AFLATOKSIKOSIS PADA UNGGAS
SKRIPSI
oleh NUNING DWI ESTill B. 16.0105
F AKUL TAS INSTITUT
KEDOKTERAN PERTANIAN 1965
HEWAN BOGOR
\ RINGKASAN
NUNING DWI ESTITI. Aflatoksikosis Pad a Unggas (Dibawah bim bingan Pursani Paridjo, Harnowo Permadi dan Bambang Kirana di) • Aflatoksikosis pada unggas sudah dideteksi sejak tahun 1952 di Indonesia, dan penyakit yang disebabkan oleh kapang Asuergillus ini terus saja berkembang hingga saat ini sejalan dengan pesatnya perkembangan peter.akan unggas. Penyebaran Aflatoksi:,osis berlangsung dalam w')ktll begi tu singkat k8rena beberapa faktor penentu yang secar3. alamiah dimiliki oleh
~~apang
'lsperp:illus dan keadaan iklim di IndQ.
nesia dengan suhu d.qn kelembabgn Y"ng relati f tinggi. Faktor pendukung adalah kondisi pertanian secara umum di nega ra berkembang dimanA pengelolaan pasca panen merupakan ran tai poling lemahdalam proses pengadaan makanan ternak. Tulisan ini bermaksud untuk
';~enyajikan
beberapa data
peneli tian aflatoksikosis, baik mengenai sumber aflatoksin i tu sendiri, si ft.t-sifat aflatoksin menyang!:ut si f"a t fisik, toksisitasnya serta daya mucagen relatif yang dimiliki
te~
hadap mikroba·tertentu, dan lebih jauh lagi mengenai target primer perusakan aflatoksin. Diharapkan dari data tersebut dapat bermanfaat sebagai dasar ilmiah dqlam penelitian lebih detail. Hengingat juga behwa pengobatan aflatoksikosis pad3 unggas hingga saat ini belum ditemukan, sehingga usaha pencegahan cenderung lebih diutamakan.
AFLATOK5IKOSIS PAD A UNGGAS
Oleh NUNING DWI ESTITI
B. 16. 0105
Karya tulis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Hewan pad a Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKT'CRAN HEV/AN INSTITUT PERTANI ''iN
Bog
0
1 9 8 5
r
BOGOR
AFLATOKSIKOSIS PADA UNGGAS
SKRIPSI
01eh NUNING DWI ESTITI B. 16. 0105
Te1ah diperiksa dan disetujui oleh
~' (
(Drh. Pursani Paridjo) Pembimbing
(Drs. Harnowo Perrnadi) Pembimbing
(Drs. Bambang Kiranadi MSc.) Pembimbing Tangga1 :~} F~'
ii cU-
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Purworejo, Jawa Tengah tepatnya pada tanggal 16 Juni 1960, sebagai anak kedua
dari
enam bersaudara keluarga ibunda Martiningsih dan ayahanda Widayat Reksodihardjo Calm). Pnda tahun 1965 penulis masuk Taman Kcmak-knnak Seruni I di Purwore jo dan tahun 1967 masuk Sekolah Dasar Kristen Pangen di Purworejo kemudian lulus tahun 1972 dari SD yang sarna. Melanjutkan sekolah di SI>1P Negeri I Purworejo dan lulus pada tahun 1975. Lulus d§. ri SW'l Negeri pada kota yang sarna pOlda pertengahOln tahun 1979. Tahun 1979 penulis melanjutkan pelajaran di
Instit~t
Pertanian Bogor. Satu b.hun kemudian diterimC\ sebagai mah§. siswa Fakultas Kedokteran Bewan IPB. Hemperoleh gelar Sarjana Kedokteran Bew:1n pada tahun 1983.
KATA PENGANTAR
Penu1isan naskah ini disusun berdasarkan te1aah pustaka dan data sekunder dari beberapa hasi1
~ene1itian.
Ma-
salah ycmg dipe1ajari ada1ah af1atoksikosis pad a unggas
d~
ngan sedikit 1atar belakangnya, seperti penyebarannya di berr;agai negara dan 1ingkungan pendukung serta beberapa s1 fat af1atoksin itu sendiri. Da1am kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang menda1am kepad? orang tUa, khususnya ibunda tercinta, atas segenap kasih sayangnya. Untuk Oom dan Tall te atas sega1a dorongan mori1 dan
~engorbanannya
juga
sa~
dara-saudaraku. Rasa terimakasih yang menda1am juga kepada segenap guru yang pernah mendidik penu1is, terutama Drh. Pursani Paridjo, Drs. Harnowo Permadi dan Drs. Rambang Kiranadi MSc. a tas sega1a bimbingan, saran dan kri tik sCl.mpai terwujudnya tu1isan ini. Akhir kata penu1is dengan rendah hati menyadari sepenuhnya bahwa tu1isan ini masih jauh dari sempurna, namun demikian penu1is berharap semoga bermanfaat. Bogor, Januari 1985 Pen u 1 i s
DAFTAR lSI Ha1aman DAFTAR TABEL D.\FTAR
GA~mAR
I.. PEND \HULU L\N ........................................................
1
II. Surv,BER AFLl\.TOKSIN .••.••••••••••..••••••
5
1. AsperGillus .................................................
5
2. Biosintesa Aflatoksin ••••••••..•••••
7
3. Struktur dan Sifat Aflatoksin •••••••
9
3.1. Aflatoksin Induk •••••••••••••••
9
3.2. Af1atoksin LRinnya ••••.••••••••
10
3.3. Sif'lt-sif·,t Aflatoksin •••••••••
13
III. TOK.3ISITlS ,lFLATOKSIN PAD A UNGGAS ••••••
18
1. Efek Biokimia Aflatoksin ••••••••••••
18
1.1. Gangguan Fungsi Mi tokondria ••••
18
1. 2. Gangguan Sintes8 Lem'1k •••••••••
18
1.3. G8ngguan Aktivitas Enzym •••••••
19
1.4. Gangguan Terhedap Jaringan d'3.n
Komposisi Darah •••••••.•..••••• 1. 5. Gangguan Terhadap Daya Immunitas
20
.........................................
20
2. Gangguan Sintesa Makromo1elm1 •••••••
21
2.1. Pengaruh
~f1atoksin
Terhad~p
Sintesa RNA ••••••••••••••.•.••.
21
2.2. Pengaruh Aflatoksin Terhad"p Sintesa DNA .. " ................ '.' .. .. .. .. .. .... .. .
22
3. Gangguan Fisiologi ......................................
22
4. Metabolisme Distri busi dan Ekskresi ••
26
5. Gejala Klinis ................................................
26
5.1. Pada Kalkun •........•......••••.
27
5.2. Pada Itik ..............................................
27
5.3. Pada Ayam .................................... " ........
27
6. Patologi-Anatomi .................. " ........ " .... " .. " ..
28
6.1. Pada Kalkun ...... " .............. " ...... " ........ ..
28
.................. " .............. " .. " .... .
28
6.3. Pada Ayam .... " " " .................. " .. " ...... " . "
28
7.. Histopatologi ...... " .. ".. " ................. ""..........
29
7" 1. Pads. Kalkun ...... " ................ """" .... " .. ,,
29
.... " "
29
...... " "
30
I V. ISOMSI DAN IDENTIFJKASI AFL,lTOKSIN •••••
33
1. Metoda Eks traksi .................... " .............. ,,"..
33
........................ " ..
33
.
34
pel Standart Aflatoksin ••••••••••••••
34
V. PENGOMTAN DAN p~:r1CEGAHAN •••••••••••••••
36
1. Perlakuan Fisik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . •
36
1.1. Pengaruh Radiasi . . . . . . . . . . . . . . . •
36
1.2. Pengaruh Pan:Cls ••••••••••••••••••
37
1. 3. Ekstraksi Aflatoksin ••••••••••••
38
6.2. Pada Itik
7.2. Pada Itik .... " ............ " ................
7.3. Pada
~am
" .. "
.... " " .... " .. " .. " ..
2. Pemurnian Ekstrak Kasar
"""
"
3. Identifikasi Aflatoksin .. . .. .. . .. .. . .. .. . . ..
4. Mempersiapkan d,m Verifikasi Sam-
2. Perlakuan Kimiawi ...........................
38
2.1. Pe,·:t;A.ruh Oksidasi .. ......... .....
38
2.2. Perlakuan denGan Asam ••••.•.••••
39
2.3. PengA.ruh Bas.~ .........................
40
3. Perusokan Aflatoksin Secars Biologik •
42
VI. KES Il~PUL11N DAN S.\Rt'lN ................................... . DAFTAR PUSTAKA
...................................
44
47
DJlFTAR T r~B ~L
Ralaman
Nomor
1.
Kapang-k~pang
penghasil Aflatoksin dan Afla-
toksin yang Dihasilkan.
(Goldblett, 1969) •.•
9
2. Potensi Mutagen Relatif dari Aflatoksin dan
Metaboli tnya terhadap Sc)lmonelln typhimurium (Stoloff, 1980) ••..•........................
15
3. Beberapa Sifat Fisika Aflatoksin y,-,ng pen ting. (Aibara dan /fayaki, 1969) .............
17
4. Barbagai Hacam )·likroba dan Pengaruhnya terhi! dap Aflatoksin.
(l~arth
d,.n Doyle, 1979) •••••
43
D,(FTAR GAl-'lB\R 'HalAman
Nomor 1. Kapang Asnerr.;ill us.
(Davis d"'lam Paul, 1972) ••
2. Rangkaian Biosintesa Aflatoksin serte Beberapa Zat ~edianya. (Moss d81qm Smith, 1977)
...
