tindak pidana pemalsuan, seharusnya pihak penegak hukum wajub memberikannya sesuai hukum yang berlaku. Oleh karena itu, di sini menuntut ketegasan dari pihak penegak hukum dalam memberikan hukuman kepada pelaku tindk pidana pemalsuan 3. Sulitnya menindak pelaku tindak pidana pemalsuan, apabila tidak ada pengaduan dari pihak yang merugikan. Bahwa dalam hal untuk menindak, memeriksa dan mencari bukti-bukti terhadap seorang pelaku tindak pidana pemalsuan tidaklah mudah apabila tidak ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Oleh karena itu, untuk menghadapi kendala ini seharusnya pihak yang dirugikan beraksi cepat untuk memberikan pengaduan kepada pihak yang berwajib supaya dapat segera dilaksanakan pemeriksaan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan tersebut.
BAB III DESKRIPTIF ATAS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DEPOK TENTANG PEMALSUAN SURAT
A. Kronologis Perkara Pengadilan Negeri Depok, yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa, pada peradilan tingkat pertama telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara Terdakwa : Nama
: AHMAD JUNAEDAH bin JUHANA
Tempat Lahir
: Jakarta
Umur
: 25 Tahun
Tempat, Tanggal lahir : Jakarta, 18 Nopember 1965 Jenis Kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
Tempat tinggal
: Jl. Sunter Muara Rt. 20/05 Sunter Agung Tj. Priok Jakarta Utara
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Karyawan
Pendidikan
: SMK
Terdakwa tidak didampingi oleh Penasehat Hukum Terdakwa ditahan dalam Rumah Tahanan Negara berdasarkan Surat Perintah atau Penetapan Penahanan masing-masing oleh : 66
67
1. Penyidik tanggal 08 Februari 2007 berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor : SPP/38/II/2007/Sek.Cmg sejak tanggal 08 Februari 2007 sampai dengan 27 februari. 2. Perpanjangan
oleh
Penuntut
Umum
tanggal
26
Februari
2007,
No.TAP/51/0.2.34/Epp.1/02/2007 Sejak Tanggal 26 Februari 2007 sampai Tanggal 8 April 2007. 3. Penuntut Umum tanggal 5 April 2007 No.Print-898/0.2.34/EP.1/04/2007, sejak Tanggal 5 April 2007 sampai dengan Tanggal 24 April 2007. 4. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok tanggal 18
April 2007
No.385/Pen.Pid/B/2007/PN.Dpk sejak Tanggal 18 April 2007 sampai dengan Tanggal 17 Mei 2007. 5. Perpanjangan Oleh Ketua Pengadilan Negeri Depok Tanggal 16 Mei 2007 No.385/Pen.Pid/B/PN.Dpk sejak Tanggal 18 Mei 2007 sampai dengan tanggal 16 Juli 2007.
