MANAJEMEN RISIKO RANTAI PASOK UNGGAS TERKAIT KASUS AVIAN INFLUENZA DI KABUPATEN BANDUNG
ZELLA NOFITRI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Manajemen Risiko Rantai Pasok Unggas Terkait Kasus Avian Influenza di Kabupaten Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2014 Zella Nofitri NIM B04100025
ABSTRAK ZELLA NOFITRI. Manajemen Risiko Rantai Pasok Unggas Terkait Kasus Avian Influenza di Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh RAHMAT HIDAYAT dan ALIM SETIAWAN SLAMET. Munculnya berbagai macam penyakit pada peternakan unggas dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Salah satu cara untuk menanggulangi penyebaran AI adalah dengan mengidentifikasi aliran produk unggas dari hulu ke hilir. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan mengkaji rantai pasok unggas serta menganalisis berbagai gangguan risiko tertinggi yang timbul terkait kasus AI di Kabupaten Bandung. Metode yang digunakan untuk menentukan dan menganalisis risiko tertinggi dalam rantai pasok unggas adalah metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dan Multi Expert-Multi Criteria Decision Making (ME-MCDM). Aliran produk mengalir dari peternak-perusahaan inti-RPHU-pedagang besar-restoran dan supermarket-pedagang kecil-konsumen. Penyebaran AI dapat terjadi sepanjang aliran produk dari hulu ke hilir. Hasil AHP terkait kasus AI adalah prioritas faktor rantai pasok adalah make (0.563) dan prioritas anggota rantai pasok adalah perusahaan inti (0.401), dengan risiko operasional yang memiliki prioritas terbesar adalah sumber daya manusia (0.411). Kata kunci: Avian Influenza, manajemen risiko, rantai pasok, unggas
ABSTRACT ZELLA NOFITRI. Risk Management of Poultry Supply Chain Related to Avian Influenza Cases in Bandung Area. Supervised by RAHMAT HIDAYAT and ALIM SETIAWAN SLAMET. The emergence of various diseases in poultry farms could cause considerable economic losses. One way to overcome the spread of Avian Influenza (AI) was by identifying the flow of poultry products from upstream to downstream. The purposes of this study were to identify and assess the poultry supply chain and to analyze the various risks that arise related to AI cases in Bandung District. Research methods was interview by using questionnaires. Risk analysis in the poultry supply chain determined by Analytic Hierarchy Process (AHP) and Multi Expert-Multi Criteria Decision Making (ME-MCDM) method. Poultry supply chain in Bandung District consisted of farmers who carrying out farming activities, major companies as producers and financiers, poultry slaughterhouse, wholesalers, and retailers. Product stream flew from farmers-major company-poultry slaughterhouse-wholesalers-retailers. The spread of AI might occur along the product flow from upstream to downstream. AHP results related to the case of AI including supply chain priority factor was the make (0.563) and the priority of supply chain members is a major company (0.401), and the highest priority of operational risk was human resources (0.411). Keywords: Avian Influenza, poultry, risk management, supply chain
MANAJEMEN RISIKO RANTAI PASOK UNGGAS TERKAIT KASUS AVIAN INFLUENZA DI KABUPATEN BANDUNG
ZELLA NOFITRI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan IPB
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga proposal penelitian ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2013 sampai Oktober 2013 ini ialah analisis daging, dengan judul Manajemen Risiko Rantai Pasokan Unggas Terkait Kasus Avian Influenza di Kabupaten Bandung. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh Rahmat Hidayat, MSi dan Bapak Alim Setiawan Slamet, STP MSi selaku pembimbing. Terima kasih pula penulis tujukan untuk Drh Usamah Afiff, MSc selaku pembimbing akademik sekaligus orang tua bagi penulis selama menuntut ilmu di FKH. Ribuan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr Drh Eko S. Pribadi, MSi atas semua ilmu yang sudah diberikan yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan studi di FKH. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah (Basril Efendi SP), ibu (Yulidarnis), adik (Shinta Yulya Basril dan Dilva Febyola Basril) serta seluruh keluarga dan teman-teman di FKH angkatan 47 (terutama partner penulis dalam berbagi lelah, Tri Handoko Lasrianto) atas dukungan penuh, doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2014
Zella Nofitri
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Definisi Risiko dan Jenis Risiko
3
Manajemen Rantai Pasokan
3
Analisis Manajemen Risiko Rantai Pasokan
4
Teknik Penilaian Risiko dan Pengambilan Keputusan
4
Avian Inflenza (AI)
5
METODE
5
Waktu dan Tempat
5
Tahap-tahap Penelitian
6
Metode Pengumpulan Data
6
Metode Pengambilan Sampel
7
Prosedur Analisis Data
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Gambaran Umum Rantai Pasokan Unggas di Kabupaten Bandung
7
Manajemen Risiko Rantai Pasok Unggas pada Level Perusahaan Inti
9
SIMPULAN DAN SARAN
19
Simpulan
19
Saran
20
DAFTAR PUSTAKA
20
RIWAYAT HIDUP
23
DAFTAR TABEL 1 Skala penilaian risiko 2 Identifikasi risiko operasional 3 Upaya mitigasi risiko kuadran 1
6 10 18
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Diagram pemetaan risiko (Djohanputro 2004) Tahapan penelitian Ilustrasi rantai pasokan unggas di Kabupaten Bandung Struktur hierarki penilaian prioritas anggota rantai pasok unggas dalam manajemen risiko rantai pasokan Hasil perbandingan bobot faktor rantai pasok Hasil perbandingan bobot risiko operasional rantai pasok Hasil perbandingan bobot pelaku rantai pasok Diagram pemetaan risiko operasional terkait SDM Diagram pemetaan risiko operasional terkait proses internal Diagram pemetaan risiko operasional terkait sistem Diagram pemetaan risiko operasional terkait kejadian di luar perusahaan
4 7 8 12 13 14 14 15 16 17 18
PENDAHULUAN Latar Belakang Munculnya berbagai macam penyakit pada peternakan unggas dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Wabah penyakit menular yang sangat ganas seperti wabah Avian Influenza (AI) atau yang lebih dikenal sebagai flu burung merupakan risiko terbesar yang harus dihadapi peternak. Penyakit AI masuk ke Indonesia sejak tahun 2003 telah menimbulkan efek di berbagai aspek kehidupan terutama pada bidang ekonomi. Penyakit ini menyebabkan hampir 90% kematian unggas, penurunan produksi telur dan penurunan persentase penjualan daging dan telur yang mengakibatkan banyak peternakan perunggasan di Indonesia gulung tikar. Menurut Dharmayanti et al. (2005), penyakit ini pertama kali muncul di beberapa peternakan ayam petelur di Kecamatan Legok, Tangerang dan kemudian meluas ke 11 provinsi, antara lain di Pulau Jawa dan Bali. Karena wabah berlangsung cukup lama, yaitu dari Agustus 2003 sampai Januari 2004, maka sempat menimbulkan dampak ekonomi yang luas. Akoso (2004) melaporkan bahwa penyakit Al yang mewabah pada akhir tahun 2003 menyebabkan kematian 7.4 juta ekor unggas, yang terdiri dari ayam ras, ayam buras, burung puyuh, itik, merpati dan unggas lainnya. Kerugian ekonomi (potensial) yang ditimbulkannya ditaksir mencapai 7.7 triliun rupiah, meliputi kematian unggas, pengurangan kesempatan kerja, gangguan pada industri perunggasan dan industri pakan serta terhambatnya ekspor dan produknya ke luar negeri. Sedangkan menurut Basuno (2008), Komnas FBPI (Komisi Nasional Flu Burung dan Pandemi Influenza) memperkirakan besarnya kerugian di Indonesia akibat wabah AI dari 2004-2008 sebesar 4.3 triliun rupiah, di luar kerugian dari hilangnya kesempatan kerja dan berkurangnya konsumsi protein masyarakat. AI telah menjadi penyakit endemik pada populasi unggas Indonesia, yang mencakup lebih dari 40 juta burung pada kawanan komersial dan halaman belakang rumah warga. Selama lima tahun terakhir, AI telah menyebar ke 31 dari 33 provinsi dan menyebabkan sekitar 10 juta kematian unggas dalam setahun. Virus HPAI oleh H5N1 sudah terjadi secara endemis pada perunggasan Indonesia (Songserm et al. 2006). Oleh karena itu, Indonesia melakukan upaya penanganan AI berupa 9 (sembilan) langkah strategis, yang salah satunya adalah peningkatan biosekuriti (Kementan RI 2009). Biosekuriti menjadi garda terdepan dalam upaya mencegah dan mengendalikan penyakit di peternakan unggas. Para peternak peternak yang menjadi hulu dalam sistem rantai pasar didorong untuk membuat rencana manajemen risiko dan mengimplementasikan di peternakannya dengan sungguh– sungguh. Pada kenyataannya, kondisi di lapangan sangat jauh dari ideal. Banyak permasalahan yang menjadi hambatan sehingga penanggulangan AI sulit mencapai hasil yang diinginkan. Isolasi peternakan/daerah bebas AI masih sulit dilakukan. Tingkat keberhasilan vaksinasi AI saat ini sangat bervariasi. Biosekuriti cenderung diperlonggar karena memerlukan biaya yang tinggi. Kontrol lalu lintas unggas, produk asal unggas, produk sampingan (khususnya kotoran) sulit dilakukan. Kesadaran peternak untuk ikut mencegah perluasan kasus AI cenderung menurun.