6 8
3. Struktur Ulatoksin-aflatoksin Induk. (De troy, .§.t £1.1, 1971) •.........................•• 10 4. Struktur Aflatoksin Turunan. (Goldblett, 1969 ) ........................................ 12 5. Pembentukan Aflatoksin B -2,3 Epoksida dnri l ~flatoksin B • (Hayes, 1976) ••••...•..••...••• 14 l 6. Interkonversi Aflatoksin Bl denBan Aflotoksikol. (Shieh dan Wong, 1978) ••••••..••••..••• 15 7. Efek ~flatoksin terhad2p Beret bad~n ~yam Broiler. (Gardiner dalam Diener, 1983) •••••••. 24 8. Efek ~fletoksin t~rh~d"p Haemoglobin, Jumlah 5el Der8h dAn Eritrosit. (Tung, 1975) .••.• 25 9. Penampakan Klinis Aflatoksikosis p~da Kalkun. (Wyllie ~t £1..1, 1978) ••••••••••...••.••.•• 31 10. Histopatologi Hati pada Aflatoksikosis Itik. (Nyllie ~t £1..1, 1978) ....... '," ........... 32 12. Stru),tur dugaan PerubRhrm AflCltoksin Bl dst ngan Ammonium I-lidroksida. (Lee dalam Rodri.ck 1975) ......................................... 41 13. Type Kurva Aflatoksin Bl dan Gl dibawah Ultra Violet. (Bartik dan ?iskac, 1981) •.•••••••• 35
1. PENDAHULUAN
Aflatoksiicosis pad 0. bangsa burune; menurut Bold dan Meyer (1973), telah dikenal pad a abad 18, kemudian oleh Virchow pada tahun 1856 berhasil diisolasi di Perancis, dan sekitar tahun 1900 dilaporkan di Jerman, Inggris, Itali Ame.rika Utara dan Amerika Selatan. Sehingga p'3.da akhir abad 19, penyakit yang disebahkan oloh genus Asnergillus ini dikaji secara intensif. Pade" tahun 1962, berhasil dipuhlikasikan hi hliografi jamur pada hangs.o hurung dan tel: dapat lebih dari 700 jenj.s jamur patogen. Dari ke 700 jenis tersebut, genus Asnorgillus yang paling pato.:.;en. Laporan oleh Ainsworth d[m Bold (1973), mengatakan bahwa ki'SllS aspergillosis mayori tRS -Lerd"pat pad" mamalia pad~
abad 19, d"n kasus tersebut te18h
a~'.
Pad~
hewan piara dan jenis newan kesay"ngan, hanY9 terjadi
sejak abed 12.
sec ~ra sporod.ik. AfL; to ksin terutam't diproduksi oleh genus As,' er"illus kemudian oleh Foro;acs dan Wyat t det
genus Peni cillium
(1975), di temukan pula pa-
dan Rhj.z;nus
yang telah mellgkonta-
minasi maluman ternak. iJienurut Scott §.t .sal dalam Goldblatt (196~),
aflatoksin Jidapatkan Dada Asnerpillus niger,
fl. ostL:mus
fl.
Wehmer, 1\.. ochraceus,
wentji, Penicillium citri,;um,
rulum 'Bainev, P.
v~~iable,
/1. oryzae, /1. ruber,
£. freguentans. £. pube
dan Rhizopus.
Di aiam AsperGillus hidup di bo1'1::o.sai tempat, dengan
2
pato~en
an,
terhadop tanaman, seuert pndi-padian dan buah-buah
juga bebernpa jenis serangga, bangsa Durung serta he -
Vlan piara (Goldblatt, 1969, 'IIyl1ie ,ian Morehouse d,a1am Wyl 11e,1978). Itik dan kalkun meru
'a~an
jenis ternak yang sa-
ngat peke terhndap aflatoksikosis, tetapi angsa muda dan Durung Pheas',nt mud," lebih peka 1agi,
(Edss, 1973, Goldb1at
1969, Huller ,£t ,Si1, 1970 dalRm Loveland, 1982). Aflatoksil;osis
pad~
unggas pad;; umumnya ter jadi da1am
bentuk akut, dengan morbiditas dan morta1itas tinggi pada umur muds.• Bent uk kron:i s biasa de~gan
:~orbidita~
;~]enyer'lllg
dan ',ortalitas rendah,
p~d',
umur deViasa
(Paul,£t
~1,
1972).
I(f1atoksikosis di
dise~se",
" Ha,£
:llorhagic die.these", "Haemorhagic syndrom", "Mycotoxicosis" "Groundnut poissoning", "f'ceal C1.nd peanut poissoning", "EXld d·'tif di.3these", "Exudatif hepatosis" dan "Water belly". 1--1enurut Detroy (1971), ciri khas aflatoksikosis ada1ah "fatty liver syndrom" (perle:ll"k·,n h.nti), dan bentuk a]wt af1atoksikosis disebut juga "brooder pneumoni", dengan gejala batuk bersDutum, terkadilllg :nenge1uarkan dr-rah,
(Paul,
,£t ,Si1, 197::'). Racun ,nng d' h ',s'L1kan 018h j mur secar,'] umum disebut "mycotoxin" • Hikotoksin oleh "spergi11us di.sebut "aflato ,
xin;' yang merunakan rscun
etabolit.
Aflato'<"sin terlil;.:;suk
,'TUp lal,ton dan d:'rivat ya, (Bold, ,£t .ia1, 1973). Beberapa
3 jenis aflatol,sin yang sud ch diken"l adal;;h
afl~, toksin
B , l
B , G , dan G 2 , aflatoksikol, aflatoksin Ml , PI dan HI' l 2 (Baxter, Wey dan BurD, 1981, WHO, 1979), juca telnh dibuk ti":an b8hwa'dlatoksin B , .nerupakan aflatoksin ,'fang p81 Lng l patogen dan b6rsifat k!1.rsinogen.
Wogan ,tt
~l,
(1971), dalam
penyelidikannya membukt:' krm bchwa afl!1.toksin Bl yang diberi kan dengan kcda.r rendah dD-lam ':!akt u 1 '1m.' m""lyeb" bkan \i: ,nker hati. . Disinyalir bahwa makanc,n ter.,e.k di Indonesia yang ter: kontaminasi afl·,toksin runkan produksi,
dRp~t
menyebabkpn kern tian dan mcnu-
(Batzel.!lot .sal, 1981). Pen,',litian sebelum -
nya nada t",hun 19'79 olE:h Eatzel dan SutLno (1979), m:·"e:::.Ukan bahwa rata-rata tin;;kc,t afl<,tokE'oin "2d2, jggung eli Indonesia ad·"lah 164 ug/kg dan 19 ug/kg n'~da tepunc li:sdel"i j_mport. Pad3 penelitian tersebut, aflatoksin ditsmukan pada hampir 90% sampel y:mg diuji, sedangkaniiak-'nan 'Cer.ak tersebut oleh peternak diberik9.n p"da i ter,sif. Pad a 1980 Ginting
til~
y,'nG ciinelihcra seCara ill
''1elnpork.~.n
.cd::mYfl afl"toksikosis
pada i tik-i tik y,'ng di ,·clihara secara ekstensif di Jawe Tengah berdaso.rl,an hC1sil nerneriksaan kli "jk, patologi-!'matomi dan
histop~toloCik.Sel~njut~ya
menurut Ginting kandungan
aflatoksin ransum finisher di Daerah J<:hu,;uG Ibukota Jakarta Raya telah menca}Yi 46,7 npb, dp.l1 sangr;t b·.rb:'.haya bagi ter. nak itik serta nlp.nusia.Jiteng ~t §.l, (1971), melaporkan b~hwa
k~cang
tanah dan hasil
olah~nnya
demikian juga rokok dan
temb.:;k-lu b"'ik produ],si dal'lrn rn8upun lUDr 'l'Sgeri yang dijual
4 di Bogar
~engandung
aflatoksin melebihi kadnr yang dianggap
berbahaya untuk mrmusia. !-!enurut Culvenor dalam Ginting (1983), manusia dapat menerima aflatoksin hingga 30 ppb.Pada tahun yang sama CuI venor berhasil membul,tikan b-- hwa ba tas kemampuan ayam teri,c.dap aflatoksin adalah 200 !,pb. LD
50
dil.3por;'an oleh Smith (1977), ter-:,ad'lp embryo ayam :-akni 0,024 ug/
e~lbryo,
terhp_d-'p itik 0,35 ug/kg, b8bi 0,6 uG/kg,
anjing 0,5-1,0 ug/kg, sapi 0,3-0,6 ug/kg dan domba 1,75gu/kg. Dari laporan diatas terlih.t bahwa aflatoksin meru'akan ancaman yang "l]erlu di1)erhitung;,an, bDhko.n lebih jauh l;a gi karena batas \;emampuan manusia sanga t
rendah.
u~tuk
menerima -·flatoksin
II. SUMB"SR AFLI,TOKSIN
Aflatoksin merupakan produk metabolit dari beberapa genus senerti Asnergillus, Penicillium, ,ian HhizODUS, namun pada umumnya dih'l_silkan oleh "-enus tcsnerci llus, dan yang Pil ling umum
dil-~ete~nukan
dari genus ini ad,lah
AS~J"_
rgillus fla
vus, dan Asne,'gillus par8s'ticus
1. As-oergillus Tera,8suk fam:Lli Ascomycetes, dan seb,,(,'i fungi tidak berkhloro fil, sching!':8 tidak
dspa t menyusun b:,h" n orgrmik
seperti lernak, karbohid_at dan protein, tetapi harus hidup sebag~i
saprofit.
Suora Asnergil1us dapat ditemukan diudara, air dan til n,h. Pertumbuhan
sp~ra
tersebut di"engaruhi oleh substratum
cempat tumbuhnya, temperatur, kad r air, d.,n 02 serta illBterjal toksik, (ITesseltine,
1974). Kelembaban ontimal subs-
tratumnya adalah 15%, (WYRtt, 1977), d'-ll} l;:elembat'm optimal lingkungan adal
benzo~t,
centi?n violet
dapat mengkontrol perkembangan ASDergillus dan produknya. \sner3i]lus ri
As~ereill.us
fl~vus
yang
l~in,
dan d. parasiticus senerti jenis dil tumbuh
ce~:~t
p~d9
d kstrosa. Antibiotik 1anqt ditambah'an nvda
Sabouroud agar ~,edia,
kecuali
6 Cycloh;,ximide, kare: a jamur ini sangat sensi ti f terhadap antibiot1k tersebut.Lihat Gambar 1. Gambar 1. Kapang Aspergillus, A. Hyphae diambil dari paru-p:oru dengan NaOH. B. sama dengan A x 690. C. Koloni pad'; Sabo\lraud a~ar. D. vonidosnhor.
Diambil dari: Davis dalam Paul,
(197~).
7 Koloni Asnergillus tumbuh dengan cepat, dat,"r dR.n pada mUlanya berwaru? putih, sedikjt berbulu, an dengan perke:r.bangan
~
tet~pi
bersama-
" erubah men jadi Ie bih biru
gelap kehijauan dan kelihR.tan berbubuk. Kultur yang sudah tua
hingga hijau ge18p sangat knrakteri§
ber~arna kehijau~n
tik. Dari submarginal hifa t Lilnbuh konidi a. Fan jang konidia seki tar 400 - 1000 u, bere,ris teEgah 5 - 15 u. Konidia ber. bentuk bola, wa.rna hijau, berdinding l<:as':r, b"rnermukaan k.a sar, tajam dan
kelihat~n
berduri. Konidiospor yang meluas
berakhir dengan adanya vestkel. Vesikel berbentuk seperti botol terlJolik dengan das:er bul"t dan leher panjang. Bergaris tengah antara 10 - 30 u. 2. Biosintesa Aflatoksin
Produksi aflatoksin oleh Asnergi'lus dipengaruhi oleh Sll sunan ;',omponen medium tempat tumbuh,
,~';ngu"lD';\ll
dEm agi tasi,
juga proses fermentasi yang berlangsung. Bebcirapa prinsip tentang produksi me' taboli t secund
~t
.aI,
dalllll1
Smith, (1977), menurut Barrow ter-
bentuknya aflatoksin dimulai dari k01ebih0n senyawa dan nutrisi seperti
"~I
k~rbon
trogen dan n;josph"t serta magnesium.
