ANALISIS DETERMINAN KUALITAS TIDUR PADA PEKERJA SHIFT WANITA DI PT. SANDRATEX TAHUN 2016
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
OLEH : EKA ARI NURYANTI NIM : 1112101000050
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016 M / 1438 H
LEMBAR PERSETUJUAN
i
ii
LEMBAR PERNYATAAN
iii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, Desember 2016 Eka Ari Nuryanti, NIM : 1112101000050 Analisis Determinan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 xvi + 188 halaman + 24 tabel + 2 bagan + 3 lampiran ABSTRAK Penerapan shift kerja pada suatu industri diketahui memberikan dampak yaitu berupa gangguan tidur. Gangguan tidur tersebut kemudian akan mempengaruhi kualitas tidur. Diketahui bahwa pekerja wanita merupakan kelompok yang lebih berisiko mengalami gangguan tidur. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembuktian terhadap determinan yang diduga mempengaruhi kualitas tidur pada pekerja shift wanita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kualitas tidur dengan determinan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016. Data yang digunakan adalah data primer dan dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Desain yang digunakan yaitu cross sectional deskriptif dan analitik. Populasi pada penelitian ini yaitu seluruh pekerja shift wanita. Kemudian, sampel diperoleh dengan menggunakan teknik sampling simple random sampling, dengan jumlah sampel yang berhasil terkumpul dan dianalisis yaitu sebanyak 126 sampel. Setelah itu, analisa data dilakukan dengan menggunakan uji Chi-Square dan Mann-Withney. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita memiliki kualitas tidur yang buruk (88,9%). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada ⍺ 5%, ada hubungan yang signifikan antara penyakit fisik (p value = 0,042) dan kelelahan (p value = 0,048) dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita. Saran yang diberikan pada perusahaan yaitu dengan melakukan pengaturan terhadap shift kerja, konsumsi pekerja, dan tempat kerja. Selain itu, perusahaan juga disarankan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala dan melaksanakan upaya pelayanan kesehatan di tempat kerja secara komprehensif. Kemudian, saran yang diberikan pada pekerja yaitu dengan melakukan pengaturan terhadap konsumsi makanan, minuman, dan obat-obatan; memperbaiki pola tidur dengan tidur malam lebih awal; menghindari tekanan stres; meningkatkan kemampuan adaptasi serta koping terhadap stres; berolahraga teratur minimal dua puluh menit per hari; melakukan relaksasi setiap harinya; menciptakan lingkungan tidur yang sejuk dan nyaman; dan segera beristirahat dan tidur cukup setelah pulang bekerja terutama setelah bekerja pada shift malam. Kata Kunci : Kualitas Tidur, Pekerja Shift Wanita. Daftar Bacaan : 117 (1989-2016)
iv
STATE ISLAMIC UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PROGRAM STUDY OF PUBLIC HEALTH OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH DEPARTEMENT Undergraduate Thesis, December 2016 Eka Ari Nuryanti, NIM : 1112101000050 Determinant Analysis of Sleep Quality in Woman Shift Workers at PT. Sandratex Year 2016 xvi + 188 pages, 24 tables, 2 diagrams, 3 attachements ABSTRACT Application of shift work in an industry known give an impact to sleep disorders. The sleep disturbance then affects the quality of sleep. It is known that woman workers are the group that is at risk of sleep disorders. Therefore, there should be proof against the suspected determinant affecting sleep quality in woman shift workers. This study aims to investigate the relationship between sleep quality with the determinants of sleep quality in woman shift workers at PT. Sandratex Year 2016. The data used are primary data and collected by using a questionnaire. The design used is cross sectional descriptive and analytic. The population in this study is the entire woman shift workers. Then, the samples were obtained using a sampling technique is simple random sampling, with a number of samples were collected and analyzed are 126 samples. After that, the data analysis is done by using Chi-square and Mann-Whitney test. The results showed that the majority of woman shift workers have poor sleep quality (88.9%). The results also showed that on the ⍺ 5%, there is a significant relationship between physical illness (p value = 0.042) and fatigue (p value = 0,048) with sleep quality of woman shift workers. The advice given to the company is to make the adjustment to shift work, the workers consumption, and the workplaces. In addition, the company also adviced to conduct regular health checks and implement comprehensive health care efforts in the workplace. Then, the advice given to workers is to make the adjustment to the consumption of food, beverages, and pharmaceuticals; creating a comfortable sleeping environment; improve sleep patterns at night to sleep early; avoid the pressure of stress; increasing adaptability and coping with stress; exercise regularly at least twenty minutes per day; relaxation each day; and soon enough rest and sleep after returning to work, especially after working on the night shift. Keywords References
: Sleep Quality, Woman Shift Worker. : 117 (1989-2016)
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Eka Ari Nuryanti
TTL
: Sukoharjo, 28 Januari 1995
Alamat
: Gg. H. Sadeng RT/RW 002/006 No. 50 Rempoa, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, 15412
Telp.
: 0857 1612 7050
Email
:
[email protected]
PENDIDIKAN FORMAL 2000 – 2006
: SD Negeri 08 Pondok Pinang Jakarta Selatan
2006 – 2009
: SMP Negeri 87 Jakarta Selatan
2009 – 2012
: SMA Negeri 87 Jakarta Selatan
2012 – Sekarang
: Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tangerang Selatan
PENGALAMAN ORGANISASI 2012 – 2013
: Staff Divisi Keputrian Komisariat Dakwah (Komda) FKIK
2013 – 2014
: Sekretaris Departemen Kemahasiswaan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Prodi Kesehatan Masyarakat
2013 – 2015
: Staff OSH Science Departement Forum Studi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (FSK3)
2015 – 2016
: Bendahara I Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Kesehatan Masyarakat
2015 – 2016
: Manager Finance Departement Forum Studi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (FSK3)
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang berkah limpahan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Analisis Determinan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016”. Sholawat serta salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita Sayyidina wa Maulana Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, serta pecintanya hingga akhir kiamat kelak. Banyak pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan Skripsi ini, baik dalam bentuk moriil maupun materiil, untuk itu peneliti mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada : 1.
Kedua Orang Tua dan Adik yang senantiasa memberi doa, dukungan materil dan moril, serta kasih sayang kepada saya. Mereka adalah sumber motivasi dan alasan mengapa saya harus terus berjuang.
2.
Seluruh Keluarga Besar yang terus memberikan semangat, memotivasi, arahan, dan mendoakan.
3.
Ibu Yuli Amran, SKM., MKM. selaku Dosen Pembimbing Akademik sekaligus Dosen Pembimbing I Skripsi yang selalu memberikan arahan, motivasi, dan bimbingan dalam penyusunan Skripsi ini.
4.
Ibu Izzatu Millah, SKM., M.KKK. selaku Dosen Pembimbing II Skripsi yang selalu memberikan arahan, motivasi, dan bimbingan dalam penyusunan Skripsi ini.
5.
Ibu Meilani M. Anwar, SKM., M.T. selaku Dosen Penguji I Sidang Proposal Skripsi yang banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan Skripsi ini.
6.
Ibu Siti Rahmah Hidayatullah Lubis, SKM., M.KKK. selaku Dosen Penguji I Skripsi yang banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan Skripsi ini.
7.
Ibu Ratri Ciptaningtyas, SKM., MHS. selaku Dosen Penguji II Skripsi yang banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan Skripsi ini.
8.
Ibu Putri Handayani, SKM., M.KKK. selaku Dosen Penguji III Skripsi yang banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan Skripsi ini.
vii
9.
Pak Nanang selaku Kepala Personalia dan seluruh karyawan PT. Sandratex yang telah membantu penelitian ini.
10. Pengurus PT. Argo Pantes Tbk yang telah membantu dalam uji validitas dan reliabilitas kuesioner penelitian ini. 11. Kak Nur Najmi, SKM., M.KKK. yang sudah banyak membantu, membimbing, dan memberikan arahan dengan sangat sabar. 12. Devina, Fita, dan Lilis (Geng Indah Kiat) teman seperjuangan saat magang yang telah banyak membantu dan memotivasi. 13. Lola, Cinddy, Hani, dan Ayu, yang sudah banyak membantu, memberikan semangat, memotivasi, dan mendoakan. 14. Anis Rohmana Malik, partner turlap skripsi yang kompak bekerjasama dalam menyukseskan penelitian Skripsi kita. 15. Rr. Putri Annisya, teman seperjuangan yang sudah banyak membantu, memotivasi, dan memberikan arahan dalam menyelesaikan Skripsi ini. 16. Viral, Nova El, Elsya, Kak Rahma, yang telah membantu, memberikan pencerahan, dan terus memotivasi. 17. Teman-teman mahasiswa bimbingan Bu Yuli dan Bu Izza yang telah memberikan informasi dan memotivasi untuk bimbingan. 18. Teman-teman Katiguys yang luar biasa. Terima kasih atas kebersamaan, kekeluargaan, dan kerjasamanya, semoga kelak sama-sama bertemu dalam keadaan yang lebih baik dan lebih sukses. 19. Teman-teman Kesehatan Masyarakat 2012, Kesehatan Masyarakat Seluruh Angkatan, HMPS Kesmas, FSK3 UIN, Paskibra SMAN 87, Pandawa Lima, MT Nurul Hidayah, dan Remaja Mushollah Baaburrahim yang telah memberikan semangat, memotivasi, dan mendoakan. 20. Semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Peneliti berharap agar seluruh kebaikan yang diberikan Allah SWT balas dengan kebaikan yang tak terhingga. Aamiin.
Jakarta,
Desember 2016 Peneliti
viii
DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................. i LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii ABSTRAK ......................................................................................................... iv ABSTRACT ........................................................................................................ v DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................ vi KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii DAFTAR BAGAN ........................................................................................... xiv DAFTAR ISTILAH ........................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1 A. Latar Belakang ..................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .............................................................................. 10 C. Pertanyaan Penelitian ......................................................................... 10 D. Tujuan Penelitian ............................................................................... 12 1. Tujuan Umum ............................................................................. 12 2. Tujuan Khusus ............................................................................ 12 E. Manfaat Penelitian ............................................................................. 13 1. Bagi Pekerja ................................................................................ 13 2. Bagi PT. Sandratex...................................................................... 13 3. Bagi Peneliti Selanjutnya ............................................................ 13 F. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................. 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 15 A. Kualitas Tidur .................................................................................... 15 1. Definisi Kualitas Tidur ................................................................ 15 2. Fisiologi Tidur ............................................................................ 16 3. Manfaat Tidur Berkualitas ........................................................... 21 4. Gangguan Tidur .......................................................................... 22 5. Kebutuhan Tidur Wanita ............................................................. 26 6. Instrumen Pengukuran Kualitas Tidur ......................................... 28 B. Determinan Kualitas Tidur ................................................................. 30 1. Jenis Shift Kerja .......................................................................... 30 2. Stres Emosional .......................................................................... 41 3. Motivasi ...................................................................................... 45 4. Aktivitas Fisik ............................................................................. 46 5. Kebiasaan Makan ........................................................................ 49 6. Asupan Obat-Obatan ................................................................... 51 7. Penyakit Fisik ............................................................................. 53 8. Hipersomnia ................................................................................ 56 ix
9. Sindrom Pramenstruasi................................................................ 60 10. Kehamilan ................................................................................... 64 11. Menopause .................................................................................. 65 12. Kelelahan .................................................................................... 68 C. Kerangka Teori .................................................................................. 73 BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ................. 74 A. Kerangka Konsep ............................................................................... 74 B. Definisi Operasional .......................................................................... 75 C. Hipotesis ............................................................................................ 79 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 81 A. Desain Penelitian ............................................................................... 81 B. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 81 C. Populasi dan Sampel Penelitian .......................................................... 81 1. Populasi ...................................................................................... 81 2. Sampel ........................................................................................ 82 D. Instrumen Penelitian .......................................................................... 83 1. Uji Validitas dan Reliabilitas ....................................................... 93 E. Metode Pengumpulan Data ................................................................ 95 F. Pengolahan Data ................................................................................ 95 G. Analisa Data ...................................................................................... 97 BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................... 99 A. Analisis Univariat .............................................................................. 99 1. Gambaran Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 ................................................................. 99 2. Gambaran Determinan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 .......................................................... 99 B. Analisis Bivariat .............................................................................. 106 1. Hubungan antara Faktor Pekerjaan dengan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 .................... 106 2. Hubungan antara Faktor Psikologis dengan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 .................... 107 3. Hubungan antara Faktor Latihan Fisik dengan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 .................... 109 4. Hubungan antara Faktor Konsumsi dengan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 .................... 110 5. Hubungan antara Faktor Fisiologis dengan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 .................... 112 BAB VI PEMBAHASAN ................................................................................ 117 A. Keterbatasan Penelitian .................................................................... 117 B. Kualitas Tidur .................................................................................. 117 C. Determinan Kualitas Tidur ............................................................... 122
x
1.
Hubungan antara Faktor Pekerjaan dengan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 .................... 122 2. Hubungan antara Faktor Psikologis dengan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 .................... 131 3. Hubungan antara Faktor Latihan Fisik dengan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 .................... 138 4. Hubungan antara Faktor Konsumsi dengan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 .................... 145 5. Hubungan antara Faktor Fisiologis dengan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 .................... 156 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 180 A. Simpulan.......................................................................................... 180 B. Saran................................................................................................ 181 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 184 LAMPIRAN .................................................................................................... 190
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Kelebihan dan Kekurangan Instrumen Pengukuran Kualitas Tidur..... 28 Tabel 2.2. Kelebihan dan Kekurangan Instrumen Pengukuran Aktivitas Fisik .... 48 Tabel 2.3. Kebutuhan Zat Makanan Pada Wanita ............................................... 50 Tabel 2.4. Kelebihan dan Kekurangan Instrumen Pengukuran Hipersomnia ....... 58 Tabel 2.5. Kelebihan dan Kekurangan Instrumen Pengukuran Sindrom Pramenstruasi .................................................................................................... 63 Tabel 2.6. Kelebihan dan Kekurangan Instrumen Pengukuran Kelelahan ........... 71 Tabel 3.1. Definisi Operasional .......................................................................... 75 Tabel 4.1. Jumlah Sampel Tiap Variabel ............................................................ 83 Tabel 4.2. Nomor Pertanyaan Tiap Komponen PSQI ......................................... 84 Tabel 4.3. Nomor Pertanyaan Kuesioner ESS .................................................... 91 Tabel 4.4. Coding pada Tiap Variabel ................................................................ 95 Tabel 5.1. Distribusi Kualitas Tidur Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016................................................................................................................... 99 Tabel 5.2. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Pekerjaan .......................................................................... 100 Tabel 5.3. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Psikologis ......................................................................... 101 Tabel 5.4. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Latihan Fisik ..................................................................... 101 Tabel 5.5. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Konsumsi ......................................................................... 102 Tabel 5.6. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Fisiologis .......................................................................... 103 Tabel 5.7. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Fisiologis (Variabel Kelelahan)......................................... 104 Tabel 5.8. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Pekerjaan dengan Kualitas Tidur....................................... 106 Tabel 5.9. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Psikologis dengan Kualitas Tidur ...................................... 108
xii
Tabel 5.10. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Latihan Fisik dengan Kualitas Tidur ................................. 109 Tabel 5.11. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Konsumsi dengan Kualitas Tidur ...................................... 110 Tabel 5.12. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Fisiologis dengan Kualitas Tidur....................................... 113 Tabel 5.13. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan Variabel Kelelahan dengan Kualitas Tidur ................................... 113
xiii
DAFTAR BAGAN
Bagan 2. 1. Kerangka Teori................................................................................ 73 Bagan 3. 1. Kerangka Konsep ............................................................................ 74
xiv
DAFTAR ISTILAH
BSR
: Bulbar Synchronizing Region
EDS
: Excessive Daytime Sleepiness
EEG
: Elektroensefalogram
EKG
: Elektrokardiogram
EMG
: Elektromiogram
EOG
: Elektrookulogram
ESS
: Epworth Sleepiness Scale
IPAQ
: International Physical Activity Questionnaire
METs
: Metabolic Equivalents
NREM
: Nonrapid Eye Movement
PMS
: Premenstrual Syndrome
PSG
: Polysomnography
PSQI
: The Pittsburgh Sleep Quality Index
RAS
: Reticular Activating System
REM
: Rapid Eye Movement
RMR
: Resting Metabolic Rate
SCN
: Supra Chiasmatic Nucleus
SPAF
: Shortened Premenstrual Assessment Form
SPSS
: Statistical Program for Social Science
SSRT
: Subjective Self Rating Test
SWS
: Slow Wave Sleep
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat Balasan
Lampiran 2
Kuesioner
Lampiran 3
Output
xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pada saat ini, terdapat berbagai macam industri yang didirikan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan meningkatkan perekonomian suatu negara. Industri tersebut banyak mempekerjakan tenaga kerja baik laki-laki maupun wanita pada setiap proses produksinya. Menurut data BPS, sampai dengan bulan Agustus 2014, jumlah angkatan kerja di Indonesia telah mencapai 114,63 juta orang, dimana 42,38 juta orang di antaranya adalah buruh/karyawan. Jumlah tenaga kerja diperkirakan akan terus mengalami peningkatan seiring dengan perkembangan zaman, peningkatan jumlah angkatan kerja, dan bertambahnya kebutuhan hidup manusia. Namun, peningkatan jumlah tenaga kerja ternyata juga diikuti oleh permasalahanpermasalahan di tempat kerja. Permasalahan yang timbul yaitu seperti kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Selanjutnya, baik kecelakaan maupun penyakit akibat kerja tersebut dapat mempengaruhi produktifitas, profitabilitas, dan mengancam kelangsungan tempat kerja. Kecelakaan maupun penyakit akibat kerja dapat disebabkan oleh banyak faktor yang saling berkaitan. Menurut Kodrat (2011), kecelakaan dan kesehatan kerja selalu berhubungan dengan kelelahan, shift, dan waktu kerja. Faktor-faktor
tersebut
akan
mempengaruhi
konsentrasi,
performa,
kewaspadaan, maupun ketelitian seseorang dalam melakukan pekerjaan. Namun, Kodrat (2011) lebih spesifik menyebutkan bahwa tingkat kecelakaan
1
2
kerja dapat meningkat seiring dengan meningkatnya ketidakpuasan akibat shift kerja. Pada umumnya, shift kerja terdiri dari 3 jenis shift, yaitu shift pagi, siang, dan malam. Dari ketiga jenis shift tersebut, shift malam diketahui mendominasi tingginya tingkat kecelakaan di tempat kerja. Selain itu, tingkat kelelahan, tekanan darah sistol dan diastol, denyut nadi, stres fisik dan stres mental pada pekerja shift malam lebih tinggi daripada pekerja shift pagi (Kodrat, 2011). Dari keseluruhan dampak yang ditimbulkan dari shift malam, gangguan tidur merupakan keluhan yang paling sering dirasakan dan merupakan masalah utama yang berkaitan dengan shift kerja (Handayani, 2008; Agustin, 2012). Namun, gangguan tidur tidak hanya dapat dialami oleh pekerja shift malam, melainkan juga pada seluruh pekerja yang bekerja dalam sistem shift kerja. Hal ini dikarenakan sistem shift kerja membuat perubahan pola tidur yang kemudian akan menyebabkan pekerja memiliki permasalahan atau gangguan tidur. Selaras dengan Epstein dan Mardon (2010) yang menyebutkan bahwa sekitar 60% hingga 70% pekerja shift mengalami gangguan tidur. Tidur secara kuantitas menunjukkan durasi atau lamanya tidur, sedangkan secara kualitas menunjukkan kedalaman tidur. Diketahui bahwa pemenuhan kebutuhan tidur seseorang tidak bergantung pada kuantitasnya, melainkan lebih kepada kualitasnya. Meskipun secara kuantitas tidur tidak lama, namun jika mendapatkan tidur yang berkualitas maka ketika bangun tubuh akan terasa segar kembali dan pola tidur yang demikian tidak mengganggu kesehatan (Lanywati, 2001).
3
Seseorang yang mendapatkan kualitas tidur yang baik ditandai dengan tidur yang tenang, merasa segar pada pagi hari, dan merasa bersemangat untuk melakukan aktivitas (Craven dan Hirnle, 2000). Jika terjadi gangguan terhadap pemenuhan tidurnya, maka akan berpengaruh terhadap kualitas tidur dan tentunya akan menyebabkan seseorang mengalami gangguan tidur. Hasil survey pada tahun 2005 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, orang dewasa memiliki rata-rata jam tidur sekitar 6,9 jam setiap hari dan 65% di antaranya mengeluhkan penurunan kuantitas tidur (lama waktu tidur), serta 40% responden mengalami penurunan jam tidur menjadi di bawah 7-8 jam pada hari kerja (NSF, 2005). Tidur merupakan kebutuhan wajib yang harus terpenuhi oleh setiap manusia. Jika tidak ditangani, gangguan tidur dapat menimbulkan dampak yang serius terhadap pekerja. Hal ini dikarenakan tidur merupakan kebutuhan fisiologis yang paling dasar dari piramida kebutuhan dasar manusia (Tarihoran dkk., 2015). Seperti pada tahun 1989, pernah terjadi kecelakaan kapal tanker minyak Exxon Valdez yang disebabkan oleh kurangnya tidur dan penambahan jam kerja (NTSB, 1995). Terhadap kesehatan, gangguan tidur juga dapat menyebabkan kelelahan, gangguan pencernaan, gangguan psikologis, dan gangguan metabolisme tubuh (Suma'mur, 2009). Selain terhadap keselamatan dan kesehatan, gangguan tidur juga berkontribusi terhadap peningkatan biaya kesehatan. Penelitian terhadap gangguan tidur yang dilakukan oleh pusat nasional di Amerika memperkirakan bahwa setiap tahunya, gangguan tidur, kurang tidur, dan rasa kantuk menambah setidaknya 15,9 milyar dollar Amerika untuk tagihan perawatan kesehatan, dan perhitungan tersebut masih
4
belum termasuk dengan biaya hilangnya produktivitas dan kecelakaan (Epstein dan Mardon, 2010). Pada beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, diketahui bahwa dampak gangguan tidur pada pekerja wanita lebih berpengaruh negatif bila dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Studi yang dilakukan di Amerika menunjukkan bahwa sekitar 20% wanita dewasa melaporkan telah mengalami kantuk yang berlebihan, kelelahan atau bahkan keduanya, serta wanita muda yang cenderung memiliki masalah tidur (NSF, 2016). Hasil survey tersebut juga menunjukkan kecenderungan wanita dibandingkan pria mengalami insomnia setidaknya beberapa malam perminggu dengan presentase sebesar 63% (NSF, 2016). Penelitian Haryono, dkk. (2009) dan Sumirta dan Laraswati (2014) juga menunjukkan hal serupa, dimana responden wanita cenderung memiliki prevalensi gangguan tidur yang lebih besar dari laki-laki. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan faktor fisiologis dan psikologis antara lakilaki dan wanita. Laki-laki diketahui memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap shift kerja dibandingkan dengan wanita (EKU Online, 2016). Secara alamiah wanita juga membutuhkan waktu tidur yang lebih lama dan lebih mudah mengalami kelelahan dibandingkan dengan laki-laki (Oginska dan Pokorskri, 2006). Hal ini dapat disebabkan oleh keberadaan hormon estrogen dan progesteron yang lebih dominan pada wanita, dimana hormon tersebut sangat mempengaruhi kualitas tidur. Hormon tersebut diketahui turut berperan dalam proses tidur seseorang.
5
Secara psikologis, kemampuan koping dalam mengatasi masalah pada wanita lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, sehingga wanita lebih mudah mengalami kecemasan yang dapat menyebabkan insomnia (Sumirta dan Laraswati, 2014). Permasalahan baik dari faktor fisiologis maupun psikologis tersebutlah yang membuat permasalahan tidur wanita menjadi lebih kompleks. Selain faktor jenis shift kerja, terdapat faktor-faktor lain yang juga dapat mempengaruhi kualitas tidur seseorang. Faktor psikologis seperti motivasi dan stres emosional dapat mempengaruhi tidur seseorang. Seseorang yang mengalami stres emosional akan merasa cemas, sensitif, mudah tersinggung, fikiran kacau, marah, mental terganggu, dll. Perasaan tersebut yang kemudian dapat menimbulkan gangguan tidur yang serius (Potter dan Perry, 2005). Pekerjaan yang meletihkan dan penuh dengan stres juga dapat menyebabkan seseorang mengalami kelelahan yang berlebihan sehingga membuat pekerja tersebut menjadi sulit tidur (Potter dan Perry, 2005). Kemudian, ketika mengalami rintangan atau halangan untuk dapat tidur, maka motivasi untuk tidur juga akan hilang. Motivasi berpengaruh terhadap tidur dan dapat menimbulkan keinginan untuk tetap terjaga dan waspada menahan kantuk (Tarwoto dan Wartonah, 2010). Keinginan tersebut yang membuat seseorang menjadi mengalami gangguan tidur. Aktivitas fisik diketahui dapat mempengaruhi tidur. Seseorang yang melakukan aktivitas fisik dan kemudian mengalami kelelahan akan lebih cepat tertidur. Kelelahan menengah membuat seseorang akan memperoleh tidur yang mengistirahatkan, khususnya jika kelelahan disebabkan oleh pekerjaan atau
6
latihan yang menyenangkan (Agustin, 2012). Kelelahan akan membuat tahap tidur gelombang lambat (NREM) diperpendek (Uliyah dan Hidayat, 2008). Namun, berbeda halnya jika yang dialami adalah aktivitas fisik berat. Aktivitas fisik yang menimbulkan kelelahan berlebihan terutama jika dilakukan menjelang waktu tidur akan membuat seseorang sulit tidur dan tetap terjaga (Rafknowledge, 2004). Faktor konsumsi seperti kebiasaan makan dan asupan obat-obatan juga dapat mempengaruhi tidur. Terpenuhinya kebutuhan asupan makanan dapat mempercepat tidur, namun jika asupanya tidak adekuat maka dapat menyebabkan seseorang menjadi sulit tidur (Uliyah dan Hidayat, 2008). Hal ini dikarenakan ketika seseorang mengkonsumsi makanan yang adekuat maka akan menyuplai kadar gula darah dalam tubuh sehingga membantu tidur. Selain itu, konsumsi obat-obatan juga akan mengganggu tidur. Terdapat beberapa jenis obat yang dapat mengganggu fisiologi tidur, misalnya analgetika (yang mengandung kofein), anoreksansia, glukokortikoida, agonis dopamin, betablockers, dan beberapa obat psikotropik (fluoksetin, risperidon, sindrom penarikan benzodiazepin) (Tjay dan Rahardja, 2007). Pada umumnya, gangguan tidur disebabkan oleh obat-obatan yang dapat mengurangi tidur REM dan membuat seseorang menjadi lebih sulit tertidur (Gracia dkk., 2011). Konsumsi obat sangat erat kaitannya dengan penyakit fisik yang dialami. Penyakit yang dialami seseorang dapat meningkatkan atau mengurangi tidur. Penyakit akan mengganggu fungsi organ tubuh dan dapat menyebabkan seseorang menjadi sulit untuk memulai tidur (initial insomnia) (Lanywati, 2001). Namun, orang yang sedang sakit pada umumnya juga membutuhkan
7
waktu istirahat dan tidur yang lebih banyak dikarenakan tubuh sedang bekerja keras untuk menyediakan energi agar dapat segera pulih (Nurlela dkk., 2009). Keluhan kesehatan yang ditimbulkan penyakit juga diketahui akan mengganggu tidur seseorang. Keluhan yang ditimbulkan dapat berbeda-beda, seperti nyeri, sesak nafas, ketidaknyamanan, dll. Hal tersebut yang kemudian menyebabkan seseorang mengalami permasalahan pada tidurnya. Secara alamiah, jumlah hormon estrogen dan progesteron pada wanita yang lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Fluktuasi jumlah hormon tersebut terjadi ketika wanita mengalami sindrom pramenstruasi, hamil, dan menopause. Bahkan, gangguan tidur seperti hipersomnia juga dapat terjadi ketika hormon tersebut mengalami penurunan. Selain itu, penurunan hormon tersebut juga dapat mempengaruhi kualitas tidur. Penurunan kadar estrogen dan progesteron menyebabkan wanita mengalami gangguan tidur seperti insomnia, hipersomnia, dan mimpi buruk (Gracia dkk., 2011; Sulistiyowati dan Nisa, 2014). Kualitas tidur terganggu akibat reseptor hormon tersebut yang terletak pada bagian tersendiri di hipotalamus, dimana posisi tersebut mempengaruhi irama sirkadian dan pola tidur secara langsung (Prasadja, 2009). Kemudian, hipersomnia diketahui dapat mempengaruhi tidur akibat ketidakmampuan
mempertahankan
kondisi
terjaga.
Seseorang
yang
mengalami hipersomnia membutuhkan waktu tidur yang lebih lama, namun selalu merasa lesu dan letih sepanjang hari (Apriadji, 2007). Dari berbagai industri yang ada, jenis industri yang paling banyak menerapkan sistem shift kerja adalah industri manufaktur dan produksi dengan persentase sebesar 83% (EKU Online, 2016). PT. Sandratex merupakan
8
perusahaan yang bergerak di bidang produksi tekstil yang berlokasi di Tangerang Selatan dan turut mempekerjakan pekerja shift wanita pada seluruh jenis shift kerjanya. Proses produksi yang dijalankan perusahaan tersebut yaitu terdiri dari proses pembuatan kapas menjadi benang dan setelah itu diproses kembali sampai menjadi kain. Proses produksi tersebut dilakukan terusmenerus selama 24 jam. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada perwakilan pekerja, terdapat beberapa fenomena terkait dengan permasalahan kualitas tidur pekerja shift wanita. Pekerja sering mengeluhkan kondisi tubuh yang tidak fit terutama setelah bekerja pada shift malam. Selain itu, pekerja wanita sering merasakan rasa kantuk yang tak tertahankan dan sakit kepala setelah pulang bekerja. Hal tersebut tentu membuat pekerja wanita tidak dapat mengerjakan pekerjaan rumah dan kegiatan sosial lainnya setelah pulang bekerja. Hasil wawancara tersebut didukung dengan hasil studi pendahuluan yang dilakukan kepada 30 pekerja shift wanita di PT. Sandratex. Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa mayoritas pekerja shift wanita memiliki kualitas tidur yang buruk (70%). Dari 70% pekerja yang memiliki kualitas tidur yang buruk tersebut, 42,86% di antaranya dialami oleh pekerja shift malam, 38,09% oleh pekerja shift pagi, dan 19,05% oleh pekerja shift siang. Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan juga dikuatkan dengan hasil wawancara dengan pengawas dan perwakilan pekerja. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, diketahui bahwa terdapat beberapa kasus kecelakaan yang disebabkan oleh rasa kantuk yang dialami pekerja. Kecelakaan yang dialami yaitu seperti
9
tergores, terjepit, tertabrak dan menabrak mesin, serta tertarik mesin. Selain itu, baik rekan kerja maupun pengawas juga kerap kali menemukan pekerja yang tidur di saat seharusnya mereka bekerja atau bahkan mengerjakan pekerjaanya sambil tertidur. Rasa kantuk yang dialami pekerja ketika menjalankan pekerjaan merupakan salah satu indikasi buruknya kualitas tidur pekerja. Namun, tidak diketahui secara pasti berapa banyak kejadian kecelakaan yang berhubungan dengan gangguan tidur maupun jumlah pekerja. Pekerjaan yang dilakukan dalam proses produksi tekstil tergolong ke dalam pekerjaan yang membutuhkan tingkat kewaspadaan yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan pekerja berhadapan langsung dengan mesin yang berpotensi menyebabkan pekerja mengalami kecelakaan seperti tergores, terpotong, tertarik, dsb. Oleh karena itu, jika pekerja melakukan pekerjaan sambil tertidur, maka dapat sangat membahayakan dirinya dan dapat menyebabkan kecelakaan serius. Gangguan terhadap kualitas tidur merupakan permasalahan yang paling sering dialami oleh pekerja shift. Keseluruhan dampak yang ditimbulkan juga dapat
berimbas
pada
produktifitas,
profitabilitas,
dan
mengancam
kelangsungan tempat kerja. Perlu dilakukan penelitian yang difokuskan untuk meneliti kualitas tidur pada pekerja shift wanita. Dengan demikian, dapat diketahui faktor pencetus yang mempengaruhi kualitas tidur pada pekerja shift wanita. Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul analisis determinan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex tahun 2016.
10
B. Rumusan Masalah Penerapan shift kerja telah menimbulkan dampak negatif yang cukup serius terhadap pekerja. Dari keseluruhan dampak yang ditimbulkan, gangguan tidur merupakan masalah utama yang berkaitan dengan shift kerja. Gangguan tidur terjadi disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan tidur seseorang. Kemudian, diketahui bahwa pemenuhan tidur seseorang bergantung pada kualitas tidurnya. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan kepada 30 pekerja shift wanita PT. Sandratex, diketahui terdapat 70% pekerja wanita memiliki kualitas tidur yang buruk. Hal tersebut diduga disebabkan oleh faktor pekerjaan (jenis shift kerja), faktor psikologis (stres emosional), faktor latihan fisik (aktivitas fisik), faktor konsumsi (kebiasaan makan dan asupan obatobatan), dan faktor fisiologis (penyakit fisik, hipersomnia, sindrom pramenstruasi, menopause, dan kelelahan). Jika permasalahan tersebut tidak diatasi, maka dapat menimbulkan dampak yang serius bagi pekerja shift wanita. Keseluruhan dampak yang ditimbulkan tersebut juga akan berimbas pada produktifitas, profitabilitas, dan mengancam kelangsungan tempat kerja. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dilakukan pembuktian apakah faktor-faktor tersebut berhubungan dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita.
C. Pertanyaan Penelitian 1.
Bagaimana gambaran kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 ?
11
2.
Bagaimana gambaran determinan kualitas tidur yaitu faktor pekerjaan (jenis shift kerja), faktor psikologis (stres emosional), faktor latihan fisik (aktivitas fisik), faktor konsumsi (kebiasaan makan dan asupan obatobatan), dan faktor fisiologis (penyakit fisik, hipersomnia, sindrom pramenstruasi, menopause, dan kelelahan) ada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 ?
3.
Apakah terdapat hubungan antara faktor pekerjaan (jenis shift kerja) dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 ?
4.
Apakah terdapat hubungan antara faktor psikologis (stres emosional) dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 ?
5.
Apakah terdapat hubungan antara faktor latihan fisik (aktivitas fisik) dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 ?
6.
Apakah terdapat hubungan antara faktor konsumsi (kebiasaan makan dan asupan obat-obatan) dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 ?
7.
Apakah terdapat hubungan antara faktor fisiologis (penyakit fisik, hipersomnia, sindrom pramenstruasi, menopause, dan kelelahan) dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 ?
12
D. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Umum Diketahuinya determinan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016.
2.
Tujuan Khusus a.
Diketahuinya gambaran kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016.
b.
Diketahuinya gambaran determinan kualitas tidur yaitu faktor pekerjaan (jenis shift kerja), faktor psikologis (stres emosional), faktor latihan fisik (aktivitas fisik), faktor konsumsi (kebiasaan makan dan asupan
obat-obatan),
dan
faktor
fisiologis
(penyakit
fisik,
hipersomnia, sindrom pramenstruasi, menopause, dan kelelahan). c.
Diketahuinya hubungan antara faktor pekerjaan (jenis shift kerja) dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016.
d.
Diketahuinya hubungan antara faktor psikologis (stres emosional) dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016.
e.
Diketahuinya hubungan antara faktor latihan fisik (aktivitas fisik) dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016.
f.
Diketahuinya hubungan antara faktor konsumsi (kebiasaan makan dan asupan obat-obatan) dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016.
13
g.
Diketahuinya hubungan antara faktor fisiologis (penyakit fisik, hipersomnia, sindrom pramenstruasi, menopause, dan kelelahan) dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016.
E. Manfaat Penelitian 1.
Bagi Pekerja Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi pekerja, sehingga pekerja dapat mengetahui determinan kualitas tidur. Dengan demikian, pekerja dapat meningkatkan kualitas tidurnya.
2.
Bagi PT. Sandratex Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi, masukan, dan pertimbangan bagi perusahaan untuk melakukan upaya yang dapat meningkatkan kualitas tidur pekerja shift wanita di PT. Sandratex.
3.
Bagi Peneliti Selanjutnya Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi peneliti selanjutnya terkait dengan determinan kualitas tidur pada pekerja khususnya pekerja shift wanita. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi referensi bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian serupa maupun yang ingin mengembangkan penelitian.
F. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui determinan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex. Penelitian ini perlu dilakukan karena
14
perusahaan ini telah menerapkan shift kerja dan turut mempekerjakan wanita dalam sistem shift kerjanya. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni – September 2016. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain cross sectional deskriptif dan analitik. Populasi pada penelitian adalah pekerja shift wanita di PT. Sandratex dan sampel penelitian dipilih menggunakan metode simple random sampling. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Uji statistik dilakukan dengan menggunakan analisis Chi-Square dan Mann-Whitney.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kualitas Tidur 1.
Definisi Kualitas Tidur Kualitas tidur menunjukkan kedalaman tidur seseorang (Lanywati, 2001). Siagian (2014) mendefinisikan kualitas tidur sebagai kepuasan seseorang terhadap tidurnya. Menurut Mutfiani (2012), kualitas tidur merupakan kemampuan individu untuk tidur dan memperoleh jumlah istirahat sesuai dengan kebutuhannya. Menurut Dariah dan Okatiranti (2015) kualitas tidur adalah jumlah tahapan NREM dan REM yang dialami seseorang dalam siklus tidurnya secara normal. Kemudian, Nashori dan Diana (2005) mendefinisikan kualitas tidur sebagai suatu keadaan dimana tidur yang dijalani seorang individu menghasilkan kesegaran dan kebugaran di saat terbangun. Kualitas tidur mencakup aspek-aspek kuantitatif tidur, seperti onset tidur latensi, efisiensi tidur, dan fragmentasi tidur, serta aspek yang lebih subjektif, seperti "kedalaman" atau "restfulness" tidur (Perumal dkk., 2016). Kualitas tidur yang baik ditandai dengan tidur yang tenang, merasa segar pada pagi hari, dan merasa bersemangat untuk melakukan aktivitas (Craven dan Hirnle, 2000).
15
16
2.
Fisiologi Tidur Fisiologi tidur merupakan suatu pengaturan kegiatan tidur yang melibatkan hubungan mekanisme serebral secara bergantian agar mengaktifkan dan menekan pusat otak untuk dapat tidur dan bangun (Uliyah dan Hidayat, 2008). Fisiologi tidur diatur di otak tepatnya di dalam mesensefalon dan bagian atas pons. Ketika tidur, aktivitas saraf parasimpatis meningkat, kemudian terjadi penyempitan pupil (myosis), perlambatan pernapasan dan sirkulasi darah (bronchokonstriksi dan menurunnya kegiatan jantung), serta simulasi aktivitas saluran cerna dengan penguatan peristaltik dan sekresi getah lambung-usus (Tjay dan Rahardja, 2007). Fisiologis
tidur
dapat
diketahui
dengan
menggunakan
polysomnography (PSG). PSG merupakan seperangkat alat yang mampu menganalisis peristiwa yang terjadi di dalam tubuh selama proses tidur berlangsung (Prasadja, 2009). Seperangkat alat PSG terdiri dari elektroensefalogram (EEG), elektromiogram (EMG), elektrookulogram (EOG), elektrokardiogram (EKG), gerakan nafas, aliran udara nafas, gerakan kaki, posisi tubuh, dan kadar oksigen dalam darah (Prasadja, 2009). Fungsi EEG, EMG, EOG, dan EKG yaitu untuk mengukur aktivitas listrik otak, mengukur tonus otot, mengukur gerakan bola mata, dan mengukur denyut jantung. Fisiologi tidur juga dikendalikan oleh sistem Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar Synchronizing Region (BSR). Seseorang terbangun akibat neuron dalam sistem RAS yang
17
melepaskan katekolamin seperti norepinefrin dan pada saat tidur terjadi pelepasan serum serotonin dari sel BSR (Uliyah dan Hidayat, 2008). a.
Irama Sirkadian (Circadian Rhythm) Proses tidur diatur oleh mekanisme alamiah yang disebut dengan irama sirkadian atau circadian rhythm. Irama sirkadian merupakan siklus yang berlangsung selama 24 jam, dimana bermacam-macam fungsi tubuh mengalami fluktuasi (Hidayat, 2011). Fungsi tubuh yang mengalami fluktuasi berhubungan dengan suhu tubuh, tingkat metabolisme, detak jantung, tekanan darah, dan komposisi kimia tertentu dalam tubuh (Maurits dan Widodo, 2008). Dalam keadaan normal, irama sirkadian berfungsi mengatur siklus biologi irama tidur bangun dimana sepertiga waktu untuk tidur dan dua pertiga untuk bangun atau beraktivitas (Saftarina dan Hasanah, 2014). Siklus irama sirkadian dapat mengalami pergeseran. Jika siklus tidur bangun mengalami perubahan, maka akan menghasilkan kualitas tidur yang buruk. Gejala umum yang menunjukkan gangguan siklus tidur yaitu seperti kecemasan, kurang istirahat, mudah tersinggung, dan gangguan penilaian (Potter dan Perry, 2005). Irama sirkadian sangat erat kaitannya dengan gangguan tidur serta keluhan-keluhan yang ditimbulkan dengan gangguan tidur. Irama sirkadian berperan sebagai jam biologis dalam tubuh (Prasadja, 2009). Jam biologis memberikan sensasi rasa segar sehingga seseorang akan terjaga. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan jam biologis dan jangan beraktivitas melawan jam
18
biologis tersebut. Irama sirkadian terletak di Supra Chiasmatic Nucleus (SCN) yang berada tepat di atas persilangan saraf mata, sehingga pengaturan jam biologis sangat peka terhadap perubahan cahaya (Prasadja, 2009). Oleh karena itu, ketika cahaya mulai meredup tubuh secara otomatis akan mempersiapkan diri untuk tidur. Jika sudah memasuki waktu dimana tubuh harus tidur namun cahaya dalam ruangan sangat terang, maka tubuh akan melawan perintah untuk tidur. Melatonin merupakan hormon yang mengatur irama sirkadian (Sumirta
dan Laraswati,
2014).
Ketika
tidur,
tubuh akan
meningkatkan kadar melatonin dan menjaga agar kadar melatonin tetap tinggi sepanjang malam, dimana hormon melatonin sangat berperan dalam proses tidur dan kualitas tidur seseorang (Potter dan Perry, 2005). Hormon melatonin juga sangat peka terhadap cahaya. Cahaya dapat menghambat dan menurunkan kadar hormon tersebut. Dengan demikian,
dapat
disimpulkan bahwa
cahaya
dapat
menghambat mekanisme irama sirkadian (jam biologis) (Prasadja, 2009). b. Tahapan Siklus Tidur Siklus tidur terbagi menjadi dua tahapan, yaitu sebagai berikut : 1) Tidur Gelombang Lambat atau Nonrapid Eye Movement atau Slow Wave Sleep (NREM 1 – NREM 3) Nonrapid Eye Movement (NREM) atau Slow Wave Sleep (SWS) dikenal dengan tidur yang dalam, istirahat penuh, dengan
19
gelombang otak yang lebih lambat, atau juga dikenal dengan tidur nyenyak (Uliyah dan Hidayat, 2008). Tahapan tidur NREM dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu : a) Tahap NREM 1 Pada tahap NREM 1, seseorang akan mulai mengantuk dan kehilangan kesadaran. Tahap NREM 1 merupakan tahap drowsiness, yaitu tahapan dimana pikiran melayang-layang tidak menentu tetapi masih menyadari kondisi di sekeliling (Prasadja, 2009). Pada tahapan ini seseorang juga lebih mudah terbangun karena masih dalam tidur yang dangkal. Namun, aktivitas fisik, tanda vital, dan metabolisme sudah mulai mengalami penurunan (Tarwoto dan Wartonah, 2010). b) Tahap NREM 2 Pada tahap NREM 2, seseorang akan menjadi sulit dibangunkan. Namun, pada tahapan ini kemungkinan terbangun masih lebih mudah. Proses tubuh terus mengalami penurunan dan tahapan ini berlangsung selama 10 hingga 20 menit (Potter dan Perry, 2005). Pada tahapan ini, otot juga mulai mengalami relaksasi (Tarwoto dan Wartonah, 2010). c) Tahap NREM 3 Tahap NREM 3 sebelumnya dikenal dengan tahapan NREM 3 dan NREM 4. Namun, karena dianggap tidak terdapat perbedaan bermakna secara klinis, maka tahapan NREM 3 dan NREM 4 diubah menjadi N3 (Prasadja, 2009).
