UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI AKTIVITAS GEL ETIL P-METOKSISINAMAT TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA TERBUKA PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR SPRAGUE DAWLEY
SKRIPSI
NITA FITRIANI 1112102000078
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JUNI 2016
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI AKTIVITAS GEL ETIL P-METOKSISINAMAT TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA TERBUKA PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR SPRAGUE DAWLEY
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana farmasi
NITA FITRIANI 1112102000078
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JUNI 2016
ii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
iii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
iv
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
v
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK Nama : Nita Fitriani Program studi : S-1 Farmasi Judul : Uji Aktivitas Gel Etil p-metoksisinamat terhadap Penyembuhan Luka Terbuka pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley Luka merupakan suatu gangguan normal lepasnya integrasi epitel kulit diikuti oleh gangguan struktur dari anatomi dan fisiologinya. Ketika terjadi perlukaan pada jaringan kulit, proses kesembuhan dan regenerasi sel terjadi secara otomatis sebagai respon fisiologis tubuh. Etil p-metoksisinamat (EPMS) merupakan komponen terbesar yang dimiliki oleh kencur (Kaempferia galanga L.). EPMS mempunyai aktivitas sebagai anti-inflamasi, analgesik dan angiogenesis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh gel EPMS terhadap kecepatan penyembuhan luka. Penelitian ini menggunakan tikus putih jantan galur sprague dawley yang dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok kontrol positif yang diberikan gel Bioplacenton®, kelompok kontrol negatif yang diberikan basis gel dan 3 kelompok uji konsentrasi yang diberikan gel EPMS dengan konsentrasi yang bervariasi (1%, 3% dan 5%). Luka terbuka dibuat dengan metode Morton pada bagian dorsal sekitar 3cm dari auricula tikus. Pemberian gel EPMS dilakukan sebanyak dua kali sehari selama 14 hari. Parameter yang diamati meliputi perubahan warna, terbentuknya scab (keropeng), pembentukan kulit baru, persentase penyembuhan luka, neokapilerisasi, fibroblas dan makrofag. Hasil analisis statistik non parametrik Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa gel EPMS dengan 3 konsentrasi berbeda menunjukkan efek peningkatan persentase penyembuhan luka yang tidak berbeda bermakna dengan kontrol positif dan kontrol negatif (p≥0,05). Hasil uji Paired Samples T-Test menunjukkan perbedaan bermakna pada semua kelompok antara hari ke-0 dan 14 (p≤0,05). Hasil pengamatan mikroskopik menunjukkan terbentuknya neokapilerisasi serta fibroblas dan mengurangi jumlah makrofag pada kelompok uji konsentrasi 1%,3% dan 5% dibandingkan kelompok kontrol negatif. Dengan demikian, gel EPMS dapat membantu dalam proses penyembuhan luka terbuka pada fase inflamasi dan proliferasi.
Kata kunci : Kaempferia galanga L., Etil p-metoksisinamat, Luka Terbuka, Metode Morton.
vi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT Name Major Title
: Nita Fitriani : Bachelor of Pharmacy : Study of Ethyl p-methoxycinnamate Gel Towards Open Wound Healing on The Male Rats (Rattus norvegicus) Sprague Dawley Strain.
The wound is a disruption in the form of loss of normal skin epithelium followed by the integration of anatomic stuctures and physiological disorders. Due to the injury to the skin tissue, healing and cell regeneration process occurs automatically as the physiological response of the body. Ethyl pmethoxycinnamate (EPMC) was found as major compound of the rhizome of Kaempferia galanga L. (kencur). EPMC was reported to have anti-inflammatory , analgetic and angiogenesis activity. Aim of this study to evaluate the effect of EPMC gel in healing the wound. In this research, male rats Sprague Dawley strain were as experimental animals which were divided into 5 groups, the positive control group was treated with Bioplacenton® gel, negative control was treated with gel base, and three other group was treated with EPMC gel using three different concentration (1%, 3%, 5%). Open wounds were made by using the Morton method on the dorsal part that was about 3cm from the auricula rats. Treatments and observations of wound healing were conducted twice in a day during 14 days. Parameters observed were discoloration, scab formation, the formation of new skin, the percentage of healing, neocapillary, fibroblasts and macrophages. Kruskal-Wallis non parametric statistical analysis results showed that EPMC gel with three different concentrations exhibited wound healing enhancement effect percentage was not significantly different to the positive control and a negative control (p>0,05). The results of Paired Samples T-Test was significantly different (p≤0,05). Microscopic observation results in the increased neocapillary, fibroblast and decreased amount of macrophages occured on 1%, 3% and 5% concentration group than negative control group. It can be concluded that the EPMC gel can treat open wound healing on inflammation and proliferation phase.
Keywords: Kaempferia galanga L., Ethyl p-methoxycinnamate, Open Wound Healing, Morton Method.
vii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan nikmat sehat, iman, islam, rezeki, kekuatan, petunjuk, rahmat serta kasih sayangNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Uji Aktivitas Gel Etil p-metoksisinamat terhadap Penyembuhan Luka Terbuka pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley”. Shalawat serta salam tak lupa semoga selalu tercurhakan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya hingga akhir zaman. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi akan sangatlan sulit untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada: 1. Ibu Dr. Azrifitria, M.Si., Apt selaku Pembimbing I sekaligus dosen Penanggung jawab Akademik serta Ibu Ismiarni Komala, Ph.D., Apt selaku Pembimbing II yang telah memberikan waktu, motivasi, pikiran dan bimbingan selama penelitian dan penyusunan skripsi 2. Bapak Prof. Dr. Arif Sumantri, S.K.M., M.Kes. selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt. selaku Kepala Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Drs. H. Hidayat Taufik, MM dan Ibunda Hj. Neni Nuraeni atas pengorbanan, kasih sayang, motivasi, moril, materil serta doa yang telah mama dan bapak berikan selama ini. Adikku Ainul Shofiati yang telah memberikan dukungan, motivasi dan doanya, semoga Allah selalu memberikan kesehatan dan keberkahan dalam kehidupan kita.
viii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Seluruh dosen Farmasi UIN yang telah membimbing serta memberikan ilmunya selama ini 6. Hary Abdul Rahman atas perhatian, semangat, bantuan dan kesediaannya menemani penulis serta mendengarkan keluh kesah penulis selama ini 7. Noni Tri Utami, Nabilah Urwatul Wutsqo, Verona Shaqila, Nurul Fitri Rukmana, Ade Rachma Islamiah dan Anissa Florensia atas perjuangan, dukungan, motivasi serta persahabatan yang begitu indah selama di bangku kuliah 8. Teman-teman seperjuangan “moushimoushi” dan “KINGDOM 2012” Denny Bachtiar, Afina Almas Ghasani, Azmi Indillah, Amma, Cony, Moethia, Windi, Putri Nufus, Rifatul, Ghilman, Thantowi, M. Beny, Elsa dan Ani atas perjuangan, bantuan dan semangatnya 9. Kakak laboran program studi Farmasi (Kak Walid dan Kak Eris) kak Charinna, Kak Nuha, Kak Ali, Kak Haidar dan Wildana Aqila (program studi Pendidikan Dokter) serta Ahmad Faiz (program studi Kesehatan Masyarakat) yang telah banyak membantu penulis selama penelitian 10. Teman-teman Farmasi 2012, khususnya Farmasi BD yang telah menjadi kepingan memori berharga di Ibu kota. Tanpa mereka, cerita ini tidak akan lengkap. 11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis selama ini Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian ini.
Jakarta, 22 Juni 2016
Penulis,
ix
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Nita Fitriani
NIM
: 1112102000078
Program studi : S-1 Farmasi Fakultas
: Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jenis Karya
: Skripsi
Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui/karya ilmiah saya, dengan judul : UJI AKTIVITAS GEL ETIL P-METOKSISINAMAT TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA TERBUKA PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR SPRAGUE DAWLEY
Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di : Jakarta Pada tanggal
: 22 Juni 2016
Yang menyatakan,
(Nita Fitriani)
x
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................ iii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. iv HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ........................................................... v ABSTRAK ......................................................................................................... vi ABSTRACT ....................................................................................................... vii KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ....................... x DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvi BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 3 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 4 1.4 Hipotesis .......................................................................................... 4 1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................... 5 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 6 2.1 Tumbuhan Kencur (Kaempferia galanga L.) ................................ 6 2.1.1 Klasifikasi Kencur ............................................................... 6 2.1.2 Morfologi Tanaman ............................................................. 6 2.1.3 Tempat Tumbuh ................................................................... 7 2.1.4 Kandungan Kimia ................................................................ 8 2.1.5 Aktivitas Farmakologi Kaempferia galanga L. ................... 8 2.2 Tinjauan Hewan Percobaan ........................................................... 9 2.2.1 Klasifikasi Tikus Putih ......................................................... 9 2.2.2 Biologis Tikus Putih ............................................................ 9 2.3 Kulit ............................................................................................. 11 2.3.1 Anatomi Kulit .................................................................... 11 2.3.2 Fisiologi Kulit .................................................................... 12 2.4 Luka ............................................................................................. 13 2.4.1 Definisi Luka ..................................................................... 13 2.4.2 Jenis-Jenis Luka ................................................................. 14 2.4.3 Proses Penyembuhan Luka ................................................ 17 2.4.4 Prinsip Penyembuhan Luka ............................................... 22 2.4.5 Tatalaksana Penyembuhan Luka ....................................... 25 2.5 Sediaan Gel .................................................................................. 27 2.5.1 Formula Sediaan Gel ......................................................... 28 2.5.1.1 Karbopol 940 ......................................................... 28 2.5.1.2 Propilen Glikol ...................................................... 29 2.5.1.3 Metil Paraben dan Propilen Paraben ..................... 30 2.5.1.4 Trietanolamin ........................................................ 30
xi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.5.1.5 Natrium Metabisulfit ............................................. 31 2.5.1.6 Alkohol 96% .......................................................... 31 2.6 Bioplacenton® Gel ......................................................................... 32 BAB 3. METODE PENELITIAN ................................................................. 33 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................... 33 3.2 Alat dan Bahan Penelitian ............................................................ 33 3.2.1 Alat Penelitian .................................................................... 33 3.2.2 Bahan Penelitian ................................................................ 33 3.2.3 Hewan Uji .......................................................................... 34 3.3 Rancangan Penelitian ................................................................... 34 3.4 Kegiatan Penelitian ...................................................................... 35 3.4.1 Isolasi Kristal Etil p-metoksisinamat .................................. 35 3.4.1.1 Pemeriksaan Simplisia (Determinasi) ................... 35 3.4.1.2 Penyiapan Simplisia .............................................. 35 3.4.1.3 Pembuatan Ekstrak ................................................ 35 3.4.1.4 Isolasi Kristal Etil p-metoksisinamat .................... 35 3.4.2 Identifikasi dan Uji Kemurnian ......................................... 36 3.4.2.1 Pemeriksaan Organoleptis ..................................... 36 3.4.2.2 Pengujian Titik Leleh ............................................ 36 3.4.2.3 Pengujian Kristal Etil p-metoksisinamat dengan Kromatografi Gas Spektrometri Massa (GC-MS) . 36 3.4.3 Pembuatan Sediaan ............................................................ 37 3.4.4 Evaluasi Sediaan Gel ......................................................... 38 3.4.4.1 Uji Organoleptik .................................................... 38 3.4.4.2 Uji Homogenitas .................................................... 38 3.4.5 Persiapan Hewan Uji ......................................................... 38 3.4.5.1 Pemeriksaan Komisi Etik Penelitian ..................... 38 3.4.6 Pembuatan Luka ................................................................ 38 3.4.7 Pemberian Bahan Uji ......................................................... 39 3.4.8 Pengamatan Penyembuhan Luka ....................................... 39 3.4.9 Eksisi Jaringan Kulit Tikus ................................................ 40 3.4.10 Pembuatan Preparat Histopatologi Jaringan Kulit Tikus .. 40 3.4.11 Pengamatan Preparat Histopatologi ................................. 40 3.4.12 Rancangan Analisis Data ................................................. 41 BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 42 4.1 Determinasi Tanaman .................................................................. 42 4.2 Pembuatan Serbuk Simplisia ....................................................... 42 4.3 Isolasi Etil p-metoksisinamat ........................................................ 43 4.4 Identifikasi dan Uji Kemurnian Etil p-metoksisinamat ............... 44 4.4.1 Pengamatan Organoleptis .................................................. 44 4.4.2 Pengukuran Titik Leleh ..................................................... 44 4.4.3 Pengukuran Senyawa Etil p-metoksisinamat dengan Kromatografi Gas Spektrometri Massa (GC-MS) ............. 44 4.5 Evaluasi Sediaan Gel ................................................................... 45 4.6 Komisi Etik Penelitian ................................................................. 46 4.7 Pengukuran Bobot Tikus .............................................................. 47
xii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.8 Pengamatan Visual Luka Terbuka ............................................... 48 4.9 Pengamatan Persentase Penyembuhan Luka ............................... 51 4.10 Pengamatan Preparat .................................................................. 53 BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 58 5.1 Kesimpulan .................................................................................. 58 5.2 Saran ............................................................................................ 58 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 59 LAMPIRAN ..................................................................................................... 64
xiii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman Tabel 3.1 Pembagian Kelompok Hewan Uji Berdasarkan Perlakuan.................34 Tabel 3.2 Penilaian Histopatologi Secara Mikroskopis ......................................40 Tabel 4.1 Hasil Pengukuran Titik Leleh Senyawa Etil p-metoksisinamat .........44 Tabel 4.2 Hasil Evaluasi Gel Etil p-metoksisinamat .........................................45 Tabel 4.3 Hasil Pengamatan Visual Luka Terbuka ............................................49 Tabel 4.4 Hasil Pengamatan Preparat Histopatologi Hari ke-7 .........................54 Tabel 4.5 Hasil Penilaian Parameter pada Preparat Hari ke-7 ...........................55
xiv
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman Gambar 2.1 Tanaman Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) .........................7 Gambar 2.2 Struktur Senyawa Etil p-metoksisinamat .............................................8 Gambar 2.3 Struktur Kulit .....................................................................................13 Gambar 2.4 Proses Penyembuhan Luka.................................................................18 Gambar 4.1 Serbuk Simplisia Kencur (Kaempferia galanga L.) ..........................42 Gambar 4.2 Grafik Rerata Bobot Tikus Tiap Kelompok ......................................47 Gambar 4.3 Grafik Rerata Persentase Penyembuhan Luka Tiap Kelompok ........52 Gambar 4.4 Hasil Pengamatan Preparat Histopatologi Hari ke-7 .........................54
xv
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Alur Penelitian .................................................................................. 64 Lampiran 2. Isolasi Etil p-Metoksisinamat ........................................................... 65 Lampiran 3. Skema Pembuatan gel EPMS ........................................................... 66 Lampiran 4. Surat Determinasi Tanaman Kaempferia galanga L. ...................... 67 Lampiran 5. Surat Keterangan Kesehatan Hewan ............................................... 68 Lampiran 6. Surat Keterangan Lolos Kaji Etik (Ethical Approval) ..................... 69 Lampiran 7. Gambar Alat Penelitian ................................................................... 70 Lampiran 8. Hasil Uji Homogentias Gel dengan Berbagai Konsentrasi ............. 70 Lampiran 9. Proses Pembuatan Luka ................................................................... 70 Lampiran 10. Proses Eksisi Jaringan Kulit Tikus ................................................ 71 Lampiran 11. Perhitungan Rendemen Kristal Etil p-metoksisinamat .................. 71 Lampiran 12. Spektrum GC-MS Senyawa Etil p-metoksisinamat ....................... 71 Lampiran 13. Luka Tikus Mulai Hari ke-0 Hingga Hari ke-14 ............................ 73 Lampiran 14. Tahapan Pengukuran Diameter Luka Dengan Aplikasi ImageJ ... 77 Lampiran 15. Diameter Luka Seluruh Kelompok Hewan Uji ............................. 79 Lampiran 16. Pengukuran Bobot Tikus ................................................................ 81 Lampiran 17. Hasil Pengukuran Luas Luka dan Persentase Penyembuhan Luka 82 Lampiran 18. Hasil Analisis Statistik Persentase Penyembuhan Luka Hari Ke3,6,9,12 dan 14 ................................................................................ 83 Lampiran 19. Hasil Analisis Statistik Luas Luka ................................................. 86
xvi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Segala aktivitas dalam kehidupan sehari-hari dapat menimbulkan risiko timbulnya luka pada tubuh. Luka merupakan suatu gangguan normal lepasnya integrasi epitel kulit diikuti oleh gangguan struktur dari anatomi dan fisiologinya. Proses penyembuhan luka harus terjadi pada kondisi yang mendukung jaringan tubuh untuk melakukan proses perbaikan dan regenerasi sel (Sibuea, 2015). Ketika terjadi perlukaan pada jaringan kulit, proses kesembuhan dan regenerasi sel terjadi secara otomatis sebagai respon fisiologis tubuh. Terdapat tiga fase dalam proses kesembuhan luka, yaitu fase inflamatori, fase proliferasi dan fase remodelling. Komponen yang berperan penting dalam proses penyembuhan luka adalah kolagen, angiogenesis dan granulasi. Berdasarkan proses kesembuhan luka tersebut, diperlukan terapi efektif yang dapat mengoptimalkan kinerja komponen tersebut (Ferdinandez et al., 2013). Luka terbuka jika tidak diobati berpotensi akan mengakibatkan terjadinya infeksi seperti tetanus. Jika infeksi tidak segera diobati maka akan merambat ke jaringan atau organ lain yang akan menyebabkan infeksi kronik atau bahkan kematian. Prinsip dasar di balik penyembuhan luka yang optimal adalah meminimalkan kerusakan jaringan dan memberikan perfusi jaringan yang memadai, oksigenasi dan nutrisi yang tepat untuk jaringan (Reddy et al., 2012). Menurut data HCAI (Health Care-Associated Infection) agen terjadinya infeksi disebabkan oleh faktor endogen atau eksogen. Sumber endogen itu sendiri merupakan situs tubuh seperti kulit, hidung, mulut, saluran pernafasan atau vagina yang dihinggapi oleh mikroba (WHO, 2011). Berdasarkan data terakhir menyebutkan bahwa pada tahun 1995-2010, infeksi luka pasca operasi menunjukkan bahwa tingkat kejadian berkisar 1,2 - 23,6% di negara berpenghasilan rendah hingga menengah. Tingkat kejadian pada negara maju yaitu mencapai 1,2 – 5,2 %. (WHO, 2011). 225 pasien di Indonesia yang mengalamai HCAI, terdapat 38 pasien yang mengalami infeksi luka pasca operasi,
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
sehingga didapat persentase dari kejadian luka pasca operasi yaitu 16,9% (Zuhrotul & Prijono 2012). Perawatan luka dan pemeliharaannya melibatkan sejumlah langkah, seperti pertolongan pertama pada pasien, antibiotik topikal, penggunaan agen antiinflamasi, agen anti-mikroba serta menggunakan gel topikal yang memiliki kemampuan untuk proses penyembuhan luka. Selain itu, tujuan dari manajemen luka yaitu mengurangi terjadinya luka infeksi dan untuk mempercepat proses penyembuhan (Babu et al., 2012). Saat ini sejumlah besar tanaman atau ekstrak tanaman dapat digunakan untuk pengobatan luka terbuka atau luka bakar. Tanaman, struktur kimia atau turunannya yang berasal dari tanaman perlu diidentifikasi dan diformulasi untuk pengobatan manajemen luka (Kumar et al., 2007). Indonesia merupakan salah satu negara yang terkenal dengan sumber daya hayati terbesar dan mempunyai potensi yang sangat besar untuk menjadikan tanaman sebagai bahan baku obat. Rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) merupakan salah satu sumber daya alam yang terdapat di Indonesia. Kencur termasuk ke dalam famili Zingiberaceae dan merupakan tanaman asli India yang penyebarannya telah memasuki kawasan Asia Tenggara, salah satunya Indonesia. Kencur sering digunakan sebagai pengobatan tradisional untuk mengobati pembengkakan, encok, batuk, disentri, diare dan sakit perut. Telah dilakukan penelitian untuk mendukung klaim penggunaan tradisional pada ekstrak kencur, seperti menunjukkan nematicidal, obat nyamuk dan larvasida, anti-mikroba, vasorelaksan, anti neoplastik, anti alergi, antioksidan, analgesik dan efek penyembuhan luka (Umar et al., 2012). Menurut penelitian Tara et al., (2006) menyatakan bahwa ekstrak alkohol Kaempferia galanga L. mampu mengobati proses penyembuhan luka pada tikus putih galur wistar. Dijelaskan bahwa ekstrak alkohol mempercepat proses epitelisasi pada jaringan luka dengan memfasilitasi proliferasi sel epitel, memiliki efek prohealing yang baik dan komponen yang berperan dari kencur yaitu flavonoid, memiliki efek antioksidan yang merupakan komponen penting dalam penyembuhan luka.
