ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DI LAPORKAN (UNREPORTED FISHERIES) DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA
BAHAR KAIDATI
PEMBIMBING: DR. IR. LUKY ADRIANTO, MSc. DR. IR. ACHMAD FAHRUDIN, MS.
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
2
ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi ikan semakin meningkat. Demand perdagangan ikan cukup tinggi, diperkirakan dunia masih kekurangan stok ikan hingga tahun 2010 sebesar 2 juta ton per tahun dan diperkirakan perdagangan ikan dunia mencapai USD 100 milyar per tahun ( DPP Gapindo 2005). Wilayah Indonesia yang terdiri dari 70 % wilayah laut merupakan suatu kekuatan potensi sebagai supplier produk perikanan yang patut diperhitungkan di kawasan Asia dan dunia, sebagaimana diketahui bahwa pasokan ekspor perikanan Indonesia yang terus meningkat dengan market share yang dicapai dari total pasar dunia kurang lebih 5 % dengan tujuan ekspor ke 90 negara di dunia dan tujuan pasar utama adalah Jepang sebesar 50 %, Amerika Serikat sebesar 17 % dan Uni Eropa sebesar 13 % (DPP Gapindo 2005). Pasar domestik juga cukup kuat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi ikan semakin tinggi. Dengan demikian nampak bahwa prospek pasar perikanan secara global memiliki potensi yang sangat menjanjikan, hal ini memicu usaha untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan terus meningkat, yang didukung dengan teknologi penangkapan yang semakin canggih. Salah satu kemajuan yang nampak dalam bisnis perikanan dalam merespon pasar global adalah modernisasi armada perikanan, pengenalan teknologi yang canggih untuk penangkapan ikan serta pembangunan infrastrukur. Namun demikian, potensi yang besar dengan pasar yang menjanjikan dan kemajuan teknologi terjadi pemanfaatan sumberdaya perikanan yang menghalakan segala cara yang semata-mata untuk mengejar keuntungan sepihak,
3
sehingga menimbulkan berbaga masalah antara lain adalah IUU (Illegal Unreported Unregulation) fishing. Telah terjadi praktek IUU fishing yang melibatkan nelayan dari sejumlah negara asing yang marajalela di hampir seluruh wilayah yang memiliki potensi sumberdaya perikanan yang sangat besar. Permasalahan IUU fishing di perairan Indonesia mencakup pencurian ikan (illegal fishing), perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fishing) dan perikanan yang tidak diatur (unregulated fishing) yang mengakibatkan negara dirugikan hingga jutaan US dolar dan besarnya kerugian akibat dari praktek IUU fishing yang diderita oleh negara Indonesia mencapai USD 2.136 juta, yang terdiri dari (i) penangkapan ikan di ZEE Indonesia dan ekspor yang tidak termonitor oleh kapal asing diperkirakan mencapai 4.000 kapal dengan jumlah kerugian sebesar USD 1.200 juta, (ii) kapal-kapal ilegal yang melanggar daerah penangkapan diperkirakan mencapai 1.275 kapal dengan jumlah kerugian sebesar USD 574 juta, (iii) selisih harga BBM dengan jumlah kerugian USD 240 juta, (iv) selisih iuran DPKK sebesar USD 22 juta dan (v) fee yang harus dibayar sebesar USD 100 juta (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002). Selain itu, Food and Agriculture Organization (FAO) menyatakan bahwa, jumlah ikan yang ditangkap secara ilegal mencapai kurang lebih 1 juta ton setiap tahunnya dengan nilai kerugian mencapai USD 1 sampai dengan 4 miliar. Unreported fisheries merupakan bagian dari IUU fishing yang terjadi karena dilakukan oleh nelayan asing maupun nelayan lokal. Nelayan asing yang beroperasi secara ilegal (illegal fishing) sudah pasti melakukan unreported fisheries karena hasil yang diperoleh dari fishing ground di wilayah ZEEI langsung diekspor ke luar negeri dimana nelayan tersebut berasal atau ke negara lain tanpa dilaporkan (unreported) sebagaimana mestinya, praktek ini mengakibatkan negara mengalami kerugian yang sangat besar karena terjadinya kehilangan nilai ekonomi (economic loss) yang nilainya mencapai jutaan US dolar dan kesalahan data tentang kondisi biologis atau stok sumberdaya perikanan yang sebenarnya serta kerugian secara sosial maupun politik.
4
Unrepoted fisheries juga dilakukan oleh nelayan lokal yang melakukan penangkapan secara legal tetapi tidak dilaporkan (unreported), terdapat kesalahan pelaporan (misreported) dan pelaporan yang tidak sebenarnya (undereported). Hal ini terjadi karena dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang potensial mempengaruhi terjadinya unreported fisheries antara lain adalah kondisi sosial dan struktural yang berkembang dalam suatu wilayah, misalnya : keberadaan nelayan yang jauh dari Pangkalan Pendaratarn Ikan (PPI) atau Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), sehingga sulit bagi mereka untuk melaporkan hasil tangkapannya. Kebanyakan nelayan masih beroperasi secara tradisional dan menggunakan perahu tanpa motor, nelayan langsung menjual hasil tangkapannya kepada masyarakat disekitarnya dan disekitar wilayah nelayan berada terdapat tangkahan (tauke) yang siap membeli hasil tangkapan nelayan untuk di jual kemudian dengan harga yang lebih tinggi dan lain-lain. Provinsi Maluku Utara dengan luas wilayah 145.891,1 km2 dimana 69,08 % merupakan wilayah laut, memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang sangat menunjang pembangunan daerah. Wilayah perairan Maluku Utara berada dalam wilayah pengelolaan Laut Seram dan Laut Maluku dengan jumlah potensi sumberdaya ikan (standing stock) diperkirakan mencapai 1.035.230,00 ton dengan jumlah potensi lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY) yang dapat dimanfaatkan sebesar 828.180,00 ton per tahun terdiri dari, ikan pelagis 621.135,00 ton per tahun dan ikan demersal 207.045,00 ton per tahun (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara, 2005). Kota Ternate merupakan bagian dari provinsi Maluku Utara yang luas wilayahnya didominasi oleh perairan sebesar 97% (5.544,55 km2) dan luas daratan sebesar 4,3 % (250,85 km2). Dengan luas wilayah yang didominasi oleh perairan, Kota Ternate memiliki potensi sumberdaya perikanan yang sangat besar. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Ternate (2006), potensi lestari sumberdaya perikanan di wilayah perairan Kota Ternate mencapai 47.838,25 ton per tahun dari standing stock yang dimiliki sebesar 71.757,38 ton per tahun yang terdiri dari ikan pelagis besar seperti tuna, tongkol, cucut, tenggiri dan pelagis kecil seperti
5
layang dan tembang, serta ikan demersal seperti kakap merah, skuda, ekor kuning serta berbagai jenis ikan kerapu. Sebagai wilayah yang memiliki potensi perikanan yang begitu besar, maka sudah pasti menjadi target praktek IUU fishing, hal ini ditandai dengan ditangkapnya sejumlah kapal dan nelayan asing oleh aparat Angkatan Laut dan laporan nelayan lokal tentang keberadaan nelayan asing yang sering beroperasi di wilayah perairan sekitar Maluku Utara dan khususnya wilayah Kota Ternate yaitu di sekitar Pulau Batangdua dan Pulau Hiri. Selain terjadi illegal fishing oleh nelayan asing yang sangat merugikan negara, juga terjadi unreported fisheries yaitu hasil tangkapan yang tidak dilaporkan oleh nelayan lokal. Secara ekonomi hal ini sangat merugikan pemerintah karena terjadinya economic loss dan kehilangan rente sumberdaya (resource rent) perikanan yang ada serta tidak jelasnya data tentang stok sumberdaya perikanan yang sebenarnya (misscalculation). Terjadinya unreported fisheries oleh nelayan lokal dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor sosial budaya, ekonomi, geografis maupun struktural. Sebagaimana yang terjadi di wilayah Perairan Maluku Utara pada umumnya dan khususnya di Kota Ternate, sebagian hasil tangkapan nelayan tidak di daratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) atau Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) sebagaimana mestinya. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi kerugian secara ekonomi (economic loss) atas pemanfaatan sumberdaya perikanan oleh para nelayan yang beroperasi di sekitar wilayah perairan Kota Ternate. 1.2. Rumusan Masalah Wilayah Kota Ternate yang terdiri dari empat kecamatan dan dua kecamatan pembantu, yaitu Kecamatan Pulau Ternate, Kecamatan Kota Ternate Selatan, Kecamatan Kota Ternate Utara, Kecamatan Pulau Moti, Kecamatan Pembantu Batang dua dan Kecamatan Pembantu Pulau Hiri. Pengaruh dari berbagai kondisi, baik kondisi ekonomi, geografis, sosial budaya, dan kebijakan menyebabkan hasil tangkapan para nelayan tidak bisa didaratkan di PPN atau PPI sebagaimana mestinya sehingga menyebabkan terjadinya unreported fisheries di Kota Ternate.
6
Kebiasaan para nelayan menjual hasil tangkapannya dilakukan langsung kepada masyarakat konsumen di sekitarnya atau kepada tangkahan (tauke). Hal ini mengakibatkan terjadinya unreported fisheries yang merupakan bagian dari IUU Fishing yang telah mengakibatkan terjadinya kerugian ekonomi (economic loss) dan hilangnya rente sumberdaya perikanan yang berpengaruh terhadap pendapatan pemerintah yang di dalam hal ini dianggap sebagai pemilik tunggal (single owner) dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan juga berpengaruh terhadap keadaan data tentang jumlah stok sumberdaya perikanan yang sebenarnya (faktual) khususnya di wilayah perairan Kota Ternate dan wilayah Perairan Maluku Utara pada umumnya, untuk mengetahui hal tersebut, maka dalam penelitian ini dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut : 1) Berapa nilai kerugian ekonomi (economic loss) akibat dari unreported fisheries yang terjadi di Kota Ternate. 2) Berapa peluang ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Kota Ternate atas terjadinya Unreported Fisheries. 3) Berapa rente sumberdaya (resources rent) yang dihasilkan Pemerintah Kota Ternate dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. 4) Apa yang menyebabkan terjadinya unreported fisheries di Kota Ternate dan bagaimana solusinya. 5) Bagaimana pemanfaatan sumberdaya perikanana yang ekonomis dan lestari di Kota Ternate. 6) Bagaimana
keterkaitan
antara
unreported
fisheries
dengan
optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap. 7) Bagaimana keterkaitan antara unreported fisheries dengan rezim pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. 1.3. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
7
1) Mengestimasi berapa besar kerugian ekonomi yang disebabkan oleh unreported fisheries yang terjadi di wilayah Kota Ternate. 2) Mengestimasi berapa besar peluang ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Kota Ternate atas terjadinya Unreported Fisheries 3) Mengestimasi berapa rente sumberdaya (resources rent) yang dihasilkan Pemerintah Kota Ternate dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di wilayah perairan Kota Ternate. 4) Mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unreported fisheries di Kota Ternate dan bagaimana solusinya. 5) Mengkaji bagaimana pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ekonomis dan lestari di Kota Ternate. 6) Mengkaji bagaimana keterkaitan antara unreported fisheries dengan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap. 7) Mengkaji bagaimana keterkaitan antara unreported fisheries dengan rezim pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan perbaikan kebijakan di bidang pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap, yang mengarah kepada peningkatan kesejahteraan nelayan, peningkatan Pendapatan Asli Daerah, menciptakan lapangan kerja dan pembangunan sektor perikanan yang berkelanjutan (sustainability).
8
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Otonomi daerah telah memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk memanfaatkan berbagai potensi sumberdaya yang ada di daerah seoptimal mungkin untuk kepentingan pembangunan daerah. Sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU. No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 10 ayat 2 mengatur tentang, kewenangan daerah propinsi dalam pengelolaan wilayah laut dalam batasan 12 mil yang diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan atau kearah perairan kepulauan, dan ayat 3 mengatur tentang Pemerintah Kota/Kabupaten berhak mengelola sepertiganya atau 4 mil laut. Sedangkan dalam UU. No. 25 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU. No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah pada pasal 6 ayat 5 mengatur tentang pembagian alokasi pendapatan antara pemerintah pusat dan daerah yang berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya pesisir dan laut. Mengacu pada aturan perundangan tersebut, maka bagi daerah yang memiliki potensi sumberdaya yang besar khususnya sumberdaya kelautan dan pesisir, berkesempatan untuk memanfaatkannya seoptimal mungkin dan diperuntukan untuk pembangunan ekonomi yang tertinggal sebagai akibat kebijakan pembangunan yang sentralistik pada masa pemerintahan orde baru. Masalahnya adalah jika kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi konsekwensinya akan menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi sumberdaya dan lingkungan itu sendiri, baik kondisi ekologi maupun ekonomi yang akan berakibat pada gejolak sosial. Kebijakan kelautan (ocean policy) adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh policy makers dalam mendayagunakan sumberdaya kelautan secara bijaksana untuk kepentingan publik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social well being) (Kusumastanto 2003). Dengan demikian maka kebijakan yang ditempuh
dalam
pemanfaatan
sumberdaya
kelautan
dan
perikanan
harus
dipertimbangkan berbagai aspek antara lain aspek ekologi dan ekonomi, sehingga bisa bermanfaat secara optimal, artinya disatu sisi dapat menyokong pembangunan
9
ekonomi demi tercapai kesejahteaan dan disisi yang lain bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustanaibility). Menurut Adrianto (2005), perikanan sebagai sebuah sistem yang memiliki peran penting dalam penyediaan bahan pangan, kesempatan kerja, rekreasi, perdagangan dan kesejahteraan ekonomi bagi setiap penduduk Indonesia, membutuhkan pengelolaan yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang (sustainable), tidak hanya bagi generasi saat ini namun juga bagi generasi masa depan. Dalam konteks ini pengelolaan yang bertanggungjawab (responsible management) menjadi salah satu kunci jawaban untuk menjawab tantangan pembangunan perikanan berkelanjutan (susstainable fisheries development).
Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya
pesisir merupakan hal yang cukup sulit dan menantang. Pemanfaatan tanpa disertai dengan pengelolaan bukan saja dapat mengabaikan kemunduran kualitas sumberdaya dan lingkungan tetapi juga berdampak dalam hal distribusi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Tanpa pengaturan, sektor pembangunan yang tampaknya kuat dapat menjadi dominan, sebaliknya sektor yang tampaknya lemah akan makin berkurang dan akhirnya hilang (Nikijuluw 1995). Mengingat kawasan pesisir dan lautan yang sedemikian luas dengan multi fungsi dari berbagai kepentingan yang berbeda, hal ini telah menimbulkan dampak terhadap lingkungan kawasan pesisir dan lautan. Dalam rangka pembangunan dan mempertahankan kehidupan, sumberdaya alam perlu dimanfaatkan secara berkualitas. Sumberdaya alam adalah tidak tak terbatas, baik jumlah maupun kualitasnya. Di lain pihak, kebutuhun akan sumberdaya alam semakin meningkat sebagai akibat pertambahan penduduk serta perubahan gaya hidup, sejalan dengan itu pemanfaatan sumberdaya secara tidak terkontrol dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan penurunan mutu lingkungan serta daya dukung lingkungan. Dalam memahami sumberdaya alam, terdapat dua pandangan yang umumnya digunakan.
Pertama adalah pandangan konservatif atau sering disebut juga
pandangan pesimis atau perspektif Malthusian. Dalam pandangan ini resiko akan terkurasnya sumberdaya alam menjadi perhatian utama. Sumberdaya ini dianggap sebagai sumberdaya tidak terpulihkan (exhaustible) dimana memiliki supply yang
10
terbatas sehingga eksploitasi terhadap sumberdaya tersebut akan menghabiskan cadangan sumberdaya. Dengan demikian dalam pandangan ini, sumberdaya alam harus dimanfaatkan secara hati-hati karena adanya faktor ketidakpastian terhadap apa yang akan terjadi untuk generasi mendatang. Pandangan kedua adalah pandangan eksploitatif atau sering disebut sebagai perspektif Ricardian. Dalam pandangan ini dikenal dengan “flow” atau sumberdaya yang dapat diperbaharui dimana sumberdaya diasumsikan memiliki supply yang infinite atau tak terbatas. Dalam pandangan ini sumberdaya ada yang tergantung pada proses biologi untuk regenerasinya dan ada yang tidak. Meskipun demikian, untuk sumberdaya yang bisa melakukan proses regenerasi jika telah melewati batas titik kritis kapasitas maksimum secara diagramatik akan berubah menjadi sumberdaya yang tidak diperbaharui, secara diagramatik klasifikasi sumberdaya alam dapat dilihat pada gambar berikut (Anwar 2002; Fauzi 2000c). Sumberdaya Alam
Stok/Dapat Diperbaharui
Stok/Tidak Dapat Diperbaharui
habis terkonsumsi contoh : minyak, gas, batubara dsb.
dapat didaur ulangkan
memiliki zona kritis
tidak memiliki zona kritis
contoh : sumberdaya metalik
contoh : perikanan, kehutanan, tanah, air dari mata air.
contoh : energi surya, pasut, angin.
SD ini akan menjadi stok jika telah melewati kapasitas regenerasinya
Gambar 2.1. Klasifikasi Sumberdaya Alam ( sumber : Fauzi 2000c ) Sumberdaya perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa. Sebagai salah satu sumberdaya alam
11
yang bersifat dapat diperbaharui (renewable), pengelolaan sumberdaya ini memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati. Mengingat sifat dari sumberdaya perikanan yang dikenal dengan open access yang memberikan anggapan bahwa setiap orang atau individu
merasa memiliki sumberdaya tersebut secara
bersama (common property). Menurut Kula (1992), terdapat banyak kasus yang terjadi pada sumberdaya milik bersama dimana terjadinya deplesi stok lebih disebabkan karena masing-masing individu beranggapan bahwa ”ekstraklah secepat dan sebanyak kamu bisa, jika kamu tidak bisa maka orang lain akan melakukannya”, sehingga konsekuensinya sumberdaya akan mengalami depletion secara cepat. Hal ini didukung juga oleh Anwar (2002), pada keadaan sumberdaya yang bersifat “open access resource” akan terjadi pengurasan sumberdaya yang pada akhirnya akan terjadi kerusakan sumberdaya. Hal ini terjadi karena semua individu baik nelayan maupun
pengusaha
perikanan
laut
akan
merasa
mempunyai
hak
untuk
mengeksploitasi sumberdaya laut dan memperlakukannya sesuka hati dalam rangka masing-masing memaksimumkan bagian (share) keuntungan, tetapi tidak seorangpun mau memelihara kelestariannya.
Oleh karena itu, sifat “open access resource”
tersebut dapat dikatakan tidak ada yang punya atau sama saja dengan tidak ada hak yang jelas atas sumberdaya yang bersangkutan (res comune is res nullius). Menurut Dahuri et al. (2001), dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan yang bersifat milik bersama (common property), keseimbangan jangka panjang dalam usaha perikanan tidak dapat dipertahankan karena adanya peluang untuk meningkatkan keuntungan (excess profit) bagi usaha penangkapan ikan sehingga terjadi ekstensifikasi usaha secara besar-besaran dibarengi masuknya pengusaha baru yang tergiur dengan nilai rent yang cukup besar tersebut. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan harus memperhatikan aspek sustainability agar dapat memberikan manfaat yang sama dimasa yang akan datang yang tidak hanya terfokus pada masalah ekonomi tetapi juga masalah lain seperti teknis, sosial dan budaya. Pada mulanya pengelolaan sumberdaya ini banyak didasarkan pada faktor-faktor biologi semata dengan pendekatan yang disebut Maximum Sustainability Yield (tangkapan yang lestari maksimum) atau disingkat MSY. Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap
12
species memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini di panen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable). Kelemahannya pendekatan MSY tidak mempertimbangkan aspek sosial ekonomi pengelolaan sumberdaya alam (Fauzi 2000b). Lebih jauh menurut Conrad dan Clark (1987), menyatakan bahwa pendekatan MSY meliputi antara lain : (1) tidak stabil, karena perkiraan stok yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok (stock depletion); (2) tidak memperhitungkan imputed value yaitu nilai ekonomi apabila stok ikan tidak dipanen); (3) sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ciri-ciri ragam jenis (multi species). Dengan adanya kelemahan tersebut, maka pendekatan
pengelolaan
sumberdaya
perikanan
untuk
mengetahui
tingkat
pemanfaatan sumberdaya optimal digunakan pendekatan Maximum Economic Yield (MEY). Pendekatan ini akan lebih baik karena selain memberikan keuntungan secara ekonomi juga memberikan keuntungan secara ekologi yang dapat mempertahankan diversitas yang besar. Dalam mengkaji kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan laut dapat dilakukan dengan bioekonomi model statik.
Menurut Gordon di dalam Fauzi
(2000b), model perikanan statik adalah model ekonomi perikanan yang didasarkan pada faktor input yaitu upaya. Dalam mengkaji bagaimana pengelolaan perikanan yang optimal secara ekonomis, bisa dilakukan dengan pendekatan faktor output (yield) yang pertama kali dikembangkan oleh Copes (1972), berdasarkan pada kriteria optimasi kesejahteraan (Welfare optimization) dengan menggunakan analisis surplus konsumen (consumer’s surplus), surplus produsen (producer’s surplus) dan rente sumberdaya (resource rent). Model Copes dengan model Gordon memiliki perbedaan dalam hal penggunaan asumsi harga.
Model Gordon mengasumsikan harga per unit output konstan,
sehingga tidak memungkinkan dilakukan pengukuran terhadap surplus konsumen. Sebaliknya dalam Model Copes harga per unit output mengikuti kurva permintaan yang memiliki kemiringan yang negatif, sehingga memungkinkan dilakukan pengukuran terhadap surplus konsumen. Ketiga aspek yang diperoleh dalam analisis
13
model Copes ini yaitu surplus produsen, surplus konsumen dan rente sumberdaya diharapkan dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan dalam pemanfataan sumberdaya perikanan laut (Fauzi 2004). 2.2. Konsep Penilaian Ekonomi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pengertian nilai atau value khususnya yang menyangkut barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan sangatlah bervariasi, tetapi para ekonom mengkonsentrasi pada nilai moneter yang dinyatakan melalui preference konsumen. Pada dasarnya, nilai hanya terjadi karena adanya interaksi antara subjek dan objek dalam bentuk penjelasan bukan dari kualitasnya (Peace dan Turner 1990). Secara umum nilai ekonomi (economic value) menurut Fauzi (2004), didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa lainnya.
