Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
BEBERAPA ASPEK EPIDEMIOLOGI KEJADIAN AVIAN INFLUENZA PADA UNGGAS DI LAPANGAN (Some Epidemiological Aspects of Avian Influenza Cases in Poultry) SUDARISMAN Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114
ABSTRACT Avian Influenza (AI) that is affecting poultry in Indonesia is an infectious and contagious disease caused by highly pathogenic type A influenza virus. Problems encountered due to AI cases in the field, the risk factors, disease distribution and disease control were evaluated. The approach was made by observations on: Partisipatory Disease Searching (PDS) method, vaccination programs, infection in chicken, rapid detection test, and regulations in AI cases. In Local Disease Control Center (LDCC) Bogor observation area, Bekasi, Sukabumi, and Bogor districts were the endemic areas with the highest risk factors such as wild birds, chicken retailers and rivers. In chicken, it was found out that maternal antibody could last until the ninth day of age and the immunity decreased and reached the lowest level on the 18th day of age. It was suggested that the chicken would be best vaccinated on the 10th to 12th day of age. AI infection in vaccinated chicken sometimes resulted in an increased of percentage of coefficient of variations (CV) of antibody titers without significant clinical signs. Revaccination could be done when the CV is greater than 30%. Rapid detection tests were reliable tests and could be used as the first indicator in field disease monitoring. Vaccination programs using local AI vaccines showed good protection in chicken. Regulations such as depopulation and immediate compensation were not popular among the farmer, especially due to the economic loss caused by the low compensation value. Key Words: AI, Poultry, Field Cases ABSTRAK Avian Influenza (AI) yang terjadi di Indonesia merupakan penyakit unggas menular yang disebabkan oleh virus Influenza type A yang sangat patogen. Permasalahan AI di lapangan, faktor resiko, penyebaran penyakit serta program vaksinasi yang telah dilakukan telah dievaluasi. Penelitian ini dilakukan terhadap berbagai hal seperti: metoda Partisipatory Disease Searching (PDS), berbagai program vaksinasi, kejadian infeksi, uji deteksi cepat, dan peraturan sehubungan dengan adanya kasus AI. Di Local Disease Control Center (LDCC) Bogor terutama kabupaten Bekasi, Sukabumi dan.Bogor merupakan daerah endemis penyakit AI dengan faktor resiko tertinggi seperti burung liar dan penjaja ayam keliling serta sungai. Kekebalan asal induk ayam yang divaksinasi, akan bertahan hingga umur anak mencapai sembilan hari, dan penurunan paling rendah terjadi pada umur delapan belas hari. Sebaiknya anak ayam divaksinasi pertama kali pada umur sepuluh hingga dua belas hari. Infeksi pada ayam yang divaksinasi dapat terjadi sangat ringan tanpa gejala klinis, tetapi terlihat dari meningkatnya persentase koefisien keseragaman(CV) Vaksinasi ulang dapat dilakukan jika CV lebih besar dari 30%. Uji deteksi cepat merupakan uji yang dapat diandalkan sebagai indikator pertama dalam situasi tanggap penyakit di lapangan. Program vaksinasi menggunakan vaksin local ternyata cukup memberikan proteksi yang cukup baik dalam pencegahan AI di lapangan. Tindakan depopulasi merupakan tindakan yang tidak populer di antara peternak, terutama jika ternak yang dikorbankan tidak setara nilainya dengan uang penggantian. Kata Kunci: Avian Inluenza, Unggas, Kasus Lapangan
PENDAHULUAN Avian Influenza (AI) merupakan penyakit unggas menular yang disebabkan oleh virus
Influenza type A (GOVORKOVA et al., 2005). Penyakit ini di identifikasi di Italia lebih kurang seratus tahun yang lalu dan kini telah menyebar ke seluruh dunia.