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
Kandungan metabolit sekunder dalam ekstrak kencur telah diteliti oleh Umar et al. (2012) diantaranya ialah asam propionate (4,7%), pentadekan (2,08%), asam tridekanoat (1,81%), 1,21-docosadiene (1,47%), beta-sitosterol (9,88%) dan komponen yang terbesar yaitu Etil p-metoksisinamat (80,05%). Etil p-metoksisinamat (EPMS) merupakan komponen terbesar yang dimiliki oleh kencur. Berdasarkan penelitian Umar et al. (2012) secara in vitro, EPMS sangat berpotensi sebagai efek anti-inflamasi yang signifikan dalam pengobatan peradangan melalui penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase 1 (COX-1) 42,9% dan menghambat aktivitas enzim siklooksigenase 2 (COX-2) 57,82%, dengan nilai IC50 untuk COX-1 1,12µM dan untuk COX-2 0,83 µM. Selanjutnya, Umar et al. (2014) menyatakan bahwa EPMS menghasilkan efek anti-inflamasi dan efek analgesik. EPMS juga memiliki efek angiogenesis (proses pembentukan pembuluh darah baru). Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa EPMS dapat menjadi prekursor potensial untuk pengembangan agen terapi yang potensial untuk mengobati penyakit yang melibatkan peradangan dan angiogenesis. Berdasarkan uraian di atas bahwa kandungan EPMS yang terdapat di dalam kencur mempunyai efek anti-inflamasi, analgesik dan angiogenesis yang sangat baik sehingga dapat mempercepat penyembuhan luka. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh senyawa EPMS terhadap kecepatan penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley dengan metode Morton selama 14 hari. Parameter yang akan dinilai dalam luka adalah pengamatan secara visual, seperti perubahan warna, terbentuknya scab (keropeng), pembentukan kulit baru, persentase penyembuhan luka, dan parameter histopatologi seperti pembentukan pembuluh darah baru (neokapilerisasi), pertumbuhan pada jaringan ikat (fibroblas) dan keberadaan sel radang (makrofag).
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan dari uraian latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
1. Apakah pemberian gel EPMS yang diamati secara visual dapat mempengaruhi persentase penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley? 2. Apakah pemberian gel EPMS yang diamati secara histopatologi dapat mempengaruhi pembentukan pembuluh darah baru (neokapilerisasi), pertumbuhan pada jaringan ikat (fibroblas) dan keberadaan sel radang (makrofag) pada penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
Menguji pengaruh pemberian gel EPMS yang diamati secara visual terhadap persentase penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley
2.
Menguji pengaruh pemberian gel EPMS yang diamati secara histopatologi terhadap pembentukan pembuluh darah baru (neokapilerisasi), pertumbuhan pada jaringan ikat (fibroblas) dan keberadaan sel radang (makrofag) pada penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley.
1.4 Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah 1.
Pemberian gel EPMS diamati secara visual dapat mempercepat waktu penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague Dawley
2.
Pemberian gel EPMS diamati secara histopatologi dapat mempercepat pembentukan pembuluh darah baru (neokapilerisasi), pertumbuhan pada jaringan ikat (fibroblas) dan keberadaan sel radang (makrofag) pada penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5
1.5 Manfaat penelitian Memberikan informasi kepada masyarakat luas mengenai khasiat senyawa EPMS yang terdapat didalam kencur yang mempercepat penyembuhan luka dan memberikan informasi yang dapat digunakan dalam pengobatan luka setelah pembedahan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tumbuhan Kencur (Kaempferia galanga L.) Rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) sudah sejak lama dikenal dan ditanam di Indonesia. Tanaman ini diperkirakan berasal dari Asia Tropika. Kencur merupakan tanaman aromatik yang tergolong ke dalam famili Zingiberaceae (temu-temuan) yang dipakai dalam pengobatan tradisional. Pembeda utama kencur dengan tanaman temu-temuan lainnya adalah daunnya yang menutup tanah. Tanaman ini sudah berkembang di pulau jawa dan di luar pulau jawa seperti sumatera barat, sumatera utara dan kalimantan selatan (Mufidah, 2014). 2.1.1 Klasifikasi Kencur (USDA) Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Super Divisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Sub Kelas
: Zingiberidae
Ordo
: Zingiberales
Famili
: Zingiberaceae
Genus
: Kaempferia L.
Spesies
: Kaempferia galanga L.
2.1.2 Morfologi Tanaman Tumbuhan ini hampir menutupi tanah, tidak berbatang, rimpang bercabang, akar berbentuk gelendong, berumbi, panjang 1-1,5 cm. Setiap tanaman berdaun sebanyak 1-3 helai, lebar merata dan hampir menutup tanah, daun berbentuk jorong lebar sampai hampir bundar, pangkal hampir berbentuk jantung, ujung mendadak lancip, bagian atas tidak berambut, bagian bahan berambut halus, pinggir bergelombang berwarna merah kecoklatan, bagian tengah berwarna hijau, pinggir helai daun 7-15 cm, lebar 2-8 cm, tangkai pendek, berukuran 3-10 mm, pelepah terbenam dalam tanah, panjang 1,5-3,5 cm, berwarna putih. Perbungaan memiliki panjang 4 cm dan mengandung 4-12 bunga. Kelopak berbentuk tabung,
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
panjang ± 3 cm, bergerigi 2-3 buah. Tajuk berwarna putih dengan tabung panjang 2,5-5 cm, ujung berbelah-belah berbentuk pita, panjang 2,5-3 cm dan lebar 1,5-3 mm (Regianto, 2009).
Gambar 2.1 Tanaman Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) [Sumber: Koleksi Pribadi]
2.1.3 Tempat Tumbuh (Roemantyo et al., 1996) Dalam suatu literatur dikatakan bahwa kencur merupakan tanaman asli Asia Tropika. Jenis ini sekarang tersebar luas di hampir seluruh kepulauan Indonesia, umumnya ditanam oleh penduduk untuk kebutuhan keluarga. Kencur ditemukan hanya ditanam, terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pengamatan di berbagai tempat di Jawa Timur, seperti di daerah Malang, Lawang dan Blitar. Di Jawa Barat, petani yang mengusahakan kencur dalam jumlah banyak hanya di beberapa daerah saja seperti di Bogor, Cianjur, Sukabumi, Tasikmalaya dan Ciamis. Sedangkan di daerah Jawa Tengah penanaman kencur dilakukan didaerah Ungaran, Magelang, Salatiga, Boyolali, Karanganyar, Sleman dan Bantul. Berdasarkan peta letak distribusi tipe tanah di Jawa, diketahui bahwa kencur dapat tumbuh baik di berbagai tipe tanah, yaitu: latosol, regosol, kombinasi antara latosol-androsol, legosol-latosol serta regosol-litosol. Dari peta curah hujan di jawa, diketahui bahwa kencur dapat beradaptasi di daerah yang basah (9 bulan basah) maupun yang sedang (5-6 bulan basah dan 5-6 bulan kering) dan mencakup areal kira-kira 60% dari luas pulau jawa, umumnya terletak di daerah dengan ketinggian antara 80 – 600 mdpl kencur yang ditanam di kawasan pegunungan dengan ketinggian lebih dari 600 mdpl mempunyai resiko pertumbuhan yang kurang baik.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
2.1.4 Kandungan Kimia Kandungan kimia dalam ekstrak minyak atsiri dari kencur yang telah diteliti oleh Umar et al. (2012) diantara nya yaitu 1,21-Dokosadin (1,47%), asam tridekanoat (1,81%),
pentadekan (2,08%), asam propionat (4,71%), beta-
sitosterol (B) (9,88%) dan kandungan kimia terbesar yang terdapat didalam kencur yaitu Etil p-metoksisinamat (80,05%). Selain itu pada penelitian Singh et al. (2013) juga disebutkan bahwa terdapat kandungan eukaliptol (9,59%), karvon (11,13%), pentadekan (11,13%) dan metil sinamat (23,23%).
Gambar 2.2 Struktur Senyawa etil p-metoksisinamat [Sumber: www.chemicalbook.com]
2.1.5 Aktifitas Farmakologi Kaempferia galanga L. Ekstrak minyak atsiri kencur memiliki aktivitas antibakteri (antiinfeksi) dan antijamur dengan konsentrasi 10% memiliki daya hambat sementara (< 24 jam) terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, Serratia marcescens serta terhadap jamur Candida albicans, Penicillium sp. dan terhadap Aspergillus nigrum tidak mempunyai daya hambat. Sedangkan daya hambat terhadap Streptococcus faecalis, Aerobacter aerogenes, Escherichia coli, Proteus sp., Serratia marcescens lebih dari 24 jam. (Astuti et al., 1996). Batang kencur juga memiliki efek antimikroba yang mampu menghambat bakteri dan jamur pada zona hambatnya dan memiliki aktivitas antioksidan (Rao, 2014). Kencur memiliki aktifitas sebagai antiinflamasi dan analgesik (Vittalrao et al., 2011) dan kandungan minyak atsiri sebagai antiinflamasi (Hasanah et al., 2011). Di Asia Tropika, Kencur sering digunakan sebagai pengobatan tradisional untuk mengobati pembengkakan, encok, batuk, disentri, diare dan sakit perut. Telah dilakukan penelitian untuk mendukung klaim penggunaan tradisional pada ekstrak kencur, seperti menunjukkan menaticidal, obat nyamuk dan larvasida,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
antimikroba, vasorelaksan, anti neoplastik, anti alergi, antioksidan, analgesik dan efek penyembuhan luka (Umar et al., 2012). Selain itu kencur mampu mengobati proses penyembuhan luka bakar dari ekstrak alkohol Kaempferia galanga Linn. pada tikus galur wistar. Telah diketahui bahwa ekstrak etanol Kaempferia galanga Linn. dapat mempercepat proses epitelisasi pada jaringan luka dengan memfasilitasi proliferasi sel epitel, memiliki efek prohealing yang baik, dan salah satu komponen dari kencur yaitu flavonoid yang berperan sebagai antioksidan yang merupakan komponen penting dalam penyembuhan luka (Tara et al., 2006).
2.2 Tinjauan Hewan Percobaan 2.2.1 Klasifikasi Tikus Putih Menurut Suckow (2006) klasifikasi Tikus Putih (Rattus norvegicus) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Class
: Mammalia
Order
: Rodentia
Family
: Muridae
Genus
: Rattus
Species
: Rattus norvegicus
2.2.2 Biologis Tikus Putih Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pangamatan laboratorium. Tikus termasuk hewan mamalia, oleh sebab itu dampaknya terhadap suatu perlakuan mungkin tidak jauh berbeda dibanding dengan mamalia lainnya. Selain itu, penggunaan tikus sebagai hewan percobaan juga didasarkan atas pertimbangan ekonomis dan kemampuan hidup tikus hanya 2-3 tahun dengan lama reproduksi 1 tahun.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
Kelompok tikus laboratorium pertama-tama dikembangkan di Amerika Serikat pada tahun 1775. Penyebaran spesies tikus pada mulanya yaitu melalui Norwegia yang disebut dengan ―tikus norwegia‖ yang kemudian berganti menjadi norvegicus (spesies) (Suckow, 2006). Pada percobaan ini digunakan tikus putih jantan sebagai binatang percobaan karena tikus putih jantan dapat memberikan hasil penelitian yang lebih stabil karena tidak dipengaruhi oleh adanya siklus menstruasi dan kehamilan seperti pada tikus betina. Tikus putih jantan juga mempunyai kecepatan metabolisme obat yang lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibanding tikus betina. Tikus putih sebagai hewan percobaan relatif resisten terhadap infeksi dan sangat cerdas. Tikus putih tidak begitu bersifat fotofobik seperti halnya mencit dan kecenderungan untuk berkumpul dengan sesamanya tidak begitu besar. Aktifitasnya tidak terganggu oleh adanya manusia disekitarnya. Ada dua sifat yang membedakan tikus putih dari hewan percobaan yang lain, yaitu bahwa tikus putih tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lubang dan tikus putih tidak mempunyai kandung empedu (Fauziah, 2010). Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus putih dapat tinggal sendirian di dalam kandang dan hewan ini lebih besar dibandingkan dengan mencit, sehingga untuk percobaan laboratorium, tikus putih lebih menguntungkan daripada mencit (Fauziah, 2010). Keunggulan tikus putih dibandingkan tikus liar antara lain lebih cepat dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman, dan umumnya lebih cepat berkembang biak. Secara umum, berat badan tikus laboratorium lebih ringan dibandingkan berat badan tikus liar. Biasanya pada umur empat minggu beratnya 35-40 g, dan berat dewasa rata-rata 200-250 g, tetapi bervariasi tergantung pada galur. Galur Sprague Dawley merupakan galur yang paling besar diantara galur yang lain. Terdapat beberapa galur tikus yang sering digunakan dalam penelitian. Galur-galur tersebut antara lain : Wistar, Sprague Dawley, Long Evans, dan Holdzman. Dalam penelitian ini digunakan galur Sprague Dawley dengan ciri-ciri berwarna putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Tikus ini pertama kali diproduksi oleh peternakan Sprague Dawley. Tikus Sprague Dawley merupakan jenis outbred
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
tikus albino serbaguna secara ekstensif dalam riset medis. Keuntungan utamanya adalah ketenangan dan kemudahan penanganannya.
2.3 Kulit (Perdanakusuma, 2007) 2.3.1 Anatomi Kulit Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh, merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh. Pembagian kulit secara garis besar terdiri atas 3 lapisan, yaitu lapisan epidermis, dermis dan subkutis. 1.
Epidermis Epidermis merupakan lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Terdiri
dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel melanosit, langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5% dari seluruh ketebalan kulit. Terjadi proses regenerasi setiap 4-6 minggu. Fungsi epidermis yaitu sebagai proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel Langerhans). Epidermis terdiri dari 5 lapisan (lapisan yang paling atas sampai yang terdalam): 1. Stratum Korneum, terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti. 2. Stratum Lusidum, berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal telapak kaki dan telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis. 3. Stratum Granulosum, ditandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng yang intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang dinamakan granula keratohialin yang mengandung protein kaya akan histidin. Terdapat sel langerhans. 4. Stratum Spinosum, pada lapisan ini terdapat berkas-berkas filamen yang dinamakan tonofibril, dianggap filamen-filamen tersebut memegang peranan penting untuk mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi. Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan dan tekanan mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
tonofibril. Stratum basale dan stratum spinosum disebut debagai lapisan malfigi. Terdapat sel langerhans. 5. Stratum Basale (Stratum Germinativum), terdapat aktivitas mitosis yang hebat dan bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara konstan. Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke permukaan, hal ini tergantung letak, usia dan faktor lain. Merupakan satu lapisan sel yang mengandung melanosit. 2.
Dermis Dermis merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering dianggap
sebagai ―true skin‖. Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal pada telapak kaki sekitar 3 mm. Fungsi nya yaitu sebagai struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi dan respon inflamasi. Dermis terdiri dari 2 lapisan: - lapisan papiler; tipis mengandung jaringan ikat jarang. - lapisan retikuler; tebal terdiri dari jaringan ikat padat. 3.
Subkutis Lapisan ini terdapat dibawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari
lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan dibawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi. Fungsi dari subkutis atau hipodermis yaitu melekat ke struktur dasar, isolasi panas, cadangan kalori kontrol bentuk tubuh dan mechanical shock absorber.
2.3.2 Fisiologi Kulit (Gunstream, 2000). 1.
Proteksi Kulit memberikan penghalang (barrier) fisik antara jaringan dibawahnya
dan lingkungan eksternal. Memberikan perlindungan dari abrasi, dehidrasi, radiasi ultraviolet dan invasi bakteri.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
2.
Ekskresi Produksi keringat dari kelenjar keringat untuk menghapus sisa-sisa
metabolisme dalam jumlah kecil seperti senyawa organik, garam dan air. 3.
Regulasi Suhu Selama periode produksi kelebihan panas oleh tubuh, sekresi dari keringat
dan evaporasinya dari permukaan tubuh membantu untuk menurunkan temperatur tubuh selama periode pelepasan panas tubuh, pembuluh darah di permukaan tubuh mengalami konstriksi untuk mengurangi kehilangan panas tubuh. 4.
Persepsi Sensorik Kulit memuat ujung-ujung saraf dan reseptor yang dapat mendeteksi
stimulus yang berkaitan dengan sentuhan, tekanan, suhu dan rasa sakit. 5.
Sintesis Vitamin D Pemapaparan radiasi ultraviolet mengkonversi molekul prekursor di dalam
kulit menjadi vitamin D.
Gambar 2.3 Struktur Kulit [sumber: Airlangga University School of Medicine, 2007]
2.4 Luka 2.4.1 Definisi Luka Luka merupakan keadaan hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan serangga. Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan memulihkan dirinya. Proses
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
kesembuhan luka harus terjadi pada kondisi yang mendukung jaringan tubuh untuk melakukan proses perbaikan dan regenerasi (Ferdinandez, 2013).
2.4.2 Jenis-Jenis Luka (Bakkara, 2012) Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka itu dan menunjukkan derajat luka. 1. Berdasarkan Tingkat Kontaminasi a. Luka Bersih, yaitu luka luka yang tidak terdapat inflamasi dan infeksi, yang merupakan luka sayat efektif dan steril dimana luka tersebut berpotensi untuk terinfeksi. Luka tidak ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius maupun traktus genitourinarius. Dengan demikian kondisi luka tetap dalam keadaan bersih. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1%-5% b. Luka Bersih Terkontaminasi, merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol. Proses penyembuhan luka akan lebih lama namun luka tidak menunjukkan tanda infeksi. kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3%-11%. c. Luka Terkontaminasi, merupakan luka yang berpotensi terinfeksi spillage
saluran
pernafasan,
pencernaan
dan
kemih.
