ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TARIF PADA INDUSTRI PENERBANGAN INDONESIA UNTUK RUTE DOMESTIK DENGAN KOTA TUJUAN BATAM PERIODE 2001-2005
OLEH: TIKA WULANDARI H14103106
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN
TIKA WULANDARI. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tarif pada Industri Penerbangan Indonesia untuk Rute Domestik dengan Kota Tujuan Batam Periode 2001-2005 (dibimbing oleh ARIEF DARYANTO).
Sektor transportasi merupakan salah satu sektor penting yang menunjang perekonomian Indonesia. Salah satu sub sektornya adalah sektor transportasi udara yaitu industri penerbangan domestik. Adanya UU No. 5 Tahun 1999 dan deregulasi penerbangan telah membuka peluang bagi pengusaha untuk masuk dalam bisnis industri ini. Kebijakan-kebijakan ini membuat maskapai penerbangan bersaing dalam merebut pangsa pasar melalui strategi tarif. Tarif merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi pengguna jasa, karena apabila tarif angkutan udara rendah, masyarakat atau pengguna jasa akan cenderung semakin sering menggunakan jasa transportasi udara. Jumlah maskapai penerbangan yang meningkat dari tahun ke tahun menyebabkan harga tarif pun bervariasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tarif pada industri penerbangan Indonesia untuk rute domestik dengan kota tujuan Batam periode 2001-2005. Selain itu juga akan dilihat bagaimana perkembangan industri penerbangan di Indonesia. Pada penelitian ini, untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tarif untuk rute domestik tujuan Batam digunakan Model Paul Bauer dengan teknik estimasi model menggunakan data panel (pooled data). Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data jumlah penumpang, jarak tempuh, pendapatan domestik regional bruto perkapita kota asal, jumlah populasi (penduduk), jumlah transit dalam rute dengan tujuan Batam, harga penjualan ratarata per tahun dan jumlah maskapai dengan kota tujuan Batam. Periode waktu yang digunakan adalah dari tahun 2001 hingga 2005. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tarif untuk rute tujuan Batam adalah jumlah maskapai penerbangan, jumlah penumpang, jarak tempuh, pendapatan domestik regional bruto perkapita kota asal, jumlah populasi (penduduk), jumlah transit dalam rute dengan tujuan Batam, dan karakteristik bandara kota asal sebagai bandara penghubung atau tidak. Jumlah maskapai penerbangan yang semakin banyak akan menyebabkan rute tersebut menjadi kompetitif dan tarif pun menjadi rendah. Semakin banyak jumlah penumpang, semakin tinggi permintaan terhadap tiket pesawat dan tarif pun naik. Adanya variabel yang tidak sesuai dengan hipotesis untuk jarak tempuh per rute dan PDRB per Kapita kota asal mengindikasikan bahwa tarif yang ditetapkan oleh maskapai penerbangan juga mempertimbangkan keputusan yang ditetapkan oleh maskapai penerbangan lain dan moda transportasi lain. Bertambahnya jumlah penduduk kota asal akan meningkatkan permintaan terhadap jasa penerbangan maka akan menyebabkan kenaikan tarif. Jumlah transit yang bertambah akan menyebabkan tingginya permintaan akan jasa penerbangan sehingga maskapai
penerbangan akan menaikkan tarif. Karakteristik bandara penghubung yang berpengaruh terhadap tarif menunjukkan bahwa dengan adanya bandara yang merupakan HUB akan banyak maskapai penerbangan yang transit untuk menuju ke kota lain. Perkembangan Industri penerbangan di Indonesia tiap tahunnya selalu mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan jumlah maskapai, rute penerbangan, armada pesawat udara, dan jumlah penumpang.
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI SAYA INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2007
Tika Wulandari H14103106
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TARIF PADA INDUSTRI PENERBANGAN INDONESIA UNTUK RUTE DOMESTIK DENGAN KOTA TUJUAN BATAM PERIODE 2001-2005
Oleh TIKA WULANDARI H14103106
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: TIKA WULANDARI
Nomor Registrasi Pokok
: H14103106
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tarif pada Industri Penerbangan Indonesia untuk Rute Domestik dengan Kota Tujuan Batam Periode 2001-2005
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Arief Daryanto M.Ec. NIP. 131 644 945
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M. S. NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan:
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul: Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tarif pada Industri Penerbangan Indonesia untuk Rute Domestik dengan Kota Tujuan Batam Periode 2001-2005. Industri penerbangan merupakan topik yang sangat menarik karena memiliki peranan yang sangat potensial dalam sektor transportasi di Indonesia. Karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini, khususnya di daerah Otorita Batam. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Ir. Idqan Fahmi, M.Ec., yang telah menguji hasil karya ini. Semua saran dan kritik beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Jaenal Effendi, M.A., terutama atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini. Meskipun demikian, segala kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini, sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Penulis juga sangat terbantu oleh kritik dan saran dari peserta pada Seminar Hasil penelitian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat berterimakasih kepada mereka. Penulis juga berterimakasih kepada temen-temen di Pondok Diastin yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk tidak mudah menyerah. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh anak Riau di Bogor atas kekeluargaan yang telah terjalin selama ini. Penulis juga berterimakasih kepada pihak-pihak lain yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Akhirnya penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua penulis, yaitu Bapak Indra Hardi dan Ibu Narti serta saudara-saudara penulis. Kesabaran dan dorongan mereka sangat besar artinya dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, 25 Juli 2007
Tika Wulandari H14103106
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Pekanbaru, 9 April 1985 sebagai anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Indra Hardi dan Narti. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 003 Pekanbaru pada tahun 1997, sekolah menengah pertama di SLTP Negeri 13 Pekanbaru pada tahun 2000 dan sekolah menengah atas di SMU Negeri 1 Pekanbaru pada tahun 2003. Tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswi Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB. Semasa kuliah penulis pernah menjadi Guru Tambahan dalam Program BEM KM IPB sebagai salah satu bentuk Tri Dharma Perguruan Tinggi. Selain itu juga pernah menjadi panitia Gebyar Nusantara 2005 dan 2006 dalam memperingati Dies Natalis IPB perwakilan dari Organisasi Mahasiswa Daerah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan, arahan dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penhargaan dan terima kasih yang mendalam kepada: 1. Dr. Ir. Arief Daryanto M.Ec selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa membimbing, memberikan arahan dan semangat yang sangat berarti dalam penyelesaian skripsi ini. 2. ..........atas kesediaan menjadi dosen penguji utama pada sidang skripsi, sumbangan pemikiran dan saran yang membangun untuk perbaikan skripsi penulis. 3. ................atas kesediaan menjadi dosen penguji wakil komdi pada sidang skripsi. 4. Papa dan Mama untuk doa, nasehat, bimbingan, semangat, dorongan dan bantuan serta kasih sayang yang selalu diberikan tanpa terputus dan tak ternilai. 5. Keluarga tercinta: Bang Anto dan Kak Lia, Bang Joni dan Kak Tati, Hendri, Putri dan semuanya untuk doa, semangat dan kasih sayang kepada penulis. Keponakanku tersayang Lala, Faathir dan Tasya yang selalu membuat penulis tersenyum. 6. My Love........someone who cares a lot to me and always make me be special. 7. Diastin Family buat semua kebaikan dan kebersamaan selama ini. 8. Seluruh anak Riau di Bogor untuk persahabatan dan kekeluargaan yang telah terjalin. 9. Teman-teman IE 40 yang tidak bisa disebutkan satu per satu, buat semangat dan perjuangan bersama yang kita lakukan untuk menjadi sarjana ekonomi tentunya.
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI................................................... .......................................................i DAFTAR TABEL................................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................... v I.
PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah .............................................................................. 4 1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................. 8 1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................ 8 1.5. Ruang Lingkup Penelitian..................................................................... 9
II.
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN.................... 10 2.1. Konsep Ekonomi Industri ................................................................... 10 2.1.1. Pendekatan Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar ..................... 10 2.1.2. Pasar Oligopoli.......................................................................... 16 2.2. Teori Persaingan.................................................................................. 17 2.3. Contestable Market ............................................................................. 19 2.4. Kebijakan Persaingan.......................................................................... 20 2.5. Penelitian-penelitian Terdahulu .......................................................... 21 2.6. Kerangka Pemikiran............................................................................ 22 2.7. Hipotesis.............................................................................................. 23
III. METODE PENELITIAN .......................................................................... 27 3.1. Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 27 3.2. Model Penelitian Umum ..................................................................... 27 3.3. Metode Analisis Data.......................................................................... 34 3.3.1. Model Data Panel...................................................................... 35 3.3.2. Uji Kesesuaian Model............................................................... 38 3.4 Evaluasi Model .................................................................................... 41 3.5 Batasan Operasional Variabel .............................................................. 43
ii
IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI PENERBANGAN INDONESIA..... 45 4.1. Sejarah Penerbangan Nasional ........................................................... 45 4.2. Kebijakan Angkutan Udara Komersil................................................. 48 4.3. Perkembangan Deregulasi Angkutan Udara di Indonesia .................. 53 4.4. Perkembangan Tarif Penumpang Angkutan Udara di Indonesia........ 57 V.
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 59 5.1. Perkembangan Industri Penerbangan Indonesia ................................. 59 5.1.1. Perkembangan Perusahaan Niaga Berjadwal Dalam Negeri .... 59 5.1.2. Perkembangan Rute Penerbangan............................................. 59 5.1.3. Perkembangan Armada Pesawat Udara .................................... 60 5.1.4. Perkembangan Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Nasional .................................................................................... 61 5.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tarif ........................................... 63 5.2.1. Hasil Estimasi Model ............................................................... 63 5.2.2. Interpretasi Model ..................................................................... 67
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 78 6.1. Kesimpulan ......................................................................................... 78 6.2. Saran.................................................................................................... 79 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 80 LAMPIRAN........................................................................................................ 82
iii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Kerangka Identifikasi Autokorelasi ............................................................. 42 2. Daftar Perusahaan Angkutan Udara Niaga Berjadwal Posisi Desember 2003 .................................................................................. 46 3. Pengaturan Perusahaan Angkutan Udara Niaga Berjadwal ..................... ....56 4. Perbedaan Tarif Dasar Km No. 61 Tahun 1996 dan KM No. 9 Tahun 2002 ................................................................................. 58 5. Perkembangan Armada Udara Angkutan Udara Berjadwal Tahun 1997-2005 ..................................................................................... ....61 6. Perkembangan Penumpang Angkutan Udara Domestik Berjadwal......... ....62 7. Hasil Estimasi dengan Model Pooled ...................................................... ....64 8. Hasil Estimasi dengan Model Fixed ........................................................ ....65 9. Perbandingan Penelitian Bauer dengan Penelitian Wulandari................. ....71
iv
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Perkembangan Perusahaan Maskapai Penerbangan Dalam Negeri ............... 3 2. Hubungan Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar........................................... 11 3. Kerangka Pemikiran Konseptual.............................................................. ....23
v
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Data Total ..................................................................................................... 83 2. Hasil Estimasi Model Bauer......................................................................... 85 3. Hasil Estimasi dengan Model Pooled........................................................... 86 4. Hasil Estimasi dengan Model Pooled (White Heteroskedasticity) .............. 87 5. Hasil Estimasi dengan Model Fixed ............................................................ 88
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pada tanggal 5 Maret 1999 Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Persaingan Usaha di Indonesia yaitu Undang-Undang no.5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Adapun tujuan UU tersebut, seperti dinyatakan dalam pasal 3 adalah: a. mempertahankan kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai sarana untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat. b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha bagi pelaku usaha besar, menengah dan kecil. c. Mencegah praktek monopolistik dan atau praktek bisnis yang tidak sehat. d. Mendorong keefektifan dan efisiensi kegiatan bisnis. Bab IV UU ini mengharuskan dibentuknya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai pengawas pelaksanaan UU. Hal ini diefektifkan dengan Keppres yang dikeluarkan pada 7 Juni 2000. Lembaga KPPU bertugas menyusun peraturan pelaksana, memeriksa dan menyelidiki serta mengadili pihak-pihak yang melanggar UU No.5 tahun 1999 tersebut, serta memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan persaingan usaha di Indonesia. Salah satu sektor yang berubah akibat adanya UU No.5/1999 adalah sektor transportasi. Sektor transportasi merupakan sektor yang menunjang sektor lainnya, disamping itu sering disebut sebagai urat nadi perekonomian dalam memacu pembangunan kewilayahan dimana transportasi melakukan aktivitasnya.
2
Hal ini dapat dikuatkan dengan adanya asumsi yang menyatakan bahwa gejala dari suatu negara yang maju minimal harus memiliki tiga kriteria pokok yang ada pada negara tersebut, yaitu: memiliki sumber daya alam yang potensial, memiliki sumber daya manusia yang baik dan transportasi yang lancar dan berkembang. Indonesia merupakan negara kepulauan dan memiliki jumlah penduduk yang sangat besar sehingga peranan transportasi yang dalam hal ini salah satunya sektor transportasi udara dianggap potensial dan strategis. Industri ini berperan dalam lalu lintas dan angkutan orang atau barang dan jasa baik domestik maupun internasional. Sektor transportasi udara memiliki keunggulan tersendiri dibanding transportasi darat dan laut yaitu dalam segi kecepatan perjalanan serta dapat menjangkau tempat terpencil yang sulit dihubungi menggunakan moda lain. Deregulasi Penerbangan melalui Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1995 tentang angkutan udara dan Surat Keputusan Menteri No.11 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara yang tahun 2005 diganti dengan Keputusan Menteri No. 81 tahun 2005 telah merubah secara signifikan kebijakan nasional tentang industri angkutan udara. Deregulasi tersebut telah membuka peluang bagi pengusaha untuk masuk dalam bisnis industri ini, ditambah dengan adanya SK Menhub No. KM 8/2002 dan No. KM 9/2002 Tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Penumpang Angkutan Udara. Adapun kedua surat keputusan tersebut mendasarkan pada koridor batas atas dan bawah yang harus dipatuhi semua operator penerbangan dalam penentuan tarif. Kebijakan inilah yang mengakibatkan pesatnya pertumbuhan angkutan udara dan pada akhirnya langsung menciptakan "perang terbuka" dalam menetapkan tarif angkutan udara
3
serendah mungkin. Kondisi ini secara langsung sangat berpengaruh terhadap struktur pasar yang ada. Dari data yang ada pada Direktorat Jenderal Penerbangan Udara Departemen Perhubungan Republik Indonesia, tercatat bahwa pada tahun 1999 jumlah perusahaan penerbangan niaga tidak berjadwal mencapai 55 buah perusahaan. Namun demikian untuk kategori perusahaan penerbangan niaga berjadwal dari tahun 1996 terus mengalami peningkatan sampai dengan tahun 2004, sehingga jumlahnya mencapai 27 perusahaan. Pada tahun 1998 jumlah perusahaan penerbangan niaga berjadwal sempat mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, yaitu dari 6 perusahaan menjadi 5 perusahaan dan penurunan juga terjadi tahun 2005 menjadi 18 perusahaan. Namun tahun 2006 mengalami peningkatan menjadi 19 perusahaan, seperti yang terlihat pada Gambar 1.
Jumlah Maskapai
60 55 49 49 50 43 41 40 35 36 37 37 36 35 30 24 27 20 18 19 14 16 10 10 7 6 6 5 0 1996 1998 2000 2002 2004 2006 Tahun
Niaga Tidak Berjadwal
Niaga Berjadwal
Gambar 1. Perkembangan Perusahaan Maskapai Penerbangan Dalam Negeri Sumber: http://www.dephub.go.id/DJU/angud/AIRLINE.htm.
Semakin banyaknya maskapai penerbangan menyebabkan persaingan yang meningkat. Persaingan tersebut membuat sebagian besar maskapai penerbangan di Indonesia memakai low fare (tarif tiket murah) sebagai strategi untuk meraih penumpang.
4
Strategi perang tarif masih berlangsung sampai saat ini. Berbagai jenis promosi harga dan macam-macam jenis tarif diperkenalkan kepada masyarakat, namun tarif masing-masing perusahaan tidak dapat dipastikan. Tarif angkutan udara cenderung tidak menentu, namun secara umum semakin bervariasi dan memungkinkan memperoleh harga murah. Semakin banyaknya perusahaan penerbangan yang beroperasi, maka akan memacu dan memotivasi perusahaan ke arah persaingan yang lebih sehat. Misi perusahaan akan lebih fokus ke arah “customer oriented”. Persaingan yang terjadi secara terus menerus akan mengendalikan usaha perusahaan dan memaksa harga turun mendekati biayanya. Bertambahnya jumlah maskapai penerbangan tersebut telah membuat harga menjadi terjangkau bagi masyarakat. Sejalan dengan teori Ekonomi Industri yang mendukung persaingan, menurut Adam Smith “absennya persaingan yang ketat akan meningkatkan harga dan ketidakefisienan perusahaan”. Seperti yang diketahui bahwa sebelum adanya deregulasi, industri penerbangan jauh dari persaingan yang ketat.
1.2 Perumusan Masalah Setelah abad ke-XX Piero Sraffa yang merupakan tokoh Neo Klasik generasi kedua mengamati banyaknya perusahaan-perusahaan besar. Setiap perusahaan pun mengetahui bahwa kalau seandainya mereka mengubah keputusan output atau penawaran, harga-harga dapat berubah. Hal ini diungkapkan dalam artikelnya:”The Laws of Return Under Competitive Conditions” tahun 1926.
5
Kaum Neo Klasik berasumsi bahwa Persaingan ditentukan oleh struktur pasar. Pada pasar Monopoli, kompetisi berguna yaitu melalui kemampuan produsen dalam mempengaruhi harga sangat besar sehingga produsen (perusahaan) bertindak sebagai penentu harga (price maker) yang tidak hanya disebabkan oleh fungsi produksi tetapi juga mark up. Sebaliknya pada pasar Persaingan Sempurna, produsen sebagai price taker karena mempengaruhi harga sangat kecil. Pada teori Neo Klasik bahwa Persaingan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kemampuan produsen dalam penentuan harga, oleh struktur pasar dan jumlah pemain dalam industri. Jadi perlu adanya peran pemerintah yaitu kebijakan untuk mencegah monopoli dan mengubahnya menjadi Pasar Persaingan Sempurna. Contestable Market merupakan alternatif dari Neo Klasik. Contestable Market merupakan sebuah pasar dimana perusahaan mudah masuk dan keluar dari sebuah pasar costly. Dalam teori Contestable Market dinyatakan bahwa sebuah pasar monopoli dapat diubah menjadi pasar persaingan dengan syarat bahwa sunk cost dalam industri tersebut dapat diabaikan. Untuk deregulasi penerbangan, adanya entry akan menimbulkan persaingan.