20
Tahapan ini disebut juga tidur dalam (slow wave). Pada tahapan ini seseorang menjadi sulit dibangunkan dan tahapan ini merupakan awal dari tidur nyenyak (Tarwoto dan Wartonah, 2010). Dibutuhkan rangsangan yang kuat untuk membangunkan seseorang yang telah memasuki tahap NREM 3. Ketika
terbangun
dari
tidur
dalam,
seseorang
membutuhkan waktu beberapa saat untuk mengembalikan kesadaran. Pada tahapan ini, tubuh juga mengeluarkan hormon pertumbuhan atau growth hormone dan prolaktin. Hormon pertumbuhan berfungsi untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan yang rusak, sedangkan prolaktin banyak terdapat pada ibu menyusui (Prasadja, 2009). Kemudian, pada tahapan ini juga terjadi restorasi dan istirahat, tonus otot menurun, sekresi lambung menurun, dan gerak bola mata cepat (Tarwoto dan Wartonah, 2010). 2) Tidur Paradoks atau Rapid Eye Movement (REM) Pada tahapan ini seseorang akan mengalami mimpi yang penuh warna dan tampak hidup (Potter dan Perry, 2005). Menjelang pagi hari, tubuh akan melepaskan hormon kortisol (hormon stres) yang membuat tubuh siap menghadapi hari baru dengan segar (Prasadja, 2009). Tahapan tidur ini sangat penting untuk keseimbangan mental, emosi, memori, dan adaptasi (Tarwoto dan Wartonah, 2010).
21
3.
Manfaat Tidur Berkualitas Tidur yang berkualitas memberikan banyak manfaat bagi tubuh. Memperoleh kualitas tidur terbaik merupakan hal penting yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan pemulihan seseorang yang sakit (Potter dan Perry, 2005). Selain itu, ketika seseorang mendapatkan tidur yang berkualitas, maka dapat memelihara otot jantung, memperbaiki proses biologis secara rutin, menyimpan energi selama tidur, dan untuk pemulihan fungsi kognitif (Umami dan Priyanto, 2012). Umami dan Priyanto (2012) juga menyebutkan bahwa tidur yang berkualitas berpengaruh terhadap pemulihan fungsi kognitif, dimana pada tahan tidur REM terjadi perubahan aliran darah serebral, peningkatan aktivitas kortikal, peningkatan konsumsi oksigen, dan pelepasan epinefrin. Menurut Uliyah dan Hidayat (2008), secara umum tidur memberikan dua efek fisiologis pada tubuh. Efek pertama yaitu terhadap sistem saraf yang dapat memulihkan kepekaan normal dan keseimbangan di antara berbagai susunan saraf dan efek kedua terhadap struktur tubuh yang dapat memulihkan kesegaran dan fungsi organ dikarenakan selama tidur terjadi penurunan aktivitas organ-organ tubuh. Selain itu, menurut Maghfirah (2015) bila dilihat secara spesifik, manfaat dari tidur yaitu : a.
Terjadi penguraian zat sisa metabolisme tubuh.
b.
Proses perbaikan sel-sel tubuh.
c.
Terjadi proses regenerasi (perbaikan, perubahan, dan perkembangan) sel.
d.
Terjadi proses stabilisasi hormonal ketika tidur.
22
4.
Gangguan Tidur Gangguan tidur merupakan masalah yang dialami seseorang terhadap pemenuhan kebutuhan tidurnya. Kurang tidur dapat menimbulkan efek negatif seperti menurunnya kemampuan berpikir dan bekerja, membuat kesalahan, dan sulit untuk mengingat sesuatu (Amran dan Handayani, 2012). Selain itu, tidur yang tidak adekuat juga dapat berdampak pada aspek fisiologi seperti penurunan aktivitas sehari-hari, rasa capai, lemah, proses penyembuhan lambat, daya tahan tubuh menurun, dan ketidakstabilan tanda-tanda vital (Nurlela dkk., 2009). Penting sekali mengetahui gangguan tidur apa yang diderita seseorang. Hal ini dikarenakan gangguan tidur dapat memberikan dampak negatif baik terhadap keselamatan maupun kesehatan. Pengetahuan yang memadai mengenai gangguan tidur dapat menghindarkan diri dari efek negatif serta dapat dilakukan upaya yang tepat untuk mengatasinya. Gangguan tidur yang dialami antara satu orang dengan orang lainnya dapat berbeda-beda. Gangguan tidur yang umum terjadi yaitu sebagai berikut : a.
Insomnia Insomnia merupakan salah satu gangguan tidur yang paling sering dialami oleh seseorang. Insomnia atau sukar tidur merupakan suatu
keadaan
yang
menyebabkan
individu
tidak
mampu
mendapatkan tidur yang adekuat baik secara kualitas maupun kuantitas, sehingga individu tersebut hanya tidur sebentar atau susah untuk tertidur (Uliyah dan Hidayat, 2008). Terdapat tanda dan gejala
23
insomnia. Insomnia ditandai dengan gejala kesulitan memulai tidur (initial insomnia) dan bangun terlalu awal (early awakening) (Lanywati, 2001). Definisi insomnia kini juga disertai dengan gejala atau keluhan di siang hari berupa rasa lelah, kantuk, gangguan mood, penurunan kemampuan kognitif, dan gangguan hubungan sosial (Prasadja, 2009). Insomnia akan merubah pola tidur dan membuat tubuh menjadi tidak bertenaga. Hal ini dikarenakan insomnia menyebabkan penderitanya tidak mendapatkan tidur yang berkualitas, sehingga mengalami tidur yang dangkal dan tidak menyegarkan walaupun cukup waktu dan tidak terbangun (Prasadja, 2009). Insomnia dapat disebabkan oleh banyak faktor. Antara satu orang dengan orang lainnya memiliki faktor penyebab atau pencetus yang berbeda. Insomnia kerap ditemukan pada lansia, wanita hamil, wanita PMS, dll. Insomnia dapat disebabkan oleh stres situasional (masalah keluarga, kerja, jet lag, penyakit, atau kehilangan orang yang dicintai), kekhawatiran, kecemasan, dan kebiasaan tidur yang buruk (Potter dan Perry, 2005). b. Apnea Tidur Apnea tidur dikenal juga dengan sleep apnea atau obstructive sleep apnea atau tidur mendengkur. Apnea tidur merupakaan keadaan dimana seseorang mengalami kekurangan aliran udara melalui hidung dan mulut selama 10 detik atau lebih pada saat tidur (Potter dan Perry, 2005).
24
Mendengkur hingga saat ini masih dianggap sebagai keadaan seseorang yang tertidur lelap. Padahal mendengkur merupakan gangguan tidur yang paling banyak dialami dan dapat sangat berbahaya. Seseorang yang mengalami apnea tidur akan mengalami berhenti bernafas ketika tidur (Prasadja, 2009). Apnea tidur dapat menyebabkan seseorang tidak mendapatkan tidur yang berkualitas. Hal ini dikarenakan pada saat berhenti bernafas, akan diikuti dengan usaha nafas (gasping) yang membangunkan otak sejenak (micro arousal), sehingga akan memotong tidur seseorang (Prasadja, 2009). Selain itu, gejala yang umum terjadi pada penderita apnea tidur yaitu adalah hipersomnia atau EDS (Prasadja, 2009). Dengan demikian, penderita apnea tidur akan mengalami rasa kantuk yang berlebihan pada saat siang hari. Rasa kantuk yang berlebihan tersebut tentu dapat mengancam keselamatan penderitanya. c.
Narkolepsi Narkolepsi merupakan gangguan tidur yang menyebabkan seseorang merasakan kantuk yang berlebihan pada siang hari. Meskipun sudah tidur dalam waktu 15 menit, namun dalam waktu singkat rasa kantuk akan datang kembali. Pada malam hari, banyak penderita narkolepsi yang mengalami kesulitan untuk tidur (Prasadja, 2009). Ketika seseorang menderita narkolepsi, maka orang tersebut akan mengalami disfungsi mekanisme yang mengatur keadaan bangun dan tidur (Potter dan Perry, 2005).
25
Rasa kantuk yang menyerang ketika siang hari ini sangat mengganggu aktivitas sehari-hari. Penderitanya tidak mampu mengendalikan keinginan untuk tidur (Tarwoto dan Wartonah, 2010). Terutama jika rasa kantuk muncul ketika sedang melakukan pekerjaan. Tentu hal ini dapat mengancam keselamatan orang tersebut. Tak jarang, seseorang yang menderita narkolepsi dianggap sebagai seorang pemalas, kurang antusias, dan tidak bersemangat dalam melakukan pekerjaan. Ciri-ciri seseorang yang menderita narkolepsi yaitu (Prasadja, 2009): 1) Excessive Daytime Sleepiness 2) Cataplexy 3) Sleep Paralysis 4) Hypnagogic/Hypnopompic Hallucination d. Sleep Paralysis Sleep paralysis merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami kelumpuhan atau tidak dapat menggerakkan tubuhnya ketika tidur (Prasadja, 2009). Sleep paralysis terjadi ketika tubuh mengalami kelelahan dan penumpukkan utang tidur. Hal tersebut menyebabkan otot-otot tidak dapat dikendalikan atau tidak dapat digerakkan. Ketika mengalami sleep paralysis, menandakan bahwa seseorang tersebut memasuki tahap tidur REM, dimana pada tahapan tersebut hanya otot mata dan pernafasan yang tidak mengalami kelumpuhan (Prasadja, 2009).
26
5.
Kebutuhan Tidur Wanita Pada umumnya, baik laki-laki maupun wanita dapat mengalami gangguan pada tidurnya. Namun, wanita memiliki problematika tidur tersendiri yang membutuhkan penanganan yang lebih kompleks. Wanita diketahui memiliki kecenderungan untuk mengalami gangguan tidur. Gangguan tidur yang cenderung dialami wanita seperti mengalami mimpi buruk, kesulitan tidur, dan sering terbangun dibandingkan dengan pria (Sumirta dan Laraswati, 2014). Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya juga menunjukkan bahwa gangguan tidur pada pekerja wanita lebih berpengaruh negatif dibandingkan pada pekerja laki-laki. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Haryono, dkk. (2009) dan Sumirta dan Laraswati (2014) yang menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan responden wanita memiliki prevalensi gangguan tidur yang lebih besar dari laki-laki. Hal tersebut dapat terjadi disebabkan oleh perbedaan fisiologis dan psikologis antara laki-laki dan wanita. Bekerja secara shift sangat berpengaruh terhadap wanita. Laki-laki diketahui memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap shift kerja dibandingkan dengan wanita (EKU Online, 2016). Secara alamiah, wanita diketahui membutuhkan waktu tidur yang lebih lama dan lebih mudah mengalami kelelahan dibandingkan dengan laki-laki (Oginska dan Pokorskri, 2006). Hal ini dapat disebabkan oleh ketahanan fisik laki-laki yang lebih kuat dibandingkan dengan wanita. Wanita memiliki massa otot yang lebih sedikit dan kekuatan fisik yang lebih kecil (Harrington dan Gill,
27
2003). Hal tersebut yang kemudian dapat menyebabkan wanita lebih mudah mengalami kelelahan. Kelelahan yang disertai dengan stres emosional juga dapat menyebabkan permasalahan lain terhadap tidurnya. Stres akan semakin meningkatkan munculnya gangguan tidur akibat dari kecemasan dan hilangnya ketenangan. Kelelahan hanya dapat diatasi dengan cara istirahat yang cukup (Fajarwati dkk., 2011). Hal ini dikarenakan, ketika dalam keadaan istirahat dan tidur, tubuh akan melakukan proses pemulihan untuk mengembalikan stamina tubuh hingga dapat kembali ke dalam kondisi yang optimal (Asmadi, 2008). Ketika tidur terganggu, maka akan terjadi gangguan akibat perubahan metabolisme tubuh. Salah satu perubahan yang terjadi yaitu pada produksi hormon. Selain itu, terdapat perbedaan hormonal pada laki-laki dan wanita. Jumlah hormon estrogen dan progesteron pada wanita lebih dominan dibandingkan dengan laki-laki. Reseptor hormon estrogen dan progesteron terletak pada bagian tersendiri di hipotalamus, dimana posisi tersebut mempengaruhi irama sirkadian dan pola tidur secara langsung (Prasadja, 2009). Keberadaan hormon estrogen dan progesteron pada wanita secara langsung juga sangat berpengaruh pada masa Premenstrual Syndrome (PMS), kehamilan, dan menopause. Keberadaan hormon tersebut dapat menimbulkan gangguan tidur pada wanita. Secara psikologis, kemampuan koping dalam mengatasi masalah pada wanita lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, sehingga wanita lebih mudah mengalami kecemasan yang dapat menyebabkan insomnia
28
(Sumirta dan Laraswati, 2014). Permasalahan secara psikologis dapat memperburuk kualitas tidur wanita.
6.
Instrumen Pengukuran Kualitas Tidur Pengukuran kualitas tidur seseorang dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa instrumen. Berikut adalah kelebihan dan kekurangan dari masing-masing instrumen kualitas tidur yang ada :
Tabel 2.1. Kelebihan dan Kekurangan Instrumen Pengukuran Kualitas Tidur No 1
Kuesioner Kelebihan Kekurangan The Pittsburgh Mudah dalam Tidak dapat Sleep Quality pengisiannya. menggantikan Index (PSQI) polysomnographic Waktu pengisian relatif (PSG), dikarenakan skor singkat. PSQI tidak berkorelasi Banyak digunakan untuk dengan PSG (Grandner meneliti kualitas tidur. dkk., 2006). Telah diterjemahkan ke dalam 48 bahasa (Buysse Tidak dapat digunakan untuk skrining kelainan dkk., 2008). tidur polysomnographic Telah digunakan dalam (Buysse dkk., 2008). berbagai studi berbasis populasi dan klinis (Buysse dkk., 2008). Lebih terkait dengan penilaian gejala psikologis dan pengukuran catatan harian tidur dibandingkan dengan ESS (Buysse dkk., 2008). Memiliki konsistensi internal dan koefisien reliabilitas (Cronbach Alpha) 0,83 dari 7 komponennya (Smyth, 1999). Memiliki sensitivitas 89,6% dan spesifisitas 86,5% (Buysse dkk., 2008).
29
No
2
3
Kuesioner
Kelebihan Kekurangan Telah dilakukan uji validitas yaitu sebesar 0,89 (Cunha, dkk., 2008), 0,84 (Fauziah, 2013). Telah dilakukan uji realibilitas sebesar 0,88 (Cueller dan Ratcliffe, 2008). Telah dilakukan uji realibilitas sebesar 0,766 (Agustin, 2012). Sleep Quality Waktu pengisian relatif Instrumen yang lebih Scale (SQS) singkat baru dari PSQI, sehingga belum begitu banyak Instrumen yang valid dan digunakan seperti PSQI. reliabel untuk pengukuran kualitas tidur orang dewasa Belum banyak digunakan (Kastler dan Davidson, di Indonesia sebagai 2007). instrumen pengukuran kualitas tidur. Dibandingkan dengan PSQI, SQS mencakup item tentang fungsi restoratif setelah tidur, kesulitan dalam bangun, dan berbagai disfungsi siang hari karena tidur (Kastler dan Davidson, 2007). Memiliki koefisien Cronbach Alpha 0,92 (Yi dkk., 2006). Konsistensi internal dan koefisien korelasi 0,81 (Yi dkk., 2006). Polysomnography Dilakukan oleh orang yang Metode yang tidak (PSG) sudah profesional. praktis untuk digunakan sebagai alat skrining Metode yang objektif untuk klinis atau penelitian pengukuran kualitas tidur (Buysse dkk., 2008) (Buysse dkk., 2008). Mahal. Hanya dapat dilakukan oleh kalangan tertentu.
30
B. Determinan Kualitas Tidur 1.
Jenis Shift Kerja Pada umumnya, waktu kerja telah diatur oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam keputusan menteri. Menurut KEP.102/MEN/VI/2004, waktu kerja normal untuk 6 hari kerja yaitu 7 jam/hari (hari ke 1-5), 5 jam/hari (hari ke 6) atau 40 jam/minggu, sedangkan untuk 5 hari kerja yaitu 8 jam/hari atau 40 jam/minggu. Jika waktu kerja lebih dari waktu tersebut, maka dihitung sebagai waktu kerja lembur. Agar dapat beroprasi secara maksimal selama 24 jam, maka perusahaan menerapkan sistem shift kerja dalam proses produksinya. Shift kerja merupakan suatu cara mengorganisir waktu kerja harian pada orang atau tim yang berbeda secara berturut-turut untuk waktu kerja yang biasanya 8 jam, dan meliputi waktu keseluruhan 24 jam (Agustin, 2012). Definisi lain menyebutkan bahwa shift kerja merupakan pekerjaan dengan jam kerja yang tidak biasa atau pekerjaan dimana jam kerjanya berubah-ubah dan tidak teratur (Revalicha dan Sami'an, 2013). Kemudian, Murits dan Widodo (2008) mendefinisikan shift kerja sebagai periode waktu dimana suatu kelompok pekerja dijadualkan bekerja pada tempat kerja tertentu. Diketahui jumlah pekerja shift di Negara Uni Eropa hampir mencapai 22% (Utami dan Bayhakki, 2009). Sedangkan, di negara berkembang sendiri jumlah pekerja shift diperkirakan berkisar antara 15-30% (Silaban, 1998 dalam Dewi, 2006). Belum diketahui secara pasti berapa banyak jumlah pekerja shift di Indonesia. Namun, diperkirakan jumlah pekerja
31
shift di Indonesia terus mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya jumlah angkatan kerja. Pada umumnya, shift kerja terdiri dari tiga jenis, yatu shift pagi, siang, dan malam. Durasi atau jam kerja pada tiap-tiap perusahaan dapat berbedabeda tergantung dengan jenis dan kebutuhan perusahaan. Penerapan shift kerja dilakukan untuk meningkatkan produktivitas suatu perusahaan. Namun, penerapan shift ternyata memberikan dampak negatif terhadap pekerja, baik terhadap keselamatan maupun kesehatan. Shift kerja akan berdampak dan mempengaruhi pekerja pada aspek-aspek sebagai berikut : a.
Aspek Fisiologis Pada aspek fisiologis, shift kerja akan mempengaruhi irama sirkadian seseorang. Hal ini dikarenakan irama sirkadian adalah dasar pada siklus tidur dan bangun harian (Maurits dan Widodo, 2008). Efek negatif yang ditimbulkan pada aspek fisiologis yaitu kapasitas fisik menurun akibat perasaan mengantuk dan lelah, menurunnya nafsu makan, dan gangguan pencernaan (Saftarina dan Hasanah, 2014).
b. Aspek Psikologis Stres merupakan aspek psikologis yang sering terjadi pada pekerja. Stres akibat shift akan menyebabkan kelelahan (fatigue) yang dapat
menyebabkan
gangguan
psikis
pada
pekerja
seperti
ketidakpuasan dan iritasi, sehingga seiring dengan meningkatnya stres, fatigue dan ketidakpuasan akibat shift juga dapat meningkatkan kecelakaan (Maurits dan Widodo, 2008). Stres juga dapat menimbulkan dampak bagi kesehatan. Stres akan mempengaruhi
32
keseimbangan sistem kekebalan tubuh (Wildani, 2012). Sistem kekebalan tubuh yang terganggu dapat membuat tubuh mudah terserang berbagai penyakit. c.
Aspek Kinerja Menurut Hidayat (2011), kinerja secara umum diukur dalam tiga variabel yaitu produktivitas,
jumlah kesalahan, dan jumlah
kecelakaan. Pada malam hari, tingkat produktivitas, jumlah kesalahan, dan jumlah kecelakaan jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan siang hari. Hal tersebut disebabkan oleh menurunnya konsentrasi dan kewaspadaan akibat pekerja yang mengantuk. Seseorang yang kurang tidur tidak dapat mengenali saat-saat kantuk akan menyerang (Prasadja, 2009). Hal tersebut membuat seseorang tidak tahu kapan dirinya harus berhenti untuk beristirahat agar konsentrasi dan kewaspadaan dapat tetap terjaga. d. Aspek Domestik dan Sosial Secara sosial, shift kerja juga akan mempengaruhi sosialisasi pekerja karena interaksinya terhadap lingkungan menjadi terganggu (Maurits dan Widodo, 2008). Hal ini disebabkan oleh waktu sosialisasi di lingkungan selain lingkungan pekerjaan yang semakin berkurang. Pekerja yang yang bekerja dalam sistem peputaran jadwal shift sulit untuk mengembangkan dan mempertahankan interaksi sosial dengan teman-teman yang kebetulan berada di pergeseran berbeda karena proses rotasi, sehingga pekerja mengalami isolasi sosial (Hidayat, 2011).
33
Dari ketiga shift yang umum diterapkan, shift malam memiliki dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan kedua jenis shift lainnya. Pekerja pada shift malam memiliki tingkat kelelahan, tekanan darah sistol dan diastol, denyut nadi, stres fisik dan stres mental lebih tinggi daripada pekerja shift pagi (Kodrat, 2011). Kelelahan pada kerja shift malam relatif sangat besar dikarenakan faktor faal dan metabolisme yang tidak dapat diserasikan serta kuatnya kerja saraf parasimpatis pada malam hari (Suma'mur, 2009). Secara teoritis, gangguan tidur terhadap wanita memiliki dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan laki-laki, meskipun keduanya dapat mengalami gangguan tidur yang sama. Ketika bekerja pada shift malam, produksi hormon melatonin juga menjadi tidak sesuai, sehingga dapat meningkatkan risiko terhadap penyakit kanker payudara (Agustin, 2012). a.
Pengaturan Shift Kerja Penerapan sistem shift kerja di perusahaan harus memperhatikan aturan-aturan tertentu. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah atau mengurangi dampak yang diberikan oleh penerapan shift kerja. berikut adalah hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan shift kerja : 1) Menurut Suma’mur (1999) dan Suma’mur (2009) a)
Waktu bekerja dalam seminggu maksimal 40-50 jam, lebih dari itu maka berkemungkinan besar akan menimbulkan dampak negatif bagi tenaga kerja.
34
b) Setiap bekerja pada shift siang atau malam sebaiknya diikuti dengan paling sedikit 24 jam libur dan tiap shift malam paling sedikit 2 hari libur, sehingga pekerja dapat mengatur kebiasaan tidur. c)
Tidak boleh meniadakan hari libur bersama (minggu, hari libur nasional, dan lainnya).
d) Sistem kerja bergilir tiga regu (dari 8 jam) jauh lebih baik dari 2 regu (dari 12 jam). e)
Waktu gilir kerja sebaiknya pendek (2 sampai beberapa hari) untuk mengurangi terjadinya efek kumulatif.
2) Menurut Grandjean (1986) dalam Nurmianto (2004) a)
Waktu pergantian shift lebih baik dilakukan pada pukul 07.00, 15.00, dan 23.00 atau 08.00, 16.00, dan 24.00.
b) Pekerja shift sebaiknya berumur 25-50 tahun. c)
Pekerja yang mempunyai masalah perut dan usus, serta emosi yang tidak stabil disarankan untuk tidak dipekerjakan pada shift malam.
d) Pekerja yang memiliki tempat tinggal jauh dari tempat kerja atau berada di lingkungan yang ramai sebaiknya tidak dipekerjakan pada sistem shift kerja. e)
Rotasi pendek lebih baik daripada rotasi panjang dan dihindarkan dari shift malam secara terus menerus.
f)
Rotasi kerja yang baik yaitu dengan pola 2-2-2 (metropolitan pola) atau 2-2-3 (continental pola).
35
g) Kerja dengan shift malam selama 3 hari secara berturut-turut seharusnya diikuti istirahat paling sedikit 24 jam. h) Perancangan shift kerja perlu mempertimbangkan waktu libur 2 hari berurutan. i)
Tiap shift kerja terdiri dari satu kali istirahat yang cukup untuk makan.
3) Menurut Tayyari dan Smith (1997) a)
Jika
memungkinkan,
shift
malam
dikurangi
tanpa
mengurangi kompensasi dan benefit lainnya. b) Jumlah pekerja shift malam dikurangi. c)
Waktu kerja shift tidak melebihi 8 jam.
d) Tiap shift siang atau malam diikuti dengan paling sedikit 24 jam libur dan tiap shift malam paling sedikit 2 hari libur. e)
Musik yang tidak monoton selama bekerja shift malam dapat dilakukan.
4) Menurut UU No. 13 Tahun 2003 a)
Pekerja atau buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
b) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja atau buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
36
c)
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja atau buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib : (1) Memberikan makanan dan minuman bergizi. (2) Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja. (3) Menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja atau buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
5) Menurut LaDou (1994) a)
Kecepatan Rotasi Kerja Kecepatan rotasi kerja dapat mempengaruhi waktu pekerja untuk beradaptasi dan mendapatkan waktu istirahat yang cukup sesuai dengan jenis pekerjaan. Kecepatan rotasi kerja dibagi menjadi dua, yaitu : (1) Rotasi Lambat Rotasi lambat membuat pekerja mendapat giliran kerja setiap 5 hari. Dengan kata lain, setiap 5 hari pekerja akan mengalami pergantian shift setelah 5 hari bekerja. Jenis rotasi ini memiliki kelebihan yakni memberikan waktu bagi pekerja untuk beradaptasi baik secara fisiologis maupun sosial.
37
(2) Rotasi Cepat Rotasi cepat membuat pekerja mendapat giliran kerja setiap 1-3 hari. Pekerja akan mengalam pergantian shift kerja setelah 1-3 hari bekerja. Namun, jenis rotasi ini memberikan dampak negatif, yaitu menyebabkan pekerja sulit untuk beradaptasi terhadap shift malam. b) Arah Rotasi Kerja Arah rotasi menunjukkan arah perubahan antara satu shift dengan shift lainnya. Arah rotasi kerja terdiri dari rotasi maju dan rotasi mundur. Rotasi maju merupakan arah rotasi yang jauh lebih baik daripada rotasi mundur. Hal ini dikarenakan rotasi maju memberikan waktu kepada pekerja untuk bangun lebih telat. Dengan demikian, waktu tidur menjadi lebih lama. Adapun arah rotasi kerja dibagi menjadi dua, yaitu : (1) Rotasi Maju Arah rotasi ini mengikuti arah jarum jam. Rotasi kerja akan dimulai dari shift pagi, kemudian ke shift siang, dan selanjutnya shift malam. (2) Rotasi Mundur Arah rotasi ini berlawanan dengan arah jarum jam. Rotasi kerja dimulai dari shift pagi, kemudian ke shift malam, dan selanjutnya shift siang.
38
6) Menurut Kuswadji (1997) Shift kerja dapat digolongkan berdasarkan desain, jumlah jam kerja, jumlah hari kerja maupun karakteristik pekerjaan. Penggolongan shift kerja dijelaskan sebagai berikut : a)
Pembagian shift kerja berdasarkan awal dan akhir jam kerja shift, lama satu shift, dan keteraturannya yaitu sebagai berikut : (1) Sistem 3 Shift Biasa Pada sistem shift ini, pekerja akan bekerja 8 jam sehari selama 24 jam. Waktu kerja terbagi menjadi tiga shift, yaitu shift pagi yang dimulai pada pukul 06.00 hingga 14.00, shift sore yang dimulai pada pukul 14.00 hingga 22.00, dan shift malam yang dimulai pada pukul 22.00 hingga 06.00. Dari ketiga shift tersebut, shift malam diketahui memiliki dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan kedua shift lainnya. Bekerja pada shift malam akan mengganggu waktu berkumpul bersama keluarga. Selain itu, waktu beristirahat yang dilakukan pada siang hari setelah pulang bekerja pada shift malam umumnya akan terganggu akibat suara bising, kegiatan bersama keluarga, dll. Berbeda halnya jika pekerja bekerja pada shift pagi. Bekerja pada shift pagi dapat memungkinkan pekerja
39
untuk mengerjakan kegiatan pada sore dan malam harinya. Pada shift sore juga memungkinkan pekerja untuk mendapatkan tidur dan istirahat yang cukup. (2) Sistem Amerika Menurut sistem shift Amerika, jam kerja shift pagi akan dimulai pada pukul 08.00 hingga pukul 16.00, shift sore pada pukul 16.00 hingga pukul 24.00, dan shift malam pada pukul 24.00 hingga pukul 08.00. Sistem shift ini banyak memberikan keuntungan bagi pekerja, di antaranya memberikan kesempatan pekerja untuk mendapatkan waktu makan bersama keluarga dan untuk tidur lebih lama terutama pada shift pagi dan sore. (3) Sistem 12-12 Sistem shift ini biasa digunakan oleh pekerja di penambangan minyak lepas pantai. Sistem shift ini dibagi menjadi dua shift yakni shift pagi dan malam. Shift pagi dimulai antara pukul 07.00 hingga pukul 19.00 dan shift malam dimulai antara pukul 19.00 hingga pukul 07.00. Setelah bekerja selama 2 minggu setelah shift malam, biasanya pekerja akan pulang ke rumah. Namun, bila dipandang dari sudut pandang kesehatan atau ergonomi sistem shift ini tidak baik untuk diterapkan.
40
b) Pembagian shift kerja menurut jumlah hari kerja malam yang berturut-turut paling sedikit ada tiga jenis, yaitu sebagai berikut : (1) Metropolitan Rota Menurut Grandjean (1986) dalam Nurmianto (2004), sistem rotasi pada shift ini dianggap sangat baik untuk diterapkan di tempat kerja. Metropolitan rota merupakan sistem shift dimana pekerja akan bekerja menurut giliran 2-2-2 (pagi, pagi, siang, siang, malam, malam, libur, libur). Hari libur pada hari sabtu dan minggu hanya terjadi sekali dalam 8 minggu. (2) Continental Rota Menurut Grandjean (1986) dalam Nurmianto (2004), sistem rotasi pada shift ini juga dianggap sangat baik untuk diterapkan di tempat kerja. Continental rota merupakan shift dimana pekerja akan bekerja menurut giliran 2-2-3 (pagi, pagi, siang, siang, malam, malam, malam, libur, libur). Hari libur pada hari jumat, sabtu, dan minggu akan terjadi setiap 4 minggu. (3) Sistem 4 Orang Siklus 32 Jam Sistem shift ini lepas jaga tidak ada dan tidak ada libur. Namun, sistem ini memberikan keuntungan pada pekerja. Keuntungan dari sistem shift ini yaitu setiap pekerja tidak mengalami kerja shift pagi sebanyak lima
41
kali seminggu. Pergantian shift pada tengah malam, sehingga pekerja dapat tidur pada malam hari baik sebelum maupun sesudah bekerja.
2.
Stres Emosional Stres merupakan suatu ancaman nyata atau yang dirasakan yang tertuju pada kondisi fisik, emosi, dan sosial seseorang (Tamher dan Noorkasiani, 2009). Tamher dan Noorkasiani (2009) juga menambahkan bahwa stres merupakan kejadian eksternal serta situasi lingkungan yang membebani kemampuan adaptasi individu, terutama beban emosional dan kejiwaan. Kemudian, menurut Wildani (2012), stres merupakan suatu respon seseorang yang dapat bersifat positif atau negatif, yang dapat mempengaruhi fisik, perkembangan, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual. Setiap orang pasti pernah mengalami stres dalam hidupnya. Stres emosional banyak terjadi diakibatkan oleh masalah pribadi. Selain berasal dari lingkungan keluarga, stres juga dapat berasal dari lingkungan pekerjaan. Stimuli yang mengawali atau mencetuskan perubahan disebut dengan stresor (Potter dan Perry, 2005). Stres emosional disebabkan oleh permasalahan yang bersifat psikologis. Stres juga sangat erat kaitanya dengan seberapa besar kemampuan seseorang untuk mengatasi perubahan dalam hidupnya, baik itu dengan lingkungan keluarga, lingkungan kerja, maupun lingkungan sosialnya (Stranks, 2005).
42
Penyebab stres atau stresor dikelompokkan menjadi dua, yaitu (Gunarsa, 2002) : a.
Stresor fisik : lingkungan, yaitu faktor-faktor luar yang menjadi penyebab stres seperti makanan, obat-obatan, hamil, abortus, operasi, cedera, penyakit, panas, dingin, haus, dan kelelahan.
b.
Stresor psikososial : situasi sosial, yaitu peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga orang tersebut harus mengadakan adaptasi, berusaha menanggulangi stresor yang timbul. Stresor psikososial yaitu seperti : 1) Pernikahan yang tidak bahagia, perceraian 2) Pekerjaan : penempatan tenaga kerja, peralatan yang canggih 3) Keluarga : anak yang berubah, berkembang, kematian. Selain itu, penyebab stres juga dapat dikelompokkan sebagai berikut
(Stranks, 2005) : a.
Stresor lingkungan Stresor yang berasal dari lingkungan seperti temperatur dan kelembapan ekstrim, pencahayaan dan ventilasi yang tidak adekuat, kebisingan dan getaran, serta keberadaan kontaminan udara seperti debu, asap, dan gas.
b.
Stresor pekerjaan Stresor yang berhubungan dengan pekerjaan yang terlalu banyak atau terlalu sedikit, kenaikan atau penurunan jabatan, tuntutan kerja yang berlawanan, atasan atau pimpinan yang tidak kompeten, jam
43
kerja yang terlalu banyak, dan interaksi antara pekerjaan dan komitmen keluarga. c.
Stresor Sosial Stresor yang berhubungan dengan kehidupan keluarga, hubungan perkawinan, kehilangan. Hal tersebut merupakan masalah yang dapat ditemukan setiap hari. Salah satu dampak yang ditimbulkan dari stres emosional yaitu
menyebabkan seseorang mengalami kesulitan tidur, sering terbangun selama siklus tidur, atau bahkan lebih banyak tidur (Potter dan Perry, 2005). Hal ini dapat terjadi disebabkan oleh aktivitas saraf dalam tubuh. Seseorang yang mengalami stres akan merangsang sistem saraf simpatis untuk mengeluarkan katekolamin, glukagon, dan hormon kortisol-steroid yang mempengaruhi SSP dalam meningkatkan rasa gelisah, nafas cepat, hipertensi, dan ketegangan otot (Suwartika dan Cahyati, 2015). Kecemasan, sensitif atau marah membuat mental terganggu dan keseluruhan hal tersebut yang kemudian dapat menimbulkan gangguan tidur yang serius (Potter dan Perry, 2005). Gejala atau dampak yang ditimbulkan dari stres tersebut lah yang kemudian membuat seseorang mengalami gangguan tidur. Diketahui bahwa kesulitan tidur pada umumnya banyak terjadi pada seseorang yang baru saja kehilangan orang yang dicintai, bercerai, atau berada di bawah tekanan stres di tempat kerja (NHLBI, 2011). Agar tidak menimbulkan dampak negatif, maka dapat dilakukan upaya pengendalian terhadap stres emosional. Stres emosional dapat diatasi dengan
44
menghindari stres sebisa mungkin, serta meningkatkan kemampuan adaptasi dan koping terhadap stres. Ketika mengalami tekanan, maka seseorang akan beradaptasi atau menanggulagi stresor yang timbul (Hidayati, 2013). Kemampuan adaptasi yang kemudian membuat seseorang lebih kuat terhadap tekanan-tekanan yang dapat menimbulkan stres. Selain itu, perlu dilakukan koping terhadap stres. Koping merupakan cara berpikir dan bereaksi yang ditujukan untuk mengatasi beban atau transaksi yang menyakitkan (stresor) (Tamher dan Noorkasiani, 2009). Terdapat dua tipe coping yang dapat menurunkan stres, yakni problem focused coping dan emotion focused coping (Fink, 2010). Problem focused coping merupakan metode yang dilakukan dengan cara menghadapi dan menyelesaikan masalah yang menyebabkan stres emosional. Kemudian, emotion focused coping lebih ditujukan untuk menghilangkan emosi negatif dalam menyikapi masalah dan melihat sisi positif dari sebuah masalah. Kedua metode tersebut dapat membuat fikiran dan perasaan menjadi tenang. Fikiran dan perasaan yang tenang tentu akan memudahkan pekerja untuk memperoleh istirahat yang baik. Dengan demikian, hal tersebut akan menyelesaikan masalah dan mengubah situasi stres. Olahraga juga diketahui dapat mengatasi stres emosional. Olahraga dapat berfungsi sebagai psychological relaxer yang mengalihkan perhatian dari hal-hal yang membuat stres (Widyarini, 2009). Olahraga juga diketahui dapat meningkatkan tidur jika dilakukan selama dua puluh menit
45
per hari (Rafknowledge, 2004). Kemudian, rileksasi juga diketahui dapat mencegah stres dengan cara menurunkan denyut jantung dan tekanan darah, serta memberikan rasa tenang (Widyarini, 2009). Relaksasi yang dapat dilakukan yaitu seperti meditasi, yoga, latihan pernafasan dalam, tai chi, pemijatan, shalat, berdoa (dzikir), dll.
3.
Motivasi Motivasi untuk tidur merupakan suatu dorongan atau keinginan seseorang untuk tidur (Uliyah dan Hidayat, 2008). Motivasi berpengaruh terhadap tidur dan dapat menimbulkan keinginan untuk tetap terjaga dan waspada menahan kantuk (Tarwoto dan Wartonah, 2010). Agar dapat tidur, seseorang harus memiliki motivasi untuk dapat tidur. Jika seseorang tidak memiliki keinginan untuk tidur, maka dapat membuat seseorang terjaga dan sulit untuk memulai tidur. Menurut Bastable (2002), faktor yang dapat mempengaruhi motivasi seseorang yaitu adalah faktor insentif atau rintangan dalam mendapatkan perilaku yang diinginkan. Faktor yang bersifat memfasilitasi atau mengahalangi terbentuknya motivasi dapat digolongkan ke dalam tiga kategori utama, yakni (1) atribut pribadi, yang terdiri dari komponen fisik, perkembangan, dan psikologis; (2) pengaruh lingkungan yang mencakup kondisi fisik dan sikap; (3) sistem hubungan dengan pihak lain seperti keluarga, komunitas, rekan kerja, dll (Bastable, 2002). Seseorang dapat memiliki rintangan dalam mendapatkan pemenuhan kebutuhan tidurnya.
46
Pada dasarnya setiap orang memiliki motivasi untuk tidur. Namun, seseorang akan kehilangan motivasi untuk tidur ketika mendapatkan rintangan, baik yang berasal dari internal maupun eksternal. Rintangan tersebut dapat membuat seseorang tidak memiliki keinginan untuk tidur, sehingga akan mengalami gangguan tidur.
4.
Aktivitas Fisik Aktivitas fisik didefinisikan sebagai setiap gerakan tubuh yang memerlukan tenaga yang cukup (Dewi, 2014). Azis (2015) menambahkan bahwa aktivitas fisik merupakan gerakan tubuh oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya yang membutuhkan sejumlah energi. Definisi lain menyebutkan bahwa aktivitas fisik adalah gerakan otot bergaris yang membakar
energi
tubuh
(Tandra,
2009).
Tandra
(2009)
juga
mengungkapkan bahwa aktivitas fisik mencakup semua olahraga, semua gerakan tubuh, pekerjaan, rekreasi, kegiatan sehari-hari, sampai dengan berlibur atau waktu senggang (Tandra, 2009). Dapat disimpulkan, kegiatan yang termasuk dalam aktivitas fisik adalah setiap kegiatan yang dilakukan yaitu seperti jalan kaki, bersepeda, berkebun, melakukan pekerjaan rumah, berlari, jogging, dll. Olahraga masuk ke dalam jenis kegiatan dalam aktivitas fisik. Olahraga didefinisikan sebagai gerakan tubuh yang berirama dan teratur untuk memperbaiki dan meningkatkan kebugaran (Tandra, 2009). Olahraga masuk ke dalam aktivitas fisik dengan intensitas tinggi, sehingga
47
dibutuhkan usaha yang cukup besar untuk melakukan kegiatan yang termasuk ke dalam kategori olahraga. Seseorang yang melakukan aktivitas fisik dan kemudian mengalami kelelahan akan lebih cepat tertidur karena tahap tidur gelombang lambat (NREM) diperpendek (Uliyah dan Hidayat, 2008). Menurut Agustin (2012), seseorang yang melakukan olahraga di siang hari akan mudah tertidur di malam harinya. Hal ini dikarenakan olahraga dapat mempertinggi pengeluaran hormon pertumbuhan nokturnal, meredakan dengkuran dan keluhan tidur apnea obstruktif (Rafknowledge, 2004). Selain itu, diketahui bahwa olahraga akan menimbulkan rasa santai dan relaks dari ketegangan otot dan aktivasi saraf simpatis yang terjadi akibat peningkatan kecemasan atau stres yang menyebabkan gangguan tidur (Suastari dkk., 2014). Olahraga berfungsi sebagai psychological relaxer yang mengalihkan perhatian dari hal-hal yang membuat stres (Widyarini, 2009). Namun, yang perlu diperhatikan yaitu durasi olahraga yang dilakukan. Olahraga dapat meningkatkan tidur seseorang jika dilakukan selama dua puluh menit per hari (Rafknowledge, 2004). Aktivitas fisik terutama olahraga dapat menimbulkan gangguan tidur. Hal ini terjadi jika aktivitas fisik atau olahraga yang dilakukan menimbulkan kelelahan yang berlebihan, terutama jika dilakukan menjelang waktu tidur, sehingga akan membuat seseorang sulit tidur dan tetap terjaga (Rafknowledge, 2004). Selain itu, diketahui bahwa aktivitas fisik yang padat dan mengikuti sistem shift kerja malam dapat menyebabkan gangguan tidur yang disebabkan oleh peningkatan suhu
48
tubuh dan ketegangan otot yang membutuhkan beberapa jam untuk kembali ke keadaan normal, sehingga pikiran merasa tegang (Azis, 2015). Dibutuhkan istirahat dan tidur yang cukup setelah pulang bekerja terutama setelah bekerja pada shift malam untuk mengatasi kelelahan akibat aktivitas fisik yang dilakukan. Hal ini dikarenakan, ketika dalam keadaan istirahat dan tidur, tubuh akan melakukan proses pemulihan untuk mengembalikan stamina tubuh hingga dapat kembali ke dalam kondisi yang optimal (Asmadi, 2008). a.
Instrumen Pengukuran Aktivitas Fisik Terdapat beberapa jenis kuesioner yang digunakan untuk mengukur aktivitas fisik seseorang. Berikut adalah kelebihan dan kekurangan dari masing-masing kuesioner aktivitas fisik yang ada :
Tabel 2.2. Kelebihan dan Kekurangan Instrumen Pengukuran Aktivitas Fisik No 1
Kuesioner International Physical Activity Questionnaire (IPAQ)
2
Physical Activity Questionnaire for Children (PAQ-C)
Kelebihan Mudah dimengerti. Pertanyaan sedikit, sehingga cepat dalam pengisiannya. Cepat dan bisa diterapkan secara masal (Sudibjo dkk., 2013). Telah divalidasi di berbagai negara termasuk Indonesia (Sudibjo dkk., 2013).