767
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Kasus AI di Hongkong pada tahun 1997 di sebabkan oleh virus H5N1 (CLAAS et al., 1998; SUBBARAO et al., 1998). Sama halnya kasus AI yang terjadi di Indonesia pada pertengahan tahun 2003 yang menyerang unggas terutama ayam ras. Bahkan penyakit ini cepat menyebar dan hingga kini telah menyerang ayam kampong yang notabene penanggulangannya sudah sangat rumit. Hal ini disebabkan oleh ayam kampong yang sistem pemeliharaannya kebanyakan masih tradisional dan sulit terjangkau oleh teknologi yang kini berkembang. Kejadian flu burung (AI) pada unggas ternyata telah menyerang manusia, tidak hanya di Hongkong, tetapi juga di Vietnam dan bahkan Indonesia yang kini telah menduduki peringkat pertama dalam jumlah kematian dan kasus pada manusia (WHO, 2006). Hal inilah yang menghawatirkan, bahkan lembaga internasional begitu sibuknya memberikan bantuan pada Indonesia agar penyakit ini tidak menjadi pandemik, seperti halnya pandemik yang pernah terjadi di Italia. Kasus flu burung yang disebabkan oleh H5N1 pertama kali kejadiannya adalah di Hongkong pada tahun 1997 yang mana kasusnya terjadi pada orang yang kontak dengan hewan/unggas yang dijajakan di pasar hewan (live bird market). Ada 17 orang yang terinfeksi dari 18 orang yang diuji. Enam dari 18 orang yang menderita terjadi fatal dan mematikan (CLAAS et al., 1998; SUBBARAO et al., 1998). Kejadian ini berulang di Hongkong pada tahun 2003, tepatnya di bulan Februari. Dua kasus terjadi pada manusia termasuk diantaranya meninggal dunia (BYRNE, 2003). Hasil sequencing dan karakterisasi antigenik kasus di Hongkong, menunjukkan ada perbedaannya antara kasus pada tahun 1997 dengan kasus tahun 2003. Hal ini mengindikasikan adanya mutasi virus mulai tahun 1997 hingga 2003 (AINI, 2004). Kejadian di Indonesia mulai dari tahun 2003 pada ayam dan kini pada tahun 2007, kasus masih juga sering terjadi (SUDARISMAN, 2007). H5N1 merupakan virus flu burung di Indonesia yang sangat patogen (highly pathogenic). Kasus pada ayam terjadi sangat sederhana yang terlihat berupa angka kematian yang tinggi dan tiba-tiba, mungkin dapat disertai depresi dan demam. Hewan yang
768
terinfeksi mungkin memperlihatkan konjungtifitis, mata berair, sinusitis dan bengkak pada jengger dan pial dengan kepala terlihat biru legam. Penyebarannya lewat perpindahan unggas air nyata terlihat dan merupakan reservoir virus flu burung. Unggas tersebut mengekskresikan sejumlah besar virus dari kotorannya dan kebiasaan berpindah ini membuat unggas air cepat sekali menyebarkan virus dari satu daerah ke daerah yang lain, bahkan negara ataupun benua. Disamping itu faktor manusia, terutama yang sehari-harinya bergaul dengan unggas terinfeksi akan dengan mudahnya menyebarkan penyakit baik langsung maupun tidak langsung. Faktor lingkungan juga berperan sangat besar, seperti adanya aliran sungai, kebiasaan petani membuang sampah/kotoran ke sungai sangat memperbesar kemungkinan penyebaran penyakit. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mencoba mengevaluasi permasalahan AI di lapangan dan mengamati faktor resiko dan perannya dalam penyebaran penyakit serta program vaksinasi yang telah di laksanakan. Demikian pula program yang telah dijalankan melalui gerakan Partisipatory Disease Searching (PDS) dan Partisipatory Disease Response (PDR) atas bantuan FAO yang telah terjun di beberapa propinsi, khususnya pengamatan ini dilakukan di Jawa Barat (LDCC Bogor). MATERI DAN METODE Partisipatory disease searching (PDS) PDS merupakan tehnik epidemiologi partisipatif yang menekankan segi partisipasi masyarakat yang digunakan untuk mengerti tentang sejarah penyakit dan epidemiologinya sehingga didapatkan kasus dari penyidikan penyakit di daerah tersebut. Beberapa Perangkat yang digunakan adalah semi structure interview, mapping, transect walk, proportional pilling dan matrix scoring (MARINER dan PASKIN, 2000). Melalui metode ini akan didapat hasil berupa data kejadian penyakit, luas cakupan sebaran penyakit, asal muasal penyakit serta kepentingan penyakit pada peternak.