Luka
menunjukkan tanda infeksi. Luka ini dapat ditemukan pada luka terbuka karena trauma atau kecelakaan (luka laserasi), fraktur terbuka maupun luka penetrasi. Kemungkinan infeksi luka 10%-17%. d. Luka Kotor, yaitu luka lama, luka kecelakaan yang mengandung jaringan mati dan luka dengan tanda infeksi seperti cairan purulen. Luka ini bisa sebagai akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi. Bentuk luka seperti perforasi visera, abses dan trauma lama. 2. Berdasarkan Penyebab a. Vulnus Ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada permukaan epidermis akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau runcing. Luka ini banyak dijumpai pada kejadian traumatik seperti
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
kecelakaan lalu lintas, terjatuh maupun benturan benda tajam ataupun tumpul. b. Vulnus Scissum adalah luka sayat atau iris yang ditandai dengan tepi luka berupa garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya dijumpai pada aktivitas sehari-hari seperti terkena pisau dapur, sayatan benda tajam (kaca, seng, dll), dimana bentuk luka teratur. c. Vulnus Laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan atau compang camping biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul. Luka ini dapat kita jumpai pada kejadian kecelakaan alalu lintas dimana bentuk luka tidak beraturan dan kotor, kedalaman luka bisa menembus lapisan mukosa hingga lapisan otot. d. Vulnus Punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing yang biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya. Misalnya tusukan pisau yang menembus lapisan otot, tusukan paku dan benda-benda tajam lainnya. Semuanya menimbulkan efek tusukan yang dalam dengan permukaan luka tidak begitu lebar. e. Vulnus Morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan hewan memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang menggigit. Dengan kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan hewan tersebut. f. Vulnus Combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan panas maupun sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk luka yang tidak beraturan dengan permukaan luka yang lebar dan warna kulit yang menghitam. Biasanya juga disertai pula karena kerusakan epitel kulit dan mukosa. 3. Berdasarkan Kedalaman dan Luas Luka a. Stadium I: luka superfisial (non-blanching erithema) yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit. b. Stadium II: luka paratial thickness yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
c. Stadium III: luka full thickness yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya. d. Stadium IV: luka full thickness yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas. 4. Berdasarkan Waktu Penyembuhan Luka a. Luka Akut: luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati b. Luka Kronis: luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen. 5. Berdasarkan Mekanisme terjadinya luka a. Luka insisi (incised wound), terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misalnya yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura setelah seluruh pembuluh darah yang luka diikat (ligasi) b. Luka memar (contusion wound), terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak. c. Luka lecet (abraded wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam. d. Luka tusuk (punctured wound), terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil. e. Luka gores (lacerated wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat. f. Luka tembus (penetrating wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar. g. Luka bakar (combustio)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
2.4.3 Proses Penyembuhan Luka Rangsangan eksogen dan endogen dapat menimbulkan kerusakan sel, dan selanjutnya memicu reaksi vaskuler kompleks pada jaringan ikat yang ada pembuluh darahnya. Reaksi inflamasi berguna sebagai proteksi terhadap jaringan yang mengalami kerusakan untuk tidak mengalami infeksi dan meluas tak terkendali. Proses inflamasi sangat erat berhubungan dengan penyembuhan luka. Tanpa adanya inflamasi tidak akan terjadi proses penyembuhan luka, luka akan tetap menjadi sumber nyeri sehingga proses inflamasi dan penyembuhan luka akan cenderung menimbulkan luka (Prabakti, 2005). Proses inflamasi terjadi pada jaringan ikat dengan pembuluh darah yang mengandung plasma, sel yang bersirkulasi, elemen seluler dan ekstra seluler jaringan pengikat. Termasuk komponen seluler (eritrosit, lekosit), sel jaringan ikat (sel mast, fibroblas, monosit, makrofag dan limfosit) dan elemen ekstra seluler diantaranya kolagen, elastin, glikoprotein adesif: fibronektin, laminin, kolagen non fibril, tenasen, proteoglikan (Prabakti, 2005). Peradangan dan perbaikan merupakan proses terus menerus pada penyembuhan luka, sel-sel inflamasi, epitel, endotel, trombosit dan fibroblast keluar secara bersamaan dari tempatnya semula dan berinteraksi untuk mengembalikan kerusakan jaringan serta proses revaskularisasi (Novriansyah, 2008). Sel dalam jaringan rusak akan melepaskan mediator kimiawi yaitu kemoatraktran dan sitokin, yang mempunyai daya kemotaktik, mampu menarik leukosit dalam sirkulasi kapiler (Prabakti, 2005). Sitokin bersama faktor pertumbuhan (growth factor) seperti PDGF, FGF aktif berperan melaksanakan proses penyembuhan. Beberapa macam sitokin terlibat dalam proses penyembuhan yaitu: TNF α, IL 1, IL 6, IL 8 dan TGF β (Prabakti, 2005). Kerusakan jaringan dan pembuluh darah akan diikuti oleh reaksi kompleks dalam jaringan pengikat yang memiliki pembuluh darah. Setelah terjadi trauma, luka akan mengalami kondisi lingkungan yang kekurangan oksigen. Hal tersebut disebabkan karena kerusakan vaskuler dan kebutuhan oksigen meningkat akibat proses katabolisme. Hipoksia jaringan akan menyebabkan tekanan oksigen jaringan rendah, pada tingkat seluler dan molekuler terbukti bahwa kondisi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
tersebut
merupakan
stimulator
sinyal
awal
penyembuhan
luka
(tissue
repair/angiogenesis), proliferasi fibroblas, sintesis faktor pertumbuhan. Sel endotel yang mengalami hipoksia memproduksi sejumlah platelet-derived growth factor (PDGF), endotelin dan vascular endothelial growth factor yang berperan dalam proses angiogenesis, motilitas keratinosit juga akan meningkat dengan kondisi tekanan oksigen yang rendah. Kondisi ini hanya berlangsung sampai dengan 2-3 hari setelah luka, selanjutnya tekanan oksigen jaringan menjadi normal kembali setelah terjadi revaskularisasi jaringan. Tekanan oksigen yang rendah dan persisten akan menyebabkan gangguan pada proses penyembuhan luka dan integritas jaringan (Novriansyah, 2008). Proses penyembuhan luka yang alami:
Gambar 2.4 Proses Penyembuhan Luka [Sumber: Prabakti, 2005] 1. Fase Inflamasi Fase inflamasi terjadi pada hari 0-5. Proses penyembuhan terjadi pada saat terjadi luka. Luka karena trauma atau luka karena pembedahan mengakibatkan kerusakan pada struktur jaringan dan mengakibatkan perdarahan. Pada awalnya darah akan mengisi jaringan yang cedera dan terpaparnya darah terhadap kolagen akan mengakibatkan terjadinya degranulasi trombosit dan pengaktifan faktor hageman. Hal ini kemudian akan memicu sistem biologis lain seperti pengaktifan komplemen kinin, kaskade pembekuan dan pembentukan plasmin. Keadaan ini memperkuat sinyal dari tempat luka,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
sehingga tidak hanya mengaktifkan pembentukan bekuan yang menyatukan tepi luka tetapi juga akumulasi dari beberapa mitogen dan menarik zat kimia ke daerah luka. Pembentukan kinin dan prostaglandin menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas dari pembuluh darah di daerah luka.
Hal
ini
menyebabkan
edema
dan
kemudian
menimbulkan
pembengkakan dan nyeri pada awal terjadinya luka. Leukosit PMN adalah sel pertama yang menuju ketempat luka. Jumlahnya meningkat cepat dan mencapai
puncaknya
pada
24-48
jam.
Fungsi
utamanya
adalah
memfagositosis bakteri yang masuk. Pada penyembuhan luka normal tampaknya kehadiran sel-sel ini tidak begitu penting sebab penyembuhan luka dapat terjadi tanpa keberadaan sel-sel ini. Adanya sel ini menunjukkan bahwa luka terkontaminasi bakteri. Bila tidak terjadi infeksi sel-sel PMN berumur pendek dan jumlahnya menurun dengan cepat setelah hari ketiga (Prabakti, 2005). Elemen imun seluler yang berikutnya adalah makrofag. Muncul pertama 48-96 jam setelah terjadi luka dan mencapai puncak pada hari ke-3. Makrofag berumur lebih panjang dibanding dengan sel PMN dan tetap ada di dalam luka sampai proses penyembuhan berjalan sempurna. Sesudah makrofag akan muncul limfosit T dengan jumlah bermakna pada hari ke 5 dan mencapai puncak pada hari ke 7. Sebaliknya dari PMN, makrofag dan limfosit T penting keberadaannya pada penyembuhan luka normal. Makrofag seperti halnya netrofil, memfagositosis dan mencerna organisme-organisme patologis dan sisa-sisa jaringan. Makrofag juga melepas faktor pertumbuhan dan sitokin yang mengawali dan mempercepat formasi jaringan granulasi (Novriansyah, 2008). 2. Fase Proliferasi Fase ini terjadi pada hari ke 3-14. Bila tidak ada kontaminasi atau infeksi yang bermakna, fase inflamasi berlangsung pendek. Setelah luka berhasil dibersihkan dari jaringan mati dan sisa material yang tidak berguna, dimulailah fase proliferasi. Fase proliferasi ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi pada luka. Jaringan granulasi merupakan kombinasi dari elemen seluler termasuk fibroblast dan sel inflamasi, yang bersamaan dengan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
timbulnya kapiler baru tertanam dalam jaringan longgar ekstra seluler dari matriks kolagen, fibronektin dan asam hialuronik. Fibroblas muncul pertama kali secara bermakna pada hari ke 3 dan mencapai puncak pada hari ke 7. Peningkatan jumlah fibroblast pada daerah luka merupakan kombinasi dari proliferasi dan migrasi. Fibroblast merupakan elemen utama pada proses perbaikan untuk pembentukan protein struktural yang berperan dalam pembentukan jaringan. Fibroblast juga memproduksi kolagen dalam jumlah besar, kolagen ini berupa glikoprotein berantai tripel, unsur utama matriks luka ekstraseluler yang berguna membentuk kekuatan pada jaringan parut. Kolagen pertama kali dideteksi pada hari ke 3 setelah luka, meningkat sampai minggu ke 3. Pada awalnya penumpukan kolagen terjadi berlebihan kemudian fibril kolagen mengalami reoganisasi sehingga terbentuk jaringan reguler sepanjang luka. Fibroblas juga menyebabkan matriks fibronektin, asam hialuronik dan glikos aminoglikan (Prabakti, 2005). Revaskularisasi luka terjadi secara bersamaan dengan fibroplasia. Tunastunas kapiler tumbuh dari pembuluh darah yang berdekatan dengan luka. Tunas-tunas kapiler ini bercabang di ujungnya kemudian bersatu membentuk lengkung kapiler dimana darah kemudian mengalir. Tunas-tunas baru muncul dari lengkung kapiler membentuk pleksus kapiler. Proses ini terjadi dari kombinasi proliferasi dan migrasi. Mediator pertumbuhan sel endotelial dan kemotaksis termasuk sitokin yang dihasilan trombosit, makrofag dan limfosit pada luka. Tekanan oksigen yang rendah, terbentuknya asam laktat dan amin biogenik merupakan stimulan potensial terbentuknya sitokin dan growth factor seperti platelet-derived growth factor (PDGF), endotelial, vascular endothelial growth factor (VEGF), FGF. Beberapa sitokin yang dilepaskan oleh makrofag serta terlibat dalam proses penyembuhan yaitu: TNF α, IL 1, IL 6, IL 8 dan TGF β. Peran TGF β dalam proses penyembuhan luka adalah meningkatkan matriks ekstra seluler (ECM) dan meningkatkan kolagenasi (Novriansyah, 2008). Proses yang telah diuraikan sebelumnya merupakan proses pada fase proliferasi didalam luka, sementara itu pada permukaan luka juga akan terjadi restorasi integral epitel. Reepitelisasi terjadi beberapa jam setelah luka. Pada
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
tepi luka epidermis segera mendekati tepi luka dan menebal. Sel marginal basalis mulai mengalami migrasi sepanjang serat-serat fibrin dan berhenti ketika tepi luka sudah kontak. Pada tingkat seluler seluruh luka telah mengalami epitelisasi pada kurang dari 48 jam. Stimulator reepitelisasi sampai sat ini belum diketahui secara lengkap. Faktor-faktor yang diduga berperan adalah EGF, TGF β, bFGF, PDGF dan IGF. Proses epitelisasi terus berulang ketika permukaan epitel sudah menebal. Fibroblas akan muncul pada bagian dalam luka, selanjutnya diproduksi kolagen (Novriansyah, 2008). 3. Fase Maturasi Fase ini berlangsung dari hari ke 7 sampai dengan 1 tahun. Setelah matriks ekstraseluler terbentuk, dimulailah reorganisasi. Pada mulanya matriks ekstrasel kaya akan fibronektin. Hal ini tidak hanya menghasilkan migrasi sel subtratum dan pertumbuhan sel ke dalam tetapi juga menyebabkan penumpukan kolagen oleh fibroblast. Terbentuknya asam hialuronidase dan proteoglikan dengan berat molekul besar berperan dalam pembentukan matriks ekstraseluler dengan konsistensi seperti gel dan membantu infiltrasi seluler. Kolagen berkembang cepat menjadi faktor utama pembentuk matriks. Serabut kolagen pada permulaan terdistribusi acak membentuk persilangan dan beragregasi menjadi serabut fibril yang secara perlahan menyebabkan penyembuhan jaringan dan meningkatkan kekakuan dan kekuatan ketegangan luka. Sesudah 5 hari periode jeda, bersesuaian dengan pembentukan jaringan granulasi awal dengan matriks sebagian besar tersusun dari fibronektin dan asam hialuronidase, terjadi peningkatan cepat dari kekuatan tahanan luka karena fibrogenesis kolagen. Pencapaian kekuatan tegangan luka berjalan lambat. Sesudah 3 minggu kekuatan penyembuhan luka mencapai 20% dari kekuatan akhir (Novriansyah, 2008). Bagaimanapun, kekuatan akhir penyembuhan luka tetap kurang dibanding dengan kulit yang tidak pernah terluka, dengan kekuatan tahanan maksimal jaringan parut hanya 70% dari kulit utuh (Prabakti, 2005). Pengembalian kekuatan tegangan berjalan perlahan karena deposisi jaringan kolagen terus menerus, remodeling serabut kolagen membentuk serabut-serabut kolagen lebih besar dan perubahan dari cross linking inter
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
molekuler. Remodeling kolagen selama pembentukan jaringan parut tergantung
pada
proses
sintesis
dan
katabolisme
kolagen
yang
berkesinambungan. Degradasi kolagen pada luka dikendalikan oleh enzim kolagenase. Kecepatan tinggi sintesis kolagen mengembalikan luka ke jaringan normal dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun (Novriansyah, 2008). Remodeling aktif jaringan parut akan terus berlangsung sampai 1 tahun dan tetap berjalan dengan lambat seumur hidup (Prabakti, 2005). Pada proses remodeling terjadi reduksi secara perlahan pada vaskularisasi dan selularitas jaringan yang mengalami perbaikan sehingga terbentuk jaringan parut kolagen yang relatif avaskuler dan aseluler. Hal ini tampak pada berkurang nya eritema dan reduksi jaringan parut yang terbentuk. Gambaran tersebut merupakan gambaran normal dari penyembuhan (Prabakti, 2005).
2.4.4 Prinsip Penyembuhan Luka Prinsip penyembuhan luka mengikuti fase penyembuhan luka menurut Schwatz (2000) yaitu: a.
Koagulasi Terjadinya luka baik yang bersifat traumatic atau yang terbentuk pada
pembedahan menyebabkan perdarahan dari pembuluh darah yang rusak. Vasokonstriksi segera terjadi sebagai akibat dilepaskannya katekolamin kedalam lingkungan cedera. Bradikinin, serotonin dan histamine merupakan senyawa vaso aktif lain yang dilepas oleh sel mast ke jaringan sekitar. Senyawa-senyawa ini mengawali peristiwa diapedesis yaitu keluarnya sel-sel intravascular kedalam ruang ekstravaskular yang rusak. Suatu bekuan darah terbentuk dari trombosit yang dikeluarkan dari ekstravasasi darah yang dapat mempengaruhi peristiwa penyembuhan luka. b.
Inflamasi Fase inflamasi dimulai dengan migrasi leukosit kedalam luka. Leukosit
polimorfonuklear akan mendominasi luka dalam 24 jam pertama, diikuti oleh makrofag dalam jumlah yang banyak dan kemudian limfosit. Sel-sel radang ini mengatur perbaikan matriks jaringan ikat dengan melepaskan berbagai macam sitokin, yang sebelumnya dikenal sebagai ―faktor pertumbuhan‖.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
c.
Fibroplasia Fibroplasia adalah fase penyembuhan luka yang ditandai oleh sintesis
kolagen. Sintesis kolagen dimulai 24 jam pertama setelah cedera, namun tidak akan mencapai puncak hingga 5 hari kemudian. Setelah 7 hari sintesis kolagen akan berkurang secara perlahan-lahan. Remodeling luka mengacu pada keseimbangan antara sintesis kolagen dan degradasi kolagen. Pada saat seraburt kolagen tua diuraikan oleh kolagenase jaringan, serabut baru dibentuk dengan kepadatan pengerutan yang makin bertambah. Proses ini akan meningkatkan kekuatan potensial dari jaringan parut. d.
Sitokin Sitokin memungkinkan berjalannya seluruh interaksi antar sel. mereka juga
berperan penting dalam penatalaksanaan penyembuhan luka. Contohnya sitokin ikut mengatur peranan dan pengaturan fibrosis, penyembuhan luka kronik, cangkokan kulit, vaskularisasi, peningkatan kekuatan tendon dan tulang setelah perbaikan. e.
Metabolisme matriks ekstraseluler Matriks ekstraseluler merupakan suatu struktur yang kompleks, dimana
berbagai jenis sel dan komponen berinteraksi. Kolagen merupakan komponen utama dari matriks ekstraseluler, dari semua jaringan lunak, tendon, ligament dan matriks tulang. f.
Sintesis kolagen Sintesis kolagen dimulai dengan transkrip DNA menjadi mRNA. Translasi
mRNA berlangsung pada ribosom di reticulum endoplasma yang kasar. Kolagen berbeda dengan protein lain karena kolagen akan mengalami beberapa modifikasi jika telah mencapai lingkungan ekstraseluler. Disini terjadi pengerutan kolagen untuk membentuk fibril dan serabut kolagen. Lisil oksidase merupakan enzim yang diperlukan untuk pengerutan kolagen. Jadi pada sintesis kolagen terjadi sintesa protein tingkat tinggi, sehingga tubuh memerlukan asupan protein yang banyak dalam makanan yang dimakan. g.
Degradasi kolagen Degradasi kolagen atau penguraian kolagen diawali oleh enzim-enzim yang
sangat spesifik yang disebut kolagenase jaringan yang dihasilkan oleh berbagai
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
sel, termasuk sel radang, fibroblast dan sel epitel. Kolagenase masih dalam bentuk tidak aktif dan harus diaktifkan oleh protein seperti plasmin. Setelah kolagenase menjadi aktif, enzim dapat dihambat dengan menggabungkannya dengan protein plasma dan jaringan yaitu makroglobulin alfa-2. h.
Substansi Dasar Substansi dasar terdiri dari proteoglikan dan glikosaminoglikan. Kombinasi
kartilago dan proteoglikan berfungsi sebagai peredam syok molekuler. Keduanya juga berperan menjaga kelembapan dan mengeluarkan sitokin. Asam hialuronat memberikan linkungan yang cair untuk mempermudah gerakan sel yang cepat dan diferensiasi sel. Asam ini timbul dini dan bertahan untuk sementara waktu setelah cedera pada orang dewasa, namun bertahan lebih lama pada kulit dan luka di janin. i.
Kontraksi luka Kontraksi luka merupakan salah satu tenaga mekanis tubuh yang paling kuat.
Pada luka terbuka ditemukan sel-sel mirip fibroblast yang berkontraksi. Sel-sel ini memiliki komponen otot polos dalam sitoplasmanya serta memiliki sifat-sifat fibroblast lainnya. j.
Epitelisasi Sel epitel berfungsi untuk menutupi semua permukaan kulit yang terpapar
dengan lingkungan luar. Kulit merupakan suatu contoh dari proses epitelisasi tetapi mekanisme perbaikan epitel adalah sama diseluruh tubuh. Lapisan luar kulit yaitu epidermis terdiri dari epitel berlapis gepeng yang melindungi kulit dari kehilangan cairan, invasi bakteri dan trauma. Luka ketebalan partial akan sembuh melalui proses epitelisasi. Terdapat dua fenomena utama dalam proses epitelisasi yaitu: migrasi dan mitosis. Setelah epitel rusak akan terbentuk bekuan darah. Keropeng merupakan bekuan darah yang mengering yang melindungi dermis dibawahnya. Migrasi sel epitel mengawali proses perbaikan dan tidak bergantung pada mitosis epitel. Sel-sel yang bermigrasi berasal dari tepi luka dan polikel rambut serta kelenjar sebasea didasar luka. Setelah permukaan kulit ditutupi oleh sel-sel epitel, sel-sel ini akan kembali ke fenotipik yang normal. Epetelisasi yang berhasil, diperluas dengan mempertahankan permukaan kulit agar tetap lembab dan tidak kering. Keropeng
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
alami mungkin cukup baik untuk tujuan ini, bahan penutup yang tidak lengket sangat baik untuk mempertahankan permukaan kulit tetap lembab dan dapat meningkatkan proses epitelisasi secara bermakna. k.
Nutrisi Nutrisi yang tidak adekuat dapat mengganggu proses penyembuhan.
Misalnya penghambatan respon imun dan opsonisasi bakteri. Defisiensi asam askorbat merupakan penyebab gangguan penyembuhan luka yang paling sering. Asam askorbat merupakan suatu kofaktor dalam hidroksilasi prolin menjadi asam aminohidroksi prolin pada sintesis kolagen dalam penambahan molekul oksigen. Zat besi merupakan unsur yang penting untuk penyembuhan luka yang sesuai. Besi juga diperlukan untuk berlangsungnya hidroksilase residu prolin. Kalsium dan magnesium dibutuhkan untuk aktivasi kolagenase dan sintesis protein secara umum. Faktor esensial lain untuk penyembuhan luka adalah suplai oksigen yang adekuat. Kebanyakan penyembuhan luka yang kronik dapat diatasi secara efektif dengan meningkatkan oksigenisasi jaringan.
2.4.5
Tatalaksana Penyembuhan Luka Berdasarkan Burn Injury Guidelines For Care, tatalaksana penyembuhan
luka yaitu dengan: 1.
NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug) Proses penyembuhan luka pada anak-anak, orang dewasa dan orang tua,
akan mengalami proses yang berbeda dalam penyembuhannya. Pada anak dan orang dewasa proses penyembuhan luka lebih cepat dari pada orang tua. Karena pada orang tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati yang dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah. Obat golongan NSAID yang dapat digunakan untuk terapi management penyembuhan luka yaitu dengan Asetaminofen, Ibuprofen, naproxen, tramadol dan morphin. Karena mekanisme kerja dari obat NSAID yaitu dengan menghambat aktivitas enzim siklooksigenase (COX) yang merupakan suatu enzim yang bertanggung jawab atas biosintesis prostaglandin dan autokoid (Goodman & Gilman, 2002) . Prostaglandin merupakan suatu modulator dari reaksi radang, prostaglandin akan menghasilkan potensi yang kuat setelah terjadi kombinasi dengan mediator atau substansi lain
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
yang bebas secara lokal dan autokoid (histamin, serotonin dan leukotrin). Jika prostaglandin tidak dihambat maka akan terjadi proses peradangan yang menyebabkan terjadinya inflamasi pada jaringan (Masjoer, 2003). 2.
Pembalut Luka Pembalut luka bertujuan untuk mengabsorbsi eksudat dan melindungi luka
dari kontaminasi eksogen. Penggunaan balutan juga harus disesuaikan dengan karakteristik luka. Adapun jenis-jenis balutan luka antara lain: 1.