Biaya dan waktu yang efisien (Kowalski dkk., 2004). Instrumen yang valid dan reliabel untuk mengukur
Kekurangan Pertanyaan bersifat terbuka, sehingga ada kemungkinan responden sulit mengisi kuesioner. Bergantung pada kemampuan subjek untuk mengingat kembali kebiasaanya secara rinci (Sudibjo dkk., 2013). Sulit mengkonversikan informasi aktivitas kualitatif menjadi data kuantitatif (Sudibjo dkk., 2013). Hanya dapat digunakan untuk anak-anak usia 8-14 tahun dalam sistem sekolah (Kowalski dkk., 2004).
49
No
5.
Kuesioner
Kelebihan tingkat aktivitas fisik umum dari masa kanak-kanak hingga remaja (Kowalski dkk., 2004). Menggunakan isyarat memori seperti item siang dan malam untuk meningkatkan kemampuan mengingat anak-anak dan remaja (Kowalski dkk., 2004). Mudah diterapkan pada populasi dengan skala yang besar dan menampilkan sifat distribusi normal (Kowalski dkk., 2004).
Kekurangan Tidak memberikan perkiraan pengeluaran kalori atau frekuensi, waktu, dan informasi intensitas tertentu (Kowalski dkk., 2004). Tidak membedakan antara intensitas kegiatan tertentu, seperti kegiatan moderat dan kuat, namun hanya memberikan skor aktivitas ringkasan (Kowalski dkk., 2004). Hanya sesuai bila digunakan selama sekolah, sehingga tidak dapat digunakan untuk menilai aktivitas fisik dalam periode liburan (Kowalski dkk., 2004).
Kebiasaan Makan Kebiasaan mengkonsumsi makanan diketahui dapat membantu atau bahkan mempersulit tidur. Kebiasaan makan dapat mempengaruhi tidur seseorang disebabkan oleh waktu seseorang mengkonsumsi makanan. Pekerja yang bekerja secara shift, terutama pada shift malam, dapat mempengaruhi kebiasaan makannya. Kebiasaan makan yang baik adalah kebiasaan mengkonsumsi makanan sebelum tidur setelah pulang bekerja. Hal ini dikarenakan terpenuhinya kebutuhan makanan dapat mempercepat tidur, namun jika asupanya tidak adekuat maka dapat menyebabkan seseorang menjadi sulit tidur (Uliyah dan Hidayat, 2008). Jika asupan makanan seseorang terpenuhi, maka dapat menyuplai kebutuhan kadar gula darah dalam tubuh. Namun jika terjadi penurunan kadar gula darah dalam tubuh, maka
50
akan menyebabkan kesulitan tidur di malam hari (Rafknowledge, 2004). Selain itu, kadar gula dalam darah dibutuhkan pekerja sebagai bahan bakar untuk menghasilkan energi bagi keperluan melaksanakan pekerjaan (Suma'mur, 2009). Kebiasaan mengkonsumsi makanan sebelum tidur setelah pulang bekerja dapat menggantikan atau menjadi sumber energi untuk melaksanakan pekerjaan selanjutnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa
salah
satu
kewajiban
pengusaha
yang
mempekerjakan
pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 yaitu wajib memberikan makanan dan minuman yang bergizi. Menurut KEP.102/MEN/VI/2004 turut
menyebutkan bahwa makanan dan
minuman yang diberikan sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila kerja lembur dilakukan selama tiga jam atau lebih dan pemberian makan dan minum tersebut tidak dapat digantikan dengan uang. Kemudian, menurut Suma’mur (2009), kebutuhan makanan tenaga kerja wanita yang memiliki rerata postur tubuh dengan tinggi badan 155 cm dengan berat badan 55 Kg yaitu sebagai berikut :
Tabel 2.3. Kebutuhan Zat Makanan Pada Wanita
Usia
Kilokalori
Protein (g)
20-39 2.500 65 40-59 2.400 65 >60 2.300 65 Sumber : Suma’mur (2009)
Kalsium (g) 0,6 0,6 0,6
Zat Vit A sbg Tiamin Besi karoten (mg) (mg) (mikrogram) 14 4.500 0,9 14 4.500 0,9 14 4.500 0,7
Riboflavin (mg) 1,3 1,2 1,0
Niasin (mg) 15 15 11
Vit C (mg) 70 70 70
51
Kebiasaan
mengkonsumsi
makanan
sangat
penting
untuk
diperhatikan. Ketika pekerja wanita bekerja pada shift malam, maka pola makannya juga akan mengalami perubahan. Oleh karena itu, dibutuhkan asupan makanan yang cukup agar dapat membantu menjaga kesehatan pekerja serta mencegah kualitas tidur yang buruk akibat asupan makanan yang tidak adekuat. Begitu pentingnya
memberikan pengetahuan kepada pekerja
mengenai betapa pentinganya membiasakan diri untuk mengkonsumsi makanan dengan gizi yang baik dan sesuai dengan kebutuhan pekerja shift wanita. Dengan demikian, pekerja shift wanita dapat mengatur pola makan yang baik dalam kesehariannya dan mencegah kualitas tidur yang buruk.
6.
Asupan Obat-Obatan Terdapat banyak sekali obat resep atau obat bebas yang dapat menimbulkan rasa kantuk sebagai efek sampingnya. Gangguan tidur disebabkan oleh obat-obatan yang dapat mengurangi tidur REM dan membuat seseorang menjadi lebih sulit tertidur (Gracia dkk., 2011). Beberapa jenis obat dapat mengganggu fisiologi tidur, misalnya analgetika (yang mengandung kofein), anoreksansia, glukokortikoida, agonis dopamin, beta-blockers, dan beberapa obat psikotropik (fluoksetin, risperidon, sindrom penarikan benzodiazepin) (Tjay dan Rahardja, 2007). Jenis obat lain yang juga dapat mempengaruhi proses tidur yaitu jenis diuretik yang dapat menyebabkan insomnia; antidepresan yang dapat menekan REM; kafein yang dapat meningkatkan saraf simpatis sehingga
52
menyebabkan kesulitan untuk tidur; golongan beta bloker yang dapat berefek pada timbulnya insomnia; dan golongan narkotik yang dapat menekan REM sehingga mudah mengantuk (Uliyah dan Hidayat, 2008). Seseorang pada umumnya mengkonsumsi obat tidur untuk mempermudah tidurnya. Hal ini biasa dialami oleh orang yang mengalami kesulitan tidur. Konsumsi obat tidur membuat seseorang menjadi lebih mudah untuk mengantuk sehingga dapat tertidur. Obat tidur pada umumnya menekan fase 3 dan 4 dari SWS serta tidur REM sehingga sekresi growth hormone menurun (Tjay dan Rahardja, 2007). Sekresi growth hormone atau hormon pertumbuhan terjadi sewaktu tidur yaitu pada fase 3 dan 4 SWS dan tidur REM, dimana hormon tersebut berfungsi penting sekali bagi pertumbuhan tubuh, sintesa protein, dan stimulasi reabsorpsi asam amino oleh jaringan (Tjay dan Rahardja, 2007). Konsumsi obat tidur akan sangat berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan akan mengakibatkan terganggunya pola tidur. Mengkonsumsi obat tidur lebih dari satu atau dua kali seminggu tidak dianjurkan (Colligan dan Rosa, 1997). Konsumsi obat tidur yang berlebihan akan memberikan efek yang berlangsung lama, dimana orang yang mengkonsumsinya akan terus merasakan kantuk bahkan setelah terbangun dari tidur (Amran dkk., 2010). Dosis obat tidur yang lebih besar juga akan menyebabkan kantuk, bicara sempoyongan, dan lebih jauh lagi dapat menyebabkan koma hingga kematian (Martono dan Joewana, 2006). Tentunya, konsumsi obat tidur secara terus-menerus dalam jangka waktu
53
yang lama akan merubah pola tidur dan menimbulkan gangguan tidur secara permanen. Efek obat antara satu orang dengan orang lainnya dapat berbeda dipengaruhi oleh faktor individual (Thay dan Rahardja, 2007. Faktor tersebut yang kemudian memberikan efek atau respon yang berbeda sesuai dengan kepekaan masing-masing orang terhadap obat tersebut. Inilah yang kemudian menyebabkan dosis obat antara satu orang dengan orang lainnya tidak dapat memberikan efek yang sama. Konsumsi obat dengan dosis yang
besar
juga
diketahui
akan
menyebabkan
ketergantungan
(Prijosaksono dan Sembel, 2002). Oleh karena itu, konsumsi obat tidur haruslah sesuai dengan resep dan anjuran dari dokter. Hal ini bertujuan untuk menghindari efek obat tidur yang tidak diinginkan.
7.
Penyakit Fisik Terdapat beberapa penyakit yang dapat mempengaruhi kebutuhan tidur. Penyakit tersebut dapat meningkatkan atau mengurangi tidur. Orang yang sedang sakit pada umumnya akan membutuhkan waktu istirahat dan tidur yang lebih banyak dikarenakan tubuh sedang bekerja keras untuk menyediakan energi agar dapat segera pulih, namun banyak aspek penyakit yang juga dapat membuat seseorang menjadi sulit dalam memenuhi kebutuhan tidur dan istirahat (Nurlela dkk., 2009). Lanywati (2001) juga menyebutkan bahwa penyakit akan mengganggu fungsi organ tubuh dan dapat menyebabkan seseorang menjadi sulit untuk memulai tidur (initial insomnia).
54
Keluhan kesehatan yang ditimbulkan penyakit diketahui akan mengganggu tidur seseorang. Keluhan yang ditimbulkan dapat berbedabeda, seperti nyeri, sesak nafas, ketidaknyamanan, dll. Pada penelitian Nurlela, dkk. (2009) menunjukkan bahwa faktor fisiologis seperti nyeri, mual, dan muntah dapat mempengaruhi kualitas tidur. Penelitian Bukit (2005) juga menunjukkan bahwa penyebab utama gangguan tidur pasien pada tingkat gangguan yang tinggi adalah nyeri, sesak nafas, dan batuk. Penyakit gagal jantung juga merupakan salah satu penyakit yang dapat mempengaruhi tidur karena penderitanya akan merasa sesak nafas dan kesulitan tidur karena kesulitan bernafas (Suwartika dan Cahyati, 2015). Seseorang yang mengalami sesak nafas atau mengalami gangguan pernafasan sering mengalami kesulitan untuk tidur (Nurlela dkk., 2009). Penyakit pernafasan dapat mengganggu tidur dikarenakan terjadinya perubahan irama pernafasan, kemudian pada seseorang yang pilek akan mengalami kongesti nasal, drainase sinus, dan sakit tenggorok (Potter dan Perry, 2005). Rasa nyeri merupakan salah satu tanda fisiologis yang mengganggu kualitas tidur. Rasa nyeri dapat mengganggu kualitas tidur dikarenakan membuat seseorang menjadi tidak nyaman (Nurlela dkk., 2009). Nyeri yang dialami seseorang dapat timbul akibat infeksi pernapasan, pencernaan, dispepsia, serangan angina, MCI, kanker, dll (Bukit, 2005). Penyakit lainnya yang dapat mengganggu tidur yaitu penyakit diabetes mellitus tipe 2. Selaras dengan penelitian Maurits dan Widodo (2008) yang menunjukkan sebagian besar pasien dengan diabetes mellitus tipe 2
55
memiliki kualitas tidur yang buruk. Kemudian diketahui bahwa salah satu penyakit yang dapat memperbesar kebutuhan tidur yaitu seperti penyakit infeksi terutama infeksi limpa (Uliyah dan Hidayat, 2008). Infeksi limpa membuat penderitanya mengalami keletihan sehingga kebutuhan tidurnya mengalami peningkatan. Keluhan kesehatan yang biasa terjadi pada pekerja shift ialah gangguan sistem pencernaan (nyeri peru, konstipasi, diare, dan kehilangan nafsu makan), kelelahan, insomnia, stres, gangguan pola tidur (Occupational Health Clinics for Ontario Workers Inc, 2005 dalam Agustin 2012). Keluhan kesehatan tersebut akan menimbulkan rasa ketidaknyamanan, nyeri, kecemasan atau depresi yang menyulitkan seseorang untuk tertidur atau bahkan untuk memasuki tidur REM. Namun, tidak menutup kemungkinan keluhan kesehatan lainnya juga turut mempengaruhi tidur pekerja. Gangguan tidur yang dialami pekerja shift wanita pada umumnya dapat diatasi dengan upaya pelayanan kesehatan yang komprehensif. Hal tersebut sesuai dengan Permenaker No. 03 tahun 1982 dimana perusahaan wajib memberikan pelayanan kesehatan kerja kepada semua tenaga kerjanya yang meliputi upaya preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Kemudian,
dalam
KEP.22/DJPPK/V/2008
menyebutkan
bahwa
perusahaan dapat menyelenggarakan sendiri pelayanan kesehatan kerjanya dalam bentuk klinik atau rumah sakit perusahaan, atau juga dapat bekerjasama dengan pihak di luar perusahaan seperti rumah sakit, puskesmas, poliklinik, balai pengobatan, Perusahaan Jasa K3 (PJK3)
56
bidang kesehatan kerja, dan pelayanan kesehatan lainnya yang telah memiliki perijinan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Jika pekerja memeriksakan kesehatan secara teratur, maka dapat dilakukan penanganan yang tepat untuk mengatasi penyakit fisik yang sedang dialaminya. Penanganan yang tepat dan cepat dapat meredakan atau bahkan menghilangkan penyakit fisik yang dialami pekerja shift wanita, sehingga juga akan mengurangi gejala atau keluhan kesehatan yang dapat mengganggu tidur.
8.
Hipersomnia Hipersomnia juga dikenal dengan istilah EDS (Excessive Daytime Sleepiness). Hipersomnia sering diartikan sebagai rasa kantuk yang berlebihan pada waktu yang tidak semestinya (Prasadja, 2009). Seseorang yang mengalami hipersomnia dapat tidur pada saat menjalankan kegiatan seperti berkendara, rapat, menonton di bioskop, dll. Hipersomnia merupakan keadaan dimana seseorang mengantuk di siang hari pada beberapa situasi yang bersifat subjektif (Rachmawati, 2013). Hipersomnia berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mempertahankan keadaan siaga selama periode terjaga (Slater dan Steier, 2012). Seseorang yang mengalami hipersomnia membutuhkan waktu tidur yang lebih lama, namun selalu merasa lesu dan letih sepanjang hari (Apriadji, 2007). Hipersomnia terjadi disebabkan oleh buruknya kualitas tidur akibat gangguan tidur yang diderita seperti insomnia, sindrom tungkai gelisah, dan sleep apnea (Prasadja, 2009). Namun, diketahui penyebab yang paling
57
sering dari hipersomnia yaitu tidur yang tidak adekuat yang terjadi secara kronik (Rachmawati, 2013). Tidak hanya disebabkan oleh kualitas tidur yang buruk, hipersomnia juga dapat menyebabkan kualitas tidur yang buruk. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan mempertahankan keadaan siaga selama proses terjaga akan merubah pola tidur. Jika berlangsung selama terus-menerus, perubahan pola tidur tersebut akan menimbulkan gangguan tidur secara permanen. Prevalensi penderita hipersomnia diperkirakan mencapai 18% (Slater dan Steier, 2012). Kemudian, menurut Rachmawati (2013) gangguan tidur ini merupakan salah satu gejala yang paling sering berhubungan dengan tidur dan dialami setidaknya oleh 20% dari populasi manusia di dunia. Jumlah tersebut akan terus bertambah seiring dengan perubahan gaya hidup seseorang. Gaya hidup tersebut meliputi shift kerja, kualitas tidur yang buruk, kebiasaan sebelum tidur, konsumsi kafein yang berlebihan, dll. Upaya yang dapat dilakukan untuk menangani hipersomnia yaitu dengan memperbaiki pola tidur dengan tidur malam lebih awal. Hal tersebut akan memperbaiki waktu tidur secara bertahap (Prasadja, 2009). Selain itu, pekerja shift harus menghindari konsumsi kafein yang berlebihan. Konsumsi kafein diketahui dapat memperburuk hipersomnia yang dialami pekerja shift. Terlebih jika kafein dikonsumsi ketika tubuh merasa kantuk dan sebelum tidur. Hal tersebut dikarenakan kafein akan meningkatkan kewaspadaan dan tubuh menjadi sulit untuk memulai tidur.
58
Konsumsi kafein > 250 mg dapat menyebabkan sindrom intoksikasi seperti gejala cemas, tegang, diuresis, takikardia, agitasi, dan insomnia (Sumirta dan Laraswati, 2014). Hal ini disebabkan oleh kinerja kafein yang dapat meningkatkan pengeluaran norepinefrin, epinefrin, dopamine, dan serotonin (Sumirta dan Laraswati, 2014). Efek kafein juga diketahui baru akan menghilang seluruhnya dalam waktu 6-8 jam setelah konsumsi (National Heart Lung and Blood Institute, 2011). Oleh karena itu, pekerja sebaiknya menghindari konsumsi minuman yang banyak mengandung kafein. Kafein dapat ditemukan dalam minuman kopi atau coke, dan sejumlah kecil cokelat dan teh (Rafknowledge, 2004). Hipersomnia dapat terjadi pada waktu yang tidak semestinya. Bila tidak ditangani, hipersomnia dapat sangat membahayakan keselamatan. Seperti pada kasus kecelakaan kereta cepat Shinkansen di Osaka, Jepang akibat masinis yang tertidur selama 8 menit dan seorang pilot penerbangan domestik yang tertidur di cockpit (Prasadja, 2009). a.
Instrumen Pengukuran Hipersomnia Terdapat beberapa jenis kuesioner yang digunakan untuk mengukur status hipersomnia seseorang. Berikut adalah kelebihan dan kekurangan dari masing-masing kuesioner hipersomnia yang ada :
Tabel 2.4. Kelebihan dan Kekurangan Instrumen Pengukuran Hipersomnia No 1
Kuesioner Kelebihan The Epworth Mudah dalam pengisiannya. Sleepiness Scale Singkat, mudah dipahami, telah digunakan secara luas baik secara klinis maupun pengaturan penelitian di
Kekurangan Tidak mampu mendeteksi semua tingkatan keparahan apnea (tidak mampu mendeteksi dalam kategori
59
No
2
3
Kuesioner
Kelebihan seluruh dunia (Spilsbury dkk., 2007). Tidak memakan waktu untuk mengisinya (Wu dkk., 2012). Banyak digunakan dalam praktek klinis dan protokol penelitian sebagai penilaian cepat sederhana kantuk secara subjektif (Wu dkk., 2012). Pengukuran di kalangan orang dewasa (Spilsbury dkk., 2007). The Cleveland Valid dilakukan pada Adolescent kalangan remaja usia 11 – Sleepiness 17 tahun (Spilsbury dkk., Questionnaire 2007). (CASQ) Telah divalidasi di beberapa negara. Korelasi internal 0,89 (Spilsbury dkk., 2007). Validitas konstruk sudah terbukti (Spilsbury dkk., 2007). The Pediatric Alat ukur yang sederhana Daytime (Spilsbury dkk., 2007). Sleepiness Scale Telah divalidasi di beberapa (PDSS) negara. Valid dilakukan pada kalangan remaja usia 11-15 tahun (Spilsbury dkk., 2007). Konsistensi internal dapat diterima yang diharapkan memiliki hasil terkait dengan rasa kantuk seperti penurunan waktu tidur, nilai buruk, moods negatif (Spilsbury dkk., 2007). Telah digunakan dengan sampel remaja yang overweight atau epilepsi (Spilsbury dkk., 2007).
Kekurangan ringan dan sedang) (Boari dkk., 2004).
Pengukuran menggunakan instrumen ini tidak dapat dilakukan pada rentang usia > 17 tahun. Belum banyak digunakan secara luas (Spilsbury dkk., 2007).
Pengukuran menggunakan instrumen ini tidak dapat dilakukan pada rentang usia > 15 tahun. Belum diuji secara khusus dengan remaja yang mengalami masalah tidur yang dikenal (Spilsbury dkk., 2007). Beberapa poin pertanyaan mengandung dua perilaku terpisah, misalnya fall asleep atau get drowsy, yang mungkin dapat terjadi pada tingkat yang sangat berbeda, sehingga membuat kesulitan untuk menyelesaikannya (Spilsbury dkk., 2007).
60
9.
Sindrom Pramenstruasi Setiap wanita akan mengalami menstruasi ketika sudah memasuki masa pubertas atau kematangan secara seksual. Kematangan seksual antara wanita satu dengan lainnya berbeda-beda yang berkisar dari 9 tahun atau bahkan hingga 17 tahun. Siklus menstruasi wanita dikenal sebagai irama infradian, dimana siklus ini terjadi dalam siklus yang lebih lama dari 24 jam (Potter dan Perry, 2005). Pada beberapa wanita, sebelum memasuki siklus menstruasi dapat mengalami gejala-gejala yang disebut dengan sindrom pramenstruasi atau Premenstrual Syndrome (PMS). PMS adalah kumpulan gejala fisik, psikologis, dan emosi yang terkait dengan siklus menstruasi wanita (Sarah dan Moesijanti, 2008). Gejala-gejala yang ditimbulkan pada saat PMS yaitu seperti sakit kepala, nyeri payudara, ketidakstabilan emosional, dan berkurangnya konsentrasi (Prasadja, 2009). Gejala-gejala tersebut akan dirasakan pada 7-10 hari sebelum datangnya haid dan memuncak pada saat haid timbul (Sarah dan Moesijanti, 2008). Gejala yang ditimbulkan ketika PMS antara satu wanita dengan wanita lainnya berbeda-beda. Namun, pada umumnya gejala yang dialami tersebut dapat membuat wanita mengalami gangguan tidur. Ketika mengalami PMS, terjadi penurunan kualitas tidur pada saat fase luteal dan awal masa folikular yang menyebabkan wanita akan mengalami gangguan tidur berupa insomnia, hipersomnia, dan mimpi buruk (Gracia dkk., 2011). Hal ini disebabkan oleh penurunan kadar serotonin pada fase luteal yang terjadi bersamaan dengan penurunan kadar
61
estrogen. Hormon serotonin menyiapkan otak dan seluruh tubuh untuk masuk ke tahap tidur dalam dengan cara mengurangi sistem aktivitas tubuh, sehingga penurunan hormon ini akan mempengaruhi kualitas tidur seseorang (Prasadja, 2009). Hal ini selaras dengan penelitian Bakhshani, dkk. (2009) menyebutkan bahwa 66% responden mengalami gangguan tidur pada masa PMS. Penelitian Gracia, dkk. (2011) juga menunjukkan bahwa sebanyak 70% responden mengalami gangguan tidur pada masa PMS. Terdapat beberapa hal yang harus dihindari wanita agar dapat mencegah atau mengurangi gejala PMS. Hal-hal yang harus dihindari yaitu seperti stres dan konsumsi minuman berkafein. Stres diketahui dapat memperburuk gejala PMS yang dialami oleh wanita. Ketika stres, siklus menstruasi bisa memendek menjadi 21 hari atau biasa disebut polimenorea (Mesarini dan Astuti, 2013). Siklus menstruasi yang pendek dapat membuat wanita menjadi lebih sering mengalami gejala PMS. Oleh karena itu, untuk mencegah dampak yang ditimbulkan dari stres tersebut wanita harus menghindari stres emosional serta meningkatkan kemampuan adaptasi dan koping terhadap stres. Dengan demikian, fikiran akan menjadi tenang dan gejala PMS dapat dihindari. Konsumsi minuman yang banyak mengandung kafein seperti kopi, teh, dan minuman bersoda ketika sedang haid juga dapat mempengaruhi gejala PMS. Hal ini dikarenakan kafein akan mempengaruhi sistem saraf dan memperparah gejala PMS (NS, 2010). Oleh karena itu, pekerja yang sedang menstruasi harus menghindari konsumsi kafein.
62
Upaya lainnya yang dapat dilakukan untuk mengurangi gejala PMS yaitu dengan berolahraga. Olahraga yang dilakukan secara teratur diketahui dapat meredakan nyeri ketika sedang haid (NS, 2010). Olahraga dapat meredakan nyeri haid dikarenakan olahraga akan meningkatkan produksi endorphin, dimana hormon tersebut merupakan pembunuh rasa sakit alami tubuh (Pratiwi, 2014). Secara teoritis, olahraga juga dapat meningkatkan tidur jika dilakukan selama dua puluh menit per hari (Rafknowledge, 2004). Selain itu, olahraga teratur juga dapat menghilangkan stres dan meningkatkan kemampuan untuk tidur teratur (Pratiwi, 2014). Hal ini dikarenakan olahraga berfungsi sebagai psychological relaxer yang mengalihkan perhatian dari hal-hal yang membuat stres (Widyarini, 2009). Oleh karena itu, pekerja shift wanita harus membiasakan diri untuk melakukan olahraga dengan teratur setiap harinya untuk mencegah atau meringankan gejala PMS yang dialami. a.
Instrumen Pengukuran Sindrom Pramenstruasi Terdapat beberapa jenis kuesioner yang digunakan untuk mengukur gejala sindrom pramenstruasi seseorang. Berikut adalah kelebihan dan kekurangan dari masing-masing kuesioner sindrom pramenstruasi yang ada :
63
Tabel 2.5. Kelebihan dan Kekurangan Instrumen Pengukuran Sindrom Pramenstruasi No Kuesioner 1 Short Premenstrual Assessment Form (SPAF)
2
Premenstrual Assessment Form (PAF)
Kelebihan Mudah dalam pengisiannya. Memiliki jumlah pertanyaan yang relatif lebih sedikit. Tidak memakan banyak waktu untuk mengisinya. Lebih sederhana dari kuesioner PAF (Anggrajani dan Muhdi, 2011). Sudah teruji validitas dan realibilitasnya (Anggrajani dan Muhdi, 2011). Sangat bermanfaat untuk membedakan antara kelompok PMDD dan kelompok non PMDD (Anggrajani dan Muhdi, 2011). Konsistensi internal (Cronbach Alpha) 0,91 (Anggrajani dan Muhdi, 2011). Nilai sensitivitas 75,0% dan spesifisitas 76,9% (Anggrajani dan Muhdi, 2011). Mudah pengisiannya. Sudah teruji validitas dan realibilitasnya. Memiliki pertanyaan yang komprehensif mengenai PMS.
Kekurangan Pertanyaan dalam instrument ini tidak selengkap PAF. Memiliki rentang hasil ukur yang cukup lebar, sehingga menyebabkan tingkat subjektivitas dalam penentuan skor cukup tinggi.
Memiliki jumlah pertanyaan yang banyak. Membutuhkan waktu yang lama dalam pengisiannya, sehingga kurang cocok digunakan untuk beberapa kondisi klinis maupun untuk penelitian.
64
10. Kehamilan Pada masa kehamilan, wanita dapat mengalami gangguan tidur. Gangguan tidur yang dialami membuat wanita hamil membutuhkan tidur yang lebih lama atau bahkan mengalami kesulitan untuk tidur. Jika wanita hamil mengalami penurunan durasi tidur, maka dapat membuat kondisi tubuh menurun, kurang konsentrasi, mudah lelah, badan terasa pegal, tidak mood bekerja, dan lebih emosional (Wahyuni dan Ni'mah, 2013). Gangguan tidur yang dialami oleh wanita hamil dapat terjadi dimulai dari trimester pertama hingga puncaknya pada trimester ketiga dengan penyebab dan manifestasi yang berbeda-beda. Pada trimester pertama, wanita hamil membutuhkan waktu tidur yang lebih lama. Hal ini disebabkan oleh tingginya hormon progesteron yang merangsang rasa kantuk dan memberikan efek melemaskan otot termasuk otot kandung kemih yang menyebabkan wanita hamil dapat terganggu oleh dorongan untuk buang air kecil di malam hari (Prasadja, 2009). Morning sickness seperti mual dan muntah juga disebabkan oleh tingginya kadar hormon tersebut, dan dapat terjadi di malam hari sehingga tidur menjadi berkurang dan tidak nyenyak (Prasadja, 2009). Morning sickness tersebut akan berkurang sampai trimester pertama berakhir (Wahyuni dan Ni'mah, 2013) Memasuki trimester kedua, kualitas tidur pada ibu hamil akan menjadi lebih baik. Akan tetapi, peningkatan berat badan yang cukup drastis dan gangguan pernapasan dapat menyebabkan wanita hamil menjadi pendengkur (sleep apnea) (Prasadja, 2009). Kemudian pada trimester
65
akhir, gangguan tidur pada wanita hamil akan mengalami peningkatan. Menurut Wahyuni dan Ni’mah (2013), gangguan tidur ini disebabkan oleh ketidaknyamanan seperti nyeri pinggang, banyak buang air kecil, dan spontan terbangun ketika tidur. Selain itu, gangguan tidur juga terjadi akibat kekhawatiran akan proses melahirkan, posisi tidur yang sulit, dan sering buang air kecil (Prasadja, 2009). Kesulitan bernafas juga kerap dialami oleh wanita hamil akibat janin tumbuh semakin besar sehingga perut yang besar menekan usus ke atas hingga mendesak diafragma (Puspita, 2014).
11. Menopause Penuaan atau aging merupakan proses yang pasti dialami oleh setiap manusia. Menopause merupakan salah satu proses penuaan dan merupakan sebuah proses alami yang pasti terjadi pada setiap wanita. Menopause didefinisikan sebagai suatu akhir proses biologis yang menandai berakhirnya masa subur seorang wanita dan pada saat itu siklus menstruasi telah berhenti selama 12 bulan (Sulistiyowati dan Nisa, 2014). Definisi lain menyebutkan bahwa menopause merupakan peristiwa fisiologis yang disebabkan oleh menuanya ovarium yang mengarah pada penurunan produksi hormon estrogen dan progesteron (Handayani, 2014). Ketika memasuki masa menopause, wanita akan mengalami insomnia. Insomnia yang dialami wanita ketika memasuki masa menopause merupakan insomnia yang terberat (Prasadja, 2009). Insomnia terjadi akibat penurunan hormon progesteron dan serotonin yang terjadi
66
seiring dengan penurunan estrogen (Sulistiyowati dan Nisa, 2014). Selain disebabkan oleh perubahan hormonal, insomnia juga dapat disebabkan oleh gangguan emosi dan rasa panas (hot flushes) (Prasadja, 2009). Gejala-gejala yang dialami wanita ketika menjelang atau memasuki masa menopause juga dapat mempengaruhi kualitas tidur wanita. Gejala yang biasa dialami oleh wanita menopause yaitu seperti seperti hot flashes (rasa panas), insomnia, perubahan pada tulang, perubahan kardiovaskular, gangguan kejiwaan, sulit tidur, keletihan, dan kekeringan vaginal dll. (Heffner dan Schust, 2006; Muaris, 2004). Selain itu, Gunarsa (2002) juga menyebutkan bahwa gejala-gejala yang dirasakan wanita pada masa menjelang dan pada saat menopause yaitu sebagai berikut : a.
Berhentinya haid secara tiba-tiba dapat menimbulkan kegelisahan dan kecemasan
b.
Berkurangnya
hormon
estrogen
mengganggu
keseimbangan
fisiologis, dan berakibat pada timbulnya ledakan emosi, suasana hati (mood), yang menyulitkan adaptasi sosial c.
Hot flushes atau perasaan panas tubuh, keringat dingin, gelisah dan depresif
d.
Menurunnya pengendalian diri dan perasaan adekuat, ketidakcocokan terhadap diri sendiri dan orang lain. Keseluruhan gejala tersebut akan menimbulkan ketidaknyamanan
pada penderitanya yang dapat mengganggu tidur. Namun, gejala yang menopause tersebut dapat diatasi dengan mengatur pola makan. Salah satu penyebab menopause yaitu adalah perubahan pola makan yang tidak sehat
67
seperti mengkonsumsi makanan cepat saji, lebih mengutamakan kepraktisan dan kelezatan, namun tidak memperhatikan kandungan nutrisinya (Muaris, 2004). Muaris (2004) mengungkapkan bahwa pola makan tersebut yang kemudian merubah sistem hormon estrogen dalam tubuh. Pencegahan
menopause
dini
dapat
dilakukan
dengan
cara
menghindari makanan instan atau cepat saji. Selain itu, pekerja wanita juga dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung fitoestrogen. Fitoestrogen diketahui dapat menghambat terjadinya menopause (Muaris, 2004). Makanan yang kaya akan kandungan fitoestrogen dapat ditemukan pada apel, anggur, bawang putih, brokoli, jagung, barley, cabe, kol, kacang kedelai, stroberi, ketimun, tomat, dan wortel (Wirakusumah, 2003). Selain mengatur pola makan, juga perlu dilakukan pengaturan pada lingkungan kerja dan tempat istirahat serta lingkungan tidur. Lingkungan kerja dan tempat istirahat serta lingkungan tidur bagi pekerja harus sejuk dan nyaman. Exhaust dan pendingin ruangan di tempat kerja harus dipastikan dapat berfungsi dengan baik. Selain itu, lingkungan tidur juga harus dipastikan memiliki ventilasi dan peredaran udara yang baik. Lingkungan yang sejuk dan nyaman tersebut dapat membantu pekerja yang menjelang maupun sudah mengalami menopause untuk meringankan gejala hot flashes (rasa panas) yang dialami.
68
12. Kelelahan Kelelahan adalah kondisi melemahnya tenaga untuk melakukan suatu kegiatan (Muizzudin, 2013). Definisi lain menyebutkan bahwa kelelahan merupakan suatu keadaan yang menunjukkan hilangnya efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh (Chesnal dkk., 2014). Ketika tubuh mengalami kelelahan, maka akan mengakibatkan penurunan daya kerja dan ketahanan tubuh untuk bekerja (Basri dan Apriliani, 2014). Kondisi tubuh yang mengalami penurunan tenaga tersebut yang kemudian akan menyebabkan penurunan daya dan kapasitas kerja serta konsentrasi dalam melakukan pekerjaan. Kelelahan dapat disebabkan oleh aktivitas kerja maupun di luar aktivitas kerja. Kelelahan menyebabkan hilangnya kemauan untuk bekerja, yang penyebabnya adalah keadaan persarafan sentral atau kondisi psikis-psikologis (Suma’mur, 2009). Namun, pada umumnya kelelahan pada pekerja lebih banyak disebabkan oleh aktivitas kerja. Kelelahan pada pekerja dapat disebabkan oleh pengaturan shift yang terlalu panjang dan tidak tepat, intensitas dan durasi suatu pekerjaan dilaksanakan terlalu tinggi, disain pekerjaan tidak tepat, lingkungan kerja yang tidak nyaman, cara kerja yang tidak efektif (ergonomis), dan adanya stres (Kodrat, 2011). Suma’mur (2009) juga menyebutkan bahwa akar masalah kelelahan adalah monotonnya pekerjaan, intensitas dan lamanya kerja mental dan fisik yang tidak sejalan dengan kehendak tenaga kerja yang bersangkutan, keadaan lingkungan yang berbeda dari estimasi
69
semula, tidak jelasnya tanggung jawab, kekhawatiran yang mendalam dan konflik batin, serta kondisi sakit yang diderita. Dampak yang ditimbulkan dari kelelahan dapat berakibat cukup serius terhadap pekerja. Kelelahan dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Seperti yang telah diketahui bahwa sebagian besar kecelakaan kerja sangat erat kaitannya dengan kelelahan (Kodrat, 2011). Selain itu, Kodrat (2011) juga menyebutkan bahwa kelelahan dapat mengakibatkan kesulitan konsentrasi dalam
bekerja,
meningkatkan
risiko
kesalahan
(human
error),
menurunkan kualitas dan kecepatan. Kelelahan juga dapat mempengaruhi kualitas tidur seseorang. Pada umumnya, kelelahan dapat meningkatkan tidur seseorang jika kelelahan yang dialami merupakan kelelahan menengah, yaitu dengan intensitas ringan hingga sedang. Seseorang yang mengalami kelelahan menengah maka akan memperoleh tidur yang mengistirahatkan, khususnya jika kelelahan disebabkan oleh pekerjaan atau latihan yang menyenangkan (Agustin, 2012). Kelelahan dapat membuat seseorang lebih cepat tidur dikarenakan tahap tidur gelombang lambatnya (NREM) diperpendek (Uliyah dan Hidayat, 2008). Berbeda halnya jika seseorang mengalami kelelahan yang berlebihan atau kelelahan berat. Kelelahan yang berlebihan diketahui dapat menyebabkan seseorang menjadi sulit untuk memulai tidur (initial insomnia) (Lanywati, 2001). Pekerjaan yang meletihkan dan penuh dengan stres juga dapat menyebabkan seseorang mengalami kelelahan
70
yang berlebihan sehingga membuat pekerja tersebut menjadi sulit tidur (Potter dan Perry, 2005). Kelelahan yang berlebihan harus diatasi agar tidak menimbulkan dampak terutama pada pekerja wanita. Hal ini dikarenakan ketahanan fisik wanita yang lebih lemah dan wanita lebih mudah mengalami kelelahan (Oginska dan Pokorskri, 2006). Kelelahan dapat diatas dengan cara mengatur suhu ruangan agar tidak terlalu tinggi. Suhu yang terlalu tinggi diketahui akan meningkatkan kelelahan (Suma’mur, 1999). Pengaturan juga dapat dilakukan pada sistem shift kerja. Menurut Grandjean (1986) dalam Nurmianto (2004), waktu pergantian shift lebih baik dilakukan pada pukul 07.00, 15.00, dan 23.00 atau 08.00, 16.00, dan 24.00. Waktu pergantian shift ini dapat lebih memberikan waktu bagi pekerja untuk bersiap berangkat ke tempat kerja dan untuk beristirahat. Pekerja yang memiliki jarak antara tempat tinggal dengan tempat kerja yang jauh lebih baik untuk tidak dipekerjakan pada sistem shift. Hal tersebut juga dapat membantu meminimalisir kelelahan yang dapat dialami oleh pekerja. Kelelahan juga dapat diatasi dengan mengatur hari libur pekerja. Menurut Suma’mur (1999), setiap bekerja pada shift siang atau malam sebaiknya diikuti dengan paling sedikit 24 jam libur dan tiap shift malam paling sedikit 2 hari libur, sehingga pekerja dapat mengatur kebiasaan tidur. tidur yang cukup akan sangat berpengaruh terhadap kelelahan. Hal ini dikarenakan pemulihan terhadap kelelahan terjadi ketika seseorang mendapatkan istirahat yang cukup (Fajarwati dkk., 2011).
71
a.
Instrumen Pengukuran Kelelahan Terdapat beberapa jenis kuesioner yang digunakan untuk mengukur status kelelahan seseorang. Berikut adalah kelebihan dan kekurangan dari masing-masing kuesioner kelelahan yang ada :
Tabel 2.6. Kelebihan dan Kekurangan Instrumen Pengukuran Kelelahan No 1
Kuesioner Subjective Self Rating Test (SSRT)
2
Fatigue Severity Scale (FSS)
3
KAUPK2 (Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja)
Kelebihan Mudah dalam pengisiannya. Berisikan gejala kelelahan yang sangat terperinci. Lebih dapat menggambarkan gejala kelelahan secara keseluruhan. Telah dilakukan uji validitas di berbagai negara termasuk Indonesia. Mudah dalam pengisiannya. Memiliki skala ukur dengan rentang yang luas. Memiliki pertanyaan yang lebih sedikit, yaitu 9 pertanyaan. Membutuhkan waktu yang singkat untuk mengisinya. Telah diuji validitas dan realibilitasnya. FSS telah divalidasi dengan konsistensi internal yang tinggi (Cronbach Alpha) 0,81 (Huisinga dkk., 2011). Mudah dalam pengisiannya.
Kekurangan Memiliki pertanyaan yang cukup banyak (30 pertanyaan), sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengisinya.
Skala ukur tidak terperinci sehingga subjektifitas dalam pemilihan skala sangat tinggi. Kurang dapat menggambarkan gejala kelelahan secara detail.
Tidak dapat mengklasifikasikan
72
No
4
Kuesioner
The Electroencephalograph
Kelebihan Jumlah pertanyaan yang relatif sedikit (17 pertanyaan).
Alat ukur yang bersifat objektif. Alat ini telah sesuai dengan standar riset di laboratorium (Dirgayudha, 2014). Kelelahan dan keadaan mengantuk dapat dilihat dengan menangkap aktivitas listrik di otak melalui penempelan elektroda pada permukaan kulit (Dirgayudha, 2014).
Kekurangan tingkat kelelahan yang dialami pekerja Memiliki skala ukur ya dan tidak, sehingga kurang dapat mewakili tingkat kelelahan yang dirasakan pekerja. Mahal. Hanya dapat dilakukan oleh ahlinya. Membutuhkan waktu yang lama untuk mengukur seluruh subjek penelitian.
73
C. Kerangka Teori Kerangka teori pada penelitian ini yaitu sebagai berikut.
Hipersomnia Irama Sirkadian Penurunan Fungsi Faal Tubuh
Aktivitas Fisik
Penurunan Hormon Estrogen dan Progesteron
Kelelahan
Jenis Shift Kerja
PMS Stres Emosional
Kebiasaan Makan Makanan
Kehamilan
Menopause Motivasi
Penyakit Fisik
Asupan Obat-Obatan
Kualitas Tidur
Sumber : (Azis, 2015; Rosanti, 2011; Uliyah dan Hidayat, 2008; Potter dan Perry, 2005; dan Rafknowledge, 2004) Bagan 2. 1. Kerangka Teori
74
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep Kerangka konsep pada penelitian ini yaitu sebagai berikut. Faktor Pekerjaan - Jenis Shift Kerja Faktor Psikologis - Stres Emosional Faktor Latihan Fisik - Aktivitas Fisik Faktor Konsumsi - Kebiasaan Makan - Asupan Obat-Obatan
Kualitas Tidur
Faktor Fisiologis - Penyakit Fisik - Hipersomnia - Sindrom Premenstruasi - Menopause - Kelelahan Bagan 3. 1. Kerangka Konsep
Kerangka konsep pada penelitian ini menggambarkan determinan kualitas tidur pada pekerja shift wanita. Variabel dependen pada penelitian ini yaitu kualitas tidur, sedangkan variabel independen pada penelitian ini jenis shift kerja, stres emosional, aktivitas fisik, kebiasaan makan, asupan obat-obatan, penyakit fisik, hipersomnia, sindrom pramenstruasi, menopause, dan
75
kelelahan. Faktor-faktor tersebut akan diteliti pada pekerja wanita yang mengalami shift kerja. Faktor yang tidak diteliti yaitu faktor motivasi dan kehamilan. Faktor motivasi tidak diteliti karena terkendala dengan perizinan perusahaan. Motivasi pekerja sangat erat kaitannya dengan aspek besaran gaji, fasilitas perusahaan, dan kepuasan pekerja terhadap perusahaan. Aspek-aspek tersebut bersifat rahasia, sehingga tidak dapat dijadikan variabel penelitian. Faktor kehamilan juga tidak diteliti karena menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, pekerja wanita yang sedang hamil tidak diperkenankan untuk bekerja pada shift malam yang menurut dokter dapat membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan kandungan maupun dirinya. Selain itu, PT. Sandratex tidak memiliki pekerja shift wanita yang sedang hamil pada saat dilakukan penelitian.