Secara formal konsep ini disebut sebagai keinginan membayar
(willingness to pay) sehingga nilai ekologis dari ekosistem bisa diterjemahkan kedalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter dari barang dan jasa. Prinsip dasar dari nilai ekonomi dapat ditetapkan untuk mengukur tingkat kesejahteraan individu. Tingkat kesejahteraan dipengaruhi oleh perubahan dalam harga dan kualitas barang dan jasa. Jika barang dan jasa yang subtitutif maka tradeoff dapat dicapai dan nilai mencapai keseimbangan (Kula 1997). Sependapat dengan hal tersebut menurut Fauzi (2002), pengukuran nilai ekonomi sumberdaya adalah seberapa besar keinginan kemampuan membayar (purchasing power) masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa atau bisa diukur dari sisi lain yaitu seberapa besar masyarakat harus diberikan kompensasi untuk menerima pengorbanan atas hilangnya barang dan jasa dari sumberdaya dan lingkungan. Salah satu konsep yang dapat digunaka untuk mengukur nilai ekonomi sumberdaya adalah konsep suply-demand. Konsep suply demand merupakan suatu konsep yang memiliki peran sangat penting dalam ilmu ekonomi, karena dapat digunakan untuk menilai fungsi dari suatu ekosistem (nilai sumberdaya), menilai tingkat kesejahteraan dan aktivitas ekonomi lainnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa suatu ekosistem memiliki fungsi sebagai penyuplai berbagai macam produk dan jasa yang memiliki nilai ekonomis, dengan
14
pendekatan Willingness To Pay (WTP) maka barang dan jasa yang disuplai oleh suatu ekosistem dapat dinilai manfaat ekonominya, baik manfaat langsung maupun tidak langsung dan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat, yang didekati dengan market value dan non market value. Agar lebih jelas penggunaan konsep suplydemand dalam penilaian ekonomi sumberdaya dapat dilihat pada gambar berikut. Price
a Suply= Marginal Cost
p
Konsumen surplus
b
Produsen surplus
Demand = Marginal Benefit
Net Rent Cost
c
q
Quantity
Gambar 2.2 Konsep supply-demand konvensional (Constanza et al.1997). Gambar 2.2 menjelaskan tentang konsep suply demand konvensional, yaitu suply = marginal cost dan Demand = marginal benefit yang menunjukkan ciri khas pasar barang dan jasa. Ada beberapa hal yang dapat dibaca dari Gambar 2.2, antara lain adalah area pbqc menunjukkan nilai GNP (gross National Product), area di bawah kurva suply (cbq) menunjukkan biaya produksi,
area pbc menunjukkan
produsen surplus atau net rent dan area pba menunjukkan nilai konsumen surplus atau tingkat kesejahteraan masyarakat sedangkan nilai total sumberdaya ditunjukkan oleh jumlah antara produsen surplus dan konsumen surplus atau area abc. Terkait dengan sumberdaya kelautan tropika, yang pada umumnya memiliki sumberdaya yang bersifat renewable resource (dapat diperbaharui), seperti sumberdaya perikanan. Namun perlu diketahui bahwa kurva suplai dalam kasus sumberdaya perikanan tidak dapat diasumsikan bersifat linear tetapi horizontal atau
15
tegak lurus yang menunjukkan keterbatasan daya dukung lingkungan (Carrying Capasity) terhadap pertumbuhan sumberdaya perikanan, jadi eksploitasi sumberdaya perikanan harus memperhatikan beberapa aspek yang sangat urgen antara lain aspek ekologi, biologi maupun ekonomi demi kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya tersebut. Berkaitan dengan fenomena carrying capacity dan pertumbuhan sumberdaya perikanan maka konsep supply dan demand dalam kerangka fungsi kelautan dan tropika dapat digambarkan sebagai berikut : Price
a
Suply= Marginal Cost
Consumen Surplus
P
b Demand = Marginal Benefit
NetNet rentRent
Quantity
q
0
Gambar 2.3. Konsep supply-demand dalam pendekatan sumberdaya perikanan (Constanza et al. 1997). Kurva
supply
yang
horizontal
menggambarkan
bahwa
pertumbuhan
sumberdaya kelautan tropika dibatasi oleh daya dukung lingkungan yang terbatas, surplus produsen yang ditunjukan dari gambar tersebut meliputi area pbqo sedangkan konsumen surplus meliputi area pba dan nilai total dari sumberdaya adalah jumlah dari produsen surplus dan konsumen surplus yang meliputi area abqo. Dalam konsep valuasi ekonomi yang kovensional, nilai ekonomi diartikan sebagai nilai ekonomi total yang merupakan penjumlahan dari nilai pemanfaatan (use value) dan nilai non pemanfaatan (non-use value). Use value adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan aktual dari barang dan jasa sementara non-use value
16
merupakan nilai yang tidak berhubungan dengan pemanfaatan aktual barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Secara umum memang sulit untuk mengukur dengan pasti kedua konsep tersebut, sehingga valuasi ekonomi dengan menggunakan pendekatan di atas sering menjadi perdebatan menyangkut akurasi dari pengukuran nilai ekonomi sumberdaya alam (Fauzi 2002). Berkaitan dengan uraian di atas, seyogyanya pemanfaatan sumberdaya alam khususnya sumberdaya perikanan laut dengan menggunakan pendekatan biologi dan ekonomi haruslah mempertahankan keberlanjutannya. Menurut Hicks yang dikutip Anwar dan Rustiadi (2000), bahwa pemanfaatan sumberdaya alam yang menghasilkan pendapatan dan kemudian dipergunakan menjadi barang-barang konsumsi masa kini, jangan mengganggu potensi pendapatan (dari sumberdaya modal) generasi mendatang, terutama yang menurunkan kapasitas sumberdaya tersebut perlu dihindari. 2.3. Praktek IUU (Illegal Unreported Unregulated) Fishing Praktek terbesar dalam IUU fishing seperti ditulis oleh Bray (diacu dalam Adrianto 2004) pada dasarnya adalah poaching yaitu penangkapan ikan oleh negara lain tanpa ijin dari negara yang bersangkutan. Praktek pencurian ikan oleh pihak asing menurut Adrianto (2004) dapat digolongkan menjadi dua yaitu: Pertama, pencurian semi-legal, yaitu pencurian ikan yang dilakukan dengan memanfaatkan SIUP legal yang dimiliki pengusaha lokal, namun tetap dikategorikan pencurian karena langsung mengirim hasil tangkapan tanpa melalui proses pendaratan ikan di wilayah Indonesia. Praktek ini sering disebut sebagai praktek “pinjam bendera” (Flag of Convenience). Kedua, adalah pencurian murni ilegal dihasilkan dari proses penangkapan ikan yang juga ilegal di mana kapal asing menggunakan benderanya sendiri untuk menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia. Praktek IUU fishing kini menjadi masalah global karena mengancam eksistensi sumberdaya perikanan serta secara lokal telah mengakibatkan terjadinya gejolak ekonomi, sosial, politik dan hukum pada daerah-daerah yang menjadi sasaran praktek
17
IUU fishing. IUU fishing merupakan suatu masalah yang sangat kompleks dan upaya penanggulangannya pun sangat rumit sehingga kita harus benar-benar mengetahui apa yang menyebabkan terjadinya praktek IUU fishing. Menurut Dahuri (2004), akar permasalahan praktek IUU fishing di Indonesia diantaranya disebabkan oleh sejumlah faktor sebagai berikut : - Penyalahgunaan perizinan merupakan salah satu praktek IUU fishing yang banyak terdapat di wilayah ZEE Indonesia. Pada saat belum dibentuknya Deprtemen Kelautan dan Perikanan (DKP), dari sekitar 7000 kapal perikanan berbendera Indonesia berbobot > 30 GT ternyata masih dimiliki oleh pihak asing (palsu). Hal ini terjadi karena penyalah gunaan kebijakan pemerintah dalam deregulasi perikanan yang antara lain tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian RI nomor 508/Kpts/PL.810/96 tentang pengadaan kapal perikanan dan penghapusan sistem sewa kapal perikanan berbendera asing. - Lemahnya sistem dan mekanisme perizinan perikanan ; Kapal-kapal penangkap ikan, baik kapal ikan Indonesia maupun kapal ikan asing yang beroperasi di ZEE Indonesia mendapatkan izin menangkap dari pusat (Menteri Kelautan dan Perikanan atau Pejabat yang ditunjuknya). Khusus kapal asing terlebih dahulu perlu perjanjian kerja sama dengan perusahaan Indonesia. Kapal-kapal yang beroperasi kebanyakan tidak memiliki izin operasi yang sah, banyak terjadi pelanggaran fishing ground maupun penyalah gunaan izin kapal ikan. Hal ini disebabkan masih lemahnya sistim dan mekanisme perizinan di bidang penangkapan ikan. Penataan penggunaan kapal-kapal asing melalui sistem lisensi, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No KEP.60/MEN/2001 tentang penataan penggunaan kapal perikanan di ZEE Indonesia, ternyata belum dapat mengendalikan kegiatan kapal-kapal asing tersebut. - Lemahnya komitmen dan kemampuan pengawasan (penegakan hukum) di laut; Penegakan hukum bagi pelanggaran perikanan yang terjadi di wilayah ZEE Indonesia ditangani oleh banyak pihak seperti kejaksaan, Dinas PerikananTNI-AL dan pihak-pihak lainnya. Kewenangan untuk pengawasan belum terkoordinasi dengan baik dan cenderung bersifat sesuai dengan kepentingan masing-masing.
18
Aparat yang berwenang menggunakan landasan kerja dengan dasar hukum yang berbeda, dampaknya adalah tidak terintegrasinya aturan dan lemahnya kemampuan pengawasan secara keseluruhan. - Lemahnya peradilan perikanan; sanksi terhadap pelanggaran masih lemah, sehingga pelaku pelanggaran tidak jera dan akan tertarik untuk mengulanginya. - Banyak wilayah perairan laut Indonesia, terutama di wilayah perbatasan dan ZEE Indonesia tidak ada nelayan Indonesia; Secara umum kapasitas armada perikanan Indonesia masih didominasi oleh kapal-kapal kecil yang dimiliki oleh nelayan skala kecil. Dampaknya adalah, fungsi sabuk pengaman oleh nelayan yang diharapkan dapat untuk melengkapi upaya pengawasan dan pengamanan yang dilakukan oleh aparat keamanan diwilayah ZEE Indonesia, tidak dapat dipenuhi. 2.3.1. Kategori IUU fishing Widodo (2003) menyajikan kategori IUU fishing berdasarkan kata kunci di dalam istilah tersebut, yaitu illegal fishing, unreported fishing dan unregulated fishing. Illegal fishing mengacu kepada berbagai kegiatan yang : Pertama, dilakukan oleh kapal-kapal nasional atau asing di dalam perairan di bawah yurisdiksi suatu negara, tanpa ijin dari suatu negara tersebut, atau dalam keadaan melawan hukum dan regulasi negara Kedua, dilakukan oleh kapal-kapal berbendera negara-negara anggota dari suatu organisasi pengelolaan sumberdaya yang diadopsi oleh organisasi tersebut dimana negara-tersebut terikat, atau melawan hukum internasional yang sedang dilaksanakan oleh negara-negara yang bekerja sama dengan suatu organisasi pengelolaan yang relevan. Unreported fishing mengacu kepada kegiatan penangkapan yang: Pertama, tidak dilaporkan, atau dilaporkan secara tidak benar kepada otoritas nasional yang relevan, bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan; atau
19
Kedua, Dilakukan dalam area dibawah kompetensi suatu organisasi pengelolaan perikanan regional yang tidak dilaporkan atau dilaporkan dengan tidak benar, bertentangan dengan prosedur peraturan dari organisasi tersebut. Unregulated fishing mengacu kepada kegiatan penangkapan yang terjadi: Pertama, di area suatu organisasi pengelolaan perikanan regional yang dilakukan oleh kapal tanpa nasionalitas, atau oleh kapal dengan bendera suatu negara bukan anggota dari organisasi tersebut atau oleh suau fishing entity dengan cara yang tidak kensisten dengan atau melawan aturan konservasi dan pengellolaan dari organisasi tersebut, atau Kedua, di area dari berbagai stok ikan yang berkaitan dengan tidak adanya aturan (tindakan) konservasi dan pengelolaan yang diaplikasikan dan dimana aktivitas penangkapan dilakukan dengan cara-cara yang tidak konsisten dengan tanggung jawab negara bagi konservasi atas sumberdaya hayati marine dibawah hukum internasional. 2.3.2. Dampak IUU Fishing Maraknya IUU fishing di perairan Indonesia akan berdampak terhadap keterpurukan ekonomi nasional dan meningkatnya permasalahan sosial. Menurut Adrianto (2004), bagi Indonesia, tekanan internasional terhadap masalah IUU fishing menimbulkan konsekuensi ke dalam dan ke luar sekaligus (double effects), yaitu: Pertama, kosekuensi ke dalam berhubungan dengan fakta bahwa dari kacamata sebagai negara berdaulat, di perairana Indonesia praktek poaching (penangkapan ikan oleh negara lain tanpa ijin dari negara yang bersangkutan) sangat marajalela baik yang nekat menggunakan bendera asing maupun yang menggunakan bendera lokal bekerja sama dengan pelaku lokal. Menurut Cunningham (diacu dalam Adrianto 2004) Dalam konteks ini Indonesia sangat dirugikan karena ada economic rent yang hilang dari sebuah kepemilikan sumberdaya perikanan. Kedua, konsekuensi ke luar lebih terkait dengan praktek unreported dan unregulated fishing dimana sebagai negara berkembang (developing country) dua hal ini merupakan kelemahan utama. Khususnya dalam praktek flag of conveniece dan non
20
member fishing, yaitu penangkapan ikan yang dilakukan di wilayah suatu organisasi perikanan regional tertentu di mana Indonesia bukan menjadi anggota dari organisasi tersebut. Sebagai contoh, Indonesia memiliki areal penangkapan di Lautan Hindia baik dalam tataran teritorial maupun ZEE. Tetapi saat ini Indonesia tidak termasuk anggota IOTC (Indian Ocean Tuna Comission). Sehingga apabila Indonesia menangkap tuna di wilayah Lautan Hindia walaupun masih dalam koridor teritorialnya maka praktek tersebut dapat dikategorikan sebagai flag of conveniece atau non member fishing. Kedua praktek ini mulai dilarang karena dianggap tidak ada kemauan untuk turut mengelola kelestarian sumberdaya perikanan secara bersama. Menurut Suhana (2005), permasalahan IUU fishing dapat dilihat dari beberapa parameter, yaitu: Pertama, kontribusi perikanan tangkap ke PDB (porduk domestik bruto). Dengan adanya aktivitas IUU fishing diperairan Indonesia akan mengurangi kontribusi perikanan laut ZEEI atau laut lepas kepada ekonomi nasional dan mendorong kearah hilangnya rent sumber daya perikanan. Menurut laporan FAO 2001, Indonesia setiap tahunnya kecurian ikan sebanyak 1,5 juta ton atau setara dengan uang sekitar USD 2,3-4 milyar. Kedua, ketenaga kerjaan. IUU fishing akan mengurangi potensi ketenagakerjaan nasional dalam sektor perikanan seperti perusahaan penangkapan ikan, pengolahan ikan dan sektor lainnya yang berhubungan. Misalnya pertengahan Juni 2005, ketua Umum Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (APII) Hendri Sutandinata mendesak kapada pemerintah untuk tidak lagi mengizinkan pembangunan industri pengalengan ikan tuna yang baru di Pulau Jawa, Bali, Sumatera Utara dan Sulawsi Utara. Alasannya, kehadiran industri di keempat daerah tersebut sudah terlalu banyak, sedangkan suplai bahan baku sangat terbatas sehingga tidak sedikit industri pengalengan ikan yang tutup. Menurut catatan APII empat tahun lalu tersebar tujuh industri pengalenganikan tuna di jawa timur. Tetapi, kini empat unit di antaranya tidak berproduksi lagi. Di Sulawesi utara, yang semula memiliki empat industri yang sama, sekarang tinggal dua industri yang beroperasi. Itupun setelah diambil alih investor dari Filipina. Sementara itu, di Bali juga tinggal satu unit, padahal
21
sebelumnya ada dua industri pengalengan ikan tuna (Kompas, 18 juni 2005 diacu dalam Suhana 2005). Kurangnya suplai bahan baku ikan tuna tersebut diduga kuat disebabkan oleh maraknya illegal fishing di Indonesia. Karena kalau kita lihat dari data potensi sumber daya ikan yang ada diwilayah perairan Indonesia khususnya Zona
Ekonomi
Eksklusif
Indonesia
(ZEEI)
sangat
memungkinkan
untuk
berkembangnya industri pengalengan ikan tuna di Indonesia. Misalnya menurut catatan Departeman Kelautan dan Perikanan (2003) potensi sumber daya ikan pelagis besar ekonomis di wilayah samudera Hindia yang dominan adalah Albakora yaitu sebesar 3,9 juta ton per tahun. Setelah itu disusul oleh jenis ikan tuna sirip biru (84.000 ton), Cakalang (21.000 ton), tuna mata besar (13.000 ton) dan madidihan (10.000 ton). Besarnya potensi sumber daya ikan tersebut tersebar diseluruh wilayah Samudera Hindia. Bahkan menurut data FAO dari 1990 sampai 2003 menunjukkan adanya peningkatan produksi ikan pelagis besar jenis tuna diwilayah perairan samudera Hindia, khususnya ZEEI. Produksi ikan pelagis besar di Samudera Hindia setiap tahunnya rata-rata untuk masing-masing jenis adalah 1.408,64 ton (Albacore), 37.769 ton (Skipjak Tuna), 1.077 ton (Southern Bluefin Tuna), 24.613 ton (yellowfin Tuna) dan 17.836 ton (Bigeye Tuna). Ketiga, pendapatan ekspor. Maraknya IUU fishing akan mengurangi peran tempat pendaratan ikan na-sional dan pembayaran uang pandu pelabuhan. Hal ini akan berdampak secara nyata terhadap berkurangnya pendapatan ekspor nasional. Hal ini akan berimplikasi serius terhadap aktivitas pengawasan, dimana jika aktivitas pengawasan tersebut didukung secara keseluruhan atau sebagian oleh pendapatan ekspor (atau pendapatan pelabuhan). Keempat, pendapatan pelabuhan perikanan. IUU fishing akan mengurangi potensi untuk tempat pendaratan ikan nasional (pelabuhan perikanan nasional) dan nilai tambah. Hal ini dikarenakan kapal-kapal penangkapan ikan illegal tersebut umumnya tidak mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan nasional. Kelima, pendapatan dari jasa dan pajak dari operasi yang sah. IUU fishing akan mengurangi sumber daya perikanan yang pada gilirannya akan mengurangi pendapatan dari perusahaan yang memiliki izin penangkapan yangsah.
22
Keenam, multiplier effects. Langsung ataupun tidak dampak multiplier IUU fishing ini memiliki hubungan dengan penangkapan ikan nasional. Karena aktivitas penangkapan ikan nasional akan terhurangi dengan hilangnya potensi akibat aktivitas IUU fishing. Ketujuh, pengeluaran untuk MCS (Monitoring Controlling and Surveillance). Keberdaan IUU fishing akan memaksa anggaran untuk manajemen MCS. Kedelapan, kerusakan ekosistem. Hilangnya niali dari kawasan pantai dan dari area bakau yang boleh jadi dirusakkan oleh IUU fishing. Pengurangan pendapatan untuk masyarakat yang melakukan penangkapan ika diwilayah pantai. Kesembilan, konflik dengan armada nelayan tradisional. Maraknya illegal fishing mengganggu keamanan nelayan Indonesia khususnya nelayan tradisional dalam menangkap ikan diperairan Indonesia khususnya nelayan tradisional yang lagi melakukan penangkapan secara illegal juga mereka tak jarang menembaki nelayannelayan tradisional yang lagi melakukan penangkapan ikan di fishing ground yang sama. Kesepuluh, keamanan makanan. Pegurangan ketersediaan ikan pada pasar lokal akan mengurangi ketersediaan protein dan keamanan makanan nasional. Hal ini akan meningkatkan resiko kekurangan gizi dalam masyarakat. 2.4. Pendekatan Surplus Produsen Surplus produsen adalah suatu pendekatan tradisional untuk menentukan kesejahteraan produsen yang dikembangkan oleh Marshall. Surplus produsen meliputi area di atas kurva suply dan di bawah titik harga (Hanley dan L.Spash 1993). Suatu prusahaan di dalam pasar persaingan sempurna baik pasar input maupun output, Kurva suply untuk semua variabel input adalah sangat elastis, yaitu karena kemampuan perusahan untuk membeli semua variabel input yang dibutuhkan dengan harga yang telah ditetapkan dan biaya tetap diasumsikan semakin menurun pada kondisi short-run. Menurut Adrianto (2006), Surplus produsen terjadi ketika jumlah yang diterima oleh produsen lebih besar dari jumlah yang harus dikeluarkan untuk memproduksi
23
suatu barang atau jasa. Misalnya suatu perusahaan pengalengan ikan yang memproduksi satu kaleng ikan dengan biaya produksi sebesar Rp.3.000.- dan harga jual ikan kaleng tersebut per kaleng adalah Rp.5.000., maka surplus produsen dari contoh tersebut adalah Rp.5.000.-Rp.3.000. = Rp.2.000. Dalam praktek pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap unreported fishing mengakibatkan nilai surplus produsen yang diperoleh produsen dalam hal ini pemerintah sebagai single agent dalam pengelolaan sumberdaya perikanan semakin menurun, jadi pengaruhnya berbanding negatif yaitu jika nilai unreported fishing semakin besar maka surplus produsen yang diperoleh semakin menurun, hal ini dapat digambarkan sebagai berikut. P Sa Ss
CSCS
P0
B0
P1
B1 PS
C0 D C1
Q0 Q1
Q
Gambar 2.4. Perubahan Nilai Surplus Produsen akibat Pengaruh Kurva Suplai Dari gambar tersebut menjelaskan bahwa surplus produsen berdasarkan produksi aktual (Sa) adalah pada titik P0, B0, C0 kemudian setelah diketahui produksi sesungguhnya (Ss) yang diperoleh dari produksi aktual ditambah dengan produksi yang tidak dilaporkan/unreported, maka nilai surplus produsen bergeser pada titik P1, B1, C1 dengan perubahan sebesar P0B0P1B1, sehingga untuk mengoptimalkan rent
24
resource dari sumberdaya perikanan, maka besar perubahan tersebut harus diminimalkan, yaitu dengan meminimalisir praktek unreported fisheries agar nilai produksi aktual sama dengan nilai produksi sesungguhnya. 2.5. Konsep Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan yang Ekonomis dan Lestari Menurut Adrianto (2005), Kesadaran akan pentingnya membangun ekonomi nasional berbasis sumberdaya alam (natural resources based economy) pasca reformasi hingga saat ini perlu dipertahankan dan ditingkatkan akselarasinya mengingat natural resources endowment yang dimiliki bangsa Indonesia masih dapat dikatakan sebagai ”ciri khas” sekaligus menjadi advantage comparative bangsa. Salah satu endowment yang kita miliki adalah sumberdaya perikanan dan kelautan yang pada awal pemerintahan pasca reformasi disebut-sebut sebagai raksasa yang sedang tidur bagi pemulihan ekonomi Indonesia. Sumberdaya perikanan dan kelautan termasuk sumberdaya yang dapat pulih (renewable resource), dan dalam kepemilikannya sumberdaya perikanan dan kelautan di Indonesia memakai rezim kepemilikan yang bersifat common property yaitu kepemilikan bersama, sedangkan dalam pemanfaatannya menganut rezim open acces yaitu dimana dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut tanpa ijin dari siapapun. Akan tetapi dalam pemanfaatan bukanlah open acces secara murni ini terlihat saat nelayan (bukan nelayan kecil) yang akan berusaha paling tidak harus memperoleh ijin (permit) dari pemerintah, baik daerah maupun pusat. Didalam penggunaan kedua kebijakan tersebut masih belum adanya kebijakan lain yang mendukung, sehingga dengan penggunaan kedua kebijakan tersebut tidak mengakibatkan terjadinya eksploitasi secara berlebih, dalam hal ini perlu dipikirkan secara bersama tentang penggunaan sumberdaya yang menunjang sustainability development. Pada saat ini sudah ada gejala terjadinya tangkap lebih (over fishing) seperti yang terjadi di perairan selat malaka, dimana dalam pemanfaatanya mencapai 112,38% dan laut jawa yang terindikasi akan terjadinya over fishing yaitu 88,98 % sehingga di kedua perairan tersebut perlu adanya rehabilitasi sumberdaya dan lingkungan dengan cara pengurangan jumlah produksi hasil tangkapan.
