AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL-AIR DAUN KARI (Murraya koenigii) SEBAGAI HEPATOPROTEKTOR PADA TIKUS PUTIH GALUR Sprague Dawley
ISMERI
DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ABSTRAK ISMERI. Aktivitas Ekstrak Etanol-Air Daun Kari (Murraya koenigii) Sebagai Hepatoprotektor Pada Tikus Putih Galur Sprague Dawley. Dibimbing oleh Hasim dan Syamsul Falah. Daun kari (Murraya koenigii), tanaman obat tradisional India merupakan salah satu tanaman herbal yang secara in vitro dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi. Penelitian ini bertujuan menentukan kandungan fitokimia dan aktivitas hepatoproteksi ekstrak etanol:air (1:1) daun kari secara in vivo pada tikus Sprague Dawley yang diinduksi parasetamol dosis toksik. Aktivitas hepatoproteksi diamati dengan menggunakan parameter uji biokimia, yaitu mengukur aktivitas enzim alanin aminotransferase (ALT) dan aspartat aminotransferase (AST) serum serta mengamati kajian histopatologi hati. Sebanyak 25 tikus dibagi ke dalam 5 kelompok, yaitu kelompok normal (N), kontrol negatif (KN) (parasetamol 500 mg/Kg BB), kontrol positif (KP) (Curlivplus® 42,86 mg/Kg BB), ekstrak daun kari (ED) dosis 200 mg/Kg BB dan 300 mg/Kg BB. Daun kari yang diekstrak dengan campuran pelarut etanol:air (1:1) menghasilkan rendemen sebesar 19,2%. Hasil uji fitokimia menunjukkan adanya kandungan senyawa alkaloid, saponin, steroid, dan tanin. Hasil analisis aktivitas enzim transaminase serum menunjukkan bahwa induksi ED300 dan KP memberikan efek yang signifikan (p<0,01) dalam mekanisme perlindungan hati dibandingkan dengan ED200. Sedangkan kajian histopatologi hati menunjukkan adanya nekrosis sel hati pada KN, regenerasi sel hati pada KP, vakuolisasi pada ED200, dan tidak ada kelainan spesifik (normal) pada ED300. Hasil ini mengindikasikan bahwa antioksidan ekstrak etanol:air (1:1) daun kari memiliki potensi dalam melindungi sel hati.
ABSTRACT ISMERI. Activity of Ethanol-Water Extracts of Curry Leaves (Murraya koenigii) as Hepatoprotector In Sprague Dawley Rats. Under the direction of Hasim and Syamsul Falah. Curry leaves (Murray koenigii), a traditional Indian medicinal plant is one of the herbal plants that has been reported to have high in vitro antioxidant activity. This study was designed to investigate phytochemical compound and hepatoprotective activity of ethanol:water (1:1) extract of curry leaves (EWEC) on paracetamol toxic dose induced acute liver damage in Sprague Dawley rats in vivo. Hepatoprotection activity was measured by using biochemical parameters such as enzymes alanine aminotransferase (ALT) and aspartate aminotransferase (AST) serum level and to observe the histopathology study of liver. Twenty five rats were divided into 5 groups: normal group (N), negative control group/KN (paracetamol 500 mg/Kg BB), positive control group/KP (Curliv-plus® 42,86 mg/Kg BB), EWEC groups doses 200 mg/Kg BB and 300 mg/Kg BB. Curry leave was extracted with a solvent mixture of ethanol:water (1:1) which resulted about 19,2% rendement. Phytochemical test indicates that EWEC contains alkaloids, saponins, steroids, and tannins. Transaminase enzyme serum analysis shows that the induction of EWEC 300 and KP treatment gives a significant effect (p<0.01) on hepatoprotective compared to EWEC 200. However, liver histopathology shows that there is a necrosis hepatocytes on KN group, regeneration on KP group, vacuolisation on EWEC 200, and normal cells on EWEC 300. These results indicate that the antioxidant of EWEC is potential to protect liver cells.
AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL-AIR DAUN KARI (Murraya koenigii) SEBAGAI HEPATOPROTEKTOR PADA TIKUS PUTIH GALUR Sprague Dawley
ISMERI
Skripsi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biokimia
DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi : Aktivitas Ekstrak Etanol-Air Daun Kari (Murraya koenigii) Sebagai Hepatoprotektor Pada Tikus Putih Galur Sprague Dawley Nama : Ismeri NIM : G84060438
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. drh. Hasim, DEA Ketua
Dr. Syamsul Falah, S.Hut., M.Si. Anggota
Diketahui Ketua Departemen Biokimia
Dr. Ir. I Made Artika, M.App.Sc. Ketua Departemen Biokimia
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biokimia, Fakultas Matematika & IPA Institut Pertanian Bogor. Tema yang dipilih pada penelitian ini ialah metabolisme, dengan judul “Aktivitas Ekstrak Etanol-Air Daun Kari (Murraya koenigii) Sebagai Hepatoprotektor Pada Tikus Putih Galur Sprague Dawley”. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus hingga Oktober 2010 di Laboratorium dan Kandang Hewan Coba Biokimia, Departemen Biokimia, Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, dan Laboratorium Patologi Balai Besar Penelitian Veteriner (BALITVET) Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. drh. Hasim, DEA dan Dr. Syamsul Falah, S.Hut., M.Si. atas bimbingan, waktu, dan perhatiannya kepada penulis selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Laboran departemen biokimia dan drh. Yulvian Sani, Ph.D yang telah banyak membantu dalam teknis pelaksanaan penelitian ini, kepada kedua orang tua dan seluruh keluarga tercinta atas segala doa, dukungan, kasih sayangnya, dan selalu memberi inspirasi kepada penulis untuk selalu berjuang keras dan menjadi lebih baik, dan kepada Farah Meutia selaku rekan kerja, teman-teman Biokimia 43, SainTeker’s 2009, Umul, Marsudi, Feni, April, Valen, Hery, Igoy, Izha, Luky ILKOM 43, Tuti STK 44, serta teman-teman PPSDMS Nurul Fikri regional 5 Bogor atas dukungan dan bantuannya selama penelitian dan penyusunan skripsi. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan ilmu pengetahuan, khususnya dibidang Biokimia dan Farmasi.
Bogor, Maret 2011
Ismeri
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Simpang Abung pada tanggal 23 Mei 1987 dari ayahanda Isnen dan ibunda Asiah sebagai anak ke-6 dari enam bersaudara. Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bandar Lampung dan pada tahun yang sama penulis diterima di IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Tahun 2007 penulis memilih Mayor Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) dan Manajemen Fungsional, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) sebagai minor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan. Tahun 2006-2007 penulis aktif di ROHIS A8 sebagai Ketua Divisi PSDM. Tahun 2007-2008 penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FMIPA sebagai staf ahli Departemen SAINS. Di tahun yang sama, penulis juga aktif sebagai anggota Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Keluarga Mahasiswa Lampung (KEMALA) dan aktif di Himpunan Profesi Community of Research and Education in Biochemistry (CREBs) sebagai Badan Pengawas. Pada tahun 2009-2010 penulis aktif sebagai Menteri Sains & Teknologi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FMIPA. Disamping itu, penulis juga pernah mendapat beasiswa SP++ dari Yayasan Damandiri pada tahun 2006-2007, beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) pada tahun 2008-2009, beasiswa BBM pada tahun 2009-2010, dan beasiswa Program Pembinaan Sumber Daya Mahasiswa Strategis (PPSDMS) Nurul Fikri selama 2 tahun (2008 hingga 2010). Tahun 2008 dan 2011 penulis mendapat dana hibah penelitian dari DIKTI melalui Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian (PKMP). Selain itu, penulis juga pernah menjadi finalis berbagai kompetisi tingkat nasional, diantaranya Lomba Karya Tulis Mahasiswa (KATULISTIWA) Universitas Brawijaya, Lomba Penelitian Mahasiswa Teknik Kimia Indonesia (LPMTKI) Universitas Diponegoro, dan Lomba Karya Tulis Ilmiah Al-Qur’an (LKTIA) Institut Pertanian Bogor. Pada penghujung masa studi di IPB penulis berkesempatan sebagai penyaji makalah internasional pada Annual Meeting of Science and Technology Studies (AMSTECS)-Jepang 2011. Sebagai pengalaman profesi, penulis juga aktif sebagai asisten praktikum Biologi Dasar untuk mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB tahun 2008 hingga 2009. Pada semester akhir studi, penulis pernah menjalani Praktik Lapang (PL) di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan menulis laporan ilmiah yang berjudul “Uji Potensi Amilolitik Isolat Bakteri Asal Saluran Cerna Manusia”. Pada tahun 2009, penulis juga pernah menjadi tentor Kimia di Lembaga Bimbingan Belajar SPEKTRUM serta tentor Matematika di Lembaga Bimbingan Belajar Bintang Pelajar (BP) Bogor pada tahun 2010.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
x
PENDAHULUAN .............................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA Daun kari (Murraya koenigii) Sebagai Obat Herbal Multikhasiat ............. Senyawa Hepatoprotektor ........................................................................... Parasetamol Sebagai Hepatotoksik ............................................................. Senyawa Antioksidan ................................................................................. Fisiologi dan Fungsi Hati ...........................................................................
2 3 3 4 6
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat ........................................................................................... Metode Penelitian .......................................................................................
8 8
HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia ............................................................. Keadaan Hewan Coba Selama Perlakuan ................................................... Keadaan Hewan Coba Sebelum Perlakuan................................................. Aktivitas Enzim Transaminase .................................................................. Gambaran Histopatologi Hati .....................................................................
10 11 12 12 15
SIMPULAN DAN SARAN ...............................................................................
17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
17
LAMPIRAN .....................................................................................................
21
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Uji fitokimia ekstrak etanol:air (1:1) daun kari (Murraya koenigii) ............... 11 2 Peningkatan bobot badan hewan coba selama perlakuan ............................... 12 3 Aktivitas enzim ALT dan AST serum darah tikus pada hari ke-0 .................. 12 4 Perubahan aktivitas enzim ALT darah tikus pada hari ke-14 dan -21 dibandingkan dengan kelompok normal.......................................................... 14 5 Perubahan aktivitas enzim AST darah tikus pada hari ke-14 dan -21 dibandingkan dengan kelompok normal.......................................................... 15 6 Hasil uji Kruskal-Walis kelainan histopatologi hati ....................................... 17
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Daun kari (Murraya koenigii) ........................................................................