B. Definisi Operasional Definisi Operasional pada penelitian ini yaitu sebagai berikut.
Tabel 3.1. Definisi Operasional
Variabel
Definisi Operasional
1 Variabel Dependen Kualitas Tidur Suatu keadaan yang menunjukkan kedalaman tidur serta kepuasan responden terhadap tidur
Alat Ukur
Cara Ukur
Hasil Ukur
Skala
Kuesioner The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) (Buysse dkk., 1989)
Menyebarkan kuesioner kepada pekerja
1. Buruk : Jika total skor > 5 2. Baik : Jika total skor ≤ 5
Ordinal
(Buysse, dkk., 1989; Agustin,
76
Variabel
Definisi Operasional
Alat Ukur
Cara Ukur
yang diperolehnya.
Variabel Independen Faktor Pekerjaan Pembagian Jenis Shift waktu atau Kerja periode waktu kerja dimana responden dijadualkan melaksanakan pekerjaan selama 8 jam per hari. b Faktor Psikologis Respon yang Stres ditimbulkan Emosional sebagai akibat dari tekanan psikososial yang dapat berasal dari tempat kerja maupun luar tempat kerja.
Hasil Ukur
Skala
2012; Indrawati, 2012; Prasasti, 2013; dan Hanifa, 2016)
2 a
Kuesioner
Menyebarkan kuesioner kepada pekerja
1. Shift Malam 2. Shift Siang 3. Shift Pagi
Nominal
(Rosanti, 2011)
Kuesioner
Menyebarkan kuesioner kepada pekerja
Data berdistribusi tidak normal sehingga menggunakan median (median : 2). 1. Ya: jika total skor ≥ nilai median (≥ 2) 2. Tidak: jika total skor < nilai median (< 2)
Ordinal
(Agustin, 2012) c Faktor Latihan Fisik Aktivitas Fisik Setiap gerakan tubuh yang membutuhkan pengeluaran energi dan mencakup seluruh gerakan yang dilakukan oleh tubuh.
Kuesioner International Physical Activity Questionnaire (IPAQ) (IPAQ, 2005)
Menyebarkan 1. Berat : jika kuesioner jumlah kepada aktivitas fisik pekerja yang dilakukan > 3000 METmenit/minggu 2. Rendah Sedang : jika jumlah aktivitas fisik
Ordinal
77
Variabel
Definisi Operasional
Alat Ukur
Cara Ukur
Hasil Ukur
Skala
yang dilakukan ≤ 3000 METmenit/minggu d
Faktor Konsumsi Kebiasaan Kebiasaan responden Makan mengkonsumsi makanan sebelum tidur setelah pulang bekerja.
Zat atau bahan kimia baik resep dokter maupun bukan resep dokter yang dikonsumsi responden untuk mengobati penyakit tertentu yang menyebabkan responden lebih mudah atau lebih sulit tidur. e Faktor Fisiologis Penyakit Fisik Suatu keadaan yang menyebabkan gangguan pada tubuh responden dan menimbulkan Asupan ObatObatan
Kuesioner
Kuesioner
Kuesioner
Menyebarkan kuesioner kepada pekerja
Data berdistribusi tidak normal sehingga menggunakan median (median : 2) 1. Tidak Konsumsi : jika total skor < atau median (< 2) 2. Konsumsi : jika total skor ≥ nilai median (≥ 2)
(Agustin, 2012) Menyebarkan 1. Konsumsi : kuesioner jika total skor kepada ≥1 pekerja 2. Tidak Konsumsi : jika total skor =0
Menyebarkan kuesioner kepada pekerja
Data berdistribusi tidak normal sehingga menggunakan median (median : 1)
Ordinal
Ordinal
Ordinal
78
Variabel
Definisi Operasional
Alat Ukur
keluhan kesehatan yang dapat mempengaruhi tidur responden.
Hipersomnia
Sindrom Pramenstruasi
Menopause
Suatu keadaan dimana responden mengalami rasa kantuk yang berlebihan di siang hari serta merasa lemah dan tidak bertenaga sepanjang waktu. Kumpulan gejala yang dialami responden pada 7 hari sebelum menstruasi atau hingga 1-2 hari ketika menstruasi.
Suatu keadaan dimana responden sudah tidak mengalami menstruasi selama minimal 12 bulan terakhir.
Cara Ukur
Hasil Ukur
Skala
1. Ada : jika total skor ≥ nilai median (≥ 1) 2. Tidak Ada: jika total skor < nilai median (< 1)
Kuesioner Epworth Sleepiness Scale (ESS) (Johns, 1991)
(Agustin, 2012) Menyebarkan 1. Ya : Jika total kuesioner skor ≥ 10 kepada 2. Tidak : jika pekerja total skor < 10
Ordinal
(Johns, 1991; Damarany, 2012; Rachmawati, 2013; dan Tubagus, 2013)
Kuesioner Shortened Premenstrual Assessment Form (SPAF) (Allen dkk., 1991)
Kuesioner
Menyebarkan 1. Gejala sedang kuesioner hingga gejala kepada berat: jika total pekerja skor ≥ 30 2. Tidak ada gejala hingga gejala ringan: jika total skor < 30 (Allen, dkk., 1991 dan Ratikasari, 2015) Menyebarkan 1. Sudah : jika kuesioner tidak haid ≥ 12 kepada bulan terakhir pekerja 2. Belum : jika masih haid atau tidak haid < 12 bulan terakhir
Ordinal
Ordinal
79
Definisi Operasional
Variabel
Kelelahan
Kondisi melemahnya tenaga responden yang menyebabkan penurunan fungsi tubuh, performa kerja, kekuatan atau ketahanan tubuh untuk melanjutkan kegiatan.
Alat Ukur
Kuesioner Subjective Self Rating Test (SSRT) (RCIF, 1969 dalam Sudo dan Ohtsuka, 2002)
Cara Ukur
Hasil Ukur
(Sulistiyowati dan Nisa, 2014). Menyebarkan Total skor kuesioner kepada pekerja
C. Hipotesis Berdasarkan kerangka konsep penelitian, maka rumusan hipotesis dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut : 1.
Ada hubungan antara faktor pekerjaan (jenis shift kerja) dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016.
2.
Ada hubungan antara faktor psikologis (stres emosional) dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016.
3.
Ada hubungan antara faktor latihan fisik (aktivitas fisik) dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016.
4.
Ada hubungan antara faktor konsumsi (kebiasaan makan dan asupan obatobatan) dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016.
Skala
Rasio
5.
Ada hubungan antara faktor fisiologis (penyakit fisik, hipersomnia, sindrom pramenstruasi, menopause, dan kelelahan) dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016.
80
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional deskriptif dan analitik. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran hubungan antara variabel dependen yaitu kualitas tidur dengan variabel independen yaitu determinan kualitas tidur. Determinan kualitas tidur yang diteliti yaitu faktor pekerjaan (jenis shift kerja), faktor psikologis (stres emosional), faktor latihan fisik (aktivitas fisik), faktor konsumsi (kebiasaan makan dan asupan obat-obatan), dan faktor fisiologis (penyakit fisik, hipersomnia, sindrom pramenstruasi, menopause, dan kelelahan).
B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di bagian produksi PT. Sandratex, dimana PT. Sandratex merupakan pabrik tekstil yang beroperasi selama 24 jam dan menerapkan sistem shift kerja dalam proses produksinya. PT. Sandratex berlokasi di Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni – September tahun 2016.
C. Populasi dan Sampel Penelitian 1.
Populasi Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pekerja wanita dengan jumlah 291 pekerja yang mendapatkan shift kerja pagi, siang, dan malam.
81
82
2.
Sampel Metode sampling yang digunakan adalah simple random sampling, dimana seluruh anggota populasi memiliki peluang yang sama untuk menjadi sampel. Kemudian, perhitungan besar sampel dilakukan dengan menggunakan rumus sampling uji beda dua proporsi sebagai berikut (Lameshow dkk., 1990).
𝐧=
̅(𝟏 − 𝐏 ̅) + 𝐙𝟏−𝛃 √𝐏𝟏 (𝟏 − 𝐏𝟏 ) + 𝐏𝟐 (𝟏 − 𝐏𝟐 )]𝟐 [𝐙𝟏− ∝⁄𝟐 √𝟐𝐏 (𝐏𝟏 − 𝐏𝟐 )𝟐
Keterangan : n
: Besar sampel minimal
P
: Rata-rata proporsi (Azis, 2015)
P1
: Proporsi kejadian kualitas tidur buruk pada pekerja dengan aktivitas fisik tinggi
P2
: Proporsi kejadian kualitas tidur buruk pada pekerja dengan aktivitas fisik rendah
Z1-α/2
: 1,96 (derajat kemaknaan CI = 95% dengan ⍺ = 5%)
Z1-β
: 0,84 (kekuatan uji 1-β = 80%)
Sebelum menentukan besar sampel minimal, dilakukan perhitungan besar sampel pada beberapa variabel yang diteliti. Perhitungan besar sampel menggunakan nilai P1 dan P2 variabel independen hasil penelitian
83
sebelumnya yang memiliki hubungan dengan variabel dependen. Adapun besar sampel minimal pada beberapa variabel yaitu sebagai berikut.
Tabel 4.1. Jumlah Sampel Tiap Variabel Penelitian Sebelumnya
Variabel Jenis Shift Kerja Stres Emosional Aktivitas Fisik Obat-Obatan Penyakit Fisik Hipersomnia Sindrom Pramenstruasi
P1
P2
n
(n x 2)
(Zakariyati, 2013) (Febriana dan Wahyuningsih, 2011) (Azis, 2015) (Handayani, 2012) (Agustin, 2012) (Gracia dkk., 2011)
88,9
60,4
36
72
64
2
8
16
76,9 87,9 73,1 33,3
53,1 41,1 38,9 3,33
62 16 32 25
124 32 64 50
(Gracia dkk., 2011)
70
6,67
8
16
Berdasarkan perhitungan besar sampel yang dilakukan, diketahui bahwa besar sampel minimal yang diambil adalah 124 orang. Peneliti mempertimbangkan faktor non respon sebesar 10%, sehingga jumlah sampel menjadi 137 orang. Namun, setelah dilakukan penyebaran kuesioner di lapangan, jumlah kuesioner yang berhasil terkumpul dan dianalisis yaitu sebanyak 126 kuesioner.
D. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner mencakup pertanyaan mengenai kualitas tidur dan determinan kualitas tidur. Adapun penjelasan dari masing-masing kuesioner yang digunakan yaitu sebagai berikut :
84
1.
Kualitas Tidur Kuesioner yang digunakan untuk mengetahui kualitas tidur responden adalah kuesioner The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). Kuesioner ini dipilih dikarenakan memiliki sejumlah kelebihan. Adapun kelebihan kuesioner ini yaitu mudah dalam pengisiannya; waktu pengisian relatif singkat; telah diterjemahkan ke dalam 48 bahasa; memiliki konsistensi internal dan koefisien reliabilitas (Cronbach Alpha) atau validitas dan realibilitas serta sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi; telah digunakan dalam berbagai studi berbasis populasi dan klinis; serta lebih terkait dengan penilaian gejala psikologis dan pengukuran catatan harian tidur dibandingkan dengan ESS. Kuesioner yang memuat pertanyaan mengenai kualitas tidur terdapat pada bagian B nomor B1 – B9. Kuesioner PSQI terdiri dari tujuh komponen yaitu latensi tidur, durasi tidur, kualitas tidur, efisiensi kebiasaan tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan gangguan fungsi tubuh di siang hari dalam satu bulan terakhir. Nomor masing – masing komponen pertanyaan yang terdapat pada kuesioner PSQI dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.
Tabel 4.2. Nomor Pertanyaan Tiap Komponen PSQI Komponen Efisiensi kebiasaan tidur Latensi tidur Durasi tidur Gangguan tidur Penggunaan obat tidur Gangguan fungsi tubuh Kualitas tidur
Nomor Pertanyaan 1, 3, 4 2, 5a 4 5b-5i 6 7, 8 9
85
Masing-masing pertanyaan dikalkulasikan menggunakan skala likert dengan skor 0 – 3. Skor 0 menunjukkan bahwa tidak adanya kebiasaan tersebut, sedangkan skor 3 menunjukkan bahwa presentasi yang tinggi dari kebiasaan tersebut. Skor pada komponen 1, 3, dan 6 diperoleh langsung dari skor yang dipilih responden. Skor pada komponen 2 diperoleh dari penjumlahan kuesioner nomor 2 dan 5a yang kemudian hasilnya akan menentukan skor yang diperoleh. Skor pada komponen 4 diperoleh dari lamanya waktu tidur dibagi waktu lamanya di atas tempat tidur kemudian dikalikan 100%. a.
Jika hasilnya > 85% diberi skor 0.
b.
Jika hasilnya 75-84% diberi skor 1.
c.
Jika hasilnya 65-74 % diberi skor 2.
d.
Jika hasilnya < 65% diberi skor 3. Skor pada komponen 5 diperoleh dari penjumlahan kuesioner nomor
5b hingga 5i yang kemudian hasilnya akan menentukan skor yang diperoleh. Kemudian skor pada komponen 7 diperoleh dari penjumlahan kuesioner nomor B7 dan B8 yang kemudian hasilnya akan menentukan skor yang diperoleh. Setelah mengetahui skor pada 7 komponen yang ada, kemudian skor pada ketujuh komponen tersebut dijumlahkan. Skor yang diperoleh memiliki rentang 0 – 21. Hasil data dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu : a.
Buruk : jika total skor > 5.
b.
Baik : jika total skor ≤ 5.
86
2.
Jenis Shift Kerja Kuesioner berisi pertanyaan mengenai jenis shift kerja yang sedang dijalani pekerja. Kuesioner yang memuat pertanyaan mengenai variabel jenis shift kerja terdapat pada bagian A nomor A3. Hasil data dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu :
3.
a.
Shift Malam.
b.
Shift Siang.
c.
Shift Pagi.
Stres Emosional Kuesioner berisi pertanyaan mengenai tekanan mental atau psikologis yang dapat mengganggu tidur responden. Kuesioner yang memuat pertanyaan mengenai variabel stres emosional terdapat pada bagian C2 nomor C2a – C2c. Hasil data dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu:
4.
a.
Ya : jika total skor ≥ nilai median (median : 2).
b.
Tidak : jika total skor < nilai median (median : 2).
Aktivitas Fisik Kuesioner yang digunakan untuk mengetahui aktivitas fisik responden adalah kuesioner International Physical Activity Questionnaire (IPAQ). Kuesioner ini dipilih dikarenakan memiliki sejumlah kelebihan. Adapun kelebihan kuesioner ini yaitu mudah dimengerti; pertanyaan sedikit, sehingga cepat dalam pengisiannya; dapat diterapkan secara masal; telah divalidasi di berbagai negara termasuk Indonesia; dan tingkat validitas serta realibilitasnya cukup tinggi.
87
Kuesioner yang memuat pertanyaan mengenai variabel aktivitas fisik terdapat pada bagian C9 nomor C9a – C9h. Kuesioner IPAQ terdiri dari beberapa pertanyaan tentang aktivitas fisik yaitu waktu olahraga, waktu luang, aktivitas di tempat kerja dan aktivitas kesenangan lainnnya dalam kurun waktu satu minggu. Skor pada seluruh pertanyaan diperoleh langsung dari jawaban responden. Total skor diperoleh dari nilai aktivitas fisik dalam satuan METsmenit/minggu berdasarkan penjumlahan aktivitas berjalan, aktivitas sedang, dan aktivitas berat dalam durasi (menit sehari) dan frekuensi (hari seminggu) (IPAQ, 2005). Nilai METs merupakan hasil kelipatan dari Resting Metabolic Rate (RMR) dimana 1 METs adalah energi yang dikeluarkan per menit/Kg BB orang dewasa (1 METs = 1,2 kkal/menit aktivitas fisik dinyatakan dalam skor yaitu METs-menit sebagai jumlah kegiatan setiap menit) (Putri, 2015). Nilai MET untuk aktivitas berjalan adalah 3.3 METs, aktivitas sedang adalah 4.0 METs, dan aktivitas berat adalah 8.0 METs (IPAQ, 2005). Total METs-menit/minggu =
aktivitas berjalan (METs x durasi x frekuensi) + aktivitas sedang (METs x durasi x frekuensi) + aktivitas berat (METs x durasi x frekuensi).
Aktivitas fisik dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yakni aktivitas fisik rendah, sedang, dan berat. a.
Berat : jika jumlah aktivitas fisik yang dilakukan > 3000 METmenit/minggu.
88
b.
Sedang : jika jumlah aktivitas fisik yang dilakukan > 600 METmenit/minggu.
c.
Rendah : jika jumlah aktivitas fisik yang dilakukan < 600 METmenit/minggu. Pada penelitian ini, hasil data dikelompokkan ke dalam dua kategori.
Hal ini dikarenakan terdapat distribusi angka 0 pada kategori aktivitas fisik rendah dengan kualitas tidur yang baik, sehingga pengelompokkan data menjadi sebagai berikut : a.
Berat : jika jumlah aktivitas fisik yang dilakukan > 3000 METmenit/minggu.
b.
Rendah Sedang : jika jumlah aktivitas fisik yang dilakukan ≤ 3000 MET-menit/minggu.
5.
Kebiasaan Makan Kuesioner berisi pertanyaan mengenai kebiasaan konsumsi makanan sebelum tidur setelah pulang bekerja. Kuesioner yang memuat pertanyaan mengenai variabel kebiasaan makan terdapat pada bagian C4 nomor C4a – C4c. Hasil data dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu :
6.
a.
Tidak Konsumsi : jika total skor < nilai median (median : 2).
b.
Konsumsi : jika total skor ≥ nilai median (median : 2).
Asupan Obat-Obatan Kuesioner berisi pertanyaan mengenai obat-obatan yang dikonsumsi responden yang dapat mempengaruhi tidur. Kuesioner yang memuat pertanyaan mengenai variabel obat-obatan terdapat pada bagian C5 nomor
89
C5a – C5b dan nomor B6. Hasil data dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu :
7.
a.
Konsumsi : jika total skor ≥ 1.
b.
Tidak Konsumsi : jika total skor = 0.
Penyakit Fisik Kuesioner berisi pertanyaan mengenai keluhan kesehatan yang dapat mengganggu tidur responden. Kuesioner yang memuat pertanyaan mengenai variabel penyakit fisik terdapat pada bagian C1 nomor C1a – C1d. Hasil data dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu :
8.
a.
Ada : jika total skor ≥ nilai median (median : 1).
b.
Tidak ada : jika total skor < nilai median (median : 1).
Hipersomnia Kuesioner yang digunakan untuk mengetahui hipersomnia responden adalah kuesioner Epworth Sleepiness Scale (ESS). Kuesioner ini dipilih dikarenakan memiliki sejumlah kelebihan. Adapun kelebihan kuesioner ini yaitu mudah dalam pengisiannya; singkat, mudah dipahami dan tidak memakan waktu untuk mengisinya; biasa digunakan untuk pengukuran di kalangan orang dewasa; banyak digunakan dalam praktek klinis dan protokol penelitian sebagai penilaian cepat sederhana kantuk secara subjektif; dan telah digunakan secara luas baik secara klinis maupun pengaturan penelitian di seluruh dunia. Kuesioner yang memuat pertanyaan mengenai variabel hipersomnia terdapat pada bagian C6 nomor C6a – C6h. Kuesioner ESS terdiri dari 8 kegiatan atau aktivitas sehari-hari. Pada pertanyaan nomor C6g, peneliti
90
merubah pertanyaan dari yang semula “minum alkohol” menjadi “minum kopi atau teh”. Hal ini dikarenakan peneliti menyesuaikan dengan kebiasaan atau budaya masyarakat di Indonesia, dimana masyarakat pada umumnya lebih sering mengkonsumsi kopi atau teh dibandingkan dengan alkohol terutama pada waktu setelah makan siang. Selain itu, baik asupan alkohol maupun teh dan kopi sama-sama memiliki efek menyulitkan tidur. Konsumsi alkohol meskipun dalam jumlah sedikit dapat mengurangi mutu dan lama total tidur REM, mengganggu tidur dalam, menjadikan tidur terputus-putus, dan melumpuhkan otot saluran napas atas yang akan memperparah dengkuran dan penderitaan bagi penderita apnea obstruktif (Rafknowldge, 2004). Masing-masing
pertanyaan
pada
kuesioner
dikalkulasikan
menggunakan skala likert dengan skor 0 – 3. (0 = tidak pernah mengantuk, 1 = sedikit mengantuk, 2 = cukup mengantuk, dan 3 = sangat mengantuk dan jatuh tertidur). Skor seluruh pertanyaan kemudian dijumlahkan. Hasil data dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu :
9.
1.
Ya : Jika total skor ≥ 10.
2.
Tidak : jika total skor < 10.
Sindrom Pramenstruasi Kuesioner yang digunakan untuk mengetahui sindrom pramenstruasi responden adalah kuesioner Shortened Premenstrual Assessment Form (SPAF). Kuesioner ini dipilih dikarenakan memiliki sejumlah kelebihan. Adapun kelebihan kuesioner ini yaitu mudah dalam pengisiannya; memiliki jumlah pertanyaan yang relatif lebih sedikit dan lebih sederhana
91
dari kuesioner PAF; tidak memakan banyak waktu untuk mengisinya; sudah teruji dan memiliki nilai validitas, realibilitas, sensitivitas, dan spesifisitas yang cukup tinggi; dan sangat bermanfaat untuk membedakan antara kelompok PMDD dan kelompok non PMDD. Kuesioner yang memuat pertanyaan mengenai variabel sindrom pramenstruasi terdapat pada bagian C7 nomor C7a – C7j. Kuesioner SPAF terdiri dari 10 pertanyaan terkait gejala PMS yang terdiri dari tiga sub skala yakni nyeri, emosi, dan retensi air. Nomor masing – masing komponen pertanyaan yang terdapat pada kuesioner SPAF dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.
Tabel 4.3. Nomor Pertanyaan Kuesioner ESS Sub Skala Nyeri Emosi Durasi tidur
Nomor Pertanyaan 1, 6, 8 2-5 7, 9, 10
Masing-masing pertanyaan dikalkulasikan menggunakan skala likert dengan skor 1 – 6 (1 = tidak mengalami, 2 = sangat ringan, 3 = ringan, 4 = sedang, 5 = berat, dan 6 = ekstrim). Skor seluruh pertanyaan kemudian dijumlahkan. Hasil data dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu : a.
Gejala sedang hingga gejala berat : jika total skor ≥ 30.
b.
Tidak ada gejala hingga gejala ringan : jika total skor < 30.
10. Menopause Kuesioner terdiri dari pertanyaan mengenai siklus haid atau menstruasi responden. Kuesioner yang memuat pertanyaan mengenai
92
variabel menopause terdapat pada bagian C8 nomor C8a. Hasil data dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu : a.
Sudah : jika tidak haid ≥ 12 bulan terakhir.
b.
Belum : jika masih haid atau tidak haid < 12 bulan terakhir.
11. Kelelahan Kuesioner yang digunakan untuk mengetahui kelelahan responden adalah kuesioner Subjective Self Rating Test (SSRT) dari Industrial Fatigue Research Committee (IFRC) Jepang. Kuesioner ini dipilih dikarenakan memiliki sejumlah kelebihan. Adapun kelebihan kuesioner ini yaitu mudah dalam pengisiannya; berisikan gejala kelelahan yang sangat terperinci; lebih dapat menggambarkan gejala kelelahan secara keseluruhan; dan telah dilakukan uji validitas di berbagai negara termasuk Indonesia. Kuesioner yang memuat pertanyaan mengenai variabel kelelahan terdapat pada bagian C3 nomor C3.1 – C3.30. Kuesioner SSRT terdiri dari 30 pertanyaan terkait gejala kelelahan subjektif. Masing-masing pertanyaan dikalkulasikan menggunakan skala likert dengan skor 0 - 3 (0 = tidak pernah, 1 = kadang-kadang, 2 = sering, 3 = sangat sering). Skor seluruh pertanyaan kemudian dijumlahkan. Skor kelelahan dapat dikategorikan menjadi beberapa tingkatan kelelahan. Berikut merupakan distribusi tingkat kelelahan berdasarkan kuesioner SSRT : a.
Kelelahan Berat
: Jika total skor 91-120.
b.
Kelelahan Sedang
: Jika total skor 61-90.
93
c.
Kelelahan Ringan
: Jika total skor 31-60.
d.
Tidak Lelah
: Jika total skor 30.
Pada penelitian ini, data dianalisis berdasarkan total skor yang diperoleh responden. Namun, untuk crosstab tetap menggunakan hasil ukur sesuai dengan pengelompokkan tingkatan kelelahan. 1.
Uji Validitas dan Reliabilitas Sebelum melakukan pengumpulan data dengan menyebarkan kuesioner kepada responden penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap kuesioner tersebut. Uji validitas merupakan ketepatan atau kecermatan pengukuran, dimana pertanyaan mampu mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut (Oktavia, 2015). Kemudian, uji reliabilitas (keandalan) merupakan ukuran suatu kestabilan dan konsistensi responden dalam menjawab hal yang berkaitan dengan konstruk-konstruk pertanyaan yang merupakan dimensi suatu variabel dan disusun dalam suatu bentuk kuesioner (Gumilar, 2007). Uji validitas dan reliabilitas dilakukan dengan menyebarkan kuesioner ke tempat yang berbeda, namun memiliki responden dengan karakteristik yang sama dengan responden pada penelitian ini. Peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas dengan menyebarkan 30 kuesioner kepada 30 pekerja shift wanita di PT. Argopantes Tbk. Perusahaan tersebut merupakan perusahaan tekstil yang memiliki latar belakang dan karakteristik yang sama dengan PT. Sandratex. Uji validitas pada variabel yang memiliki jawaban dengan menggunakan skala likert dilakukan dengan cara membandingkan nilai r
94
hitung (r pearson) dengan nilai r tabel. Instrumen dikatakan valid jika nilai r hitung (r pearson) ≥ nilai r tabel (Oktavia, 2015). Nilai r tabel yang digunakan untuk sampel dengan jumlah 30 orang yaitu adalah 0,3610. Selain itu, uji validitas pada variabel yang memiliki jawaban dengan menggunakan skala guttman dilakukan dengan cara validitas konten. Validitas konten dilakukan dengan melihat estimasi waktu responden dalam mengisi kuesioner dan pemahaman responden terhadap isi kuesioner (Di lorio, 2005). Instrumen dikatakan valid jika pekerja dapat mengerjakan kuesioner dengan waktu yang tidak terlalu lama dan memahami seluruh pertanyaan dalam kuesioner. Berdasarkan hasil uji validitas, diketahui bahwa terdapat 8 pertanyaan pada kuesioner terstandar (3 pertanyaan pada kuesioner kualitas tidur, 1 pertanyaan pada kuesioner hipersomnia, dan 4 pertanyaan pada kuesioner kelelahan) yang memiliki nilai di bawah nilai r tabel, sehingga pertanyaan tersebut tidak valid. Namun, pertanyaan yang tidak valid tersebut tetap disertakan ke dalam kuesioner dikarenakan pertanyaan tersebut sangat diperlukan untuk proses analisis. Selain iu, beberapa pekerja tidak memahami arti kata “retensi air” yang terdapat pada kuesioner sindrom pramenstruasi. Kemudian, peneliti menambahkan keterangan “retensi air (penimbunan air)” agar responden dapat memahami arti kata tersebut. Uji reliabilitas dilakukan dengan cara membandingkan nilai Cronbach’s Alpha pada tabel Reliability Statistics. Instrumen dikatakan reliabel jika nilai Cronbach’s Alpha ≥ 0,6 (Oktavia, 2015). Berdasarkan hasil uji reliabilitas, diketahui bahwa seluruh variabel dalam penelitian ini
95
memiliki nilai Cronbach’s Alpha ≥ 0,6. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel dalam penelitian ini reliabel.
E. Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam analisis data pada penelitian ini adalah data primer. Data primer diperoleh secara langsung dengan memberikan kuesioner kepada pekerja shift wanita yang berisikan variabel dependen dan independen.
F. Pengolahan Data Data yang telah terkumpul akan diolah melalui tahapan-tahapan pengolahan data yaitu sebagai berikut : 1.
Data Coding Data
coding
merupakan
kegiatan
yang
dilakukan
untuk
mempermudah proses pemasukan data. Data yang terkumpul akan diklasifikasikan dan diberi kode, baik pada variabel dependen yaitu kualitas tidur maupun pada variabel independen yaitu jenis shift kerja, stres emosional, aktivitas fisik, kebiasaan makan, asupan obat-obatan, penyakit fisik, hipersomnia, sindrom pramenstruasi, dan menopause. Coding tiap variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.4. Coding pada Tiap Variabel No. 1 2
Variabel Kualitas Tidur Jenis Shift Kerja
a. b. c. d. e.
Kode Buruk = 1 Baik = 2 Shift Malam = 1 Shift Siang = 2 Shift Pagi = 3
96
No. 3
2.
Variabel Stres Emosional
4
Aktivitas Fisik
5
Kebiasaan Makan
6 7
Asupan ObatObatan Penyakit Fisik
8
Hipersomnia
9
Sindrom Pramenstruasi
10
Menopause
Kode Ya = 1 Tidak = 2 Berat = 1 Rendah Sedang = 2 Tidak Konsumsi = 1 Konsumsi = 2 Konsumsi = 1 Tidak Konsumsi = 2 Ada = 1 Tidak Ada = 2 Ya = 1 Tidak = 2 Gejala sedang hingga gejala berat = 1 b. Tidak ada gejala hingga gejala ringan = 2 a. Sudah = 1 b. Belum = 2 a. b. a. b. a. b. a. b. a. b. a. b. a.
Data Editing Data editing merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memastikan bahwa data yang ada tidak ada yang missing atau tidak diisi oleh responden. Data yang sudah terkumpul akan dilakukan penyuntingan, jika ditemukan terdapat data yang tidak terisi maka dapat segera diklarifikasi kepada responden. Penyuntingan dilakukan di lapangan setelah menerima kuesioner yang baru diisi oleh responden.
3.
Data Entry Data entry merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memasukkan data menggunakan fasilitas analisis data. Data yang dimasukkan adalah data pada kuesioner yang tidak ada missing satu pun. Fasilitas analisis data yang digunakan adalah SPSS.
97
4.
Data Cleaning Data Cleaning merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memeriksa kembali dan memastikan bahwa tidak ada kesalahan data atau data yang tidak lengkap ketika proses entry. Setelah melakukan pembesihan data, maka data dapat diolah dan dianalisis.
G.
Analisa Data 1.
Analisis Univariat Analisis univariat merupakan analisis yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan distribusi variabel dependen dan variabel independen dalam bentuk proporsi dan persentase. Variabel dependen dalam penelitian ini yaitu kualitas tidur, sedangkan variabel independen dalam penelitian ini yaitu jenis shift kerja, stres emosional, aktivitas fisik, kebiasaan makan, asupan obat-obatan, penyakit fisik, hipersomnia, sindrom pramenstruasi, menopause, dan kelelahan.
2.
Analisis Bivariat Analisis bivariat merupakan analisis yang dilakukan terhadap variabel independen yang diduga memiliki hubungan dengan variabel dependen. Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara kualitas tidur dengan determinan kualitas tidur pada pekerja. Teknik analisis data yang dilakukan yaitu dengan menggunakan uji Chi-Square dan Mann-Withney. Uji Chi-Square digunakan untuk mengetahui hubungan atau pengaruh signifikan pada dua variabel kategori. Uji Chi-Square pada penelitian ini digunakan pada variabel jenis
98
shift kerja, stres emosional, aktivitas fisik, kebiasaan makan, asupan obatobatan, penyakit fisik, hipersomnia, sindrom pramenstruasi, dan menopause. Sementara, uji Mann-Withney digunakan untuk mengetahui hubungan atau pengaruh signifikan pada dua variabel numerik dan kategorik namun data tidak berdistribusi normal. Uji Mann-Withney pada penelitian ini digunakan pada variabel kelelahan.
99
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Analisis Univariat 1.
Gambaran Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Gambaran distribusi kualitas tidur responden dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu kualitas tidur baik dan kualitas tidur buruk. Distribusi responden menurut kualitas tidur dapat dilihat pada tabel 5.1.
Tabel 5.1. Distribusi Kualitas Tidur Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Variabel Kualitas Tidur Buruk Baik Jumlah
Frekuensi (n)
Persentase (%)
112 14 126
88,9% 11,1% 100%
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.1. diketahui bahwa sebagian besar responden masuk ke dalam kategori kualitas tidur buruk, dengan jumlah responden sebanyak 112 orang (88,9%) responden.
2.
Gambaran Determinan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 a.
Faktor Pekerjaan Faktor pekerjaan dalam penelitian ini meliputi jenis shift kerja. Jenis shift kerja dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yakni shift
100
pagi, siang, dan malam. Distribusi responden menurut faktor pekerjaan dapat dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.2. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Pekerjaan Variabel Jenis Shift Kerja Malam Siang Pagi Jumlah
Frekuensi (n)
Persentase (%)
43 42 41 126
34,1% 33,3% 32,5% 100%
1) Jenis Shift Kerja Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.2. diketahui bahwa sebagian besar responden bekerja pada shift malam, dengan jumlah responden sebanyak 43 orang (34,1%) responden.
b. Faktor Psikologis Faktor psikologis dalam penelitian ini meliputi stres emosional. Stres emosional dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni mengalami dan tidak mengalami stres emosional. Distribusi responden menurut faktor psikologis dapat dilihat pada tabel 5.3.
101
Tabel 5.3. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Psikologis Variabel Stres Emosional Ya Tidak Jumlah
Frekuensi (n)
Persentase (%)
64 62 126
50,8% 49,2% 100%
2) Stres Emosional Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.3. diketahui bahwa sebagian besar responden masuk ke dalam kategori mengalami stres emosional dengan jumlah responden sebanyak 64 orang (50,8%) responden.
c.
Faktor Latihan Fisik Faktor latihan fisik dalam penelitian ini meliputi aktivitas fisik. Aktivitas fisik dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni memiliki aktivitas fisik rendah sedang dan berat. Distribusi responden menurut faktor latihan fisik dapat dilihat pada tabel 5.4.
Tabel 5.4. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Latihan Fisik Variabel Aktivitas Fisik Berat Rendah Sedang Jumlah
Frekuensi (n)
Persentase (%)
102 24 126
81,0% 19,0% 100%
102
2) Aktivitas Fisik Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.4. diketahui bahwa sebagian besar responden masuk ke dalam kategori aktivitas fisik berat dengan jumlah responden sebanyak 102 orang (81,0%) responden.
d. Faktor Konsumsi Faktor konsumsi dalam penelitian ini meliputi kebiasaan makan dan asupan obat-obatan. Kebiasaan makan dan asupan obat-obatan dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu konsumsi dan tidak konsumsi. Distribusi responden menurut faktor konsumsi dapat dilihat pada tabel 5.5.
Tabel 5.5. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Konsumsi Variabel Frekuensi (n) Kebiasaan Makan Tidak Konsumsi 26 Konsumsi 100 Asupan Obat-Obatan Konsumsi 25 Tidak Konsumsi 101
Persentase (%) 20,6% 79,4% 19,8% 80,2%
1) Kebiasaan Makan Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.5. diketahui bahwa sebagian besar responden masuk ke dalam kategori memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan dengan jumlah responden sebanyak 100 orang (79,4%) responden.
103
2) Asupan Obat-Obatan Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.5. diketahui bahwa sebagian besar responden masuk ke dalam kategori tidak mengkonsumsi obat-obatan dengan jumlah responden sebanyak 101 orang (80,2%) responden.
e.
Faktor Fisiologis Faktor fisiologis dalam penelitian ini meliputi penyakit fisik, hipersomnia, sindrom pramenstruasi, menopause, dan kelelahan. Penyakit fisik dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu memiliki dan tidak memiliki penyakit fisik. Hipersomnia dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu mengalami dan tidak mengalami hipersomnia. Sindrom pramenstruasi juga dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu sindrom pramenstruasi dengan gejala sedang hingga gejala berat dan tidak ada gejala hingga gejala ringan. Kemudian, menopause dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu sudah dan belum menopause. Distribusi responden menurut faktor fisiologis dapat dilihat pada tabel 5.6. dan 5.7.
Tabel 5.6. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Fisiologis Variabel Penyakit Fisik Ada Tidak Ada Hipersomnia Ya
Frekuensi (n)
Persentase (%)
95 31
75,4% 24,6%
35
27,8%
104
Variabel Frekuensi (n) Tidak 91 Sindrom Pramenstruasi Gejala Sedang Hingga 29 Gejala Berat Tidak Ada Gejala 97 Hingga Gejala Ringan Menopause Sudah 43 Belum 83
Persentase (%) 72,2% 23,0% 77,0%
34,1% 65,9%
Variabel kelelahan merupakan variabel numerik yang memiliki analisis data berbeda dengan faktor-faktor lainnya. Variabel kelelahan dilihat berdasarkan total skor kelelahan responden. Distribusi responden menurut variabel kelelahan dapat dilihat pada tabel 5.7.
Tabel 5.7. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Fisiologis (Variabel Kelelahan) Variabel Kelelahan
Mean 24,01
SD 12,371
Min Maks 95% CI 3 – 71 21,83 – 26,19
P value 0,045
1) Penyakit Fisik Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.6. diketahui bahwa sebagian besar responden masuk ke dalam kategori memiliki penyakit fisik dengan jumlah responden sebanyak 95 orang (75,4%) responden. 2) Hipersomnia Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.6. diketahui bahwa sebagian besar responden masuk ke dalam kategori tidak
105
mengalami hipersomnia dengan jumlah responden sebanyak 91 orang (72,2%) responden. 3) Sindrom Pramenstruasi Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.6. diketahui bahwa sebagian besar responden masuk ke dalam kategori tidak memiliki gejala hingga gejala ringan sindrom pramenstruasi dengan jumlah responden sebanyak 97 orang (77,0%) responden. 4) Menopause Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.6. diketahui bahwa sebagian besar responden masuk ke dalam kategori belum mengalami menopause dengan jumlah responden sebanyak 83 orang (65,9%) responden. 5) Kelelahan Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.7. diketahui bahwa rata-rata total skor kelelahan responden adalah 24,01 skor (21,83 – 26,19 skor) dengan standar deviasi 12,371 skor. Total skor paling rendah adalah 3 skor dan paling tinggi adalah 71 skor. Selain itu, berdasarkan uji Kolmogorov Smirnov, diketahui nilai probabilitas sebesar 0,045 (nilai probabilitas < 0,05), yang artinya variabel kelelahan tidak berdistribusi normal.
106
B. Analisis Bivariat 1.
Hubungan antara Faktor Pekerjaan dengan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Faktor pekerjaan dalam penelitian ini meliputi jenis shift kerja. Jenis shift kerja dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yakni shift pagi, siang, dan malam. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Chi-Square antara faktor pekerjaan dengan kualitas tidur responden dapat dilihat pada tabel 5.8.
Tabel 5.8. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Pekerjaan dengan Kualitas Tidur Kualitas Tidur Buruk Baik n % n % Jenis Shift Kerja Malam 39 90,7% 4 9,3% Siang 37 88,1% 5 11,9% Pagi 36 87,8% 5 12,2% Jumlah 112 88,9% 14 11,1%
Total
Variabel
a.
n
%
43 42 41 126
100% 100% 100% 100%
OR (95% CI)
P value
0,738 (0,184-2,967) 0,973 (0,259-3,649) 1
0,894
Hubungan antara Jenis Shift Kerja dengan Kualitas Tidur Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.8. diketahui bahwa di antara 43 orang responden yang bekerja pada shift malam, terdapat 39 orang (90,7%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk. Kemudian, di antara 42 orang responden yang bekerja pada shift siang, terdapat 37 orang (88,1%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk, sedangkan di antara 41 orang responden yang bekerja
107
pada shift pagi, terdapat 36 orang (87,8%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas (P value) sebesar 0,894, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada ⍺ 5%, tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis shift kerja dengan kualitas tidur responden. Diketahui nilai OR shift malam sebesar 0,738 (95% CI ; 0,184 – 2,967), yang artinya responden yang bekerja pada shift malam dapat mencegah risiko kualitas tidur yang buruk 0,738 kali dibandingkan dengan responden yang bekerja pada shift pagi. Kemudian, diketahui nilai OR shift siang sebesar 0,973 (95% CI ; 0,259 – 3,649), yang artinya responden bekerja pada shift siang dapat mencegah risiko kualitas tidur yang buruk 0,973 kali dibandingkan dengan responden yang bekerja pada shift pagi.
2.
Hubungan antara Faktor Psikologis dengan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Faktor psikologis dalam penelitian ini meliputi stres emosional. Stres emosional dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni mengalami stres emosional dan tidak mengalami stres emosional. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Chi-Square antara faktor psikologis dengan kualitas tidur pada responden dapat dilihat pada tabel 5.9.
108
Tabel 5.9. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Psikologis dengan Kualitas Tidur Kualitas Tidur Variabel Buruk Baik n % n % Stres Emosional Ya 58 90,6% 6 9,4% Tidak 54 87,1% 8 12,9% Jumlah 112 88,9% 14 11,1%
a.
Total n
%
64 62 126
100% 100% 100%
OR (95% CI) 1,432 (0,467-4,396) 1
Hubungan antara Stres Emosional dengan Kualitas Tidur Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.9. diketahui bahwa di antara 64 orang responden yang mengalami stres emosional, terdapat 58 orang (90,6%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk, sedangkan di antara 62 orang responden yang tidak mengalami stres emosional, terdapat 54 orang (87,1%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas (P value) sebesar 0,729, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada ⍺ 5%, tidak ada hubungan yang signifikan antara stres emosional dengan kualitas tidur responden. Kemudian, diketahui nilai OR sebesar 1,432 (95% CI ; 0,467 – 4,396), yang artinya responden yang mengalami stres emosional memiliki risiko 1,432 kali mengalami kualitas tidur yang buruk dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami stres emosional.
P value 0,729
109
3.
Hubungan antara Faktor Latihan Fisik dengan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Faktor latihan fisik dalam penelitian ini meliputi aktivitas fisik. Aktivitas fisik dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni memiliki aktivitas fisik rendah sedang dan berat. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Chi-Square antara faktor latihan fisik dengan kualitas tidur pada responden dapat dilihat pada tabel 5.10.
Tabel 5.10. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Latihan Fisik dengan Kualitas Tidur Kualitas Tidur Buruk Baik n % n %
Variabel Aktivitas Fisik Berat Rendah Sedang Jumlah
a.
91 21 112
89,2% 87,5% 88,9%
11 3 14
10,8% 12,5% 11,1%
Total n
%
102 24 126
100% 100% 100%
OR (95% CI)
P value
1,182 (0,303-4,613) 1
0,729
Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Kualitas Tidur Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.10. diketahui bahwa di antara 102 orang responden yang memiliki aktivitas fisik berat, terdapat 91 orang (89,2%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk, sedangkan di antara 24 orang responden yang memiliki aktivitas fisik rendah sedang, terdapat 21 orang (87,5%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas (P value) sebesar 0,729, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada ⍺ 5%, tidak ada hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan
110
kualitas tidur responden. Kemudian, diketahui nilai OR sebesar 1,182 (95% CI ; 0,303 – 4,613), yang artinya responden yang memiliki aktivitas fisik berat memiliki risiko 1,182 kali mengalami kualitas tidur yang buruk dibandingkan dengan responden yang memiliki aktivitas fisik rendah sedang.
4.
Hubungan antara Faktor Konsumsi dengan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Faktor konsumsi dalam penelitian ini meliputi kebiasaan makan dan asupan
obat-obatan.
Kebiasaan
makan
dan
asupan obat-obatan
dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu mengkonsumsi dan tidak mengkonsumsi. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji ChiSquare antara faktor konsumsi dengan kualitas tidur pada responden dapat dilihat pada tabel 5.11.
Tabel 5.11. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Konsumsi dengan Kualitas Tidur Kualitas Tidur Variabel Buruk Baik n % n % Kebiasaan Makan Tidak Konsumsi 24 92,3% 2 7,7% Konsumsi 88 88,0% 12 12,0% Asupan Obat-Obatan Konsumsi 25 100% 0 ,0% Tidak Konsumsi 87 86,1% 14 13,9%
Total
OR (95% CI)
P value
n
%
26 100
100% 100%
1,636 (0,343-7,815) 1
0,733
25 101
100% 100%
1
0,070
111
a.
Hubungan antara Kebiasaan Makan dengan Kualitas Tidur Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.11. diketahui bahwa di antara 26 orang
responden yang memiliki kebiasaan tidak
mengkonsumsi makanan, terdapat 24 orang (92,3%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk, sedangkan di antara 100 orang responden yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan, terdapat 88 orang (88,0%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas (P value) sebesar 0,733, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada ⍺ 5%, tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan makan dengan kualitas tidur responden. Kemudian, diketahui nilai OR sebesar 1,636 (95% CI ; 0,343 – 7,815), yang artinya responden yang memiliki kebiasaan tidak mengkonsumsi makanan memiliki risiko 1,636 kali mengalami kualitas tidur yang buruk dibandingkan dengan responden yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan. b. Hubungan antara Asupan Obat-Obatan dengan Kualitas Tidur Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.11. diketahui bahwa di antara 25 orang responden yang mengkonsumsi obat-obatan, seluruhnya (100%) memiliki kualitas tidur buruk, sedangkan di antara 101 orang responden yang tidak mengkonsumsi obat-obatan, terdapat 87 orang (86,1%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas (P value) sebesar 0,070, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada ⍺ 5%,
112
tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan obat-obatan dengan kualitas tidur responden. Namun, nilai OR pada variabel ini tidak dapat diketahui dikarenakan terdapat distribusi angka 0 pada kategori responden yang mengkonsumsi obat-obatan dan memiliki kualitas tidur baik.
5.
Hubungan antara Faktor Fisiologis dengan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Faktor fisiologis dalam penelitian ini meliputi penyakit fisik, hipersomnia, sindrom pramenstruasi, menopause, dan kelelahan. Penyakit fisik dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu memiliki dan tidak memiliki penyakit fisik. Hipersomnia dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu mengalami dan tidak mengalami hipersomnia. Sindrom pramenstruasi dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu sindrom pramenstruasi dengan gejala sedang hingga gejala berat dan tidak ada gejala hingga gejala ringan. Kemudian, menopause dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu sudah dan belum menopause. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Chi-Square antara faktor fisiologis dengan kualitas tidur pada responden dapat dilihat pada tabel 5.12.
113
Tabel 5.12. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Fisiologis dengan Kualitas Tidur
Variabel
Kualitas Tidur Buruk Baik n % n %
Penyakit Fisik Ada 88 92,6% Tidak 24 77,4% Hipersomnia Ya 30 85,7% Tidak 82 90,1% Sindrom Pramenstruasi Gejala Sedang 26 89,7% Hingga Gejala Berat Tidak Ada 86 88,7% Gejala Hingga Gejala Ringan Menopause Sudah 39 90,7% Belum 73 88,0%
Total n
%
OR (95% CI)
P value
7 7
7,4% 22,6%
95 31
100% 100%
3,667 (1,172-11,473) 1
0,042
5 9
14,3% 9,9%
35 91
100% 100%
0,659 (0,204-2,123) 1
0,531
3
10,3%
29
100%
1,109 (0,287-4,275)
1,000
11
11,3%
97
100%
1
4 10
9,3% 12,0%
43 83
100% 100%
1,336 (0,393-4,537) 1
Berdasarkan hasil uji normalitas, diketahui bahwa variabel kelelahan tidak berdistribusi normal, sehingga dilakukan uji Mann-Withney untuk melihat hubungan antara variabel kelelahan dengan kualitas tidur. Variabel kelelahan dilihat dari total skor kelelahan responden. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Mann-Withney antara kelelahan dengan kualitas tidur pada responden dapat dilihat pada tabel 5.13.
Tabel 5.13. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan Variabel Kelelahan dengan Kualitas Tidur Kelelahan Kualitas Tidur Buruk Baik
N
Mean rank
P value
112 14
65,78 45,29
0,048
0,770
114
a.
Hubungan antara Penyakit Fisik dengan Kualitas Tidur Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.12. diketahui bahwa di antara 95 orang responden yang memiliki penyakit fisik, terdapat 88 orang (92,6%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk, sedangkan di antara 31 orang responden yang tidak memiliki penyakit fisik, terdapat 24 orang (77,4%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas (P value) sebesar 0,042, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada ⍺ 5%, ada hubungan yang signifikan antara penyakit fisik dengan kualitas tidur responden. Kemudian, diketahui nilai OR sebesar 3,667 (95% CI ; 1,172 – 11,473), yang artinya responden yang memiliki penyakit fisik memiliki risiko 3,667 kali mengalami kualitas tidur yang buruk dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki penyakit fisik.
b. Hubungan antara Hipersomnia dengan Kualitas Tidur Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.12. diketahui bahwa di antara 35 orang responden yang mengalami hipersomnia, terdapat 30 orang (85,7%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk, sedangkan di antara 91 orang
responden yang tidak mengalami
hipersomnia, terdapat 82 orang (90,1%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas (P value) sebesar 0,531, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada ⍺ 5%, tidak ada hubungan yang signifikan antara hipersomnia dengan
115
kualitas tidur responden. Kemudian, diketahui nilai OR sebesar 0,659 (95% CI ; 0,204 – 2,123), yang artinya responden yang mengalami hipersomnia dapat mencegah risiko kualitas tidur yang buruk 0,659 kali dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami hipersomnia. c.
Hubungan antara Sindrom Pramenstruasi dengan Kualitas Tidur Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.12. diketahui bahwa di antara 29 orang responden yang mengalami gejala sedang hingga gejala berat sindrom pramenstruasi, terdapat 26 orang (89,7%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk, sedangkan di antara 97 orang responden yang tidak mengalami gejala hingga gejala ringan sindrom pramenstruasi, terdapat 86 orang (88,7%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas (P value) sebesar 1,000, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada ⍺ 5%, tidak ada hubungan yang signifikan antara sindrom pramenstruasi dengan kualitas tidur responden. Kemudian, diketahui nilai OR sebesar 1,109 (95% CI ; 0,287– 4,275) yang artinya responden yang mengalami gejala sedang hingga gejala berat sindrom pramenstruasi memiliki risiko 1,109 kali mengalami kualitas tidur yang buruk dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami gejala hingga gejala ringan sindrom pramenstruasi.
116
d. Hubungan antara Menopause dengan Kualitas Tidur Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.12. diketahui bahwa di antara 43 orang responden yang sudah menopause, terdapat 39 orang (90,7%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk, sedangkan di antara 83 orang responden yang belum menopause, terdapat 73 orang (88,0%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas (P value) sebesar 0,770, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada ⍺ 5%, tidak ada hubungan yang signifikan antara menopause dengan kualitas tidur responden. Kemudian, diketahui nilai OR sebesar 1,336 (95% CI ; 0,393 – 4,537), yang artinya responden yang sudah menopause memiliki risiko 1,336 kali mengalami kualitas tidur yang buruk dibandingkan dengan responden yang belum menopause. e.
Hubungan antara Kelelahan dengan Kualitas Tidur Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.13. diketahui bahwa nilai mean rank responden yang mengalami kelelahan dan memiliki kualitas tidur yang buruk yaitu sebesar 65,78, sedangkan responden yang mengalami kelelahan dan memiliki kualitas tidur baik yaitu 45,29. Kemudian, diketahui berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas (P value) sebesar 0,048 sehingga dapat disimpulkan bahwa pada ⍺ 5%, ada hubungan yang signifikan antara kelelahan dengan kualitas tidur responden.
BAB VI PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian 1.
Belum dilakukan pengukuran gejala dengan menggunakan indikator yang bersifat objektif melalui pemeriksaan fisik. Pengukuran variabel pada penelitian ini lebih kepada gejala atau indikator subjektif dengan menggunakan kuesioner. Hal ini menyebabkan masih memungkinkan terjadinya bias karena subjektifitas responden dalam menilai gejala yang dirasakan.
2.
Distribusi data pada variabel dependen homogen, sehingga pada analisis bivariat distribusi data juga menjadi homogen. Hal tersebut yang kemudian membuat sebagian besar variabel independen menjadi tidak berhubungan dengan variabel dependen.
B. Kualitas Tidur Tidur merupakan kebutuhan yang bersifat fisiologis dan paling dasar dari piramida kebutuhan manusia (Tarihoran dkk., 2015). Dengan kata lain, tidur merupakan kebutuhan yang harus terpenuhi oleh setiap orang. Fisiologi tidur dikendalikan oleh sistem Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar Synchronizing Region (BSR). Seseorang terbangun akibat neuron dalam sistem RAS yang melepaskan katekolamin seperti norepinefrin dan pada saat tidur terjadi pelepasan serum serotonin dari sel BSR (Uliyah dan Hidayat, 2008).
117
118
Tidur yang berkualitas sangat dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini dikarenakan tidur memberikan efek fisiologis pada tubuh yaitu terhadap sistem saraf yang dapat memulihkan kepekaan normal dan keseimbangan di antara berbagai susunan saraf, serta terhadap struktur tubuh yang dapat memulihkan kesegaran dan fungsi organ dikarenakan selama tidur terjadi penurunan aktivitas organorgan tubuh (Uliyah dan Hidayat, 2008). Selain itu, tidur bermanfaat untuk memelihara otot jantung, memperbaiki proses biologis secara rutin, menyimpan energi selama tidur, dan untuk pemulihan fungsi kognitif (Umami dan Priyanto, 2012). Seseorang yang mendapatkan tidur yang berkualitas dapat meningkatkan kesehatan dan pemulihan seseorang yang sakit (Potter dan Perry, 2005). Tidur yang berkualitas juga akan berpengaruh positif terhadap pemulihan fungsi kognitif, dimana pada tahap tidur REM terjadi perubahan aliran darah serebral, peningkatan aktivitas kortikal, peningkatan konsumsi oksigen, dan pelepasan epinefrin (Umami dan Priyanto, 2012). Begitu pentingnya pemenuhan kebutuhan tidur bagi setiap orang. Oleh karena itu, ketika pemenuhannya terganggu, maka akan menimbulkan dampak seperti menurunnya kemampuan berpikir dan bekerja, membuat kesalahan, dan sulit untuk mengingat sesuatu (Amran dan Handayani, 2012). Selain itu, tidur yang tidak adekuat juga dapat berdampak pada aspek fisiologi seperti penurunan aktivitas sehari-hari, rasa capai, lemah, proses penyembuhan lambat, daya tahan tubuh menurun, dan ketidakstabilan tanda-tanda vital (Nurlela dkk., 2009). Kualitas tidur merupakan faktor dependen yang diteliti dalam penelitian ini. Analisis kualitas tidur dilakukan dengan menggunakan kuesioner The
119
Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) yang terdiri dari tujuh komponen. Tujuh komponen tersebut terdiri dari latensi tidur, durasi tidur, kualitas tidur, efisiensi kebiasaan tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan gangguan fungsi tubuh di siang hari dalam satu bulan terakhir. Seseorang
dikatakan
mendapatkan
tidur
yang
berkualitas
jika
mendapatkan tidur dengan penuh ketenangan, merasa segar pada pagi hari, dan merasa bersemangat untuk melakukan aktivitas (Craven dan Hirnle, 2000). Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk dialami oleh 88,9% pekerja shift wanita. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita memiliki kualitas tidur yang buruk. Hal tersebut tentu dapat menimbulkan dampak yang negatif bagi pekerja wanita terutama jika tidak dilakukan penanggulangan atau pengendalian yang tepat. Secara teoritis, wanita diketahui memiliki kecenderungan untuk mengalami gangguan tidur. Wanita diketahui memiliki kecenderungan untuk mengalami mimpi buruk, kesulitan tidur, dan sering terbangun dibandingkan dengan pria (Sumirta dan Laraswati, 2014). Hal ini yang kemudian menyebabkan jumlah wanita yang mengalami gangguan tidur lebih banyak dari laki-laki. Selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Haryono, dkk. (2009) dan Sumirta dan Laraswati (2014) yang menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan responden wanita memiliki prevalensi gangguan tidur yang lebih besar dari laki-laki. Hasil pada penelitian ini juga menunjukkan hasil yang serupa dengan teori dan hasil penelitian lainnya, dimana sebagian besar pekerja shift wanita memiliki kualitas tidur yang buruk.
120
Lebih buruknya kualitas tidur pada wanita disebabkan oleh faktor fisiologis maupun psikologis. Secara fisiologis, laki-laki diketahui memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap shift kerja dibandingkan dengan wanita (EKU Online, 2016). Hal ini dapat dikarenakan wanita yang lebih mudah mengalami kelelahan dibandingkan dengan laki-laki (Oginska dan Pokorskri, 2006). Ketahanan fisik laki-laki diketahui lebih kuat dibandingkan dengan wanita. Wanita memiliki massa otot yang lebih sedikit dan kekuatan fisik yang lebih kecil (Harrington dan Gill, 2003). Hal tersebut lah yang kemudian membuat wanita lebih mudah mengalami kelelahan. Perbedaan hormonal antara wanita dan laki-laki juga memberikan pengaruh terhadap kualitas tidur, dimana hormon estrogen dan progesteron pada wanita lebih dominan dibandingkan dengan laki-laki. Keberadaan hormon ini sangat berpengaruh terhadap siklus tidur. Reseptor hormon estrogen dan progesteron terletak pada bagian tersendiri di hipotalamus, dimana posisi tersebut mempengaruhi irama sirkadian dan pola tidur secara langsung (Prasadja, 2009). Irama sirkadian berfungsi mengatur siklus biologi irama tidur bangun dimana sepertiga waktu untuk tidur dan dua pertiga untuk bangun atau beraktivitas (Saftarina dan Hasanah, 2014). Dengan demikian, irama sirkadian yang mengalami perubahan maka akan mempengaruhi pola tidur dan dapat menyebabkan gangguan tidur. Keberadaan hormon estrogen dan progesteron pada wanita secara langsung juga sangat berpengaruh pada masa Premenstrual Syndrome (PMS), kehamilan, dan menopause. Penurunan kadar estrogen dan progesteron
121
menyebabkan
wanita
mengalami
gangguan
tidur
seperti
insomnia,
hipersomnia, dan mimpi buruk (Gracia dkk., 2011) dan (Sulistiyowati dan Nisa, 2014). Secara psikologis, juga diketahui bahwa kemampuan koping dalam mengatasi masalah pada wanita lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, sehingga wanita lebih mudah mengalami kecemasan yang dapat menyebabkan insomnia (Sumirta dan Laraswati, 2014). Permasalahan secara psikologis juga dapat memperburuk kualitas tidur wanita. Wanita yang mengalami tekanan secara psikologis dapat menyebabkan seseorang mengalami kesulitan tidur, sering terbangun selama siklus tidur, atau bahkan lebih banyak tidur (Potter dan Perry, 2005). Berdasarkan hasil wawancara kepada pengawas dan perwakilan pekerja, diketahui bahwa terdapat beberapa kasus kecelakaan kerja yang disebabkan oleh rasa kantuk yang dialami pekerja. Selain itu, baik rekan kerja maupun pengawas juga kerap kali menemukan pekerja yang tidur di saat seharusnya mereka bekerja atau bahkan mengerjakan pekerjaanya sambil tertidur. Rasa kantuk yang dialami pekerja ketika melakukan pekerjaan merupakan salah satu indikasi buruknya kualitas tidur pekerja. Namun, tidak diketahui secara pasti berapa banyak kejadian kecelakaan yang berhubungan dengan gangguan tidur maupun jumlah pekerja yang tidur ketika bekerja dikarenakan tidak tersedianya data. Pekerjaan yang dilakukan dalam proses produksi perusahaan tekstil tergolong ke dalam pekerjaan yang membutuhkan tingkat kewaspadaan yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan pekerja akan berhadapan langsung dengan
122
mesin yang berpotensi menyebabkan pekerja mengalami kecelakaan seperti tergores, terpotong, tertusuk, tertarik, dsb. Pekerjaan yang dilakukan akan sangat berbahaya jika dilakukan dalam keadaan mengantuk atau bahkan tertidur. Rasa kantuk yang dialami akibat tidak terpenuhinya kebutuhan tidur dapat sangat membahayakan dirinya dan dapat menyebabkan kecelakaan serius. Rasa kantuk yang tak tertahankan tersebut juga dapat mempengaruhi tingkat produktivitas dan profitabilitas kerja. Dengan demikian, akan menimbulkan kerugian yang cukup besar terhadap perusahaan. Buruknya kualitas tidur pekerja shift wanita diduga disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat berasal dari faktor internal maupun eksternal. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat beberapa variabel independen yang diduga memiliki hubungan dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex tahun 2016. Adapun variabel independen yang diteliti hubunganya dengan kualitas tidur yaitu faktor pekerjaan yang meliputi jenis shift kerja, faktor psikologis yang meliputi stres emosional, faktor latihan fisik yang meliputi aktivitas fisik, faktor konsumsi yang meliputi kebiasaan makan dan asupan obat-obatan, dan faktor fisiologis yang meliputi penyakit fisik, hipersomnia, sindrom pramenstruasi, menopause, dan kelelahan.
C. Determinan Kualitas Tidur 1.
Hubungan antara Faktor Pekerjaan dengan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Faktor pekerjaan dalam penelitian ini meliputi jenis shift kerja. Hubungan antara faktor pekerjaan dengan kualitas tidur pekerja shift
123
wanita di bagian produksi PT. Sandratex akan dijelaskan pada pembahasan di bawah ini. a.
Hubungan antara Jenis Shift Kerja dengan Kualitas Tidur Jenis shift kerja merupakan salah satu faktor yang diduga memiliki hubungan dengan kualitas tidur. Pada saat ini, penerapan shift kerja banyak dilakukan di tempat kerja. Hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan produktivitas
produksi.
Tempat
kerja
yang
menerapkan sistem shift kerja yaitu seperti rumah sakit, kantor polisi, industri transportasi, dan manufaktur (NSF, 2005). Namun, dari berbagai industri yang ada, jenis industri yang paling banyak menerapkan sistem shift kerja adalah industri manufaktur dan produksi dengan persentase sebesar 83% (EKU Online, 2016). PT. Sandratex merupakan pabrik tekstil dan turut menerapkan sistem shift kerja dalam menjalankan kegiatan produksinya. Selain itu, PT. Sandratex juga banyak mempekerjakan wanita pada seluruh shift kerjanya, sehingga sesuai dengan kriteria lokasi dalam penelitian ini. Bila dilihat dari waktunya, sistem shift kerja yang dilaksanakan di PT. Sandratex merupakan sistem shift biasa yang terdiri dari 3 jenis shift kerja. Jenis shift kerja yang dijalani yaitu shift pagi, siang, dan malam. Shift pagi dimulai dari pukul 06.00 WIB hingga pukul 14.00 WIB, shift siang dimulai pukul 14.00 WIB hingga pukul 22.00 WIB, sedangkan shift malam dimulai pukul 22.00 WIB hingga pukul 06.00 WIB. Pekerja wanita pada unit produksi dipekerjakan pada seluruh jenis shift kerja.
124
Bila dilihat dari kecepatan rotasinya, PT. Sandratex menerapkan rotasi lambat. PT. Sandratex melaksanakan rotasi kerja setiap dua minggu. Pekerja shift wanita akan mengalami pergantian shift kerja setiap dua minggu sekali. Jenis rotasi lambat sangat baik untuk diterapkan. Hal ini dikarenakan jenis rotasi tersebut memberikan waktu kepada pekerja untuk dapat beradaptasi dengan shift kerja baik secara fisiologis maupun secara sosial (LaDou, 1994). Arah rotasi yang diterapkan di PT. Sandratex adalah rotasi mundur. Pekerja shift wanita bekerja dimulai dari shift siang, shift pagi, dan kemudian shift malam. Arah rotasi ini merupakan arah rotasi yang kurang baik dibandingkan dengan rotasi maju. Hal ini dikarenakan arah rotasi ini tidak memberikan waktu tidur dan istirahat lebih lama kepada pekerja seperti pada rotasi maju (LaDou, 1994). Dengan demikian, pekerja tidak mendapatkan waktu istirahat yang cukup. Hari libur yang diterapkan di PT. Sandratex setelah bekerja shift adalah satu hari pada setiap minggunya, baik itu pada pekerja shift pagi, siang, maupun malam. Penerapan hari libur tersebut diketahui kurang baik untuk diterapkan. Hari libur yang baik diterapkan pada pekerja shift malam sedikitnya adalah 2 hari (Tayyari dan Smith, 1997). Penerapan satu hari libur setelah bekerja pada shift malam kurang memberikan waktu bagi pekerja untuk menyesuaikan perubahan pola tidur akibat bekerja pada shift malam. Akibatnya, pekerja kurang mendapatkan waktu tidur atau istirahat yang cukup.
125
Kurangnya waktu tidur tentu dapat menimbulkan dampak negatif pada tubuh. Efek yang ditimbulkan dari kurang tidur yaitu seperti menurunnya kemampuan berpikir dan bekerja, membuat kesalahan, dan sulit untuk mengingat sesuatu (Amran dan Handayani, 2012). Selain itu, tidur yang tidak adekuat juga dapat berdampak pada aspek fisiologi seperti penurunan aktivitas sehari-hari, rasa capai, lemah, proses penyembuhan lambat, daya tahan tubuh menurun, dan ketidakstabilan tanda-tanda vital (Nurlela dkk., 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pekerja shift wanita yang bekerja pada shift malam lebih banyak dari kedua shift lainnya, yaitu sebanyak 34,1%. Kemudian, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk ditemukan di seluruh jenis shift kerja. Namun, kualitas tidur yang buruk lebih banyak dialami oleh pekerja wanita yang bekerja pada shift malam, yaitu sebanyak 90,7%. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang menyebutkan bahwa dari keseluruhan dampak yang ditimbulkan dari shift malam, gangguan tidur merupakan keluhan yang paling sering dirasakan dan merupakan masalah utama yang berkaitan dengan shift kerja (Handayani, 2008; Agustin, 2012). Shift malam akan merubah pola tidur pekerja sehingga pekerja akan mengalami pergeseran waktu tidur. Hal tersebut yang kemudian menyebabkan shift malam menjadi masalah utama yang berkaitan dengan tidur. Shift malam juga diketahui memberikan dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan kedua jenis shift kerja lainnya. Shift
126
malam akan berdampak pada kesehatan dan keselamatan pekerja. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecelakaan pada shift malam lebih tinggi dibandingkan dengan kedua shift lainnya. Kodrat (2011) juga mengungkapkan bahwa pekerja pada shift malam memiliki tingkat kelelahan, tekanan darah sistol dan diastol, denyut nadi, stres fisik dan stres mental lebih tinggi daripada pekerja shift pagi. Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis shift kerja dengan kualitas tidur pekerja shift wanita. Kemudian, hasil uji keeratan hubungan menunjukkan bahwa pekerja wanita yang bekerja pada shift malam dapat mencegah risiko kualitas tidur yang buruk 0,738 kali dibandingkan dengan pekerja wanita yang bekerja pada shift pagi, sedangkan pekerja wanita yang bekerja pada shift siang dapat mencegah risiko kualitas tidur yang buruk 0,973 kali dibandingkan dengan pekerja wanita yang bekerja pada shift pagi. Hasil pada penelitian ini tidak sejalan dengan teori yang ada, dimana secara teoritis shift kerja diketahui dapat mempengaruhi kualitas tidur seseorang. Hal ini dikarenakan shift kerja akan mempengaruhi irama sirkadian. Irama sirkadian adalah dasar pada siklus tidur dan bangun harian (Murits dan Widodo, 2008). Bermacam-macam fungsi tubuh seperti suhu tubuh, tingkat metabolisme, detak jantung, tekanan darah, dan komposisi kimia tertentu dalam tubuh mengalami fluktuasi ketika siklus irama
127
sirkadian berlangsung (Hidayat, 2011; Murits dan Widodo, 2008). Ketika irama sirkadian seseorang mengalami perubahan, maka secara otomatis juga akan mempengaruhi kualitas tidur. Tidak berhubungannya jenis shift kerja dengan kualitas tidur dapat disebabkan oleh distribusi data kualitas tidur yang buruk antara pekerja yang bekerja pada shift pagi, siang, dan malam tidak berbeda signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk dialami oleh 90,7% pekerja shift malam, 88,1% pekerja shift siang, dan 87,8% pekeja shift pagi. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita, baik yang bekerja pada shift pagi, siang, dan malam seluruhnya sama-sama memiliki kualitas tidur yang buruk. Perbedaan hasil penelitian ini dengan teori juga dapat disebabkan oleh faktor lain yang lebih dominan dalam mempengaruhi kualitas tidur yang buruk pada pekerja shift wanita. Peneliti berasumsi bahwa faktor yang lebih dominan tersebut yaitu faktor kelelahan dan menopause. Secara teoritis, salah satu efek negatif yang ditimbulkan shift kerja pada aspek fisiologis yaitu kelelahan (Saftarina dan Hasanah, 2014). Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang bekerja baik itu pada shift malam, siang, maupun pagi sebagian besar tidak mengalami kelelahan. Adapun pekerja yang mengalami kelelahan hanya berkisar pada kelelahan ringan hingga sedang.
128
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 86,0% pekerja shift malam, 71,4% pekerja shift siang, dan 53,7% pekerja shift pagi tidak mengalami kelelahan. Kemudian, kelelahan ringan dialami oleh 14,0% pekerja shift malam, 23,8% pekerja shift siang, dan 43,9% pekerja shift pagi. Sementara itu, kelelahan sedang hanya dialami oleh 4,8% pekerja shift siang dan 2,4% pekerja shift pagi. Tidak ada pekerja shift wanita dalam penelitian ini yang mengalami kelelahan berat. Hasil tersebut tidak sejalan dengan teori dimana diketahui bahwa pekerja shift malam memiliki tingkat kelelahan lebih tinggi daripada pekerja shift pagi (Kodrat, 2011). Tingkat kelelahan pada shift malam lebih tinggi dikarenakan faktor faal dan metabolisme yang tidak dapat diserasikan serta kuatnya kerja saraf parasimpatis pada malam hari (Suma'mur, 2009). Berdasarkan
hasil
studi
literatur
yang
telah
dilakukan
sebelumnya, diketahui bahwa kelelahan menengah dapat membantu tidur sehingga pekerja akan memperoleh tidur yang mengistirahatkan (Agustin, 2012). Kelelahan dapat membuat seseorang lebih cepat tidur dikarenakan tahap tidur gelombang lambatnya (NREM) diperpendek (Uliyah dan Hidayat, 2008). Berbeda halnya jika mengalami kelelahan berat. Kerja yang meletihkan atau penuh stres dapat menyebabkan seseorang mengalami kelelahan yang berlebihan sehingga membuat pekerja tersebut menjadi sulit tidur (Potter dan Perry, 2005). Meskipun bekerja secara shift, namun jika pekerja shift
129
wanita tidak mengalami kelelahan berat dan mengalami kelelahan menengah, maka tidurnya tidak akan terganggu. Secara teoritis, wanita memiliki kecenderungan mengalami gangguan tidur. Hal ini disebabkan oleh penurunan hormon estrogen dan progesteron. Reseptor hormon estrogen dan progesteron terletak pada bagian tersendiri di hipotalamus, dimana posisi tersebut mempengaruhi irama sirkadian dan pola tidur secara langsung (Prasadja, 2009). Penurunan kadar estrogen dan progesteron juga menyebabkan wanita mengalami gangguan tidur seperti insomnia, hipersomnia, dan mimpi buruk (Gracia dkk., 2011; Sulistiyowati dan Nisa, 2014). Insomnia yang dialami wanita ketika memasuki masa menopause juga diketahui merupakan insomnia yang terberat (Prasadja, 2009). Ketika menopause juga akan muncul gejala-gejala yang dapat mempengaruhi kualitas tidur. Gejala-gejala tersebut seperti hot flashes (rasa panas), insomnia, perubahan pada tulang, perubahan kardiovaskular, gangguan kejiwaan, sulit tidur, keletihan, dan kekeringan vaginal dll. (Heffner dan Schust, 2006; Muaris, 2004). Hal ini yang kemudian dapat membuat pekerja shift wanita secara signifikan mengalami perubahan pola tidur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja shift diketahui belum mengalami menopause. Diketahui sebanyak 72,1% pekerja shift malam, 66,7% pekerja shift siang, dan 58,5% pekerja shift pagi, belum mengalami menopause. Hal tersebut yang kemudian
130
diduga menyebabkan jenis shift kerja tidak mempengaruhi buruknya kualitas tidur. Meskipun bekerja secara shift, namun jika pekerja shift wanita tersebut belum mengalami menopause maka tidak memiliki kecenderungan kualitas tidur yang buruk. Meskipun jenis shift kerja tidak berhubungan dengan kualitas tidur, namun penerapan shift tetap berisiko menyebabkan kualitas tidur yang buruk dan dapat memberikan dampak negatif kepada pekerja. Terlebih pekerja shift wanita akan mendapatkan giliran bekerja pada shift malam yang berisiko mengubah irama sirkadian seseorang. Melihat permasalahan tersebut, maka peneliti memberikan saran kepada perusahaan agar melakukan pengaturan terhadap pekerja wanita yang bekerja pada sistem shift. Menurut Grandjean (1986) dalam Nurmianto (2004), waktu pergantian shift lebih baik dilakukan pada pukul 07.00, 15.00, dan 23.00 atau 08.00, 16.00, dan 24.00. Waktu pergantian shift tersebut dapat lebih memberikan waktu bagi pekerja untuk bersiap berangkat ke tempat kerja dan untuk beristirahat. Istirahat yang cukup dapat membantu proses pemulihan. Hal ini dikarenakan pemulihan terhadap kelelahan terjadi ketika seseorang mendapatkan istirahat yang cukup (Fajarwati dkk., 2011). Selama ini, diketahui bahwa PT. Sandratex menggunakan waktu pergantian shift pada pukul 06.00, 14.00, dan 22.00 WIB. Hal tersebut menyebabkan pekerja tidak mendapatkan waktu tidur dan istirahat yang optimal. Selain itu, agar waktu istirahat lebih optimal, pekerja
131
yang memiliki jarak antara tempat tinggal dengan tempat kerja yang jauh lebih baik untuk tidak dipekerjakan pada sistem shift. Hal tersebut akan menghindarkan pekerja dari kelelahan yang berlebihan. Perusahaan juga perlu mengatur arah rotasi kerja menjadi rotasi maju. Hal tersebut dikarenakan rotasi maju memberikan waktu tidur dan istirahat lebih lama kepada pekerja (LaDou, 1994). Dengan demikian, pekerja tidak mendapatkan waktu istirahat yang cukup. Perusahaan juga perlu mengatur waktu libur bagi pekerja shift wanita. Selama ini, PT. Sandratex menerapkan satu hari libur di setiap minggunya termasuk pada pekerja shift malam. Menurut Suma’mur (1999), setiap bekerja pada shift siang atau malam sebaiknya diikuti dengan paling sedikit 24 jam libur dan tiap shift malam paling sedikit 2 hari libur, sehingga pekerja dapat mengatur kebiasaan tidur.
2.
Hubungan antara Faktor Psikologis dengan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Faktor psikologis dalam penelitian ini meliputi stres emosional. Hubungan antara faktor psikologis dengan kualitas tidur pekerja shift wanita di bagian produksi PT. Sandratex akan dijelaskan pada pembahasan di bawah ini. a.
Hubungan Antara Stres Emosional dengan Kualitas Tidur Stres emosional merupakan salah satu faktor yang diduga memiliki hubungan dengan kualitas tidur. Stres sangat erat kaitanya dengan seberapa besar kemampuan seseorang untuk mengatasi
132
perubahan dalam hidupnya, baik itu dengan lingkungan keluarga, lingkungan kerja, maupun lingkungan sosialnya (Stranks, 2005). Stresor dapat berasal dari lingkungan, pekerjaan, maupun kegiatan sosial (Stranks, 2005). Selain itu, stresor juga dapat dikelompokkan menjadi stresor psikososial dan fisik (Gunarsa, 2002). Keseluruhan stresor tersebut sangat memungkinkan dialami oleh pekerja wanita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita mengalami stres emosional, yaitu sebanyak 50,8%. Kemudian, hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk banyak dialami oleh pekerja shift wanita yang mengalami stres emosional, yaitu sebanyak 90,6%. Berdasarkan hasil uji statistik juga diketahui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara stres emosional dengan kualitas tidur. Jika dilihat dari hasil uji keeratan hubungan, diketahui bahwa pekerja shift wanita yang mengalami stres emosional memiliki risiko 1,432 kali mengalami kualitas tidur yang buruk dibandingkan dengan pekerja shift wanita yang tidak mengalami stres emosional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stres emosional tidak mempengaruhi kualitas tidur. Hasil pada penelitian ini tidak sejalan dengan teori yang ada, dimana stres emosional diketahui dapat mempengaruhi tidur
seseorang.
Secara teoritis,
stres dapat
mempengaruhi kualitas tidur dikarenakan stres yang dialami akan membuat seseorang menjadi sulit atau sering terbangun dari tidur atau bahkan lebih banyak tidur (Potter dan Perry, 2005). Seseorang yang
133
mengalami stres akan merangsang sistem saraf simpatis untuk mengeluarkan katekolamin, glukagon, dan hormon kortisol-steroid yang mempengaruhi SSP dalam meningkatkan rasa gelisah, nafas cepat, hipertensi, dan ketegangan otot (Suwartika dan Cahyati, 2015). Kecemasan, sensitif atau marah membuat mental terganggu dan keseluruhan hal tersebut yang kemudian dapat menimbulkan gangguan tidur yang serius (Potter dan Perry, 2005). Wanita yang mengalami stres emosional akan memiliki gangguan tidur yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini dikarenakan kemampuan koping dalam mengatasi masalah pada wanita lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, sehingga wanita lebih mudah mengalami kecemasan yang dapat menyebabkan insomnia (Sumirta dan Laraswati, 2014). Permasalahan psikologis dapat memperburuk kualitas tidur wanita dikarenakan wanita juga memiliki kecenderungan untuk mengalami mimpi buruk, kesulitan tidur, dan sering terbangun dibandingkan dengan pria (Sumirta dan Laraswati, 2014). Tidak berhubungannya stres emosional dengan kualitas tidur dapat disebabkan oleh distribusi data kualitas tidur buruk antara pekerja shift wanita yang mengalami maupun tidak mengalami stres emosional tidak berbeda signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk dialami oleh 90,6% pekerja shift wanita yang mengalami stres emosional dan 87,1% pekerja yang tidak mengalami stres emosional. Hal tersebut menunjukkan bahwa
134
sebagian besar pekerja shift wanita, baik yang mengalami stres emosional maupun tidak mengalami stres emosional sama-sama memiliki kualitas tidur yang buruk. Perbedaan hasil penelitian ini dengan teori juga dapat disebabkan oleh faktor lain yang lebih dominan dalam mempengaruhi kualitas tidur yang buruk pada pekerja shift wanita. Peneliti berasumsi bahwa faktor yang lebih dominan tersebut yaitu faktor kelelahan dan menopause. Salah satu stresor fisik atau penyebab stres dari faktor fisik yaitu adalah kelelahan (Gunarsa, 2002). Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang mengalami stres emosional sebagian besar tidak mengalami kelelahan. Adapun pekerja yang mengalami kelelahan hanya berkisar pada kelelahan ringan hingga sedang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang mengalami stres emosional, 59,4% di antaranya tidak mengalami kelelahan. Kemudian, 35,9% mengalami kelelahan ringan dan hanya 4,7% yang mengalami kelelahan sedang. Tidak ada pekerja shift wanita dalam penelitian ini yang mengalami kelelahan berat. Meskipun stres emosional secara teoritis juga dapat menyebabkan kelelahan (Kodrat, 2011). Stres yang disertai kelelahan dapat memperburuk kualitas tidur. Namun, jika pekerja shift wanita mengalami kelelahan ringan hingga sedang, maka dapat membantu tidur (Agustin, 2012). Kelelahan dapat
135
membuat seseorang lebih cepat tidur dikarenakan tahap tidur gelombang lambatnya (NREM) diperpendek (Uliyah dan Hidayat, 2008). Berbeda halnya jika pekerja shift wanita mengalami kelelahan berat. Kelelahan berat dapat menyebabkan kelelahan yang berlebihan, sehingga dapat menyebabkan pekerja tersebut menjadi sulit tidur (Potter dan Perry, 2005). Dengan demikian, meskipun pekerja shift wanita mengalami stres emosional namun jika tidak mengalami kelelahan berat maka tidak akan mengganggu kualitas tidur. Peneliti juga berasumsi bahwa kelelahan yang dialami pekerja shift wanita didukung oleh faktor menopause. Ketika mengalami menopause, wanita akan memiliki kecenderungan mengalami gangguan tidur akibat penurunan hormon estrogen dan progesteron. Reseptor hormon estrogen dan progesteron terletak pada bagian tersendiri di hipotalamus, dimana posisi tersebut mempengaruhi irama sirkadian dan pola tidur secara langsung (Prasadja, 2009). Selain itu, penurunan kadar estrogen dan progesteron juga menyebabkan wanita mengalami gangguan tidur seperti insomnia, hipersomnia, dan mimpi buruk (Gracia dkk., 2011; Sulistiyowati dan Nisa, 2014). Insomnia yang dialami wanita ketika memasuki masa menopause diketahui merupakan insomnia yang terberat (Prasadja, 2009). Ketika mengalami menopause, juga akan muncul gejala-gejala yang dapat mempengaruhi kualitas tidur. Gejala-gejala tersebut seperti hot flashes (rasa panas), insomnia, perubahan pada tulang, perubahan kardiovaskular, gangguan kejiwaan, sulit tidur, keletihan,
136
dan kekeringan vaginal dll. (Heffner dan Schust, 2006; Muaris, 2004). Gunarsa (2002) juga menyebutkan bahwa timbulnya ledakan emosi dan suasana hati (mood) juga kerap muncul pada masa menjelang dan pada
saat
menopause.
Gangguan psikologis
tersebut
dapat
memperberat stres emosional yang dialami oleh pekerja shift wanita. Keseluruhan hal tersebut yang kemudian akan membuat pekerja shift wanita secara signifikan mengalami gangguan tidur. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa 64,1% pekerja shift wanita yang mengalami stres emosional, belum mengalami menopause. Hal ini yang kemudian diduga menyebabkan pekerja shift wanita tidak mengalami gangguan tidur meskipun mengalami stres emosional. Dengan kata lain, pekerja shift wanita tidak mempunyai kecenderungan memiliki kualitas tidur yang buruk karena belum mengalami menopause. Perlu dilakukan upaya agar tidak terjadi peningkatan prevalensi atau semakin memburuknya tingkat stres emosional pada pekerja shift wanita. Terlebih wanita juga diketahui lebih mudah mengalami stres emosional, sehingga dapat mencegah kualitas tidur yang buruk pada pekerja shift wanita. Oleh karena itu, peneliti memberikan saran agar pekerja menghindari stres emosional serta meningkatkan kemampuan adaptasi dan koping terhadap stres. Koping merupakan cara berpikir dan bereaksi yang ditujukan untuk mengatasi beban atau transaksi yang menyakitkan (stresor) (Tamher dan Noorkasiani, 2009). Seseorang yang melakukan koping
137
terhadap stres berarti melakukan upaya untuk mengatasi stres yang dihadapinya. Pada umumnya, ketika mengalami tekanan, maka seseorang akan beradaptasi atau menanggulagi stresor yang timbul (Hidayati, 2013). Kemampuan adaptasi yang kemudian membuat seseorang
lebih kuat
terhadap tekanan-tekanan yang dapat
menimbulkan stres. Adaptasi dan koping stres yang baik dapat membuat fikiran dan perasaan menjadi tenang. Fikiran dan perasaan yang tenang tentu akan memudahkan pekerja untuk memperoleh istirahat yang baik. Terdapat dua tipe coping yang dapat menurunkan stres, yakni problem focused coping dan emotion focused coping. Pekerja shift wanita dapat menurunkan stres dengan menerapkan kedua tipe koping stres tersebut. Pekerja harus menghadapi dan menyelesaikan masalah yang menyebabkan stres emosional. Selain itu, pekerja harus menghilangkan emosi negatif dalam menyikapi masalah. Menghadapi masalah dengan berusaha melihat sisi positif dari sebuah masalah akan membuat fikiran menjadi tenang. Dengan demikian hal tersebut akan menyelesaikan masalah dan mengubah situasi stres. Peneliti juga menyarankan agar pekerja berolahraga secara teratur. Hal ini dikarenakan olahraga berfungsi sebagai psychological relaxer yang mengalihkan perhatian dari hal-hal yang membuat stres (Widyarini, 2009). Selain itu, diketahui bahwa olahraga dapat meningkatkan tidur jika dilakukan selama dua puluh menit per hari (Rafknowledge, 2004). Pekerja juga dianjurkan untuk melakukan
138
relaksasi setiap harinya seperti misalnya meditasi, yoga, latihan pernafasan dalam, tai chi, pemijatan, shalat, atau berdoa (dzikir), dll. Rileksasi terbukti dapat mencegah stres. Rileksasi dapat mencegah stres dengan cara menurunkan denyut jantung dan tekanan darah, serta memberikan rasa tenang (Widyarini, 2009).
3.
Hubungan antara Faktor Latihan Fisik dengan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Faktor latihan fisik dalam penelitian ini meliputi aktivitas fisik. Hubungan antara faktor latihan fisik dengan kualitas tidur pekerja shift wanita di bagian produksi PT. Sandratex akan dijelaskan pada pembahasan di bawah ini. a.
Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Kualitas Tidur Aktivitas fisik merupakan salah satu faktor yang diduga memiliki hubungan dengan kualitas tidur. Pada umumnya setiap hari seseorang akan melakukan aktivitas fisik yang dapat tergolong ke dalam aktivitas rendah, sedang, maupun berat. Aktivitas fisik mencakup semua gerakan tubuh, olahraga, pekerjaan, rekreasi, kegiatan seharihari, sampai dengan berlibur atau waktu senggang (Tandra, 2009). Kegiatan yang termasuk dalam aktivitas fisik yaitu seperti jalan kaki, bersepeda, berkebun, melakukan pekerjaan rumah, berlari, jogging, dll.
Ketika seseorang melakukan aktivitas fisik, maka akan
melibatkan gerakan otot tubuh dan sistem penunjangnya yang membutuhkan sejumlah energi (Azis, 2015).