Balutan kering yaitu untuk luka dengan kulit kering yang masih utuh atau tepi kulit yang dipertautkan mempunyai permukaan yang kering sehingga balutan tidak akan melekat. Bahan yang dapat digunakan untuk balutan kering seperti kasa dengan jala-jala yang lebar untuk melindungi luka dan memungkinkan sirkulasi udara yang baik melalui balutan luka.
2.
Balutan basah kering yaitu balutan kasa yang terbuat dari tenunan dan serat non tenunan, rayon, poliester atau kombinasi lainnya
3.
Balutan modern merupakan hasil teknologi tinggi yang mampu mengontrol kelembapan disekitar luka. Bahan balutan luka ini disesuaikan dengan jenis luka dan eksudat yang menyertainya. Bahan yang digunakan untuk balutan luka modern seperti alginat, hidrogel, foam silikon lunak, hidrokoloid, hidrofiber
3.
Larutan Pembersih Tujuan pemberian larutan pembersih yaitu untuk mengeluarkan debris
organik maupun anorganik sebelum menggunakan pembalut luka untuk mempertahankan lingkungan yang optimum pada tempat luka untuk proses penyembuhan. Menurut pedoman AHCPR 1994, cairan pembersih yang diajurkan adalah sodium klorida (Sinaga, 2012). Sodium klorida atau natrium klorida tersusun atas Na dan Cl yang sama seperti plasma. Larutan ini tidak mempunyai sel darah merah. Sodium klorida tersedia dalam beberapa konsentrasi, yang paling sering adalah sodium klorida 0,90% merupakan konsentrasi normal dari sadium klorida disebut juga normal salin yang merupakan larutan isotonis yang aman untuk tubuh, tidak iritan, melindungi granulasi jaringan dari kondisi kering, menjaga
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
kelembapan disekitar luka, membantu luka menjalani proses penyembuhan serta mudah didapat dan harga relatif lebih murah (Sinaga, 2012). 4.
Agen Topikal Agen topikal terdiri dari antiseptik dan antibakteri. Antiseptik adalah
bahan kimia yang dioleskan pada kulit atau jaringan yang hidup untuk menghambat dan membunuh mikroorganisme dengan demikian akan mengurangi jumlah total bakteri yang ada pada luka. Pemakaian povidone iodine hanya digunakan pada luka-luka akut dan kronik, sedangkan untuk luka terbuka tidak disarankan untuk menggunakannya. Povidone iodine juga digunakan untuk mensterilkan alat dan permukaan kulit yang utuh yang akan dioperasi. Sehingga untuk mencegah kerusakan jaringan baru, WHO tidak menyarankan untuk menggunakan antiseptik pada luka bersih, tetapi menggunakan larutan normal salin sebagai agen pembersih (WHO, 2010).
2.5 Sediaan Gel Gel adalah sediaan semisolid yang terdiri dari dispersi molekul kecil atau molekul besar dalam fase cair dengan menggunakan gelling agent (agen pembentuk gel) (Ansel et al., 2011). Fase cair dari gel dapat dipertahankan dalam tiga dimensi matriks polimer. Obat diendapkan dalam matriks atau dilarutkan dalam fase cair (Marriott et al., 2010). Polimer-polimer yang biasa digunakan untuk membuat gel-gel farmasetik meliputi gom alam tragakan, pektin, alginat, gelatin, clays, PVA, serta bahan-bahan sintetis dan semisintetis seperti derivat selulosa carbopol (Marriott et al., 2010). Gel dapat digunakan dengan berbagai macam rute administrasi, seperti pemberian pada kulit, mata, hidung, vagina dan rektum (Ansel et al., 2011). Kelebihan dari sediaan gel yaitu penyimpanannya stabil dalam jangka waktu lama, memiliki penampilan yang baik, pembawa yang baik untuk diaplikasikan pada kulit dan selaput lendir, pelepasan obat yang tinggi serta absorpsi (penyerapan) yang cepat (Marriott et al., 2010). Metode pembuatan gel secara umum, diantaranya: a. Panaskan semua komponen gel (terkecuali dengan air), kurang lebih sekitar 900C
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
b. Panaskan air, kurang lebih sekitar 900C c. Tambahkan air ke minyak, aduk terus. Hindari pengadukan kuat karena hal ini akan menimbulkan gelembung (Marriott et al., 2010). Fungsi gel menurut Lachman et al. 1989 yaitu gel dapat digunakan untuk pemberian oral, sediaan obat long-acting yang diinjeksikan secara intramuskular, bahan pengikat pada granulasi tablet, bahan pelindung koloid pada suspensi, bahan pengental pada sediaan cairan per oral dan basis supositoria. Selain itu gel juga dapat digunakan untuk obat yang diberikan secara setengah padat (non steril) atau dimasukan ke dalam lubang tubuh atau mata (steril) dan telah digunakan dalam prosuk kosmetik.
2.5.1 Formula Sediaan Gel 2.5.1.1 Karbopol 940 Karbopol merupakan polimer sintetis dengan BM tinggi dari asam akrilat yang dicampur dengan alil sukrosa lain atau eter alil dari pentaeritriol. Karbopol mengandung antara 56%-68% asam karboksilat (COOH) terhitung dengan basis kering. Karbopol berwarna putih, halus, bersifat asam, higroskopis, sebuk dengan bau sedikit khas. Fungsi karbopol yaitu sebagai agen bioadhesif, agen pengemulsi, agen pelepasan termodifikasi, agen pensuspensi, pengikat tablet dan agen peningkat viskositas. Karbopol larut dalam air dan setelah dinetralisasi dapat larut dalam etanol 95% dan gliserin. Meskipun karbopol larut dalam air, tetapi tidak terdisolusi melainkan hanya mengembang (Rowe et al., 2006). Karbopol memiliki pH yang sangat asam yaitu 2,7-3,5 dalam 0,5% b/v disperse dalam air dan 2,5-3,0 dalam 1 b/v dalam air, oleh karena itu pada tahap pembuatannya sebagai basis gel, seringkali ditambahkan NaOH atau golongan amin untuk menyesuaikan pH sediaan hingga mendekati pH kulit. Titik leleh karbopol, terdekomposisi pada suhu 260 C selama 30 menit. Karbopol merupakan senyawa yang stabil, yang dapat dipanaskan dibawah suhu 104 C hingga 2 jam tanpa mempengaruhi efisiensinya. Bagaimanapun, paparan temperatur yang sangat tinggi dapat menyebabkan perubahan warna dan penurunan stabilitas. Bentuk serbuk kering dari karbopol tidak akan adanya pertumbuhan dari mikroba dan fungi. Sebaliknya mikroorganisme dapat tumbuh dengan baik dalam dispersi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
air tanpa adanya pengawet, pengawet antimikroba yang dapat ditambahkan seperti 0,1% b/v klorokresol, 0,18% b/v metil paraben – 0,02% b/v propil paraben atau 0,1% b/v timerosal (Rowe et al., 2006). Pada suhu ruang, dispersi karbopol dapat mempertahankan viskositasnya selama penyimpanan dalam periode berkepanjangan. Demikian pula, viskositas dispersi terjaga atau sedikit terjadi penurunan pada suhu penyimpanan yang tinggi jika terdapat antioksidan didalamnya atau jika dispersi tersebut disimpan terlidung oleh cahaya. Paparan cahaya menyebabkan oksidasi dan penurunan viskositas dispersi. Serbuk karbopol harus disimpan dalam ruang kedap udara, wadah tahan korosi, disimpan di tempat kering. Dan penggunaan kaca, plastik atau wadah resin berlapis dianjurkan untuk menyimpan formula dengan kandungan karbopol. Karbopol akan berubah warna apabila adanya resorsinol dan inkompatibel dengan fenol, polimer kationik, asam kuat dan elektrolit level tinggi (Rowe et al., 2006).
2.5.1.2 Propilen glikol Propilen glikol merupakan cairan kental, jernih, praktis tidak berbau dengan rasa sedikit manis pedas mirip gliserin. Larut dengan aseton, kloroform, etanol 95%, gliserin dan air. Larut pada 1 dari 6 bagian dari eter, tidak larut dengan minyak mineral ringan atau minyak tetap, tetapi akan memisah pada beberapa minyak esensial. Fungsi propilen glikol yaitu sebagai pengawet antimikroba, disinfektan, humektan, plasticizer, pelarut, stabilizer untuk vitamin, pelarut campur dengan air. Pada suhu dingin, propilen glikol stabil di wadah tertutup, tetapi pada suhu tinggi, di tempat terbuka, cenderung mudah teroksidasi, menghasilkan produk seperti propionaldehid, asam laktat, asam piruvat dan asam asetat. Propilen glikol stabil bila dicampur dengan etanol 95%, gliserin atau air. Larutan mengandung air dapat disterilkan dengan cara autoklaf. Propilen glikol inkompatibel dengan reagen oksidasi seperti kalium permanganat. Propilen glikol higroskopis dan harus disimpan dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya, di tempat sejuk dan kering (Rowe et al., 2006).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
2.5.1.3 Metil Paraben dan Propil Paraben Metil paraben dengan nama lain nipagin, merupakan serbuk hablur halus, putih, hampir tidak berbau, tidak mempunyai rasa, agak membakar diikuti rasa tebal. Larut dalam 500 bagian air, dalam 20 bagian air mendidih, dalam 3,5 bagian etanol 95% dan dalam 3 bagian aseton, larut dalam 60 bagian gliserol panas dan dalam 40 bagian minyak lemak nabati panas. Fungsi metil paraben sebagai pengawet antimikroba. Inkompatibilitas dengan zat lain seperti bentonit, magnesium trisilikat, talk, tragakan, sodium alginat, minyak esensial, sorbitol dan atropin. Larutan berair metilparaben pada pH 3-6 dapat disterilkan dengan cara autoklaf pada suhu 120 selama 20 menit, tanpa terjadinya dekomposisi. Larutan berair pada pH 3-6 stabil (kurang dari 10% dekomposisi) sampai sekitar 4 tahun pada suhu kamar, sedangkan larutan air pada pH 8 atau di atas tunduk pada hidrolisis yang cepat (10% atau lebih setelah sekitar 60 hari penyimpanan pada suhu kamar) (Rowe et al., 2006). Propil paraben dengan nama lain yaitu nipasol merupakan serbuk hablur putih, kristalin, tidak berbau, tidak berasa. Sangat sukar larut dalam air, larut dalam 3,5 bagian etanol 95%, dalam 140 bagian gliserol dan dalam 40 bagian minyak lemak, mudah larut dalam larutan alkali hidroksida. Propil paraben berubah warna dengan adanya besi dan dihidrolisis oleh alkali lemah dan asam kuat. Larutan propil paraben pada pH 3-6 dapat disterilkan dengan cara autoklaf, tanpa dekomposisi. Pada pH 3-6 larutan stabil (kurang dari 10% dekomposisi) sampai sekitar 4 tahun pada suhu kamar. Penyimpanan dalam wadah tertutup baik (Rowe et al., 2006).
2.5.1.4 Trietanolamin Trietanolamin biasa disingkat dengan TEA merupakan cairan kental, tidak berwarna hingga kuning pucat, bau lemah mirip amoniak, higroskopik. TEA mudah larut dalam air dan dalam etanol 95%, larut dalam kloroform. Trietanolamin akan bereaksi dengan tembaga untuk membentuk garam kompleks. TEA dapat berubah warna menjadi cokelat pada paparan udara dan cahaya. 85% TEA cenderung stratifikasi dibawah 15OC, dapat homogen dengan pemanasan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
kembali sebelum digunakan untuk pencampuran. Penyimpanan dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya (Rowe et al., 2006).
2.5.1.5 Natrium Metabisulfit Natrium metabisulfit memiliki rumus empiris Na2S2O5 dengan bobot molekul 190, 15. Natrium metabisulfit berupa kristal prisma tidak berwarna atau putih krem-putih, bubuk kristal yang memiliki bau sulfur dioksida dan asam, rasa seperti garam. Penggunaan natrium metabisulfit digunakan sebagai antioksidan tetapi dapat pula sebagai pengawet dalam beberapa sediaan farmasi. Natrium metabisulfit larut dalam etanol 95%, sangat larut dalam gliserin, larut dalam 1 bagian dalam 1,9 bagian air dan larut 1 bagian dalam 1,2 bagian air mendidih 100 C (Rowe et al., 2006). Pada paparan udara dan kelembaban, natrium metabisulfit perlahan teroksidasi menjadi natrium sulfat dengan disintegrasi kristal. penambahan asam kuat membebaskan sulfur dioksida. Di dalam air, natrium metabisulfit segera di konversi menjadi ion natrium dan ion bisulfit. cairan natrium metabisulfit juga terurai di udara, terutama dengan adanya pemanasan. Cairan yang akan di sterilkan dengan cara autoklaf harus masukkan kedalam wadah yang berisi gas inert seperti nitrogen. Penyimpanan natrium metabisulfit ditempatkan pada wadah tertutup, terlindung dari cahaya, ditempat sejuk dan kering (Rowe et al., 2006). Natrium metabisulfit bereaksi dengan simpatomimetik dan obat derivat alkohol lainnya. Obat-obat dapat terinaktivasi adalah epinefrin (adrenalin) dan turunannya. Selain itu, natrium metabisulfit inkompatibel dengan kloramfenikol karena reaksi yang lebih kompleks, juga menginaktivasi cisplatin dalam larutan. Natrium metabisulfit inkompatibel dengan fenilmerkuri asetat ketika di autoklaf dalam preparasi sediaan tetes mata. Natrium metabisulfit bereaksi dengan tutup karet botol dosis ganda (Rowe et al., 2006).
2.5.1.6 Alkohol 96% Alkohol 96% atau disebut juga etanol memiliki rumus empiris C2H6O dan bobot molekul 46,07. Alkohol adalah cairan bening, tidak berwarna, mudah menguap dengan cepat, bau yang khas dan rasa terbakar. Alkohol memliki fungsi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
sebagai pengawet antimikroba, disinfektan, penetrasi kulit dan pelarut. Penggunaannya sebagai pelarut dalam sediaan topikal sebanyak 60-90%, sedangkan sebagai pengawet penggunaannya ≥ 10%. Alkohol 96% memiliki titik didih 78,15 C. Larut dalam kloroform, eter, gliserin, dan air (dengan rise temperature dan kontraksi volume). Larutan alkohol dapat disterilisasi dengan cara autoklaf atau penyaringan dan harus disimpan dalam wadah kedap udara dan ditempat sejuk. Pada kondisi asam, larutan alkohol dapat bereaksi keras dengan bahan pengoksidasi. Campuran dengan alkali dapat menggelapkan warna karena reaksi dengan jumlah sisa aldehida. Garam organik atau akasia dapat diendapkan dari larutan berair atau dispersi. Garam organik atau akasia dapat diendapkan dari larutan berair atau dispersi. Larutan alkohol juga tidak sesuai dengan wadah aluminium dan dapat bereaksi dengan beberapa obat (Rowe et al., 2006).
2.6 Bioplacenton® Gel Bioplacenton merupakan sebuah obat topikal berbentuk gel yang dikemas dalam tube. Bioplacenton memiliki kandungan ekstrak plasenta sapi 10%, neomisin sulfat 0,5% dan jelly base, kombinasi ini merupakan bagian dari perawatan luka yang sangat efektif. Ekstrak plasenta sebagai ―biogenic stimulator‖ yang dapat menstimulasi terjadinya regenerasi sel dan untuk wound healing, sedangkan neomisin sulfat merupakan antibiotik topikal yang berpotensi untuk mencegah atau mengatasi infeksi bakteri gram negatif pada area luka. Indikasi bioplacenton yaitu untuk mengobati luka bakar, luka terbuka, ulkus kronis, luka yang lama sembuh dan terdapat granulasi, ulkus dekubistus, pencegahan & pengobatan dermatitis karena radiasi dan infeksi kulit lainnya. Kontra Indikasi pada pasien yang hipersensitif terhadap ekstrak plasenta sapi dan neomisin sulfat. Penggunaan dosis bioplacenton 4-6 kali sehari atau sesuai kebutuhan pada area luka. Efek samping penggunaan bioplacenton yaitu terjadinya reaksi hipersensitivitas (Kalbe farma, 2015).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian 1 dan 2, Laboratorium
Analisis Obat dan Pangan Halal, Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia serta Animal House Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2015 hingga Mei 2016.
3.2
Alat dan Bahan Penelitian
3.2.1
Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik
(AND GH-202 dan Wiggen Hauser), beaker glass, batang pengaduk, spatula, mortar dan stamfer, kapas, tissue, kaca objek dan penutupnya, corong, pipet tetes, gelas ukur, erlenmeyer, hot plate, kaca arloji, rotary evaporator, kulkas, lemari asam, termometer, alumunium foil, pot sediaan, timbangan hewan (Ohauss), kandang tikus beserta tempat makanan dan minum, spuit 1 cc, pinset, gunting bedah, alcohol swab, wadah pembius dan mikroskop cahaya (Olympus SZ61).
3.2.2 Bahan Penelitian Bahan uji yang digunakan adalah senyawa etil p-metoksisinamat yang diisolasi dari ekstrak kencur (Kaempferia galanga L.). Rimpang kencur diperoleh dari BALITRO, Bogor. Jawa Barat dan di determinasi di Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bahan kimia yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pakan tikus berupa pellet, akuadest, n-heksan, gel Bioplacenton®, cairan injeksi Ketamin 50 mg/ml, Veet®, larutan Hematoxylin-eosin, eter, disinfektan, karbopol 940, propilenglikol, metil paraben (nipagin), propil paraben (nipasol), natrium metabisulfit, trietanolamin, alkohol 96%, air suling.
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
3.2.3
Hewan Uji Hewan uji yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih
jantan galur Sprague Dawley yang sehat berumur 2,5-3 bulan dengan bobot badan 150-200 gram yang diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), Institut Pertanian Bogor.
3.3
Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan eksperimen murni dengan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan beberapa kondisi perlakuan. Perlakuan dikelompokkan menjadi 5 bagian dengan jumlah total tikus yang digunakan 30 ekor di mana 5 ekor tikus digunakan untuk pengamatan persentase penyembuhan luka dan 1 ekor dari masing-masing kelompok diambil untuk pengamatan histopatologis. Lima kelompok tersebut terdiri dari kelompok kontrol negatif yang diberikan basis gel, kontrol positif dengan diberikan sediaan gel Bioplacenton®, dan 3 kelompok perlakuan yang diberikan gel senyawa etil p-metoksisinamat dengan konsentrasi yang berbeda (Ameri et al., 2008). Tabel 3.1 Pembagian Kelompok Hewan Uji Berdasarkan Perlakuan Kelompok Kontrol Negatif Kontrol Positif
Uji Konsentrasi Rendah Uji Konsentrasi Sedang Uji Konsentrasi Tinggi
Jumlah tikus 6
6
6
6
6
Lama
Perlakuan
Parameter
perlakuan yang diamati
Kelompok 1, daerah dorsal sekitar 3 cm dari auricula tikus dilukai dan dioleskan Basis gel (2x1 hari) Kelompok 2, daerah dorsal sekitar 3 cm dari auricula tikus dilukai dan dioleskan dengan gel Bioplacenton® (2x1 hari) Kelompok 3, daerah dorsal sekitar 3 cm dari auricula tikus dilukai dan dioleskan gel senyawa EPMS 1% (2x1 hari) Kelompok 4, daerah dorsal sekitar 3 cm dari auricula tikus dilukai dan dioleskan gel senyawa EPMS 3% (2x1 hari) Kelompok 5, daerah dorsal sekitar 3 cm dari auricula tikus dilukai dan dioleskan gel senyawa EPMS 5% (2x1 hari)
14 hari
14 hari Parameter visual dan 14 hari
parameter histopatologi
14 hari
14 Hari
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
*
35
Keterangan: *
Parameter visual meliputi: perubahan warna, terbentuknya scab (keropeng), pembentukan kulit baru, persentase penyembuhan luka. Parameter histopatologi meliputi: pembentukan pembuluh darah baru (neokapilerisasi), pertumbuhan pada jaringan ikat (fibroblas) dan keberadaan sel radang (makrofag).
3.4
Kegiatan Penelitian
3.4.1
Isolasi Kristal Etil p-Metoksisinamat
3.4.1.1 Pemeriksaan Simplisia (Determinasi) Sebelum dilakukan penelitian, Kaempferia galanga L. terlebih dahulu dideterminasi di Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian BiologiLIPI Bogor untuk memastikan kebenaran simplisia.
3.4.1.2 Penyiapan Simplisia Rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) diperoleh dari BALITRO, Bogor-Jawa Barat. Selanjutnya dilakukan proses pencucian, sortasi basah, perajangan, sortasi kering dan penyerbukan rimpang kencur dilakukan di laboratorium FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pengeringan dilakukan dengan cara kering anginkan selama 11 hari. Serbuk simplisia disimpan dalam wadah kering, tertutup rapat dan terlindung dari cahaya.