2 Di dalam praktek produksi unggas dan tataniaga banyak tahapan yang bisa menjadi faktor risiko penyebaran penyakit sehingga perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut untuk dapat mengeliminasi risiko atau mengurangi risiko. Salah satu cara untuk mengeliminasi risiko atau mengurangi risiko penyebaran AI adalah dengan melakukan identifikasi rantai pasokan unggas serta manajemen dan pengendalian risiko rantai pasok terkait kasus AI. Faktor yang perlu menjadi perhatian meliputi proses beternak, sistem, sumber daya manusia (SDM), dan kejadian di luar perusahaan. Sedangkan pelaku yang perlu diperhatikan adalah perusahaan inti, peternak, dan ritel yang berperan dalam rantai pasokan unggas. Menurut laporan Ditjennak (2014), salah satu propinsi tertular AI dengan populasi unggas air tertinggi di Indonesia adalah propinsi Jawa Barat. Kematian unggas air per Januari 2014 di Jawa Barat mencapai 40914 ekor dengan Kabupaten tertular diantaranya adalah Bandung Barat, Ciamis, Banjar, Kota Bandung, Indramayu dan Sukabumi. Perumusan Masalah Masalah-masalah yang dianalisis dan diselesaikan dalam penelitian ini dirangkum dalam beberapa hal, yaitu: 1. Bagaimana mekanisme rantai pasokan unggas di Kabupaten Bandung? 2. Apa saja risiko-risiko yang teridentifikasi pada kegiatan rantai pasok unggas terkait kasus AI di Kabupaten Bandung? 3. Pada anggota rantai pasok manakah terletak risiko yang paling tinggi? 4. Bagaimana pengendalian risiko pada rantai pasok unggas terkait AI di Kabupaten Bandung? Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi risiko yang terjadi pada kegiatan rantai pasok unggas. 2. Menganalisis anggota rantai pasok dengan risiko tertinggi 3. Memitigasi risiko tertinggi pada rantai pasok unggas yang timbul terkait kasus AI di Kabupaten Bandung. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menjadi dasar bagi para anggota rantai pasokan unggas dalam upaya pembenahan manajemen resiko rantai pasok ayam untuk mengurangi dampak penyakit yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi. 2. Sebagai tambahan informasi dan referensi untuk penelitian selanjutnya.
3
TINJAUAN PUSTAKA Definisi Risiko dan Jenis Risiko Risiko adalah seluruh hal yang dapat mengakibatkan kerugian bagi perusahaan (Muslich 2007). Menurut Djohanputro (2008), risiko diartikan sebagai ketidakpastiaan yang telah diketahui tingkat probabilitas kejadiannya atau ketidakpastiaan yang bisa dikuantitaskan yang dapat menyebabkan kerugian atau kehilangan. Menurut Cavinato dalam Hadiguna (2010), pada dasarnya terdapat lima aliran yang bisa dianalisa dalam manajemen risiko rantai pasokan, yaitu risiko operasional, risiko finansial atau risiko keuangan, risiko informasi, risiko relasional, dan risiko inovasional. Manajemen risiko rantai pasokan pada umumnya fokus pada pada risiko operasional. Misalnya risiko dalam penerimaan pesanan, risiko dalam pembeliaan barang, risiko dalam persediaan, risiko dalam produksi, risiko dalam perencanaan, risiko dalam hubungan antara agen serta prinsipal dan beberapa kejadian lain yang sangat banyak dalam proses bisnis suatu perusahaan. Djohanputro (2004), risiko operasional adalah potensi penyimpangan dari hasil yang diharapkan karena tidak berfungsinya suatu sistem, SDM, teknologi, atau faktor lain. Risiko operasional dapat terjadi pada dua tingkatan yaitu teknis dan organisasi. Pada tataran teknis, risiko operasional dapat terjadi apabila sistem informasi, kesalahan mencatat, informasi yang tidak memadai, dan pengukuran risiko yang tidak akurat dan tidak memadai. Pada tataran organisasi, risiko operasional dapat muncul karena sistem pemantauan dan pelaporan, sistem dan prosedur, serta kebijakan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Risiko operasional dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu manusia (sumber daya manusia), teknologi, sistem dan prosedur, kebijakan, dan stuktur organisasi. Risiko operasional merupakan salah satu risiko rantai pasok. Manajemen Rantai Pasokan Ballou (2004) menyatakan rantai pasokan mencakup semua aktivitas (transportasi, pengendalian persediaan, dan sebagainya) yang membutuhkan waktu disepanjang jaringan untuk mengubah bahan baku menjadi barang jadi serta informasi yang diteruskan ke pelanggan akhir dan memiliki nilai tambah bagi pelanggan. Rantai pasok adalah cara untuk menghasilkan nilai sehingga mencapai keunggulan bersaing, yaitu nilai untuk pelanggan dan pemasok di dalam perusahaan, serta nilai untuk stakeholder perusahaan. Menurut Heizer dan Render (2004), rantai pasokan mencakup seluruh interaksi antara pemasok, manufaktur, distributor dan pelanggan. Pengelolaan rantai pasokan dikenal dengan istilah manajemen rantai pasok atau Supply Chain Management. Tang (2006) mendefinisikan manajemen rantai pasok sebagai manajemen aliran bahan, informasi, dan finansial melalui sebuah jaringan kerja organisasi (yaitu pemasok, pengolah, penyedia logistik, pedagang besar atau distributor, dan pengecer) yang bertujuan untuk memproduksi dan mengirimkan produk atau jasa untuk pelanggan.