139
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki aktivitas fisik yang berat dengan jumlah responden sebanyak 81,0%. Kemudian, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang memiliki aktivitas fisik berat sebagian besar memiliki kualitas tidur yang buruk yaitu sebanyak 89,2%. Selain itu, diketahui bahwa pekerja shift wanita yang memiliki aktivitas fisik berat memiliki risiko 1,182 kali mengalami kualitas tidur yang buruk dibandingkan dengan pekerja shift wanita yang memiliki aktivitas fisik rendah sedang. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa aktivitas fisik tidak mempengaruhi kualitas tidur responden. Hasil pada penelitian ini tidak sejalan dengan teori yang ada, dimana secara teoritis aktivitas fisik dapat mempengaruhi kualitas tidur. Seseorang yang melakukan aktivitas fisik dan kemudian mengalami kelelahan akan lebih cepat tertidur karena tahap tidur gelombang lambat (NREM) diperpendek (Uliyah dan Hidayat, 2008). Aktivitas fisik sedang hingga rendah akan memudahkan seseorang untuk mendapatkan tidur yang baik. Berbeda halnya jika seseorang melakukan aktivitas fisik berat. Menurut Rafknowledge (2004), aktivitas fisik terutama olahraga yang dilakukan dan menimbulkan kelelahan yang berlebihan, terlebih jika dilakukan menjelang waktu tidur akan membuat seseorang sulit tidur dan tetap terjaga. Aktivitas fisik berat membutuhkan pengeluaran energi yang besar dan melibatkan kerja otot yang berlebihan. Peningkatan suhu tubuh dan ketegangan otot membutuhkan waktu
140
beberapa jam untuk kembali ke keadaan normal, sehingga membuat pikiran merasa tegang (Azis, 2015). Tidak berhubungannya aktivitas fisik dengan kualitas tidur dapat disebabkan oleh distribusi data kualitas tidur buruk antara pekerja shift wanita yang memiliki aktivitas fisik berat maupun yang memiliki aktivitas fisik rendah sedang tidak berbeda signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk dialami oleh 89,2% pekerja shift wanita yang memiliki aktivitas fisik berat dan 87,5% pekerja shift wanita yang memiliki aktivitas fisik rendah sedang. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita, baik yang memiliki aktivitas fisik berat maupun yang memiliki aktivitas fisik rendah sedang sama-sama memiliki kualitas tidur yang buruk. Perbedaan hasil penelitian ini dengan teori juga dapat disebabkan oleh faktor lain yang lebih dominan dalam mempengaruhi kualitas tidur yang buruk pada pekerja shift wanita. Peneliti berasumsi bahwa faktor yang lebih dominan tersebut yaitu faktor kelelahan, kebiasaan makan, dan menopause. Peneliti berasumsi bahwa tidak adanya hubungan antara aktivitas fisik dengan kualitas tidur pekerja terjadi dikarenakan aktivitas fisik yang dilakukan pekerja tidak menyebabkan kelelahan yang berlebihan, meskipun sebagian besar pekerja masuk ke dalam kategori memiliki aktivitas fisik berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 68,6% pekerja shift wanita yang memiliki aktivitas fisik berat, tidak mengalami kelelahan. Kemudian, 30,4% mengalami
141
kelelahan ringan, dan hanya 1,0% yang mengalami kelelahan sedang. Selain itu, diketahui bahwa tidak ada pekerja shift wanita yang mengalami kelelahan berat. Seseorang yang melakukan aktivitas fisik dan kemudian mengalami kelelahan diketahui akan lebih cepat tertidur. Agustin (2012) mengungkapkan bahwa kelelahan ringan membuat seseorang memperoleh tidur yang mengistirahatkan. Hal ini dikarenakan kelelahan akan mempengaruhi tahapan tidur. Seseorang yang mengalami kelelahan maka tahap tidur gelombang lambat (NREM) diperpendek (Uliyah dan Hidayat, 2008). Berbeda halnya dengan kelelahan berat. Kelelahan berat merupakan kelelahan yang berlebihan. Kelelahan yang berlebihan dapat membuat pekerja tersebut menjadi sulit tidur (Potter dan Perry, 2005). Meskipun memiliki aktivitas fisik yang cenderung berat, namun aktivitas fisik yang dilakukan tidak menyebabkan kelelahan berat maka tidak mengganggu tidurnya. Peneliti juga berasumsi bahwa aktivitas fisik yang dijalankan merupakan aktivitas fisik yang menyenangkan. Kelelahan menengah, terutama akibat pekerjaan atau latihan yang menyenangkan dapat membantu tidur (Agustin, 2012). Sebagian besar pekerja shift wanita merupakan ibu rumah tangga, aktivitas fisik yang dilakukan selain bekerja yaitu meliputi pekerjaan rumah tangga yang secara langsung berinteraksi dengan anak, suami, orang tua, mertua, maupun sanak saudara. Aktivitas tersebut dapat menjadi aktivitas fisik yang
142
menyenangkan. Dengan demikian, meskipun memiliki aktivitas fisik berat namun pekerja shift wanita mengalami kelelahan menengah dan kelelahan tersebut berasal dari aktivitas fisik yang menyenangkan, maka tidak mempengaruhi buruknya kualitas tidur. Pekerja shift wanita yang memiliki aktivitas fisik berat sebagian besar memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan sebelum tidur. Sebanyak 81,4% pekerja shift wanita yang memiliki aktivitas fisik berat, memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan sebelum tidur setelah pulang bekerja. Terpenuhinya kebutuhan asupan makanan dapat mempercepat tidur seseorang (Uliyah dan Hidayat, 2008). Asupan makanan yang adekuat dapat mengembalikan kalori yang dikeluarkan ketika pekerja shift wanita melakukan aktivitas fisik. Asupan makanan juga dapat meningkatkan kadar gula dalam darah. Kadar gula dalam darah akan menghasilkan energi bagi keperluan melaksanakan pekerjaan (Suma'mur, 2009). Kalori dan kadar gula menghasilkan energi yang kemudian digunakan untuk beraktivitas sehingga dapat mencegah kelelahan lebih lanjut. Meskipun memiliki aktivitas fisik yang berat, namun jika terbiasa mengkonsumsi makanan dengan asupan yang cukup maka tidak mempengaruhi kualitas tidur yang buruk pada pekerja shift wanita. Aktivitas fisik tidak berhubungan dengan kualitas tidur juga diduga disebabkan oleh faktor menopause. Wanita yang memasuki masa menopause akan memiliki kecenderungan untuk mengalami gangguan tidur. Hal tersebut terjadi akibat penurunan hormon
143
estrogen dan progesteron. Reseptor hormon tersebut berada di hipotalamus, sehingga mempengaruhi irama sirkadian dan pola tidur secara langsung (Prasadja, 2009). Selain itu, penurunan kadar estrogen dan progesteron juga menyebabkan wanita mengalami gangguan tidur seperti insomnia, hipersomnia, dan mimpi buruk (Gracia dkk., 2011; Sulistiyowati dan Nisa, 2014). Ketika memasuki masa menopause, wanita juga akan mengalami gejala-gejala menopause yang sangat mengganggu kualitas tidurnya. Gejala-gejala tersebut seperti hot flashes (rasa panas), insomnia, perubahan pada tulang, perubahan kardiovaskular, gangguan kejiwaan, sulit tidur, keletihan, dan kekeringan vaginal dll. (Heffner dan Schust, 2006; Muaris, 2004). Hal ini yang kemudian akan membuat pekerja shift wanita secara signifikan mengalami perubahan pola tidur. Insomnia yang dialami wanita ketika memasuki masa menopause juga diketahui merupakan insomnia yang terberat (Prasadja, 2009). Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 63,7% pekerja shift wanita yang memiliki aktivitas fisik berat, belum mengalami menopause. Hal ini yang kemudian diduga menyebabkan pekerja shift wanita tidak mengalami gangguan tidur meskipun memiliki aktivitas fisik berat. Pekerja shift wanita tidak mempunyai kecenderungan memiliki kualitas tidur yang buruk karena belum mengalami menopause. Aktivitas fisik yang berat sangat berisiko menyebabkan kelelahan yang berlebihan. Kelelahan yang berlebihan tersebut yang kemudian
144
akan mengganggu tidur. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya agar aktivitas fisik yang dijalani tersebut tidak menyebabkan kelelahan berlebihan. Agar kualitas tidur pekerja dapat ditingkatkan, maka peneliti memberikan saran kepada pekerja agar segera beristirahat dan tidur yang cukup setelah pulang bekerja terutama setelah bekerja pada shift malam. Hindari melakukan aktivitas fisik lain setelah pulang bekerja. Istirahat dan tidur yang cukup akan mengembalikan stamina tubuh ke dalam kondisi yang optimal, karena dalam keadaan istirahat dan tidur tubuh akan melakukan proses pemulihan (Asmadi, 2008). Dengan demikian, ketika bangun maka tubuh akan siap untuk menjalankan aktivitas. Peneliti juga menyarankan agar pekerja melakukan olahraga secara teratur. Olahraga diketahui dapat mempertinggi pengeluaran hormon pertumbuhan nokturnal, meredakan dengkuran dan keluhan tidur apnea obstruktif (Rafknowledge, 2004). Selain itu, dengan berolahraga maka akan menimbulkan rasa santai dan relaks dari ketegangan otot dan aktivasi saraf simpatis yang terjadi akibat peningkatan kecemasan atau stres yang menyebabkan gangguan tidur (Suastari dkk., 2014). Namun, durasi atau lama olahraga perlu diperhatikan. Olahraga dapat meningkatkan tidur jika dilakukan selama dua puluh menit per hari (Rafknowledge, 2004).
145
4.
Hubungan antara Faktor Konsumsi dengan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Faktor konsumsi dalam penelitian ini meliputi kebiasaan makan dan asupan obat-obatan. Hubungan antara faktor konsumsi dengan kualitas tidur pekerja shift wanita di bagian produksi PT. Sandratex akan dijelaskan pada pembahasan di bawah ini. a.
Hubungan antara Kebiasaan Makan dengan Kualitas Tidur Kebiasaan makan merupakan salah satu faktor yang diduga memiliki hubungan dengan kualitas tidur. Kebiasaan makan yang diteliti merupakan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang dilakukan sebelum tidur setelah pulang bekerja. Makanan yang dikonsumsi pekerja shift wanita sebelum tidur setelah pulang bekerja diketahui dapat membantu atau bahkan mempersulit tidur. Terpenuhinya kebutuhan asupan makanan dapat mempercepat tidur, namun jika asupanya tidak adekuat maka dapat menyebabkan seseorang menjadi sulit tidur (Uliyah dan Hidayat, 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan yaitu sebanyak 79,4%. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan sebelum tidur setelah pulang bekerja. Selain itu, diketahui bahwa sebagian besar pekerja shift wanita memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat tinggi seperti nasi, roti gandum, ubi jalar, talas, biskuit, sereal, mie basah, kentang, jagung, dll. sebelum tidur
146
setelah pulang bekerja. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan sebelum tidur dan asupan makanan yang dikonsumsinya merupakan asupan makanan yang adekuat. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk lebih banyak dialami oleh pekerja shift wanita yang yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan dengan persentase sebesar 88,0%. Berdasarkan hasil uji statistik juga diketahui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan makan dengan kualitas tidur. Selain itu, diketahui bahwa pekerja shift wanita yang memiliki kebiasaan tidak mengkonsumsi makanan memiliki risiko 1,636 kali mengalami kualitas tidur yang buruk dibandingkan dengan pekerja shift wanita yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan makan tidak mempengaruhi kualitas tidur. Hasil pada penelitian ini tidak sejalan dengan teori yang ada, dimana secara teoritis kebiasaan makan dapat mempengaruhi kualitas tidur. Menurut Uliyah dan Hidayat (2008), terpenuhinya kebutuhan asupan makanan dapat mempercepat tidur dan sebaliknya jika kebutuhan akan asupan makanan tidak adekuat maka dapat menyebabkan seseorang menjadi sulit tidur. Asupan makanan yang adekuat akan menyuplai kadar gula darah dalam tubuh. Penurunan kadar gula darah dapat menyebabkan seseorang kesulitan tidur di malam hari (Rafknowledge, 2004).
147
Tidak berhubungannya kebiasaan makan dengan kualitas tidur dapat disebabkan oleh distribusi data kualitas tidur buruk antara pekerja shift wanita yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi maupun yang memiliki kebiasaan tidak mengkonsumsi makanan tidak berbeda signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk dialami oleh 92,3% pekerja yang memiliki kebiasaan tidak mengkonsumsi makanan dan 88,0% pekerja yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja
shift wanita, baik yang
memiliki kebiasaan
mengkonsumsi maupun tidak mengkonsumsi makanan sama-sama memiliki kualitas tidur yang buruk. Perbedaan hasil penelitian ini dengan teori juga dapat disebabkan oleh faktor lain yang lebih dominan dalam mempengaruhi kualitas tidur yang buruk pada pekerja shift wanita. Peneliti berasumsi bahwa faktor yang lebih dominan tersebut yaitu faktor kelelahan dan jenis shift kerja. Pekerja
shift
wanita
yang
memiliki
kebiasaan
tidak
mengkonsumsi makanan, 61,5% diantaranya tidak mengalami kelelahan. Selain itu, 30,8% lainnya mengalami kelelahan ringan dan hanya 7,7% yang mengalami kelelahan sedang. Tidak ada pekerja shift wanita yang mengalami kelelahan berat. Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan sebelumnya, diketahui bahwa asupan makanan dapat meningkatkan kadar gula darah. Kadar gula dalam darah dibutuhkan pekerja sebagai bahan bakar untuk menghasilkan
148
energi bagi keperluan melaksanakan pekerjaan (Suma'mur, 2009). Energi tersebut akan menjadi sumber tenaga untuk melakukan aktivitas sehingga akan mencegah maupun mengurangi kelelahan yang berlebihan. Hasil menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja yang memiliki kebiasaan tidak mengkonsumsi makanan tidak mengalami kelelahan atau hanya mengalami kelelahan ringan dan sedang. Secara teoritis, kelelahan menengah dapat membantu tidur sehingga pekerja akan memperoleh tidur yang mengistirahatkan (Agustin, 2012). Kelelahan dapat membuat seseorang lebih cepat tidur dikarenakan tahap tidur gelombang lambatnya (NREM) diperpendek (Uliyah dan Hidayat, 2008). Meskipun pekerja memiliki kebiasaan tidak mengkonsumsi makanan sebelum tidur setelah pulang bekerja, namun jika pekerja shift wanita mengalami kelelahan ringan maka dapat membantu tidurnya. Berbeda halnya jika pekerja shift wanita mengalami kelelahan berat. Hal ini dikarenakan kerja yang meletihkan atau penuh stres dapat menyebabkan seseorang mengalami kelelahan yang berlebihan sehingga membuat pekerja tersebut menjadi sulit tidur (Potter dan Perry, 2005). Dengan demikian, meskipun memiliki kebiasaan tidak mengkonsumsi makanan, namun jika pekerja shift wanita tidak mengalami kelelahan yang berlebihan maka tidak mengganggu tidurnya. Faktor kelelahan juga didukung oleh faktor jenis shift kerja. Shift kerja dapat memberikan pengaruh terhadap kebiasaan mengkonsumsi
149
makan. Pekerja yang bekerja secara shift pada umumnya dapat mengalami penurunan nafsu makan dan gangguan pencernaan (Saftarina dan Hasanah, 2014). Jenis shift kerja yang dapat mempengaruhi kebiasaan makan yaitu adalah shift malam. Jenis shift kerja tersebut akan mempengaruhi kebiasaan mengkonsumsi makanan dan menyebabkan gangguan pada pencernaan. Pada saat malam hari, tubuh memberikan sinyal untuk segera tidur. Pada saat yang sama pula, tubuh akan mengalami penurunan dan perlambatan metabolisme tubuh (Prasadja, 2009). Bekerja pada shift malam memaksa tubuh untuk meningkatkan kinerja organ termasuk organ pencernaan untuk tetap bekerja, sedangkan secara fisiologis pada waktu tersebut organ sudah mengalami penurunan kinerja. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang memiliki kebiasaan tidak mengkonsumsi makanan sebagian besar bekerja pada shift pagi dan siang dengan persentase sebesar 34,6% dan 38,5%. Dengan demikian, meskipun tidak mengkonsumsi makanan namun tidak bekerja pada shift malam, maka tidak terjadi perubahan kebiasaan makan, sehingga kualitas tidur juga tidak akan terganggu. Kebiasaan makan sangat penting untuk diperhatikan. hal ini dikarenakan asupan makanan juga merupakan kebutuhan fisiologis yang wajib terpenuhi setiap harinya. Agar kebiasaan makan tidak menyebabkan kualitas tidur yang buruk pada pekerja shift wanita, maka peneliti memberikan saran kepada perusahaan agar perusahaan
150
memberikan makanan dan minuman yang bergizi kepada pekerja wanita terutama yang bekerja pada shift malam. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang mengatur tentang kewajiban memberikan makanan dan minuman yang bergizi jika mempekerjakan pekerja/buruh wanita antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. KEP.102/MEN/VI/2004 juga mengatur mengenai pemberian makanan dan minuman yang sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila kerja lembur dilakukan selama tiga jam atau lebih dan pemberian makan dan minum tersebut tidak dapat digantikan dengan uang. Dengan demikian, pekerja terjamin asupan makanan selama ia bekerja, sehingga dapat menjaga kadar gula darah serta energi yang dibutuhkan untuk aktivitas pekerjaan. Selain itu, perusahaan juga perlu memberikan pengetahuan kepada pekerja mengenai asupan gizi yang baik dan sesuai dengan kebutuhan pekerja shift wanita, agar mereka dapat mengatur pola makan yang baik dalam kesehariannya. b. Hubungan antara Asupan Obat-Obatan dengan Kualitas Tidur Asupan obat-obatan merupakan salah satu faktor yang diduga memiliki hubungan dengan kualitas tidur. Banyak obat resep atau obat bebas yang diketahui dapat menimbulkan rasa kantuk sebagai efek sampingnya. Obat tersebut dikonsumsi untuk mengatasi kesulitan tidur. Selain itu, obat juga dikonsumsi dengan tujuan untuk mengobati penyakit tertentu. Namun, diketahui bahwa terdapat beberapa obat yang dapat menimbulkan rasa kantuk yang tidak tertahankan atau
151
bahkan kesulitan tidur. Jika obat-obatan tersebut dikonsumsi terus menerus, tentu dapat mengubah pola tidur secara permanen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang tidak mengkonsumsi obat-obatan yaitu sebanyak 80,2%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita tidak mengkonsumsi obat-obatan yang mempengaruhi tidur. Kemudian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang mengkonsumsi obat-obatan, seluruhnya (100%) memiliki kualitas tidur yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa obatobatan yang dikonsumsi pekerja shift wanita menyebabkan pekerja shift wanita mengalami kesulitan tidur atau menjadi sering mengantuk. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebanyak 6,3% pekerja shift wanita sedang mengkonsumsi obat-obatan yang memberikan efek samping
rasa
kantuk
dan sebanyak
1,6%
lainnya
sedang
mengkonsumsi obat-obatan yang memberikan efek samping kesulitan tidur. Kemudian, diketahui bahwa sebanyak 15,9% pekerja shift wanita mengkonsumsi obat tidur untuk membantu tidur (baik resep mau pun dari toko). Dari 15,9% pekerja shift wanita yang mengkonsumsi obat tidur tersebut, diketahui bahwa 9,5% di antaranya mengkonsumsi obat tersebut 1 kali seminggu; 5,6% mengkonsumsi 2 kali seminggu; dan 0,8% mengkonsumsi lebih dari sama dengan 3 kali seminggu.
152
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara obat-obatan dengan kualitas tidur responden. Namun, nilai OR pada variabel ini tidak dapat diketahui dikarenakan terdapat distribusi angka 0 pada kategori responden yang mengkonsumsi obat-obatan dan memiliki kualitas tidur baik. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan
bahwa
asupan obat-obatan
mempengaruhi kualitas tidur responden. Hasil pada penelitian ini diketahui tidak sejalan dengan teori yang ada, dimana secara teoritis diketahui bahwa obat-obatan dapat mempengaruhi tidur. Gangguan tidur disebabkan oleh obat-obatan yang dapat mengurangi tidur REM dan membuat seseorang menjadi lebih sulit tertidur (Gracia dkk., 2011). Beberapa jenis obat dapat mengganggu fisiologi tidur, misalnya analgetika (yang mengandung kofein), anoreksansia, glukokortikoida, agonis dopamin, betablockers, dan beberapa obat psikotropik (fluoksetin, risperidon, sindrom penarikan benzodiazepin) (Tjay dan Rahardja, 2007). Jenis obat lain yang juga dapat mempengaruhi proses tidur yaitu jenis diuretik yang dapat menyebabkan insomnia; antidepresan yang dapat menekan REM; kafein yang dapat meningkatkan saraf simpatis sehingga menyebabkan kesulitan untuk tidur; golongan beta bloker yang dapat berefek pada timbulnya insomnia; dan golongan narkotik yang dapat menekan REM sehingga mudah mengantuk (Uliyah dan Hidayat, 2008).
153
Seseorang pada umumnya mengkonsumsi obat tidur untuk membantu mempermudah tidurnya. Hal ini biasa dilakukan oleh orang yang mengalami kesulitan tidur. Obat tidur bekerja untuk memberikan rangsangan rasa kantuk agar yang mengkonsumsinya dapat tertidur. Obat tidur pada umumnya menekan fase 3 dan 4 dari SWS serta tidur REM sehingga sekresi growth hormone menurun (Tjay dan Rahardja, 2007). Sekresi growth hormone atau hormon pertumbuhan terjadi sewaktu tidur yaitu pada fase 3 dan 4 SWS dan tidur REM, dimana hormon tersebut berfungsi penting sekali bagi pertumbuhan tubuh, sintesa protein, dan stimulasi reabsorpsi asam amino oleh jaringan (Tjay dan Rahardja, 2007). Tidak berhubungannya asupan obat-obatan dengan kualitas tidur dapat disebabkan oleh distribusi data kualitas tidur buruk antara pekerja shift wanita yang mengkonsumsi maupun yang tidak mengkonsumsi obat-obatan tidak berbeda signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk dialami oleh 100% pekerja yang mengkonsumsi obat-obatan dan 86,1% pekerja yang tidak mengkonsumsi obat-obatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita, baik yang mengkonsumsi maupun tidak mengkonsumsi obat-obatan sama-sama memiliki kualitas tidur yang buruk. Perbedaan hasil penelitian ini dengan teori juga dapat disebabkan oleh faktor lain yang lebih dominan dalam mempengaruhi kualitas
154
tidur yang buruk pada pekerja shift wanita. Peneliti berasumsi bahwa faktor yang lebih dominan tersebut yaitu faktor menopause. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang mengkonsumsi obat-obatan sebagian besar belum mengalami menopause. Kencederungan akan kualitas tidur yang buruk disebabkan oleh penurunan kadar hormon estrogen dan progesteron, serta gangguan akibat gejala yang muncul ketika masa menopause. Reseptor hormon estrogen dan progesteron diketahui terletak pada bagian tersendiri di hipotalamus, dimana posisi tersebut mempengaruhi irama sirkadian dan pola tidur secara langsung (Prasadja, 2009). Selain itu, gangguan pola tidur seperti insomnia, hipersomnia, dan mimpi buruk akan terjadi seiring dengan penurunan kadar estrogen dan progesteron (Gracia dkk., 2011; Sulistiyowati dan Nisa, 2014). Gangguan tidur yang umum terjadi ketika memasuki masa menopause adalah insomnia. Insomnia yang dialami wanita ketika memasuki masa menopause merupakan insomnia yang terberat (Prasadja, 2009). Gejala-gejala yang muncul akibat penurunan hormon juga dapat memperburuk kualitas tidur wanita. Gejala-gejala tersebut seperti hot flashes (rasa panas), insomnia, perubahan pada tulang, perubahan kardiovaskular, gangguan kejiwaan, sulit tidur, keletihan, dan kekeringan vaginal dll. (Heffner dan Schust, 2006; Muaris, 2004). Pekerja shift wanita yang mengkonsumsi obat-obatan sebagian besar belum mengalami menopause dengan persentase sebesar 56,0%.
155
Hal
tersebut
yang
kemudian
diduga
menyebabkan
tidak
berhubunganya asupan obat-obatan dengan kualitas tidur yang buruk. Meskipun mengkonsumsi obat-obatan yang dapat mempengaruhi kualitas tidur, namun jika pekerja shift wanita belum mengalami menopause, maka ia tidak mengalami kualitas tidur buruk. Obat-obatan yang memiliki efek terhadap tidur dan jika rutin dikonsumsi oleh pekerja shift wanita tanpa dosis yang tepat maka dapat menimbulkan permasalahan terhadap kualitas tidurnya. Oleh karena itu, peneliti memberikan saran kepada pekerja agar tidak mengkonsumsi obat tidur. Menurut Colligan dan Rosa (1997), konsumsi obat tidur lebih dari satu atau dua kali seminggu tidak dianjurkan. Hal ini dikarenakan konsumsi obat tidur akan memberikan efek yang berlangsung lama, dimana orang yang mengkonsumsinya akan terus merasakan kantuk bahkan setelah terbangun dari tidur (Amran dkk., 2010). Dosis obat tidur yang lebih besar juga akan menyebabkan kantuk, bicara sempoyongan, dan lebih jauh lagi dapat menyebabkan koma hingga kematian (Martono dan Joewana, 2006). Jika obat tidur dikonsumsi terus-menerus dalam jangka waktu yang lama tentu akan merubah pola tidur dan menimbulkan gangguan tidur permanen. Peneliti juga memberikan saran kepada pekerja agar tidak mengkonsumsi obat-obatan di luar resep maupun anjuran dokter. Menurut Thay dan Rahardja (2007), efek obat antara satu orang dengan orang lainnya berbeda dipengaruhi oleh faktor individual.
156
Faktor tersebut yang kemudian memberikan efek atau respon yang berbeda sesuai dengan kepekaan masing-masing orang terhadap obat tersebut. Inilah yang kemudian menyebabkan dosis obat antara satu orang dengan orang lainnya tidak dapat memberikan efek yang sama. Konsumsi obat dengan dosis yang besar juga diketahui akan menyebabkan ketergantungan (Prijosaksono dan Sembel, 2002). Oleh karena itu, konsumsi obat sesuai dengan resep dokter sangat penting karena bertujuan agar obat memberikan efek dengan dosis yang sesuai dan mencegah ketergantungan, mencegah peningkatan dosis serta agar sesuainya efek obat yang ditimbulkan dengan yang diharapkan.
5.
Hubungan antara Faktor Fisiologis dengan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Faktor fisiologis dalam penelitian ini meliputi penyakit fisik, hipersomnia,
sindrom pramenstruasi,
menopause,
dan kelelahan.
Hubungan antara faktor fisiologis dengan kualitas tidur pekerja shift wanita di bagian produksi PT. Sandratex akan dijelaskan pada pembahasan di bawah ini. a.
Hubungan antara Penyakit Fisik dengan Kualitas Tidur Penyakit fisik merupakan salah satu faktor yang diduga memiliki hubungan dengan kualitas tidur. Terdapat beberapa penyakit yang dapat meningkatkan atau bahkan mengurangi kebutuhan tidur seseorang. Orang yang sedang sakit akan membutuhkan waktu istirahat dan tidur yang lebih banyak dikarenakan tubuhya sedang
157
bekerja keras untuk menyediakan energi agar dapat segera pulih, namun banyak aspek penyakit yang juga dapat membuat seseorang menjadi sulit dalam memenuhi kebutuhan tidur dan istirahat (Nurlela dkk., 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang memiliki penyakit fisik yaitu sebanyak 75,4%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita memiliki
penyakit
fisik.
Kemudian,
hasil
penelitian
juga
menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk banyak dialami oleh pekerja shift wanita yang memiliki penyakit fisik, yaitu sebanyak 92,6%. Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara penyakit fisik dengan kualitas tidur. Jika dilihat dari hasil uji keeratan hubungan, diketahui bahwa pekerja shift wanita yang memiliki penyakit fisik memiliki risiko 3,667 kali mengalami kualitas tidur yang buruk dibandingkan dengan pekerja shift wanita yang tidak memiliki penyakit fisik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penyakit fisik mempengaruhi kualitas tidur responden. Dengan demikian, hasil pada penelitian ini sejalan dengan teori yang ada. Secara teoritis, penyakit fisik mempengaruhi kualitas tidur seseorang. Lanywati (2001) menyebutkan bahwa penyakit akan mengganggu fungsi organ tubuh dan dapat menyebabkan seseorang menjadi sulit untuk memulai tidur (initial insomnia). Penyakit fisik pada umumnya akan menimbulkan gangguan tidur akibat keluhan kesehatan yang ditimbulkannya.
158
Keluhan yang ditimbulkan penyakit tersebut berbeda-beda, seperti nyeri, sesak nafas, batuk, ketidaknyamanan, mual, muntah, cemas, depresi, dll. (Nurlela dkk., 2009; Potter dan Perry, 2005; Bukit, 2005). Diketahui bahwa keseluruhan keluhan yang ditimbulkan tersebut dapat mempengaruhi tidur. Keluhan tersebut dapat membuat seseorang menjadi sulit tidur atau sering terbangun. Pada penelitian ini diketahui terdapat beberapa gejala atau keluhan yang mengganggu tidur pekerja shift wanita. Sebanyak 22,2% memiliki penyakit yang membuat sangat mudah atau sulit tidur; 38,1% sulit tidur akibat merasa nyeri pada bagian tubuh tertentu; 50,0% sering terbangun di tengah malam akibat ingin buang air kecil; dan 9,5% merasa tidak dapat bernafas dengan nyaman saat tidur. Keluhan penyakit tersebut yang kemudian diduga menyebabkan gangguan tidur pada pekerja shift wanita. Rasa
nyeri diketahui dapat
mengganggu
kualitas tidur
dikarenakan akan membuat seseorang menjadi tidak nyaman (Nurlela dkk., 2009). Selain itu, gangguan pernafasan juga akan menyebabkan gangguan tidur akibat perubahan irama pernafasan, dan pada seseorang yang pilek akan mengalami kongesti nasal, drainase sinus, dan sakit tenggorok (Potter dan Perry, 2005). Bukit (2005) juga mengungkapkan bahwa penyebab utama gangguan tidur pada tingkat gangguan yang tinggi adalah nyeri, sesak nafas, dan batuk. Beberapa penyakit yang menimbulkan gangguan tidur yaitu seperti gagal jantung, penyakit pernafasan, diabetes mellitus tipe 2, diare, infeksi
159
pernafasan, limpa, pencernaan, dispepsia, serangan angina, MCI, kanker, dll. Menurut Occupational Health Clinics for Ontario Workers Inc (2005) dalam Agustin (2012), keluhan kesehatan yang biasa terjadi pada pekerja shift ialah gangguan sistem pencernaan (nyeri peru, konstipasi, diare, dan kehilangan nafsu makan), kelelahan, insomnia, stres, dan gangguan pola tidur. Secara teoritis, pekerja wanita yang bekerja pada shift malam juga berisiko mengalami penyakit kanker payudara akibat produksi hormon melatonin yang menjadi tidak sesuai (Agustin, 2012). Penyakit kanker payudara memiliki gejala seperti timbul rasa sakit atau nyeri pada payudara, benjolan yang semakin membesar, perubahan bentuk dan pembengkakan payudara, timbul luka pada puting, kulit payudara menjadi keriput, dan keluar cairan atau darah dari puting (Mardiana, 2009). Gejala atau keluhan kesehatan yang dialami tersebut yang kemudian mengganggu tidur. Namun, pada penelitian ini tidak dikaji penyakit apa saja yang dialami pekerja shift wanita, sehingga tidak dapat dilakukan analisis selanjutnya. Gangguan tidur yang dialami pekerja akan semakin buruk terlebih jika penyakit tidak ditangani dan diatasi dengan baik. Gangguan tidur akan meningkat seiring dengan keluhan penyakit yang semakin memburuk. Oleh karena itu, dibutuhkan penanganan yang tepat agar dapat mencegah dan mengobati penyakit yang dirasakan. Peneliti memberikan saran agar perusahaan melakukan
160
pemeriksaan kesehatan secara berkala kepada pekerja shift wanita, sehingga dapat diketahui penyakit apa saja yang diderita pekerja terutama penyakit yang dapat mengganggu pekerja shift wanita. Dengan demikian, dapat dilakukan penanganan yang tepat terhadap penyakit yang dirasakan. Selain itu, juga dapat ditentukan upaya pelayanan kesehatan yang lebih komprehensif sesuai dengan penyakit yang diderita pekerja shift wanita. Peneliti juga memberikan saran kepada perusahaan agar melakukan upaya pelayanan kesehatan kerja secara komprehensif. PT. Sandratex diketahui belum melaksanakan upaya pelayanan kesehatan kerja di perusahaan. Permenaker No. 03 tahun 1982 menyebutkan bahwa perusahaan wajib memberikan pelayanan kesehatan kerja kepada semua tenaga kerjanya yang meliputi upaya preventif, promotif,
kuratif,
dan
rehabilitatif.
Kemudian,
dalam
KEP.22/DJPPK/V/2008 menyebutkan bahwa perusahaan dapat menyelenggarakan sendiri pelayanan kesehatan kerjanya dalam bentuk klinik atau rumah sakit perusahaan, atau juga dapat bekerjasama dengan pihak di luar perusahaan seperti rumah sakit, puskesmas, poliklinik, balai pengobatan, Perusahaan Jasa K3 (PJK3) bidang kesehatan kerja, dan pelayanan kesehatan lainnya yang telah memiliki perijinan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pelaksanaan upaya pelayanan kesehatan yang komprehensif di tempat kerja dapat mengatasi penyakit yang dialami pekerja, sehingga dapat mencegah
161
penyakit, mengurangi gejala atau keluhan kesehatan, serta mencegah komplikasi lebih lanjut. b. Hubungan antara Hipersomnia dengan Kualitas Tidur Hipersomnia merupakan salah satu faktor yang diduga memiliki hubungan dengan kualitas tidur. Hipersomnia atau yang biasa dikenal dengan istilah EDS (Excessive Daytime Sleepiness) merupakan keadaan dimana seseorang mengantuk di siang hari pada beberapa situasi yang bersifat subjektif (Rachmawati, 2013). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang tidak mengalami hipersomnia yaitu sebanyak 72,2%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita tidak mengalami hipersomnia. Kemudian hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk sebagian besar dialami oleh pekerja shift wanita yang tidak mengalami hipersomnia dengan persentase 90,1%. Berdasarkan hasil uji statistik juga diketahui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara hipersomnia dengan kualitas tidur. Selain itu, diketahui bahwa pekerja shift wanita yang mengalami hipersomnia dapat mencegah kualitas tidur yang buruk sebesar 0,659 kali dibandingkan dengan pekerja shift wanita yang tidak mengalami hipersomnia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa hipersomnia tidak mempengaruhi kualitas tidur pekerja shift wanita. Hasil pada penelitian ini tidak sejalan dengan teori, dimana secara teoritis menyebutkan bahwa gangguan tidur ini merupakan salah satu gejala
162
yang paling sering berhubungan dengan tidur (Rachmawati, 2013). Hipersomnia membuat penderitanya tidak mampu mempertahankan keadaan siaga selama periode terjaga (Slater dan Steier, 2012). Meskipun penderitanya mendapatkan tidur dengan waktu tidur yang lebih lama, namun selalu merasa lesu dan letih sepanjang hari (Apriadji, 2007). Menurut Prasadja (2009), hipersomnia terjadi disebabkan oleh buruknya kualitas tidur akibat gangguan tidur yang diderita seperti insomnia, sindrom tungkai gelisah, dan sleep apnea. Namun, penyebab yang paling sering dari hipersomnia yaitu tidur yang tidak adekuat yang terjadi secara kronik (Rachmawati, 2013). Selain disebabkan oleh kualitas tidur yang buruk, hipersomnia juga dapat menyebabkan kualitas tidur yang buruk. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan mempertahankan keadaan siaga selama proses terjaga akan merubah pola tidur. Jika berlangsung terus-menerus, maka perubahan pola tidur tersebut akan menimbulkan gangguan tidur secara permanen. Tidak berhubungannya hipersomnia dengan kualitas tidur dapat disebabkan oleh distribusi data kualitas tidur buruk antara pekerja shift wanita yang mengalami maupun tidak mengalami hipersomnia tidak berbeda signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk dialami oleh 85,7% pekerja yang mengalami hipersomnia dan 90,1% pekerja yang tidak mengalami hipersomnia. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita,
163
baik yang mengalami maupun tidak mengalami hipersomnia samasama memiliki kualitas tidur yang buruk. Perbedaan hasil penelitian ini dengan teori juga dapat disebabkan oleh faktor lain yang lebih dominan dalam mempengaruhi kualitas tidur yang buruk pada pekerja shift wanita. Peneliti berasumsi bahwa faktor yang lebih dominan tersebut yaitu faktor jenis shift kerja dan menopause. Hipersomnia diketahui berkaitan erat dengan gaya hidup seseorang. Gaya hidup yang dapat menyebabkan seseorang mengalami hipersomnia salah satunya yaitu shift kerja (Prasadja, 2009). Shift kerja dapat mengubah pola tidur, sehingga tidur yang didapatkan pekerja menjadi tidak adekuat. Shift kerja yang umumnya berisiko menyebabkan gangguan tidur yaitu adalah shift malam. Bekerja pada shift malam membuat pekerja mengalami pergeseran pola tidur. Pada penderita hipersomnia, hal ini tentu dapat menimbulkan
pergeseran
waktu
istirahat,
sehingga
akan
memperburuk hipersomnia yang dialami. Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang mengalami hipersomnia sebagian besar tidak bekerja pada shift malam. Pekerja shift wanita yang bekerja pada shift malam dan mengalami hipersomnia yaitu sebanyak 34,3%, sementara 40,0% lainnya bekerja pada shift pagi dan 25,7% pada shift siang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pekerja shift wanita yang mengalami hipersomnia sebagian besar tidak bekerja pada shift
164
malam yang berisiko menyebabkan gangguan tidur. Hal tersebut yang kemudian diduga menyebabkan hipersomnia tidak mempengaruhi kualitas tidur pekerja. Jenis shift kerja yang dialami pekerja shift wanita juga didukung oleh faktor menopause. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang mengalami hipersomnia sebagian besar belum mengalami
menopause
dengan
persentase
sebesar
62,9%.
Hipersomnia diketahui erat kaitannya dengan menopause. Hal ini dikarenakan hipersomnia dan menopause terjadi ketika wanita mengalami penurunan kadar estrogen dan progesteron (Gracia dkk., 2011). Dengan demikian, hipersomnia yang disertai dengan menopause akan meningkatkan keluhan tidur akibat gejala yang ditimbulkan dari menopause dirasakan bersamaan dengan gangguan tidur hipersomnia. Wanita yang sudah mengalami menopause akan memiliki kecenderungan mengalami gangguan tidur akibat penurunan hormon estrogen dan progesteron. Irama sirkadian dan pola tidur secara langsung akan terpengaruh akibat posisi reseptor hormon estrogen dan progesteron yang terletak pada bagian tersendiri di hipotalamus (Prasadja, 2009). Selain itu, insomnia yang dialami wanita ketika memasuki masa menopause juga diketahui merupakan insomnia yang terberat (Prasadja, 2009). Gangguan tidur juga akan semakin diperparah dengan munculnya gejala-gejala menopause. Gejala-gejala tersebut seperti hot flashes
165
(rasa
panas),
insomnia,
perubahan pada
tulang,
perubahan
kardiovaskular, gangguan kejiwaan, sulit tidur, keletihan, dan kekeringan vaginal dll. (Heffner dan Schust, 2006; Muaris, 2004). Hal ini yang kemudian membuat pekerja shift wanita secara signifikan mengalami perubahan pola tidur. Namun, dikarenakan hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang mengalami
hipersomnia
sebagian
besar
belum
mengalami
menopause, maka hal ini yang kemudian diduga menyebabkan wanita tidak memiliki kecenderungan mengalami kualitas tidur yang buruk. Hipersomnia bersifat kronis, yang artinya membutuhkan waktu yang lama dengan paparan determinan yang terus berulang. Perlu dilakukan upaya agar jumlah penderitanya tidak terus mengalami peningkatan dan agar tidak memberikan dampak terhadap buruknya kualitas tidur pada pekerja shift wanita. Oleh karena itu, peneliti memberikan saran kepada pekerja agar tidak mengkonsumsi kafein pada saat tubuh merasa kantuk dan sebelum tidur. Pada umumnya, kafein dapat ditemukan dalam minuman kopi atau coke, dan sejumlah kecil cokelat dan teh (Rafknowledge, 2004). Konsumsi kafein dapat meningkatkan kewaspadaan dan membuat seseorang tetap terjaga ketika melakukan aktivitas atau pekerjaan. Konsumsi kafein > 250 mg dapat menyebabkan sindrom intoksikasi seperti gejala cemas, tegang, diuresis, takikardia, agitasi, dan insomnia (Sumirta dan Laraswati, 2014). Hal ini disebabkan oleh
166
kinerja kafein yang dapat meningkatkan pengeluaran norepinefrin, epinefrin, dopamine, dan serotonin (Sumirta dan Laraswati, 2014). Konsumsi kafein pada saat tubuh merasa kantuk dan dikonsumsi sebelum tidur akan meningkatkan keterjagaan dan tubuh menjadi sulit untuk memulai tidur. Efek kafein juga diketahui baru akan menghilang seluruhnya dalam waktu 6-8 jam setelah konsumsi (NHLBI, 2011). Selain itu, Peneliti juga memberikan saran agar pekerja memperbaiki pola tidur dengan tidur malam lebih awal. Hal tersebut akan memperbaiki waktu tidur secara bertahap (Prasadja, 2009). c.
