Prosiding Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XIV
KEHALALAN PRODUK OBAT-OBATAN, TERUTAMA OBAT HERBAL
Raafqi Ranasasmita1 dan Anna P. Roswiem2 1
Pusat Teknologi Farmasi dan Medika (P-TFM), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Gedung Laptiab 1, Puspiptek, Serpong, Indonesia 15314
2
Departemen Biokimia, Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor (IPB), Darmaga, Bogor
ABSTRACT The increasing trend of herbal drug consumption has also occurs in moslems consumer. These groups of consumer have their own ethics of consuming, which is widely acknowledge as halal. Halal ethics is based on the guidelines stated in the Qur’an (moslem’s holy scripture) and Sunnah (a record of compilation of the traditions in the life, actions, and teachings of Muhammad the Prophet). Basically every material is halal with view exceptions. The rapid developement of technology and global trade have made the halal-status assessment of a product became difficult. This paper will provide several guidelines in ensuring the halal status of herbal drugs. The critical poin in determining halal status is on the extraction, fermentation and the use of excipient material during the development of herbal drugs. Additional critical point in assuring halal status also lies in the packaging, storage and distribution of the product. The low interest in producing halal drug is due to the lack of data regarding the potention of halal-drug market, the vital status of most drug (making halal consideration put aside), low demand of such product from the consumer and lack of knowledge regarding the halal requirement (since the manufacturing involved high and complicated technology) Keyword: halal, herbal, drug
1. PENDAHULUAN Obat merupakan sebuah senyawa atau campuran senyawa yang dapat digunakan untuk mempengaruhi atau mempelajari kondisi fisik atau penyakit, sehingga dapat dilakukan diagnosis, pencegahan, pengobatan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi (SK Menteri Kesehatan No. 47/MenKes/SK/11/1981). Ketidakmampuan obat modern dalam mengatasi penyakit tertentu dan efek samping yang ditimbulkan pada pemakaiannya, telah membuat penggunaan obat herbal menjadi populer. Hal lain yang mendorong pemakaian obat herbal adalah tingginya biaya berobat secara modern dan kenyataan bahwa pengobatan herbal lebih dapat diterima secara budaya dan secara spiritual (Taylor 2001). Beberapa obat obat herbal telah dimasukkan dalam daftar obat essensial nasional, antara lain seperti yang dilakukan pemerintah Thailand (Riewpaiboon 2006). Penggunaan obat herbal oleh masyarakat Amerika
552
Prosiding Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XIV
Serikat telah meningkat sebesar 380% (dengan peningkatan rerata 2.5–12.1% per tahun) antara tahun 1990 hingga 1997, dengan pembelanjaan sebesar 5.1 milyar US$ hanya pada tahun 1997 (Ernst 2005). Fakta ini menunjukkan tren meningkatnya minat untuk mengonsumsi obat herbal di berbagai belahan dunia.
2. KONSUMSI OBAT HERBAL OLEH KONSUMEN MUSLIM INDONESIA Konsumen obat di indonesia didominasi oleh umat Islam. Sebagai seorang muslim, ada beberapa tuntutan yang harus diikuti dalam hal etika konsumsi obat, termasuk pada obat herbal. Salah satunya adalah memperhatikan status kehalalan obat tersebut. Halal (dari bahasa Arab halal) secara istilah dapat diartikan sebagai diperbolehkan (Eliasi & Dwyer 2002). Obat yang halal merupakan segala macam obat yang diperbolehkan untuk dikonsumsi berdasarkan aturan Islam. Haram (berarti dilarang) merupakan segala sesuatu yang secara tegas dilarang Allah SWT untuk dilakukan, atau dikonsumsi. Sebenarnya, kedua istilah ini (halal-haram) berlaku pula untuk segala aktivitas dan pemikiran yang dilakukan oleh seorang muslim, namun tulisan ini akan membatasi pengertiannya sebatas pada etika konsumsi. Hal ini untuk membuat pembahasan menjadi fokus. Pada dasarnya, status kehalalan suatu obat sangat mudah diketahui. Hampir semua barang adalah halal untuk dikonsumsi sebagai obat, dengan beberapa pengecualian. Hanya ada sedikit barang yang haram dikonsumsi dan Islam telah memberikan panduan yang jelas mengenai hal tersebut. Panduan ini tertuang dalam Al-Qur’an (kitab suci umat Islam) dan Sunnah (kompilasi catatan [hadits] mengenai kehidupan, tindakan dan pemikiran Nabi Muhammad). Apabila tidak terdapat arahan khusus mengenai hal ini dalam kedua panduan tersebut, maka diperlukan sebuah fatwa (panduan lisan maupun tertulis) berdasarkan ijma’ (konsensus ulama) dan qiyas (penggunaan analogi terhadap hal serupa) berdasarkan mazhab (kelompok pemikiran) tertentu, yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang (Riaz & Chaudry 2004). Otoritas yang berwenang dalam hal ini adalah ulama perseorangan maupun secara terorganisasi (melalui pengesahan fatwa oleh dewan fatwa atau komisi fatwa). Otoritas ini harus memiliki kompetensi dalam pengetahuan terkait dan diakui oleh umat Islam. Salah satu dasar hukum diharuskannya pemakaian obat halal adalah hadits Rasullah SAW, dimana beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT tidak membuat penyakit kecuali ada obatnya, dan Allah SWT membuat obat buat setiap penyakit. Karena itu hendaklah kamu berobat dan jangan berobat dengan yang haram “ (Riwayat Abu Ad Darda). Obat-obatan
553
Prosiding Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XIV
yang haram dikonsumsi adalah produk dan turunan produk yang berasal dari babi, binatang yang disembelih tidak atas nama Allah (tuhan), khamr (minuman keras), bangkai (kecuali ikan) dan darah (Riaz & Chaudry 2004; Nasir & Pereira 2008; AIFDC ICU 2008). Hal ini tercantum dalam surat Al Baqarah ayat 168, 172-173, surat Al An’am ayat 145 serta surat Al Maidah ayat 3, 90-91. Dalam hadits, ada beberapa tambahan produk yang dilarang untuk dikonsumsi. Hal itu antara lain binatang buas bercakar, burung pemangsa bercakar tajam, binatang yang menjijikkan, serta binatang yang tidak boleh dibunuh (semut dan lebah). Selain kategori diatas, ada pula barang yang dikategorikan sebagai najis. Najis diartikan sebagai kondisi kotor, yakni bila sesuatu terkena bahan najis tersebut niscaya benda itu memerlukan pencucian yang khusus, bahkan menjadi haram hukumnya untuk dikonsumsi. Penerapan proses produksi obat yang halal diperkirakan akan meningkatkan penerimaan konsumen terhadap produk tersebut, yang akan berdampak pada peningkatan penjualan. Hal ini dikarenakan adanya kecenderungan dimana konsumsi turut dipengaruhi oleh budaya (agama) yang dianut oleh konsumen (Merz & Yi 2008; Tuschinsky 1995; Cleveland 2009). Sayangnya, tren minat untuk menjamin agar proses produksi berlangsung halal dalam industri obat tidak sepesat yang sebagaimana yang terlihat pada industri makanan-minuman. Ada beberapa hal yang menyebabkan hal ini, antara lain belum adanya data mengenai besaran pasar dan potensi pasar obat halal. Ini menyebabkan rendahnya minat produsen karena belum melihat potensi keuntungan yang akan didapatkan dengan memproduksi obat halal (yang mungkin akan meningkatkan biaya produksi). Hal lain yang diduga menyebabkan hal ini terjadi adalah pandangan umum dimana obat dianggap sebagai produk yang vital (baca: mempengaruhi
hidup-mati)
sehingga
kemungkinan
ketidakhalalan
sebuah
obat
dikesampingkan dengan alasan kegawatan obat tersebut. Disamping kedua hal itu, rendahnya permintaan konsumen dan dokter akan obat halal membuat tidak adanya tekanan terhadap produsen untuk menginisiasi produksi obat secara halal. Rendahnya permintaan dari kedua konsumen ini antara lain kekurang pengetahuan akan bahan dan proses produksi yang mampu menyebabkan sebuah obat menjadi haram dikonsumsi. Apalagi, industri obat adalah industri yang melibatkan teknologi tinggi dan bahan mentah beragam yang memerlukan keahlian tersendiri untuk memahaminya. Tulisan ini akan berusaha menyoroti kekurangan pada bagian terakhir, yakni minimnya pengetahuan menganai aspek kehalalan obat herbal.
554
Prosiding Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XIV
3. TITIK KRITIS KEHALALAN PRODUKSI OBAT HERBAL Berdasarkan panduan Al-Qur’an dan Sunnah, sebenarnya sangat mudah untuk menentukan kehalalan suatu obat. Obat-obatan ini setidaknya harus memenuhi 3 aspek terkait, yakni: 1.
Tidak terbuat dari bahan haram (untuk obat dalam).
2.
Tidak terbuat dari bahan yang najis (obat luar dan dalam).
3.
Tidak terkontaminasi oleh bahan haram (dalam proses produksi, penyimpanan, dan distribusi).
Semua tanaman halal untuk dikonsumsi, kecuali tanaman yang memiliki efek samping merugikan, seperti beracun. Obat herbal termasuk sediaan kering dan sediaan galenik (ekstrak, minyak atsiri, infusi atau larutan tanaman dll) dapat dikatakan halal (Taylor 2001). Ada asAsumsi bahwa obat herbal berstatus halal telah mendorong konsumsi obat ini terkait keterikatan budaya (Merz & Yi 2008; Tuschinsky 1995; Cleveland 2009), meski perlu penelaahan lebih lanjut. Namun yang perlu diwaspadai adalah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (terutama manufaktur) membuat penilaian mengenai status kehalalan menjadi tidak mudah. Hal ini ditambah lagi dengan terjadinya kenyataan perdagangan bebas dimana proses produksi bahan mentah dan obat terjadi pada daerah yang berjauhan, dengan kondisi lingkungan yang berbeda. Hal lain yang menjadi kritis adalah pada aspek proses produksi, pengemasan, penyimpanan dan distribusi yang mampu menjamin dicegahnya kontaminasi silang bahan haram ke dalam obat herbal yang halal. Sediaan kering tanaman obat dapat dikatakan halal untuk dikonsumsi, asalkan tidak terdapat pemrosesan lebih lanjut (selain proses pengeringan) dan tidak tercemari oleh bahan-bahan yang bersifat najis (kotor). Obat herbal yang berasal dari terkadang memerlukan pemrosesan lebih lanjut untuk meningkatkan khasiatnya. Setidaknya ada 3 titik kritis yang menentukan kehalalan obat, yakni proses dan bahan isolasi melalui ekstraksi, proses dan bahan fermentasi dan penggunaan bahan pendukung (eksipien). Upaya ektraksi bahan aktif dapat dilakukan dengan penggunaan pelarut, antara lain alkohol. Alkohol sebagai salah satu bahan yang menyebabkan efek serupa khamr, yakni memabukkan, memiliki ketentuan khusus dalam penggunaannya. Majelis Ulama Indonesia sendiri memperbolehkan pemakaian etanol sebagai pelarut apabila dalam produk akhir tidak terkandung residu alkohol. Alkohol yang digunakan pun tidak boleh merupakan produk samping industri minuman keras (AIFDC ICU 2008; AIFDC ICU 2009).
555
Prosiding Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XIV
Selain melalui proses ekstraksi, obat herbal terkadang didapatkan melalui proses fermentasi. Hal ini antara lain dapat dilihat pada proses pembuatan jus mengkudu (Morinda citrifolia). Proses fermentasi yang terlalu lama dapat menyebabkan kadar alkohol meningkat hingga mencapai taraf yang memabukkan, sehingga tergolong haram. Selain itu, tujuan awal dari pembuatan jus tersebut pun perlu ditelaah, apakah untuk meningkatkan zat aktif dari mengkudu atau sekaligus untuk mendapatkan efek minuman keras. Apabila diniatkan untuk membuat minuman keras, hal ini tentu dilarang dan menjadikan jus mengkudu tersebut haram hukumnya. Salah satunya hal lain yang menentukan kehalalan proses produksi obat terkait dengan penambahan bahan-bahan farmasetik, yakni bahan tambahan (bukan obat) yang diracik bersama obat membentuk produk farmasetik. Bahan-bahan tersebut bisa berupa substansi pembasah, gelidan, bufer, emulsifier, pewarna, perisa, pemanis, pengisi tablet, pelarut, bahan enkapsulasi, dll. Bahan-bahan ini bisa saja berasal dari bahan mentah atau proses produksi yang membuatnya menjadi haram. Bahan kapsul, sebagai contoh, tergolong sebagai bahan yang kritis status kehalalannya. Kapsul diperlukan untuk mengemas obat herbal sehingga tercapai tujuan yang diinginkan. Kapsul umumnya terbuat dari gelatin, sementara kebanyakan gelatin berasal dari babi. Produksi gelatin dunia pada tahun 2007 adalah sebesar 326.000 ton, dengan 46% diantaranya berasal dari kulit babi, 29.4% dari kulit sapi, 23.1% dari tulang sapi, dan 1.5% dari bagian lain (Karim & Bhat 2008). Terkadang, obat herbal dalam proses formualsinya menggunakan campuran tambahan material yang berasal dari hewan, seperti tulang atau kelenjar hewan. Hal ini pun harus diwaspadai dengan memastikan bahwa hewan tersebut tergolong halal. Salah satu hal yang mampu menjadikan diperbolehkannya pemakaian suatu substansi haram sebagai obat adalah vitalnya obat tersebut dan ketiadaan alternatif pengganti obat tersebut. Namun, hal ini memerlukan penilaian ilmiah yang cermat dan hati-hati. Contohnya akan diberikan dalam dua kasus. Kasus pertama adalah pada penggunaan sodium (natrium) heparin dan kalsium heparin. Salah satu sumber senyawa ini yang umum adalah yang berasal dari mukosa usus babi. Bahan ini antara lain berfungsi antikoagulan darah dalam upaya mencegah penyumbatan akibat gumpalan darah yang menyumbat (penyebab serangan jantung). Ia pun berperan penting mencegah penyumbatan darah pada saat operasi jantung dan pada saat dialisis darah. Mengingat pentingnya bahan ini sebagai antikoagulan, ada yang melegalkan (baca: menghalalkan) penggunaan obat ini meskipun berasal dari bahan haram. Namun, penilaian yang ilmiah dan sistematis makan menemukan bahwa ternyata ada alternatif bahan
556
Prosiding Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XIV
yang halal, yakni yang berasal paru-paru sapi (yang tentunya disembelih atas nama Allah). Dalam kasus ini, pemakaian sodium heparin yang berasal mukosa usus babi menjadi haram karena ketersediaan alternatif. Kasus kedua adalah pada pemakaian vaksin X yang menggunakan enzim tripsin sebagai katalis. Tripsin umumnya digunakan untuk melepaskan sel vero dari mikrokarrier (biasanya N,N-diethyl amino ethyl) pada proses produksi vaksin. Tripsin diperoleh dari ekstraksi protease menggunakan asam atau alkohol dari pankreas mamalia (umumnya babi). Enzim ini sangat umum digunakan dalam produksi antara lain vaksin polio oral dan vaksin polio inaktif (Martindale 1977; Parfit 1999). Enzim ini tidak akan terdeteksi pada produk akhir. (Asumsi atas) ketiadaan residu tripsin pada produk akhir dan pentingnya vaksin tersebut membuat penilaian umum menganggap halalnya vaksin yang dibuat menggunakan enzim tripsin babi. Sebenarnya, ada alternatif enzim tripsin yang berasal dari sapi. Namun, pemakaian yang belum umum (sehingga memerlukan penelitian mendalam) dan berjangkitnya penyakit BSE (bovine spongiform encephalopathy) yang populer sebagai penyakit sapi gila, menyebabkan penggunaan enzim tripsin dari sapi menjadi dihindari. Dalam kasus ini, pemakaian vaksin yang menggunakan tripsin babi dalam proses produksinya menjadi halal, sepanjang tiadanya alternatif lain. Namun, proses penelitian untuk mencari alternatif proses produksi yang halal harus terus menerus didorong untuk mengurangi konsumsi obat haram karena alasan keterpaksaan. Aspek kehalalan obat juga sangat terkait dengan obat yang berasal dari produk yang mengalami rekayasa genetik, yang populer disebut GMO (genetically modified organism). Secara tradisional, pengenalan (onkorporasi) gen asing dilakukan melalui sistem persilangan atau perkawinan. Proses ini memakan waktu, dan hasilnya pun memiliki variasi dengan derajat tertentu. Hal ni diatasi dengan teknologi rekayasa genetika. GMO melibatkan sebuah penyisipan sebuah gen asing (dari sebuah spesies) ke dalam gen spesies yang berlainan jenis (Al-Hayani 2007; Chassy 2009). GMO pun dapat berlaku pada sebuah tanaman untuk memperbaiki karakteristik tanaman tersebut. Umat Islam belum memiliki panduan yang jelas dan global mengenai proses ini. Namun secara sederhana, sudah ada kesepakatan mengenai haramnya konsumsi produk yang berasal dari rekayasa genetika dengan menggunakan gen binatang yang haram untuk dikonsumsi (seperti gen babi). Jelas, obat herbal yang berasal dari tanaman GMO yang mengandung gen babi dapat dipastikan keharamannya.
557
Prosiding Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XIV
4. PENUTUP Berdasarkan panduan Al-Qur’an dan Sunnah, sebenarnya sangat mudah untuk menentukan kehalaln suatu obat. Hal ini terutama berlaku pada obat herbal dimanasemua tanaman (kecuali yang merugikan) dijamin kehalalannya untuk dikonsumsi. Namun, keterlibatan teknologi yang berkembang pesat dan perdagangan bebas membuat penilaian ini tidak mudah. Ada banyak aspek yang harus dipenuhi dan dipelajari. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan sebuah rangsangan agar pihak-pihak terkait memperhatikan aspek produksi, pengemasan, penyimpanan dan distribusi obat-obatan sehingga terjamin kehalalannya. Hal ini demi terpebuhinya hak konsumen muslim untuk mengonsumsi obat halal. Sehingga, obat-obatan yang ada tidak hanya menyembuhkan namun juga memberikan ketentraman batin karena sudah sesuai koridor yang telah digariskan agama.
5. DAFTAR PUSTAKA Al-Hayani FA. 2007. Biomedical ethics: muslim perspectives on genetic modification. Zygon 42 (1): 153-162. [AIFDC ICU] The Assessment Institute for Foods, Drugs, and Cosmetics, Indonesian Council of Ulama. 2008. General Guidelines of Halal Assurance System. Jakarta: AIFDC ICU. [AIFDC ICU] The Assessment Institute for Foods, Drugs, and Cosmetics, Indonesian Council of Ulama. 2009. General Guidelines of Halal Assurance System. Jakarta: AIFDC ICU. Boland MJ. 2002. Aqueous two-phase extraction and purification of animal proteins. Molec Biotechnol 20: 80-93. Chassy BM. 2009. Global Regulation of Transgenic Crops. Dalam Kriz AL dan Larkins BA (ed.), Molecular Genetic Approaches to Maize Improvement: 107-124. Vol 63. Heidelberg: Springer-Verlag Berlin. Cleveland M. 2009. Acculturation and consumption: Textures of cultural adaptation (in press). Int J Intercult Relat. Eliasi JE, Dwyer JT. 2002. Kosher and halal: Religious observances affecting dietary intakes. J Am Diet Assoc 101 (7): 911-913. Ernst E. 2005.The efficacy of herbal medicine: an overview. Fundamen Clin Pharmacol 19: 405–409. Karim AA, Bhat R. 2008. Gelatin alternatives for the food industry: recent developments, challenges and prospects. Trends Food Sci Tech 19: 644-656. Kocturk TO. 2002. Food rules in the Koran. Scandinav J Nutr 46 (3): 137–139. Merz MA, Yi H. 2008. A categorization approach to analyzing the global consumer culture debate. IntMarketing Rev 25 (2): 166-182. Mian R. 1999. Examining the halal market. Prep Foods 81-85. Mian R, Chaudry M. 2004. Halal Food Production. Boca Raton: CRC Pr.
558
Prosiding Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XIV
Riewpaiboon A. 2006. Increasing herbal product consumption in Thailand. Pharmacoepidemiol Drug Safety 15: 683–686. Taylor JLS. 2001. Towards the scientific validation of traditional medicinal plants. Plant Growth Reg 34: 23–37. Tuschinsky C. 1995. Balancing hot and cold balancing power and weakness: social and cultural aspects of Malay jamu in Singapore. Soc Sci Med 41 (II): 1587-1595.
559