4 Analisis Manajemen Risiko Rantai Pasokan Menurut Bredell (2004), manajemen risiko rantai pasok adalah pendekatan formal dan terstruktur pada seluruh rantai pasok, termasuk mitra rantai pasok dan aktivitas yang bersesuaian dengan tujuan untuk mengenali, mengeksplorasi, menganalisis, mengevaluasi, memperlakukan, mengawasi, meninjau kembali dan mengkomunikasikan risiko rantai pasok yang berhubungan dengan setiap kegiatan rantai pasok, fungsi atau proses sedemikian sehingga memungkinkan perusahaan meminimalisasi kerugian dan memaksimalkan peluang atau kesempatan. Menurut Hallikas et al. (2004), proses manajemen risiko yang umum terjadi pada suatu perusahaan terdiri dari empat kegiatan utama yaitu identifikasi risiko, pengkajian risiko, pengambilan keputusan dan implementasi pada kegiatan manajemen risiko dan pengawasan risiko. Identifikasi risiko. Dengan mengidentifikasi risiko, pengambil keputusan risiko menjadi memahami tentang kejadian atau fenomena yang menyebabkan ketidakpastian. Fokus utama dari identifikasi risiko adalah mengenali ketidakpastian yang akan terjadi agar dapat mengendalikan skenario ini secara proaktif. Pengkajian risiko. Pengkajian risiko dan memprioritaskannya diperlukan agar dapat memilih tindakan manajemen yang sesuai terhadap faktor-faktor risiko yang terindikasi berdasarkan situasi dan kondisi perusahaan. Keputusan dan implementasi tindakan manajemen risiko. Keputusan dan implementasi tindakan manajemen risiko, sangat diperlukan untuk menggunakan metode manajemen yang dapat memastikan pencegahan secara parsial atau total terhadap risiko yang akan terjadi atau pada saat terjadinya kegagalan, dilakukan dengan mengurangi akibatnya terhadap pengoperasian rantai pasok. Sebuah manajemen mampu menilai risiko dengan melakukan pengelompokan risiko. Menurut Djohanputro (2004), pemetaan risiko pada prinsipnya merupakan pola penyusunan risiko berdasarkan kelompok-kelompok tertentu sehingga manajemen dapat mengidentifikasi karakter masing-masing risiko dan menetapkan tindakan yang sesuai terhadap masing-masing risiko. Peta risiko dapat dilihat pada gambar 1. Tinggi
Rendah
Risiko II Risiko berbahaya yang jarang terjadi
Risiko I Mengancam pencapaian tujuan perusahaan Risiko IV Risiko III Risiko tidak Risiko yang terjadi berbahaya secara rutin Rendah Tinggi Probabilitas
Gambar 1 Diagram pemetaan risiko (Djohanputro 2004) Teknik Penilaian Risiko dan Pengambilan Keputusan Menurut Hadiguna (2010), proses pengambilan keputusan yang melibatkan pendapat atau penilaian pakar berdasarkan kriteria jamak dikenal dengan istilah
5 Multi Expert-Multi Criteria Decision Making (ME-MCDM), yaitu teknik penggabungan seluruh pendapat pakar atau ahli secara keseluruhan sehingga penyelesaian yang paling diterima adalah hasil kelompok secara keseluruhan. Salah satu alat (metode) yang dapat dipakai oleh pengambil keputusan untuk bisa memahami kondisi suatu sistem dan membantu didalam melakukan prediksi dan pengambilan keputusan adalah Analytic Hierarchy Process (AHP) (Fewidarto 1996). Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu teknis analisis keputusan dengan menggunakan perbandingan berpasangan dalam suatu diagram bertingkat yang umumnya dimulai dari tujuan (sasaran), kemudian kriteria level pertama, lalu sub kriteria dan seterusnya (Santoso 2005). Avian Inflenza (AI) Avian Influenza (AI) atau yang lebih dikenal dengan flu burung disebabkan oleh virus influenza tipe A. Virus influenza termasuk famili Orthomyxoviridae. Virus influenza tipe A dapat berubah-ubah bentuk (Drift, Shift), dan dapat menyebabkan epidemi dan pandemi. Virus influenza tipe A terdiri dari Hemaglutinin (H) dan Neuramidase (N), kedua huruf ini digunakan sebagai identifikasi kode subtipe flu burung yang banyak jenisnya. Pada manusia hanya terdapat jenis H1N1, H2N2, H3N3, H9N2, H1N2, H7N7. Sedangkan pada hewan H1-H5 dan N1-N9. Strain yang sangat virulen/ganas dan menyebabkan flu burung adalah dari subtipe A H5N1 (Kemenkes RI 2005). Virus AI dapat menyebar dengan cepat di antara populasi unggas dengan kematian tinggi. Penyakit ini menular dengan melalui beberapa cara, yaitu antarternak unggas, ternak-manusia, dan antar-manusia (Yudhastuti dan Sudarmaji 2006). Penyakit Avian Influenza (AI) sangat berbahaya karena menyebabkan kematian unggas secara mendadak dan menyebar secara cepat. Penyakit ini dapat menyerang semua jenis ternak unggas termasuk ayam lokal, dan yang lebih menakutkan lagi bahwa AI dapat menular pada manusia dan menyebabkan kematian (Zainuddin dan Wibawan 2008). Selain mengakibatkan kematian, kejadian wabah AI juga memberikan dampak yang besar di berbagai sektor, diantaranya industri dan peternakan rakyat. Virus AI menyerang industri unggas di Indonesia tahun 2003 telah memberikan dampak ekonomi yang sangat luas. Angka kematian unggas mencapai 6-10 juta ekor dan terjadi penurunan produksi daging dan telur hingga 30-40%. Kematian unggas dan penurunan produksi telur dan daging mengakibatkan menurunnya permintaan telur dan daging. Kerugian besar juga terjadi pada pembibit yang dalam produksi DOC untuk ekspor dan pasar dalam negeri terpaksa menganggur (Basuno 2008).
METODE Waktu dan Tempat Penelitian dimulai pada Bulan Juli 2013 sampai dengan September 2013. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
6
Tahap-tahap Penelitian Tahap-tahap penelitian yang dilakukan diantaranya: 1. Mempelajari sistem rantai pasokan unggas. 2. Pengumpulan data menggunakan observasi dan wawancara menggunakan kuisioner kepada anggota rantai pasokan yakni peternak rakyat (sektor 3), perusahaan inti, dan pengelola rumah potong hewan unggas (RPHU). 3. Pengolahan data untuk mengidentifikasi rantai pasokan unggas dan identifikasi risiko dengan analisis deskriptif. 4. Pengukuran risiko berdasarkan nilai modus frekuensi dan dampak risiko dari beberapa orang yang dianggap pakar (ahli) dalam menentukan besar kemungkinan terjadinya suatu risiko dan dampaknya bagi perusahaan inti. Hasil agregasi penilaian peternak ahli yang berdasarkan nilai modus kemudian dijadikan dasar untuk penyusunan pemetaan risiko operasional dalam peta kuadran risiko (risk mapping biplot) menggunakan SPSS 16.0. Masing-masing nilai modus dipetakan dalam peta kuadran risiko yang terdiri dari empat kuadran. Kuadran risiko dapat dilihat pada Gambar 1.
Ukuran 1 2 3 4 5
Tabel 1 Frekuensi Tidak pernah terjadi Jarang terjadi Cukup sering terjadi Sering terjadi Sangat sering terjadi
Skala penilaian risiko Dampak Tidak berpengaruh terhadap penurunan mutu produk Kurang berpengaruh terhadap penurunan mutu produk Cukup berpengaruh terhadap penurunan mutu produk Berpengaruh terhadap penurunan mutu produk Sangat berpengaruh terhadap penurunan mutu produk
Label SR (Sangat Jarang) R (Jarang) S (Sedang) T (Tinggi) ST (Sangat Tinggi)
5. Penilaian risiko menggunakan teknik Non-Numeric Multi-Expert Multi Criteria Decision Making (ME-MCDM) dan metode Analytic Hierarchy Process (AHP). Tahapan penelitian dapat dilihat pada gambar 2. Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan adalah data yang diperoleh langsung dengan cara observasi atau pengamatan, wawancara dengan pengisian kuesioner kepada pelaku rantai pasok yaitu perusahaan inti, peternak unggas, distributor, dan pemilik Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU).