Apabila
kemudian
sebuah
perusahaan
penerbangan
harus
meninggalkan persaingan dalam rute tertentu maka tidak terdapat sunk cost karena perusahaan tersebut hanya memindahkan rute dan bukan membangun lapangan udara baru. Jadi, bila pasar yang akan dideregulasi adalah sebuah pasar monopoli yang membutuhkan investasi infrastruktur yang besar, maka pemerintah harus
6
menanggung infrastrukturnya, sehingga perusahaan swasta yang kemudian masuk tidak menanggung biaya sunk cost (Sjahrir, 1995). Perubahan struktur pasar jasa ini menjadi oligopolistik terjadi sejak adanya deregulasi, dimana entry by new firm menjadi mudah karena: a. Investasi oleh maskapai baru murah karena menggunakan pesawat yang tidak dibeli tetapi disewa. Sejak terjadinya Serangan 11 September menyebabkan harga sewa pesawat menjadi sangat murah. b. Regulasi pemerintah tidak memberi perlakuan khusus pada pemain lama. c. Pemerintah sebagai penyedia infrastruktur bandara seperti landasan pacu, terminal penumpang, hanggar pesawat dan lain-lain. d. Respon positif dari pasar yang bisa menawarkan harga murah. Tarif merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi pengguna jasa, karena apabila tarif angkutan udara rendah, masyarakat atau pengguna jasa akan cenderung semakin sering menggunakan jasa transportasi udara. Banyaknya perusahaan penerbangan nasional baru beroperasi, maka salah satu strategi yang diterapkan untuk menarik banyak penumpang atau pengguna jasa adalah dengan cara perang tarif. Perang tarif antar perusahaan penerbangan telah terjadi setelah adanya deregulasi penerbangan, sehingga berdampak yang sangat signifikan terhadap kelangsungan bisnis penerbangan. Tetapi sebenarnya yang menjadi permasalahan bagi pengguna jasa atau penumpang adalah sejauhmana perusahaan penerbangan dapat memberikan pelayanan yang baik atau tidak berkurang serta dapat
7
memberikan kenyamanan dan keselamatan bagi pengguna jasa. Kondisi rendahnya tarif akan memberikan keuntungan bagi pengguna jasa, karena harga tiket pesawat udara sama bahkan ada yang lebih murah dibandingkan moda transportasi lainnya, sehingga penumpang yang sudah terbiasa bepergian dengan menggunakan moda transportasi lainnya sekarang dapat merasakan bepergian dengan menggunakan transportasi udara . Tarif merupakan sumber keuntungan bagi perusahaan penerbangan. Berbagai macam strategi tarif diperkenalkan kepada penumpang. Semakin rendah tarif yang ditetapkan maka semakin banyak penumpang yang memilih menggunakan maskapai penerbangan tersebut sehingga pada akhirnya perusahaan memperoleh keuntungan. Penumpang akan beralih kepada maskapai yang menerapkan tarif murah tersebut tarif. Tetapi yang perlu diingat, tarif merupakan sarana pengendali keseimbangan yang adil antara kepentingan perusahaan penerbangan disatu pihak dan kepentingan pengguna jasa angkutan udara dipihak lain. Adapun permasalahan-permasalahan yang akan diteliti: 1) Bagaimana perkembangan Industri penerbangan di Indonesia? 2) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tarif untuk rute domestik tujuan Batam periode 2001-2005?
8
1.3 Tujuan Penelitian Perumusan masalah diatas menunjukkan tujuan yang telah penulis laksanakan. Secara ringkas, dapat penulis tegaskan bahwa penelitian yang penulis lakukan bertujuan sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui perkembangan industri penerbangan di Indonesia. 2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tarif untuk rute domestik dengan tujuan Batam periode 2001-2005.
1.4 Manfaat Penelitian Hal-hal yang diperoleh dari penelitian tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tarif (airfares) pada industri penerbangan Indonesia untuk rute domesik dengan kota tujuan Batam diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan yang telah diteliti ini. Secara ringkas, manfaat yang penulis harapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi Pemerintah dan pihak yang terkait lainnya sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan dalam Industri Penerbangan. 2) Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perusahaan penerbangan dalam penentuan harga. 3) Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa yang lain sebagai bahan pelengkap yang masih relevan dengan permasalahan skripsi ini.
9
4) Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi saya khususnya dan mahasiswa Ilmu Ekonomi pada umumnya dalam memahami permasalahan mengenai jumlah maskapai penerbangan terhadap penentuan harga.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian 1) Penelitian ini di fokuskan pada rute dari kota asal dengan tujuan akhir Batam. 2) Penelitian ini hanya mencakup penerbangan domestik untuk kelas ekonomi. 3) Rute dengan tujuan Batam merupakan rute yang padat penumpang. 4) Bandara Hangnadim merupakan salah satu bandara Internasional. 5) Ketersediaan data dari Angkasa Pura II sebagai pengelola bandara-bandara untuk kawasan Indonesia bagian Barat. 6) Jangka waktu penelitian dari tahun 2001 hingga 2005 karena melihat kondisi industri penerbangan Indonesia setelah adanya UU No.5 Tahun 1999.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Ekonomi Industri Menurut Sheperd (1979) ekonomi industri adalah cabang dari ilmu makroekonomi yang menganalisis perusahaan, pasar dan industri. Menurut Koch (1980) ekonomi industri adalah suatu studi teoritis dan empiris tentang kajian struktur pasar dan perilaku penjual maupun pembeli yang mempengaruhi kinerja dan kesejahteraan ekonomi. Sedangkan menurut Jaya (2001) ekonomi industri merupakan suatu keahlian khusus dalam ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi ini membantu menjelaskan mengapa pasar perlu diorganisir dan bagaimana pengorganisasiannya mempengaruhi cara kerja pasar industri. Ekonomi industri menelaah struktur pasar dan perusahaan secara relatif lebih menekankan pada studi empiris dari faktor-faktor yang mempengaruhi struktur pasar, perilaku dan kinerja pasar.
2.1.1 Pendekatan Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar Struktur-Perilaku-Kinerja atau biasa disebut Structure,Conduct and Performance (SCP) merupakan tiga kategori utama yang digunakan untuk melihat kondisi struktur pasar dan persaingan yang terjadi dipasar. Struktur sebuah pasar akan mempengaruhi perilaku perusahaan dalam pasar tersebut yang secara bersama-sama menentukan kinerja sistem pasar secara keseluruhan (Martin,1973 dalam Alistair, 2004). Paradigma
SCP
yang
dimulai
dari
ukuran-ukuran
yang
akan
mempengaruhi struktur pasarnya, kemudian struktur tersebut akan mempengaruhi
11
perilaku dan pada akhirnya juga akan mempengaruhi kinerja pasar tersebut melalui konsumen yang terlihat pada Gambar 2.
UKURAN-UKURAN Kondisi Permintaan Kondisi Penawaran Elastisitas permintaan Skala ekonomi Elastisitas silang dari permintaan Ekonomi vertikal
STRUKTUR Ukuran distribusi perusahaan Pangsa pasar Kosentrasi Rintangan masuk Elemen-elemen lain
PERILAKU Kerjasama dengan pesaing Strategi melawan pesaing Advertensi
KINERJA Harga biaya dan pola keuntungan Keseimbangan dalam pendistribusian Pengalokasian yang efisien
Keseimbangan teknologi X-efisiensi Pengaruh lainnya
Gambar 2. Hubungan Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar Sumber: Jaya (1994).
a. Struktur Pasar Struktur pasar merujuk pada jumlah dan ukuran distribusi perusahaan dalam pasar serta mudah atau sulitnya masuk dan keluar dari pasar. Struktur pasar ini menganalisis struktur pasar yang dipengaruhi berbagai faktor baik internal maupun eksternal dan juga mendeskripsikan karakteristik dan komposisi pasar dalam perekonomian. Pasar dapat diartikan sebagai suatu kelompok penjual dan pembeli yang saling bertransaksi, mempertukarkan barang yang dapat
12
disubtitusikan. Melalui struktur pasar inilah, struktur pasar dapat dinilai dan dikaji lebih dalam. Struktur pasar yang biasa dikenal secara umum dalam ekonomi adalah monopoli dan persaingan sempurna. Ada juga yang menggolongkan struktur pasar menjadi enam kategori, yaitu: monopoli, perusahaan dominan, oligopoli ketat, oligopoli longgar, monopolistik dan persaingan sempurna (Sheperd,1979). Dalam kajian teori yang dilakukan akan lebih dititik beratkan pada struktur pasar monopoli, oligopoli dan persaingan. Definisi klasik dari struktur pasar Monopoli adalah satu-satunya produsen atau penjual produk atau jasa dalam suatu pasar. Akan tetapi berdasarkan perkembangannya, pengertian monopoli tidak hanya terbatas pada satu-satunya produsen atau penjual, monopoli dapat diartikan sebagai kesatuan tindakan dan keputusan yang diambil, sehingga terjadi pengaturan baik dalam perilaku maupun kinerja (Hasibuan, 1994). Oligopoli merupakan kondisi dimana gabungan beberapa perusahaan terkemuka yang memiliki pangsa pasar antara 40 persen-60 persen. Mereka juga memiliki permintaan yang inelastis dan bekerja sama dalam penentuan harga. Persaingan merupakan tempat terdapatnya banyak penjual dan pembeli, tidak memiliki kekuasaan menentukan harga karena pangsa pasar yang tidak berarti. Dengan hambatan masuk yang rendah dan informasi yang sangat terbuka, para pesaing potensial dapat mudah memasuki pasar. Para produsen mendapat keuntungan normal dan efisiensinya tinggi.
13
1) Pangsa Pasar Menurut Sheperd (1979), pangsa pasar menggambarkan besarnya tingkat penjualan relatif perusahaan, yaitu rasio antara besarnya penjualan perusahaan dengan total penjualan industri. Setiap perusahaan memiliki pangsa pasarnya sendiri dan besarnya antara 0 hingga 100 persen dari total penjualan seluruh pasar. Menurut literatur Neo-Klasik landasan posisi pasar perusahaan adalah pangsa pasar yang diraihnya. Pangsa pasar dalam praktek bisnis merupakan tujuan atau motivasi perusahaan. Perusahaan dengan pangsa pasar yang lebih baik akan menikmati keuntungan dan penjualan produk dan kenaikan harga sahamnya. 2) Kosentrasi Pemusatan merupakan kombinasi pangsa pasar dari perusahaan ”oligopolis” dimana mereka menyadari adanya saling ketergantungan. Kosentrasi sering digunakan sebagai ukuran tingkat persaingan. Kosentrasi juga sering dipakai sebagai alat analisis struktur pasar, perilaku dan kinerja perusahaan yang beroperasi di dalamnya dan secara tidak langsung menjadi indikator perilaku anti persaingan atau kolusi (Satriawan dan Wigati, 2002 dalam Citra, 2006). 3) Hambatan untuk masuk (barrier to entry) Menurut Asian Development Bank (2001) barrier to entry dapat didefinisikan sebagai setiap bentuk karakteristik pasar yang menghambat pendatang (entrant) baru untuk bersaing atas dasar yang sama dengan perusahaan yang sudah ada. Dalam definisi lain, kombinasi biaya yang hilang (sunk cost) dan skala ekonomi dapat menjadi barrier to entry.
14
Hambatan masuk seringkali diperlukan sebagai subjek perusahaan monopoli dan oligopoli untuk mengambil strategi dalam menghadapi pendatang baru. Hal ini akan dapat meningkatkan kekuatan pasar perusahaan besar dan menjadi ukuran yang dipakai dalam mengetahui hambatan bagi perusahaan baru untuk masuk ke pasar. b. Perilaku Pasar Perilaku pasar terdiri dari kebijakan-kebijakan yang diadopsi oleh para pelaku pasar dan juga pesaingnya terutama dalam hal harga dan karakteristik produk. Perilaku pasar menggambarkan tindakan-tindakan perusahaan sebagai akibat dari struktur pasar yang dihadapinya. Salah satu contoh nyata perilaku yang terjadi di perekonomian Indonesia adalah oligopoli. Pada kondisi pasar oligopoli, perilaku setiap perusahaan akan sulit diperkirakan. Banyak hal yang dapat mempengaruhi kebijakan yang akan diambil oleh suatu perusahaan. Berbeda halnya dengan kondisi pasar persaingan sempurna dimana perusahaan hanya bersifat sebagai penerima harga. Pada umumnya perusahaan yang mendominasi pasar akan berlaku seperti halnya perusahaan monopoli yang akan menaikkan harga untuk memperoleh keuntungan lebih dan menggunakan diskriminasi harga. Sedangkan pada pasar oligopoli, tindakan yang mereka lakukan terkait oleh strategi dimana pilihan tindakannya seringkali tergantung pada kebijakan yang diambil oleh pesaing terdekat (Jaya, 2001).
15
c. Kinerja Pasar Hasibuan (1994) mengemukakan bahwa kinerja pasar atau industri adalah hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan perilaku industri. Kinerja dalam kaitannya dengan ekonomi memiliki banyak aspek namun biasanya dipusatkan pada tiga aspek pokok, yaitu: efisiensi, kemajuan teknologi dan keseimbangan dalam industri. 1) Efisiensi Efisiensi adalah menghasilkan suatu nilai output yang maksimum dengan menggunakan sejumlah input tertentu baik secara kuantitas (fisik) maupun nilai ekonomis serta tidak ada sumberdaya yang terbuang. Efisiensi terdiri dari efisiensi internal (efisiensi-X) dan efisiensi alokasi. Tingkat efisiensi internal menggambarkan perusahaan yang dikelola dengan baik. Efisiensi ini diukur dengan perbandingan nilai tambah dan nilai input setiap perusahaan. Sedangkan efisiensi alokasi menggambarkan alokasi sumberdaya ekonomi sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi perbaikan dalam berproduksi yang dapat menaikkan nilai output. 2) Kemajuan Teknologi Kemajuan teknologi dicapai apabila perusahaan terus menerus melakukan inovasi dalam penguasaan teknologi, melalui alih teknologi dari negara lain ataupun didapat dari riset dan pengembangan perusahaan. Melalui penemuan dan pembaruan teknologi, orang dapat membuat suatu karya baru serta meningkatkan produktivitas produksi barang yang telah ada. Jika hal ini bekerja dengan baik,
16
produksi-produksi baru ditawarkan, biaya-biaya menurun dan harga-harga akan memperbesar keuntungan konsumen. 3) Keseimbangan dalam Industri Keseimbangan
dalam
Industri
akan
tercapai
apabila
perusahaan
mendistribusikan produk ke pasar sesuai dengan keinginan dan pengharapan yang nyata. Ini sangat erat kaitannya dengan efisiensi dalam pengalokasian.
2.1.2 Pasar Oligopoli Hasibuan (1994) konsep dasar oligopoli adalah interdependensi (saling ketergantungan) antar pesaing yang satu dengan yang lainnya. Secara teori, oligopoli berarti beberapa perusahaan, dua atau lebih. Perusahaan-perusahaan tersebut mempunyai pangsa pasar yang relatif besar dibandingkan dengan perusahaan pada pasar persaingan sempurna. Oligopoli dibedakan menjadi oligopoli ketat dan oligopoli longgar. Burgess (1989) dalam Ismalianti kecenderungan utama pada pasar oligopoli adalah adanya persamaan harga dan ciri-ciri produk yang sama pada semua perusahaan. Persamaan harga dalam oligopoli ketat hanyalah satu sisi dari kecenderungan yang mendasar. Pengendalian harga secara langsung (karena besarnya kekuatan pasar) hanya akan terjadi pada pasar monopoli. Pada pasar oligopoli, perusahaan mengawasi pesaingnya. Harga yang ditetapkan oleh perusahaan harus berada jauh diatas biaya yang dikeluarkan untuk dapat memperoleh keuntungan. Karena terdapat saling ketergantungan diantara
17
perusahaan dalam membuat keputusan, maka ada tiga kemungkinan bagi perusahaan untuk menetapkan harganya: 1. Perusahaan-perusahaan yang ada di pasar membuat perjanjian dengan pesaingnya dalam menentukan tingkat harga jual produk yang disepakati bersama dan disetujui semua pihak. Hal tersebut menciptakan lingkungn persaingan yang aman, akan tetapi bagi konsumen itu beresiko tinggi, karena akan menciptakan tingkat harga yang tinggi, bahkan mungkin sangat tinggi. 2. Masing-masing perusahaan menetapkan harga jual pada tingkat yang serendah mungkin agar dapat mengahancurkan pesaingnya. Tindakan tersebut biasa disebut sebagai ”perang harga”. Untuk dapat tetap bertahan di dalam pasar, masing-masing perusahaan harus dapat berproduksi dengan biaya yang serendah dan seefisien mungkin. 3. Apabila terdapat derajat diferensiasi, perusahaan harus memperlambat laju pemunculan produk baru untuk menekan resiko.
2.2 Teori Persaingan Siswanto (2002) menjelaskan bahwa persaingan atau competition dalam bahasa Inggris oleh Webster didefinisikan sebagai ”... a struggle or contest between two or more persons for the same objects”. Dengan memperhatikan terminologi persaingan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam setiap persaingan akan terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
18
a. Ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam upaya saling mengungguli. b. Ada kehendak di antara mereka untuk mencapai tujuan yang sama. Meskipun demikian Anderson (1958) berpendapat bahwa persaingan di bidang ekonomi merupakan salah satu bentuk persaingan yang paling utama diantara sekian banyak persaingan antarmanusia, kelompok masyarakat atau bahkan bangsa. Adapun salah satu bentuk persaingan di bidang ekonomi adalah persaingan usaha (business competition) yang secara sederhana bisa didefinisikan sebagai persaingan antara para penjual di dalam merebut pembeli dan pangsa pasar. Dari sudut pandang ekonomi, persaingan membawa implikasi positif. Pertama, persaingan merupakan sarana untuk melindungi para pelaku ekonomi terhadap eksploitasi dan penyalahgunaan. Kondisi persaingan menyebabkan kekuatan ekonomi para pelaku ekonomi tidak terpusat pada tangan tertentu. Kedua, persaingan mendorong alokasi dan realokasi sumberdaya ekonomi sesuai keinginan konsumen. Ketiga, persaingan bisa menjadi kekuatan untuk mendorong penggunaan sumberdaya ekonomi dan metode pemanfaatannya secara efisien. Keempat, persaingan bisa merangsang peningkatan mutu produk, pelayanan, proses produksi dan teknologi. Meskipun secara umum dapat dikatakan aspek positifnya lebih terlihat, kondisi persaingan juga mempunyai aspek negatif. Pertama, sistem persaingan memerlukan biaya dan kesulitan-kesulitan tertentu yang tidak didapati dalam sistem monopoli. Kedua, persaingan bisa mencegah koordinasi yang diperlukan
19
dalam industri tertentu. Ketiga, persaingan yang dilakukan oleh pelaku ekonomi yang tidak jujur bisa bertentangan dengan kepentingan publik.
2.3 Contestable Market Sjahrir (1995) menjelaskan bahwa contestable market adalah kondisi pasar persaingan yang terjadi karena dimungkinkannya entry ke dalam pasar monopoli. Akibatnya cost akan didorong turun kebawah. Idealnya kemudian harga yang terbentuk akan sama dengan Long Run Marginal Cost (LRCM). Tetapi tidak semua CM mampu membentuk harga pada saat P=LRMC, karena syarat terbentuknya CM adalah tidak adanya sunk cost. Dengan kata lain bahwa sebuah pasar dapat dideregulasi bila ia tidak mengandung sunk cost. Yang dimaksud dengan sunk cost disini adalah biaya yang dianggap terbuang bila perusahaan berada dalam industri tersebut keluar dari pasar. Kondisi yang dibutuhkan untuk membuat pasar menjadi Perfectly Contestable antara lain: 1. Semua produsen, baik yang aktual maupun potensial mendapat akses yang sama pada teknologi yang digunakannya dalam berproduksi. 2. Teknologi mungkin terkarakter oleh skala ekonomi, meskipun terdapat fixed cost namun fixed cost tersebut bukanlah bagian dari sunk cost. 3. Tidak ada entry lag sehingga pemain baru (entrant) bisa masuk dan langsung dapat berproduksi pada tingkat skala produksi apa pun. 4. Respon yang dimiliki oleh perusahaan yang telah ada (incumbent) lebih lama daripada waktu keluarnya entrant dalam industi tersebut.
20
Entrant dapat masuk, membentuk harga yang rendah dari incumbent serta keluar dari industri tanpa resiko mengalami kerugian sebelum incumbent dapat memberikan respon atau tindakan untuk merubah harga. Oleh karena itu perfectly contestable adalah sebuah pasar yang dapat diakses oleh pendatang potensial (entrant) tanpa hambatan masuk (barriers to entry), yang dapat melayani permintaan pasar dengan menggunakan teknik produksi yang sama sebagaimana yang digunakan oleh perusahaan yang telah ada (incumbent). Karena kondisi entry dan exit secara absolute bebas tanpa biaya, dengan adanya informasi yang sempurna, entrant tidak akan mengalami kerugian dalam teknik produksi karena dapat mengacu pada perusahaan yang telah ada dan entrant dapat mengevaluasi keputusannya untuk masuk ke industri dengan tepat dan benar ketika keputusan yang sama diambil oleh perusahaan incumbent (Titie, 2005).