Dikemukakan lebih jauh bahwa p8rtln(.uhil.11 kul tur biasa di tall dai dengan ad,c,nya nutrisi yang dibuc,ng, untuk :nem,,)ertahan ken keseimbangan pertumbuhannya. Melalui proses pembuangan atau dengan cara mengurangi k8ndungannya sendiri, '1ycelium mengambil
k'~bon
yang kemudian diubah
m~njRdi polisakarid~
dan lem"k. Oleh Barrow L.se ini disebut dengan fase timbun
8 atau akumulasi, y"ng l<smudta
dil"njutk~nlengqn
fase stasi
onary atau fase m-,intenence (pengelolaan). Selain itu disebut
juga
f-se idiophase, k~re~a idiosyncrasi (keanehan),
jenis spesifik al:1m yang berbsda V-d-, jamur. Disini tidak akan
dibic~r'ka~
secara tcrusrinci biosintes., aflatoksin ,
karena harus di telusuri s"tu-Dersatu re::gk.qi:'n reaksi yang scm::;at kompleks. Namun te}ah diDkui b-,h'-a Doliketida '11eruPia kan molekul p-::mul'l aflatoksin, :: enudian melalui bd-Jer',po tia h8pan klarifi:,',lsi ber,.;abung deng-n sis tim cincin difuran. Inti :uolekul tersebut jug" harus melalui bei),'rap.:', turunan tahapaJ!Jl-tail' . p'm peromb::k·,n ,:iari anthra,quinon,
~lenjadi
xan
ton kemudian msnjadi cfl'1toksin B . Jambar 2. menunjukkan l rangkaian biosintesa af12toksin d~ri anth"8quinon serta be-
Gambar 2.
Ran'"k,~ian
Biosintesa 'ifl..--,toksin sert- Bebernpa Zat medianya. }1enurut Moss d~lam Smith, (1977).
9
3. Struktur dan Sifat Aflatoksin 3.1. Ulatoksin Induk Produk
afl~toksin
oleh bcberpa
f~nus
diken·.l sebngai
aflatoksin induk, yaitu aflRtoksin Bl , B2 , Gl dan G2 • Tabel 1. menunjukkan bEber'·,p" jenis k"lna'"g dene;an pro-Juknya. Tabel 1: Kapang-k.Rpang pengh8sil .\flatoksin dan ~flatoksin yang dihas~lkan. Jenis k'Jpang
Aflatoxin
Kelompok Asnergillus flavus ASDer~il]us
~.
flavus
Bl B2 G1 G2
flavus var columnaris
A. oryzae
B2 Bl B2
fl. parasiticus
B1 B2 G1 G2 A. uarasiticus var globosus B1 B2 G1 G2 Species-species lain d"ri Aspergillus, Peni ci11i urn, Rhizopus ~.
niger
Bl
A.
ruber
Bl
A. osti anus
B1
Ii. ochraceus
B1
Penicillium puberulum
B1 B2 G1 G2
;e. Y8riable
B1
;e. freguentans ;e. ci trini urn
Bl
Rhizouus sp
B1
G1
B1 G1
Diambil d':ri: Die:'ler d8n Davis dalam Goldblatt, (1969).
10 Struktur af1atoksin-aflatoksin induk adalah seperti pad3 Gambar 3.
)
(iambar 3. ;3truktur Afl;;toksin-aflFltoksin induk (Detroy ~t ~l, 1971).
3.2. Aflatoksin
lai~nya
Aflatoksin lain xerUDAknn turunan
d~ri
aflatoksin-a
flatokRin induk. Senerti Flflatoksin Ml didaptkan sebagRi metabolit aflatoksin Bl • Aflato~~in Ml ini pertamakali dijumpFd didal ~m air susu s~1)i perah yp.ng ternyata te1:'h mell d'
da1~m
Heide1berger(1982),
terbukti
b~hwa
aflatoksin Ml juga didapAtkan pada anjing.
Dan oleh Loveland (1982), didapatkan pad~ kalinci sebagai metabolit aflatoksin B , Dikemukakan JUGa P~dB penelitian l tersebut b",hwa "Hixed Fungtion Oxidase-MFO" (enzym oksidasi) dan enzym si tosolik didalam mikrosom h ti berperan sebs,gai media nrorluk son .§.t ;aI,
v~riasi
mene~nuk.,n
l1ary (1980),
metobolit ini. Pada tahun 1970 Patteraflatol-.sin
nyai
didal'
:'f.
ginjal i tik dan
mel porkan ad:my" aflr,toi<;sin ;':1 padn ayam.
Asnergillus f18vus Dado toksin yang
l'\
berfluo~eseDsi
kepol~ran
~edia
~ijau
~an
asam m nghasilk"n aflabiru akan tetapi
memp~
yeng lehih beser d"n berday" r?cun labih ke-
tagenik (PohLm .§.t .9), 196"), Ke:TIudi,n ""dc tahun y;omg sarna hasi1',-,neli ti "'n oleh Ciegler dan Patterson mengungkapkan bahwa aflatoksin
ter~ebut
merupak'n turunAn d"ri aflatoksin
B2 dan G dan disebut aflntoksin B dan aflatoksin G , Pa2a 2a 2 d8
pri~sipny~
ad"ny, pcn"mbahan gugus hidroksil pada moleku1
asal menunjukkan turun:m dari molekul tersebut, ,\flatoksin B , B , G , dan G , dapat diubah baik secia 2 2 l l ra in vivo maupun in vitro menjadi turunan-turunannya seperti ::flatoksin GM , ;:;flatoksin GH 2 , aflatoksin B (parasi tikol) l 3 afl2toksin PI dcln "'flRtoksin Q l
serta aflato:csin RO(aflatok-
sikol). Aflatoksih Ml yang '"erday" racun h'lmpir meny,mai afla toksin Bl secara kimia m" upun in vi tro d" ,t di ubR.h menjAdi '":'l,toksin G,'''l dan M (Heatchote dalam Heidelberger (1982), 2a Struktur aflatoksin turun"n dapat dilih8t p8d~ Gambar 4.
12 Gambar 4. Struktur Aflatoksin Turun.'m Ml , M2 , B2a • GM l , GM 2 , Pl,Ql B3 , RO ' M2~' GM 2a • (Goldblatt-
1969) •
o
0
o OH
o
HO
o Aflatoksin
111
CH Afla toksin
3
B2a
o
o
OR
o
o Afla toksin
HO M2
Aflatoksin
•
Aflatoksin Gr1
2
OH OCR
3
Aflatoks:j.n PI
Aflatoksin Q 1
13
CH CH 0H 2 2
OCB
3 i'. fla toksin Rc
Aflatoksin B3
HO A fla toksin GM
Aflatoksin 112a
2a
3.3. Sifat-sifat Aflatoksin Sifat toksisi tas afl', toksin induk p"d,·, ,.,enemuan seb§. lumnya ad8_1~h Bl G B2 G2 (Paul, 19'/2). V!'laupun aflqtoksin l hemiasetal, tei-pi sebetulnya aflatoksin B tidak bersi2a fat toksil{,
ak~n
tetapi kemungkinan berr:abuns densan asam-
asam amino dan protein secara tidak
selektif akan meng
ga'lgsu bany,k segi metabolisma hati, yang nantinya akan mSl, ngakibatkan nekrosa hati dan menyebabkan keracun8n akut pg da hati. Lain halnya dengan si fat toksik.
~flRto;{'"in
afl~to~pin
Bl yang memang bor-
ini diakt:l fkan oleh enzym mikrosQ,
mal hati membentuk suatu hasil metnbolism? yang bersifat mutagen, dan mempunyai akti vi tas karsinogen,(Pat terson da:lam Griffin (1981),
Y -itu 2,3 Epoksid0 y;mg menjadi )1e -
nyebab l''lnker. Pernya taan ini sesuai den,,:an ;)8n81i tiCln He;j. delberger dCln Lin serta Swenson dalarn H~idelberger (1982),
14 yang
menyimpul;~an
adanya 2,3 Epoksida
seb".;~;d
'.1edia 3kti V:1
si y:'ng :nemberikan reaksi 118.da inti sel :IlQkromolekul. 2,3 Epoksida se hagai media akti v,'1si mendesak sftokrom P-450 memberikan efek sitotoksik dan genotoksiknya, (Cambell dan Hayes, 1984). Skema pembentukan Epoksida sepBrti pRda GambaI' 5. di'Jawah ini.
o
OCH~
G
)
a fla tol~sin 131 -2,3 e pOksida GambaI' 5. Pembentukan aflatoksin d8.ri aflatoksin
Epoksida
Af1atoksin beserta dengen turunannya dap8.t menginduk si mut:lsi pa.da b~kteri Salmonella tynhi:nurium. Dari keenam turunan
~.flatoksin
Bl tersebut maka aflatoksikol mempunyai
d,?ya ':lutagen ,,','3.ng p'1.1inIE besar. Daya racun deng:'n ukuran daya
mut~gen
rol~tif
la typhimurium
dap~t
pada aflatoksin Bl dilih~t
terhad~p
Salmonel
oada tRbel 2.
Enzym yang "'Orl)eran D',da
perm3~.kon
?,flatoksin didalam
hati adalah janis enzym okaireduktase,( Stoloff, 1980). Pada sistim enzym ini 11en,c;aki.oatkan interko;lversi antara_ afla toksin Bl dengcm
:1
fla toksikol, sa ',erti pada gambar 6.
15 Tabel 2: Potensi Hutagen Rehtif dari Aflatoksin dan Metabolitnya terhadap Salmonella tyuhimurium Aflatoxin
Daya
Aflatoxin Bl
Xut~gen
100
23
Aflatoxicol Aflatoxin Ml
3
Aflatoxin Hl
2
Ql
1
Aflatoxin
Relatif
Aflatoxi.n P
0,1
l Aflatoxin B 2a
Diambil dari: Stoloff,
o (1980).