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Evaluasi program vaksinasi Vaksinasi telah dilakukan di daerah endemis yang merupakan dampak dari adanya kasus penyakit dan sekitar daerah kasus yang menggunakan ring vaksinasi. Sebelum vaksinasi dilakukan pengambilan sampel serum secara acak dan satu bulan paska vaksinasi diambil kembali sampel dari daerah tersebut. Serum ada juga yang diambil pada dua bulan, tiga bulan bahkan empat bulan paska vaksinasi. Hal ini diharapkan tiap saat hasil vaksinasi dievaluasi terutama derajat kekebalannya melalui titer HI (haemagglutination inhibition test). Hasil serum yang dikoleksi diuji dengan uji HI) untuk mendapatkan titer serum terhadap antigen virus H5N1. Hal ini diharapkan titer yang didapat berupa titer terhadap H5N1 yang memang menginfeksi ternak unggas di lapangan. Disamping itu, persentase Coefficient of variation (CV) juga akan dihitung guna melihat keseragaman titer antibodi pada kelompok ayam yang diperiksa. Vaksinasi pada daerah belum tertular, dilakukan sama halnya dengan prosedur di atas, akan tetapi dilakukan pada daerah yang belum pernah ada kejadian flu burung dan lokasinya jauh dari daerah endemis. Vaksinasi pada ternak bibit (breeding farm) dilakukan mengikuti program yang sudah disusun untuk peternakan yang bersangkutan. Pengujian hasil vaksinasi selalu dilakukan dan dipantau satu bulan paska vaksinasi pada induk ayam dan tiap satu bulan paska vaksinasi dilakukan hal tersebut berulang untuk mendapatkan titer yang ideal dari program vaksinasi yang dilakukan. Disamping itu pengamatan juga dilakukan pada anak ayam yang dihasilkan. Untuk anak ayam, pengambilan sampel sebanyak 15 ekor tiap hari diambil hingga dua minggu umur anak ayam. Hal ini diharapkan dapat ditemui hasil berupa waktu yang ideal untuk melakukan program vaksinasi awal pada anak ayam.
secara periodik pada saat satu minggu paska vaksinasi, dua minggu, tiga minggu dan seterusnya hingga peternakan tersebut diharuskan melakukan program vaksinasi ulang. Pengujian kasus dengan uji deteksi cepat Uji cepat digunakan bagi petugas PDS dan PDR untuk membantu diagnosa cepat di lapangan dengan dasar telah diketahui gejala klinis yang tepat dan akurat, disamping diketahui juga gejala patologis anatomisnya. Uji ini menggunakan empat macam kit A, B, C dan D untuk mencari uji kit yang terbaik dan dapat digunakan dalam membantu diagnosa di lapangan. Kit yang digunakan tiga macam berupa kit untuk diagnosa AI yang di Indonesia adalah H5N1. Disamping itu ada kit yang sudah langsung menggunakan anti H5N1. Kit ini dibandingkan apabila menggunakan empat macam swab dengan pengambilan berurutan. Disamping itu, tiap swab digunakan untuk satu ayam yang klinis dan patologis anatomisnya mengarah pada penyakit AI, sehingga empat ayam ada empat swab yang diambil satu kali. Dibandingkan juga dengan sampel yang negatif AI artinya ayam tidak mengarah pada penyakit AI. Peraturan tentang depopulasi dan immediate compensation Depopulasi dilakukan pada ternak sekandang, sekitar kematian ataupun satu RT ataupun satu RW. Kegiatan ini merupakan kegiatan PDR bersama Dinas Peternakan setempat dan diawasi oleh pejabat yang berwenang. Kompensasi dibandingkan antara satu minggu, dua minggu dan satu bulan paska depopulasi. Respons petani/peternak dilihat dari kejadian penyakit pada periode berikutnya. HASIL DAN PEMBAHA
Kejadian infeksi ringan
Faktor resiko
Pengujian dilakukan pada saat lingkungan peternakan ayam terserang flu burung dan peternakan tersebut telah melakukan program vaksinasi yang teratur. Pengamatan dilakukan
Data pada Tabel 1, menunjukkan bahwa faktor yang tertinggi dari terjadinya penyakit AI di daerah Jawa Barat, khususnya LDCC Bogor adalah burung liar dan diikuti dengan
769
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Tabel 1. Beberapa faktor resiko yang menonjol pada pengamatan di daerah kasus AI/flu burung di wilayah pengamatan LDCC Bogor Faktor resiko
