2
dalam golongan senyawa polifenol. Pengaruh pemberian ekstrak daun kari terhadap kesehatan telah banyak diteliti, diantaranya dapat memberikan efek antikanker dan antiinflamasi (to et al. 2005; Muthumani et al. 2009), antidiabetes (Hougon 2004; Vinuthan et al. 2004; Arulselvan et al. 2006; Bhat et al. 2008; Lawal et al. 2008), dan antibakteri (Ningappa et al. 2010). Selain itu, ekstrak daun kari memiliki aktivitas hipoglikemik tanpa efek samping maupun bersifat toksik (Lawal et al. 2008). Namun, potensinya sebagai hepatoprotektor belum dilakukan. Oleh karena itu, aktivitas ekstrak etanol:air (1:1) daun kari terhadap mekanisme perlindungan hati perlu diteliti. Penelitian ini bertujuan menguji kandungan fitokimia ekstrak etanol:air (1:1) daun kari dan menguji aktivitas hepatoproteksi ekstrak etanol:air (1:1) daun kari secara in vivo pada tikus Sprague Dawley yang diinduksi parasetamol dosis 500 mg/kg BB. Potensi yang diperoleh akan dibandingkan secara langsung dengan Curlivplus® (obat hepatitis komersil) dosis 42.86 mg/kg BB. Adapun parameter uji yang digunakan adalah analisis kadar enzim ALT dan AST serum serta kajian histopatologi hati. Hipotesis pada penelitian ini adalah kandungan senyawa bioaktif yang terdapat di dalam daun kari (Murraya koenigii) memiliki mekanisme perlindungan hati tikus terhadap kerusakan sel hati yang diinduksi parasetamol. Senyawa-senyawa tersebut diduga dapat menghambat atau mencegah terjadinya pembentukan radikal bebas (peroksida) di dalam tubuh yang dapat mengakibatkan kerusakan pada sel-sel hati. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi potensi ekstrak etanol:air (1:1) daun kari sebagai hepatoprotektor dan dapat dijadikan sebagai obat hepatitis alternatif sehingga manfaat daun kari dapat dieksplorasi secara optimal.
TINJAUAN PUSTAKA Daun Kari (Murraya koenigii) Sebagai Obat Herbal Multikhasiat Tanaman kari (Murraya koenigii) (Gambar 1) merupakan salah satu tanaman rempah yang tergolong famili Rutaceae (jerukjerukan) yang diperkenalkan oleh seorang ahli botani asal Swedia dan German, yaitu Johann Andreas Murray dan Gerhard Koenig (Seidemann 2005). Secara morfologi pohon
kari bisa tumbuh mencapai 4-6 meter, memiliki tangkai panjang dan setiap tangkai mengandung 11-21 daun, memiliki bunga yang kecil dan berwarna putih, serta memiliki buah yang berwarna coklat-hitam, mengkilap, dan bisa dimakan namun bijinya beracun. Tanaman kari umumnya lebih dikenal sebagai daun kari (curry-leaf tree) yang merupakan tanaman yang banyak tumbuh di India, Nepal, Sri Lanka, dan beberapa negara Asia Selatan, serta paling banyak ditemui hampir diseluruh wilayah India (Choudhury & Garg 2007). Di Indonesia daun kari banyak terdapat di beberapa daerah di Sumatera seperti Aceh dan Medan. Daun ini banyak digunakan sebagai bahan rempah-rempah terutama sebagai bumbu pada berbagai jenis masakan dan juga digunakan untuk perawatan berbagai jenis penyakit pada sistem pengobatan tradisional. Selain sebagai bumbu masak, daun kari juga sering digunakan sebagai jamu pengobatan alternatif. Daun kari dipakai sebagai bahan baku dalam hampir semua obat tradisional India, yang berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit antara lain pusing-pusing, sakit perut, kulit gatal, digigit serangga, diare, influenza, reumatik, obat luka, gigitan ular, bahkan diabetes (kong et al. 1986). Selain sebagai obat tradisional, daun ini juga dapat digunakan sebagai kosmetik dan obat jerawat, bahkan digunakan sebagai conditioner bagi rambut yang dapat mengurangi penipisan dan uban pada rambut (Choudhury & Garg 2007). Disamping itu, daun ini pula memiliki aroma yang menyengat yang disebabkan oleh kandungan