Gambar 6, Interkonversi aflatoksin Bl dengan aflatoksilwl. (Wong dan Shieh, 1978).
o
o
reduktase "iiehidrogenase oeN)
.o.flatoksin :8
,
1
Afla toksikol
Pada hewan yang peka tsr',. d "P aflAtoksin dic1apatk an aflatoksikol didal~m plasma sel hnti, sedanGkan p~da hewnn yang tidak peke. tidak dida,,~·tk;m aflatoksikol, (Wong dalam Stoloff, 1980). Kemudian
pemLentukan afl:,toksikol dari a-
d~p'lt dipakai sebRGAi ukuran kepekaan hewan 1 te rhad"p induksi kanker oleh aflatoksin. Hipotesa ini atas
f1atoksin 8
16 dasar daya mutagen relatif
tj.ng~i
pada aflatoksikol.
Sifat fisik y"ng menyanckut rumus molekul, bobot molekul ti tik leleh dan emlsi fl uoresensi serta r2te flow d£ pat dilihat pada
t~bBl
3.
E:nisi fluoresensi m":wimUCl ini diukur pad a le.rutan aflatoksin did lam chloroform dAn hila menccunakan pelerut 1,1n akc:n didan8tkan emisi fluoresensi dengan pFmjang lombang yRng berbeda. R
f
'~e
(R,·te of flow) diukur dengen men!
gU:1akan lsmpeng khronl,:togl'" fi 1 pisan tipj s deng,em fase stasionar silika gel
d~n
-
sebag'i eluennya
~d:llah
c"mpuran
d'lri chloroform d".n metanol denc;an ne!'bandingclil 97 d"n (Atbars dan l
3,
Tabel
3
Aflatoksin
Beberapa sifat fisika aflatoksin - aflatoksin yang penting.
Rumus rnolekul
bobot molekul
Titik leleh
ernisi fluoresensi
(0 C)
*
Rf '"
Bl
C17 J[1206
312
268 - 269
425
0,56
B2
C17II1406
314
286 - 289
425
0,53
G 1
C17H1207
328
244 - 246
450
0,48
?2
C17H1407
:,30
237 - 240
450
0,46
Ml
C17H1207
328
299
425
0,40
M2
C17111407
330
293
Silika gel, Kromatografi lapisan tipis, CHC1 Sumber: AIHhHA dan MIYAKI (1969)
3
CH 0lI = 97 3
3
III. TOKSISITAS AFV,TOKSIN PAD.'\ UNGGAS Fat ty liver syndrom (perlem;o,)pn hati)
:{.erupal~an
tan
da k1as aflatoksikosis. l'le;·,yusul kemudian bcberapa penell tian yang menyelidiki sebab
terj~dinya
nelitian menyangkut efek biokimia an p,da m'1kromolekul tel:'h
t~nyak
efek tersebut. Pe-
aflatok~in
sert",
~ang~~
diteliti s at ini.
1. Efek Biokimia ,\.flatoksin 1.1. G'ongguan Fun'Ssi Ni tokondria Penelitian terdahulu oleh Cliffford d8n Rees dalam
an aflatoksin pada tikus
~enyebabk~n
peng'!ambRtan konsum-
si oksigen mitolW!ldria hati, Rt,tel"h 4 jam. Pe):eliti:m tersebut membU:Gl, tRbir ODhvl'1 mitolwndri c., :,erupc1ke.n t,,,rset aflatoksin y?ng sensitif. Penclitian
sel~njutnya
m 'nya~a
kim bahwa peng":amb8tan oksiclasi 'ni tolw'Y1dria tel' jadi karena aflatoksin mengbambat elektron tr nsport pada sitokrom. Penghambatan ko isumsi oksigen mitokondria P.lsngakibatkan perubal),~,n
an
akU vi tas ATP-ase pad" '1"ti d'-n gin j31. Kemamp1l.
mengh~mbat
elektron trans ort juga dimiliki oleh afla-
toksin lvI . G'ingr;uan respir:"si at:?,u 'P()nGl12m:~,').tGn elel\tron 1 transport juga tel' j cedi 'OGd \ ' . 8 ti unggas , (Clifford ~t ial dalam Shank,1981).
1.2. Gapr;r;uan SintesD Lemak Percob:um ol"h Tung dalam Diener (1983), menunjukkan
19 bahwa pada dosis 0,625 ug/g pemberia. aflatoksin memperlihatkan penurunnn serum trigliserida, fosfolipid dan kholes terol pad,' aO'a:', broiler. Deng:m dosj.r: 1 ·bih tinggi terny" ta m'..;mberikan h') si1 yang sarna. Hal ini membuktikAn
b[-)h'.'iD.
penghambatan secara menO'eluruh pada transn'crtasi l,:m:ili: me ngurangi tingkat esterifikasi kholestero1. Penghamb"tan transpor, asi lemak pada pemberian aflatoksin d'8ngan dosj.s sangat rendah sesu"i dengan dugaan bahwa dosis rendah aflsa toksin sudah
m(mG:1ki~,atkan
penlbengk8kan h'ti, serta kenai-
kan kadar lem:1k hClti sel:ingGa menc"nai 60%. Eypotesa yang l~enO'ataka.n
ba:"wa
akibat prima
',~angguan
pada '''let:,bolisma lemak merupakan
~flatoksikosis
didukung denga:l auanya data di
atas. i1enurt:t Oug dalam Silank (1981), aflatoksin menurunkan
30% sampai 40% neng"abun,o:an P-fosfat kedalam fosfolipid pada hati tikus setelah pemberian aflatoksin Bl selama 30-50 jam. bat daripada
7
mg/kg/os,
Onset penghambatan ini relatif lebih lam
peng'ambat~n
tBrh2d~p
ul'otein dan asam nukleat.
3intesa total lemnk dihambat pada epididimcl (ian :f(el'irena1. 1. 3. Gangguan Terhad:m Akti vi tas Enzym
Degradasi enzym lisosomal disekitsr berimplika'~i
dengnn adanya
~ekros'~
j~v'ingnn
nyata
hati serta haemorhngia
pad, aflatoksikosis akut. Kenaikan as'lm fosfat didCllam
otot
d~rl
l1Uti
mengakj.b~tkan i;e]~~puha
ler, (Tunc, ,1975).
;'~nzO'm
lisosom yang
pembuluh a~:tif
d~r~h
kapi-
ter:;lasuk asam
deoksiribOllUlde'1se, B-glu!wl'iJ'idClse cle:n')8rlihEltkan adanya
20
kenaikan didalam hati, (Pokrovsky dalam Shank, 1983). 1.4. Gangguan
Terha~ap
Organ hati merupakan
Jaringa~
dan Komnosisi darah
t~rget
primer aflatoksikosis
yang mengakibatkan infiltrasi lemak. Pada kondisi demikian komposisi lemak berubah, (Newberne dalam Shank, 1981). Tr;i.. gliserida turun mencapai 40%, dan akumulasi lemak dida.lam hati akan mengurangi sekresi hepatik sehingga berakibat nenghambatan sintesa protein. Protein hati berubah, mengalami penununan 25% - 40%. Gumbman dalam Shank (1981), meln.kukan peneli tian dengan menggunakan hewan percobaan tikus. Terjadi perubahan susunan komponen darah tikus
se~erti
serum bilirubin, urea,
amino ni trogen, vitamin .fl., glikogen, total ni trogen dan p§. nurunan kadar globulin dari albumin, kalsium serta non prQ tein nitrogen. Pada ayam penurunan kadar kalsium juga tel' deteksi dan hubungannya dengan sintesa vitamin D dilaporkan oleh iiammil ton (1975), YC1ng menyatakan ad'mya pengahambatan sintesa dari 25
~
hidroksivitamin D3 menjadi 1,25 dihidrok-
si vi tamin D3 didal;,m gin jal k'lrena blokade ,\TP- ase pRd::: ginjal. Sedangkan 1,25 dihidroksi vi tamin D3 adalah :1etabo. li t aktif yang memberikan efek resorpsi b::lsi urn dp,ri usus. Doyle §.t 21, dalam
Sh~~
(1981), menemukan bahwa aflatoks;i..
kosis akut pada tikus mempengaruhi rlistribusi Fe, eu dan Mn didalp,m ginjal
hati dan limpa.
1. 5. Penaruh Terhadap Daya Immuni tas Penr::u;·angan selr.edia immuniti telah diselidiki
21 dengan test tuberkulin !lad", ayam oleh Giambrone pada tahun 1975. Level serum immunoglobulin G (Ig G), dan A' (Ig A), produksi aglutinin dan eri trosi t berkurang 20%-1+0% •. Akan tetapi tidak terjadi perubahan pada Ig M. 2. Gangguan SintesA Makromolekul
?1. Pen.garuh Aflatoks'in Terhadap Sin tesa R,A
Sintesa RNA dipengaruhi oleh aflatoksin Bl • Lav-rge dan Fraysnet dalam Diener (1933), melakukan percobaan sec ara in vivo dAn ternyata 73% sintesa RNA pada hati tikus mengalami penghambatan. Demikian juga sintesa inti RNA dihambat sampai 90%. Pad a kedua peristiwa diatas proses pebghambatan hanya berlangsung selama 2 jam. Penghambatan sintesa inti RNA berakibat penurunan informasi r- RNA. Sounders dalam Diener (1983), me!',yatakan bahwa inti polimerase tidak mengalami perubahrn, tetapi 60% aktivitas plasma inti polime rase mengalami nenghambatan setelah pemberian aflatoksin. Pernyataan ini sesuai dengan penelitian Akrimisi dalam Diener (1983), setelah mengisolasi plasma inti polimerase, mendapatkan 50.·;' akti vi t.clS plasma inti hilang, sedang vitas inti polimerase tidak
mengal~mi
akti-
perubahan.
Penelitian lebih jauh menyatakan bahwa eiek aflatok
~
sin Bl pada RN\ adalah mengganggu mekanisma post transkripsion3-1 proses pe:nQs·,kan inti RN:"
dari molekul RNA. Efek
tersebut pertamakali dikemukakan oleh Harley pada tahun 1969.
22 2.2.
Pen~aruh
.flatoksin Terhqdap Sintesa DNA
Penghambatan sintesa DN '\ meru'lakan aki b~t utama aflll tokf:ikosis. Lav rge dan Fr:
~
dengan 17 b - estradiol dan adrenal steroid serta
dehidropiandostseron, (Scwarts dalam Diener, 1983).