Hubungan antara Sindrom Pramenstruasi dengan Kualitas Tidur Sindrom pramenstruasi merupakan salah satu faktor yang diduga memiliki hubungan dengan kualitas tidur. Ketika sudah mengalami menstruasi, beberapa wanita dapat mengalami gejala-gejala yang muncul sebelum hingga memasuki masa menstruasi. Gejala tersebut yang kemudian dikenal dengan sindrom pramenstruasi atau Premenstrual Syndrome (PMS). PMS adalah kumpulan gejala fisik, psikologis, dan emosi yang terkait dengan siklus menstruasi wanita (Sarah dan Moesijanti, 2008). Gejala yang ditimbulkan ketika mengalami PMS dapat bermacam-macam. Gejala tersebut seperti sakit kepala, nyeri payudara, ketidakstabilan emosional, dan berkurangnya konsentrasi (Prasadja, 2009). Namun, tidak semua wanita akan mengalami gejala PMS. Wanita yang mengalami gejala pun antara satu wanita dengan
167
wanita lainnya akan mengalami gejala yang berbeda-beda dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda pula. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita tidak memiliki gejala hingga gejala ringan PMS, dengan jumlah pekerja sebanyak 77,0%. Kemudian, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk sebagian besar dialami oleh pekerja shift wanita yang tidak mengalami gejala hingga gejala ringan PMS, yaitu sebanyak 88,7%. Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara PMS dengan kualitas tidur. Kemudian, hasil uji keeratan hubungan menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang mengalami gejala sedang hingga gejala berat dapat memiliki risiko 1,109 kali mengalami kualitas tidur yang buruk dibandingkan dengan pekerja shift wanita yang tidak mengalami gejala hingga gejala ringan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa PMS tidak mempengaruhi kualitas tidur pekerja shift wanita. Hasil pada penelitian ini tidak sejalan dengan teori yang ada. Secara alamiah, ketika wanita mengalami PMS maka akan terjadi penurunan kualitas tidur pada saat fase luteal dan awal masa folikular yang menyebabkan wanita
akan
mengalami
gangguan
tidur
berupa
insomnia,
hipersomnia, dan mimpi buruk (Gracia dkk., 2011). Hal ini disebabkan oleh penurunan kadar serotonin pada fase luteal yang terjadi bersamaan dengan penurunan kadar estrogen. Hormon serotonin menyiapkan otak dan seluruh tubuh untuk masuk ke tahap
168
tidur dalam dengan cara mengurangi sistem aktivitas tubuh, sehingga penurunan hormon ini akan mempengaruhi kualitas tidur seseorang (Prasadja, 2009). Reseptor hormon estrogen dan progesteron terletak pada bagian tersendiri di hipotalamus, dimana posisi tersebut mempengaruhi irama sirkadian dan pola tidur secara langsung (Prasadja, 2009). Irama sirkadian adalah dasar pada siklus tidur dan bangun harian (Murits dan Widodo, 2008). Ketika irama sirkadian seseorang mengalami perubahan, maka secara otomatis juga akan mempengaruhi kualitas tidur. Secara teoritis, gejala yang ditimbulkan ketika PMS juga dapat membuat wanita mengalami gangguan tidur. Hal ini dikarenakan gejala tersebut akan membuat wanita merasakan ketidaknyamanan. Gejala tersebut akan dirasakan pada 7-10 hari sebelum datangnya haid dan memuncak pada saat haid timbul (Sarah dan Moesijanti, 2008). Oleh karena itu, selama gejala tersebut muncul dengan tingkatan sedang hingga berat, maka wanita akan mengalami gangguan tidur. Tidak berhubungannya PMS dengan kualitas tidur dapat disebabkan oleh distribusi data kualitas tidur yang buruk antara pekerja shift wanita yang mengalami gejala sedang hingga gejala berat maupun yang tidak mengalami gejala hingga gejala ringan tidak berbeda signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk dialami oleh 89,7% pekerja shift wanita yang mengalami gejala sedang hingga gejala berat dan 88,7% pekerja shift
169
wanita yang tidak mengalami gejala hingga gejala ringan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita, baik yang mengalami gejala sedang hingga gejala berat maupun yang tidak mengalami gejala hingga gejala ringan sama-sama memiliki kualitas tidur yang buruk. Perbedaan hasil penelitian ini dengan teori juga dapat disebabkan oleh faktor lain yang lebih dominan dalam mempengaruhi kualitas tidur yang buruk pada pekerja shift wanita. Peneliti berasumsi bahwa faktor yang lebih dominan tersebut yaitu faktor kelelahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 37,9% pekerja yang mengalami PMS dengan gejala sedang hingga berat, tidak mengalami kelelahan. Kemudian, sebanyak 51,7% mengalami kelelahan ringan dan 10,3% mengalami kelelahan sedang. Tidak ada pekerja shift wanita yang mengalami kelelahan berat. Kelelahan diketahui dapat menyebabkan siklus menstruasi menjadi tidak lancar (Subakti, 2007). Selain itu, kelelahan berat juga dapat meningkatkan gejala PMS yang dialami pekerja shift wanita. Kelelahan berat dapat merubah pola menstruasi menjadi semakin panjang atau bahkan semakin pendek. Seringnya wanita mengalami menstruasi dapat meningkatkan kemungkinan wanita mengalami gejala PMS. Hal tersebut yang kemudian mengganggu tidur wanita. Pekerjaan yang meletihkan dan penuh dengan stres juga dapat menyebabkan seseorang mengalami kelelahan yang berlebihan sehingga membuat pekerja tersebut menjadi sulit tidur (Potter dan
170
Perry, 2005). Tidak berhubunganya PMS dengan kualitas tidur diduga disebabkan oleh pekerja shift wanita yang mengalami PMS dengan gejala sedang hingga berat tidak mengalami kelelahan berat. Hal tersebut yang kemudian membuat kualitas tidur menjadi tidak terganggu. Gejala PMS dapat saja muncul dan mengganggu tidur pekerja, mengingat sebagian besar pekerja shift wanita masih mengalami menstruasi. Oleh karena itu, peneliti memberikan saran kepada pekerja shift wanita agar menghindari stres emosional serta meningkatkan kemampuan adaptasi dan koping terhadap stres. Adaptasi dan koping stres yang baik dapat membuat fikiran dan perasaan menjadi tenang. Fikiran dan perasaan yang tenang tentu akan memudahkan pekerja untuk memperoleh istirahat yang baik. Terdapat dua tipe coping yang dapat menurunkan stres, yakni problem focused coping dan emotion focused coping. Pekerja shift wanita dapat menurunkan stres dengan menerapkan kedua tipe koping stres tersebut. Pekerja harus menghadapi dan menyelesaikan masalah yang menyebabkan stres emosional. Selain itu, pekerja harus menghilangkan emosi negatif dalam menyikapi masalah. Menghadapi masalah dengan berusaha melihat sisi positif dari sebuah masalah akan membuat fikiran menjadi tenang. Dengan demikian, akan menyelesaikan masalah dan mengubah situasi stres. Peneliti juga menyarankan agar pekerja shift wanita tidak mengkonsumsi minuman berkafein seperti kopi, teh, dan minuman
171
bersoda ketika sedang haid. Hal ini dikarenakan minuman tersebut mempengaruhi sistem saraf dan memperparah gejala PMS (NS, 2010). Pekerja juga disarankan untuk melakukan olahraga secara teratur. Olahraga yang dilakukan secara teratur dapat meredakan nyeri ketika sedang haid (NS, 2010). Hal ini dikarenakan dengan berolahraga maka akan meningkatkan produksi endorphin yang merupakan pembunuh rasa sakit alami tubuh (Pratiwi, 2014). Olahraga juga diketahui berfungsi sebagai psychological relaxer yang mengalihkan perhatian dari hal-hal yang membuat stres (Widyarini, 2009). Namun, perlu diperhatikan durasi atau lama waktu yang dapat digunakan untuk berolahraga. Olahraga dapat meningkatkan tidur jika dilakukan selama dua puluh menit per hari (Rafknowledge, 2004). Oleh karena itu, penting sekali bagi pekerja shift wanita untuk berolahraga secara teratur setiap harinya. d. Hubungan antara Menopause dengan Kualitas Tidur Menopause merupakan salah satu faktor yang diduga memiliki hubungan dengan kualitas tidur. Menopause merupakan proses alamiah yang dialami wanita sebagai suatu akhir proses biologis yang menandai berakhirnya masa subur seorang wanita dan pada saat itu siklus menstruasi telah berhenti selama 12 bulan (Sulistiyowati dan Nisa, 2014). Ketika memasuki masa menopause, maka fertilitas akan mengalami penurunan. Fertilitas akan mengalami penurunan secara drastis pada wanita saat memasuki usia 35 tahun dan lebih cepat lagi
172
setelah usia 40 tahun (Heffner dan Schust, 2006). Namun, pada umumnya wanita akan mengalami menopause ketika memasuki usia diatas 40 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita belum mengalami menopause, yaitu sebanyak 65,9%. Kemudian hasil hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk sebagian besar dialami oleh pekerja shift wanita yang belum mengalami menopause, yaitu sebanyak 88,0%. Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara menopause dengan kualitas tidur. Kemudian, hasil uji keeratan hubungan menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang sudah mengalami menopause memiliki risiko kualitas tidur yang buruk 1,336 kali dibandingkan dengan pekerja shift wanita yang belum mengalami menopause. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa menopause tidak mempengaruhi kualitas tidur. Hasil pada penelitian tidak sejalan dengan teori yang ada. Secara teoritis, diketahui bahwa menopause dapat mempengaruhi kualitas tidur. Ketika wanita mengalami menopause, maka akan terjadi penurunan hormon estrogen, progesteron, dan serotonin. Penurunan hormon tersebut menyebabkan seseorang mengalami insomnia. Insomnia yang dialami wanita ketika memasuki masa menopause merupakan insomnia yang terberat (Prasadja, 2009).
173
Gejala-gejala yang timbul ketika masa menjelang maupun pada saat menopause juga diketahui memiliki pengaruh terhadap buruknya kualitas tidur. Gejala yang biasa dialami oleh wanita menopause yaitu seperti seperti hot flashes (rasa panas), insomnia, perubahan pada tulang, perubahan kardiovaskular, gangguan kejiwaan, gelisah, cemas, ledakan emosi, keringat dingin, depresif, sulit tidur, sulit beradaptasi, keletihan, dan kekeringan vaginal dll. (Heffner dan Schust, 2006; Muaris, 2004; Gunarsa, 2002). Keseluruhan gejala tersebut akan menimbulkan ketidaknyamanan pada penderitanya dan dapat mengganggu kualitas tidurnya. Tidak berhubungannya menopause dengan kualitas tidur dapat disebabkan oleh distribusi data kualitas tidur yang buruk antara pekerja shift wanita yang mengalami maupun tidak mengalami menopause tidak berbeda signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk dialami oleh 90,7% pekerja shift wanita yang sudah mengalami menopause dan 88,0% pekerja shift wanita yang belum mengalami menopause. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita, baik yang mengalami maupun tidak mengalami menopause sama-sama memiliki kualitas tidur yang buruk. Perbedaan hasil penelitian ini dengan teori juga dapat disebabkan oleh faktor lain yang lebih dominan dalam mempengaruhi kualitas tidur yang buruk pada pekerja shift wanita. Peneliti berasumsi faktor yang lebih dominan tersebut yaitu faktor kelelahan dan hipersomnia.
174
Menopause tidak berhubunganya dengan kualitas tidur diduga disebabkan oleh faktor kelelahan. Ketika memasuki masa menopause, salah satu gejala yang juga ditimbulkan yaitu adalah kelelahan (Heffner dan Schust, 2006). Kelelahan yang berlebihan (berat) atau penuh stres dapat menyebabkan pekerja menjadi sulit tidur (Potter dan Perry, 2005). Berbeda halnya dengan kelelahan menengah. Kelelahan menengah diketahui membuat seseorang memperoleh tidur yang mengistirahatkan (Agustin, 2012). Kelelahan dapat membuat seseorang lebih cepat tidur dikarenakan tahap tidur gelombang lambatnya (NREM) diperpendek (Uliyah dan Hidayat, 2008). Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 79,1% pekerja shift wanita yang sudah menopause, tidak mengalami kelelahan. Kemudian, 16,3% lainnya mengalami kelelahan ringan dan hanya 4,7% yang mengalami kelelahan sedang. Tidak ada pekerja shift wanita yang mengalami kelelahan berat. Meskipun mengalami menopause, namun jika pekerja shift wanita tidak mengalami kelelahan maka kualitas tidurnya tidak akan terganggu. Hipersomnia juga erat kaitanya dengan menopause. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 69,8% pekerja shift wanita yang
mengalami
menopause,
tidak
mengalami
hipersomnia.
Hipersomnia dan menopause terjadi ketika wanita mengalami penurunan kadar estrogen dan progesteron (Gracia dkk., 2011). Seseorang
yang
mengalami
hipersomnia
tidak
mampu
mempertahankan keadaan siaga selama periode terjaga (Slater dan
175
Steier, 2012). Hipersomnia akan menyebabkan penderitanya membutuhkan waktu tidur yang lebih lama, namun selalu merasa lesu dan letih sepanjang hari (Apriadji, 2007). Dengan demikian, jika pekerja shift wanita mengalami menopause disertai dengan hipersomnia, maka akan meningkatkan keluhan tidur akibat gejala yang ditimbulkan dari menopause dirasakan bersamaan dengan hipersomnia. Pada akhirnya, setiap wanita akan mengalami menopause. Rentang usia pekerja shift wanita di PT. Sandratex juga diketahui telah masuk ke dalam masa menjelang atau bahkan telah mengalami menopause. Oleh karena itu, dibutuhkan penanganan yang tepat agar gejala yang muncul tidak mempengaruhi kualitas tidur pekerja. Peneliti memberikan saran agar perusahaan mengatur lingkungan kerja dan tempat istirahat bagi pekerja sehingga menjadi sejuk dan nyaman. Exhaust dan pendingin ruangan harus dipastikan dapat berfungsi dengan baik. Dengan demikian, keluhan hot flushes (rasa panas) dapat diminimalisir, sehingga pekerja shift wanita yang menjelang maupun sudah mengalami menopause dapat bekerja dan beristirahat dengan nyaman. Selain itu, pekerja juga harus menciptakan lingkungan tidur yang sejuk dan nyaman bagi dirinya. Pastikan lingkungan tidur memiliki ventilasi dan peredaran udara yang baik. Hal ini juga dapat membantu meringankan gejala hot flashes yang dialami pekerja shift wanita menjelang maupun sudah mengalami menopause.
176
Menurut para ahli, salah satu penyebab menopause adalah perubahan pola makan yang tidak sehat seperti mengkonsumsi makanan cepat saji, lebih mengutamakan kepraktisan dan kelezatan, namun tidak memperhatikan kandungan nutrisinya (Muaris, 2004). Muaris (2004) juga mengungkapkan bahwa pola makan tersebut yang kemudian merubah sistem hormon estrogen dalam tubuh. Oleh karena itu, peneliti memberikan saran kepada pekerja agar merubah pola makan dengan menghindari makanan instan atau cepat saji serta rajin mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung fitoestrogen. Fitoestrogen diketahui dapat menghambat terjadinya menopause (Muaris, 2004). Makanan yang banyak mengandung fitoestrogen dapat ditemui pada apel, anggur, bawang putih, brokoli, jagung, barley, cabe, kol, kacang kedelai, stroberi, ketimun, tomat, dan wortel (Wirakusumah, 2003). e.
Hubungan antara Kelelahan dengan Kualitas Tidur Kelelahan merupakan salah satu faktor yang diduga memiliki hubungan dengan kualitas tidur. Kelelahan merupakan kondisi melemahnya tenaga untuk melakukan suatu kegiatan (Muizzudin, 2013). Ketika seseorang mengalami kelelahan, maka akan mengalami kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh (Chesnal dkk., 2014). Dengan demikian, akan mengakibatkan penurunan daya kerja dan ketahanan tubuh untuk bekerja (Basri dan Apriliani, 2014). Kondisi tubuh yang mengalami penurunan tenaga
177
tersebut yang kemudian akan menyebabkan penurunan daya dan kapasitas kerja serta konsentrasi dalam melakukan pekerjaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata total skor kelelahan pekerja shift wanita adalah 24,01 skor (21,83 – 26,19 skor) dengan standar deviasi 12,371 skor. Total skor paling rendah yaitu 3 skor dan paling tinggi 71 skor. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita mengalami kelelahan ringan. Hal ini dikarenakan rata-rata skor kelelahan pekerja di bawah 60, dimana cut of point seseorang mengalami kelelahan adalah jika skornya di atas 60 skor. Selain itu, berdasarkan uji Kolmogorov Smirnov, diketahui nilai probabilitas sebesar 0,045 (nilai probabilitas < 0,05), artinya variabel kelelahan tidak berdistribusi normal. Berdasarkan hasil uji statistik, diketahui nilai mean rank skor kelelahan pekerja shift wanita yang memiliki kualitas tidur yang buruk lebih besar daripada pekerja shift wanita yang mengalami kualitas tidur baik. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kelelahan dengan kualitas tidur. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kelelahan mempengaruhi kualitas tidur. Hasil pada penelitian ini sejalan dengan teori yang ada. Kelelahan dapat membantu tidur jika mengalami kelelahan menengah khususnya jika kelelahan disebabkan oleh pekerjaan atau latihan yang menyenangkan, sehingga pekerja akan memperoleh tidur yang mengistirahatkan (Agustin, 2012). Kelelahan dapat membuat
178
seseorang lebih cepat tidur dikarenakan tahap tidur gelombang lambatnya (NREM) diperpendek (Uliyah dan Hidayat, 2008). Berbeda halnya jika seseorang mengalami kelelahan yang berlebihan. Diketahui bahwa kelelahan yang berlebihan dapat menyebabkan seseorang menjadi sulit untuk memulai tidur (initial insomnia) (Lanywati, 2001). Pekerjaan yang meletihkan dan penuh stres juga dapat menyebabkan seseorang mengalami kelelahan yang berlebihan sehingga membuat pekerja tersebut menjadi sulit tidur (Potter dan Perry, 2005). Hal tersebut tentunya akan mempengaruhi kualitas tidur seseorang. Meskipun mayoritas pekerja shift wanita tidak mengalami kelelahan dan hanya beberapa yang mengalami kelelahan ringan hingga sedang, namun jika terdapat perubahan kondisi, maka pekerja shift wanita dapat mengalami kelelahan berat. Dengan demikian, kelelahan dapat mempengaruhi tidur, terutama jika kelelahan yang dialami semakin berat dan tidak diatasi. Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa kelelahan dapat disebabkan oleh pengaturan shift yang terlalu panjang dan tidak tepat, intensitas dan durasi suatu pekerjaan dilaksanakan terlalu tinggi, disain pekerjaan tidak tepat, lingkungan kerja yang tidak nyaman, cara kerja yang tidak efektif (ergonomis), dan adanya stres (Kodrat, 2011). Oleh karena itu, harus dilakukan penanganan yang tepat agar kelelahan yang dirasakan pekerja tidak semakin memburuk.
179
Peneliti memberikan saran agar perusahaan memastikan exhaust dan pendingin ruangan berfungsi dengan baik. Hal ini dikarenakan suhu yang terlalu tinggi akan meningkatkan kelelahan (Suma’mur, 1999). Pengaturan terhadap pekerja wanita yang bekerja pada sistem shift juga perlu diperhatikan. Menurut Grandjean (1986) dalam Nurmianto (2004), waktu pergantian shift lebih baik dilakukan pada pukul 07.00, 15.00, dan 23.00 atau 08.00, 16.00, dan 24.00. Waktu pergantian shift ini dapat lebih memberikan waktu bagi pekerja untuk bersiap berangkat ke tempat kerja dan untuk beristirahat. Selama ini, diketahui bahwa PT. Sandratex menggunakan waktu pergantian shift pada pukul 06.00, 14.00, dan 22.00 WIB. Agar waktu istirahat lebih optimal, pekerja yang memiliki jarak antara tempat tinggal dengan tempat kerja yang jauh lebih baik untuk tidak dipekerjakan pada sistem shift (Grandjean, 1986 dalam Nurmianto, 2004). Menurut Suma’mur (1999), setiap bekerja pada shift siang atau malam sebaiknya juga diikuti dengan paling sedikit 24 jam libur dan tiap shift malam paling sedikit 2 hari libur, sehingga pekerja dapat mengatur kebiasaan tidur. Kepada pekerja, peneliti memberikan saran agar pekerja shift wanita segera beristirahat dengan cukup setelah pulang bekerja terutama setelah bekerja pada shift malam. Hal ini dikarenakan pemulihan terhadap kelelahan terjadi ketika seseorang mendapatkan istirahat yang cukup (Fajarwati dkk., 2011).
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita di PT. Sandratex memiliki kualitas tidur yang buruk. Hasil penelitian terhadap gambaran determinan kualitas tidur pekerja shift wanita juga menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja bekerja pada shift malam, mengalami stres emosional, memiliki aktivitas fisik berat, mengkonsumsi makanan, tidak mengkonsumsi obat-obatan, memiliki penyakit fisik, tidak mengalami hipersomnia,
tidak
memiliki
gejala
hingga
gejala
ringan
sindrom
pramenstruasi, belum mengalami menopause, dan tidak mengalami kelelahan. Hasil uji statistik antara variabel dependen dengan independen menunjukkan bahwa terdapat dua variabel yang berhubungan yang signifikan dengan kualitas tidur. Variabel tersebut yakni variabel penyakit fisik dan kelelahan. Sementara itu, variabel lainnya yaitu jenis shift kerja, stres emosional, aktivitas fisik, kebiasaan makan, asupan obat-obatan, hipersomnia, sindrom pramenstruasi, dan menopause menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan dengan kualitas tidur. Tidak adanya hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dapat disebabkan oleh distribusi data kualitas tidur buruk pada tiap kategori variabel independen yang tidak berbeda signifikan. Selain itu, tidak berhubunganya variabel independen dengan dependen juga dapat disebabkan
180
181
oleh faktor lain yang lebih dominan dalam mempengaruhi buruknya kualitas tidur pada pekerja shift wanita.
B. Saran 1.
Bagi PT. Sandratex a.
Melakukan pengaturan terhadap shift kerja dengan : 1) Merubah waktu pergantian shift kerja pada pukul 07.00, 15.00, dan 23.00 WIB atau 08.00, 16.00, dan 24.00 WIB. 2) Pekerja yang memiliki jarak antara tempat tinggal dengan tempat kerja yang jauh lebih baik untuk tidak dipekerjakan pada sistem shift. 3) Merubah arah rotasi kerja menjadi rotasi maju. 4) Setiap bekerja pada shift siang atau malam sebaiknya diikuti dengan paling sedikit 24 jam libur dan tiap shift malam paling sedikit 2 hari libur.
b.
Melakukan pengaturan terhadap konsumsi pekerja dengan : 1) Memberikan makanan dan minuman yang bergizi kepada pekerja wanita yang bekerja pada shift malam. Selain itu, pemberian makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila kerja lembur dilakukan selama tiga jam atau lebih dan pemberian makan dan minum tersebut tidak dapat digantikan dengan uang. 2) Memberikan pengetahuan kepada pekerja mengenai asupan gizi yang baik dan sesuai dengan kebutuhan pekerja shift wanita.
c.
Memastikan exhaust dan pendingin ruangan berfungsi dengan baik.
182
d.
Melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.
e.
Melaksanakan upaya pelayanan kesehatan kerja secara komprehensif di perusahaan, baik itu dengan menyelenggarakan sendiri pelayanan kesehatan kerjanya dalam bentuk klinik atau rumah sakit perusahaan, atau juga dapat bekerjasama dengan pihak di luar perusahaan.
2.
Bagi Pekerja a.
Melakukan pengaturan terhadap konsumsi pekerja dengan : 1) Tidak mengkonsumsi minuman berkafein pada saat tubuh merasa kantuk dan sebelum tidur. 2) Tidak mengkonsumsi minuman berkafein seperti kopi, teh, dan minuman bersoda ketika sedang haid. 3) Tidak mengkonsumsi obat tidur. 4) Tidak mengkonsumsi obat-obatan di luar resep atau anjuran dokter. 5) Merubah pola makan dengan menghindari makanan instan. 6) Mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung fitoestrogen.
b.
Memperbaiki pola tidur dengan tidur malam lebih awal.
c.
Menghindari tekanan stres sebisa mungkin dan meningkatkan kemampuan adaptasi serta koping terhadap stres.
d.
Berolahraga secara teratur dan setidaknya dilakukan selama dua puluh menit per hari.
183
e.
Melakukan relaksasi setiap harinya dengan melakukan meditasi, yoga, latihan pernafasan dalam, tai chi, pemijatan, shalat, atau berdoa (dzikir), dll.
f.
Menciptakan lingkungan tidur yang sejuk dan nyaman dengan memastikan lingkungan tidur memiliki ventilasi dan peredaran udara yang baik.
g.
Segera beristirahat dan tidur yang cukup setelah pulang bekerja terutama setelah bekerja pada shift malam.
3.
Bagi Peneliti Selanjutnya a.
Membandingkan kualitas tidur antara pekerja wanita yang bekerja dengan sistem shift kerja dan dengan wanita yang bekerja tidak dengan sistem shift kerja. Dengan demikian, dapat dilihat apakah shift kerja benar-benar memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kualitas tidur pada pekerja wanita.
b.
Mengukur variabel dengan melakukan pemeriksaan fisik agar dapat lebih objektif dalam melihat keluhan atau gejala yang dialami responden.
c.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi dalam oprasional riset permasalahan kualitas tidur, terutama pada wanita.
184
DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan KEP.102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur KEP.22/DJPPK/V/2008 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja Permenaker No. 03 tahun 1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja Agustin, D. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Tidur pada Pekerja Shift di PT. Krakatau Tirta Industri Cilegon. Depok: FIK Universitas Indonesia. Allen, S. S., Bride, C. M. M. dan Pirie, P. L. 1991. The Shortened Premenstrual Assessment Form. J Reprod Med, 36, 769-72. Amran, Y. dan Handayani, P. 2012. Hubungan Pergantian Waktu Kerja dengan Pola Tidur Pekerja. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 6. Amran, Y., Shofwati, I. dan Puti, N. 2010. Hubungan Penerapan Shift Kerja dengan Kelelahan Kerja. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Anggrajani, F. dan Muhdi, N. 2011. Korelasi Faktor Risiko dengan Derajat Keparahan Premenstrual Syndrome pada Dokter Perempuan. Surabaya: FK Universitas Airlangga. Apriadji, W. H. 2007. Good Mood Food, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama. Asmadi 2008. Teknik Prosedural Keperawatan : Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien, Jakarta, Salemba Medika. Azis, A. 2015. Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kualitas Tidur Perawat di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang. Semarang: PSK STIKES Ngudi Waluyo. Bakhshani, N. M., Mousavi, M. N. dan Khodabandeh, G. 2009. Prevalence and Severity of Premenstrual Symptoms among Iranian Female University Students. J Pak Med Assoc, 59. Basri, S. dan Apriliani, S. 2014. Hubungan Shift Kerja dengan Tingkat Kelelahan Operator Produksi di PT Pertamia Eksplorasi dan Produksi (EP) Kecamatan Balongan Kabupaten Indramayu Tahun 2014. Kesehatan Masyarakat Afiasi. Bastable, S. B. 2002. Perawat sebagai Pendidik : Prinsip-Prinsip Pengajaran dan Pembelajaran, Jakarta, EGC. Boari, L., Cavalcanti, C. M., Bannwart, S. R. F. D., Sofia, O. B. dan Dolci, J. E. L. 2004. Evaluation of Epworth Sleepiness Scale in Patients with Obstructive Sleep Apnea - Hypopnea Syndrome. Revista Brasileira de Otorrinolaringologia, 70. BPS 2014. Kebutuhan Data Ketenagakerjaan untuk Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Bukit, E. K. 2005. Kualitas Tidur dan Faktor-Faktor Gangguan Tidur Klien Lanjut Usia yang Dirawat Inap di Ruang Penyakit Dalam Rumah Sakit Medan 2003. Keperawatan Indonesia, 9, 41-47. Buysse, D. J., Hall, M. L., Strollo, P. J., Kamarck, T. W., Owens, J., Lee, L., Reis, S. E. dan Matthews, K. A. 2008. Relationship Between the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), Epworth Sleepiness Scale (ESS), and Clinical/Polysomnographic Measures in a Community Sample. Journal of Clinical Sleep Medicine, 4. Buysse, D. J., III, C. F. R., Monk, T. H., Berman, S. R. dan Kupfer, D. J. 1989. The Pittsburgh Sleep Quality Index : A New Instrument for Psychiatric Practice and Research. Psychiatry Research, 28, 193-213.
185
Chesnal, H., Rattu, A. J. M. dan Lampus, B. S. 2014. Hubungan antara Umur, Jenis Kelamin, dan Status Gizi dengan Kelelahan Kerja pada Tenaga Kerja di Bagian Produksi PT. Putra Karangetan Popontolen Minahasa Selatan. Manado: FKM Universitas Sam Ratulangi. Colligan, M. J. dan Rosa, R. R. 1997. Plain Languange About Shift Work, US, National Institude for Occupational Safety and Health (NIOSH). Craven, R. F. dan Hirnle, C. J. 2000. Fundamental of Nursing : Human Health and Function, Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins. Dariah, E. D. dan Okatiranti 2015. Hubungan Kecemasan dengan Kualitas Tidur Lansia di Posbindu Anyelir Kecamatan Cisarua Kabuoaten Bandung Barat. Ilmu Keperawatan, 3. Dewi, P. 2006. Perbedaan Kelelahan Kerja pada Perawat Shift Malam di Ruang ICU dan Ruang Arrijal di Rumah Sakit Haji Tahun 2006. Sumatera Utara: FKM Universitas Sumatera Utara. Dewi, S. R. 2014. Buku Ajar Keperawatan Gerontik, Yogyakarta, Deepublish. Di lorio, C. K. 2005. Measurement in Health Behavior : Methods for Research and Education. United States of America: Jossey Bass. Dirgayudha, D. 2014. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kelelahan Kerja pada Pembuat Tahu di Wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2014. Jakarta: FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. EKU Online. 2016. The Health Hazards of Shift Work [Online]. Richmond: Eastern Kentucky University. Tersedia: http://safetymanagement.eku.edu/resources/infographics/the-health-hazardsof-shift-work/. Epstein, L. J. dan Mardon, S. 2010. The Harvard Medical School Guide o a Good Night's Sleep, New York, Harvard Medical School. Fajarwati, F. D., Hidayat, R. dan Agustuna, F. 2011. Pengaturan Sistem Shift Kerja untuk Meningkatkan Performance serta Mengurangi Keluhan Karyawan. Tekhnologi Technoscientia, 4. Febriana, D. dan Wahyuningsih, A. 2011. Kajian Stres Hospitalisasi terhadap Pemenuhan Pola Tidur Anak Usia Prasekolah di Ruang Anak RS Baptis Kediri. STIKES RS Baptis Kediri, 4. Fink, G. 2010. Stress Consequences : Mental, Neuropsychological, and Socioeconomic, UK, Academic Press. Gracia, M., Wangsa, B., Agung, N. dan Sidharta, V. M. 2011. Pengaruh Sindroma Premenstruasi terhadap Gangguan Tidur pada Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Atma Jaya. Damianus Journal of Medicine, 10, 77-80. Grandner, M. A., Kripke, D. F., Yoon, I.-Y. dan Youngstedt, S. D. 2006. Criterion Validity of The Pittsburgh Sleep Quality Index : Investigation in A NonClinical Sample. Sleep Biol Rhythms, 4, 129-139. Gumilar, I. 2007. Metode Riset untuk Bisnis dan Manajemen, Bandung, Widyatama. Gunarsa, Y. S. D. 2002. Asas-Asas Psikologi Keluarga Idaman, Jakarta, Gunung Mulia. Handayani, P. 2008. Hubungan antara Penerapan Shift Kerja dengan Pola Tidur Pekerja di Bagian Produksi PT. Enka Parahyangan Tahun 2008. Jakarta: FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
186
Handayani, Y. 2014. Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Tingkat Keluhan Klimakterium pada Wanita Usia 45-65 Tahun. Surakarta: FIK Universitas Muhammadiyah Surakarta. Harrington, J. M. dan Gill, F. S. 2003. Buku Saku Kesehatan Kerja, Jakarta, EGC. Haryono, A., Rindiarti, A., Arianti, A., Pawitri, A., Ushuluddin, A., Setiawati, A., Reza, A., Wawolumaja, C. W. dan Sekartini, R. 2009. Prevalensi Gangguan Tidur pada Remaja Usia 12-15 Tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Sari Pediatri, 11. Heffner, L. J. dan Schust, D. J. 2006. At a Glance Sistem Reproduksi Edisi Kedua, Jakarta, Erlangga. Hidayat, A. T. 2011. Analisis Pengaruh Shift Kerja terhadap Beban Kerja pada Pekerja di PT. Primarindo Asia Infrastructure, Tbk. Bandung: FT Universitas Islam Bandung. Hidayati, E. 2013. Strategi Coping Stress Perempuan dengan HIV/AIDS. 9. Huisinga, J. M., Filipi, M., Schmid, K. K. dan Stergiou, N. 2011. Is There a Relationship Between Fatigue Questionnaires and Gait Mechanics in Persons with Multiple Sclerosis? Journal Articles, 103. Indrawati, N. 2012. Perbandingan Kualitas Tidur Mahasiswa yang Mengikuti UKM dan Tidak Mengikuti UKM pada Mahasiswa Reguler FIK UI. Depok: FIK Universitas Indonesia. IPAQ 2005. Guidelines for Data Processing and Analysis of the International Physical Activity Questionnaire (IPAQ) - Short and Long Forms. USA: IPAQ. Johns, M. W. 1991. A New Method for Measuring Daytime Sleepiness : The Epworth Sleepiness Scale. American Sleep Disorders Association and Sleep Research Society, 14, 540-545. Kastler, E. C. dan Davidson, K. 2007. Evaluation of Quality of Life and Quality of Sleep in Clinical Practice. European Association of Urology, 6, 576-584. Kodrat, K. F. 2011. Pengaruh Shift Kerja terhadap Kelelahan Pekerja Pabrik Kelapa Sawit di PT. X Labuhan Batu. Jurnal Teknik Industri, 12, 110-117. Kowalski, K. C., Crocker, P. R. E. dan Donen, R. M. 2004. The Physical Activity Questionnaire for Children (PAQ-C) and Adolescents (PAQ-A) Manual. Canada: University of Saskatchewan. Kuswadji, S. 1997. Pengaturan Tidur Pekerja Shift. Cermin Dunia Kedokteran. LaDou, J. 1994. Occupational Health and Safety 2nd Edition, National Safety Council. Lameshow, S., Hosmer, D. W., Klar, J., Lwanga, S. K. dan Organization, W. H. 1990. Adequacy of Sample Size in Health Studies. New York: John Wiley & Sons. Lanywati, E. 2001. Insomnia, Yogyakarta, Penerbit Kanisius. Maghfirah, N. 2015. 99 Fenomena Menakjubkan Dalam Al-Quran, Bandung, Penerbit Mizania. Mardiana, L. 2009. Kanker pada Wanita : Mencegah dan MEngobati Kanker pada Wanita dengan Tanaman Obat, Jakarta, Penebar Swadaya. Martono, L. H. dan Joewana, S. 2006. Pencegahan dan Penanggulangan Narkoba Berbasis Sekolah, Jakarta, PT Balai Pustaka Maurits, L. S. dan Widodo, I. D. 2008. Faktor dan Penjadualan Shift Kerja. Jurnal Teknoin, 13, 11-22.
187
Mesarini, B. A. dan Astuti, V. W. 2013. Stres dan Mekanisme Koping terhadap Gangguan Siklus Menstruasi pada Remaja Putri. Jurnal STIKES 6. Muaris, H. 2004. Makan Sehat dan Lezat di Masa Menopause, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama. Muftiani, I. 2012. Perbedaan Kualitas Tidur Antara Pasien Asma dan Pasien Tb Paru. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Muizzudin, A. 2013. Hubungan antara Kelelahan Kerja dengan Produktivitas Kerja pada Tenaga Kerja Bagian Tenun di PT. Alkatex Tegal. Semarang: FIK Universitas Negeri Semarang. Nashori, F. dan Diana, R. R. 2005. Perbedaan Kualitas Tidur dan Kualitas Mimpi antara Mahasiswa Laki-Laki dan Mahasiswa Perempuan. Indonesian Psychological Journal, 2, 77-88. NHLBI 2011. Your Guide to Healthy Sleep, United State, U.S. Deparement of Health and Human Services. NS, S. 2010. Serba Serbi Kesehatan Perempuan, Jakarta, Bukune. NSF. 2005. Strategies for Shift Worker : The Night Shift Worker and Sleep [Online]. National Sleep Foundation. NSF. 2016. National Sleep Foundation. Tersedia: https://sleepfoundation.org/excessivesleepiness/content/sleepiness-women [Diakses pada 27 November 2016]. NTSB 1995. Grounding of the US Tankship Exxon Valdez on Bligh Reef, Prince William Sound near Valdez, Alaska. Washington DC: National Transportation Safety Board. Nurlela, S., Saryono dan Yuniar, I. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Tidur Pasien Post Operasi Laparatomi di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gombong. Ilmiah Keperawatan, 5. Nurmianto, E. 2004. Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya, Surabaya, Guna Widya. Oginska, H. dan Pokorskri, J. 2006. Fatigue and Mood Correlates of Sleep Length in Three Age-Social Groups : School Children, Students, and Employees. Chronobiology International, 23, 1317-1328. Oktavia, N. 2015. Sistematika Penulisan Karya Ilmiah, Yogyakarta, Deepublish. Perumal, S. R. P., Narasimhan, M. dan Kramer, M. 2016. Sleep and Psychosomatic Medicine, New York, CRC Press. Potter, P. A. dan Perry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik, Jakarta, EGC. Prasadja, A. 2009. Ayo Bangun dengan Bugar karena Tidur yang Benar, Jakarta, Hikmah. Pratiwi, A. M. 2014. Aktivitas Olahraga dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi pada Anggota Perempuan UKM INKAI UNS. Ners dan Kebidanan Indonesia, 2, 76-80. Prijosaksono, A. dan Sembel, R. 2002. Control Your Life : Aplikasi Manajemen Diri dalam Kehidupan Sehari-Hari, Jakarta, PT Elex Media Komputindo. Puspita, E. 2014. Aktivitas Fisik dan Gaya Hidup dengan Kualitas Tidur pada Ibu Hamil Trimester III di BPM Ny. "M". Mojokerto: Poltekes Majapahit. Putri, H. 2015. Faktor yang Berhubungan dengan Kebugaran pada Mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2015. Jakarta: FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
188
Rachmawati, D. 2013. Rerata Nilai Kualitas Hidup pada Mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Excessive Daytime Sleepiness (EDS) dan Tanpa EDS. Jakarta: FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Rafknowledge 2004. Insomnia dan Gangguan Tidur Lainnya, Jakarta, PT Elex Media Komputindo. Ratikasari, I. 2015. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015. Jakarta: FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Revalicha, N. S. dan Sami'an 2013. Perbedaan Stres Kerja Ditinjau dari Shift Kerja pada Perawat di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi, 2. Rosanti, E. 2011. Perbedaan Tingkat Kelelahan Kerja Tenaga Kerja Wanita Antara Shift Pagi, Shift Sore, dan Shift Malam di Bagian Winding PT. Iskandar Indah Printing Textile Surakarta. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Saftarina dan Hasanah 2014. Hubungan Shift Kerja dengan Gangguan Pola Tidur pada Perawat Instalasi Rawat Inap di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung 2013. Medula, 2. Sarah dan Moesijanti 2008. Hubungan Asupan Kalsium dengan Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi Remaja di Jakarta. Gizi Indon, 31, 115-122. Siagian, H. 2014. Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kualitas Tidur Lansia di Desa Parsuratan Kecamatan Balige. Medan: FIK Universitas Sumatera Utara. Slater, G. dan Steier, J. 2012. Excessive Daytime Sleepiness in Sleep Disorders. Journal of Thoracic Disease, 4. Smyth, C. 1999. The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). New York: The Hartford Institute for Geriatric Nursing. Spilsbury, J. C., Drotar, D., Rosen, C. L. dan Redline, S. 2007. The Cleveland Adolescent Sleepiness Questionnaire. Journal of Clinical Sleep Medicine, 3, 603-612. Stranks, J. 2005. Stress at Work : Management and Prevention, Burlington, Elsevier. Suastari, N. M. P., Tirtayasa, P. N. B., Aryana, I. G. P. S. dan Kusumawardhani, R. T. 2014. Hubungan antara Sikap Sleep Hygiene dengan Derajat Insomnia pada Lansia di Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah Denpasar. Denpasar: FK Universitas Udayana. Subakti, Y. dan Anggraini, D. R. 2007. Ensiklopedia Calon Ibu, Jakarta, QultumMedia. Sudibjo, P., Arovah, N. I. dan A, R. L. 2013. Tingkat Pemahaman dan Survei Level Aktivitas Fisik, Status Kecukupan Energi dan Status Antropometrik Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kepelatihan Olahraga FIK UNY. Medikora, 11. Sudo, N. dan Ohtsuka, R. 2002. Fatigue Complaints Among Female Shift Workers in a Computer Factory of Japan. Journal of Human Ergology, 31, 41-51. Sulistiyowati dan Nisa, K. 2014. Perbedaan Insomnia Sebelum dan Sesudah Mandi Air Hangat pada Wanita Menopause di Dusun Laren Desa Laren Kecamatan Laren - Lamongan. Jurnal Surya, 3. Suma'mur 1999. Ergonomi untuk Produktivitas Kerja, Jakarta, Haji Masagung.
189
Suma'mur 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes), Jakarta, Sagung Seto. Sumirta, I. N. dan Laraswati, A. I. 2014. Faktor yang Menyebabkan Gangguan Tidur (Insomnia) pada Lansia. Denpasar: Politeknik Kesehatan Denpasar. Suwartika, I. dan Cahyati, P. 2015. Analisis Faktor yang Berpengaruh terhadap Kualitas Tidur Pasien Gagal Jantung di RSUD Kota Tasikmalaya. Skolastik Keperawatan, 1. Tamher, S. dan Noorkasiani 2009. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan, Jakarta, Salemba Medika. Tandra, H. 2009. Osteoporosis, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama. Tarihoran, A., Muttaqin, A. dan Mulyani, Y. 2015. Hubungan Kualitas Tidur dengan Kadar Gula Darah pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2. Jurnal Caring, 1. Tarwoto dan Wartonah 2010. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan, Jakarta, Salemba Medika. Tayyari, F. dan Smith, J. L. 1997. Occupational Ergonomic Principles and Application, Great Britain, T J Press Ltd. Tjay, T. H. dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting Kasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya, Jakarta, PT Elex Media Komputindo. Uliyah, M. dan Hidayat, M. A. A. 2008. Keterampilan Dasar Praktik Klinik untuk Kebidanan, Jakarta, Salemba Medika. Umami, R. dan Priyanto, S. 2012. Hubungan Kualitas Tidur dengan Fungsi Kognitif dan Tekanan Darah pada Lansia di Desa Pasuruan Kecamatan Mertoyudan Kabupaten Magelang. Magelang: FIK Universitas Muhammadiyah Magelang. Utami, A. Y. dan Bayhakki 2009. Perbedaan Tingkat Tolransi Perubahan Irama Sirkadian Perawat tanpa Kerja Shift Malam dengan Dua dan Tiga Shift Malam. Ilmu Keperawatan, 4. Wahyuni dan Ni'mah, L. 2013. Manfaat Senam Hamil untuk Meningkatkan Durasi Tidur Ibu Hamil. Kesehatan Masyarakat, 8, 145-152. Widyarini, M. M. N. 2009. Kunci Pengembangan Diri, Jakarta, PT Elex Media Komputindo. Wildani, A. A. 2012. Gambaran Tingkat Stres Kerja pada Pegawai Dinas Kesehatan Kota Depok. Depok: FIK Universitas Indonesia. Wirakusumah, E. S. 2003. Tip dan Diet untuk Tetap Sehat, Cantik, dan Bahagia di Masa Menopause, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama. Wu, S., Wang, R., Ma, X., Zhao, Y., Yan, X. dan He, J. 2012. Excessive Daytime Sleepiness Assessed by The Epworth Sleepiness Scale and Its Association with Health Related Quality of Lif : aPopulation - Based Study in China. BMC Public Health, 12. Yi, H., Shin, K. dan Shin, C. 2006. Development of the Sleep Quality Scale. Journal of Sleep Research, 15, 309-16. Zakariyati 2013. Hubungan Pola Shift Pagi dengan Kualitas Tidur dan Kualitas Makan Perawat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar. Makassar: FK Universitas Hasanuddin.
