Analisis, Desember 2013, Vol.2 No.2 : 193 – 200
ISSN 2252-7230
KEDUDUKAN PERJANJIAN KERJA SAMA OPERASI (KSO) DALAM HUKUM PERUSAHAAN DI INDONESIA Legal Standing of Joint Operation Agreement (JOA) According to Company Law in Indonesia Eka Suci Mauliyani, Ahmadi Miru, Nurfaidah Said Program Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin (E-mail:
[email protected]) ABSTRAK Perjanjian kerja sama operasi (KSO) adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih yang sepakat bersama-sama menyelesaikan suatu proyek, baik yang membentuk entitas hukum baru (administrative JO) maupun tanpa membentuk entitas hukum baru (non administrative JO). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami (1) konsep pelaksanaan perjanjian KSO di Indonesia (2) pengaturan hukum perusahaan di Indonesia mengenai bentuk badan usaha KSO dan (3) perlindungan hukum terhadap pihak ketiga dalam pelaksanaan KSO. Penelitian ini berbentuk penelitian empirik. Data diolah dengan menggunakan metode kualitatif dengan mendiskripsikan data berupa data primer dan data sekunder untuk kemudian dilakukan penafsiran dan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan perjanjian KSO di dalam praktik baik yang berbentuk administrative JO maupun non administrative JO telah memenuhi syarat keabsahan sebagai suatu perjanjian berdasarkan hukum perjanjian di Indonesia. Hanya saja perjanjian KSO ini belum diatur secara tegas dalam bentuk kaidah hukum sebagai salah satu jenis kontrak innominaat. Kekhususan dari KSO ini sendiri dapat bertindak sebagai suatu badan usaha seiring dengan perkembangan kebutuhan para pengusaha sehingga setiap pihak yang menciptakan kaidah atau ketentuan hukum perusahaan dapat menjadi sumber hukum perusahaan itu sendiri, diantaranya adalah perundangundangan. kontrak perusahaan, putusan pengadilan, dan kebiasaan. Berdasarkan hal tersebut kerja sama operasi dapat diakui sebagai bentuk badan usaha kerja sama yang terbentuk berdasarkan perjanjian yang tidak berbadan hokum karena tidak adanya pengesahan dari pihak yang berwenang. Namun hubungan hukum yang dilakukannya terhadap pihak ketiga belum dapat memberikan perlindungan hukum karena KSO tidak memiliki kecakapan atau kewenangan bertindak berdasarkan Pasal 1320 BW sehingga pertanggungjawaban KSO terkait adanya wanprestasi tidak menjamin para pihak dikarenakan KSO tidak dapat bertindak di muka pengadilan, baik sebagai penggugat maupun tergugat. Kata Kunci: Badan usaha, kerja sama operasi ABSTRACT A Joint Operation Agreement (JOA) is an agreement involving 2 (two) parties or more, jointly agree to carry out a project either, which is establishing new legal entity (Administrative JO) or new nonlegal entity (non-administrative JO). This research have objective to learn and understand (1) implementation of JOA concept in Indonesia, (2) The regulation of Indonesian Company Law relating to the form of JOA, (3) legal protection to third parties in light of JOA. The research is study empirically. Data are processed using qualitative methods by describing data in the form of primary data and secondary data in order to draw interpretation and conclusion. The result shows that JOA implementation in practice either administrative JO or non-administrative JO have fulfilled legality requirement as an agreement according to the Indonesian Contract Law. However, the JOA have not fulfilled the element of legal principle as an anonymous contract (innominaat/onbenoemde) having a quality exclusively governing JOA. The exclusivity of JOA itself is able to act as a business entity in line with the development of necessity among the entrepreneurs so that any parties developing principle and regulation are able to become as the sources of company law itself, including are laws, company contract, verdict, and custom. According to the above, JOA may be considered as a
193
Eka Suci Mauliyani
ISSN 2252-7230
business entity established according to an agreement and instead a legal entity since no ratification from the authority bodies. Nevertheless, legal relation conducted to the third parties have not provided legal protection since JOA do not have the rights and competency to act according to the Article 1320 Indonesia Civil Code (BW) so that JOA's responsibility relating to default do not guarantee the parties due to JOA cannot act before the court, either as a claimant or defendant. Keywords: Business entity, joint operation agreement