Sukabumi
Bogor
Bekasi
Jumlah
16 9 19 5 5 1 9 1 3 6 74
18 15 38 56 14 7 1 149
67 56 56 5 50 14 6 1 1 1 1 1 1 2 2 265
101 30 113 61 5 1 9 1 3 70 21 6 1 2 1 1 1 1 2 2 488
Pedagang ayam keliling Sungai tempat pembuangan ayam mati Burung liar Dekat jalan raya Pekerja Kandang Tempat penampungan ayam Pupuk kandang Kolam kosong Irigasi sawah Truk pengangkut ayam dan telur Pasar ternak unggas RPH/TPH dekat Kontes burung Tempat sampah Tempat adu ayam Depo jagung pipilan Dukun Holding ground (sapi) Peternakan ayam ras petelur Peternakan ayam ras potong Jumlah
pedagang ayam keliling. Sungai atau kali tempat sampah sering dibuang merupakan faktor ketiga tertinggi dari hasil pengamatan PDS dan PDR di LDCC Bogor. Alat transportasi merupakan faktor resiko berikutnya yang sering diamati oleh team PDS dan PDR di LDCC Bogor. Untuk mendapatkan hasil yang baik dalam penanganan AI di LDCC Bogor, diharapkan pemerintah dapat turun tangan dalam memberikan reward and punishment terhadap masyarakat yang melakukan kegiatannya yang meningkatkan faktor resiko seperti yang tertera pada data di atas. Sejak ditemukannya virus flu burung pada burung-burung yang sering bermigrasi di daratan Cina, ternyata burung liar menjadi ancaman yang terus menerus yang perlu diawasi (MINISTRY OF AGRICULTURE, CHINA, 2006). Jika wabah flu burung telah diidentifikasi, eradikasi pada keluasan yang terbatas harus dilakukan. Tindakan stamping out ataupun pengawasan pasar hewan hidup ataupun rumah potong hewan pada daerah
770
terinfeksi harus ditingkatkan (CAPUA dan MARANGON, 2003). Hal ini harus dilakukan demi mencegah penyebaran penyakit dan meningkatnya patogenitas virus. Pada peternakan besar perlu dipertimbangkan nilai ekonomi dari hewan yang terinfeksi, penanganan proses depopulasi dan pendekatan personal terhadap peternak (CAPUA dan MARANGON, 2003). Bila program vaksinasi dilaksanakan harus diingat akan jumlah vaksin yang tersedia dan rencana ke depan dari program tersebut. Strategi teritorial harus juga diperhitungkan. Bila dilihat dari epidemiologi flu burung, maka unggas air dan burung liar harus diperhatikan (HALVERSON, 2002). Disamping itu reservoir lainnya adalah pasar hewan tradisional yang ada merupakan unsur penyumbang yang terus menerus, karena adanya unggas yang selalu ada di pasar tersebut, dan merupakan kesempatan terjadinya peningkatan replikasi virus dan mutasi bila memungkinkan. Virus akan tersebar bila terjadi
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
perpindahan kepemilikan ternak dari satu pemilik ke pemilik yang lain akibat transaksi pembelian. Pada unggas air biasanya shedding virus terjadi dalam waktu yang cukup panjang, tetapi pada ayam yang terinfeksi biasanya shedding berhenti setelah terjadi serokonversi pada unggas tersebut (HALVERSON, 2002). Pada unggas, pelepasan virus influenza terjadi lewat sekresi pernafasan, dan ekskresi dari kotoran dan virus akan terbungkus dalam materi organik yang menghambat terjadinya perusakan virus (HALVERSON, 2002). Virus flu burung juga dapat diisolasi dari telur dan semen, tetapi tidak ada kejadian penularan lewat telur. Sisa telur yang terinfeksi yang tidak tepat cara pemusnahannya akan berpotensi menularkan kepada unggas yang peka (HALVERSON, 2002). Kekebalan pascavaksinasi ternak bibit Serum dari anak ayam yang induknya telah divaksinasi secara teratur, maka didapat hasil serologi dari anak ayam umur sehari hingga lima belas hari seperti yang ada pada Tabel 2. Kekebalan pada anak ayam akan meningkat pada hari pertama hingga hari keempat, tetapi akan terus menurun hingga hari ke lima belas. Pada hari ke-18, akan didapati titer antibodi yang terendah. Dari data ini diharapkan dapat ditentukan waktu vaksinasi pertama yang paling tepat, yaitu pada saat titer maternal telah menurun, tetapi jangan dibiarkan hingga titer sangat rendah, karena dikhawatirkan anak ayam terserang flu burung.