2.4 Kebijakan Persaingan Kebijakan persaingan terdiri dari Undang-Undang Antimonopoli dan Persaingan Usaha, Deregulasi dan Liberalisasi ekonomi. UU Antimonopoli mengatur masalah perilaku perusahaan agar tidak menyalahgunakan market power-nya, sedangkan deregulasi dan liberalisasi menciptakan agar mekanisme pasar dapat berjalan dengan intervensi pemerintah yang minimal. Tujuan Kebijakan Persaingan (competition policy) adalah untuk meminimalisasikan inefisiensi perekonomian yang diakibatkan oleh perilaku pelaku usaha yang bersifat antipersaingan.
21
2.5 Penelitian-penelitian Terdahulu Morrison dan Winston (1990), Borenstein (1989) dan Bauer (1989) menganalisa mengenai jumlah maskapai penerbangan dan kaitannya dengan penentuan harga. Boreinstein (1989) memasukkan unsur load factor dari rute-rute penerbangan di AS yang dibagi dalam klasifikasi bandara Hub dan non Hub. Ia mendapatkan bahwa faktor penentu bukanlah jumlah maskapai penerbangan melainkan market share dari maskapai penerbangan dalam rute tertentu. Morrison dan Winston (1990) menggunakan jarak sebagai variabel lain dalam merumuskan fungsi harga tiket (airfares) tetapi ia mengklasifikasikan number of firm menjadi 3 kategori yaitu jumlah pemain pada bandara dengan sistem slot, jumlah penerbangan dengan bandara non slot dan jumlah penerbangan pada bandara kota tujuan. Bauer (1989) menganalisa tentang ada tidaknya pengaruh dari jumlah pemain atau firm terhadap penentuan harga dan faktor apakah yang merupakan penentu dari harga tiket (airfares) ke kota tujuan tertentu (dalam penelitian tersebut cleaveland). Ia menggunakan kerangka dari Contestable Market Theory dan implikasinya dimana jumlah pemain tidak mempengaruhi secara signifikan proses penentuan harga. Dalam penelitiannya Bauer tidak membedakan antara Low Cost Airlines atau penerbangan berbiaya rendah dari industri penerbangan keseluruhan. Hasil dari penelitian Bauer adalah jumlah maskapai penerbangan (firm) tidak mempengaruhi penentuan harga sehingga pasar tujuan Cleveland merupakan pasar yang perfectly contestable. Hal ini berarti Contestable Market terjadi pada industri penerbangan domestik di AS dengan tujuan Cleveland .
22
2.6 Kerangka Pemikiran Angkutan udara adalah suatu industri global, dengan kegiatan operasi mencakup antar negara dan antar benua. Dahulunya sistem ekonomi angkutan udara adalah sistem ekonomi tertutup. Perusahaan yang berperan sangat dominan pada saat itu adalah Garuda dan Merpati, kedua-duanya adalah BUMN. Namun, dengan adanya Undang-Undang Persaingan Usaha di Indonesia yaitu Undang-Undang No.5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan deregulasi di bidang penerbangan menyebabkan perkembangan perubahan pengaturan perusahaan angkutan udara niaga berjadwal menuju sistem ekonomi pasar. Deregulasi penerbangan memberikan kemudahan bagi pemain atau perusahan baru
untuk masuk dalam industri penerbangan. Hal tersebut
berdampak pada pesatnya pertumbuhan perusahaan penerbangan di Indonesia. Akibatnya timbul persaingan antar perusahaan penerbangan yang memperebutkan pasar yang ada. Persaingan antar perusahaan penerbangan biasanya terjadi pada rute-rute padat penumpang dalam penelitian ini adalah rute tujuan akhir Batam. Persaingan tersebut membuat sebagian besar maskapai penerbangan di Indonesia menetapkan strategi tarif untuk meraih penumpang. Untuk melihat faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tarif dengan rute domestik tujuan Batam maka digunakan Model Paul Bauer yang sebelumnya melakukan penelitian untuk rute tujuan Cleveland, Amerika Serikat. Untuk kasus di Indonesia akan dilakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap Model Paul Bauer tersebut. Selain itu juga dilihat perkembangan industri penerbangan Indonesia.
23
Pada akhirnya akan dilihat faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya tarif untuk tujuan Batam. Industri Penerbangan
Deregulasi Penerbangan
UU No. 5 ahun 1999
Persaingan Antar Maskapai Penerbangan
Analisis perkembangan Industri Penerbangan Indonesia
Model Paul Bauer
Faktor yang Diduga Mempengaruhi Tarif : 1. Jumlah perusahaan penerbangan 2. Jumlah penumpang per rute 3. Jumlah Penduduk kota asal 4. PDRB per Kapita kota asal 5. Jarak tempuh per rute 6. Jumlah Transit 7. Karakteristik Bandara
Faktor-faktor yang mempengaruhi tarif untuk tujuan Batam Gambar 3. Kerangka Pemikiran Konseptual
2.7 Hipotesis Berdasarkan permasalahan dan kerangka pemikiran yang telah diuraikan, untuk faktor-faktor yang mempengaruhi tarif pada industri penerbangan Indonesia
24
untuk rute domestik dengan kota tujuan Batam pada periode 2001-2005. Penulis mengajukan suatu hipotesis yaitu : 1. Jumlah maskapai penerbangan berpengaruh negatif dalam penentuan tarif (airfares) pada pasar domestik dengan kota tujuan Batam. Semakin banyak jumlah maskapai maka semakin kompetitif rute tersebut sehingga maskapai penerbangan akan bersaing dalam memperebutkan penumpang dengan menetapkan harga yang rendah. 2. Jumlah penumpang berpengaruh positif dalam penentuan tarif (airfares) pada pasar domestik dengan kota tujuan Batam. Berdasarkan teori permintaan, kenaikan jumlah penumpang akan menggeser kurva-kurva permintaan untuk jasa penerbangan ke arah kanan, yang menunjukkan bahwa akan lebih banyak yang menggunakan jasa penerbangan. 3. Jumlah penduduk kabupaten atau kota asal berpengaruh positif dalam penentuan tarif (airfares) pada pasar domestik dengan kota tujuan Batam. Pertumbuhan jumlah penduduk belum menciptakan permintaan baru. Penduduk yang bertambah ini harus mempunyai daya beli sebelum permintaan berubah. Tambahan orang berusia kerja, tentunya akan menciptakan pendapatan baru. Jika ini terjadi, permintaan untuk semua komoditi yang dibeli oleh penghasil pendapatan baru akan meningkat. Jadi, semakin banyak jumlah penduduk maka semakin banyak permintaan akan jasa penerbangan. 4. Pendapatan domestik regional bruto per kapita kabupaten atau kota asal berpengaruh positif dalam penentuan tarif (airfares) pada pasar domestik
25
dengan kota tujuan Batam. Jika rumah tangga menerima rata-rata pendapatan yang lebih besar maka mereka dapat diperkirakan akan membeli lebih banyak beberapa komoditi, walaupun harga komoditikomoditi itu tetap sama. Dengan melihat keseluruhan rumah tangga, kita memperkirakan bahwa harga berapa pun yang kita ambil, jumlah komoditi akan lebih banyak daripada yang diminta sebelumnya pada tingkat harga yang sama. Jadi semakin besar pendapatan domestik regional bruto per kapita maka semakin besar permintaan akan jasa penerbangan. 5. Jarak tempuh per rute berpengaruh positif dalam penentuan tarif (airfares) pada pasar domestik dengan kota tujuan Batam. Semakin jauh jarak tempuh suatu rute maka akan semakin tinggi tarif yang ditetapkan oleh perusahaan maskapai. 6. Jumlah pemberhentian atau transit (inflight stop) sebagai karakteristik penerbangan untuk rute tersebut berpengaruh positif dalam penentuan tarif (airfares) pada pasar domestik dengan kota tujuan Batam. Semakin banyak orang yang transit di Batam maka akan semakin tinggi tarif yang ditetapkan oleh maskapai penerbangan. 7. Karakteristik Bandar udara kota asal sebagai bandara penghubung ke wilayah Timur dan ke wilayah Barat Indonesia berpengaruh negatif dalam penentuan tarif (airfares) pada pasar domestik dengan kota tujuan Batam. Bertambahnya bandara kota asal sebagai bandara penghubung maka pada bandara tersebut banyak maskapai penerbangan yang transit untuk menuju kota lain, hal ini berarti akan semakin banyak maskapai penerbangan yang
26
melayani rute tersebut. Semakin banyak jumlah maskapai ini akan menyebabkan harga tiket menjadi murah.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian mengenai Faktor-faktor yang mempengaruhi Tarif pada Industri Penerbangan Indonesia untuk Rute Domestik dengan Kota Tujuan Batam memerlukan data sekunder untuk menjadi informasi dalam menganalisis permasalahan dalam penelitian tersebut. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang telah tersedia pada instansi-instansi yang terkait, seperti Biro Pusat Statistik, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, P.T Angkasa Pura II dan INACA (International Air Carrier Assotiation). Data-data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data jumlah penumpang, jarak tempuh, pendapatan kota asal, jumlah populasi (penduduk), jumlah transit dalam rute dengan tujuan Batam, harga penjualan rata-rata per tahun maskapai
dan jumlah
dengan kota tujuan Batam. Mengenai jangka waktu data yang
digunakan dari tahun 2001 hingga 2005 dan diolah dengan menggunakan software E-Views 4.1.
3.2. Model Penelitian Umum Fungsi persamaan yang akan digunakan untuk mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi tarif pada industri penerbangan Indonesia untuk rute domestik dengan tujuan Batam periode 2001-2005 merupakan model Paul Bauer (1989) yang menggunakan model ini juga untuk mengestimasi faktor determinan dari harga pada penerbangan rute dengan tujuan Cleveland. Hipotesis pada model
28
ini mengikuti paradigma Contestable Market, dimana number of firms bukan merupakan determinan airfares. Paul Bauer menyebutkan bahwa penetuan harga (airfares) dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jumlah maskapai penerbangan (carriers) dalam rute tersebut, jarak tempuh rute, volume lalu lintas udara (air traffic) yang diwakili oleh volume penumpang, karakteristik bandara di USA berupa non atau restricted slot airport, dimana mereka membedakan bandara komersial untuk penerbangan berjadwal dan non komersial untuk private purposes tanpa penerbangan berjadwal dan hubs atau non-hubs airport, dimana bandara kota asal merupakan bandara penghubung (intercity connecting chain) ke berbagai kota dalam wilayah tertentu, karakteristik dari penerbangan tersebut yaitu number of stops (jumlah transit dalam rute tersebut), meal (apakah disediakan makanan dalam rute tersebut), maskapai penerbangan tertentu yang menawarkan rute tersebut dengan karakteristik yang unik (dalam model Bauer diambil Eastern Airlines yang memfokuskan diri pada penerbangan lokal dari negara bagian yang sama dengan Cleveland dan Continental Airlines yang memfokuskan diri pada penerbangan nasional), serta karakteristik kota asal, misalnya pendapatan perkapita, populasi dan apakah kota asal merupakan kota bisnis atau kota pariwisata. Adapun tujuan penelitian yang dilakukan oleh Bauer adalah untuk mengetahui determinan dari harga atau airfares dengan tujuan Cleveland untuk first class, economy dan discount pada tujuan-tujuan tertentu. Paul Bauer menggunakan data yang berasal dari The Official Airline Guide (April 1987) sebagai sumber data untuk harga atau fare dan data mengenai
29
karakteristik penerbangan seperti CARRIERS, STOP, SLOT, MEAL, EA, dan CO. Dalam penelitiannya, Bauer hanya menggunakan data penerbangan langsung ke Cleveland dan membedakan menjadi tiga jenis berdasarkan kelas-kelasnya yaitu first class, economy class dan discount fares. Sedangkan data mengenai jumlah penumpang serta jarak diperoleh dari Departemen Transportasi Amerika Serikat, mulai periode 1979 sampai dengan 1989, mencakup semua rute umum domestik dengan tujuan Cleveland. Penelitian tersebut menggunakan 140 observasi dalam bentuk data panel dan diolah dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Fungsi persamaannya adalah sebagai berikut: F = α0 + ß1 CARRIERS + ß2 CARRIERS² + ß3 PASS + ß4 MILES + ß5 MILES² + ß6 POP + ß7 INC + ß8 CORP + ß9 SLOT + ß10 STOP + ß11 MEAL + ß12 HUB + ß13 EA + ß14 CO + ε t Keterangan: CARRIERS
= Jumlah maskapai penerbangan (carriers) yang mempunyai rute domestik dari kota asal ke kota tujuan Cleveland.
CARRIERS 2
= Jumlah maskapai penerbangan (carriers) dikuadratkan untuk melihat perubahan marginal yang menurun atau negatif dari setiap pertambahan jumlah maskapai penerbangan (carriers) dalam rute domestik tersebut.
PASS
= Volume penumpang dari seluruh maskapai penerbangan (airlines) yang memiliki rute domestik dengan tujuan Cleveland.
30
MILES
= Faktor jarak tempuh dari bandara kota asal ke kota tujuan Cleveland.
MILES 2
= Faktor jarak tempuh dikuadratkan untuk melihat perubahan
marginal
menurun
atau
negatif
dari
pertambahan setiap unit jarak tempuh terhadap harga. POP
= Jumlah penduduk atau populasi dari kota asal sebagai karakteristik kota asal.
INC
= Pendapatan perkapita dari kota asal sebagai salah satu karakteristik kota asal.
CORP
= Proxy bisnis dan perdagangan kota asal sebagai salah satu karakteristik dari kota asal.
SLOT
= merupakan sebuah variabel dummy untuk karakteristik bandara kota asal, memiliki nilai 1 bila bandara kota asal memiliki peraturan yang mengklasifikasikan bandara sebagai bandara komersial yang memiliki penerbangan berjadwal dan bandara yang lebih banyak digunakan untuk private purposes dan penerbangan tidak berjadwal dan 0 bila bukan.
STOP
= Jumlah pemberhentian atau transit (inflight stop) sebagai karakteristik penerbangan untuk rute tersebut.
MEAL
= merupakan sebuah variabel dummy dimana bernilai 1 bila penerbangan tersebut menyediakan makanan (meal) dalam perjalanan dan 0 bila tidak menyediakannya.
31
HUB
= hub airport adalah pengklasifikasian bandara sebagai bandara penghubung (intercity connecting chain) ke berbagai kota dalam wilayah tertentu.
Pengklasifikasian ini dilakukan oleh pemerintah dalam membangun sistem perhubungan khususnya sistem transportasi udara. EA
= merupakan sebuah variabel dummy, bernilai 1 bila penerbangan rute tersebut dilayani oleh Eastern Airlines, 0 bila tidak. Variabel ini digunakan untuk mengakomodir karakteristik maskapai penerbangan (airlines) berupa penerbangan lokal yang melayani wilayah tertentu.
EA merupakan sebuah maskapai penerbangan lokal yang hanya melayani negara bagian tertentu. CO
= merupakan sebuah variabel dummy, bernilai 1 bila penerbangan rute tersebut dilayani oleh Continental Airlines, 0 bila tidak. Variabel ini digunakan untuk mengakomodir
karakteristik
maskapai
penerbangan
(airlines) berupa penerbangan nasional. CA merupakan sebuah maskapai nasional.
εt
= Error term. Pada model Paul Bauer ini dilakukan beberapa penyesuaian terhadap pasar
penerbangan di Indonesia yaitu: a. Menghilangkan variabel CARRIERS2 dan MILES2 karena diduga kedua variabel ini menyebabkan adanya masalah multikoliniaritas antar variabel
32
dan pada model Paul Bauer ini untuk tujuan Batam juga menyebabkan banyak variabel yang tidak signifikan, seperti terlihat pada lampiran 2. b. Menghilangkan variabel data PROXY kota bisnis dan perdagangan karena adanya keterbatasan penulis dalam mengklasifikasikan kota asal sebagai PROXY kota bisnis dan perdagangan tersebut. c. Menghilangkan variabel karakteristik bandara berupa SLOT
karena
kondisi bandara di Indonesia tidak memiliki regulasi slot dan semua penerbangan komersial di Indonesia merupakan penerbangan berjadwal. d. Menghilangkan variabel MEAL karena adanya perbedaan kebijakan pada setiap maskapai penerbangan sehingga menimbulkan hambatan bagi penulis dalam memperoleh data secara kuantitatif. Ada beberapa maskapai penerbangan untuk kelas ekonomi di Indonesia tidak menyediakan pelayanan makanan ketika menggunakan maskapai penerbangan tersebut tetapi masih ada juga beberapa maskapai untuk kelas ekonomi ini yang menyediakan pelayanan makanan. Perbedaan kebijakan inilah yang menyebabkan kesulitan dalam memperoleh data kuantitatifnya. Penulis juga mencoba menjadikannya variabel dummy, dimana jika maskapai penerbangan tersebut menyediakan makanan bernilai 1 dan bernilai 0 untuk yang tidak menyediakan makanan. Hal ini juga mengalami kesulitan dengan perbedaan kebijakan yang diterapkan oleh tiap maskapai penerbangan
karena
adanya
hambatan
dalam
mengklasifikasikan
penyediaan makanan yang diberikan. Ada maskapai penerbangan yang
33
meyediakan makanan berat, tetapi ada juga yang hanya menyediakan makanan ringan bahkan hanya menyediakan minuman mineral. e. Menghilangkan variabel EA dan CO karena dalam rute domestik di Indonesia, seluruh maskapai penerbangan yang melayani rute-rute tersebut merupakan maskapai penerbangan nasional. f. Mengkhususkan diri pada pasar domestik dan kelas ekonomi. Dari penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan terhadap model Paul Bauer tersebut maka penulis membuat kombinasi model yaitu persamaan regresi menggunakan kombinasi variabel dummy untuk jumlah pemberhentian atau transit (inflight stops) yaitu stop dan variabel karakteristik bandara berupa bandara penghubung yaitu HUB. F = α0 + ß1 CARRIERS + ß2 PASS + ß3 MILES + ß4 POP + ß5 INC + ß6 STOP + ß7 HUB + εt Keterangan: CARRIERS
= Jumlah maskapai penerbangan (carriers) yang mempunyai rute domestik dari kota asal ke kota tujuan Batam.
PASS
= Volume penumpang dari seluruh maskapai penerbangan
(airlines)
yang
memiliki
domestik dengan tujuan Batam. MILES
= Faktor jarak tempuh dari bandara kota asal ke kota tujuan Batam.
POP
= Jumlah penduduk atau populasi dari kota asal
rute
34
sebagai karakteristik kota asal. INC
= Pendapatan Domestik Regional Bruto perkapita dari kota asal sebagai salah satu karakteristik kota asal.
STOP
= Jumlah pemberhentian atau transit (inflight stop) sebagai karakteristik
penerbangan untuk rute
tersebut. HUB
= Variabel dummy untuk karakteristik Bandar udara kota asal sebagai bandara penghubung ke wilayah Timur dan ke wilayah Barat Indonesia.
Yang diklasifikasikan sebagai Hub airport di Indonesia adalah Soekarno-Hatta untuk wilayah Barat Indonesia dan Surabaya untuk wilayah Timur Indonesia. Variabel Hub ini akan bernilai 1 bila karakteristik bandara kota asal merupakan sebuah Hub airport dan 0 bila bukan.
εt
= Error term.
3.3 Metode Analisis Data Data yang telah didapat dianalisis secara deskriptif
dan kuantitatif.
Analisis deskriptif untuk menggambarkan perkembangan industri penerbangan di Indonesia. Sedangkan data kuantitatif untuk melihat variabel-variabel yang saling berhubungan. Metode pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik estimasi model menggunakan data panel (pooled data).
