Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia Ade Sofyan Mulazid Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Abstract: This paper found that the Government Regulation No.51 year 2011 that has decided the transformation of legal entity of Pawn Public Company in to Pawnshop Limited Company is the highest law which directly rules and gives an opportunity to the develop the Islamic Pawnshop in Pawnshop Limited Company. In this case, fatwa (legal opinion) stated by DSN (National Sharia Council) of MUI (Indonesian Ulama Council) become a reference that lay down the development of Islamic Pawnshop and its accommodation held by the Government gives some rules to the Government and community in order to develop the Islamic pawnshop business. Besides, there were another eleven regulations that indirectly rules but gives the opportunity to develop the Islamic Pawnshop Unit in Indonesia. Such regulations are: (1) Constitution of The Republic of Indonesia; (2) Indonesian Cicil Code; (3) Law on Auction (Vendu Reglement Ordonantie); (4) Cooperation Law No.25 of 1992; (5) Customer Protection Law No.8 of 1999; (6) Fidusia Protection Law No.42 of 1999; (7) Prohibited Monopoly’s Practice and Unhealthy Business Competitions No.5 of 1999; (8) BUMN Law No.19 of 2003; (9) Limited Company Law No.40 of 2007; (10) UMKM Law No.20 of 2008; (11) Prevention and Eradication of Money Laundering Law No.8 of 2012. The legal politics of Indonesia about pawnshop did not exist in 1945 until 2002. The legal politics about Islamic pawnshop initiated since the first opening of the Islamic pawnshop service unit in 2003 that held by Pawnshop Corporation. The government’s effort to compile the pawn regulation draft and enact it into National Legislation Program years 2010-2014 indicates the legal politics of the Government becomes stronger in order to establish the business of pawnshop and Islamic Pawnshop service which can be carried out by the people. Had the draft passed the law by The Representative, it could be more influential to the development of pawnshop service including Islamic pawnshop carried out by The Government and
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
293
Ade Sofyan Mulazid Private Sectors. Yet the legal politics of Islamic pawnshop can be said to be successful whenever all of the Islamic Economy activists succeeded in proposing Islamic pawnshop regulations draft as well as their achievements in Islamic banking regulation. The main sources of this paper are Indonesian regulations of pawnshop, interviews, and observations on Pawnshop Limited Company. Those data are read by using juridical analysis and legal political approaches. Keywords: Islamic Pawnshop, Legal Opinion, National Sharia Council, National Legislation Program.
I. Pendahuluan Latar Belakang Masalah Perkembangan Pegadaian Syariah dalam dasawarsa 2000-an semakin pesat, khususnya di Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh semakin banyaknya jumlah nasabah, jenis ragam produk dan jumlah kantor unit Pegadaian Syariah yang tersebar di setiap kabupaten dan kota di Tanah Air (Republika, 9 April 2010: 20). Untuk menjalankan Pegadaian Syariah secara optimal, maka diperlukan regulasi yang memadai, sehingga Pegadaian Syariah bisa dikelola dengan sehat dan sesuai prinsip syariah (M. A. Sehan, 2004: 3). Regulasi tersebut bertujuan untuk mengatur lebih lanjut mengenai aspek kelembagaan, organisasi, instrumen keuangan, operasional, pengembangan sumber daya manusia (SDM), dan pengawasan. Politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah diinisiasi sejak dibukanya unit layanan gadai syariah oleh Perum Pegadaian pada tahun 2003, upaya pemerintah untuk menyiapkan RUU Usaha Jasa Gadai (belakangan namanya dirubah menjadi RUU Pergadaian) telah masuk ke dalam Prolegnas tahun 2010-2014, menunjukkan politik hukum pemerintah semakin kuat agar usaha jasa gadai termasuk gadai syariah dapat dilakukan oleh masyarakat luas. Hanya saja sampai tahun 2012, RUU tersebut belum masuk ke dalam Prolegnas Prioritas di DPR. Padahal, adanya aturan hukum yang pasti dalam penyelenggaraan usaha gadai syariah, akan mendorong gairah pasar dan pada akhirnya memberikan kontribusi yang optimal bagi perekonomian nasional (Zainuddin Ali, 2008: 54-55). Kurangnya pengaturan ini merupakan permasalahan yang belum terpecahkan oleh Pegadaian Syariah. Apa yang terjadi di Indo294
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia
nesia dihadapi pula oleh Pegadaian Syariah di negara lain seperti India, khususnya India Utara. Kajian Javed Ahmad Khan dan Shariq Nisar menjelaskan satu fakta, bahwa sepanjang empat dekade terakhir Funds Muslim di India Utara telah berhasil menerapkan normanorma Islam dalam praktik utang-piutang dengan sistem hukum gadai (Javed Ahmed Khan dan Shariq Nisar, 2004: 7). Namun, kegiatan Funds Muslim ini masih labil dan mengalami instabilitas karena tidak ada ketegasan regulasi. Karena itu, pengesahan RUU Pergadaian menjadi sangat urgen dalam memberikan kepastian hukum usaha gadai syariah untuk dirinya secara otonom. Selama RUU Pergadaian belum disahkan, akan ada dua masalah besar yang dihadapi: (1) pengembangan Pegadaian Syariah, secara hukum, akan berbenturan dengan aturan perundang-undangan lainnya; dan (2) pelaksanaan prinsip-prinsip syariah tidak bisa dilakukan secara optimal dan memunculkan praktik tidak bertanggungjawab. Selain permasalahan regulasi, Pegadaian Syariah memiliki kendala dalam pengembangannya, yaitu karena masih dimonopoli oleh pemerintah. Dengan sistem monopoli tersebut, pihak swasta seakan dipersempit ruang geraknya untuk membuka bisnis di sektor gadai syariah. Lain halnya dengan bisnis di sektor perbankan syariah yang telah banyak dibuka oleh swasta. Penulis berasumsi bahwa praktek monopoli tersebut menyebabkan Pegadaian Syariah menjadi kurang inovatif dan efisien karena tidak adanya kompetitor lain di bidang usaha pegadaian. Memang bila dilihat dari segi produk gadai yang dikembangkan, Pegadaian Syariah saat ini tidak lagi menjadi pemegang monopoli karena telah ada produk subtitusinya seperti yang dikembangkan oleh perbankan syariah, yaitu produk Rahn Emas. Namun secara kelembagaan, usaha pegadaian ini tetap masih dimonopoli oleh satu perusahaan, yaitu PT Pegadaian (Persero) yang notabenenya adalah milik pemerintah. Meskipun Produk Rahn Emas ini telah diadopsi menjadi salah satu produk perbankan syariah, namun sifatnya sebatas pada orientasi produk pelengkap, yakni sebagai akad tambahan, misalnya sebagai jaminan atau agunan produk pembiayaan al-murabahah dan al-mudarabah (Sutan Remy Sjahdeini, 1999: 64-65). Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
295
Ade Sofyan Mulazid
Dalam perspektif kekinian, masuknya gadai menjadi salah satu produk perbankan syariah menurut sebagian kalangan menjadi ironi karena dikhawatirkan berbenturan dengan Pegadaian Syariah. Memasukkan produk Rahn Emas dalam perbankan syariah seringkali terjebak di antara kedua aturan yang saling tarik-menarik antara perbankan syariah dengan PT Pegadaian (Persero). Namun, jika sistem penyaluran pembiayaan ini dilakukan dengan optimal, justru PT Pegadaian (Persero) akan menjadi partnership perbankan yang saling menguntungkan dan bukan lagi produk pelengkap perbankan. Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, kedudukan sistem Pegadaian Syariah dalam sistem hukum nasional di Indonesia menjadi relevan untuk diteliti lebih lanjut. Dengan studi ini akan diketahui kedudukan peraturan perundang-undangan yang secara langsung mengatur Pegadaian Syariah ditinjau dari hierarki perundang-undangan. Di samping itu, akan diketahui pula peluang pengembangan Pegadaian Syariah di Indonesia dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Lebih dari itu, akan dapat diketahui pula politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah. Dengan demikian, studi ini dipandang layak untuk dilakukan.