(Tambunan, 2011). Tanggung jawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada pada entitas JO, bukan pada masingmasing anggota JO. Masalah pembagian modal kerja atau pembiayaan proyek, pengadaan peralatan, tenaga kerja, biaya bersama (joint cost) serta pembagian hasil (profit sharing) sehu-bungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pada porsi pekerjaan (scope of works) masingmasing yang disepakati dalam sebuah perjanjian KSO. Konsep administrative JO ini salah satunya terdapat di dalam perjanjian KSO pada umumnya, misalnya Perjanjian KSO antara Perseroan Terbatas PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk. dan PT Jaya Real Property, Tbk. Di dalam perjanjiannya diatur dan ditetapkan bahwa perjanjian kerja sama yang dibuat oleh kedua perseroan terbatas tersebut merupakan suatu badan usaha yang terpisah dari subjek hukum para pihak dan akan memiliki hak dan kewajiban tersendiri, termasuk secara mandiri dapat melakukan tindakan atas nama dirinya sendiri (corporate action), melaksanakan tindakan, dan hubungan hukum dengan dan kepada pihak ketiga manapun, melalui menajemen dan struktur organisasi yang tersendiri meskipun beranggotakan perwakilan dari masing-masing pihak, dan memiliki sistem administrasi, akuntansi, perpajakan, dan sistem kerja (antara lain sumber daya manusia, operasional, pemasaran) yang terpisah dari para pihak. Berdasarkan ketentuan tersebut, ada indikasi bahwa suatu perjanjian KSO yang dianggap sebagai suatu badan usaha bukan merupakan badan usaha yang telah diatur dalam hukum perusahaan di Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa perkembangan bentuk badan
PENDAHULUAN Salah satu bentuk perjanjian kerja sama konstruksi yang sangat berkembang di Indonesia adalah kerja sama operasi (KSO). Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/ 2011 tentang Pedoman Persyaratan Pemberian Izin Perwakilan Badan usaha Jasa konstruksi Asing mengatur bahwa kerja sama operasi (joint operation) adalah kerja sama antara satu atau lebih BUJK (Badan Usaha Jasa Konstruksi), bersifat sementara untuk menangani satu atau beberapa proyek dan tidak merupakan suatu badan hukum baru berdasarkan perundang-undangan Indonesia. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum ini tidaklah mengatur lebih lanjut lagi mengenai status hukum, bentuk badan usaha, maupun peraturan yang berlaku bagi KSO, hanya dijelaskan bahwa KSO ini berkewajiban untuk mematuhi peraturan perundang-undangan. Namun pada praktiknya, kontrak konstruksi tidak lagi hanya persoalan negosiasi antara kontraktor sebagai pihak owner dan pemerintah sebagai pihak bouwheer belaka, melainkan melibatkan juga secara intens pihak-pihak lain, terutama pihak-pihak penyandang dana, seperti bank-bank atau sindikasinya, dan pihak-pihak lain seperti asuransi, ahli manajemen, ahli pajak, dan sebagainya. Dengan demikian berkembanglah jenis perjanjian KSO ini dalam bentuk administrative joint operation (administrative JO). Tipe ini sering juga disebut sebagai KSO di mana kontrak dengan pihak pemberi kerja atau project Owner ditandatangani atas nama joint operation (JO). Dalam hal ini JO dianggap seolaholah merupakan entitas tersendiri yang terpisah dari perusahaan para anggotanya 194
Badan usaha, kerja sama operasi
ISSN 2252-7230
usaha di Indonesia sangatlah cepat, tetapi tidak diikuti dengan perkembangan perangkat hukumnya. Jadi kedudukan suatu perjanjian kerja sama operasi (KSO) sebagai suatu badan usaha di dalam praktik dapat diduga tidak memberikan perlindungan hukum kepada pihak ketiga karena belum dapat memberikan jaminan kepastian hukum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian kerja sama operasi dan pengaturan hukum perusahaan terhadap bentuk badan usaha kerja sama operasi serta perlindungan hukum terhadap pihak ketiga atas hubungan hukum yang dilakukannya.
sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Amiruddin, dkk., 2004), maka penelitian dilakukan pada PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk. sebagai perusahaan yang melakukan perjanjian KSO yang berbentuk administrative JO dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (Telkom) sebagai perusahaan yang melakukan perjanjian KSO yang berbentuk non administrative JO. Metode pengumpulan data Jenis dan sumber data yang digunakan adalah data primer, yakni data yang bersumber atau diperoleh langsung dari hasil wawancara pada pihak-pihak yang terkait dengan obyek penelitian, dalam hal ini adalah perusahaan pelaksana perjanjian kerja sama operasi, bank, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan notaris yang bertujuan untuk mendukung teori-teori normatif maupun pendapat-pedapat yang digunakan dalam penelitian ini dan data sekunder, yakni data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian kerja sama operasi dan tulisan-tulisan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.