3
2 Jalur metabolik parasetamol pada hati normal (a) dan glutation <30% (b) ...
5
3 Mekanisme reaksi pada pengukuran aktivitas ALT .......................................
9
4 Bobot badan hewan coba selama perlakuan................................................... 12 5 Aktivitas enzim ALT selama perlakuan ......................................................... 13 6 Aktivitas enzim AST selama perlakuan ......................................................... 13 7 Gambaran sel hati tikus .................................................................................. 16
2
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Gambaran umum penelitian ........................................................................... 22
2
Rancangan perlakuan hewan coba ................................................................. 23
3
Pengukuran kadar enzim ALT dan AST ........................................................ 24
4
Perhitungan dosis ........................................................................................... 25
5
Pembuatan sediaan histopatologi hati ............................................................ 26
6
Pewarnaan Haematoxylin-Eosin .................................................................... 27
7
Data bobot tikus selama perlakuan ................................................................ 28
8
Aktivitas ALT serum darah tikus selama perlakuan ..................................... 30
9
Hasil uji analisis statistik aktivitas ALT serum darah tikus ........................... 31
10 Aktivitas AST serum darah tikus selama perlakuan ..................................... 32 11 Hasil uji analisis statistik aktivitas AST serum darah tikus ........................... 33 12 Data skoring lesio pada pengamatan histopatologi hati ................................. 34
1
PENDAHULUAN Organ hati adalah organ yang berperan mengatur homeostasis dalam tubuh. Organ ini terlibat dalam hampir semua jalur biokimia yang berhubungan dengan pertumbuhan, memerangi penyakit, suplai gizi, penyediaan energi dan reproduksi (Walker & Edward 1999; Stockham & Scott 2008). Menurut Shahani (1999), hati adalah organ yang memainkan peran yang sangat penting dalam mengatur berbagai proses fisiologis di dalam tubuh. Hal ini terlihat dalam beberapa fungsi vital, seperti metabolisme, sekresi, dan penyimpanan sehingga hati menjadi sangat rentan terhadap kerusakan. Berbagai penelitian terdahulu melaporkan bahwa terdapat beragam faktor yang dapat menyebabkan kerusakan hati, antara lain kelebihan konsumsi alkohol, bakteri, jamur, virus, senyawa kimia, infeksi, dan gangguan autoimun. Hepatitis merupakan salah satu contoh jenis penyakit hati yang sering kali terjadi pada masyarakat. Di Indonesia, penyakit ini di derita oleh sekitar 12 juta jiwa dan menduduki peringkat ketiga di Asia Pasifik (Dalimartha 2005). Hepatitis akibat obat atau toksin dapat digolongkan menjadi hepatotoksin direct dan indirect, reaksi hipersensitivitas terhadap obat, serta idiosinkrasi metabolik. Hal ini ditambah dengan pengetahuan masyarakat yang kurang akan konsumsi obat-obatan dapat meningkatkan resiko timbulnya penyakit hepatitis. Konsumsi obat-obatan seperti parasetamol dalam dosis berlebih pada hewan dan manusia dapat mengakibatkan kerusakan hati (Lee 2003). Obat-obat lain yang dapat menyebabkan kerusakan hati adalah obat anastetik, antibiotik, antiinflamasi, antimetabolik dan imunosupresif, antituberkulosa, hormon-hormon, serta obat psikotropik. Hepatitis secara umum timbul akibat inflamasi hati. Salah satu kondisi yang terjadi adalah oksidasi membran sel oleh radikal bebas, baik dari luar tubuh (eksogen) maupun hasil metabolisme tubuh (endogen). Konsumsi parasetamol dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan hati secara akut atau nekrosis. Hal ini terjadi karena pengikatan kovalen pada Nasetil-p-benzokuinonimina (NAPQI), senyawa radikal hasil oksidasi parasetamol, dengan gugus –SH pada protein membran yang menghasilkan nekrosis sel dan peroksidasi lipid yang diinduksi oleh penurunan jumlah glutation (Murugesh et al. 2005). Kerusakan
hati dapat didiagnosa oleh beberapa parameter biokimia, yaitu adanya peningkatan aktivitas enzim alanin aminotransferase (ALT), aspartat aminotransferase (AST), alkalin fosfatase (ALP), gammaglutamil transferase (GGT), glutation peroksidase (GPx), superoksida dismutase (SOD), katalase, laktat dehidrogenase, 5-nukleotidase, bilirubin, dan TBA-reacting substance (TBARS) (Stockham & Scott 2008). Saat ini, belum ada obat yang efektif dalam merangsang fungsi hati, melindungi sel hati terhadap kerusakan, dan membantu meregenerasi sel hati meskipun kemajuan pengobatan secara modern bekembang dengan pesat (Chattopadhyay 2003). Di lain sisi, berbagai upaya pengobatan gangguan fungsi hati secara klinis memerlukan biaya yang mahal dan sering kali menyebabkan efek samping yang merugikan. Oleh karena itu, masyarakat mulai beralih ke pengobatan secara tradisional sesuai dengan semboyan “Back to nature” yang sering kali memberikan efek yang cukup signifikan. Hingga saat ini juga masih dilakukan berbagai penelitian untuk mendapatkan komponen bahan aktif yang mampu berperan sebagai hepatoprotektor. Hepatoprotektor adalah senyawa atau zat yang berkhasiat melindungi sel sekaligus memperbaiki jaringan hati yang rusak akibat pengaruh toksik (Dalimartha 2005). Dilihat dari strukturnya, senyawa yang bersifat hepetoprotektor diantaranya meliputi senyawa golongan fenilpropanoid, kumarin, lignin, minyak atsiri, terpenoid, glikosida, flavonoid, asam organik lipid, serta senyawa nitrogen (alkaloid dan xantin) (Sidik 1988). Beberapa senyawa antioksidan alami seperti flavonoid, terpenoid, dan steroid telah diteliti secara farmakologi memiliki aktivitas hepatoproteksi (Murugesh et al. 2005). Antioksidan memainkan peranan penting dalam mengikat radikal bebas dan mencegah amplifikasi senyawa radikal bebas. Sumber antioksidan terbanyak di alam adalah komponen fenolik atau polifenol, sedangkan sisanya adalah komponen nitrogen dan karotenoid (Lenny 2006). Tumbuhan kari (Murraya koenigii) merupakan salah satu tanaman yang telah digunakan secara tradisional di Indonesia. Berdasarkan penelitian secara in vitro yang dilakukan oleh Ningappa et al. (2008), daun kari yang selama ini digunakan sebagai bumbu penyedap makanan ternyata memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi yang terdapat pada ekstrak etanol-air (1:1) yang termasuk
2
dalam golongan senyawa polifenol. Pengaruh pemberian ekstrak daun kari terhadap kesehatan telah banyak diteliti, diantaranya dapat memberikan efek antikanker dan antiinflamasi (to et al. 2005; Muthumani et al. 2009), antidiabetes (Hougon 2004; Vinuthan et al. 2004; Arulselvan et al. 2006; Bhat et al. 2008; Lawal et al. 2008), dan antibakteri (Ningappa et al. 2010). Selain itu, ekstrak daun kari memiliki aktivitas hipoglikemik tanpa efek samping maupun bersifat toksik (Lawal et al. 2008). Namun, potensinya sebagai hepatoprotektor belum dilakukan. Oleh karena itu, aktivitas ekstrak etanol:air (1:1) daun kari terhadap mekanisme perlindungan hati perlu diteliti. Penelitian ini bertujuan menguji kandungan fitokimia ekstrak etanol:air (1:1) daun kari dan menguji aktivitas hepatoproteksi ekstrak etanol:air (1:1) daun kari secara in vivo pada tikus Sprague Dawley yang diinduksi parasetamol dosis 500 mg/kg BB. Potensi yang diperoleh akan dibandingkan secara langsung dengan Curlivplus® (obat hepatitis komersil) dosis 42.86 mg/kg BB. Adapun parameter uji yang digunakan adalah analisis kadar enzim ALT dan AST serum serta kajian histopatologi hati. Hipotesis pada penelitian ini adalah kandungan senyawa bioaktif yang terdapat di dalam daun kari (Murraya koenigii) memiliki mekanisme perlindungan hati tikus terhadap kerusakan sel hati yang diinduksi parasetamol. Senyawa-senyawa tersebut diduga dapat menghambat atau mencegah terjadinya pembentukan radikal bebas (peroksida) di dalam tubuh yang dapat mengakibatkan kerusakan pada sel-sel hati. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi potensi ekstrak etanol:air (1:1) daun kari sebagai hepatoprotektor dan dapat dijadikan sebagai obat hepatitis alternatif sehingga manfaat daun kari dapat dieksplorasi secara optimal.
TINJAUAN PUSTAKA Daun Kari (Murraya koenigii) Sebagai Obat Herbal Multikhasiat Tanaman kari (Murraya koenigii) (Gambar 1) merupakan salah satu tanaman rempah yang tergolong famili Rutaceae (jerukjerukan) yang diperkenalkan oleh seorang ahli botani asal Swedia dan German, yaitu Johann Andreas Murray dan Gerhard Koenig (Seidemann 2005). Secara morfologi pohon
kari bisa tumbuh mencapai 4-6 meter, memiliki tangkai panjang dan setiap tangkai mengandung 11-21 daun, memiliki bunga yang kecil dan berwarna putih, serta memiliki buah yang berwarna coklat-hitam, mengkilap, dan bisa dimakan namun bijinya beracun. Tanaman kari umumnya lebih dikenal sebagai daun kari (curry-leaf tree) yang merupakan tanaman yang banyak tumbuh di India, Nepal, Sri Lanka, dan beberapa negara Asia Selatan, serta paling banyak ditemui hampir diseluruh wilayah India (Choudhury & Garg 2007). Di Indonesia daun kari banyak terdapat di beberapa daerah di Sumatera seperti Aceh dan Medan. Daun ini banyak digunakan sebagai bahan rempah-rempah terutama sebagai bumbu pada berbagai jenis masakan dan juga digunakan untuk perawatan berbagai jenis penyakit pada sistem pengobatan tradisional. Selain sebagai bumbu masak, daun kari juga sering digunakan sebagai jamu pengobatan alternatif. Daun kari dipakai sebagai bahan baku dalam hampir semua obat tradisional India, yang berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit antara lain pusing-pusing, sakit perut, kulit gatal, digigit serangga, diare, influenza, reumatik, obat luka, gigitan ular, bahkan diabetes (kong et al. 1986). Selain sebagai obat tradisional, daun ini juga dapat digunakan sebagai kosmetik dan obat jerawat, bahkan digunakan sebagai conditioner bagi rambut yang dapat mengurangi penipisan dan uban pada rambut (Choudhury & Garg 2007). Disamping itu, daun ini pula memiliki aroma yang menyengat yang disebabkan oleh kandungan minyak atsiri yang terkandung di dalamnya (Rana et al. 2004) sehingga daun ini kerap digunakan pada industri parfum dan sabun. Selain itu, daun ini kaya akan mineral (Choudhury & Garg 2007), vitamin A dan B serta mengandung banyak karbohidrat, protein, asam amino dan alkaloid (Kong et al. 1986; Tee & Lim 1991). Khasiat daun kari dalam bidang kesehatan telah banyak diteliti, diantaranya dapat memberikan efek antikanker dan antiinflamasi (Ito et al. 2005; Muthumani et al. 2009), antidiabetes (Hougon 2004; Vinuthan et al. 2004; Arulselvan et al. 2006; Bhat et al. 2008; Lawal et al. 2008), dan antibakteri (Ningappa et al. 2010). Ekstrak daun kari memiliki aktivitas hipoglikemik tanpa efek samping maupun bersifat toksik (Lawal et al. 2008). Selain itu, daun ini memiliki kandungan mineral Cr, V, Mn, Zn, Cu dan Se yang tinggi yang dikenal memiliki peranan penting pada proses biokimia terutama
3
diabetes (Choudhury & Garg 2007). Beberapa literatur menyebutkan bahwa daun kari memiliki kandungan essential oils, kumarin, terpenoid, lutein, karbazol alkaloid, mahanimbin, murayanol, dan mahanin (Ramsewak et al. 1999; Tachibana et al. 2001; Nakahara et al. 2002). Berdasarkan Palaniswamy (2003), daun kari kaya akan antioksidan seperti tokoferol, β-karoten, lutein, dan alkaloid. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ningappa et al. (2008), antioksidan tertinggi pada daun kari terdapat pada ekstrak etanol-air (1:1) yang termasuk golongan senyawa polifenol, yaitu sebesar 168 ± 5,6 mg/g ekstrak. Selain itu, ekstrak etanol:air (1:1) daun kari dapat menghambat lipid peroksida sebesar 76,4 ± 3 % pada konsentrasi rendah (50 µg/mL), menghambat superoksida dismutase (SOD) sebesar 93% pada konsentrasi 200 µg/3 mL, menghambat radikal DPPH sebesar 92 % pada konsentrasi 20 µg/mL, dan menghambat radikal hidroksil sebesar 91% pada konsentrasi 20 µg/mL.
Gambar 1 Daun kari (Murraya koenigii) Senyawa Hepatoprotektor Hepatoprotektor adalah senyawa atau zat yang berkhasiat melindungi sel hati terhadap pengaruh zat toksik yang dapat merusak hati, bahkan dapat memperbaiki jaringan hati yang telah rusak (Dalimartha 2005). Secara empiris telah banyak tanaman yang tumbuh di Indonesia yang digunakan oleh masyarakat sebagai obat penyakit hati, seperti brotowali, kembang merak, rebung bambu, mengkudu, tomat, jagung, pepaya, wortel, lidah buaya, akar kuning, temulawak dan kunyit. Namun, masih sedikit diantara tumbuhan tersebut yang telah dibuktikan secara ilmiah kebenarannya. Sebagian besar zat hepatoprotektor tersebut adalah senyawa yang tergolong antioksidan. Senyawa ini bekerja dalam menghambat atau memperlambat proses oksidasi radikal bebas (Murray 2009). Sejak tahun 1976 telah dilakukan usaha untuk menemukan senyawa bioaktif yang
berasal dari tumbuhan yang memiliki aktivitas hepatoprotektor. Pada tahun 1983 ilmuwan Korea telah melakukan penapisan terhadap 78 jenis tumbuhan yang biasa digunakan rakyat Korea untuk pengobatan hepatitis dan 21 diantaranya terbukti sebagai hepatoprotektor. Di Indonesia, penelitian mengenai tanaman obat yang sering digunakan oleh masyarakat sebagai obat hepatitis juga telah banyak dilakukan. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Yuningsih (1987) terhadap ekstrak air temulawak (Curcuma xanthorizha Robx) dapat menurunkan aktivitas SGOT dan SGPT darah kelinci dalam keadaan terinfeksi hepatitis B, Harun & Syahri (1999) yang meneliti aktivitas daun dewa yang memiliki sifat antioksidan yang mampu menghambat sifat hepatotoksik senyawa halotan yang terpapar di udara, Batubara (2003) dan Adji (2004) yang berhasil membuktikan aktivitas ekstrak saponin akar kuning sebagai hepatoprotektor, Marliana (2005) yang membuktikan khasiat buah mahkota dewa sebagai hepatoprotektor, Rustandi (2006) yang melihat aktivitas ekstrak daun sangitan dalam peroksidasi lipid serum darah tikus yang diinduksi parasetamol, dan Panjaitan (2008) yang menguji aktivitas hepatoprotektor ekstrak akar pasak bumi, serta Aryadi (2009) yang membuktikan khasiat ekstrak bunga rosella sebagai hepatoprotektor terhadap tikus yang diinduksi parasetamol. Parasetamol Sebagai Hepatotoksik Hepatotoksin adalah senyawa yang dapat menyebabkan gangguan pada jaringan hati. Hepatotoksin juga merupakan zat yang mempunyai efek toksik pada hati dengan dosis berlebihan atau dalam jangka waktu yang lama. Hepatotoksin yang menyebabkan gangguan pada jaringan hati, tergantung pada dosis pemberian, interval waktu pemberian yang singkat antara pencernaan obat dan reaksi melawan, serta kemampuan untuk menimbulkan perubahan yang sama pada jaringan hati (Dalimartha 2005). Berdasarkan mekanismenya terhadap perusakan hati, hepatotoksin dibagi menjadi dua macam, yaitu hepatotoksin intrinsik dan ekstrinsik. Hepatotoksin intrinsik merupakan hepatotoksin yang dapat diprediksi, tergantung pada dosis dan melibatkan mayoritas individu yang menggunakan obat dalam jumlah tertentu. Rentang waktu antara mulainya dan timbulnya kerusakan hati sangat bervariasi, dari beberapa jam sampai beberapa minggu. Salah satu contohnya adalah parasetamol (acetaminophen) yang
4