25
Agar tercapainya sustainability development dan sumberdaya tetap terjaga kelestariannya dengan demikian kegiatan eksploitasi yang dilakukan perlu adanya kebijakan lain seperti pengkenaan pajak (tax) yang nantinya sebagai pemasukan negara yang diperuntukkan sebagai rehabilitasi lingkungan dan pembangunan sarana seperti pelabuhan dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dll, sesuai dengan UU. No. 31 2004 pasal 50. Akan tetapi penerapan pajak harus dikaji secara mendalam jangan sampai penerapan dari pada pajak akan mengakibatkan disinsentif sehingga penerapan pajak malah akan menjadikan pengeksploitasian secara berlebihan untuk mendapatkan keuntungan secara maksimal. Penerapan pajak yang tidak sesuai
mengakibatkan penambahan jumlah
tangkapan nelayan sehingga tujuan pajak itu sendiri dalam pengurangan jumlah tangkapan tidak terjadi. Dan untuk daerah yang telah terindikasi atau terjadi over fishing dengan adanya pajak akan dapat mengurangi jumlah hasil tangkapan yang bertujuan agar diperairan tersebut akan terjadi rehabilitasi secara alamiah. Penerapan pajak selain dapat dikenakan pada input produksi juga dapat dilakukan terhadap output produksi. Penerapan pada output dapat dilakukan dengan mengalikan besaran pajak dengan volume hasil tangkapan (Rp/kg). Dalam penerapan pajak pada input sangatlah sulit dalam menentukan tingkat pajak yang diterapkan, hal ini dikarenakan banyaknya komponen input itu sendiri (tenaga kerja, mesin, gross tonage, jumlah trip) dan bila pajak dikenakan terhadap salah satu input hal ini akan menjadi substitusi terhadap komponen input yang lainnya, sehingga para nelayan akan menambah komponen input yang lainnya, pajak seperti ini tidak akan berlaku efektif terhadap pengurangan upaya pada perikanan. Selanjutnya pengaruh pajak input terhadap hasil tangkapan dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Rp
Biaya Penerimaan
26
TC’
TC
A ∏ max B
ET∞
TR
Emsy
E∞
Upaya (Effort)
Gambar 2.5. Pengaruh pajak input terhadap hasil tangkapan Dari kurva diatas dapat diketahui bahwa pajak mengakibatkan biaya total (TC) akan bergeser sebesar TC = (c+T)E sehingga pajak per satuan upaya dapat mengurangi jumlah upaya dari E∞ ke tingkat upaya sebesar ET∞. Dan besarnya pajak yang diterima oleh pemerintah sebesar AB. Sehingga pajak yang dikenakan pada input produksi akan mengakibatkan adanya sebagian pengalihan biaya produksi kepada pajak sehingga hal tersebut mengakibatkan berkurangnya usaha untuk
Rp
Biaya Penerimaan
produksi.
TC A TR
T
B
ET∞
TRT
Emsy
E∞
Upaya (Effort)
Gambar 2.6. Kurva pengaruh pajak per output terhadap hasil tangkapan
27
Dari kurva diatas didapatkan akibat penerapan pajak kepada output, kurva TR akan bergerak turun menjadi TRT. titik pertemuan antara kurva TC dan kurva TRT menghasilkan keseimbangan upaya setelah pajak. Dalam hal ini upaya berkurang dari E∞ menjadi ET∞ dan pemerintah memperoleh penerimaan pajak sebesar jarak AB. Disisi lain dalam pemanfaatan sumberdaya kita juga harus mengetahui titik Maximum Sustainable Yield (MSY) yang pertama kali dikemukakan oleh GordonSchaefer. Menurut Fauzi (2004) ada beberapa asumsi yang akan digunakan untuk mempermudah pemahaman, asumsi-asumsi tersebut antara lain : 1. Harga persatuan output, (Rp/Kg) diasumsikan konstan atau kurva permintaan diasumsikan elastis sempurna. 2. Biaya persatuan upaya ( c ) dianggap konstan. 3. Spesies sumber daya ikan bersifat tunggal (single species). 4. Struktur pasar bersifat kompetitif. 5. Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak memasukkan faktor
Produksi lestari
pascapanen dan lain sebagainya).
h (E) h msy
Emsy
Emax
Upaya (Effort)
Gambar 2.7. Kurva produksi lestari-upaya (yield-effort curve) Dari kurva diatas terlihat bahwa saat aktivitas perikanan (upaya = 0), produksi juga akan nol. Ketika upaya tersebut ditingkatkan pada titik Emsy akan diperoleh produksi yang maksimum. Produksi pada titik tersebut disebut sebagai titik Maximum
28
Sustainable Yield (MSY) dan bila terus dilakukan penambahan aktivitas (upaya) maka produksi akan turun kembali bahkan akan mencapai titik nol (Emax) atau dengan kata lain pada saat penambahan upaya mengakibatkan penurunan jumlah produksi
Rp
Biaya Penerimaan
maka pada saat tersebut kita telah terjadi over fishing.
TC’
TC
B ∏
max
C
E0
TR
Emsy
E∞
Upaya (Effort)
Gambar 2.8. Kurva Model Gordon-schaefer Pada saat tingkat upaya lebih rendah dari E∞ (sebelah kiri dari E∞), penerimaan total akan melebihi biaya total sehingga pelaku perikanan (nelayan) akan lebih banyak tertarik untuk menangkap ikan. Dalam kondisi open acces maka akan mengakibatkan adanya pertambahan pelaku perikanan baru masuk sehingga akan terjadi tingkat upaya yang lebih tinggi dari (disebelah kanan E∞ ) sehingga total biaya lebih besar dari total penerimaan dan hal ini akan mengakibatkan pelaku perikanan keluar. Bila kita lihat maka keuntungan maksimum dan tidak menghilangkan dari pada sumberdaya itu sendiri terjadi pada saat dimana jarak vertikal antara penerimaan dan biaya merupakan jarak terbesar (garis BC).
29
III. KERANGKA PEMIKIRAN Dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia berupaya mengeksploitasi sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Ketergantungan manusia terhadap sumberdaya alam telah terjadi sejak manusia ada di bumi ini. Sumberdaya alam dapat dibagi menjadi sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources) seperti sumberdaya perikanan, hutan dan lain-lain dan sumberdaya yang tidak dapat pulih (non-renewable resource) seperti minyak, mineral dan lain-lain. Sumberdaya dapat pulih (renewable resources) baik terjadi secara alamiah maupun melalui upaya manusia membutuhkan ruang dan waktu untuk melakukan hal tersebut. Artinya kapasitas ruang dan waktu merupakan variabel yang berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan sumberdaya alam yang dapat pulih. Pandangan ekonomi bahwa kebutuhan dan keinginan manusia yang tidak terbatas menyebabkan manusia mengeksploitasi sumberdaya alam tanpa mempertimbangkan dimensi ruang dan waktu sebagai faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhannya, maka kini mulai terjadi krisis kelangkaan (scarcity) berbagai jenis sumberdaya yang nilainya sangat stratgis untuk kebutuhan hidup manusia. Sumberdaya perikanan pun tidak luput dari fenomena diatas, usaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan yang tidak terbatas, sehingga sumberdaya perikanan dieksploitasi dengan berbagai cara untuk mengejar keuntungan oleh pihakpihak yang tidak bertanggungjawab yang menimbulkan sejumlah masalah yang dikenal dengan berbagai istilahnya masing-masing, seperti IUU fishing, destructive fishing, over fishing, depletion,
colaps dan lain-lain. Istilah-istilah tersebut
menggambarkan masalah yang telah terjadi dan ancaman yang dihadapi oleh keberadaan sumberdaya perikanan pada saat sekarang dan pada masa yag akan datang.
30
Unreported fisheries atau perikanan yang “tidak terlaporkan” merupakan bagian dari IUU (Illegal Unreported Unregulated) fishing. Istilah unreported dalam kajian ini dimaknai dengan “tidak terlaporkan” (bukan tidak dilaporan), karena kajian ini dibatasi pada unreported fisheries yang terjadi dari nelayan lokal (kebanyakan nelayan tradisional) yang dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang sangat fenomenal dan terjadi secara sistematis (tidak disengaja), antara lain faktor ekonomi, sosial budaya, geografis dan kebijakan. Konsekuensi dari unreported fisheries adalah dapat menimbulkan masalah dari berbagai bidang antara lain bidang hukum, politik dan bidang ekonomi, yaitu kerugian ekonomi yang dialami oleh pemerintah dan terjadi pendugaan stok yang keliru (misscalculation) dan akan berpengaruh terhadap kualitas kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal. Dewasa ini IUU fishing lebih banyak dibicarakan dalam pendekatan hukum dan politik sedangkan pendekatan ekonomi hanya sekedar wacana dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang sangat kurang. Kajian ini mencoba mendekati kerugian ekonomi yang dialami oleh pemerintah akibat unreported fisheries. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa unreported fisheries adalah hasil tangkapan nelayan yang tidak terlaporkan, hal ini terjadi ketika nelayan terdesak dengan berbagai kondisi yang menghambat pemasaran hasil tangkapan mereka, maka dibo-dibo (tauke/tangkahan) akan menjadi pasar alternatif yang efisien dan efektif bagi para nelayan. Dibo-dibo (tauke) adalah rent seeker yang membeli hasil tangkapan nelayan dengan harga yang lebih murah kemudian menjualnya dengan harga pasar yang lebih mahal. Dapat dipastikan bahwa para taukelah yang menikmati manfaat (benefit) dari hasil sumberdaya perikanan yang lebih besar, jika hasil tangkapan tersebut didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) atau Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), maka disana pemerintah akan mendapatkan retribusi yang menjadi income bagi pemerintah yang dapat digunakan sebagai managament cost dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Selain itu di PPI atau PPN terjadi interaksi ekonomi yang melibatkan masyarakat yang lebih banyak sehingga benefit dari sumberdaya perikanan tidak
31
semata-mata dinikmati oleh para tauke tetapi terdistribusi kepada masyarakat yang lebih luas, inilah yang disebut dengan economic/social benefit dari reported fisheries. Dari permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan evaluasi kebijakan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di Kota Ternate dengan mengacu kepada beberapa indikator yang berhubungan dengan unreported fisheries antara lain : profil dan system yang menyebabkan telah terjadinya unreported fisheries, estimasi tentang besarnya jumlah economic loss yang dialami oleh pemerintah akibat unreported fisheries, menilai perkembangan rente sumberdaya yang
telah dihasilkan oleh pemerintah, mengkaji hubungan antara unreported
fisheries dengan optimalisasi pemanfaatan dan rezim pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap serta mengidentifikasi kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan terjadinya unreported fisheries, kemudian dianalisis untuk menghasilkan suatu solusi yang dapat dijadikan sebagai indikator kebijakan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah Kota Ternate yang dapat menguntungkan semua pihak yaitu para nelayan, masyarakat di sekitarnya dan pemerintah daerah. Selanjutnya kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1. Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap
Sumberdaya perikanan
Pemanfaatan sumberdaya perikanan IUU fishing
- Economic loss - Data tentang stok
- Estimasi economic loss - Resource rent - Faktor-faktor penyebab unreported fisheries - Perikanan yang optimal - Unreported fisheries dan pemanfaatan optimal - Unreported fisheries dan rezim pengelolaan Evaluasi kebijakan
Unreported fisheries
32
Alternatif kebijakan
Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian
IV. METODOLOGI 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara (peta lokasi penelitian terlampir), dimulai pada bulan Januari-Maret 2007. 4.2. Metode Penelitian Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dan observasi. Dalam penelitian survey, informasi dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner dan wawancara. Umumnya, pengertian survey dibatasi pada penelitian yang datanya dikumpulkan dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi. 4.2.1. Alat Pengumpulan Data Alat yang digunakan dalam mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah kuesioner yang telah dirancang sebelumnya. Data-data yang dibutuhkan antara lain adalah jumlah produksi dan nilai produksi perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fisheries), jumlah produksi dan nilai produksi perikanan yang dilaporkan (reported fisheries), faktor-faktor yang yang mempengaruhi terjadinya unreported fisheries, perkembangan harga ikan dan biaya yang dikeluarkan oleh nelayan dalam aktivitas penangkapan ikan. 4.2.2. Jenis dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup data primer dan data sekunder. Pengambilan data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan, pengisian kuesioner oleh responden. Data primer dikumpulkan melalui
33
pengambilan contoh responden nelayan sesuai dengan tujuan penelitian ini. Penentuan responden dilakukan berdasarkan jenis armada dan alat tangkap yang beroperasi di wilayah Kota Ternate. Kerangka pengambilan sampel responden dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut ini.
Tabel 4.1 Kerangka Pengambilan Sampel Responden No
Jenis Armada dan Alat Tangkap
Prosentasi
1
Kapal Motor+Pancing
16
Jumlah Sampel (unit) 5
2
Motor Tempel+Jaring
24
7
25
3
Motor Tempel+Pancing
35
9
26
4
Ketinting+Jaring
83
16
18
114 Ketinting+Pancing Jumlah 272 Sumber : Hasil survey (Januari – Maret 2007)
22 59
17 22
5
Jumlah Populasi (unit)
(%) 31
Data sekunder diperoleh dari penelusuran data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate, Kantor Statistik Kota Ternate, Kantor Unit Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ternate, Unit Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI Ternate), Bappeda Kota Ternate, serta data dari Kecamatan dan Kelurahan se Kota Tenrnate dan hasil penelitian sebelumnya.
Data sekunder yang diperlukan berkaitan erat
dengan kinerja ekonomi wilayah, keragaan perikanan wilayah, deskripsi wilayah penelitian yang meliputi aspek fisik, sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan (formal/informal) yang mampu menjelaskan dinamika sosial ekonomi dan struktur kelembagaan masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah Kota Ternate. 4.3. Metode Analisis Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas :
34
1) Analisis Kerugian ekonomi (economic loss) untuk mengetahu jumlah kerugian ekonomi akibat unreported fisheries, yang merupakan persentase jumlah retribusi terhadap jumlah nilai produksi perikanan yang tidak dilaporkan. EL = Pr x NUF …………………………………………………………(4.2) Dimana : EL = Economic loss, yaitu besarnya nilai kerugian ekonomi Pr = Persentase jumlah retribusi NUF = Jumlah nilai Produksi yang tidak dilaporkan 2) Analisis perubahan nilai, digunakan untuk mengetahui besarnya peluang ekonomi yang dimiliki pemerintah sebagai akibat dari perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fisheries). EO( UF ) =
n
∑
i= 1
NPP −
n
∑
i= 1
NPUF
……………………………………….. ( 4.1 )
dimana : EO(UF) = Besarnya peluang ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah atas terjadinya unreported fisheries. NPP = Nilai produksi pasar NPUF = Nilai Produksi unreported fishing 3) Resource rent, untuk mengetahui jumlah rente yang seharusnya diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya perikanan. Rr = TV PS − TC PS dimana Rr TVPS TCPS
.......................................................................... (4. 3)
: = Resource rent = Nilai produksi perikanan yang dilaporkan (reported fisheries) = Total biaya yang diperoleh dari Pembiayaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate.
4). Analisis deskriptif yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unreported fisheries serta bagaimana profile dan sistem unreported fisheries itu terjadi.
35
5) Korelasi Rank Spearman untuk mengetahui tingkat hubungan antara pasangan beberapa
variabel (unreported fisheries, variable ekonomi, pendidikan dan
geografis) 2
6Σ d i rS = 1 − ……………………………………………(4.4) n n2 − 1
(
)
dimana: Σ d i = Σ [ R( X i ) − R ( Yi ) ] 2
2
6). Standarisasi Alat Tangkap Mengingat ada beberapa alat tangkap yang digunakan dalam kegiatan penangkapan di wilayah penelitian, maka untuk mengukur dengan satuan yang setara, perlu dilakukan standarisasi effort antar alat tangkap dengan teknik standarisasi yang dikembangkan oleh King (1995) diacu dalam Anna (2003), yaitu : Eit = ϕ it Dit .......................................................................................................(4.5) Dengan
ϕ it =
U it U std
dimana : Eit Dit ϕ it U it U std
= = = = =
effort dari alat tangkap yang distandarisasi jumlah trip dari alat tangkap I pada waktu t nilai kekuatan menangkap dari alat tangkap i pada periode t CPUE dari alat tangkap i pada waktu t CPUE dari alat tangkap yang dijadikan basis standarisasi
7). Model Bioekonomi Sumberdaya Perikanan Estimasi nilai tangkapan lestari dari stok ikan merupakan hal penting dalam penilaian sumberdaya perikanan yang idealnya dilakukan per setiap stok ikan (stock by stock basis). Estimasi nilai tangkapan lestari dapat diketahui dengan lebih dahulu mengestimasi tingkat produktifitas dari stok ikan, yang biasanya
36
diestimasi dengan model kuantitatif. Produktifitas stok ikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor biologi, iklim, maupun aktifitas manusia yang menyebabkan turunnya kualitas perairan pencemaran, perusakan ekosistem pesisir serta pemutusan mata rantai makanan. Dalam penelitian ini, untuk menganalisis stok ikan akan digunakan model surplus produksi. Model ini mengasumsikan stok ikan sebagai penjumlahan biomass dengan persamaan : ∂X = F ( X t ) − ht ...........................................................................................(4.6) ∂t dimana : F(Xt) = laju pertumbuhan alami ht = laju penangkapan Ada dua bentuk model fungsional yang menggambarkan stok biomasa, yaitu bentuk logistik dan bentuk Gompertz, namun yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk logistik, yaitu : X ∂X = rX t 1 − t − ht ...................................................................................(4.7) ∂t K dimana : r = tingkat pertumbuhan intrinsik (intrinsic growth rate) K = daya dukung lingkungan ( carrying capacity) Jika stok sumber daya perikanan mulai dieksploitasi oleh nelayan, maka laju eksploitasi sumber daya perikaan dalam satuan waktu tertentu diasumsikan sebagai fungsi dari effort yang digunakan dalam menangkap ikan dan stok sumber daya yang tersedia. Dalam bentuk fungsional hubungan itu dapat dituliskan sebagai berikut : H (t) = H (E(t),X(t) ……………………………………………………(4.8) Selanjutnya diasumsikan bahwa laju penangkapan linear terhadap biomass dan effort sebagaimana ditulis berikut : Ht = qEtXt …………………………………………………………….(4.9)
37
Dimana q adalah koefisien kemampuan daya tangkap (catchability coefficient) dan Et adalah upaya penangkapan. Dengan mengasumsikan kondisi keseimbangan (equilibrium) maka kurva tangkapan upaya lestari (yield-effort curve) dari fungsi tersebut di atas dapat ditulis sebagai berikut : q2K 2 E ..........................................................................(4.10) ht = qKE t − r Estimasi parameter r, K, dan q untuk persaman yield-effort menggunakan teknik non-linear. Namun demikian dengan menuliskan Ut=ht/Et persamaan (4.4.5) dapat ditransformasikan menjadi persamaan linear sehingga model regresi biasa dapat digunakan untuk mengistimasi parameter biologi dari fungsi diatas. Teknik estimasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik estimasi parameter yang dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto dan Pooley (1992) atau sering di kenal dengan metode CYP dengan persamaan : ln(U t + 1 ) =
2r ( 2 − r ) ln(U ) − q ( E + E )..........................(4.11) ln( qK ) + t ~ (2 + t ) (2 + r) ( 2 + r ) t t+ 1
Dengan neregresikan hasil tangkap per unit input (effort), yang disimbolkan dengan U pada periode t+I, akan diperoleh koefisien r, q dan K secara terpisah. Selanjutnya setelah disederhanakan persamaan (4.4.6) dapat diestimasikan dengan OLS melalui : Ln(U n + 1 ) = C1 + C 2 ln(U n ) + C 3 ( E n + E n + 1 )...................................................(4.12) Sehingga nilai parameter r, q dan K pada persamaan (4.9) dapat dipeolah melalui persaman berikut : r = 2(1 − C 2 ) / (1 + C 2 ) q = − C 3( 2 + r )
...........................................................................(4.13)
K = e Ct ( 2 + r ) / ( 2 r ) / q Nilai parameter r, q dan K kemudian disubstitusikan kedalam persamaan 4.4.5 untuk memperoleh tingkat pemanfaatan lestari antar waktu. Dengan mengetahui koefisien ini, maka manfaat ekonomi dari ekstraksi sumber daya ikan ditulis menjadi :
38
q π = pqKE 1 − E − cE .......................................................................(4.14) r Memaksimalkan persamaan di atas terhadap effort (E) akan menghasilkan : E∗ =
r c 1 − ................................................................................(4.15) 2q pqK
Dengan tingkat panen optimal sebesar : h∗ =
rK c c 1 + 1 − ...............................................................(4.16) 4 pqK pqK
Kemudian dengan mensubstitusikan kedua hasil perhitungan optimasi tersebut ke dalam persamaan (4.4.9), maka akan diperoleh manfaat ekonomi yang optimal. Langkah-Langkah dalam Pemodelan Bioekonomi Untuk melakukan pemodelan bioekonomi ada beberapa langkah yang harus dilakukan (Fauzi dan Anna, 2005): 1. Menyusun data produksi dan upaya (effort) dalam bentuk urut waktu (series), sedapat mungkin data 15 tahun yang lalu. Jika menyangkut multigear multispecies, terlebih dahulu harus dipisahkan menurut jenis alat tangkap dan produksi tersebut diusahakan merupakan target species dari alat tangkap yang dianalisis. 2. Melakukan standarisasi alat tangkap. Langkah ini diperlukan karena ada variasi atau keragaman dari kekuatan alat tangkap. 3. Melakukan pendugaan terhadap parameter biologi dengan teknik Ordinary Lest Square (OLS). 4. Melakukan estimasi parameter ekonomi berupa harga per kg atau per ton dan biaya memanan per trip atau per hari melaut, sebaiknya diukur dalam ukuran riil (disesuaikan dengan indeks harga konsumen). Jadi, harga nominal pada periode t (Pm), misalnya, bisa dikonversi dengan harga riel (Prt) berdasarkan formula berikut P Prt = nt x100 ................................................................................(4.17) IHK t
39
Melakukan perhitungan nilai optimal berdasarkan formula yang sudah ditetapkan. Langkah ini dapat dilakukan dengan software EXCELL maupun MAPLE yang memudahkan repetisi (untuk analisis sensitivitas) maupun untuk keperluan pembuatan grafik 5. Melakukan analisis kontras dengan data riil untuk melihat sejumlah mana hasil pemodelan bisa diterima sesuai dengan data riil yang ada. 7). Deskripsi perbandingan hasil analisis untuk mengetahui keterkaitan antara unreported fisheries dengan optimalisasi pemanfaatan dan rezim pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. 8). Deskripsi analisis “ambiguitas kapasitas perikanan” untuk mengoreksi kapasiatas kurang (under-capacity) ke kapasitas lebih (over-capacity) pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap.
40
V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1. Kondisi Fisik Geografis Wilayah Kota Ternate memiliki luas wilayah 5795,4 Km2 terdiri dari luas Perairan 5.544,55 Km2 atau 95,7 % dan Daratan 250,85 Km2 atau 4,3 % yang tersebar pada delapan pulau. Jarak antara pulau Ternate ke pulau lain adalah sebagai berikut : –
Pulau Hiri 1,5 Mil laut.
–
Pulau Moti 11 Mil laut
–
Pulau Mayau 90 Mil laut
–
Pulau Tifure 106 Mil laut
–
Pulau Maka 1,6 Mil laut
–
Pulau Mano 1,6 Mil laut
–
Pulau Gurida 106,1 Mil Laut Wilayah Kota Ternate terletak antara 30 Lintang Utara dan 30 Lintang selatan
serta 1240 ,1280 Bujur Timur, dan berbatasan dengan : -
Sebelah Utara dengan Samudera Pasifik.
-
Sebelah Selatan dengan Laut Maluku.
-
Sebelah Timur dengan Laut Halmahera.
-
Sebelah Barat dengan Laut Maluku. Secara detil, peta Kota Ternate (tanpa skala) dapat dilihat pada Lampiran 1.
5.2. Iklim
41
Kota Ternate adalah daerah kepulauan dengan ciri iklim tropis dengan rataan curah hujan bulanan yang tertinggi terjadi pada bulan Mei yaitu 263,4 mm dan terendah pada bulan Agustus sebesar 77,8 mm. Nilai rataan curah hujan bulanan adalah 184,68 mm dan rata-rata curah hujan Tahunan sekitar 2.322.70 mm. Jumlah hari hujan rata-rata 202 hari dan nilia rataan hari hujan tertinggi pada bulan Januari dan November yaitu 20 hari hujan dan terendah pada bulan Agustus sebanyak 12 hari hujan. Berdasarkan hasil pengukuran besarnya kecepatan angin di wilayah Kota Ternate berkisar dari 2,9 – 5,2 Knots, dengan kecepatan terbesar bulanan berkisar 16 – 28 Knots. Berdasarkan hasil analisis arah angin terbanyak dari barat laut yang terjadi pada bulan Januari, Februari, Maret dan april. Sedangkan pada bulan Mei dan Juni angin terbanyak bertiup dari barat daya, serta pada bulan Juli, Agustus, September dan Oktober angin terbanyak bertiup dari arah tenggara (pancaroba). Kemudian pada bulan November dan desember angin kembali bertiup dari arah barat laut. Nilai rataan kelembaban tertinggi terjadi pada bulan – bulan yang curah hujannya tinggi, meskipun variasi tiap bulannya tidak terlalu tinggi. Kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Januari dan April yaitu sebesar 86%, dan terendah terjadi pada bulan Agustus yaitu 78 % (Badan Metrologi dan Geofisika Ternate 2006).
5.3. Potensi Perikanan Pada tahun 2006 produksi baru mencapai 12.118,90 ton dengan demikian maka tingkat pemanfaatan baru mencapai 21,15 % dari potensi lestari sehingga dari produksi yang dicapai tahun terakhir menunjukan tingkat pemanfaatan masih under eksploitation, sehingga peluang investasi di sektor perikanan dan kelautan di Kota Ternate masih sangat terbuka. Daerah penangkapan untuk pelagis besar (Tuna dan Cakalang) di perairan Kota Ternate meliputi perairan pulau Hiri, Moti dan pulau Batang Dua dan Laut Maluku. Dengan musim penangkapan sepanjang tahun dan musim puncak yaitu pada Januari –
42
April serta September – Oktober sedangkan daerah penangkapan pelagis kecil dan demersal adalah pesisir pulau Ternate, Moti, Hiri dan Tifure Batang Dua.
5.4. Komoditi Unggulan Perikanan A. Tuna, cakalang dan pelagis besar Jenis pelagis besar yang dominan di perairan Kota Ternate meliputi jenis Tuna (Thunnus spp), Cakalang (Katsuwonus Pelamis), Tenggiri (Scomboramorus spp) dan Cucut (Carcharinidae). Khusus untuk ikan Tuna dan Cakalang tingkat pemanfaatan baru mencapai 21,07 % padahal perairan ini merupakan alur migrasi ikan Tuna Cakalang sehingga peluang dan investasi masih sangat terbuka, demikian pula dengan tingkat pemanfaatan ikan Cucut masih sangat minim dan belum menggunakan sarana yang memadai. b). Pelagis kecil Banyak jenis pelagis kecil yang terdapat di perairan Kota Ternate namun yang dominan dan banyak ditangkap adalah jenis Layang (Decapterius spp) dan Tembang (Sardinella fimbriata). Pemanfaatan pelagis kecil ini dilakukan oleh nelayan tradisional yang berdomisili pada daerah kawasan pesisir kota sehingga pemasaran pelagis kecil selama ini masih didominasi pasar lokal dan antar pulau.
B. Ikan demersal Spesifik dasar perairan adalah substrat lumpur berpasir, memiliki terumbu karang dan padang lamun sehingga pada habitat ini sumberdaya demersal sangat potensial. Namun pemanfaatannya masih sangat sedikit, sehingga peluang usahanya masih sangat terbuka. Jenis jenis ikan demersal yang dominan dan sering menjadi tujuan penangkapan adalah kakap merah (Lutjanus spp), ikan Tembang (Lutjanus johni), ikan Kerong-kerong
(Saurida Tumbil ). Khusus
untuk ikan kerapu baru dikembangkan dua areal budidaya dan penangkapan
43
dengan sistem Keramba Jaring Apung (KJA), sedangkan jenis ikan dasar lainnya mangandalkan pasar lokal. C. Ikan hias Perairan Kota Ternate memiliki berbagai jenis ikan hias pada perairan pulau Hiri, Moti, dan Pulau Ternate dan yang dominan adalah jenis Ikan Bendera (Zantidae), Ikan Lepu (Scorpaenidae) dan jenis Ikan Kepe-kepe (Chaetuddutidae). Jenisjenis Ikan hias tersebut sangat indah dan bernilai ekonomis, namun diusahakan secara sederhana dengan mengandalkan pasar lokal. 5.5. Potensi Pulau – Pulau Kecil Kota Ternate merupakan Kota kepulauan yang terdiri dari 8 (delapan) pulau dan kesemuanya merupakan pulau-pulau kecil. Karakter masing-masing pulau sangat berbeda antara satu pulau dengan pulau lainnya. Lima pulau berpenghuni diantaranya yaitu Pulau Ternate, Pulau Moti, Pulau Hiri, Pulau Tifure dan Pulau Mayau dan tiga pulau yang tidak berpenghuni yaitu pulau Mano, Pulau Maka dan Pulau Gurida. A. Pulau Ternate Pulau Ternate merupakan pulau terbesar dari wilayah Kota Ternate dengan luas daratan 992,12 Km2. Dimana Kota Ternate yang merupakan Pusat Pemerintahan, baik Pemda Kota Ternate maupun Pemda Propinsi Maluku Utara. Berdasarkan data statistik jumlah Penduduk Pulau Ternate adalah 105.967 jiwa yang tersebar pada keliling Pulau Ternate. Jumlah Kelurahan pada Pulau Ternate adalah sebanyak 63 kelurahan, 54 kelurahan terletak pada bagian pesisir. Sehingga umumnya kegiatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya diarahkan pada pemanfaatan sumberdaya perikanan. Sumberdaya perikanan yang dominan di Pulau Ternate antara lain: - Ikan Pelagis
: Ikan Tuna, Cakalang, Layang, Selar dan Tongkol
- Ikan Demersa : Kakap merah dan Bambangan, Kerapu bebek, Kerapu Sunu dan jenis lainnya - Danau
: Jenis Ikan Air tawar berupa Ikan Mas, Nila dan Mujair
- Non Ikan
: Teripang dengan jenis teripang pasir, teripang gama, Teripang
44
susu, kerang tiram, kima dan udang lobster. B. Pulau Moti Sesuai dengan kondisi geografis wilayah, Pulau Moti merupakan bagian dari wilayah Kota Ternate yang memiliki spesifikasi tersendiri, ini dikarenakan kondisi flora dan fauna yang tidak sama dengan pulau-pulau lainnya di Kota Ternate. Pulau Moti yang luas keseluruhan wilayahnya 83.833 km2 . Sedangkan Jarak Pulau Moti dengan Pulau Ternate adalah 11 mil laut, dimana rute perjalanan harus ditempuh melalui lautan dengan transportasi motor laut selama kurang lebih 2 Jam. Pulau Moti terbagi atas 6 kelurahan
dengan jumlah penduduk 5.140 jiwa dengan mata
pencaharian sebagian besar adalah nelayan dan petani. Hal ini dikarenakan semua wilayah kelurahan berada pada wilayah pesisir, sedangkan potensi wilayah di bidang perikanan yang dimiliki dapat digambarkan sebagai berikut : B.1. Potensi perikanan laut (a). Budidaya Laut Pulau Moti sebagian wilayahnya ada yang bisa dikembangkan rumput laut, teripang dan budidaya ikan kerapu. Hal ini karena secara alami bibit ikan kerapu, Rumput laut sudah tumbuh secara alami di daerah ini, demikian juga teripang. Selain itu kondisi perairan yang cukup aman dari ombak karena terlindung dari pulau-pulau dan berbentuk teluk sehingga potensial untuk dikembangkan budidaya ikan kerapu dan rumput laut . Di samping itu potensi ikan dasar juga sangat baik di wilayah ini. (b). Penangkapan Sesuai dengan karakteristik Pulau Moti, bahwa para nelayan didaerah ini banyak yang melakukan penangkapan dengan Purse seine , hand line, gill net, , bubu dan pancing tonda. Selain itu jenis ikan yang dominan di pulau Moti antara lain ikan layang, ikan tongkol, kuwe, cakalang, kerapu, ikan Demersal dan lain-lain. B.2. Potensi perikanan darat / air payau
45
Selain Potensi Perikanan laut, Pulau Moti juga mempunyai potensi untuk dikembangkan perikanan darat. Hal ini karena ditunjang dengan adanya hutan mangrove yang tumbuh subur di sebagian pesisir wilayah Pulau Moti. Dengan demikian kegiatan budidaya yang bisa dikembangkan diantaranya adalah tambak udang dan ikan bandeng serta budidaya air tawar. C. Pulau Hiri Pulau Hiri memiliki kharakteristik tersendiri,
dimana kondisi geografis
wilayahnya berhadapan dengan lautan bebas dan sebagian lagi bersebelahan dengan pulau Ternate dan Pulau Halmahera. Luas daratan keseluruhan dari pulau ini adalah 7,31 km2
kondisi pulaunya berbatu dan air tanahnya payau, sehingga untuk
pengembangan pertanian kurang cocok, sehingga potensi yang cocok untuk dikembangkan adalah perikanan.
C.1. Potensi perikanan laut (a). Budidaya Laut Untuk Pulau Hiri potensi yang dapat dikembangkan jenis komoditi teripang yaitu di wilayah kelurahan Faudu. Sedangkan untuk pengembangan budidaya jenis lainnya di Pulau Hiri kurang berpotensi karena sesuai dengan kondisi bio fisiknya. Pulau Hiri merupakan daerah yang berpotensi untuk dikembangkan Perikanan Tangkap. (b). Penangkapan Kebiasaan para nelayan dipulau hiri dalam upaya pemanfaatan sumberdaya lautnya adalah dengan melaksanakan upaya penangkapan dengan sarana berupa kalase (moroami), Mini Purse Seine, Gill net, Pole and Line, Hand line, Pancing Tonda dan Bubu. Produksi yang dominan dan dapat dikembangkan adalah jenis ikan tuna, cakalang, layang, dan ikan dasar lainnya.
46
D. Pulau Tifure Pulau Tifure yang merupakan bagian wilayah dari Kecamatan Pulau Ternate memiliki luas daratan kurang lebih 7 Km2 dan dihuni penduduk sebanyak 712 jiwa. Pulau Tifure terdiri dari 2 kelurahan yang merupakan pulau terjauh dari ibu kota dengan jarak 106 Mil laut, dimana pulau-pulau ini merupakan alur migrasi ikan pelagis besar dan kecil. Gambaran potensi sumberdaya alam pesisir yang dominan di pulau Tifure adalah sebagai
berikut :
D.1. Potensi perikanan laut a). Budidaya Laut (Marikultur) Pemanfaatan potensi sumberdaya alam laut yang bisa dikembangkan di sini adalah budidaya rumput laut dan teripang karena banyak teripang yang terdapat di kepulauan ini. Selain itu usaha budidaya Keramba Jaring Apung dapat pula dikembangkan di pulau ini. b). Penangkapan Pulau Tifure secara geografis tidak berbeda jauh dengan pulau sekitarnya seperti pulau Mayau dan pulau Hiri. Sumberdaya hayati yang paling dominan di pulau ini adalah untuk jenis ikan pelagis yaitu Ikan tuna, cakalang, layang, tongkol dan Ikan dasar. Sedangkan jenis ikan dasar adalah ikan kakap merah, ikan gutila, ikan kowe dan jenis ikan hias. Sedangkan produksi yang paling dianggap dominan adalah jenis ikan layang, Kemudian untuk jenis komoditi yang bisa dikembangkan adalah Ikan tuna, cakalang dan layang. D.2. Potensi perikanan darat Pulau Tifure kurang potensial untuk pengembangan perikanan darat, hal ini karena kondisi biofisiknya yang hampir sama dengan kepulauan lainnya seperti pulau Hiri. Namun untuk komoditas terumbu karang potensinya sangat baik sehingga banyak terdapat ikan karang dan ikan hias di kepulauan ini. E. Pulau Mayau
47
Luas daratan Pulau Mayau kurang lebih 8,5 km 2 dan berpenduduk kurang lebih 1.510 jiwa. Masyarakat di kepulauan ini bermata pencaharian hampir sama dengan masyarakat pulau Tifure yaitu sebagian besar nelayan dan petani. Sumberdaya perikanan dan lautan sebagai berikut. E.1. Potensi perikanan laut a). Budidaya laut Untuk Pulau Mayau Kondisi Perairannya sedikit berbeda dengan Pulau Tifure, dan pengembangan budidaya laut di kepulauan ini kurang potensi, karena perairan kepulauan ini berhadapan dengan laut bebas namun sangat potensi untuk pengembangan usaha penangkapan. b). Penangkapan Potensi perairan laut untuk Pulau Mayau sangat besar untuk kegiatan perikanan tangkap, hal ini karena populasi terumbu karang di perairan pulau Mayau sangat luas dan masih utuh atau alami. Sehingga di perairan kepulauan ini dijumpai jenis-jenis ikan yang dominan seperti layang, komo/tongkol, cakalang dan Tuna, ikan hiu/ cucut, ikan hias dan beberapa jenis ikan dasar. Dari segi pemanfaatannya potensi sumberdaya alam pesisir dan lautnya juga termasuk masih rendah sehingga masih sangat besar peluang untuk pengembangan upaya perikanan tangkap. Armada dan sarana penangkapan yang digunakan para nelayan di kepulauan ini juga masih tergolong tradisional, sehingga hasil produksi tangkapannya masih rendah. Adapun armada dan alat tangkap yang selama ini digunakan para nelayan dapat dirincikan sebagai berikut : perahu tanpa motor 27 unit, motor tempel 12 unit, kapal motor tidak ada. Sedangkan sarana penangkapan yang digunakan terdiri dari ; Mini Long Line 2 unit, Purse Seine/ Pajeko 2 unit, Pole and Line 1 unit, Gill Net 6 unit, Bubu 21 unit, Pancing tonda 61 unit dan Hand Line 39 unit. E.2. Potensi perikanan darat Perikanan darat di kepulauan ini untuk pengembangannya tergolong boleh dibilang tidak potensi, hal ini karena kondisi daratannya di kepulauan ini kurang
48
menunjang. Potensi yang sangat menonjol untuk kepulauan ini adalah usaha penangkapan di laut, sebagaimana potensi yang ada di kepulauan sekitarnya. F. Prasarana Perikanan Tangkap Prasarana Perikanan yang telah dibangun oleh pemerintah pusat dan daerah meliputi: -
Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) yang berlokasi di Pasar Bastiong Kecamatan Kota Ternate Selatan.
-
Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yang berlokasi di Pasar Dufa-Dufa Kecamata Kota Ternate Utara.
-
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) berlokasi di Pasar Bastiong dan pasar DufaDufa.
5.6. Penduduk Berdasarkan hasil pendataan penduduk Tahun 2006 adalah 163.166 Jiwa dan menunjukan kecenderungan peningkatan pada wilayah tertentu, khususnya di wilayah Kota Ternate Utara dan Kota Ternate Selatan. Peningkatan ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu urbanisasi dan migrasi yang hampir sama. Jumlah penduduk per wilayah Kecamatan di Kota Ternate adalah : 1. Kec. Kota Ternate Utara
: 67.203 Jiwa
2. Kec. Kota Ternate Selatan : 72.901 Jiwa 3. Kec. Pulau Ternate
: 18.388 Jiwa
4. Kec. Moti
: 4.674 Jiwa
Dengan luas wilayah daratan 249,75 km2 dan jumlah penduduk
sebesar
151.178 Jiwa, maka kepadatan penduduk Kota Ternate pada tahun 2004 sebesar 605 jiwa per km2 hal ini berarti mengalami peningkatan sebanyak 9 jiwa per km2 atau 1,51 % bila dibandingkan tahun 2003 yang berjumlah 596 jiwa per km 2. Kenaikan ini
49
disebabkan oleh kembalinya para pengungsi dari Manado dan Bitung, serta terjadinya eksodus para pendatang dari berbagai daerah ke Kota Ternate.
5.7 Mata Pencaharian Kota Ternate secara geografis sebagian besar wilayahnya adalah laut yang menggambarkan bahwa masyarakat dalam aktifitasnya baik segi ekonomi, sosial dan lain-lain selalu berinteraksi dengan perairan laut. Mata pencaharian utama penduduk Kota Ternate adalah pertanian tanaman pangan, perkebunan, pedagang dan perikanan, baik sebagai nelayan, tauke maupun pengolah hasil perikanan. Masyarakat pesisir Kota Ternate yang mata pencahariannya tergantung pada sektor perikanan dapat dilihat pada tabel 5.1.
Tabel 5.1. Jumlah Masyarakat Pesisir per Kecamatan di Kota Ternate yang Bermata Pencahrian pada Sektor Perikanan Tahun 2005 Masyarakat pesisir yang hidupnya tergantung pada sektor perikanan (orang) No Kecamatan Pengolah Penjual Ikan/ Nelayan Pembudidaya Lainnya Ikan Pedagang Ikan 1 Kota Ternate Utara 861 50 141 2 215 2 Kota Ternate Selatan 552 15 57 31 106 3 Pulau Ternate 1654 55 51 8 239 4 Pulau Moti 509 9 31 18 112 Jumlah 3576 129 280 59 672 Sumber : Diolah dari DKP Kota Ternate (2005) Tabel 5.1 di atas menggambarkan tentang masyarakat pesisir per kecamatan se Kota Ternate yang hidupnya tergantung pada sektor perikanan, baik sebagai nelayan, pengolah ikan, penjual/pedagang ikan, pembudidaya dan lainnya. Pada tahun 2005 jumlah masyarakat yang bermata pencahrian sebagai nelayan adalah sebanyak 3576 orang, pengolah ikan 129 orang, penjual/pedagang ikan 280 orang, pembudidaya 59
50
orang dan yang lainnya 672 orang. Jumlah nelayan terbanyak di kecamatan Pulau Ternate, yaitu sebanyak 1654 orang termasuk nelayan dari Pulau Batangdua (Pulau Mayau dan Tifure) serta nelayan dari Pulau Hiri yang pada saat itu masih dibawah wilayah administrasi Kecamatan Pulau Ternate (sekarang telah dimekarkan menjadi Kecamatan Pembantu Pulau Batangdua dan Pulau Hiri).
Sedangkan jumlah
penjual/pedagang ikan (dibo-dibo) terbanyak di Kecamatan Kota Tenate Utara yaitu 141 orang dan pengolah ikan terbanyak di Kecamatan Pulau Ternate yaitu sebanyak 55 orang.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Kondisi Perikanan Tangkap Kota Ternate yang dikelilingi oleh perairan, memiliki potensi sumberdaya perikanan yang sangat beragam, yaitu ikan pelagis kecil, pelagis besar dan ikan demersal. Pemanfaatan sumberdaya perikanan dari tahun ke tahun
cenderung
meningkat, dengan rata-rata produksi sebesar 6.413,40 ton per tahun (Bin Syeh Abubakar M. 2004). Jenis-jenis ikan yang tertangkap kebanyakan adalah ikan pelagis kecil dan pelagis besar. Perkembangan jumlah produksi, harga dan nilai produksi perikanan dapat dilihat pada Tabel 6.1. Tabel 6.1 Perkembangan Produksi dan Nilai Produksi Perikanan Dirinci Menurut Jenis Ikan di Kota Ternate Bulan Januari-Maret 2007 No
Jenis Ikan
1
Cakalang
Bulan Januari Volume Nilai produksi produksi (ton) (Rp.000) 113 8000 .170 905.360
Harga rata-rata (Rp/Kg)
Bulan Februari Harga Volume Nilai rata-rata produksi produksi (Rp/Kg) (ton) (Rp.000) 51 6500 .48 334,627
Bulan Maret Harga Volume Nilai rata-rata produksi produksi (Rp/Kg) (ton) (Rp.000) 4 7400 6.12 341,273
51
2
Kakap Merah
8800
3
Ekor kuning
8200
4
Kembung
7000
5
Kerapu
10000
6
Layang
6700
7
Madidihang
9000
8
Pisang2
7700
9
Selar
7700
1.878 1 9.639 2 5.449 5.717 325 .738
16.526
8500
161.040
6900
178.143
8500
57.170
8000
2.182.445 18.34 2
6000
547.408
6700
209.902
9100
1.243.426
7250
10 Tongkol
7200
2.038 7 1.092 2 7.260 172 .698
11 Julung
7000
3.900
27.300
6000
12 Baronang
8000
1.000
8.000
-
10000
0.102
1.020
10000
12 Ikan merah 13 Kwee
10000
14 Teri Ikan lain15 lain Jumlah
8400
3.478 1 9.466 7 92,63
34.780 163.514 5.754,376
7000
8500 7000 6300
2 17,000 9 .09 62,721 51 .30 436,008 6 .33 50,656 359 .70 2,158,188 7 .14 49,980 61 .64 413,015 17 .90 162,890 126 .83 919,532 6. 39,9 655 30 4. 125 8 .11 3 .00 20 .18 735 ,48
9000 9625 7200 12000 6000 8875
171,826 273,830 29,712 2.517,816
4900 -
-
-
-
-
-
-
7 .436 2 2.03
-
7000 8000
50
2.48 41 9.64
66,924
6.06 4 9.06 2 7.04 21 7.35 1 .860
8600
41,2
7 .436 1 7.85 3 8.03
53,818 421,942 189,266 1.738,768 9,114
68,8 93 21,0 00
5000 127,1
47 4,902,83 5
6000
862,391
37,180 132,204 5,983 ,673
Sumber : Diolah dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate (2007) Tabel 6.1 menggambarkan jumlah produksi, harga ikan rata-rata per kilogram dan nilai produksi perikanan yang dihasilkan di Kota Ternate periode Januari-Maret 2007 yang dirinci menurut jenis ikan. Total produksi pada bulan Januari sebesar 792,63 ton dengan nilai yang dihasilkan mencapai lebih dari Rp 5,7 milyar, total produksi pada bulan Februari sebesar 735,48 ton dengan
nilai yang dihasilkan
mencapai Rp 4,9 milyar dan total produksi pada bulan Maret sebesar 826,391 ton dengan nilai yang dihasilkan mencapai Rp 5,9 milyar. Nampak bahwa hasil tangkapan terbanyak untuk perikanan jenis pelagis kecil adalah layang yang mencapai 419,64 ton dengan nilai lebih dari Rp 2,5 milyar
pada bulan Maret
sedangkan jumlah produksi tertinggi untuk jenis pelagis besar adalah tongkol dengan jumlah produksi sebesar 217,35 ton dengan total nilai yang dihasilkan lebih dari Rp 1,7 milyar pada bulan Maret. Jumlah produksi terrendah adalah ikan merah dengan total produksi yang dihasilkan sebesar 0,1 ton dengan nilai yang dihasilkan sebesar Rp 1,02 juta pada bulan Januari.
52
6.2. Aspek Ekonomi Unreported Fisheries 6.2.1. Kerugian Ekonomi Akibat Unreported Fisheries Economic loss atau kerugian ekonomi yang dimaksud dalam pendekatan penelitian ini adalah hilanganya manfat ekonomi yang disebabkan oleh terjadinya unreproted fisheries, yaitu jumlah produksi perikanan yang dihasilkan oleh nelayan lokal di wilayah Kota Ternate yang tidak terlaporkan sebagaimana mestinya. Nilai produksi dari unreported fisheries tergantung pada harga ikan, jenis ikan yang dihasilkan dan jumlah produksi yang dihasilkan. Dari hasil survey dapat diidentifikasi tiga fenomena harga yang terjadi di Kota Ternate, yaitu: 1) harga yang terjadi pada tingkat transaksi antara nelayan dengan tauke (dibo-dibo) yang disebut harga tauke, 2) harga yang terjadi dalam pasar yang disebut harga pasar dan 3) harga yang terjadi di tempat pendaratan ikan (PPN atau PPI) atau pelelangan yang disebut harga yang dilaporkan (reported). Tabel 6.2 menyajikan fluktuasi harga berbagai jenis ikan berdasarkan ketiga fenomena harga tersebut di atas. Tabel 6.2 Harga Ikan Per kg Per Jenis Ikan Periode Januari-Maret 2007 Harga Per Kg Per Bulan (Rp) No
Januari
Jenis Ikan Tauke
Pasar
Februari Reported
Tauke
Pasar
Maret Reported
Tauke
Pasar
Reported
1
Cakalang
7250
9500
7400
6750
8000
6500
6300
8400
7400
2
Kakap Merah
10000
13500
11000
5500
10000
8500
12500
15000
10500
3
Ekor Kuning
8250
10500
7200
6000
7750
6900
8500
10500
9625
4
Kembung
6000
8000
7200
7250
9500
8500
6000
8000
7200
5
Kerapu
7500
11000
10000
6000
10500
8000
11000
14000
13000
6
Layang
6250
7500
6700
3750
5250
4100
5750
7500
6800
7
Madidihang
8000
11000
9000
6500
8500
7000
7500
10000
8875
8
Tongkol
6300
8000
7400
5250
6500
6900
6500
8500
7400
9
Julung
6500
8000
7000
4750
6800
5500
6000
8000
7000
10
Pisang-pisang
7500
9250
8600
5750
7500
6700
7500
10000
8600
11
Ikan terbang
6500 7.2 77
8000 9.4 77
7500 8.09 1
5250
6500 7.8 91
6900
6750 7.6 64
8500 9.8 55
7500
Harga rata-rata
5.705
6.864
8.536
Sumber : Data primer hasil survey dan data DKP Kota Ternate (2007) Tabel 6.2 menggambarkan perkembangan harga ikan per jenis ikan yang terjadi pada bulan Januari-Maret 2007, menurut transaksi yang terjadi pada tingkat tauke,
53
pasar dan tempat pendaratan ikan. Perbedaan harga sangat nampak pada tiap-tiap jenis transaksi. Harga yang terjadi pada tingkat tauke lebih rendah dibandingkan dengan harga yang terjadi di pasar maupun di tempat pendaratan ikan, fenomena ini menggambarkan bahwa profit/keuntungan yang diperoleh tauke ketika membeli ikan dari nelayan kemudian menjualnya ke pasar sangat besar. Tabel 6.2 juga menggambarkan harga ikan rata-rata per kilogram per bulan. Harga tauke rata-rata pada bulan Januari adalah Rp 7.277, bulan Februari Rp 5.705 dan bulan Maret Rp 7.664. Harga pasar rata-rata per kilogram pada bulan Januari adalah Rp 9.477, bulan Februari Rp 7891 dan bulan Maret Rp 9.855, sedangkan harga rata-rata pada tempat pendaratan ikan pada bulan Januari adalah Rp 8.091, bulan Februari Rp 6.864 dan bulan Maret Rp 8.536.Dalam penelitian ini, jumlah produksi perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fisheries) diidentifikasi berdasarkan jenis armada penangkapan dan alat tangkap yang digunakan, secara rinci jumlah produksi dan nilai produksi unreported fisheries per responden disajikan pada Lampiran 2. Tabel 6.3 menggambarkan tentang produksi perikanan yang tidak dilaporkan di Kota Ternate periode JanuariMaret 2007. Tabel 6.3 Produksi Unreported Fisheries Per Armada dan Alat Tangkap Produksi Per Armada dan Alat Tangkap (Kg) Kt KM MT No Bulan -Pancin Kt -Pancin -Pursein MT g -Jaring g e -Jaring 1 Januari 9.314.5 12.891 23.279,5 44.813,7 167.910,5 2 Februari 9.175.5 13.818,5 42.407 44.665,7 154.229 3 Maret 9.295 13.636,5 27.421,5 44.375 176.919 Total 27.785 40.346 93.108 133.854,4 499.058,5 Sumber : Data primer hasil survey (Januari-Maret 2007) Ket : -
Kt
Total (Kg) 258.209,2 264.295,7 271.647 794.151,9
= Ketinting, KM = Kapal motor, MT = Motor tempel
Tabel 6.3 menunjukkan jumlah produksi unreported fisheries yang terjadi di Kota Ternate selama bulan Januari – Maret 2007 berdasarkan armada dan alat tangkap, yaitu sebesar 794.151,9 kg (794,151 ton), jumlah tertinggi terjadi pada bulan
54
Maret
yaitu sebesar
271.647 kg
(271,647 ton). Jenis armada yang memiliki
kontribusi produksi unreported fisheries tertinggi adalah motor tempel dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin (purseine) atau oleh masyarakat lokal disebut pajeko yaitu
mencapai 44,813 ton pada bulan januari sedangkan armada yang
memiliki kontribusi terrendah adalah Ketinting dengan alat tangkap pancing, yaitu sebesar 9,295 ton pada bulan Februari. Selanjutnya total produksi yang dihasilkan per armada penangkapan dan trend produksi pada bulan Januari-Maret dapat dilihat
Produksi (kg)
pada dua Gambar 6.1 dan 6.2. 200000 150000 100000 50000 0 Kt-Pncng
Kt-Jaring
KM-Pncng
MT-Pncng
MT-Jaring
Arma da & Ala t Ta ngka p Januari
Februari
Maret
Gambar 6.1 Jumlah produksi unreported fisheries per armada penangkapan 9350
14000 13800 13600 13400
9250
Produksi (kg)
Produksi (kg)
9300
9200
13200 13000 12800 12600
9150
12400 9100
12200 Januari
Februari
Maret
Januari
(a)
Maret
(b)
45000
44900
40000
44800
35000
44700 Produksi (kg)
30000 Produksi (kg)
Februari
25000 20000 15000
44600 44500 44400
10000
44300
5000
44200
0
44100 Januari
Februari
Maret
Januari
Februari
Maret
55
(c)
(d)
180000 175000
Produksi (kg)
170000
Ket : a. Ketinting + Pancing b. Ketinting + Jaring c. Kapal motor + pancing d. Motor Tempel + Pancing e. Motor Tempel + Jaring
165000 160000 155000 150000 145000 140000 Januari
Februari
Maret
(e) Gambar 6.2 Kurva produksi unreported fisheries bulan Januari-Maret 2007 Kedua gambar di atas, yaitu Gambar 6.1 menunjukkan jumlah produksi dan Gambar 6.2 menunjukkan trend produksi unreported fisheries periode Januari–Maret 2007 per armada penangkapan, secara keseluruhan terlihat bahwa armada penangkapan yang menghasilkan jumlah produksi tertinggi adalah armada motor tempel dengan alat tangkap purseine, kemudian diikuti oleh motor tempel dengan alat tangkap pancing dan kapal motor dengan alat tangkap pancing, sedangkan armada yang menghasilkan jumlah produksi terrendah adalah ketinting dengan alat tangkap jaring dan pancing. Armada Motor Tempel dengan alat tangkap purseine jumlahnya relative kecil dan dimiliki oleh para pemilik modal kelas menengah ke atas, armada ini melakukan one day trip dengan hasil yang diperoleh mencapai 4-6,5 ton per trip, demikian juga dengan kapal motor yang menggunakan alat tangkap pancing, armada ini juga melakukan one day trip dengan hasil yang diperoleh mencapai 2 ton per trip, namun jumlah trip armada ini perbulan rata-rata 12-15 kali karena tergantung pada umpan yang dapat diperoleh hanya pada bulan gelap. Jumlah armada yang dominan beroperasi di wilayah Kota Ternate adalah ketinting dengan alat tangkap pancing dan jaring, armada ini kebanyakan dimiliki oleh nelayan-nelayan kecil yang beroperasi antara 6-8 jam per trip dengan hasil yang diperoleh untuk armada ketinting dengan alat tangkap pancing antara 10-25 kg per trip, sedangkan armada ketinting dengan menggunakan alat tangkap jaring memperoleh hasil antara 20-60 kg per trip. Jumlah
56
produksi per armada penangkapan, jumlah nilai produksi tauke dan nilai produksi pasar serta margin nilai produksi keduanya dapat dilihat pada Tabel 6.4. Tabel 6.4 Jumlah Produksi, Nilai Tauke dan Nilai Pasar Serta Selisih Nilai Pada Bulan Januari 2007 No 1 2 3 4 5
Armada Kt-Pncng Kt-Jaring KM-Pncng MT-Pncng MT-Purseine TOTAL
Jumlah Jumlah Responden Produksi (kg) (orang) 9,33 22 1 12,75 16 7 30,03 5 8 44,83 9 2 167,9 7 11 264,8 59 67
Nilai Tauke (Rp)
Nilai Pasar (Rp)
Selisih Nilai (Rp)
81,726,000
113,140,750
31,414,750
68,829,000
100,948,500
32,119,500
202,758,500
270,344,667
67,586,167
308,803,850
411,171,800
102,367,950
1,034,620,975
1,495,934,500
461,313,525
1,696,738,325
2,391,540,217
694,801,892
Sumber : Data primer hasil survey (Januari-Maret 2007) Besar kecilnya nilai produksi perikanan yang tidak dilaporkan tergantung pada jumlah produksi yang dihasilkan serta fluktuasi harga yang terjadi dan jenis ikan yang dihasilkan, sebagaimana diketahui bahwa jalur pemasaran hasil produksi perikanan terjadi melalui beberapa mekanisme, antara lain adalah ; langsung dari nelayan ke pasar, melalui tauke (unreported fishing) dan melalui pelelangan di PPN atau PPI (reported fishing). Perubahan harga yang terjadi dari harga tauke ke harga pasar menunjukkan besarnya benefit yang diperoleh tauke di satu pihak dan merupakan kerugian ekonomi yang dialami oleh pemerintah di lain pihak, yang di dalam kajian ini diasumsikan sebagai single owner (pemilik tunggal) dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Tabel 6.4 menggambarkan jumlah produksi dan jumlah nilai produksi perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fisheries) yang merupakan selisih nilai antara nilai tauke dan nilai pasar yang dihasilkan per armada penangkapan selama bulan januari 2007. Dari tabel tersebut juga terlihat bahwa total nilai yang diperoleh dari tauke sebesar Rp 1.696.738.325.- dan nilai pasar sebesar Rp 2449.442.342.- dengan total produksi mencapai 264, 867 ton. Armada yang memberikan kontribusi nilai tertinggi adalah motor tempel dengan alat tangkap purseine yaitu mencapai Rp
57
1.034.620.975.- untuk nilai tauke dan Rp 2.449.442.342.-
untuk nilai pasar,
sedangkan armada yang kontribusinya paling rendah adalah ketinting dengan alat tangkap pancing, yaitu nilai tauke sebesar Rp 81.726.000.- dan nilai pasar sebesar Rp 113.140.750. Perbandingan antara nilai tauke dan nilai pasar sebagaimana terlihat pada Gambar 6.3.
Nilai produksi (Rp)
1,600,000,000 1,400,000,000 1,200,000,000 1,000,000,000 800,000,000 600,000,000 400,000,000 200,000,000 Kt-Pncng
Kt-Jaring
KM-Pncng MT-Pncng MT-Jaring
Nilai tauke
Nilai pasar
Gambar 6.3 Perbandingan nilai tauke dan nilai pasar pada bulan Januari 2007 Gambar 6.3 menunjukkan perbandingan antara nilai tauke dan nilai pasar per armada penangkapan serta selisih kedua nilai tersebut dengan total selisih sebesar Rp 694.801.892. Tabel 6.4 juga memberikan gambaran tentang perbedaan jumlah produksi dan nilai produksi antara armada ketinting dengan alat tangkap pancing dan armada ketinting dengan alat tangkap jaring. Armada ketinting dengan alat tangkap pancing menghasilkan produksi sebesar 9.331 Kg (9,331 ton) dengan nilai tauke sebesar Rp 81.726.000. dan nilai pasar sebesar Rp 113.140.750., sedangkan armada ketinting dengan alat tangkap jaring menghasilkan produksi sebesar 12.757 Kg (12,752 ton), lebih besar jika dibandingkan dengan armada ketinting yang menggunakan alat tangkap pancing, yaitu nilai tauke sebesar Rp 68.829.000.- dan nilai pasar sebesar Rp 100.948.500.-, nampak bahwa armada ketinting dengan alat tangkap jaring menghasilkan produksi yang lebih besar dari hasil produksi armada ketinting yang menggunakan alat tangkap pancing, namun nilai produksinya lebih kecil dibandingkan dengan armada ketinting yang menggunakan alat tangkap
58
pancing. Perbedaan jumlah produksi dan nilai produksi dari kedua armada yang berbanding negatif tersebut disebabkan oleh jenis ikan yang dihasilkan oleh masingmasing armada, armada yang menggunakan pancing lebih banyak menghasilkan ikan-ikan karang seperti kakap, kerapu dan lain-lain yang harganya relative lebih mahal dibandingkan dengan ikan-ikan permukaan yang dihasilkan oleh armada yang menggunakan alat tangkap jaring. Perbandingan antara jumlah produksi, nilai tauke dan nilai pasar dari seluruh jenis armada dapat dilihat pada Tabel 6.5 dan Gambar 6.4. Tabel 6.5 Jumlah Produksi, Nilai Tauke dan Nilai Pasar Serta Selisih Nilai Pada Bulan Februari 2007 Jumlah Nilai Tauke Nilai Pasar Produksi (kg) (Rp) (Rp) 1 Kt-Pncng 9,164 56,239,500 93,114,750 2 Kt-Jaring 13,673 64,946,750 92,976,400 3 KM-Pncng 38,059 198,607,800 285,445,343 4 MT-Pncng 44,666 227,189,600 314,534,475 5 MT-Purseine 154,229 1,101,910,100 1,362,754,800 TOTAL 259,791 1,648,893,750 2,148,825,768 Sumber : Data primer hasil survey (bulan Januari-Maret 2007) No
Armada
Selisih Nilai (Rp) 36,875,250 28,029,650 86,837,543 87,344,875 260,844,700 499,932,018
1,600,000,000
Nilai produksi (Rp)
1,400,000,000 1,200,000,000 1,000,000,000 800,000,000 600,000,000 400,000,000 200,000,000 Kt-Pncng Kt-Jaring KM-Pncng MT-Pncng MT-Jaring Nilai tauke
Nilai pasar
Gambar 6.4 Perbandingan antara nilai tauke dan nilai pasar pada bulan Februari 2007
59
Tabel 6.5 dan Gambar 6.4 di atas menunjukkan bahwa total nilai yang diperoleh dari tauke selama bulan Februari sebesar Rp 1.648.893.750.- dan nilai pasar sebesar Rp 2.148.825.768.- dengan total produksi mencapai 259,791 ton. Armada yang memberikan kontribusi nilai tertinggi adalah motor tempel dengan alat tangkap purseine yaitu mencapai Rp 1.101.910.100 untuk nilai tauke dan Rp 1.362.754.800 untuk nilai pasar, kemudian diikuti oleh motor tempel dengan alat tangkap pancing dengan nilai tauke sebesar Rp 227.189.600 dan nilai pasar sebesar Rp 314.534.475.-, kapal motor dengan alat tangkap pancing dengan nilai tauke sebesar Rp 198.607.800 dan nilai pasar Rp 285.445.343 dan ketinting dengan alat tangkap jaring, yaitu nilai tauke sebesar Rp 64.946.750 dan nilai pasar sebesar Rp 92.976.400. Sedangkan armada yang kontribusi nilainya paling rendah adalah ketinting dengan alat tangkap pancing, yaitu nilai tauke sebesar Rp 56.239.500.- dan nilai pasar sebesar Rp 93.114.750. Selanjutnya perkembangan jumlah produksi, nilai tauke, nilai pasar dan selisih nilai antara nilai tauke dan nilai pasar pada bulan Maret 2007 dapat dilihat pada Tabel 6.6 berikut ini. Tabel 6.6 Jumlah Produksi, Nilai Tauke dan Nilai Pasar Serta Selisih Nilai Pada Bulan Maret 2007 Jumlah Nilai Tauke Nilai Pasar Selisih Nilai No Armada Produksi (Rp) (Rp) (Rp) (kg) 1 Kt-Pncng 9.36 102.278.750 133.359.000 31.080.250 2 Kt-Jaring 13.61 80.763.000 107.684.000 26.921.000 3 KM-Pncng 36.59 263.606.000 345.414.759 81.808.759 4 MT-Pncng 44.75 310.403.750 407.999.500 97.595.750 5 MT-Jaring 176.19 1.245.500.150 1.597.028.950 351.528.800 TOTAL 280.349 2.002.551.650 2.591.486.209 588.934.559 Sumber : Data primer hasil survey (Januari-Maret 2007) Dari Tabel 6.6 menunjukkan bahwa total nilai yang diperoleh selama bulan Maret untuk semua jenis armada penangkapan, masing-masing untuk nilai tauke sebesar Rp 2.002.551.650.- dan nilai pasar sebesar Rp 2.591.486.209.- dengan total produksi mencapai 280,349 ton. Jenis armada yang memberikan kontribusi nilai tertinggi adalah motor tempel dengan alat tangkap purseine yaitu mencapai Rp
60
1.245.500.150. untuk nilai tauke dan Rp 1.597.028.950.- untuk nilai pasar, sedangkan armada yang kontribusinya paling rendah adalah ketinting dengan alat tangkap jaring, yaitu nilai tauke sebesar Rp 80.763.000.- dan nilai pasar sebesar Rp 107.684.000. Perkembangan nilai produksi per armada penangkapan dapat dilihat pada Gambar
Nilai produksi (Rp)
6.5. 1,800,000,000 1,600,000,000 1,400,000,000 1,200,000,000 1,000,000,000 800,000,000 600,000,000 400,000,000 200,000,000 Kt-Pncng
Kt-Jaring
KM-Pncng
Nilai tauke
MT-Pncng
MT-Jaring
Nilai pasar
Gambar 6.5 Perbandingan nilai tauke dan nilai pasar pada bulan Maret 2007 Gambar 6.5 menunjukkan perbandingan antara nilai tauke dan nilai pasar per armada penangkapan serta selisih kedua nilai tersebut dengan total selisih sebesar Rp 588.934.559.- Selanjutnya perkembangan total produksi, nilai tauke, nilai pasar dan selisih nilai antara nilai tauke dan nilai pasar (nilai unreported fisheries) secara keseluruhan dari bulan Januari-Maret 2007 dapat dilihat pada Tabel 6.7. Tabel 6.7 Total Produksi dan Total Nilai Unreported Fisheries Pada Bulan JanuariMaret 2007 No
Bulan
Jlh Produksi (kg)
Nilai Produksi (Rp) Nilai Tauke (Rp)
Nilai Pasar (Rp)
Selisih (Rp)
1.696.738.3 1
Jan
264.867
25
694.801.89 2.391.540.217
2
2.143.038.897
1.648.893.7 2
Febr
259.791
50
499.932.01 2.148.825.768
8
2.101.968.981
2.002.551.6 3
Maret
280.349
50
588.934.55 2.591.486,209
9
2.268.303.759
5.348.183.7 Total
805.008
25
Sumber : Hasil analisis
Estimasi Nilai Produksi di TPI (Rp)
1.783.668.46 7.131.852.193
8
6.513.311.637
Estimasi Nilai Retribusi (2,5%xNilai TPI) (Rp) 53.575.97 2,43 52.549.22 4,53 56.707.59 3,98 162.832.790 ,93
61
Tabel 6.7 menggambarkan total produksi dan total nilai produksi yang diperoleh dari semua jenis armada penangkapan. Jumlah produksi tertinggi terjadi pada bulan Maret sebesar 280.349 Kg ( 280,349 ton), kemudian diikuti pada bulan Januari sebesar 264.867 Kg (264,867 ton) dan bulan Februari sebesar 259.791 Kg (259,791 ton).
Total nilai tauke yang dihasilkan sebesar Rp 5.348.183.725.-, nilai tauke
tertinggi dihasilkan pada bulan Maret sebesar Rp 2.002.551.650.- kemudian pada bulan Januari sebesar Rp 1.696.738.325.- dan bulan Februari sebesar Rp 1.648.893.750.-,
sedangkan total nilai pasar yang dihasilkan sebesar Rp
7.131.852.193.- dengan nilai tertinggi pada bulan Maret sebesar Rp 2.591.486.209.kemudian pada bulan Januari sebesar Rp 2.391.540.217.- dan bulan Februari sebesar Rp 2.148.825.768.-. Tabel 6.7 juga menggambarkan estimasi nilai produksi yang terjadi di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) menggunakan harga rata-rata yang terjadi di PPN dan PPI pada bulan Januari-Maret 2007, yaitu Rp 8.091 per kilogram (lihat harga reported Tabel 6.2) dan estimasi besarnya retribusi (2,5% dari total nilai di TPI) yang merupakan kerugian ekonomi (economic loss) yang dialami oleh pemerintah akibat unreported fisheries. Total nilai produksi yang dapat diestimasi di TPI adalah sebesar Rp 6.513.311.637 dengan nilai pada bulan Januari sebesar Rp 2.143.038.897, bulan Februari sebesar Rp 2.101.968.981, dan bulan Maret sebesar Rp 2.268.303.759. Total nilai retribusi yang dapat diestimasi selama bulan Januari-Maret 2007 adalah sebesar Rp 162.832.790,93 dengan nilai pada bulan Januari sebesar Rp 53.575.972,43, bulan Februari sebesar Rp 52.549.224,53 dan bulal Maret sebesar Rp 56.707.593,98 atau nilai rata-rata retribusi per bulan sebesar Rp 54,277,596.98. Nilai retribusi tersebut menggambarkan jumlah kerugian ekonomi riel yang dialami oleh pemerintah Kota Ternate dalam pengelolaan sumberdaya perikanan selama bulan Januari-Maret 2007. Selanjutnya selisih nilai antara nilai tauke dan nilai pasar yang menggambarkan peluang ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dari produksi unreported fisheries pada bulan Januari – Maret 2007 yang terjadi di Kota Ternate dapat dilihat pada Gambar 6.6.
62
Nilai tauke & Nilai pasar (Rp)
3,000,000,000 2,500,000,000 2,000,000,000 1,500,000,000 1,000,000,000 500,000,000 JANUARI
FEBRUARI Nilai tauke
MARET
Nilai pasar
Gambar 6.6 Perbandingan total nilai tauke dan nilai pasar unreported fisheries bulan Januari - Maret 2007 Gambar 6.6 menjelaskan selisih antara nilai tauke dan nilai pasar, nilai tersebut adalah nilai peluang ekonomi yang merupakan hasil dari modifikasi model perubahan nilai, sehingga diperoleh nilai peluang ekonomi dari unreported fisheries yang terjadi di Kota Ternate. Modifikasi model perubahan nilai menghasilkan suatu formula peluang ekonomi dari unreported fisheries merupakan selisih antara total nilai pasar dan total nilai tauke, sehingga diperoleh nilai peluang ekonomi dari unreported fisheries periode Januari-Maret 2007 sebesar Rp 1.783.668.468 atau ratarata per bulan sebesar Rp 594.556.156. Nilai ini merupakan nilai peluang ekonomi yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh pemerintah yang diasumsikan sebagai single owner dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di wilayah perairan Kota Ternate. Peluang ekonomi tersebut jika dimanfaatkan oleh pemerintah maka memiliki efek ganda (multiplier effect) antara lain adalah; menghasilkan rente ekonomi melalui retribusi di PPN atau PPI, mengontrol jumlah produksi atas pemanfaatan sumberdaya perikanan sehingga menghasilkan data produksi dan effort yang aktual, memudahkan para nelayan untuk menjual hasil tangkapannya, mengatasi jalur pemasaran lintas Kabupaten/Kota, Provinsi dan Negara yang secara ekonomi sangat merugikan
63
pemerintah daerah, meminimalisir resiko usaha para tauke akibat menempuh jarak yang jauh dan waktu yang lama karena terjadi sentralisasi aktivitas transaksi di PPN atau PPI, stabilisasi harga ikan berbasis pertimbangan manfaat untuk semua pihak dan distribusi manfaat ekonomi yang lebih luas dan melibatkan masyarakat yang lebih banyak atas pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap. 6.2.2. Rente Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Rente sumberdaya (resource rent) merupakan surplus yang bisa dinikmati oleh pemilik sumberdaya (misalnya pemerintah) yang merupakan selisih antara jumlah yang diterima dari pemanfaatan sumberdaya dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengekstraksinya, Fauzi (2004). Sebagaimana asumsi dalam riset ini bahwa pemerintah dianggap sebagai pemilik atau pengelola tunggal (single owner) sumberdaya perikanan tangkap di wilayah perairan Kota Ternate, maka seluruh pembiayaan yang berhubungan dengan pengelolaan dan eksploitasi sumberdaya perikanan yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Ternate merupakan Total Cost (total biaya), sedangkan Total Revenue (total penerimaan) adalah jumlah nilai dari total reported fisheries (perikanan yang dilaporkan). Besarnya anggaran pembiayaan DKP Kota Ternate untuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap dapat dilihat pada Tabel 6.8. Tabel 6.8 Anggaran Pembiayaan DKP Kota Ternate Tahun 2005-2006 Nilai (Rp/tahun) 2005 2006 1 860.649.500 3.979.343.162 1.030.000.00 2 1.980.000.000 0 831,250,00 3 Dana APBN 1,000,000,000 0 432.570.50 4 Dana Anggaran Rutin DKP Kota Ternate 640.843.162 0 5.154.470.00 7.600.186.324 Total Cost 0 Sumber : Diolah dari DKP Kota Ternate (2006 dan 2007) No
Uraian Sumber Pembiayaan Dana APBD Dana DAK non DR Bidang Kelautan Perikanan
64
Tabel 6.8 menggambarkan anggaran pembiayaan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate periode 2005-2006 yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Kota Ternate. Realisasi anggaran tersebut disesuaikan dengan perencanaan program yang telah ditetapkan oleh instansi tersebut. Anggaran yang bersumber dari APBD porsinya lebih besar digunakan untuk hal-hal teknis dan administrasi seperti : Pelaksanaan administrasi umum pemerintah, penyusunan data base perikanan, pelatihan ketrampilan khusus aparatur perikanan, sosialisasi UU No.31 thn 2004 dan lain-lain. Dana DAK NON DR digunakan untuk pembangunan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), pembangunan kantor PPI tahap II dan peningkatan sarana PPI. Dana APBN digunakan untuk Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir. Sedangkan Dana Anggaran Rutin digunakan sebagai belanja pegawai personalia, belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas dan belanja pemeliharaan. Total revenue dari pengelolaan sumberdaya perikanan di Kota Ternate diperoleh dari nilai nominal produksi perikanan yang dilaporkan (reported fishing), yaitu harga dari jumlah produksi yang dilaporkan pada Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ternate. Dalam pendekatan analisis ini, total nilai produksi yang digunakan adalah pada tahun 2005 dan 2006, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 6.9. Tabel 6.9 Total Produksi dan Total Nilai Produksi Tahun 2005-2006 No
Uraian
1
Total Produksi (ton)
2
Total Nilai (Total Revenue) (Rp)
Tahun 2005
2006
10.118,90
12.118,90
51.078.952.456
64.016.004.799
Sumber : Diolah dari DKP Kota Ternate (2006 dan 2007) Tabel 6.9 menggambarkan total nilai produksi perikanan yang dilaporkan di Kota Ternate, yaitu pada tahun 2005 sebesar Rp 51.078.952.456 dengan total produksi sebesar 10.118,90 ton dan pada tahun 2006 meningkat menjadi Rp 64.016.004.799 dengan total produksi sebesar 12.118,90 ton. Setelah diperoleh nilai Total Revenue (Total penerimaan) dan nilai Total Cost (Total biaya), kemudian
65
dengan dianalisis menggunakan model resources rent, maka rent sumberdaya perikanan Kota ternate tahun 2005-2006 sebagaimana terlihat pada Tabel 6.10. Tabel 6.10 Rente Sumberdaya Perikanan Kota Ternate Thn 2005-2006 No
Uraian
1 Total Revenue 2 Total Cost 3 Resource Rent Sumber : Hasil analisis
Nilai (Rp) 2005 51.078.952.456 5.154.470.000
2006 64.016.004.799 7.600.186.324
45.924.482.456
56.415.818.475
Table 6.10 menggambarkan bahwa Total Revenue pada tahun 2005 sebesar Rp 51.078.952.456, meningkat menjadi Rp 64.016.004.799 pada tahun 2006 atau naik sebesar 25 %. Total Cost pada tahun 2005 sebesar Rp 5.154.470.000 meningkat menjadi Rp 7.600.186.324 pada tahun 2006 atau naik sebesar 47 %, sedangkan rente sumberdaya yang dihasilkan pada tahun 2005 sebesar Rp 45.924 482.456 meningkat menjadi Rp 56.415.818.475 atau naik sebesar 23 %. Jika dibandingkan peningkatan antara Total cost terhadap Total Revenue dan Resource rent, maka nampak peningkatan Total Cost sangat tidak efektif, karena Total Cost yang meningkat sebesar 47 % namun pengaruhnya terhadap peningkatan Total Revenue dan Resource rent masing-masing hanya
25 % dan 23 %.
6.2.3. Identifikasi Faktor-Faktor yang Potensial Mempengaruhi Terjadinya Unreported Fisheries di Kota Ternate Unreported fisheries (perikanan yang tidak dilaporkan) atau perikanan yang tidak dilaporkan adalah hasil tangkapan nelayan yang baik dilakukan secara legal maupun illegal yang tidak diketahui oleh pemerintah. Dalam penelitian ini unreported fisheries dibatasi pada nelayan lokal yang melakukan aktifitas penangkapan di wilayah perairan Kota Ternate, namun berapa jumlah hasil yang diperoleh tidak diketahui oleh Pemerintah. Berdasarkan pendekatan berbagai referensi dan literatur serta observasi lapangan, maka dapat diidentifikasi beberapa
66
faktor yang potensial mempengaruhi terjadinya unreported fisheries di wilayah Kota Ternate, yaitu faktor ; ekonomi, sosial budaya, geografis dan kebijakan pemerintah. Identifikasi faktor-faktor potensial tersebut memiliki sejumlah variabel yang dapat dilihat pada Tabel 6.11. Tabel 6.11 Identifikasi Faktor-Faktor yang Potensial Mempengaruhi Terjadinya Unreported Fisheries di Kota Ternate No
Faktor-Faktor
1
Ekonomi
2
Sosial Budaya
3
Geografis
4
Kebijakan
Variabel-Variabel Biaya Hasil Harga Pasar Kebiasaan Hubungan Kekeluargaan Tingkat Pendidikan Letak Wilayah Kekerabatan Bantuan Armada Sarana dan Prasarana Pemasaran Sosialisasi
Sumber : Diolah dari data primer 1. Faktor Ekonomi Biaya, jumlah hasil yang diperoleh, harga dan pasar merupakan variabel dalam faktor ekonomi yang potensial berpengaruh terhadap terjadinya unreported fisheries yang dilakukan oleh para nelayan di sejumlah wilayah Kota Ternate. Nelayan beralasan bahwa jika hasil yang diperoleh tidak stabil dan cendeung menurun serta biaya yang dikeluarkan untuk mendaratkan hasil tangkapan ke PPN atau PPI relative lebih mahal karena jarak yang jauh, maka alternatif nelayan untuk menjual hasil tangkapan mereka adalah kepada para tauke sebagai pasar para nelayan yang dianggap lebih efisien dan efektif, walaupun kenyataannya profit atau keuntungan yang diperoleh nelayan jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan tauke. 2. Sosial Budaya
67
Kebiasaan masyarakat yang diperkirakan muncul sejak zaman barter atau zaman pertukaran barang dengan barang
, masyarakat pesisir menukar hasil usahanya
berupa berbagai jenis ikan dengan barang-barang yang dihasilkan oleh masyarakat dari pegunungan berupa produk-produk pertanian, dan kebiasaan tersebut oleh sebagian masyarakat di kawasan pedesaan masih tetap berlangsung hingga saat ini, walaupun sebagian besar sudah melakukan transaksi yang normal sesuai dengan kaidah ekonomi modern. Hasil yang diperoleh para nelayan kecil (tradisional) yang relatif sedikit jumlahnya (10-20 Kg per trip untuk nelayan yang menggunakan armada Ketinting dengan alat tangkap pancing) langsung ditangani pemasarannya oleh istri nelayan sendiri, namun sangat disayangkan istri para nelayan ini masih terjebak oleh para tauke yang mencari untung (rent seeker), yang telah dianggap sebagai kerabat, akhirnya sistim transaksi pun tidak jelas antara para nelayan dengan istri mereka, hasil tangkapan suami dijual sematamata hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Sistim ini sudah membudaya dan berlanjut secara terus menerus yang membuat keluarga para nelayan terjebak dalam kemiskinan yang sistematik di satu sisi dan terjadinya unreported fisheries di sisi lain. Tingkat pendidikan nelayan yang rata-rata tidak tamat SD menjadi salah satu variabel yang potensial berpengaruh atas terjadinya unreported fisheries, mereka tidak memahami apa akibat dari unreported fisheries dan bagaimana cara pemecahannya dan cenderung tidak mau tahu. Hal yang terpenting bagi mereka adalah hasil tangkapan bisa terjual untuk menutupi biaya operasional dan memenuhi kebutuhan rumah tangganya. 3. Geografis Wilayah Kota Ternate terdiri atas sejumlah pulau kecil, yaitu Pulau Ternate, Pulau Moti, Pulau Hiri, Pulau Tifure dan Pulau Mayau (Batangdua) serta tiga pulau yang tidak berpenghuni yaitu Pulau Mano, Pulau Maka dan Pulau Gurida. Pulau Ternate merupakan pulau yang paling besar diantara yang lainnya dan menjadi pusat pemerintahan. Jarak antara Pulau Moti ke Pulau Ternate adalah 11 mil laut, Pulau Tifure dan Pulau Mayau (Batangdua) ke Pulau Ternate mencapai 106 mil laut, dan Pulau Hiri ke Pulau Ternate adalah 1,5 mil laut. Jarak yang
68
cukup jauh antara pulau-pulau dan harus ditempuh melalui jalur laut sehingga sangat sulit bagi nelayan untuk mengakses jalur pemasaran hasil tangkapan mereka ke Kota Ternate, dimana terdapat PPN dan PPI. Hal ini merupakan salah satu alasan geografis yang menyebabkan terjadinya unreported fisheries di Kota Ternate. Perlu diketahui juga bahwa dengan kondisi geografis yang begitu rumit membuat para nelayan lebih mempertimbangkan faktor kekerabatan dalam pemasaran hasil tangkapan mereka, nelayan yang berasal dari Pulau Moti yang didominasi oleh etnis Tidore dan Makian memilih menjual hasil tangkapan mereka ke Kota Tidore dan Pulau Makian (Kab. Halmahera selatan) yang lebih dekat jaraknya dibandingkan ke Kota Ternate. Begitu juga dengan nelayan yang berada di Pulau Tifure dan Mayau (Batangdua) yang lebih banyak berinteraksi dengan penduduk Sulawesi Utara memilih menjual hasil tangkapan mereka ke Kota Bitung yang secara geografis lebih dekat dibandingkan ke Ternate. 4. Kebijakan Kebijakan Pemerintah dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan berpengaruh terhadap terjadinya unreported fisheries di Kota Ternate. Bantuan pengadaan armada oleh Pemda Provinsi dan Pemda Kota Ternate yang dominan adalah armada Katinting yang diberikan kepada nelayan kecil, otomatis jumlah tangkapan yang dihasilkan oleh nelayan ini pun kecil yang hanya dapat dijual kepada para tauke yang berada di sekitarnya, karena jika hasil tersebut diangkut ke PPN yang berada di Kel. Bastiong atau PPI yang berada di Kel. DufaDufa, maka akan menimbulkan biaya operasional yang lebih besar dan merugikan para nelayan. Selain dari bantuan armada yang terbatas, para nelayan juga masih memerlukan sarana untuk penanganan produksi yang dapat menampung hasil yang lebih banyak dan tahan lebih lama serta teknologi pengolahan hasil yang efisien dan efektif. Sosialisasi adalah variabel penting dalam faktor kebijakan selain bantuan armada, sarana dan prasarana dalam hal pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan. Hal ini dilakukan untuk membangun komunikasi dan informasi antar pemerintah dan para nelayan dan sebagai media persuasif dalam membangun moral suation kepada para nelayan untuk
69
memanfaatkan sumberdaya secara optimal. Namun jika hal ini tidak dilakukan scara intensif, maka terjadi berbagai fenomena yang merugikan semua stakeholder yang terlibat dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan, termasuk terjadinya unreported fisheries (perikanan yang tidak dilaporkan). Gambar 6.7 berikut ini menjelaskan tentang proses dan dampak terjadinya unreported fisheries dan reported fisheries di Kota Ternate.
Fisheries Reources
Local
Unreported Fishing
Tauke
Retribusi
PPN PPI
Miss Value Of Stock Assesment
Economic loss Ancaman Stock
Foreign Fisherman Illegal Fishing
Economic Loss Missing Data
Σ
Factual Fisheries Resources
Reported Fishing
Economy/Social Benefit Goverment income
Resources Rent
Goverment
Optimal Stock Control
Stock Control Managament Cost
Gambar 6.7 Proses dan Dampak Unreported Fisheries dan Reported Fisheries di Kota Ternate Dari gambar 6.7 dapat dilihat bahwa unreported fisheries terjadi baik dilakukan oleh nelayan lokal maupun nelayan asing. Nelayan asing yang melakukan illegal fishing sudah pasti melakukan unreported fisheries, karena hasil tangkapan yang diperoleh langsung di angkut ke negara dimana nelayan tersebut berasal atau dijual secara illegal kepada perusahaan-perusahaan asing lainnya. Hal ini menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar karena jenis ikan yang dicuri adalah ikan-ikan yang bernilai ekonomis tinggi dan jumlahnya mencapai puluhan ribu ton, selain kerugian ekonomi tersebut kegiatan illegal ini juga menimbulkan ancaman terhadap stok ikan di wilayah perairan Kota Ternate karena jenis armada dan alat tangkap yang digunakan kemungkinan besar tidak ramah lingkungan seperti pukat harimau dan lain-lain.
70
Sedangkan unreported fisheries yang dilakukan oleh nelayan lokal lebih disebabkan oleh faktor-faktor yang tercipta secara sistematis (lihat tabel 6). Unreported fishing yang terjadi oleh nelayan lokal menyebabkan pemerintah mengalami kerugian ekonomi dan kehilangan data tentang kondisi stok, tetapi kegiatan penangkapan oleh nelayan lokal tidak mengancam keberadaan stok ikan karena armada dan alat tangkap yang digunakan masih bersifat tradisional dan ramah lingkungan. Dampak yang ditimbulkan oleh unreported fisheries secara keseluruhan adalah kerugian ekonomi (economic loss) dan kesalahan data oleh pemerintah dalam melakukan pendugaan stok yang pada akhirnya berpengaruh pada kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan secara optimal. Jumlah sumberdaya perikanan yang faktual yang dihasilkan di kawasan perairan Kota Ternate juga dapat dilihat pada gambar diatas, yaitu jumlah antara unreported fisheries dengan reported fisheries. Gambar 6.7 juga menunjukkan proses terjadinya reported fisheries, dari hasil tangkapan nelayan yang didaratkan di PPN (Pelabuhan Perikanan Nusantara) atau PPI (Pelabuhan Pendaratan Ikan) kemudian dilakukan lelang kepada para tauke, dari kegiatan lelang tersebut pemerintah memperoleh retribusi yang dikenakan kepada nelayan yang menjadi income bagi pemerintah dan dapat dimanfaatkan sebagai management cost dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan. Manfaat lain dari kegiatan tersebut adalah penyerapan tenaga kerja yang dapat menekan angka pengangguran, inilah yang dimaksud dengan economy benefit (manfaat ekonomi) atau manfaat sosial dari reported fisheries (perikanan yang dilaporkan). Kegiatan ini jika dikelola secara profesional maka tidak menutup kemungkinan kesejahteraan seluruh stakeholder yang terlibat dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan terutama para nelayan tidak hanya sebatas impian namun akan menjadi kenyataan. 6.2.4. Korelasi Nonparametrik Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Unreported Fisheries Deskripsi terhadap jawaban responden dan hasil pengamatan di lokasi penelitian
menunjukkan bahwa terjadinya unreported fisheries dipengaruhi oleh
71
sejumlah faktor dengan variabelnya masing-masing, yaitu faktor ekonomi dengan variabel hasil tangkapan, biaya, harga dan pasar (lihat diskripsi Tabel 6.11), pendidikan yang merupakan variabel dari faktor sosial budaya, geografis dengan variabel jarak antar pulau-pulau dengan Pulau Ternate sebagai pusat aktivitas ekonomi dan kebijakan pemerintah. Sejauh mana hubungan antara faktor-faktor dengan variabel-variabel tersebut, maka coba dilihat dengan pendekatan korelasi nonparametrik (korelasi Spearman). Nilai variabel dari faktor-faktor yang berhubungan tersebut diidentifikasi berdasarkan jawaban responden atas pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner. Ada beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan terjadinya unreported fisheries di wilayah Kota Ternate yang telah didesain dalam kuesioner, antara lain adalah ; 1) Faktor ekonomi (pendapatan/hasil, biaya, harga, dan pasar) merupakan faktor yang menjadikan bapak-bapak (nelayan) tidak mendaratkan hasil tangkapan ke PPN atau PPI di Ternate, 2) Faktor geografis (jarak antar pulau) menjadikan bapak-bapak (nelayan) mengalami kesulitan untuk membawa hasil tangkapan dan mendaratkannya ke PPN atau PPI di Ternate. Jawaban responden atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dan tingkat pendidikan responden kemudian diidetifikasi skornya berdasarkan asumsi-asumsi sebagaimana terlihat pada Tabel 6.12 berikut ini. Tabel 6.12 Identifikasi scorring variabel yang potensial berhubungan dengan unreported fisheries Faktor yang berhubungan
4
Ekonomi
Sangat setuju
Geografis
Sangat setuju
3
Scoring 2
1 Sangat tidak Setuju Tidak setuju setuju Sangat tidak Setuju Tidak setuju setuju
Perguruan SMA SMP Tinggi Sumber : Diolah dari data primer (2007) Pendidikan
SD
0 Tidak tahu Tidak tahu Tidak sekolah
Tabel 6.12 menjelaskan bahwa jika responden menjawab sangat setuju faktor ekonomi (lihat deskripsi tabel 6.11) berhubungan dengan unreported fisheries, maka skornya = 4, setuju = 3, tidak setuju = 2, sangat tidak setuju = 1 dan tidak tahu =0.
72
Demikian juga dengan scorring jawaban responden terhadap faktor geografis, sedangkan faktor pendidikan di-skor berdasarkan tingkat pendidikan responden, yaitu jika pendidikannya Perguruan Tinggi = 4, SMA = 3, SMP = 2, SD = 1 dan Tidak sekolah = 0. Berdasarkan pendekatan scorring tersebut, maka hasil scorring faktorfaktor yang berhubungan dengan unreported fisheries dari 59 responden nelayan di wilayah Kota Ternate dapat dilihat pada Tabel 6.13, sedangkan hasil scoring secara rinci disajikan pada Lampiran 3. Tabel 6.13 Jumlah dan Persentase Jawaban Responden Terhadap Faktor-Faktor yang Potensial Berhubungan dengan Urepoted Fisheries Faktor yang berhubungan
Skor 4
Skor 3
Σ org % Σ org % Pendidikan 0 0 Geografis 18 31 31 53 Ekonomi 23 39 30 51 Sumber : Diolah dari data primer (2007)
Skor 2 Σorg 7 1 1
Skor 1
% Σ org 12 24 0,2 1 0,2 0
Skor 0
% Σ org 41 28 0,2 8 5
% 47 14 8
Tabel 6.13 menjelaskan bahwa jumlah responden nelayan yang tidak sekolah sebesar 47 % (28 0rang), SD sebesar 41 % (24 orang), SMP sebesar 12 % (7 orang), SMA dan Perguruan Tinggi tidak ada (0). Jawaban responden atas hubungan faktor geografis (jarak) terhadap unreported fisheries adalah ; sangat setuju = 31% (18 orang), setuju = 53% (31 orang), tidak setuju = 0,2% (1 orang) dan tidak tahu = 1% (8 orang). Sedangkan jawaban responden atas hubungan faktor ekonomi terhadap unrepoted fisheries adalah ; sangat setuju = 39% (23 orang), setuju = 51% (30 orang), tidak setuju = 0,2% (1 orang), sangat tidak setuju = 0 (tidak ada) dan tidak tahu = 1% (5 orang). Nilai dari jawaban responden dan tingkat pendidikan yang teridentifikasi tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan korelasi Rank Spearman (RS), maka hasil analisisnya sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 6.14. Tabel 6.14 Korelasi Rank Spearman (RS) Faktor-faktor yang berhubungan dengan Unrepoted fisheries Correlations
73
Pendidikan (social) Spearman's rho
Pendidikan (social)
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Geografis (jarak)
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Ekonomis
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Produksi Unreported Fisheries
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Sumber : Hasil analisis.
Geografis (jarak)
Produksi Unreported Fisheries
Ekonomis
1.000
.078
-.058
-.051
.
.558
.660
.699
59
59
59
59
.078
1.000
.122
.088
.558
.
.358
.506
59
59
59
59
-.058
.122
1.000
.275(*)
.660
.358
.
.035
59
59
59
59
-.051
.088
.275(*)
1.000
.699
.506
.035
.
59
59
59
59
Ket : * Korelasi signifikan pada level 0,05.
Tabel 6.14 menggambarkan hubungan antara sejumlah faktor yaitu, faktor pendidikan, geografis (jarak), ekonomi dan jumlah produksi perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fisheries). Hasil analisis mengindikasikan hubungan faktorfaktor tersebut, untuk faktor pendidikan mengindikasikan korelasi yang negative (-0.5), yaitu semakin rendah tingkat pendidikan responden mengindikasikan kontribusinya terhadap unreported fisheries yang semakin tinggi sebaliknya semakin tinggi tingkat pendidikan responden mengindikasikan kontribusinya terhadap unreported fisheries semakin rendah (tidak ditemukan responden yang berpendidikan perguruan tinggi dan SMA, Tabel 6.13), sedangkan fakor geografis mengindikasikan korelasi positif terhadap unreported fisheries, yaitu semakin jauh jarak antara tempat tinggal nelayan dengan PPI atau PPN, maka semakin tinggi pula kontribusinya terhadap terjadinya unreported fisheries. Korelasi
positif kecil (0,275) namun
signifikan terjadi antara faktor ekonomi dengan unreported fisheries. Faktor ekonomi yang terdiri dari variabel hasil tangkapan atau pendapatan, harga, biaya dan pasar merupakan hal-hal yang signifikan berhubungan dengan terjadinya unreported fisheries. Artinya jumlah hasil tangkapan nelayan yang tidak pasti dan cenderung menurun, biaya pendaratan ke PPI atau PPN yang relatif tinggi karena jarak yang
74
ditempuh sangat jauh khususnya nelayan dari Kecamatan Pembantu Pulau Moti dan Kecamatan Pembantu Pulau Batang dua, harga yang dominan ditentukan oleh tauke serta pasar yang telah tersedia (tauke) berhubungan signifikan dengan terjadinya unreported fisheries di Kota Ternate. 6.2.5. Sumberdaya Perikanan Aktual Sumberdaya perikanan yang aktual adalah jumlah produksi perikanan yang sesungguhnya terjadi, terdiri dari jumlah produksi perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fisheries) dan jumlah produksi perikanan yang dilaporkan (reported fisheries). Sumberdaya perikanan yang aktual idealnya harus diketahui oleh pemerintah sebagai pemegang kendali dalam pengelolaan sumberdaya, yang bermanfaat untuk mengontrol stok sumberdaya dan mengatur kebijakan pengelolaan sumberdaya secara optimal. Namun kenyataannya sangat sulit karena selama masih terjadi unreported fisheries yang baik dilakukan oleh nelayan lokal maupun nelayan asing, maka kondisi sumberdaya perikanan yang aktual juga akan sulit diketahui, sehingga akan terjadi stock control yang tidak optimal yang mempengaruhi kualitas kebijakan dan akan menjadi salah satu masalah yang menghambat dalam usaha pengembangan atau investasi dalam bidang usaha perikanan. Tabel 6.15 menyajikan total produksi dan total nilai produksi perikanan yang dilaporkan (reported fisheries) berdasarkan dua tempat pendaratan di Kota Ternate. Tabel 6.15 Total Produksi dan Total Nilai Produksi Perikanan yang Dilaporkan
Bln
Jan Feb Maret Total
Total Produksi PerTempat Landing (ton) PPI PPN DufaBastiong Dufa 3 446,625 46 2 432,165 90 565 297,391 1.176 1.201
Total Produksi Perikanan Yg dilaporkan (ton)
Total Nilai Per Tempat Landing (Rp) PPN Bastiong
793
3.237.207.500
722
2.850.200.800
862 2.377
2.046.174.000 8.133.582.300
Sumber : Diolah dari DKP Kota Ternate (2007)
PPI Dufa-Dufa
2.513.300.000 2.170.075.000 2.757.400.000 7.440.775.000
Total Nilai Perikanan Yg Dilaporkan (Rp) 5.750.507.500 5.020.275.800 4.803.574.000 15.574.357.300
75
Tabel 6.15 menjelaskan bahwa perikanan yang dilaporkan (reported fisheries) di Kota Ternate bersumber dari dua tempat pendaratan (landing), yaitu Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) yang terletak di Kelurahan Bastiong Kecamatan Kota Ternate Selatan dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yang terletak di Kelurahan Dufa-Dufa Kecamatan Kota Ternate Utara. Total produksi yang dilaporkan selama tiga bulan (Januari-Maret 2007) adalah sebesar 2.377 ton, yang terdiri dari 1.176 ton di daratkan di PPN Bastiong dan 1.201 ton di daratkan di PPI Dufa-Dufa. Sedangkan Total nilai yang dihasilkan adalah Rp 15.574.357.300 yang terdiri dari Rp 8.133.582.300 berasal dari PPN Bastiong dan Rp 7.440.775.000 berasal dari PPI Dufa-Dufa. Untuk memperoleh jumlah produksi dan nilai produksi yang aktual, maka dilakukan penjumlahan dari produksi dan nilai produksi perikanan yang dilaporkan dengan produksi dan nilai produksi perikanan yang tidak dilaporkan. Tabel 6.16 berikut ini menggambarkan perbandingan atau rasio antara produksi dan nilai produksi serta produksi rata-rata per bulan antara perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fisheries), perikanan yang dilaporkan (reported fisheries) serta produksi dan nilai produksi perikanan yang sesungguhnya atau perikanan yang faktual (factual fisheries) di Kota Ternate periode Januari-Maret 2007. Tabel 6.16 Jumlah Produksi dan Nilai Produksi Aktual Produksi (ton) Bln
RF
UF
Nilai (Rp. 000)
% (UF/RF+UF)
Aktual (UF+RF)
RF
UF
% (UF/RF)
Aktual (UF+RF)
Jan
793
264.867
25
1,057.87
7,750,507.50
391,540.20
42
8,142,047.70
Feb
722
259.791
26
981.79
7,020,275.80
148,825.80
43
7,169,101.50
Mrt
862 2,3 77
280.349
25
1,142.35
6,803,574
591,486.20
15
7,395,060.20
3,182.01
21,574,357
1,131,852.20
792,33
268,34
1.060,67
7.191.452,43
377.284,07
Jlh Rata -rata
805,007 25,03
22,706,209.40 46
Sumber : Diolah dari data primer hasil survey dan DKP Kota Ternate (2007) Ket : RF = Reported Fisheries UF = Unreported Fisheries
7.568.736,47
76
Produksi (ton)
1200 1000 800 600 400 200 0 Reported
Unreported Januari
Februari
Aktual Maret
Gambar 6.8 Perbandingan jumlah produksi antara unreported fisheries, reported fisheries dan actual fisheries Tabel 6.16 dan Gambar 6.8 menunjukkan jumlah produksi dan nilai produksi perikanan sesungguhnya (aktual) yang terjadi di Kota Ternate periode Januari-Maret 2007. Total produksi aktual adalah 3.182,01 ton yang terdiri atas 2.377 ton produksi yang dilaporkan dan 805,007 ton produksi yang tidak dilaporkan. Perbandingan antara jumlah produksi yang tidak dilaporkan terhadap total produksi perikanan ratarata adalah 25,03 % perbulan, artinya pemerintah kehilangan jumlah produksi ratarata per bulan adalah sebesar 25,03% dari total produksi yang sebenarnya. Selanjutnya dapat dilihat perbandingan antara nilai produksi yang dilaporkan dan
Nilai produksi (Rp)
nilai produksi yang tidak dilaporkan pada Gambar 6.9. 10,000,000,000 9,000,000,000 8,000,000,000 7,000,000,000 6,000,000,000 5,000,000,000 4,000,000,000 3,000,000,000 2,000,000,000 1,000,000,000 Reported
Unreported Januari
Februari
Aktual Maret
77
Gambar 6.9
Perbandingan antara nilai produksi unreported fisheries, reported fisheries dan actual fisheries
Gambar 6.9 menjelaskan bahwa total nilai aktual yang dihasilkan dari pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kota Ternate mencapai lebih dari Rp 22 milyar yang terdiri atas nilai produksi perikanan yang dilaporkan Rp 15 milyar lebih dan nilai produksi perikanan yang tidak dilaporkan mencapai Rp 7 milyar lebih. Perbandingan antara nilai produksi yang tidak dilaporkan dengan nilai produksi yang dilaporkan
adalah rata-rata 46% per bulan, artinya pemerintah telah kehilangan
jumlah nilai produksi rata-rata per bulan adalah sebesar 46% dari total nilai produksi perikanan yang aktual. 6.3. Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan 6.3.1. Estimasi Parameter Biologi Analisis ini merupakan analisis lanjutan dari penelitian yang pernah dilakukan oleh Muhsin Bin Syeh Abubakar pada tahun 2004. Langkah awal analisis optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah pendugaan parameter biologi, namun sebelumnya harus dilakukan standarisasi effort (upaya) terhadap alat tangkap, karena alat tangkap yang digunakan terdiri dari tiga jenis yaitu, jaring insang hanyut, pancing tonda dan jaring insang lingkar. Alat tangkap dominan yang digunakan oleh nelayan di Kota Ternate dalam aktifitas penangkapan adalah pancing tonda, jaring insang lingkar dan jarring insang hanyut dengan hasil sebagaimana terlihat pada Tabel 6.17. Tabel 6.17 Jumlah Jroduksi dan Jumlah Effort Per Alat Tangkap Dan CPUE Produksi (ton) Thn
1993 1994 1995 1996 1997
Jaring Insang Hanyut 1,080.4 5 1,602.0 8 1,452.8 0 1,959.1 6 2,019.0 6
Effort (trip)
Pancing Tonda
Jaring Insang Lingkar
Jaring Insang Hanyut
1,335.80
1,073.46
14,400
Pancing Tonda
CPUE (ton/trip) Jaring Insang Lingkar
Jaring Insang Hanyut
Pancing Tonda
Jaring Insang Lingkar
0.0249
0.09803
0.0260
0.11500
0.0310
0.11801
0.0252
0.12104
0.0228
0.12483
0.0750 53,700
10,950
3 0.0936
1,735.52
1,362.75
17,100
66,750
11,850
9 0.0800
1,998.45
1,451.47
18,150
64,500
12,300
4 0.0989
2,037.87
1,579.55
19,800
80,850
13,050
5 0.0909
1,952.73
1,741.42
22,200
85,800
13,950
5
78
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
2,439.2 6
0.0874
2,311.93 2,204.1 9 2,332.7 0 2,434.6 6 3,560.0 9 3,459.7 7 3,571.0 8 4,129.9 5
2,170.83
1,791.67
27,900
103,050
16,500
1,853.21
1,817.82
28,500
119,250
13,500
1,878.43
1,983.49
24,900
76,050
18,750
3 0.08112 0.0885 2
0.0211
0.10859
0.0155
0.13465
0.0247
0.10579
0.0253
0.09350
0.0267
0.08792
0.0321
0.09234
0.0343
0.11788
0.0305
0.12101
0.0346
0.14608
0.0822 2,151.76
1,963.52
28,350
85,050
21,000
8 0.0737
2,338.72
2,241.95
33,000
87,450
25,500
8 0.1052
3,306.44
2,164.42
33,820
102,980
23,440
7 0.0968
3,660.52
2,928.21
35,709
106,750
24,841
9 0.0949
3,372.39
3,175.43
37,598
110,520
26,242
8 0.1045
3,950.87
4,038.08
39,487
114,290
27,643
9
Sumber : Bin Syeh Abubakar (2004), Diolah dari DKP Kota Ternate (2006) dan BPS Kota Ternate (2006). Dari Tabel 6.17 dapat di lihat kontribusi masing-masing alat tangkap terhadap total produksi setiap tahun. Kemampuan setiap alat tangkap yang berbeda-beda, maka perlu dilakukan standarisasi alat tangkap. Alat tangkap yang digunakan sebagai standar adalah alat tangkap pancing karena dianggap lebih dominan atau memiliki porsi lebih besar dibandingkan dengan kedua alat tangkap yang lainya. Contohnya pada tahun 1993 effort untuk pancing tonda sebanyak 53,700 trip dengan produksi yang dihasilkan sebesar 1.338, 80 ton, lebih besar jika dibandingkan dengan effort dari jaring insang hanyut dan jaring insang lingkar dengan jumlah effort masingmasing 4.400 trip dan 10.950 trip dengan jumlah produksi yang dihasilkan masingmasing sebesar 1.80, 45 ton untuk jaring insang hanyut dan 1.073, 46 ton untuk jaring insang lingkar. Hasil perhitungan standarisasi alat tangkap dapat dilihat pada Tabel 6.18 berikut ini. Tabel 6.18 Standarisasi Effort, Effort Total, Produksi Total dan CPUE Total Indeks Pancing J Insang Hanyut
J. Insag Lingkar
Indeks Pancing Rata-rata
STD Effort (trip)
Effort Total (trip)
Produksi Total (ton)
CPUE Total (ton/trip)
0.332
0.254
0.46
24,616.27
92,716.27
3,489.71
0.037639
0.278
0.226
0.39
26,070.03
109,920.03
4,700.35
0.042762
0.387
0.263
0.52
33,434.47
116,084.47
4,902.72
0.042234
0.255
0.208
0.36
29,013.76
129,663.76
5,576.58
0.043008
0.250
0.182
0.34
29,292.06
137,292.06
5,713.21
0.041614
0.241
0.194
0.34
34,825.62
165,775.62
6,401.76
0.038617
0.192
0.115
0.25
29,726.60
177,476.60
5,982.96
0.033711
0.279
0.233
0.40
30,098.43
131,048.43
6,066.11
0.046289
79
0.307
0.271
0.44
37,657.60
151,057.60
6,447.98
0.042686
0.362
0.304
0.51
44,999.94
165,449.94
7,015.33
0.042402
0.305
0.348
0.48
49,314.26
186,114.36
9,030.95
0.048524
0.354
0.291
0.50
53,307.79
195,766.99
10,048.50
0.051329
0.321
0.252
0.45
49,441.07
197,559.37
10,118.90
0.05122
0.331
0.237
0.45
51,297.98
205,075.38
12,118.90
0.059095
Sumber : Hasil analisis Dari hasil yang diperoleh pada Tabel 6.18, kemudian dengan menggunakan metode CYP yaitu suatu metode pendugaan yang dikembangkan oleh Clark, Yashimoto dan Pooley (1992), maka parameter biologi yang terdiri atas r (Tingkat pertumbuhan intrinsik), q (Koefisien daya tangkap) dan K (Daya dukung lingkungan) dapat diduga sebagaimana pada Tabel 6.19. Sedangkan hasil analisis CYP dan hasil analisis regresi menggunakan fungsi Gompertz
disajikan pada Lampiran 4 dan
Lampiran 5. Tabel 6.19 Nilai Parameter Biologi No
Parameter
Simbol
1
Laju pertumbuhan alami (intrinsic growth rate)
r
2
Koefisien daya tangkap (catch ability coefficient)
q
3
Daya dukung lingkungan (carrying capacity)
K
Nilai 0,680932 1 0,000001 8 16.452,9 2
Sumber : Hasil analisis Estimasi nilai parameter biologi ini sangat penting dan digunakan untuk menentukan tingkat produksi lestari seperti Maximum Sustainable Yield (MSY) dan Maximum Economic Yield (MEY) serta variabel pengelolaan sumberdaya perikanan optimal yang lainnnya. Tabel 6.19 menjelaskan bahwa kondisi pemanfataan sumberdaya perikanan tangkap di Kota Ternate dengan laju pertumbuhan alami (r) sebesar 0,6809321 dengan koefisien daya tangkap (q) sebesar 0,0000018 dan daya dukung lingkungan sebesar 16.452,92. 6.3.2 Estimasi Parameter Ekonomi
80
Variabel yang termasuk dalam estimasi parameter ekonomi adalah biaya dan harga. Biaya merupakan variabel yang penting dalam upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan, karena jumlah biaya menunjukkan tingkat efisiensi dari suatu upaya penangkapan. Dari pandangan secara ekonomi, Jumlah biaya yang semakin besar dikeluarkan dengan hasil yang diperoleh semakin sedikit menunjukkan upaya yang tidak efisien dan sebaliknya jumlah biaya yang kecil dengan perolehan hasil yang besar menunjukkan efisiensi yang baik dari suatu upaya penangkapan. Struktur biaya dalam suatu usaha pemanfaatan sumberdaya perikanan terdiri atas : 1. Biaya investasi, yang meliputi investasi untuk armada dan alat tangkap. 2. Biaya tetap (fixed cost), yang meliputi biaya perawatan armada/perahu, perawatan alat tangkap dan biaya penyusutan. 3. Biaya variabel (variable cost), yang meliputi biaya BBM (minyak tanah dan bensin), biaya konsumsi, biaya umpan, biaya es balok dan biaya oli mesin. Struktur biaya tersebut dapat diperoleh dari wawancara langsung dengan responden. Dalam analisis ini struktur biaya penangkapan yang digunakan merujuk pada model bioekonomi Gordon-Schaefer, bahwa hanya biaya variabel yang diperhitungkan, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk setiap aktivitas penangkapan. Biaya-biaya tersebut diidentifikasi sesuai dengan jenis armada dan alat tangkap masing-masing. Setelah dilakukan identifikasi dan analisis, maka diperoleh rata-rata biaya yang dikeluarkan per trip sebesar Rp 48.450,80.Variabel lain selain biaya yang perannya sangat signifikan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah harga. Nilai dari variabel ini dapat diperoleh dari data sekunder melalui dinas atau lembaga perikanan terkait. Dalam model bioekonomi Copes, harga merupakan penentu dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. Karena harga menjadi variabel penentu nilai dari Total Revenue (TR) dan profit atau keuntungan atas hasil tangkapan setiap nelayan, serta menjadi indikator policy bagi setiap pelaku ekonomi yang terlibat dalam bisnis perikanan tangkap baik dari pihak swasta, pemerintah maupun individu. Problem yang muncul dari penentuan harga untuk suatu kepentingan analisis adalah adanya fluktuasi harga (inflasi) yang tidak menentu karena dipengaruhi oleh
81
berbagai faktor, antara lain adalah; tingkat permintaan (demand), tingkat persediaan (suply), tingkat pendapatan masyarakat dan variabel lainnya yang menjadi fenomena dalam pasar persaingan sempurna (perfect competition market). Untuk memecahkan problem tersebut maka perlu dilakukan penyesuaian harga dengan cara mengkonversi harga nominal menjadi harga riil. Metode ini dilakukan dengan variabel perndukung yaitu indeks harga konsumen (IHK) yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik Kota Ternate yang dijadikan patokan untuk mengubah harga nominal menjadi harga riel. Perkembangan harga ikan tahunan dengan pendekatan harga nominal, indeks harga konsumen dan harga riel dapat dilihat pada Tabel 6.20. Tabel 6.20 Harga Ikan Tahunan di Kota Ternate Periode 1993 – 2006 No
Tahun
Harga Nominal (Rp/Ton)
IHK (1990=100)
Harga Riil
1 1993 2.019.788 134,82 1,498,137 2 1994 2.214.926 149,44 1,482,151 3 1995 2.449.172 165,53 1,479,594 4 1996 2.611.784 177,56 1,470,930 5 1997 3.082.616 209,69 1,470,083 6 1998 3.038.584 207,58 1,463,813 7 1999 3.063.086 208,41 1,469,740 8 2000 3.506.523 238,66 1,469,255 9 2001 3.981.061 271,39 1,466,915 10 2002 4.211.456 288,76 1,458,462 11 2003 4.578.972 295,03 1,552,062 12 2004 4.813.424 311,36 1,545,935 13 2005 5.047.876 327,70 1,540,419 14 2006 5.853.328 344,03 1,701,400 Sumber : Bin Syeh Abubakar (2004), Diolah dari DKP Kota Ternate (2006) Tabel 6.20 menjelaskan bahwa harga nominal ikan rata-rata cenderung meningkat selama periode 1993-2006. Peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 1997 yaitu sebesar 18,03 % atau sebesar Rp 3.082.616 per ton, sedangkan terjadi penurunan pada tahun 1998 yaitu sebesar -1,43 % atau Rp 3.038.584 per ton. Pada tahun 2000 kembali terjadi peningkatan harga ikan walaupun tidak sebesar tahun 1997 yaitu sebesar 14,48 % atau sebesar Rp 3.506.523 per ton. Namun analisis bioekonomik dalam penelitian ini menggunakan harga nominal rata-rata yang lebih
82
update yang terjadi dari bulan Januari-Maret 2007. Harga yang diambil pada bulan tersebut dengan alasan untuk mengimbangi biaya-biaya variabel yang juga diperoleh dari data primer pada bulan-bulan yang sama. Berdasarkan asumsi tersebut, maka rata-rata harga ikan per ton selama tiga bulan, yaitu Januari-Maret 2007 adalah sebesar Rp 7.663.636.Setelah diperoleh nilai-nilai dari parameter biologi dan parameter ekonomi, kemudian diintroduksi kedalam fungsi effort dan fungsi harvest yang dianalisis dengan menggunakan program MAPLE 9.5, maka diperoleh kurva Total Revenue dan Total Cost sebagaimana pada Gambar 6.10 berikut ini.