BAHAN DAN METODE Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di Jakarta karena perusahaan yang melakukan perjanjian KSO berbentuk administrative JO berkedudukan di ibu kota Jakarta dan di Makassar karena perusahaan yang melakukan perjanjian KSO berbentuk non administrative JO berada di Kota Makassar, serta tempat-tempat lain yang mendukung penelitian atas praktik pelaksanaan kerja sama operasi ini. Desain penelitian Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat normatif dan konseptual, yaitu penelitian yang didasarkan tidak hanya pada aspek hukumnya, akan tetapi juga bagaimana penerapan aspek hukum tersebut jika dibandingkan dengan Negara-Negara maju lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan data maka dilakukan penelitian kepustakaan yang didukung dengan penelitian lapangan.
Analisis data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan yang bersifat kualitatif, yaitu pendekatan dengan cara mempelajari, memperhatikan kualitas dan kedalaman data yang diperoleh. Setelah analisis data selesai, maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Berdasarkan hasil tersebut ditarik kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
Populasi dan sampel Populasi penelitian ini yaitu seluruh perusahaan yang terlibat perjanjian KSO baik yang berbentuk administrative JO maupun non administrative JO. Pengambilan sampelnya dengan cara purposive sampling, yaitu pemilihan sekelompok subjek atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai
HASIL Pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama Operasi (KSO) di Indonesia KSO berdasarkan Permen Pekerjaan Umum Pasal 1 angka (6) telah mengatur 195
Eka Suci Mauliyani
ISSN 2252-7230
bahwa KSO itu sifatnya hanya sementara untuk menangani satu atau beberapa proyek dan tidak merupakan suatu badan hukum baru berdasarkan perundangundangan Indonesia. Namun di dalam praktiknya, pelaksanaan perjanjian KSO tidaklah hanya perjanjian kerja sama sama yang sifatnya sementara dan tidak merupakan suatu badan usaha baru tetapi bentuk perjanjian KSO yang berkembang beraneka ragam. Pelaksanaan perjanjian KSO yang dibuat antara PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk (PJA) dan PT Jaya Real Property, Tbk. (JRP) merupakan Perjanjian yang dibentuk antara dua badan usaha yang berbentuk badan hukum dalam rangka pembangunan hunian dan/atau komersial di kawasan Ancol Barat beserta dengan sarana dan prasarananya. Perjanjian KSO yang dimaksudkan oleh PJA dan JRP merupakan perjanjian kerja sama operasi yang dibuat, ditandatangani, dan dilaksanakan oleh PJA dan JRP sehubungan dengan pelaksanaan proyek. Perjanjian tersebut kemudian disebut sebagai perjanjian KSO Pembangunan Jaya Property. Keunikannya adalah KSO tersebut merupakan satu-satunya nama atau identitas bagi entitas. KSO yang merupakan perpaduan dari nama masing-masing PJA dan JRP, bersifat sementara selama jangka waktu KSO dan sampai dengan pengakhiran perjanjian KSO tersebut, dengan ketentuan bahwa setiap waktu selama jangka waktu KSO dan perjanjian KSO ini dapat diubah dengan nama atau identitas lain oleh para pihak, yang secara administratif dan komersial akan menjadi satu-satunya nama atau identitas bagi badan usaha KSO, baik ke dalam (internal) maupun ke luar (eksternal). Artinya, bahwa ada suatu entitas hukum tersendiri yang dibentuk pada KSO Pembangunan Jaya Property. Perjanjian KSO yang dibuat oleh PT Telkom dan kelima mitra usaha KSO, di mana KSO Telkom yang dilaksanakan sejak tahun 1999 untuk pembangunan dua juta Satuan Sambungan Telepon