35
3.3.1 Model Data Panel Data panel (pooled data) atau yang disebut juga data longitudinal merupakan kombinasi antara data time-series dan cross-section. Metode data panel merupakan suatu metode yang dapat digunakan untuk melakukan analisis empirik yang tidak mungkin dilakukan jika hanya menggunakan data time-series maupun data cross-section. Banyak keuntungan yang diperoleh dengan data panel, yang diantaranya seperi yang dikemukakan (Gujarati, 2003): 1. mampu mengontrol heterogenitas individu. 2. banyak memperoleh informasi yang lebih bervariasi, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan degree of freedom dan lebih efisien. 3. lebih banyak untuk studi dynamics of adjustment. 4. mampu lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengatur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section murni atau time series murni. 5. dapat menguji dan mengembangkan model perilaku yang lebih kompleks. Terdapat tiga metode pada teknik estimasi model menggunakan data panel, yaitu pooled Ordinary Least Square (OLS), fixed effect dan random effect. Dari ketiga metode tersebut akan dipilih model yang terbaik menggunakan uji-F, uji LM dan uji Hausman. a) Metode Pooled OLS Metode Pooled OLS merupakan suatu metode pengkombinasian sederhana antara data time-series dan data cross-section dan selanjutnya dilakukan estimasi
36
model yang mendasar menggunakan kuadrat terkecil sederhana (OLS). Metode Pooled OLS dapat dispesifikasikan kedalam model berikut: Ŷit = α + β X it Dimana i menunjukkan urutan individu yang diobservasi pada data cross-section, sedangkan t menunjukkan periode pada data time-series. Namun, pada metode ini asumsi yang digunakan menjadi terbatas karena model tersebut mengasumsikan bahwa intersep dan koefisien dari setiap variabel sama untuk setiap individu yang diobservasi. Hal ini menyebabkan variabel-variabel yang diabaikan akan membawa perubahan pada intersep time-series dan cross-section. b) Metode Fixed Effect Masalah yang timbul pada penggunaan metode pooled OLS yaitu adanya asumsi bahwa intersep dan koefisien dari setiap variabel sama pada setiap individu yang diobservasi. Untuk memperhitungkan individualitas dari setiap unit cross-section daripada dilakukan dengan cara menjadikan intersep berbeda pada tiap unit individu. Pada metode fixed effect ditambahkan variabel dummy untuk mengubah intersep, tetapi koefisien-koefisien lainnya tetap sama untuk setiap individu yang diobservasi. Metode ini dapat dispesifikasikan kedalam model berikut: Ŷit = α + βi X it + γ2 W3t + ... + γN WNT + δ2 Zi2 + δ3 Zi3 + ... + δT Zit + ε it Dimana Wit = 1 untuk individu ke-i, i = 2,....,N 0 untuk lainnya Zit = 1 untuk individu ke-t, t = 2,....,T 0 untuk lainnya
37
Variabel dummy (N-1) + (T-1) ditambahkan kedalam model dan penambahan tersebut menghasilkan kolinearitas yang sempurna diantara variabelvariabel penjelas. Koefisien dari variabel dummy akan mengukur perubahan intersep cross-section dan time-series. Terdapat beberapa masalah yang berhubungan dengan penggunaan metode fixed effect. Yang pertama yaitu bahwa pengguanaan variabel dummy yang tidak dapat mengidentifikasikan secara langsung penyebab perubahan garis regresi pada periode dan individu. Yang kedua yaitu teknik variabel dummy akan mengurangi jumlah derajat bebas (Pyndick, 1998). c) Metode Random Effect Penggunaan variabel dummy pada metode fixed effect
masih
menghasilkan kekurangan pada informasi mengenai model. Oleh karena itu, kekurangan informasi tersebut dapat digambarkan melalui komponen galat (disturbance atau error term). Pada metode random effect dimasukkan komponen galat (error term) ke dalam model untuk menjelaskan variabel prediktor (explanatory variable) yang tidak masuk kedalam model, komponen non linearitas hubungan variabel bebas dan variabel tidak bebas, kesalahan ukur saat observasi dilakukan serta kejadian yang sifatnya acak. Metode random effect dapat dispesifikasikan kedalam model berikut: Ŷit = α + β X it + ε it ε it = ui + vt + w it dimana ui ~ N ( 0, σ μ ) = komponen galat cross-section 2
38
vt ~ N ( 0, σ υ ) = komponen galat time-series 2
wt ~ N ( 0, σ w ) = komponen galat time-series dan cross-section 2
i menunjukkan urutan individu yang diobservasi pada data cross-section, sedangkan t menunjukkan periode pada data time-series. Formulasi dari metode random effect diperoleh dari model fixed effect dengan mengasumsikan bahwa efek rata-rata dari variabel-variabel time-series dan cross-section yang acak termasuk dalam intersep dan deviasi acak rata-rata tersebut sama dengan komponen galat, ui dan vt. Pada metode random effect diasumsikan bahwa komponen galat individual tidak berkorelasi satu sama lain dan tidak ada autokorelasi antara setiap unit cross-section dan time-series (Pyndick, 1998).
3.3.2 Uji Kesesuaian Model Untuk menguji kesesuaian atau kebaikan model dari ketiga metode pada teknik estimasi model dengan data panel digunakan uji-F, uji LM dan uji Hausman. Uji-F digunakan untuk menguji kesesuaian model antara model yang diperoleh dari metode pooled OLS dengan model yang diperoleh dari metode fixed effect. Selanjutnya dilakukan uji Hausman terhadap model terbaik yang diperoleh dari hasil Fixed effect dengan model yang diperoleh dari metode random effect. Dan uji LM Test untuk menguji metode random effect dengan pooled least square. a) Uji-F (Chow Test) Untuk menentukan model yang lebih baik antara model yang dihasilkan dari metode pooled OLS dengan model yang dihasilkan dari metode fixed effect
39
dapat digunakan uji-F. Pengujian ini meliputi perbandingan jumlah kuadrat galat (error sum of square) dari metode pooled OLS dan fixed effect. Karena ada lebih banyak pembatasan parameter pada metode pooled OLS dibandingkan pada metode fixed effect, diharapkan jumlah kuadrat galat dari metode pooled OLS lebih tinggi. Apabila peningkatan jumlah kuadrat galat tidak signifikan ketika ditambahkan pembatasan parameter maka dapat disimpulkan bahwa model yang dihasilkan dari metode pooled OLS layak dan dapat digunakan. Namun, apabila jumlah kuadrat galat banyak berubah dengan adanya penambahan pembatasan parameter maka dapat dipilih dari metode fixed effect. Uji-F dapat dirumuskan sebagai berikut: ( RRSS − URSS )
CHOW =
URSS
( N − 1)
( NT − N − K )
Dimana: RRSS = Restricted Residual Sum Square (merupakan Sum of Square Residual yang diperoleh dari estimasi data panel dengan metode Pooled Least Square/ Common Intercept). URSS = Unrectricted Residual Sum Square (merupakan Sum of Square Residual yang diperoleh dari estimasi data panel dengan metode fixed effect). N
= Jumlah data cross section.
T
= Jumlah data time series.
K
= Jumlah variabel penjelas.
40
Pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut: H 0 = α1 = α 2 = α 3 = ... = α i
H 1 = terdapat satu atau lebih intersep yang berbeda pada setiap unit cross section statistik F yang mengikuti sebaran F dengan N+T-2 dan NT-N-T derajat bebas. b) Uji Hausman Spesifikasi uji galat Hausman dapat digunakan unuk menguji adanya beberapa kejadian pada waktu yang bersamaan (simultaneity). Adanya beberapa kejadian dalam waktu yang bersamaan (simultaneity) menyebabkan metode OLS tidak dapat digunakan . Dengan demikian, pada teknik estimasi menggunakan data panel, uji Hausman digunakan untuk membandingkan metode fixed effect dengan metode random effect. H 0 pada uji Hausman yaitu asumsi bahwa estimasi dengan metode fixed effect dan random effect tidak berbeda. Statistik uji yang dikembangkan Hausman memiliki sebaran X 2 secara asimtot dengan derajat bebas sebesar K (Hsiao, 1986). Apabila H ditolak maka dapat disimpulkan bahwa metode fixed effect lebih sesuai daripada metode random effect. c) Uji LM (The Breusch – Pagan LM Test) Digunakan sebagai pertimbangan statistik dalam memilih metode random effect versus pooled least square.
H0 : PLS H1 : Random Effect, maka dasar penolakan terhadap H0 dengan menggunkana statistik LM yang mengikuti distribusi dari Chi Square.
41
3.4 Evaluasi Model
Sebagai upaya untuk menghasilkan model yang efisien, fleksibel dan konsisten, maka perlu dilakukan pendeteksian terhadap pelanggaran atau gangguan asumsi model, yaitu gangguan antar waktu (time-related disturbance), gangguan antar individu (cross sectional disturbance) dan gangguan akibat keduanya. Pengestimasian terhadap model tersebut hasilnya diharapkan memperoleh konstanta intersep yang berbeda-beda untuk masing-masing bandara di masing-masing tahun. a. Multikolinearitas Indikasi multikolinearitas tercermin dengan melihat hasil t dan F statistik hasil regresi. Jika banyak koefisien paramater dari t statistik diduga tidak signifikan sementara hasil dari F hitungnya signifikan, maka patut diduga adanya multikolinearitas. Multikolinearitas dapat diatasi dengan memberi perlakuan cross section weight, sehingga baik t statistik maupun F hitung menjadi signifikan.
b. Autokorelasi Autkorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Untuk mendeteksi adanya korelasi serial dalah dengan meliht nilai Durbin Watson (DW) dalam Eviews. Untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan DW-statistiknya dengan DW tabel. Adapun kerangka identifikasi autokorelasi terangkum dalam Tabel 1.
42
Tabel 1 Kerangka Identifikasi Autokorelasi Hasil
Nilai DW
4-dl < DW < 4
Tolak H0, Korelasi serial negatif
4-du < DW < 4-dl
Hasil tidak dapat ditentukan
2 < DW 4-du
Terima H0, tidak ada korelasi serial
du < DW < 2
Terima H0, tidak ada korelasi serial
dl < DW < du
Hasil tidak dapat ditentukan
0 < DW < dl
Tolak H0, korelasi positif
Korelasi serial ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola random error dari hasil regresi. Pada analisis seperti yang dilakukan dalam model, jika ditemukan korelasi serial, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Treatment untuk pelanggaran ini adalah dengan menambahkan AR(1) atau AR(2) dan seterusnya, tergantung dari banyaknya autokorelasi pada model regresi yang kita gunakan. c. Heteroskedastisitas Dalam regresi linier berganda, salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar taksiran parameter dalam model tersebut BLUE adalah Var (ui) = σ2 (konstan), semua
sesatan
yang
mempunyai
variasi
yang
sama.
Pada
umumnya
heteroskedastisitas diperoleh pada data cross section. Jika pada model dijumpai heteroskedastisitas, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Dengan kata lain, jika regresi tetap dilakukan meskipun ada masalah heteroskedastisitas maka hasil regresi akan terjadi “misleading” (Gujarati, 2003).
43
Untuk mendeteksi adanya pelanggaran asumsi heteroskedastisitas, digunakan uji White Heteroskedasticity yang diperoleh dalam program E-Views. Dengan uji White, dibandingkan Obs* R-Squared dengan X (Chi-Squared) tabel, jika nilai Obs* R-Squared lebih kecil daripada X (Chi-Squared) tabel maka tidak ada heteroskedastisitas pada model. Data panel dalam E-Views 4.1 yang menggunakan metode General Least Square (Cross Section Weights), maka untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan membandingkan Sum Square Residual pada Weighted Statistic dengan Sum Square Resid Unweighted Statistics. Jika Sum Square Resid pada Weighted Statistic < Sum Square Resid Unweighted Statistic, maka terjadi heteroskedastisitas. Untuk men –treatment
pelanggaran tersebut, bisa mengestimasi GLS dengan White Heteroskedasticity.
3.5 Batasan Operasional Variabel
1. Fare adalah harga yang harus dibayar oleh penumpang pada harga keseimbangan per rute. Harga yang dimaksud adalah harga rata-rata dari harga penjualan seluruh maskapai penerbangan per rute dalam satu tahun. Satuan nilai fare adalah ribuan rupiah. Fare berasal dari harga penjualan resmi tiap maskapai
penerbangan yang diperoleh dari INACA. 2. Passenger merupakan jumlah total penumpang yang diangkut dari kota asal menuju kota tujuan tertentu setiap bulan oleh seluruh maskapai penerbangan. Jumlah penumpang terdata dalam unit orang dan diperoleh dari Angkasa Pura II sebagai pengelola bandara untuk Kawasan Indonesia Barat.
44
3. Income adalah jumlah pendapatan penduduk kota asal, dipakai Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dari tiap propinsi. Satuan dari PDRB adalah jutaan rupiah dan diperoleh dari BPS. 4. Populasi adalah jumlah penduduk yang berada dari bandara kota asal. Satuan dari populasi adalah dalam ribuan orang dan diperoleh dari BPS. 5. Distance adalah jarak tempuh dari bandara kota asal ke kota tujuan Batam. Satuan dari distance adalah dalam kilometer (km) dan diperoleh dari bandara Angkasa Pura II. 6. Carriers adalah jumlah maskapai penerbangan yang terbang dari bandara kota asal ke kota tujuan Batam dalam satu tahun. Diperoleh dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Departemen Perhubungan. 7. Stop adalah jumlah transit dalam penerbangan tersebut. Diperoleh dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Departemen Perhubungan.
IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI PENERBANGAN INDONESIA
4.1 Sejarah Penerbangan Nasional Perusahaan Penerbangan Komersial yang beroperasi di Indonesia tumbuh dan berkembang dengan sangat pesatnya. Pada awalnya di Negara Republik Indonesia hanya terdapat beberapa Perusahaan Penerbangan seperti: •
Perusahaan Penerbangan PT. Garuda Indonesia Airways (GIA) yang merupakan penerbangan tertua di Indonesia. Perusahaan Penerbangan ini didirikan pada tanggal 26 Januari 1949 dengan nama Indonesia Airways dan kemudian tanggal 31 Maret 1950 diubah namanya menjadi Garuda Indonesia Airways.
•
PT. Merpati Nusantara Airlines (MNA) didirikan pada tanggal 6 September 1962 berdasarkan Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 1962.
•
Kemudian beberapa Perusahaan Penerbangan Berjadwal lainnya seperti PT. Bouraq Indonesia Air, PT. Mandala Air, PT. Dirgantara Air Services (DAS), PT. Sabang Merauke Air (SMAC), PT. Bali Air (untuk penerbangan charter). Dan belakangan ini banyak bermunculan Perusahaan Penerbangan baru
yang menyelenggarakan Penerbangan secara berjadwal seperti PT. Pelita Air Services (PAS) yang semula hanya merupakan Perusahaan Penerbangan yang melayani kepentingan perminyakan, PT. Lion Air, PT. Batavia Air, PT. AW Air, PT. Jatayu Air, PT. StarAir, PT. KAL Star, PT. Top Air, PT. Wing Air, PT. Adam
46
Air, PT. Sriwijaya Air, PT. Indonesian Air, PT. Riau Airlines dan lainnya. Selain itu Perusahaan Penerbangan berjadwal yang pernah ada adalah PT. Sempati Air. Tabel 2 Daftar Perusahaan Angkutan Udara Niaga Berjadwal Posisi Desember 2003 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Nama Airlines PT. Garuda Indonesia PT. Merpati Nusantara PT. Bouraq Indonesia PT. Mandala Airlines PT. Dirgantara Air Services PT. Pelita Air Services PT. Indonesian Airlines Avi Patria PT. Lion Mentari Airlines PT. Bayu Indonesia PT. Air Wagon Internasional PT. Airmark Indonesia PT. Star Air PT. Jatayu Gelang Sejahtera PT. Republik Express (Cargo) PT. Kartika Airlines PT. Metro Batavia PT. Bali Internasioanal Air Services PT. Seulawah NAD Air PT. Riau Airlines PT. Air Paradise Internasioanl PT. Wing Abadi Airlines PT. Btrigana Air Services PT. Deraya PT. Travel Express PT. Sriwijaya Air PT. Asia Avia Megatama PT. Satrio Mataram Airlines PT. Fajar Air PT. Gelatik Air Inter PT. Papua Indonesia Air System PT. Paradise Air Indonesia PT. Golden Air PT. Adam Sky Connection Airlines PT. Efata Papua Airlines
Tahun berdiri/Beroperasi 26 Januari 1949 06 September 1962 01 April 1970 17 April 1969 2003 2000 1999 1999 2000 2000 2000 2000 2000 2001 2001 2002 2002 2002 2002 2002 2002 2003 2003 2003 2003 2001 2000 2002 2003 2003 2003 2003 2003 2003
Keterangan Beroperasi Beroperasi Beroperasi Beroperasi Beroperasi Beroperasi Beroperasi Beroperasi Tidak Beroperasi Tidak Beroperasi Beroperasi Beroperasi Beroperasi Beroperasi Beroperasi Beroperasi Beroperasi Tidak Beroperasi Beroperasi Beroperasi Beroperasi Beroperasi Beroperasi Beroperasi Beroperasi Beroperasi Belum Beroperasi Belum Beroperasi Belum Beroperasi Belum Beroperasi Belum Beroperasi Belum Beroperasi Beroperasi Belum Beroperasi
Sumber : Subdit Data dan Informasi Penerbangan Direktorat Angkutan Udara, Ditjen Hubud. Dephubtel
Pertumbuhan jumlah maskapai yang begitu pesat ini menyebabkan maskapai-maskapai penerbangan bersaing dalam memperebutkan penumpang. Maskapai penerbangan bersaing dengan menerapkan tarif murah. Berbagai
47
fasilitas pelayanan yang menunjang untuk menarik penumpang dilakukan, mulai dari disediakan makanan saat penerbangan hingga memberikan hadiah dengan pengundian jika menggunakan maskapai penerbangan tersebut. Hadiah yang diberikan sebagai cara dalam menarik penumpang ini terlihat dilakukan oleh maskapai penerbangan seperti Lion Air dan Batavia Air. Tata cara pemeberian hadiah ini dilakukan dengan pengundian setiap bulannya. Sedangkan, maskapai penerbangan Adam Air melakukan strategi pemberian hadiah pada saat perjalanan penerbangan berlangsung dengan memberikan pertanyaan kepada penumpang yang ada. Garuda Indonesia yang merupakan maskapai penerbangan nasional pertama di Indonesia juga ikut meramaikan pasar untuk kelas ekonomi dengan mendirikan anak perusahaan Citylink. Walaupun Garuda ikut dalam pasar ini namun perusahaan yang telah berdiri sejak tahun 1949 tetap mengutamakan pelayanan bagi penumpang dengan masih menyediakan pelayanan makanan, fasilitas ruang tunggu (lounge) dan frequent flyer. Pada penerbangan kelas ekonomi ini, maskapai yang berhasil menarik banyak penumpang adalah Lion Air dan Adam Air, dimana tahun 2006 Adam Air memperoleh penghargaan atas keberhasilannya menerapkan konsep Low Cost Carrier (LCC). Walaupun maskapai penerbangan kelas ekonomi ini masih ada yang memberikan fasilitas makanan diatas pesawat tetapi ada juga beberapa maskapai penerbangan yang tidak memberikan fasilitas tersebut, salah satunya adalah Air Asia. Strategi yang dilakukan Air Asia ini maupun beberapa maskapai lain ini bertujuan dalam melakukan efisiensi terhadap biaya penerbangan sehingga pada akhirnya tarif rendah dapat diterapkan.