Pembatasan dan Rumusan Masalah Dari segi waktu, masalah ini dibatasi sejak periode 1945-2012. Sedangkan dari segi substansi atau variabel yang dicakup kedudukan Pegadaian Syariah di sini meliputi dua substansi utama, yaitu: (1) kedudukan Pegadaian Syariah dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang secara langsung maupun tidak langsung mengatur dan memberi peluang bagi pengembangan Pegadaian Syariah; (2) politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah sejak periode 1945-2012. Dengan pembatasan tersebut di atas, maka pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana kedudukan peraturan perundang-undangan yang secara langsung mengatur Pegadaian Syariah ditinjau dari hierarki perundang-undangan dan bagaimana peluang pengembangan Pegadaian Syariah di Indonesia dalam peraturan perun296
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia
b.
dang-undangan lainnya? Bagaimana politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah?
Metodologi Penelitian Penelitian ini termasuk dalam kajian bidang hukum ekonomi syariah yang bersifat kualitatif dengan pendekatan analisis yuridis (normatif) dan socio-legal research (penelitian non-doktrinal) (Soetandyo Wignjosoebroto, 2002: 164). Penelitian normatif ditujukan kepada peraturan perundang-undangan yang ada tentang Pegadaian Syariah dan penelitian socio-legal research ditujukan kepada bahan dan data tentang politik hukum. Jenis penelitian ini adalah studi literatur, yang mengungkap: (1) kedudukan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara langsung mengenai Pegadaian Syariah ditinjau dari tata urut perundang-undangan dan peluang pengembangan Pegadaian Syariah di Indonesia dalam peraturan perundang-undangan lainnya; serta (2) politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah. Sumber data primer penelitian ini adalah peraturan perundangundangan tentang Pegadaian dan hasil wawancara, serta observasi secara langsung. Sedangkan data sekunder yang digunakan adalah bahan hukum yang memberi penjelasan bahan hukum primer seperti buku-buku, paper, artikel, majalah, media cetak, makalah, jurnal, laporan penelitian, internet, serta tulisan lainnya yang relevan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan wawancara. Studi dokumen dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang diterbitkan sejak tahun 1945-2012 dan fatwa DSN-MUI sejak tahun 2002-2008, serta dokumen lainnya yang terkait. Peraturan perundang-undangan dan fatwa-fatwa DSN ini dianalisis dengan mengkaji keterpengaruhannya terhadap pengembangan Pegadaian Syariah di Indonesia dihubungkan dengan hasil wawancara kepada narasumber. Sedangkan pihak yang diwawancara, yaitu: satu orang General Manager, satu orang Asisten Manager, satu orang Kepala Biro Hukum, satu orang Kepala Kanwil X Jakarta II, dan satu orang Manajer Humas dari PT Pegadaian (PerInnovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
297
Ade Sofyan Mulazid
sero); satu orang Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Bapepam-LK dari Kementerian Keuangan RI; dua orang Wakil Sekretaris BPH DSN-MUI dan satu orang Staf Baleg DPR RI. Metode penelitian socio-legal research yang dilakukan dengan mewawancarai para narasumber terkait dengan sejumlah regulasi Pegadaian Syariah dan peluang pengembangannya, serta politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah. Data yang berhasil diperoleh berupa peraturan perundang-undangan dan hasil wawancara, serta fatwa DSN dianalisis dengan cara memilah-milah dan mengkaitkan pada kedudukan Pegadaian Syariah. Pada peraturan perundang-undangan dan fatwa DSN, analisis dilakukan dengan cara menganalisis isi peraturan Pegadaian Syariah dalam sistem hukum nasional. Analisis tersebut dikaitkan dengan hasil wawancara dan peluang pengembangan Pegadaian Syariah dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Ditambah lagi, politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah.
II. Gadai dalam Hukum Islam Pengertian Gadai (Rahn) Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut al-Rahn. Kata alRahn berasal dari bahasa Arab “rahana-yarhanu-rahnan” yang berarti menetapkan sesuatu (Louis Ma’luf, 1986: 284). Secara bahasa pengertian al-Rahn adalah al-Subut wa al-Dawam yang berarti “tetap” dan “kekal” (Abu Zakariyya Yahya bin Sharaf an-Nawawi, 1957: 121). Menurut Taqiyyuddin Abu Bakar al-Husayni (w. 829 H), al-Rahn adalah al-Subut “sesuatu yang tetap” dan al-Ihtibas “menahan sesuatu” (Taqiyyuddin Abu Bakar al-Husayni, tt: 263). Bagi Zakariyya al-Anshary (w. 936 H), al-Rahn adalah al-Subut yang berarti “tetap” (Zakariyya Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Zakariyya Al-Anshary, tt: 328). Dengan demikian, pengertian al-Rahn secara bahasa seperti yang terungkap di atas adalah tetap, kekal dan menahan suatu barang sebagai pengikat utang. Secara istilah menurut Ibn Qudamah (w. 629 H), pengertian alRahn adalah al-mal al-ladhi yuj‘alu wathiqatan bidaynin yustaufa min 298
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia
thamanihi in ta’adhara istifa’uhu mimman huwa ‘alayh “suatu benda yang dijadikan kepercayaan atas utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya” (Abi Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Quddamah, 1994: 234). Bagi Zakariyya al-Anshary (w. 936 H), al-Rahn adalah ja‘lu ‘ayni malin wathiqatan bidaynin yustaufa minha ‘inda ta‘adhuri wafa’ihi “menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta benda sebagai jaminan utang yang dipenuhi dari harganya ketika utang tersebut tidak bisa dibayar” (Zakariyya Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Zakariyya Al-Anshary, tt: 328). Ia menyatakan bahwa tujuan rahn adalah menyerahkan barang jaminan yang dimiliki dan berpindah kepemilikannya itu ketika rahin tidak mampu membayar dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Karena itu, jenis barang yang dijaminkan adalah berupa harta benda yang dapat diperjualbelikan. Menurut S. M. Hasanuzzaman, al-Rahn means a pledge or a security related to a loan “al-Rahn adalah suatu akad untuk keamanan pembayaran atas utang” (S. M. Hasanuzzaman, 1995: 80). Ia juga menyatakan bahwa al-Rahn also refers to an arrangement where by a valuable asset is place collateral for a debt “al-Rahn dipergunakan untuk pengaturan suatu barang sebagai jaminan atas utang.” Lebih lanjut dikemukakan oleh Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam (1997), barang jaminan atau agunan dalam istilah bank disebut dengan collateral. Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa collateral ini sejalan dengan al-Marhun yang berlaku dalam akad rahn yang dibicarakan ulama klasik. Perbedaannya hanya terletak pada pembayaran utang yang ditentukan oleh bank. Al-Rahn merupakan persetujuan untuk menyerahkan harta miliknya untuk dijadikan sebagai jaminan atau agunan (Sutan Remy Sjahdeini, 1999: 86). Berdasarkan pengertian al-Rahn dari berbagai pendapat di atas, penulis berpendapat bahwa rahn adalah perjanjian penyerahan barang sebagai jaminan sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang. Dengan demikian, tampak bahwa fungsi dari barang jaminan adalah untuk memberikan keyakinan, ketenangan dan keamanan atas utang yang dipinjamkan.
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
299
Ade Sofyan Mulazid
Dasar Hukum Rahn Dasar hukum rahn sebagai kegiatan muamalah dapat merujuk pada dalil-dalil yang didasarkan pada al-Qur’an, sunah, ijma‘ dan fatwa DSN-MUI. Hasil pelacakan penulis atas Mu‘jam al-Mufahras, sedikitnya terdapat tiga kata yang seakar dengan kata rahn dalam al-Qur’an: (1) rahin dalam Q.S al-Tur (52): 21; (2) rahina dalam Q.S al-Muddatsîr (74): 38; dan (3) farihan dalam Q.S al-Baqarah (2): 283. Dengan demikian, ketiga term rahn tersebut, digunakan untuk menegaskan bahwa rahn merupakan konsekuensi dari sesuatu yang telah dijanjikan atau dilakukan (Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, 1981: 400). Al-Jaziri (w. 136 H) mengkaitkan istilah rahin dengan kasb dalam Q.S al-Tur (52): 21 di mana penggadai (rahin) akan bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya. Ia juga menjelaskan bahwa term rahina dalam Q.S al-Muddatsîr (74): 38 adalah penahanan suatu barang disebabkan oleh perilaku dari pemilik barang tersebut. Dengan kata lain, Ia berpendapat bahwa diri seseorang akan tertahan utangnya sampai keadaan mampu melunasinya (Abd al-Rahman Ibn Muhammad ‘Aws al-Jaziri, 1999: 319). Selanjutnya, Muhammad ‘Ali al-Sayis menjelaskan bahwa kata farihan dalam Q.S al-Baqarah (2): 283 adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam transaksi utang-piutang berjangka. Kehati-hatian ditujukkan dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang (murtahin). Bila transaksi dilakukan saat kedua belah pihak dalam perjalanan (musafir), maka transaksi tersebut harus dicatat dihadapan saksi. Bahkan, Ia menganggap bahwa dengan adanya barang jaminan, rahin telah melampaui prinsip kehati-hatian suatu transaksi utang yang hanya ditulis dan dipersaksikan (Fadhilah al-Shaykh Muhammad ‘Ali al-Sayis, 1986: 179). Sekalipun kata farihan dalam Q.S al-Baqarah (2): 283, secara literal mengindikasikan bahwa rahn dilakukan oleh seseorang ketika dalam keadaan musafir. Hal ini, bukan berarti dilarangnya kegiatan tersebut bila dilakukan oleh orang yang menetap (bermukim). Sebab, keadaan musafir ataupun menetap bukanlah syarat keabsahan transaksi rahn, melainkan contoh ekstrim dalam bertransaksi (Muhammad Ibn Rushd bin Ahmad Rushd al-Qurtubi, 1970: 351). Hal itu, 300
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia
dikuatkan dengan hadis yang mengisahkan bahwa Rasulullah Saw menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi, untuk mendapatkan makanan bagi keluarganya, pada saat beliau tidak melakukan perjalanan. Muhammad Akram Khan menyatakan bahwa paling tidak ada empat hadis yang dijadikan sebagai dasar rumusan gadai syariah, di antaranya: (1) hadis dari Aisyah r.a yang diriwayatkan oleh Imam Muslim; (2) hadis dari Anas bin Malik r.a yang diriwayatkan oleh Ibn Majah; (3) hadis dari Abu Hurayrah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari; dan (4) hadis riwayat Abu Hurayrah r.a (Muhammad Akram Khan, 1994: 200-202). Jumhur ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal dimaksud, didasarkan pada kisah Nabi Muhammad Saw yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang Yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi dari contoh tersebut, ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada seorang Yahudi, bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap Nabi yang tidak mau memberatkan para sahabat. Mereka biasanya enggan mengambil ganti ataupun harga yang diberikan oleh Nabi (Wahbah Zuhayli, 1985: 4207-4208). Selain itu, dasar hukum yang dapat dijadikan rujukan dalam melakukan transaki gadai adalah: (1) Fatwa Dewan Syariah Nasional No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn; (2) Fatwa Dewan Syariah Nasional No.26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas; dan (3) Fatwa Dewan Syariah Nasional No.68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily. Fatwa DSN ini menjadi rujukan yang berlaku umum serta mengikat bagi masyarakat yang berinteraksi dengan Pegadaian Syariah, termasuk lembaga keuangan syariah lainnya, seperti perbankan syariah. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa legalitas gadai telah memiliki dasar pijakan yang kuat karena didukung oleh dalil-dalil yang didasarkan pada al-Qur’an, sunah, ijma‘ ulama dan fatwa DSN-MUI. Oleh sebab itu, pegadaian saat ini harus melampaui tradisi gadai yang dibangun pada masa Rasulullah Saw. Pengembangan gadai menjadi sebuah lembaga keuangan mendapatkan keuntungan (profit oriented) merupakan salah satu jawaban di samping Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
301
Ade Sofyan Mulazid
misi sosialnya.
III. Peraturan Perundang-Undangan Yang Secara Langsung Mengatur Pegadaian Syariah Pegadaian Syariah dalam Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2011 Salah satu persoalan mendasar berkaitan dengan Pegadaian Syariah di Indonesia adalah belum adanya regulasi yang mengatur secara otonom atas usaha tersebut. Oleh karena itu, pemerintah saat ini telah memberlakukan PP No.51 Tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perum Pegadaian Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). PP No.51 Tahun 2011 telah ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono, di Jakarta pada tanggal 13 Desember 2011. Adapun materi muatan PP ini terdiri dari enam pasal dan enam ayat. Sedangkan Pasal yang mengatur Pegadaian Syariah hanya terdapat pada Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: “Maksud dan tujuan pegadaian adalah untuk melakukan usaha di bidang gadai dan fidusia, baik secara konvensional maupun syariah, dan jasa lainnya di bidang keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terutama untuk masyarakat, dan usaha menengah, serta optimalisasi pemanfaatan sumber daya Perseroan dengan menerapkan prinsip Perseroan Terbatas (PT).”
Dari ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa suatu pegadaian dalam melaksanakan kegiatan usahanya selain dapat dilakukan secara konvensional, juga dapat dilakukan berdasarkan prinsip syariah. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan PP tersebut, suatu pegadaian, dalam hal menjalankan fungsinya atau melaksanakan kegiatan usahanya ada dua pilihan, yakni dapat dilakukan secara konvensional (sistem bunga) dan/atau berdasarkan prinsip syariah. Dengan diakuinya keberadaan pegadaian yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah, maka dengan sendirinya dalam sistem pegadaian nasional terdapat dua sistem pegadaian sekaligus. Sekarang, kedudukan sistem Pegadaian Syariah tidak lain merupakan bagian integral dari sistem pegadaian nasional yang berlaku di Indonesia. Konsekuensi dari kedudukan sistem Pegadaian Syariah dalam operasionalnya harus tunduk pada PP di atas, selain harus tunduk pada ketentuan fatwa-fatwa di bidang gadai syariah itu sendiri, ia 302
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia
juga harus tunduk pada segala aturan umum yang menjadi landasan hukum bagi sebuah perusahaan gadai. Pengecualian bisa terjadi apabila secara khusus ditentukan oleh peraturan perundang-undangan gadai tersebut. Beberapa kali perubahan bentuk badan hukum pegadaian ini menunjukkan adanya dinamika dalam perkembangan usaha gadai di Indonesia. Tonggak awal perubahan tersebut dimulai sejak dikeluarkannya PP No.10 Tahun 1990, Pasal 3 menyatakan bahwa pegadaian merupakan badan usaha tunggal yang diberi wewenang untuk menyalurkan kredit atas dasar hukum gadai. Meskipun dalam PP tersebut di atas dinyatakan badan usaha tungggal, namun dilihat dari praktiknya di masyarakat, gadai berdasarkan KUHPerdata saat ini telah berkembang menjadi Pegadaian Syariah berdasarkan PP No.51 Tahun 2011 dan berdasarkan pada fatwa DSN-MUI. Lebih dari itu, usaha gadai emas telah dilakukan secara terbuka oleh lembaga keuangan lainnya seperti Perbankan Syariah, BPRS, Koperasi Syariah. Dengan demikian, persaingan dalam bisnis gadai syariah mulai terbuka, baik yang bersifat suplementer yaitu berupa jaminan tambahan maupun yang berupa transaksi tunggal (Laporan Akhir Tim Naskah Akademik, 2011: 42). Bertitik tolak dari uraian di atas, maka keberadaan PP No.51 Tahun 2011 sebagai regulasi yang mengatur kegiatan usaha gadai syariah di Indonesia sedikit lebih maju bila dibandingkan dengan PP No.103 Tahun 2000 tentang Perum Pegadaian yang belum menyatakan secara tegas mengenai posisi Pegadaian Syariah. Walau begitu, perkembangan hukum di bidang gadai syariah masih jauh berada di bawah perbankan syariah terutama dari sisi perangkat hukumnya. Oleh sebab itu, perlu adanya usulan yang mengarah kepada penguatan gadai syariah secara hukum dalam UU atau PP yang khusus mengatur gadai syariah berdasarkan prinsip syariah.
Kedudukan Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2011 dalam Hierarki Perundang-Undangan Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa kedudukan sistem Pegadaian Syariah tidak lain merupakan bagian integral dari sistem Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
303
Ade Sofyan Mulazid
pegadaian nasional yang berlaku saat ini. Permasalahan selanjutnya adalah apakah kedudukan hukum PP No.51 Tahun 2011 sebagai dasar pengembangan Pegadaian Syariah cukup kuat bila ditinjau dari hierarki perundang-undangan? Hal ini karena PP No.51 Tahun 2011 secara tata perundang-undangan kedudukan hukumnya berada di bawah undang-undang. Menurut Ismail Sunny, sekilas posisi PP berada di bawah undang-undang, namun kedudukan hukumnya dinilai cukup kuat. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, Presiden sebagai kepala pemerintahan sering mengeluarkan PP (Ismail Sunny dalam buku Abdurrahman, 1992: 23). A. Hamid S. Attamimi, Guru Besar dan Ahli Hukum Tata Negara Universitas Indonesia menyatakan bahwa untuk mengetahui kedudukan hukum suatu lembaga tersebut kuat atau tidak, dapat dilihat pada hierarki perundang-undangan negara Republik Indonesia yang berturut-turut dan berjenjang dari atas ke bawah (A. Hamid S. Attamimi, 1999: 286-290). Tata urut perudang-undangan dimaksud merujuk pada Pasal 7 ayat (1) UU No.12 Tahun 201 tentang Pembentukan Perundang-Undangan sebagai berikut: (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; (3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (4) Peraturan Pemerintah; (5) Peraturan Daerah Provinsi; dan (6) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan dikutip dari Lembaran Negara Tahun 2011 No.53 diakses pada 3 Mei 2012). Dengan demikian, kedudukan peraturan perundang-undangan Pegadaian Syariah di Indonesia cukup kuat karena telah diatur dalam bentuk PP dan dilegitimasi oleh pemerintah dan lembaga lainnya dalam bentuk fatwa DSN-MUI. Namun demikian, dinilai belum memadai sehingga status hukumnya masih perlu ditingkatkan, untuk itu para praktisi maupun para ahli di bidang Pegadaian Syariah mengharapkan adanya UU yang secara khusus mengatur tentang Pegadaian Syariah.
304
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia
Pengembangan Pegadaian Syariah dalam Fatwa DSN-MUI Sebuah produk syariah tidak bisa dikeluarkan tanpa landasan aturan yang tetap ketika hukum positif itu belum ada, maka fatwa dari lembaga yang menaungi kesyariahan (DSN-MUI) menjadi pengganti sebelum adanya hukum positif tentang produk tersebut. Pada posisi inilah, kebutuhan akan fatwa dalam kasus seperti di atas menjadi sangat urgen. Proses dikeluarkannya fatwa oleh MUI biasanya didasarkan pada permasalahan atau kasus yang diajukan oleh pelaku usaha yang hendak mengeluarkan produk syariahnya. Berarti, fatwa di sini cenderung bersifat responsif. Ia merupakan jawaban hukum (legal opinion) yang dikeluarkan setelah adanya suatu pertanyaan atau permintaan fatwa. Namun demikian, Ma’ruf Amin menyatakan bahwa fatwa juga dapat dikeluarkan tanpa harus ada peminta fatwa (mustafti) (KH. Ma’ruf Amin, 2008: 20). Menurut Hasanudin, pada dasarnya semua fatwa yang dibuat oleh DSN adalah berdasarkan adanya permintaan dari mustafti. Tidak adanya penyebutan nama mustafti dalam fatwa-fatwa DSN ini bisa jadi karena kurangnya ketelitian dan ketertiban administrasi dari DSN itu sendiri (Wawancara dengan Hasanudin, Wakil Sekretaris BPH DSN-MUI, Jakarta, 13 Agustus 2010). Pengecualian ini, menurut Hasanudin berlaku pada penerbitan fatwa DSN No.25/ DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn yang tidak didasarkan pada permintaan mustafti. DSN berpendapat bahwa perlu adanya fatwa tentang Rahn adalah untuk menjadi rujukan atau pedoman utama atas penerbitan fatwa No.26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas dan fatwa No.68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily yang diajukan oleh Bank Syariah Mandiri dan Perum Pegadaian. Produktivitas fatwa sangat bergantung kepada seberapa banyak masyarakat pelaku usaha mengajukan permintaan kepada DSN. Sebagai contoh terdapat 58 fatwa tentang Perbankan Syariah dari jumlah total 82 fatwa yang diputuskan oleh DSN saat ini. Dari sini terlihat bahwa perhatian DSN lebih besar kepada permasalahan perbankan dari pada Pegadaian Syariah. Akan tetapi, mungkin juga perhatian ini muncul karena pihak perbankan yang lebih aktif untuk meminta fatwa kepada DSN. Sedangkan pihak PT Pegadaian merasa Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
305
Ade Sofyan Mulazid
sudah cukup hanya dengan memiliki beberapa fatwa. Selama ini, PT Pegadaian lebih memberikan kepercayaan kepada DPS di perusahaannya untuk memberikan opini syariah atas permasalahan kesyariahan yang timbul di Pegadaian Syariah yang belum tercover oleh fatwa DSN (Wawancara dengan Ihsan Paloloi, Asisten Manajer Divisi Usaha Syariah Perum Pegadaian, Jakarta, 13 April 2010). Hal ini menunjukkan bahwa hubungan interaksi antara pihak PT Pegadaian dengan DSN kurang intensif, sehingga pihak DSN tidak sebanyak perbankan syariah. Sebenarnya fatwa-fatwa itu, bukan inisiatif DSN, akan tetapi karena adanya permintaan pasar atau para pelaku usaha. Terbatasnya jumlah fatwa tentang Gadai Syariah, menurut pendapat penulis, bukan hanya karena kurangnya hubungan interaksi antarkedua lembaga tersebut. Akan tetapi, kurangnya dukungan dana dari PT Pegadaian dalam membantu kelancaran penyusunan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan gadai syariah. Alasan ini didasarkan pada pandangan M. Cholil Nafis, yang menyatakan bahwa mengapa fatwa DSN tentang Perbankan Syariah jumlahnya lebih banyak bila dibandingkan dengan LKS lainnya, hal itu disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya: (1) pihak BI yang memiliki kepentingan atas fatwa telah menyadari posisi DSN sebagai lembaga swasta tidak mempunyai anggaran untuk membiayai operasionalnya. Dalam hal ini BI memberikan bantuan dana kepada DSN secara berkala. Dana tersebut dipergunakan sebagai penunjang kegiatan DSN dalam menetapkan fatwa yang harus dipertanggungjawabkan penggunaannya; (2) selain itu juga memberikan kemudahan penggunaan ruang musyawarah kepada DSN; (3) pola hubungan antara DSN dengan lembaga regulator selain BI tidak seintensif hubungannya dengan BI. (M. Cholil Nafis, 2011: 97-98). Pola hubungan antara DSN dan Kemenkeu, serta Bapepam LK selama ini lebih banyak didasarkan atas keperluan memberikan informasi. Jika Kemenkeu dan Bapepam LK memerlukan keterangan tentang fatwa, maka DSN diundang untuk menjelaskannya. Sebaliknya, jika DSN akan menetapkan fatwa-fatwa yang ada hubungannya dengan asuransi, pasar modal dan Pegadaian Syariah, maka DSN mengundang Kemenkeu dan Bapepam LK untuk memberikan 306
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia
informasinya. Kemungkinan ketiga faktor inilah yang menyebabkan mengapa fatwa di bidang gadai syariah hingga sekarang jumlahnya tidak sesignifikan fatwa di bidang Perbankan Syariah. Permasalahan selanjutnya adalah apakah kedudukan fatwa tentang Gadai Syariah cukup kuat bila ditinjau dari hierarki perundangundangan? Sekilas posisi fatwa DSN tentang Gadai Syariah belum kuat. Alasannya karena fatwa DSN tentang Gadai Syariah belum diserap ke dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan PP No.51 Tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perum Pegadaian Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) hanya baru mengatur penyelenggaraan kegiatan usaha gadai, baik syariah maupun konvensional, akan tetapi belum mengatur tentang urgensi dan kedudukan fatwa DSN dalam pelaksanaan kegiatan usahanya. Namun demikian, posisi Pegadaian Syariah bisa dikatakan kuat apabila kita merujuk pada UU No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama Pasal 49, yang menyatakan bahwa sengketa ekonomi syariah seperti Pegadaian Syariah menjadi otoritas Peradilan Agama. Ketentuan penyelesaian sengketa menurut undang-undang adalah serapan dari fatwa mengenai gadai syariah yang menetapkan bahwa penyelesaian sengketa melalui musyawarah, Badan Arbitrase Syari’ah dan jika tidak dapat mencapai kesepakatan, dapat diselesaikan melalui Peradilan Agama agar lebih memenuhi kepatuhan syariah. Oleh sebab itu, untuk membangun penguatan fatwa DSN tentang Gadai Syariah perlu diusulkan kepada Kemenkeu dan Bapepam LK agar diserap ke dalam PP maupun UU yang khusus mengatur gadai berdasarkan prinsip syariah.
IV. Peluang Pengembangan Pegadaian Syariah dalam Peraturan Perundang-Undangan Lainnya Sejumlah peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan DSNMUI tidak lain merupakan upaya untuk melengkapi aturan hukum agar Pegadaian Syariah dapat beroperasi secara optimal, akan tetapi pengaturan tersebut belum memadai untuk dijadikan sebagai pengembangan operasional Pegadaian Syariah. Akibatnya Pegadaian Syariah belum dapat berkembang sebagaimana layaknya perInnovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
307
Ade Sofyan Mulazid
bankan syariah. Berkaitan hal itu, upaya melengkapi aturan hukum tersebut, terdapat sebelas peraturan perundang-undangan lain yang secara tidak langsung mengatur, tetapi memberi peluang bagi pengembangan Pegadaian Syariah di Indonesia.
UUD 1945 Dari sisi konstitusi atau UUD 1945, sebenarnya persoalan Pegadaian Syariah sudah mendapatkan tempat, terutama pada Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menetapkan bahwa: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Demokrasi ekonomi berarti produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat (Tim Naskah Akdemik, 2011: 42). Kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat luas harus diutamakan, bukan kemakmuran orang per orang melainkan sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan (Andi Fahmi Lubis, 2009: 16). Artinya, semua orang berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan kesempatan untuk maju dan berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. KUHPerdata Gadai menurut KUHPerdata merupakan perjanjian riil, yaitu perjanjian yang di samping kata sepakat diperlukan suatu perbuatan nyata (dalam hal ini penyerahan kekuasaan atas barang gadai). Penyerahan itu dilakukan oleh debitor pemberi gadai dan ditujukan kepada kreditor penerima gadai. Namun demikian, menurut Tim Penyusun Nasakah Akademik sesuai dengan Pasal 1152 ayat (1) KUHPerdata penyerahan itu boleh ditujukan kepada pihak ketiga asalkan disetujui bersama antara debitor dan kreditor. Penguasaan barang gadai harus mutlak beralih dari pemberi gadai, karena Pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata secara tegas melarang penguasaan barang gadai oleh 308
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia
debitor atau pemberi gadai. Jika hal ini dilanggar maka gadai tersebut akan batal (Tim Naskah Akdemik, 2011: 42). Dari ketentuan pasal di atas, dapat dijelaskan bahwa apabila pemegang gadai beritikad baik, maka pemegang gadai dilindungi terhadap pemberi gadai yang tidak berwenang menguasai barang gadai. Namun, jika pemegang gadai beritikad jahat, atau benda gadai adalah benda yang hilang atau benda yang dicuri oleh pemberi gadai, maka yang diperlindungi adalah pemilik yang sebenarnya. Perlindungan terhadap pemilik yang sebenarnya ini berlangsung selama tiga tahun (Pasal 1977 KUHPerdata) (Subekti dan R Tjiptosudibio, tt: 495).
Undang-Undang Lelang Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 49, Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement Ordonantie 28 Pebruari 1908 Staatsblad 1908: 189 jo Staatsblad 1941: 3) mengatur tentang ”barang yang tidak ditebus oleh pemiliknya dapat dilelang di muka umum dengan penawaran harga yang makin meningkat, atau di mana orang-orang yang diundang atau sebelumnya sudah diberi tahukan kepada orang-orang yang akan membeli. Adapun pelaksanaan lelang tersebut, dapat dilakukan dilakukan oleh rumah-rumah gadai negeri dari kantor urusan lelang. Dengan adanya ketentuan tersebut, sehingga pihak perusahaan gadai berwenang utuk meyelenggarakan pelelangan sendiri dan terhindar dari kerugian yang diakibatkan oleh keterlambatan atau ketidakmampuan nasabah dalam menebus harta milik yang digadaikannya. Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Koperasi Dalam Pasal 43 ayat (2), UU Perkoperasian disebutkan bahwa kelebihan kemampuan pelayanan koperasi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bukan anggota koperasi. Adapun yang dimaksud dengan kelebihan kemampuan usaha koperasi, menurut Tim Penyusun Nasakah Akademik adalah kelebihan kapasitas dana dan sumber daya yang dimiliki oleh koperasi untuk Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
309
Ade Sofyan Mulazid
melayani anggotanya. Kelebihan kapasitas tersebut oleh koperasi dapat dimanfaatkan untuk berusaha dengan bukan anggotanya dengan tujuan mengoptimalkan skala ekonomi dalam arti memperbesar volume usaha dan menekan biaya per unit yang memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada anggotanya, serta untuk memasyarakatkan koperasi (Tim Naskah Akdemik, 2011: 42). Dengan demikian, bentuk badan hukum Perseroan Terbatas dan Koperasi dapat menjadi alternatif bentuk badan hukum Perusahaan Gadai di masa mendatang.
Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Perlindungan UU perlindungan konsumen, terutama dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa masyarakat sebagai konsumen memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Namun demikian, tidak sedikit dari masyarakat yang belum tahu akan hak-haknya tesebut, bahkan tidak sedikit pula para pelaku usaha yang tidak mengetahui dan mengindahkan UU Perlindungan Konsumen ini. Karena itu, pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, agar masyarakat pengguna jasa gadai ini tidak dirugikan oleh para pelaku usaha gadai illegal yang sedang marak belakangan ini, maka Pasal 4 tentang hak dan kewajiban konsumen, UU Perlindungan Konsumen dapat dijadikan sebagai solusi alternatif dalam memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen jasa gadai. Undang-Undang No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak maupun tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang 310
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya (Pasal 1 angka 2, UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia). Pemberian kegiatan usaha dari perusahaan gadai dalam hal barang bergerak diperlukan untuk mendukung kegiatan usaha nasabah, maka barang bergerak tersebut diikat dengan jaminan fidusia. Dengan diperkenankannya perusahaan gadai memberikan uang pinjaman dengan jaminan fidusia, maka apabila nasabah cidera janji eksekusi terhadap barang yang menjadi objek jaminan fidusia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang Jaminan Fidusia, sehingga dengan adanya aturan ini dapat dijadikan peluang bagi pengembangan Pegadaian Syariah.
Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Dengan diundangkannya UU No.5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar secara wajar. Menurut Pasal 1 ayat (2) UU No.5 Tahun 1999, dinyatakan bahwa praktik monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu, sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Dari gambaran tersebut, dapat diketahui bahwa bisnis gadai tidak lagi menjadi monopoli pemerintah dan warga masyarakat memiliki kesempatan untuk membuka usaha gadai swasta. Dengan adanya pengaturan yang jelas ini, akan menciptakan iklim usaha gadai yang kondusif dan tujuan untuk membantu usaha kecil akan mudah terwujud.
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
311
Ade Sofyan Mulazid
Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara Sebagaimana diatur dalam Pasal 12, UU 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dinyatakan bahwa maksud dan tujuan pendirian Persero adalah untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang atau jasa yang bermutu tinggi sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Karena persaingan usaha gadai semakin ketat, maka perusahaan dituntut untuk senantiasa melakukan penyempurnaan proses bisnis, manajemen risiko yang baik dan mengimplementasikan prinsip-prinsip dasar pengelolaan yang baik, yang didukung oleh sistem teknologi informasi yang sesuai kebutuhan, budaya berbasis kinerja serta sumber daya manusia yang profesional dan kompeten. Dengan diterbitkannya UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN dapat menjadi peluang bagi dunia usaha gadai, khususnya Pegadaian Syariah yang tidak hanya menyentuh pada bagian operasionalnya saja, tetapi harus meningkatkan kualitas pelayanannya sehingga kinerja perusahaan semakin membaik. Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Berdasarkan UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 1 yang dimaksud dengan Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini, serta peraturan pelaksana lainnya (Tim Naskah Akdemik, 2011: 46). Lebih dari itu, pada tahun 2012 pegadaian telah berubah bentuk usahanya menjadi Perseroan Terbatas, maka disyaratkan modalnya harus besar. Perusahaan gadai yang modalnya kecil akan berpotensi merugikan masyarakat. Karena itu, perusahaan gadai menyangkut kepentingan rakyat banyak, perlu mendapat perlindungan dan pembinaan dari pemerintah.
312
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia
Undang-Undang No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Dunia usaha saat ini, khususnya usaha mikro dan kecil mengalami perkembangan seiring dengan diterbitkannya UU tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) (Zubairi Hasan, 2009: 242). Dengan dikeluarkannya UU No.20 Tahun 2008 tentang UMKM, peluang Pegadaian Syariah semakin terbuka lebar karena dimungkinkan untuk terlibat secara maksimal dalam pemberdayaan UMKM. Peluang tersebut, dapat dilihat pada Pasal 22 yang menyatakan bahwa usaha mikro sangat dimungkinkan untuk meningkatkan dan memajukan, serta memberdayakan masyarakat ekonomi lemah sehingga keberaadaan UMKM akan mampu menciptakan perekonomian yang adil dan penuh kebersamaan yang berpijak pada pemberdayaan masyarakat. Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 dijelaskan bahwa jika terdapat indikasi transaksi keuangan mencurigakan, maka dianjurkan kepada pegadaian untuk menyampaikan laporan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan: (1) transaksi keuangan mencurigakan; (2) transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp 500.000.000,00 atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara, baik dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam satu hari kerja. Dengan adanya UU ini, menurut hemat penulis para pengelola usaha jasa gadai harus ekstra hati-hati karena bisa jadi lembaga pegadaian oleh para pelaku dijadikan sebagai sasaran tempat penyimpanan berbagai macam barang berharga hasil tindak kejahatan. Kemudian, pegadaian dapat ditunduh menjadi sebagai penadah oleh aparat kepolisian karena kurangnya pengetahuan para pengelola tentang UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Oleh sebab itu, UU tersebut dapat dijadikan peluang bagi pengembangan Pegadaian Syariah agar terhindar dari risiko kerugian akibat ketidaktahuan para pengelolanya. Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
313
Ade Sofyan Mulazid
V. Politik Hukum Indonesia Tentang Pegadaian Syariah Landasan Penyusunan UU Pegadaian Syariah Permasalahan yang krusial saat ini adalah banyaknya bermunculan lembaga-lembaga keuangan dan sektor riil syariah, namun kemunculannya tidak dibarengi dengan adanya regulasi yang mengatur kegiatan usaha tersebut. Hal ini apabila didiamkan, maka akan mengancam kedudukan negara sebagai negara hukum. Seperti diketahui bersama, sejak didirikan pada tanggal 17 Agustus 1945, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) melalui UUD 1945 menyatakan diri sebagai negara hukum. (Muhammad Amin Suma, 2006: 14). Sebelum UUD 1945 diamandemen, pencantuman Indonesia sebagai negara hukum dijumpai dalam bagian penjelasan yang menyatakan bahwa: “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum.” Negara Indonesia berdasar atas hukum tidak berdasar atas kekuasaan belaka. Setelah UUD 1945 diamandemen, pernyataan Indonesia sebagai negara termaktub dalam Bab I Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa: Negara Indonesia adalah negara hukum. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana keberadaan hukum ekonomi Islam dipositivikasi ke dalam perundang-undangan, semisal UU Pegadaian Syariah yang tengah diperbincangkan. Penyusunan UU Pegadaian Syariah secara legal formal melalui Prolegnas, dewasa ini tampak telah menjadi kebutuhan mendesak yang harus segera ditangani. Selain momentumnya yang benar-benar tepat karena kehadiran sistem ekonomi syariah dipandang sebagai salah satu solusi terbaik dalam menata kembali ekonomi Indonesia yang carutmarut. Di samping itu juga mengingat arah perkembangan hukum nasional Indonesia ke depan tampak lebih mengacu kepada hukum tertulis atau lebih tepatnya lagi merujuk kepada peraturan perundang-undangan. Ia megemukakan bahwa kedudukan dan peran hukum ekonomi syariah di Indonesia semakin terasa penting manakala dihubungkan dengan pembangunan ekonomi nasional Indonesia yang disebut-sebut berorientasi atau berbasis kerakyatan. Urgensi dari kedudukan dan peran hukum ekonomi syariah dapat dilihat dari berbagai sudut pandang misalnya sudut pandang sejarah, komunitas bangsa Indonesia, kebutuhan masyarakat, dan bahkan dari 314
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia
sisi falsafah dan konstitusi negara sekalipun (Muhammad Amin Suma, 2006: 14-16). Dari sudut pandang kesejarahan, jauh sebelum NKRI dibentuk, bahkan lebih jauh sebelum para penjajah mengangkangi wilayah Nusantara apapun sebutan atau namanya ketika itu, negeri ini telah dihuni oleh penduduk yang jelas-jelas beragama, khususnya Islam yang kemudian keluar sebagai mayoritas tunggal sampai kini. Dari sisi komunitas yang mendiami NKRI, bagian terbesarnya adalah pemeluk agama Islam. Atas dasar ini maka sungguh merupakan kewajiban bila hukum sebuah negara dipengaruhi oleh hukum agama yang dianut oleh bagian terbesar penduduknya. Pemberlakuan hukum ekonomi syariah di Indonesia sama sekali tidak terkait dengan apa yang lazim dikenal dengan sebutan “diktator mayoritas” dan atau “tirani minoritas.” Alasanya, karena penerapan hukum ekonomi syariah tidak dilakukan secara paksa apalagi dipaksakan. Sistem ekonomi Islam termasuk sistem hukumnya berjalan sebanding dan sederajat dengan sistem ekonomi dan sistem hukum ekonomi konvensional. Dari sudut pandang kebutuhan masyarakat, kehadiran sistem ekonomi Islam di Indonesia juga disebabkan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Terbukti dengan keterlibatan aktif lembaga-lembaga keuangan ekonomi lain yang juga menerima kehadiran sistem ekonomi syariah. Atau, paling sedikit berkenaan dengan hal-hal ekonomi dan keuangan tertentu, ada kemungkinan bersinergi antara lembaga ekonomi atau keuangan Islam. Demikian juga dengan para pengguna jasa lembaga ekonomi dan atau keuangan Islam. Teramat banyak untuk disebutkan satu persatu nama-nama lembaga keuangan khususnya bank di samping lembaga-lembaga keungan non bank lainya yang secara aktif dan terencana justru membuka atau mendirikan lembaga-lembaga keuangan syariah (Bank Indonesia, 2005: vii). Di negara hukum Indonesia, kedudukan atau posisi hukum ekonomi Islam sesungguhnya sangatlah kuat sebagaimana kedudukan atau posisi hukum Islam secara umum dan keseluruhan. Demikian pula dengan signifikasi fungsi atau peran hukum ekonomi Islam yang bisa digunakan, terutama dalam upaya penopang, meInnovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
315
Ade Sofyan Mulazid
lengkapi dan mengisi kekosongan hukum ekonomi sebagaimana urgensi peran dan fungsi hukum Islam secara umum dan keseluruhan dalam menopang, melengkapi dan atau mengisi kekosongan hukum nasional. Kehadiran hukum ekonomi Islam dalam tata hukum Indonesia, dewasa ini sesungguhnya tidak hanya sekedar karena tuntunan sejarah dan kependudukan (karena mayoritas beragama Islam) seperti anggapan sebagai orang atau pihak; akan tetapi, lebih jauh dari itu, juga disebabkan kebutuhan masyarakat luas setelah diketahui dan dirasakan benar betapa adil dan meratanya sistem ekonomi syariah dalam mengawal kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan oleh bangsa dan dan NKRI. Kedudukan hukum ekonomi syariah seperti dipaparkan sebelum ini, akan semakin kuat manakala dihubungkan dengan falsafah dan konstitusi negara yaitu Pancasila dan UUD 1945. Singkatnya, sistem ekonomi syariah sama sekali tidak bertentangan apalagi melanggar Pancasila terutama”Sila Ketuhanan Yang Maha Esa,” juga sama sekali tidak bertentangan apalagi melawan UUD baik bagian pembukaan yang di dalamnya antara lain termaktub kalimat:”... dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” maupun dengan bagian isinya terutama yang tertera dalam BAB XI (Agama) Pasal 29 ayat (1) dan (2), serta BAB XIV Pasal 33 dan 34 yang mengatur perihal perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial Indonesia.
Dukungan Para Ulama, Komunitas Ekonomi Syariah dan Pemerintah Untuk memperkuat sistem ekonomi syariah, khususnya Pegadaian Syariah paling tidak terdapat tiga langkah strategis yang harus dilakukan oleh umat Islam, baik para alim ulama dan para tokoh, para pakar, umat Islam secara luas yang terdiri atas pengembangan sistem Pegadaian Syariah dalam bentuk regulasi dan peraturan perundangundangan. Ketiga langkah dimaksud, diungkapkan sebagai berikut: Pertama, pengembangan sistem Pegadaian Syariah dapat dilakukan melalui dunia pendidikan formal maupun nonformal, baik itu di 316
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia
kampus-kampus, lembaga penelitian ilmiah, kelompok-kelompok kajian, media massa dan lain sebagainya, sehingga dikaji dan dipelajari secara sistematis dan terorganisasi dengan baik. Kedua, ditumbuhkembangkan regulasi-regulasi yang mendukung penguatan Pegadaian Syariah dalam praktik, peran Bapepam LK Kementerian Keuangan bekerjasama dengan DSN-MUI sangat diperlukan dalam melahirkan berbagai regulasi. Kerjasama yang harmonis selama ini terus-menerus dijaga dan diperkuat, apalagi salah satu agenda utama sekarang adalah mengusahakan RUU Pergadaian menjadi sebuah undang-undang yang memiliki kekuatan hukum yang bersifat pasti. Ketiga, Ketika Pegadaian Syariah dikembangkan dan didukung oleh sebuah sistem yang baik, maka yang paling penting adalah membangun perekonomian umat secara nyata, sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat secara luas. Pada akhirnya, diharapkan produktivitas dan kegiatan ekonomi masyarakat akan lebih meningkat. Untuk itu, MUI dan para pemuka agama, serta para ahli ekonomi Islam diharapkan akan mampu meyakinkan pemerintah untuk mengizinkan Pegadaian Syariah bisa beroperasi di Indonesia. Apalagi pegadaian yang mempunyai motto “mengatasi masalah tanpa masalah” sebenarnya cukup memberatkan bagi masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari bunga (disebut sewa modal) yang dibebankan. Karena itu, apabila Pegadaian Syariah sebagai pegadaian swasta dapat diwujudkan, prospeknya akan cukup baik dan cerah. Sebab dukungan umat yang sangat besar dan mendambakan berdirinya lembaga keuangan yang bebas riba, akan menjadi pasar potensial bagi Pegadaian Syariah. Lembaga keuangan syariah lainnya juga sangat mendukung keberadaan Pegadaian Syariah ini, bahkan akan membuat sinergi yang lebih baik (Sasli Rais, 2006: 2). Oleh karena itu, diperlukan lobi kuat kepada pemerintah agar bisa menggoalkan pegadaian swasta termasuk Pegadaian Syariah sehingga dapat beroperasi.
Kesiapan Sumber Daya Manusia Salah satu problematika yang mendasar dihadapi oleh para pelaku usaha syariah di Indonesia adalah apabila pihak swasta diberikan Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
317
Ade Sofyan Mulazid
izin untuk mendirikan Pegadaian Syariah, maka persoalan berikut yang perlu mendapat perhatian adalah masalah SDM. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan tersedianya tenaga-tenaga ahli Pegadaian Syariah secara memadai, perlu adanya lembaga sertifikasi ahli di bidang ini, sehingga perkembangan Pegadaian Syariah nantinya akan terus terjaga “syariahnya” tanpa menghambat perkembagan pegadaian itu sendiri. Bahkan jika perlu setiap karyawan (SDM) yang mau menjadi tenaga di perusahaan Pegadaian Syariah, terlebih dahulu mengikuti pendidikan dan pelatihan di pusat lembaga pendidikan Pegadaian Syariah, sehingga pertumbuhan Pegadaian Syariah di Indonesia akan diimbangi dan pada akhirnya kekurangan SDM akan dapat diantisipasi (Sasli Rais, 2006: 3). Bagaimana pun tanpa ahli Pegadaian Syariah, sebuah lembaga Pegadaian Syariah sulit berkembang. Sebab untuk membuka unit syariah, minimal ada satu ahli Pegadaian Syariah.
VI. Kesimpulan Berdasarkan uraian bab-bab terdahulu dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum PP No.51 Tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perum Pegadaian Menjadi Perusahaan Perseroan Pegadaian (Persero) merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi yang secara langsung memberi peluang bagi pengembangan Pegadaian Syariah di PT Pegadaian (Persero). Dalam kaitan ini fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI telah menjadi rujukan yang melandasi pengembangan gadai syariah dan akomodasinya oleh regulasi pemerintah memberikan rambu-rambu kepada pemerintah dan masyarakat untuk pengembangan usaha gadai syariah. Selain itu, terdapat sebelas peraturan perundang-undangan lain yang secara tidak langsung memberi peluang bagi pengembangan Pegadaian Syariah di Indonesia, yaitu: (1) UUD 1945, Pasal 33 ayat 4 tentang Perekonomian Nasional; (2) KUHPerdata, Pasal 1152 tentang Gadai; (3) UU Lelang (Vendu Reglement Ordonantie), Pasal 49 tentang Lelang Sebagai Tahap Penyelesaian Akhir Gadai Tak Ditebus; (4) UU No.25 Tahun 1992 tentang Koperasi, Pasal 43 ayat 2 tentang Pelayanan Koperasi; (5) UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, 318
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia
Pasal 4 tentang Hak dan Kewajiban Konsumen; (6) UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Pasal 1 ayat 2 tentang Penerima Fidusia; (7) UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 1 ayat 2 tentang Pemusatan Kekuatan Ekonomi; (8) UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN, Pasal 12 tentang Tujuan Persero; (9) UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 1 tentang Modal Perusahaan; (10) UU No.20 Tahun 2008 tentang UMKM, Pasal 22 tentang Pembiayaan Usaha Mikro; dan (11) UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 1 tentang Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Adapun politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah belum nampak pada periode 1945-2002. Politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah diinisiasi sejak dibukanya unit layanan gadai syariah oleh Perum Pegadaian pada tahun 2003. Upaya pemerintah untuk menyiapkan RUU Pergadaian dan telah masuk ke dalam Prolegnas 2010-2014, menunjukkan politik hukum pemerintah yang semakin kuat agar usaha jasa gadai termasuk jasa gadai syariah dapat dilakukan oleh masyarakat luas. Jika RUU tersebut disahkan oleh DPR akan berdampak pada perkembangan usaha gadai syariah. Namun demikian, politik hukum Pegadaian Syariah dikatakan paripurna apabila para penggiat ekonomi syariah berhasil mengusung pengusulan RUU Pegadaian Syariah sebagaimana keberhasilan pengusulan dan pengesahan UU Perbankan Syariah.
Saran dan Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan dan implikasi tersebut, penulis memandang penting merekomendasikan hal-hal berikut: 1. Para penggiat ekonomi syariah (MES, IAEI dan lain sebagainya) harus bahu-membahu agar memungkinkan diterbitkannya aturan yang membolehkan usaha jasa gadai syariah dikelola oleh swasta. Dengan cara ini, akan terjadi perkembangan Pegadaian Syariah karena dilakukan oleh perusahaan-perusahaan selain PT Pegadaian (pihak swasta). Adanya keterlibatan berbagai pihak, masyarakat dan juga political will dari pemerintah yang Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
319
Ade Sofyan Mulazid
2.
3.
4.
320
memungkinkan UU Pegadaian Syariah itu akan segera diterbitkan. Bagi lembaga-lembaga terkait: (PT Pegadaian Persero, Perbankan Syariah, MUI, Para Akademisi dan lain sebagainya) dapat melakukan koordinasi secara intensif dengan Tim Penyusun RUU Pergadaian ini. Misalnya dengan melakukan telaah terhadap isi RUU sebelum akhirnya diputuskan di DPR RI. Bagi lembaga legislatif, peran politik partai yang berasaskan Islam maupun nasionalis diharapkan dapat membantu mendorong untuk memasukkan poin-poin substansi gadai syariah dalam RUU Pergadaian ini yang mendukung terhadap perkembangan jasa gadai syariah di Indonesia. Bagi pemerintah disarankan untuk membentuk lembaga pengawas dan pengatur sentral lembaga keuangan nonbank, sehingga akan memberikan kemudahan bagi pengembangan lembaga keuangan nonbank, khususnya Pegadaian Syariah.
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia
BIBLIOGRAFI Abdurrahman. 1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Akademika Pressindo. Jakarta. Al-Jaziri, ‘Abdu al-Rahman Ibn Muhammad ‘Aws. 1999. Kitab al-Fiqh ‘ala Madhahib al-Arba‘ah Maktabah al-Iman. Mansurah. Al-Ansari, Muhammad Ibn Ahmad Ibn Zakariyya. tt. Fath al-Wahab. Dar Al-Kutub Al-Alamiyah. Beirut. Al-Baqi, Muhammad Fu’ad Abd. 1981. al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfazhi al-Qur’an al-Karim. Dar al-Fikr. Kairo. Al-Husayni, Taqiyyuddin Abu Bakr. tt. Kifayah al-Akhyar. PT. AlMa’arif. Bandung. Ali, Zainuddin. 2008. Hukum Gadai Syariah. Sinar Grafika. Jakarta. Al-Nawawi, Sharf Muhyiddin Ibn Abu Zakariyya. tt. al-Majmu‘ Sharh al-Muhadhab. Dar al- Fikr. Beirut. Al-Qurtubî, Muhammad Ibn Rusyd bin Ahmad Rusyd. 1970. Bidâyah al-Mujtahid wa al-Nihâyah al-Muqtashid. Maktabah Kuliyah alAzhâriyah. Kairo. Amin, KH. Ma’ruf. 2008. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam. eLSAS. Jakarta. Attamimi, A. Hamid S. 1999. Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi S3, Fakultas Pascasarajana UI, Jakarta. Bank Indonesia. 2009. Statistik Perbankan Indonesia. Bank Indonesia. Jakarta. Hasan, Zubairi. 2009. Undang-undang Perbankan Syariah Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional. Rajawali Pers. Jakarta. Hasanuzzaman, M.S. 1995. Islamic Law and Finance on Encyclopaedia of Islamic Banking and Insurance. Institute of Islamic Banking and Insurance. London. Ibn Qudamah, Ibn Abi Muhammad Abdullah Ibn Ahmad. 1994. Kitab al-Mughni. Maktabah al-Raiyad al-Hadithah. Riyad. Khan, Javed Ahmed dan Shariq Nisar. 2004. Collateral (al-Rahn) as Practiced by Muslim Funds of North India Islamic Econ., Vol.17, No.1. Ma’luf, Louis. 1986. al-Munjid. Darul Masyrik. Beirut. Mengubah UU Gadai yang Usang. http://www.ujungpandangekspres.com/view.php?id=980. (3 Maret 2010). Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
321
Ade Sofyan Mulazid
Nafis, M. Cholil. 2011. Teori Hukum Ekonomi Syariah; Kajian Komprehensif tentang Teori Hukum Ekonomi Islam, Penerapannya dalam Fatwa DSN dan Penyerapannya ke dalam Peraturan Perundang-undangan. UI-Press. Jakarta. Pegadaian Syariah Berekspansi. Republika, 9 April 2010. Rais, Sasli. 2006. Pegadaian Syariah, di mana peran Swasta, Sharia Economic Magazine, University of Trisakti, Vol. 5, No. 6. Sanksi Pidana UU Perlindungan Konsumen. http://vanezintania. wordpress.com/2011/05/19/sanksi-pidana-uu-perlindungankonsumen/ (4 Mei 2012). Sehan, M.A., Isu-isu dalam Perlaksanaan Pajak Gadai Islam di Negara Serantau. Paper Presented at the “Konvensyen Ar-Rahnu Serantau” on 12th – 13th October 2004, Kuala Lumpur. Sjahdeini, Remy Sutan. 1999. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta. Subekti dan R Tjiptosudibio. tt. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pradya Pramita, tt. Jakarta. Suma, Amin Muhammad “Arah Pengembangan Hukum Ekonomi Islam/Syariah di Indonesia,” Makalah, dalah seminar Nasional Reformulasi Sistem Ekonomi Syariah dan Legislasi Nasional di Grand Candi Hotel, Semarang tanggal 6-8 Juni 2006. Tim Naskah Akdemik. 2011. Laporan Akhir Tim Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pergadaian. Badan Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta. UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan dikutip dari Lembaran Negara Tahun 2011 No.53 diakses pada 3 Mei 2012. Wignjosoebroto, Soetandyo. 2002. Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. ELSAM dan HUMA. Jakarta. Zuhayli, Wahbah. 1985. al- Fiqh al Islam wa ‘Adilatuh. Dar al-Fikr. Damaskus.
322
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012