Uji deteksi cepat Hasil yang didapat dari hasil pengujian keempat macam kit uji deteksi cepat menunjukkan hasil yang relatif sama. Garis yang ditunjukkan dari hasil pengujian sesuai dengan prosedur yang disarankan menunjukkan garis terang sebanyak dua garis berupa garis kontrol dan garis uji. Apabila diuji pada sampel yang tidak memperlihatkan gejala klinis dan patologis anatomis yang nyata dan hewan masih dalam keadaan sehat menunjukkan garis satu buah, yaitu berupa garis kontrol. Apabila pengambilan sampel dilakukan berulang untuk lebih dari satu kali, akan memperlihatkan hasil yang beragam sesuai berapa banyak satu sampel digunakan untuk tujuan uji deteksi cepat. Pada Gambar 2 terlihat ada perbedaan diantara kit yang digunakan. Kit yang terakhir mendapatkan swab, maka hasilnya akan semakin tidak jelas bahkan menjadi negatif. Dari keseluruhan kit yang digunakan ternyata kit yang huruf D merupakan kit yang memberikan garis paling terang, walaupun mendapatkan sampel swab yang terakhir. Sedangkan kit yang lebih menciri (H5N1) merupakan kit yang sangat membutuhkan pengambilan swab yang harus pertama atau kedua dari satu sampel ayam yang digunakan. Akan tetapi untuk sampel ke satu akan memberikan reaksi positif pada ayam dengan gejala klinis dan patologis anatomis yang menciri. A
B
C D Gambar 2. Hasil uji lapangan dengan 4 macam kit untuk uji deteksi cepat virus AI
Gambar 1. Kekebalan bawaan dari induk pada anak ayam dalam pengamatan hingga umur 21 hari
771
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Tabel 2. Titer serum ayam pada berbagai waktu paska vaksinasi pada berbagai peternakan ayam yang teratur divaksinasi Tgl koleksi 28/6 28/6 28/6 28/6 11/11 11/11 11/11 11/11 11/11 11/11 11/11 11/11 27/7 27/7 27/7 27/7 13/3 13/3 13/3 13/3 13/3 13/3 23/12 23/12 23/12 23/12 23/12 13/8 13/8 13/8 13/8 13.8 13/8 13/8 13/8 13/8 13.8 13/8 13/8 13/8 13/8 13.8 13/8 13/8 13/8 13.8
Kandang 1A 2A 3A 4A 1B 2B 3B 4B 5B 6B 7B 8B 1C 2C 3C 4C 1D 2D 3D 4D 5D 6D 1E 2E 3E 4E 5E 1 (82)F 2 (56)F 3 (73)F 4 (34)F 5 (73)F 6 (73)F 7 (82)F 8 (57)F 9 (34)F 10 (82)F 11 (34)F 12 (19)F 13 (19)F 14 (58)F 15 (70)F 16 (71)F 17 (56)F 18 (19)F 19 (22)F