7 Metode Pengambilan Sampel Pengambilan sampel berdasarkan non probability sampling dimana pengumpulan informasi dan pengetahuan dari beberapa orang yang dianggap pakar dalam menilai besar peluang (probability) dan dampak yang terjadi dari suatu risiko dengan menggunakan metode purposive sampling untuk menentukan pakar yang dilibatkan dalam penelitian. Pertimbangan-pertimbangan yang digunakan untuk menentukan pakar adalah kesesuaian pendidikan pakar, pengalaman pakar dan track record kepakarannya. Prosedur Analisis Data Tahap penilaian risiko dilakukan dengan menggunakan teknik Non-Numeric Multi-Expert Multi Criteria Decision Making (ME-MCDM) dengan agregasi penilaian menggunakan metode Analitical Hierarchy Process (AHP) berbasis pada SCOR level 1. Pemetaan hasil agregasi risiko menilai risiko dan dampaknya dipetakan dalam peta kuadran risiko (risk mapping biplot). Analisis risiko rantai pasokan ayam broiler Pengumpulan data Identifikasi rantai pasokan ayam broiler dengan wawancara
Analisis risiko
Input data
Penilaian risiko dengan teknik MCDM dan metode AHP
Analisis deskriptif rantai pasokan ayam broiler
Pengukuran dan pemetaan risiko
Perumusan mitigasi risiko
Simpulan dan saran Gambar 2 Tahapan penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Rantai Pasokan Unggas di Kabupaten Bandung Secara geografis wilayah Kabupaten Bandung terletak di wilayah dataran tinggi pada koordinat 1070 22'-1080 50' Bujur Timur dan 60 41' - 70 19' Lintang
8 Selatan. Luas wilayah keseluruhan Kabupaten Bandung 176 238.67 Ha, sebagian besar wilayah Bandung berada diantara bukit-bukit dan gunung-gunung yang mengelilingi Kabupaten Bandung. Jumlah penduduk Kabupaten Bandung menurut data BPS pada tahun 2010 adalah sekitar 3 215 548 jiwa (Kemendagri 2011). Sementara itu menurut data BPS (2013), jumlah populasi unggas di Kabupaten Bandung tercatat sebanyak 1 863 970 ekor ayam buras, 414 930 ekor ayam petelur, 2 443 390 ekor ayam pedaging, dan 389 739 ekor itik. Anggota rantai pasokan unggas di Kabupaten Bandung terdiri dari peternak, pedagang besar, pedagang eceran, supermarket/restoran, rumah potong hewan unggas (RPHU), dan perusahaan inti. Ilustrasi gambar rantai pasokan unggas di Kabupaten Bandung dapat dilihat pada Gambar 3. Restoran/ supermarket
Konsumen
Peternak mitra
Perusahaan inti
RPHU
Pedagang eceran
Pedagang besar
Ke luar wilayah Bandung
Keterangan: Aliran produk Aliran uang Aliran informasi
Pengawasan
Gambar 3 Ilustrasi rantai pasokan unggas di Kabupaten Bandung Perusahaan inti merupakan produsen besar yang melakukan kemitraan dengan menjalin kerja sama dengan peternak plasma. Perusahaan inti bertindak sebagai pemodal yang menyiapkan dana awal untuk berbagai fasilitas dalam peternakan, seperti bibit (DOC), pakan, vitamin, dan obat-obatan. Peternak mitra yang bekerja sama dengan perusahaan inti tidak dapat mengambil keputusan sendiri tentang perencanaan usaha serta menentukan fasilitas perkandangan, jenis dan jumlah ternak yang akan digunakan, saat penebaran DOC, manajemen produksi, serta tempat dan harga penjualan hasil produksi. Dalam kerja sama kemitraan, pihak inti menyediakan sarana produksi dengan harga kontrak, sedangkan peternak mitra hanya merupakan pelaksana yang bertugas menjalankan peternakan dengan menyediakan tanah, kandang, tenaga kerja, dan menjaga agar ayam tetap sehat dan dapat dipanen tepat waktu. Distribusi unggas hidup yang siap jual ke RPHU dan pedagang besar dikoordinir oleh perusahaan inti dan dijual ke pedagang besar yang akan mendistribusikan produk unggas baik berupa unggas hidup maupun karkas di Kabupaten Bandung dan juga ke luar wilayah seperti DKI Jakarta dan sekitarnya. Menurut Ditjennak (2008), sebagian besar peternak memilih bekerja sama dengan perusahaan ini disebabkan alasan kekurangan modal, dapat mengurangi risiko kegagalan, memperoleh jaminan penghasilan, jaminan pasar, dan jaminan pasokan
9 ternak, memanfaatkan kandang, serta mendapat bimbingan teknis dan advokasi tentang pengelolaan ayam. Seluruh anggota dalam kegiatan rantai pasok unggas memiliki kemungkinan persebaran virus AI sangat besar. Menurut Sudarman et al. (2008) peternak tradisional, pekerja di tempat pemotongan ayam, pedagang pengumpul dan penampung kotoran unggas mempunyai risiko tinggi tertular virus AI. Hal ini dikarenakan peternak, pekerja, petugas pemotongan unggas, tidak memiliki pengetahuan yang memadai dalam mengenali HPAI, penggunaan disinfektan, pembuangan unggas mati dan pelaporan dugaan kasus HPAI. Menurut Sudarman et al. (2010), setiap aktor dalam rantai nilai unggas yang menangani unggas hidup atau baru mati harus mampu mengenali HPAI jika terjadi kasus dan tanggap serta mampu mengambil tindakan yang tepat waktu untuk melaporkan penyakit kejadian tersebut kepada pihak yang berwenang. Rendahnya penerapan praktek biosekuriti oleh peternak, pekerja kandang, petugas pemotongan unggas, dan pedagang pengumpul kotoran hewan (nyaris tanpa biosekuriti) merupakan faktor yang mempengaruhi risiko penyebaran AI. Di RPHU sendiri, tingginya penyebaran AI disinyalir disebabkan oleh volume besar unggas hidup disembelih, pencampuran burung dari sumber yang berbeda, tapi tetap untuk jangka waktu pendek; biosekuriti yang beragam; potensi kontaminasi transportasi dan pembuangan yang buruk; dan pengaruh terbatas dari aktor-aktor lain. Suartha et al. (2010) melaporkan bahwa pedagang unggas berkontribusi tinggi dalam penyebaran flu burung karena belum melakukan program biosekuriti secara menyeluruh ditinjau dari pengumpulan unggas sebelum dijual, pencampuran jenis unggas, pencucian keranjang unggas dan desinfeksi keranjang unggas. Aliran produk mengalir dari peternak-perusahaan inti-RPHU-pedagang besar-restoran/supermarket-pedagang kecil-konsumen. Aliran uang mengalir sebaliknya, sedangkan aliran informasi mengalir dari hulu ke hilir maupun sebaliknya. Penyebaran AI dapat terjadi sepanjang aliran produk dari hulu ke hilir, namun dengan adanya aliran informasi yang berlangsung dari hulu ke hilir dan sebaliknya, penyebaran AI dapat diminimalisir dikarenakan informasi dapat disebarkan secara cepat dan memudahkan kontrol antar aliran rantai pasok sehingga dan tindakan pencegahan dan pengendalian dari masing-masing anggota rantai pasok terhadap virus dapat segera dilakukan. Jika terdapat kasus AI, maka peternak akan segera menghubungi perusahaan inti dan dinas peternakan setempat untuk segera melakukan tindakan pencegahan meluasnya penyebaran virus AI diantaranya dengan melakukan berbagai upaya untuk terus memantau kasus yang terjadi di lapangan dengan cara survei secara aktif di seluruh wilayah kerja yang ada di Kabupaten Bandung. Manajemen Risiko Rantai Pasok Unggas pada Level Perusahaan Inti Menurut Djohanputro (2008), risiko diartikan sebagai ketidakpastiaan yang telah diketahui tingkat probabilitas kejadiannya atau ketidakpastiaan yang bisa dikuantitaskan yang dapat menyebabkan kerugian atau kehilangan. Risiko juga dapat diartikan penyebaran dan atau penyimpangan dari target, sasaran, atau harapan. Risiko operasional merupakan potensi kerugian finansial yang disebabkan oleh kegagalan proses internal perusahaan, kesalahan sumber daya manusia,