minyak atsiri yang terkandung di dalamnya (Rana et al. 2004) sehingga daun ini kerap digunakan pada industri parfum dan sabun. Selain itu, daun ini kaya akan mineral (Choudhury & Garg 2007), vitamin A dan B serta mengandung banyak karbohidrat, protein, asam amino dan alkaloid (Kong et al. 1986; Tee & Lim 1991). Khasiat daun kari dalam bidang kesehatan telah banyak diteliti, diantaranya dapat memberikan efek antikanker dan antiinflamasi (Ito et al. 2005; Muthumani et al. 2009), antidiabetes (Hougon 2004; Vinuthan et al. 2004; Arulselvan et al. 2006; Bhat et al. 2008; Lawal et al. 2008), dan antibakteri (Ningappa et al. 2010). Ekstrak daun kari memiliki aktivitas hipoglikemik tanpa efek samping maupun bersifat toksik (Lawal et al. 2008). Selain itu, daun ini memiliki kandungan mineral Cr, V, Mn, Zn, Cu dan Se yang tinggi yang dikenal memiliki peranan penting pada proses biokimia terutama
3
diabetes (Choudhury & Garg 2007). Beberapa literatur menyebutkan bahwa daun kari memiliki kandungan essential oils, kumarin, terpenoid, lutein, karbazol alkaloid, mahanimbin, murayanol, dan mahanin (Ramsewak et al. 1999; Tachibana et al. 2001; Nakahara et al. 2002). Berdasarkan Palaniswamy (2003), daun kari kaya akan antioksidan seperti tokoferol, β-karoten, lutein, dan alkaloid. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ningappa et al. (2008), antioksidan tertinggi pada daun kari terdapat pada ekstrak etanol-air (1:1) yang termasuk golongan senyawa polifenol, yaitu sebesar 168 ± 5,6 mg/g ekstrak. Selain itu, ekstrak etanol:air (1:1) daun kari dapat menghambat lipid peroksida sebesar 76,4 ± 3 % pada konsentrasi rendah (50 µg/mL), menghambat superoksida dismutase (SOD) sebesar 93% pada konsentrasi 200 µg/3 mL, menghambat radikal DPPH sebesar 92 % pada konsentrasi 20 µg/mL, dan menghambat radikal hidroksil sebesar 91% pada konsentrasi 20 µg/mL.
Gambar 1 Daun kari (Murraya koenigii) Senyawa Hepatoprotektor Hepatoprotektor adalah senyawa atau zat yang berkhasiat melindungi sel hati terhadap pengaruh zat toksik yang dapat merusak hati, bahkan dapat memperbaiki jaringan hati yang telah rusak (Dalimartha 2005). Secara empiris telah banyak tanaman yang tumbuh di Indonesia yang digunakan oleh masyarakat sebagai obat penyakit hati, seperti brotowali, kembang merak, rebung bambu, mengkudu, tomat, jagung, pepaya, wortel, lidah buaya, akar kuning, temulawak dan kunyit. Namun, masih sedikit diantara tumbuhan tersebut yang telah dibuktikan secara ilmiah kebenarannya. Sebagian besar zat hepatoprotektor tersebut adalah senyawa yang tergolong antioksidan. Senyawa ini bekerja dalam menghambat atau memperlambat proses oksidasi radikal bebas (Murray 2009). Sejak tahun 1976 telah dilakukan usaha untuk menemukan senyawa bioaktif yang
berasal dari tumbuhan yang memiliki aktivitas hepatoprotektor. Pada tahun 1983 ilmuwan Korea telah melakukan penapisan terhadap 78 jenis tumbuhan yang biasa digunakan rakyat Korea untuk pengobatan hepatitis dan 21 diantaranya terbukti sebagai hepatoprotektor. Di Indonesia, penelitian mengenai tanaman obat yang sering digunakan oleh masyarakat sebagai obat hepatitis juga telah banyak dilakukan. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Yuningsih (1987) terhadap ekstrak air temulawak (Curcuma xanthorizha Robx) dapat menurunkan aktivitas SGOT dan SGPT darah kelinci dalam keadaan terinfeksi hepatitis B, Harun & Syahri (1999) yang meneliti aktivitas daun dewa yang memiliki sifat antioksidan yang mampu menghambat sifat hepatotoksik senyawa halotan yang terpapar di udara, Batubara (2003) dan Adji (2004) yang berhasil membuktikan aktivitas ekstrak saponin akar kuning sebagai hepatoprotektor, Marliana (2005) yang membuktikan khasiat buah mahkota dewa sebagai hepatoprotektor, Rustandi (2006) yang melihat aktivitas ekstrak daun sangitan dalam peroksidasi lipid serum darah tikus yang diinduksi parasetamol, dan Panjaitan (2008) yang menguji aktivitas hepatoprotektor ekstrak akar pasak bumi, serta Aryadi (2009) yang membuktikan khasiat ekstrak bunga rosella sebagai hepatoprotektor terhadap tikus yang diinduksi parasetamol. Parasetamol Sebagai Hepatotoksik Hepatotoksin adalah senyawa yang dapat menyebabkan gangguan pada jaringan hati. Hepatotoksin juga merupakan zat yang mempunyai efek toksik pada hati dengan dosis berlebihan atau dalam jangka waktu yang lama. Hepatotoksin yang menyebabkan gangguan pada jaringan hati, tergantung pada dosis pemberian, interval waktu pemberian yang singkat antara pencernaan obat dan reaksi melawan, serta kemampuan untuk menimbulkan perubahan yang sama pada jaringan hati (Dalimartha 2005). Berdasarkan mekanismenya terhadap perusakan hati, hepatotoksin dibagi menjadi dua macam, yaitu hepatotoksin intrinsik dan ekstrinsik. Hepatotoksin intrinsik merupakan hepatotoksin yang dapat diprediksi, tergantung pada dosis dan melibatkan mayoritas individu yang menggunakan obat dalam jumlah tertentu. Rentang waktu antara mulainya dan timbulnya kerusakan hati sangat bervariasi, dari beberapa jam sampai beberapa minggu. Salah satu contohnya adalah parasetamol (acetaminophen) yang
4
menyebabkan nekrosis hati yang dapat diprediksi pada pemberian over dosis. Di sisi lain, hepatotoksin ekstrinsik atau idiosinkratik merupakan hepatotoksin yang tidak dapat diprediksi. Hepatotoksin ini terkait dengan hipersensitivitas atau kelainan metabolisme. Respon dari hepatotoksin ini tidak dapat diprediksi dan tidak tergantung pada dosis pemberian. Tahap inkubasi toksin ini bervariasi, tetapi biasanya berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Contohnya seperti sulfonamid, isoniazid, halotan, dan klorpromazin (Gibson 1991). Parasetamol atau N-asetil-p-aminofenol merupakan obat yang berkhasiat analgetik anatipiretik non narkotik turunan para aminofenol. Parasetamol cepat diserap secara sempurna oleh saluran pencernaan dan tersebar ke seluruh cairan tubuh. Konsentrasi tertinggi berada pada plasma darah setelah 1-3 jam masuk ke dalam tubuh. Sebanyak 25% parasetamol berada terikat dengan protein (Lee 2003). Parasetamol termasuk salah satu obat yang sering dikonsumsi oleh masyarakat, dapat menyebabkan kerusakan hati apabila dikonsumsi 7,5 gram sekaligus, dan pada pemakaian lebih dari 15 gram sekaligus akan menyebabkan nekrosis atau kematian sel hati (Dalimartha et al. 2005). Dosis parasetamol 500 mg/kg BB yang diinduksikan pada tikus Sprague Dawley mampu membuat kerusakan membran sel hepatosit (Aryadi 2009), sedangkan dosis untuk tikus galur Wistar adalah 750 mg/kg BB (Murugesh et al. 2005). Di sisi lain, dosis parasetamol pada tikus Rattus Norvegicus sebesar 2 g/kg BB (Balamurugan et al. 2008). Gambar 2 menunjukkan proses metabolisme parasetamol di dalam tubuh. Pada dosis normal, parasetamol yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami biotransformasi di dalam hati dengan mekanisme konjugasi (metabolisme fase II) dengan glukuronat sebanyak 40%-67%, sulfonat 20-46%, serta <5%-nya adalah sistein, beberapa metabolit terhidroksilasi dan terdeasetilasi. Hasil reaksi konjugasi ini menghasilkan senyawa yang larut air (hydrosoluble) dan tidak toksik sehingga dapat disekresikan melalui urin (Wong et al. 1981; Lee 2003) (Gambar 2a). Pada keadaan over dosis, sisa parasetamol akan dibiotransformasi oksidatif oleh sitokrom P-450 (metabolisme fase I) sehingga membentuk suatu metabolit elektrofil Nasetil-p-benzoikuinonimina (NAPQI) yang bersifat hepatotoksik dan reaktif. NAPQI kemudian akan bereaksi dengan biomolekul
penyusun membran sel hati, seperti fosfolipid dan protein bergugus –SH. Detoksifikasi NAPQI diawali oleh konjugasi dengan glutation tereduksi (GSH) menjadi asam merkapturat yang bersifat hydrosoluble non toxic dan dapat diekskresikan oleh ginjal (Wong et al. 1981) (Gambar 2a). Jika laju pembentukan NAPQI lebih besar dari laju detoksifikasi oleh GSH, maka akan terjadi oksidasi berbagai biomolekul penyusun membran seperti lipid atau gugus SH pada protein (Wong et al. 1981). Proses ini menyebabkan kandungan GSH hati <30% dari normalnya, sehingga NAPQI berikatan dengan makromolekul protein sel hati membentuk senyawa semikuinon. Senyawa ini akan mereduksi O2 menjadi O2•, kemudian membentuk senyawa radikal bebas lagi yang akan mengoksidasi fosfolipid lain secara berantai. Hal ini mengakibatkan kerusakan sel hati sampai timbul nekrosis hati, yaitu terjadinya gangguan integritas membran plasma, keluarnya isi sel, dan timbulnya respon inflamasi (Gambar 2b). Respon ini menyebabkan banyak sel yang mati (Gibson & Sket 1991) yang ditandai dengan peningkatan ALT dan AST, bilirubin, alkalin fosfatase, gammaglutamil transferase (GGT), serta dehidrogenase laktat pada serum selama 24 jam setelah pemberian (Firmansyah 2006). Senyawa Antioksidan Antioksidan, secara umum dapat didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi lipid. Sedangkan dalam arti khusus, antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi oksidasi radikal bebas. Senyawa dikatakan memiliki sifat antioksidatif bila senyawa tersebut mampu mendonasikan satu atau lebih elektron kepada senyawa prooksidan, kemudian mengubah senyawa oksidan menjadi senyawa yang stabil (Packer 1995). Antioksidan, berdasarkan sumbernya dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Beberapa contoh antioksidan sintetik adalah Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT), propil galat, tert-butil hidroksi quinon (TBHQ) dan tokoferol, sedangkan antioksidan alami berasal dari tumbuhan, yang pada umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid. Berdasarkan asal terbentuknya, antioksidan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan endogen dan eksogen. Sedangkan berdasarkan mekanisme kerjanya,
5
Gambar 2 Jalur metabolik parasetamol pada hati normal (a) dan glutation <30% (b) (Sumber: Kavalci et al. 2009) antioksidan dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu: (a) Antioksidan primer (antioksidan endogen/antioksidan enzimatis), contohnya enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase (GPx). Enzim-enzim ini mampu menekan atau menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara memutus reaksi berantai dan mengubahnya menjadi produk lebih stabil; (b) Antioksidan Sekunder (antioksidan eksogen/antioksidan non enzimatis), contoh antioksidan sekunder ialah vitamin E, vitamin C, β-karoten, isoflavon, asam urat, bilirubin, dan albumin. Senyawa-senyawa ini dikenal sebagai penangkap radikal bebas (scavenger free radical), kemudian mencegah amplifikasi radikal; (c) Antioksidan Tersier, misalnya enzim metionin sulfoksida reduktase, yang berperan dalam perbaikan biomolekul yang disebabkan oleh radikal bebas (Packer & Ong 1998). Menurut Ong et al. (1995), terdapat lima mekanisme kerja antioksidan seluler, yaitu: (1) Berinteraksi langsung dengan oksidan, radikal bebas atau oksigen tunggal; (2) Mencegah pembentukan jenis oksigen reaktif; (3) Mengubah jenis oksigen reaktif menjadi kurang toksik; (4) Mencegah kemampuan oksigen reaktif; (5) Memperbaiki kerusakan
yang timbul. Penggunaan senyawa antioksidan saat ini semakin meluas seiring dengan semakin besarnya pemahaman masyarakat tentang
peranannya dalam menghambat penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, arterisklerosis, kanker, serta gejala penuaan. Masalah-masalah tersebut berkaitan dengan kemampuan antioksidan dalam bekerja sebagai inhibitor (penghambat) reaksi oksidasi oleh radikal bebas reaktif yang menjadi salah satu penyebab penyakit-penyakit di atas (Packer & Ong 1998). Tubuh manusia dapat menghasilkan senyawa antioksidan secara alami, tetapi jumlahnya sering kali tidak cukup untuk menetralkan radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh (Hernani & Rahardjo 2005). Antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan oleh oksigen reaktif dan mampu menghambat terjadinya penyakit degeneratif serta mampu menghambat peroksida lipid pada makanan. Keseimbangan antara antioksidan dan radikal bebas menjadi kunci utama pencegahan stres oksidatif dan penyakit-penyakit kronis yang dihasilkan (Packer et al. 1995). Stres oksidatif adalah keadaan ketidakseimbangan antara prooksidan dan antioksidan. Keaadaan stres oksidatif dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adalah kurangnya antioksidan atau kelebihan produksi radikal bebas. Radikal bebas sebetulnya diproduksi secara fisiologis oleh sel sebagai konsekuensi logis pada reaksi biokimia dalam kehidupan aerobik. Namun, jika radikal bebas berlebihan dan antioksidan selluler tetap atau lebih sedikit, maka
6
kelebihan radikal bebas ini tidak dapat dinetralkan dan akan berakibat pada kerusakan sel itu sendiri. Kondisi stres oksidatif yang berakibat pada kerusakan sel, dapat menyebabkan terjadinya percepatan proses penuaan, dan dapat menimbulkan penyakit jantung, kanker, dan diabetes melitus (Packer & Ong 1998). Prof. Bernhard Waltz dari Institute of Nutritional Physiology (FRNC) Karlshure, Jerman menyatakan bahwa senyawa fitokimia memiliki efek biologi yang efektif dalam menghambat pertumbuhan kanker, berfungsi sebagai antioksidan, antimikroba, menurunkan kolesterol darah, menurunkan kadar glukosa darah, bersifat antibiotik, dan menimbulkan efek peningkatan kekebalan. Fitokimia yang bersifat antioksidan aktif adalah karotenoid, polifenol, fitoestrogen, inhibitor protease, dan sulfida. Karotenoid seperti lycopene dan canthaxanthin, adalah jenis antioksidan yang memiliki kemampuan tinggi dalam memproteksi oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas. Sedangkan polifenol dikenal sebagai antioksidan tanaman yang sangat superior. Polifenol dari anggur merah dan flavanol quersetin adalah senyawa fitokimia yang dapat mencegah oksidasi low density lipoprotein (LDL) dan kolesterol sehingga dapat mencegah timbulnya penyakit kronis (Packer & Ong 1998). Fisiologi dan Fungsi Hati Hati merupakan organ tubuh yang besar, kompleks, dan terdapat di dalam rongga perut kanan atas, di bawah diafragma kanan, dan dilindungi tulang iga kanan bawah. Organ ini berwarna coklat tua dan berbobot antara 1.200-1.600 g atau sekitar 2.5% dari bobot total orang dewasa. Organ ini terbagi menjadi dua lobus, lobus kanan besarnya enam kali bagian kirinya. Setiap lobus terdiri atas ribuan lobulus yang merupakan unit fungsional. Setiap lobulus terdiri atas sel-sel hepatosit yang berbentuk kubus dan tersusun melingkar mengelilingi vena sentralis. Di antara lobulus (interlobular) terdapat saluran empedu dan kapiler (sinusoid) yang merupakan cabang vena porta dan arteria hepatika (Dalimartha 2005). Sinusoid dibatasi oleh sel Kupffer yang merupakan sistem retikuloendotelial dan mempunyai fungsi serupa dengan sel makrofag (Kaplan & Pesce 1998). Pada tikus, hati terletak pada bagian anterior ruang abdominal, memanjang dari tulang belakang sampai cartilago xiphoidea. Hati tikus terdapat empat lobus (median, lateral kanan, lateral kiri, dan kaudal). Bila dilakukan