(SST) diperkenalkan oleh pemerintah untuk mendukung masalah pendanaan yang terbatas bagi perluasan jaringan telekomunikasi di Indonesia. Dengan demikian, dibuka kesempatan bagi para penanam modal baik dalam negeri maupun asing untuk ikut menyertakan modalnya berbentuk saham ke dalam KSO. Kelima mitra PT Telkom yang membentuk KSO tersebut, diantaranya adalah PT Pramindo Ikat Nusantara (PIN) untuk mengelola di Divisi Regional I Sumatera (membangun 516.487 sst), PT Aria West International untuk DIVRE-III Jawa Barat (500.000 sst), PT Mitra Global Telekomunikasi Indonesia (MGTI) untuk DIVRE-IV Jawa Tengah dan Yogyakarta (400.000 sst), PT Daya Mitra Telekomunikasi untuk DIVRE-VI Kalimantan ( 237.000 sst); serta PT Bukaka Singtel International untuk DIVRE-VII KTI (403.000 sst). Berdasarkan perjanjiannya, PT Telkom bertindak sebagai bouwheer-nya dan kelima mitra usahanya bertindak sebagai project owner. Namun Kenyatannya, KSO PT Telkom ini tidak terselesaikan sesuai dengan jangka waktu yang diatur dalam perjanjian KSOnya, di mana perjanjian tersebut akan berlaku hingga 31 Desember 2010. Namun setelah satu tahun berjalan sejak ditandatanganinya perjanjian KSO pada tahun 1995, kinerja akhir tahun dari kelima mitra KSO tersebut belum memenuhi target pembangunan. Permasalahan ini terjadi karena praktik KSO ini merupakan praktik yang baru dilaksanakan oleh PT Telkom sehingga menjadi suatu hal yang baru bagi perusahaan untuk melaksanakannya. Kerja Sama Operasi (KSO) sebagai Bentuk Badan Usaha dalam Hukum Perusahaan di Indonesia Keunikan dari praktik pelaksanaan KSO adalah pembentukan suatu entitas baru yang terpisah dari para pihak yang sepakat membentuk perjanjian kerja sama operasi. Karakteristik dari entitas baru 196
Badan usaha, kerja sama operasi
ISSN 2252-7230
yang dimaksud diantaranya adalah, seperti halnya firma, KSO pada umumnya menggunakan nama bersama. Organ tertinggi pada KSO berada pada para pihak pembentuk perjanjian KSO, memiliki organ direksi yang tugasnya bukan untuk bertindak mewakili KSO baik di dalam maupun di luar pengadilan tetapi bertanggung jawab penuh untuk melakukan pengendalian, pengarahan, dan pengawasan terhadap keseluruhan proyek KSO dikarenakan ada organ manajemen sebagai perwakilan yang sah dan sepenuhnya dari dan oleh karenanya untuk dan atas nama serta mewakili KSO melakukan hubungan hukum dan ekonomis dengan pihak ketiga manapun untuk kepentingan KSO. Hanya saja berdasarkan perjanjian KSO, tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai tanggung jawab manajemen KSO terhadap hubungan hukum yang dilakukannya terhadap pihak ketiga. KSO juga memiliki harta kekayaan yang terpisah dari para pihak, di mana para pihak berkewajiban memasukkan modalnya ke dalam KSO dalam bentuk inbreng, baik berupa uang, barang, ataupun keahlian. Namun, pada perjanjian KSO Pembangunan Jaya Property misalnya, tidaklah dibuat dihadapan notaris dan badan usaha yang dimaksudkan pula di dalam perjanjiannya tidak pula didaftar ataupun diumumkan sebagaimana badan usaha yang diatur dalam hukum perusahaan di Indonesia.
dana yang dibutuhkan oleh manajemen proyek untuk melaksanakan dan menyelesaikan proyek KSO, baik yang disebabkan oleh tidak cukupnya modal awal proyek KSO, eskalasi RAB dan/atau yang disebabkan oleh hal-hal lain pada tahap proyek masa konstruksi maka para pihak setuju untuk bersama-sama secara positif dan konstruktif mencarikan solusi atau jalan ke luar yang konkret, dengan cara mencari sendiri sumber pendanaan tambahan, baik soft loan maupun dengan mencari strategic business partner yang memiliki kemampuan pendanaan yang kredibel dan harus menjadi tanggung jawab, beban, dan dikembalikan oleh KSO Pembangunan Jaya Property sendiri setelah memperoleh hasil dari proyek KSO masa komersial, dengan ketentuan bahwa sebelum manajemen proyek menandatangani setiap kesepakatan pendanaan tambahan, manajemen proyek wajib mendapatkan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari tim direksi KSO. Manajemen dari KSO yang bertindak ke luar untuk dan atas nama KSO, di mana hal ini sama halnya apabila seorang direktur bertindak ke luar untuk dan atas nama perseroan, tetapi kedudukan manajeman hanya berdasarkan kuasa yang ditunjuk oleh masing-masing pihak. Perjanjian kredit yang dilakukannya dengan pihak perbankan telah mengatur secara seksama mengenai pertanggungjawaban apabila di kemudian hari terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Bank telah melakukannya dengan menerapkan prinsip kehati-hatian, di mana pihak perbankan telah melakukan penelusuran terhadap objek yang menjadi jaminan kredit yang telah menjadi asset KSO. Selain itu, adanya unsur kepercayaan dari pihak perbankan pula yang menyebabkan suatu KSO dapat menjadi debitor dari sebuah perbankan.