Jumlah Vaksinasi terakhir 0 26 25/5 11 27/5 10 27/5 11 21/6 25/9 15 1 25/9 15 25/9 20 2 24/8 20 1 20 25/9 20 10/8 15 25/9 20 25/9 16 27/3 20 27/3 20 27/3 20 27/3 10/11 5 10/11 5 10/11 5 1 10/11 5 10/11 5 10/11 5 15 20/8 15 20/8 15 20/8 15 20/8 10 20/8 15 1/5 16 16/5 14 12/5 14 7/7 15 24/6 14 19/5 11 19/5 10 6/4 17 8/7 21 15/7 11 7/7 10 6/6 15 6/6 15 12/7 13/7 12 14/7 15 13/5 14 3/7 15 3/7 15
1 1 2 1 1 1 1 -
2 3 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 -
3 3 4 2 6 3 2 1 3 1 5 2 1 -
4 5 4 6 5 2 5 2 3 2 1 1 2 2 1 1 4 2 1 1 1 1 2 -
5 4 4 2 2 3 2 3 3 1 7 2 2 2 2 1 1 2 1 1 2 1 2 5 1 1 2 1 -
Titer 6 7 - - - - 3 1 4 2 5 6 5 6 2 4 4 6 5 6 3 3 3 7 2 6 3 2 2 1 - - 2 2 2 - 2 3 4 6 4 6 2 4 2 1 4 3 6 2 5 5 3 3 2 6 6 3 - 4 - 2 4 5 2 9 1 1 - 3 - 5 1 5 1 2 3 2 5 4 - 2 2
Mean %CV 8 1 3 1 1 2 4 1 2 2 1 2 1 4 2 4 3 2 2 3 1 6 4 3 2 8 8 8 3 6 3 8 7 1 6 5
9 10 3 3 2 4 1 1 2 1 1 1 1 1 3 2 1 4 1 2 1 1 1 4 4 2 2 1 2 7 5 1
≥11 19 5 9 10 1 1 1 -
10,54 10,27 10,90 10,91 5,2 5,2 4,05 4,05 4,10 5,20 6,60 6,55 6,00 4,95 4,60 6,20 4,4 5,8 7,4 5,2 6,2 6,4 8,20 6,00 7,13 7,67 6,44 5,33 6,31 5,93 6,86 7,00 5,57 6,36 5,90 7,24 7,05 7,45 8,10 7,93 7,53 7,75 7,33 5,57 7,93 8,07
8,15 7,65 2,90 2,76 43,12 31,01 54,61 42,75 38,69 32,18 16,99 25,45 29,81 26,60 38,24 31,22 37,95 39,31 33,92 78,65 26,45 35,94 17,97 31,50 12,83 18,23 37,30 37,28 22,93 29,19 18,85 16,20 20,78 24,62 24,56 11,49 15,20 13,89 10,81 10,07 20,61 9,73 18,34 35,70 21,02 14,42
Kandang A,B,C,D : Pengamatan pada periode tahun 2004 – 2005 Kandang E : Umur ayam awal produksi hingga umur satu setengah tahun Kandang F : Titer serum ayam pada 1 – 4 bulan pasca vaksinasi pada ayam produksi (periode tahun 2005 – 2006)
772
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Kejadian infeksi ringan Hasil pada Gambar 3 menunjukkan bahwa kelompok ternak yang diambil serumnya tiap satu minggu hingga dua minggu paska infeksi lapangan memberikan hasil berupa variasi keragaman titer antibodi yang semakin meningkat apabila mendekati infeksi yang agak berat. Apabila dibandingkan dengan titer antibodi terhadap HPAI terlihat penurunan. Hal ini adalah karena faktor vaksin yang membuat ternak tercegah dari kematian dan setelah infeksi, ternyata titer kembali normal. Hal ini diamati setelah periode serangan telah berakhir dan kematian beberapa ekor ayam mencerminkan infeksi ringan. Kegagalan vaksin biasanya adalah tidak dapat menahan infeksi secara total dan shedding virus, terutama pada saat ditantang dengan virus yang dosisnya tinggi (HALVERSON, 2002).