48
4.2 Kebijakan Angkutan Udara Komersil Landasan hukum dalam penyelenggaraan penerbangan komersial di Indonesia adalah sebagai berikut: a. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Berdasarkan Undang-undang ini, dalam penetapan struktur dan golongan tarif
angkutan
niaga
domestik,
pemerintah
memperhatikan
kepentingan
masyarakat dan kepentingan penyelenggara angkutan udara niaga. Pemerintah menetapkan tarif yang berorientasi kepada kepentingan dan kemampuan masyarakat luas, termasuk tarif untuk angkutan udara perintis. Dengan berpedoman kepada struktur dan golongan tarif tersebut penyelenggara angkutan udara niaga menetapkan tarif yang berorientasi kepada kelangsungan dan pengembangan usaha angkutan udara niaga dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan. b. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara. Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut diatur tarif dan ditentukan sebagai berikut: 1) Tarif angkutan udara niaga berjadwal terdiri atas: •
Tarif penumpang.
•
Tarif kargo.
2) Tarif penumpang terdiri atas: •
Tarif penumpang angkutan niaga berjadwal dalam negeri.
•
Tarif penumpang angkutan udara niaga berjadwal luar negeri.
49
•
Tarif penumpang angkutan udara perintis.
3) Golongan tarif penumpang angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri •
Tarif
pelayanan
ekonomi
yang
berorientasi
pada
kepentingan dan kemampuan masyarakat luas. •
Tarif pelayanan non ekonomi yang berorientasi pada kelangsungan dan pengembangan usaha angkutan udara.
4) Kriteria pelayanan dan besarnya perimbangan kapasitas tempat duduk dalam pesawat udara untuk pelayanan ekonomi dan non ekonomi ditetapkan oleh menteri. 5) Struktur tarif pelayanan ekonomi terdiri atas tarif dasar dan tarif jarak. Untuk non ekonomi terdiri atas tarif pelayanan ekonomi dan tarif pelayanan tambahan yang ditentukan oleh menteri. c. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 8 Tahun 2002 tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi. Berdasarkan keputusan menteri ini tarif penumpang angkutan udara niaga bejadwal dalam negeri ditetapkan bahwa: 1) Besaran tarif dasar atau tarif jarak ditetapkan oleh pemerintah (Menteri Perhubungan). 2) Besaran tarif batas atas ditetapkan oleh pemerintah (Menteri Perhubungan).
50
3) Besar tarif normal ditetapkan oleh perusahaan angkutan udara tetapi tidak boleh melebihi batas atas yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan. Berdasarkan
keputusan
Menteri
Perhubungan
diatas,
mekanisme
penetapan dan formulasi perhitungan tarif adalah sebagai berikut: 1) Tarif penumpang angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi merupakan tarif jarak yang didasarkan pada perkalian tarif dasar, jarak terbang serta dengan memperhatikan faktor daya beli masyarakat. 2) Tarif dasar yang besarnya dinyatakan dalam rupiah per penumpang kilometer ditetapkan oleh Menteri Perhubungan. 3) Tarif jarak yang besarnya untuk tarif per rute penerbangan, per satu kali penerbangan yang merupakan tarif batas atas ditetapkan oleh Menteri Perhubungan. 4) Besaran tarif normal ditetapkan oleh perusahaan angkutan udara, tidak boleh melebihi tarif batas atas yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan. 5) Direktorat Jenderal Perhubungan Udara melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tarif dengan ketentuan apabila perusahaan angkutan udara yang melakukan pelanggaran atas ketentuan tarif dikenakan sanksi administrasi.
51
d. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 4 Tahun 2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi. Tarif penumpang angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri ditetapkan dengan berpedoman pada tarif dasar yang dihitung berdasarkan perkalian kelompok jarak dalam kilometer dengan tarif dasar per penumpang kilometer. Tarif yang ditetapkan dimaksud belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan iuran wajib dana pertanggungan kecelakaan peumpang, sedangkan setiap pungutan yang akan dikaitkan dengan tarif angkutan harus mendapat persetujuan Menteri Perhubungan. e. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 11 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara dan telah diubah dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 81 Tahun 2005, Bab III, Pasal 11 yaitu perizinan angkutan udara dinyatakan bahwa kegiatan angkutan udara terdiri atas angkutan udara berjadwal dan tidak berjadwal. Pasal 12. Kegiatan angkutan udara niaga dapat dilakukan oleh: 1) Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 2) Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) yang berbentuk badan hukum. 3) Koperasi. Pasal 13. Untuk mendapatkan izin usaha angkutan udara yaitu dinyatakan: 1) Memiliki akte pendirian perusahaan. 2) Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). 3) Menyampaikan studi kelayakan. Kemudian setiap beroperasinya perusahaan penerbangan harus dapat menentukan jenis dan jumlah pesawat yang sudah ditetapkan oleh pemerintah adalah:
52
1) Jenis dan tipe serta jumlah pesawat udara yang akan di operasikan per tahun untuk jangka waktu sekurang-kurangnya 5 tahun ke depan. 2) Jumlah pesawat udara yang akan dioperasikan untuk angkutan udara niaga sekurang-kurangnya 2 pesawat udara registrasi Indonesia yang dapat mendukung dalam pengoperasiannya. 3) Sumber dan cara pengadaan pesawat udara serta tahapan pengadaannya untuk jangka waktu sekurang-kurangnya 5 tahun ke depan. 4) Utilitas per hari masing-masing jenis dan tipe pesawat udara yang akan dioperasikan. f. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 36 Tahun 2005 tentang Tarif Referensi untuk Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjdwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi. Keputusan pemerintah dibuat sebagai alat bagi regulator untuk melakukan pengawasan langsung maupun rutin kepada perusahaan penerbangan yang diharapkan muncul persaingan sehat diantara maskapai penerbangan. Tarif referensi untuk menjamin agar mekanisme harga tiket di pasar tidak terdistorsi untuk rute terutama rute padat, seperti: Jakarta – Padang
Rp.
360.000,00
Jakarta – Denpasar
Rp.
380.000,00
Jakarta – Surabaya
Rp.
303.000,00
Jakarta – Pontianak
Rp.
306.000,00
Jakarta – Yogyakarta Rp.
233.000,00
53
Jakarta – Semarang
Rp.
225.000,00
Jakarta – Medan
Rp.
487.000,00
Jakarta – Batam
Rp.
338.000,00
Jakarta – Jayapura
Rp. 1.240.000,00
Perusahaan penerbangan dengan tarif referensi tersebut apabila menjual dibawah tarif referensi, pemerintah akan melakukan audit korektif terhadap aspek keuangan hingga teknis dan jika perusahaan penerbangan terbukti mengurangi biaya salah satu komponen operasi dasar, akan dicabut izin rutenya.
4.3 Perkembangan Deregulasi Angkutan Udara di Indonesia Pada awal kepemimpinan Presiden Soeharto, sistem ekonomi Indonesia termasuk didalamnya sistem ekonomi angkutan udara adalah sistem ekonomi tertutup dan memberikan peluang yang terbatas terhadap para pengusaha. Kondisi ini dikarenakan pemerintah menerapkan dalam pemberian izin penerbangan untuk angkutan udara niaga selama kurun waktu 5 tahun. Sedangkan untuk melayani penerbangan domestik dan internasional diperlukan waktu 16 tahun bagi perusahaan angkutan udara untuk dapat beroperasi. Perusahaan penerbangan yang berperan sangat dominan adalah Garuda dan Merpati, kedua-duanya adalah BUMN. Berdasarkan surat Keputusan Presiden Nomor 67 tahun 1968, Garuda Indonesia ditugaskan untuk meningkatkan penerbangan domestik. Selanjutnya deregulasi juga berlaku bagi Merpati (untuk penerbangan domestik dan perintis), serta perusahaan penerbangan swasta untuk rute domestik tertentu sebagai
54
pelengkap dan penunjang. Disamping rute, pemerintah juga mengatur jenis pesawat, pertarifan serta frekuensi penerbangan. Kebijakan pertarifan yang ditetapkan adalah tarif tunggal yang memberikan kelonggaran terhadap perusahaan angkutan udara untuk menetapkan tarif lebih rendah 15% sampai dengan 20%, kecuali PT. Garuda Indonesia. Regulasi pemerintah mulai longgar pada dekade tahun 1990 sampai dengan tahun 1999 dengan dibolehkannya Sempati Air menggunakan pesawat jet serta membagi rute yang lebih banyak yang kemudian diikuti oleh perusahaan penerbangan lainnya. Penggunaan pesawat jet oleh perusahaan penerbangan swasta berarti mempersempit perbedaan produk jasa yang diberikan oleh perusahaan penerbangan kepada penumpang, yaitu kecepatan dan kenyamanan. Selanjutnya dengan pemberian izin terbang bagi perusahaan penerbangan swasta pada rute-rute yang semula monopoli Garuda menimbulkan terjadinya persaingan yang ketat, dengan segala macam strategi dan kreativitas terus dilakukan oleh setiap perusahaan penerbangan. Perkembangan angkutan udara dalam negeri sangat terpuruk pada periode ini, dimana pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi. Permintaan angkutan udara sangat menurun drastis. Pemerintah berupaya merangsang usaha angkutan udara dan memacu pertumbuhan penumpang. Diantaranya dengan menerbitkan Keputusan Menteri Perhubungan No.127 Tahun 1990. Selanjutnya pada tahun 2001, Menteri Perhubungan menerbitkan Keputusan Menteri No. 11 Tahun 2001 dan tahun 2005 diganti dengan Keputusan Menteri Perhubungan No.81 Tahun 2005 yang merubah secara signifikan kebijakan nasional tentang industri angkutan
55
udara. Dengan keputusan tersebut pemerintah merubah jenjang tahapan pemberian izin yang diterbitkan untuk kegiatan angkutan udara niaga, yang meliputi daerah operasi, rute dan pengaturan kapasitas yang semakin terbuka. Namun demikian, kebijakan tarif tunggal tetap berlaku dengan mekanisme yang baru dimana mekanisme tersebut terbagi ke dalam dua kategori yaitu pesawat jenis jet dan non jet dimana Pemerintah menetapkan tarif dasar dan International Air Carrier Association (INACA) menetapkan tarif jarak. Efek selanjutnya adalah terjadinya perang tarif yang permanen. Walaupun secara resmi beberapa kali perusahaan penerbangan mengajukan kenaikan tarif dan pemerintah menyetujui, namun yang terjadi adalah pemberian diskon tarif yang terus-menerus. Perusahaan penerbangan swasta di Indonesia dari dahulu selalu menawarkan tarif lebih murah dibandingkan perusahaan BUMN Garuda dan Merpati. Beberapa kali tarif angkutan udara dinaikkan, namun persaingan dengan perang tarif yang lebih murah tetap saja terjadi. Perkembangan persaingan tarif terus berlangsung sampai saat ini. Perkembangan perubahan pengaturan perusahaan angkutan udara niaga berjadwal di Indonesia tahun 1999 sampai sekarang kearah sistem ekonomi pasar, namun masih tetap ada pengaturan pemerintah. Mulai tahun 1999 ini, pemerintah menetapkan kebijakan dasar biaya tarif dasar untuk penerbangan berjadwal, sedangkan INACA sebagai wakil dari perusahaan angkutan udara menetapkan tarif jarak. Sedangkan pada tahun 2001, tragedi peristiwa pemboman WTC yang terjadi pada tanggal 9 Nopember 2001 cukup mempengaruhi perkembangan dunia
56
penerbangan serta kondisi di Indonesia. Peristiwa tersebut secara tidak langsung menjadi titik balik perkembangan industri angkutan udara nasional. Pada saat itu banyak pesawat udara yang tidak dioperasikan oleh perusahaan Amerika dan Eropa karena kondisi yang sulit. Melihat kondisi yang ada, pemerintah mulai merelaksasi kebijakan dalam proses pengadaan (import) armada yang dilakukan oleh perusahaan penerbangan nasional Tabel 3 Pengaturan Perusahaan Angkutan Udara Niaga Berjadwal 1928-1990 1990-1999 1999- sekarang Izin Usaha Tertutup Berjenjang Terbuka Relatif dibuka atau Daerah Operasi Diatur ketat Mulai dibuka bebas Rute dan Diatur ketat Mulai dibuka Relatif terbuka Kapasitas Tahun 1999: Single tariff (selain Tarif Domestik Single tariff Pemerintah : Tarif GA lebih rendah (selain GA Dasar 15%-20%) lebih rendah INACA : Tarif 15%-20%) Koridor Single Tarif (Jet dan Non Jet) Tahun 1997: Tahun 2002 : Pemerintah : Tarif dasar dan Tarif Pemerintah : Tarif jarak Dasar INACA : INACA : Tarif Jarak Wewenang dicabut Sumber : Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Departemen Perhubungan RI, Desember 2004
Dari tabel tersebut terlihat terjadinya perubahan pengaturan perusahaan angkutan udara niaga berjadwal dari sistem ekonomi tertutup menuju ekonomi pasar. Yang mencakup izin usaha, rute, kapasitas dan pertarifan.
57
4.4 Perkembangan Tarif Penumpang Angkutan Udara Indonesia Diawal perkembangan industri penerbangan Indonesia, pemerintah memberlakukan tarif tunggal dimana selain Garuda, tarifnya lebih rendah 15%20%. Namun sejak tahun 1996, pemerintah menetapkan tarif dasar angkutan penumpang angkutan udara dalam negeri kelas ekonomi melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 61 tahun 1996 untuk mengantisipasi pasar global. Pemerintah memberikan kemudahan kepada perusahaan angkutan udara nasional, dengan melimpahkan wewenangnya kepada INACA untuk menetapkan tarif jarak (tarif penumpang angkutan udara berjadwal dalam negeri kelas ekonomi) melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 25 tahun 1997, yang mulai diberlakukan ditahun 1999. Sedangkan tarif dasar pemerintah tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 61 Tahun 1995. Namun, pada tahun 2002 terjadi perubahan kebijakan pertarifan yaitu pemerintah hanya menetapkan tarif dasar dan tarif jarak sehingga wewenang asosiasi penerbangan dalam hal ini INACA dicabut. Pada tahun 2002 ini, pemerintah melalui KM No.9/2002 memeberlakukan tarif dasar baru. Tarif dasar ini berbeda dengan yang tertuang dalam KM No. 61/1996 karena sudah tidak ada lagi pembedaan tarif antara pesawat jet dan non jet, seperti yang terlihat dalam Tabel 4 berikut.
58
Tabel 4. Perbedaan Tarif Dasar KM No. 61 Tahun 1996 dan KM No.9 Tahun 2002 Tarif Dasar KM No. 61 Tahun 1996 Tarif Dasar KM No. 9 Tahun 2002 Jarak (Km) < 150 150-225 226-300 301-375 > 275 < 600 601-750 751-900 901-1050 >1050
Tarif non Jet (Rp) 1512 1476 1440 135 -
Tarif Jet (Rp) 1080 1053 1026 999 900
Sumber : Direktorat Jenderal PerhubunganUdara
Jarak (Km)
Tarif (Rp)
< 150 150-225 226-300 301-375 376-450 451-600 601-750 751-900 901-1050 1051-1400 >1400
1450 1365 1295 1230 1170 1100 1050 1000 950 900 800
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Perkembangan Industri Penerbangan Indonesia 5.1.1 Perkembangan Perusahaan Penerbangan Niaga Berjadwal Dalam Negeri Jumlah perusahaan penerbangan niaga berjadwal pada tahun 2001 sebanyak 14 perusahaan, tahun 2002 bertambah menjadi 16 perusahaan, tahun 2003 menjadi 24 perusahaan dan tahun 2004 menjadi 27 perusahaan. Namun, tahun 2005 jumlah perusahaan berkurang menjadi 18 perusahaan dan tahun 2006 bertambah menjadi 19 perusahaan penerbangan.
5.1.2 Perkembangan Rute Penerbangan Pada tahun 1997 jumlah rute penerbangan dalam negeri komersial adalah 201 penggal rute (city pair) yang menghubungkan 102 kota di Indonesia. Akibat krisis ekonomi, salah satu langkah perusahaan angkutan udara mengurangi kapasitas pada rute-rute yang kurang potensial dan menghapus rute yang tidak potensial. Sehingga pada tahun 1998 jumlah rute penerbangan dalam negeri mengalami pengurangan sebanyak 61 penggal rute dan terdapat 12 kota yang tidak dilayani yaitu pada akhir 1998 menjadi 140 rute yang menghubungkan 90 kota. Mengingat pada tahun 1999 belum menunjukkan adanya perkembangan permintaan (demand) pada rute-rute tertentu, maka perusahaan penerbangan pada tahun ini masih mengurangi rute-rute yang kurang atau tidak potensial, hingga akhir tahun 1999 jumlah rute penerbangan dalam negeri menjadi 128 penggal rute yang menghubungkan 75 kota. Tahun 2000 mulai ada penambahan jumlah rute
60
penerbangan menjadi 131 penggal rute yang menghubungkan 78 kota, kemudian tahun 2001 jumlah rute juga bertambah menjadi 134 penggal rute yang menghubungkan 77 kota. Tahun 2002 jumlah rute tidak mengalami perubahan dan tahun 2003 terdapat 156 penggal rute yang menghubungkan 83 kota. Sedangkan untuk tahun 2004 mengalami peningkatan menjadi 163 rute penerbangan yang menghubungkan 89 kota dan tahun 2005 menjadi 167 penggal rute yang menghubungkan 92 kota di Indonesia.
5.1.3 Perkembangan Armada Pesawat Udara Pada akhir tahun 1997 jumlah pesawat perusahaan angkutan udara berjadwal terdaftar sebanyak 217 unit dan siap beroperasi sebanyak 176 unit. Pada akhir tahun 1998 jumlah pesawat udara yang terdaftar sebanyak 162 unit dan siap beroperasi 93 unit, berarti pada tahun 1998 mengalami penurunan sebesar 25.35% untuk pesawat udara terdaftar dan 47.16% untuk untuk pesawat udara yang siap beroperasi. Selanjutnya, pada tahun 1999 terdaftar 145 unit dan siap beroperasi sebanyak 104 unit. Jika dibandingkan dengan tahun 1998 jumlah pesawat udara terdaftar turun 10.50% dan sebaliknya jumlah pesawat udara yang siap operasi naik 11.83%. Pada tahun 2000 jumlah armada yang beroperasi mengalami peningkatan 116 unit dan jumlah terdaftar 160 unit. Tahun 2001 jumlah armada udara operasi sebanyak 135 unit dan jumlah terdaftar sebanyak 185 unit. Untuk tahun 2002 jumlah pesawat udara yang terdaftar sebanyak 192 unit dan yang beroperasi 143 unit, berarti pada tahun 2002 mengalami kenaikan sebesar 35.42% untuk pesawat yang terdaftar dan 59.26% untuk pesawat yang
61
beroperasi. Tahun 2003 yang terdaftar 260 unit dan yang beroperasi 193 unit atau mengalami kenaikan 35.42% untuk pesawat yang terdaftar dan untuk pesawat yang beroperasi mengalami penurunan sebesar 34.96%. Sedangkan untuk tahun 2004 yang terdaftar 300 unit dan yang beroperasi 222 unit. Kondisi tersebut diatas menunjukkan bahwa armada dari tahun 2000 hingga tahun 2004 baik yang terdaftar dan yang beroperasi bertambah, yang diakibatkan oleh adnya perusahaan angkutan udara berjadwal baru yang mulai beroperasi. Pada tahun 2005 ada 315 yang terdaftar dan 213 yang beroperasi. Apabila dibandingkan tahun 2004, jumlah armada yang terdaftar mengalami peningkatan. Tetapi, jumlah armada yang beroperasi mengalami penurunan. Kondisi armada udara untuk selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Perkembangan Armada Udara Angkutan Udara Berjadwal Tahun 1997-2005 Armada Udara % Armada Udara % No. Tahun Terdaftar Pertumbuhan Beroperasi Pertumbuhan 1. 1997 217 176 2. 1998 162 -25.35 93 -47.17 3. 1999 145 -10.50 104 11.83 4. 2000 160 10.35 116 11.54 5. 2001 174 8.75 135 16.38 6. 2002 192 10.35 143 59.26 7. 2003 260 35.42 193 34.96 8. 2004 300 15.38 222 15.02 9. 2005 315 5.00 213 -4.05 Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (September 2006), diolah.
5.1.4 Perkembangan Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Nasional Perkembangan penumpang angkutan udara dari tahun 1988 sampai tahun 1997 mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan pertahun 6.17%. Akibat adanya krisis ekonomi maka jumlah penumpang mengalami penurunan
62
drastis, sebesar -43.14% pada tahun 1998 dan penurunan tersebut terus berlanjut hingga tahun 1999. Pada tahun 2000 hingga tahun 2005 jumlah penumpang terus mengalami peningkatan seperti terlihat pada Tabel 6 berikut. Tabel 6 Perkembangan Penumpang pada Angkutan Udara Domestik Berjadwal Tahun Penumpang (orang) % Pertumbuhan 1988 8.068.554 1989 8.942.540 10.8 1990 8.719.253 -2.49 1991 9.166.637 5.13 1992 9.527.207 3.93 1993 10.102.101 6.03 1994 11.661.102 15.40 1995 12.948.854 11.04 1996 13.831.105 6.81 1997 13.831.526 0.00003 1998 7.863.836 -43.14 1999 6.476.213 -17.64 2000 7.622.570 17.70 2001 9.168.059 20.28 2002 12.333.035 34.52 2003 19.181.294 55.53 2004 23.763.950 23.89 2005 28.992.019 22.00 Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan (September 2006), diolah.
Dengan kembali membaiknya keadaan perekonomian sejak tahun 2000 telah memberikan respon positif terhadap perkembangan industri penerbangan Indonesia. Apabila dibandingkan dengan kondisi krisis moneter tahun 1997-1998 yang mengalami penurunan jumlah penumpang akibat daya beli masyarakat yang turun drastis dan karena faktor sosial, keamanan dan politik yang tidak mendukung. Bahkan pada tahun 1998 salah satu perusahaan penerbangan swasta nasional yang sangat potensial dan inovatif pada masa itu (PT. Sempati Air) telah berhenti beroperasi.
63
Pertumbuhan perusahaan penerbangan berjadwal di Indonesia pasca krisis moneter tahun 1998 telah berkembang begitu pesatnya, hal tersebut terjadi akibat adanya deregulasi penerbangan dan liberalisasi penerbangan yang dilakukan pemerintah. Dari sudut pandang masyarakat pemakai jasa transportasi udara kondisi semacam ini sangat menguntungkan, dimana konsumen dihadapkan pada banyak pilihan. Sementara dari sudut pandang perusahaan penerbangan baik lama maupun baru, dengan semakin banyaknya perusahaan penerbangan yang beroperasi, maka akan memacu dan memotivasi ke arah persaingan yang lebih sehat. Pertumbuhan dan perkembangan perusahaan penerbangan baru pasca krisis moneter berdampak baik, karena hal ini memperlihatkan kegairahan dan optimisme di kalangan swasta untuk ikut menggerakkan roda perekonomian nasional guna mempercepat proses pemulihan perekonomian nasional.
5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tarif 5.2.1 Hasil Estimasi Model Hasil estimasi koefisien-koefisien variabel persamaan regresi akan ditampilkan berdasarkan estimasi pada tiap kategori bandara. Estimasi ini dilakukan dengan program Eviews 4.1 dengan berbagai kelebihan dan kelemahan penggunaan program software tersebut. Model untuk bandara–bandara yang diteliti menggunakan estimasi data panel sebagaimana diuraikan pada metode penelitian ini. Model ini harus memenuhi asumsi klasik untuk estimasi regresi OLS karena menggunakan prosedur pooled ordinary least square (OLS).
64
Hasil estimasi dengan menggunakan model pooled dijelaskan dalam tabel 7 yang merupakan ringkasan dari lampiran 4. Model ini menunjukkan variabel yang sama untuk setiap individu pengamatan. Variabel penjelas yang signifikan secara statistik dengan tingkat α = 5 %
adalah variabel CARRIERS, PASS,
MILES, POP, INC, STOP dan HUB. Tabel 7. Hasil Estimasi dengan Model Pooled Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -199207.1 68332.64 -2.915255 0.0071 CARRIERS? -61406.90 2507.243 -24.49180 0.0000 PASS? 3689.974 328.6298 11.22836 0.0000 MILES? -0.763776 0.075995 -10.05029 0.0000 POP? 1957.256 236.2443 8.284883 0.0000 INC? -1.681566 0.212173 -7.925454 0.0000 STOP? 0.021997 0.004696 4.683863 0.0001 HUB? 0.016280 0.001516 10.73879 0.0000 Weighted Statistics R-squared 0.992084 Mean dependent var 1110084. Adjusted R-squared 0.990031 S.D. dependent var 1052588. S.E. of regression 105093.5 Sum squared resid 2.98E+11 F-statistic 483.3859 Durbin-Watson stat 1.297716 Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.714320 Mean dependent var 411515.3 Adjusted R-squared 0.640255 S.D. dependent var 181172.9 S.E. of regression 108665.3 Sum squared resid 3.19E+11 Durbin-Watson stat 0.994797 Nilai R2 atau koefisien determinasi 0.992084 yang menunjukkan bahwa 99.20% keberagaman (shifting) pertumbuhan tarif pada bandara-bandara tujuan Batam dapat dijelaskan oleh model diatas. Hasil uji ini diperkuat dengan tingginya F-statistik yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95% dan tingkat α = 5 % sebesar 0.000000.
65
Hasil estimasi dengan menggunakan model efek tetap (fixed effect) dijelaskan dalam tabel 8 yang merupakan ringkasan dari lampiran 5. Tabel 8 menunjukkan koefisien yang sama untuk setiap individu, dan intersep yang berbeda untuk setiap individu. Variabel penjelas yang signifikan secara statistik dengan tingkat α=5% adalah CARRIERS dan STOP. Sedangkan variabel PASS, MILES, POP, INC dan HUB tidak signifikan. Tabel 8. Hasil Estimasi dengan Model Fixed Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. CARRIERS? -30132.22 10387.50 -2.900816 0.0085 PASS? 2025.252 1071.478 1.890148 0.0726 MILES? 0.015347 0.220292 0.069664 0.9451 POP? -966.6445 9.05E+17 -1.07E-15 1.0000 INC? -0.379103 5.59E+14 -6.78E-16 1.0000 STOP? -0.188515 0.038218 -4.932617 0.0001 HUB? -0.024710 0.012289 -2.010649 0.0574 Fixed Effects _BANDARA1--C 4000877. _BANDARA2--C 3890190. _BANDARA3--C 2000910. _BANDARA4--C 2025703. _BANDARA5--C 585947.7 _BANDARA6--C 2498645. _BANDARA7--C 2128178. Weighted Statistics R-squared 0.995780 Mean dependent var 1265155. Adjusted R-squared 0.993167 S.D. dependent var 1209451. S.E. of regression 99972.12 Sum squared resid 2.10E+11 F-statistic 381.1693 Durbin-Watson stat 1.460345 Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.757202 Mean dependent var 411515.3 Adjusted R-squared 0.606898 S.D. dependent var 181172.9 S.E. of regression 113591.4 Sum squared resid 2.71E+11 Durbin-Watson stat 0.921453
Hal ini menunjukkan bahwa model estimasi pada tabel 8 tidak memenuhi asumsi klasik OLS atau belum terbebas dari masalah statistik terutama
66
multikolinearitas. Dan setelah dilakukan dengan uji CHOW maka model yang akan digunakan adalah model Pooled. Model Pooled pada tabel 7 harus memenuhi asumsi klasik regresi. Untuk multikolinearitas, model diatas menunjukkan tidak terdapat multikolinearitas dengan memperhatikan hasil probabilitas t statistic regresi. Semua variabel model pada tabel 7 menunjukkan hasil yang signifikan pada taraf nyata 5 %. Untuk mendeteksi heteroskedastisitas (karena menggunakan data cross section), maka perlu estimasi dengan pendekatan atau metode General Least Square (Cross Section Weights) yaitu Sum Square Resid Weighted Statistics < Sum Square Resid Unweighted Statistics (2.98x1011<3.19x1011), dimana GLS (Cross Section Weights) dengan estimasi White Heteroscedasticity tidak memberikan perbedaan pada koefisien regresi, tetapi standar error koefisien memang
menjadi
lebih
rendah.
Ini
sekaligus
menunjukkan
bahwa
heteroskedastisitas sesungguhnya tidak ada pada data awal, ataupun jika ada, tidak signifikan. Dari
tabel
7
dengan
nilai
(1.034<1.297716<1.967) diketahui
Durbin
Watson
sebesar
1.297716
hasilnya tidak dapat ditentukan, artinya
kalaupun terdapat autokorelasi namun hal tersebut dapat diabaikan. Dari uji syarat OLS klasik dapat disimpulkan bahwa model pada tabel 7 adalah model yang terbaik untuk menjelaskan penelitian ini.
67
5.2.2 Interpretasi Model Setelah mengestimasi model pada Tabel 7 maka langkah selanjutnya adalah interpretasi terhadap persamaan regresi dari model diatas. CARRIERS berpengaruh negatif terhadap tarif. Hal ini terjadi karena dengan semakin banyak jumlah maskapai (CARRIERS) maka akan semakin kompetitif rute tersebut sehingga tarif akan menjadi murah. Nilai koefisien CARRIERS sebesar -61406.90 artinya jika jumlah maskapai (CARRIERS) bertambah 1 maskapai penerbangan (perusahaan penerbangan) maka akan terjadi penurunan tarif (fares) sebesar Rp. 61406.90. Terkait dengan teori Contestable Market, bahwa pasar industri penerbangan tidak pernah memiliki banyak jumlah pemain tetapi tetap berada pada tingkat harga yang kompetitif karena pasar industri penerbangan biasanya contestable. Dalam definisi Baumol (1982) dikatakan bahwa Contestable Market adalah pasar dimana terdapat kebebasan masuk dan keluar dari industri karena costless. Walaupun sebenarnya struktur industri penerbangan memiliki struktur cost yang relatif tinggi dan dibutuhkan investasi yang besar untuk masuk dalam industri tersebut namun perusahaan maskapai baru terus bermunculan. Hal ini dimungkinkan oleh kerangka contestable market, dimana CM terjadi jika “entry in absolutly free and exit is absolutly costless” (Baumol,1982). Absolutly free entry karena pemain baru memproduksi barang yang sama dengan pemain lama. Costless exit memungkinkan karena sunk cost tidak ada (relatif kecil). Dalam CM, pengaruh market power menjadi tidak ada atau menjadi sangat kecil dan tidak signifikan. Implikasinya adalah penentuan harga tidak lagi
68
didasarkan pada struktur pasar, dalam hal ini dicerminkan oleh jumlah maskapai penerbangan dalam suatu pasar sehingga berapa pun jumlahnya baik dalam pasar yang terkonsentrasi maupun tidak, tidak akan memiliki pengaruh pada penentuan tarif. Hal ini dimungkinkan oleh karena adanya potensi bagi pesaing baru masuk ke dalam pasar tersebut kapan saja sehingga membuat pemain lama memberlakukan harga yang kompetitif bahkan bila jumlah maskapai penerbangan aktual dalam pasar cukup sedikit. Jika industri penerbangan merupakan CM maka seharusnya jumlah maskapai dan kosentrasi pasar tidak mempengaruhi atau tidak memiliki korelasi apa pun pada tarif. Hal ini disebut perfectly contestable market. Bila jumlah maskapai dan tingkat konsentrasi pasar memiliki korelasi dengan harga tiket yang lebih tinggi maka hal ini merupakan indikasi bahwa pasar menjadi less contestable (tidak lagi perfectly contestable market). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka untuk rute domestik tujuan Batam, jumlah maskapai berpengaruh terhadap pembentukkan harga tarif sehingga pasar industri penerbangan tujuan Batam tidak perfectly contestable. Jadi, teori CM tidak terjadi karena struktur pasarnya yang diwakili oleh jumlah maskapai masih mempengaruhi terbentuknya tarif yang sesuai dalam teori Neoklasik. PASS (jumlah penumpang) berpengaruh positif terhadap tarif. Ini berarti semakin banyak jumlah penumpang atau pengguna jasa, semakin banyak pula permintaan terhadap jasa penerbangan. Besarnya permintaan konsumen terhadap tiket pesawat maka memberi kesempatan bagi maskapai penerbangan untuk
69
menaikkan tarif. Koefisien PASS sebesar 3689.974, artinya jika jumlah penumpang (PASS) bertambah 1 orang maka akan terjadi kenaikan tarif (fares) sebesar Rp. 3689.974. MILES (jarak tempuh) berpengaruh negatif terhadap tarif. Hal ini berarti semakin jauh jarak tempuh maka akan semakin rendah tarif yang dikenakan. Variabel ini tidak sesuai dengan teori, hal ini mengindikasikan bahwa tarif yang ditetapkan oleh maskapai penerbangan juga mempertimbangkan keputusan yang ditetapkan oleh maskapai penerbangan lain dan moda transportasi lain. Pengguna jasa masih mempertimbangkan untuk menggunakan moda transportasi lain untuk jarak tempuh yang pendek. Kondisi ini menyebabkan maskapai-maskapai penerbangan lebih memilih rute dengan jarak tempuh yang jauh sehingga rute ini menjadi kompetitif. Semakin kompetitif suatu rute maka maskapai penerbangan akan semakin bersaing dalam memperebutkan penumpang yaitu dengan cara melakukan strategi harga. Koefisien MILES sebesar -0.763776, artinya jika jarak tempuh (MILES) bertambah 1 km maka akan terjadi penurunan tarif sebesar Rp. 0.763776. POP (jumlah penduduk kota asal) berpengaruh positif terhadap tarif. Hal ini berarti semakin banyak jumlah penduduk suatu propinsi maka akan semakin banyak permintaan terhadap jasa penerbangan. Koefisien POP sebesar 1957.256, artinya jika jumlah penduduk (POP) bertambah 1 orang maka akan terjadi kenaikan tarif sebesar Rp. 1957.256. INC (PDRB per kapita kota asal) berpengaruh negatif terhadap tarif. Hal ini berarti semakin tinggi pendapatan domestik regional bruto per kapita suatu
70
propinsi atau wilayah maka semakin rendah tarif yang ditetapkan. Variabel ini tidak sesuai dengan teori, hal ini mengindikasikan bahwa keputusan tarif yang ditetapkan oleh maskapai penerbangan juga mempertimbangkan kondisi maskapai penerbangan lain. Semakin banyak maskapai penerbangan memilih rute dengan PDRB per kapita suatu kota tinggi menjadi penyebab adanya penurunan tarif karena maskapai penerbangan akan bersaing dalam memperoleh penumpang melalui harga murah. Koefisien INC sebesar -1.681566, artinya jika pendapatan per kapita suatu propinsi (INC) naik Rp. 1 maka akan terjadi penurunan terhadap tarif sebesar Rp. 1.681566. STOP (jumlah transit) berpengaruh positif terhadap tarif. Hal ini disebabkan karena bandara Hangnadim Batam merupakan salah satu bandara Internasional sehingga akan banyak penumpang melalui bandara ini untuk transit yang menyebabkan harga akan naik karena tingginya permintaan akan jasa penerbangan ini. Koefisien STOP sebesar 0.021997, artinya jika jumlah transit (STOP) bertambah 1 orang maka akan terjadi kenaikan tarif sebesar Rp. 0.021997. HUB (karakteristik bandara penghubung) berpengaruh positif terhadap tarif. Hal ini disebabkan karena pada bandara yang merupakan HUB akan banyak maskapai penerbangan yang transit untuk menuju ke kota lain. Koefisien HUB sebesar 0.016280, artinya bahwa tarif dengan adanya karakteristik bandara penghubung meningkat 0.016280 dibandingkan jika tidak ada bandara penghubung. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa adanya karakteristik bandara penghubung direspon secara positif oleh maskapai penerbangan. Berikut akan dilihat perbandingan dengan Model Paul Bauer:
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Perkembangan Industri Penerbangan Indonesia 5.1.1 Perkembangan Perusahaan Penerbangan Niaga Berjadwal Dalam Negeri Jumlah perusahaan penerbangan niaga berjadwal pada tahun 2001 sebanyak 14 perusahaan, tahun 2002 bertambah menjadi 16 perusahaan, tahun 2003 menjadi 24 perusahaan dan tahun 2004 menjadi 27 perusahaan. Namun, tahun 2005 jumlah perusahaan berkurang menjadi 18 perusahaan dan tahun 2006 bertambah menjadi 19 perusahaan penerbangan.
5.1.2 Perkembangan Rute Penerbangan Pada tahun 1997 jumlah rute penerbangan dalam negeri komersial adalah 201 penggal rute (city pair) yang menghubungkan 102 kota di Indonesia. Akibat krisis ekonomi, salah satu langkah perusahaan angkutan udara mengurangi kapasitas pada rute-rute yang kurang potensial dan menghapus rute yang tidak potensial. Sehingga pada tahun 1998 jumlah rute penerbangan dalam negeri mengalami pengurangan sebanyak 61 penggal rute dan terdapat 12 kota yang tidak dilayani yaitu pada akhir 1998 menjadi 140 rute yang menghubungkan 90 kota. Mengingat pada tahun 1999 belum menunjukkan adanya perkembangan permintaan (demand) pada rute-rute tertentu, maka perusahaan penerbangan pada tahun ini masih mengurangi rute-rute yang kurang atau tidak potensial, hingga akhir tahun 1999 jumlah rute penerbangan dalam negeri menjadi 128 penggal rute yang menghubungkan 75 kota. Tahun 2000 mulai ada penambahan jumlah rute
60
penerbangan menjadi 131 penggal rute yang menghubungkan 78 kota, kemudian tahun 2001 jumlah rute juga bertambah menjadi 134 penggal rute yang menghubungkan 77 kota. Tahun 2002 jumlah rute tidak mengalami perubahan dan tahun 2003 terdapat 156 penggal rute yang menghubungkan 83 kota. Sedangkan untuk tahun 2004 mengalami peningkatan menjadi 163 rute penerbangan yang menghubungkan 89 kota dan tahun 2005 menjadi 167 penggal rute yang menghubungkan 92 kota di Indonesia.
5.1.3 Perkembangan Armada Pesawat Udara Pada akhir tahun 1997 jumlah pesawat perusahaan angkutan udara berjadwal terdaftar sebanyak 217 unit dan siap beroperasi sebanyak 176 unit. Pada akhir tahun 1998 jumlah pesawat udara yang terdaftar sebanyak 162 unit dan siap beroperasi 93 unit, berarti pada tahun 1998 mengalami penurunan sebesar 25.35% untuk pesawat udara terdaftar dan 47.16% untuk untuk pesawat udara yang siap beroperasi. Selanjutnya, pada tahun 1999 terdaftar 145 unit dan siap beroperasi sebanyak 104 unit. Jika dibandingkan dengan tahun 1998 jumlah pesawat udara terdaftar turun 10.50% dan sebaliknya jumlah pesawat udara yang siap operasi naik 11.83%. Pada tahun 2000 jumlah armada yang beroperasi mengalami peningkatan 116 unit dan jumlah terdaftar 160 unit. Tahun 2001 jumlah armada udara operasi sebanyak 135 unit dan jumlah terdaftar sebanyak 185 unit. Untuk tahun 2002 jumlah pesawat udara yang terdaftar sebanyak 192 unit dan yang beroperasi 143 unit, berarti pada tahun 2002 mengalami kenaikan sebesar 35.42% untuk pesawat yang terdaftar dan 59.26% untuk pesawat yang
61
beroperasi. Tahun 2003 yang terdaftar 260 unit dan yang beroperasi 193 unit atau mengalami kenaikan 35.42% untuk pesawat yang terdaftar dan untuk pesawat yang beroperasi mengalami penurunan sebesar 34.96%. Sedangkan untuk tahun 2004 yang terdaftar 300 unit dan yang beroperasi 222 unit. Kondisi tersebut diatas menunjukkan bahwa armada dari tahun 2000 hingga tahun 2004 baik yang terdaftar dan yang beroperasi bertambah, yang diakibatkan oleh adnya perusahaan angkutan udara berjadwal baru yang mulai beroperasi. Pada tahun 2005 ada 315 yang terdaftar dan 213 yang beroperasi. Apabila dibandingkan tahun 2004, jumlah armada yang terdaftar mengalami peningkatan. Tetapi, jumlah armada yang beroperasi mengalami penurunan. Kondisi armada udara untuk selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Perkembangan Armada Udara Angkutan Udara Berjadwal Tahun 1997-2005 Armada Udara % Armada Udara % No. Tahun Terdaftar Pertumbuhan Beroperasi Pertumbuhan 1. 1997 217 176 2. 1998 162 -25.35 93 -47.17 3. 1999 145 -10.50 104 11.83 4. 2000 160 10.35 116 11.54 5. 2001 174 8.75 135 16.38 6. 2002 192 10.35 143 59.26 7. 2003 260 35.42 193 34.96 8. 2004 300 15.38 222 15.02 9. 2005 315 5.00 213 -4.05 Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (September 2006), diolah.