10 kegagalan sistem, kerugian yang disebabkan kejadian dari luar perusahaan, dan kerugian karena pelanggaran peraturan dan hukum yang berlaku. Menurut Hallikas et al. (2004), proses manajemen risiko yang umum terjadi pada suatu perusahaan terdiri dari empat kegiatan utama yaitu identifikasi risiko, pengkajian risiko, pengambilan keputusan dan implementasi pada kegiatan manajemen risiko dan pengawasan risiko. Identifikasi Risiko Operasional Identifikasi risiko, pada tahap ini, analis berusaha mengidentifikasi apa saja risiko yang dihadapi oleh perusahaan. Perusahaan tidak selalu menghadapi seluruh risiko tersebut. Tetapi, ada risiko yang dominan dan risiko yang minor. Risiko operasional merupakan potensi kerugian finansial yang disebabkan oleh kegagalan proses internal perusahaan, kesalahan sumber daya manusia, kegagalan sistem, kerugian yang disebabkan kejadian dari luar perusahaan, dan kerugian karena pelanggaran peraturan dan hukum yang berlaku. Ada empat variabel atau faktor pemicu penyebab risiko operasional pada perusahaan inti, yaitu kegagalan proses internal, kesalahan sumber daya manusia, kegagalan sistem, dan risiko yang disebabkan kejadian dari luar perusahaan. Risiko-risiko tersebut adalah risiko rantai pasok, dimana di dalamnya terdapat aliran produk, finansial, dan aliran informasi. Tabel 2 Identifikasi risiko operasional No A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 B 1 2 3 4 5
IDENTIFIKASI RISIKO Proses Internal Kelangkaan bahan baku (benih/ DOC, pakan) Bahan baku terlambat Mutu bahan baku tidak sesuai standar Mutu peralatan (alat beternak pertanian) yang tidak sesuai standar Beternak ayam tidak sesuai dengan Good Farming Practices (GFP) Tidak menjalankan program biosekuriti Tidak melakukan vaksinasi terhadap flu burung dan melakukan pemeriksaan pasca-vaksinasi Penanganan yang kurang tepat terhadap ayam yang mati selama periode pemeliharaan Jumlah produksi ayam dari peternak tidak sesuai target Inovasi produk yang gagal (mis: kegiatan persilangan) Waktu panen ayam tidak tepat waktu Penanganan pasca panen yang tidak sesuai standar Karakteristik ayam yang mudah rusak Hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi Tindakan penggudangan yang tidak tepat Waktu pengiriman dari peternak ke perusahaan tidak tepat waktu Waktu pengiriman dari perusahaan ke ritel tidak tepat waktu Jumlah ayam yang didistribusikan ke ritel tidak sesuai Sumber Daya Manusia Peternak kurang memahami cara periode budidaya ternak yang baik Peternak tidak menerapkan beternak yang sesuai GFP Peternak kurang terampil dalam memelihara hewan ayam Kesalahan Peternak atau Pekerja (human error) (kesalahan dalam memilih DOC, pakan, obat-obatan, penggunaan alat) Peternak atau Pekerja kurang memahami penanganan pasca panen yang baik
11 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 C 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 D 1 2 3 4 5 6 7
Peternak lalai dalam memelihara ayam (kelalaian dalam pemberian obat-obatan) Kinerja/produktivitas karyawan rendah Kelalaian dalam penanganan pasca penen Peternak kurang terampil dalam mendistribusikan ayam dari kandang ke perusahaan Pegawai kurang terampil dalam mendistribusikan ayam dari perusahaan ke ritel Kesalahan dalam menasfir waktu panen ayam Peternak dan pegawai tidak peduli dengan kualitas ayam dengan baik Kesalahan dalam memilih alat distribusi ayam (kandang-perusahaan-ritel) Peternak terlambat atau tidak tepat waktu dalam mendistribusikan ayam dari kandang ke perusahaan Pegawai terlambat atau tidak tepat waktu dalam mendistribusikan ayam dari perusahaan ke ritel Karyawan tidak memahami mengenai penyakit flu burung Sistem Tidak ada sistem biosekuriti untuk pencegahan flu burung Sistem penentuan harga ayam antara pemasok-perusahaan-ritel yang tidak jelas Sistem pemesanan dan pembayaran yang kurang jelas Lokasi periode budidaya ternak kurang ideal Informasi beternak ayam yang baik masih terbatas Penerapan teknologi tidak sesuai standar (kecanggihan alat dan mesin proses beternak belum tersedia) Distorsi informasi (tidak ada jaringan komunikasi, saluran telepon yang tidak berfungsi) Sistem informasi yang kurang jelas Sistem pemantauan proses pelaksanaan di kandang ayam-perusahaan-ritel yang kurang berjalan dengan baik Sistem pelaporan pelaksanaan suatu program yang tidak berlangsung dengan baik Sistem perencanaan produksi yang tidak berjalan dengan baik SOP penerapan program perusahaan yang kurang jelas dan tegas Sistem transportasi belum memadai (mis: alat transportasi dan mekanisme transportasi) Kejadian Di Luar Perusahaan Musim kemarau dan musim hujan yang tidak menentu (efek pemanasan global) Iklim yang tidak menentu (efek pemanasan global) Fluktuasi curah hujan yang tinggi (efek pemanasan global) Bencana alam (banjir, gempa bumi) Krisis global yang menyebabkan permintaan dan harga ayam tidak stabil Peningkatan kejadian flu burung di wilayah peternakan Jarak distribusi yang terlalu jauh
Penilaian Prioritas Anggota Rantai Pasok Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu teknis analisis keputusan dengan menggunakan perbandingan berpasangan dalam suatu diagram bertingkat yang umumnya dimulai dari tujuan (sasaran), kemudian kriteria level pertama, lalu sub kriteria dan seterusnya (Santoso 2005). Kerangka umum AHP yang terdiri dari tiga level. Struktur paling atas menunjukkan tujuan utama atau ultimate goal, yaitu menentukan prioritas dari anggota rantai pasok unggas. Level pertama pada struktur hierarki menunjukkan proses kunci dari bisnis rantai pasokan, yang terdiri dari Plan (perencanaan), Source (pengadaan), Make (beternak), Process (pengolahan), dan Deliver (pengiriman).
12
Menentukan prioritas dari anggota rantai pasok unggas dalam manajemen risiko rantai pasokan terhadap AI
Plan (0.143)
Source (0.178)
Proses internal (0.291)
Peternak (0.352)
Make (0.563)
SDM (0.411)
Process (0.062)
Sistem (0.228)
Perusahaan inti (0.401)
Deliver (0.054)
Kejadian di luar perusahaan (0.069)
Ritel (0.248)
Gambar 4 Struktur hierarki penilaian prioritas anggota rantai pasok unggas dalam manajemen risiko rantai pasokan Plan (perencanaan) merupakan proses merencanakan rantai pasokan mulai dari pengadaan sumber daya rantai pasokan, merencanakan produksi, merencanakan penjualan dengan memperkirakan permintaan, merencanakan distribusi, merencanakan pengiriman, merencanakan persediaan (inventory), hingga merencanakan saluran penjualan khususnya terhadap masalah AI. Source (pengadaan) berkaitan pengadaan bahan baku dan pelaksanaan outsource. Proses ini meliputi komunikasi, negosiasi, penerimaan barang, inspeksi dan verifikasi, hingga pembayaran barang kepada pemasok. Make (beternak) merupakan proses produksi ayam yang membutuhkan ketersediaan sarana produksi baik kandang, benih, pakan, irigasi, dan lain-lain khususnya terhadap masalah AI. Process (pengolahan) merupakan lanjutan dari kegiatan kegiatan beternak karena produk yang dihasilkan dari beternak akan diproses dan diolah dalam kegiatan beternak khususnya terhadap masalah AI. Kegiatan ini meliputi kegiatan sortasi, pengemasan, pelabelan, dan persiapan pengiriman. Deliver (pengiriman) adalah proses bisnis yang melibatkan pergerakan fisik dari ayam yang berada dalam satu jalur rantai pasok khususnya terhadap masalah Flu burung. Manajemen pengiriman barang didahului dengan komunikasi pendahuluan terutama informasi harga, jumlah, kualitas, dan frekuensi yang harus dikirim. Proses tawar menawar dan negosiasi sering dilakukan dalam proses ini. Level ke dua pada struktur hierarki menunjukkan risiko operasional rantai pasokan yang dibedakan menjadi tiga bagian yaitu risiko yang disebabkan proses internal, sumber daya manusia (SDM), sistem, dan kejadian di luar perusahaan. Level ke tiga pada struktur hierarki menunjukkan alternatif prioritas dari anggota rantai pasokan unggas, yaitu peternak, perusahaan inti, dan ritel. Hasil dari analisis
13 ini (ditunjukkan oleh Gambar 4) akan digunakan sebagai dasar dalam menentukan prioritas anggota rantai pasok unggas dan risiko rantai pasok unggas yang akan ditelaah secara mendalam sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan mitigasi risiko. Berdasarkan hasil kuesioner pakar dengan menggunakan AHP diperoleh perbandingan berpasangan antara tujuan utama sebagai kontrol dan kriteria (proses bisnis), akan dilihat yang memiliki pengaruh yang paling besar. Berdasarkan hasil pengolahan prioritas faktor dalam proses rantai pasok, Make (beternak) mempunyai nilai prioritas paling tinggi, yaitu sebesar 0.563 sehingga dapat disimpulkan bahwa proses beternak memiliki pengaruh paling besar diantara keempat proses yang lain. Hasil ini sangat relevan dengan kondisi di lapangan bahwa penanggulangan kasus AI pertama kali dilakukan pada saat proses beternak di peternakan. Beternak adalah faktor penentu terhadap kelangsungan rantai pasok. Pada proses produksi ayam, ketersediaan sarana produksi baik kandang, benih, pakan, irigasi, dan segala kegiatan dipersiapkan dengan baik, termasuk penanganan terhadap masalah AI. Jika terdapat kasus AI, maka peternak akan segera menghubungi perusahaan inti dan dinas peternakan setempat untuk segera melakukan tindakan pencegahan meluasnya penyebaran virus AI. Pemerintah Kabupaten Bandung sendiri sejak tahun 2003 saat pertama kali diketahui adanya wabah AI di Kabupaten Bandung maka Dinas Pertanian semakin waspada terhadap kejadian tersebut dan melakukan berbagai upaya untuk terus memantau kasus yang terjadi di lapangan. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan melakukan survai secara aktif di seluruh wilayah kerja yang ada di Kabupaten Bandung. Faktor Deliver (Pengiriman)
0,054
Process (Pengolahan)
0,062
Make (beternak)
0,563
Source (Pengadaan)
0,178
Plan (Perencanaan) 0,000
0,143 0,100
0,200
0,300
0,400
0,500
0,600
Gambar 5 Hasil perbandingan bobot faktor rantai pasok Berdasarkan hasil pembobotan terhadap prioritas risiko operasional, risiko yang terkait kegagalan akibat SDM mempunyai nilai prioritas paling tinggi yaitu, sebesar 0.411 sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa risiko yang diakibatkan oleh sumberdaya manusia memiliki pengaruh paling besar atau penting diantara ketiga risiko lain. Kejadian kasus AI di wilayah peternakan sangat dipengaruhi oleh kemampuan SDM peternak dalam proses budidaya ternak yang baik dan sesuai dengan Good Farming Practices (GFP). AI terutama yang bersifat ganas atau yang lebh dikenal dengan Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI), dapat menyebar cepat antara kandang, menyerang berbagai organ tubuh unggas, dan kematian
14 mencapai 100% dalam waktu 48 jam. Apabila peternak tidak memiliki pengetahuan mengenai cara ternak yang baik dan sesuai dengan GFP serta kemampuan mengenali gejala klinis infeksi AI, maka risiko terhadap penularan AI dapat terjadi secara cepat dan menimbulkan kerugian yang cukup besar. Menurut OIE dan FAO (2009), GFP merupakan panduan kepada seluruh stakeholders, termasuk peternak dan pemerintah untuk sepenuhnya memikul tanggung jawab mereka pada tahap produksi ternak untuk menghasilkan makanan yang aman. Praktek pertanian yang baik juga harus menangani masalah lingkungan sosial ekonomi, kesehatan hewan dan dengan cara yang koheren.
Risiko Operasional Kejadian di Luar Perusahaan
0,069
Sistem
0,228
SDM
0,411
Proses Internal 0,000
0,291 0,100
0,200
0,300
0,400
0,500
Gambar 6 Hasil perbandingan bobot risiko operasional rantai pasok Berdasarkan hasil pengolahan prioritas pelaku, perusahaan inti mempunyai nilai prioritas paling tinggi, yaitu sebesar 0.401 sehingga perusahaan inti memiliki pengaruh paling besar atau penting diantara ketiga anggota rantai pasok unggas. Perusahaan inti merupakan pemodal yang menyiapkan dana awal untuk berbagai fasilitas dalam peternakan, seperti bibit (DOC), pakan, vitamin, dan obat-obatan sehingga jika terjadi kasus AI, perusahaan inti mempunyai kecenderungan menanggung risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan aktor yang lain di dalam rantai pasok unggas di Kabupaten Bandung. Pelaku Ritel
0,248
Perusahaan inti
0,401
Peternak 0,000
0,352 0,100
0,200
0,300
0,400
0,500
Gambar 7 Hasil perbandingan bobot pelaku rantai pasok
15 Pemetaan Risiko Operasional pada Level Perusahaan Inti Merujuk pada hasil analasis risiko menggunakan AHP dengan hasil prioritas anggota rantai pasok adalah perusahaan inti, maka dilakukan pengukuran dan pemetaan risiko operasional pada perusahaan inti yang meliputi SDM, proses internal, sistem, dan kejadian di luar perusahaan. Pengukuran risiko mengacu pada dua faktor yaitu faktor kuantitas risiko dan faktor kualitas risiko. Kuantitas risiko terkait dengan berapa banyak nilai, atau eksposur yang rentan terhadap risiko. Kualitas risiko terkait dengan kemungkinan suatu risiko muncul. Semakin tinggi kemungkinan risiko terjadi, semakin tinggi pula risikonya. Pengukuran risiko dilakukan dengan menentukan dampak dan frekuensi dari masing-masing peubah. Pengukuran risiko berdasarkan nilai modus frekuensi dan dampak risiko dari responden. Masing-masing nilai modus peubah risiko dipetakan pada peta risiko yang terdiri dari empat kuadran. Kuadran risiko I merupakan kuadran risiko dengan frekuensi tinggi dan dampak tinggi. Risiko ini mempunyai potensi mengancam pencapaian tujuan perusahaan. Kuadran risiko II merupakan kuadran risiko dengan frekuensi rendah dan dampak tinggi. Kuadran risiko III merupakan kuadran risiko dengan frekuensi tinggi dan dampak rendah. Frekuensi risiko tersebut cenderung sering, tetapi dampaknya tidak terlalu besar. Meskipun demikian, pemicu-pemicu risiko tersebut harus dikelola, agar tidak menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Kuadran IV merupakan kuadran risiko frekuensi rendah dan dampak rendah. Keterangan pemetaan risiko operasional dapat dilihat pada tabel identifikasi risiko (Tabel 2).
Gambar 8 Diagram pemetaan risiko operasional terkait SDM Risiko sumber daya manusia ditunjukkan oleh Gambar 8. Risiko yang berada di kuadran 1 diantaranya adalah kesalahan dalam memilih alat distribusi ayam (kandang-perusahaan-ritel) dan peternak tidak menerapkan beternak yang sesuai dengan GFP. Contoh kesalahan dalam memilih alat distribusi ayam dari kandang ke perusahaan dan ritel adalah mengangkut ayam dengan menggunakan mobil bak terbuka. Penggunaan mobil dengan bak terbuka akan meningkatkan risiko penyebaran agen penyakit seperti AI ke lingkungan atau sebaliknya.
16
Gambar 9 Diagram pemetaan risiko operasional terkait proses internal Risiko proses internal yang sering terjadi dan memiliki dampak tinggi ditunjukkan oleh kuadran 1 Gambar 9, yaitu hasil panen yang memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, kelangkaan bahan baku (DOC, pakan), waktu panen ayam yang tidak tepat waktu, dan waktu pengiriman dari peternak ke perusahaan yang tidak tepat waktu. Ketiga risiko di atas dapat berhubungan dikarenakan apabila terjadi kelangkaan bahan baku (DOC, pakan), maka perusahaan akan membeli DOC dan pakan dari beberapa perusahaan lain penyedia dengan kualitas yang berbeda. Perbedaan kualitas ini akan menyebabkan ukuran produk yang bervariasi sehingga waktu panen ayam tidak tepat waktu. Ayam broiler akan dipanen ketika sudah mencapai umur empat minggu dan bobot 1.8 kg. Apabila dalam empat minggu bobot ayam belum mencapai 1.8 kg, maka diperlukan waktu yang lebih lama untuk memanen ayam sehingga waktu pengiriman dari peternak ke perusahaan yang tidak tepat waktu. Apabila waktu panen ayam tidak tepat waktu, peternak akan mengurangi waktu pembersihan kandang yang seharusnya dua minggu sehingga kandang tidak sepenuhnya bersih sebelum dimasukkan DOC baru sehingga meningkatkan risiko penyebaran penyakit seperti AI. Pembersihan dan disinfeksi memainkan peranan yang sangat vital dalam mengeliminasi patogen dari lingkungan dan mengontrol penyebaran penyakit. Melakukan tindakan disinfeksi terhadap kandang penampungan, peralatan kandang, dan lingkungan sekitar kandang selama periode kosong kandang diperlukan untuk menginaktivasi virus AI. Untuk mempermudah tindakan disinfeksi terhadap kandang penampungan, peralatan kandang dan area sekitar kandang secara optimal diperlukan kios yang permanen (Arzey 2007). Menurut Kemenkes RI (2005), sangatlah penting melakukan pembersihan dan disinfeksi bahan-bahan yang terkontaminasi dengan detergen dan disinfektan yang direkomendasikan. Virus flu burung dapat mati dengan detergent, desinfektan misalnya formalin, serta cairan yang mengandung iodine. Menurut Sudarman et al. (2010), desinfeksi merupaka praktek kunci untuk meningkatkan biosekuriti dan mengurangi penyebaran AI. Tidak ada risiko yang mengancam perusahaan pada Gambar 10, namun kejadian yang jarang terjadi tetapi berdampak besar terdapat pada kuadran II, yaitu Sistem penentuan harga ayam antara pemasok-perusahaan-ritel yang tidak jelas,
17 informasi beternak ayam yang baik masih terbatas, sistem perencanaan produksi yang tidak berjalan dengan baik, SOP penerapan program perusahaan yang kurang jelas dan tegas, dan sistem transportasi belum memadai (misal alat transportasi dan mekanisme transportasi).
Gambar 10 Diagram pemetaan risiko operasional terkait sistem Gambar 11 menunjukkan risiko yang disebabkan oleh kejadian di luar perusahaan. Risiko yang terdapat pada kuadran I adalah risiko akibat fluktuasi curah hujan yang tinggi sebagai akibat dari pemanasan global. Pengaruh perubahan pola hujan dan iklim ekstrim terhadap ternak belum banyak dipelajari. Pengaruh langsung dampak perubahan iklim terhadap ternak adalah pertumbuhan yang tidak optimal dan stres. Dampak perubahan pola curah hujan dan iklim ekstrim terhadap ternak terjadi akibat dinamika dan pola distribusi penyakit hewan (OPH). Perubahan pola curah hujan, kelembaban, dan gas di atmosfer mempengaruhi pertumbuhan tanaman, jamur, serangga, dan interaksinya dengan host. Penyakit hewan cenderung meningkat pada musim hujan dan/atau iklim basah. Peluang kontaminasi berbagai penyakit bawaan ternak dari tanaman pakan lebih besar pada musim hujan, seperti jamur aflatoksin pada kacang tanah, gandum, jagung, dan beras. Oleh sebab itu, perubahan iklim juga akan mempengaruhi produktivitas ternak akibat penyakit menular (Kementan 2011). Menurut Medion (2010), curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan tingkat stres ayam meningkat, dikarenakan suhu kandang cukup ekstrim. Dalam kondisi yang stres, kekebalan ayam akan menurun sehingga bibit penyakit akan mudah masuk. Selain itu, tingkat stres yang tinggi juga menyebabkan program vaksinasi tidak berjalan optimal karena kemampuan hewan menghasilkan antibodi menurun. Sedangkan menurut Bahri dan Safriati (2011), pemanasan global dan perubahan iklim dapat berpengaruh langsung kepada spesies hewan sebagai hospes utama, antara lain timbulnya stres sehingga hewan menjadi peka terhadap infeksi suatu agen patogen, sehingga akan muncul gejala penyakit. Pengaruh langsung juga dapat terjadi pada hospes utama berupa burung yang biasa bermigrasi karena mengikuti musim. Unggas yang bermigrasi dan membawa agen patogen seperti virus H5N1 dalam tubuhnya sebagai reservoar, dapat menularkan penyakit AI di lokasi yang baru.
18
Gambar 11 Diagram pemetaan risiko operasional terkait kejadian di luar perusahaan Pengendalian Risiko Tertinggi Rantai Pasok Pengendalian risiko berupa mitigasi risiko dan rencana kontingensi melibatkan pengembangan tindakan risiko respon berencana untuk mengendalikan risiko (Schoenherr 2001). Penentuan tindakan yang tepat untuk dilakukan dalam manajemen risiko rantai pasok mengacu pada hasil identifikasi dan evaluasi risiko rantai pasok yang telah dilakukan sebelumnya. Beberapa tindakan pengendalian risiko yang dijelaskan dalam bagian ini merupakan proses mitigasi yang dapat dilakukan berdasarkan risiko yang memiliki frekuensi dan dampak yang besar (berada pada kuadran 1) serta memiliki prioritas risiko terbesar yaitu risiko operasional pada perusahaan inti. Tabel 3 Upaya mitigasi risiko kuadran 1 Faktor Proses Internal
Risiko Kelangkaan bahan (benih/ DOC, pakan)
baku
Jumlah produksi ayam dari peternak tidak sesuai target
SDM
Waktu panen ayam tidak tepat waktu Waktu pengiriman dari peternak ke perusahaan tidak tepat waktu Peternak tidak menerapkan beternak yang sesuai dengan
Mitigasi Mengadakan perjanjian dengan perusahaan penyedia DOC untuk mengatur target penyediaan DOC setiap masa produksi Memperbaiki kualitas kandang; memberikan pakan, obat-obatan, vaksin, dan vitamin yang berkualiats untuk mengurangi penyakit sehingga produksi ayam stabil Menyusun target umur ayam yang akan dipanen, bukan hanya target berat badan sehingga waktu panen ayam setiap siklus produksi sama dan tepat waktu dalam pengiriman ke perusahaan Memberikan penyuluhan kepada peternak untuk meningkatkan keterampilan, pengetahuan dalam
19 Good Farming (GFP)
Practices mengenali hewan yang terserang virus AI, dan informasi untuk menangani penyebaran virus AI Kesalahan dalam memilih Menggunakan alat distribusi yang alat distribusi ayam tertutup (mobil box) yang memiliki (kandang-perusahaan-ritel) sirkulasi udara tertutup yang dapat mengurangi tersebarnya virus ke lingkungan yang dilalui sepanjang alur distribusi Fluktuasi curah hujan yang Mengurangi stres pada ayam dengan Kejadian tinggi (efek pemanasan mengubah sistem kandang litter menjadi di luar kandang panggung atau kandang modern perusahaan global) yang tertutup yang memiliki sirkulasi udara dan pengatur suhu yang baik; meningkatkan performa ayam dengan pemberian multivitamin untuk meningkatkan kekebalan tubuh ayam dan pemberian vaksin yang tepat waktua Krisis global yang Pemerintah seharusnya menciptakan menyebabkan permintaan sistem informasi harga dan pasar dan harga ayam tidak stabil yang up to date (terbaru) dan dapat
diakses oleh semua pihak termasuk peternak; meningkatkan daya saing produk, baik yang ditawarkan di pasar basah (tradisional) atau pun di pasar-pasar modern yang berbasis sistem pemasaran rantai dinginb Jarak distribusi yang terlalu Menggunakan alat distribusi yang jauh tertutup (mobil box) yang memiliki sirkulasi udara tertutup a
Sumber: Medion (2010). b Sumber: Daryanto (2010).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Adapun beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah: 1. Rantai pasok unggas di Kabupaten Bandung terdiri dari peternak yang bertugas melaksanakan kegiatan peternakan, perusahaan inti sebagai produsen dan pemodal, RPHU, pedagang besar, dan pedagang eceran. Aliran produk mengalir dari peternak-perusahaan inti-RPHU-ritel (pedagang besar, restoran/supermarket, pedagang kecil)-konsumen, sedangkan aliran uang mengalir sebaliknya dan aliran informasi mengalir dari hulu ke hilir maupun sebaliknya. 2. Hasil AHP terkait kasus AI adalah prioritas faktor rantai pasok adalah make (0.563) dan prioritas anggota rantai pasok adalah perusahaan inti (0.401), dengan risiko operasional yang memiliki prioritas terbesar adalah sumber daya manusia (SDM) dengan bobot 0.411.