3.4.1.3 Pembuatan Ekstrak Pada pembuatan ekstrak rimpang kencur digunakan metode ekstraksi cara dingin dengan maserasi dan menggunakan n-heksan sebagai pelarut yang sebelumnya telah didestilasi. Serbuk simplisia ditimbang kemudian dimaserasi dengan pelarut n-heksan hingga sampel terendam. Proses maserasi dilakukan selama 5 hari sambil sesekali dilakukan pengocokan. Setelah 5 hari disaring sehingga diperoleh ampas dan filtrat. Ampas di maserasi lagi sebanyak 4 kali hingga hasil maserasi menunjukkan warna hampir jernih. Filtrat yang diperoleh dipekatkan dengan menggunakan vacuum rotary evaporator pada suhu 48-500C sampai diperoleh ekstrak kental yang berwarna coklat kekuningan.
3.4.1.4 Isolasi Kristal Etil p-metoksisinamat Ekstrak kental rimpang kencur yang dihasilkan kemudian dimasukkan ke dalam kulkas untuk membantu mempercepat proses pengkristalan. Kristal yang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
terbentuk kemudian dipisahkan dari ekstrak kental dengan cara melarutkan ekstrak kental rimpang kencur yang mengkristal dengan pelarut n-heksan lalu dilakukan penyaringan. Larutan ekstrak hasil penyaringan kemudian dipekatkan kembali menggunakan vaccum rotary evaporator pada suhu 48-500C, lalu proses pemisahan kristal diulangi hingga ekstrak kental yang diperoleh tidak mengkristal lagi. Kristal yang tertinggal di atas kertas saring kemudian dicuci dengan menggunakan etil asetat. Kristal yang tidak ikut terlarut selama proses pencucian disaring untuk dipisahkan dengan kristal yang terlarut. Kristal yang terlarut dipekatkan kembali dengan vaccum rotary evaporator pada suhu 48-500C. Kemudian proses pencucian diulangi beberapa kali sampai didapatkan kristal murni (Mufidah, 2014 dengan modifikasi).
3.4.2 Identifikasi dan Uji Kemurnian Kristal Etil p-metoksisinamat 3.4.2.1 Pemeriksaan Organoleptis Pemeriksaan secara fisik menggunakan panca indera yang meliputi pemeriksaan warna, bau dan bentuk (Prabawati, 2015).
3.4.2.2 Pengujian Titik Leleh Senyawa etil p-metoksisinamat yang didapat kemudian diidentifikasi titik lelehnya dengan menggunakan alat apparatus melting point (Mufidah, 2014).
3.4.2.3 Pengujian Kristal Etil p-metoksisinamat dengan Kromatografi Gas Spektrometri Massa (GC-MS) Pengujian kristal hasil isolasi menggunakan kromatografi gas spektrometri masa bertujuan untuk mengidentifikasi senyawa etil p-metoksisinamat yang terkandung. Proses pengujian dilakukan secara kualitatif dengan cara kristal hasil isolasi dilarutkan dalam metanol pro chromatography hingga larut. Larutan tersebut kemudian diinjekkan ke dalam kromatografi gas spektrometri massa. Kolom yang digunakan adalah HP-5MS (30 m x 0,25 mm ID x 0,25 mikro m) (Prabawati, 2015 dengan modifikasi).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37
3.4.3
Pembuatan Sediaan Sediaan yang akan dibuat yaitu gel dengan formula yang mengandung etil
p-metoksisinamat. Penentuan dosis dilakukan dengan melakukan uji pendahuluan dengan memakai dosis dengan konsentrasi EPMS 1%, 3% dan 5%. Formulasi yang digunakan berdasarkan penelitian Prabawati, 2015 yaitu sediaan gel, karena daya penetrasi EPMS kedalam barrier kulit lebih cepat dan kadar EPMS yang didapat lebih besar nilainya dibanding sediaan krim dan salep. Formula basis gel yang digunakan (Prabawati, 2015): R/
Kristal EPMS Karbopol 940
1%
Propilen glikol
15%
Metil paraben
0,2 %
Propil paraben
0,1%
Natrium metabisulfit
0,2%
Trietanolamin
1%
Alkohol 96%
5%
Air suling
ad
100
Cara pembuatan: karbopol didispersikan dalam air suling dingin kemudian diaduk sampai homogen, setelah itu ditambahkan air suling panas secukupnya diaduk hingga homogen, kemudian didiamkan beberapa saat setelah itu ditambahkan terietanolamin dan diaduk perlahan hingga homogen dan membentuk gel. Tambahkan campuran air suling dengan propilen glikol, metil paraben dan propil paraben yang telah dididihkan sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga homogen. Lalu ditambahkan natrium metabisulfit yang telah dilarutkan dengan sisa air suling. Setelah itu senyawa EPMS yang sebelumnya telah di larutkan dengan alkohol 96% ditambahkan sedikit demi sedikit sambil digerus hingga homogen (Marriott et al., 2010). Proses pembuatan gel EPMS untuk konsentrasi 3% dan 5%, sama halnya dengan pembuatuan gel EPMS`1%, namun sebelum dilarutkan dengan alkohol 96%, kristal dihaluskan dengan cara mekanik, sampai didapatkan partikel yang lebih halus (Mose, 2014).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
3.4.4
Evaluasi Sediaan Gel
3.4.4.1 Uji Organoleptik Pemeriksaan organoleptik sediaan gel yang diamati secara visual meliputi bentuk, warna dan bau gel. Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui gel yang dibuat sesuai dengan warna dan bau senyawa yang digunakan.
3.4.4.2 Uji Homogenitas Pemeriksaan homogenitas dilakukan dengan cara 1 gram sediaan ditimbang dan kemudiaan dioleskan di atas kaca objek dan dikatupkan dengan kaca objek lain, selanjutnya homogenitas gel diamati. Gel harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya bintik-bintik.
3.4.5 Persiapan Hewan Uji Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih jantan galur Sprague Dawley berumur 2,5-3 bulan dengan berat badan 150-200 gram diadaptasi selama 1 minggu agar dapat menyesuaikan dengan lingkungan. Selama proses adaptasi, tikus diberikan makanan berupa pelet dan air ad libitum serta dilakukan pengamatan kondisi umum dan penimbangan bobot badan.
3.4.5.1 Pemeriksaan Komisi Etik Penelitian Dilakukan pengajuan komisi etik penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba. Agar penelitian yang akan dilakukan memenuhi etika penggunaan hewan uji.
3.4.6 Pembuatan Luka Pembuatan
luka
dilakukan
dengan
metode
Morton
yang
telah
dimodifikasi, yaitu dengan cara: pada hari ke-0, tikus dianestesi dengan menggunakan injeksi Ketamin 7 mg/KgBB secara i.m, kemudian diletakkan di atas papan bedah dengan posisi telungkup dan ke empat kaki diikat. Rambut disekitar punggung tikus di cukur dengan menggunakan krim perontok bulu (Veet®), kemudian dibersihkan dengan menggunakan alkohol swab. Kemudian dibuat luka yang berbentuk lingkaran berdiameter ±1 cm pada dorsal sekitar 3 cm UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
dari auricula tikus, dengan cara mengangkat kulit tikus dengan pinset kemudian digunting dengan gunting bedah hingga bagian dermis beserta jaringan yang terikat di bawahnya (Ameri et al., 2008 dengan modifikasi).
3.4.7 Pemberian Bahan Uji 30 ekor tikus putih jantan galur Sprague Dawley yang digunakan dalam penelitian dan diberikan 5 perlakuan berbeda. Masing-masing kelompok perlakuan terdiri dari 6 ekor tikus putih jantan yaitu kelompok kontrol negatif yang hanya diberikan basis gel tanpa kandungan senyawa EPMS, kelompok kontrol positif diberikan gel Bioplacenton®, kelompok perlakuan yang diberikan gel yang mengandung senyawa EPMS dengan 3 dosis yang berbeda (gel EPMS 1%, gel EPMS 3% dan gel EPMS 5%). Gel dioleskan sebanyak ±200 mg yang menutupi keseluruhan bagian luka di daerah punggung tikus dua kali sehari, yaitu pagi dan sore hari selama 14 hari setelah pembuatan luka sesuai dengan fase proliferasi selama penyembuhan luka.
3.4.8 Pengamatan Penyembuhan Luka Pengukuran diameter luka diukur dengan aplikasi ImageJ. Pengukuran dilakukan pada hewan uji dengan arah vertikal, horizontal dan kedua diagonal mulai hari ke-1 sampai hari ke-14. Perlakuan pengolesan sediaan gel dilakukan setiap hari (Kusmiati et al., 2006). Cara penilaian luka: Mengukur diameter rata-rata luka: D = Luas luka: L= ⁄ x π x D2 Persentase penyembuhan luka, dapat dihitung dari rumus luas luka: % penyembuhan luka = = =
x 100% ⁄ ⁄
-
⁄ ⁄
x 100%
x 100%
Dimana: D = diameter rata-rata UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
D0 = diameter luka setelah pembuatan luka D1 = diameter luka pada hari dilakukan pengamatan Bahan uji diberikan setelah pembuatan luka (hari ke-0) dan pengamatan pertama luka dilakukan 24 jam setelah pembuatan luka (hari ke-1). Pengamatan persentase penyembuhan luka dilakukan dari hari ke-1 hingga hari ke-14.
3.4.9 Eksisi Jaringan Kulit Tikus Pengambilan sampel jaringan kulit dilakukan pada hari ke-7 dari kelima kelompok diambil masing-masing 1 ekor tikus, pengambilan dilakukan setelah tikus dikorbankan dengan larutan eter secara inhalasi. Daerah dorsal yang akan diambil jaringan kulitnya dibersihkan dari rambut yang mulai tumbuh kembali, jaringan kulit digunting dengan ketebalan ±3 mm hingga lapisan subkutan dan sekitar ±2 cm dari tepi luka. Jaringan kulit yang diperoleh kemudian direndam dengan larutan formalin 10% dan disimpan di dalam pot sediaan.
3.4.10 Pembuatan Preparat Histopatologi Jaringan Kulit Tikus Pembuatan preparat histopatologi jaringan kulit dengan pewarna Hematoxyllin-Eosin, dilakukan di laboratorium patologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3.4.11 Pengamatan Preparat Histopatologi Pengamatan secara histopatologi dilakukan pada preparat jaringan kulit. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya (Olympus SZ61) pada perbesaran 400x dengan menggunakan metode scorring. Pengamatan ini meliputi parameter-parameter yang berperan dalam penyembuhan luka seperti pembentukan pembuluh darah baru (neokapilerisasi), pertumbuhan pada jaringan ikat (fibroblas) dan keberadaan sel radang (makrofag). Tabel 3.2 Penilaian Histopatologi Secara Mikroskopis Menurut Junianto dan Prasetyo (2006) dalam Mawarti dan Ghofar (2014) Parameter dan Deskripsi
Skor
1. Pembentukan pembuluh darah baru (neokapilerisasi)
Kapiler pada daerah luka menyebar dengan kepadatan
+
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
rendah ( 1- 20 kapiler/lapang pandang)
Kapiler pada daerah luka menyebar dengan kepadatan
++
sedang ( > 20-50 kapiler/lapang pandang)
Kapiler pada daerah luka menyebar dengan kepadatan
+++
rapat ( >50-75 kapiler/lapang pandang)
Kapiler pada daerah luka menyebar dengan kepadatan
++++
sangat rapat ( > 75 kapiler/lapang pandang) 2. Pertumbuhan pada jaringan ikat (fibroblas)
Kepadatan fibroblas pada daerah luka rendah
+
Kepadatan fibroblas pada daerah luka sedang
++
Kepadatan fibroblas pada daerah luka rapat
+++
Kepadatan fibroblas pada daerah luka sangat rapat
++++
3. Keberadaan sel radang (makrofag)
Sel radang menyebar dengan kepadatan rendah (1 s/d 50
+
sel/lapang pandang)
Sel radang menyebar dengan kepadatan sedang ( > 50 –
++
100 sel/lapang pandang)
Sel radang menyebar dengan kepadatan rapat ( > 1 - 100
+++
sel/lapang pandang)
Sel radang menyebar dengan kepadatan sangat ( >200
++++
sel/lapang pandang)
3.4.12 Rancangan Analisis Data Data hasil pengujian disajikan dalam bentuk mean ± standar deviasi (SD). Perbedaan dibandingkan antara kelompok uji dengan kelompok kontrol negatif dan kontrol positif dengan cara analisis statistik menggunakan one-way Analysis of Variance (ANOVA) atau uji non parametrik (Kruskal-Wallis) dan uji Paired Samples T Test. Hasil dianggap signifikan secara statistik ketika nilai P ≤ 0,05 (Gogoi et al., 2014).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Determinasi Tanaman Kencur (Kaempferia galanga L.) merupakan tanaman aromatik yang tergolong ke dalam famili Zingiberaceae (temu-temuan) yang dipakai dalam pengobatan tradisional. Kencur memiliki komponen yang terbesar yaitu senyawa etil p-metoksisinamat yang mempunyai aktivitas antiinflamasi (Umar, et al. 2012). Bagian yang digunakan dalam penelitian adalah rimpang kencur yang diperoleh dari BALITRO, Bogor. Determinasi tanaman dilakukan di Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor, menunjukkan bahwa tanaman yang digunakan adalah Kaempferia galanga L. Sertifikat hasil determinasi dapat dilihat pada lampiran 4.
4.2 Pembuatan Serbuk Simplisia
Gambar 4.1 Serbuk Simplisia Kencur (Kaempferia galanga L.) [Sumber: Kolesi Pribadi] Rimpang kencur yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 5,5 Kg, setelah melalui serangkaian proses pembuatan simplisia, diperoleh serbuk simplisia rimpang kencur sebanyak 797 gram. Serbuk simplisia yang dihasilkan berwarna kecoklatan (Gambar 4.1). Pembuatan serbuk simplisia bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel simplisia dan memperluas permukaan simplisia, sehingga simplisia akan lebih banyak kontak dengan pelarut ketika diekstraksi dan menghasilkan banyak kristal yang tersari ke dalam pelarut yang selanjutnya 42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
dimaserasi dengan menggunakan pelarut n-heksan hingga dilakukan proses isolasi.
4.3 Isolasi Etil p-metoksisinamat Isolasi senyawa etil p-metoksisinamat dilakukan dengan cara rekristralisasi (lampiran 2). Senyawa etil p-metoksisinamat mengkristal pada suhu ruang, sehingga tahap isolasi menjadi lebih mudah. Hampir 80% dari ekstrak kental yang didapat mengkristal dibiarkan dalam suhu ruang (Umar et al., 2012). Proses isolasi kristal etil p-metoksisinamat diperoleh dengan proses ekstraksi hingga proses isolasi. Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi. Maserasi dilakukan dengan cara merendam rimpang kencur dengan pelarut n-heksan selama 4-5 hari pada temperatur kamar. Maserasi dipilih karena baik untuk senyawasenyawa yang tidak tahan terhadap panas dan memiliki beberapa keuntungan yaitu: peralatan yang dibutuhkan sederhana dan proses pengerjaannya mudah (Tiwari et al., 2011). Penggunaan n-heksan sebagai pelarut berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Taufikurohmah, et al. (2008) menyatakan bahwa kepolaran senyawa etil p-metoksisinamat lebih mendekati heksan karena senyawa etil p-metoksisinamat memiliki 2 gugus yang bersifat non polar yaitu gugus ester dan lingkar benzen, sedangkan gugus yang bersifat polar hanya satu yaitu karbonil dalam gugus ester. Filtrat hasil maserasi yang didapat kemudian dipekatkan menggunakan vacuum rotary evaporator untuk menguapkan pelarut n-heksan dan untuk menghasilkan ekstrak. Ekstrak yang didapat kemudian dilakukan proses rekristalisasi senyawa yang dilakukan dengan dua tahapan yaitu proses pemisahan kristal dan pencucian kristal. Pemisahan kristal dilakukan dengan menambahkan pelarut n-heksan pada ekstrak kental yang masih berwarna coklat, kemudian disaring untuk memisahkan kristal etil p-metoksisinamat dari kandungan ekstrak lainnya. Selanjutnya dilakukan proses pencucian kristal etil p-metoksisinamat untuk memisahkan pengotor yang menempel pada kristal sehingga didapatkan kristal yang murni yang berwarna putih. Penggunaan pelarut n-heksan dan Etanol 96% pada tahap ini bertujuan untuk memisahkan senyawa semi polar yang sulit terpisah dari kristal etil p-metoksisinamat (Mufidah, 2015 dengan modifikasi). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
Kristal yang didapatkan sebanyak 32,37 gram dengan nilai rendemen kristal sebesar 4,06% (perhitungan rendemen kristal dapat dilihat di lampiran 8).
4.4 Identifikasi dan Uji Kemurnian Senyawa Etil p-metoksisinamat Identifikasi dan uji kemurnian kristal etil p-metoksisinamat dilakukan untuk membuktikan bahwa senyawa tersebut merupakan senyawa murni. Proses identifikasi meliputi: 4.4.1 Pengamatan Organoleptis Warna
: Putih
Bau
: Aromatik khas
Bentuk
: Kristal
4.4.2 Pengukuran Titik Leleh Pengukuran titik leleh dilakukan triplo dengan menggunakan alat apparatus melting point stuart SMP 10. Tabel 4.1 Hasil pengukuran titik leleh senyawa etil p-metoksisinamat Replikasi 1. 2. 3.
Jarak titik leleh (oC) 49-50 49-50 49-50
Parameter kemurnian suatu senyawa dapat dinilai jika rentang titik leleh awal hingga melebur sempurna tidak lebih dari 2oC (Riswanto et al., 2015). Rentang titik leleh senyawa yang didapatkan dari pengujian ini yaitu 49-50oC hanya lebih 1oC dengan titik leleh standar etil p-metoksisinamat yaitu 49oC (Umar et al., 2014). Senyawa yang memiliki titik leleh yang sempit adalah senyawa yang murni. Oleh karena itu kristal hasil isolasi dapat dikatakan murni senyawa etil pmetoksisinamat (Riswanto et al., 2015).
4.4.3 Pengukuran Senyawa Etil p-metoksisinamat dengan Kromatografi Gas Spektrometri Massa (GC-MS) Pengujian kristal hasil isolasi dengan metode kromatografi gas spektrometri massa (GC-MS) dilakukan untuk melihat identitas kristal dan kemurnian senyawa etil p-metoksisinamat. Penggunaan metanol pro chromatography sebagai pelarut UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
sampel pada pengujian ini dikarenakan etil p-metoksisinamat memiliki kelarutan tertinggi pada pelarut tersebut. Identitas senyawa etil p-metoksisinamat ditunjukkan oleh waktu retensi, bobot molekul dan fragmentasi massa. Hasil interpretasi GCMS menunjukkan bahwa senyawa isolat kencur muncul pada waktu 9,892 menit, berat molekul 206,1 dengan fragmentasi massa pada 161; 134; 117; 89; 63 dan 39. Sedangkan standar etil p-metoksisinamat muncul pada waktu 9,90 menit, berat molekul 206,4 serta memiliki fragmentasi massa pada 161; 134; 118; 103; 69; 63 dan 39 (Umar et al., 2012). Kedua hasil tersebut sesuai dengan Diani (2014) yang menyatakan bahwa senyawa etil p-metoksisinamat muncul pada waktu retensi 9,9 menit, bobot molekul 206,4 serta memiliki 4 puncak fragmentasi massa yang sesuai, yaitu 161, 134,63 dan 39, yang dapat dianalisis berdasarkan data base MS. Sedangkan 3 puncak yang lainnya (69, 103 dan 118) belum dapat dianalisis karena memiliki nilai kemiripan rendah dengan data base library MS, sehingga diperlukan beberapa identifikasi lanjutan seperti H-NMR dan C-NMR (Diani, 2014). Parameter kemurnian ditunjukkan dari hasil nilai puncak kristal etil p-metoksisinamat, yaitu pada puncak fragmentasi 161, yang menunjukkan bahwa pada puncak tersebut merupakan senyawa etil pmetoksisinamat (Umar et al., 2012). Berdasarkan hasil pengujian, menunjukkan bahwa kadar senyawa etil p-metoksisinamat adalah murni 100% (lampiran 12).