Kronologis : Bahwa Terdakwa Ahmad Junaedi Bin Juhana pada tanggal 7 Februari 2007 sekira jam 11.00 wib atau pada waktu-waktu yang lain yang setidaknya masih di dalam bulan Februari 2007 bertempat didepan Mall Ramayana Jl. Raya Bogor Km 34 Cimanggis Depok atau ditempat yang setidaknya-tidaknya masih masuk dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri Depok yang berhak memeriksa dan mengadili
68
perkara ini, dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan, dilakukan dengan cara sebagai Berikut : Pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di atas atau pada tanggal 7 Februari 2007 di depan Mall Ramayana Jl.Raya Bogor Km 34 Cimanggis Depok ia terdakwa AHMAD JUNAEDI bin JIHANA sedang mengendarai motornya yang bernomor Polisi B 4363 CC namun saat itu terdakwa membawa atau menggunakan atau melengkapi kendaraanya dengan surat kendaraan berupa STNK ( Surat Tanda Nomor Kendaraan ) dan Surat Tanda Bukti Pajak Kendaraan Bermotor yang diketahuinya palsu atau dipalsukan, hingga tiba-tiba ia terdakwa diberhentikan oleh petugas Kepolisian lalu lintas sehubungan adanya Razia surat-surat berkendaraan Bermotor diketahui dan dicurigai STNK dan Surat Pajak Kendaraan terdakwa tidak seperti aslinya atau palsu, selanjutnya terdakwa di tangkap oleh karena diketahui ia terdakwa sendiri yang pada waktu sebelumnya telah membuat dan memalsukan suratsurat motornya tersebut dengan cara menggunakan perangkat computer dan alat Scanner atau pengcopy warna miliknya, sehingga dengan surat-surat kendaraan yang berhasil dipalsukannya dan dipergunakannya tersebut ia terdakwa tidak lagi mengeluarkan uang untuk memperpanjang masa berlakunya STNK dimaksud, dan perbuatannya dapat merugikan instansi yang berwenang membuat dan menerbitkan STNK tersebut. Perbuatan Terdakwa melanggar Hukum yang diatur dalam Pasal 263 ayat 2 KUHP.
69
Menimbang bahwa atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut, Terdakwa tidak mengajukan eksepsi atau keberatannya ; Menimbang, bahwa untuk membuktikan surat dakwaannya Jaksa Penuntut Umum di persidangan telah mengajukan 4 (empat) orang Saksi yang pada pokoknya masing-masing menerangkan sebagai berikut : 1. Keterangan Saksi IDO LASKARI SUKARNO Di depan Persidangan di bawah supah pada pokoknya menerangkan sebagai berikut : -
Bahwa Saksi pernah diminta keterangan oleh penyidik dan memberikan Keterangan seperti BAP dan semuanya sudah benar.
-
Bahwa saksi adalah anggota Polisi Polsek Cimanggis.
-
Bahwa pada tanggal 7 Februari sekitar pukul 11.00 wib, bertempat di Jl.Raya Bogor Km.34 Cimanggis Depok, ketika saksi bersama saksi Tariman dan saksi Ade Maulana telah menangkap terdakwa Ahmad Junaedi bin Juhana karena telah melakukan pemalsuan surat yang dilakukan dengan cara terdakwa membuat sendiri dengan menggunakan perangkat computer berupa 1 (satu) lembar STNK dan 1 (satu) lembar tanda bukti pajak sepeda motor Kawasaki KAZE R 110 No.Pol. B 4363 CC.
-
Bahwa selanjutnya terdakwa beserta barang bukti dibawa ke Polsek Cimanggis guna pengusutan lebih lanjut
70
Menimbang bahwa atas serta keterangan saksi yang dibacakan ini Terdakwa membenarkannya.
2. Keterangan Saksi TARIMIN Di depan Persidangan di bawah sumpah pada pokoknya menerangkan sebagai berikut ; -
Bahwa saksi pernah diminta keterangan oleh penyidik dan memberikan keterngan seperti dalam BAP dan semuanya sudah benar.
-
Bahwa saksi adalah anggota Polisi Polsek Cimanggis.
-
Bahwa pada tanggal 7 Februari sekitar pukul 11.00 wib, bertempat di Jl.Raya Bogor Km. 34 Cimanggis Depok, ketika saksi bersama saksi Ido Laskar Sukarno dan saksi Ade Maulana telah menangkap terdakwa Ahmad Junaedi bin Juhana karena telah melakukan pemalsua surat yang dilakukan dengan cara terdakwa membuat sendiri dengan menggunakan perangkat computer berupa 1 (satu) lembar STNK dan 1 (satu) lembar tanda bukti pajak sepeda motor Kawasaki KAZE R 110 No.Pol. B 4363 CC.
-
Bahwa selanjutnya terdakwa beserta barang bukti dibawa ke Polsek Cimanggis guna pengusutan lebih lanjut. Menimbang, bahwa atas keterangan saksi yang dibacakan ini Terdakwa
membenarkannya.