Perlindungan Hukum terhadap Pihak Ketiga dalam Pelaksanaan Kerja Sama Operasi Hubungan hukum yang dilakukan dengan pihak ketiga ini pada dasarnya dilakukan karena semakin berkembangnya kebutuhan di dalam melakukan praktik kerja sama, mulai dari pemerintah, investor, pengusaha, kontraktor, dan pihak-pihak terkait lainnya. Pada KSO Pembangunan Jaya Property, apabila terjadi cost overrun, di mana mengalami kekurangan modal untuk memenuhi, membiayai, dan menutup kekurangan
PEMBAHASAN Penelitian ini menemukan bahwa pelaksanaan perjanjian KSO di dalam praktik baik yang membentuk suatu entitas baru (administrative JO) maupun 197
Eka Suci Mauliyani
ISSN 2252-7230
tanpa membentuk suatu entitas baru (non administrative JO) di Indonesia masih ada kelemahan-kelemahannya, diantaranya adalah masih adanya inkonsistensi pengaturan perjanjian, khususnya terkait dengan pengaturan wanprestasi dan tanggung jawab para pihak di dalam KSO dalam hal penyelesaian sengketa baik terhadap para pihak di dalam KSO maupun terhadap pihak ketiga dalam melakukan hubungan hukum. Selain itu, perjanjian KSO sebagai salah satu jenis kontrak yang lebih banyak berkembang di dunia konstruksi namun peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai konstruksi, diantaranya adalah UU Jasa Konstruksi dan PP Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, juga tidak mengatur mengenai perjanjian KSO. Berbeda halnya dengan Indonesia, di Negara maju khususnya pada bidang minyak dan gas (Oil and Gas), bentuk perjanjian KSO telah dikembangkan oleh badan-badan khusus. Pertama, yang dikeluarkan oleh Oil and Gas United Kingdom (OGUK), sebuah badan perwakilan di Inggris untuk industri minyak dan gas lepas pantai, bentuk perjanjian KSO ini dipergunakan untuk kegiatan operasi lepas pantai di landas kontinen britania raya. Kedua, adalah bentuk perjanjian KSO yang dibuat oleh Association of International Petroleum Negotiators (AIPN), yang lebih umum digunakan secara internasional (Roberts, et.al., 2011). Perjanjian KSO sebagai salah satu bentuk kontrak innominaat diatur dalam Buku III BW pada Pasal 1319 BW. Pasal tersebut mengisyaratkan bahwa perjanjian baik yang bernama dalam BW maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada ketentuan BW. Dengan demikian, para pihak yang mengadakan kontrak innominaat tidak hanya tunduk pada peraturan yang mengaturnya tetapi para pihak juga harus tunduk pada ketentuan yang diatur dalam BW (Salim, 2005). Berdasarkan perjanjian KSO, baik yang membentuk suatu entitas baru (administrative JO) maupun
tanpa membentuk suatu entitas baru (non administrative JO), telah memenuhi syarat keabsahan suatu perjanjian sesuai Pasal 1320 BW, yaitu kesepakatan, kacakapan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Peraturan khusus yang mengatur mengenai KSO di dalam praktik sangatlah penting terkait perkembangannya dalam dunia usaha sudah semakin dibutuhkan oleh banyak pihak. Peraturan khusus ini terkait adanya suatu kaidah hukum dalam bentuk tertulis yang mengatur mengenai KSO secara jelas. Kaidah hukum sangatlah penting untuk dibentuk bagi terlaksananya suatu tindakan hukum para pihak guna menjamin kepastian hukum. Kaidah hukum itu merupakan keseluruhan aturan hukum yang mengatur berbagai kepentingan yang timbul di dalam masyarakat. Kantorowicz berpendapat bahwa Ciri khas hukum ialah memiliki seperangkat aturan yang menuntut cara berlaku eksternal (dalam hukum tidak terlalu penting untuk memerhatikan tindakantindakan). Aturan-aturan ini harus diungkapkan sedemikian rupa sehingga pengadilan atau pihak lain yang diserahi tugas untuk memecahkan sengketa-sengketa dapat menerapkannya. Setiap aturan itu mengandung