3. Gangguan Fisiologi Akibat langsung perlemakan hati adalah berkurangnya produksi enzym empedu yang mengakibatkan
turunnya daya
cerna terhadap lemak (steatorrhea), (Osborn dalam Tung, 1975). Pernyataan diatas sesuai dengan pellelitian oleh Edss pada tahun 1975; Goldblatt 1976; Muller Sharlin 1978), yang
menya~akan
~t
gl, 1970 dalam
bahwa akibat langsung afla -
toksikosis adalah turunnya afisienai ransum dan anoreksia. Peneli tian oleh Hatzel
~t
gl, (1981), terhadap i Uk
berumur 2 - 28 hari pada itik lokal Alabio dan Tegal dan itik import Peking pada perlakuan dengan dosis lebih dari 100 ppm rnemperlihatkan tingkgt kematian yang tinggL Jenis kelamin memberikan reaksi yang sarna. Percibaan oleh Gardin ner (1983), terhadap ayam dengan dosis 0,0 ug/g, 0,625 ug/g
23 1,25 ug/g, 2,5 ug/g, 5,0 ug/g aan 10 ug/g menunjukkan peny runan berat badan yang bervarj_asi, se'Jerti terli11at pada Gambar 7.
P~nelitian
oleh Richay'd nada tahun 1982 terhadap
ayam selain menurunkan be rat badAn juga me"urunkan berat bursa fabrisius serta menaikkan berat relatif nankreas. Aflatoksin juga berpengeruh
terhad~p kematan~an
sek-
sual pada ayam jantan, (Sharlin, 1978). Terjadi penurunan volume testes, berat testes dqn Pe ;elitian oleh Blyth dalam
kerusa~an
Shank
epi tel germinal.
(1978), menunjukkan bah
wa aflatoksin mengaki batkan dec;raDuln,si :nikrosom yang ber akibat pengikatan testosterone :-owarth dan Wyatt (1976), mengama ti taill'!a nr:,duksi maupun berat telur
jug~
mencalami penurunAn. Pe"gikatan pell
tida dan asam amino oleh aflatoksin :nenghambat serta mengurangi kwantitas protein dan lemak didalam telur, dimcua kedua kompODen ini merupakan prosentase terbesar k:!ndungan lure Terhadap daya tetas telah diseUdik:l oleh
aul
~t
t~
.iiI,
ternyata bahwa aflatoksin berhasil memasuki kerAbang telur dan mampu mengjnfeksi embryo. Shi Tang-Tung (1975), menguatkan peneli tian Gumbman dalam Shnnk (1981), bc,hwa ana toksin menyebabkan nerubilhan komposisi darah senerti penurunan prosentase h'lemoglobin, penfirunaD
~umlah
hat GambaI' 8.
eritrosit dan norsentase
sel
darah. Li-
24 Gambar
7. Efek Aflatoksin terhadap Berat badan .~yam Broiler 'ienurut Gardiner dalam Di ener,
500 0.625 (P9/g)
~
,...,
400
s(IS
h bD ~
s::(IS
300
'0
(IS
.n
..., (IS
h Q)
~
200
Umur (minggu)
(19&3).
25 Gamb"r 8. Efek Afl"toksin terh:
100
E 7.5
\
0
"', :" z
5.0·
a, 0
~
CO 0
,.
'"
!-.
\.
-1
2.5 .
:r 0
. ~
E
E·
w 30
"=>
"'
~
~
-' w
!
!-
20
3.0·
I-
z
--1
=>
0
u
2.0·
w
u
'" '"u «
'~Q/Ql
4.0·
. 4°f >
100
'0 AFLATOXIN
0
,
, 0
I-
>-
~I-
u
w
0
10
'"
Q.
0
I
5.0 AFLATOXIN (PO/g)
, 19.0
:r .... >w
10
'"
0
------ - 5 ,() AFLATOXIN I;.;,;
26 4. Metabolisme Distribusi d8.n Ekskresi Aflatoksin Aflatoksin meng"lami "Mixed
Fungtion
met~)boL
sme
Oxidase-11FO" (enzym
pertam~.k·'li
c~mpur:;n
oleh
y ng bsrsi-
fat oksid"si) p8.d8. mikrosom hAti. Enzym ini :l1erupakan pas.§. ngan kompleks sitokrom- O-NADPH yang sebae;ian besar terdapat didalam retikulum endoplasma sel-sel hati, akan tetapi terl,ad,mg terdapat jug" did,l"m paru-DAru, ginjal, kulit dan or:ran l';in. Kerja enzym ini adalah mengoksid,si
b~rbagai
zat
asing atau komponen xenobiotik, dengan hasil akhir berupa proses detoksifikASi dengan membentuk berb: gci turunan hidroksilasi,
dikonjug~,siknn
dengan sulf-t "tau as,<m glukor.Q.
n*t membentuk larutan glukoronid
~tau
ester sulfAt. Bentuk
konjugasi ini dengAn mudah diekskresikan
m8l~lui
urine atBu
et,pedu. Selama Droses metabolisme aktif deng?n Lgan
m'ic;,m inti nukleohlik didalam sel m"kromo-
lekul sel'erti 'llisalnYA m:;.'l, v'si ini membentuk punyni
muncul z"t r§.
untak membentuk real,si kov"len d,,, -
keku~t-,n
b~rb-,g"i
k~mungkirF"n
~en:'aruh
z~t
toksik
RN!~
d'm protein. Reaksi akti-
dengAn resiko biologiR, k-renA mem d~n
karsinogenik.
5. Gej.?l'· Klinis Pada unggas ge j'
l~.
klinis di temuk?n pad:,; pen"lmlJ k'm
yang berbed:> untuk s8tiap j,,·nis. l:Fm;:ungn .cflatoksin di dalam ransum ternak, h"d'p ~ej"l'
l-'m'nya sert.? umur, bCY'penGaruh ter-
ynng d1timbulk~n.
27
5.1. Pad a Kalkun Kematian tanpa gejala spesifik dilaporkan pada beberapa kasus. Pada umumnya tampak kelesuan umum, sayap terkg lai dan akhirnya kematian ter jadi 3 minggu setelah terlihat ge jala tersebut (Steyn dal.?m Paul, 1972). Ge jala syaraf ataksia, epistotomus biasanya be"akhir dengan konvulsi. j<:OU jungtivitis dan kebengkakan kaki sering dijump;;i. Menurut laporan Ciegler dalam Paul (1972), perdarahan subkutan belum tentu ada tetapi pada penelitian oleh Steyn pada tahun
1966 menunjukkan adanya luka me mar • Gambar 9. menun jukkan penampakan klinis pada kalkun. 5.2. Pada Itik AS',)lin dan Crnaghan dalam
'aul (1972), melaporkan bah
wa gejala pertama yang timbul pada aflatoksikosis itik adalah turunnya nafsu makan dan penurunan berat badan, dengan waktu l':ematian 2 minggu setelah pemberian ran sum terkon tam;i. nasi aflat ksin. Pada itik muda terdapat ataksia dengan kematian dalam keadaan epistotomus,setelah
~emberian
ransum
selama 3 minggu. Gejala lain adalah perdarahan subkutan dan kaki yang sangat karakteristik.
5.3. Pad a Ayam Sampai tahun 1960 belum
~ernah
dilanorkan adanya kasus
epidemi pada ayam, baru belakangan ini di etahui bahwa ayam merupakan jenis ternak :'ang san;:;at rentan terhadap a flatok sikosis. Stolo ff (1974), melaporkan bahwa mortali tas sangat tinggi terutama pada ternak muda dan ataksia merupRkan gejala
28 yang timbul sebelum keme.tian.
6. Patologi - Anatomi 6.1. Pada Kalkun Pada umumnya orsan viskera menunjul,kan adanya oedem. Stevans dalam Paul (1972), me emukan adanya pembendungan dan pembengkakan ginjal serta enteritis katarhalis da!] duo= denitis. Perut kelenjar membengkak, kongesti myokardium dan perluasan nerikardium. Hati membengkak dan terdap2.t pembendungan, konsistensi meninggi dan terlihat adanya fokal serta perdarahan.1esi yang sama juga terlihat pada pankreas. Paru-paru mengalami oedema dan
p,~da
kantung udara sering di-
jumpai adanya eksudat putih. Pada kasus kronis terlihat hati rapuh dan pucat.
6.2. Pada Itik Pada i tik dewasa hati a;"3n mengalami sediki t pembengkakan, puc at dan ker8puhan, setelah pemberian 'ansum beraf.la toksin selama 3 minggu. Pada pemberian ransum beraflatoksin selama 8 minggu, bidang permukaan hati bernodul hiperplastik, ginjal pucat dan bengkak serta mengalami perdarahan berbentuk ptechie. Ditemukan juga hidroperii;ardium, ascites dan eksudat subkutan bersifat gelatin.
6.3. Pad a Ayam Hati memperlihatkan lesi dengan fokal putih sebesar
k~
pala jarum dan perdarahan berbentuk ptechie. Ginjal memperli ha.tkan kepucatan dan akulllulasi lemak didalamnya. Bursa fabri CillS mengecil.
29 7. Histopatologi
7.1. Pada Kalkun Siller dan Ostler d",lam Wyllie (1978), melancorkan ad§. nya nekrosa hati secara diffus dan proliferasi pembuluh empedu pad a kasus akut. Beberapa kasus yang ditemukan oleh Carnaghan dalam Wyllie (1978), dj_dapatkan adacya perdarahan. Wannop dalam Paul (1972), mcnge2:Jukakan bahwa proli ferasi pem buluh empedu berkelanjutan dengan adanya nodeul hinerplastik super!l!isj.al, sel parenkim mengalr'.mi pembengl,akan, serta ada;:ya vakuol lemal,. Pada sinjal,
gejal~
naling menonjol adalah penipisan
membran glomerulus dan degenerasi epitel tubular uroksimal membentuk jaringan hyalin dan piksosis (Steyn dan Smith dalam Wyllie, 197"). ll;enurut Aleroft dan Carnaghan dalam Paul
(1972), bahwa kelainan pada ginjal lnny". terdapat kE\lkun. Duodenum mengalami deskuamasi epitel dan pada jantung di temukan degenerasi granular pada myok" rdi urn, sedangkan limpa kc\dang-k"dang tidak mengandung pulpa "utih.
7.2. Pad" Itik Karena i tik :nerupak:1n jenis yang peka maka laporan p§. tologis
b~nyak
dipelajari.