TC’
Π MSY
TC
Π MEY
TR
Gambar 6.10 Kurva Total Revenue (TR) dan Total Cost (TC) 6.3.3. Estimasi Discount Rate Pendugaan nilai Discount rate diperlukan untuk mengukur rate manfaat masa kini dibanding manfaat yang akan datang dari pemanfaatan sumberdaya alam. Discount rate dalam penilaian ekonomi-ekologi sumberdaya alam akan sangat berbeda dengan discount rate yang biasa digunakan dalam analisis finansial. Pada analisis ini dipakai dua nilai discount rate yaitu nilai discount rate berbasis pasar (market discount rate) dan nilai discount rate berbasis pendekatan Ramsey. Tingkat
83
pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya menggambarkan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya alam itu sendiri, sehingga disebut juga dengan discount rate berdasarkan presepsi masyarakat atau social discount rate. Pengukuran tingkat social discount rate sebenarnya relative sulit karena adanya dinamika perkembangan sosial Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, biasanya tingkat social discount rate tinggi karena menganggap nilai masa depan dari sumberdaya alam dan lingkungan lebih rendah dari saat ini. Namun demikian kendala ini dapat diatasi dengan pendekatan tingkat suku bunga Perbankan, yaitu kesimbangan antara suku bunga pinjaman dan simpanan. Penelitian ini menggunakan discount rate menurut perhitungan Fauzi (2004) sebesar 8% dan market discount rate sebesar 11 %. 6.3.4. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap Tujuan dari analisis bioekonomi adalah mengidentifikasi
dan menentukan
usaha pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap yang optimal. Pemanfaatan yang optimal adalah upaya pemanfaatan yang jika dilihat dari aspek biologi tidak mengancam kelestarian atau keberlanjutan daripada sumberdaya perikanan dan dari aspek ekonomi tidak merugikan para nelayan. Berdasarkan nilai dari parameter biologi dan parameter ekonomi serta estimasi nilai discount rate, kemudian dengan menggunakan pendekatan berbagai formula yang telah dijelaskan sebelumnya (metodologi penelitian), maka hasil analisis optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap dari berbagai kondisi pada berbagai rezim pengelolaan di Kota Ternate, yaitu kondisi maximum sustainable yield (MSY), maximum economic yield (MEY) atau sole owner dan kondisi open acsess dapat dilihat pada Tabel 6.21 dan Gambar 6.21 berikut ini. Sedangkan hasil analiais rezim pengelolaan sumberdaya perikanan menggunakan program Maple 9.5 disajikan pada Lampiran 6. Tabel 6.21 Analisis Bioekonomi dalam berbagai Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap
84
Variabel Biomass (x) (ton) 8.226,46 9.944,62
Catch (ton) & Effort (trip)
MSY MEY Open 3.436,31 Accsess Sumber : Hasil analisis
Produksi (h) (ton) 2.800,83 2.678,65
Upaya (E) (trip) 189.147,81 146.404,80
Rente Ekonomi (Rp) 12.498.482.664,89 13.434.796.517,50
1.851,19
292.809,61
-
250,000.00
10.00
200,000.00
8.00
150,000.00
6.00
100,000.00
4.00
50,000.00
2.00
-
Rente ekonomi (Rp.000.000)
Rejim Pengelolaa n
MEY
OA
MSY
Rezim pengelolaan Produksi (ton)
Effort (trip)
Rente ekonomi (Rp)
Gambar 6.11 Rezim pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap Tabel 6.21 dan Gambar 6.11 di atas menunjukkan bahwa jumlah tangkapan maximum yang dapat menjamin kelestarian dari sumberdaya perikanan tangkap di Kota Ternate adalah sebesar 8.226,46 ton per tahun, artinya jika hasil penangkapan yang dilakukan oleh nelayan melebihi titik tersebut maka akan terjadi biologi overfishing. Sedangkan effort maximum yang masih menjamin benefit secara ekonomi adalah sebesar 189.147,81 trip per tahun, artinya jika effort yang dilakukan melampaui jumlah trip yang ada pada titik tersebut, maka akan terjadi ekonomi overfishing. Pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi MSY memberikan rente ekonomi sebesar Rp.12.498.482.595,19. Produksi aktual rata-rata yang dihasilkan nelayan periode 1993-2006 adalah 6.972,43 ton, dengan rata-rata effort sebanyak 154.357,21 trip per tahun masih dibawah titik produksi dan effort MSY.
85
Walaupun tingkat produksi dan effort rata-rata per tahun masih dibawah titik MSY namun trendnya rata-rata mengalami peningkatan yang semakin tinggi bahkan pada tahun-tahun tertentu telah melewati titik MSY, hal ini mengindikasikan bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan mulai memasuki fase overfishing. Fenomena ini jika dibiarkan dan tidak dikendalikan dengan segera maka akan mengancam kelestarian sumberdaya perikanan bahkan in the long run (dalam jangka panjang) akan terjadi colaps. Selanjutnya Tabel 6.21 dan Gambar 6.12 menjelaskan tentang perbandingan antara produksi aktual produksi lestari kondisi sumberdaya perikanan tangkap di Kota Ternate periode 1993-2006. Tabel 6.22 Perbandingan Antara Produksi Aktual dan Produksi Lestari Thn
Effort (trip)
1993 92,716.27 1994 109,920.03 1995 116,084.47 1996 129,663.76 1997 137,292.06 1998 165,775.62 1999 177,476.60 2000 131,048.43 2001 151,057.60 2002 165,449.94 2003 186,114.36 2004 195,766.99 2005 197,559.37 2006 205,075.38 Sumber : Hasil analisis
Produksi Aktual (ton) 3,489.71 4,700.35 4,902.72 5,576.58 5,713.21 6,401.76 5,982.96 6,066.11 6,447.98 7,015.33 9,030.95 10,048.50 10,118.90 12,118.90
Produksi Lrestari (ton) 3,605.51 4,477.91 3,840.50 5,571.66 6,022.31 7,853.47 8,677.85 5,652.27 6,877.22 7,831.14 9,315.08 10,057.10 10,198.45 10,803.62
Selisih (ton) 115.80 (222.44) (1,062.22) (4.92) 309.10 1,451.71 2,694.89 (413.84) 429.24 815.81 284.13 8.60 79.55 (1,315.28)
06
20
05
04
20
03
20
02
20
20
01
00
20
99
20
98
19
19
97
96
19
95
19
19
19
19
94
14,000.00 12,000.00 10,000.00 8,000.00 6,000.00 4,000.00 2,000.00 0.00 93
Produksi (ton)
86
Thn Produksi Aktual
Produksi Lestari
Gambar 6.12 Kurva perbandingan produksi aktual dan produksi lestari Tabel 6.22 dan Gambar 6.12 menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di wilayah Kota Ternate telah memasuki fase overfishing (tangkap lebih) pada beberapa tahun, yaitu pada tahun 1994 sebesar 222,44 ton, tahun 1995 sebesar 1.062,22 ton, tahun 1996 sebesar 4.92 ton, tahun 2000 sebesar 413,84 ton dan overfishing tertinggi terjadi pada tahun 2006 sebesar 1.315,28 ton. 6.3.4.1. Rezim Open Access Open accsess didefenisikan dengan seseorang atau pelaku perikanan yang mengeksploitasi sumberdaya secara tidak terkontrol atau dengan kata lain setiap orang dapat memanen sumberdaya tersebut (Clark, 1990). Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang terjadi pada umunya termasuk di Kota Ternate bersifat open accsess (akses terbuka). Praktek pemanfaatan ini didasarkan pada asumsi kepemilikan bersama atas sumberdaya (common property resources) atau lebih dikenal dengan istilah every one’s property is no one’s property. Pendekatan konsep ini menimbulkan setiap pelaku berusaha mengejar rente setinggi-tingginya sampai pada tingkat rente tersebut habis dengan sendirinya (rente=0), tanpa mempedulikan ancaman terhadap kelestarian sumberdaya. Sehingga akhir-akhir ini mulai
87
menghangat isu krisis kelangkaan sumberdaya perikanan tangkap yang melanda sejumlah negara-negara penghasil ikan di dunia. Hasil analisis pada tabel 6.21 menunjukkan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kota Ternate dalam rezim open accsess dengan tingkat effort sebesar 292.809,61 trip per tahun. Jika dibandingkan dengan effort pada kondisi pengelolaan MSY dan MEY, masing-masing sebesar 189.147,81 trip dan 146.404,80 trip per tahun, maka jumlah effort pada kondisi open access terlampau besar. Jumlah effort yang besar tersebut dipicu oleh sifat open access yang free entry (bebas masuk) bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mendapatkan rente dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap. Jumlah produksi yang dihasilkan dalam rejim pengelolan open access di Kota Ternate adalah sebesar 1.851,19 ton per tahun dengan rente yang diperoleh sama dengan nol, karena Total Revenue sama dengan Total Cost (TR=TC). Kondisi ini mengindikasikan akan terjadi persaingan yang tidak sehat antara nelayan tradisional dengan modal yang terbatas tidak mampu bersaing dengan nelayannelayan modern yang memiliki akses modal yang lebih besar. Menurut Fauzi (2004) bahwa keseimbangan open access akan terjadi jika seluruh rente ekonomi telah terkuras sehingga tidak ada lagi insentif untuk masuk dan keluar serta tidak ada perubahan pada tingkat upaya yang sudah ada. Artinya bahwa jika Total Cost yang dikeluarkan oleh para nelayan lebih tinggi dari Total Revenue, maka para nelayan akan mengalami kerugian dan memilih keluar dari usaha pemanfaatan sumberdaya perikanan, tetapi jika Total Revenue yang dihasilkan para nelayan lebih besar dari Total Cost yang dikeluarkan, maka akan lebih banyak lagi para nelayan yang tertarik dan masuk untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan sehingga rente terkuras habis. Jadi hanya pada titik keseimbangan tercapai dimana Total Revenue=Total Cost, maka proses keluar (exit) dan masuk (entry) tidak akan terjadi. 6.3.4.2. Rezim Pengelolaan Sole Owner atau Maximum Economic Yield (MEY) Maximum Economic Yield (MEY) adalah suatu kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal, dimana kondisi pemanfaatan yang memenuhi
88
kaidah ekonomi dan biologis dari pemanfaatan sumberdaya perikanan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa terjadi pemanfaatan sumberdaya yang secara ekonomi menghasilkan profit (keuntungan) yang lebih besar dengan effort yang lebih sedikit dan secara biologi tetap menjamin kelestarian daripada sumberdaya perikanan yang terus berlanjut, karena besarnya jumlah profit yang dihasilkan tidak tergantung pada banyaknya jumlah produksi, namun tergantung pada efisiensi biaya yang sangat tinggi karena jumlah effort yang rendah. Hasil analisis menunjukkan bahwa effort yang dilakukan pada rezim pengelolaan sole owner yaitu sebanyak 146.404,80 trip per tahun jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan effort yang dilakukan pada kondisi pemanfaatan open accsess maupun pada kondisi MSY, masing-masing sebesar 292.809,61 trip per tahun dan 189.147,81 trip per tahun. Jumlah effort yang sangat rendah pada kondisi pemanfaatan sole owner berpengaruh pada total biaya yang juga sangat rendah, karena asumsi biaya yang konstan dan bergerak linear terhadap effort. Rente ekonomi yang dihasilkan pada kondisi sole owner sebesar Rp. 13.434.796.517,50 lebih besar jika dibandingkan rente ekonomi yang dihasilkan pada kondisi MSY yaitu sebesar
Rp. 12.498.482.595,19 Fenomena ini
menggambarkan bahwa pada tingkat produksi MEY, tingkat upaya penangkapan telah dilakukan secara efisien dan menghasilkan produksi yang lebih baik, kemudian disertai dengan perolehan keuntungan yang maksimum, sehingga memungkinkan dapat dicegahnya alokasi sumberdaya yang tidak tepat (missalocation,) sebagai akibat dari kelebihan tenaga kerja atau modal yang dibutuhkan untuk pengelolaan sumberdaya perikanan. 6.4. Keterkaitan Antara Unreported Fisheries dengan Optimalisasi Pemanfaatan dan Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 6.4.1. Unreported Fisheries dan Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap sampai saat ini masih mengacu pada pendekatan analisis bioekonomi yang menggunakan parameter biologi dan parameter ekonomi sebagai basis analisis dan dijadikan indikator untuk mengetahui kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan di suatu wilayah. Nilai dari
89
parameter-parameter tersebut dapat diukur dari perkembangan jumlah produksi yang dihasilkan, jumlah effort yang diupayakan oleh para nelayan, jumlah biaya yang dikeluarkan dan fluktuasi harga yang berlaku. Kemudian dengan pendekatan berbagai model analisis, sehingga menghasilkan indikator nilai parameter biologi dan parameter ekonomi yang dapat dijadikan barometer kondisi sumberdaya perikanan dan merupakan informasi yang sangat penting bagi seluruh stake holder yang terlibat dalam usaha pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya peikanan, seperti pemerintah dalam pengambilan kebijakan, investor dalam keputusan berinvestasi, nelayan dalam upaya pengembangan usaha serta peneliti dalam kualitas pengembangan ilmu pengetahuan dan lain-lain. Dengan demikian maka keakuratan data-data tersebut, yaitu hasil produksi, jumlah upaya (effort), biaya dan harga memiliki peran yang sangat penting dalam hal kajian optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap. Kenyataan yang ada mengindikasikan bahwa telah terjadi kesalahan kajian kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, karena selama ini telah terjadi unreported fisheries (perikanan yang tidak dilaporkan) dengan jumlah produksi dan nilai produksi yang sangat besar serta jumlah effort yang tidak jelas, baik dilakukan oleh nelayan asing melalui IUU fishing maupun nelayan lokal dengan unreported fisheries. Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata jumlah produksi perikanan yang tidak terlaporkan oleh nelayan lokal di wilayah Kota Ternate setiap bulannya adalah sebesar 25,03% (268,34 ton) dari produksi yang dilaporkan dengan nilai sebesar 46% (Rp 377.284,07 juta) dari total nilai yang dilaporkan (lihat tabel 6.16). Sedangkan jumlah produksi unreported fisheries oleh nelayan asing kemungkinan lebih besar lagi karena mereka menggunakan armada dan teknologi penangkapan yang lebih modern dibandingkan dengan nelayan lokal yang sebagian besar beroperasi secara tradisional. Akhirnya dapat dipastikan bahwa selama masih terjadi unreported fisheries, maka akan terjadi pula kesalahan dalam kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap, karena pendekatan kebijakan diambil berdasarkan analisis data yang tidak akurat (misscalculation), sehingga upaya untuk mengatasi IUU fishing khususnya unreported fisheries merupakan suatu hal
90
yang mutlak dilakukan guna keakuratan analisis kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap yang optimal. 6.4.2. Unreported Fisheries dan Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Hasil analisis bioekonomi menggambarkan kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap dalam berbagai rezim, yaitu rezim Maximum Sustainable Yield (MSY), open acess dan sole owner atau Maximum Economic Yield (MEY). Kondisi pemanfaatan pada masing-masing rezim sebagaimana hasil analisis, yaitu pada kondisi MSY dengan tingkat produksi sebesar 2.800,83 ton per tahun dan biomasa sebesar 8.226,46 ton per tahun, kondisi open accsess dengan tingkat produksi sebesar 1.851,19 ton per tahun dan biomasa sebesar 3.436,31 ton per tahun sedangkan pada kondisi MEY atau sole owner dengan tingkat produksi sebesar 2.678,65 ton per tahun dan biomassa sebesar 9.944,62 ton per tahun. Dalam kondisi ceteris paribus, maka jumlah produksi masing-masing rezim rata-rata per bulan adalah ; pada kondisi MSY = 233,403 ton per bulan, kondisi open accsess = 154,266 ton per bulan dan pada kondisi MEY = 223,221 ton per bulan. Sedangkan jumlah produksi perikanan yang tidak dilaporkan (ureported fisheries) berdasarkan data primer dalam kondisi ceteris paribus, yaitu rata-rata produksi per bulan adalah sebesar 268,335 ton, lebih besar jumlahnya jika dibandingkan dengan produksi pada kondisi MSY dan MEY. Perbandingan antara produksi perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fisheries) Produksi per Bulan (ton)
terhadap jumlah produksi pada masing-masing rezim dapat dilihat pada Gambar 6.13. 300.000 250.000 200.000 150.000 100.000 50.000 0.000 MSY=233,403
OA=154,266
MEY=223,221
UF=268,335
Rezim Pengelolaan dan Unreported Fisheries
Gambar 6.13 Perbandingan produksi masing-masing rezim pengelolaan sumberdaya perikanan terhadap produksi unreported fisheries
91
Gambar 6.13 menunjukkan bahwa tingkat produksi sumberdaya perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fisheries) di Kota Ternate telah memasuki kategori pemanfaatan sumberdaya yang over fishing (tangkap lebih), karena jumlah produksi yang tidak dilaporkan telah melewati titik kontrol produksi maksimum yang menjamin kelestarian pemanfaatan sumberdaya perikanan (titk MSY) dan titik pemanfaatan yang ekonomis (MEY). Hal ini tidak nampak bagi pengambil kebijakan karena
kebijakan
pemanfaatan
sumberdaya
perikanan
diambil
berdasarkan
pendekatan analisis data perikanan yang dilaporkan (reported fisheries), sedangkan perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fisheries) diabaikan karena prosesnya tidak terkontrol, antara lain terjadi melalui IUU fishing, destructive fishing dan lainlain. Sehingga nampak terjadi kondisi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang tidak jelas (ambigu), atau dalam pendekatan riset ini disebut dengan kondisi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tidak faktual. Jika fenomena ini dibiarkan berjalan terus menerus, maka dalam jangka panjang (in the long run) akan terjadi suatu ancaman kelangkaan (scarcity) bahkan menuju pada kolapsnya sumberdaya perikanan tangkap di wilayah perairan Kota Ternate. Fenomena ini dapat dijelaskan dengan pendekatan analisis “ambiguitas” pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap yang dapat dilihat dalam Gambar 6.14. h Aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tidak terkontrol (IUU Fishing)
hMSY hΔ
TC
hact hΔ1
TR Eact
EΔ
EMSY
E* E Δ1
Upaya (Effort)
Gambar 6.14 “Ambiguitas” pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap
92
Gambar 6.14 menjelaskan bahwa produksi aktual terjadi pada titik hact yang cenderung meningkat karena dianggap masih under-capacity (kapasitas kurang), yang ditunjukkan oleh hact yang berada di bawah titik hMSY dengan effort sebesar Eact yang masih dapat ditingkatkan dengan asumsi bahwa effort masih berada di bawah titik EMSY. Pendekatan ini mengabaikan aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tidak terkontrol (area yang diarsir), yang merupakan kondisi pemanfaatan faktual (yang sebenarnya terjadi), dengan jumlah produksi yang sama yaitu
hact namun
cenderung menurun karena telah terjadi over-capacity (kapasitas lebih), yang ditunjukkan oleh hact yang telah melewati titik hMSY, dengan effort yang berada pada titik E*, adalah effort maksimum yang telah melewati titik EMSY. Kondisi yang tidak tampak (ambigu) tersebut maka kebijakan yang diambil adalah meningkatkan effort dari Eact ke EΔ dengan harapan produksi akan meningkat dari hact ke hΔ, namun faktanya adalah effort meningkat dari E* ke EΔ1 yang menyebabkan produksi menurun dari hact ke hΔ1, karena telah terjadi over fishing, baik ekonomi over fishing maupun biologi over fishing. Gejala over fishing, sangat nampak pada keluhan para nelayan dengan jumlah hasil tangkapannya yang tidak stabil dan cenderung menurun serta jarak fishing ground yang ditempuh semakin jauh dari fishing base dengan konsekwensi tambahan biaya operasional yang semakin tinggi.
93
DAFTAR PUSTAKA Adrianto L. 2004. Quo Vadis ”Illegal Fishing” Bagi Indonesia. Working Paper, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. PKSPL IPB, 16 Juli 2004. -------------. 2006. Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. PKSPL IPB. Anna S. 2003. Model Embedded Dinamik Ekonomi Interaksi Perikanan-Pencemaran (Disertasi). Bogor. Program Studi PSL, Sekolah Pascasarjana IPB. Anwar A. 2002. Konsepsi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Dalam Rangka Pembangunan Wilayah dan Otonomi Daerah. Bahan Makalah pada Seminar Peluang Investasi Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Hotel Indonesia 10 Oktober 2002, Jakarta. Anwar A, Siregar H. 1993. Memahami Kelembagaan Asuransi Pertanian Dalam Kegiatan Agribisnis di Wilayah Pedesaan. Disampaikan Pada Simposium Nasional Asuransi Agribisnis Di Aula GMSK Dramaga, Bogor, Tanggal 4 Desember 1993. Asian Productivity Organization. 2002. Sustainable Fshery Management In Asia, Tokyo. Badan Pusat Statistik Kota Ternate. 2002. Kota Ternate Dalam Angka. Pemerintah Daerah Kota Ternate. Badan Pusat Statistik Propinsi Maluku Utara. 2003. Propinsi Maluku Utara Dalam Angka. Pemerintah Daerah Propinsi Maluku Utara. Bin Syeh Abubakar M. 2004. Analisis Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap Kota Ternate (Tesis). Bogor. Program Studi PWD, Sekolah Pascasarjana IPB. Clark CW. 1990. Mathematical Bioeconomic. The Optimal Management Of Renewable Resources. Second Edition. A Wiley-Interscience Publication, Canada. Conrad JM, Clark CW. 1987. Natural Resources Economics. Cambridge University Press, Cambridge.
94
Constanza R et al. 1997. The Value of World’s Ecosystem Services and Natural Capital. The Copyright Licensing Agency (CLA) Limited. Nature. Vol. 387. 15 May 1997. London. Dahuri R. 1998. Strategi Pengelolaan Kawasan Pesisir Indonesia. Kerjasama antara Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PK-SPL) dengan PMOSACDP Pemda Tk. II Cilacap. Dewan
Pimpinan Pusat Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (DPP GAPPINDO). 2006. Pengelolaan Ekonomi Sumberdaya Kelautan Dan Perikanan. Bahan Seminar Pengelolaan Ekonomi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Rektorat IPB Dramaga. 27 april 2006.
Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ternate. 2005 & 2006. Laporan Tahunan Tahun Anggaran 2005 & 2006. Pemerintah Kota Ternate. ----------------, 2004, 2005 ,2006. Statistik Perikanan Dinas Kelautan Perikanan Kota Ternate. Pemerintah Kota Ternate. .Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Ternate. 2003. Laporan Tahunan Perkembangan Perikanan, Pemerintah Daerah Kota Ternate. Dinas Tenaga Kerja Kota Ternate. 2003. Laporan Tahunan Tenaga Kerja di Kota Ternate. Diane Erceg, 2004. Detering IUU fishing trough state control over national. Institut of Antartic and Southern Ocean Studies, University of Tasmania. Doulman David J. 2000. Illegal Unreported and Unregulated Fishing: Mandate For An International Plan of Action. Document AUS:IUU/2000/4. 2000. 16p. Dornsbush, Fisher. 1977. Ekonomi Makro, Edisi Kelima Penerbit Erlangga, Jakarta. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta ----------. 2000c. Konsep dan Pengertian Sumberdaya Alam. Bahan Kuliah Ekonomi Sumberdaya Alam. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Fauzi A, Anna S. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis dan Kebijakan. Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Gilland JA. 1969. Manual Of Methods For Fish Stock Assessment, Part I Fish Population Analysis. Malta. St Paul’s Press Ltd. Hanley N, Spash Clive L. 1993. Cost Benefit Analisis and the Enviromental, Edward Elgar Publishing Limited. England. Hoff K et al. 1993. The Economics of Rural Organization. Published for the World Bank, Oxford University Press. Hoover EM, Giarratani F. 1985. An Introduction to Regional Economics. Third Edition, New York.
95
Huntsberger DV, Billingsley P. 1973. Element of Statistical Inference. Allyn and Bacon, Inc, Boston. Jhingan ML. 1999. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Kula E. 1992. Economics of Natural Resources and the Environment. Chapman and Hall, India. -----------.1997. Economics Values and the Environment in the World. Edgard Published Limited, UK.
Edward
Kusumuastanto T. 2003. Ocean Policy Dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. Jakarta. PT.Gramedia Pustaka Utama. Mukherjee dkk. 2002. Masyarakat, Kemiskinan dan Mata Pencaharian: Mata Rantai Pengurangan Kemiskinan di Indonesia. Kerjasama dengan The World Bank dan Department for International Development (DFID), Jakarta. Nicholson W. 1998. Microecomics Theory. Basic Principles and Extensions. Sevent Edition, The Dryden Press, Harcourt Brace College Publisher. Peace DW, Turner RK. 1990. Economics of Natural Resources and the Environment. A Division of Simon and Schuster International Group. Steel RGD, Torie JH. 1981. Principles and Procedures of Statistics. Second Edition, McGraw-Hill, Inc. Sudariyono dan Henk U. 1999. Kebijaksanaan Pengelolaan Terpadu dan Pembangunan Berkelanjutan Di Kawasan Pesisir dan Lautan. Kerjasama antara Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) dengan PMO-SACDP Pemda Tk. II Cilacap. Suhana, 2005. IUU Fishing dan Kerentanan Sosial Nelayan. Suara Karya Online. Jakarta. Thomas. 1997. Modern Econometrics. An Introduction. Departement of Economics, Manchester Metropolitan University. Todaro MP. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Erlangga, Jakarta.
Edisi ketujuh.