unsur keharusan atau moralitas. Unsur keharusan ini ditentukan menurut kebudayaan dan dapat berbeda menurut keadaan masyarakat dan zaman. Aturanaturan yang normal itu harus dibedakan dari cara-cara yang berlaku seragam yang menguasai kehidupan rutin (yang kadang-kadang tercapai dengan dan tanpa bantuan hukum) (Ali, 2008). Hal ini pula sangatlah penting ketika suatu KSO dapat bertindak sebagai suatu badan usaha. Di dalam hukum perusahaan sendiri, badan usaha dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu badan usaha yang berbentuk badan hukum dan bukan badan hukum. Perbedaan yang mendasar antara badan usaha yang berbentuk badan hukum dan bukan badan hukum terletak pada tanggung jawab (Sembiring, 2008). 198
Badan usaha, kerja sama operasi
ISSN 2252-7230
Badan usaha yang berbentuk bukan badan hukum dalam hukum perusahaan terdiri dari, persekutuan perdata (maatschap), firma (Fa), dan persekutuan komanditer (CV). Ketiga jenis badan usaha ini memiliki karekateristik masingmasing yang berbeda-beda. Persekutuan perdata merupakan genus atau bentuk umum dari firma (Fa) dan persekutuan komanditer (CV) (Mulhadi, 2010). Bentuk badan usaha yang berbadan hukum merupakan perkumpulan orang (organisasi) yang dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking), mempunyai harta kekayaan tersendiri, mempunyai pengurus, mempunyai hak dan kewajiban, serta dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan. Tidak terpenuhinya unsur-unsur tersebut maka suatu badan usaha tidak dapat dikelompokkan sebagai badan hukum (Ali, 2011). Artinya bentuk badan usaha tersebut tidaklah memiliki karakteristik seperti halnya karakteristik yang dimiliki KSO. Hanya saja hukum perusahaan di Indonesia mengatur bahwa setiap pihak yang menciptakan kaidah atau ketentuan hukum perusahaan dapat menjadi sumber hukum perusahaan itu sendiri. Pihak-pihak tersebut dapat berupa badan legislative yang menciptakan undang-undang, pihak-pihak yang mengadakan perjanjian menciptakan kontrak, hakim yang memutus perkara menciptakan yurisprudensi, ataupun masyarakat pengusaha yang menciptakan kebiasaan (konvensi) dalam kegiatan usaha. Jadi hukum perusahaan itu terdiri atas kaidah atau ketentuan yang tersebar dalam perundang-undangan, kontrak, yurisprudensi, dan kebiasaan (konvensi) yang menjadi acuan dalam kegiatan usaha (bisnis) (Muhammad, 2010). Suatu KSO yang dapat bertindak melakukan hubungan hukum dengan pihak ketiga mengisyaratkan bahwa hubungan ini bukan lagi mengatur para pihak yang terikat di dalam perjanjian KSO tetapi mengikat antara KSO dan
subjek hukum lain di dalam suatu perjanjia baru. Subjek hukum merupakan pihak yang harus bertanggung jawab akibat kerugian yang dialami oleh mitra kontraknya sebagai akibat dari tindakan ingkar janji atau wanprestasi yang dilakukannya terhadap kerugian tersebut dan seluruh harta subjek hukum tersebutlah yang menjadi jaminan pembayarannya. Subjek suatu perjanjian tersebut dapat berupa subjek hukum pribadi (personal entity) ataupun subjek hukum korporasi (legal entity, corporate entity) baik secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama (Simanjuntak, 2011). Hal ini terkait pula dengan kedudukan subjek hukum di dalam berperkara di pengadilan. Gugatan dan tuntutan terhadap KSO harus dibuat dan ditujukan kepada para pendiri KSO. Demikian pula halnya apabila KSO yang bertindak dalam mengajukan gugatan. Hal ini disebabkan sehubungan suatu perusahaan yang menjadi subjek dalam gugatan maka yang dapat menjadi patokan pada prinsipnya terletak pada perusahaan tersebut berkedudukan sebagai badan hukum atau tidak berbadan hukum. Apabila perusahaan berstatus badan hukum maka yang digugat adalah badan hukumnya sedangkan apabila perusahaan itu tidak berbadan hukum maka yang digugat adalah pengurusnya (Supramono, 2007). KESIMPULAN DAN SARAN Pelaksanaan perjanjian KSO di dalam praktik baik yang berbentuk administrative JO maupun non administrative JO telah memenuhi syarat keabsahan sebagai suatu perjanjian berdasarkan hukum perjanjian di Indonesia. Hanya saja perjanjian KSO ini belum memenuhi unsur kaidah hukum sebagai salah satu unsur kontrak innominaat yang sifatnya khusus. Kekhususan dari KSO ini sendiri dapat bertindak sebagai suatu badan usaha dan dapat diakui sebagai bentuk badan usaha kerja sama yang terbentuk berdasarkan perjanjian yang tidak berbadan hukum karena tidak 199
Eka Suci Mauliyani
ISSN 2252-7230
adanya pengesahan dari pihak yang berwenang. Hal ini diakui di dalam praktik seiring dengan perkembangan kebutuhan para pengusaha sehingga setiap pihak yang menciptakan kaidah atau ketentuan hukum perusahaan dapat menjadi sumber hukum perusahaan itu sendiri, diantaranya adalah perundang-undangan, kontrak perusahaan, putusan pengadilan, dan kebiasaan. Namun hubungan hukum yang dilakukannya terhadap pihak ketiga belum dapat memberikan perlindungan hukum karena KSO tidak memiliki kecakapan/kewenangan bertindak sehingga pertanggungjawaban KSO terkait adanya wanprestasi tidak menjamin para pihak dikarenakan KSO tidak dapat bertindak di muka pengadilan, baik sebagai penggugat maupun tergugat. Perlu adanya peraturan perundangundangan yang sifatnya mengatur khusus mengenai KSO agar tidak menimbulkan penafsiran yang keliru dalam memandang pelaksanaan dan kedudukan KSO dikarenakan perkembangan pelaksanaan perjanjian KSO di dalam praktik bukan hanya melibatkan para pengusaha tetapi juga bisa melibatkan pemerintah dan pihak lain dalam pelaksanaannya. Selain itu, seiring perkembangan kebutuhan para pengusaha di dalam praktik sebaiknya suatu KSO dibuat bukan hanya antara para pihak dengan akta di bawah tangan ataupun dalam bentuk legalisasi oleh notaris tetapi melibatkan notaris dalam pembuatannya untuk lebih menjamin kekuatan pembuk-tian dari perjanjian tersebut, serta KSO yang berkedudukan sebagai bentuk badan usaha yang memiliki entitas tersendiri terpisah dari para pihaknya masing-masing, sebaiknya bentuk pendirian tersebut bukan hanya dituangkan dalam perjanjian tetapi bentuk badan usaha tersebut didaftarkan
sebagaimana mestinya pendirian dan pendaftaran suatu badan usaha. DAFTAR PUSTAKA Ali, Achmad. (2008). Menguak tabir Hukum. Bandung: Alumni. Ali, Chidir. (2011). Badan Hukum. Bandung: Alumni. Amiruddin; Asikin, Zainal. (2004). Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Muhammad, Abdulkadir. (2010). Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Mulhadi. (2010). Hukum Perusahaan: Bentuk-bentuk Badan Usaha di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia. Roberts, Peter; Derrick, Julia. (2011). Oil and Gas United Kingdom (OGUK) and International Petroleum Negotiator (AIPN) joint operating agreements: differences on operator liability. Salim. (2005). Perkembangan Hukum Kontrak Innnominaat di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Sembiring, Sentosa. (2008). Hukum Dagang. Bandung: Citra Aditya Bakti. Simanjuntak, Ricardo (2011). Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis. Jakarta: Kontan Publishing. Supramono, Gatot. (2007). Kedudukan Perusahaan sebagai subjek dalam gugatan perdata di Pengadilan. Jakarta: Rineka Cipta. Tambunan, Ruston. (2011). Perlakuan Perpajakan Joint Operation dalam Bidang Usaha Jasa Konstruksi, http://economy.okezone.com/read/2 011/11/02/317/523722/perlakuanperpajakan-joint-operation-jo-dala m-bidang-usaha-jasa-konstruksi.
200