Gambar 3. Kejadian infeksi peternakan ayam
ringan
AI
pada
Terjadinya infeksi ringan pada peternakan yang telah mengalami program vaksinasi secara teratur, merupakan hal yang wajar. Hal ini disebabkan apabila program vaksinasi dilakukan, kekebalan akan dapat mengontrol kejadian flu burung secara klinis dan mengurangi kepekaan dari populasi ternak
yang divaksinasi (HALVORSON, 2002). Apabila program vaksinasi telah dijalankan yang merupakan second line dari program pemberantasan, yang utama adalah biosekuritas dari peternakan yang dilakukan (BEARD et al., 1991). Melalui Tabel berikutnya (Tabel 2) akan dapat dibaca variabilitas semakin tinggi apabila sampel serum diambil pada saat ada serangan virus flu burung disekitar peternakan. Variabilitas akan semakin kecil apabila pengambilan serum pada dua minggu atau satu bulan paska vaksinasi pada ayam yang telah mendapatkan program vaksinasi yang teratur. Titer vaksinasi akan tinggi pada dua minggu pascavaksinasi. Titer akan dapat dipertahankan hingga tiga atau empat bulan paska vaksinasi di daerah endemis. Akan tetapi di daerah kasus, biasanya akan meningkat variabilitasnya. Depopulasi dan immediated compensation Pelaksanaan depopulasi dilakukan apabila terjadi kasus aktif di daerah. Untuk daerah Jawa Barat, kegiatan ini selalu didiskusikan sebelumnya dengan pemilik ternak. Hal inilah yang sedikit menghambat kegiatan pemberantasan secara keseluruhan, walaupun akhirnya sedikit unsur pemaksaan dan penyuluhan akan bahaya flu burung akan diakhiri dengan pemusnahan sedikitnya pada hewan sekandang ataupun selingkungan kejadian penyakit. Tindakan pemusnahan setempat sangat membantu tidak menjalarnya penyakit ke lain tempat dan akan sulit dicegah apabila pemusnahan tidak dilakukan dan penundaan berakibat semakin bertambahnya kasus di daerah tersebut. Pengalaman ini sangat membantu dalam pemberantasan penyakit secara keseluruhan. Pelaksanaan program vaksinasi pada daerah kasus biasanya tergantung pada kebijaksanaan daerah tersebut. Ada yang melaklukan sedini mungkin, dengan resiko kemungkinan terjadinya kematian sewaktu dilakukan vaksinasi. Ada pula yang menunda hingga kasus reda, hal ini mencegah kemungkinan terjadinya kematian yang biasanya disangka akibat vaksinasi. Penundaan terkadang memberikan keuntungan agar peternak tidak berprasangka buruk, akan tetapi terkadang memperluas kejadian penyakit, sehingga mempersulit tindakan pemberantasan secara keseluruhan.
773
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Immediated Compensation adalah tindakan untuk mengurangi kerugian petani agar petani juga berpartisipasi dalam pemberantasan flu burung secara keseluruhan. Ternyata tindakan ini akan sangat membantu pelaksanaan pemberantasan penyakit secara keseluruhan, apabila kompensasi diberikan sesegera mungkin. Apabila dilakukan dengan penundaan maka akan mempersulit petugas untuk melakukan tindakan yang sama apabila terjadi kasus ditempat lain. KESIMPULAN Kabupaten Bekasi, Sukabumi dan Bogor merupakan daerah endemis penyakit AI dengan faktor resiko tertinggi burung liar, penjaja ayam keliling dan sungai. Kekebalan asal induk ayam yang divaksinasi teratur akan bertahan hingga umur sembilan hari, kemudian menurun hingga hari ke dua belas, dan terendah terjadi pada umur delapan belas hari. Jadi, sebaiknya vaksinasi pertama dilakukan pada umur sepuluh hingga dua belas hari. Infeksi pada ayam dapat terus terjadi pada dearah yang belum bebas AI. Ayam yang divaksinasi dengan baik dapat