hipatektomi, sel hati mampu melakukan regenerasi meskipun hanya sebagian sel hati yang dapat diganti. Tikus tidak memiliki kantung empedu, saluran empedu dari beberapa lobus membentuk saluran empedu umum yang masuk ke deudenum (Fox et al. 1984). Secara garis besar, fungsi hati dapat digolongkan menjadi lima besar, yaitu detoksifikasi, sekresi, penyimpanan cadangan makanan, hematologis, proteksi, dan juga berperan dalam proses metabolisme biomolekul (karbohirat, lipid, asam amino, hormon dan bilirubin) (Kaplan & Pesce 1998). Pada metabolisme tubuh, hati berperan dalam metabolisme karbohidrat, protein, dan lipid yang dikirim oleh vena porta setelah diabsorbsi dari usus. Hati dapat menyintesis lebih dari 1000 protein plasma, seperti albumin dan globulin secara de novo dari asam amino esensial dan non esensial. Hati juga dapat menyintesis asam lemak, trigliserida, kolesterol, apolipoprotein, lipoprotein, dan kolesterol ester dalam fosfolipid. Beberapa bahan hasil metabolisme ini dapat tersimpan dalam hati, seperti glikogen, trigliserida, Fe, dan Cu (Stockham & Scott 2008). Sebagai Haematologis, organ hati berfungsi mengatur keseimbangan cairan elektrolit, dan mengatur volume darah dan bersifat sebagai spons/filter karena semua makanan dan substansi yang telah diserap oleh usus halus akan dialirkan ke hati melalui sistem portal. Fungsi hati lainnya adalah detoksifikasi toksin dan radikal bebas, yaitu melalui reaksi konjugasi dengan beberapa senyawa yang dihasilkan di dalam hati, seperti glutation, asam glukoronat, glisin, dan asetat. Hati juga berfungsi sebagai organ pertahanan tubuh, yaitu dengan adanya sel Kupffer yang mempunyai kemampuan fagositosis sel-sel tua, partikel atau benda asing, sel tumor, bakteri, virus, dan parasit di dalam hati. Hati memiliki kapasitas cadangan yang besar, yaitu hanya dengan 10% - 20% jaringan hati yang masih berfungsi ternyata sudah cukup untuk mempertahankan hidup pemiliknya. Kemampuan regenerasi jaringan yang mati cukup besar sehingga akan cepat digantikan dengan yang baru (Dalimartha 2005). Hati merupakan organ yang paling sering mengalami kerusakan. Ada dua alasan mengapa hati mudah terkena racun dan kemudian mengalami kerusakan. Alasan pertama, hati menerima lebih dari 80% suplai darah dari vena porta. Vena tersebut membawa zat-zat toksik dari tumbuhan, fungi, bakteri, logam mineral, dan zat-zat kimia lain
7
yang diserap di usus ke darah portal untuk ditransportasikan ke hati. Kedua, hati menghasilkan enzim-enzim biotransformasi untuk berbagai macam zat eksogen dan endogen untuk dieliminasi di dalam tubuh. Proses ini mungkin juga mengaktifkan beberapa zat menjadi bentuk lebih toksik dan dapat menyebabkan terjadinya perlukaan hati seperti karbon tetraklorida (Jeon 2003). Sel hati memiliki bentuk ultrastruktur yang mencerminkan bahwa sel terlibat dalam berbagai fungsi metabolik yang luas. Sel ini mengandung berbagai enzim, yang meliputi enzim alanin aminotransferase (ALT), enzim aspartat aminotransferase (AST), alkalin fospatase (ALP), gamaglutamil transpeptidase (GGT), laktat dehidrogenase, dan 5nukleotidase, bilirubin, lipid, lipid peroksida. Enzim adalah protein yang dihasilkan oleh sel hidup dan umumnya terdapat di dalam sel. Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara pembentukan dan penguraian enzim. Beberapa diantara enzim tersebut dapat dijadikan sebagai parameter kerusakan hati (Ganong 2002). Apabila terjadi kerusakan sel atau peningkatan permeabilitas membran sel, enzim akan banyak keluar ke ruang ekstra sel dan ke dalam aliran darah sehingga dapat digunakan sebagai sarana untuk membantu diagnostik penyakit tertentu. Pemeriksaan enzim yang biasa dilakukan untuk diagnosis kerusakan hati adalah ALT dan AST (Ratnaningsih 2003). Enzim ALT dan AST merupakan enzim intraseluler yang berfungsi untuk mengatalisis pemindahan gugus amino dari alfa amino ke asam alfa keto. Enzim AST merupakan enzim mitokondria yang berfungsi mengatalisis pemindahan bolak-balik gugus amino dari asam aspartat ke asam α-oksaloasetat membentuk asam glutamat dan oksaloasetat. Enzim ini tidak spesifik untuk disfungsi hati karena enzim ini juga banyak ditemukan pada otot rangka, pankreas, jantung dan ginjal. Kadar enzim AST akan meningkat apabila terjadi kerusakan sel yang akut seperti nekrosis hepatoseluler dan infark kardium. Jumlah AST meningkat secara nyata dalam gangguan fungsi hati dan saluran empedu, penyakit jantung dan pembuluh darah, serta gangguan fungsi ginjal dan pankreas. Sedangkan ALT merupakan enzim yang terdapat pada sitosol hati dan terlibat dalam glukoneogenesis, meningkatnya kadar enzim ALT dalam darah terutama disebabkan oleh kerusakan sel hati dan sel otot rangka. Kerusakan diawali dengan perubahan permeabilitas membran yang diikuti dengan
kematian sel. Enzim ini berperan dalam mengkatalisis pemindahan gugus amino dari alanin ke asam α-ketoglutarat membentuk asam glutamat dan asam piruvat (Kaplan & Pesce 1998). Menurut Stockham & Scoot (2008), enzim ALT merupakan indikator terbaik dalam melihat kerusakan hati. Pada gangguan sel hati yang ringan maka enzim sitoplasma akan merembes ke dalam serum terutama enzim ALT. Oleh karena itu, kadar enzim ALT bersifat khas dan spesifik terhadap kerusakan sel hati sehingga sangat cocok sebagai tes untuk menentukan adanya gangguan fungsi hati walaupun dalam derajat ringan. Pada manusia, nilai normal kadar enzim ALT berkisar antara 5 hingga 25 U/L, dan AST antara 5 hingga 35 U/L (Baron 1992). Sedangkan pada tikus, nilai normal kadar enzim ALT berkisar antara 19,3 hingga 68,9 U/L dan AST antara 29,8 hingga 77,0 U/L (Pillchos et al. 2004 di dalam Windyagiri 2006). Bahan-bahan toksik dapat menyebabkan berbagai jenis kerusakan hati, diantaranya degenerasi, perlemakan hati, nekrosis hati, dan sirosis. Degenerasi suram, berbutir, albuminoid atau parenkim sering terlihat pada kejadian keracunan dan bersifat reversibel. Ciri-ciri sel hati yang mengalami degenersi adalah hati membesar, tepinya membulat, konsistensinya rapuh, sedangkan bidang sayatannya berwarna belang atau beraspek seperti telah dimasak. Perlemakan hati terjadi bila hati mengandung berat lipid lebih dari 5%. Beberapa hal yang dapat menyebabkan perlemakan patologis hati adalah hipoksemi karena hati tidak dapat membakar lemak, atau karena adanya toksin yang mengakibatkan penurunan fungsi lipolitik hati dan terjadi penimbunan lipid intrasel sehingga sitoplasma tampak bervakuola (Ressang 1984). Nekrosis hati adalah kematian sel hati. Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral, pertengahan, dan perifer) atau masif. Pada umumnya nekrosis toksopatik hanya memerlukan waktu singkat untuk menimbulkan gejala klinis. Biasanya secara hispatologi terlihat nekrosis setempat, teratur dan tersebar di seluruh hati, akan tetapi bila racun sangat kuat maka akan terlihat gambaran nekrosis terpencar. Sirosis hati adalah suatu keadaan yang menggambarkan pangerasan hati. Sirosis dapat disebabkan oleh berbagai hal tetapi penyebabnya belum diketahui secara pasti. Pada umumnya bahanbahan toksik dan parasit dapat menyebabkan sirosis hati (Ressang 1984; Price 1995).