Pada hati di temu'-:an adanya degene asi dif 'us, dengan pen mpakan
keben~k
kl'\n, vakuoli silsi, inti meng,',lami peruba!!.
an karyoreksis hingga karyolisis. ,'rolifec}si pembuluh emp§. du berjalan dengan cepet,
pad~
rndiasi dengan ultra violet
pembuluh empo,du m- mbel'ikan pendaren biru. PenamTJa~;an ini
30 menun jukkan tinglnt toksisi tas aflatoksikosis, h.'3.1 ini dikemuk'3.kan 018h Carnaghan pada tahun 1971,
diman,~
nya metoda ini digunak n sebaGoi standart
~~nilian
pada akhir. toksisi
tas aflatoksin. Hubungan aflatoksikosis dengan
pembe~tukan
tumor secA
ra spontan dipengaruhi banyak faktor, sehinsga tid k dapat dikatakan bahwa setiap kasus dapat dijumpai adanya tumor karsinoma hati. ?ercobaan 01eh pemberian ) 'lDsum
Car~aghan
ber~:fl'3toksin
p"da
t~hun
1970,
selama 14 bulan dengan
'"
, daya raClln 7 ppm aflatoksln Bl memperlihatkan adanya hepa-
toma
d~n
kholangio:oa pada 8 eltor d ri 11 ekor itik.
Pada usus hnlus didapatkan perdarahan be"sifat diffus dan pada pankreas terlihat adan:Ja de,;enerasi l:elen jar.
7.3. Pacta Ayam Perub:,han p'renkhim h,·ti sam", dengan padr; kalkun, tetapi tidak
ter(ap~,t
sel yang 'uersif"t 1,asofilik, (Ciegler,
1774). Paneli tian mengguckan '" acc;ng o.an.'lh ·":cdC!. ayam oleh Nasheimpada tahun 1971, sangat nyata memnerlihatkcn adanya proliferasi pembuluh empedu
pad~
minggu pertama, serta de-
generasi sel purenkhim hnti
se~erti
pada itik. Pad2 minggu
kadua, pembul h em',edu berde ferensiasi men jadi sel parenkim. ;;etelah empat minggu p:o."e!1khi" kemo:cli normFil tetapi khas adanya hinerplasi limfoid serta pembentukan lesi yang perm2nen. Ginjal menf\alami kelainan seperti pada i tik •. Gambar 10 menunjukk-,n histopatolo<:;i pada h',ti.
31
Gambar 9. Penampakan Klinis Aflatoksikosis pada Kalkun (Wyllie ~t ~l, 1978).
Gambar 10. Histopatologi Hati pada Aflatoksikosis Itik. Terlihat pembentukan vakuol dan akumulasi lemak
Diambil dari: Mycotoxic fungi, Mycotoxins Mycotoxicosis Vol. 2. (Wyllie ~t ~l. 1978).
IV. ISOL\SI D:\'N IDTCNTIFIEASI AFLATOKSIN
Aflatoksin dapat diambil dari material biologik dan makanan ternak, dengan cara ekstraksi menggunakan pel "rut organik. Chloroform merupakan pelarut yang paling memungkinkan. 1. Metoda Ekstraksi
Aflatoksin berc!sal dari makanan ternak dilarutkan dalam chloroform didalam Soxhlet at au gelas erlenmeyer. Pada prosedur ekst raksi menggunakan erlenmeyer, dilakukan sentrifugasi, untuk mendRpatkan filtratnya. 2. Pemurnian El, strak Kasar
Diambil sisa ekstrak l':asar setelah melalui tahapan filtrasi dalam water-bath, kira-kira 2-4 ml dan diletak kan diatas lajur k'lromatografi. Lajur khromatografi dibuat dengan mengisi tabung gii las dengen silika gel kira-kira 15 cm, yang sebelumnya tii lah diakti fkan pada 80 C selama 60 meni t. Lajur dihomogell. kan deng3n ditekan-tekan dan ditambahkan lapisan Natrium suI fat 2 cm diatas silik3 gel. ;,ajur dilarutl,an mel',lui 2 tahapan. Tahapan pertama digunakan 150 ml eter. Setelah itu digunakan larutan campuran metanol-khloroform dengan perbnndingan 3:97 untuk pengenceran sesudahnya. PengencerRn kedu2 ini mengRndung aflatoksin, sedangkan pengenceran pertama melarutkan
34 pigmen, vitamin, dan lem",k dari ekstrak. Untuk memurnikan aflatoksin L1rutan
kedu~
dimasukkan kedalam water-bath.
3. Identifikasi Aflatoksin Diambil sisa ekstrak murni mengguna.kan pipet mikro dan diletp..kkan diatas kertas silofol setelah sebelum::ya d;i. aktifkan 80
c
selama 30 meni t. Dimulai dari 2 em sebeleh
bawah kertas. Larutan khroOi"ltografi mengandung metanol-khlo ro form dengp..n perbsmdingan 3: 97. l{ertas
di,~~sukkan
ruang khromatografi dengan uap jenuh dari
pel~rut
kedalam tersebut.
Setelah pelarut naik meneapai 0,5 em dari tepi ates kertas, kertas diambil,dan dikeringkan diudara. Icfla toksin BI dan B2 terlihat memanearkan fluoresens biru hingga biru kehitaman, aflatoksin G dan G memancar2 I kan fluoresens hijau hingga hijau kebiru:m. Namun demikian makanan ternak kadang menf,andung beb.§. rapa substansi yang memberikan efek fluoresens sam8 dengan aflatoksin. Oleh karena itu dibutuhkan ear-
mengidentifik~
si aflatoksin de'ngan memperpbandingkan wo;rna dan Rate of flol':
(R~)
"
value dari sebagi8n samnel dari aflatoksin yang
belum diketahui deng8n sampel standart k '1ro:natografi pada waktu yang bersamaan. Dan hasil tersebut dikatakan positif apabila sampel sam? dengan sampel
stp..nd~rt.
i+. Memnersiapk"m d8l. VerifikF.lsi Sp..mnel St?no.8rt
AfJ atoksin Sampel standart 'Iflatoksin d"nat di 0 srsiapkan dari kapang Asnergillus flavus. Ekstraksi Kanang
dil~kukan
35 da1am keadaan kering dengan Natriun su1fat anhidrous. Untuk m::nghr'siJkan ekstraksi yang 1ebih b8.ik digunakan khlQ. roform ber1ebih untuk mengocok ekstrak tersebut. Tahapan berikutnya ada1ah pemurnipn senerti pada makanan ternak. Pemisahan ekstrak murni las khrom,togrRfi. Usapkan
di1a~ukan
seb~Gian
pada 19mpengan
g~
pada gPlas ekstraksi
dan sebagian pada spektral metanol murni. Diukur pad a spek trofotometri
ke~ua
sampel tarsebut.
~pabila
~em8riksaan
d~
ngan khromatografi benar mengandung aflatoksin m?ka ukuran spektrafotometri dengan UV mengc:<'.mb ..,rkan kurva seperti pad a Gambar 12 dibawah ini.
260 260300 320 340 1§Q 360 '00 '20nm _____ oflatoxin
-
G=b;:;r 12
9,
aflatoxin Gl
Tyne Kurvp, Afl"toksin Bl dan Gl Dib""'Clh U1trfl Violet. Henurut Bi'lrtik dan Piskn.c, (19131).
V. PENCE GAHAN DAN PENGOBATAN Pencegahan aflatoksikosis dengan Dimetilsulfoksida
di
lakukan oleh Mathur dalam Hamilton (1981), pada ayam broiler dengan ,:lencampurkannya pada ransum serta injeksi pada embryo, ternyata tidak memberikan daya
tah~n
terhadap aflatoksin.
Usaha lebih efektif adalah msngadClkan kontrol terha dap m'lkanan tsrnak, melalui berb'1[ai cora untl;k menekan kall dung an aflatoksin. Pada m'1sa kini penghllangan dRya racun afla toksin telah dicoba dengclll berbar;Ri cara, baik secora fisika, kimia, maupun biologi, Secara fisika dengan cara radiasi, pemanasan dan ekstraksi ransum beraflatoksin.Sec"ra kimia diusah.€l kan dengan perlakuan asam, basa
oksid~:tor
dan bisulfi t. Pellg
hil··ngan daya racun secara b:Lologi dengan cara-cara
fermell
tasi serta t . mdingan demean mikroba lain termasuk protozoa.
1. Perlakuan Fisik Perlakuan fisik
dil~kukan
berdasar~an
sifat fisik
aflatoksin, menyane;kut kepekaan terhadap radiasi, panas, dan ekstraksi. 1.1.Pengaruh Radisi SifE'.t aflatoksin peka terharhp ultra violet, (Vessonder, 1975), sehingga penyinaran dengan ultra violet menye babkan
modifikasinya
bersifat
kurang
beracun
dib·'.nding
kan dengan aslinya. Faktor yang berpen.'jaruh nada perlakuan ini adalah konsentrasi aflatoksin, lamanya penyinaran dan
37 sifat pelarut. Aflatoksin peka terhad,p sinar ultra violet tetapi tahan te,'hadap sinar gamma. Menurut c,ibara dan Hiyaki (1960), aflatoksin tahan terhadap sinar gnmma akan tetapi dal',m !o"entuk padatnya. Pel: Cob3an menggunakan dosis radiasi tinggi hinggA 30 H rad, h.§. nyc; akan
~r,eruf3ak
se,agian. Ak 'n tetapi allabiladilarutkan d.§.
lam ait atau etqnol,
aflato~f3in
lebih peka
terh~d~p
radiasi
sinar gamma. Proses perusak"nnya bukan kare:Ja pengarUh lang sung radiasi, melRinko:n pengaruh pelarut berproton seperti air atau etanol (Stoloff,1974). Peneli han
y~.ng
terakhir oleh Murthy dan S'lanta dalam
Stoloff, (1974), mempelnjari perusak n aflqtoksin dengan jemuran. Dida ,",t,.;an h':sil bphwa
pe~
flato;csin d",lam mi'iyak ka-
cang tanah dapat dihilangkan samasekali dengan penjemuran selama 15 menit. Pad a keadaan nadat, perusaknn
~flatoksin
menjadi lebih sulit, dan dengan percob'Oan pada tepung bung;dl kacang tanah h'1llya ter jadi perusakan 50% dari 25 ug aflatoksin yang aikandung. Diduga bahwa protein kaca·'g ta nah mempunyai sifat melindungi aflatoksin,dari radiasi. 1.2. Pengaruh Danas
Aflatoksin bersifat tahan terhadap -anas. Pemanasan p.§. da suhu 60 C - 80 C tidak memberikan hasil yang berarti, dan hanya menghasilkan perusakan sedikit pada suhu 100 C (Marth dalam Stoloff 1974). Laju perusakan dengan pemanasan dipenga ruhi faktor Kadar air, w'ktu dan suhu, pada Pecans (Carya illinoensis), kerusakan yang ter jadi seki tar 35-89%.