71
3. Keterangan Saksi Ade Maulana Di depan Persidangan di bawah sumpah pada pokoknya menerangkan sebagai berikut : -
Bahwa saksi pernah diminati keterangan oleh penyidik dan memberikan Keterangan seperti dalam BAO dan semuanya sudah benar :
-
Bahwa saksi adalah anggota polisi polsek Cimanggis ;
-
Bahwa pada tanggal 7 Februari sekitar pukul 11.00 Wib, bertempat di jl. Raya Bogor. 34 Cimanggis Depok, ketika saksi bersama saksi TARIMAN dan saksi IDO LASKAR SUKARNO telah menangkap terdakwa AHMED JUNAEDI Bin JUHANA karena telah melakukan pemalsuan surat yang dilakukan dengan cara terdakwa membuat sendiri dengan menggunakan perangkat computer berupa 1 (satu) lembar STNK dan 1 (satu) lembar tanda bukti pajak sepeda motor Kawasaki KAZE R 110 No.Pol. B-4363CC
-
Bahwa selanjutnya terdakwa beserta barang bukti dibawa ke Polsek Cimanggis guna pengusutan lebih lanjut ; Menimbang, bahwa atas keterangan saksi yang dibacakan ini terdakwa
membenarkannya.
4. Keterangan Saksi ROMLI Di depan Persidangan di bawah sumpah pada pokoknya menerangkan sebagai berikut ;
72
-
Bahwa Saksi pernah diminta keterangan oleh penyidik dan memberikan Keterangan seperti dalam BAP dan semuanya sudah benar.
-
Bahwa saksi adalah anggota Polisi Polsek Cimanggis.
-
Bahwa pada tanggal 7 Februari sekitar pukul 11.00 wib, bertempat di Jl. Raya Bogor Km. 34 Cimanggis Depok, ketika saksi Tariman, saksi Ido Laskar Sukarno dan saksi ade Maulana telah menangkap terdakwa Ahmad Junaedi Bin Juhana karena telah melakukan pemalsuan surat yang dilakukan dengan cara terdakwa membuat sendiri dengan menggunakan perangkat computer beupa 1 (satu) lembar STNK dan 1 (satu) lembar tanda bukti pajak sepeda motor Kawasaki KAZE R 110 No.Pol. B 4363 CC.
-
Bahwa selanjutnya terdakwa beserta barang bukti dibawa ke Polsek Cimanggis guna pengusutan lebih lanjut.
-
Bahwa pada saat itu saksi menyita 1 (satu) unit computer, 1 (satu) buah printer, mouse, Scanner, monitor, keyboard, dan saksi tidak pada kejadian. Menimbang, bahwa atas keterangan saksi yang dibacakan ini Terdakwa
membenarkannya. Menimbang, bahwa surat dakwaan Penuntut Umum disusun dengan dakwaan tunggal yaitu melanggar Pasal 263 ayat 2 KUHP. Menimbang, bahwa dakwaan Tunggal Penuntut Umum tersebut di atas unsure-unsurnya sebagai berikut :
73
1. Unsur “Barang Siapa” : Menimbang, bahwa menurut hukum positif yang dimaksud dengan barang siapa adalah setiap orang (natuurlijke personen) sebagai subyek hukum mampu bertanggung jawab (teorekenbaarheid) atas segala perbuatannya. Menimbang, bahwa terhadap Terdakwa yang diajukan kepersidangan setelah dilakukan pemeriksaan identitasnya secara lengkap oleh Hakim ternyata dengan jelas bahwa Terdakwa adalah orang yang mampu bertanggungjawab pidana atas perbuatannya karena selama siding Hakim tidak menemukan adanya cacat kehendak (Gebruike Weiklj) yang ada pada diri Terdakwa. 2. Unsur “Dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat asli dan tidak dipalsukan” : Menimbang, bahwa yang dartikan dengan sengaja maksudnya bahwa orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar-benar, bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Sedangkan yang dimaksud dengan surat adalah segala surat baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik dan lain-lain. Pada tanggal 7 Februari 2007 di Depan Mall Ramayana Jl. Raya bogor Km 34 Cimanggis Depok ia terdakwa ahmad Junaedi bin Juhana sedang mengendarai motornya yang bernomor polisi B 4363 CC namun saat itu ia terdakwa membawa atau menggunakan atau melengkapi kendaraannya dengan Surat Tanda bukti Pajak Kendaraan Bermotor yang diketahuinya palsu atau dipalsukan, hingga tiba-tiba ia terdakwa diberhentikan oleh petugas Kepolisian lalu lintas sehunbungan adanya razia surat-surat kendaraan Bermotor diketahui
74
dan dicurigai STNK dan Surat Pajak Kendaraan terdakwa tidak seperti aslinya atau palsu, selanjutnya terdakwa di tangkap oleh karena diketahui ia terdakwa sendiri pada waktu sebelumnya telah membuat dan memalsukan surat-surat motornya tersebut dengan cara menggunakan perangkat computer dan alat Scanner atau alat Pengcopy warna miliknya, sehingga dengan surat-surat kendaraan yang berhasil dipalsukannya dan dipergunakannya tersebut terdakwa tidak lagi mengeluarkan uang untuk memperpanjang masa berlakunya STNK dimaksud, dan perbuatannya dapat merugikan instansi yang berwenang membuat dan menerbitkan STNK tersebut. Dengan demikian unsur ini terbukti secara hukum.
B. Putusan dan Pertimbangan Hakim 1. Hal-hal Yang Memberatkan -
Perbuatan Terdakwa dapat meresahkan masyarakat
-
Perbuatan Terdakwa merugikan Negara
2. Hal-hal Yang Meringankan -
Terdakwa belum pernah dihukum
-
Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan.
75
MENGADILI 1. Menyatakan Terdakwa Ahmad Junaedi bin Juhana tersebut dia atas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “pemalsuan surat”. 2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Ahmad Junaedi bin Juhana tersebut dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan 15 (limas belas) hari. 3. Menetapkan lamanya Terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. 4. Memerintahkan supaya Terdakwa tetap berada dalam tahanan. 5. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah). Demikianlah diputus dalam musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok, pada hari Senin, tanggal 09 Juli 2007 oleh kami Aruminingsih, sebagai Hakim Ketua Majelis, Didiek Jatmiko dan Lindawaty Simanihuruk. masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan tersebut pada hari itu juga diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua Majelis dengan didampingi oleh Hakim-Hakim Anggota tersebut dengan dibantu oleh Endang Sistriani. Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri tersebut, serta dihadiri oleh Ida Rahayu. Jaksa Penuntut Umum pada kejaksaan Negeri Depok serta dihadiri oleh Terdakwa tersebut.
BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DEPOK
A. Pandangan Hukum Pidana Islam Terhadap Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Surat Dalam Putusan Pengadilan Negeri Depok Namun, jika kita melihat dari segi hukum pidana Islam, putusan yang dijatuhkan majelis Hakim terhadap terdakwa Ahmad Junaedi Bin Juhana sesuai dalam kasus pidana Islam, seseorang yang melakukan jarimah pemalsuan surat dapat dikenakan hukuman takzir. Bahwasannya hukuman takzir terbagi menjadi beberapa macam yang terpenting yang telah ditetapkan oleh hukum Islam selain itu, harus diingat bahwa prinsip-prinsip hukum Islam tidak menolak untuk mengambil hukum lainnya apapun juga yang dapat mewujudkan tujuan hukuman dalam hukum islam. Macam-macam hukuman takzir yaitu hukuman mati, hukuman dera (jilid), hukuman kawalan (penjara kurungan), hukuman pengangsingan, hukuman salib, hukuman peringatan dan hukuman yang lebih darinya, hukuman pengucilan, hukuman teguran, hukuman ancaman, dan hukuman denda mengingat tindak pemalsuan surat ini bahwasannya terdakwah terkena hukuman kawalan ( penjara kurungan ). Hukum Islam ada dua macam hukuman penjara atau kurungan yaitu hukuman penjara dengan batas waktu tertentu dan hukuman penjara dengan tidak memiliki batas waktu.
76
77
Adapun yang dimaksud hukuman penjara dengan batas waktu tertentu adalah tidak lebih dari enam bulan, sedangkan hukuman penjara dengan tidak memiliki batas waktu adalah di mana sipelaku dipenjarakan sampai ia menampakkan tobat atau sampai ia mati. Telah disepakati bahwa masa hukuman penjara tidak ditentukan terlebih dahulu karena hukuman ini tidak terbatas, bahkan sampai terhukum mati, adapun Jenis maupun sanksinya tidak disebutkan di dalam nash syara secara jalas, namun ini semua berdasarakan pemahaman manusia atas nash al-Quran maupun asSunah.54 untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara universal, relevan pada setiap zaman (waktu) dan makan (ruang) manusia55. Dan ini juga bardasarkan contoh yang terjadi pada masa Khalifah Umar Ibn Al-Khattab yakni adanya kesesuaian antara tindak pidana pemalsuan surat (STNK), dengan tindak pidana pemalsuan stempel, maka tindakan Khalifah Umar Ibn AlKhattab yang pernah memberikan hukuman terhadap Mu’an Ibn Aidah, sebagai pelaku jarimah pemalsuan stempel Bail al-maal cukup untuk dijadikan landasan hukuman larangan terhadap tindak pidana pemalsuan Surat Keterangan Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) tersebut. Karena tindakan pemberian hukuman oleh Khalifah Umar Ibn Al-Kattab terhadap pemalsuan tersebut menunjukkan bahwa setiap perbuatan memalsukan adalah merupakan perbuatan yang dilarang, karena
54
Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jindi Al-Islami, (beirut: Ar-Risalah, 1998), Cet. 1. h.85-
55
Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadani,),
100 cet. h.6
78
termasuk kedalam pebuatan dusta, penipuan dan pengelabui. Sedangkan perbuatan menipu dan mengelabui merupakan perbuatan zalim yang dapat merugikan bahkan dapat mencelakakan orang lain, oleh karenanya harus diberikan hukuman bagi siapa saja yang melakukannya. Secara umum perbuatan memlasukan surat, merupakan perbuatan dusta (kidzb) karena pada dasarnya di dalam perbuatan tersebut terdapat perbuatan dusta, yakni dengan tidak memberikan keterangan yang sebenarnya atau seharusnya. Di dalam pemlasuan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) dipalsukan baik mengenai tanda tangan pejabat, tulisan atau huruf-huruf, dan bahan-bahan kertas yang dijadikan sebagai alat pembuat STNK / kertas yang seperti aslinya, sama halnya dengan memperoleh sesuatu dengan cara cepat tanpa adanya pengesahan atau izin dari instansi pemerintah yang dibentuk oleh Negara, dalam hal ini yaitu Sistem Administrasi Satu Atap (SAMSAT). Di dalam al-Quran terdapat sejumlah ayat yang melarang dengan tegas untuk tidak berbuat dusta (al-kidzb). Secara etimologi al-kidzb dipahami sebagai lawan dari Ash-sidiq. Ungkapan dusta dalam ayat al-Quran sering ditujukan srang kafir, karena merasa tidak tidak memberatkan wahyu Allah SWT, bahkan mereka sering membuat ungkapan tandingan dalam rangka mendustakan ayat di dalam surat An-Nahl Allah SWT mengingatkan. Jelas sudah bahwa berbohong adalah sifat tercela dan sangat berbahaya, termasuk dalam konteks pemalsuan surat yang berarti berbohong dalam memberi keterangan yang sebenar-benarnya di dalam sebuah pemalsuan surat (STNK) yang
79
digolongkan ke dalam penipuan dan pengelabuan. Islam melarang umatnya mengelabui dan menipu dalam berbagai hal. Sekalipun dalam hal menjalankan jual beli dan seluruh permuamalahan diantara manusia sebab penipuaan dan pengelabuan adalah suatu perbuatan aniaya dan curang, yakni meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Di samping itu, penipuan dan pengelabuan merusak kewajiban tanggung jawab dan kepercayaan serta membiasakan diri memakai yang haram, karena itu penipuan dan pengelabuan termasuk kedalam salah satu sifat orang munafik56. Berdasarkan putusan PN tersebut, maka kita dapat mengambil sebuah kesimpulan, yaitu putusan yang diberikan sesuai, jika kita melihat dari hukum pidana Islam. Dimana seharusnya siterdakwa dapat dikenakan hukuman takzir atas perbuatan jarimah pemalsuan surat tersebut, hukuman yang diberikan ini dapat berupa hukuman penjara atau kurungan, hal ini berdasarkan atas tindakan Khalifah Umar Ibn Alkhattab terhadap Mu’an Ibn Zaidah yang memalsukan stempel Bait al-Maal. Demikian pula terhadap tindak pemalsuan Al-Quran , Khalifa Umar Ibn Al-Kahttab mengangsingka Ma’an Ibn Zaidah setelah sebelumnya dikenakan hukuman takzir. Berdasarkan seluruhnya ini, dapat kita pahami bahwa putusan yang diambil oleh majelis hakim PN. Depok tersebut tidaklah memiliki efek atau kesetimpalan hukum, dan keriguan yang menimbulkan akibat tindak pidana pemalsuan surat (STNK) tersebut, baik itu kerugian yang diderita oleh Negara maupun masyarakat lain. Oleh karena itu, seorang hakim yang akan memutuskan perkara haruslah benarbenar hati-hati dan teliti dalam memberikan petusan terhadap terdakwa, supaya hakim 56
Hasbi Ash-Shidiqi, Al-Islami, (Semarang: PT. Pustaka RizqiPutra, 1998), Cet. 1, h.583
80
dalam memeriksa keputusan terhindar dari kesalahan dan kekeliruan kemudian supaya keadilan benar-benar dapat ditegakkan.
B. Pandangan Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Depok Apabila melihat putusan hukum hakim Pengadilan Negeri Depok yang memerikan putusan penjara selama 5 (lima) bulan 15 (lima belas) hari kepada terdakwa Ahmad Junaidi bin Juhana, di mana di dalam proses pembuktian hakim lebih mempertimbangkan keterangan para saksi yang memberikan keterangan didepan persidangan dengan disertai sumpah, dari pada keterangan saksi yang hanya terdapat di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dengan tanpa disertai sumpah didepan persidangan. Maka menurut penganalisaan hukum pidana Islam bahwa putusan yang ditetapkan telah memberikan keadilan. Karena apabila dilihat dalam proses pembuktian tersebut telah sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam hukum Islam, dimana dalam hukumIslam dinyatakan bahwa dalam putusan pengadilan adalah berdasarkan dua orang saksi dan berdasarkan sumpah. Hal ini berdasarkan hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim, Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah sebagai berikut :
m; و ﺱ8 ا6 س ان ر ﺱ& ل ا ﺹ%5 ا 57 (Wﺝ% وﻡ وا&داود وا ﻡ4 اQ )روا4ه%Dو 57
Al-Imam Muhammad Asy-Syaukani, Nailul Authar, Penerjemahan : KH. Adib Bisri Mustafa dkk, ( Semarang : CV. Asy-Syifah, 1994 ), cet 1, jilid IX, h.350.