4.5 Evaluasi Sediaan Gel Senyawa etil p-metoksisinamat yang telah dilakukan uji kemurnian kemudian dibuat ke dalam suatu sediaan semi solid yaitu gel, agar dapat diaplikasikan pada luka. Hasil evalusi gel etil p-metoksisinamat dapat dilihat pada tabel 4.2. Tabel 4.2 Hasil Evaluasi Gel Etil p-metoksisinamat Karakteristik Warna Organoleptis Gel
Bentuk Bau
Homogenitas Gel
Gel EPMS 1% Putih transparan Setengah padat Aroma Khas EPMS Homogen
Hasil Gel EPMS 3%
Gel EPMS 5%
Putih
Putih
Setengah padat Aroma Khas EPMS Terdispersi Homogen
Setengah padat Aroma Khas EPMS Terdispersi Homogen
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
Sediaan gel dipilih karena berdasarkan penelitian Prabawati, 2015 yaitu sediaan gel memiliki daya penetrasi ke dalam barrier kulit yang lebih cepat dan kadar etil p-metoksisinamat yang didapat lebih besar nilainya dibanding sediaan krim dan salep. Kemudian sediaan gel mempunyai keuntungan lain yaitu penyimpanannya stabil dalam jangka waktu lama, memiliki penampilan yang baik, pembawa yang baik untuk diaplikasikan pada kulit dan selaput lendir, pelepasan obat yang tinggi serta absorpsi (penyerapan) yang cepat (Marriott et al., 2010). Pengujian organoleptik meliputi bentuk, warna dan bau. Gel yang dihasilkan memiliki bentuk setengah padat yang merupakan karakteristik dari sediaan gel itu sendiri. Warna putih yang dihasilkan dari warna kristal etil p-metoksisinamat serta merupakan warna dari masing-masing eksipien gel, sifat transparant yang dimiliki oleh gel itu sendiri didapat dari gelling agent yang digunakan (Karbopol 940) selain memberikan sifat transparant, karbopol 940 memberikan sifat mengembang pada sediaan gel. Pada beberapa konsentrasi gel, memiliki perubahan warna yang berwarna transparan menjadi warna putih. Semakin tinggi konsentrasi senyawa yang terkandung, maka warna yang dihasilkan akan semakin putih. Begitu pula halnya dengan aroma khas dari senyawa etil p-metoksisinamat dari gel dengan konsentrasi 1%, 3% dan 5%. Semakin tinggi konsentrasi senyawa, maka semakin tercium aroma khas senyawa etil p-metoksisinamat dalam sediaan gel. Pengujian homogenitas merupakan pengujian terhadap ketercampuran eksipien sediaan gel yang menunjukkan susunan yang homogen. Hasil dilakukan terhadap basis gel serta gel dengan konsentrasi 1%, 3% dan 5%. Hasil pengujian gel konsentrasi 1% menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya butiran halus, sedangkan pada pengujian gel konsentrasi 3% dan 5% menunjukkan bahwa sediaan gel terdispersi homogen, dispersi padatan dan stabil. Hal tersebut menurut Mose (2014) termasuk ke dalam sistem koloid dengan karakteristik seperti: sediaan tampak homogen, dispersi padatan serta umumnya stabil.
4.6 Komisi Etik Penelitian Penelitian ini telah lolos kaji etik oleh komite etik penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (Lampiran 6). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
47
4.7 Pengukuran Bobot Tikus Pengukuran bobot tikus, baik pada kelompok kontrol negatif (KN), kelompok kontrol positif (KP), uji konsentrasi rendah 1% (UKR), uji konsentrasi sedang 3% (UKS) dan uji konsentrasi tinggi 5% (UKT), dan dapat dilihat pada gambar 4.2 (lampiran 13).
Berat Badan Tikus (gram)
250 200 KN
150
KP 100
UKR UKS
50
UKT
0 Hari ke-1
Hari ke-8
Hari ke-15
Hari ke-22
Hari Pengamatan
Gambar 4.2 Grafik rerata bobot tikus tiap kelompok (gram)
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah 30 ekor tikus putih jantan galur sprague dawley berusia 10-12 minggu. Tikus yang digunakan merupakan tikus yang sehat dengan bobot sekitar 150-200 gram. Tikus betina tidak digunakan untuk menghindari pengaruh faktor hormonal (estrogen dan progesteron) dalam penyembuhan luka (Putri, 2013). Tikus dibagi menjadi 5 kelompok yaitu 3 kelompok uji yang diberikan perlakuan dengan konsentrasi senyawa yang berbeda (1%, 3% dan 5%), kelompok kontrol negatif yang diberikan basis gel dan kelompok kontrol positif yang diberikan gel Bioplacenton®. Hewan uji kemudian diaklimatisasi selama 1 minggu agar dapat menyesuaikan diri dalam kondisi lingkungan yang baru. Setiap kelompok tikus putih jantan ditempatkan pada kandang yang berbeda dengan kepadatan kandang masing-masing 2 ekor dengan kondisi kandang diberi penyekat diantara kedua ekor tikus tersebut. Selama aklimatisasi hingga pengujian dilakukan pengamatan kondisi umum serta penimbangan bobot tikus. Mayoritas dari hewan uji pada saat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
48
proses aklimatisasi mengalami peningkatan bobot, tetapi pada saat dilakukan pengujian, bobot tikus mengalami penurunan yang signifikan, dikarenakan faktorfaktor tertentu, seperti kondisi kesehatan, kondisi organ tubuh, imunitas dan beberapa faktor relatif lain. Menurut penelitian Sihombing dan Tuminah (2011) salah satu faktor kenaikan bobot tikus adalah pakan. Komposisi pakan harus tetap dikontrol dengan baik, bila terjadi penurunan salah satu kandungan protein atau lemak akan berdampak pada penampilan tikus seperti bulu relatif kasar, lebih agresif dan bobot tikus rendah serta pemeliharaan dan pengembangan hewan uji. Lingkungan berperan untuk kesehatan hewan, seperti sarana kandang harus terpenuhi dengan ventilasi, suhu dan kelembaban dapat diatur secara optimum. Ventilasi yang baik akan menurunkan kemungkinan penyebaran penyakit pada hewan uji. Dengan demikian kualitas hewan uji dapat terjaga, sedangkan kondisi lingkungan dan sanitasi tempat hewan uji masih kurang memenuhi persyaratan dikarenakan keterbatasan sarana dan tempat. Grafik bobot tikus dapat dilihat pada Gambar 4.2.
4.8 Pengamatan Visual Luka Terbuka Pengamatan luka dilakukan setiap hari untuk melihat perubahan fisik yang terjadi pada daerah perlukaan. Tikus uji dan tikus kontrol, diamati perubahanperubahan dalam proses penyembuhan luka secara visual dan pengamatan dimulai dari hari ke-0 hingga hari ke-14 pada setiap kelompok. Hasil pengamatan visual luka terbuka dapat dilihat pada Tabel 4.3.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
Tabel 4.3 Hasil pengamatan visual luka terbuka Kelompok Tikus
Keterangan
Warna Kontrol Terbentuk scab Negatif Terbentuk kulit baru Warna Kontrol Terbentuk scab Positif Terbentuk kulit baru Warna Konsentrasi Terbentuk scab rendah Terbentuk kulit (1%) baru Warna Konsentrasi Terbentuk scab sedang Terbentuk kulit (3%) baru Warna Konsentrasi Terbentuk scab tinggi Terbentuk kulit (5%) baru
0 M -
1 C -
2 C √
3 C √
4 C √
Pengamatan Fisiologis Hari Ke5 6 7 8 9 10 C C C C MM MM √ √ √ √ -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
√
M -
C -
C √
C √
C √
C √
C √
C √
MM -
-
-
-
-
-
-
-
-
M -
C -
C √
C √
C √
C √
C √
-
-
-
-
-
-
M -
C -
C √
C √
C √
-
-
-
-
M -
C -
C √
-
-
-
11 MM -
12 P -
13 P -
14 P
√
√
√
√
√
MM -
MM -
P -
P -
P -
P -
√
√
√
√
√
√
√
M √
MM -
MM -
MM -
P -
P -
P -
P -
-
-
√
√
√
√
√
√
√
C √
C √
C √
C √
M -
M -
M -
M -
M -
P -
-
-
-
-
-
√
√
√
√
√
√
C √
C √
C √
C √
C √
M √
M -
M -
M -
M -
M -
M -
-
-
-
-
-
-
√
√
√
√
√
√
-
Ket: Merah (M); Cokelat (C); Merah muda (MM); Putih (P); Ada ( √ ); Tidak ada ( - ) Catatan: terbentuknya scab menunjukkan fase proliferasi tahap awal
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
50
Pengamatan secara visual yang diamati meliputi keadaan perubahan warna luka, terbentuknya scab (keropeng) serta terbentuknya kulit baru. Terbentuknya scab (keropeng) pada kelompok kontrol negatif dan kontrol positif adalah ratarata dimulai dari hari ke-2, terbentuknya kulit baru pada kelompok kontrol negatif terjadi rata-rata pada hari ke-9, sedangkan untuk kelompok kontrol positif terjadi rata-rata pada hari ke-8. Pada kelompok uji konsentrasi 1%, 3% dan 5% terbentuknya scab (keropeng) dimulai hari ke-2, kelompok uji konsentrasi 1%, terbentuknya kulit baru terjadi rata-rata pada hari ke-8 sedangkan untuk kelompok uji konsentrasi 3% dan 5% terbentuknya kulit baru terjadi rata-rata pada hari ke-9. Menurut penelitian Mawarsari (2015) Perubahan warna pada kelompok kontrol negatif, positif serta pada kelompok uji konsentrasi 1%, 3% dan 5% terjadi seiring dengan mulai mengeringnya luka dan proses penyembuhan luka. Pembentukan keropeng menunjukkan proses penyembuhan luka memasuki fase proliferasi tahap awal (Agustina, 2011). Pengamatan secara visual menunjukkan bahwa kondisi luka yang awalnya dalam kondisi lembab, terlihat segera mengering setelah terbentuknya keropeng. Keropeng yang terbentuk di atas permukaan membentuk homeostasis dan mencegah kontaminasi luka oleh mikroorganisme. Kecepatan terbentuknya keropeng menunjukkan kecepatan penyembuhan luka (Aponno et al., 2014).
Pada fase ini ditandai dengan
pembentukan jaringan granulasi pada luka (fibroblas dan sel inflamasi) fase ini terjadi pada hari ke 3-14 (Prabakti, 2005). Hasil tersebut, menunjukkan bahwa kecepatan penyembuhan luka pada kelompok uji konsentrasi 1% hampir sama dengan kelompok kontrol positif yaitu dalam rentang terbentuknya keropeng hingga terbentuknya kulit baru antara hari ke-2 hingga hari ke-8. Sedangkan penyembuhan luka pada kelompok uji konsentrasi 3% dan 5% hampir sama dengan kelompok kontrol negatif yang hanya diberikan basis gel dalam rentang hari ke-2 hingga hari ke-9. Pengaplikasian sediaan dengan konsentrasi tinggi pada permukaan luas luka yang kecil akan menyebabkan terjadinya penumpukan sediaan pada lapisan atas membran, karena terjadinya perubahan struktur membran sebagai akibat dari konsentrasi yang tinggi, terjadi perubahan koefisien partisi antara pembawa dan sawar kulit. Sehingga zat aktif tidak sepenuhnya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
51
terlepas dari sediaan dan hanya tertinggal di permukaan kulit (Simanjuntak, 2006). Pada kelompok uji konsentrasi 1% mengalami proses penyembuhan yang hampir sama dengan kelompok kontrol positif. Hal ini dibuktikan pada waktu mulai terbentuknya scab (keropeng) dan waktu terbentuknya kulit baru. Perubahan warna luka terjadi seiring dengan mulai mengeringnya luka. Proses lepasnya keropeng bersamaan dengan proses keringnya luka. Hal ini menandakan sudah terjadinya pertumbuhan sel-sel baru pada kulit sehingga membantu mempercepat lepasnya keropeng dan merapatnya tepi luka sehingga terbentuknya kulit baru (Aponno et al., 2014).
4.9 Pegukuran Persentase Penyembuhan Luka Pada pengukuran persentase penyembuhan luka, masing-masing tikus dibuat perlukaan pada bagian dorsal 3 cm dari auricula tikus dengan cara tikus dianestesi dengan diberikan injeksi intramuskular ketamin-hameln 50 mg/ml dengan dosis 7 mg/KgBB dengan tujuan untuk memudahkan dalam penanganan serta mengurangi rasa sakit yang akan ditimbulkan selama dan setelah perlukaan, kemudian rambut rambut tikus dicukur dengan tujuan memudahkan pengamatan luka dari hari ke hari pada saat dilakukannya pengujian. Pembuatan luka pada masing-masing kelompok dilakukan dengan metode Morton (Ameri et al., 2008) dengan dibuat diameter sebesar ±1 cm kemudian bagian kulit tersebut diangkat menggunakan pinset dan dibedah dengan menggunakan gunting bedah. Luka yang dihasilkan berbentuk lingkaran. Pengukuran persentase penyembuhan luka diamati pada kelompok kontrol dan kelompok uji dalam interval waktu 3 hari selama 14 hari, karena untuk melihat adanya perubahan luka pada tikus sehingga terjadi penyembuhan luka pada tikus. Pengukuran persentase penyembuhan luka dapat dilihat pada gambar 4.3 (lampiran 14).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
52
120
Persentase Penyembuhan Luka (%)
100 80 KN 60
KP UKR (1%)
40
UKS (3%) UKT (5%)
20 0 HARI KE-3
HARI KE-6
HARI KE-9
HARI KE-12 HARI KE-14
Hari Pengamatan
Gambar 4.3 Grafik Rerata Persentase Penyembuhan Luka tiap Kelompok (%) Ket: kontrol negatif (KN); kontrol positif (KP); uji konsentrasi rendah (UKR); uji konsentrasi sedang (UKS); uji konsentrasi tinggi (UKT)
Data hasil rerata persentase penyembuhan luka kemudian diuji secara statistik menggunakan uji One-way ANOVA (SPSS 16.0). Uji normalitas dengan One Sample Kolmogorov-Smirnov dan uji homogenitas levene’s menunjukkan bahwa data tidak terdistribusi normal dan homogen (p ≤ 0,05) sehingga analisis dilanjutkan dengan statistik non parametrik, yaitu uji Kruskal-Wallis dan hasil menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan secara bermakna antara kelompok tikus kontrol negatif, kontrol positif dan tikus uji (p ≥ 0,05) (Lampiran 15). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian gel etil p-metoksisinamat dengan berbagai konsentrasi dan basis gel mempengaruhi persentase penyembuhan luka. Dalam formula gel etil p-metoksisinamat digunakan alkohol dengan konsentrasi 96% yang seharusnya memiliki efektivitas antiseptik yang rendah, karena menurut Desiyanto dan Djannah (2013), kandungan alkohol 60-80% merupakan konsentrasi terbaik alkohol sebagai antiseptik. Konsentrasi alkohol diluar range optimal tersebut, diprediksi akan mengurangi kemampuan mendenaturasi protein bakteri. Pada penelitian ini, menggunakan gel Bioplacenton® sebagai kelompok kontrol positif. Pemilihan ini didasarkan pada indikasi gel Bioplacenton® yang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
53
didalamnya terkandung ekstrak plasenta yang berperan dalam menstimulasi proses regenerasi sel sedangkan neomisin sulfat berperan sebagai bakterisidal (Dewi, 2010). Dalam hal ini aktivitas gel Bioplacenton ® dapat berperan dalam menstimulasi proses regenerasi sel seperti merangsang re-epitelisasi dan pembentukan jaringan ikat fibrokolagen serta mencegah timbulnya infeksi pada luka yang dapat menghambat proses penyembuhan luka (Dewi, 2010). Berdasarkan
hasil
persentase
penyembuhan
dikuantifikasi menggunakan program ImageJ,
luka,
data
yang
telah
kemudian data dibuat dalam
bentuk persen (%) dan SD untuk mengetahui persentase peningkatan kesembuhan luka pada hewan uji (lampiran 14). Berdasarkan hasil kuantifikasi persentase penyembuhan luka tikus dapat dikatakan bahwa gel etil p-metoksisinamat konsentrasi 1% memiliki aktivitas penyembuhan luka lebih cepat yakni luka menutup pada hari ke-9 dengan rerata persentase kesembuhan luka 95,25% bila dibandingkan dengan gel etil p-metoksisinamat konsentrasi 3% dan 5% maupun kontrol negatif dan positif.
4.10 Pengamatan Preparat Histopatologi Pengamatan
preparat
histopatologi
dilakukan
pada
saat
pengujian
berlangsung, setiap tikus diberikan gel etil p-metoksisinamat pada luka sebanyak ±200 mg menutupi keseluruhan bagian luka dua kali sehari, yaitu di pagi dan sore hari selama 14 hari setelah pembuatan luka pada tikus. Pada hari ke-7, masingmasing 1 ekor tikus dari tiap kelompok, dibunuh dengan cara dibius dengan eter secara inhalasi dengan dosis berlebih, kemudian jaringan kulit tikus diambil untuk pembuatan preparat histopatologi. Pengamatan preparat jaringan kulit tikus dilakukan menggunakan mikroskop cahaya (Olympus SZ61) secara deskriptif pada perbesaran 10x hingga 40x untuk menilai parameter histopatologi (pembentukan pembuluh darah baru [neokapilerisasi], pertumbuhan pada jaringan ikat [fibroblas] dan keberadaan sel radang [makrofag]) yang berperan dalam penyembuhan luka. Gambar histopatologi kulit tikus bagian luka dapat dilihat pada tabel berikut:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
54
Tabel 4.4 Hasil Pengamatan Preparat Histopatologi Hari Ke-7 Kelompok
10x
Perbesaran 20x
40x
KN
KP
UKR
UKS
UKT
Gambar 4.4 Hasil Pengamatan Preparat Histopatologi Hari Ke-7 Ket: Pembuluh darah; Makrofag; Fibroblas kontrol negatif (KN); kontrol positif (KP); uji konsentrasi rendah (UKR); uji konsentrasi sedang (UKS); uji konsentrasi tinggi (UKT)
Hasil penilaian parameter pada pengamatan preparat histopatologi pada hari ke-7 yang dilakukan menggunakan mikroskop cahaya (Olympus SZ61) dapat dilihat pada tabel 4.5. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
55
Tabel 4.5 Hasil penilaian parameter pada preparat hari ke-7 Kelompok tikus Kontrol negatif Kontrol positif UKR (gel EPMS 1%) UKS (gel EPMS 3%) UKT (gel EPMS 5%)
Neokapilerisasi
Fibroblas
+ +++ ++ ++ ++
+ ++ +++ +++ ++
Keberadaan sel radang (makrofag) ++ + + + +
Ket: (+) terdapat sedikit makrofag, fibroblas dan neokapilerisasi (<20) (++) terdapat banyak makrofag, fibroblas dan neokapilerisasi (>50) (+++) terdapat lebih banyak makrofag, fibroblas dan neokapilerisasi (>1-100) (-) tidak terdapat makrofag, fibroblas dan neokapilerisasi
Pembuatan preparat pada hari ke-7 dikarenakan proses re-epitelisasi yang biasanya menutup luka sudah memasuki tahap akhir. Secara mikroskopis, pengamatan yang dilakukan pada hari ke-7 teramati pada kelompok uji dan kelompok kontrol positif terbentuknya neokapilerisasi dan jaringan ikat (fibroblas) dengan nilai >50 pembuluh darah/lapang pandang dibanding dengan kelompok kontrol negatif yang jumlah pembuluh darah dan jaringan ikat yang terbentuk lebih sedikit. Neokapilerisasi menunjukkan bahwa terdapat banyak pembuluh darah baru yang akan berkembang menjadi percabangan baru pada jaringan luka. Pembuluh darah memiliki peranan penting dalam perbaikan jaringan untuk memberikan asupan nutrisi bagi jaringan yang sedang beregenerasi (Prasetyo et al., 2010). Terbentuknya jaringan ikat (fibroblas) merupakan sel pada jaringan ikat yang berpengaruh dalam proses penyembuhan luka. Fibroblas merupakan sel pada jaringan ikat yang berpengaruh dalam proses penyembuhan. Fibroblas mempunyai kemampuan kontraktil yang disebut miofibroblas, yang mengakibatkan tepi luka akan tertarik dan mendekat, sehingga kedua tepi luka akan melekat. Dengan berlangsungnya proses penyembuhan, fibroblas pun semakin bertambah (Napanggala et al., 2014). Terbentuknya makrofag pada kelompok uji dan kelompok kontrol menunjukkan jumlah yang berbeda, pada kelompok uji jumlah makrofag yang terbentuk lebih sedikit dari jumlah makrofag pada kelompok kontrol negatif (<20 makrofag/lapang pandang). Makrofag atau sel radang merupakan sel jaringan pertahanan seluler kedua setelah sel neutrofil/polimorfo nuclear cell (PMN) yang menunjukkan adanya fagositosis dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
56
bakteri dan sel-sel rusak yang mampu memfagosit 100 bakteri hingga pada akhirnya lisis (Prasetyo et al., 2010). Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok uji, dengan terbentuknya neokapilerisasi dan fibroblas serta berkurangnya jumlah makrofag menunjukkan bahwa penyembuhan luka telah memasuki fase proliferasi. Pada penelitian ini, aktivitas senyawa etil p-metoksisinamat dalam proses penyembuhan luka terbuka, menunjukkan hasil yang signifikan dalam penurunan luas luka serta persentase penyembuhan luka. Senyawa etil p-metoksisinamat mempengaruhi penyembuhan luka pada fase inflamasi dan fase proliferasi. Pengaruh pada fase inflamasi terjadi pada hari ke-0 sampai hari ke-5 yang menunjukkan jumlah makrofag mendominasi. Makrofag mempunyai kemampuan menfagosit 100 bakteri hingga pada akhirnya lisis. Dengan demikian, jumlah sel makrofag yang terdapat pada kelompok uji konsentrasi 1%, 3%, 5% dan kontrol positif dengan jumlah yang lebih rendah, menunjukkan bahwa fase inflamasi terjadi lebih cepat dibanding dengan kelompok kontrol negatif. Diketahui bahwa pengaruh pemberian gel etil p-metoksisinamat mempunyai kemampuan untuk mempercepat fase inflamasi dengan memicu makrofag untuk memfagosit bakteri di sekitar luka. Pengaruh pemberian gel etil p-metoksisinamat pada fase proliferasi ditunjukkan pada pengamatan visual luka, di mana waktu terbentuknya scab (keropeng) pada ketiga kelompok uji rata-rata pada hari ke-2 menunjukkan luka telah memasuki fase proliferasi yang sama dengan kelompok kontrol negatif. Namun, setelah diamati secara mikroskopik kelompok kontrol negatif tidak menunjukkan percepatan pada fase inflamasi, karena pada hari ke-7, terdapat banyak makrofag yang menandakan bahwa fase inflamasi masih berlangsung. Berdasarkan penelitian Umar et al., (2012) senyawa etil p-metoksisinamat memiliki kemampuan antiinflamasi yang sangat baik secara in vitro. Selain memiliki kemampuan sebagai antiinflamasi, senyawa etil p-metoksisinamat juga memiliki efek analgesik yang mampu mengurangi rasa sakit serta memiliki efek angiogenesis (proses pembentukan pembuluh darah baru) yaitu suatu proses penyembuhan dari inflamasi yang sudah kronis dan menjadi prekursor potensial untuk pengembangan agen terapi yang potensial untuk mengobati penyakit yang melibatkan peradangan dan angiogenesis (Umar et al., 2014). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
57
Dalam penelitian Tara et al (2006) dijelaskan bahwa ekstrak alkohol Kaempferia galanga L. memiliki aktivitas penyembuhan luka bakar yaitu terbentuknya jaringan granulasi pada luka (fase proliferasi) dan memiliki peningkatan yang lebih besar antara kelompok uji dengan kelompok kontrol, mengacu pada penelitian tersebut diketahui ekstrak Kaempferia galanga L. memiliki komponen senyawa etil p-metoksisinamat yang berpotensi sebagai penyembuh luka, baik luka terbuka maupun luka bakar.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian uji aktivitas etil p-metoksisinamat terhadap penyembuhan luka terbuka pada tikus putih (rattus norvegicus) jantan galur spague dawley diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Secara visual, gel etil p-metoksisinamat pada konsentrasi 1%, 3% dan 5% menunjukkan perbedaan pada perubahan warna, pembentukan scab (keropeng) dan terbentuknya kulit baru dengan kelompok kontrol negatif dan positif. 2. Gel etil p-metoksisinamat diamati secara histopatologi dapat mempercepat neokapilerisasi dan terbentuknya fibroblas 3. Gel etil p-metoksisinamat diamati secara histopatologi pada hari ke-7 terdapat
sedikitnya
jumlah
makrofag
yang
menandakan
bahwa
penyembuhan luka telah memasuki fase proliferasi pada kelompok uji dan kontrol positif dibandingkan dengan kontrol negatif 4. Secara statistik, gel etil p-metoksisinamat pada konsentrasi 1%, 3% dan 5% tidak menunjukkan persentase penyembuhan luka yang berbeda bermakna (p ≥ 0,05) dengan kelompok kontrol negatif dan positif
5.2 Saran Adapun saran untuk penelitian lebih lanjut: 1. Perlu dilakukan pengamatan histopatologi lebih lanjut pada beberapa interval waktu yang mewakili periode fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodelling. 2. Perlu adanya kelompok kontrol negatif yang tidak menerima perlakuan apapun, untuk meminimalisir data bias 3. Kondisi lingkungan selama perlakuan harus dijaga tetap steril untuk menghindari terjadinya kontaminasi bakteri selama proses penyembuhan luka.
