1
PENDAHULUAN
Latarbelakang Indonesia yang beriklim tropis memberikan kondisi yang sangat baik bagi pertumbuhan dan perkembangan berbagai cendawan.
Salah satu diantara
cendawan tersebut adalah Aspergillus. Tiga spesies Aspergillus yang memiliki peran penting dalam dunia kesehatan, terutama kesehatan hewan, adalah A. fumigatus, A. flavus dan A. parasiticus. A. flavus dan A. parasiticus dikenal sebagai cendawan pencemar lapang dan gudang karena kemampuannya bertindak sebagai pencemar bagi produk-produk pertanian sejak penanganan pasca panen di ladang hingga produk tersebut disimpan di gudang-gudang penyimpanan. A. flavus dan A. parasiticus dikenal juga sebagai cendawan toksigenik. Salah satu mikotoksin yang sangat dikenal yang dihasilkan oleh kedua spesies ini adalah toksin aflatoksin. Aflatoksin dapat dihasilkan oleh kedua spesies ketika menghadapi kondisi yang ekstrim baik saat masih di ladang/kebun maupun di gudang-gudang penyimpanan. Cekaman (stres) yang dialami cendawan akibat peningkatan suhu gudang penyimpanan, atau cekaman akibat serangan serangga gudang dapat menggertak cendawan untuk menghasilkan aflatoksin. Jagung dan kacang tanah, merupakan komoditi pertanian yang paling rentan terhadap pencemaran oleh aflatoksin. Pencemaran oleh aflatoksin terhadap jagung dan kacang tanah mendapat perhatian yang serius karena jagung merupakan komponen utama penyusun pakan ternak. Sedangkan banyak makanan tradisional Indonesia yang menggunakan kacang tanah, seperti bumbu-bumbu pecel, gado-gado, sate dan sebagainya.
Aflatoksin tidak mengalami kerusakan terhadap proses
pengolahan makanan, seperti pemanasan karena sifatnya yang termotoleran hingga suhu mencapai 220 oC (Syarief et al. 2003). Cemaran aflatoksin di dalam pakan ternak dapat memicu gangguan kesehatan pada ternak-ternak yang memakan pakan yang tercemar tersebut. Gangguan kesehatan pada ternak yang disebabkan oleh karena memakan pakan yang tercemar aflatoksin dikenal dengan sebutan aflatoksikosis.
Beberapa
2
kejadian aflatoksikosis pada ternak telah terekam dalam beberapa hasil penelitian. Kerugian yang ditimbulkan oleh kejadian aflatoksikosis tidak dapat dihindari karena aflatoksin menyerang organ hati sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan ternak.
Dampak yang diakibatkan oleh aflatoksikosis tidak hanya
selama ternak dipelihara saja, tetapi setelah ternak dipanenpun masih menyisakan permasalahan.
Residu aflatoksin dan metabolitnya pada produk-produk asal
hewan menjadi permasalahan lain lagi. Pribadi dan Patriana (1996) mendapati akumulasi residu aflatoksin pada beberapa bagian karkas ayam dalam skala penelitian. Tidak tertutup kemungkinan untuk mendapatkan hasil yang sama bila dilakukan pengamatan yang lebih mendalam pada karkas-karkas ayam yang dijual. Aflatoksin M1 pun dapat saja ditemukan di produk susu segar dari peternakan sapi perah yang pakannya tercemar aflatoksin. Walaupun penelitian telah merekam keberadaan residu aflatoksin dalam beberapa produk asal hewan, namun masih jarang diperoleh penelitian-penelitian yang memusatkan perhatiannya pada kesehatan konsumen setelah memakan produk-produk yang berpotensi tercemari oleh aflatoksin. Satu survei yang pernah dilakukan oleh Tsuboi et al. (1984) melaporkan bahwa 20% sukarelawan yang dinyatakan sehat pada waktu itu mengandung aflatoksin B1 di dalam darahnya. Sebanyak 23% penderita primary hepatocellular carcinoma (PHC) akut dan kronis di dalam darahnya juga mengandung aflatoksin B1. Sedangkan pada ternak ayam (karena komoditi daging ayam merupakan komoditi tertinggi yang dikonsumsi masyarakat), akumulasi aflatoksin terjadi di organ hati, limpa dan ginjal dengan tingkat kerusakan terparah pada organ hati (Pribadi dan Patriana 1996).
Intoksikosis aflatoksin yang bersifat akut dapat
menyebabkan kematian ternak ayam tanpa memperlihatkan gejala klinis. Pemeriksaan dengan melakukan bedah bangkai akan menemukan perubahan patologik berupa pembesaran hati (hepatomegali) (Espada et al. 1992). Sedangkan ternak bebek dan kalkun memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan ternak ayam.
3
Rusaknya sel-sel hati yang diakibatkan oleh aflatoksin telah diamati oleh beberapa peneliti baik pada hewan (Chen et al. 1994; Jenning et al. 1994) maupun pada manusia (Cole et al. 1989; Begue et al. 1988). Beberapa tanggap seluler sel hati dari hewan yang mengalami aflatoksikosis dapat berupa terjadinya peroksidasi lipida (Shen et al. 1994), perubahan keutuhan membran dan penghambatan enzim glutathione-S-transferase (Jenning et al. 1994), peningkatan aktivitas sangat tinggi pada sitokrom dari sel-sel hepatik yang mengiringi proses pembesaran organ hati (Iwaki et al. 1990). Tingkat kerusakan sel-sel hati dalam kasus karsinoma hepatoseluler pada hewan percobaan telah diteliti oleh beberapa peneliti.
Nunez et al. (1991)
mendapati bahwa organ hati yang mengalami karsinoma hepatoseluler akan kehilangan hubungan antara hepatosit dan sinusoid, antara hepatosit dan sistem saluran empedu dan antar hepatosit itu sendiri. Sedangkan Pritchard dan Butler (1988) mendapatkan bahwa perkembangan pembentukan tumor hati dapat ditandai dengan adanya nodul-nodul yang bersifat eosinofilik di dalam sel. Proses biotransformasi yang terjadi di dalam organ hati merupakan tahap awal yang sangat penting bagi aflatoksin. Aflatoksin mengalami bioaktivasi setelah melalui proses biotransformasi sehingga bersifat radikal, toksik dan memberikan efek karsinogenik. Proses biotransformasi aflatoksin dimulai dengan terjadinya oksidasi di dalam sitokrom P-450 dan selanjutnya akan menghasilkan berbagai metabolit aflatoksin dengan tingkat toksisitas yang tidak lebih rendah dari senyawa awalnya (Eaton dan Groopman 1994). Muncul satu pemikiran setelah mengetahui beberapa tahapan proses biotransformasi aflatoksin, yaitu (i) mekanisme apa yang terjadi sehingga aflatoksin dapat masuk ke dalam sel hati?, dan (ii) apakah memungkinkan untuk mengganggu mekanisme masuknya aflatoksin ke sel hati? Hao et al. (1999) yang melakukan penelitian dengan okhratoksin A mendapatkan bahwa ada protein di dalam sel hati yang mampu terikat dengan toksin tersebut. Aflatoksin dapat diikat dengan protein dinding sel bakteri asam laktat (LAB) (Haskard et al. 2001) dan protein susu (Pierides et al. 2000). Dengan memanfaatkan hasil penelitian tersebut,
4
maka dikembangkan suatu pemikiran (iii) apakah ada sejenis protein yang berada di dalam organ hati yang dapat berikatan dengan aflatoksin?; (iv) seandainya memang protein ini yang bertanggungjawab terhadap kejadian aflatoksikosis, apakah keberadaan protein di organ hati dapat digunakan sebagai parameter tingkat kepekaan antar spesies hewan terhadap aflatoksin?
Tujuan Penelitian Sampai saat ini hasil-hasil penelitian yang secara tegas mengarah ke upaya mencari jawaban atas pemikiran-pemikiran di atas belum tercatat, namun dari hasil yang sudah ada dapat dirangkai pemikiran-pemikiran melalui penelitian ini. Penelitian yang dilakukan ini bertujuan: 1. Isolasi protein pada organ hati yang dapat berikatan dengan aflatoksin B1 (AFB1). Protein yang telah diisolasi dapat dikatakan sebagai protein yang terikat AFB1 (PAB1); 2. Identifikasi dan karakterisasi protein PAB1; 3. Pengamatan keberadaan protein PAB1 di organ hati ayam dan bebek. Keberadaan PAB1 dan pola penyebarannya di jaringan hati akan digunakan untuk menjelaskan perbedaan kepekaan antara bebek dan ayam terhadap aflatoksikosis.
Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah H0 : didapatkan protein di dalam organ hati yang bereaksi dengan AFB1 dan menyebar pada organ hati bebek dan ayam H1 : tidak didapatkan protein di dalam organ hati yang bereaksi dengan AFB1 dan menyebar pada organ hati bebek dan ayam
5
Manfaat Hasil Penelitian Informasi mengenai protein terikat AFB1 masih belum banyak dilaporkan dan dari penelitian ini diharapkan diperoleh informasi mengenai: 1.
adanya protein yang memiliki kemampuan untuk berikatan dengan AFB1 (PAB1),
2.
sifat antigenik
PAB1 sehingga
mampu menggertak
untuk
memproduksi antibodi (APAB1), 3.
PAB1 yang dapat digunakan sebagai penentu perbedaan kepekaan antara bebek dan ayam terhadap AFB1,
4.
adanya peluang pemanfaatan ikatan antara APAB1 dan PAB1 yang dapat memodifikasi proses biotransformasi AFB1 sehingga memiliki peranan dalam pencegahan aflatoksikosis pada hewan maupun manusia.