20 3. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam mitigasi risiko. Untuk mengatasi penyebaran AI akibat proses beternak yang dilakukan tidak sesuai dengan Good Farming Practices (GFP), maka tindakan pengendalian risiko dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan kepada peternak untuk meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan informasi untuk menangani penyebaran virus AI. Saran Saran tindak lanjut dari penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap pengembangan model sistem kelembagaan yang dapat mengimplementasikan manajemen risiko rantai pasok khususnya dalam rangka penyeimbangan risiko dalam jaringan rantai pasok terkait kasus AI sehingga dampak penyebaran virus AI dapat diminimalisir.
DAFTAR PUSTAKA Akoso BT. 2004 . Peran Karantina dalam pengawasan lalu lintas unggas dalam upaya mencegah penyebaran penyakit Avian Influenza (AI). Seminar Nasional Perdagangan Komoditi Peternakan dan Upaya Penanggulangan Penyebaran Penyakit Unggas. 2004 Mei 18; Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID): Poultry Indonesia. hlm 27-38. Arzey G. 2007. NSW Biosecurity Guidelines for Free Range Poultry Farms [Internet]. [diunduh 2014 Jan 09]. http://www.dpi.nsw.gov.au. Bahri S, Syafriati T. 2011. Mewaspadai munculnya beberapa penyakit hewan menular stategis di Indonesia. Wartazoa 21(1): 25-39. Ballou RH. 2004. Business Logistic: Supply Chain Management Strategy, planning, and operation. 5th Ed. New Jersey (US): Pearson Prentice Hall. Basuno E. 2008. Review Dampak Wabah dan Kebijakan Pengendalian Avian Influenza di Indonesia. Dalam Analisis Kebijakan Pertanian, 6(4): 314-334. Bogor (ID): Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Pertanian KBDA 2013 [Internet]. [diunduh 2014 Sep 02]. Tersedia pada: http://bandungkab.bps.go.id/subyek/pertanian-kbda2013. Daryanto A. 2010 Sep 01. Strategi Meminimalisir Fluktuasi Harga Broiler. Majalah Trobos. Kolom dan Opini. Dharmayanti INLP, Damayanti R, Indriani R, Wiyono A, Adjid RMA. 2005. Karakterisasi Molekular Virus Avian Influenza Isolat Indonesia. J Ilmu Ternak dan Veteriner 10(2) : 127-133. [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2008. Penerapan biosekuriti pada peternakan ayam broiler di Kabupaten Bogor [Internet]. [diunduh 2014 Sep 02]. Tersedia pada: http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/wr326108.pdf. [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2014. Laporan Bulanan Perkembangan Kasus Avian Influenza (AI) pada Unggas Kondisi s/d 31 Januari 2014 [Internet]. [diunduh 2014 Jul 07]. Tersedia pada: http://ditjennak. pertanian.go.id.
21 Djohanputro B. 2004. Manajemen Risiko Korporat Terintegrasi. Jakarta (ID): PPM. [FAO; OIE] Food and Agricultural Organization of the United Nations; The World Organisation for Animal Health. 2009. Guide to good farming practices for animal production food safety [Internet]. [diunduh 2014 Sep 02]. Tersedia pada: http://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Current_Scientific_Issues/docs/pdf/en g_guide.pdf. Fewidarto P. 1996. Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process). Teknologi Industri Pertanian Program Pascasarjana IPB. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hadiguna RA. 2010. Perancangan Sistem Penunjang Keputusan Rantai Pasokan dan Penilaian Risiko Mutu Pada Agroindustri Kelapa Sawit Kasar [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hallikas JI, Karvonen U, Pulkkinen VM, Virolainen, Tuomine M. 2004. Risk management processes in supplier networks. Int J Production Economics 90:4758. Heizer J, Render B. 2004. Operations Management. New Jersey (US): Person Education, Inc. [Kemendagri RI] Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. 2011. Profil Daerah Kabupaten Bandung [Internet] [diunduh 2014 Sep 02]. Tersedia pada: http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/32/name/jawabarat/detail/3204/bandung. [Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Flu Burung [Internet]. [diunduh 2014 Jan 25]. Tersedia pada: http://litbang.Depkes. go.id /maskes/072005/flu_burung.pdf. [Kementan RI] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2009. Prosedur Operasional Standar Pengendalian Penyakit Avian Influenza di Indonesia. Jakarta (ID): Ditjennak. [Kementan RI] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2011. Pedoman Umum Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Medion. 2010. Musim Hujan Datang Ayam Tetap Senang [Internet]. [diunduh 2014 Sep 01]. Tersedia pada: http://info.medion.co.id/index.php/artikel/broiler/tatalaksana/hujan-ayam-tetap-senang. Muslich M. 2007. Manajemen Risiko Operasional Teori dan Praktek. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Santoso I. 2005. Rekayasa Model Manajemen Risiko untuk Pengembangan Agroindustri Buah-buahan Secara Berkelanjutan [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Schoenherr T, Tummala R. 2011. Supply Chain Risk Management Process. Supply Chain Management: An International Journal. 16(6): 474-483. Songserm T, Jam-on R, Sae-Heng N, Meemak N, Hulse-Post DJH, Katharine M, Ramirez S, Webster RG. 2006. Domestic Duck and H5N1 Influenza Epidemic, Thailand [Internet]. [diunduh 2014 Januari 25]. Tersedia pada: http://www.cdc. gov/ncidod/EID/vol12no04/05-614.htm. Suartha IN, Antara IMS, Wiryana IKS, Sukada IM, Wirata IW, Dewi NMRK, Mahardika IGNK. 2010. Peranan pedagang unggas dalam penyebaran virus Avian Influenza. J Vet 11(4): 220-225. Sudarman A, Sumiati, Sri M, Ekowati H, Agus S, Ria K. 2008. Kajian Rantai Nilai
22 Unggas dan Risiko Epidemiologis di Wilayah Jakarta dan Sekitarnya. Bogor: Lembaga Penelitian dan Pengembangan IPB. Sudarman A, Rich KM, Randolph T, Unger F. 2010. Poultry value chains and HPAI in Indonesia: The case of Bogor [Internet]. [diunduh 2014 Sept 04]. Tersedia pada: http://www.ifpri.org/sites/default/files/publications/hpaiwp27_ indonesia.pdf. Tang CS. 2006. Perspective in Supply Chain Risk Management. Int J Production Economics 103:451-458. Yudhastuti R, Sudarmaji. 2006. Mengenal flu burung dan bagaimana kita menyikapinya. J Kesehatan Lingkungan 2(2): 183-184. Zainuddin D, Wibawan IWT. 2008. Biosekuriti dan Manajemen Penanganan Penyakit Ayam Lokal [Internet]. [diunduh 2014 Januari 26]. Tersedia pada: http://peternakan.litbang.deptan.go.id.//attachments/biosekuriti ayamlokal
23
RIWAYAT HIDUP Zella Nofitri dilahirkan di Batusangkar pada tanggal 23 November 1992 dari pasangan Basril Efendi dan Yulidarnis. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis memulai pendidikan dasar di SDN 29 Sembayan, Lintau pada tahun 1998 kemudian lulus dari SDN 005 Talang Mandi, Duri pada tahun 2004. Kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Duri dan lulus pada tahun 2007. Jenjang pendidikan berikutnya penulis tempuh di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Batusangkar dan lulus pada tahun 2010. Selepas SMA penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun yang sama. Selama masa studi di FKH IPB, penulis aktif di berbagai kegiatan kepanitiaan baik yang berskala kampus maupun nasional. Penulis juga aktif dalam organisasi peminatan di Himpunan Minat dan Profesi (Himpro) Ruminansia FKH IPB sebagai anggota Divisi Pendidikan (2011-2012) dan anggota Divisi Komunikasi dan Informasi (2012-2013).