58
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
59
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, Dian Reni. 2011. Pengaruh Pemberian secara Topikal Kombinasi Rebusan Daun Sirih Merah (Piper ef fragile, Benth.) dan Rebusan Herba Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) Terhadap Penyembuhan Luka Tikus Putih Jantan yang Dibuat Diabetes. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia Ameri; Rajive BB; Vaidy JG; Apte K; Deokule SS. 2008. Anti-staphylococcal and wound healing activities of Ganoderma praelongum and Glycyrrhiza glabra formulation in mice. International Journal of Applied Research in Natural Product. Vol. 6(1), pp. 27-31. Ansel, Howard C; Nicholas GP; Loyd V. Allen. 2011. Ansel’s Pharmaceutical Dosage Forms and Drug Delivery Systems Ninth Edition. ISBN 978-07817-7934-0. Astuti, Yuni; Dian Sundari; M. Wien Winarno. 1996. Tanaman Kencur (Kaempferia galanga L.) Informasi Tentang Fitokimia dan Efek Farmakologi. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. Atik, Nur; Iwan A.R, Juniarsih. 2009. Perbedaan Efek Pemberian Topikal Gel Lidah Buaya (Aloe vera L.) Dengan Solusio Povidone Iodine Terhadap Penyembuhan Luka Sayat Pada Kulit Mencit (Mus musculus). Jurnal Fakultas kedokteran Universitas Padjajaran. Vol 41, No. 2 Babu VL, Ashoka; Goravanakolla A; Murali A; Madhavan V; Yoganarasimhan S N. 2012. Wound Healing Activity of the leaves of Wattakaka volubilis (L.f.) Stapf (Asclepiadaceae). International Journal of Applied Research in Natural Products Vol. 5 (3), 23-29. Bakkara, Christopher James. 2012. Pengaruh Perawatan Luka Bersih Menggunakan Sodium Clorida 0,9% dan Povidine Iodine 10% Terhadap Penyembuhan Luka Post Appendiktomi di RSU Kota Tanjung Pinang Kepulauan Riau. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara Burn Injury Guidelines For Care. https://www.nasemso.org/Projects/DomesticPreparedness/documents/Burn -Injury-Guidelines-for-Care.pdf (Diakses 28 januari 2016) Diani, Ni Made. 2014. Identifikasi dan Uji Aktivitas Antikanker Isolat Toksik dari Ekstrak Metanol Isolat Genus Haliclona Grant, 1836 Terhadap Sel Hela. Tesis. Denpasar: Universitas Udayana D Kusumarasamyraja, N S Jeganathan dan R Manavalan. 2012. A Review on Medicinal Plants with Potential Wound Healing Activity. International Journal of Pharma Science. Vol.2, No.4 (2012): 105-111. Departemen Kesehatan Republik indonesia. 1995. Farmakope Edisi IV. Jakarta Desiyanto, Fajar Ardi dan Djannah, Sitti Nur. 2013. Efektivitas Mencuci Tangan Menggunakan Cairan Pembersih Tangan Antiseptik (Hand Sanitizer) terhadap Jumlah Angka Kuman. ISSN: 1978-0575. Vol. 7: 55-112. Dewi, S.P. 2010. Perbedaan Efek Pemberian Lendir Bekicot (Archatina fulica) dan Gel Bioplacenton Terhadap Penyembuhan Luka Bersih Pada Tikus Putih. Skripsi. Surakarta: UNS Esfahani, S Ashkani; MH Imanieh; M Khoshneviszadeh; A Meshksar; A Noorafshan, B Geramizadeh; S Ebrahimi; F Handjani; N Tanideh. 2011. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
60
The Healing Effect of Arnebia Euchroma in Second Degree Burn Wounds in Rat as an Animal Model. Iran Red Crescent Med J 2012; 14(2):70-74 Fauziah Ermawati, Elly. 2010. Efek Antipiretik Ekstrak Daun Pare (Momordica charantia L.) Pada Tikus Putih Jantan. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Ferdinandez, Mariana Kresty; I Ketut Anom Dada dan I made Damriyasa. 2013. Bioaktivitas Ekstrak Daun Tapak Dara (Catharantus roseus) Terhadap Kecepatan Angiogenesis dalam Proses Penyembuhan Luka pada Tikus Wistar. Indonesia Medicus Veterinus. 2 (2), 180-190. Gogoi, Jyotchna; Khonamai Sewa Nakhuru; Pronobesh Chattopadhayay; Ashok Kumar Rai; dan Vijay Veer. 2014. Hypertrophic Scar Formation on Application of Terpenoid Fraction of Tuberous Root of Mirabilis jalapa L. on Excision Wound Model in Wistar Albin Rats. International Scholarly Research Notices: Hindawi Publishing Corporation. Goodman & Gilman. 2003. Dasar Farmakologi Terapi Edisi 10. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran, 666 Gunstream, Stanley E. 2000. Anatomy & Physiology With Integrated Study Guide 2nd edition. United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc. Hasanah, Aliya Nur; Fikri Nazaruddin; Ellin Febrina; dan Ade Zuhrotun. 2011. Analisis Kandungan Minyak Atsiri dan Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) Jurnal Matematika & Sains. Vol. 16 No. 3 Kalbe farma. 2015. Branded product. http://www.kalbemed.com/Products/Drugs/Branded/tabid/245/ID/5699/Bi oplacenton.aspx (Diakses pada tanggal 22 juni 2016) Kozier, B. gtal. 1995. Fundamental of Nursing, Concops, Process and Practice 4th Edition. Addison Wesle. Publishing Company Inc. Hal 1359-1367 Kumar, B; M. Vijayakumar; R. Govindarajan; P. Pushpangadan. 2007. Ethnopharmacological Approaches to Wound Healing—Exploring Medicinal Plants of India. Journal of Ethnopharmacology. 114. 103–113 Kusmiati; Fitria Rachmawati; Syafrida Siregar; Sukma Nuswantara dan Amarila Malik. 2006. Produksi Beta-1,3 Glukan Dari Agrobacterium dan Aktivitas Penyembuhan Luka Terbuka Pada Tikus Putih. Makara, SAINS Vol. 10: 24-29 Krinke, Goerge J. 2000. The laboratory Rat. San Diego, California: Academic Press. 4 Marriott, JF; Keith A Wilson; Christopher A Langley dan Dawn Belcher. 2010. Pharmaceutical Compounding and Dispensing, Second Edition. London: Pharmaceutical Press. Mawarti, Herin dan Ghofar, Abdul. 2014. Aktivitas Antioksidan Flavonoid terhadap Perubahan Histologi Proses Penyembuhan Luka Bakar Grade II. Jurnal Edu Health, Vol. 4 No. 1 Mose, Yumike. 2014. Penerapan Model Pembelajaran Predict-Observe-Explain (POE) Pada Materi Koloid Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis dan Keterampilan Proses Sains Siswa. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Mufidah, Syarifatul. 2014. Modifikasi Struktur Senyawa Etil p-metoksisinamat yang Diisolasi Dari Kencur (Kaempferia galanga Linn.) Melalui UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
61
Transformasi Gugus Fungsi serta Uji Aktivitas Sebagai Antiinflamasi. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Napanggala; Susianti dan Apriliana e. 2014. Pengaruh Pemberian Getah Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Secara Topikal Terhadap Tingkat Kesembuhan Luka Iris Pada Tikus Putih Jantan Galur Sprague Dawley. ISSN 2337-3776. Novriansyah, Robin. 2008. Perbedaan Kepadatan Kolagen di sekitar Luka Insisi Tikus Wistar Yang Dibalut Kasa Konvensional dan Penutup Oklusif Hidrokoloid Selama 2 Dan 14 Hari. Semarang: Universitas Diponegoro Perdanakusuma, David S. 2007. Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Luka. Surabaya: Universitas Airlangga. Prabakti, Yudhi. 2005. Perbedaan Jumlah Fibroblas Di Sekitar Luka Insisi Pada Tikus yang Diberi Infiltrasi Penghilang Nyeri Levobupivakain dan yang Tidak Diberi Levobupivakain. Semarang: Universitas Diponegoro Prabawati, Charinna Agus. 2015. Evaluasi Daya Penetrasi Etil p-metoksisinamat Hasil Isolasi Dari Rimpang Kencur (Kaempferia galanga Linn.) Pada Sediaan Salep, Krim dan Gel. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Prasetyo, Bayu Febram; Ietje Wientarsih; Bambang Pontjo Priosoeryanto. 2010. Aktivitas Sediaan Gel Ekstrak Batang Pohon Pisang Ambon dalam Proses Penyembuhan Luka pada Mencit. Jurnal Veteriner. ISSN: 1411-8327. Vol. 11 No. 2: 70-73 Putri, Almahitta Cintami. 2013. Pengaruh Ekstrak Aqueous Kulit Delima (Punica granatum) Peroral terhadap Makrofag, Fibroblas dan Kolagen pada Penyembuhan Luka Bakar Tikus Putih. Skripsi. Surabaya: Universitas Airlangga Rao V., Narasinga dan DSVGK Kaladhar. 2014. Antioxidant And Antimicrobial Activities of Rhizome Extracts Of Kaempferia galanga. World Journal of Pharmacy And Pharmaceutical Science 3, 1180-1189 Reddy, G.A.K., Priyanka, B., Saranya, Ch.S., Kumar, C.K.A. 2012. Wound Healing Potential Of Indian Medicinal Plants. International Journal of Pharmacy Review & Research 2, 75-78. Regianto, Herbert. 2009. Minyak Atsiri Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) Karakterisasi Simplisia, Isolasi dan Analisis Komponen Minyak Atsiri Secara GC-MS. Medan: Universitas Sumatera Utara Roatiana, Otih; Rosita SMD; Mono Rahardjo. Standar Prosedur Operasional Budidaya Kencur. Akses online via http://balittro.litbang.pertanian.go.id (diakses pada tanggal 9 desember 2015) Roemantyo; G. Somaatmadja. 1996. Analisis Terhadap Keanekaragaman dan Konservasi Kencur di Jawa. Warta tumbuhan obat Indonesia. Volume 3 No. 2 Rowe, RC; Paul JS; Sian CO. 2006. Handbook of Pharmaceutical Excipient Fifth Edition. London: Pharmaceutical Press Ruswanto; Susanti dan Richa M. 2015. Sintesis dan Analisis Spektrum Senyawa 3-Benzoil-1-Feniltiourea Serta Uji Interaksinya Pada Reseptor Kanker. Tasikmalaya: STIKes Bakti Tunas Husada. Schwart, spencer. 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta: EGC
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
62
Sibuea, Martko Roverco. 2015. Pengaruh Pemberian Salep Ekstrak Etanol Kulit Buah dari Tumbuhan Petai (Parkia speciosa Hassk.) Terhadap Penyembuhan Luka Sayat Pada Kelinci. Medan: Universitas Sumatera Utara Sihombing, Marice dan Tuminah, Sulistyowati. 2011. Perubahan Nilai Hematologi, Biokimia Darah, Bobot Organ dan Bobot Badan Tikus Putih pada Umur Berbeda. Jurnal Veteriner. Vol.12 No.1: 58-64. 1411-8327 Simanjuntak, M.T. 2005. Biofarmasi Sediaan Yang Diberikan Melalui Kulit. Medan: Universitas Sumatera Utara. Sinaga, meidina. 2012. Gambaran Penggunaan Bahan Pada Perawatan Luka di RSUD DR. Djasamen Saragih Pematangsiantar. Medan: Universitas Sumatera Utara Singh, Chingakham B.; S. Binita Chanu; Th. Bidyababy; W. Radhapiyari Devi; S. Brojendro Singh; Kh. Nongalleima; Lokendrajit N dan L.W. Singh. 2013. Biological and Chemical Properties of Kaempferia galanga L.- a Zingiberaceae plant. NeBIO Vol. 4; 35-41 Smith dan Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan Daerah Tropis. Jakarta: Universitas Indonesia Suckow, Mark A; Weisbroth, Steven H; Franklin, Craig L. 2006. The Laboratory Rat 2nd Edition. American College of Laboratory: British Library Tara V., Shanbag; Sharma Candrakala; Adiga Sachidananda; Bairy Laximinarayana Kurady; Shenoy Smita; Shenoy Ganesh. 2006. Wound Healing Activity of Alkoholic Extract of Kaempferia galanga in Wistar Rats. Indian J.physiol Pharmacol 50 (4) : 384-390 Taufikurohmah, T; Rusmini; Nurhayati. 2008. Pemilihan Pelarut dan Optimasi Suhu pada Isolasi Senyawa Etil p-Metoksisinamat (EPMS) dari Rimpang Kencur sebagai Bahan Tabir Surya pada Industri Kosmetik Tiwari, P; Kumar , B. Kavr; M kaur; G Kaur. 2011. Phytochemical Screening and Extraction: a Review. Internationale Pharmaceutical Science. Vol 1. Issue: 1 Umar, Muhammad I.; Mohd Zaini Asmawi; Amirin Sadikun; Item J. Atangwho 1; Mun fei Yam; Rabia Altaf; Ashfaq Ahmed. 2012. Bioactivity-Guided Isolation of Ethyl-p-methoxycinnamate, an Anti-inflammatory Constituent, From Kaempferia galanga L. Extracts. Molecules, 17, 87208734 Umar, Muhammad I.; Mohd Zaini Asmawi; Amirin Sadikun; Amin Malik Shah Abdul Majid; Fouad Saleih R. Al-Suede; Loiy Elsir Ahmed Hassan; Rabia Altaf; Mohamed B. Khadeer Ahamed. 2014. Ethyl-p-Methoxycinnamate Isolated from Kaempferia galanga Inhibits Inflammation by Suppressing Interleukin-1, Tumor Necrosis Factor-α, and Angiogenesis by Blocking Endothelial Functions. Clinics; 69(2): 134-144. USDA (united states departement of agriculture). Natural resource conservation service. Akses online via http://plants.usda.gov/ (Diakses pada tanggal 9 Desember 2015) Vittalrao, Amberkar Mohanbabu; Tara Shanbhag; Meena Kumari K; K. L. Bairy And Smita Shenoy. 2011. Evaluation Of Antiinflammatory And Analgesic Activities Of Alcoholic Extract Of Kaempferia galanga in Rats. Indian J Physiol Pharmacol 2011; 55 (1) : 13–24 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
63
WHO 2011. Report on the Burden of Endemic Health Care-Associated Infection Worldwide. http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/80135/1/9789241501507_eng.p df?ua=1 (Diakses pada tanggal 15 November 2015) WHO 2010. Wound and Lymphoedema Management http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/44279/1/9789241599139_eng.pdf (Diakses pada tanggal 28 Januari 2016) Zuhrotul, Aisyah dan Prijono satyabakti. 2012. Surveilans Infeksi Daerah Operasi (IDO) Menurut Komponen Surveilans Di Rumah Sakit X Surabaya Tahun 2012. Jurnal Berkala Epidemiologi, vol 1, 254-265
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
64
Lampiran 1. Alur Penelitian Ekstraksi Rimpang Kencur (Kaempferia galanga Linn.)
Isolasi Kristal Etil p-metoksisinamat
Membuat Gel EPMS dengan berbagai persentase
Membuat luka terbuka pada dorsal tikus 3cm dari auricula
Pemberian perlakuan pada hewan uji selama 14 hari
Kelompok Kontrol positif dengan Bioplacenton® gel
Kelompok Kontrol Negatif dengan Basis gel
Kelompok Uji konsentrasi rendah (EPMS 1%)
Kelompok Uji konsentrasi sedang (EPMS 3%)
Kelompok Uji konsentrasi tinggi (EPMS 5%)
Pengamatan diameter luka selama 14 hari
Pada hari ke-7, 1 ekor tikus dari masing-masing kelompok dikorbankan dan dilakukan eksisi jaringan kulit tikus
Analisis Data
Pembuatan preparat histopatologi Pengamatan preparat histopatologi
pembentukan pembuluh darah baru (neokapilerisasi)
pertumbuhan pada jaringan ikat (fibroblas)
keberadaan sel radang (makrofag)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
65
Lampiran 2. Isolasi Etil p-metoksisinamat Rimpang kencur (Kaempferia galanga L.)