38 Percobaan ini :Genghasilkan kesimpulan behwa untuk merusak an '}toksi n dengan panas di bawah ti tik lebur aflatoksin , diperlukan k"ndungan air yang cukup. Akan tetani kBrena P§, manasan tidak merusak semuR aflatoksin yang ada, penerapan praktisnya masih diragukan. 1.3. Ekstraksi Aflatoksin Rayner dalam Vessonder (1975), menghilangkan sin dari kacang tanah dan
biji kapas dengan
aflatok
cara ekstrak
si. Ternyata pengekstrak yang hanya berupa isopropanol kurang efektif kemudian ditemukan bahwa campuran terbaik
ad~
lah isopropanol 80% dalam air. Basil ne1:'cobaan juga menunjukkan bahwa pad2 suhu tinggi ekstraksi akan le bih efektif. 2. Perlakuan Kimiawi
Banyak usaha yang dilakukan un tuk menghilc ngk:m daya racun
aflatol~sin
deng211 bahan kimia. Beber'lua syarat harus
dinenuhi untuk perlakuan ini, antar" lain b8hwa bah·'n kimia itu harus mampu menghilangkan daYA racun dengan tidak mengn rangi nilai gizi bahan pangan tersebut. Dengan beberapa
s~a
rat tersebut perlakuan kimia yang telah dicoba adalah dengan cara oksidasi, pengasaman,· pengaruh bas a dan bisulfi t. 2.1, Pengaruh Oksidasi Menurut Stoloff (1974), terdapat beberapa pengaruh
o~
sidasi yang dap2t mempengaruhi biologi aflatoksin Bldan G 1 tetapi bukl3.n untuk B dan G , Sedangkan oksidator yang dapat 2 2 berpera .. pada semua aflatoksin hanyalah hidroc;en peroksida
39 Murthy
~t ~l
dalam Stoloff (1974), melakukan percobaan oksi
dasi af1atoksin pada tepung ke1apa yang kadar af1atoksinnya 90 ppm dengan menggunakan hidrogen per@ksida 6%,
~H
9,5 pa-
da 80 C, maka 97% aflatoksin terdetoksifikasi dan tepung
k~
lapa tidak lagi rnernberikan efek tcksik terhadap itik. Pemanasan teuung ke1apa 100 C dengan kelembaban 22% dengan penambahan oksigen se1ama 2 jam berhasi1 merusak 67% - 76% daya racun aflatoksin. Penambahan ozon pada kondisi yang sarna proses detoksifikasi aflatoksin
~
hanya
berlangsung selama 1 jam. Af1atoksin Gldan Ml yang juga rnempunyai ikatan rangkap seperti Bl , diharapkan mengalami proses seperti Bl juga. Lain halnya aflatoksin B2 ,G2 dan M , karena pada 2 aflatoksin tersebut kekurangan ikatan ganda sehingga tidak ter jadi perusakan dengan hidroccen peroksida. 2.2. Per1akuan dengan Asam Kekuatan larutan asam pade perusakan aflatoksin Bl dan G1 te1ah banyak diketahui, yaitu rneliputi penarnbahan k~ talisa air pad a ikatan ganda dalam sik1ik furfuran, (Ciegler 1974), dan sebelumnya Dutton pada tahun 1968 pernah rnelaporkan bahwa aflatoksin B2a dapat diisolasi dari suatu media yang oleh Ciegler (1974), akhirnya diungkapkan sebagai aflatoksin B1 yang diubah rnenjadi B2a dengan pengasarnan. Sete lah diketahui bahwa af1atoksin Bl dapat dirusak oleh asam maka Cieg1er dan Lindenfe1ser pada tahun yang sarna rnencoba mernpe1ajari perngaruh ferrnentasi silase pada jagung. Basil percobaan rnenunjukkan bahwa ferrnentasi silase pada jsgung
40 tidak menghasilkan sejumlah Rsam laktat y:mg me:nadai untuk dapat merusak aflntoksin. Kinetika reaksi pe"usak:m aflatoksin Bl dan G menl jadi aflatoksin B dan G telah dipelajari oleh Pons dalam 2 2 Howard (1981), dan dikemukakan disini b"hwa pada pHl dengan suhu 100 C mal,a 95% aflatoksin Bl aka:, diubah menjadi pfl", toksin B dalam waktu 7 jam. 2a
2.3. Pengaruh Basa Menurut Doller dalam Goldblatt (1969), besa yang efek tif
terhad,~p
aflatoksin adalnh Matilamin, ;':atrium Hidroksi-
da dan A ,;moni um Hidroksida. Feneli tian oleh Lee dalam Rod rick (1974), cincin lakton pada afltoksin Bl ternyata terbl.!. 1,a dengan pemanasana 100 C didR19.m Parr-bomb dengan ammonium hidroksida. Struktur dugnan akj bat perlal,ua;, tersebut tampak pad" Jarrb'r 11. Derco;Aan pengc;abungan pCY'lRkuan panas dan ammonia juga dilcc.kuk:m oleh Crosslin dala.m Griffin '19Dl), dan menunjukkan b,:hwa peman%an serta ammonia din,§,r lukan secara bersama-sama. Vessonder (1975), mengemukakan bahwa pembukaan cincin lakton bersifat reversibel, terbuk ti
deng~n
did~patka~nya kem~ali
aflatoksin Bl apabila hasil
perusak:m d('ngan ammoniR ini diasamkan kembRli.
41 Gambar l,2.Struktur dugaan Perubqhan Afl~toksin B1 . Dengan Ammonium hidroksida Menurut Lee ~t ~1,da1am Rodrick, (1974).
Polymer Substrate
I
hO
-O-Cl"
o
o
OH )
~
0
!
Base Induced Rxn. Acidification
o Polymer Substrate
o
0
42 3. Perusakan Aflatoksin Secara 13; 010"; It; Marth dalam
Die~er
(19B3~mel'kukan
.
nenelitian secara in
tensif dengpn per13kuan biologik, didqpatkan
b~h~a
Asnergil
J-JJ.9 flavus yang dapat ,nengh,sil.'.an afl'l.toksin dapat pula m~
rusak aflatoksin • Pada perusakan tersebut, cnycelia k'l.pang mengalami pelisisan.
Faktor yang berrlene;aruh ter!ladl,p peru-
sakan oleh AsperRillus ada1ah umur kapang, jum1ah mise1ia da1am ku1tur, dan kadar af1atoksin da1am ku1tur. Ketiga
f~
tor tersebut berbanding 1urus dengan kecepatan perusakan aflatoksin. Umur kapang yang diperkirakan sudah cukup tua ada1ah 16 hari. Suhu optimum ada1ah 28 C, pH 5 - 5,6. Pada pH 1ebih asam nerusak'Jn dengan miselia ini tidak terjadi. Harth da1am Die ,er(1983), pa
berhasil !l1engumpulkan bebsra-
peneli tian dal"-m 11sahCl untuk menemu:'.an secara lebih jauh
perusakan aflatoksin secara biologi. Data yang telah ditemll kannya dapat dilihat Dada tabel 4.
4. Pengo bat an Pengobatan aflatoksikosis unggas hingga saat ini be1um ada, namun pada keadaan dini unggas akan cepat mengalami persembuhan dengan penghi1angan aflatoksin dari ransumnya. Pada kondisi parah dengan adanya lesi-lesi maka pengobatan tidak akan ada artinya lagi.
43 Tabel 4 : Berbagai Macam Mikroba dan Pengaruhnya Terhada]> Aflat oksin Henurut Mar"thdalam Diener (1983). l'likroba
Pengaruh
Penicillium raistrickii NERL 2053 Aspergillus niger A. parasiticus (spora A. terreus (spora) A. luchuensis NRRL 2053 (spora)
Mengubah sebagian aflatoksin B menjadi senyawa fltioresensi lain
Flavobacterium auranticum NRRL B - 184
Hemeta bolisme a fla toksin ~, Gl dan Ml
Nocardia asteroides IFM 8 Scopularis brevicaulis Rhizopus oryzae
Mempunyai kemaDpuan memetabolisme aflatOksin
Corynebacterium rubrum Aspergillus n; f\er Trichoderma viride l'lucor ambiguus
Merusak aflatoksin menjadi aflatoksikol (aflatoksin Eo)
Dactylium dendroides HRRL 2575 Dactylium.dendroides NRRL Mucor griseocyanus HEEL 3359 Helminthosporium sativum NRRL 3356 Absidia repen's NRRL 3358 Mucor alterans NRRL 3358
MeTusak 60 % aflatoksin BJ menjadi aflatoksiXol dalam waktu inkubasi 3 - 4 hari
Ehisopus arrhizus NEEL 2582 ~. stolonifer NRRL 1477 E. oryzae NRRL 395
Mengubah aIle" tOksin B, menjadi parasitiknl (aflatoksin B )
Tetrahymenq pyriformis IV
l-ienfubah aflatoksin ~ menjadi Eo
3
VI. KESIHPULAN D\N SAR\N Aflatoksikosis pad:> unggas telah menyebar luas diseluruh dunia, demikian jug" di Indonesia sud&h berhasil diisolasi di beberapa daerah se-:)erti di JaVia Tengah, Jawa B.a rat,
juga kandungcm aflatoksin yang cukup berbah"ya bagi
i tik pada ransum finisher di D ,erah Khusus Ibukota Jakarta Raya, yalmi 46,7 ppb. Produksi jagung sebagCli bahan balw ransum juga tel.'.h terbukti .'!engandung afletoksin berkadar 164 ug/kg demikian juga pada tepung kedel ~.i import, mengan dung aflatoksin berkadar 19u9/kg. Pew_li tian terl13,dap ba hem makanan manusia mengandung aflatoh:sin Bl melebihi kadar yang dapat diterima manusia y"kni lebih besar dari 30 ppb. Aflatoksin mel'up'lli:an ril.cun metaboli t hepatotoksik, d;i. hasilkan terutama oleh Asnergillus f1avus dan Asnergillus parasiticus
setelah terlebih dahulu tU.nbuh
nad,~
b,c,han ma-
kanan atau ransum. Pad., une;gas nyata mengakibatkan penurunan nroduksi, tingk"t kem".tian yang tinggi, yang'mengaki b',\U;an kerugian ekonomi. Sel':in unggas aL:atoksin juga ber: sifat pato{r,en torIlad·'.p ter,:ak, serangga, :nanusia dan hewan l{esayangan.