81
Artinya : “Berdasarkan dari Ibnu Abbas, Sesungguhnya rasulullah saw memutuskan suatu perkara dengan (berdasarkan) sumpah dan seorang saksi. (H.R. Imam Ahmad, Imam Muslim, Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah). Berdasarkan analisa di atas, maka dapat dilihat bahwa sikap hakim yang tidak mengaggap sah suatu kesaksian yang tidak di ucapkan di hadapan dipersidangan tersebut dengan tidak disertai sumpah merupakan putusan yang tepat dan sesuai dengan hukum Islam. Oleh karena itu peran seorang hakim dalam pelaksanaan proses hukum harus benar hati-hati dan teliti dalam proses persidangan, terutama dalam proses pembuktian, termasuk dalam hal menganalisi keterangan-keterangan dari para saksi supaya hakim dalam memberikan keputusan terhindar dari kesalahan dan kekeliruan dan agar keadilan benar-benar dapat ditegakkan.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Dalam hukum positif maupun hukum Islam berpandangan sama bahwa tindak pidana pemalsuan surat termasuk kedalam suatu tindak kejahatan atau jarimah. Karena, menurut hukum positif perbuaan tersebut dianggap melanggar ketentuan hukum yang terdapat dalam kitab Undang-Undang Hukum pidana pasal 263 ayat (1) dan (2), pasal 264 ayat (1) dan (2), pasal 266 ayat (1) dan (2), dan pasal 274 ayat (1) dan (2) sebagai hukum umum (Lex Generalis), sedangka menurut hukum Islam, perbuatan maksiat yang dapat membahayakan atau merugikan kepentingan umum tersebut, maka perbuatan memalsukan surat dalam hukum Islam dianggap sebagai suatu jarimah atau jinayah. 2. Di dalam hukum Islam belum ditemukan pembahasan yang khusus mengenai tindak pidana pemalsuan surat. Akan tetapi, secara umum perbuatan memalsukan adalah termasuk ke dalam kebohongan (al-Kidzb), penipuan dan pengelabuan, dan merupakan perbuatan zhalim. Akab tetapi, berdasarkan adanya kesesuaian antara tindak pidana pemalsuan surat termasuk dengan jarimah pemalsuan tanda tangan dan jarimah pemalsuan stempel Bait al-Maal, maka tindak pidana pemalsuan surat bisa digolongkan kedalam jarimah takzir,
mengingat tindak pidana ini baik jenis maupun hukumannya tidak disebutkan di dalam nash syara 3. Menurut hukum Islam sanksi yang diberikan kepada pelaku tindak pidana pemalsuan surat adalah berbentuk hukuman takzir berupa hukuman jilid dan pengasingan. Hal ini didasarkan kepada tindakan Khalifah Umar Ibn AlKattab yang telah diberikan jilid sebanyak 100 (seratus) kali jilid dan hukuman pengasingan terhadap Mu’an Ibn Zaidah sebagai pelaku pemalsuan stempel Bait al-Maal. 4. Berdasarkan hasil analisa terhadap Putusan Hakim Pengadilan Negeri Depok Nomor : 309/Pid/B2007/PN.DPK. dalam perkara pemalsuan surat, baik menurut hukum positif dan hukum Islam, menunjukkan bahwa terdakwa diberikan keputusan hakim yang memberi putusan pidana penjara selama 5 Bulan 15 hari kepada terdakwa Ahmad Junaedi bin Juhana adalah telah menunjukkan suatu keadilan, karena berdasarkan hasil proses persidangan terbukti bahwa terdakwa Ahmad Junaedi bin Juhana, terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
B. Saran-saran Atas beberapa hal yang penulis tulis dalam skripsi ini, maka penulis mencoba menyampaikan beberapa saran-saran 1. Untuk mencegah terjadinya tindak pidana pemalsuan surat diharapkan kepada para penegak hukum dan masyarakat agar lebih diperhatikan lagi mengenai tindakan tersebut, khususnya hukuman yang akan diberikan pada pelaku. 