menyebabkan nekrosis hati yang dapat diprediksi pada pemberian over dosis. Di sisi lain, hepatotoksin ekstrinsik atau idiosinkratik merupakan hepatotoksin yang tidak dapat diprediksi. Hepatotoksin ini terkait dengan hipersensitivitas atau kelainan metabolisme. Respon dari hepatotoksin ini tidak dapat diprediksi dan tidak tergantung pada dosis pemberian. Tahap inkubasi toksin ini bervariasi, tetapi biasanya berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Contohnya seperti sulfonamid, isoniazid, halotan, dan klorpromazin (Gibson 1991). Parasetamol atau N-asetil-p-aminofenol merupakan obat yang berkhasiat analgetik anatipiretik non narkotik turunan para aminofenol. Parasetamol cepat diserap secara sempurna oleh saluran pencernaan dan tersebar ke seluruh cairan tubuh. Konsentrasi tertinggi berada pada plasma darah setelah 1-3 jam masuk ke dalam tubuh. Sebanyak 25% parasetamol berada terikat dengan protein (Lee 2003). Parasetamol termasuk salah satu obat yang sering dikonsumsi oleh masyarakat, dapat menyebabkan kerusakan hati apabila dikonsumsi 7,5 gram sekaligus, dan pada pemakaian lebih dari 15 gram sekaligus akan menyebabkan nekrosis atau kematian sel hati (Dalimartha et al. 2005). Dosis parasetamol 500 mg/kg BB yang diinduksikan pada tikus Sprague Dawley mampu membuat kerusakan membran sel hepatosit (Aryadi 2009), sedangkan dosis untuk tikus galur Wistar adalah 750 mg/kg BB (Murugesh et al. 2005). Di sisi lain, dosis parasetamol pada tikus Rattus Norvegicus sebesar 2 g/kg BB (Balamurugan et al. 2008). Gambar 2 menunjukkan proses metabolisme parasetamol di dalam tubuh. Pada dosis normal, parasetamol yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami biotransformasi di dalam hati dengan mekanisme konjugasi (metabolisme fase II) dengan glukuronat sebanyak 40%-67%, sulfonat 20-46%, serta <5%-nya adalah sistein, beberapa metabolit terhidroksilasi dan terdeasetilasi. Hasil reaksi konjugasi ini menghasilkan senyawa yang larut air (hydrosoluble) dan tidak toksik sehingga dapat disekresikan melalui urin (Wong et al. 1981; Lee 2003) (Gambar 2a). Pada keadaan over dosis, sisa parasetamol akan dibiotransformasi oksidatif oleh sitokrom P-450 (metabolisme fase I) sehingga membentuk suatu metabolit elektrofil Nasetil-p-benzoikuinonimina (NAPQI) yang bersifat hepatotoksik dan reaktif. NAPQI kemudian akan bereaksi dengan biomolekul
penyusun membran sel hati, seperti fosfolipid dan protein bergugus –SH. Detoksifikasi NAPQI diawali oleh konjugasi dengan glutation tereduksi (GSH) menjadi asam merkapturat yang bersifat hydrosoluble non toxic dan dapat diekskresikan oleh ginjal (Wong et al. 1981) (Gambar 2a). Jika laju pembentukan NAPQI lebih besar dari laju detoksifikasi oleh GSH, maka akan terjadi oksidasi berbagai biomolekul penyusun membran seperti lipid atau gugus SH pada protein (Wong et al. 1981). Proses ini menyebabkan kandungan GSH hati <30% dari normalnya, sehingga NAPQI berikatan dengan makromolekul protein sel hati membentuk senyawa semikuinon. Senyawa ini akan mereduksi O2 menjadi O2•, kemudian membentuk senyawa radikal bebas lagi yang akan mengoksidasi fosfolipid lain secara berantai. Hal ini mengakibatkan kerusakan sel hati sampai timbul nekrosis hati, yaitu terjadinya gangguan integritas membran plasma, keluarnya isi sel, dan timbulnya respon inflamasi (Gambar 2b). Respon ini menyebabkan banyak sel yang mati (Gibson & Sket 1991) yang ditandai dengan peningkatan ALT dan AST, bilirubin, alkalin fosfatase, gammaglutamil transferase (GGT), serta dehidrogenase laktat pada serum selama 24 jam setelah pemberian (Firmansyah 2006). Senyawa Antioksidan Antioksidan, secara umum dapat didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi lipid. Sedangkan dalam arti khusus, antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi oksidasi radikal bebas. Senyawa dikatakan memiliki sifat antioksidatif bila senyawa tersebut mampu mendonasikan satu atau lebih elektron kepada senyawa prooksidan, kemudian mengubah senyawa oksidan menjadi senyawa yang stabil (Packer 1995). Antioksidan, berdasarkan sumbernya dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Beberapa contoh antioksidan sintetik adalah Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT), propil galat, tert-butil hidroksi quinon (TBHQ) dan tokoferol, sedangkan antioksidan alami berasal dari tumbuhan, yang pada umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid. Berdasarkan asal terbentuknya, antioksidan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan endogen dan eksogen. Sedangkan berdasarkan mekanisme kerjanya,
5
Gambar 2 Jalur metabolik parasetamol pada hati normal (a) dan glutation <30% (b) (Sumber: Kavalci et al. 2009) antioksidan dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu: (a) Antioksidan primer (antioksidan endogen/antioksidan enzimatis), contohnya enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase (GPx). Enzim-enzim ini mampu menekan atau menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara memutus reaksi berantai dan mengubahnya menjadi produk lebih stabil; (b) Antioksidan Sekunder (antioksidan eksogen/antioksidan non enzimatis), contoh antioksidan sekunder ialah vitamin E, vitamin C, β-karoten, isoflavon, asam urat, bilirubin, dan albumin. Senyawa-senyawa ini dikenal sebagai penangkap radikal bebas (scavenger free radical), kemudian mencegah amplifikasi radikal; (c) Antioksidan Tersier, misalnya enzim metionin sulfoksida reduktase, yang berperan dalam perbaikan biomolekul yang disebabkan oleh radikal bebas (Packer & Ong 1998). Menurut Ong et al. (1995), terdapat lima mekanisme kerja antioksidan seluler, yaitu: (1) Berinteraksi langsung dengan oksidan, radikal bebas atau oksigen tunggal; (2) Mencegah pembentukan jenis oksigen reaktif; (3) Mengubah jenis oksigen reaktif menjadi kurang toksik; (4) Mencegah kemampuan oksigen reaktif; (5) Memperbaiki kerusakan
yang timbul. Penggunaan senyawa antioksidan saat ini semakin meluas seiring dengan semakin besarnya pemahaman masyarakat tentang
peranannya dalam menghambat penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, arterisklerosis, kanker, serta gejala penuaan. Masalah-masalah tersebut berkaitan dengan kemampuan antioksidan dalam bekerja sebagai inhibitor (penghambat) reaksi oksidasi oleh radikal bebas reaktif yang menjadi salah satu penyebab penyakit-penyakit di atas (Packer & Ong 1998). Tubuh manusia dapat menghasilkan senyawa antioksidan secara alami, tetapi jumlahnya sering kali tidak cukup untuk menetralkan radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh (Hernani & Rahardjo 2005). Antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan oleh oksigen reaktif dan mampu menghambat terjadinya penyakit degeneratif serta mampu menghambat peroksida lipid pada makanan. Keseimbangan antara antioksidan dan radikal bebas menjadi kunci utama pencegahan stres oksidatif dan penyakit-penyakit kronis yang dihasilkan (Packer et al. 1995). Stres oksidatif adalah keadaan ketidakseimbangan antara prooksidan dan antioksidan. Keaadaan stres oksidatif dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adalah kurangnya antioksidan atau kelebihan produksi radikal bebas. Radikal bebas sebetulnya diproduksi secara fisiologis oleh sel sebagai konsekuensi logis pada reaksi biokimia dalam kehidupan aerobik. Namun, jika radikal bebas berlebihan dan antioksidan selluler tetap atau lebih sedikit, maka
6
kelebihan radikal bebas ini tidak dapat dinetralkan dan akan berakibat pada kerusakan sel itu sendiri. Kondisi stres oksidatif yang berakibat pada kerusakan sel, dapat menyebabkan terjadinya percepatan proses penuaan, dan dapat menimbulkan penyakit jantung, kanker, dan diabetes melitus (Packer & Ong 1998). Prof. Bernhard Waltz dari Institute of Nutritional Physiology (FRNC) Karlshure, Jerman menyatakan bahwa senyawa fitokimia memiliki efek biologi yang efektif dalam menghambat pertumbuhan kanker, berfungsi sebagai antioksidan, antimikroba, menurunkan kolesterol darah, menurunkan kadar glukosa darah, bersifat antibiotik, dan menimbulkan efek peningkatan kekebalan. Fitokimia yang bersifat antioksidan aktif adalah karotenoid, polifenol, fitoestrogen, inhibitor protease, dan sulfida. Karotenoid seperti lycopene dan canthaxanthin, adalah jenis antioksidan yang memiliki kemampuan tinggi dalam memproteksi oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas. Sedangkan polifenol dikenal sebagai antioksidan tanaman yang sangat superior. Polifenol dari anggur merah dan flavanol quersetin adalah senyawa fitokimia yang dapat mencegah oksidasi low density lipoprotein (LDL) dan kolesterol sehingga dapat mencegah timbulnya penyakit kronis (Packer & Ong 1998). Fisiologi dan Fungsi Hati Hati merupakan organ tubuh yang besar, kompleks, dan terdapat di dalam rongga perut kanan atas, di bawah diafragma kanan, dan dilindungi tulang iga kanan bawah. Organ ini berwarna coklat tua dan berbobot antara 1.200-1.600 g atau sekitar 2.5% dari bobot total orang dewasa. Organ ini terbagi menjadi dua lobus, lobus kanan besarnya enam kali bagian kirinya. Setiap lobus terdiri atas ribuan lobulus yang merupakan unit fungsional. Setiap lobulus terdiri atas sel-sel hepatosit yang berbentuk kubus dan tersusun melingkar mengelilingi vena sentralis. Di antara lobulus (interlobular) terdapat saluran empedu dan kapiler (sinusoid) yang merupakan cabang vena porta dan arteria hepatika (Dalimartha 2005). Sinusoid dibatasi oleh sel Kupffer yang merupakan sistem retikuloendotelial dan mempunyai fungsi serupa dengan sel makrofag (Kaplan & Pesce 1998). Pada tikus, hati terletak pada bagian anterior ruang abdominal, memanjang dari tulang belakang sampai cartilago xiphoidea. Hati tikus terdapat empat lobus (median, lateral kanan, lateral kiri, dan kaudal). Bila dilakukan
hipatektomi, sel hati mampu melakukan regenerasi meskipun hanya sebagian sel hati yang dapat diganti. Tikus tidak memiliki kantung empedu, saluran empedu dari beberapa lobus membentuk saluran empedu umum yang masuk ke deudenum (Fox et al. 1984). Secara garis besar, fungsi hati dapat digolongkan menjadi lima besar, yaitu detoksifikasi, sekresi, penyimpanan cadangan makanan, hematologis, proteksi, dan juga berperan dalam proses metabolisme biomolekul (karbohirat, lipid, asam amino, hormon dan bilirubin) (Kaplan & Pesce 1998). Pada metabolisme tubuh, hati berperan dalam metabolisme karbohidrat, protein, dan lipid yang dikirim oleh vena porta setelah diabsorbsi dari usus. Hati dapat menyintesis lebih dari 1000 protein plasma, seperti albumin dan globulin secara de novo dari asam amino esensial dan non esensial. Hati juga dapat menyintesis asam lemak, trigliserida, kolesterol, apolipoprotein, lipoprotein, dan kolesterol ester dalam fosfolipid. Beberapa bahan hasil metabolisme ini dapat tersimpan dalam hati, seperti glikogen, trigliserida, Fe, dan Cu (Stockham & Scott 2008). Sebagai Haematologis, organ hati berfungsi mengatur keseimbangan cairan elektrolit, dan mengatur volume darah dan bersifat sebagai spons/filter karena semua makanan dan substansi yang telah diserap oleh usus halus akan dialirkan ke hati melalui sistem portal. Fungsi hati lainnya adalah detoksifikasi toksin dan radikal bebas, yaitu melalui reaksi konjugasi dengan beberapa senyawa yang dihasilkan di dalam hati, seperti glutation, asam glukoronat, glisin, dan asetat. Hati juga berfungsi sebagai organ pertahanan tubuh, yaitu dengan adanya sel Kupffer yang mempunyai kemampuan fagositosis sel-sel tua, partikel atau benda asing, sel tumor, bakteri, virus, dan parasit di dalam hati. Hati memiliki kapasitas cadangan yang besar, yaitu hanya dengan 10% - 20% jaringan hati yang masih berfungsi ternyata sudah cukup untuk mempertahankan hidup pemiliknya. Kemampuan regenerasi jaringan yang mati cukup besar sehingga akan cepat digantikan dengan yang baru (Dalimartha 2005). Hati merupakan organ yang paling sering mengalami kerusakan. Ada dua alasan mengapa hati mudah terkena racun dan kemudian mengalami kerusakan. Alasan pertama, hati menerima lebih dari 80% suplai darah dari vena porta. Vena tersebut membawa zat-zat toksik dari tumbuhan, fungi, bakteri, logam mineral, dan zat-zat kimia lain
7
yang diserap di usus ke darah portal untuk ditransportasikan ke hati. Kedua, hati menghasilkan enzim-enzim biotransformasi untuk berbagai macam zat eksogen dan endogen untuk dieliminasi di dalam tubuh. Proses ini mungkin juga mengaktifkan beberapa zat menjadi bentuk lebih toksik dan dapat menyebabkan terjadinya perlukaan hati seperti karbon tetraklorida (Jeon 2003). Sel hati memiliki bentuk ultrastruktur yang mencerminkan bahwa sel terlibat dalam berbagai fungsi metabolik yang luas. Sel ini mengandung berbagai enzim, yang meliputi enzim alanin aminotransferase (ALT), enzim aspartat aminotransferase (AST), alkalin fospatase (ALP), gamaglutamil transpeptidase (GGT), laktat dehidrogenase, dan 5nukleotidase, bilirubin, lipid, lipid peroksida. Enzim adalah protein yang dihasilkan oleh sel hidup dan umumnya terdapat di dalam sel. Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara pembentukan dan penguraian enzim. Beberapa diantara enzim tersebut dapat dijadikan sebagai parameter kerusakan hati (Ganong 2002). Apabila terjadi kerusakan sel atau peningkatan permeabilitas membran sel, enzim akan banyak keluar ke ruang ekstra sel dan ke dalam aliran darah sehingga dapat digunakan sebagai sarana untuk membantu diagnostik penyakit tertentu. Pemeriksaan enzim yang biasa dilakukan untuk diagnosis kerusakan hati adalah ALT dan AST (Ratnaningsih 2003). Enzim ALT dan AST merupakan enzim intraseluler yang berfungsi untuk mengatalisis pemindahan gugus amino dari alfa amino ke asam alfa keto. Enzim AST merupakan enzim mitokondria yang berfungsi mengatalisis pemindahan bolak-balik gugus amino dari asam aspartat ke asam α-oksaloasetat membentuk asam glutamat dan oksaloasetat. Enzim ini tidak spesifik untuk disfungsi hati karena enzim ini juga banyak ditemukan pada otot rangka, pankreas, jantung dan ginjal. Kadar enzim AST akan meningkat apabila terjadi kerusakan sel yang akut seperti nekrosis hepatoseluler dan infark kardium. Jumlah AST meningkat secara nyata dalam gangguan fungsi hati dan saluran empedu, penyakit jantung dan pembuluh darah, serta gangguan fungsi ginjal dan pankreas. Sedangkan ALT merupakan enzim yang terdapat pada sitosol hati dan terlibat dalam glukoneogenesis, meningkatnya kadar enzim ALT dalam darah terutama disebabkan oleh kerusakan sel hati dan sel otot rangka. Kerusakan diawali dengan perubahan permeabilitas membran yang diikuti dengan
kematian sel. Enzim ini berperan dalam mengkatalisis pemindahan gugus amino dari alanin ke asam α-ketoglutarat membentuk asam glutamat dan asam piruvat (Kaplan & Pesce 1998). Menurut Stockham & Scoot (2008), enzim ALT merupakan indikator terbaik dalam melihat kerusakan hati. Pada gangguan sel hati yang ringan maka enzim sitoplasma akan merembes ke dalam serum terutama enzim ALT. Oleh karena itu, kadar enzim ALT bersifat khas dan spesifik terhadap kerusakan sel hati sehingga sangat cocok sebagai tes untuk menentukan adanya gangguan fungsi hati walaupun dalam derajat ringan. Pada manusia, nilai normal kadar enzim ALT berkisar antara 5 hingga 25 U/L, dan AST antara 5 hingga 35 U/L (Baron 1992). Sedangkan pada tikus, nilai normal kadar enzim ALT berkisar antara 19,3 hingga 68,9 U/L dan AST antara 29,8 hingga 77,0 U/L (Pillchos et al. 2004 di dalam Windyagiri 2006). Bahan-bahan toksik dapat menyebabkan berbagai jenis kerusakan hati, diantaranya degenerasi, perlemakan hati, nekrosis hati, dan sirosis. Degenerasi suram, berbutir, albuminoid atau parenkim sering terlihat pada kejadian keracunan dan bersifat reversibel. Ciri-ciri sel hati yang mengalami degenersi adalah hati membesar, tepinya membulat, konsistensinya rapuh, sedangkan bidang sayatannya berwarna belang atau beraspek seperti telah dimasak. Perlemakan hati terjadi bila hati mengandung berat lipid lebih dari 5%. Beberapa hal yang dapat menyebabkan perlemakan patologis hati adalah hipoksemi karena hati tidak dapat membakar lemak, atau karena adanya toksin yang mengakibatkan penurunan fungsi lipolitik hati dan terjadi penimbunan lipid intrasel sehingga sitoplasma tampak bervakuola (Ressang 1984). Nekrosis hati adalah kematian sel hati. Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral, pertengahan, dan perifer) atau masif. Pada umumnya nekrosis toksopatik hanya memerlukan waktu singkat untuk menimbulkan gejala klinis. Biasanya secara hispatologi terlihat nekrosis setempat, teratur dan tersebar di seluruh hati, akan tetapi bila racun sangat kuat maka akan terlihat gambaran nekrosis terpencar. Sirosis hati adalah suatu keadaan yang menggambarkan pangerasan hati. Sirosis dapat disebabkan oleh berbagai hal tetapi penyebabnya belum diketahui secara pasti. Pada umumnya bahanbahan toksik dan parasit dapat menyebabkan sirosis hati (Ressang 1984; Price 1995).
8
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan strain Sprague Dawley sebanyak 25 ekor dengan kondisi sehat, memiliki aktivitas normal, dan berumur 2 bulan dengan bobot badan berkisar antara 200-250 gram, yang diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka (PSB) Bogor. Daun kari (Murraya koenigii) yang digunakan diperoleh dari koleksi Balai Penelitian Tanaman Tropis (BALITRO) Bogor. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk daun kari ukuran 40 mesh, parasetamol, kloroform, etanol absolut (Merck), NaCl 0,9%, NaOH, FeCl3, xilol, parafin, LiCl, akuades, kit reagen ALT dan AST (Labkit), metanol 30%, etanol 30%, 70%, 80%, 90%, 96%, pewarna Meyer’s Haemotoxylin, eosin, dan Curliv-plus® (obat hepatitis komersil) dan beberapa pereaksi fitokimia yang meliputi pereaksi Dragendorf, Meyer, Wagner, serta campuran asam asetat anhidrida dan H2SO4 pekat sebagai pereaksi metode Lieberman Buchard. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas, kertas saring biasa dan whatman No. I, aluminium foil, oven, mortar, shaker orbital, vacum rotavavor, penangas air, neraca analitik, freeze dry, spektrofotometer (BioSystem BTS-330), mikroskop, dan sentrifus klinis. Peralatan lainnya adalah corong pisah, pipet tetes, pipet Mohr, pipet mikro, batang pengaduk, cawan, mikrotom, syiring, gunting bedah, sonde oral, vial, Tissue Tec, dan pH meter. Metode Penelitian Preparasi Sampel Daun kari (Murraya koenigii) dikeringkan dibawah sinar matahari secara langsung dan menggunakan oven pada suhu 40-50°C. Setelah daun benar-benar kering, kemudian dilakukan penggilingan dengan menggunakan mesin Discmill hingga terbentuk serbuk berukuran 40 mesh. Ekstraksi Daun Kari (Murraya koenigii) (Ningappa 2008) Ekstraksi daun kari dilakukan dengan mengacu pada metode Ningappa (2008) dengan sedikit modifikasi. Sebanyak 300 gram daun kari yang sudah berbentuk serbuk dimaserasi dengan cara direndam ke dalam 800 mL etanol:air (1:1 v/v) pada suhu kamar
selama sehari-semalam. Larutan tersebut diletakkan pada shaker orbital dengan kecepatan 250 rpm. Hal ini bertujuan mempercepat proses ekstraksi. Proses ekstraksi dilakukan berulang-ulang sampai filtrat yang dihasilkan jernih. Larutan hasil maserasi dipisahkan melalui penyaringan vacum dengan menggunakan kertas saring biasa kemudian disaring kembali dengan kertas saring Whatman No. I. Filtrat hasil penyaringan kemudian dipekatkan dengan menggunakan vacuum rotavavor pada suhu 50oC. Ekstrak yang diperoleh ditempatkan di dalam botol tertutup dan disimpan di dalam lemari es dengan suhu 4-8oC. Analisis Fitokimia (Harbone 1987) Uji Alkaloid. Ekstrak daun kari sebanyak 1 gram ditambahkan 10 mL kloroform dan beberapa tetes NH4OH. Fraksi kloroform dipisahkan dan diasamkan dengan H2SO4. Fraksi H2SO4 dimasukkan ke dalam 3 buah tabung reaksi, lalu ditambahkan pereaksi Dragendorf pada tabung pertama, pereaksi Meyer pada tabung kedua, dan pereaksi Wagner pada tabung ketiga. Terdapatnya alkaloid ditunjukkan dengan terbentuknya endapan putih oleh pereaksi Meyer, endapan merah oleh pereaksi Dragendorf, dan endapan coklat oleh pereaksi Wagner. Uji Saponin. Ekstrak daun kari sebanyak 1 gram ditambahkan air secukupnya dan dipanaskan selama 5 menit. Larutan tersebut didinginkan kemudian dikocok. Timbulnya busa sampai selang waktu 10 menit menunjukkan adanya saponin. Uji Flavonoid dan Senyawa Fenolik. Ekstrak daun kari sebanyak 1 gram ditambah metanol 30% sampai terendam lalu dipanaskan sekitar 5 menit. Filtratnya ditambah NaOH 10% (b/v) atau H2SO4 pekat. Terbentuknya warna merah karena penambahan NaOH menunjukkan adanya senyawa fenolik hidrokuinon sedangkan warna merah yang terbentuk akibat penambahan H2SO4 pekat menunjukkan adanya senyawa flavonoid. Uji Triterpenoid dan Steroid. Ekstrak daun kari sebanyak 1 gram ditambah 10 mL eter. Lapisan eter yang terbentuk dipipet lalu diuapkan pada penangas air. Residu yang didapat kemudian ditambah pereaksi Lieberman Buchard (3 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes H2SO4 pekat). Warna merah atau ungu menunjukkan kandungan triterpenoid pada sampel sedangkan warna hijau menunjukkan adanya kandungan steroid.
9
Uji Tanin. Ekstrak daun kari sebanyak 1 gram ditambahkan 10 mL akuades kemudian dididihkan selama 5 menit. Larutan ini disaring dan filtratnya ditambah 5 tetes FeCl3 1% (b/v). Warna biru tua atau hitam kehijauan menunjukkan terdapatnya tanin. Perlakuan Hewan Coba dan Rancangan Percobaan Tikus dikelompokkan menjadi 5 kelompok dan masing-masing kelompok terdiri atas 5 ekor. Tikus dikandangkan secara individu beralaskan sekam dan diberi pakan standar sebanyak 20 g/ekor/hari dengan minum secara ad libitum. Sebelum percobaan dilakukan, tikus diaklimatisasi selama 14 hari untuk menyeragamkan cara hidup dan pola makan, menghindari risiko timbulnya stress, dan membiasakan diri dengan lingkungannya. Kemudian perlakuan pada hewan percobaan dilakukan selama 3 minggu. Bobot badan dan jumlah pakan yang digunakan diamati setiap hari. Tikus kelompok I merupakan kelompok kontrol normal (N) yang selama penelitian hanya diberi pakan standar dan dicekok akuades. Kelompok II adalah kelompok hepatotoksik/kontrol negatif (KN) yang dicekok parasetamol dengan dosis 500 mg/kg BB. Kelompok III merupakan kelompok pembanding/kontrol positif (KP) yang dicekok menggunakan Curliv-plus® (obat hepatoprotektor komersil) dengan dosis 42,86 mg/kg BB. Sedangkan kedua kelompok lainnya merupakan kelompok perlakuan. Kelompok IV dicekok dengan ekstrak daun kari dengan dosis 200 mg/kg BB dan kelompok V dicekok dengan ekstrak daun kari dengan 300 mg/kg BB. Perlakuan pada semua kelompok percobaan dilakukan selama 3 minggu dan induksi parasetamol dosis 500 mg/kg BB pada kelompok III, IV, dan V dilakukan pada minggu ke-2. Hal ini bertujuan untuk mengkondisikan stres oksidatif pada tikus. Pengambilan darah pada kelima kelompok dilakukan melalui pembuluh darah vena ekor (ujung ekor dipotong) sebanyak empat kali, yaitu pada hari ke-0,-7,-14 dan -21 untuk pengukuran kadar enzim ALT dan AST serum darah. Sebelum pengambilan darah, tikus dipuasakan selama 16-18 jam. Selanjutnya tikus dikorbankan dengan cara dibius dengan eter yang kemudian dilakukan nekropsi untuk pengujian histopatologi hati. Perhitungan dosis pemberian parasetamol, curliv-plus®, dan ekstrak daun kari dapat dilihat pada Lampiran 4, dan rancangan percobaan dapat dilihat pada Lampiran 2.
Pengukuran Kadar ALT dan AST Metode analisis ALT dan AST mengacu pada International Federation of Clinical Chemistry (IFCC) (2002). Prinsip pengukuran aktivitas ALT dan AST adalah mengukur laju berkurangnya jumlah NADH menjadi NAD+ pada reaksi yang terjadi antara enzim dan substrat yang dapat diukur pada panjang gelombang 340 nm. Contoh mekanisme reaksi yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 3. Sampel darah tikus disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit untuk mendapatkan serumnya. Setelah itu, dilakukan analisis kadar ALT dan AST. Sebanyak 100 µL serum darah tikus dicampur dengan 1000 µL reagen, kemudian diukur serapannya dengan menggunakan spektrofotometer BioSystem BTS-330 pada panjang gelombang 340 nm (Lampiran 3). Pengukuran aktivitas kedua enzim tersebut dilakukan dengan cara yang sama, hanya saja reagen yang digunakan berbeda. Reagen yang digunakan dalam pengukuran AST mengandung buffer tris, L-aspartat, αketoglutarat, laktat dehidrogenase, malat dehidrogenase, dan NADH. Sedangkan pereaksi yang digunakan dalam pengukuran ALT mengandung buffer tris, L-alanin, αketoglutarat, laktat dehidrogenase, dan NADH.
Gambar 3 Mekanisme reaksi pada pengukuran aktivitas ALT Pembuatan Preparat Histopatologi Hati Metode yang digunakan adalah metode Jusuf (2009) yang terdiri atas 4 tahap, yaitu fiksasi, dehidrasi, pencetakan (embedding), dan pewarnaan (staining). Tahap fiksasi dilakukan dengan memotong organ hati dengan ukuran 2x2x1 cm, dimasukkkan ke dalam buffer neutral formalin (BNF) 10% selama 3x24 jam, kemudian dipotong lagi dengan ukuran lebih tipis. Potongan-potongan hati tersebut dilanjutkan ke tahap dehidrasi, yaitu dengan perendaman menggunakan etanol bertingkat (etanol 70%, 80%, 96%, absolut I, absolut 2). Kemudian etanol dihilangkan dengan xilol I dan II masingmasing selama 40 menit. Infiltrasi
10
menggunakan parafin cair dilakukan pada suhu 60oC selama 4 kali masing-masing selama 30 menit. Sebelum pencetakan cetakan dicuci dengan campuran etanol 96%, xilol, dan air. Pencetakan dilakukan dengan penuangan parafin panas dalam blok cetakan sebanyak setengah cetakan dengan alat Tissue Tec. Potongan hati dimasukkan secara perlahanlahan agar tidak menyentuh dasar cetakan lalu ditutup lagi dengan parafin cair. Setelah beku, organ dalam parafin tersebut dipotong dengan alat mikrotom setebal 4 - 5 μm. Potongan yang diperoleh dimasukkkan ke dalam air hangat (40oC) untuk melelehkan parafin, kemudian diletakkan dalam kaca objek. Potongan tadi dikeringkan dalam oven inkubator bersuhu 56oC selama satu malam. Tahap pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE) dilakukan setelah diparafinisasi, yaitu preparat direndam menggunakan xilol I dan xilol II masing-masing selama 2 menit, rehidrasi dengan etanol absolut selama 2 menit, kemudian dengan etanol 96% dan 80% masing-masing selama 1 menit, dan dicuci dengan air mengalir. Kemudian preparat direndam dalam pewarnaan Mayer’s Haemotoxylin selama 8 menit, dicuci dengan air mengalir, dimasukkan ke dalam LiCl selama 30 detik, dan dicuci lagi dengan air mengalir. Kemudian irisan preparat diberi pewarna eosin selama 2-3 menit, lalu dicuci. Setelah itu, irisan hati dicelupkan dalam etanol 96% dan absolut I masing-masing sebanyak 10 kali dan diteruskan dengan etanol absolut II selama 2 menit, xilol I selama 1 menit dan xilol II selama 2 menit. Setelah diangin-anginkan beberapa saat, preparat yang telah diwarnai tersebut kemudian diberi permounting medium dan ditutup dengan kaca penutup. Setelah terbentuk sediaan histologi, kemudian dilakukan pengamatan terhadap perubahan yang terjadi pada sel-sel hati dengan menggunakan mikroskop cahaya. Pengamatan Histopatologi Hati (Kiernan 1990) Pengamatan kerusakan sel hepatosit yang meliputi nekrosis, degenerasi butir, degenerasi lemak, oedema sirosis, dan pendarahan dilakukan dengan cara pemberian skoring lesio organ hati, yaitu sebagai berikut: 0: normal (tidak ada perubahan spesifik) 1: kerusakan ≤ 25% dari daerah pandang 2: kerusakan 25-50% dari daerah pandang 3: kerusakan 50-75% dari daerah pandang 4: kerusakan 75-100% dari daerah pandang
Analisis Data (Gaspersz 1994) Pengamatan terhadap kadar enzim ALT dan AST dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), yaitu uji analysis of Varian (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α=0.05. Sedangkan pengamatan histopatologi jaringan hati dilakukan dengan menggunakan cara skoring lesio, selanjutnya data dievaluasi dengan menggunakan analisis statistik nonparametrik Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan uji Duncan. Seluruh data tersebut dianalisis menggunakan program perangkat lunak statistical analysis system (SAS). Model RAL adalah sebagai berikut:
Yij = µ + τi + εij. Keterangan: µ = Pengaruh rataan umum τi = Pengaruh perlakuan ke-i, i = 1, 2, 3, 4, 5 εij = Pengaruh galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j, j = 1, 2, 3, 4 Yij = Pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j i = 1 adalah perlakuan pemberian pakan standar dan cekok akuades i = 2 adalah perlakuan pemberian pakan standar, akuades, dan parasetamol dosis 500 mg/Kg BB i = 3 adalah perlakuan pemberian pakan standar, akuades, parasetamol, dan Curliv-plus® dosis 42,86 mg/Kg BB i = 4 adalah perlakuan pemberian pakan standar, akuades, parasetamol, dan ekstrak daun kari dosis 200 mg/Kg BB i = 5 adalah perlakuan pemberian pakan standar, akuades, parasetamol, dan ekstrak daun kari dosis 300 mg/Kg BB
HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia Rendemen ekstrak etanol:air (1:1) daun kari yang didapat setelah dipekatkan dengan menggunakan vacuum rotavavor adalah 19,2%. Nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ningappa et al. (2008) yaitu sebesar 12%. Hal ini disebabkan oleh modifikasi metode maserasi yang dilakukan yang meliputi lama ekstraksi, jumlah pelarut yang digunakan, dan cara ekstraksi yang dilakukan, yaitu dilakukan secara bertingkat dan dengan bantuan shaker orbital dengan
11
kecepatan putar 250 rpm sehingga proses ekstraksi berlangsung optimal dan ekstrak yang didapat menjadi lebih banyak. Sedangkan proses ekstraksi oleh Ningappa hanya dilakukan melalui satu tahap ekstraksi. Tabel 1 menunjukkan hasil uji fitokimia ekstrak etanol:air (1:1) daun kari. Berdasarkan hasil hasil tersebut, ekstrak etanol:air (1:1) daun kari menunjukkan adanya kandungan alkaloid, Saponin, steroid, dan tanin. Hal ini sesuai dengan beberapa hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Kong et al. (1986); Tee & Lim (1991); Ramsewak et al. (1999); Tachibana et al. (2001); Nakahara et al. (2002); dan Palaniswamy (2003). Berdasarkan uji secara in vitro yang dilakukan oleh Ningappa et al. (2008), menyatakan bahwa ekstrak etanol:air (1:1) daun kari mengandung senyawa antioksidan yang merupakan golongan senyawa polifenol. Menurut Winarti & Nurdjanah (2005), Senyawa fitokimia merupakan senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman dan memiliki peranan yang sangat penting bagi kesehatan dan pencegahan terhadap beberapa penyakit degeneratif. Beberapa senyawa fitokimia yang bersifat antioksidan aktif diketahui memiliki fungsi fisiologis adalah karotenoid, fitosterol, saponin, glikosinolat, polifenol, inhibitor protease, monoterpen, fitoestrogen, sulfida, Tabel 1 Uji fitokimia ekstrak etanol:air (1:1) daun kari (Murraya koenigii) Uji Hasil Alkaloid +++ Flavonoid Fenolik Saponin ++++ Steroid +++ Tanin ++++ Triterpenoid Keterangan : Tanda (-) : Tidak terdeteksi Tanda (+) : Adanya intensitas reaksi Alkaloid : Sedikit endapan (+) sampai banyak endapan (++++) Flavonoid : Merah (+) sampai merah tua (++++) Fenolik : Merah (+) sampai merah tua (++++) Saponin : Sedikit busa (+) sampai busa melebihi larutan (++++) Steroid : Hijau muda (+) sampai hijau tua (++++) Tanin : Hijau (+) sampai hijau kehitaman (++++) Triterpenoid : Merah (+) sampai merah tua (++++)
dan asam fitat. Senyawa-senyawa tersebut banyak terkandung dalam sayuran, tanaman rempah dan tanaman obat. Menurut Craig (1999), diet yang menggunakan rempahrempah dalam jumlah banyak sebagai penyedap makanan dapat menyediakan berbagai komponen aktif fitokimia yang bermanfaat menjaga kesehatan dan melindungi tubuh dari penyakit kronis. Keadaan Hewan Coba Selama Perlakuan Selama perlakuan secara in vivo, salah satu syarat pada perlakuan hewan coba adalah kondisi hewan harus dalam keadaan sehat. Beberapa parameter yang mudah diamati untuk mengetahui kesehatan hewan coba adalah dengan mengamati peningkatan bobot badan dan konsumsi pakan (Lu 2006). Kondisi tikus yang sehat ini menjadi faktor yang penting karena dapat memperkecil nilai galat percobaan yang terukur ketika memasuki tahap percobaan. Gambar 4 menunjukkan grafik bobot badan (BB) hewan coba selama perlakuan. Pada gambar terlihat jelas bahwa kelompok normal terjadi peningkatan BB tikus yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang lain. Fluktuasi pada BB tikus yang terjadi disebabkan oleh nafsu makan yang berbeda-beda antar satu tikus dengan tikus yang lain. Disamping itu, hal ini disebabkan oleh tikus dipuasakan selama 24 jam sebelum pengambilan darah sehingga terjadi penurunan BB yang cukup drastis. Kelompok KN menunjukkan peningkatan BB terendah jika dibandingkan dengan kelompok yang lain. Hal ini disebabkan oleh salah satu efek pemberian parasetamol yang dapat menurunkan nafsu makan. Menurut Gan (1980), toksisitas parasetamol dapat menimbulkan gejala-gejala anoreksia, mual, muntah, serta sakit perut yang terjadi dalam 24 jam pertama, dan dapat berlangsung terus menerus selama seminggu atau lebih. Gejalagejala inilah yang menyebabkan menurunnya nafsu makan yang berpengaruh terhadap BB hewan coba. Secara keseluruhan, pada semua kelompok terjadi peningkatan BB hewan coba (Tabel 2). Peningkatan ini disebabkan oleh kondisi tikus yang masih berada dalam tahap pertumbuhan (<6 bulan). Peningkatan BB yang paling tinggi ditunjukkan oleh kelompok Normal, yaitu 18,88%. Sedangkan peningkatan terendah ditunjukkan oleh kelompok KN, yaitu 7,97%. Sedangkan pada kelompok KP dan kelompok perlakuan dosis 200 dan dosis 300 terjadi peningkatan bobot tikus secara
12
berturut-turut yaitu sebesar 13,42%, 11.81%, dan 12,31%.
Gambar 4 Bobot badan hewan coba selama perlakuan Tabel 2 Peningkatan bobot badan hewan coba selama perlakuan Bobot (g) Peningkatan Kelompok (%) awal akhir Normal 232,0 275,8 18,88 KN 238,4 257,4 7,97 KP 228,0 258,6 13,42 ED 200 230,4 257,6 11,81 ED 300 234,0 262,8 12,31 Keadaan Hewan Coba Sebelum Perlakuan Pada hari ke-0 (setelah tikus diadaptasikan/aklimatisasi selama 14 hari), dilakukan analisis serum pada kelima kelompok perlakuan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui keadaan normal aktivitas enzim ALT dan AST sebelum perlakuan yang kemudian akan dijadikan keadaan populasi normal. Aktivitas enzim dinyatakan dalam satuan U/L yang berarti bahwa satu unit aktivitas enzim transaminase setara dengan 1 µmol piruvat dan oksaloasetat yang dihasilkan per menit pada kondisis perlakuan. Hasil uji aktivitas enzim ALT dan AST pada hari ke-0 menunjukkan hasil yang seragam dengan rataan aktivitas enzim ALT sebesar 1,96 ± 0,82 U/L dan rataan aktivitas enzim AST sebesar 1,84 ± 0,33 U/L (Tabel 3). Nilai tersebut berada pada kisaran yang sangat rendah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Cabaud (1956), yang menyatakan bahwa aktivitas normal enzim ALT berada pada kisaran 1 – 45 U/L dan aktivitas normal enzim AST berada pada kisaran 4 – 40 U/L. Hal ini menunjukkan bahwa pada hari ke-0 tikus pada semua kelompok percobaan berada pada kisaran normal sehingga dapat disimpulkan bahwa semua tikus dalam kondisi sehat dan tidak terjadi kerusakan pada organ hati.
Aktivitas enzim ALT dan AST tersebut, jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan Adji (2004) dan Marliana (2005) menunjukkan hasil yang jauh berbeda. Adji (2004) melaporkan bahwa aktivitas enzim ALT dan AST pada tikus Sprague Dawley sebelum masa percobaan berkisar antara 18,29 – 29,23 U/L dan 32,0 – 67,01 U/L. Sedangkan Marliana (2005) menyatakan bahwa sebelum masa percobaan, kadar enzim ALT dan AST pada tikus Sprague Dawley adalah sebesar 16,29 – 28,55 U/L dan 39,23 – 71,53 U/L. Perbedaan hasil analisis tersebut mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor stres yang dapat terjadi melalui peningkatan aktivitas syaraf simpatik perifer (Arakawa et al. 1966), perbedaan bobot tikus, hemolisis, keadaan fisiologis dan makroenzim yang berbeda, alat dan metode analisis yang digunakan, bahkan perbedaan kit reagen yang digunakan juga dapat mempengaruhi hasil analisis (Hollans & Logan 1966). Tabel 3 Aktivitas enzim ALT dan AST serum darah tikus pada hari ke-0 Kelompok ALT (U/L) AST (U/L) Normal 2,2 ± 1,10 2,0 ± 0,71 KN 2,8 ± 0,84 2,2 ± 1,10 KP 2,6 ± 0,55 2,0 ± 0,71 ED 200 1,2 ± 0,45 1,6 ± 0,55 ED 300 1,0 ± 0,00 1,4 ± 0,55 Rerata 1,96 ± 0,82 1,84 ± 0,33 n = 25 Aktivitas Enzim Transaminase Daya hepatotoksik parasetamol terhadap hati dapat dikaji dari aktivitas enzim ALT dan AST serum darah setelah pemberian dosis toksik. Kerusakan hati dapat menyebabkan produk sekresinya seperti enzim ALT dan AST bebas keluar sel dan masuk ke pembuluh darah sehingga kadar ALT dan AST dalam darah menjadi meningkat bahkan melebihi batas normal. Pada keadaan kronis, aktivitas enzim ALT dan AST dalam darah dapat mengalami peningkatan sebanyak 1-5 kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan keadaan normal, bahkan menurut Akbar (1995), peningkatan kadar ALT dan AST dapat mencapai 5 hingga 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan keadaan normal. Gambar 5 dan Gambar 6 menunjukkan hasil analisis aktivitas enzim ALT dan AST serum darah tikus selama perlakuan. Aktivitas enzim ALT pada kelompok normal selama perlakuan dari hari ke-0 hingga hari ke-21
13
berkisar antara 2,2 – 48,2 U/L. Sedangkan aktivitas enzim AST berkisar antara 2,0 – 142,6 U/L. Berdasarkan Pillichos et al. (2004), nilai aktivitas enzim ALT dan AST normal pada tikus berkisar antara 19,3 – 68,9 U/L dan 29,8 – 77,0 U/L. Nilai aktivitas enzim ALT yang diperoleh ini dapat dikatakan berada pada ambang batas normal. Namun, pada aktivitas enzim AST menunjukkan hasil yang jauh berbeda dan lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh keberadaan AST yang tidak hanya dijumpai pada sitosol hati, tetapi juga dijumpai pada otot rangka, pankreas, jantung dan ginjal. Selain itu, hal ini juga disebabkan oleh darah tikus yang mengalami hemolisis yang dapat dilihat dari warna serum darah yang agak kemerahan sehingga menyebabkan aktivitas
enzim AST menjadi lebih tinggi. Hollands & Logan (1966), menyatakan bahwa fenomena hemolisis pada serum darah dapat menyebabkan peningkatan aktivitas enzim AST secara signifikan namun tidak berpengaruh terhadap aktivitas enzim ALT. Menurut Adji (2004), fenomena hemolisis dapat disebabkan oleh mekanisme biokimia, fisik maupun kimia. Oleh karena itu, aktivitas enzim ALT bersifat khas dan spesifik terhadap kerusakan sel hati sehingga merupakan indikator terbaik dalam melihat dan menentukan adanya gangguan fungsi hati walaupun dalam derajat ringan (Stockham & Scoot 2002). Pada kelompok KP dan kelompok perlakuan, obat curliv sebagai pembanding dan ekstrak daun kari diberikan selama 7 hari
Gambar 5 Aktivitas enzim ALT selama perlakuan
Gambar 6 Aktivitas enzim AST selama perlakuan
14
pertama sebelum hati tikus dirusak oleh parasetamol. Hal ini bertujuan untuk mengetahui khasiat ekstrak dalam melindungi hati terhadap kerusakan akibat pemberian parasetamol dalam dosis toksik pada minggu selanjutnya (minggu ke-2). Hasil analisis menunjukkan bahwa ekstrak daun kari dan obat curliv yang diberikan tidak bersifat toksik maupun menyebabkan terjadinya gangguan fungsi hati. Hal tersebut terlihat dari aktivitas enzim ALT (Gambar 5) yang secara statistik menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P<0,01) antara hari ke-0 dan hari ke-7 jika dibandingkan dengan kelompok normal (Lampiran 9). Begitu juga dengan kelompok KN (hepatotoksik) yang diinduksi parasetamol belum menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,01) terhadap peningkatan aktivitas ALT. Aktivitas enzim ALT meningkat secara signifikan pada semua kelompok perlakuan terjadi pada hari ke-14 setelah pemberian parasetamol pada minggu ke-2 (Gambar 5). Tabel 4 menunjukkan perubahan aktivitas enzim ALT pada hari ke-14 dan hari ke-21 jika dibandingkan dengan kelompok normal. Pada hari ke-14, aktivitas enzim ALT pada kelompok KN (hepatotoksik) meningkat secara signifikan sebesar 84,82% atau hampir 2 kali jika dibandingkan dengan kelompok normal. Sedangkan peningkatan enzim ALT pada kelompok KP (pembanding), ED200, dan ED300 yaitu sebesar 32,98%, 48,17%, dan 36,13%. Nilai tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan kelompok KN. Secara statistik, tidak terdapat perbedaan yang nyata (P<0,01) antara ketiga kelompok perlakuan (KP, ED200, dan ED300) tersebut dengan kelompok normal dan berbeda nyata (P<0,01) jika dibandingkan dengan kelompok KN. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian obat curliv dan ekstrak daun kari memberikan pengaruh yang sifnifikan terhadap mekanisme perlindungan hati dari pengaruh radikal bebas akibat pemberian parasetamol selama 7 hari sebelumnya. Pada minggu terakhir perlakuan, ketiga kelompok perlakuan (KP, ED200, dan ED300) kembali dicekok dengan obat curliv dan ekstrak daun kari. Hal ini bertujuan melihat mekanisme perlindungan hati setelah dilakukan pengrusakan dengan parasetamol dosis toksik selama satu minggu sebelumnya. Pada kelompok KN tingkat kerusakan hati semakin bertambah yang ditandai dengan peningkatan aktivitas enzim ALT sebesar 131,95%. Sebaliknya, pada kelompok perlakuan menunjukkan peningkatan aktivitas
enzim ALT yang menurun dibandingkan dengan aktivitas enzim ALT minggu sebelumnya, yaitu sebesar 46,67% pada kelompok ED200 dan 34,85% pada kelompok ED300. Bahkan pada kelompok KP, aktivitas enzim ALT lebih kecil jika dibandingkan dengan kelompok normal. Hal ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh nyata (P<0,01) terhadap mekanisme perlindungan hati yang diberikan oleh obat curliv maupun ekstrak daun kari. Pengaruh signifikan tehadap mekanisme perlindungan hati ditunjukkan oleh obat curliv dan ekstrak daun kari dosis 300 mg/Kg BB. Walaupun ekstrak daun kari dengan dosis 200 mg/Kg BB memberikan pengaruh yang nyata namun, secara statistik menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa semakin besar dosis daun kari yang diberikan maka mekanisme perlindungan hati semakin tinggi (Lampiran 9). Gambar 6 menunjukkan hasil analisis aktivitas enzim AST selama perlakuan. Pada gambar tersebut terlihat bahwa peningkatan enzim AST secara signifikan mulai terjadi pada hari ke-7. Tabel 5 menunjukkan peningkatan aktivitas enzim AST pada hari ke-14 dan hari ke-21 dibandingkan dengan kelompok normal. Pada hari ke-14, peningkatan secara signifikan (P<0,01) terjadi pada kelompok KN, yaitu sebesar 82,67 % atau hampir 2 kali jika dibandingkan dengan kelompok normal. Sedangkan pada kelompok KP, ED200, dan ED300 terjadi peningkatan enzim AST sebesar 36,80%, 49,39%, dan 46,73%. Nilai tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan kelompok KN (hepatotoksik). Hal ini menunjukkan adanya pengaruh mekanisme perlindungan hati terhadap pemberian parasetamol. Namun secara statistik, pengaruh secara signifikan (P<0,01) ditunjukkan oleh kelompok KP yang Tabel 4 Perubahan aktivitas enzim ALT darah tikus pada hari ke-14 dan -21 dibandingkan dengan kelompok normal Peningkatan enzim ALT (%) Kelompok Hari ke-14 Hari ke-21 KN 84,82b 131,95c a KP 32,98 -0,02a a ED200 48,17 46,47b a ED300 36,13 34,85ab Catatan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (P<0,01) dalam mekanisme perlindungan sel hati.
15
diberi obat curliv. Sedangkan kelompok perlakuan ED200 dan ED300 tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap mekanisme perlindungan hati. Aktivitas enzim AST pada hari terakhir perlakuan menunjukkan peningkatan yang tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan hari ke-14 (Tabel 5). Pada kelompok KN, aktivitas enzim AST menjadi semakin tinggi dan meningkat sebesar 40,53% jika dibandingkan dengan kelompok normal. Sedangkan pada kelompok perlakuan (KP, ED200, dan ED300), aktivitas enzim AST menunjukkan hasil yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok normal, sehingga menunjukkan peningkatan aktivitas enzim AST yang menurun dibandingkan dengan aktivitas enzim AST minggu sebelumnya. Secara statistik, ketiga kelompok perlakuan tersebut memberikan pengaruh yang nyata (P<0,01) dalam mekanisme perlindungan hati terhadap senyawa radikal bebas (NAPQI) yang merupakan seyawa hasil metabolisme parasetamol. Mekanisme perlindungan tertinggi ditunjukkan oleh kelompok KP (pembanding) yang diberi obat culiv, diikuti dengan kelompok ED300 dan ED200. Hal ini menunjukkan semakin besar dosis daun kari yang diberikan maka semakin besar mekanisme perlindungan hati yang diberikan (Lampiran 11). Mekanisme perlindungan hati oleh ekstrak daun kari diduga disebabkan oleh senyawa aktif yang terkandung didalamnya yang merupakan golongan senyawa antioksidan. Senyawa antioksidan tersebut berperan dalam mengikat maupun menghambat proses oksidasi radikal bebas (NAPQI) dan membentuk senyawa yang stabil sehingga tidak terjadi kerusakan sel hepatosit. Menurut Muragesh et al. (2005), senyawa antioksidan alami secara farmakologi memiliki aktivitas hepatoproteksi. Tabel 5 Perubahan aktivitas enzim AST darah tikus pada hari ke-14 dan -21 dibandingkan dengan kelompok normal Peningkatan enzim AST (%) Kelompok Hari ke-14 Hari ke-21 KN 82,57c 40,53b b KP 36,80 - 42,78a bc ED 200 49,39 - 12,62a bc ED 300 46,73 - 18,65a Catatan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (P<0,01) dalam mekanisme perlindungan sel hati.
Gambaran Histopatologi Hati Hasil uji histopatologi jaringan menunjukkan adanya kerusakan yang terjadi terutama pada jaringan hati tikus yang diinduksi parasetamol (Gambar 7B). Pada keadaan normal, hati tersusun atas lobuluslobulus. Sel hepatosit dalam lobulus tersusun rapi seperti melingkar (radial) menuju pusat vena sentralis. Batas antara tiga lobulus yang berdekatan membentuk segitiga Kiernan yang terdiri dari vena, saluran empedu, dan arteri (Gambar 7A). Berbeda dengan kelompok normal, kelompok KN (hepatotoksik) yang dicekok dengan parasetamol mengalami kerusakan hati yang cukup signifikan. Kerusakan jaringan hati meliputi degenerasi butir, nekrosis, vakuolisasi, sel apoptosis, haemorrhagi, dan degenerasi lemak yang merata diseluruh jaringan. Terjadinya degenerasi lemak disebabkan adanya serangan radikal bebas yang menyebabkan peroksidasi lipid. Sel hati juga mengalami pendarahan yang merata diseluruh jaringan dan adanya kematian sel yang dapat terlihat dari mengecilnya atau bahkan hilangnya inti sel. Batas antar sel dan bentuk radial sel hepatosit dalam lobulus hati juga tidak terlihat dan seolah-olah menjadi tidak teratur. Hasil penelitian serupa juga menunjukkan bahwa metabolit toksik asetaminofen (NAPQI) menyebabkan kerusakan mitokondria (Burham & Harman 1991). Pada kelompok KP (Gambar 7C), gambaran histologi hati menunjukkan keadaan yang serupa dengan keadaan normal. Hal ini menunjukkan bahwa obat curliv memberikan pengaruh terhadap mekanisme perlindungan hati. Hal ini terlihat pada gambar yang menunjukkan adanya regenerasi sel hepatosit. Selain disebabkan oleh regenerasi secara alami Perbaikan sel hepatosit diduga dipengaruhi oleh zat kimia aktif yang terkandung didalam obat curliv, yang meliputi silymarin, schizandrae, curcuma, radix, kolin bitartrat, dan vitamin B6. Gambaran histopatologi hati ini menguatkan analisis aktivitas enzim ALT dan AST pada akhir perlakuan yang mencapai batas normal. Berdasarkan analisis aktivitas enzim ALT dan AST serum darah tikus, pemberian ekstrak daun kari menunjukkan adanya mekanisme perlindungan hati. Namun, gambaran histologi hati pada kedua dosis menunjukkan hasil yang berbeda. Pada ED200 (Gambar 7D) perbaikan sel hepatosit yang terjadi tidak begitu berarti. Pada perlakuan ini kerusakan sel hepatosit masih
16
terlihat adanya degenerasi butir dan degenerasi lemak, tetapi tidak sebanyak pada kelompok hepatotoksik. Namun, sebagian sel hepatosit normal mulai terlihat dari inti sel yang tampak jelas. Hal ini menandakan bahwa adanya proses menuju regenerasi walaupun belum signifikan. Sedangkan pada pemberian ED300 (Gambar 7E) mampu mengembalikan sel-sel hepatosit menjadi normal kembali. Hal ini terlihat dari sel hepatosit yang menjadi lebih teratur dengan batas antar sel serta bentuk radial dalam lobulus sudah mulai terlihat.
Hasil uji statistik Kruskal-Wallis (Tabel 6) yang dilanjutkan dengan uji Duncan menunjukkan bahwa efek perlindungan hati paling baik diberikan oleh ED300 dan obat curliv. Kolompok KN (hepatotoksik) memberikan nilai yang sangat berbeda nyata (P<0,05) jika dibandingkan dengan kelompok normal. Sebaliknya, tidak terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) antara kelompok perlakuan (KP, ED200, dan ED300) dan kelompok normal. Namun, jika dibandingkan antara ketiga perlakuan tersebut dengan kelompok hepatotoksik, kelompok ED300 dan
Gambar 7 Gambaran sel hati tikus. A) Perlakuan normal. Sel hati normal dengan inti sel yang berukuran normal (n). B) Pemberian parasetamol 500 mg/kg BB. Sel hati mengalami nekrosis (nk) C) Pemberian curliv-plus® 42,86 mg/kg BB dan parasetamol 500 mg/kg BB. Regenerasi sel hati (r). D) Pemberian ekstrak daun kari 200 mg/kg BB dan parasetamol 500 mg/kg BB. Vakuolisasi sel hati (v). E) Pemberian eksrak daun kari 300 mg/kg BB dan parasetamol 500 mg/kg BB. Tidak ada kelainan spesifik dan sel hati berukuran normal (n). Objektif HE. x200
17
KP memberikan pengaruh yang signifikan dalam mekanisme perlindungan hati. Sedangkan ED200 belum menunjukkan hasil yang signifikan, walaupun secara statistik menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hasil uji histopatologi hati memberikan informasi yang sama dengan hasil analisis aktivitas enzim ALT dan AST, yaitu efek hepatoprotektor dari ekstrak etanol:air (1:1) daun kari dapat melindungi sel hati tikus yang diinduksi parasetamol serta dapat mengurangi dan memperbaiki kerusakan hati. Tabel 6 Hasil uji Kruskal-Wallis kelainan histopatologi hati Kelompok Skor kerusakan Normal 11,70 ab KN 23,00 c KP 09,80 ab ED 200 14,50 b ED 300 06,00 a Catatan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (P<0,05)
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ekstrak etanol:air (1:1) daun kari mengandung senyawa alkaloid, saponin, steroid, dan tanin. Pemberian Ekstrak etanol:air (1:1) daun kari dapat melindungi sel hati tikus yang diinduksi parasetamol serta dapat mengurangi dan memperbaiki sel-sel hepatosit hati yang mengalami kerusakan. mekanisme perlindungan hati secara signifikan (P<0,01) terjadi pada pemberian ekstrak daun kari dosis 300 mg/Kg BB dan pemberian obat curliv-plus® sebagai pembanding, diikuti dengan ekstrak daun kari dosis 200 mg/Kg BB. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol:air (1:1) daun kari memiliki aktivitas sebagai hepatoprotektor dan semakin besar dosis ekstrak daun kari yang diberikan, maka semakin tinggi pula efek yang diberikan. Saran Perlu dilakukan penelitian serupa dengan cara penambahan waktu penelitian maupun penambahan dosis bertingkat untuk mengetahui dosis yang aman dan berkhasiat optimal sebagai hepatoprotektor. Selain itu, perlu diteliti lebih lanjut mengenai senyawa bioaktif yang terkandung didalam daun kari yang berpengaruh sebagai hepatoprotektor.
Hewan coba lain, seperti kelinci atau satwa primata juga dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol:air (1:1) daun kari sebelum diaplikasikan pada manusia.
DAFTAR PUSTAKA Adji P. 2004. Daya antioksidasi saponin akar kuning (Archangelisia flava L. Merr) sebagai mekanisme hepatoproteksi pada tikus yang diinduksi parasetamol [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Ahmed S et al.. 2000. Evaluation of the efficacy of Lawsonia alba in the alleviation of carbon tetrachloride induced oxidative stress. Abstract. J Ethnopharmacol. 9: 157-164. Akbar N. 1995. Diagnostik Hepatitis Akut dan Kronis. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Arakawa H, Kodama H, Matsouka N, Yamaguchi I. 1996. Stress increases plasma activity in rats: differential effects of andrenergic and cholinergic blockades. J Pharmacol Experiment Therapeutics. 280: 1296-1303. Arulselvan P et al.. 2006. Anti-diabetic effect of Murraya koenigii leaves on streptozotocin induced diabetic rats. Pharmazie. 61: 874-877. Aryadi Q. 2009. Potensi hepatoprotektor ekstrak rosella (Hibiscus sabdariffa L) terhadap hati tikus yang diinduksi parasetamol [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Balamurugan M, Parthasarathi K, Ranganathan LS, Cooper EL. 2008. Hypothetical mode of action of earthworm extract with hepatoprotective and antioxidant properties. J. Zhejiang Univ. Sci. B. 9: 141-147. Baron DN. 1992. Kapita Selekta Patologi Klinik Ed ke-4. Andrianto P, Gunawan J, penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: A Short Textbook of Chemical Pathology. Hlm 113-231.
18
Batubara I. 2003. Saponin akar kuning (Arcangelisia flava (L) Merr) sebagai hepatoprotektor: ekstraksi, pemisahan, dan bioaktivasinya [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bhakta T et al.. 1999. Evaluation of hepatoprotective activity of Cassia fistula leaf extract. Abstract. J Ethnopharmacol. 66: 277-282. Bhat M et al.. 2008. Antidiabetic Indian plants: a good source of potent amylase inhibitors. eCAM Adance Access Published. 411: 07-11. Burham PC, Harman AW. 1991. Acetominophen toxicity result in sitespesific mitochondrial demage in isolated mouse hepatocytes. J Biol Chem. 266: 5049-5054. Cabaud P, Leeper R, Wr6blewski F. 1956. Colorimetric measurement of serum glutamic oxaloacetic transaminase. Amer. J. Clin. Path. 26: 1101-1105. Chattopadhyay RR. 2003. Possible mechanism of hepatoprotective activity of Azadirachta indica leaf extract. J Ethnopharmacol. 89: 217–219. Craig WJ. 1999. Health promoting properties of common herbs. Am. J. Clin. Nutr. 70: 491−499. Choudhury RP, Garg AN. 2007. Variation in essential, trace and toxic elemental contens in Murraya koenigii-A spice and medicinal herb from different Indian states. Food Chemistry. 104: 1454-1463. Dalimartha S. 2005. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Hepatitis. Jakarta: Penebar Swadaya. Firmansyah M. 2006. Khasiat hepatoproteksi ekstrak daun sangitan (Sumbucus javanica Reinw. ex Blume.) pada tikus putih galur Sprague Dawley yang diberi parasetamol [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Fox JG, Cohen BJ, Loew FM. 1984. Laboratory Animal Madicine. Orlando: Academic Pr.
Gan S et al.. 1980. Farmakologi dan Terapi. Ed ke-2. Jakarta: UI Pr. Ganong F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-20. Djauhari HM, penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Review of Medical Physiology. Gaspersz V. 1994. Metode Rancangan Percobaan. Bandung: CV ARMICO. Gibson GG, Sket P. 1991. Pengantar Metabolisme Obat. Aisyah BI, penerjemah. Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Drugs Metabolisme. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Padmawinata K, Sudiro I, penerjemah. Bandung: ITB Pr. Terjemahan dari: Phytochemical Method. Harun N, Syahri W. 1999. Aktivitas antioksidan ekstrak daun dewa dalam menghambat sifat hepatotoksik halotan dengan dosis subanestesi pada mencit [skripsi]. Jambi: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Jambi.
Hernani, Raharjo M. 2005. Tanaman Berkhasiat Antioksidan. Jakarta: Penebar Swadya. Hollands MA, Logan JE. 1966. An examination of commercial kits for the determination of glutamic oxaloacetic transaminase (GOT) and glutamic pyrupic transaminase (GPT) in serum. Canad. J Med. Ass. 95: 303-307. Hougon P. 2004. The Curry Tree That Telps Diabetes. London: British Pharmaceutial Conference. International Federation of Clinical Chemistry (IFCC). 2002. Photometric UV-test for Determination of Alanin Aminotransferase (GPT/ALAT) and Aspartat Aminotransferase (GOT/ASAT). Jakarta: Rajawali Nusindo. Ito C et al.. 2005. Induction of apoptosis by carbazole alkaloids isolated from Murraya koenigii. Phytomedicine. 13: 359-365. Jeon et al.. 2003. Antioxidative effect of chitosan on chronic carbon tetrachloride
19
induced hepatic injury in rat. Toxicology. 187: 67-73. Jusuf AA. 2009. Histoteknik Dasar. Jakarta: UI Pr. Kaplan LA, Pesce JA. 1998. Clinical Chemistry: Theory Analysis and Correlation. Ed ke-3. New York: Mosby Year Book. Kavalci C, Kavalci G, Sezenler E. 2009. Acetaminophen poisioning: case report. The Int. J. Toxicology. 6: 385-392. Kiernan JA. 1990. Histological & Histochemial Methods: Theory and Practice. Ed ke-2. Canada: Pergamon Pr.
Murugesh KS, Yeligar VC, Maiti BC, Maiti TK. 2005. Hepatoprotective and antioxidant role of Berberis tinctoria Lesch leaves on paracetamol induces hepatic damage in rats. IJPT. 41: 64-69. Muthumani P et al.. 2009. Pharmacological studies of anticancer, anti inflammantory activities of Murraya koenigii (Linn) Spreng in experimental animals. J Pharm. Sci. Res. 1: 137-141. Nakahara K et al.. 2002. Antimutagenicity of some edible thai plant and a bioactive carbazole alkaloid, mahanine, isolated from Micromelum minurum. J Agric Food Chem. 50: 4796-4802.
Kong YC et al.. 1986. Sourch of the antiimplantation alkaloid yuehchukene in the genus Murraya. J Ethnopharmacol. 15: 195-200.
Ningappa MB, Dinesha R, Srinivas L. 2008. Antioxidant and free radical scavenging activities of polyphenol-enriched curry leaf (Murraya koenigii L.) extracts. Food Chem. 106: 720-728.
Lawal et al.. 2008. Hypoglycaemic and hypolipidaemic effects of the aqueous leaf extract of Murraya koenigii in normal and alloxan-diabetic rats. Niger J Physiol Sci. 23: 37-40.
Ningappa MB et al..2009. Potent antibacterial property of APC protein from curry leaves (Murraya koenigii L.). Food Chem. 118: 747-750.
Lee JI et al.. 2003. Apoptosis of hepatic stellate cells in carbon tetrachloride induced acute liver injury of the rat: analysis of isolate hepatic stellate cells. J Ethnopharmacol. 39: 960-966. Lenny S. 2006. Senyawa Flavonoid, Fenilflavonoid, dan Alkaloida. Medan: USU Pr. Lu F. 2006. Toksikologi Dasar: Asas, Organ sasaran, dan Penilaian Risiko. Nugroho, penerjemah. Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Toxicology, Fundamentals, Target Organs, and Risk Assesment. Marliana N. 2005. Potensi ekstrak daging buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) sebagai hepatoprotektor pada tikus putih galur Sparague Dawley [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Murray RK, Granner DK, Rodwel VW. 2009. Biokimia Harper. Ed ke-27. Wulandari N et al., penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Harper’s Illustrated Biochemistry,27th ed.
Ong ASH, Niki E, Packer L. 1995. Nutrition, Lipids, and Desease. Champaign Illinois: AOCS Pr. Packer L. 1995. Oxidative stress, antioxidants, aging and desease. Di dalam: Cutler RG, Packer J, Bertram A, Mori, editor. Oxidative Stress and Aging. Basel Switzerland: Birkhauser Verlag. hlm 1 – 14. Packer L, Ong ASH. 1998. Biological Oxidant and Antioxidant: Molecular Mechanism and Health Effects. Campaign Illinois: AOCS Pr. Panjaitan RG. 2008. Pengujian aktivitas hepatoprotektor akar pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack.) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Palaniswamy UR, Caporuscio C, Stuart JD. 2003. A chemical analysis of antioxidant vitamins in fresh curry leaf (Murraya koenigii) by reversed phase HPLC with UV detection. Acta Horticulture. 620: 475-478. Pilichos C, Perrea D, Demorakou M, Preza A, Donta I. 2004. Management of carbon
20
tetrachloride-induced acute liver injury in rats by syngeneic hepatocyte transplantation inspleen and peritoneal cavity. World J Gasroenterol 10: 20992112. Price SA, Wilson LM. 1995. Patologi Sel dalam:Patofisiologi. Jakarta: EGC. Rana et al.. 2004. Chemical constituents of the volatile of Murraya koenigii leaves. Int J Aromather 14: 23-25. Ramsewak RS et al.. 1999. Biologically active carbazole alkaloids from Murraya koenigii. J Agri & Food Chem. 47: 444447. Ratnaningsih A. 2003. Pengaruh kadmium terhadap gangguan patologik pada hati tikus percobaan. Jurnal Matematika, Sains dan Teknologi. 4: 9-13. Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner Ed ke-2. Bali: Percetakan Bali. Rustandi MI. 2006. Potensi antioksidasi ekstrak daun sangitan (Sambucus javanica Reinw ex Blum) sebagai hepatoprotektor pada tikus [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Seidemann J. 2005. World Spice Plants: Economic Usage, Botany, Taxonomy. Berlin: Springer-Verlag. Shahani S. 1999. Evaluation of hepatoprotective efficacy of APCL-A polyherbal formulation in vivo in rats. Ind Drug. 36: 628–631. Sidik. 1988. Tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat sebagai hepatoprotektor. Di dalam: Sidik, Hadi S, editor. Hepatitis, penanggulangan, dan pemanfaatan tumbuhan obat sebagai hepatoprotektor. Prosiding symposium dan Diskusi Panel: 22 Oktober 1988, Bandung. Jurusan Farmasi FMIPA UNPAD Bandung. Hlm. 23-46. Stockham SL, Scott MA. 2002. Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology. Ed ke1. Iowa: state Pr. Blackwell Publishing Co. hlm. 433-486. Tachibana Y, Kikuzaki H, Lajis NH, Nakatani N. 2001. Antioxidant activity of
carbazoles from Murraya koenigii leaves. J Agri & Food Chem. 49: 55895594. Tee
ES, Lim CL. 1991. Carotenoid composition and content of Malaysian vegetables and fruits by the AOAC and HPLC methods. Food Chem. 41: 309339.
Ulfa M. 2008. Efek hepatoprotektif ekstrak etil asetat daun sambung nyawa (Gynura procumbens (lour.) Dc.) terhadap mencit jantan galur Swiss terinduksi parasetamol [Skripsi]. Surakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Vinuthan MK et al.. 2004. Effect of extract of Murraya koenigii leaves on the levels of blood glucose and plasma insulin in alloxan-induced diabetic rats. Indian J Physiol Pharmacol. 48: 384-352. Walker R & Edward C, editor. 1999. Hepatic disease. In. Clinical Pharmacy and Therapeutics. New York: Churchill Livingston. Windyagiri A. 2006. Potensi hepatoprotektor air rebusan daun sirih merah (Piper crocatum) pada tikus hiperglikemia [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Winarti C, Nurdjanah N. 2005. Peluang tanaman rempah dan obat sebagai sumber pangan fungsional. Jurnal Litbang Pertanian. 24: 1-9. Wong et al.. 1981. Pathways of acetominophen conjugate in the mouse. Toxicity Lett. 9: 95-111.
21
LAMPIRAN
22
Lampiran 1 Gambaran umum penelitian Daun kari (Murraya koenigii)
Preparasi sampel
Serbuk
Ekstraksi etanol:air (1:1)
Ekstrak kasar
Analisis fitokimia
Perlakuan ke hewan coba
Pengukuran kadar enzim AST & ALT Nekropsi Analisis data (ANOVA)
Histopatologi Hati
Analisis data Kruskal Walis
23
Lampiran 2 Rancangan perlakuan hewan coba 25 tikus putih galur Sprague Dawley berumur 2 bulan berbobot ± 200 g kondisi sehat
Aklimatisasi selama 2 minggu
Lima kelompok tikus
I Kontrol (Normal)
III
II Kontrol Negatif Parasetamol 500 mg/kgBB
Kontrol Positif Curliv-plus® 42,86 mg/gBB
IV Ekstrak etanol:air Daun kari 200 mg/kgBB
V Ekstrak etanol:air Daun kari 300 mg/kgBB
HARI KE-0 : Pengambilan darah untuk mengukur kadar enzim AST & ALT Hari ke-0 s.d ke-7 Kelompok I : akuades Kelompok II : parasetamol Kelompok III, IV, V : curliv, ekstrak D1 & D2
HARI KE-7 : Pengambilan darah untuk mengukur kadar enzim AST & ALT Hari ke-8 s.d ke-14 Kelompok I : akuades Kelompok II : parasetamol Kelompok III, IV, V : curliv, ekstrak, + parasetamol
HARI KE-14 : Pengambilan darah untuk mengukur kadar enzim AST & ALT Hari ke-15 s.d ke-21 Kelompok I : akuades Kelompok II : parasetamol Kelompok III, IV, V : curliv, ekstrak D1 & D2
HARI KE-21 : Pengambilan darah untuk mengukur kadar enzim AST & ALT
Hari ke-0 s.d 21 semua kelompok diberi pakan standar
24
Lampiran 3 Pengukuran kadar enzim ALT dan AST
1 mL darah
Pereaksi 1 Sentrifus 3000 rpm, 15 menit
100 μL supernatan (serum)
Pereaksi 2
1 mL
4 mL
Dihomogenkan simpan dalam botol gelap tertutup 2 – 8 0C
1 mL campuran reaksi
Ukur absorban pada λ = 340 nm (Spektrofotometer (BioSystem BTS-330))
Aktivitas enzim ALT & AST (U/L)
25
Lampiran 4 Perhitungan dosis Dosis pemberian parasetamol Dosis yang digunakan : 500 mg/Kg BB Pembuatan larutan stok : 1 tablet @ 500 mg dilarutkan dalam 1 mL akuades (diasumsikan bahwa volume cekok 1 mL untuk 1 Kg BB) Konversi dosis untuk tikus (ex = 200g)
= 0,2 mL
Jadi untuk tikus berbobot 200 g, volume cekok yang diberikan untuk setiap hari adalah 0,2 mL Dosis pemberian Curliv® Dosis pengobatan Asumsi bobot badan manusia Perhitungan dosis curliv®
: 3 x 1 tablet @ 1 g perhari : 70 Kg : 42,86 mg/Kg BB
Pembuatan larutan stok
: 42,86 mg dilarutkan dalam 1 mL akuades (diasumsikan bahwa volume cekok 1 mL untuk 1 Kg BB) Konversi dosis untuk tikus (ex = 200 g) 0,2 mL Jadi untuk tikus berbobot 200 g, volume cekok yang diberikan untuk setiap hari adalah 0,2 mL Dosis pemberian ekstrak daun kari Dosis yang digunakan : 200 mg/Kg BB dan 300 mg/Kg BB Pembuatan larutan stok : 200 mg atau 300 mg ekstrak dilarutkan dalam 1 mL akuades (diasumsikan bahwa volume cekok 1 mL untuk 1 Kg BB) Konversi dosis untuk tikus (ex = 200g)
= 0,2 mL
Jadi untuk tikus berbobot 200 g, volume cekok untuk dosis 200 mg/Kg BB ataupun 300 mg/Kg BB yang diberikan untuk setiap hari adalah 0,2 mL
26
Lampiran 5 Pembuatan sediaan histopatologi hati Pengambilan organ hati
Fiksasi (Perendaman dalam BNF 10% selama 6 – 48 jam)
Dehidrasi (Penghilangan air dengan etanol 70%, 80%, 96%, absolut I absolut II masingmasing selama 2 jam)
Clearing (Penghilangan etanol dengan xilol I dan xilol II)
Embedding (Penanaman jaringan dalam parafin)
Sectioning (Pengirisan dengan mikrotom setebal 2 µm)
Mounting (Penempelan jaringan kaca objek)
Staining (Pewarnaan Haematoxylin-Eosin)
Permounting (Penetesan dengan permounting medium lalu ditutup dengan kaca penutup)
27
Lampiran 6 Pewarnaan Haematoxylin-Eosin
Xilol I (2 menit) Xilol II (2 menit) Etanol absolut (2 menit) Etanol 90% (1 menit) Etanol 80% (1 menit) Cuci dengan air (1 menit) Pewarna mayers-Haematoxylin (8 menit) Cuci dengan air (30 detik) LiCl (15-30 detik) Cuci dengan air (2 manit) Pewarna Eosin (2-3 menit) Cuci dengan air (30-60 detik) Etanol 96% (10 kali celupan) Etanol absolut II (10 kali celupan) Etanol absolut I (2 menit) Xilol I (1 menit) Xilol II (2 menit) Angin-anginkan beberapa menit Cairan permounting + kaca penutup
29
Lampiran 7 Data bobot tikus selama perlakuan Kelompok N1 N2 N3 N4 N5 Rerata KN 1 KN 2 KN 3 KN 4 KN 5 Rerata KP 1 KP 2 KP 3 KP 4 KP 5 Rerata ED200 1 ED200 2 ED200 3 ED200 4 ED200 5 Rerata ED300 1 ED300 2 ED300 3 ED300 4 ED300 5 Rerata
0 237 237 225 237 224 232 262 217 222 249 242 238,4 228 219 236 230 227 228 226 237 233 230 226 230,4 240 237 224 240 229 234
1 232 236 240 241 233 236,4 252 229 231 251 234 239,4 226 226 238 243 244 235,4 235 240 246 245 227 238,6 247 240 224 240 230 236,2
2 238 248 248 246 244 244,8 258 222 222 252 234 237,6 231 231 237 250 241 238 248 251 248 247 228 244,4 247 246 227 243 232 239
3 241 250 248 248 250 247,4 260 233 230 237 233 238,6 228 228 247 247 250 240 244 249 244 248 227 242,4 242 238 227 245 233 237
4 243 257 251 251 254 251,2 264 233 238 254 236 245 234 238 254 252 250 245,6 257 254 254 252 230 249,4 255 246 233 251 231 243,2
5 246 260 253 258 260 255,4 268 234 239 248 236 245 232 239 256 254 253 246,8 261 260 255 256 234 253,2 255 247 231 257 229 243,8
6 250 260 250 264 265 257,8 270 242 236 254 232 246,8 232 242 256 252 256 247,6 264 260 258 254 235 254,2 263 247 235 256 239 248
Bobot tikus hari ke- (gram) 7 8 9 234 228 220 246 247 256 238 247 246 246 235 254 244 244 258 241,6 240,2 246,8 254 263 256 221 231 232 220 221 220 239 247 248 226 220 212 232 236,4 233,6 220 232 228 223 237 234 241 252 250 252 250 250 240 251 250 235,2 244,4 242,4 238 253 254 240 253 253 241 253 259 238 245 251 219 229 228 235,2 246,6 249 244 251 254 229 240 242 218 224 225 242 254 241 222 235 242 231 240,8 240,8
10 254 268 251 264 265 260,4 273 237 227 260 222 243,8 236 236 260 255 257 248,8 254 260 269 233 231 249,4 258 247 227 243 248 244,6
11 246 252 250 266 256 254 268 230 234 256 220 241,6 234 222 250 248 248 240,4 238 260 264 228 228 243,6 256 248 228 247 248 245,4
12 256 250 258 270 273 261,4 272 243 235 254 229 246,6 230 230 254 248 242 240,8 235 250 271 228 235 243,8 270 245 228 253 253 249,8
13 257 250 254 275 284 264 274 243 235 253 219 244,8 233 235 262 253 253 247,2 237 244 278 212 231 240,4 265 246 230 253 252 249,2
14 260 244 250 276 280 262 270 246 235 248 216 243 234 244 258 256 258 250 240 251 279 209 228 241,4 265 243 222 252 255 247,4
15 256 247 256 276 284 263,8 272 248 238 257 215 246 232 245 251 256 252 247,2 247 255 269 199 226 239,2 267 243 224 253 260 249,4
16 262 246 257 278 288 266,2 279 253 240 264 217 250,6 235 240 254 252 255 247,2 253 258 278 217 233 247,8 273 250 232 254 262 254,2
Keterangan : N = Normal; KN = Kontrol Negatif; KP = Kontrol Positif; ED200 = Dosis 200 mg/kg BB; ED300 = Dosis 300 mg/kg BB
28
29
Lampiran 7 Data bobot tikus selama perlakuan (lanjutan) Bobot tikus hari ke- (gram) Kelompok 17 18 19 20 21 N1 258 260 264 265 264 N2 244 246 255 260 263 N3 258 260 263 267 266 N4 278 264 284 287 286 N5 282 288 295 295 300 Rerata 264 263,6 272,2 274,8 275,8 KN 1 281 278 286 289 286 KN 2 253 254 258 256 259 KN 3 242 242 247 248 246 KN 4 256 252 270 270 268 KN 5 221 220 229 230 228 Rerata 250,6 249,2 258 258,6 257,4 KP 1 236 240 244 247 249 KP 2 250 254 254 260 254 KP 3 260 260 264 273 270 KP 4 252 260 264 267 260 KP 5 258 260 254 259 260 Rerata 251,2 254,8 256 261,2 258,6 ED200 1 252 262 266 272 264 ED200 2 260 262 269 277 274 ED200 3 278 283 287 291 288 ED200 4 220 226 230 232 230 ED200 5 235 237 226 234 232 Rerata 249 254 255,6 261,2 257,6 ED300 1 271 273 278 285 278 ED300 2 251 254 264 268 266 ED300 3 230 235 238 238 240 ED300 4 260 264 267 273 270 ED300 5 258 260 265 269 260 Rerata 254 257,2 262,4 266,6 262,8 Keterangan : N = Normal; KN = Kontrol Negatif; KP = Kontrol Positif; ED200 = Dosis 200 mg/kg BB; ED300 = Dosis 300 mg/kg BB
30
Lampiran 8 Aktivitas ALT serum darah tikus selama perlakuan Aktivitas ALT serum darah tikus hari ke- (U/L) Kelompok 0 7 14 21 N1 4 3 43 65 N2 2 3 27 50 N3 1 5 28 47 N4 2 3 40 44 N5 2 4 53 35 Rerata ± SD 2,2 ± 1,10 3,6 ± 0,89 38,2 ± 10,90 48,2 ± 10,94 KN 1 2 3 61 67 KN 2 4 6 58 102 KN 3 3 3 84 87 KN 4 2 3 74 205 KN 5 3 3 76 98 Rerata ± SD 2,8 ± 0,84 3,6 ± 1,34 70,6 ± 10,58 111,8 ± 53,84 KP 1 3 5 63 42 KP 2 2 1 45 42 KP 3 2 6 43 42 KP 4 3 4 56 63 KP 5 3 6 47 46 Rerata ± SD 2,6 ± 0,55 4,4 ± 2,07 50,8 ± 8,44 47,0 ± 9,11 ED200 1 1 8 52 77 ED200 2 1 2 51 59 ED200 3 1 3 60 76 ED200 4 1 5 60 85 ED200 5 2 5 60 56 Rerata ± SD 1,2 ± 0,45 4,6 ± 2,30 56,6 ± 4,67 70,6 ± 12,50 ED300 1 1 1 67 63 ED300 2 1 3 37 62 ED300 3 1 3 52* 69 ED300 4 1 3 52 66 ED300 5 1 3 52 65 Rerata ± SD 2,2 ± 0,00 2,6 ± 0,89 52,0 ± 10,61 65,0 ± 2,74 Keterangan : N = Normal; KN = Kontrol Negatif; KP = Kontrol Positif; ED200 = Dosis 200 mg/kg BB; ED300 = Dosis 300 mg/kg BB * = mising data (rataan keempat data yang lainnya)
31
Lampiran 9 Hasil uji analisis statistik aktivitas ALT serum darah tikus Tabel ANOVA Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
51
111943.2100
2194.9649
13.33
<.0001
Error
48
7903.3800
164.6537
Corrected Total
99
119846.5900
R-Square
Coeff Var
Root MSE
ALT Mean
0.934054
39.83778
12.83175
32.21000
Source
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
4
6930.94000
1732.73500
10.52
<.0001
16
2752.06000
172.00375
1.04
0.4306
3
88604.83000
29534.94333
179.38
<.0001
r(wkt)
12
2896.92000
241.41000
1.47
0.1704
perl*wkt
12
9665.62000
805.46833
4.89
<.0001
perl r(perl) wkt
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Means with the same letter are not significantly different.
Mean
N
perl
A
47.200
20
paraseta
B
33.250
20
dosis200
Duncan Grouping
Mean
N
wkt
A
68.520
25
21
B
54.600
25
14
C
3.760
25
7
1.960
25
0
B C
B
C
B
C
B
31.350
20
dosis300
C 26.200
20
curliv C
C C
23.050
20
normal
32
Lampiran 10 Aktivitas AST serum darah tikus selama perlakuan Aktivitas AST serum darah tikus hari ke- (U/L) Kelompok 0 7 14 21 N1 2 33 80 136 N2 1 29 92 144 N3 2 43 95 156 N4 3 28 63 154 N5 2 41 83* 123 Rerata ± SD 2,0 ± 0,71 34,8 ± 6,87 82,6 ± 12,58 142 ± 13,59 KN 1 2 35 168 176 KN 2 4 50 133 154 KN 3 2 26 168 122 KN 4 1 30 134 347 KN 5 2 32 151 203 Rerata ± SD 2,2 ± 1,10 34,6 ± 9,21 150,8 ± 17,25 200,4 ± 87,17 KP 1 2 30 126 60 KP 2 1 29 100 102 KP 3 2 29 117 63 KP 4 2 26 111 106 KP 5 3 46 111 77 Rerata ± SD 2,0 ± 0,71 32,0 ± 7,97 113,0 ± 9,51 81,6 ± 21,48 ED200 1 2 27 102 141 ED200 2 1 23 130 113 ED200 3 2 21 125 117 ED200 4 2 29 130 126 ED200 5 1 23 130 126 Rerata ± SD 1,6 ± 0,55 24,6 ± 3,29 123,4 ± 12,16 124,6 ± 10,78 ED300 1 2 33 145 135 ED300 2 1 17 75 103 ED300 3 1 19 121* 126 ED300 4 1 12 130 116 ED300 5 2 20 135 100 Rerata ± SD 1,4 ± 0,55 20,2 ± 7,79 121,2 ± 27,24 116 ± 14,88 Keterangan : N = Normal; KN = Kontrol Negatif; KP = Kontrol Positif; ED200 = Dosis 200 mg/kg BB; ED300 = Dosis 300 mg/kg BB * = mising data (rataan keempat data yang lainnya)
33
Lampiran 11 Hasil uji analisis statistik aktivitas AST serum darah tikus Tabel ANOVA Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
51
382791.0100
7505.7061
14.79
<.0001
Error
48
24367.1800
507.6496
Corrected Total
99
407158.1900
R-Square
Coeff Var
Root MSE
AST Mean
0.940153
31.91823
22.53108
70.59000
Source
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
4
18910.5400
4727.6350
9.31
<.0001
16
6365.8600
397.8663
0.78
0.6953
3
314994.8300
104998.2767
206.83
<.0001
r(wkt)
12
8663.0200
721.9183
1.42
0.1890
perl*wkt
12
32103.2200
2675.2683
5.27
<.0001
perl r(perl) wkt
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A
Means with the same letter are not significantly different.
Mean
N
perl
Duncan Grouping
97.050
20
paraseta
A
Mean
N
wkt
133.040
25
21
A B
68.550
20
dosis200
A
118.200
25
14
65.500
20
normal
B
29.280
25
7
64.700
20
dosis300
C
1.840
25
0
57.150
20
curliv
B B B B B B
34
Lampiran 12 Data skoring lesio pada pengamatan histopatologi hati Skoring lesio Kelompok Degenerasi Nekrosis regenerasi N1 1 N2 1 N3 1 N4 0 0 0 N5 0 0 0 KN 1 2 KN 2 2 KN 3 2 KN 4 2 KN 5 2 KP 1 1 KP 2 1 KP 3 1 KP 4 1 KP 5 1 ED200 1 2 ED200 2 1 ED200 3 1 ED200 4 1 ED200 5 0 0 0 ED300 1 0 0 0 ED300 2 0 0 0 ED300 3 0 0 0 ED300 4 0 0 0 ED300 5 0 0 0 Keterangan : N = Normal; KN = Kontrol Negatif; KP = Kontrol Positif; ED200 = Dosis 200 mg/kg BB; ED300 = Dosis 300 mg/kg BB