190
LAMPIRAN (Buysse dkk., 1989, Lameshow dkk., 1990, Allen dkk., 1991, Johns, 1991, LaDou, 1994, NTSB, 1995, Kuswadji, 1997, Tayyari dan Smith, 1997, Allen, 1998, Smyth, 1999, Suma'mur, 1999, Craven dan Hirnle, 2000, Lanywati, 2001, Bastable, 2002, Gunarsa, 2002, Prijosaksono dan Sembel, 2002, Sudo dan Ohtsuka, 2002, Harrington dan Gill, 2003, Wirakusumah, 2003, Boari dkk., 2004, Kowalski dkk., 2004, Muaris, 2004, Nurmianto, 2004, Rafknowledge, 2004, Bukit, 2005, Di lorio, 2005, IPAQ, 2005, Nashori dan Diana, 2005, NSF, 2005, Potter dan Perry, 2005, Stranks, 2005, Dewi, 2006, Grandner dkk., 2006, Heffner dan Schust, 2006, Martono dan Joewana, 2006, Oginska dan Pokorskri, 2006, Yi dkk., 2006, Amir, 2007, Apriadji, 2007, Gumilar, 2007, Kastler dan Davidson, 2007, Spilsbury dkk., 2007, Subakti dan Anggraini, 2007, Tjay dan Rahardja, 2007, Asmadi, 2008, Buysse dkk., 2008, Handayani, 2008, Maurits dan Widodo, 2008, Sarah dan Moesijanti, 2008, Uliyah dan Hidayat, 2008, Bakhshani dkk., 2009, Haryono dkk., 2009, Mardiana, 2009, Nurlela dkk., 2009, Prasadja, 2009, Suma'mur, 2009, Tamher dan Noorkasiani, 2009, Tandra, 2009, Utami dan Bayhakki, 2009, Widyarini, 2009, Amran dkk., 2010, Epstein dan Mardon, 2010, Fink, 2010, NS, 2010, Tarwoto dan Wartonah, 2010, Anggrajani dan Muhdi, 2011, Fajarwati dkk., 2011, Febriana dan Wahyuningsih, 2011, Gracia dkk., 2011, Hidayat, 2011, Huisinga dkk., 2011, Kodrat, 2011, NHLBI, 2011, Rosanti, 2011, Agustin, 2012, Amran, 2012, Amran dan Handayani, 2012, Indrawati, 2012, Slater dan Steier, 2012, Umami dan Priyanto, 2012, Wildani, 2012, Wu dkk., 2012, Hidayati, 2013, Mesarini dan Astuti, 2013, Muizzudin, 2013, Rachmawati, 2013, Revalicha dan Sami'an, 2013, Sudibjo dkk., 2013, Wahyuni dan Ni'mah, 2013, Zakariyati, 2013, Andriyani, 2014, Basri dan Apriliani, 2014, BPS, 2014, Chesnal dkk., 2014, Dewi, 2014, Dirgayudha, 2014, Hananta dkk., 2014, Handayani, 2014, Pratiwi, 2014, Puspita, 2014, Saftarina dan Hasanah, 2014, Siagian, 2014, Suastari dkk., 2014, Sulistiyowati dan Nisa, 2014, Sumirta dan Laraswati, 2014, Azis, 2015, Dariah dan Okatiranti, 2015, Maghfirah, 2015, Oktavia, 2015, Putri, 2015, Ratikasari, 2015, Suwartika dan Cahyati, 2015, Tarihoran dkk., 2015, EKU Online, 2016, NSF, 2016, Perumal dkk., 2016)
LAMPIRAN
1
LAMPIRAN 1
2
LAMPIRAN 2 KUESIONER “ANALISIS DETERMINAN KUALITAS TIDUR PADA PEKERJA SHIFT WANITA DI PT. SANDRATEX TAHUN 2016” Assalamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh. Saya Eka Ari Nuryanti, mahasiswa Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini merupakan tugas akhir untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat. Responden diharapkan menjawab setiap pertanyaan dengan sejujur-jujurnya. Setiap jawaban akan dijaga kerahasiaannya dan tidak akan mempengaruhi penilaian terhadap kinerja responden. Dengan segala kerendahan hati dimohon agar responden bersedia menjawab seluruh pertanyaan yang ada di dalam kuesioner ini. Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan menjadi responden dalam penelitian ini. Semoga Allah menjadikan sebagai amal ibadah di sisi-Nya dan semoga Allah membalas dengan kebaikan yang banyak. Aamiin. Wassalamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh. .................................................................................................................................. Formulir Persetujuan Menjadi Responden Saya yang bertAnda tangan di bawah ini menyatakan bersedia secara sukarela menjadi responden dalam penelitian yang berjudul “Analisis Determinan Kualitas Tidur Pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016” yang dilakukan oleh Eka Ari Nuryanti, mahasiswa Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya akan memberikan informasi dengan sebenar-benarnya dan sejujurnya. Saya sudah mengetahui tujuan dan manfaat dari penelitian ini, serta Saya mengerti bahwa data yang telah diberikan akan dijaga kerahasiaannya, digunakan hanya untuk kepentingan penelitian, dan tidak akan mempengaruhi penilaian terhadap kinerja Saya di perusahaan. Demikian pernyataan ini saya buat tanpa tekanan dari pihak manapun. Rempoa,
Agustus 2016 Responden
_________________________
3
A. IDENTITAS RESPONDEN No
Pertanyaan
A1
Nama
A2
Divisi/Bagian Kerja
A3
Jenis shift kerja yang sedang dijalani saat ini
Jawaban
Spining Wiving Shift Pagi Shift Siang Shift Malam
1 2 0 1 2
Isilah Pertanyaan di Bawah Ini Sesuai dengan yang Anda Rasakan B. KUALITAS TIDUR Kuesioner The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) No Pertanyaan Selama 1 bulan terakhir, sekitar pukul berapa biasanya Anda B1 tidur di malam hari? Selama 1 bulan terakhir, berapa lama (dalam menit) biasanya B2 Anda membutuhkan waktu untuk dapat tidur di malam hari? Selama 1 bulan terakhir, sekitar pukul berapa biasanya Anda B3 bangun tidur di pagi hari? Selama 1 bulan terakhir, berapa jam Anda dapat tidur nyenyak B4 di malam hari?
Jawaban ______.______ WIB ____________ Menit ______.______ WIB ____________ Jam
Isilah Pertanyaan dengan Melingkari (O), Memberi Tanda Silang (X), atau Tanda Ceklis (
B5 B5a B5b B5c B5d B5e B5f B5g B5h B5i B6
) pada Jawaban yang Sesuai dengan yang Anda Rasakan
SELAMA 1 BULAN TERAKHIR Seberapa sering masalah-masalah di bawah ini mengganggu Anda? Tidak dapat tertidur dalam waktu 30 menit Terbangun di tengah malam atau pagipagi sekali Terbangun karena ingin ke toilet Tidak dapat bernapas dengan leluasa Batuk atau mendengkur Merasa kedinginan di malam hari Merasa kepanasan di malam hari Mimpi buruk Merasa nyeri Selama 1 bulan terakhir, seberapa sering Anda mengkonsumsi obat untuk membantu Anda agar dapat tertidur (resep atau pun dari toko obat) ?
Tidak pernah (0) 0
1x seminggu (1) 1
2x seminggu (2) 2
≥ 3x seminggu (3) 3
0
1
2
3
0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3 3
0
1
2
3
4
B5
B7
B8
B9
SELAMA 1 BULAN TERAKHIR Seberapa sering masalah-masalah di bawah ini mengganggu Anda? Selama 1 bulan terakhir, seberapa sering Anda mengantuk saat berkendaraan, makan, atau ketika melakukan aktivitas sosial ?
Selama 1 bulan terakhir, seberapa besar Anda untuk dapat tetap bersemangat atau antusias dalam mengerjakan sesuatu ?
Selama 1 bulan terakhir, bagaimana Anda menilai kualitas tidur Anda secara keseluruhan ?
Tidak pernah (0)
1x seminggu (1)
2x seminggu (2)
≥ 3x seminggu (3)
0
1
2
3
Tidak Menjadi Masalah (0)
Hanya Masalah Kecil (1)
Agak Menjadi Masalah (2)
Masalah Besar (3)
0
1
2
3
Sangat Baik (0)
Baik (1)
Buruk (2)
Sangat Buruk (3)
0
1
2
3
C. DETERMINAN KUALITAS TIDUR C1. PENYAKIT FISIK No C1a C1b C1c C1d
Pertanyaan Apakah Anda memiliki penyakit yang membuat Anda merasa mudah atau sulit untuk tidur? Apakah Anda mengalami kesulitan tidur karena merasa nyeri pada bagian tubuh tertentu ? Apakah Anda sering terbangun di tengah malam karena ingin pergi ke toilet untuk buang air kecil? Apakah Anda dapat bernapas dengan nyaman saat tidur?
Ya (0)
Tidak (1)
0
1
0
1
0
1
0
1
Ya (0)
Tidak (1)
0
1
0
1
0
1
C2. STRES EMOSIONAL No C2a C2b C2c
Pertanyaan Apakah saat ini Anda sedang mengalami permasalahan yang cukup mengganggu fikiran Anda? Ketika Anda memiliki permasalahan di tempat kerja, apakah Anda mengalami sulit tidur? Ketika Anda memiliki permasalahan apakah Anda sering terbangun dari tidur karena memikirkan permasalahan tersebut?
5
C3. KELELAHAN Kuesioner Subjective Self Rating Test (SSRT) No
C4.1 C3.2 C3.3 C3.4 C3.5 C3.6 C3.7 C3.8 C3.9 C3.10 C3.11 C3.12 C3.13 C3.14 C3.15 C3.16 C3.17 C3.18 C3.19 C3.20 C3.21 C3.22 C3.23 C3.24 C3.25 C3.26 C3.27 C3.28 C3.29 C3.30
Pertanyaan Apakah Anda Merasakan Hal-Hal di Bawah ini? Berat di bagian kepala setelah bekerja Lelah pada seluruh badan setelah bekerja Kaki terasa berat setelah bekerja Menguap setelah bekerja Fikiran terasa kacau setelah bekerja Mengantuk setelah bekerja Ada beban pada mata setelah bekerja Kaku/canggung dalam bergerak setelah bekerja Sempoyongan / tidak berdiri stabil setelah bekerja Ada perasaan ingin berbaring setelah bekerja Susah berfikir setelah bekerja Lelah untuk berbicara setelah bekerja Menjadi gugup setelah bekerja Tidak bisa berkonsentrasi setelah bekerja shift malam Tidak bisa memusatkan perhatian terhadap sesuatu setelah bekerja Punya kecenderungan untuk lupa setelah bekerja Kurang percaya diri setelah bekerja Cemas terhadap sesuatu setelah bekerja Tidak dapat mengontrol sikap setelah bekerja Tidak dapat tekun dalam pekerjaan setelah bekerja Sakit dikepala Kaku di bagian bahu setelah bekerja Nyeri di punggung setelah bekerja Nafas terasa tertekan setelah bekerja Haus setelah bekerja Suara terasa serak setelah bekerja Pening setelah bekerja Kelopak mata terasa kejang setelah bekerja Anggota badan terasa bergetar (tremor) setelah bekerja Merasa kurang sehat setelah bekerja
Tidak Pernah (0)
Kadang Kadang (1)
0 0 0 0 0 0 0
Sering (2)
Sangat Sering (3)
1 1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3 3
0
1
2
3
0
1
2
3
0 0 0 0
1 1 1 1
2 2 2 2
3 3 3 3
0
1
2
3
0
1
2
3
0
1
2
3
0 0 0
1 1 1
2 2 2
3 3 3
0
1
2
3
0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3 3 3
0
1
2
3
0
1
2
3
6
C4. KEBIASAAN MAKAN No
Pertanyaan
C4a C4b
Apakah Anda mengkonsumsi makanan sebelum tidur? Apakah Anda menahan lapar sebelum tidur setelah bekerja? Apakah Anda mengkonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat tinggi (seperti nasi, roti gandum, ubi jalar, talas, biskuit, sereal, mie basah, kentang, jagung) sebelum tidur?
C4c
Ya (0) 0 0
Tidak (1) 1 1
0
1
Ya (0)
Tidak (1)
0
1
0
1
C5. OBAT-OBATAN No C5a C5b
Pertanyaan Apakah Anda sedang mengkonsumsi obat-obatan yang memberikan efek samping rasa kantuk? Apakah Anda sedang mengkonsumsi obat-obatan yang memberikan efek samping kesulitan untuk tidur?
Isilah Pertanyaan dengan Melingkari (O), Memberi Tanda Silang (X), atau Tanda Ceklis (
) pada Jawaban yang Sesuai dengan yang Anda Rasakan DI SIANG HARI pada Tiap Kegiatan di Bawah Ini
C6. HIPERSOMNIA Kuesioner Epworth Sleepiness Scale (ESS) No
Kegiatan
C6a C6b
Duduk dan membaca Menonton televisi Duduk diam di tempat umum (misalnya bioskop atau sedang rapat) Sebagai penumpang mobil/motor selama satu jam tanpa istirahat Rebahan untuk beristirahat di siang hari ketika keadaan memungkinkan Duduk dan berbicara dengan seseorang Duduk tenang setelah makan siang tanpa minum kopi atau teh Di dalam mobil dan mobil berhenti selama beberapa menit karena macet
C6c C6d C6e C6f C6g C6h
Tidak Pernah Mengantuk (0)
Sedikit Mengantuk (1)
Cukup Mengantuk (2)
Sangat Mengantuk dan Jatuh Tertidur (3)
0 0
1 1
2 2
3 3
0
1
2
3
0
1
2
3
0
1
2
3
0
1
2
3
0
1
2
3
0
1
2
3
7
Isilah Pertanyaan dengan Melingkari (O) atau Memberi Tanda Silang (X) pada Jawaban yang Sesuai dan Menggambarkan INTENSITAS GEJALA PRAMENSTRUASI PADA SIKLUS MENSTRUASI TERAKHIR. Gejala-Gejala di bawah ini merupakan gejala yang mungkin terjadi selama fase pramenstruasi. Fase ini dimulai sekitar 7 hari sebelum siklus menstruasi dimulai dan berakhir hingga menstruasi dimulai. C7. SINDROM PRAMENSTRUASI Kuesioner Shortened Premenstrual Assessment Form (SPAF) No.
C7a
C7b
C7c C7d
C7e
C7f C7g C7h
C7i
C7j
Pertanyaan Payudara terasa nyeri saat ditekan atau tanpa ditekan, terjadi pembesaran atau pembengkakan Merasa tidak mampu mengatasi atau kewalahan oleh tuntutan atau persoalan yang biasanya dijalani Merasa di bawah tekanan (cemas/tertekan) Mudah tersinggung, lekas marah yang meledak-ledak atau berlebihan Merasa sedih, galau, tidak bersemangat, sensitif terhadap penolakan meningkat, mudah menangis Sakit punggung dan panggul, nyeri sendi dan otot, atau kekakuan sendi Peningkatan berat badan Perut terasa berat, tidak nyaman, sakit atau nyeri Adanya edema, pembengkakan/bengkak, atau retensi air (penimbunan air) pada kaki atau pergelangan kaki Perut terasa kembung
Tidak Mengalami (1)
Sangat Ringan (2)
Ringan (3)
Sedang (4)
Berat (5)
Ekstrim (6)
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
C8. MENOPAUSE No.
Pertanyaan
Ya (0)
Tidak (1)
C8a
Apakah Anda masih mengalami haid/menstruasi selama 12 bulan terakhir?
0
1
8
C9. AKTIVITAS FISIK Kuesioner International Physical Activity Questionnaire (IPAQ) Isilah pertanyaan di bawah ini sesuai dengan AKTIVITAS FISIK ANDA SELAMA 7 HARI TERAKHIR Aktivitas fisik berat adalah aktivitas yang menggunakan tenaga fisik kuat sehingga nafas jauh lebih cepat dari biasanya. Seperti : jalan cepat, jogging/berlari, bersepeda di medan berliku/tanjakan, dansa, menari, berkebun (dengan menggunakan peralatan berat, memanjat, memotong ranting), melakukan pekerjaan rumah tangga (memindahkan furniture, membawa belanja dan benda berat sambil menaiki/menuruni tangga, bermain dengan anak-anak (berlari, bersepeda), senam aerobik yang dilakukan minimal selama 10 menit. C9a. Selama 7 hari sebelumnya, berapa hari Anda melakukan aktivitas fisik berat seperti yang dijelaskan di atas? ______________________________ hari seminggu Cb. Berapa lama waktu yang Anda gunakan untuk melakukan aktivitas fisik berat tersebut dalam sehari? _____________ jam ______________ menit sehari Aktivitas fisik sedang adalah aktivitas yang menggunakan daya fisik yang sedang sehingga membuat Anda bernafas agak lebih kuat dari biasanya, seperti : yoga, senam bukan aerobik (golf, tennis, voli, bulu tangkis), berolahraga di rumah (sit up, push up), berkebun (membersihkan rumput dan daun yang berserakan, mencangkul, menanam), pekerjaan rumah tangga (mengepel lantai dan membersihkan rumah dengan banyak menggunakan tangan, menjemur pakaian yang dilakukan minimal selama 10 menit. C9c. Selama 7 hari sebelumnya, berapa hari Anda melakukan aktivitas fisik sedang seperti yang dijelaskan di atas? ______________________________ hari seminggu C9d. Berapa lama waktu yang Anda gunakan untuk melakukan aktivitas fisik sedang tersebut dalam sehari? _____________ jam ______________ menit sehari Berjalan kaki termasuk berjalan kaki di rumah, di tempat kerja, berjalan kaki dari suatu tempat ke tempat lain dan berjalan kaki untuk rekreasi, berolahraga, bersenam atau berjalan kaki pada waktu senggang yang dilakukan minimal selama 10 menit. C9e. Selama 7 hari sebelumnya, berapa hari Anda berjalan kaki seperti yang dijelaskan di atas? ______________________________ hari seminggu
9
C9f. Berapa lama waktu yang Anda gunakan untuk berjalan kaki tersebut dalam sehari? _____________ jam ______________ menit sehari Duduk termasuk bagian dari perilaku sedetary. Waktu yang digunakan untuk duduk pada hari kerja atau dalam rumah termasuk juga waktu duduk yang dihabiskan di tempat kerja, si rumah, waktu mengerjakan tugas, pada waktu senggang, mengunjungi teman-teman, membaca, atau duduk atau berbaring sambil menonton televisi yang dilakukan minimal selama 10 menit. C9g. Selama 7 hari sebelumnya, berapa hari Anda duduk seperti yang dijelaskan di atas? ______________________________ hari seminggu C9h. Berapa lama waktu yang Anda gunakan untuk duduk tersebut dalam sehari? _____________ jam ______________ menit sehari
Modifikasi kuesioner Rosanti, 2011; Agustin, 2012; dan Sulistiyowati dan Nisa, 2014.
10
LAMPIRAN 3 Output A. VALIDITAS DAN RELIABILITAS 1. Kualitas Tidur Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items
.867
13 Item-Total Statistics Scale Mean if Item Deleted
B5a Tidak dapat tertidur dalam waktu 30 menit B5b Terbangun di tengah malam atau pagi-pagi sekali B5c Terbangun karena ingin ke toilet B5d Tidak dapat berbapas dengan leluasa B5e Batuk atau mendengkur B5f Merasa kedinginan di malam hari B5g Merasa kepanasan di malam hari B5h Mimpi buruk B5i Merasa nyeri B6 Selama 1 bulan terakhir, seberapa sering Anda mengkonsumsi obat untuk memb B7 Selama 1 bulan terakhir, seberapa sering Anda mengantuk saat berkendaraan, B8 Selama 1 bulan terakhir, seberapa besar Anda untuk dapat tetap bersemangat B9 Selama 1 bulan terakhir, bagaimana Anda menilai kualitas tidur Anda secara
2. Hipersomnia Reliability Statistics Cronbach's Alpha .790
N of Items 8
Scale Variance if Corrected ItemItem Deleted Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
7.57
26.254
.733
.844
7.67
29.195
.612
.855
7.73
28.616
.703
.850
7.67
32.299
.097
.877
7.57
25.771
.752
.843
7.57
26.116
.751
.843
7.67
26.368
.793
.841
7.70 7.53
28.700 29.292
.692 .511
.851 .859
7.80
32.234
.019
.894
7.63
25.620
.801
.839
7.70
28.700
.692
.851
7.40
33.076
-.025
.883
11
Item-Total Statistics Scale Mean if Item Deleted C7a Duduk dan membaca C7b Menonton televisi C7c Duduk diam di tempat umum (misalnya bioskop atau sedang rapat) C7d Sebagai penumpang mobil/motor selama satu jam tanpa istirahat C7e Rebahan untuk beristirahat di siang hari ketika keadaan memungkinkan C7f Duduk dan berbicara dengan seseorang C7g Duduk tenang setelah makan siang tanpa minum kopi atau teh C7h Di mobil/motor dan mobil/motor berhenti selama beberapa menit karena macet
Scale Variance if Corrected ItemItem Deleted Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
7.83 7.90
14.213 18.300
.739 .251
.725 .798
7.83
15.178
.579
.753
7.23
15.151
.539
.760
7.13
14.602
.506
.769
8.17
16.420
.446
.775
7.80
15.821
.466
.772
8.40
17.076
.453
.775
12
3. Sindrom Pramenstruasi Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items
.886
10 Item-Total Statistics Scale Mean if Item Deleted
C8a Payudara terasa nyeri saat ditekan atau tanpa ditekan, terjadi pembesaran C8b Merasa tidak mampu mengatasi atau kewalahan oleh tuntutan atau persoalan y C8c Merasa di bawah tekanan (cemas/tertekan) C8d Mudah tersinggung, lekas marah yang meledakledak atau berlebihan C8e Merasa sedih, galau, tidak bersemangat, sensitif terhadap penolakan mening C8f Sakit punggung dan panggul, nyeri sendi dan otot, atau kekakuan sendi C8g Peningkatan berat badan C8h Perut terasa berat, tidak nyaman, sakit atau nyeri C8i Adanya edema, pembengkakan/bengkak, atau retensi air (penimbunan air) pada C8j Perut terasa kembung
4. Kelelahan Reliability Statistics Cronbach's Alpha .912
N of Items 30
Scale Variance if Corrected ItemItem Deleted Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
18.73
58.685
.540
.881
17.97
52.309
.812
.861
18.63
55.826
.553
.880
18.30
56.907
.596
.877
18.53
56.602
.673
.873
17.93
53.857
.629
.875
18.30
54.355
.602
.877
18.40
55.972
.565
.879
17.90
52.852
.670
.872
18.30
54.355
.602
.877
13
Item-Total Statistics Scale Mean if Item Deleted C4.1 Berat di bagian kepala setelah bekerja C4.2 Lelah pada seluruh badan setelah bekerja C4.3 Kaki terasa berat setelah bekerja C4.4 Menguap setelah bekerja C4.5 Fikiran terasa kacau setelah bekerja C4.6 Mengantuk setelah bekerja C4.7 Ada beban pada mata setelah bekerja C4.8 Kaku/canggung dalam bergerak setelah bekerja C4.9 Sempoyongan / tidak berdiri stabil setelah bekerja C4.10 Ada perasaan ingin berbaring setelah bekerja C4.11 Susah berfikir setelah bekerja C4.12 Lelah untuk berbicara setelah bekerja C4.13 Menjadi gugup setelah bekerja C4.14 Tidak bisa berkonsentrasi setelah bekerja shift malam C4.15 Tidak bisa memusatkan perhatian terhadap sesuatu setelah bekerja C4.16 Punya kecenderungan untuk lupa setelah bekerja C4.17 Kurang percaya diri setelah bekerja C4.18 Cemas terhadap sesuatu setelah bekerja C4.19 Tidak dapat mengontrol sikap setelah bekerja C4.20 Tidak dapat tekun dalam pekerjaan setelah bekerja C4.21 Sakit dikepala C4.22 Kaku di bagian bahu setelah bekerja C4.23 Nyeri di punggung setelah bekerja C4.24 Nafas terasa tertekan setelah bekerja C4.25 Haus setelah bekerja C4.26 Suara terasa serak setelah bekerja C4.27 Pening setelah bekerja
Scale Variance if Corrected ItemItem Deleted Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
27.07
201.099
.558
.927
26.63
203.482
.470
.928
27.10
201.610
.484
.928
26.90
201.748
.457
.928
26.13
194.326
.596
.926
26.70
195.045
.683
.925
26.67
188.437
.780
.923
26.47
196.120
.543
.927
26.67
200.230
.473
.928
26.67
193.402
.674
.925
27.23
203.426
.416
.928
27.00
200.690
.389
.929
27.23
205.357
.291
.930
27.07
200.202
.607
.926
27.13
198.326
.695
.925
27.13
203.430
.421
.928
27.40
205.766
.337
.929
27.20
205.959
.285
.930
26.07
194.340
.626
.926
26.97
205.689
.241
.930
26.73
196.754
.565
.927
26.67
195.402
.622
.926
26.67
193.678
.693
.925
26.93
197.306
.489
.928
26.43
199.013
.431
.929
26.77
189.564
.751
.924
26.67
193.333
.707
.925
14
C4.28 Kelopak mata terasa kejang setelah bekerja C4.29 Anggota badan terasa bergetar (tremor) setelah bekerja C4.30 Merasa kurang sehat setelah bekerja
26.07
194.340
.626
.926
27.10
203.472
.364
.929
26.80
195.890
.602
.926
B. HASIL 1.
UNIVARIAT a. Kualitas Tidur b_kualitastidur Frequency Valid
buruk
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
112
88.9
88.9
88.9
baik
14
11.1
11.1
100.0
Total
126
100.0
100.0
b. Jenis Shift Kerja a3_jenis_shiftkerja Frequency Valid
c.
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
malam
43
34.1
34.1
34.1
siang
42
33.3
33.3
67.5
pagi
41
32.5
32.5
100.0
Total
126
100.0
100.0
Stres Emosional c2_stres_emosional Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
ya
64
50.8
50.8
50.8
tidak
62
49.2
49.2
100.0
Total
126
100.0
100.0
d. Aktivitas Fisik c9_aktivitas_fisik Frequency Valid
Berat rendah sedang Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
102
81.0
81.0
81.0
24
19.0
19.0
100.0
126
100.0
100.0
15
e.
Kebiasaan Makan c4_kebiasaan_makan Frequency
Valid
f.
tidak konsumsi
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
26
20.6
20.6
20.6
Konsumsi
100
79.4
79.4
100.0
Total
126
100.0
100.0
Asupan Obat-Obatan c5_asupan_obat Frequency
Valid
g.
Konsumsi
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
25
19.8
19.8
19.8
tidak konsumsi
101
80.2
80.2
100.0
Total
126
100.0
100.0
Penyakit Fisik c1_penyakit_fisik1 Frequency
Valid
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
ada
95
75.4
75.4
75.4
tidak ada
31
24.6
24.6
100.0
126
100.0
100.0
Total
h. Hipersomnia c6_hipersomia Frequency Valid
i.
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
ya
35
27.8
27.8
27.8
tidak
91
72.2
72.2
100.0
Total
126
100.0
100.0
Sindrom Pramenstruasi c7_pms Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
gejala sedang hingga gejala berat
29
23.0
23.0
23.0
tidak ada gejala hingga gejala ringan
97
77.0
77.0
100.0
126
100.0
100.0
Total
16
j.
Menopause c8_menopause Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
sudah
43
34.1
34.1
34.1
belum
83
65.9
65.9
100.0
Total
126
100.0
100.0
k. Kelelahan Descriptives Statistic skor_kelelahan
Std. Error
Mean
24.01
95% Confidence Interval for Lower Bound Mean Upper Bound
21.83
5% Trimmed Mean
23.40
Median
23.00
1.102
26.19
Variance
153.032
Std. Deviation
12.371
Minimum
3
Maximum
71
Range
68
Interquartile Range
16
Skewness Kurtosis
.781
.216
1.415
.428
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic skor_kelelahan
.080
a. Lilliefors Significance Correction
df
Shapiro-Wilk
Sig. 126
.045
Statistic .955
df
Sig. 126
.000
17
2.
BIVARIAT a. Jenis Shift Kerja Crosstab b_kualitastidur buruk a3_jenis_shiftkerja
malam
Count % within a3_jenis_shiftkerja
siang pagi
4
43
90.7%
9.3%
100.0%
37
5
42
88.1%
11.9%
100.0%
36
5
41
87.8%
12.2%
100.0%
112
14
126
88.9%
11.1%
100.0%
Count % within a3_jenis_shiftkerja
Total
Count % within a3_jenis_shiftkerja
Total
39
Count % within a3_jenis_shiftkerja
baik
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Asymp. Sig. (2sided)
df
.218a .224 .179
2 2 1
.897 .894 .672
126
a. 3 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,56. Variables in the Equation 95,0% C.I.for EXP(B) B a
Step 1
S.E.
a3_jenis_shiftkerja
Wald
df
Sig.
Exp(B)
.217
2
.897
Lower
Upper
a3_jenis_shiftkerja(1)
-.303
.710
.183
1
.669
.738
.184
2.967
a3_jenis_shiftkerja(2)
-.027
.674
.002
1
.968
.973
.259
3.649
.477 17.109
1
.000
.139
Constant
-1.974
a. Variable(s) entered on step 1: a3_jenis_shiftkerja.
b. Stres Emosional Crosstab b_kualitastidur buruk c2_stres_emosional
ya
Count % within c2_stres_emosional
tidak
Count % within c2_stres_emosional
Total
Count % within c2_stres_emosional
baik
Total
58
6
64
90.6%
9.4%
100.0%
54
8
62
87.1%
12.9%
100.0%
112
14
126
88.9%
11.1%
100.0%
18
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-sided)
df
.397a
1
.529
.120
1
.729
.398
1
.528
Exact Sig. (2-sided)
Fisher's Exact Test
.581
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Exact Sig. (1-sided)
b
.394
1
.365
.530
126
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,89. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for c2_stres_emosional (ya / tidak) For cohort b_kualitastidur = buruk For cohort b_kualitastidur = baik N of Valid Cases
c.
Lower
Upper
1.432
.467
4.396
1.041
.919
1.178
.727
.267
1.973
126
Aktivitas Fisik Crosstab b_kualitastidur buruk
c9_aktivitas_ Berat fisik rendah sedang
Count % within c9_aktivitas_fisik Count % within c9_aktivitas_fisik
Total
Count % within c9_aktivitas_fisik
baik
Total
91
11
102
89.2%
10.8%
100.0%
21
3
24
87.5%
12.5%
100.0%
112
14
126
88.9%
11.1%
100.0%
19
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-sided)
df
.058a
1
.810
.000
1
1.000
.056
1
.812
Exact Sig. (2-sided)
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (1-sided)
.729
Linear-by-Linear Association
.057
N of Valid Casesb
126
1
.523
.811
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,67. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for c9_aktivitas_fisik (berat / rendah sedang) For cohort b_kualitastidur = buruk For cohort b_kualitastidur = baik N of Valid Cases
Lower
Upper
1.182
.303
4.613
1.020
.864
1.203
.863
.261
2.855
126
d. Kebiasaan Makan c4_kebiasaan_makan * b_kualitastidur Crosstabulation b_kualitastidur buruk c4_kebiasaan tidak konsumsi _makan konsumsi
Count % within c4_kebiasaan_makan Count % within c4_kebiasaan_makan
Total
Count % within c4_kebiasaan_makan
baik
Total
24
2
26
92.3%
7.7%
100.0%
88
12
100
88.0%
12.0%
100.0%
112
14
126
88.9%
11.1%
100.0%
20
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df
Exact Sig. (2sided)
.388a
1
.534
.074
1
.785
.419
1
.518
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (1sided)
.733
Linear-by-Linear Association
.385
N of Valid Casesb
126
1
.414
.535
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,89. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for c4_kebiasaan_makan (tidak konsumsi / konsumsi) For cohort b_kualitastidur = buruk For cohort b_kualitastidur = baik N of Valid Cases
e.
Lower
Upper
1.636
.343
7.815
1.049
.919
1.198
.641
.153
2.688
126
Asupan Obat-Obatan Crosstab b_kualitastidur buruk
c5_asupan_ Konsumsi obat tidak konsumsi
Count % within c5_asupan_obat Count % within c5_asupan_obat
Total
Count % within c5_asupan_obat
baik
Total
25
0
25
100.0%
.0%
100.0%
87
14
101
86.1%
13.9%
100.0%
112
14
126
88.9%
11.1%
100.0%
21
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-sided)
df
3.899a
1
.048
2.621
1
.105
6.613
1
.010
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.070
Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
3.868
1
.037
.049
126
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,78. b. Computed only for a 2x2 table
f.
Penyakit Fisik c1_penyakit_fisik1 * b_kualitastidur Crosstabulation b_kualitastidur buruk
c1_penyakit_fisik1
Ada
Count % within c1_penyakit_fisik1
tidak ada
Count % within c1_penyakit_fisik1
Total
Count % within c1_penyakit_fisik1
baik
Total
88
7
95
92.6%
7.4%
100.0%
24
7
31
77.4%
22.6%
100.0%
112
14
126
88.9%
11.1%
100.0%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square
Asymp. Sig. (2sided)
df
5.476a
1
.019
Continuity Correctionb
4.044
1
.044
Likelihood Ratio
4.805
1
.028
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
b
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
.042 5.433
1
.020
126
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,44. b. Computed only for a 2x2 table
.027
22
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for c1_penyakit_fisik1 (ada / tidak ada) For cohort b_kualitastidur = buruk For cohort b_kualitastidur = baik N of Valid Cases
g.
Lower
Upper
3.667
1.172
11.473
1.196
.981
1.459
.326
.124
.857
126
Hipersomnia Crosstab b_kualitastidur buruk
c6_hipersomia
ya
Count % within c6_hipersomia
tidak Total
30
5
35
14.3%
100.0%
82
9
91
90.1%
9.9%
100.0%
Count % within c6_hipersomia
Total
85.7%
Count % within c6_hipersomia
baik
112
14
126
88.9%
11.1%
100.0%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-sided)
df
.495a
1
.482
.150
1
.699
.473
1
.492
Exact Sig. (2-sided)
Fisher's Exact Test
.531
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
b
.491
1
Exact Sig. (1-sided)
.338
.484
126
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,89. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for c6_hipersomia (ya / tidak) For cohort b_kualitastidur = buruk For cohort b_kualitastidur = baik N of Valid Cases
Lower
Upper
.659
.204
2.123
.951
.818
1.107
1.444
.520
4.011
126
23
h. Sindrom Pramenstruasi (PMS) Crosstab b_kualitastidur buruk c7_pms
gejala sedang hingga gejala Count berat % within c7_pms tidak ada gejala hingga gejala ringan
Total
3
29
89.7%
10.3%
100.0%
86
11
97
88.7%
11.3%
100.0%
112
14
126
88.9%
11.1%
100.0%
Count % within c7_pms
Total
26
Count % within c7_pms
baik
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square
Asymp. Sig. (2-sided)
df
.022a
1
.881
Continuity Correctionb
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.023
1
.880
Exact Sig. (2-sided)
Fisher's Exact Test
1.000
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Exact Sig. (1-sided)
b
.022
1
.882
126
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,22. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for c7_pms (gejala sedang hingga gejala berat / tidak ada gejala hingga gejala ringan) For cohort b_kualitastidur = buruk For cohort b_kualitastidur = baik N of Valid Cases
Lower
Upper
1.109
.287
4.275
1.011
.877
1.166
.912
.273
3.051
126
.592
24
i.
Menopause Crosstab b_kualitastidur buruk
c8_menopause
sudah
Count % within c8_menopause
belum Total
4
43
90.7%
9.3%
100.0%
73
10
83
88.0%
12.0%
100.0%
112
14
126
88.9%
11.1%
100.0%
Count % within c8_menopause
Total
39
Count % within c8_menopause
baik
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square
Asymp. Sig. (2-sided)
df
.216a
1
.642
Continuity Correctionb
.028
1
.868
Likelihood Ratio
.222
1
.638
Exact Sig. (2-sided)
Fisher's Exact Test
.770
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Exact Sig. (1-sided)
.215
b
1
.643
126
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,78. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for c8_menopause (sudah / belum) For cohort b_kualitastidur = buruk For cohort b_kualitastidur = baik N of Valid Cases
j.
Lower
Upper
1.336
.393
4.537
1.031
.910
1.168
.772
.257
2.318
126
Kelelahan Ranks b_kualit astidur
skor_kelelahan
Buruk
N
Mean Rank
Sum of Ranks
112
65.78
7367.00
Baik
14
45.29
634.00
Total
126
.444
25
Test Statisticsa skor_kelelahan Mann-Whitney U 529.000 Wilcoxon W 634.000 Z -1.981 Asymp. Sig. (2-tailed) .048 a. Grouping Variable: b_kualitastidur
C. CROSSTABS 1. Jenis Shift Kerja Crosstab c3_kelelahan_kategorik sedang a3_jenis_shiftk malam Count erja % within a3_jenis_shiftkerja siang
Total
37
43
.0%
14.0%
86.0%
100.0%
2
10
30
42
4.8%
23.8%
71.4%
100.0%
1
18
22
41
2.4%
43.9%
53.7%
100.0%
3
34
89
126
2.4%
27.0%
70.6%
100.0%
Count % within a3_jenis_shiftkerja
a3_jenis_shiftkerja * c8_menopause Crosstabulation c8_menopause sudah a3_jenis_shiftk malam Count erja % within a3_jenis_shiftkerja siang
Count % within a3_jenis_shiftkerja
pagi
Count % within a3_jenis_shiftkerja
Total
Count % within a3_jenis_shiftkerja
Total
6
Count % within a3_jenis_shiftkerja
tidak lelah
0
Count % within a3_jenis_shiftkerja
pagi
ringan
belum
Total
12
31
43
27.9%
72.1%
100.0%
14
28
42
33.3%
66.7%
100.0%
17
24
41
41.5%
58.5%
100.0%
43
83
126
34.1%
65.9%
100.0%
26
2.
Stres Emosional Crosstab c3_kelelahan_kategorik sedang c2_stres_emo ya sional
Count % within c2_stres_emosional
Total
Total
23
38
64
4.7%
35.9%
59.4%
100.0%
0
11
51
62
.0%
17.7%
82.3%
100.0%
3
34
89
126
2.4%
27.0%
70.6%
100.0%
Count % within c2_stres_emosional
tidak lelah
3
tidak Count % within c2_stres_emosional
ringan
Crosstab c8_menopause sudah c2_stres_emosional
Ya
Count % within c2_stres_emosional
Tidak
3.
41
64
35.9%
64.1%
100.0%
20
42
62
32.3%
67.7%
100.0%
43
83
126
34.1%
65.9%
100.0%
Count % within c2_stres_emosional
Total
23
Count % within c2_stres_emosional
Total
belum
Aktivitas Fisik Crosstab c3_kelelahan_kategorik sedang
c9_aktivitas berat _fisik
Count % within c9_aktivitas_fisik
Total
Total
31
70
102
1.0%
30.4%
68.6%
100.0%
2
3
19
24
8.3%
12.5%
79.2%
100.0%
Count % within c9_aktivitas_fisik
tidak lelah
1
rendah sedang Count % within c9_aktivitas_fisik
ringan
3
34
89
126
2.4%
27.0%
70.6%
100.0%
Crosstab c8_menopause sudah c9_aktivitas_fisik
Berat
Count % within c9_aktivitas_fisik
rendah sedang
Count % within c9_aktivitas_fisik
Total
Count % within c9_aktivitas_fisik
belum
Total
37
65
102
36.3%
63.7%
100.0%
6
18
24
25.0%
75.0%
100.0%
43
83
126
34.1%
65.9%
100.0%
27
c9_aktivitas_fisik * c4_kebiasaan_makan Crosstabulation c4_kebiasaan_makan tidak konsumsi c9_aktivitas_ Berat fisik rendah sedang
Count % within c9_aktivitas_fisik
Total
Count % within c9_aktivitas_fisik
4.
Total
83
102
18.6%
81.4%
100.0%
7
17
24
29.2%
70.8%
100.0%
Count % within c9_aktivitas_fisik
konsumsi
19
26
100
126
20.6%
79.4%
100.0%
Kebiasaan Makan Crosstab c3_kelelahan_kategorik sedang c4_kebiasaan tidak konsumsi _makan Konsumsi
Count % within c4_kebiasaan_makan
Total
Total
8
16
26
7.7%
30.8%
61.5%
100.0%
1
26
73
100
1.0%
26.0%
73.0%
100.0%
3
34
89
126
2.4%
27.0%
70.6%
100.0%
Count % within c4_kebiasaan_makan
tidak lelah
2
Count % within c4_kebiasaan_makan
ringan
Crosstab a3_jenis_shiftkerja malam c4_kebiasaan_ makan
tidak konsumsi konsumsi
Count % within c4_kebiasaan_makan Count % within c4_kebiasaan_makan
Total
Count % within c4_kebiasaan_makan
siang
pagi
Total
7
10
9
26
26.9%
38.5%
34.6%
100.0%
36
32
32
100
36.0%
32.0%
32.0%
100.0%
43
42
41
126
34.1%
33.3%
32.5%
100.0%
28
5.
Asupan Obat-Obatan Crosstab c8_menopause sudah
c5_asupan_obat
Konsumsi
Count % within c5_asupan_obat
tidak konsumsi Total
6.
14
25
44.0%
56.0%
100.0%
32
69
101
31.7%
68.3%
100.0%
43
83
126
34.1%
65.9%
100.0%
Count % within c5_asupan_obat
Total
11
Count % within c5_asupan_obat
belum
Hipersomnia Crosstab a3_jenis_shiftkerja malam
c6_hipersomia
ya
Count % within c6_hipersomia
tidak Total
Total
12
9
14
35
25.7%
40.0%
100.0%
31
33
27
91
34.1%
36.3%
29.7%
100.0%
Count % within c6_hipersomia
pagi
34.3%
Count % within c6_hipersomia
siang
43
42
41
126
34.1%
33.3%
32.5%
100.0%
Crosstab c8_menopause sudah c6_hipersomia
ya
Count % within c6_hipersomia
tidak Total
7.
22
35
37.1%
62.9%
100.0%
30
61
91
33.0%
67.0%
100.0%
Count % within c6_hipersomia
Total
13
Count % within c6_hipersomia
belum
43
83
126
34.1%
65.9%
100.0%
Sindrom Pramenstruasi c7_pms * c3_kelelahan_kategorik Crosstabulation c3_kelelahan_kategorik sedang
c7_pms
gejala sedang Count hingga gejala berat % within c7_pms tidak ada gejala Count hingga gejala ringan % within c7_pms
Total
Count % within c7_pms
ringan
tidak lelah
Total
3
15
11
29
10.3%
51.7%
37.9%
100.0%
0
19
78
97
.0%
19.6%
80.4%
100.0%
3
34
89
126
2.4%
27.0%
70.6%
100.0%
29
8.
Menopause Crosstab c3_kelelahan_kategorik sedang
c8_menopause
sudah
Count % within c8_menopause
belum Total
34
43
4.7%
16.3%
79.1%
100.0%
1
27
55
83
1.2%
32.5%
66.3%
100.0%
3
34
89
126
2.4%
27.0%
70.6%
100.0%
Crosstab c6_hipersomia ya c8_menopause
sudah
Count % within c8_menopause
belum
Count % within c8_menopause
Total
Count % within c8_menopause
tidak 30
43
30.2%
69.8%
100.0%
22
61
83
26.5%
73.5%
100.0%
35
91
126
27.8%
72.2%
100.0%
C1A_n
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
tidak
98
77.8
77.8
77.8
ya
28
22.2
22.2
100.0
126
100.0
100.0
Total
C1B_n Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
tidak
78
61.9
61.9
61.9
ya
48
38.1
38.1
100.0
126
100.0
100.0
Total
C1C_n Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
tidak
63
50.0
50.0
50.0
Ya
63
50.0
50.0
100.0
126
100.0
100.0
Total
Total
13
D. JAWABAN PERTANYAAN
Frequency
Total
7
Count % within c8_menopause
tidak lelah
2
Count % within c8_menopause
ringan
30
C1D_n Frequency Valid
ya
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
114
90.5
90.5
90.5
tidak
12
9.5
9.5
100.0
Total
126
100.0
100.0
c6a_rec Frequency Valid
tidak
Valid Percent
Cumulative Percent
118
93.7
93.7
93.7
8
6.3
6.3
100.0
126
100.0
100.0
ya Total
Percent
c6b_rec Frequency Valid
tidak
Valid Percent
Cumulative Percent
124
98.4
98.4
98.4
2
1.6
1.6
100.0
126
100.0
100.0
ya Total
Percent
b6_rec Frequency Valid
tidak ya Total
B6
Percent
Cumulative Percent
106
84.1
84.1
84.1
20
15.9
15.9
100.0
126
100.0
100.0
Selama 1 bulan terakhir, seberapa sering Anda mengkonsumsi obat untuk memb Frequency
Valid
Valid Percent
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
tidak pernah
106
84.1
84.1
84.1
1x seminggu
12
9.5
9.5
93.7
2x seminggu
7
5.6
5.6
99.2
>= 3x seminggu
1
.8
.8
100.0
126
100.0
100.0
Total