2. Untuk bisa mengantisipasi atau sekurang-kurangnya meminimalisir tindak pidana pemalsuan surat, maka pemerintah terutama hakim harus lebih tegas dan memberikan sanksi lebih berat kepada setiap pelaku pemalsuan surat sehingga sanksi yang diberikan tersebut benar-benar bisa memberikan efek jera bagi yang telah melakukannya (fungsi keprensif), dan bisa membuat takut untuk melakukan bagi orang yang belum melakukan tindak pidana pemalsuan surat (fungsi preventif), mengingat dampak dari pelaku pemalsuan syrat dapat merugikan masyarakat dan Negara atau dapat merugikan berbagai pihak, karena kasus pemalsuan surat ini merupakan salah satu jenis tindak pidana dengan derajat keseriusan yang cukup tinggi dan memberikan sanksi yang berarti yang dapat memberikan efek jera bagi pelakunya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bani, Penterjemah Imron Rosadi, Mukhtashar shahih Muslim. al-Munawar Husain Agil Said, hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadani, 2004), Cet. 1. Ar-Ruhaly A. Ruway’I, fikih umar 2, penterjemahan. Basalamah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsan, 1994), Cet. 1. Ash-Shiddiqi Hasbi TM, Al-Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1998), Cet. 1. Audah Qadir Abdul, At-Tasyri’ Al-Jindi Al-Aslami, (Beirut: Ar-Risalah, 1998), Cet. 14. chazwi Adami, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, Cet. 2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991) Cet. 2. Doi A. Rahman I., Penjelasan Lengkap huku-hukum Allah (syara), (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 1. Dzazuli Ahmad, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000). H.A.K. Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus ( KUHP Buku II ), (bandung: Alumni, 1982). Cet 1. Hamzah Andi, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Reineka Cipta, 2001). Hamzah Andi, S.H., KUHP dan KUHAP, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 2004). Hanafi Ahmad, Pengantar dan sejarah Hukum Islam, (Jakarta, PT Bulan Bintang, 1995), Cet. 7. Kansil, Pokok-pokok Hukum Pidana, (Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 2004), Cet. 1 Kertanegara Satochid, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah dan Pendapat Para Ahli Hukum Terkemuka Bagian 1, (t.t, Balai Lektur Mahasisw, t.th.).
Kusumah W Mulyana, Krimonologi dan Masalah Kejahatan Suatu Pengantar Ringkas, (Jakarta: Amirco, 1984). Mahalli Mudjab Ahmad, Hadist-hadist Mutafaq ‘Alaih, (Jakarta, kencaan, 2004), Cet.2. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), Cet.7. Moeljatno, kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka cipta 2007). Muhammad Abu Zahra, Al-Jarimah Wal “Uqubah Fi al-Fiqh Al-Islami, (Kairo: Dar Al-Fikr Al-Arabi, 1998). Muhammad Nashiriddin Al-Bani, Mukhtashar Shahih Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004), Cet. 2. Mustofa Muhammad, “Kejahatan dan Kekerasan, Tinjauan Kriminologis,” dalam Media Indonesia, Selasa, 18 Mei 1993. Prof. Dr. h. Said Agil Husin Munawwar, MA dan Abdul Mustaqim, M.Ag, Asbabul Wurud (Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio Kontkstual), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Cet. 1. Santoso Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Asy-Syaamil, 2001), Cet.2. Soerjono Soekanto. Hengki Liklikuwata, dan Mulyana W. Kusumah, Krimonologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Ghlia Indonesia, 1986). Subhan LC dan Imran Rasyadi, Ringkasan Shahih Muslim, (Jakarta, Pustaka Azzam, 2003), Cet. 1. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), Cei, 2. Tuwu Alimuddin, Pengantar Metode Penelitian, dalam Consuelo G. Sevilla, et.all., An Introduction To Research Methods, (Jakarta: UI Press). Wardi Ahmad Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Cet1. Yunus Mahmud, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989).