terinfeksi AI yang sangat ringan tanpa gejala klinis nyata, tetapi coefficient of variation (CV) dari titer antibodi akan meningkat. Uji deteksi cepat baik dilakukan dalam situasi tanggap penyakit di lapangan, walau reaksi baru terlihat apabila ayam menjelang atau baru saja mati dengan gejala spesifik AI. Perbedaan hasil uji dapat terjadi karena pengambilan sampel berulang dari hewan yang sama. Imunisasi dengan vaksin lokal H5N1 cukup memberikan proteksi untuk ayam di lapangan. Vaksin subunit yang dibuat dari neuramidase virus AI (bagian dari virus yang cukup stabil), telah direkomendasikan untuk mengatasi masalah whole virus vaccine yang kurang protektif lagi karena mutasi virus dilapangan. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih ditujukan kepada seluruh anggota PDS dan PDR dari LDCC Bogor yang telah banyak membantu pengumpulan data dan terlaksananya evaluasi. Kepada Drh. Ismuji, para peternak dan praktisi perunggasan khususnya di daerah pengamatan LDCC
774
Bogor, khususnya Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Bekasi, juga diucapkan banyak terima kasih. DAFTAR PUSTAKA AINI, I. 2004. The scope and Effect of family poultry research and development: Diseases in rural family chickens in South East Asia. INFPDECONFERENCES. Animal Production and Health Division. Agriculture Departement. BEARD, C.D., W.M. SCHNITZLEIN and D.N. TRIPATHY. 1991. Protection of chicken against highly pathogenic AI virus (H5N2) by recombinant fowlpox viruses. Avian Dis. 35: 356 – 359. BYRNE, D. 2003. AI in the Netherlands and Belgium. Information note of Commissioner David Byrne to the commission. Situation as of 22 April 2003. CAPUA, I. and S. MARANGON. 2003. The use of vaccination as an option for the control of AI. Avian Pathol. 32(4): 335 – 343. CLAAS, E.C., J.C. DE JONG, R.VAN BEEK, G.F. RIMELSWANN and A.D. OSTERHAUS. 1998. Human Influenza Virus A/Hongkong/156/97 (H5N1) Infection. Vaccine 16: 977 – 978. GOVORKOVA, E.A., J.E.REHG, S.KRAUSS, H.L. YEN, Y. GUAN, M.PEIRIS, T.D. NGUYEN, T.H. HANH, P. PHUTAVATHANA, H.T. LONG, C. BURANATHAI, W. LIM, R.G. WEBSTER and E. HOFFMANN, 2005. Lethality to ferrets of H5N1 Influenza Viruses Isolated from humans ond poultry. J. Virol. 79(4):2191 – 2198. HALVERSON, D.A.. 2002. The control of H5 or H7 mildly pathogenic AI: A role for inactivated vaccine. Avian Pathol. 31: 5 – 12. MARINER, J.C. and R. PASKIN. 2000. Manual of Participatory Epidemiology. Methods for the collection of action oriented epidemiological intelligence. FAO Animal Health Manual No. 10. Food and Agriculture Organisation, Rome. ISBN 92-5-104523-2. MINISTRY OF AGRICULTURE CHINA. 2006. Poultry AI Vaccination in China. Bureau of Veterinary Ministry of Agriculture, P.R.China. SUBBARAO, K., A.KLIMOV, J. KATZ, H. REGNERY, W. LIM, H.HALL, M. PERDUE, D.SWAYNE, C. BENDER, J. HUANG, M. HEMPHILL, T. ROWE, M. SHAW, X. XU, K. FUKUDA and N. COX. 1998. Characterization of AI (H5N1) virus isolated from a child with a fatal respiratory illness. Science 279: 393 – 396.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
SUDARISMAN. 2007. Evaluasi Pengendalian Avian Influenza di LDCC Bogor. LOCAL DISEASE CONTROL CENTRE, Direktorat Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian.
WORLD HEALTH ORGANISATION. 2006. Cumulative number of confirmed human cases of AI A (H5N1) reported to WHO. World Health Organisation. http://www.who.int/csr/disease/ avian_influenza/country/cases_table_2006_04 _21/en/print.html. (26 April 2006)
775