Dibersihkan dari yang menempel dan dicabut akar-akar yang menempel dengan dicuci menggunakan air mengalir
Sortasi basah
Dihaluskan dengan blender
Dirajang dan dikeringkan dengan cara dikering anginkan di udara terbuka
Simplisia kencur
Maserasi dengan n-heksan
Ampas
Filtrasi
Filtrat
Dipekatkan dengan vaccum rotary evaporator
Filtrat pekat diendapkan pada suhu ruang
Kristal terbentuk
Re-kristalisasi dengan n-heksan dan etanol 96%
Kristal Etil p-metoksisinamat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
66
Lampiran 3. Skema Pembuatan Gel EPMS Carbopol 940 di dispersikan dalam aquadest dingin secukupnya
Aduk hingga homogen dan warna menjadi transparan
EPMS dilarutkan dengan alkohol 96%
Tambahkan aquadest panas secukupnya dan aduk homogen
Didiamkan beberapa saat dan ditambah Trietanolamin
Aduk hingga homogen dan membentuk gel
Tambahkan campuran aquadest dengan propilen glikol, metil paraben, propil paraben yang telah di didihkan sedikit demi sedikit sambil diaduk homogen
Tambahkan Natrium Metabisulfit yang telah dilarutkan dengan aquadest
EPMS yang sebelumnya dilarutkan dengan alkohol 96% ditambahkan sedikit demi sedikit sambil digerus homogen
Gel EPMS
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
67
Lampiran 4. Surat Determinasi Tanaman Kaempferia galanga L.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
68
Lampiran 5. Surat Keterangan Kesehatan Hewan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
69
Lampiran 6. Surat Keterangan Lolos Kaji Etik (Ethical Approval)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
70
71
72
73
Lampiran 13. Luka Tikus Mulai Hari ke-0 Hingga Hari ke-14 N o
Kelompok Hewan Uji
Hari ke-0
Hari ke-1
Hari ke-2
Hari ke-3
Hari ke-4
Pengamatan Penyembuhan Luka Hari Hari Hari Hari Hari ke-5 ke-6 ke-7 ke-8 ke-9
Hari Hari ke-10 ke-11
Hari Hari ke-12 ke-13
Hari ke-14
1 2 Pembuatan Preparat Histopatologi 3 1
Uji Konsentrasi Rendah
4
(gel EPMS 1%) 5
6
2
Uji Konsentrasi Sedang
1
(gel EPMS 2 3%)
Pembuatan Preparat Histopatologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
74
3 4 5 6 1
Pembuatan Preparat Histopatologi
2
3
Uji Konsentrasi Tinggi
3
(gel EPMS 4 5%)
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
75
6
1 Pembuatan Preparat Histopatologi 2
3 4
Kontrol Negatif
4
5
6 1 Pembuatan Preparat Histopatologi 5
Kontrol Positif
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
76
3
4
5
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
77
Lampiran 14. Tahapan Pengukuran Diameter Luka Dengan Aplikasi ImageJ
b. Buka aplikasi ImageJ, klik ―File‖ dan ―Open‖ pada menubar
c. Klik ―Straight‖ pada menu toolbar & buat garis lurus sepanjang 1 cm pada penggaris
a. Pilih foto yang akan digunakan
d. Klik ―Analyze‖ dan Scale‖ pada menubar
―Set
e. Buat ukuran panjang penggaris pada kolom ―Known Distance‖ dalam penelitian ini adalah 1, kemudian satuannya dalam kolom ―Unit of Length‖ dalam penelitian ini adalah cm dan klik ―Ok‖
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
78
i. Buat garis lurus sepanjang diameter luka
h. Klik ―Analyze‖ kemudian klik ―Measure‖ pada menubar
g. Klik ―Analyze‖ kemudian klik ―Measure‖ pada menubar f. Lakukan langkah ―a‖ sampai ―h‖ untuk mengukur diameter luka hewan uji lainnya, halaman ―Result‖ dapat disimpan dengan cara klik ―File‖ kemudian klik ―Save‖
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
79
Lampiran 15. Diameter Luka Seluruh Kelompok Hewan Uji
Pengamatan
Hari ke- 0
d1 d2 d3 d4
Diameter D rata-rata Luas luka
Hari ke- 3
d1 d2 d3 d4
Diameter D rata-rata Luas luka % Penyembuhan
Hari ke- 6
d1 d2 d3 d4
Diameter D rata-rata Luas luka % Penyembuhan
Uji Konsentrasi Rendah (1) 1 2 3 4 5
Uji Konsentrasi Sedang (3) 1 2 3 4 5
Diameter Luka Kelompok Hewan Uji Uji Konsentrasi Tinggi (5) 1 2 3 4 5 1
Kontrol Negatif 2 3 4
5
1
Kontrol Positif 2 3 4
5
0,82 0,71 0,68 0,96
1,08 0,89 1,07 1,00
1,16 0,84 1,01 0,94
0,85 0,89 0,80 0,88
1,08 0,96 1,04 0,89
1,17 0,64 1,05 0,95
1,01 1,12 0,99 1,12
1,47 0,80 1,05 1,25
0,93 1,32 1,17 1,13
1,25 1,04 1,28 1,03
1,21 1,14 1,09 0,96
0,94 1,26 1,04 1,33
1,16 1,18 1,21 1,15
1,36 0,95 1,19 1,29
1,35 0,95 1,16 1,28
1,09 1,19 1,18 1,20
0,83 1,01 0,83 0,97
0,83 1,29 1,12 1,06
0,93 1,17 1,05 1,03
1,10 1,16 1,09 1,08
0,76 0,87 0,77 0,86
1,03 1,53 1,60 1,36
0,82 1,11 0,96 1,14
1,10 0,89 1,13 1,22
1,16 0,83 0,92 1,02
0,79
1,01
0,98
0,85
0,99
0,95
1,06
1,14
1,13
1,15
1,1
1,14
1,17
1,19
1,18
1,14
0,91
1,06
1,04
1,10
0,81
1,38
1,00
1,08
0,98
0,49
0,80
0,75
0,56
0,76
0,70
0,88
1,02
1,00
1,03
0,95
1,02
1,07
1,11
1,09
1,02
0,65
0,88
0,84
0,95
0,51
1,49
0,78
0,91
0,75
0,69 0,68 0,63 0,67
0,88 0,87 0,83 0,84
0,79 0,84 0,72 0,75
0,70 0,67 0,68 0,58
0,75 0,88 0,74 0,83
0,89 0,63 0,71 0,81
0,81 0,84 0,87 0,79
1,03 0,98 1,03 0,95
1,19 0,89 1,15 1,10
1,26 0,87 1,02 0,99
0,88 0,93 0,83 0,87
1,01 0,78 0,84 0,86
1,03 1,18 1,12 1,10
0,82 0,99 0,78 0,82
1,08 0,82 0,99 0,89
0,77 1,02 0,92 0,94
0,98 0,73 1,02 0,83
0,85 0,79 0,75 0,82
0,67 0,95 0,82 0,81
0,76 0,68 0,65 0,75
0,57 0,67 0,71 0,72
1,19 1,33 1,34 1,27
0,60 0,72 0,63 0,66
0,87 0,94 0,90 0,75
0,77 0,79 0,75 0,72
0,66
0,85
0,77
0,65
0,8
0,76
0,82
0,99
1,08
1,03
0,87
0,87
1,10
0,85
0,94
0,91
0,89
0,80
0,81
0,71
0,66
1,28
0,65
0,86
0,75
0,34
0,56
0,46
0,33
0,50
0,45
0,52
0,76
0,91
0,83
0,59
0,59
0,95
0,56
0,69
0,65
0,62
0,50
0,51
0,39
0,34
1,28
0,33
0,58
0,44
32,2
29,4
38,5
41,6
34,6
36,6
40,1
24
8,66
19,6
38
41,8
11
48,9
36,6
36,4
3,65
42,8
39,8
58,6
33,8
14,2
58
37
41,6
0,28 0,34 0,34 0,28
0,43 0,54 0,42 0,41
0,61 0,55 0,61 0,43
0,35 0,35 0,31 0,35
0,66 0,73 0,61 0,66
0,42 0,36 0,38 0,39
0,46 0,55 0,49 0,50
0,64 0,78 0,64 0,70
0,83 0,92 0,95 0,80
0,73 0,92 0,85 0,85
0,70 0,84 0,89 0,80
0,77 0,90 0,81 0,81
1,15 0,95 1,10 1,06
0,92 0,68 0,69 0,71
0,98 0,73 0,75 0,72
0,79 0,59 0,58 0,73
0,75 0,59 0,67 0,78
0,59 0,67 0,62 0,61
0,60 0,41 0,48 0,49
0,43 0,33 0,32 0,42
0,33 0,39 0,37 0,37
0,79 0,96 0,86 0,81
0,39 0,56 0,47 0,48
0,63 0,73 0,70 0,57
0,48 0,61 0,55 0,55
0,31
0,45
0,55
0,34
0,66
0,38
0,5
0,69
0,87
0,83
0,80
0,82
1,06
0,75
0,79
0,67
0,69
0,62
0,49
0,37
0,36
0,85
0,47
0,65
0,54
0,07
0,15
0,23
0,09
0,34
0,11
0,19
0,37
0,59
0,54
0,50
0,52
0,88
0,44
0,49
0,35
0,37
0,30
0,18
0,10
0,10
0,56
0,17
0,33
0,22
85,4
80,3
68,7
84,7
56,1
84,4
77,6
63,5
40,9
48,4
47,1
48
17,6
60,2
55,3
65,8
42,6
66
77,7
89,2
81,5
62,1
78
63,7
69,7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
80
Hari ke- 9
d1 d2 d3 d4
Diameter D rata-rata Luas luka % Penyembuhan
Hari ke- 12
d1 d2 d3 d4
Diameter D rata-rata Luas luka % penyembuhan
Hari ke- 14
d1 d2 d3 d4
Diameter D rata-rata Luas luka % penyembuhan
0,12 0,12 0,14 0,15
0,23 0,18 0,16 0,20
0,21 0,27 0,19 0,17
0 0 0 0
0,23 0,42 0,29 0,30
0,20 0,12 0,18 0,18
0,24 0,26 0,23 0,22
0,61 0,51 0,65 0,55
0,73 0,57 0,58 0,60
0,45 0,39 0,42 0,47
0,37 0,33 0,33 0,30
0,31 0,36 0,31 0,34
0,35 0,41 0,42 0,38
0,98 0,80 0,78 0,92
0,60 0,68 0,58 0,60
0,37 0,39 0,36 0,46
0,29 0,31 0,40 0,33
0,31 0,30 0,27 0,28
0,16 0,25 0,29 0,27
0,12 0,24 0,16 0,16
0 0 0 0
0,36 0,55 0,51 0,44
0,30 0,31 0,29 0,25
0 0 0 0
0,25 0,26 0,26 0,22
0,13
0,19
0,21
0
0,31
0,17
0,23
0,58
0,62
0,43
0,33
0,33
0,39
0,87
0,61
0,39
0,33
0,29
0,24
0,17
0
0,46
0,28
0
0,24
0,01
0,02
0,03
0
0,07
0,02
0,04
0,26
0,30
0,14
0,08
0,08
0,11
0,59
0,29
0,11
0,08
0,06
0,04
0,02
0
0,16
0,06
0
0,04
98,3
97
95,8
100
90,8
97,7
95,5
74,4
70
86,3
91,7
92,2
88,9
46,8
73,3
88,3
87,8
92,8
97,2
98,3
100
88,9
93
100
94,7
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0,28 0,28 0,30 0,26
0,31 0,30 0,31 0,31
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0,11 0,09 0,11 0,11
0,97 0,76 0,84 0,89
0,43 0,38 0,31 0,38
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0,15 0,23 0,17 0,20
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0
0
0
0
0
0
0
0,28
0,30
0
0
0
0,10
0,86
0,37
0
0
0
0
0
0
0,18
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0,06
0,07
0
0
0
0,07
0,58
0,10
0
0
0
0
0
0
0,02
0
0
0
100
100
100
100
100
100
100
94,5
92,9
100
100
100
99,2
48,2
90,6
100
100
100
100
100
100
98,4
100
100
100
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0,91 0,88 0,81 0,90
0,30 0,37 0,31 0,30
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0,87
0,32
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0,59
0,08
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
46,8
92,8
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
81
Lampiran 16. Pengukuran Bobot Tikus Kelompok
KN
KP
UKR
UKS
UKT
Hari Ke1 8 15 22
1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
0 236.0 276.0 245.0 160.0 237.0 226.0 184.0 146.0 134.0 152.0 166.0 136.0 156.0 196.0 110.0 139.0 166.0 129.0 172.0 197.0 197.0 185.0 167.0 143.0 186.0 164.0 217.0 240.0 145.0 172.0
KN 222,5 ± 15,3 221,6 ± 20,6 228,8 ± 34,5 217,0 ± 43,7
2 233.0 262.0 235.0 163.0 241.0 224.0 190.0 155.0 137.0 156.0 174.0 144.0 144.0 196.0 113.0 134.0 176.0 129.0 152.0 191.0 189.0 176.0 154.0 131.0 173.0 160.0 217.0 236.0 131.0 176.0
4 226.0 280.0 238.0 172.0 231.0 226.0 192.0 159.0 135.0 158.0 184.0 149.0 140.0 186.0 117.0 144.0 180.0 131.0 148.0 188.0 196.0 176.0 151.0 134.0 178.0 155.0 219.0 245.0 115.0 171.0
Hari ke6 8 236.0 275.0 278.0 232.0 233.0 169.0 170.0 230.0 233.0 215.0 212.0 200.0 173.0 186.0 144.0 146.0 174.0 176.0 202.0 211.0 164.0 172.0 144.0 135.0 172.0 115.0 112.0 143.0 134.0 181.0 190.0 133.0 116.0 160.0 154.0 190.0 205.0 208.0 165.0 173.0 150.0 136.0 128.0 123.0 186.0 155.0 155.0 234.0 235.0 248.0 235.0 114.0 115.0 163.0 163.0
10 278.0 223.0 170.0 230.0 265.0 197.0 146.0 182.0 221.0 186.0 128.0 109.0 130.0 163.0 116.0 148.0 210.0 174.0 137.0 115.0 162.0 241.0 235.0 116.0 169.0
12 284.0 229.0 168.0 211.0 193.0 205.0 149.0 190.0 237.0 200.0 129.0 96.0 131.0 145.0 112.0 146.0 214.0 176.0 141.0 115.0 158.0 238.0 226.0 110.0 174.0
Rerata bobot tiap kelompok (gram) ± SD KP UKR UKS 122,8 ± 11,6 158,8 ± 26,6 173,3 ± 11,5 154,5 ± 18,7 149,6 ± 30,0 176,8 ± 14,1 176,1 ± 22,0 148,0 ± 24,5 166,3 ± 27,6 201,4 ± 36,3 124,4 ± 21,5 158,2 ± 43,3
14 296.0 241.0 167.0 215.0 200.0 213.0 148.0 191.0 248.0 207.0 126.0 100.0 128.0 157.0 111.0 132.0 222.0 180.0 145.0 112.0 134.0 232.0 223.0 110.0 172.0
UKT 195,8 ± 34,0 192,3 ± 29,1 183,3 ± 50,5 174,2 ± 53,5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
82
Lampiran 17. Hasil Pengukuran Luas Luka dan Persentase Penyembuhan Luka Kelompok KN KP UKR (1%) UKS (3%) UKT (5%)
Kelompok KN KP UKR (1%) UKS (3%) UKT (5%)
Hari ke-0 0,86±0,13 0,88±0,36 0,67±0,13 0,92±0,13 1,04±0,06
Rerata Luas Luka (cm2) tiap kelompok ± SD Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12 0,53±0,10 0,26±0,11 0,06±0,03 0,00 0,59±0,39 0,27±0,17 0,05±0,06 0,004±0,008 0,43±0,10 0,17±0,11 0,02±0,02 0,00 0,69±0,19 0,36±0,21 0,15±0,12 0,02±0,03 0,67±0,16 0,56±0,17 0,23±0,21 0,15±0,24
Hari ke-14 0,00 0,00 0,00 0,00 0,13±0,25
Rerata persentase penyembuhkan luka (%) tiap kelompok ± SD Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12 Hari ke-14 26,38 ± 15,99 63,68 ± 16,20 90,82 ± 4,49 100 100 24,04 ± 14,66 64,84 ± 8,36 94,00 ± 5,78 99,62 ± 0,84 100 24,12 ± 7,62 70,34 ± 14,19 95,20 ± 4,14 100 100 16,11 ± 13,20 58,96 ± 18,17 82,86 ± 13,00 97,12 ± 3,94 100 26,54 ± 14,56 38,78 ± 16,48 75,22 ± 21,85 85,72 ± 25,47 86,18 ± 26,31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
83
Lampiran 18. Hasil Analisis Statistik Persentase Penyembuhan Luka Hari Ke- 3,6,9,12 dan 14 One-way ANOVA a. Uji Normalitas Tujuan : Untuk melihat data persentase penyembuhan luka terdistribusi normal atau tidak Hipotesis : Ho = data persentase penyembuhan luka terdistribusi normal Ha = data persentase penyembuhan luka tidak terdistribusi normal Pengambilan keputusan : Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 Ho ditolak One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test persentase_penye persentase_penye persentase_penye persentase_penye persentase_penye mbuhan_luka_H1 mbuhan_luka_H1 Perlakuan N
mbuhan_luka_H3 mbuhan_luka_H6 mbuhan_luka_H9
2
4
25
25
25
25
25
25
3.0000
23.5164
59.3544
87.6896
96.5012
97.2416
1.44338
12.90446
17.69130
13.37930
11.92112
12.11920
Absolute
.156
.108
.101
.260
.394
.510
Positive
.156
.092
.066
.179
.385
.410
Negative
-.156
-.108
-.101
-.260
-.394
-.510
Kolmogorov-Smirnov Z
.779
.540
.507
1.300
1.968
2.550
Asymp. Sig. (2-tailed)
.579
.933
.959
.068
.001
.000
Normal Parameters
a
Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences
a. Test distribution is Normal.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
84
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka seluruh kelompok uji tidak terdistribusi normal b. Uji Homogenitas Tujuan : Untuk melihat data persentase penyembuhan luka homogen atau tidak Hipotesis : Ho = data persentase penyembuhan luka terdistribusi homogen Ha = data persentase penyembuhan luka tidak terdistribusi homogen Pengambilan keputusan : Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 Ho ditolak Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic persentase_penyembuhan_l uka_H3 persentase_penyembuhan_l uka_H6 persentase_penyembuhan_l uka_H9 persentase_penyembuhan_l uka_H12 persentase_penyembuhan_l uka_H14
df1
df2
Sig.
.383
4
20
.818
.726
4
20
.585
5.544
4
20
.004
5.905
4
20
.003
6.727
4
20
.001
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka seluruh kelompok uji tidak terdistribusi homogen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
85
c. Uji Kruskal-Wallis Tujuan : Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan data persentase penyembuhan luka Hipotesis : Ho : data persentase penyembuhan luka tidak berbeda secara bermakna Ha : data persentase penyembuhan luka berbeda bermakna Pengambilan keputusan: Jika nilai signifikansi ≥ 0,05, maka Ho diterima, berarti tidak terdapat perbedaan Jika nilai signifikansi ≤ 0,05, maka Ho ditolak, berarti terdapat perbedaan a,b
Test Statistics
persentase_pen persentase_pen persentase_pen persentase_pen persentase_pen yembuhan_luka_ yembuhan_luka_ yembuhan_luka_ yembuhan_luka_ yembuhan_luka_ H3 Chi-Square Df Asymp. Sig.
H6
H9
H12
H14
1.809
9.017
8.158
7.509
8.333
4
4
4
4
4
.771
.061
.086
.111
.080
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Perlakuan
Keputusan: Data persentase penyembuhan luka tikus galur Sprague Dawley tidak berbeda secara bermakna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
86
Lampiran 19. Hasil Analisis Statistik Luas Luka
Paired Samples T Test Hipotesis : Ho = data penurunan luas luka tidak berbeda bermakna Ha = data penurunan luas luka berbeda bermakna Pengambilan keputusan : Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 Ho ditolak Kelompok kontrol negatif hari ke-0 dan hari ke-14 Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Mean Pair 1
KN_awal KN_akhir
.86800
Std. Deviation .13989
Std. Error Mean .06256
Lower .69430
Upper 1.04170
T 13.874
df
Sig. (2-tailed) 4
.000
Keputusan: Data penurunan luas luka untuk kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
87
Kelompok kontrol positif hari ke-0 dan hari ke-14 Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Mean Pair 1
KP_awal KP_akhir
.88800
Std. Deviation
Std. Error Mean
.36622
.16378
Lower
Upper
.43327
t
1.34273
df
Sig. (2-tailed)
5.422
4
.006
Keputusan: Data penurunan luas luka untuk kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna
Kelompok uji konsentrasi rendah (1%) hari ke-0 dan hari ke-14 Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Mean Pair 1
UKR_awal UKR_akhir
.67200
Std. Deviation .13773
Std. Error Mean .06160
Lower .50098
Upper .84302
t
df
10.910
Sig. (2-tailed) 4
.000
Keputusan: Data penurunan luas luka untuk kelompok uji konsentrasi rendah (1%) berbeda secara bermakna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
88
Kelompok uji konsentrasi sedang (3%) hari ke-0 dan hari ke-14 Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Mean Pair 1
UKS_awal UKS_akhir
.92600
Std. Deviation .13993
Std. Error Mean .06258
Lower .75226
Upper 1.09974
t
df
14.798
Sig. (2-tailed) 4
.000
Keputusan: Data penurunan luas luka untuk kelompok uji konsentrasi sedang (3%) berbeda secara bermakna
Kelompok uji konsentrasi tinggi (5%) hari ke-0 dan hari ke-14 Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Mean Pair 1
UKT_awal UKT_akhir
.91400
Std. Deviation .22434
Std. Error Mean .10033
Lower .63544
Upper 1.19256
t
df 9.110
Sig. (2-tailed) 4
.001
Keputusan: Data penurunan luas luka untuk kelompok uji konsentrasi tinggi (5%) berbeda secara bermakna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta