POTENSI SUSU KAMBING FERMENTASI DENGAN PENAMBAHAN DAUN KARI (MURRAYA KOENIGII) SEBAGAI PEMUTIH KULIT
ZURAIDA HANUM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Potensi Susu Kambing Fermentasi dengan Penambahan Daun Kari (Murraya koenigii) sebagai Pemutih Kulit adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2016 Zuraida Hanum NIM D 161110021
RINGKASAN ZURAIDA HANUM. Potensi Susu Kambing Fermentasi dengan Penambahan Daun Kari (Murraya koeonigii) sebagai Pemutih Kulit. Dibimbing oleh CECE SUMANTRI, PURWANTININGSIH, IRMANIDA BATUBARA dan EPI TAUFIK. Perawatan kulit ditujukan sebagai salah satu upaya perlindungan terhadap dampak negatif dari paparan langsung sinar matahari atau radiasi sinar ultraviolet pada kulit manusia, diantaranya adalah pencoklatan/perubahan warna kulit menjadi lebih gelap (tanning) atau hiperpigmentasi. Susu kambing merupakan sumber minyak hewani yang dapat dikembangkan untuk sediaan kosmetik. Susu kambing memberi kelembaban pada kulit sehingga mencegah kulit cepat kering dan juga menjaga kulit dari keterpaparan sinar matahari secara langsung sehingga kulit terlihat lebih cerah. Pengolahan susu kambing berupa fermentasi dengan menggunakan bakteri asam laktat, diduga berfungsi sebagai pemutih kulit. Penambahan ekstrak tanaman diujikan sebagai pemutih kulit atau inhibitor sintesis melanin karena memiliki zat aktif seperti fenolik, flavonoid dan zat derivatif lainnya. Daun kari diduga memiliki senyawa fenolik, biasanya pengaruh ini terkait sebagai zat antioksidan dan aktivitas inhibitor sintesis melanin Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji potensi bakteri asam laktat (BAL), sebagai kultur starter pada fermentasi susu kambing Peranakan Etawah dengan daun kari (Murraya koenigii) sebagai pemutih kulit. Proses pemutih kulit berkaitan dengan penghambatan aktivitas tirosinase, antioksidan dan penghambatan pembentukan melanin pada kultur sel B16F0 melanosit. Kultur BAL yang digunakan yaitu Lactobacillus plantarum TW 14 dan Lactobacillus rhamnosus TW 2, hasil isolasi Setyawardani (2012). Daun kari yang diperoleh dari Provinsi Aceh, lazim digunakan oleh masyarakat setempat sebagai bumbu masakan. Susu yang digunakan merupakan susu kambing Peranakan Etawah. Sebelum susu dipasteurisasi, terlebih dahulu dilakukan pengamatan terhadap berat jenis, kandungan protein dan kandungan lemak dari susu. Selanjutnya susu diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. BAL yang digunakan sebelumnya telah mengalami proses pengayaan, kemudian dihitung kembali populasinya, diidentifikasi ulang sifat morfologi, fisiologi dan kimiawinya. Kurva dihitung dari 0-42 jam dan fase logaritmik ditetapkan sebagai kultur kerja. Tahapan pertama penelitian adalah mengkaji pengaruh penambahan starter sejumlah 3%, 4% dan 5% terhadap viabilitas BAL. Luaran tahap pertama digunakan sebagai acuan tahapan kedua. Tahapan kedua dilakukan untuk mengkaji pengaruh waktu inkubasi dan penambahan daun kari terhadap susu. Daun kari ditambahkan pada susu setelah dilakukan analisis terhadap kadar air, kadar abu dan diekstraksi menggunakan etanol serta dilanjutkan dengan pengujian fitokimia, fenolik, antioksidan dan inhibitor tirosinase. Ekstraksi susu dengan dan tanpa penambahan daun kari dilakukan dengan cara sentrifugasi, hasil ekstraksi disimpan pada suhu -20 oC. Analisis pada tahap pertama dan kedua meliputi uji tirosinase pada substrat L-Tirosin dan L-Dopa serta uji antioksidan. Tahapan ke-3 merupakan pengujian terhadap luaran tahapan kedua, berupa perlakuan dengan waktu inkubasi terbaik. Pengujian pada tahap ketiga merupakan
uji in vitro penghambatan melanin pada kultur sel B16F0 melanosit oleh daun kari dan susu. Hasil analisis menunjukkan bahwa susu kambing Peranakan Etawah yang digunakan memiliki berat jenis, kadar protein dan kadar lemak, masing-masing sebesar 1.028 g/ml, 3.73 % dan 5.45 %. Kualitas susu ini masih sesuai dengan standar yang ditetapkan. Identifikasi ulang pada bakteri asam laktat juga masih menunjukkan sifat yang sama secara morfologi, fisiologi dan biokimia. Kurva tumbuh BAL TW 14 dan TW 2 masing-masing optimum pada jam ke 13 dan jam ke 12. Konsentrasi starter terbaik dilihat dari nilai antioksidan dan penghambatan tirosinase adalah 5% dengan masa inkubasi selama 24 jam. Daun kari memiliki kadar air dan abu masing-masing sebesar 38.55% dan 10.55%. Daun kari mengandung fenolik, alkaloid, terpenoid, flavonoid dan steroid, dengan kandungan total fenolik sebesar 16.21%. Ekstrak etanol daun kari memiliki nilai kapasitas antioksidan 1,289 mg dalam 1 g asam askorbat, aktivitas penghambatan tirosinase IC50 sebesar 317,5 ppm pada substrat L-Tirosin dan 793.7 ppm pada substrat L-Dopa dengan kontrol positif dari asam kojat sebesar 9.4 ppm pada substrat L-Tirosin dan 52.5 ppm pada substrat L-Dopa. Hasil pengamatan pada tahap ketiga berupa viabilitas sel, penghambatan melanin secara intraseluler dan ekstraseluler pada kultur sel B16F0. Ekstrak etanol daun kari secara viabilitas sel, bersifat toksik terhadap sel dan tidak memberikan pengaruh penghambatan melanin secara intraseluler dan ekstraseluler. Secara viabilitas sel fermentasi susu dari semua perlakuan tidak bersifat toksik pada sel B16F0. Susu kambing dapat menghambat melanin secara intraseluler B16F0, pada konsentrasi 66.7 mg/ml, sebesar 17%. Susu kambing dengan penambahan ekstrak daun kari, memberikan nilai penghambatan melanin pada konsentrasi 16.7 mg/ml, secara intraseluler dan ekstraseluler masing-masing sebesar 23% dan 25%. Susu yang difermentasi menggunakan starter TW 14 memberikan nilai penghambatan melanin pada konsentrasi 66.7 mg/ml, secara intraseluler dan ekstraseluler masing-masing sebesar 8% dan 27%. Susu yang difermentasi menggunakan starter TW 14 dan daun kari, memberikan nilai penghambatan melanin pada konsentrasi 66.7 mg/ml, secara intraseluler dan ekstraseluler masing-masing sebesar 14% dan 18%. Susu yang difermentasi menggunakan starter TW 2, memberikan nilai penghambatan melanin pada konsentrasi 66.7 mg/ml, secara intraseluler dan ekstraseluler masing-masing sebesar 22% dan 16%. Susu yang difermentasi menggunakan starter TW 2 dan daun kari, hnya memberikan nilai penghambatan melanin pada konsentrasi 66.7 mg/ml, secara intraseluler dan ekstraseluler masing-masing hanya sebesar 6% dan 3% dari hasil penelitian ini. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan susu kambing mencapai potensi optimum sebagai pemutih kulit dengan penambahan daun kari. Penggunaan BAL TW 14 dan TW 2 sebagai starter pada fermentasi susu kambing mencapai potensi optimum sebagai pemutih kulit tanpa penambahan daun kari. Kata kunci: fermentasi susu, daun kari, pemutih kulit, inhibitor tirosinase, antioksidan , kultur sel B16F0
SUMMARY ZURAIDA HANUM. Potency of Fermented Goat Milk with Curry Leaves (Murraya koenigii) Addition as Whitening Agent. Supervised by CECE SUMANTRI, PURWANTININGSIH, IRMANIDA BATUBARA dan EPI TAUFIK. Skin care is intended as effort to protect from the negative impact by direct exposure of sunlight or ultraviolet radiation constantly to human’s skin including browning/changing of skin color to be darker (tanning) or hiperpigmentation. Goat’s milk is one of the sources of animal oil that could be developed for cosmetic supply. Goat’s milk give humidity to skin to prevent from quick dried and also keep the skin from exposure of sunlight directly to make the skin is lighter. Treatment of goat’s milk such as fermentation by using lactic acid bacteria is expected to have function as whitening agent. The addition of plant’s extract that assayed as whitening agent or inhibitor of melanin is also expected to have the function. Curry leaves is one of the plant leaves which is suspected to have phenolic compound, these effect related as antioxidant substance and melanin synthesis inhibitor activity. This research was aimed to observe the potential of goat milk, lactic acid bacteria (LAB) and curry leaves (Murraya koenigii) as whitening agent. The process of skin whitening has related to tyrosinase inhibitory activity, antioxidant, and inhibition of melanin formation. Lactobacillus plantarum TW 14 and Lactobacillus rhamnosus TW 2 which was isolated by Setyawardani (2012), were used as LAB starter in this research. Curry leaves were obtained from Aceh, the area where this leaves is normally used by local communities as food ingredients. Peranakan Etawah goat’s milk was used as main material of the experiment. Prior to pasteurization, the milk samples analyzed for its specific gravity, protein and fat content. Subsequently, milk were incubated in 37 oC for 24 hours. Lactic acid bacteria were resuscitated to revive its viability and re-identified of their morphology, physiology and chemical. The growth curve of LAB was calculated from 0 to 42 hours and logarithmic phase was selected for working culture. The first stage of the experiment was to observe the influence of starter addition (3%, 4%, and 5%) on LAB viability. The first stage output was used as benchmark of the second stage. The second stage was done to observe the influence of incubation time and addition of curry leaves on milk. Curry leaves were added into milk after leaves were analyzed for the water and ash contents, and extracted with ethanol which was continued by phytochemical assay, phenolic, antioxidant, and tyrosinase inhibitor content. The extract was stored in temperature of minus 20oC. The tyrosinase assay with substrate L-Tyrosin and LDopa and also antioxidant assay done in both of the first stage and the second one. The treatment with best time of incubation as the result in the seond stage, was used analysis of melanin inhibition in cell culture of melanocytes. The results showed that the quality of Peranakan Etawah milk namely specific gravity, protein and fat content were 1.028 g/ml, 3.73 % and 5.45 %, respectively, were complied with the avalaible standard. The re-identification of
LAB showed that the bacteria were having similar characters based on their morphology, physiology and biochemistry. The L. plantarum TW 14 dan L. rhamnosus TW 2 reached their logarithmic phase in thirteenth and twelfth hours respectively. The best LAB concentration addition based on antioxidant and tyrosinase inhibitory activities was 5% with 24 hours incubation time. The analysis of curry leaves showed that the water and ash content were 38.55% and 10.55%, respectively. The phytochemical assay of curry leaves showed that the leaves contain phenolic, alkaloid, terpene, flavonoid and steroid with the total phenolic content 16.21%. The antioxidant capacity from ethanol extract of curry leaves was 1,289 mg in 1 g ascorbate acid. The value of tyrosinase activity (IC50) of curry leaves was 317.5 ppm of L-tyrosine substrate and 793.7 ppm of L-Dopa Substrate with positive control from kojic acid was 9.4 ppm of LTyrosine substrate and 52.5 of L-Dopa substrate. The results of the third stage were on cell viability, melanin inhibitory activity in intracellular and extracellular of cell culture B16F0. The cell viability content of curry leaves extract was toxic in B16F0 cell. Based on cell viability, all fermented goat milk with and without starter addition were not toxic against B16F0 cells. In concentration of 66.7 mg/ml, goat milk without starter was capable of inhibiting 17% in B16F0 cell. Fermented goat milk with addition of curry leaves only in concentration of 16.7 mg/ml was capable of inhibiting 23% and 25% intracellular and extracellular melanin, respectively. Fermented goat milk with L. plantarum TW 14 starter in concentration of 66.7 mg/ml was capable of inhibiting 8% and 27 % intracellular and extracellular melanin, respectively; while fermented goat milk in concentration of 66.7% with curry leaves and L. plantarum TW 14 starter was capable of inhibiting 14% and 18% intracellular and extracellular melanin, respectively. Fermented goat milk in concentration of 66.7 mg/ml with TW 2 starter was capable of inhibiting 22% and 16% intracellular and extracellular melanin, respectively; while fermented milk in concentration of 66.7 mg/ml with curry leaves and L. rhamnosus TW 2 starter was capable of inhibiting only 6% and 3% intracellular and extracellular melanin, respectively. It can be concluded that the goat milk could reached its optimum level as whitening agent with addition of curry leaves. The used of L. plantarum TW 14 and L. rhamnosus TW 2 as LAB starter in fermentation of the goat milk could enchanced the whitening activity without addition of curry leaves. Key Words: milk fermentation, lactic acid bacteria, curry leaves, whitening agent, tyrosinase inhibitor, antioxidants, B16F0 cell culture.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
POTENSI SUSU KAMBING FERMENTASI DENGAN PENAMBAHAN DAUN KARI (MURRAYA KOENIGII) SEBAGAI PEMUTIH KULIT
ZURAIDA HANUM
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr Drh Mirnawati B Sudarwanto Prof Dr Ir Tatik Khusniati, MAppSc
Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Drh Mirnawati B Sudarwanto Prof Dr Ir Tatik Khusniati, MAppSc
Judul Disertasi : Nama NIM
: :
Potensi Susu Kambing Fermentasi dengan Penambahan Daun Kari (Murraya koenigii) sebagai Pemutih Kulit Zuraida Hanum D 161110021
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Cece Sumantri, MSc Ketua
Prof Dr Dra Purwantiningsih S, MS Anggota
Dr Irmanida Batubara, SSi MSi Anggota
Dr Epi Taufik, SPt MVPH MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr Ir Salundik, Msi
Dr Ir Dahrul Syah, MAgrSc
Tanggal Ujian: 04 Januari 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Salam dan shalawat kepada junjungan Nabi Muhammmad Shallahu ‘alaihi wassalam atas perjuangan dan pengorbanan beliau, penyusun berkesempatan merasakan pendidikan hingga jenjang ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Cece Sumantri, MSc, Prof Dr Dra Purwantiningsih S, MS, Dr Irmanida Batubara, SSi MSi dan Dr Epi Taufik, SPt MVPH MSi selaku pembimbing, serta Prof Tohru Mitsunaga yang telah membimbing pelaksanaan penelitian di Gifu University. Ucapan terimakasih atas arahan dan saran kepada Prof Dr Drh Mirnawati B Sudarwanto dan Prof Dr Ir Tatik Khusniati, MAppSc, selaku dosen penguji luar komisi. Penghargaan penulis sampaikan kepada Dr Ir Rarah RAM, DEA (Alm) yang telah memberikan saran diawal penelitian. Ucapan terima kasih kepada Dr Ir Salundik, MSi dan Dr. Niken Ulupi, M. Si, selaku ketua dan sekretaris program studi ITP dan staf (Bu Ade dan Mbak Okta), atas pelayanan administrasi yang ramah selama penulis menempuh studi. Ungkapan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan program doktor ITP IPB angkatan 2011 (Pak Amru, Mbak Heni, Mbak Ndari, Mbak Tati, Ibu Ririt, Ibu Yayuk dan Ibu Kokom), Semoga persahabatan kita terus berlanjut dimanapun kita nantinya. Terima kasih tak terhingga atas segala bantuan di laboratorium, selama penelitian berlangsung (Mbak Ebi, Pak Sabur, Bu Yenni, Mbak Nia, Mbak Lela, Mbak Salina, Mas Nio, Pak Hendra, Yasuko dan Kosei). Terimakasih kepada adik-adik dan teman-teman yang ikut membantu di laboratorium (Kiki, Rastina, Nopi, Nae, Ana, Nova, Ali, Awlia dan Egra). Ungkapan terimakasih kepada PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) di Gifu-Jepang, yang telah banyak membantu terlaksananya tahap akhir penelitian, mulai dari keberangkatan, selama berada di Gifu hingga proses kepulangan ke tanah air. Ucapan terima kasih kepada Dekan Fakultas Pertanian Unsyiah yang telah memberikan izin tugas belajar, kepada Dr Ir Yusdar Zakaria, MS dan Dr Ir Yurliasni MSc selaku guru, senior dan kolega bagian Teknologi Hasil Ternak, Jurusan Peternakan Unsyiah, juga Ir. Mira Delima MP, Ir. Cut Intan Novita, MSi dan Veronica Wanniatie SPt, MSi, selaku sahabat yang terus menerus mendukung dan menguatkan penulis. Ungkapan terimakasih atas kebersamaan dan persaudaraan yang indah, kepada teman halaqah, khususnya murabbi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu, Ayah, Ibu dan Bapak mertua, Suami, anak-anak serta seluruh keluarga besar (Abang, Kakak, Adik, Ponakan), atas segala dukungan, doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2016 Zuraida Hanum
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Kebaruan Alur Berpikir Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Prosedur Penelitian Persiapan Susu Uji Berat Jenis Pengukuran Kadar Protein Pengukuran Kadar Lemak Tahapan Penelitian Tahapan Pertama Persiapan Bakteri Asam Laktat (BAL) Penyegaran Bakteri Asam Laktat Identifikasi Karakteristik Morfologi BAL Identifikasi Karakteristik Fisiologis BAL Penentuan Ketahanan Terhadap Suhu Penentuan Ketahanan Terhadap Garam Penentuan Ketahanan Terhadap pH Identifikasi Karakteristik Kimiawi BAL Penentuan Katalase Perhitungan Kurva Tumbuh dan Perbanyakan Kultur Ekstraksi Susu Perhitungan Inhibitor Tirosinase Pengukuran Antioksidan Tahapan Kedua Persiapan Daun Kari Identifikasi Spesies Daun Kari Penentuan Kadar Air Daun Kari Penentuan Kadar Abu Daun Kari Uji Fitokimia Uji Alkaloid Uji Fenolik Uji Saponin dan Flavonoid
1 1 3 3 4 4 5 5 5 5 6 6 6 6 7 7 7 8 8 9 9 9 10 10 10 10 10 10 11 11 11 11 12 12 13 14 14 14 14
Uji Terpenoid dan Steroid Uji Tanin Pengujian Total fenolik Tahapan Ketiga Pengeringan Sampel Susu Fermentasi Persiapan Kultur Sel B16F0 Melanosit Pengukuran Viabilitas Sel dan Kandungan Melanin Prosedur Analisis Data 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Susu Efektivitas Konsentrasi Starter Susu Kambing Fermentasi sebagai Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Populasi Bakteri Asam Laktat dan Kurva Tumbuh Reidentifikasi Bakteri Asam Laktat Aktivitas Inhibitor Tirosinase Antioksidan Pengaruh Penambahan Daun Kari dan Waktu Inkubasi Susu Kambing Fermentasi sebagai Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Identifikasi Spesies Daun Kari Kadar Air Daun Kari Kadar Abu Daun Kari Fitokimia dan Total Fenolik Daun Kari Antioksidan Aktivitas Inhibitor Tirosinase Populasi Bakteri Asam Laktat Kandungan Protein Potensi Susu Kambing Fermentasi dengan Penambahan Ekstrak Daun Kari sebagai Inhibitor Melanin pada Kultur Sel B16F0 Viabilitas Sel dan Kandungan Melanin
14 15 15 15 15 15 15 16 17 17 18 18 19 20 22 23 24 24 25 25 27 29 31 32 33 34
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
39 39 39
DAFTAR PUSTAKA
39
LAMPIRAN
46
RIWAYAT HIDUP
53
DAFTAR TABEL Matrik kerja penentuan konsentrasi starter 8 Matrik kerja pengaruh penambahan daun kari dan waktu inkubasi 12 Matrik kerja pengukuran inhibitor melanin pada kultur sel B16F0 15 Kualitas susu kambing Peranakan Etawah 18 Identifikasi morfologi, fisiologi dan biokimia isolat L. plantarum TW 14 dan L. rhamnosus TW 2 20 Karakteristik L. plantarum TW 14 dan L. rhamnosus TW 2 hasil isolasi Setyawardani 20 Aktivitas inhibitor tirosinase susu fermentasi dari L. plantarum TW 14 dan L. rhamnosus TW 2 21 Aktivitas antioksidan susu fermentasi dari L. plantarum TW 14 dan L. rhamnosus TW 2 (ppm) 23 Fitokimia ekstrak etanol daun kari 25 Aktivitas Inhibitor tirosinase daun kari (Murraya koenigii) 29
DAFTAR GAMBAR 1 Alur berpikir penelitian 4 Persiapan starter dan fermentasi 9 Persiapan, ekstraksi dan pengujian daun kari 13 Lactobacillus plantarum TW 14 dan Lactobacillus rhamnosus TW 2 19 Biosintesis melanin ((Likhitwitayawuid 2008) 22 Daun,batang dan bunga tumbuhan kari 24 Kurva standar asam galat 26 Aktivitas antioksidan susu kambing fermentasi dengan penambahan ekstrak etanol daun kari (%) 28 Aktivitas Inhibitor Tirosinase susu kambing fermentasi dengan penambahan ekstrak etanol daun kari pada substrat L –Tirosin (%) 29 Aktivitas Inhibitor Tirosinase susu kambing fermentasi dengan penambahan ekstrak etanol daun kari pada substrat L –Dopa (%) 30 Populasi bakteri asam laktat dalam susu kambing fermentasi dengan penambahan daun kari 31 Kadar protein susu kambing fermentasi dengan penambahan daun kari 32 Pengaruh ekstrak etanol daun kari terhadap kultur sel B16F0 35 Pengaruh perlakuan susu kambing (SK) dan susu kambing dengan penambahan ekstrak daun kari (SKK) terhadap kultur sel B16F0 36 15 Pengaruh perlakuan susu + L. plantarum TW 14 (SKP) dan susu kambing + L. plantarum TW 14 + ekstrak daun kari (SKPK) terhadap kultur sel B16F0 36 16 Pengaruh Perlakuan susu + L. rhamnosus TW 2 (SKR) dan susu kambing + L. rhamnosus TW 2 + Ekstrak daun kari (SKRK) terhadap kultur sel B16F0 37
DAFTAR LAMPIRAN 1 Kurva tumbuh Bakteri Asam Laktat 45 2 Identifikasi spesies daun kari 46 3 Pengaruh penambahan daun kari dan waktu inkubasi terhadap susu kambing fermentasi 47 4 Nilai pengujian pada kultur sel B16F0 49 5 Izin penggunaan isolat bakteri asam laktat 51
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kambing perah di Indonesia merupakan komoditas peternakan yang memiliki prospek pengembangan yang baik. Kambing perah dapat berperan ganda sebagai penghasil susu dan daging. Selain itu, ditinjau dari kebutuhan investasi, usaha kambing perah memerlukan investasi yang jauh lebih rendah dibandingkan sapi perah. Susu kambing mempunyai globula yang lebih kecil, terhomogenisasi lebih lama sehingga tidak mudah rusak dan menangkap radikal bebas (Sunarlim dan Setyanto 2008). Ketertarikan konsumen terhadap susu kambing dewasa ini meningkat karena susu kambing diyakini memiliki banyak manfaat dari segi kesehatan dan kecantikan terutama sebagai pemutih kulit. Susu kambing merupakan sumber minyak hewani yang dapat dikembangkan untuk sediaan kosmetik. Susu kambing memiliki efek anti alergi terhadap kulit dan memberi kelembaban pada kulit sehingga mencegah kulit cepat kering dan juga menjaga kulit dari keterpaparan sinar matahari secara langsung sehingga kulit terlihat lebih cerah. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya perawatan kesehatan kulit merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya peningkatan permintaan produk-produk perawatan kulit. Perawatan kulit ditujukan sebagai salah satu upaya perlindungan dari dampak negatif kondisi cuaca yang semakin ekstrim karena pemanasan global dan penipisan lapisan ozon. Beberapa dampak negatif yang dapat muncul dari paparan langsung sinar matahari atau radiasi sinar ultraviolet secara terus menerus terhadap kulit manusia diantaranya adalah pencoklatan/perubahan warna kulit menjadi lebih gelap (tanning) atau hiperpigmentasi, kulit kemerahan, kulit kering, kulit terbakar, keriput, kerusakan kulit, iritasi, serta promotor kanker kulit. Hiperpigmentasi terjadi ketika terlalu banyak produksi melanin dan terdepositnya melanin di kulit. Melanin merupakan pigmen warna pada kulit, rambut, lapisan koroid mata dan sel-sel tumor tertentu. Hiperpigmentasi merupakan salah satu problem orang dewasa di dunia, meski bukan merupakan penyakit berbahaya. Hiperpigmentasi dapat dihambat dengan beberapa cara, seperti menghambat kerja enzim tirosinase dan produksi melanin pada sel melanosit. Pigmen melanin yang diproduksi pada sel melanosit terdiri dari dua jenis, yaitu eumelanin (pigmen cokelat-hitam) dan feomelanin (pigmen kuning-merah). Proses pembentukan melanin atau pigmen pada kulit manusia terjadi dengan bantuan biokatalis (enzim) dan sinar ultraviolet (UV) yang terdapat dalam sinar matahari. Biokatalis yang berperan dalam reaksi pencoklatan ini adalah tirosinase yang banyak ditemukan pada mamalia, buah-buahan dan juga di dalam proses pencoklatan fungi secara enzimatik (Chang 2009). Pada manusia, kelebihan produksi melanin diakibatkan terpapar sinar UV, aMelanocyte Stimulating Hormone (MSH), Agouti Signal Protein (ASP) dan peningkatan metabolisme enzim tirosinase (Sulaimon dan Kitchell 2003). Enzim tirosinase dalam sintesis melanin di melanosit, menggunakan molekul oksigen untuk mengkatalisis reaksi hidroksilasi tirosin dan oksidasi 3,4-dihidroksi fenil alanin/L-DOPA menjadi o-dopakuinon. Oksidasi DOPA menghasilkan reaksi free-radical-coupling pathway. Jika reaksi radikal bebas ini masuk dalam sintesis melanin, maka akan terjadi radikal hidroksil/OH yang merupakan bagian dari Reactive Oxigen Species/ROS. Radikal hidroksil merupakan radikal bebas paling reaktif (Kim dan Uyama 2005). Inhibitor enzim tirosinase untuk mengatur metabolisme pigmentasi telah menarik banyak perhatian, diantaranya adalah inhibitor tirosinase yang diperoleh dari senyawa
metabolit sekunder asal hewan dan tumbuh-tumbuhan. Salah satu cara untuk menghambat pembentukan melanin adalah dengan melakukan penghambatan aktivitas tirosinase (Lloyd et al. 2011). Tirosinase pada jaringan kulit diaktivasi oleh radiasi sinar UV (ultra violet) matahari sehingga mempercepat produksi melanin dan membuat kulit menjadi berwarna lebih gelap. Penghambatan pada aktivitas tirosinase memberikan efek yang menguntungkan pada beberapa individu, terutama pada kalangan wanita muda karena adanya penghambatan enzim tirosinase akan meningkatkan kecerahan kulit dengan mengurangi efek penggelapan kulit (Djajadisastra 2003). Saat ini telah banyak ditemukan bahan alam maupun bahan sintetik yang memiliki efek pencegahan terbentuknya radikal bebas dari proses pembentukan melanin dan berfungsi sebagai pemutih kulit. Beberapa contoh seperti hidrokuinon, asam kojat dan arbutin merupakan bahan yang sering digunakan sebagai bahan sediaan kometik yang berfungsi sebagai pemutih kulit. Selain itu pada beberapa tahun terakhir ini, telah banyak ekstrak tanaman yang diujikan sebagai whitening agent (pemutih kulit) atau inhibitor sintesis melanin karena memiliki zat aktif seperti fenolik, flavonoid dan zat derivatif lainnya. Biasanya pengaruh ini terkait sebagai zat antioksidan dan aktivitas scavenger (Khan 2007). Senyawa yang berasal dari bahan alam berfungsi sebagai pemutih kulit seperti senyawa yang berasal dari golongan flavonol (kuersetin, mirisetin, kaempferol), golongan isoflavon, kalkon dan stilbenoid (Chang 2009; Zheng et al. 2008). Senyawa ini sebagian besar diperoleh dari bahan alam seperti dari ekstrak tumbuhan andalas (Morus macroura) dan beberapa spesies Dipterocarpaceae, seperti Shorea assamica, S. seminis, Vatica umbonata, dan Dryobalanops oblongifolia (Hakim et al. 2008). Dari ekstrak kayu Artocarpus incisus dan A. heterophyllus diperoleh senyawa isoartokarpesin dan kloroforin yang memiliki aktivitas inhibisi yang sama dengan asam kojat (Supriyanti 2009), sedangkan dari tumbuhan mulberri (Broussonetia papyrifera) berhasil diisolasi sejumlah senyawa diantaranya adalah golongan senyawa flavon, kuersetin dan luteolin (Zheng et al. 2008). Daun kari merupakan tanaman indigenus di Provinsi Aceh yang sering digunakan dalam berbagai masakan lokal setempat dan diduga mengandung senyawa fenolik yang berfungsi sebagai antioksidan. Antioksidan dapat bereaksi dengan radikal bebas dan mengubahnya menjadi molekul yang lebih stabil. Antioksidan mengikat elektron bebas, menghentikan reaksi berantai dan mencegah kerusakan lebih lanjut. Kestabilan antioksidan dihasilkan oleh ikatan terkonjugasi sehingga elektron radikal dapat terdelokalisasi ((Vermeris dan Nicholson (2006), diacu dalam Danial (2012)). Khasiat kari telah diteliti oleh Kadam et al. (2009), daun kari digunakan sebagai aroma terapi karena mengandung minyak atsiri. Ekstrak etanol daun kari mempunyai kandungan fenolik yang tinggi yang berfungsi sebagai antioksidan yang memberikan kelembaban pada kulit. Seperti halnya susu hewani maupun nabati yang banyak digunakan dalam sediaan kosmetika, fermentasi susu dengan menggunakan bakteri asam laktat untuk kulit juga berhubungan dengan pengobatan pada luka dan luka bakar dan saat ini mulai berkembang luas sebagai material pembuatan kosmetik (Baba et al. 2006). Fermentasi susu kedelai dengan menggunakan Lactobacillus helveticus, menghasilkan susu yang mampu memberikan efek kelembaban pada kulit. Selain itu kemampuan bakteri asam laktat pada susu kedelai memberi efek menghambat melanogenesis yang diujicobakan pada kultur sel B16F0 melanosit (Chen et al. 2012). Pemanfaatan fermentasi susu kambing dengan menggunakan bakteri asam laktat genus Lactobacillus dan daun kari sebagai sediaan kosmetik belum pernah dilakukan selama ini, sehingga perlu dikaji lebih mendalam pemanfaatannya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat potensi susu kambing fermentasi dengan penambahan daun kari sebagai sediaan pemutih kulit ditinjau secara enzimatis melalui inhibitor tirosinase, antioksidan dan inhibitor melanin pada kultur sel B16F0. Fermentasi dengan menggunakan dua bakteri asam laktat yang telah
diisolasi oleh Setyawardani (2012), dari susu kambing Peranakan Etawah, yaitu Lactobacillus plantarum TW 14 dan Lactobacillus rhamnosus TW 2. Perumusan Masalah Proses pemutih kulit berkaitan dengan penghambatan sintesis melanin, pada tubuh manusia dapat direduksi dengan beberapa mekanisme, seperti antioksidan, inhibitor enzim tirosinase dan aktivitas hormon. Antioksidan dan inhibitor enzim tirosinase dapat diperoleh dari senyawa sintetik ataupun dari bahan alam yang dikembangkan sebagai bahan sediaan kosmetik. Penggunaan bahan sediaan kosmetik sintetik selain menghambat melanin, juga berdampak negatif terhadap kerusakan sel kulit yang memproduksi melanin, sehingga pemakaiannya sudah dilarang. Bahan-bahan alam mulai dikembangkan dalam sediaan kosmetik sebagai pemutih kulit, karena aman bagi kulit. Susu kambing merupakan sumber bahan alam berupa minyak hewani yang dapat dikembangkan dalam sediaan kosmetik. Pengolahan susu kambing berupa fermentasi dengan menggunakan bakteri asam laktat L. plantarum TW 14 dan L. rhamnosus TW 2, diduga berfungsi sebagai pemutih kulit. Penambahan ekstrak tanaman diujikan sebagai pemutih kulit atau inhibitor sintesis melanin karena memiliki zat aktif seperti fenolik, flavonoid dan zat derivatif lainnya. Daun kari diduga memiliki senyawa fenolik, biasanya pengaruh ini terkait sebagai zat antioksidan dan aktivitas inhibitor sintesis melanin (Gambar 1). Kebaruan 1.
2.
3.
4. 5.
Penggunaan bakteri asam laktat pada susu kambing, yang berfungsi sebagai pemutih kulit belum pernah dilakukan sebelumnya, sehingga perlu diuji potensinya dalam menghambat enzim tirosinase, sebagai antioksidan dan penghambatan sintesis melanin pada kultur sel B16F0. Potensi susu kambing sebagai pemutih kulit dalam sediaan dalam kometika belum pernah diukur kearah penghambatan enzim tirosinase, sebagai antioksidan dan penghambatan sintesis melanin pada kultur sel B16F0. Penggunaan daun kari bertujuan mengangkat potensi tanaman lokal yang diduga berpotensi sebagai penghambatan enzim tirosinase, antioksidan dan penghambatan pada kultur sel B16F0. Penambahan susu kambing fermentasi dengan daun kari sebagai pemutih kulit belum pernah dilakukan sebelumnya. Penambahan bakteri asam laktat pada susu kambing dan ekstrak daun kari yang berfungsi sebagai pemutih kulit belum pernah dikaji potensinya sebagai pemutih kulit dalam menghambat enzim tirosinase, sebagai antioksidan dan penghambatan melanin pada kultur sel B16F0.
Alur Berpikir Penelitian
a. Inhibitor Tirosinase b. Antioksidan c. Inhibitor Melanin pada Sel B16F0
Potensi Susu Kambing sebagai Pemutih Kulit
a. Susu Kambing b. Starter Bakteri Asam Laktat c. Daun Kari
a. Potensi b. Korelasi
Membandingkan Dua Potensi Starter yang Digunakan Lactobacillus plantarum TW 14 dan Lactobacillus rhamnosus TW 2 Gambar 1. Alur kerangka berpikir penelitian
Tujuan Penelitian 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7.
Mendapatkan persentase konsentrasi penambahan bakteri asam laktat terbaik pada fermentasi susu kambing sebagai inhibitor enzim tirosinase dan antioksidan. Mengidentifikasi secara kualitatif komponen fitokimia dari daun kari. Mengukur kandungan fenolik sebagai antioksidan pada daun kari. Mengidentifikasi nilai penghambatan enzim tirosinase dan antioksidan dari daun kari. Mendapatkan waktu inkubasi terbaik dari susu kambing tanpa dan dengan menggunakan starter serta penambahan daun kari sebagai inhibitor enzim tirosinase dan antioksidan. Membandingkan persentase aktivitas inhibitor melanin pada kultur sel B16F0 antara susu kambing dan fermentasi susu kambing menggunakan starter dengan dan tanpa penambahan daun kari. Membandingkan spesies bakteri asam laktat terbaik Lactobacillus plantarum TW 14 dan Lactobacillus rhamnosus TW 2 sebagai inhibitor melanin pada kultur sel B16F0.
Manfaat Penelitian 1. 2. 3. 4.
Menginformasikan potensi susu kambing sebagai sediaan kosmetika terutama sebagai pemutih kulit. Menginformasikan potensi susu kambing fermentasi dengan penambahan bakteri asam laktat sebagai pemutih kulit. Menginformasikan potensi daun kari yang selama ini digunakan sebagai bahan makanan juga punya potensi lain sebagai sediaan kosmetika. Menginformasikan potensi susu kambing fermentasi dengan penambahan bakteri asam laktat dan daun kari sebagai pemutih kulit.
2 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Agustus 2013 hingga Bulan Desember 2014. Persiapan bakteri dan fermentasi susu dilakukan di Laboratorium Terpadu dan Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ekstraksi susu fermentasi dilakukan pada Laboratorium Terpadu, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Persiapan daun kari dan ekstraksi daun kari dilakukan di Laboratorium Kimia Organik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Pengujian antioksidan dan enzim tirosinase dilakukan di Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor. Pengujian Inhibitor melanin pada kultur sel B16F0 dilaksanakan di Laboratorium Kimia Bahan Alam, Fakultas Ilmu Biologi, Universitas Gifu, Jepang. Materi Penelitian Susu kambing yang digunakan berasal dari kambing Peranakan Etawah. Susu kambing diperoleh dari Koperasi Daya Mitra Primata, Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Bogor. Fermentasi susu menggunakan dua isolat bakteri asam laktat (BAL) yaitu L. plantarum TW 14 dan L. rhamnosus TW 2. Kedua BAL ini telah diisolasi Setyawardani (2012), dari susu kambing Peranakan Etawah yang berasal dari Koperasi Daya Mitra Primata, Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Bogor. Dalam penelitian ini kedua isolat yang digunakan tersebut, dikonfirmasi kembali secara morfologi, fisiologi dan biokimianya. Daun kari (Murraya koenigii) yang digunakan diperoleh dari desa Cot Keung, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar. Kultur sel B16F0 melanosit diperoleh dari biomedical pharma, Osaka, Jepang. Bahan-bahan yang digunakan untuk persiapan bakteri asam laktat diantaranya deMan Rogosa Sharpe Agar (MRSA) (Oxoid) dan deMan Rogosa Sharpe Broth (MRSB) (Oxoid), Buffer Peptone Water (BPW) (Oxoid), pereaksi H2O2, NaCl. Pada persiapan daun kari nheksana, etanol, Reagen Follin ciocalteu’s, amil, alkohol, NH 4OH. Bahan-bahan yang dipersiapkan pada uji penghambatan tirosinase dan uji antioksidan antaranya, dimetil sulfoksida (DMSO), asam kojat, Na2HPO4, NaH2PO4 (buffer fosfat pada pH 6.5), enzim Tirosinase dan Substrat L-Tirosin dan L-DOPA, metanol 0.01 M, 2.2 dipheniyl-1pycryhidrazyl (DPPH), asam askorbat, Dulbecco Modified Eagle Medium (DMEM), Fetal Bovine Serum (FBS), penicilin, streptomycin, reagen Microculture Tetrazolium Technique (MTT), Isoprophyl alcohol, phosphate buffered saline (PBS), NaOH dan Trypsin.
Alat-alat yang digunakan diantaranya inkubator, waterbath, laminar, mikroskop elektron, bunsen, mikro pipet, gelas objek, neraca analitik, autoclave, high speed centrifuge RCF 55.200 grav, rotary evaporator, Eyela vacuum freeze dryer FD-5N Tokyo, cawan petri, tabung reaksi, ependorf, spektrometer reader immurement NJ-2300, multi plate reader Elisa Biotek, labu takar dan lainnya. Prosedur Penelitian Persiapan Susu Susu kambing yang digunakan pada penelitian ini merupakan susu segar yang diperoleh dari pemerahan di pagi hari. Susu dikemas dalam plastik HDPE selama pengangkutan dari tempat pemerahan, susu dianalisis kandungan awal berupa berat jenis, pengukuran kadar protein dan pengukuran kadar lemak (Sudarwanto 2012). Susu dipasteurisasi pada suhu 85 oC selama 30 menit sebelum dilakukan fermentasi. Uji Berat Jenis Sebanyak 500 ml susu dimasukan ke dalam gelas ukur, selanjutnya laktodensimeter dicelupkan ke dalam gelas ukur dan dibaca skala beserta suhunya. Pengukuran Kadar Protein Kadar protein diukur dengan metode titrasi formol. Pertama standar disiapkan dengan menambahkan 1 ml kalium oksalat 28% ke dalalm 25.0 ml contoh susu. Selanjutnya ditambahkan 0.5 ml larutan kobalt sulfat 5% dan dicampurkan. Warna standar ini harus diganti paling lama setiap 3 jam. Sebanyak 25.0 ml contoh ditambahkan 0.25 ml phenolphthalein 20% dan 1 ml larutan kalium oksalat 28%, kemudian dicampurkan. Ditunggu minimum 1 menit, kemudian campuran tersebut dititrasi dengan 1/7 NaOH sampai terjadi perubahan warna seperti standar. Campuran ditambahkan 5.0 ml larutan formalin, ditunggu selama 1 menit, kemudian dititrasi kembali dengan 1/7 N NaOH sampai terbentuk warna merah jambu yang tidak menghilang walaupun dikocok (warna standar). Jumlah NaOH yang terpakai pada titrasi kedua adalah persentase protein dari contoh susu yang diperiksa. Pengujian ini dilakukan secara paralel,selisih perhitungan antara pengujian ke-1 dan ke-2 tidak boleh melebihi 0.1%. Pengukuran Kadar Lemak Kadar lemak diukur menggunakan metode Gerber, protein susu akan larut dengan penambahan asam sulfat pekat. Sebanyak 10 ml asam sulfat pekat dimasukkan ke dalam butirometer. Selanjutnya ditambahkan 10.75 ml contoh susu dan 1 ml amil alkohol. Butirometer disumbat dengan rapat, kemudian dikocok agar bagian-bagian di dalamnya tercampur rata. Oleh karena ada reaksi panas yang ditimbulkannya, dianjurkan sebelum mengocok, sebaiknya butirometer dibungkus dengan kain lap. Setelah terbentuk warna ungu sampai kecoklatan (terbentuk karamel), masukkan butirometer ke dalam sentrifus dan disentrifus pada 1200 rpm selama 5 menit. Selanjutnya butirometer dimasukkan ke dalam penangas air pada suhu 65 oC selama 5 menit. Cara meletakkan butirometer di dalam penangas air bagian yang ada sumbatnya diletakkan di bawah dan bagian yang ada skalanya di atas. Seteah itu, skala pada butirometer dibaca. Skala tersebut menunjukkan persentase (%) kadar lemak. Perhatikan pada waktu pembacaan skala, batas antara lemak (cairan jernih) dengan campuran (ungu-cokelat) harus tepat pada angka 0. Hal ini dapat diatur dengan mendorong atau menarik sumbat butirometer dengan sangat hatihati.
Tahapan Penelitian Penelitian ini terdiri atas tiga tahapan penelitian, tahap pertama untuk memperoleh konsentrasi starter terbaik dalam penghambatan tirosinase dan antioksidan. Pada tahap kedua melihat pengaruh waktu inkubasi terhadap penghambatan tirosinase dan antioksidan. Tahapan ketiga melihat penghambatan melanin pada kultur sel B16F0 melanosit. Tahapan Pertama Penelitian tahap pertama bertujuan untuk menentukan efektivitas terbaik dari fermentasi susu kambing dengan konsentrasi penggunaan starter BAL yang berbeda (3%, 4% dan 5%). Parameter yang diamati berupa aktivitas penghambatan tirosinase dan antioksidan. Hasil konsentrasi penambahan starter terbaik pada tahap 1, menjadi rujukan pada tahap kedua. Matrik pengujian pada tahapan pertama tersaji pada Tabel 1. Tabel 1 Matrik kerja penentuan konsentrasi starter Parameter Uji Reidentifikasi Karakteristik morfologi Bakteri Asam Laktat a. Pewarnaan Gram Karakteristik Fisiologis a. Uji ketahanan terhadap suhu b. Uji ketahanan terhadap garam c. Uji ketahanan terhadap pH Karakteristik kimiawi a. Uji katalase Persiapan starter
Fermentasi susu dengan penambahan starter 3%, 4% dan 5%
Hasil morfologi
Fisiologis
Kimiawi
Kultur induk Kultur antara Kultur kerja Inhibitor tirosinase Antioksidan
Fermentasi susu terbaik sebagai Inhibitor tirosinase dan antioksidan
Bakteri asam laktat yang digunakan merupakan bakteri yang diisolasi dari kambing Peranakan Etawah oleh Setyawardani (2012). Dua jenis bakteri yang berhasil diisolasi adalah L. plantarum TW 14 dan L. rhamnosus TW 2. Persiapan starter dan efektivitas fermentasi dapat dilihat pada Gambar 2.
Persiapan Bakteri Asam Laktat Kultur bakteri asam laktat (BAL) L. plantarum TW 14 dan L. rhamnosus TW 2, disegarkan dan diperiksa populasinya. Populasi bakteri asam laktat terlebih dahulu dihitung jumlah koloninya dan diukur waktu inkubasi/jam sampai 48 jam untuk menentukan starter kerja yang akan digunakan pada proses fermentasi. Kultur BAL yang digunakan diidentifikasi ulang secara morfologi, fisiologi dan kimiawi. Penyegaran Bakteri Asam Laktat Persiapan kultur BAL dengan cara mengaktifkan kembali kultur BAL dalam media MRSB steril. Penyegaran pertama dengan menumbuhkan masing-masing 1 mL kultur BAL ke dalam tabung berisi 9 mL media MRSB steril dan inkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Penyegaran ke-2 dengan menumbuhkan masing-masing 1 mL kultur penyegaran ke-1 ke dalam tabung berisi 9 mL media MRSB steril dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Penyegaran ke-3 dengan menambahkan masing-masing 5 mL kultur penyegaran ke-2 ke dalam botol berisi 45 mL media MRSB steril dan inkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan perhitungan populasi awal BAL pada MRSA, pemeriksaan karakteristik kultur starter dan penentuan waktu starter kerja.
Kultur L. plantarum TW 14 dan L. rhamnosus TW 2 Susu kambing Penyegaran dalam MRS Broth 24 jam pada suhu 37 oC
Kultur stok dalam MRS agar (penghitungan jumlah koloni)
Pemanasan pada suhu selama 30 menit
85 oC
Pendinginan pada suhu kamar Penyegaran dalam MRS Broth 24 jam pada suhu 37 oC Penuangan dalam gelas piala Persiapan starter kerja Inokulasi starter (3%, 4%, 5%)
Inkubasi 24 jam pada suhu 30 oC
Pengukuran inhibitor tirosinase dan antioksidan Gambar 2 Persiapan starter dan fermentasi
Identifikasi Karakteristik Morfologi BAL (Prescott 2002). Pengujian morfologi sel bertujuan melihat bentuk isolat dengan pewarnaan Gram. Bentuk morfologi sel yang diharapkan adalah Gram positif berbentuk batang atau bulat. Identifikasi Karakteristik Fisiologis BAL (Harrigan 1998) a. Penentuan ketahanan terhadap suhu. Kemampuan BAL tumbuh pada suhu yang berbeda diuji secara kualitatif. Satu ose isolat BAL dimasukkan dalam 9 ml MRSB. Isolat diinkubasi pada suhu 10, 37, dan 45 oC selama 2-5 hari. Hasil positif pertumbuhan ditandai adanya kekeruhan pada media tersebut. b.
Penentuan ketahanan terhadap garam. Bakteri asam laktat memiliki kemampuan tumbuh yang berbeda pada media garam. Ketahanan BAL pada media garam diuji dengan menambahkan garam NaCl dalam tabung yang berisi MRSB dengan konsentrasi 4,0% dan 6,5% serta satu tabung tanpa penambahan garam NaCl sebagai kontrol. Sebanyak 1 tetes kultur BAL dimasukkan media tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 7-14 hari. Hasil positif pertumbuhan ditandai adanya kekeruhan pada media tersebut.
c.
Penentuan ketahanan terhadap pH. Ketahanan isolat BAL pada lingkungan asam, netral dan alkali diuji pada berbagai pH. Sebanyak satu tetes kultur BAL ditumbuhkan pada media MRSB dengan pH 4.4, 7.0 dan 9.6. Media tersebut diinkubasi pada suhu 37 oC selama 7 -14 hari. Hasil positif pertumbuhan ditandai adanya kekeruhan pada media tersebut.
Identifikasi Karakteristik kimiawi BAL (Harrigan 1998) a. Penentuan katalase. Uji katalase dilakukan menggunakan hidrogen peroksida (H2O2). satu ose isolat diambil dari media pertumbuhan MRSA, kemudian diletakkan pada obyek gelas dan diteteskan pereaksi H2O2 3% pada permukaan obyek gelas serta dibiarkan beberapa saat. Uji positif ditandai dengan terbentuknya gelembung. Perhitungan Kurva Tumbuh dan Perbanyakan Kultur Perhitungan kurva tumbuh BAL dilakukan dengan metode agar tuang, pertumbuhan bakteri diukur setiap jam selama 0-42 jam dan dinyatakan dalam kurva pertumbuhan bakteri. Pertumbuhan optimum ditetapkan sebagai starter kerja. Perbanyakan kultur dilakukan melalui tahap pembuatan kultur induk, kultur antara dan kultur kerja. Kultur induk diperoleh dengan cara menambahkan masing-masing 5 mL kultur penyegaran ke-3 ke dalam botol yang berisi 45 mL susu skim steril lalu diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Kultur antara dihasilkan dengan cara menambahkan masing-masing 20 mL kultur induk ke dalam 180 mL susu skim steril dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Kultur kerja dihasilkan dengan menambahkan masing-masing 40 mL kultur antara ke dalam 360 mL susu skim steril dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 13 jam pada L. plantarum TW 14 dan 12 jam pada L. rhamnosus TW 2. Pada tahap pertama dilakukan fermentasi susu dengan membandingkan berbagai perlakuan konsentrasi penambahan starter sebesar (3%, 4%, 5%), sehingga diperoleh konsentrasi terbaik yang akan digunakan pada penelitian kedua. Parameter pengamatan
inhibitor tirosinase dan antioksidan yang diamati pada tahap pertama juga akan diamati kembali pada tahap kedua, sebelum dianalisis sampel susu terlebih dahulu diekstraksi. Ekstraksi Susu Susu fermentasi dengan dan tanpa penambahan daun kari sebanyak 10 g dihomogenkan dengan 2.5 ml dH2O, pH susu fermentasi diturunkan dengan HCl 0.1 M hingga mencapai pH 4.0. Susu fermentasi kemudian dipanaskan dalam waterbath (45 oC) selama 10 menit diikuti dengan sentrifugasi dengan kecepatan 5,000 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil dan ditambahkan NaOH hingga pH 7.0. Supernatan disentrifugasi kembali dengan kecepatan 5,000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang diperoleh diambil dan disaring (millipore milex 0.45 µm), selanjutnya disimpan pada suhu -20 oC untuk analisis (Shabboo dan Baba 2011). Pengukuran Inhibitor Tirosinase Sampel susu yang sudah diekstraksi dan ekstrak daun kari diuji langsung pada multiplate. Asam kojat digunakan sebagai kontrol positif dengan konsentrasi 7.8, 15.60, 31.25, 62.5, 125, 250, 500 ppm. Sebanyak 70 μl dari masing-masing ekstrak ini ditambahkan dengan 30 μl enzim tirosinase (Sigma 333 unit/ml dalam buffer fosfat pH 6.5), setelah itu dilakukan inkubasi pada suhu kamar selama lima menit, kemudian ditambahkan sebanyak 110 μl substrat (2 mM L-Tirosin atau 12 mM L-DOPA) ke dalam tiap lubang multiplate, campuran diinkubasi selama 30 menit pada suhu kamar. Campuran diukur menggunakan multiplate reader pada λ= 492 nm (Batubara et al. 2010). Pengukuran Antioksidan Pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan menggunakan metode penghambatan radikal bebas 2.2-diphenyl-1-pycrylhydrazil (DPPH) dengan modifikasi pelarut dan konsentrasi (Marinova dan Batchvarov 2011). Pelarut yang digunakan metanol pada konsentrasi 0.1 mM dan perbandingan sampel : DPPH adalah 1:1. Selanjutnya diinkubasi pada ruang gelap dan suhu ruang selama 30 menit. Panjang gelombang dukur dengan menggunakan multiwell plate reader ELISA pada λ =517 nm. Sebagai kontrol positif digunakan vitamin C (asam askorbat). Tahapan Kedua Konsentrasi starter terbaik pada tahap pertama menjadi rujukan pada tahap kedua. Penelitian tahap kedua melihat pengaruh waktu inkubasi dan penambahan daun kari terhadap inhitor tirosinase, antioksidan, populasi bakteri asam laktat dan kandungan protein. Matrik kerja pada tahapan kedua tersaji pada Tabel 2. Daun kari yang digunakan dalam penelitian ini adalah tumbuhan indigenus di Provinsi Aceh, sering digunakan sebagai penyedap pada masakan. Daun ini sangat disenangi karena memiliki aroma yang khas. Pada penelitian ini daun kari diperoleh dari Desa Cot Keueng, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Persiapan Daun Kari Persiapan daun kari meliputi tahapan sebagai berikut: (1) Identifikasi tumbuhan kari, (2) Pengukuran kadar air dan kadar abu, (3) Ekstraksi daun kari, (4) Pengujian fitokimia dan total fenolik. Pengeringan daun kari dilakukan pada temperatur 50 oC selama 8 jam (Biswas 2012) dan digiling dengan ukuran 20 mesh. Ekstraksi daun kari menggunakan n-heksana untuk menghilangkan bagian non polar, lalu residunya diekstraksi dengan etanol 90% dengan perbandingan 1:5. Ekstrak dikeringkan menggunakan penguap putar dan disimpan pada suhu -20 oC sebelum dianalisis. Daun kari ditambahkan sebanyak 1% (Biswas 2012) pada susu kambing sebelum fermentasi.
Tabel 2 Matrik kerja pengaruh penambahan daun kari dan waktu inkubasi Parameter Uji Hasil Preparasi daun kari Identifikasi daun kari Nama ilmiah daun kari Uji kadar air Nilai kadar air Uji kadar abu Nilai kadar abu Uji fitokimia
Uji total Fenolik Uji inhibitor tirosinase Uji antioksidan Pengaruh waktu inkubasi (0 jam, 12 jam, 24 jam dan 36 jam) dengan penambahan daun kari
Uji inhibitor tirosinase Uji antioksidan Uji protein Uji populasi BAL
Nilai alkaloid, fenolik, terpenoid, tanin, steroid, saponin Nilai fenolik Nilai inhibitor tirosinase Nilai antioksidan Nilai inhibitor tirosinase Nilai antioksidan Nilai protein Jumlah BAL
Gambaran persiapan dari daun kari tersaji pada Gambar 3. Persiapan daun kari meliputi identifikasi, uji kadar air dan abu, ekstraksi, pengujian fitokimia, pengukuran total fenolik, uji inhibitor tirosinase dan antioksidan. Identifikasi Spesies Daun Kari Identifikasi spesies dilakukan di bagian Herbarium Bogoriensis, bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong, Jawa Barat. Identifikasi spesies daun kari dilakukan dengan cara merendam sampel tumbuhan kari yang terdiri dari akar, batang, daun dan bunga usia muda di dalam alkohol 90% selama 24 jam. Sampel tumbuhan kari dikeringkan dengan cara diangin-anginkan (tidak terpapar matahari langsung). Sampel tumbuhan kari kering tadi diserahkan ke LIPI untuk diidentifikasi. Penentuan Kadar Air Daun Kari (Kementerian Kesehatan 2011) Cawan dikeringkan terlebih dahulu selama 1 jam dalam oven pada suhu 105 oC, lalu didinginkan dalam eksikator kemudian beratnya ditimbang. Sampel ditimbang seberat 1 g dan dimasukkan ke dalam cawan, kemudian sampel dimasukkan ke dalam oven selama 4 jam pada suhu 105 oC, lalu didinginkan 15 menit dalam eksikator kemudian ditimbang kembali sampai diperoleh bobot yang konstan. Pekerjaan ini dilakukan triplo. (%) =
A adalah bobot sampel basah (g) B adalah bobot sampel kering (g) C adalah bobot cawan dan bahan setelah diabukan (g)
−
%
Daun Kari Filtrat Uji Herbarium
Uji kadar air uji kadar abu
Maserasi (1:5)
n - heksana Residu Etanol Penguapan filtrat Disimpan Suhu -20 0 C
uji Fitokimia
Uji Total Fenolik
Inhibitor Tirosinase
Antioksidan
a. Alkaloid b. Fenolik c. Flavonoid d. Terpenoid e. Steroid f .Tanin g. Saponin
Gambar 3 Persiapan, ekstraksi dan pengujian daun kari Penentuan Kadar Abu Daun Kari (Kementerian Kesehatan 2011) Cawan porselin dikeringkan pada temperatur 600 oC selama 30 menit dan didinginkan dalam eksikator kemudian ditimbang. Sebanyak 2 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Cawan dan isinya dipanaskan dengan nyala Bunsen sampai tidak berasap lagi. Kemudian cawan dimasukkan ke dalam tanur listrik dengan temperatur 600 oC sampai contoh menjadi abu (kira-kira 30 menit). Setelah didinginkan dalam eksikator kemudian cawan ditimbang. Dilakukan triplo. (%) =
−
A adalah bobot kosong cawan porselen (g) B adalah bobot sampel kering (g) C adalah bobot cawan dan bahan setelah diabukan (g)
%
Uji Fitokimia (Harborne 1987) Uji fitokimia merupakan uji pendahuluan untuk mengetahui kandungan senyawa alkaloid, triterpenoid, steroid, saponin, flavonoid, tanin dan fenol secara kualitatif. a.
Uji Alkaloid. Uji alkaloid dilakukan dengan cara melarutkan sebanyak 10 mg ekstrak daun kari ke dalam 10 ml kloroform dan penambahan 3 tetes NH4OH kemudian disaring ke dalam tabung reaksi bertutup. Ekstrak kloroform dalam tabung reaksi dikocok dengan 10 tetes H2SO4 2 M dan lapisan asamnya dipisahkan ke dalam tabung reaksi lain. Lapisan asam ini diteteskan pada lempeng tetes dan ditambahkan pereaksi Mayer, Wagner dan dragendorf yang akan menimbulkan endapan dengan warna berturut-turut putih, coklat dan merah jingga.
b.
Uji Fenolik Uji Fenolik dilakukan dengan menambahkan ke dalam larutan sampel beberapa tetes Fe3Cl 1%. Adanya senyawa kelompok fenol ditandai dengan munculnya warna hijau atau biru.
c.
Uji Saponin dan Flavonoid. Uji saponin dan flavonoid dilakukan dengan melarutkan 10 mg ekstrak daun kari ke dalam gelas kimia besar dan ditambahkan 100 ml air panas dan dididihkan selama 5 menit, setelah itu disaring dan filtratnya digunakan untuk pengujian. Uji saponin dilakukan dengan pengocokan 10 ml filtrat dalam tabung reaksi tertutup selama 10 detik kemudian dibiarkan selama 10 menit, adanya saponin ditunjukkan dengan terbentuknya buih stabil. Sebanyak 10 ml filtrat yang lain dilakukan dengan menambahkan 0,5 g serbuk magnesium, 2 ml alkohol klorida (campuran HCl 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama) dan 20 ml amil alkohol ke dalam 10 ml sampel, kemudian dikocok dengan kuat. Bila terbentuk warna merah, kuning dan jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid.
d.
Uji Terpenoid dan Steroid. Uji terpenoid dan steroid dilakukan dengan melarutkan sebanyak 10 mg ekstrak daun kari ke dalam 25 ml etanol panas (50 oC), kemudian disaring dalam cawan porselin dan diuapkan sampai kering. Residu ditambahkan eter dan ekstrak eter, dipindahkan ke dalam lempeng tetes, lalu ditambahkan 3 tetes anhidrida asam asetat dan 1 tetes H2SO4 pekat (uji Lieberman-Burchard). Bila terbentuk warna merah atau ungu menunjukkan adanya triterpenoid, warna hijau atau biru menunjukkan adanya steroid.
e.
Uji Tanin. Ekstrak daun kari ditambah 100 ml air panas kemudian dididihkan selama 5 menit dan filtrat disaring. Filtrat ditambahkan larutan FeCl3. Bila terjadi warna hitam kehijauan menunjukkan adanya tanin.
Pengujian Total Fenolik Uji total fenol dihitung menggunakan metode dari Kementerian Kesehatan (2011). Larutan uji dibuat dengan menggunakan 75.5 mg ekstrak etanol daun kari yang diencerkan dengan 10 ml metanol 96%. Sebanyak 1 ml larutan uji ditambahkan 5 ml larutan Reagen Follin-Ciocalteu. Sampel dihomogenkan dengan vortex dan didiamkan selama 8 menit pada
suhu ruang. Selanjutnya sampel ditambahkan NaOH 1 % dan didiamkan kembali selama 1 jam pada suhu ruang. Pengukuran total fenolik diukur dengan λ=730 nm. Kurva standar dibuat dengan menggunakan asam galat pada konsentrasi 10; 30; 50; 70;100 µg/ml. Tahapan Ketiga Waktu inkubasi terbaik terhadap aktivitas penghambatan tirosinase, antioksidan, total populasi bakteri asam laktat dan kandungan protein pada tahapan kedua, menjadi sampel pengamatan untuk tahapan ketiga. Pada tahap ketiga diukur penghambatan melanin pada kultur sel B16F0 terhadap viabilitas sel, intraseluler melanin dan ekstraseluler melanin. Matrik kerja pada tahapan ketiga tersaji pada Tabel 3. Tabel 3 Matrik Kerja pengukuran inhibitor melanin pada kultur sel B16F0 Parameter Uji Hasil Susu fermentasi dengan Inhibitor Melanin Nilai viabilitas sel Penambahan daun kari kultur sel B16F0 Nilai intraseluler dan ekstraseluler melanin Pengeringan Sampel Susu Fermentasi Sampel susu fermentasi sebanyak 30 ml, dikeringkan dengan menggunakan frreze dryer. Sampel kering disimpan dalam refrigerator. Persiapan Kultur Sel B16F0 Melanosit Kultur sel B16F0 ditumbuhkan dalam DMEM yang telah `ditambahkan dengan FBS sebanyak 10 persen, 100,000 unit/L penicilin dan 100 mg/L streptomycin. Kultur sel B16F0 diinkubasi pada suhu 37 oC dengan kelembaban atmosfir 5.0% CO2 (Yamauchi et al. 2014). Pengukuran Viabilitas Sel dan Kandungan Melanin Pengukuran viabilitas sel diukur menggunakan MTT berdasarkan metode Arung et al. (2011). Kultur sel sebanyak 5 x 104 cfu/ml, ditumbuhkan ke dalam multiplate 24 lubang. Konsentrasi sampel dibuat 4.2, 8.3, 16.7 , 33,3 dan 66,7 mg/ml. Sampel diinkubasi selama 72 jam pada suhu 37 oC dengan kelembaban 5.0% CO2. Setiap sampel ditambahkan 50 µl reagen MTT, diinkubasi kembali pada suhu 37 oC dengan kelembaban 5.0% CO2 selama empat jam. Setelah inkubasi, sampel ditambahkan 1.0 ml isoprophyl alcohol yang mengandung 0.04 M asam hidroklorit. Sampel dipindahkan ke dalam multiplate 96 lubang. Absorbansi diukur dengan menggunakan spektrometer 590 nm. Analisis kandungan melanin dilakukan dengan menanam B16F0 melanosit ke dalam PBS dan dicuci dengan 0.25% Trypsin/EDTA. Sel dipindahkan ke dalam multiplate 24 lubang dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Sampel ditambahkan setelah inkubasi dengan berbagai konsentrasi dan diinkubasi kembali pada suhu 37 oC selama 72 jam. Sel dicuci dengan NaOH pada suhu 100 oC dan disimpan selama 15 menit. Absorbansi diukur pada 405 nm pada intraseluler dan 510 nm pada ekstraseluler. Kontrol positif pada pengukuran viabilitas sel dan kandungan melanin digunakan arbutin dan DMSO sebagai kontrol negatif. Prosedur Analisis Data Analisis data perlakuan dibagi dalam 3 tahapan. Tahapan pertama dan ketiga menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial. Tahapan kedua mengunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial. Data yang diperoleh dari ketiga tahapan dianalisis dengan analysis of variance (ANOVA), perbedaan nyata antar perlakuan dilanjutkan dengan uji Tukey dengan selang kepercayaan (α =95%). (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Tahapan kerja pertama melihat pengaruh konsentrasi starter. Perlakuan yang diberikan meliputi penambahan konsentrasi starter pada masing-masing BAL sebanyak 3%, 4% dan 5%. Peubah yang diamati adalah Aktivitas penghambatan tirosinase dan aktivitas antioksidan. Pengamatan terdiri atas 6 perlakuan : 1. Susu kambing + L. plantarum TW 14 (3%) 2. Susu kambing + L. plantarum TW 14 (4%) 3. Susu kambing + L. plantarum TW 14 (5%) 4. Susu kambing + L. rhamnosus TW 2 (3%) 5. Susu kambing + L. rhamnosus TW 2 (4%) 6. Susu kambing + L. rhamnosus TW 2 (5%) Tahapan kerja ketiga melihat pengaruh waktu inkubasi dan penambahan daun kari terhadap kultur sel B16F0. Peubah yang diamati adalah viabilitas sel, intraseluler melanin dan ekstraseluler melanin. Perlakuan pengamatan terdiri atas 7 perlakuan : 1. Ekstrak daun kari, 2. Susu kambing (SK), 3. Susu kambing + ekstrak daun kari (SKK), 4. Susu kambing dengan L.plantarum TW 14 (SKP), 5. Susu kambing dengan L. plantarum TW 14 + ekstrak daun kari (SKPK), 6. Susu kambing dengan L.rhamnosus TW 2 (SKR), 7. Susu kambing dengan L. rhamnosus TW 2 + ekstrak daun kari (SKRK). Model matematika pada tahapan satu dan ketiga menggunakan model RAL non faktorial. Yij = µ + τi + εij Yij = pengamatan pada perlakuan ke –i dan ulangan ke-j µ = rataan umum τi = Pengaruh pelakuan ke-i εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Rancangan percobaan yang dipergunakan pada tahap kedua adalah rancangan percobaan acak lengkap pola faktorial dengan empat kali ulangan. Faktor A terdiri atas 6 taraf perlakuan sampel merupakan faktor A terdiri dari 6 taraf. Faktor B merupakan waktu inkubasi dengan 4 taraf inkubasi (0, 12, 24, dan 36 jam). Peubah yang diamati aktivitas penghambatan tirosinase, aktivitas antioksidan, populasi bakteri asam laktat dan jumlah kandungan protein. Berikut taraf dari faktor A. 1. Susu kambing (SK), 2. Susu kambing dengan L. plantarum TW 14 (SKP), 3. Susu kambing dengan L. rhamnosus TW 2 (SKR), 4. Susu kambing + ekstrak daun kari (SKK), 5. Susu kambing dengan L. plantarum TW 14 + ekstrak daun kari (SKPK), 6. Susu kambing dengan L. rhamnosus TW 2 + ekstrak daun kari (SKRK). Model rancangan percobaan yang digunakan adalah model RAL faktorial. Yijk = μ + + αi + βj + αβij + εijk
Dimana : Yijk = Peubah respon karena pengaruh taraf perlakuan sampel dan pengaruh waktu inkubasi μ = Pengaruh rata-rata αi = Pengaruh taraf ke-i perlakuan sampel βj = Pengaruh waktu inkubasi αβij = Pengaruh interaksi taraf ke-i perlakuan sampel dan taraf ke-j inkubasi εijk = Pengaruh sisa (pengacakan) 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Susu Menurut SNI 01-3141 (1998) tentang susu segar, susu kambing merupakan susu segar yang berasal dari ambing induk kambing yang sehat dan diperoleh dengan cara yang benar. Susu kambing merupakan hasil sekresi dari ambing kambing sebagai makanan anaknya. Kualitas susu kambing ditentukan oleh (1) warna putih, bau khas karena mengandung asam lemak kaproat, rasa, uji masak, uji penyaringan, total mikroba dan (2) berat jenis, kadar lemak, bahan kering tanpa lemak dan kadar protein (Cupakova et al. 2012). Susu kambing yang digunakan dalam penelitian ini dianalisis kualitasnya, data disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Kualitas susu kambing Peranakan Etawah Standar TAS 6006 (2008) Hasil Pengamatan Analisis Premium Baik Standar Berat Jenis (g/ml) Protein (%) Lemak (%)
1.028 ± 0.01 3.73 ± 0.01 6.45 ± 0.11
> 3.70 > 4.00
1.034 > 3.40 - 3.70 > 3.50 – 4.00
> 1.028 3.10 - 3.40 3.25 - 3.50
Sumber : TAS (Thailand Agricultural Standard: Raw Goat Milk) Nomor 6006 (2008)
Data yang diperoleh pada Tabel 4 terkait kandungan berat jenis dari susu kambing yang digunakan, sesuai dengan Thailand Agricultural Standar (TAS) tentang susu kambing segar (2008), sehingga susu yang digunakan dalam penelitian ini telah memenuhi syarat susu kambing segar. Pengukuran berat jenis susu berdasarkan periode laktasi yang telah dilakukan oleh Fitriyanto et al. (2013), menunjukkan berat jenis susu pada periode awal laktasi 1.0291 g/ml, periode puncak laktasi 1.0290 g/ml dan periode akhir laktasi 1.0284 g/ml. Berdasarkan data yang diperoleh pada Tabel 4, susu Peranakan Etawah yang digunakan diduga diambil pada akhir laktasi. Berdasarkan TAS Nomor 6006 (2008), nilai protein dan lemak pada susu kambing, telah memenuhi standar yang ditetapkan. Persentase protein dan lemak dari susu yang digunakan tergolong sangat baik (premium). Efektivitas Konsentrasi Starter Susu Kambing Fermentasi sebagai Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Penelitian ini menggunakan dua isolat bakteri asam laktat L. plantarum TW 14 dan L. rhamnosus TW 2, dengan konsentrasi masing-masing 3%, 4% dan 5%. Konsentrasi terbaik pada tahapan ini akan digunakan sebagai acuan pada tahapan selanjutnya. Pada susu fermentasi penambahan starter harus memenuhi standar kesehatan, susu fermentasi dapat dibuat dengan penambahan 1,5-3% kultur bakteri asam laktat (Muawanah
2000). Penambahan kultur sebanyak 1-5 % kultur campuran L. bulgaricus dan S. thermophillus mampu menghasilkan asam laktat sebesar 0,85-0,90 % (Darmajana 2011). Fermentasi susu merupakan pemecahan laktosa menjadi asam laktat oleh BAL yang berguna untuk pertumbuhan dan sumber energi bagi manusia. Fermentasi bertujuan memberikan manfaat positif bagi kesehatan, khususnya menjaga keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan, memperbaiki daya cerna laktosa, mencegah sembelit, penurunan kolestrol, menstimulir sistem imun, produksi bateriosin, inaktivasi berbagai senyawa beracun dan lain-lain. Fermentasi susu juga bertujuan agar susu tidak cepat rusak dan menghasilkan produk olahan susu dengan rasa, aroma, tekstur yang khas (Surono 2004). Starter yang digunakan dihitung jumlah viabilitasnya/populasinya, kurva tumbuh, dan diidentifikasi ulang secara morfologi, fisiologi dan kimia. Peubah yang diamati aktivitas inhibitor tirosinase dan aktivitas antioksidan. Populasi Bakteri Asam Laktat dan Kurva Tumbuh Perhitungan viabilitas BAL , diperoleh hasil L. plantrum TW 14 sebesar 4.0 x 109 cfu/ml dan L. rhamnosus TW 2 sebesar 3.1 x 109 cfu/ml. Jumlah minimum keberadaan BAL dalam produk fermentasi sebesar 108 cfu/ml (Sunarlim dan Setyanto 2008). Populasi BAL yang digunakan dalam penelitian masih memiliki viabilitas sel yang tinggi, sehingga layak untuk digunakan dalam proses fermentasi. Isolat BAL L. plantrum TW 14 dan L. rhamnosus TW 2 yang digunakan dalam penelitian ini, berasal dari kurva pertumbuhan masing-masing pada jam ke-13 dan ke- 12 (Lampiran 1). Reidentifikasi Bakteri Asam laktat Reidentifikasi BAL pada penelitian ini bertujuan melihat sifat probiotik dari BAL yang digunakan dengan BAL hasil isolasi. Identifikasi isolat yang digunakan dilakukan secara morfologi, fisiologi dan kimiawi. Identifikasi morfologi melalui pewarnaan Gram, diperoleh hasil secara mikroskopis seperti pada Gambar 4 (perbesaran 100x).
Gambar 4 Lactobacillus plantarum TW 14 (kiri) dan Lactobacillus rhamnosus TW 2 (kanan) Morfologi BAL L. plantarum TW 14 dan L. rhamnosus TW 2 yang digunakan berbentuk batang. Taufik (2004) menyatakan L. plantarum merupakan bakteri Gram positif, berbentuk batang dengan susunan tunggal atau membentuk rantai pendek. Elida (2002) mengatakan bahwa L. plantarum tergolong bakteri heterofermentatif dengan ciri-ciri sel berbentuk batang pendek, warna koloni putih susu sampai abu-abu, serta mempunyai viabilitas tinggi untuk digunakan sebagai starter, L. plantarum dapat ditemukan pada proses pematangan keju dan dapat diisolasi dari produk-produk susu. Koloni dari L. plantarum berwarna putih atau kuning. Lactobacillus rhamnosus adalah jenis probiotik atau bakteri menguntungkan, dapat diperoleh dengan mengkonsumsi makanan fermentasi. Bakteri L. rhamnosus bersifat heterofermentatif, yang berfungsi memetabolisme karbohidrat menjadi asam laktat. Bakteri L.
rhamnosus adalah bakteri probiotik dengan manfaat kesehatan yang menguntungkan (Shifko 2010). Identifikasi fisiologi meliputi ketahanan terhadap suhu, terhadap garam dan pH. Uji katalase digunakan untuk uji sifat kimiawi. Hasil dari identifikasi ulang tersaji pada Tabel 5. Tabel 5 Identifikasi morfologi , fisiologi dan biokimia isolat L. plantarum TW 14 dan L. rhamnosusTW 2 Suhu (oC) Isolat
Gram
Katalase
TW 14
Positif
TW 2 Positif (+) = adanya keruhan
Kadar Garam (%)
10
37 45
0
-
+
+
+
+
-
+
+
+
+
4
pH
6
4.4
7 9.6
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Berdasarkan data pada Tabel 5, bakteri asam laktat yang digunakan yaitu TW 14 dan TW 2 masih memiliki sifat yang sama dengan yang diisolasi oleh Setyawardani (2012). Tabel 6 merupakan hasil isolasi L. plantarum TW 14 dan L. rhamnosus TW 2 dari Setyawardani (2012). Tabel 6. Karakteristik L. plantarum TW 14 dan Setyawardani Suhu (oC) Isolat
Gram
Katalase
TW 14
Positif
TW 2 Positif (+) = adanya keruhan
L. rhamnosus TW 2 hasil isolasi
Kadar Garam (%)
10
37 45
0
-
+
+
+
+
-
+
+
+
+
4
pH
6
4.4
7 9.6
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Berdasarkan suhu pertumbuhannya, bakteri dikelompokan menjadi 3 yaitu termofil dengan kisaran suhu minimum (25-45 oC), mesofil (10-20 oC) dan psikrofil (-5 – 0 oC) (Fardiaz 1992). Ayad et al. (2006) menyatakan bahwa strain Lc. subsp cremoris mempunyai toleransi lebih baik dibandingkan strain lactococci terhadap garam 4,0 dan 6,5 %. Menurut Tamime (2012) bakeri Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus rhamnosus mempunyai katalase negatif, bersifat fakultatif heterofermentatif dan dapat tumbuh sampai suhu 45 oC. Penelitian ini tidak melanjutkan identifikasi secara molekuler. Reidentifikasi yang dilakukan hanya pada karakteristik awal dan secara hasil masih sama dengan isolasi, sehingga diperkirakakn isolat yang sudah teridentifikasi nama spesiesnya sama seperti identifikasi sebelumnya yaitu L. plantarum TW 14 dan L. rhamnosus TW 2. Aktivitas Inhibitor Tirosinase Pengujian aktivitas inhibitor tirosinase dilakukan pada dua substrat yaitu L-Tyrosin dan L-DOPA. Hasil perlakuan fermentasi susu kambing menggunakan L. plantarum TW 14 dan L. rhamnosus TW 2 dengan konsentrasi 3%, 4% dan 5 %, terhadap aktivitas inhibitor tirosinase, tersaji pada Tabel 7. Hasil dari kontrol positif asam kojat (IC50) dilakukan pada substrat L- Tirosin dan L-DOPA, mampu menghambat kerja tirosinase, masing-masing sebesar 35.48 ppm dan 56.19 ppm.
Tabel 7
Aktivitas inhibitor tirosinase susu fermentasi dari L. plantarum TW 14 dan L. rhamnosus TW 2 Inhibitor Tirosinase (%) Sampel Monofenolase Difenolase c Susu + L. plantarum TW 14 (3%) 29.04 ± 0.82 20.98 ± 0.98c b Susu + L. plantarum TW 14 (4%) 51.39 ± 0.53 55.53 ± 0.88b Susu + L. plantarum TW 14 (5%) 84.34 ± 2.63a 59.37 ± 1.16b Susu + L. rhamnosus TW 2 (3%) 35.10 ± 0.36c 20.49 ± 0.63c Susu + L. rhamnosus TW 2 (4%) 42.24 ± 0.15bc 44.53 ± 0.22bc a susu + L. rhamnosus TW 2 (5%) 82.32 ± 1.14 51.02 ± 1.22b Asam Kojat IC50 (ppm) 35.48 56.19
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P< 0.05
Berdasarkan data yang diperoleh pada Tabel 7, susu fermentasi dengan penambahan starter BAL sebesar 5% lebih baik dalam menghambat kerja enzim tirosinase dibandingkan konsentrasi lainnya, baik pada substrat L- Tirosin (monofenolase) maupun L-DOPA (difenolase). Data menunjukkan secara angka persentase penghambatan dari L. plantarum TW 14 lebih tinggi dibandingkan dengan L. rhamnosus TW 2. Enzim tirosinase merupakan enzim penting dalam sintesis melanin. Tirosinase terdapat pada berbagai jenis makhluk hidup (Chang 2009). Tirosinase merupakan enzim monooksigenase yang berperan sebagai katalisator pada dua reaksi yang berbeda, yaitu reaksi hidroksilasi monofenol menjadi bentuk difenol (monofenolase) dan oksidasi difenol menjadi kuinon (difenolase), sebelum diubah menjadi eumelanin atau feomelanin ditunjukkan pada Gambar 5 (Likhitwitayawuid 2008). Dopakuinon yang terbentuk akan bereaksi secara spontan membentuk dopakrom. Perannya dalam proses melanogenesis terjadi karena tirosinase memiliki gugus tembaga (Cu) yang merupakan active site yang dapat berkaitan dengan substrat pada proses pembentukan melanin (Ramsden dan Riley, 2010). Melanin adalah pigmen warna kulit yang disintesis dalam melanosom dari melanosit. Sintesis melanin diatur oleh enzim tirosinase yang berhubungan dengan protein 1 (TRP-1) dan protein 2 (TRP-2). Produksi melanin terdiri dari berbagai aktivitas enzim, hormon, protein dan fibroblast (Donsing et al. 2008). Berdasarkan hasil pengamatan susu fermentasi dengan penambahan TW 14 dan TW 2 melakukan penghambatan sintesis melanin melalui jalur dopa dan dopakuinon sehingga menghambat tirosin menjadi eumelanin dan feomelanin. Efek penghambatan tirosinase pada penelitian ini diduga akibat hasil metabolit primer dari BAL berupa asam laktat. Penelitian yang dilakukan Usuki (2003) menunjukkan bahwa asam laktat mampu menghambat aktivitas dari enzim tirosinase pada bagian epidermis. Supernatan kultur Lactobacillus rhamosus pada konsentrasi 10% menghasilkan penghambatan tirosinase sebesar 20.6 ± 0.7% (Tsai et al. 2013). Penghambatan tirosinase oleh L. rhamnosus pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Proses biosintesis melanin oleh enzim tirosinase ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5 Biosintesis melanin (Likhitwitayawuid 2008) Isolat Lactobacillus plantarum yang diisolasi dari air laut memperlihatkan efek penghambatan tirosinase sebesar 40% dengan viabilitas sel 102 cfu/ml, pada konsentrasi 5% (Kim 2013). Penelitian ini menggunakan L. plantarum TW 14 dengan viabilitas sel sebesar 109 cfu/ml , hasil penghamatan tirosinase pada konsentrasi 5% yang diperoleh lebih rendah jika dibandingkan penelitian sebelumnya. Diduga substrat yang digunakan berpengaruh pada penghambatan tirosinase. Pada air laut sendiri terdapat Actinobacteria yang mampu mengkatalisisi proses biokimia dari air laut. Bakteri ini melalui substrat air laut, mampu bekerja optimum menghambat melanin pada kulit, bulu dan rambut melalui enzim keratinase yang merupakan protease spesifik (Kim 2013). Antioksidan Pengujian antioksidan menggunakan vitamin C (asam askorbat) sebagai kontrol positif. Hasil perlakuan yang dilakukan terhadap fermentasi susu kambing menggunakan dua isolat yaitu TW 14 dan TW 2 dengan konsentrasi 3%, 4% dan 5 %, terhadap kapasitas antioksidan tertera pada Tabel 8.
Tabel 8 Aktivitas antioksidan susu fermentasi dari L. plantarum TW 14 dan L. rhamnosus TW 2 (ppm) Sampel Kapasitas antioksidan (g Vitamin C/ml) Susu + L. plantarum TW 14 (3 %) 4.89d Susu + L. plantarum TW 14 (4 %) 5.15d Susu + L. plantarum TW 14 (5 %) 5.99c Susu + L. rhamnosus TW 2 (3 %) 8.37b Susu + L. rhamnosus TW 2 (4 %) 9.20ab Susu + L. rhamnosus TW 2 (5 %) 10.46a Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P< 0.05
Data pengamatan pada Tabel 8 menunjukkan, penggunaan BAL pada konsentrasi 3%, 4% dan 5% terhadap kapasitas antioksidan, secara statistik memberikan pengaruh yang nyata. Secara angka memperlihatkan, konsentrasi 5% pada masing-masing BAL, memiliki nilai kapasitas antioksidan lebih tinggi dibandingkan konsentrasi 3% dan 4%. Nilai kapastitas antioksidan dari susu fermentasi dengan penambahan L. rhamnosus TW 2 memiliki kapasitas antioksidan 2x lebih tinggi dibandingkan L. plantarum TW 14. Kapasitas antioksidan meningkat dengan adanya penambahan konsentrasi BAL. Meningkatnya aktivitas antioksidan diduga berasal dari metabolit yang terbentuk selama proses fermentasi laktat seperti peptida bioaktif. Peptida bioaktif dari Lactobacilus diperoleh selama fermentasi susu dan menunjukkan sifat antioksidan (Tidona et al. 2009). Asam organik pada proses fermentasi memberikan ion H+ pada radikal bebas sehingga meningkatkan aktivitas antioksidan (Prastyaharasti dan Zubaidah, 2014). Senyawa antioksidan merupakan senyawa yang dapat memperlambat autooksidasi di dalam bahan khususnya senyawa lipid. Antioksidan dikelompokkan dua berdasarkan sumbernya, yaitu antioksidan sintetik yang diperoleh dari hasil sintesis kimia dan antioksidan alami yang diperoleh dari bahan alami (Burke 2006). Penggunaan L. rhamnosus pada fermentasi susu skim memperlihatkan aktivitas antioksidan sampai dengan 50.7% (Maryam et al. 2012). Penelitian yang dilakukan Tsai et. al, (2013), hasil perlakuan menunjukkan bahwa supernatant yang berisi L. rhamnosus mempunyai kemampuan sebagai antioksidan dapat dipergunakan dalam bahan baku kosmetik. Virtanen et al. (2007) menyatakan bahwa penambahan 10% L. rhamnosus pada fermentasi whey mempunyai nilai aktivitas antioksidan 29 %. Hasil dari penelitian ini menujukkan kandungan antioksidan yang tidak terlalu tinggi jika dibandingkan hasil penelitian sebelumnya. Perbedaan konsentrasi starter yang digunakan berpengaruh terhadap nilai kapasitas antioksidan yang dihasilkan. Pengaruh Penambahan Daun Kari dan Waktu inkubasi Susu Kambing Fermentasi sebagai Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Pengujian tahap kedua melihat pengaruh penambahan daun kari dan waktu inkubasi pada susu kambing fermentasi terhadap antioksidan dan inhibitor tirosinase. Berdasarkan hasil analisis tahap pertama diperoleh aktivitas inhibitor tirosinase dan aktivitas antioksidan terbaik pada konsentrasi penambahan starter 5%. Selanjutnya pada susu yang difermentasi dengan starter 5% dan tanpa penggunaan starter, diberi 1 % ekstrak etanol daun kari. Parameter pengamatan meliputi aktivitas inhibitor tirosinase dan aktivitas antioksidan, populasi BAL dan kandungan protein.
Identifikasi Spesies Daun Kari Berdasarkan hasil identifikasi Pusat Penelitian Biologi, diperoleh bahwa tanaman yang digunakan sebagai sampel adalah jenis Murraya koenigii (L) Spreng dengan nomor spesimen 1814/IPH. 1. 02/If. 8/X/2013 (Lampiran 2). Murraya koenigii merupakan daun aromatik dari famili Rutaceae yang sering digunakan dalam masakan India, dalam bahasa Tamil disebut “kariveppilai” (kari-kari, Veppu-neem dan daun ilai) yang diterjemahkan sebagai daun kari. Daun ini selalu digunakan dalam masakan kari dan hampir dalam semua masakan Tamil lainnya. Daun ini merupakan bagian dari pohon setinggi 4-6 m dengan diameter batang 40 cm. Bentuk daun menyirip dengan 11-21 bagian dari tiap bagian rantingnya. Panjang ranting sekitar 12 cm dengan panjang daun 2-4 cm. Bunga berwarna rendah putih dan harum, buahnya berwarna hitam mengkilat dan dapat dimakan, tetapi mempunyai bagian biji yang beracun (Hema et al. 2011).
Gambar 6 Daun, batang dan bunga tumbuhan kari Hasil penelitian yang dilakukan Chowdhury et al. (2008) terdapat 58 komposisi kimia yang diperoleh dari minyak daun kari ini dimana sebagian besar terdiri dari caryophlene oxide (16,6 %) yang berfungsi dalam pengobatan diare, demam, muntah dan penyakit pencernaan lainnya dan unsur fenolik yang penting digunakan sebagai antioksidan. Hasil ekstrak daun kari memiliki antioksidan yang diaplikasikan pada pangan (Ningappa et al. 2008). Beberapa literatur menyebutkan bahwa daun kari memiliki kandungan kumarin (Ramsewak et al. 1999; Tachibana et al. 2001). Kadar Air Daun Kari Penetapan kadar air berguna untuk mengetahui ketahanan suatu bahan agar dapat diperkirakan cara penyimpanan terbaik bagi sampel untuk menghindari pengaruh aktivitas jamur (mikroba). Kadar air daun kari yang digunakan sebesar 38.55 % berdasarkan bobot kering. Daun kari segar mengandung kadar air 63.4% (Sakhale et al. 2007). Kadar air berdasarkan bobot kering yaitu bila kadar air yang terkandung dalam suatu bahan kurang dari 10% maka kestabilan optimum bahan akan tercapai dan pertumbuhan mikroba dapat dikurangi (Winarno 1987). Kadar air dari daun kari masih terlalu tinggi sehingga perlu dilakukan pengolahan sehingga dapat disimpan lebih lama untuk menghindari pengaruh dari aktivitas jamur. Daun kari dalam penelitian ini disimpan dalam bentuk ekstrak etanol dan dilakukan penyimpanan sebelum dianalisis.
Kadar Abu Daun Kari Penentuan kadar abu merupakan salah satu cara untuk menentukan adanya mineral/ senyawa organik dalam suatu bahan. Mineral sebagai senyawa organik akan tertinggal dalam bentuk abu, yang dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Adapun kadar abu yang diperoleh adalah 10.55% berdasarkan bobot kering. Shanthala dan Prakash (2005) menyatakan daun kari mengandung kadar abu 9.7% dengan Fe (12.0 mg/100 g), fosforus (373 mg/100 g) dan kalsium (2.04 %). Parthsarathy et al (2008) menyatakan ekstrak daun kari dilaporkan memiliki kandungan mineral utama per 100 gram daun berupa kalsium (810 mg), fosforus (600 mg) dan besi (2.1 mg). Selain itu daun ini memiliki kandungan mineral Cr, Mg, Mn, Zn, Cu dan Se (Ningappa et al. 2008). Mineral seperti Se, Cu, Mg, Zn dikenal sebagai antioksidan (Gupta dan Sharma 2006). Fitokimia dan Total Fenolik Daun Kari Sebelum dilakukan analisis fitokimia dan total fenolik, daun kari di ekstraksi dengan nheksana dan hasil residu diekstraksi dengan etanol. Rendemen dari daun kari yang diekstraksi dengan menggunakan etanol sebesar 10.22 %. Analisis fitokimia merupakan salah satu cara untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder pada suatu sampel (Harborne 1987). Analisis ini sangat berguna untuk menentukan golongan utama senyawa aktif dari daun kari. Uji yang dilakukan meliputi uji alkaloid, saponin, flavonoid, triterpenoid, steroid dan tanin. Hasil pengujian fitokimia dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Fitokimia ekstrak etanol daun kari Ekstraki Etanol Fitokimia Fenolik + Alkaloid + Saponin Terpenoid + Flavonoid + Steroid + Tanin Ket : + = terdapat senyawa fitokimia = tidak terdapat senyawa fitokimia Berdasarkan data fitokimia pada Tabel 9, daun kari mengandung fenolik, alkaloid, terpenoid dan flavonoid. penelitian Choudhury & Garg (2007) menyebutkan bahwa daun kari memiliki kandungan terpenoid, lutein dan carbazol alkaloid. Berdasarkan Khanum et al. (2000), daun kari kaya akan antioksidan seperti tokoferol, β-karoten, senyawa flavonoid dan steroid. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh de-Fatima et al. 2006, ekstrak etanol dari daun kari, mengandung flavonoid, fenol, glikosida fenolik, saponin dan cyanogenic glikosida, merupakan metabolit sekunder, berfungsi sebagai pengaturan struktural dan sifat dan sebagai antibiotik, sehingga baik digunakan dalam perawatan kesehatan. Fenolik merupakan golongan senyawa yang dilaporkan sebagai antioksidan. Pada pengukuran total fenolik, asam galat digunakan sebagai standar, dengan hasil tertera pada Gambar 7. Pengunaan asam galat sebagai standar pengukuran, dikarenakan asam galat
merupakan senyawa polifenol yang terdapat di hampir semua tanaman. Kandungan fenol asam galat bersifat murni dan stabil (Kusumaningati 2009).
Absorbansi 730 nm
1.0 0.8 0.6 y = 0.008x - 0.003 R² = 0.999
0.4 0.2 0.0 0
20
40 60 80 Konsentrasi Asam Galat
100
120
Gambar 7 Kurva standar asam galat Total fenolik ekstrak etanol daun kari dalam penelitian ini sebesar 16.21%. Hasil penelitian Fachraniah et al (2012), menunjukkan kadar fenolik daun kari sebesar 322.51 ppm dikonversikan menjadi 0.03%. Hasil pengukuran total fenolik daun kari yang dilakukan oleh Ninggapa et al. (2008), pada ekstrak etanol dan air dengan perbandingan (1:1) sebesar 16.8%, ekstrak air sebesar 5.4%, ekstrak etanol sebesar 10.4%, ekstrak heksana sebesar 1.8% dan ekstrak kloroform sebesar 2.1%. Penelitian yang dilakukan Reihani dan Azhar (2012), total fenolik dari daun kari yang dikeringkan pada suhu 45 oC selama 48 jam, ekstrak air sebesar 3.3%. Ekstrak air daun kari yang berasal dari Banda Aceh memiliki total fenolik sebesar 0.55%, ekstrak etanol daun kari sebesar 0.55% dan ekstrak heksana sebesar 0.07 % (Novi et al. 2015). Total fenolik yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan penelitian sebelumnya. Daun kari sering digunakan dalam pengolahan pangan karena memiliki aroma yang khas, memiliki senyawa fenolik aktif sehingga potensial sebagai antioksidan (Biswas et al. 2012). Antioksidan Antioksidan alami banyak terdapat dalam tanaman pada seluruh bagian dari tanaman seperti akar, daun, bunga, biji, batang dan sebagainya. Berdasarkan hasil uji antioksidan dengan menggunakan metode DPPH pada ekstrak etanol dari daun kari, diperoleh kapasitas antioksidan sebesar 1,289 mg asam askorbat dalam 1 g ekstrak. Daun kari mengandung antioksidan yang tinggi. Antioksidan bersifat melindungi sel dari efek berbahaya radikal bebas oksigen reaktif. Radikal bebas ini dapat berasal dari metabolisme tubuh maupun faktor eksternal lainnya, spesies oksigen reaktif (ROS = Reactive Oxygen Species) termasuk radikal superoksid, radikal hidroksil, hidrogen peroksida (Burke 2006). Menurut Pratt dan Hudson (1990), senyawa-senyawa yang umum terkandung dalam antioksidan alami adalah fenol, polifenol dan yang paling umum adalah flavonoid, isoflavon, flavon, katekin dan flavonon. Pengamatan terhadap antioksidan dilakukan dengan mengisolasi antioksidan dari daun kari yang telah dikeringkan (kering oven) menggunakan
Penghambatan Oksidasi (%)
pelarut heksan, etanol, kloroform, etanol-air dan air. Antioksidan daun kari termasuk dalam golongan senyawa polifenol. Senyawa yang termasuk ke dalam golongan polifenol adalah seluruh senyawa yang memiliki struktur dasar berupa fenol. Fenol sendiri merupakan struktur yang terbentuk dari benzena tersubstitusi dengan gugus –OH. Gugus –OH yang terkandung merupakan aktivator yang kuat dalam reaksi substitusi aromatik (Menon 2010). Penggunaan daun kari dalam bentuk bubuk (powder) ternyata berfungsi sebagai antioksidan dan mampu menghambat pembentukan asam lemak bebas, dalam daging kambing dengan tidak mempengaruhi pH, daya ikat air dan zat gizi (Das 2011). Penelitian yang dilakukan Ninggapa et al (20008), terhadap aktivitas antioksidan DPPH, ekstrak air daun kari sebesar 41%, ekstrak etanol dan air (1:1) sebesar 92%, ekstrak etanol sebesar 64%, ekstrak n-heksana sebesar 56% dan ekstrak kloroform sebesar 48%. Penelitian yang dilakukan oleh Novi et al. (2015) ekstrak air daun kari mempunyai kandungan antioksidan sebesar 84%, ekstrak dan air (1 :1) sebesar 80 % dan ekstrak n-heksan sebesar 60%. Pengaruh persentase antioksidan juga diamati pada susu kambing yang difermentasi menggunakan BAL, yaitu L. plantarum TW 14 dan L.rhamnosus TW 2. Pengamatan dengan melihat pengaruh waktu inkubasi dan penambahan daun kari. Hasil penelitian tersaji pada Gambar 8. Data statistik persentase antioksidan tersaji pada Lampiran 3. 75.00
60.00
45.00
30.00 0
12
24
36
Waktu Inkubasi (Jam)
Gambar 8 Aktivitas antioksidan susu kambing fermentasi dengan penambahan ekstrak etanol daun kari (%)
Pada Gambar 8 terlihat aktivitas antioksidan yang baik dari susu yang telah difermentasi dengan menggunakan BAL, L. plantarum TW 14 dan L.rhamnosus TW 2, pada inkubasi 24 jam. Fermentasi susu pada inkubasi 36 jam menurunkan penghambatan oksidasi. Penurunan penghambatan diduga oksidasi diduga disebabkan substrat dalam menetralisir radikal bebas menurun kemampuan metabolitnya. Pada susu, komponen yang berpotensi sebagai antioksidan adalah vitamin A, C, asam amino dan protein yang memiliki gugus sulfidril (Shengjie et al. 2014). American Dairy Goat Association (2002) menyatakan bahwa susu kambing mengandung Vitamin C sebanyak 2 mg/ml, Vitamin A sebanyak 120 IU dan protein sebanyak 3.3 g dalam 1 liter susu. Empat kelompok senyawa yang tergolong antioksidan alami yang sangat penting adalah viamin E, vitamin C dan flavonoid. Vitamin C merupakan antioksidan yang paling banyak diaplikasikan pada produk-produk topikal (Weber et al. 2001). Formulasi antioksidan
tersebut dalam produk kosmetik dinyatakan dapat memberikan perlindungan, melembabkan dan dapat melawan penuaan kulit (Burke 2006). Pada perlakuan SKK terlihat penambahan daun kari meningkatkan kandungan antioksidan jika dibanding dengan perlakuan SK. Nilai ini memperlihatkan korelasi positif antara daun kari yang memiliki nilai fenolik dengan antioksidan. Estiasih dan Kurniawan (2006) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan berkaitan dengan nilai total fenolik dimana semakin tinggi nilai total fenolik maka aktivitas antioksidan semakin besar. Pada perlakuan susu kambing fermentasi dengan penambahan daun kari (SKPK dan SKRK), terlihat adanya penurunan antioksidan. Adanya daun kari diduga menghambat aktivitas fermentasi dari BAL yang digunakan. Daun kari selain memiliki senyawa fenolik juga memiliki senyawa alkaloid yang bersifat antimikroba (Rahman dan Gray 2005). Penggunaan antioksidan, dapat mencegah oksidasi komponen-komponen fenolat menjadi quinon yang berwarna gelap. Penggunaan vitamin C dapat mereduksi kembali quinon hasil oksidasi (o-quinon) menjadi senyawa fenolat (o-difenol) tak berwarna (Chen 2006). Aktivitas Inhibitor Tirosinase Aktivitas penghambatan enzim tirosinase pada daun kari diukur dengan cara melarutkan ekstrak daun kari pada larutan Dimetil sulfoksida (DMSO). Aktivitas inhibitor tirosinase pada subtrat L-Tirosin dan L-DOPA tersaji pada Tabel 10. Tabel 10 Aktivitas inhibitor tirosinase daun kari (Murraya koenigii) IC50 (ppm) Sampel Ekstrak Daun Kari Asam Kojat
L-Tirosin 317.47 52.5
L-DOPA 793.74 9.4
Hasil uji aktivitas tirosinase yang diperoleh pada Tabel 10 menunjukkan, bahwa IC50 ekstrak daun kari dengan konsentrasi 317.47 ppm, substrat L-Tirosin (monofenolase) lebih rendah dibandingkan dari kontrol positif asam kojat, demikian juga nilai IC50 ekstrak daun kari dengan konsentrasi 793.74 ppm, pada substrat L-DOPA (difenolase) lebih rendah dari kontrol positif asam kojat. Penghambatan enzim tirosinase pada ekstrak etanol daun kari lebih dari 50%, sedangkan pada ekstrak metanol daun kari sebesar 30.24% pada konsentrasi 480 mg/ml (Dhongade et al. 2013). Pengukuran aktivitas tirosinase dilakukan pada dua substrat yaitu L-Tirosin (monofenolase) dan L-DOPA (Difenolase). Aktivitas inhibitor tirosinase pada waktu inkubasi yang berbeda pada susu kambing fermentasi dengan penambahan ekstrak daun kari ditunjukkan pada Gambar 8 dan 9. Data secara statistik penghambatan enzim tirosinase pada substrat L-Tirosin dan L-DOPA, tersaji pada Lampiran 3.
90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 0
Gambar 9
12 24 Waktu Inkubasi (Jam)
36
Aktivitas inhibitor tirosinase susu kambing fermentasi dengan penambahan ekstrak etanol daun kari pada substrat L-Tirosin (%)
Pada Gambar 9, waktu inkubasi 24 jam memberikan nilai aktivitas inhibitor tirosinase tinggi dibandingkan waktu inkubasi 0, 12 dan 36 jam, kecuali pada susu kambing. Perlakuan penambahan daun kari memperlihatkan penurunan aktivitas inhibitor tirosinase pada substrat L-Tirosin. Pada sampel susu kambing yang ditambah daun kari terlihat adanya peningkatan aktivitas inhibitor tirosinase pada substrat L-Tirosin dibandingkan tanpa penambahan daun kari. Pembentukan melanin dihambat dengan cara menekan pembentukan enzim tirosinase, menghambat aktivitas enzim tirosinase, menurunkan transfer tirosinase, atau menghambat produksi melanin secara langsung. Tirosinase yang juga dikenal sebagai monooxygenase monophenol adalah enzim yang mengkatalis oksidasi fenol (seperti tirosin) dan tersebar luas pada tanaman dan hewan, Tirosin yang merupakan monofenol, pertama kali dihidroksilasi menjadi 3,4-dihidroksifenilalanin dan kemudian dioksidasi menjadi quinon yang akan membentuk warna coklat (Avanti, 2002). Dua reaksi dalam pembentukan melanin yaitu monofenol dan difenol. Pada monofenol, terjadinya hidroksilasi fenol menjadi 0-difenol, reaksi ini berjalan lambat. Reaksi kedua adalah difenol yang diubah menjadi o-quinon, disebut dengan difenolase dan berlangsung dengan cepat (Chen 2006). Aktivitas inhibitor tirosinase pada substrat L-DOPA ditunjukkan pada Gambar 10.
70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 0
12 24 Waktu Inkubasi (Jam)
36
Gambar 10 Aktivitas inhibitor tirosinase susu kambing fermentasi dengan penambahan ekstrak etanol daun kari pada substrat L-DOPA (%)
Pada Gambar 10, terjadi tren grafik yang sama antara L-Tirosin dan L-DOPA, waktu inkubasi jam ke 24 memberikan nilai aktivitas inhibitor tirosinase tinggi dibandingkan waktu inkubasi 0, 12 dan 36 jam. Perlakuan penambahan daun kari memperlihatkan penurunan aktivitas inhibitor tirosinase pada L-DOPA, seperti pada L-Tirosin. Pada sampel susu dengan penambahan starter L. plantarum TW 14 yang ditambah daun kari terlihat adanya peningkatan aktivitas inhibitor tirosinase, L. rhamnosus TW 2 terjadi penurunan penghambatan tirosinase ketika ditambahkan daun kari. Penurunan ini diduga L. rhamnosus TW 2 tidak mampu bekerja optimum akibat munculnya sifat antimikroba dari penambahan daun kari. Fenolik dari tumbuhan bekerja menghambat pembentukan melanin pada substrat LDOPA. Tirosinase (EC 1.14.18.1) merupakan enzim yang mengandung tembaga mengatalisasi dua reaksi yang berbeda dengan menggunakan oksigen molekuler, orto hidroksilasi tirosinase (mono-fenol) pada 3,4-dihidrofenilalanin atau DOPA (o-fenol) yang ditetapkan sebagai aktivitas monofenolase dan oksidasi DOPA menjadi dopakuinon (okuinon) ditetapkan sebagai aktivitas difenolase (Solano et al. 2006; Ebanks et al. 2009). Dopakuinon (o-kuinon) sangat reaktif dan cenderung berpolimerasi secara spontan untuk membentuk pigmen melanin (Seo et al. 2003). Populasi Bakteri Asam Laktat Umumnya, mikroba yang digunakan sebagai starter dalam fermentasi susu memiliki ciri dan fungsi yang berbeda sesuai dengan tujuan dan ciri khas produk yang diharapkan. Bakteri asam laktat (BAL) menghasilkan produk akhir metabolisme berupa asam laktat. BAL dibedakan sebagai bakteri homofermentatif dan heterofermentatif. Bakteri homofermentatif menghasilkan asam laktat (hampir 90%) dan sedikit asam asetat dari metabolisme pentosa. Populasi dari BAL dalam susu kambing fermentasi dengan penambahan daun kari, tersaji pada Gambar 11, data statistik populasi bakteri asam laktat tersaji pada Lampiran 3.
Populasi Bakteri Asam Laktat (log cfu/ml)
12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0
12
24
36
Waktu Inkubasi (Jam)
Gambar 11
Populasi bakteri asam laktat dalam susu kambing fermentasi dengan penambahan daun kari
Berdasarkan Gambar 11, terlihat bahwa penambahan daun kari menurunkan populasi bakteri asam laktat jika dibandingkan tanpa penambahan daun kari. Das (2011) menyatakan bahwa karbazol alkaloid yang dimiliki daun kari ini memiliki aktivitas biologis sebagai anti kanker, selain itu alkaloid juga memiliki aktivitas antimikroba terhadap bakteri gram positif dan negatif serta jamur. Ekstrak etanol tumbuhan kari memiliki efek antimikroba terhadap Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, Escherichia coli, Candida ablicans, Aspergilus niger (Vats et al. 2011). Oleh karena itu, diduga penurunan populasi BAL akibat penambahan daun kari, karena sifat antibakteri pada daun kari. Jumlah populasi dari mikroba menurun pada inkubasi 36 jam, hal yang sama ditunjukkan pada grafik antioksidan dan aktivitas penghambatan tirosinase. Penurunan populasi BAL pada inkubasi 36 jam, diduga bakteri telah memasuki fase menuju kematian atau fase kematian. Pertumbuhan bakteri dapat dipisahkan menjadi empat fase utama : fase lag (fase lamban atau lag phase), fase pertumbuhan eksponensial (fase pertumbuhan cepat atau log phase), fase stationer (fase statis atau stationary phase) dan fase kematian populasi. Pertumbuhan BAL mengalami peningkatan pada 9-24 jam kemudian turun setelah mencapai fase stasioner (Ogunbanwo et al. 2003) Kandungan Protein Pada penelitian tahap kedua juga dianalisis kandungan protein dari susu kambing fermentasi dengan dan tanpa penambahan daun kari. Pengaruh waktu inkubasi terhadap susu fermentasi tertera pada Gambar 12, data statistik kandungan protein tersaji pada Lampiran 3.
20.00
Kadar Protein (%)
18.00 16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 0
12
24
36
Waktu Inkubasi (Jam)
Gambar 12 Kadar protein susu kambing fermentasi dengan penambahan daun kari
Dari Gambar 12 terlihat semakin lama inkubasi semakin meningkatkan kadar protein di dalam susu. Kisaran dari protein normal pada susu fermentasi sekitar 10% (Surono 2004), pada waktu inkubasi 24 jam, kadar protein masih kurang 10% dari semua perlakuan, sampai inkubasi 36 jam protein yang terbentuk sudah di atas standar yang ditetapkan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diduga protein yang terbentuk pada inkubasi 36 jam berasal dari bakteri selain BAL. Puspitojati dan Santoso (2014) menyatakan, bakteri asam laktat mampu menghasilkan protein terbaik pada proses fermentasi 12-24 jam. Kadar protein dari susu fermentasi berkisar antara 5.84%-7.15%, terjadinya peningkatan kadar protein pada susu fermentasi diperoleh dari mikroba yang mengandung substrat protein, dimana satu persen dari jumlah protein susu fermentasi berasal dari protein mikroba (Sunarlim et al. 2007). Berdasarkan hasil pengamatan tahap kedua secara umum menunjukkan, susu dan susu fermentasi dengan waktu inkubasi 24 jam, memiliki nilai yang lebih baik terhadap antioksidan, aktivitas penghambatan tirosinase pada substrat L-tirosin dan L-DOPA, populasi BAL dan kandungan protein. Waktu inkubasi 24 jam menjadi acuan pada tahapan ketiga. Proses pembentukan melanin melibatkan dua komponen yaitu oksidasi enzimatik dan non enzimatik. Oksidasi enzimatik dapat dicegah dengan menghambat aktivitas enzim yang bertanggung jawab pada pencoklatan kulit yaitu enzim tirosinase, sedangkan proses non enzimatik dapat dihambat dengan antioksdan (Masuda et al. 2005). Meningkatnya nilai antioksidan dari susu fermentasi, karena adanya senyawa peptida bioaktif yang dihasilkan oleh kultur starter. Peptida bioaktif dienkripsi ke dalam protein susu dan dilepaskan selama proses fermentasi, sehingga meningkatkan nilai antioksidan susu (Alaglu dan Oner 2011). Peptida bioaktif merupakan protein yang terdiri dari sejumlah asam amino dan mempunyai dampak positif bagi kesehatan (Tidona et al. 2009). Terdapat tiga mekanisme dalam reaksi pemutih, yaitu 1. Mereduksi melanin secara langsung (hidrokuinon) 2. Menghambat aktivitas melanin (vitamin C, arbutin dan asam kojat) dan 3. Menekan pembentukan tirosinase ((Bakteri Asam Laktat). Mekanisme dalam penelitian dengan menekan pembentukan tirosinase akibat dari produksi asam laktat oleh BAL (Chen et al. 2006). Berdasarkan hal tersebut maka sampel yang digunakan pada
inkubasi 24 jam, berpotensi sebagai pemutih kulit jika dilihat secara enzimatik maupun non enzimatik. Potensi Susu Kambing Fermentasi dengan Penambahan Daun Kari sebagai Inhibitor Melanin pada Kultur Sel B16F0 Pada tahapan kedua diperoleh hasil inkubasi terbaik pada jam ke 24. Inkubasi pada jam ke 24 ini dilanjutkan pada tahapan ketiga. Tahapan ketiga melihat pengaruh dari perlakuan fermentasi susu kambing dengan penambahan daun kari pada sel B16F0, sel ini merupakan sel kulit melanosit. Kulit berfungsi untuk menutupi semua bagian tubuh dan melindungi tubuh dari berbagai macam gangguan eksternal dan kerusakan akibat sinar matahari yang terus terpapar dan kehilangan kelembaban. Luas permukaan kulit orang dewasa adalah sekitar 1.6 m 2 sedangkan ketebalannya dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin dan daerah tempat tinggal. Pada umumnya kulit laki-laki lebih tebal dari kulit perempuan, tetapi perempuan mempunyai lapisan subcutaneous yang lebih tebal (Mitsui 1997). Shintawati (2011) menyatakan bahwa fungsi kulit antara lain sebagai proteksi terhadap invasi bakteri, kekeringan dan kecelakaan, sebagai penangkal radiasi, mengatur suhu tubuh, menerima rangsangan dari luar dan absorbsi UV untuk sintesis vitamin D. Kulit terdiri dari dua lapisan yaitu, epidermis (keratinosit) dan dermis (melanosit). Epidermis merupakan lapisan terluar dan aksesorisnya terdiri dari rambut, kuku, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Dermis berada di bagian dalam dari epidermis yang berasal dari mesoderm (Brown dan Burns 2005). Zat-zat yang mewarnai kulit terdiri dari karoten yang berwarna kuning-orange, yang kedua adalah melanin yang membuat kulit berwarna kecoklatan dan yang ketiga adalah darah yang membuat kulit berwarna kemerah-merahan. Epidermis manusia terdiri atas beberapa lapisan keratinosit yang berada dalam proses pergantian secara terus menerus. Dalam lapisan basal terjadinya proliferasi dan deskuamasi melanin di permukaan kulit secara terus menerus (Potten dan Booth 2002). Alya (2005) menjelaskan proses pembentukan melanin pada intraseluler dan ekstraseluler pada sel. Melanin dibentuk oleh melanosit, dengan enzim tirosinase yang berperan penting dalam proses pembentukannya. Enzim tirosinase dibentuk dalam ribosom, ditransfer dalam lumen retikulum endoplasma kasar, melanosit diakumulasi dalam vesikel yang dibentuk oleh kompleks golgi. pembentukan granul melanin yang matang terdiri dari 4 tahapan. 1. Vesikel dikelilingi oleh membran dan menunjukkan awal proses dari aktivitas enzim tirosinase. Pembentukan substansi granul halus pada bagian perifernya. 2. Vesikel (melanosom) berbentuk oval dan terlihat pada bagian dalam filamen-filamen dengan jarak sekitar 10 nm atau garis lintang dengan jarak sama. melanin disimpan dalam matriks protein. 3. Struktur protein ini hilang dengan aktivitas tirosinase dan membentuk granul melanin matang. 4. Granul melanin bermigrasi ke arah juluran melanosit dan masuk ke dalam keratinosit. Viabilitas Sel dan Kandungan Melanin Pengukuran viabilitas sel dan kandungan melanin pada sampel dilakukan dalam lima konsentrasi yang berbeda, yaitu 4.2, 8.3, 16.7, 33.3 dan 66.7 mg/ml. Kontrol negatif dan kontrol positif yang digunakan adalah Dimetil Sulfoksida (DMSO) dan Arbutin. Sebelum dilakukan penambahan daun kari pada susu fermentasi, diamati aktivitas penghambatan
Nilai Viabilitas sel dan Inhibtor Melanin (%)
melanin dari ekstrak etanol daun kari terhadap kultur sel B16F0. Hasil pengamatan daun kari terhadap kultur sel B16F0 ditunjukkan pada Gambar 13.
160 140 120 100 80 60 40 20 0
130 124 100100100
108
151 143 129 108 93
78
69
53 19
Kontrol
Arbutin (730 µM)
4.2 mg/ml
8.3 mg/ml
16.7 mg/ml
Perlakuan
Gambar 13 Pengaruh ekstrak etanol daun kari terhadap kultur sel B16F0 : Viabilitas sel, : Kandungan intrasellular melanin, : Kandungan ekstraseluler melanin. Pada Gambar 13, terlihat bahwa sampel ekstrak etanol daun kari bersifat toksik terhadap sel B16F0 berdasarkan viabilitasnya. Senyawa fenolik dari daun kari diduga sebagai penyebab toksik pada kultur sel B16F0. Berdasarkan data pada tahap kedua, ekstrak etanol daun kari memiliki kandungan fenolik sebesar 16.21%. Fenol merupakan racun protoplasmik yang toksik terhadap segala jenis sel. Kadar fenol yang tinggi akan mengendapkan protein, sedangkan kadar rendah akan mendenaturasi protein pada membran sel (Mao et al. 2006). Membran sel berguna sebagai penghalang selektif terhadap zat terlarut dan menahan zat yang tidak larut. Beberapa zat diangkut secara aktif melalui membran, sehingga konsentrasinya dalam sel tinggi. Zat-zat yang terkonsentrasi pada permukaan sel akan mengubah sifat-sifat fisiknya sehingga membunuh dan menghambat sel (Ghanem et al. 2012). Aktivitas penghambatan melanin dari ekstrak etanol daun kari dilihat secara intraseluler dan ekstraseluler, tidak memberikan efek penghambatan melanin terhadap sel B16F0 pada semua konsentrasi yang diuji. Artinya, ekstrak etanol daun kari tidak berfungsi sebagai inhibitor melanin pada kultur sel B16F0. Pengamatan dilakukan dari perlakuan susu (SK), fermentasi dengan starter BAL, L. plantarum TW 14 (SKP) dan L. rhamnosus TW 2 (SKR). Penambahan ekstrak etanol dari daun kari sebanyak 1% dilakukan pada susu (SKK) dan fermentasi susu dengan penambahan starter L. plantarum TW 14 + ekstrak etanol daun kari (SKPK) dan L. rhamnosus TW 2 + ekstrak etanol daun kari (SKRK). Persentase penambahan ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Biswas et al. (2012), yang menambahkan ekstrak etanol dari daun kari sebanyak 0.25% hingga 1% pada daging babi guna mengukur kandungan antioksidan. Aktivitas penghambatan melanin dari SK dan SKK, ditunjukkan pada Gambar 14.
Perlakuan SK, tidak bersifat toksik terhadap viabilitas sel. Demikian juga dengan perlakuan SKK, tidak bersifat toksik terhadap sel (Gambar 14). Diduga komponen aktif dari susu kambing, mampu menekan sifat toksik dari daun kari. Asam kaproat merupakan komponen bioaktif, yang hanya terdapat pada susu kambing. Komponen aktif dari asam kaproat ini, mampu menekan efek toksik dari makanan yang bersumber dari senyawa pada tumbuh-tumbuhan (Park 2009). Sehingga muncul sifat penghambatan melanin muncul dari susu kambing yang ditambah dengan daun kari pada kultur sel B16F0. Penghambatan melanin dari perlakuan SK (17%) secara intraseluler, saat diberikan sampel pada konsentrasi 66.7 mg/ml. Penambahan daun kari pada susu (SKK), meningkatkan kemampuan menghambat melanin (28 %), pada konsentrasi 33.3 mg/ml. Nilai penghambatan ini masih sangat rendah apabila dibandingkan dengan kontrol positif (arbutin) sebesar 47%. Perlakuan SK tidak menunjukkan penghambatan melanin secara ekstraseluler, perlakuan SK hanya bekerja menghambat proses pembentukan melanin pada bagian melanosit, akan tetapi tidak memberikan pengaruh pada sel keratinosit, artinya sampel susu tanpa penambahan starter tidak berpotensi sebagai pemutih kulit. Pigmentasi kulit melibatkan kerjasama dari melanosit dan keratinosit, untuk menghasilkan melanin dan mentransfernya ke keratinosit, yang kemudian mendistribusikannya di berbagai permukaan kulit (Donsing et al. 2008). Secara ekstraseluler, SKK menyebabkan terjadinya penghambatan melanin terhadap kultur sel B16F0 (25%) pada konsentrasi 16.7 mg/ml, artinya sampel ini berpotensi sebagai pemutih. Nilai penghambatan ini masih sangat rendah apabila dibandingkan dengan kontrol positif (arbutin) sebesar 81%. Hasil pengamatan pada kultur sel B16F0 dari perlakuan SK dan SKK berkaitan dengan nilai penghambatan Tirosinase yang dilakukan pada tahap kedua, dimana penambahan daun kari meningkatkan kemampuan penghambatan enzim tirosinase pada substrat L-tirosin. Pengukuran viabilitas sel dan kandungan melanin, dilakukan pada SKP dan SKPK. Aktivitas penghambatan melanin dari susu fermentasi dengan L. plantarum TW 14 serta susu fermentasi dengan penambahan L. plantarum TW 14 dan Ekstrak daun kari, ditunjukkan pada Gambar 15.
= Angka dengan garis bawah sebagai susu kambing + L. plantarum TW 14 (SKP) = Angka dengan garis bawah putus-putus sebagai SKP + ekstrak daun kari (SKPK)
Gambar 15 Pengaruh susu+ L. plantarum TW 14 (SKP) dan susu+ L. plantarum TW 14 +ekstrak daun kari (SKPK) terhadap kultur sel B16F0, : Viabilitas sel, : Kandungan intraseluler melanin, : Kandungan ekstraseluler melanin. Perlakuan SKP dan SKPK, tidak bersifat toksik terhadap sel (Gambar 15). Penghambatan melanin (8%) dari SKP secara intraseluler, saat diberikan sampel dengan konsentrasi 66.7 mg/ml. perlakuan SKPK, menghambat melanin secara intraseluler (14 %), pada konsentrasi yang sama (66.7 mg/ml). Nilai penghambatan ini masih sangat rendah apabila dibandingkan dengan kontrol positif (arbutin) sebesar 47%. Secara ekstraseluler sampel SKP menunjukkan aktivitas penghambatan melanin (15 %) pada konsentrasi 33./3 mg/ml. Pada konsentrasi 66.7 mg/ml aktivitas penghambatan semakin meningkat sebesar 27%. Hasil metabolit primer dari BAL berupa asam laktat, bekerja pada proses pigmentasi, dengan cara mempercepat pergantian melanin di epidermis dan menghambat pembentukan melanin dalam sel melanosit (Usuki et al. 2003). Pada penelitian ini, susu kambing dengan penambahan L.plantarum TW 14 mempunyai potensi sebagai pemutih kulit. Nilai penghambatan ini masih rendah apabila dibandingkan dengan kontrol positif (arbutin) sebesar 81 %. Perlakuan SKPK, menurunkan potensi penghambatan melanin secara ekstraseluler. Aktivitas penghambatan melanin dari penambahan daun kari (18 %) pada konsentrasi 66.7 mg/ml. Diduga terjadinya pemanfaatan substrat dari BAL dan daun kari, sehingga menurunkan aktivitas peptida dari susu kambing, selain itu diduga BAL yang digunakan mengalami kematian. Perubahan permeabilitas membran sel bakteri merupakan mekanisme kerja fenol. Terjadinya perubahan permeabilitas membran sel menyebabkan kebocoran konstituen sel yang essensial, sehingga bakteri mengalami kematian (Butcher dan Ulaeto 2010). Adapun nilai penghambatan melanin, dari perlakuan SKR dan SKRK, tersaji pada Gambar 16.
= Angka dengan garis bawah sebagai susu kambing + L. rhamnosus TW 2 (SKR) = Angka dengan garis bawah putus-putus sebagai SKR + ekstrak daun kari (SKRK)
Gambar 16 Pengaruh susu+ L. rhamnosus TW 2 (SKR) dan susu+ L. rhamnosus TW 2 +ekstrak daun kari (SKRK) terhadap kultur sel B16F0, : Viabilitas sel, : Kandungan intraseluler melanin, : Kandungan ekstraseluler melanin. Perlakuan sampel SKR dan perlakuan SKRK, tidak bersifat toksik terhadap sel (Gambar 16). Penghambatan melanin (22 %) dari SKR secara intraseluler, saat diberikan sampel sebanyak 66.7 mg/ml. Perlakuan SKRK menurunkan kemampuan menghambat melanin secara intraseluler (6 %), pada konsentrasi yang sama (66.7 mg/ml). Beberapa turunan fenol dapat membentuk khelat dengan ion Fe dan Cu, masuk ke dalam sel bakteri, kemudian bentuk khelat tersebut masuk ke dalam sel bakteri. Kadar yang tinggi dari ion-ion logam di dalam sel menyebabkan gangguan fungsi enzim-enzim sehingga sel bakteri mengalami kematian (Somani et al. 2011). Secara ekstraseluler sampel SKR, menunjukkan aktivitas penghambatan melanin (10 %) pada konsentrasi 33./3 mg/ml. Pada konsentrasi 66.7 mg/ml aktivitas penghambatan semakin meningkat sebesar 16 %. Perlakuan SKRK menurunkan potensi penghambatan melanin secara ekstraseluler, aktivitas penghambatan melanin dari penambahan daun kari (3 %) pada konsentrasi 66.7 mg/ml. Penelitian yang dilakukan oleh Rendl et al (2001) pada bahan krim kulit, yang ditambahkan 5% BAL memiliki potensi sebagai pemutih kulit pada bagian epidermis keratinosit. Pada penelitian ini, susu kambing dengan penambahan TW 2 mempunyai potensi yang rendah sebagai pemutih kulit. Nilai penghambatan ini masih rendah apabila dibandingkan dengan kontrol positif (arbutin) sebesar 81%. Perbedaan antara penggunaan L. plantarum TW 14 dan L. rhamnosus TW 2 sebagai inhibitor melanin pada kultur sel B16F0, diduga karena sifat heterofermentatif dan perbedaan jumlah peptida yang dihasilkan dari L. plantarum TW 14 dan L. rhamnosus TW 2. Hasil penelitian menunjukkan, L. plantarum TW 14 lebih efektif dibandingkan L. rhamnosus TW 2 sebagai inhibitor melanin pada kultur sel B16F0. 4
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
1. Berdasarkan penelitian ini, susu kambing mampu menghambat aktivitas tirosinase dan tidak dapat menghambat melanin secara ekstraseluler.
2. Susu kambing Peranakan Etawah fermentasi dengan penambahan bakteri asam laktat berfungsi sebagai pemutih kulit. 3. Daun kari berperan sebagai antioksidan dan menghambat aktivitas tirosinase akan tetapi bersifat toksik pada kultur sel B16F0. 4. Penambahan daun kari pada susu kambing, memperlihatkan pengaruh yang lebih baik dibandingkan dengan penambahan starter, sebagai pemutih kulit. 5. Susu dengan Penambahan Lactobacillus plantarum TW 14 lebih baik sebagai inhibitor melanin pada kultur sel B16F0 dibandingkan dengan Lactobacillus rhamnosus TW 2. Saran 1. Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini berupa identifikasi komponen aktif pada bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum TW 14 dan Lactobacillus rhamnosus TW 2, sehingga teridentifikasi komponen yang menghasilkan penghambatan melanin pada kultur sel B16F0. 2. Pengujian secara kuantitatif senyawa bioaktif (metabolit sekunder) daun kari.
DAFTAR PUSTAKA [ADGA] American Dairy Goat Association. 2002. Milk Comparison. The American Dairy Goat Association. Spindale, New York City. Alaglu HS, Oner Z. 2011. Determination of antioxidant activity of bioactive peptide fraction obtained from yogurt. J Dairy Sci. 94 (11): 5305-5314. doi: 10.3168/jds.2011-4285. Alya AF. 2005. Histologi dari melanosit. [Internet]. [diunduh 14 Juni 2013]. Tersedia pada: www.repository.uu.ac.id_bitstream123456789_histologi-alya2.pdf. Arung ET, Matsubara E, Kusuma IW, Sukaton E, Shimizu K, Kondo R. 2011. Inhibitory components from the buds of clove (Syzygium aromaticum) on melanin formation in B16 melanoma cells. Fitoterapia. 82 (1): 198-202. doi: 10.1016/j.fitote.2010.09.008. Avanti C. 2002, Daya hambat epigalokatekin galat (EGCG) dan kombinasi epigalokatekin galat-kojic acid terhadap aktivitas tirosinase [Tesis]. Surabaya (ID): Universitas Airlangga. Ayad EHE, Omran N, El-Soda M. 2006. Characterisation of lactic acid bacteria isolated from Artisanal Egyptian ras cheese. Lait 86 : 317-331. Baba H, Masuyama A, Takano T. 2006. Short communication:Effect of Lactobacillus helveticus fermented milk on the differentiation of cultured normal human epidermal keratynocytes. J Dairy Sci 89(2): 2072-2075. doi:10.3168/jds. Batubara I, Darusman LK, Mitsunaga T, Rahminiwati M, Djauhari E. 2010. Potency of Indonesia medicinal plants as tyrosinase inhibitors and antioxidant agent. J Biol Sci. 10 (2): 138-144. Biswas AK, Chatli MK, Sahoo J. 2012. Antioxidant potential of curry (Murraya koenigii L.) and mint (Mentha spicata) leaf extracts and their effect on colour and oxidative stability of raw ground pork meat during refrigeration storage.Food Chem. 133 (4): 467-472. doi:10.1016/j.foodchem.2012.01.073. Brown RG, Burns T. 2005. Lecture Notes Dermatologi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Burke KE. 2006. Tropical Nutrional Antioxidant. Di dalam Draelos ZD, dan Thaman, LA. Editor. Cosmetic Formulation of Skin Care Products. Taylor & Francis. New York. Butcher W, Ulaeto D. 2010. Contact inactivation of Orthopoxviruses by household desinfectants. Philadelphia:Department of Biomedical Sciences, Dstl Porton Down. Chang T. 2009. An updated review of tyrosinase inhibitor. Int J Mol Sci. 10: 2440-2476. doi:10.3390/ijms10062440.
Chen MJ, Liu JR, Sheu JF, Lin CW, Chuang CL. 2006. Study of skin care properties of milk kefir whey. Asian Aust J Anim Sci. 19:905-908. Chen YM, Tsung WS, Chihwei PC, Tzu MP, Tsung YT. 2012. Effects of lactic acid bacteriafermented soy milk on melanogenesis in B16F0 melanocytes. J Func Foods. 30(1) : 1-11. doi:10.1016/j.jff.2012.11.012. Choudhury RP, Garg AN. 2007. Variation in essential, trace and toxic elemental contents in Murraya koenigii- a spice and medicinal herb from different Indian states. Food Chem. 104: 1454-1463. doi:10.1016/2007.02.013. Chowdhury JU, Bhuiyan NI, Yusuf M. 2008. Chemical composition of the leaf oils of Murraya koenigii (L) spreng dan Murraya paniculata (L) Jack. J Bangl Pharmacol Soc. 3:59-63. doi: 10.3329/bjp.v3i2.841. Cupakova S, Pospíšilová M, Karpíšková R, Janštová B, Vorlová L. 2012. Microbiological quality and safety of goat’s milk from one farm. Acta univ. agric et silvic Mendel Brun.15 (6): 33-38. Danial A. 2012. Penambahan ekstrak peppermint (Mentha spicata L) dan kemangi (Ocinum americanum L) pada susu fermentasi untuk menghambat enzim penyebab hipertensi dan diabetes tipe 2 [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Darmajana D. 2011. Pengaruh Konsentrasi Starter dan Konsentrasi Karagenan Terhadap Mutu Yogurt Nabati Kacang Hijau. Prosiding SNaPP 2011 Sains, Teknologi dan Kesehatan. ISSN: 2089-3582. Das AK, Rajkumar V, Dwivedi DK. 2011. Antioxidant effect of curry leaf (Murraya koenigii) powder on quality of ground and cooked goat meat. J Int Food Res. 18: 563-569. De-Fatima A. Modolo LV, Conegero LS, Pilli RA, Ferreira CV, Kohn Lk, de-Carvalho JE. 2006. Styryl lactones and their derivatives: biological activities, mechanisms of action and potential leads for drug design. J Med Chem. 13: 3371-3384. Dhongade H, Sawarkar H, Muley B, Deshmukh V, Pande A. 2013. Therapeutic potentials of Murraya koenigii Spreng (Rutaceae). Indo American Journal of Pharmaceutical Research. 3(9) : 7399-7412. ISSN No: 2231-6876 Djajadisastra J. 2003. Pemutih yang tepat dan aman bagi wanita Indonesia. Slide presentasi pada pharmacy beauty dan health expo UI, 12 September 2003 [Internet]. [diunduh 12 Juli 2015]. Tersedia pada: http://staff.ui.ac.id/system/files/users/joshita.djajadisastra/material/pemutihkulityangaman drjoshitad.pdf. Donsing P, Limpeanchob N, Viyoch J. 2008. Evaluation of the effect of Thai breadfruits heartwood extract on melanogenesis-inhibitory and antioxidation activities. J Cosmet Sci. 59 : 41-58 Ebanks JP, Wickett RR, Boissy RE. 2009. Mechanisms regulating skin pigmentation:the rise and fall of complexion coloration. Int J Mol Sci.10: 4066-4087. doi:10.3390/ijms10094066. Elida M. 2002. Profil bakteri asam laktat dari dadih yang difermentasi dalam berbagai jenis bambu dan potensinya sebagai probiotik [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Estiasih T, Kurniawan DA. 2006. Aktivitas antioksidan ekstrak umbi akar ginseng jawa (Talinum triangulare Wild.). J Teknol Indust Pangan .17(3): 166 – 175. Fachraniah, Kurniasih E, Novilasi DT. 2012. Ekstraksi antioksidan dari daun kari. J Sci Technol. 10: 35-44. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Bogor (ID): PAU IPB. Fitriyanto YA, Triana, Sri U. 2013. Kajian viskositas dan berat jenis susu kambing Peranakan Etawa (PE) pada awal, puncak dan akhir laktasi. JIP. 1(1) :299-306.
Ghanem KM, Fassi FA, Hazmi NM. 2012. Optimization of chloroxylenol degradation by Aspergillus niger using plackett- burman design and response surface methodology. Afri J Biotechnol. 11(84): 144-156. Gupta VK, Sharma SK. 2006. Plants as natural antioxidants. Nat Prod Rad.. 5(4): 326-324. Hakim EH, Syah YM, Juliawati LD, Mujahidin D. 2008. Aktivitas antioksidan dan inhibitor tirosinase beberapa stilbenoid dari tumbuhan Moraceae dan Dipterocarpaceae yang potensial untuk bahan kosmetik. J Matematika Sains. 13: 33-42. Harrigan WF. 1998. Laboratory Methods in Food Microbiology. Academic Press, Inc, New York. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Kosasih Padmawinata, penerjemah. Bandung (ID): ITB pr. Terjemahan dari: Phytochemical Methods. Hema R, Kumaravel, Alagasundaram K. 2011. GC/MS determination of bioactive components of Murraya koenigii. J Am Sci 7: 80-83. ISSN: 1545-1003. Kadam K, Shanmuganathan MV, Sapre D. 2009. Patent application title:herbal composition for treatment of infections caused by dermatophytes, patent application number: 20090104297. [internet]. [diunduh 24 Maret 2012]. Tersedia pada: http://www.faqs.org/patents/app/20090104297. [Kemenkes] Kementerian Kesehatan. 2011. Suplemen II Farmakope Indonesia Edisi 1. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Khan MTH. 2007. Heterocyclic compounds against the enzyme tyrosinase essential for melanin production:biochemical features of inhibition, Top. Heterocycl Chem. 9: 119– 138. Khanum F, Krishna S, Viswanathan, Santhanam. 2000. Anticarcinogenic effects of curry leaves in dimethyhydrazine treated rats. Plant Food Human Nut. 55: 347-355. Kim SK. 2013. Marine Microbiology: Bioactive Compounds and Biotechnology Applications. Willey-Uch. Kim YJ, Uyama H. 2005. Tyrosinase inhibitors from natural and synthetic sources: structure, inhibition mechanism and perspective for the future. Cell Mol Life Sci. 62: 1707–1723. doi : 10.1007/s00018-005-5054-y. Kusumanningati RW. 2009. Analisis kandungan fenol total jahe (Zingiber offcinale roscoe) secara in vitro [Skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Likhitwitayawuid K. 2008. Stilbenes with tyrosinase inhibitor activity. Curr Sci. 94: 44-52. Lloyd H, Jenna N, Kammer BA. 2011. Treatment of hyperpigmentation. Semin Cutan Med Surg. 30: 171-175. Mao X, Buchanan ID, Stanley SJ. 2006. Phenol removal from aqueous solution by fungal peroxidaxes. J Environ Eng Sci. 5: 103-109. Marinova G, Batchvarov V. 2011. Evaluation of the methods for determination of the free radical scavenging activity by DPPH. BJAS. 17 (1): 11-24. Maryam ASB, Hassan Z, Muftah M, Imdakin A. 2012. Antioxidant activity of lactic acid bacteria (LAB) fermented skim milk as determined by 1,1-diphenyl-2-picryhydrazyl (DPPH) and ferrous chelating activity (FCA). Afr J Microbiol Res. 6 (34): 6358-6364. doi: 10.5897/AJMR12.702. Masuda T, Yamashita D, Takeda Y, Yanemori S. 2005. Screening for tyrosinase inhibitors among extracts of seashore plants and identification of potent inhibitors from Garcinia subelliptica. Biosci Biotechnol Biochem. 69 (1): 197-201. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan MINITAB. Bogor (ID): IPB pr. Menon N. 2010. Effect of temperature and solvent on antioxidant properties of curry leaf (Murraya koenigii). J Food Sci Technol. 48: 366-370. doi:10.1007/s13197-010-0134-x.