5.1.4 Perkembangan Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Nasional Perkembangan penumpang angkutan udara dari tahun 1988 sampai tahun 1997 mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan pertahun 6.17%. Akibat adanya krisis ekonomi maka jumlah penumpang mengalami penurunan
62
drastis, sebesar -43.14% pada tahun 1998 dan penurunan tersebut terus berlanjut hingga tahun 1999. Pada tahun 2000 hingga tahun 2005 jumlah penumpang terus mengalami peningkatan seperti terlihat pada Tabel 6 berikut. Tabel 6 Perkembangan Penumpang pada Angkutan Udara Domestik Berjadwal Tahun Penumpang (orang) % Pertumbuhan 1988 8.068.554 1989 8.942.540 10.8 1990 8.719.253 -2.49 1991 9.166.637 5.13 1992 9.527.207 3.93 1993 10.102.101 6.03 1994 11.661.102 15.40 1995 12.948.854 11.04 1996 13.831.105 6.81 1997 13.831.526 0.00003 1998 7.863.836 -43.14 1999 6.476.213 -17.64 2000 7.622.570 17.70 2001 9.168.059 20.28 2002 12.333.035 34.52 2003 19.181.294 55.53 2004 23.763.950 23.89 2005 28.992.019 22.00 Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan (September 2006), diolah.
Dengan kembali membaiknya keadaan perekonomian sejak tahun 2000 telah memberikan respon positif terhadap perkembangan industri penerbangan Indonesia. Apabila dibandingkan dengan kondisi krisis moneter tahun 1997-1998 yang mengalami penurunan jumlah penumpang akibat daya beli masyarakat yang turun drastis dan karena faktor sosial, keamanan dan politik yang tidak mendukung. Bahkan pada tahun 1998 salah satu perusahaan penerbangan swasta nasional yang sangat potensial dan inovatif pada masa itu (PT. Sempati Air) telah berhenti beroperasi.
63
Pertumbuhan perusahaan penerbangan berjadwal di Indonesia pasca krisis moneter tahun 1998 telah berkembang begitu pesatnya, hal tersebut terjadi akibat adanya deregulasi penerbangan dan liberalisasi penerbangan yang dilakukan pemerintah. Dari sudut pandang masyarakat pemakai jasa transportasi udara kondisi semacam ini sangat menguntungkan, dimana konsumen dihadapkan pada banyak pilihan. Sementara dari sudut pandang perusahaan penerbangan baik lama maupun baru, dengan semakin banyaknya perusahaan penerbangan yang beroperasi, maka akan memacu dan memotivasi ke arah persaingan yang lebih sehat. Pertumbuhan dan perkembangan perusahaan penerbangan baru pasca krisis moneter berdampak baik, karena hal ini memperlihatkan kegairahan dan optimisme di kalangan swasta untuk ikut menggerakkan roda perekonomian nasional guna mempercepat proses pemulihan perekonomian nasional.
5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tarif 5.2.1 Hasil Estimasi Model Hasil estimasi koefisien-koefisien variabel persamaan regresi akan ditampilkan berdasarkan estimasi pada tiap kategori bandara. Estimasi ini dilakukan dengan program Eviews 4.1 dengan berbagai kelebihan dan kelemahan penggunaan program software tersebut. Model untuk bandara–bandara yang diteliti menggunakan estimasi data panel sebagaimana diuraikan pada metode penelitian ini. Model ini harus memenuhi asumsi klasik untuk estimasi regresi OLS karena menggunakan prosedur pooled ordinary least square (OLS).
64
Hasil estimasi dengan menggunakan model pooled dijelaskan dalam tabel 7 yang merupakan ringkasan dari lampiran 4. Model ini menunjukkan variabel yang sama untuk setiap individu pengamatan. Variabel penjelas yang signifikan secara statistik dengan tingkat Į = 5 %
adalah variabel CARRIERS, PASS,
MILES, POP, INC, STOP dan HUB. Tabel 7. Hasil Estimasi dengan Model Pooled Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -199207.1 68332.64 -2.915255 0.0071 CARRIERS? -61406.90 2507.243 -24.49180 0.0000 PASS? 3689.974 328.6298 11.22836 0.0000 MILES? -0.763776 0.075995 -10.05029 0.0000 POP? 1957.256 236.2443 8.284883 0.0000 INC? -1.681566 0.212173 -7.925454 0.0000 STOP? 0.021997 0.004696 4.683863 0.0001 HUB? 0.016280 0.001516 10.73879 0.0000 Weighted Statistics R-squared 0.992084 Mean dependent var 1110084. Adjusted R-squared 0.990031 S.D. dependent var 1052588. S.E. of regression 105093.5 Sum squared resid 2.98E+11 F-statistic 483.3859 Durbin-Watson stat 1.297716 Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.714320 Mean dependent var 411515.3 Adjusted R-squared 0.640255 S.D. dependent var 181172.9 S.E. of regression 108665.3 Sum squared resid 3.19E+11 Durbin-Watson stat 0.994797 Nilai R2 atau koefisien determinasi 0.992084 yang menunjukkan bahwa 99.20% keberagaman (shifting) pertumbuhan tarif pada bandara-bandara tujuan Batam dapat dijelaskan oleh model diatas. Hasil uji ini diperkuat dengan tingginya F-statistik yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95% dan tingkat Į = 5 % sebesar 0.000000.
65
Hasil estimasi dengan menggunakan model efek tetap (fixed effect) dijelaskan dalam tabel 8 yang merupakan ringkasan dari lampiran 5. Tabel 8 menunjukkan koefisien yang sama untuk setiap individu, dan intersep yang berbeda untuk setiap individu. Variabel penjelas yang signifikan secara statistik dengan tingkat D=5% adalah CARRIERS dan STOP. Sedangkan variabel PASS, MILES, POP, INC dan HUB tidak signifikan. Tabel 8. Hasil Estimasi dengan Model Fixed Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. CARRIERS? -30132.22 10387.50 -2.900816 0.0085 PASS? 2025.252 1071.478 1.890148 0.0726 MILES? 0.015347 0.220292 0.069664 0.9451 POP? -966.6445 9.05E+17 -1.07E-15 1.0000 INC? -0.379103 5.59E+14 -6.78E-16 1.0000 STOP? -0.188515 0.038218 -4.932617 0.0001 HUB? -0.024710 0.012289 -2.010649 0.0574 Fixed Effects _BANDARA1--C 4000877. _BANDARA2--C 3890190. _BANDARA3--C 2000910. _BANDARA4--C 2025703. _BANDARA5--C 585947.7 _BANDARA6--C 2498645. _BANDARA7--C 2128178. Weighted Statistics R-squared 0.995780 Mean dependent var 1265155. Adjusted R-squared 0.993167 S.D. dependent var 1209451. S.E. of regression 99972.12 Sum squared resid 2.10E+11 F-statistic 381.1693 Durbin-Watson stat 1.460345 Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.757202 Mean dependent var 411515.3 Adjusted R-squared 0.606898 S.D. dependent var 181172.9 S.E. of regression 113591.4 Sum squared resid 2.71E+11 Durbin-Watson stat 0.921453
Hal ini menunjukkan bahwa model estimasi pada tabel 8 tidak memenuhi asumsi klasik OLS atau belum terbebas dari masalah statistik terutama
66
multikolinearitas. Dan setelah dilakukan dengan uji CHOW maka model yang akan digunakan adalah model Pooled. Model Pooled pada tabel 7 harus memenuhi asumsi klasik regresi. Untuk multikolinearitas, model diatas menunjukkan tidak terdapat multikolinearitas dengan memperhatikan hasil probabilitas t statistic regresi. Semua variabel model pada tabel 7 menunjukkan hasil yang signifikan pada taraf nyata 5 %. Untuk mendeteksi heteroskedastisitas (karena menggunakan data cross section), maka perlu estimasi dengan pendekatan atau metode General Least Square (Cross Section Weights) yaitu Sum Square Resid Weighted Statistics < Sum Square Resid Unweighted Statistics (2.98x1011<3.19x1011), dimana GLS (Cross Section Weights) dengan estimasi White Heteroscedasticity tidak memberikan perbedaan pada koefisien regresi, tetapi standar error koefisien memang
menjadi
lebih
rendah.
Ini
sekaligus
menunjukkan
bahwa
heteroskedastisitas sesungguhnya tidak ada pada data awal, ataupun jika ada, tidak signifikan. Dari
tabel
7
dengan
nilai
(1.034<1.297716<1.967) diketahui
Durbin
Watson
sebesar
1.297716
hasilnya tidak dapat ditentukan, artinya
kalaupun terdapat autokorelasi namun hal tersebut dapat diabaikan. Dari uji syarat OLS klasik dapat disimpulkan bahwa model pada tabel 7 adalah model yang terbaik untuk menjelaskan penelitian ini.
67
5.2.2 Interpretasi Model Setelah mengestimasi model pada Tabel 7 maka langkah selanjutnya adalah interpretasi terhadap persamaan regresi dari model diatas. CARRIERS berpengaruh negatif terhadap tarif. Hal ini terjadi karena dengan semakin banyak jumlah maskapai (CARRIERS) maka akan semakin kompetitif rute tersebut sehingga tarif akan menjadi murah. Nilai koefisien CARRIERS sebesar -61406.90 artinya jika jumlah maskapai (CARRIERS) bertambah 1 maskapai penerbangan (perusahaan penerbangan) maka akan terjadi penurunan tarif (fares) sebesar Rp. 61406.90. Terkait dengan teori Contestable Market, bahwa pasar industri penerbangan tidak pernah memiliki banyak jumlah pemain tetapi tetap berada pada tingkat harga yang kompetitif karena pasar industri penerbangan biasanya contestable. Dalam definisi Baumol (1982) dikatakan bahwa Contestable Market adalah pasar dimana terdapat kebebasan masuk dan keluar dari industri karena costless. Walaupun sebenarnya struktur industri penerbangan memiliki struktur cost yang relatif tinggi dan dibutuhkan investasi yang besar untuk masuk dalam industri tersebut namun perusahaan maskapai baru terus bermunculan. Hal ini dimungkinkan oleh kerangka contestable market, dimana CM terjadi jika “entry in absolutly free and exit is absolutly costless” (Baumol,1982). Absolutly free entry karena pemain baru memproduksi barang yang sama dengan pemain lama. Costless exit memungkinkan karena sunk cost tidak ada (relatif kecil). Dalam CM, pengaruh market power menjadi tidak ada atau menjadi sangat kecil dan tidak signifikan. Implikasinya adalah penentuan harga tidak lagi
68
didasarkan pada struktur pasar, dalam hal ini dicerminkan oleh jumlah maskapai penerbangan dalam suatu pasar sehingga berapa pun jumlahnya baik dalam pasar yang terkonsentrasi maupun tidak, tidak akan memiliki pengaruh pada penentuan tarif. Hal ini dimungkinkan oleh karena adanya potensi bagi pesaing baru masuk ke dalam pasar tersebut kapan saja sehingga membuat pemain lama memberlakukan harga yang kompetitif bahkan bila jumlah maskapai penerbangan aktual dalam pasar cukup sedikit. Jika industri penerbangan merupakan CM maka seharusnya jumlah maskapai dan kosentrasi pasar tidak mempengaruhi atau tidak memiliki korelasi apa pun pada tarif. Hal ini disebut perfectly contestable market. Bila jumlah maskapai dan tingkat konsentrasi pasar memiliki korelasi dengan harga tiket yang lebih tinggi maka hal ini merupakan indikasi bahwa pasar menjadi less contestable (tidak lagi perfectly contestable market). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka untuk rute domestik tujuan Batam, jumlah maskapai berpengaruh terhadap pembentukkan harga tarif sehingga pasar industri penerbangan tujuan Batam tidak perfectly contestable. Jadi, teori CM tidak terjadi karena struktur pasarnya yang diwakili oleh jumlah maskapai masih mempengaruhi terbentuknya tarif yang sesuai dalam teori Neoklasik. PASS (jumlah penumpang) berpengaruh positif terhadap tarif. Ini berarti semakin banyak jumlah penumpang atau pengguna jasa, semakin banyak pula permintaan terhadap jasa penerbangan. Besarnya permintaan konsumen terhadap tiket pesawat maka memberi kesempatan bagi maskapai penerbangan untuk
69
menaikkan tarif. Koefisien PASS sebesar 3689.974, artinya jika jumlah penumpang (PASS) bertambah 1 orang maka akan terjadi kenaikan tarif (fares) sebesar Rp. 3689.974. MILES (jarak tempuh) berpengaruh negatif terhadap tarif. Hal ini berarti semakin jauh jarak tempuh maka akan semakin rendah tarif yang dikenakan. Variabel ini tidak sesuai dengan teori, hal ini mengindikasikan bahwa tarif yang ditetapkan oleh maskapai penerbangan juga mempertimbangkan keputusan yang ditetapkan oleh maskapai penerbangan lain dan moda transportasi lain. Pengguna jasa masih mempertimbangkan untuk menggunakan moda transportasi lain untuk jarak tempuh yang pendek. Kondisi ini menyebabkan maskapai-maskapai penerbangan lebih memilih rute dengan jarak tempuh yang jauh sehingga rute ini menjadi kompetitif. Semakin kompetitif suatu rute maka maskapai penerbangan akan semakin bersaing dalam memperebutkan penumpang yaitu dengan cara melakukan strategi harga. Koefisien MILES sebesar -0.763776, artinya jika jarak tempuh (MILES) bertambah 1 km maka akan terjadi penurunan tarif sebesar Rp. 0.763776. POP (jumlah penduduk kota asal) berpengaruh positif terhadap tarif. Hal ini berarti semakin banyak jumlah penduduk suatu propinsi maka akan semakin banyak permintaan terhadap jasa penerbangan. Koefisien POP sebesar 1957.256, artinya jika jumlah penduduk (POP) bertambah 1 orang maka akan terjadi kenaikan tarif sebesar Rp. 1957.256. INC (PDRB per kapita kota asal) berpengaruh negatif terhadap tarif. Hal ini berarti semakin tinggi pendapatan domestik regional bruto per kapita suatu
70
propinsi atau wilayah maka semakin rendah tarif yang ditetapkan. Variabel ini tidak sesuai dengan teori, hal ini mengindikasikan bahwa keputusan tarif yang ditetapkan oleh maskapai penerbangan juga mempertimbangkan kondisi maskapai penerbangan lain. Semakin banyak maskapai penerbangan memilih rute dengan PDRB per kapita suatu kota tinggi menjadi penyebab adanya penurunan tarif karena maskapai penerbangan akan bersaing dalam memperoleh penumpang melalui harga murah. Koefisien INC sebesar -1.681566, artinya jika pendapatan per kapita suatu propinsi (INC) naik Rp. 1 maka akan terjadi penurunan terhadap tarif sebesar Rp. 1.681566. STOP (jumlah transit) berpengaruh positif terhadap tarif. Hal ini disebabkan karena bandara Hangnadim Batam merupakan salah satu bandara Internasional sehingga akan banyak penumpang melalui bandara ini untuk transit yang menyebabkan harga akan naik karena tingginya permintaan akan jasa penerbangan ini. Koefisien STOP sebesar 0.021997, artinya jika jumlah transit (STOP) bertambah 1 orang maka akan terjadi kenaikan tarif sebesar Rp. 0.021997. HUB (karakteristik bandara penghubung) berpengaruh positif terhadap tarif. Hal ini disebabkan karena pada bandara yang merupakan HUB akan banyak maskapai penerbangan yang transit untuk menuju ke kota lain. Koefisien HUB sebesar 0.016280, artinya bahwa tarif dengan adanya karakteristik bandara penghubung meningkat 0.016280 dibandingkan jika tidak ada bandara penghubung. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa adanya karakteristik bandara penghubung direspon secara positif oleh maskapai penerbangan. Berikut akan dilihat perbandingan dengan Model Paul Bauer:
Tabel 9. Perbandingan Penelitian Bauer dengan Penelitian Wulandari: Variabel First Class Karakteristik Penebangan: CARRIERS Negatif dan tidak signifikan. Hubungan antara Carriers dan tarif negatif tetapi penambahan jumlah maskapai tidak mempengaruhi tarif. Positif dan tidak CARRIERS2 signifikan. Semakin banyak jumlah maskapai dikuadratkan maka akan semakin tinggi tarif tetapi tidak mempengaruhi terbentuknya tarif. Positif dan tidak SLOT signifikan. Jika bandara kota asal memiliki peraturan Slot maka semakin tinggi tarif tetapi tidak berpengaruh terhadap pembentukkan tarif.
Paul Bauer Coach Class
Discount Fares
Tika Wulandari Economy Class
Negatif dan signifikan. Penambahan jumlah maskapai akan menurunkan tarif dan mempengaruhi terbentuknya tarif.
Negatif dan signifikan. Penambahan jumlah maskapai akan menurunkan tarif dan mempengaruhi terbentuknya tarif.
Negatif dan signifikan. Semakin banyak jumlah maskapai maka semakin rendah tarif dan Carriers ini mempengaruhi terbentuknya tarif.
Positif dan signifikan. Semakin banyak jumlah maskapai dikuadratkan maka akan semakin tinggi tarif dan Carriers2 ini berpengaruh terhadap pembentukkan tarif. Negatif dan tidak signifikan. Jika bandara kota asal memiliki peraturan Slot maka semakin rendah tarif tetapi tidak mempengaruhi terbentuknya tarif.
Positif dan signifikan. Semakin banyak jumlah maskapai dikuadratkan maka akan semakin tinggi tarif dan Carriers2 ini berpengaruh terhadap pembentukkan tarif. Positif dan signifikan. Jika bandara kota asal memiliki peraturan Slot maka semakin tinggi tarif dan mempengaruhi terbentuknya tarif.
Tidak ada untuk menghindari terjadinya multikoliniaritas antar variabel.
Tidak ada karena kodisi bandara di Indonesia yang tidak memiliki regulasi Slot dan semua penerbangan yang ada merupakan penerbangan yang ada merupakan penerbangan berjadwal. 71
STOP
MEAL
EA
CO
Positif dan tidak signifikan. Semakin banyak jumlah transit maka semakin tinggi tarif tetapi jumlah transit tidak mempengaruhi terbentuknya tarif. Positif dan tidak signifikan. Jika maskapai penerbangan menyediakan makanan maka tarif semakin tinggi tetapi penyediaan makanan tidak mempengaruhi terbentuknya tarif untuk kelas ini. Negatif dan tidak signifikan. Jika penerbangan per rute dilayani oleh EA maka tarif semakin rendah tetapi tidak berpengaruh terhadap tarif. Negatif dan signifikan. Jika penerbangan per
Positif dan signifikan. Semakin banyak jumlah transit maka semakin tinggi tarif dan jumlah transit ini berpengaruh terhadap terbentuknya tarif.
Negatif dan signifikan. Semakin banyak jumlah transit maka semakin rendah tarif dan jumlah transit berpengaruh terhadap terbentuknya tarif.
Positif dan signifikan. Semakin banyak jumlah tarnsit maka semakin tinggi tarif dan berpengaruh terhadap pembentukan tarif.
Positif dan tidak signifikan. Jika maskapai menyediakan makanan maka tarif semakin tinggi dan penyediaan makanan ini mempengaruhi terbentuknya tarif.
Positif dan tidak signifikan. Jika maskapai penerbangan menyediakan makanan maka tarif semakin tinggi tetapi penyediaan ini tidak mempengaruhi terbentuknya tarif.
Tidak ada karena terdapat kesulitan dalam mengkalsifikasikan maskapai penerbangan yang menyediakan makanan berat, makanan ringan, hanya air mineral dan tidak menyediakan makanan atau minuman.
Positif dan tidak signifikan. Jika penerbangan per rute dilayani oleh EA maka tarif semakin tinggi tetapi tidak berpengaruh terhadap tarif. Negatif dan signifikan. Jika penerbangan per
Negatif dan signifikan. Jika penerbangan per rute dilayani oleh EA maka tarif semakin rendah dan mempengaruhi terbentuknya tarif.
Tidak ada karena seluruh penerbangan yang ada di Indonesia merupakan penerbangan nasional.
Negatif dan tidak signifikan. Jika
Tidak ada karena seluruh penerbangan 72
rute dilayani oleh CO maka tarif akan semakin rendah dan mempengaruhi terhadap pembentukkan tarif. Karakteristik Kota Asal: POP
INC
rute dilayani oleh CO maka tarif akan semakin rendah dan mempengaruhi terhadap pembentukkan tarif.
Negatif dan tidak signifikan. Besarnya penduduk kota asal akan menurunkan tarif tetapi jumlah penduduk tidak berpengaruh terhadap pembentukan tarif. Negatif dan tidak Negatif dan tidak signifikan. Semakin signifikan. Semakin tinggi PDRB per Kapita tinggi PDRB per Kapita maka semakin rendah maka semakin rendah tarif tetapi PDRB per tarif tetapi PDRB per kapita ini tidak kapita ini tidak mempengaruhi mempengaruhi tebentuknya tarif. tebentuknya tarif. Negatif dan signifikan. Besarnya jumlah penduduk kota asal akan menurunkan tarif dan mempengaruhi terbentuknya tarif.
yang ada di Indonesia penerbangan per rute dilayani oleh CO maka merupakan penerbangan nasional. tarif akan semakin rendah tetapi tidak mempengaruhi terhadap pembentukkan tarif. Negatif dan tidak signifikan. Besarnya penduduk kota asal akan menurunkan tarif tetapi jumlah penduduk tidak berpengaruh terhadap pembentukan tarif. Negatif dan signifikan. Semakin tinggi PDRB per Kapita maka semakin rendah tarif dan mempengaruhi terbentuknya tarif. Hal ini disebabkan karena dengan tingginya PDRB per Kapita penumpang maka mereka mengharapkan adanya kompensasi dalam memperoleh tarif
Positif dan signifikan. Semakin banyak jumah penumpang maka semakin tinggi tarif dan jumlah penduduk ini mempengaruhi terbentuknya tarif. Negatif dan signifikan. Semakin tinggi PDRB per Kapita kota asal maka semakin rendah tarif dan berpengaruh terhadap pembentukkan tarif.
73
CORP
PASS
MILES
MILES2
Positif dan signifikan. Jika kota asal termasuk kedalam kota bisnis maka semakin tinggi tarif dan mempengaruhi terbentuknya tarif. Negatif dan tidak signifikan. Semakin banyak jumlah penumpang maka semakin rendah tarif tetapi PASS ini tidak mempengaruhi terbentuknya tarif. Positif dan tidak signifikan. Semakin jauh jarak tempuh maka semakin tinggi tarif tetapi tidak mempengaruhi terbentuknya tarif. Negatif dan tidak signifikan. Semakin jauh jarak tempuh dikuadratkan maka
Positif dan signifikan. Jika kota asal termasuk kedalam kota bisnis maka semakin tinggi tarif dan mempengaruhi terbentuknya tarif. Negatif dan tidak signifikan. Semakin banyak jumlah penumpang maka semakin rendah tarif tetapi PASS ini tidak mempengaruhi terbentuknya tarif. Positif dan signifikan. Semakin jauh jarak tempuh maka semakin tinggi tarif dan jarak tempuh ini mempengaruhi terbentuknya tarif. Negatif dan signifikan. Semakin jauh jarak tempuh dikuadratkan maka semakin rendah
yang rendah untuk terbang dengan tiket diskon. Negatif dan signifikan. Jika kota asal termasuk kedalam kota bisnis maka semakin rendah tarif dan mempengaruhi terbentuknya tarif. Positif dan signifikan. Semakin banyak jumlah penumpang maka semakin tinggi tarif dan PASS ini mempengaruhi terbentuknya tarif. Positif dan signifikan. Semakin jauh jarak tempuh maka semakin tinggi tarif dan jarak tempuh ini mempengaruhi terbentuknya tarif Negatif dan signifikan. Semakin jauh jarak tempuh dikuadratkan maka semakin rendah
Tidak ada karena adanya kesulitan dalam membuat Proxy kota asal sebagai kota bisnis dan perdagangan. Positif dan signifikan. Semakin banyak jumlah penumpang maka semakin tinggi tarif dan Pass ini mempengaruhi terbentuknya tarif.
Negatif dan signifikan. Semakin jauh jarak tempuh maka semakin rendah tarif dan jarak tempuh ini mepengaruhi
Tidak ada untuk menghindari terjadinya multikoliniaritas antar variabel. 74
HUB
semakin rendah tarif tetapi MILES2 ini tidak berpengaruh terhadap pembentukkan tarif. Positif dan tidak signifikan. Jika bandara tergolong sebagai bandara penghubung maka semakin tinggi tarif tetapi kategori bandara penghubung ini tidak berpengaruh terhadap tarif.
tarif dan MILES2 ini berpengaruh terhadap pembentukkan tarif.
tarif dan MILES2 ini berpengaruh terhadap pembentukkan tarif.
Positif dan tidak signifikan. Jika bandara tergolong sebagai bandara penghubung maka semakin tinggi tarif tetapi kategori bandara penghubung ini tidak berpengaruh terhadap tarif.
Negatif dan tidak signifikan. Jika bandara tergolong sebagai bandara penghubung maka semakin rendah tarif tetapi kategori bandara penghubung ini tidak berpengaruh terhadap tarif.
Positif dan signifikan. Jika bandara tergolong sebagai bandara penghubung maka semakin tinggi tarif dan berpengaruh terhadap pembentukkan tarif.
75
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Perkembangan Industri penerbangan di Indonesia tiap tahunnya selalu mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan jumlah maskapai dari tahun 1996-2006 yang terus mengalami peningkatan dari hanya 6 perusahaan hingga tahun 2006 berjumlah 19 perusahaan. Kemudian perkembangan rute penerbangan selama periode 1997-2005 cukup berfluktuatif akibat adanya krisis moneter pada tahun 1998-1999, namun tetap cenderung mengalami peningkatan, dimana hingga tahn 2005 terdapat 167 penggal rute yang menghubungkan 92 kota di Indonesia. Perkembangan armada pesawat udara dari tahun 1997-2005 mengalami peningkatan dengan 315 armada yang terdaftar dan 213 yang beroperasi. Selanjutnya, untuk perkembangan jumlah penumpang dari tahun 19882005 cukup berfluktuatif, dimana tahun 1998-1999 mengalami penurunan yang drastis akibat adanya krisis moneter. Namun setelah krisis moneter, pertumbuhan jumlah penumpang berkembang pesat, dimana hingga tahun 2005 mencapai 22.992.019 orang. 2. Variabel yang memiliki pengaruh secara signifikan terhadap tarif tujuan Batam adalah CARRIERS, PASS, MILES, POP, INC, STOP dan HUB. Adanya variabel yang tidak sesuai dengan hipotesis untuk MILES dan INC mengindikasikan bahwa tarif yang ditetapkan oleh maskapai penerbangan
79
juga mempertimbangkan keputusan yang ditetapkan oleh maskapai penerbangan lain dan moda transportasi lain. 3. Variabel dummy HUB (karakteristik bandara penghubung) yang berpengaruh terhadap tarif menunjukkan bahwa dengan adanya bandara yang merupakan HUB akan banyak maskapai penerbangan yang transit untuk menuju ke kota lain.
6.2 Saran Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai Industri Penerbangan domestik terutama untuk penerbangan kelas ekonomi, maka penulis menyarankan: 1. Untuk penelitian selanjutnya dengan menambah variabel-variabel seperti: a). load factor untuk melihat pengaruh hunian tempat duduk, b). market share karena variabel ini berpengaruh terhadap struktur pasar yang ada, c). karakteristik kota asal sebagai kota bisnis karena menjadi dengan adanya karakteristik ini akan menjadi pertimbangan bagi maskapai penerbangan yang ada untuk menempuh rute itu, d). Pelayanan berupa penyediaan makanan karena akan menjadi daya tarik bagi penumpang dalammemilih maskapai penerbangan yang menyediakan pelayanan ini. 2. Dengan semakin banyaknya jumlah maskapai sehingga menimbulkan persaingan dalam harga maka sebaiknya pemerintah harus melakukan pengawasan melalui Komisi Pengawas Persaingan Usaha agar tidak terjadi persaingan yang tidak sehat antar maskapai.
80
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Thomas J. 1958. Our Competitive System and Public Policy.South Western Publishing Company, Cincinnati. Alistair, Armytha. 2004. Analisis Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja pada Industri Tepung Terigu di Indonesia Pasca Penghapusan Monopoli BULOG [Skripsi]. Fakultas Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Pusat Statistik. 2001-2005. Produk Kabupaten/Kota Indonesia. BPS, Jakarta.
Domestik
Regional
Bruto
Basri, Faisal. 2002. Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia. Erlangga, Jakarta. Bauer, Paul W. dan Thomas J. Zlatoper. 1989. “The Determinants of Direct Air Fares To Cleveland: How Competitive”. Economic Review-Federal Reserve Bank of Cleveland, First Quarter: 225-248. Baumol, William. J., John C. Panzaar, dan Robert D. Willig. 1982. Contestable Markets and Theory of Industry Structure. Mc. Graw-Hill, New York. Budi, N.A.A. Titie. 2005. Analisis Kebijakan Industri Penerbangan Domestik Berjadwal di Indonesia [Tesis]. Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Universitas Indonesia, Depok. Gujarati, Damodar N. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. Mc Graw-Hill, New York. Hasibuan, Nurimansyah. 1994. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli dan Regulasi. LP3ES, Jakarta. Hsiao, Cheng. 1986. Analysis of Panel Data. Cambridge. University Press, Cambridge. Jaya, W. H. 2001. Ekonomi Industri. BPFE, Yogyakarta. Lipsey, G.R. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Jilid 1. Binarupa Aksara, Jakarta. Morrison, Steven dan Clifford Winston. 1990. ”The Dynamics of Airline Pricing dan Competition”. American Economic Review. 80(2): 389-393. Pusapasari, Citra. 2006. Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Mi Instan di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
81
Pyndick, Robert S. dan Daniel L. Rubinfeld. 1998. Econometric Models and Economic Forecast. Fourth Edition. Mc Graw-Hill, Singapore. Putri, Ismalianti. 2004. Analisis Struktur Kinerja dan Perilaku Industri Kretek di Indonesia [skripsi]. Fakultas Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rahman, M.Fathur. 2 April 2005. ”Tiga Perubahan Besar Bisnis Angkutan Udara Di Indonesia”. Transpor, Volume 23:25. Shepherd, W.G. 1979. The Economics of Industrial Organization. Prentice Hall, New Jersey. Siswanto, Arie. 2002. Hukum Persaingan Usaha. Ghalia Indonesia, Jakarta. Sjahrir. 1995. Formasi Mikro-Makro Ekonomi Indonesia. Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta.
Lampiran 1. DATA TOTAL
2001 2002 2003 2004 2005
FARES_1 520000 433000 417036 395000 360000
CARRIERS_1 7 8 8 9 12
PASS_1 155965 230946 333614 471457 547303
MILES_1 854.51 854.51 854.51 854.51 854.51
POP_1 8396500 8382000 8640000 8750000 8700000
INC_1 28323213.64 29710115.28 30322082.60 31648557.42 33739004.79
STOP_1 16922 33001 28937 37315 39275
HUB_1 1 1 1 1 1
2001 2002 2003 2004 2005
FARES_2 689000 650000 575000 559000 486000
CARRIERS_2 1 1 4 2 3
PASS_2 12494 15982 20943 85758 71341
MILES_2 663.51 663.51 663.51 663.51 663.51
POP_2 11722397 11942000 11923000 12123000 12453000
INC_2 6348055.80 6500298.14 6912636.88 7113343.54 7257639.61
STOP_2 16922 33001 28937 37315 39275
HUB_2 0 0 0 0 0
2001 2002 2003 2004 2005
FARES_3 525000 470000 438000 399000 378000
CARRIERS_3 1 1 2 2 1
PASS_3 10973 13527 17958 30424 34265
MILES_3 474.11 474.11 474.11 474.11 474.11
POP_3 4243510 4298000 4476000 4535000 4402000
INC_3 5683414.35 5876781.66 5929062.44 6180142.83 6733780.64
STOP_3 16922 33001 28937 37315 39275
HUB_3 0 0 0 0 0
2001 2002 2003
FARES_4 469000 430000 379000
CARRIERS_4 2 3 4
PASS_4 49636 59407 70305
MILES_4 306.24 306.24 306.24
POP_4 3841070 4125295 4413432
INC_4 18069392.21 17249481.27 16479851.40
STOP_4 16922 33001 28937
HUB_4 0 0 0 83
2004 2005
328000 310000
4 5
117103 112941
306.24 306.24
4491393 4614532
16601028.83 16989203.32
37315 39275
0 0
2001 2002 2003 2004 2005
FARES_5 179000 155000 99000 0 0
CARRIERS_5 1 1 1 0 0
PASS_5 789 882 274 0 0
MILES_5 51.12 51.12 51.12 51.12 51.12
POP_5 516087 531754 581787 596997 615434
INC_5 15221022.58 13491952.38 12349165.24 12302693.83 12385051.62
STOP_5 16922 33001 28937 37315 39275
HUB_5 0 0 0 0 0
2001 2002 2003 2004 2005
FARES_6 575000 520000 489000 435000 388000
CARRIERS_6 2 2 2 2 2
PASS_6 18567 24606 19555 32549 33877
MILES_6 452.15 452.15 452.15 452.15 452.15
POP_6 6932637 7226000 6522000 6628000 6756000
INC_6 6068973.32 6043909.63 6991368.3 7196151.79 7407230.75
STOP_6 16922 33001 28937 37315 39275
HUB_6 0 0 0 0 0
2001 2002 2003 2004 2005
FARES_7 669000 628000 545000 469000 42000
CARRIERS_7 1 1 2 2 2
PASS_7 12694 12446 20315 24688 24660
MILES_7 605.47 605.47 605.47 605.47 605.47
POP_7 3788862 4198000 3969000 4033000 4394000
INC_7 4861446.67 4614895.9 5081418.83 5224170.5 5023010.06
STOP_7 16922 33001 28937 37315 39275
HUB_7 0 0 0 0 0
84
85
Lampiran 2. Hasil Estimasi Model Bauer Dependent Variable: FARES? Method: Pooled Least Square Date: 05/24/07 Time: 11:19 Sample: 2001 2005 Included observations: 5 Number of cross-sections used: 7 Total panel (balanced) observations: 35 Variable Coefficient Std. Error C CARRIERS? CARRIERS2? PASS? MILES? MILES2? POP? INC? STOP? HUB? R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
194034.7 -30073.30 1394.975 -0.003493 1522.990 -1.199863 0.015845 0.006876 -8.483084 -124132.4 0.819583 0.754633 89743.18 12.61865 0.000000
166407.5 30984.76 2851.655 0.536333 430.4027 0.520680 0.008342 0.008739 2.276332 231867.2
t-Statistic
Prob.
1.166022 -0.970583 0.489181 -0.006512 3.538523 -2.304414 1.899362 0.786738 -3.726647 -0.535360
0.2546 0.3411 0.6290 0.9949 0.0016 0.0298 0.0691 0.4388 0.0010 0.5971
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
411515.3 181172.9 2.01E+11 1.652031
86
Lampiran 3. Hasil Estimasi dengan Model Pooled Dependent Variable: FARES? Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 06/21/07 Time: 16:50 Sample: 2001 2005 Included observations: 5 Number of cross-sections used: 7 Total panel (balanced) observations: 35 One-step weighting matrix Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C CARRIERS? PASS? MILES? POP? INC? STOP? HUB?
-199207.1 -61406.90 3689.974 -0.763776 1957.256 -1.681566 0.021997 0.016280
72104.70 8676.358 1083.343 0.184778 259.4783 0.242156 0.005646 0.002087
-2.762747 -7.077497 3.406099 -4.133470 7.543044 -6.944140 3.895933 7.799191
0.0102 0.0000 0.0021 0.0003 0.0000 0.0000 0.0006 0.0000
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.992084 0.990031 105093.5 483.3859 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
1110084. 1052588. 2.98E+11 1.297716
Unweighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat
0.714320 0.640255 108665.3 0.994797
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid
411515.3 181172.9 3.19E+11
87
Lampiran 4. Hasil Estimasi dengan Model Pooled (White Heteroskedasticity) Dependent Variable: FARES? Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 06/21/07 Time: 16:53 Sample: 2001 2005 Included observations: 5 Number of cross-sections used: 7 Total panel (balanced) observations: 35 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C CARRIERS? PASS? MILES? POP? INC? STOP? HUB?
-199207.1 -61406.90 3689.974 -0.763776 1957.256 -1.681566 0.021997 0.016280
68332.64 2507.243 328.6298 0.075995 236.2443 0.212173 0.004696 0.001516
-2.915255 -24.49180 11.22836 -10.05029 8.284883 -7.925454 4.683863 10.73879
0.0071 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.992084 0.990031 105093.5 483.3859 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
1110084. 1052588. 2.98E+11 1.297716
Unweighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat
0.714320 0.640255 108665.3 0.994797
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid
411515.3 181172.9 3.19E+11
88
Lampiran 5. Hasil Estimasi dengan Model Fixed Dependent Variable: FARES? Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 06/21/07 Time: 16:52 Sample: 2001 2005 Included observations: 5 Number of cross-sections used: 7 Total panel (balanced) observations: 35 One-step weighting matrix Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
CARRIERS? PASS? MILES? POP? INC? STOP? HUB? Fixed Effects _BANDARA1—C _BANDARA2—C _BANDARA3—C _BANDARA4—C _BANDARA5—C _BANDARA6—C _BANDARA7—C
-30132.22 2025.252 0.015347 -966.6445 -0.379103 -0.188515 -0.024710
10387.50 1071.478 0.220292 9.05E+17 5.59E+14 0.038218 0.012289
-2.900816 1.890148 0.069664 -1.07E-15 -6.78E-16 -4.932617 -2.010649
0.0085 0.0726 0.9451 1.0000 1.0000 0.0001 0.0574
4000877. 3890190. 2000910. 2025703. 585947.7 2498645. 2128178. Weighted Statistics
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.995780 0.993167 99972.12 381.1693 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
1265155. 1209451. 2.10E+11 1.460345
Unweighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat
0.757202 0.606898 113591.4 0.921453
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid
411515.3 181172.9 2.71E+11