Karakteristi: pada unGgas adalah anoreksia, l';esura man bulu, sayan terlmlai, penurunan p::-oduksi yang drastis dan pada
p~m
.rH;:saan po.tologi-a,:atom:L
te~'dc\Dat
tanda khas
pel'lo!nJ.k::n :.ati. Sj f'1t karsinogenik tidak selalu muneul pada
setiap kasus,
karena sifat karsinogenik hanya dimi-
liki oleh aflatoksin B , l
dal~m
hAl ini faktor
pambe'~an
46 diperlukan qdalah 2A C, dengan pH 5 - 5,6. Dengan hasil dia tas
:nasih nerlu dil"kukan peneli ti-
'In lebih lanjut dalam rangka menemukan cara: paling .canggih untuk menghilangkan daya racun aflatoksin. Demikian juga perlu diadakan seleksi terhadap beberapa jenis bahan makanan ter: "l.k:!ang diharapkan tid,"l.k :nudah terkon ta:nin:1si afl2 toksin.
engelolaan pasca panen sec"rc lebih memadai daDat
diharapkan merup'3.kan "alah satu usaha pe(!lutusan rantai kon taminasi aflatoksin. Cara-carn pengobntan dengan mengetahui secara pasti :er ja afla toksin merunak'ln s;olah :.,atu cara yang diharapkan turut serta menuntaskan aflatoksikosis pada unggas.
47 ransum ikut menentukan, seperci lamanya pemberian, kandungan aflatoksin dalam ransum dan jenis unggas itu sendiri. Aflatoksin dimetabolisme oleh "Mixed FUngtion Oxidase" (MFO), didalam sel
reti.culum endoplasma yang terdapat pad a
sel hati, namun kadang juga terdapat did"lam naru-paru, gin. jal dan kulit. Sebacai hasil akhir adalah bentuk konjugasi larutan glukoronid atau ester sulfat, yang ;·:emu6.ian dengan mudah diekskresikan melalui urine atau empedu. Pengobatan untuk aflatoksikosis unggas samnai saat ini belum ada. Usaha lebih efel<:tif adalah dengan mengada\:an kontrol terhadap makanan ternak dan hasil
per~anian.
trol seC3ra fisik, malalui ekrtraksi D2da ransum
Kon -
menunjuk~
kan hasil l'aling memuaskan, dR.n pengekstrak yang naling bii ik adalah isopropanol 80% dalam air, pada suhu yang tinggL Kontrol secara kimiawi !!1eliputi nerlakuan oKsidasi, pnngasaman dan peng"ruh b8.sa. Secara oksidasi hanya berlaku pada aflatoksin berikatan ganda se'1erti Bl ' G dan M , yang kf. l l ,udian men gal ami hidrolisa menjadi turunannya.>:alalui peng asaman berhasil menghilangkan
95/~
daya racun aflatoksin.
Sedangkan pengaruh bRsa ternyata lebih efektif anabila dilakukan juga dengan pemnnasan. Sifat toksisitas aflatoksin dengan
detoksifikasi
pengaruh
basa bersif3t reversibel
"T'abila diasa'ul
r
flatoksin adalah jumlah mise -
lia dan hadar aflatoksin, kedua faktor ini berb"nding lurus dengan hecepatan ,.,erus"k:1l1nya. Sedangkan suhu optim8.1 yang
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A.S. dan Lee, O.B. 1981. Aflatoxin in Ducks. Kajian Veteriner Malaysia, vol. 13. No. 1. Jern~l Persatuan Doktor Veterinar Malaysia. p. 33 - 36. Aibara. K. and Miyaki, K. 1969. Afl"toxin and Its RadiQ. sensitivity of Toxins and Animal Poisons, Bangkok. Bartik, M. and Piskac, A. 1981. Veterinary Toxicology. Elsevier Scientific Publishing Company. New-York. P. 320 - 321. Beneke, E.S. and RO~Ar~, A.L. 1980. Medical Mycology Manual. 4th. Ed, Burges Publishing Company. Minneapolis, Minnesota. p. 137 - 138. Bold. 1973. Morphology of Plants and Fungi. 4th. Ed. Ha£ per International Edition. p. 669. Ciegler, A. Beckwith, A.C. and Vesonder, R.F. Chemical Methods Investigated for Detoxifying Aflatoxin in Food and Feed, didalam Rodrick. 1974. l-lycotoxin and Other Related Problems. Academic Press, New York. p. 58 - 67. Detroy, R. IV. 1971. .Ulatoxin and Related Aflatoxin Compounds, didalam Microbialtoxin (ed) Ciegler. Acad§. mic Press, lJew - York. p. 79. Diener, U.L. 1983. Aflatoxin and AsperRillus flavus in Corn. Craft, Master Printers, Inc. Opelika Al~'bama P. 16 - 61. Dji teng Roedji to, Sri Murni, Muhilal dan Darwin Karyadi. Persenyawaan Aflatoksin Yang dapat Membahayakan Ke ,sehatan. Balai Penelitian Unit Sembodja-Bogor. Hal. 1 - 8. Egan and Sthal. 1969. Thin Layer Chromatography. A Laboratory Hand Book. Tappan Company Limited, Tokyo-Ja" pan. Ginting, N. 1983. Sumber Aflatoksin dGn PengaruhnY,G Ter. h"dap Pertumbuhan '\yam Ped'1ging. Hasil Penelitian Lapangan Di Daerah Khusus Ibukaota Jakarta Raya. BPPH - Bogar.
48 Ginting, N. 1984. Afl·toksin Di Dalam Bahe.n Baku Pakan dan Pakan I\.yam Pedaging: I Di Daerah Bogor. Penyakit Hewan Vol. XVII No. 27. Hal. 152 - 154. Goldbalatt, L.A. 1969. Aflatoxin Scientific Background, Control and Implications. Academic Press. New - York London. p. 119 - 125. Griffin, D.H. Fungal Physiology. John Willey and Sons. New - York. p. 323 - 337. Hamilton, P.B. Boonchuvit, B. 1975. Interaction of Aflatoxin Paratyphoid Infection in Broiler Chickens. PQ ultry Science, vol. 54. No.5. Poultry Science AssQ ciet~ons, Inc. p. 1567 - 1569. Hamilton, P.B. and Cecil Chai-Ching. 1981. Failure of Dietary Dimethylsulfoxide to Protec Againts Aflatoxin in Young Broiler Chic;·:ens. Poultry Science, vol. 61. No.2. Poultry Science Associations, Inc. p. 255-257. Hamilton, P.B. Dixon, R.C. and Nelson, L. \. 1982. Dose Response Rel~toinship during Aflatoxicois in Young Chickens. Toxicology and Applied Pharmacology, vol. 64. NO.1. Academic Press. p. 1 - 9. Hayes, R.B. 1984. Hlatoxin Exposure in The Industrial Setting an Epidemiological StudYQf J~ortality. For merly Food and Cosmetic Toxicology, vol. 22. No.l. British Industrial Biological Research AssociAtion. p. 39 - 40. Hej,delberger, C,. Billings, P.C, and Uwaifo, A.O. 1982. Rat Hepatoma Cells Show Extreme Sensitivity to Aflatoxin B • ToxicSlo~y Applied Ph!Jrm~colog·y, l vol. 66. No.1. '\caoemlC Press. p. 297 - 303. Hesseltine, C.W. 1974. Condition Leading to l'\ycotoxin Contamination of Food and Feeds, didn.lam Rodrick. Hycotoxin and Other Fungal Relnted Food Problems. AC8.demic Press. NeVI - York. p. 1 - 22. Hetzel, D. J. S, and Sutikno. 1981. Beberapa Peng.n.ruh Afl£l. toksin. Terhe.dap Pertumbuht'm Itik-i tik guda. Proce dings Seminar Peneli tian Tern ~k. Pusat Peneli tian d ~.n Pengembangnn Peternakan - Bogor. hal. 400-404. How';rd, J .L'. 1981. Curent Veterinar.y Ther~py Food Animal Practice. '.fI.B. Sounders Company. Philadl:l·elphia London Toronto. p. 401 -403. and 487.
49 Irwin, E.L. 1974. Toxic Consti tuens of Anim'l Foodstufs. Academic Press. ~!'!w - York & London. p. 23. LoveLmd, P.H, Coulombe, B.A, Libbey,L.M.Pawlowski, N.E, Sinhuber, R.O, Nixon, J.E and Bailey, G.S. 1982. Identific~tion and Mutqgenicity of Aflqtoxin M ' Produced by Net~.bolism of 'l.flatoxin Bl and '\fl~tox;i.. col by Liver Fractions from Rainbow - Trout (Salmo gairdneri) Fed b-";aptofl.-fon. Formerly Food and Cosmetics Toxicology, vol. 21. No. 1. p. 1 - 9. Mary Ann 1980. The Early Influence of ,lflatoxin in The If;ale Japanese Quail. Poultry SCience, vol. 59. No.8. Poultry Science AssocL,tions, Inc. p.17501754. Paul, F.J. and Da'Vis, C.L. 1972. Veterinary Medicine 11;:.: cology. Lea and Fabriger, Philadelphia. p. 75-84. Raymond, C. 1971. Basic Principal of Spectroscopy. Int§.r national Student Editions. Mc. Graw - Hill International Book Company. p. 55 - 56. Shank, R.C. 1981. Myeotoxin and N-Nitroso Compounds:Enviromental Risk. Vol. II. CRC Press, Inc: Boca Raton, Florida. p. 4 - 27. Sharlin, J.S. 1978. Effect of Dietary Aflatoxin on Rep~o duction Performance of Nature White L,eghorn Hales. Poultry SCience, vol 57. No. 1. Poultry Science AssQ, ciations, Inc. p. 1311 - 1314. S:ui th, J. E. 1977. Genetics and Physiology of Asuergillus Acc,demic Press. New - York. p. 510 - 515. ' Stoloff,L. 1974. Occurence of l'l;ycotoxin in Foods and Feeds didalam Rodricks. Mycotoxin and Other Fun[,;al Related Pl'oblems. ,\cademic Press. New - York p. 23 - 57 Tung, H.T, Cook, V.W, Wyatt, R.D and Hamilton, P.B. 1975. The Anemia Caused by Aflatoxin. Poultry Science Asso ciations. vol. 54. No.3. p. 1962 - 1965. Vesonder, R.F, 1975. Am,'Donium Hydroxide Treatment of Aflia toxin B , So (,e Chemical Characteristic and Biologi cal 2ffec;t; l Journ",l of Ae;ricultur81 and Food Chemistry. vol. 23. p. 242 -,244. Wyatt, R.D, 1975. InteractiolJ. 0f~'Aflatoxicosis with Heat Stress. Poultry Scie, vol 54. No.3. Poultry Science Associations, Inc. p. 1065 - 1069.