Mitsui T. 1997. New Cosmetic Science. Elsevier Applied Science, New York. Muawanah A. 2000. Pengaruh lama inkubasi dan variasi jenis starter terhadap kadar gula, asam laktat, total asam, dan pH yogurt susu kedelai [Skripsi]. Jakarta (ID): UIN Syarif Hidayatullah. Ninggapa MB, Dinesha R, Srinivas L. 2008. Antioxidant and free radical scavenging activities of polyphenol-enriched curry leaf (Murraya koenigii L) extracts. Food Chem. 106:742-747. doi:10.1016/j.foodchem.2007.06.057. Novi S, Normalina A, Novia ME. 2015. Potency of Curry (Murraya koenigii) and Salam (Eugenia polyantha) leaves as natural antioxidant sources. Pak J Nut. 14(3): 131-135. Ogunbanwo ST, Sanni AI, Onilude AA. 2003, Characterization of bacteriosin produced by Lactobacillus plantarum F1 and Lactobacillus brevis OGI, Afr J Biotechnol. 2 (8): 219227. Park YW. 2009. Bioactive Components In Milk and Dairy Products. Ed Ke-1. Lowa : Blackwell. Parthasarathy VA, Zachariah TJ, Chempakam B. 2008. Curry leaf. [internet]. [diunduh 29 maret 2015]. Tersedia pada : http://mailgrupowy.pl/shared/resources/13290,chemiazywnosci/41518,dzien-dobry-curryleaf . Potten CS dan Booth C. 2002. Keratinocytes stem cells a commentary. J Invest Dermatol. 119 :888-899. Prastyaharasti LM, Zubaidah E. 2014. Evaluasi pertumbuhan Lactobacillus casei dalam medium skim yang disubstitusi tepung beras merah. JPA. 2 (4) : 285-296. Pratt D dan Hudson BJF. 1990. Natural Antioxidant Not Exploited Commercially. Elsevier Applied Science, New York. Prescott H. 2002. Laboratory Exercises in Microbiology. Fifth edition. Mc Graw Hill Companies. Puspitojati E dan Santoso H. 2014. Pengaruh Penggunaan Bakteri Asam Laktat Selama Fermentasi pada Kualitas Modified Cassava Flour (Mocaf). [internet]. [diunduh 5 Oktober 2015]. Tersedia pada: http://stppyogyakarta.ac.id/wpcontent/uploads/2014/06/lombakarilendah.pdf. Rahman MM, Gray AI. 2005. A benzoisofuranone derivative and carbazole alkaloids from Murraya koenigii and their antimicrobial activity. Phytochem. 66 : 1601–1606. doi:10.1016/j.phytochem.2005.05.001. Ramsden CA, Riley PA. 2010. Mechanistic studies of tyrosinase suicide inactivation. Special Issue Rev Account. 12: 260-274. Ramsewak RS, Nair MG, Strasburg M, DeWitt DL, Nitiss JL. 1999. Biologically active carbazole alkaloids from Murraya koenigii. J Agric Food Chem 47: 444-447. Reihani SFS, Azhar ME. 2012. Antioxidant activity and total phenolic content in aqueous extracts of selected traditional Malay salads (Ulam). Int Food Res 19(4): 1439-1444 Rendl M, Mayer C, Weninger W, Tschachler E. 2001. Topically applied lactic acid increases spontaneous secretion of vascular endothelial growth factor by human reconstructed epidermis. Br J Dermatol : 145(1): 3-9. Sakhlae BK, Nandane AS, Tapre AR, Ranveer RC. 2007. Studies on Dehydration of Curry Leaves. [internet]. [diunduh pada 20 September 2015]. Tersedia pada: http://www.researchgate.net/publication/221941509. Seo SY, Sharma VK, Sharma N. 2003. Mushroom tyrosinase : recent prospects. J Agric Food Chem. 51(10): 2837-2853. Setyawardani T. 2012. Karakteristik dan pemanfaatan bakteri asam laktat asal susu kambing untuk pembuatan keju dengan sifat probiotik [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Shabboo A, Baba AS. 2011. Changes in yogurt fermentation characteristics, and antioxidant potential and in vitro inhibitation of angiostensin-1 converting enzyme upon the inclusion of peppermint, dill and basil. J Food Sci Technol. 44(1): 1454-1458. Shanthala M, Prakash J. 2005. Acceptability of curry leaf (Murraya koenigii) incorporated products and attitude toward consumption. J Food Process preserv. 29 (1): 33-44. doi:10.1111/j.1745-4549.2005.00011.x. Shengjie L, Renhui H, Nagendra PS, Xueying T, Yonghua X, Hua W. 2014. Antioxidant and antibacterial activities of expopolysacharida from bifidobacterium bifidum and Lactobacillus plantarum. J Dairy Sci. 97:7334-7343 Shifko R. 2010. Manfaat Lactobacillus rhamnosus. [internet]. [ diunduh pada 13 Mei 2013]. Tersedia pada http://www.livestrong.com/article/321660-the-benefits-of-lactobacillusrhamnosus/#ixzz2TJtKuZE. Shintawati R. 2011. Kulit dan turunannya [Tesis]. Padang (ID): Universitas Andalas. Solano F, Briganti S, Picardo M, Ghanem G. 2006. Hypopigmenting agents:an updated review on biological, chemical and clinical aspects. Pigment Cellular Res. 19 : 550–571. [SNI] Standar Nasional Indonesia 01-3141-1998. 1998. Susu Segar. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional Indonesia. Somani SB, Ingole WN, Kulkarni SN. 2011. Disinfection of Water by Using Sodium Chloride (NaCl) and Sodium Hypochlorite (NaOCl). Shegaon: Shri Sant Gajanan Maharaj College of Engineering. Sudarwanto M. 2012. Pemeriksaan Susu dan Produk Olahannya. Buku Pegangan. Bogor (ID). IPB Pr. Sulaimon SS, Kitchell BE. 2003. The biology of melanocytes. Vet Derm. 14: 57–65. Sunarlim R, Setyanto H, Poeloengan M. 2007. Pengaruh kombinasi starter bakteri Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus plantarum terhadap sifat mutu susu fermentasi. Di dalam : Pujianto P, editor. Akskelerasi Agribisnis Peternakan Nasional Melalui Pengembangan dan Penerapan IPTEK. Seminar Nasional teknologi Peternakan dan Veteriner; 2007 Agt 21-22; Bogor, Indonesia. Bogor (ID) : BPT. Hlm 270-278. Sunarlim R, Setyanto H. 2008. Pengaruh kombinasi Lactobacillus acidophilus dengan starter yogurt (Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus) terhadap mutu susu fermentasi. Di dalam: Pujianto P, editor. Inovasi Teknologi Mendukung Pengembangan Agribisnis Peternakan Ramah Lingkungan. Seminar Nasional teknologi Peternakan dan Veteriner; 2008 Nop 11-12; Bogor, Indonesia. Bogor (ID) : BPT. Hlm 317-326. Supriyanti FMT. 2009. Pemanfaatan senyawa bioaktif dari ekstrak kulit batang Artocarpus sp sebagai inhibitor tirosinase pada pigmentasi kulit. J Pengajaran MIPA 13: 105-115. Surono IS. 2004. Probiotik : Susu Fermentasi dan Kesehatan. Tri Cipta Karya. Jakarta. Tachibana Y, Kikuzaki H, Lajis NH, Nakatani N. 2001. Antioxidative activity of carbazoles from Murraya koenigii Leaves. J. Agric Food Chem. 49 : 5589-5594. Tamime AY. 2012. Microbiology of Starter Cultures. Di dalam: Robinson RK, editor. Dairy Microbiology Handbook, Edisi Ketiga. Willey Interscience publication. Page 261-366. [TAS] Thai Agricultural Standard 6006. 2008. Raw goat milk. National bureau of agricultural commodity and food standards. Bangkok (TH). Ministry of Agriculture and Cooperatives. Taufik E. 2004. Dadih susu sapi hasil fermentasi berbagai starter bakteri probiotik yang disimpan pada suhu rendah:karakteristik kimiawi. Media Petern. 27 (3): 88-100. ISSN 0126-0472. Tidona F, Criscione A, Guastella AM, Zuccaro A, Bordonaro S, Marletta D. 2009. Bioactive peptides in dairy products. Ital J anim Sci. 8: 315-340.
Tsai CC, Chan CF, Huang WY, Lin JS, Chan P, Liu HY, Lin YS. 2013. Applications of Lactobacillus rhamnosus in cosmetic antioxidation, whitening and moisture retention applications. J Mol. 18(2): 14161-14171. doi:10.3390/molecules181114161. Usuki A, Ohashi A, Sato H, Ochiai Y, Ichihashi M, Funasaka Y. 2003. The inhibitory effect of glycolic acid and lactic acid on melanin synthesis in melanoma cells. Exp Dermatol. 12 (2): 43–50. ISSN 1479-1250. Vats M, Singh H, Sardana S. 2011. Phytochemical screening and antimicrobial activity of roots of Murraya koenigii (Linn.) Spreng. (Rutaceae). Braz J Microbial. 42(4): 15691573. Vermeris WW, Nicholson R. 2006. Phenolic Compound. Springer. Virtanen T, Pihlanto A, Akkanen, Korhonen H. 2007. Development of antioxidant activity in mlk whey during fermentation with lactic acid bacteria. J Apply Microbiol. 102 (1): 106117. doi:10.1111/j.1365-2672.2006.03072.x Weber SU, Saliou L, Packer, Lodge JK. 2001. Antioxidants. Di Dalam : Paye M, Barel Ao, maibach HI. Editor. Handbook of Cosmetic Science and Technology. Marcel Dekker Inc. New York. Winarno FG.1987. Gizi dan Makanan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Yamauchi K, Mitsunaga T, Inagaki M, Suzuki T. 2014. Synthesized quercetin derivatives stimulate melanogenesis in B16 melanoma cells by influenzing the expression of melanin biosynthesis protens MITF and p38 MAPK. J Bioorganic Medicinal Chem. 22(1): 33313340. doi:10-1016/j.bmc.2014.04.053. Zheng ZP, Cheng KW, Chao J, Wu J, Wang M, 2008. Tyrosinase inhibitors from paper mulberry (Broussonetia papyrifera). J Food Chem. 106: 529-535. doi:10.3390/molecules17021665.
Lampiran 1 Kurva tumbuh Bakteri Asam Laktat
Populasi Bakteri Asam Laktat (log cfu/ml)
Lactobacillus plantarum TW 14
12.000 11.000 10.000 9.000 8.000 7.000 6.000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617192021222324252627282930313233343536 Waktu Inkubasi
(Jam)
Populasi Bakteri Asam Laktat (log cfu/ml-1)
Lactobacillus rhamnosus TW 2 10.00 9.50 9.00 8.50 8.00 7.50 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112131415161718192021222324252627282930313233343536373839 Waktu Inkubasi
(Jam)
Lampiran 2 Identifikasi spesies daun kari
Lampiran 3 Pengaruh penambahan daun kari dan waktu inkubasi terhadap susu kambing fermentasi
Aktifitas antioksidan susu kambing fermentasi dengan penambahan ekstrak daun kari (%) Sampel Waktu Inkubasi (Jam) Rerata 0 12 24 36 STS 57.55± 45.88 ± 46.83 ± 32.75 ± 45.75c ab abc abc c 0.01 0.01 0.01 0.01 S+ TW 14 58.57± 61.96 ± 67.76 ± 62.62± 62.73a 0.01a 0.01a 0.03 a 0.01a S+ TW 2 57.47± 61.23 ± 66.48 ± 49.89 ± 58.77 a ab a a abc 0.01 0.01 0.01 0.01 STS+DK 61.31± 47.30 ± 51.42± 36.28 ± 49.08bc 0.01a 0.01 abc 0.01 abc 0.01 bc S+ TW 14+DK 47.19 ± 54.01± 61.49 ± 50.88 ± 53.39ab abc abc a ab 0.01 0.01 0.01 0.01 S+ TW 2+DK 58.49 ± 63.42 ± 56.82 ± 50.365 ± 57.28 ab 0.01a 0.01 a 0.01 ab 0.02 abc a a Rerata 56.77 55.64 58.47a 47.13b Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P< 0.05
Aktivitas inhibitor tiroinase susu kambing fermentasi dengan penambahan ekstrak daun kari pada substrat L-Tirosin (%) Sampel Inkubasi (jam) Rerata STS S+ TW 14 S+ TW 2 S+DK S+ TW 14+DK S+ TW 2+DK
Rerata
0 30.85 ± 0.25 fgh 33.59± 0.14 fg 33.36± 0.31fg 12.48 ± 0.28 k 12.441 ± 0.04 k 22.36 ± 0.14 j 24.18d
12 24 28.44± 33.19 ± 0.334ghi 0.27 fg 35.57± 78.34± ef 0.15 0.09a 35.31± 75.503 a ± 0.08f 0.249 21.22± 60.61 ± j 0.18 0.41c 12.25± 63.01± k 0.11 0.62c 26.37± 68.99± hij 0.34 0.64 b
36 48.07± 0.40 d 36.05 ± 0.19ef 41.27± 0.35e 41.40± 0.62e 24.52 ± 0.20ij 26.53± 0.10hij
26.53c
36.31b
63.27a
35.14b 45.89a 46.36a 33.93b 28.06c 36.06b
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P< 0.05
Aktivitas inhibitor tirosinase susu kambing fermentasi dengan penambahan ekstrak daun kari pada Substrat L-DOPA (%) Sampel Inkubasi 0 12 24 36 Rerata STS 29.92 ± 0.40 22.02 ±0.01 43.11 ± 0.03 31.85 ± 0.86 35.35 S+ TW 14 17.59 ± 0.23 25.27± 0.22 45.89 ± 0.11 32.17 ± 0.16 29.58 S+ TW 2 19.38 ± 0.35 23.72 ± 0.14 53.41 ± 0.35 37.37 ± 0.14 32.17 STS + DK 21.63 ± 0.27 28.16 ±0.16 44.77 ± 0.36 25.00 ± 0.31 31.52 S+ TW 14+DK 21.24 ± 0.16 27.91 ± 0.11 58.79 ± 0.32 22.64 ± 0.09 35.98 S+ TW 2+DK 7.44 ± 0.19 15.04 ± 0.09 21.24 ± 0.20 27.72 ± 0.00 14.57 Rerata 19.54 23.69 46.37 29.46 Tidak terdapat perbedaan antar perlakuan
Populasi bakteri asam laktat susu kambing fermentasi dengan penambahan ekstrak daun kari (log cfu/ml-1) Sampel Waktu Inkubasi (Jam) 0 12 24 36 Rerata g e d g STS 3.68±0.02 5.83±0.13 6.92±0.01 6.87±0.01 5.82d S+ TW 14 4.68±0.01fg 6.90±0.01d 7.98±0.01c 7.96±0.02c 6.88c S+ TW 2 4.76±0.01f 6.88±1.03d 9.97±0.03a 9.01±0.01b 7.65a STS+ DK 3.90±0.01d 5.82±0.01e 5.86±0.07e 5.92±0.01e 5.38e g d c c S+ TW 14+DK 3.90±0.01 6.82±0.02 7.97±0.01 7.95±0.03 6.66c S+ TW 2+DK 4.76±0.01f 6.82±0.01d 9.02±0.01b 7.95±0.05c 7.14b Rerata 4.28d 6.51c 7.95a 7.61b Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P< 0.05
Kandungan protein susu kambing fermentasi dengan penambahan ekstrak daun kari (%) Sampel Waktu Inkubasi (Jam) Rerata 0 STS 7.31±0.21de S+ TW 14 5.95±0.07ef S+ TW 2 5.26±1.02f STS+ DK 5.85±1.02 ef S+TW 14+DK 6.53±0.04 ef S+TW 2+ DK 5.95±0.75ef Rerata 6.14bc
12 5.95±0.07 ef 5.85±0.14 ef 5.46±0.14 ef 8.29±0.21ef 5.65±0.01 ef 5.65±0.01ef 6.13c
24 36 ef 7.02±0.14 8.63±0.02 d 6.05±0.14 def 16.23±0.05b 6.44±0.14 ef 16.20±0.49 b 6.73±0.21 def 12.03±0.76 c 6.53±0.21 ef 16.88±0.16ab 7.02±0.14def 18.45±0.11a 6.63b 14.73a
7.22c 8.52b 8.34b 8.22c 8.90ab 9.27a
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P< 0.05
Lampiran 4 Nilai pengujian pada kultur sel B16F0 Daun kari
Kontrol Arbutin(730μM) 4.2 mg/ml 8.3 mg/ml 16.7 mg/ml
Viabilitas Sel 100±2.10 108±3.42a 78±6.15c 93±3.25b 69±1.77d
Intraseluler melanin 100±2.95 53±0.51d 130±2.83b 108±4.27c 143±0.51a
Ekstraseluler melanin 100±2.95 19±1.42d 124±0.85c 129±6.15b 151±0.85a
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P< 0.05
Susu kambing
Kontrol Arbutin(730μM) 16.7 mg/ml 33.3 mg/ml 66.7 mg/ml
Viabilitas Sel Intraseluler melanin 100±2.10 100±2.95 a 108±3.42 53±0.51c a 108±0.85 97±2.20a 104±0.85b 95±2.27a 104±2.83b 83±0.51b
Ekstraseluler melanin 100±2.95 19±1.42c 108±1.82a 108±3.11a 107±2.13b
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P< 0.05
Susu kambing + Daun kari
Kontrol Arbutin(730μM) 16.7 mg/ml 33.3 mg/ml 66.7 mg/ml
Viabilitas Sel 100±2.10 108±3.42 108±0.85 106±0.85 107±2.01
Intraseluler melanin 100±2.95 53±0.51c 77±1.68a 72±1.22b 72±0.93b
Ekstraseluler melanin 100±2.95 19±1.42c 75± 1.82b 89±3.11a 90±2.13a
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P< 0.05
Susu kambing + L. plantarum TW 14
Kontrol Arbutin(730μM) 16.7 mg/ml 33.3 mg/ml 66.7 mg/ml
Viabilitas Sel Intraseluler melanin 100±2.10 100±2.95 a 108±3.42 53±0.51d 100±2.90b 103±1.99a 102±5.47b 95±2.62b 106±3.16a 92±0.12c
Ekstraseluler melanin 100±2.95 19±1.42d 97±0.41a 85±1.88b 73±2.18c
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P< 0.05
Susu + L. plantarum TW 14+ Daun kari
Kontrol Arbutin(730μM) 16.7 mg/ml 33.3 mg/ml 66.7 mg/ml
Viabilitas Sel 100±2.10 108±3.42a 99±1.58c 104±2.35b 108±1.16a
Intraseluler melanin 100±2.95 53±0.51c 90±1.99a 89±3.21a 86±1.23b
Ekstraseluler melanin 100±2.95 19±1.42c 103±0.81a 83±1.68b 82±1.80b
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P< 0.05
Susu + L. rhamnosus TW 2
Kontrol Arbutin(730μM) 16.7 mg/ml 33.3 mg/ml 66.7 mg/ml
Viabilitas Sel Intraseluler melanin 100±2.10 100±2.95 108±3.42 53±0.51c 107±6.15 84±2.83a 108±3.25 84±4.27a 109±1.83 78±0.51b
Ekstraseluler melanin 100±2.95 19±1.42d 102±0.85a 90±6.15b 84±0.85c
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P< 0.05
Susu + L. rhamnosus TW 2 + Daun kari
Kontrol Arbutin(730μM) 16.7 mg/ml 33.3 mg/ml 66.7 mg/ml
Viabilitas Sel 100±2.10 108±3.42a 106±2.90a 104±1.89b 107±1.70a
Intraseluler melanin 100±2.95 53±0.51c 100±2.40b 105±1.85a 94±2.82b
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P< 0.05
Ekstraseluler melanin 100±2.95 19±1.42d 105±0.85a 100±6.15b 97±0.85c
Lampiran 5 Izin penggunaan isolat bakteri asam laktat.
SURAT KETERANGAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama : Dr. Triana Setyawardani, S.Pt, MP Pekerjaan : Dosen Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman Menerangkan bahwasannya benar Isolat Lactobacillus plantarum TW 14 dan Lactobacillus rhamnosus TW 2, merupakan isolat yang telah saya isolasi dari susu kambing, saat melakukan penelitian Doktor, pada Institut Pertanian Bogor dan selesai tahun 2012. Isolat tersebut baru tahapan isolasi dan belum pernah dilakukan penelitian pada bidang kosmetik. Saya mengizinkan, kedua isolat tersebut untuk digunakan dalam penelitian lanjutan yang dilakukan oleh: Nama : NRP
: :
Zuraida Hanum D 161110021
Sebagai mahasiswa program Doktor pada Jurusan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Dengan Judul penelitian : “Potensi Susu Kambing Fermentasi dengan Penambahan Daun Kari (Murraya koenigii) sebagai Pemutih Kulit”.
Pemberi Isolat TW 14 dan TW 2
Bogor , November 2014 Penerima Isolat TW 14 dan TW 2
(Dr. Triana Setyawardani, S.Pt, MP)
(Zuraida Hanum)
RIWAYAT HIDUP Zuraida Hanum dilahirkan di Pidie Jaya - Aceh pada tanggal 15 April 1978, merupakan anak kedua dari lima bersaudara, pasangan M. Juned Jalil dan Nurhayati Isa. Pada tanggal 16 April 2011 menikah dengan Mismaruddin Sofyan dan dikaruniai dua orang anak yaitu M. Kamil Al Faruq yang lahir pada tanggal 2 Juni 2012 dan Akifa Faiha yang lahir pada tanggal 16 Maret 2015. Pendidikan S1 ditempuh pada Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Aceh, tahun 1996 dan lulus pada tahun 2001. Pendidikan S2 pada program studi Kesmavet, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, tahun 2002 melalui Beasiswa BPPS Dikti dan lulus tahun 2005. Pendidikan S3 pada program studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Institut Pertanian Bogor tahun 2011 melalui Beasiswa BPPS Dikti. Selama menempuh Program Doktor pernah mendapatkan bantuan penelitian dari Dikti berupa Penelitian Disertasi Doktor (2013) dan mendapatkan kesempatan melakukan penelitian di Laboratorium Kimia Bahan Alam, Fakultas Ilmu Biologi Terapan, Universitas Gifu, Jepang, selama 2 Bulan dari November Hingga Desember 2014, melalui program Sandwich Rendai. Sejak tahun 2008 bekerja sebagai dosen tetap di Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala Aceh. Bidang keilmuan yang diembankan kepada penulis adalah Teknologi Hasil Ternak, Susu. Karya Ilmiah yang berjudul “Effectivity of Fermented Goat Milk Added Lactobacillus plantarum as Melanin Inhibitor” Telah diterbitkan pada Applied Research Journal Vol. 1, No. 5, July, 2015 dan ”Efektivitas Fermentasi Susu Kambing dengan Penambahan Lactobacillus rhamnosus sebagai Inhibitor Tirosinase” diterbitkan pada Jurnal Kedokteran Hewan Vol. 10. No. 1, Maret, 2016. Publikasi dalam bentuk poster dengan judul “Potency of Curry Leaves (Murraya koenigii) as whitening agent” pada The Third International Symposium on Temulawak and Potential Plants for Jamu, on 2-4 September 2015 at IPB International Convention Center (IICC), Bogor, Indonesia. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi.