Jurnal Psikologi Indonesia 2010, Vol VII, No. 1, 50-64, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
EKSPRESI EMOSI PADA TIGA TINGKATAN PERKEMBANGAN PADA SUKU JAWA DI YOGYAKARTA: KAJIAN PSIKOLOGI EMOSI DAN KULTUR PADA MASYARAKAT JAWA
(EXPRESSION OF EMOTION IN THREE STAGES OF DEVELOPMENT AMONG THE JAVANESE IN YOGYAKARTA: A STUDY ON THE PSYCHOLOGY OF EMOTION AND CULTURE IN THE JAVANESE) Aditya Putra Kurniawan & Nida Ul Hasanat Universitas Gadjah Mada Emosi merupakan hasil manifestasi keadaan fisiologis dan kognitif manusia, serta cermin pengaruh kultur budaya dan sistem sosial. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan alat pengumpul data Skala Ekspresi Emosi, adaptasi dari Display Role Assessment Inventory (DRAI) untuk mengukur tingkat ekspresi emosi, dengan hipotesis “Ada perbedaan dalam pengekspresian emosi pada tiga tingkatan generasi suku Jawa di Yogyakarta”. Subjek penelitian dipilih dengan metode purposive sampling sejumlah 142 orang meliputi tiga tingkatan perkembangan, yaitu remaja akhir, dewasa awal, dan dewasa tengah. Data dianalisis dengan teknik Anava 1-jalur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam pengekspresian emosi pada tiga tingkatan usia (F = 1,042 ; p = 0,356;). Disimpulkan bahwa tiga tingkat generasi subjek sama-sama mengekspresikan emosi secara sadar mengikuti etika Jawa. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian lain dengan metode kualitatif yang mampu mengungkap bentuk-bentuk perilaku pada wilayah unconsciousness dalam mengekspresikan emosi. Kata kunci: ekspresi emosi, tiga tingkatan perkembangan (remaja akhir, dewasa awal dan dewasa tengah), kultur Jawa Emotion is the product of human physiological and cognitive conditions as well as representing the influence of culture and social system. This research was quantitative using Skala Ekspresi Emosi, adapted from the Display Role Assessment Inventory (DRAI), to measure level of emotional expression with the hypothesis that “There are differences in expressing emotion among three generations of Javanese in Yogyakarta.” The subjects were 142 people that consisted of late adolescents, early adults, and mid-adults and that were selected using a purposive sampling method. The data were analyzed using a one-way Anova technique. The results showed no difference in the expression of emotion among the three groups of subjects. It was concluded that the three generations consciously expressed their emotion following the Javanese ethics. These results differed from the results of another research using a qualitiative methode that seemed to be more sensitive in tapping forms of emotional expression at the unconscious level. Keywords: expression of emotion, three stages of development (late adolescence, early adulthood, and mid adulthood), the Javanese culture
Salah satu aspek psikologis yang paling penting bagi manusia dalam menjalani kehidupannya sehari-hari adalah emosi. Tanpa adanya emosi kehidupan manusia akan terlihat kering tanpa makna. Hubungan antar manusia dikatakan baik atau buruk tergantung ungkapan emosi yang diekspresikan oleh mereka. Ungkapkan rasa kasih melalui senyuman, kegembiraan, kehangatan dan penerimaan dalam suatu hubungan sosial akan terlihat menyenangkan bagi siapapun yang melakukannya, juga bagi orang lain yang memperhatikan. Sebaliknya, ketika banyak orang mengungkapkan kedengkian melalui
cemoohan, ejekan, keirian, kemarahan dan saling menjatuhkan pasti menimbulkan kesan kengerian bagi siapapun (Prawitasari, 1995). Beberapa ahli berpendapat bahwa emosi merupakan hasil manifestasi dari kondisi fisiologis dan kognitif manusia, serta merupakan cermin dari pengaruh kultur budaya dan sistem sosial (Barrett & Fossum, 2001). Kultur dan sistem sosial tempat individu tinggal dan menetap akan membatasi dan mengatur kepada siapa, kapan dan dimana saja seseorang boleh memperlihatkan dan merahasiakan emosi-emosi tertentu, serta dengan cara seperti apa emosi tersebut
ADITYA PUTRA KURNIAWAN & NIDA UL HASANAT akan dimunculkan melalui perilaku nonverbal dan ekspresi wajah (Ekman, 1993). Hal itu akan dipelajari oleh individu sebagai nilainilai dalam budaya di lingkungan sosial yang ditinggali (Berry, 1999). Pada budaya kolektif seperti kebanyakan kultur negara-negara Asia, maka pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi lebih banyak secara implisit, sehingga banyak perilaku terkadang belum tentu sesuai dengan maksud yang sebenarnya. Gaya komunikasi yang terbentuk dalam budaya kolektif seperti ini tentunya rentan menimbulkan perbedaan persepsi antar ke dua belah pihak yang saling berinteraksi dan selanjutnya akan mempengaruhi kondisi emosionalnya masing-masing. Perbedaan kultur dalam berkomunikasi ini dijelaskan oleh Hall (dalam Gudykunst & Kim, 1986), yang mengemukakan bahwa contex memainkan peranan kunci dalam menjelaskan beberapa perbedaan komunikasi. Contex adalah informasi yang mengelilingi suatu komunikasi dan membantu penyampaian pesan. Berdasarkan penjelasan Hall tersebut, maka gaya dalam berkomunikasi dapat diklasifikasikan dalam high contex dan low contex. Pada budaya low contex pembicaraan yang terjadi bersifat eksplisit dan pesan yang disampaikan sebagian besar diwakili oleh kata-kata yang diucapkan. Sebaliknya, dalam budaya high contex pesan disampaikan secara implisit dan kata-kata yang diucapkan hanya mewakili sebagian kecil dari pesan tersebut. Bagian lainnya akan disimpulkan sendiri oleh pendengar atas dasar pengetahuannya mengenai pembicara, seting khusus pada saat terjadi pembicaraan, serta tanda-tanda kontekstual pada saat itu. Pendengar harus menyaring secara seksama tentang segala hal yang dikatakan serta dalam kondisi apa pesan itu disampaikan agar dapat menafsirkan makna dari pesan yang disampaikan. Pada kultur high contex seperti Jepang, arti senyuman menjadi sangat penting dalam proses interaksi sosial. Senyuman dapat diartikan bermacammacam, misalnya ketika individu sedang mengalami kegelisahan atau kesedihan, maka ketika mereka sedang berkomunikasi sedikit mungkin akan menyembunyikan perasaan aslinya dengan tetap menampilkan
51
senyum (Matsumoto, dalam Elfenbein & Ambady, 2003). Contoh lain ditemukan dalam penelitian Ekman (dalam Matsumoto, 1993) yang membandingkan ekspresi emosi antara orang Jepang dengan orang Amerika, baik ketika dalam keadaan sendiri maupun dalam suasana kelompok. Hasil penelitian itu menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan ekspresi emosi antara orang Jepang dengan orang Amerika ketika berada dalam keadaan sendiri. Namun, terdapat temuan yang menarik bahwa subjek yang berasal dari Jepang, ketika dalam suasana kelompok lebih sering menekan ekspresi ngeri dan tertekan serta banyak mengekspresikan senyum dan tawa bila dibandingkan subjek dari Amerika. Hasil penelitian Ekman tersebut menunjukkan bahwa karakteristik dalam mengekspresikan suatu emosi sangat dipengaruhi oleh kultur. Setiap kultur budaya memiliki kaidah-kaidah tentang hal yang seharusnya diungkapkan pada situasi tertentu dan emosi-emosi apa yang seharusnya dan tidak seharusnya ditunjukkan. Hal ini dipelajari oleh individu sebagai nilai-nilai dalam budaya di lingkungan sosial yang ditinggali. Aturan-aturan tersebut dikenal dengan cultural display rules, yaitu norma-norma budaya berkenaan dengan cara pengelolaan dan penampakan wajah dan perilaku non verbal lainnya sebagaimana yang diharapkan oleh suatu kultur tertentu (Ekman dalam Matsumoto, 1994). Di Indonesia, pada umumnya masih sering terdengar stereotip kesukuan yang menunjukkan karakteristik pengungkapan emosi suatu kultur tertentu dalam proses interaksi sosial. Misalnya, orang Jawa dan Sunda beranggapan bahwa mereka halus dan sopan, dan orang Batak kasar serta nekat, berwajah sangar dan suka berbicara dengan intonasi keras. Orang Batak sendiri menganggap bahwa mereka pemberani, terbuka, suka berterus terang, pintar, rajin, kuat dan tegar. Orang-orang Batak menganggap orang Jawa dan Sunda lebih halus dan spontan, namun lemah serta tidak suka berterus terang. Apa yang orang Jawa dan Sunda anggap sebagai kekasaran, bagi orang Batak justru kejujuran. Sebaliknya, apa yang orang Jawa dan Sunda anggap kehalusan, bagi orang Batak justru kemunafikan dan kelemahan (Mulyana, 1999). Prasangka kesukuan berdasarkan
52
ADITYA PUTRA KURNIAWAN & NIDA UL HASANAT
karakteristik pengungkapan emosi seperti contoh di atas menunjukkan bahwa perbedaan kultur dalam proses komunikasi dan interaksi sosial yang melibatkan emosi rentan menimbulkan kesalahpahaman. Penelitian Prawitasari (1993) tentang emosi melalui komunikasi nonverbal pada masyarakat yang berbeda budaya di Indonesia menunjukkan bahwa bagi orang Indonesia emosi berarti negatif, sehingga harus dikendalikan sedemikian rupa supaya tidak mempengaruhi hubungan dengan orang lain agar keharmonisan tetap terjaga. Pada penelitian itu, khususnya orang Jawa yang tinggal di Yogyakarta, sangat berhatihati dalam mengungkapkan dan mengartikan komunikasi nonverbal. Hal ini tak lain karena prinsip dan ciri khas kebudayaan Jawa yang lazim diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Jawa. Prinsip tersebut adalah prinsip rukun atau harmonis yang mengutamakan hubungan baik antar manusia, dengan mencegah berkelahi terbuka, penuh penghormatan terhadap sesama, gotong royong, tenggang rasa (tepa selira), dan ramah-tamah penuh kelembutan (Suseno, 2001). Masyarakat Jawa, memiliki aturan yang baku dalam penggunaan bahasa, tutur kata dan etika. Misalnya, ketika orang yang lebih muda berbicara dengan orang yang jauh lebih tua, maka orang yang lebih muda harus menggunakan bahasa kromo inggil sebagai penghormatan terhadap orang yang lebih tua. Lebih lanjut lagi, dalam budaya Jawa orang harus berbicara perlahan-lahan dan halus, sedapat mungkin “menyembunyikan” perasaan asli sebagai pengejawantahan dari prinsip isin dan sungkan (Suseno, 2001). Kedua prinsip keselarasan itu sebagai pedoman bagi masyarakat Jawa dalam pergaulan sehari-hari. Prinsip tersebut menuntut agar semua lapisan masyarakat Jawa, pada semua golongan usia, remaja dan dewasa senantiasa mengontrol dorongan-dorongan diri sendiri. Semakin individu mampu mengontrol dorongandorongan emosinya dan semakin menguasai tata krama pergaulan, maka semakin ia dianggap dewasa dan diakui sebagai anggota masyarakat Jawa (Suseno, 2001). Memperlihatkan perasaan-perasaan spontan dianggap kurang pantas, seperti gembira,
sedih, kecewa, marah, putus asa, harapanharapan, atau rasa belas kasihan yang akan disembunyikan untuk tidak diperlihatkan pada banyak orang. Dalam struktur hirarki sosial masyarakat Jawa, terdapat dua golongan, yaitu golongan sesepuh dan golongan nom-noman (Elip, dalam Handayani, 2004). Pada setiap golongan mempunyai tugas dan peran sosial berdasar prinsip keharmonisan dan keselarasan yang diidealkan. Golongan pertama adalah nom-noman, atau para pemuda yang pada umumnya akan selalu meminta nasihat serta petunjuk kepada golongan sesepuh dalam hal perjodohan, perkawinan, etika pergaulan terutama terhadap orang yang lebih tua, hubungan laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya. Pada golongan usia ini, pemuda Jawa diharapkan sudah mengerti kontekskonteks yang harus membuat individu ini merasa isin, serta diharapkan sudah mampu mengontrol dorongan-dorongan emosinya. Selama tahun-tahun tersebut, pemuda Jawa belajar merasa sungkan, yaitu suatu perasaan malu yang bersifat positif sebagai rasa hormat yang sopan terhadap orang lain yang belum dikenal atau mempunyai kedudukan sosial tinggi. Golongan ke dua adalah sesepuh, yaitu para orang tua yang mempunyai peran sosial tertinggi sebagai penasehat bagi golongan usia dibawahnya dan sangat dihormati. Pada golongan usia ini, dalam berbicara dan dalam segala tindak-tanduknya selalu terkontrol sedemikian rupa termasuk dalam hal pengungkapan emosi, misalnya, harus berbicara dengan suara yang pelan dan tenang, tanpa emosi yang meluap-luap dan tidak menunjukkan sikap konfrontatif terhadap lawan bicaranya serta mampu menjadi panutan bagi generasi di bawahnya. Pada fase ini, individu akan membatinkan bahwa kesejahteraan dan eksistensinya tergantung dari kesatuan dengan kelompoknya. Menentang kehendak orang lain secara terang-terangan, akan bertentangan dengan perasaannya. Sikap tersebut membuat orang Jawa disebut wis Jawa atau dianggap sudah matang (Suseno, 2001). Dari paparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa antara golongan usia remaja dan dewasa pada masyarakat Jawa, tidak ada perbedaan dalam mengekspresikan
ADITYA PUTRA KURNIAWAN & NIDA UL HASANAT dorongan-dorongan emosi. Segala sesuatu yang berkaitan dengan emosi harus dikontrol sedemikian rupa. Memperlihatkan perasaanperasaan spontan dianggap kurang pantas. Perasaan-perasaan seperti gembira, sedih, kecewa, marah, putus asa, harapan-harapan, atau rasa belas kasihan akan disembunyikan untuk tidak diperlihatkan pada banyak orang. Hal ini tertanam semenjak individu berusia anak-anak, remaja, dewasa hingga tua. Status umur tersebut lebih menunjukkan tugas dan kewajiban normatif yang harus diemban terkait dengan etika pergaulan masyarakat Jawa sesuai dengan tingkat usianya masing-masing. Kondisi tersebut adalah suatu keadaan ideal yang harus terjadi dan dicapai oleh masyarakat Jawa pada semua golongan usia (Suseno, 2001). Dengan demikian, masyarakat Jawa banyak mempunyai aturan-aturan normatif perilaku sosial dan psikologis. Aturan normatif tersebut mengatur masyarakatnya dalam melakukan hubungan dengan sesama, seperti sopan santun, etika, dan tata cara yang pantas dalam pergaulan sehari-hari. Semua itu dilakukan sebagai usaha menjaga keharmonisan dan keselarasan hidup. Hal ini tertanam secara turun temurun dan berusaha dilakukan semenjak individu berusia anakanak, remaja, dewasa hingga tua (Elip dalam Handayani, 2004). Status umur lebih menunjukkan hirarkhi aturan dan kewajiban normatif yang harus diemban terkait dengan etika pergaulan masyarakat Jawa sesuai dengan tingkat usianya masing-masing. Kondisi tersebut adalah suatu keadaan ideal yang harus terjadi dan dicapai oleh masyarakat Jawa pada semua golongan usia (Suseno, 2001). Terdapat perbedaan antara paparan teoritis yang disampaikan di atas dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Heppell (2004) yang berjudul “Penyebab dan Akibat Perubahan Budaya Jawa di Yogyakarta”. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa telah terjadi perubahan perilaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Yogyakarta khususnya generasi muda. Hasil wawancara yang dilakukan Heppell (2004) terhadap masyarakat Yogyakarta dari golongan generasi tua menyebutkan, sering kali anakanak muda menggunakan cara-cara baru dalam berinteraksi dengan teman-temannya
53
serta masyarakat luas. Banyak orang muda yang tidak lagi menghormati orang tuanya dan norma-norma kebudayaan Jawa seperti sopan santun dalam berbicara dan perilaku. Generasi muda cenderung lebih ekspresif, berani dan lugas (blak-blakan = Jawa) dalam proses komunikasi dan interaksi sosial. Pada kajian mengenai hubungan antara tahapan perkembangan seseorang dengan emosi menunjukkan bahwa kemampuan individu dalam melakukan interaksi dengan individu lainnya akan berkembang sejalan dengan bertambahnya usia. Seiring bertambahnya usia seseorang, maka semakin banyak pengalaman dalam berinteraksi dan semakin matang kondisi emosionalnya dalam membina hubungan dengan orang lain (Sriwendari dalam Martani, 1993). Hal ini menandakan bahwa kematangan emosi individu dalam proses interaksi sosial terbentuk secara bertahap sejalan dengan proses perkembangan yang dilaluinya. Pada masing-masing tahapan usia perkembangan memiliki ciri khas tersendiri kondisi emosional yang sesuai dengan tingkatan perkembangannya. Tiap tahapan perkembangan yang dilalui manusia tentunya mempunyai aturan, gaya dan corak perilaku tersendiri yang khas jaman mereka dalam suatu pergaulan sosial. Aturan, gaya dan corak perilaku tersebut akan mendasari kepada siapa, kapan dan dimana saja, seseorang boleh memperlihatkan atau menutupi emosiemosi tertentu, dan dengan cara seperti apa emosi tersebut akan diekspresikan. Secara tidak disadari, hal itu akan mempengaruhi struktur dan fungsi emosi tiap-tiap individu ketika mereka saling berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan ekspresi emosi pada tiga tingkatan perkembangan yaitu, remaja akhir, dewasa awal dan dewasa tengah. Mengacu pada pernyataan Santrock (2002) yang membagi manusia ke dalam delapan tahapan perkembangan, dari periode kelahiran hingga masa akhir dewasa. Dalam penelitian ini, penulis mengambil tiga tingkatan perkembangan, yaitu remaja akhir (late adolescent), dewasa awal (early adulthood) dan dewasa tengah (middle adulthood) dengan asumsi bahwa individu yang berada pada tiga tingkatan perkembangan tersebut
ADITYA PUTRA KURNIAWAN & NIDA UL HASANAT
54
telah memiliki pengalaman yang cukup dalam proses interaksi sosial. Peneliti berpendapat bahwa tiga tingkatan perkembangan tersebut identik dengan tingkatan perkembangan masyarakat Jawa, yang diklasifikasikan dalam golongan sesepuh dan golongan nomnoman (Elip, dalam Handayani, 2004). Tiga tingkat perkembangan tersebut juga identik dengan maksud dalam penelitian Heppell yang membedakan subjek penelitiannya antara golongan generasi tua dan generasi muda. Hipotesis yang akan di uji adalah “Ada perbedaan ekspresi emosi pada tiga tingkatan perkembangan pada suku Jawa di Yogyakarta”. Metode Penelitian 1. Subjek Penelitian Subjek yang diteliti tergolong dalam tiga kelompok umur, yaitu : remaja akhir, dewasa awal dan dewasa pertengahan yang lahir, tinggal dan hidup menetap selama rentang usia cohort di Yogyakarta. Rentang usia cohort adalah rentang rentang usia kronologis yang dilalui individu yang menunjukkan lamanya perjalanan hidup dari semenjak lahir hingga saat ini yang dapat dilihat pada lembar informasi data subjek penelitian dalam skala penelitian. Data subjek tersebut dapat dilihat pada lembar informasi data pribadi yang terdapat dalam Skala Ekspresi Emosi. Tingkatan umur yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Santrock (2002), yang membagi manusia ke dalam delapan tahapan perkembangan, dari periode pra kelahiran hingga masa akhir dewasa. Dalam penelitian ini, penulis hanya memakai tiga tingkatan perkembangan yaitu, remaja akhir (adolescent), dewasa awal (early adulthood) dan dewasa tengah (middle adulthood). Tiga tingkatan umur tersebut dapat dilihat sebagai berikut : 1. Remaja akhir, dicirikan dengan rentang usia kronologis antara 18 tahun hingga 21 tahun 2. Dewasa awal, antara usia kronologis 22 tahun hingga 30 tahun 3. Dewasa tengah, antara usia kronologis 31 tahun hingga 45 tahun Pengambilan sampel dalam penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan teknik sampling bertujuan (Purposive Sampling), yaitu pemilihan sekelompok responden didasarkan atas sifat-sifat atau ciri-ciri tertentu yang dipandang mempunyai hubungan yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui (Hadi, 2002). Teknik ini termasuk dalam bagian dari teknik non random sampling atau non probability sampling. Teknik ini digunakan dengan pertimbangan bahwa populasi yang diambil bersifat homogen. Proses pengambilan data penelitian ini dibantu oleh enumerator, yaitu orang-orang yang membantu peneliti dalam penyebaran skala penelitian. Penggunaan enumerator dimaksudkan agar jumlah subjek yang diteliti dapat terkumpul sesuai dengan time frame penelitian dan dapat tersebar pada beberapa wilayah Yogyakarta. 2. Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan menggunakan daftar pernyataan yang harus dijawab oleh subjek penelitian. Daftar pernyataan yang dimaksud adalah Skala Ekspresi Emosi, adaptasi dari Display Rules Asessment Inventory yang disusun oleh Matsumoto (2005). Skala Ekspresi Emosi berisi 22 item pertanyaan yang pada masingmasing item akan mengungkap ekspresi emosi subjek ketika merasakan tujuh jenis emosi dasar yaitu ; marah, muak, jijik, takut, sedih, bahagia dan terkejut ke dalam 6 pilihan jawaban cara ekspresi emosi yaitu; A. Mengekspresikan emosi lebih dalam dari yang dirasakan tanpa ada upaya untuk menahan atau mengontrolnya (amplify), mengekspresikan emosi kurang dari yang dirasakan (deamplify), B. mengekspresikan emosi seimbang dengan yang dirasakan (no inhibition), C. tidak mengekspresikan apapun (neutralise), D. tetap mengekspresikan emosi yang dirasakan namun disertai dengan senyuman (qualify), E. menyembunyikan perasaan yang dirasakan dengan senyuman (masking). Pada skala penelitian ini juga disediakan tempat bagi subjek untuk menuliskan alternatif jawaban lain diluar ke enam pilihan ekspresi emosi yang diminta. Peneliti juga melakukan analisis perbedaan ekspresi emosi antar tiga tingkatan usia dalam 2 jenis situasi, yaitu situasi keramaian
ADITYA PUTRA KURNIAWAN & NIDA UL HASANAT
55
Tabel 1. Blue Print Skala Ekspresi Emosi No. Item 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
21 22
Jenis Emosi yang dirasakan
Situasi yang dialami
Marah, Muak, Bahagia, Sedih, Marah, Muak, Bahagia, Sedih, Marah, Muak, Bahagia, Sedih, Marah, Muak, Bahagia, Sedih, Marah, Muak, Bahagia, Sedih, Marah, Muak, Bahagia, Sedih, Marah, Muak, Bahagia, Sedih, Marah, Muak, Bahagia, Sedih, Marah, Muak, Bahagia, Sedih, Marah, Muak, Bahagia, Sedih, Marah, Muak, Bahagia, Sedih, Marah, Muak, Bahagia, Sedih, Marah, Muak, Bahagia, Sedih, Marah, Muak, Bahagia, Sedih, Marah, Muak, Bahagia, Sedih, Marah, Muak, Bahagia, Sedih, Marah, Muak, Bahagia, Sedih, Marah, Muak, Bahagia, Sedih,
Sendiri di rumah
Jijik, Takut, Terkejut Jijik, Takut, Terkejut Jijik, Takut, Terkejut Jijik, Takut, Terkejut Jijik, Takut, Terkejut Jijik, Takut, Terkejut Jijik, Takut, Terkejut Jijik, Takut, Terkejut Jijik, Takut, Terkejut Jijik, Takut, Terkejut Jijik, Takut, Terkejut Jijik, Takut, Terkejut Jijik, Takut, Terkejut Jijik, Takut, Terkejut Jijik, Takut, Terkejut Jijik, Takut, Terkejut Jijik, Takut, Terkejut Jijik, Takut, Terkejut
Di warung makan yang ramai Berdua di rumah Bertamu di rumah saudara Nonton TV berdua di rumah Di pasar Berdua di rumah Di swalayan
Subjek yang dihadapi Sepi Ramai Sepi
Sepi
Sepi Ramai
Di warung makan
Ramai
Di pesta pernikahan teman Berdua di rumah
Ramai
Sepi
Muak, Sedih, Muak, Sedih,
Jijik, Takut, Terkejut Jijik, Takut, Terkejut
Marah, Bahagia, Marah, Bahagia,
Muak, Sedih, Muak, Sedih,
Jijik, Takut, Terkejut Jijik, Takut, Terkejut
Di warung makan yang ramai Bertemu berdua pada tempat yang sepi
Ibu
Ramai
Sepi
Marah, Bahagia, Marah, Bahagia,
Ayah
Ramai
Nonton TV berdua di rumah Di pertemuan warga kampung Berdua di rumah
Berdua di kelas atau kantor Suasana yang ramai orang Berdua di ruang kelas atau kantor Sedang berkumpul bersama temanteman Bertemu berdua pada situasi yang sepi Di warung makan yang ramai
sedang sendiri
Ramai Sepi
Sepi
Ramai Sepi Ramai Sepi Ramai
Ramai Sepi
Kakak
Adik
Sahabat
Kenalan
Kakak kelas atau Senior Adik kelas atau Junior Orang usia 30 – 40an tahun (guru, dosen, ketua RT/RW atau atasan di kantor) Orang usia 50 – 60an tahun (guru, dosen, ketua RT/ RW atau atasan di kantor
ADITYA PUTRA KURNIAWAN & NIDA UL HASANAT
56
Tabel 2. Sebaran Usia Responden dan Jenis Kelamin Berdasarkan Tahapan Perkembangan
No 1 2 3
Tahap Perkembangan Remaja Akhir Dewasa Awal Dewasa Tengah Total
Jenis kelamin L 22 18 24 64
P 25 32 21 78
f
%
47 50 45 142
33,2 35,2 31,5 100,00
Keterangan : L = Laki-laki, P = Perempuan, f = Frekuensi, % = Prosentase
pada waktu subjek bertemu dengan individu lain dan situasi sepi ketika subjek hanya berada berdua dengan Individu lain. Individu lain yang dimaksud adalah anggota keluarga mereka (Ayah, Ibu, Adik, Kakak), Sahabat dekat, kenalan (orang yang sering bertemu dengan Subjek namun bukan termasuk teman akrab, teman sekelas atau teman satu kantor), kakak kelas atau senior di kantor, Adik kelas atau Junior di kantor, orang yang berusia 30 – 40an tahun (guru, dosen, ketua RT/RW atau atasan di kantor), orang yang berusia 50 – 60an tahun (guru, dosen, ketua RT/RW atau atasan di kantor). Berikut ini pada Tabel 1 disajikan Blue Print Skala Ekspresi Emosi yang dipakai dalam penelitian ini. Skala Ekspresi Emosi tersebut memiliki skor antara 0 sampai dengan 6. Jawaban yang dipilih subjek pada Skala Ekspresi Emosi mengindikasikan cara yang dipakai oleh individu dalam mengekspresikan emosi, yaitu : A (melampiaskan lebih mendalam perasaan yang dirasakan) bernilai 6; B (melampiaskan sama seperti yang dirasakan) bernilai 5; C (melampiaskan perasaan kurang dari yang dirasakan) bernilai 4; C (tidak melampiaskan apapun) bernilai 3; E (tetap melampiaskan perasaan yang dirasakan namun dengan senyuman) bernilai 2; F (menutupi atau menyembunyikan perasaan asli dengan tersenyum) bernilai 1; G (tak satupun sesuai atau tak dapat menjawab) bernilai 0. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Data Subjek Penelitian Secara keseluruhan, dari 170 skala penelitian yang disebar, sebanyak 142 yang terkumpul dan memenuhi syarat untuk
dianalisis, 9 angket tidak memenuhi syarat karena di isi oleh subjek yang bukan berasal dari Yogyakarta, sedangkan 20 angket lainnya tidak terkumpul sesuai target waktu yang ditentukan Total Subjek penelitian adalah sebanyak 142 orang. Subjek yang berasal dari golongan dewasa awal sebanyak 47 orang (35,2%) dan remaja akhir sebanyak 51 orang (33,2%) serta sisanya, sebanyak 44 orang (31,5%) adalah golongan dewasa tengah. Jumlah sebaran data berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa subjek berjenis kelamin laki-laki sebanyak 64 orang dan subjek berjenis kelamin perempuan sebanyak 78 orang. Pada tabel 2 berikut ini disajkan distribusi jumlah Subjek penelitian berdasarkan kategori tahapan perkembangan. 2. Hasil Uji Hipotesis Hasil uji perbedaan ekspresi emosi pada 3 tingkat perkembangan: remaja akhir, dewasa awal dan dewasa tengah dengan menggunakan teknik onewayanova menunjukkan, bahwa tidak ada perbedaan dalam pengekspresian emosi pada 3 tingkatan perkembangan yang diteliti (F = 1,042 ; p = 0,356). Berdasarkan hasil analisis data tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis penelitian “Ada perbedaan dalam pengekspresian emosi pada beberapa tingkat generasi suku Jawa di Yogyakarta”, ditolak. 3. Hasil Analisis Tambahan Analisis data selanjutnya adalah mencari tingkat keberagaman ekspresi emosi pada masing-masing kategori subjek pada situasi sepi dan ramai. Dari perbandingan antara
ADITYA PUTRA KURNIAWAN & NIDA UL HASANAT nilai mean dan nilai deviasi standar ekspresi emosi pada masing-masing kategori subjek, dapat dilihat bahwa rata-rata nilai mean pada semua subjek untuk masing-masing jenis emosi berada diatas nilai deviasi standar. Pengujian ini dilakukan menggunakan teknik oneway-anova untuk mencari perbedaan pengekspresian ketujuh emosi pada tiga kategori subjek dalam situasi sepi dan situasi ramai. Dari uji perbedaan ekspresi emosi pada situasi sepi didapatkan deskripsi data pada Tabel 3. Pada Tabel 3 dapat dilihat, bahwa jenis emosi marah, muak, jijik, takut, bahagia dan sedih, dalam situasi sepi tidak ada perbedaan dalam pengekspresiannya (p < 0,05) . Namun, terdapat perbedaan ekspresi emosi pada jenis emosi terkejut (F = 3,673 ; p = 0,028). Selanjutnya peneliti melakukan uji perbandingan terhadap ekspresi emosi terkejut dalam situasi sepi pada masingmasing kategori usia. Antara remaja akhir dengan dewasa awal tidak ada perbedaan
57
yang signifikan dalam mengekspresikan emosi terkejut (t= 1,034; p= 0,304). Ada perbedaan yang signifikan antara golongan remaja akhir dengan dewasa tengah dalam mengekspresikan emosi terkejut (t=2,684; p=0,009). Pada golongan remaja akhir memiliki nilai mean lebih besar diantara golongan usia dewasa tengah yaitu sebesar 41,19, sedangkan pada golongan dewasa tengah sebesar 35,49. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada golongan usia remaja akhir mempunyai skor ekspresi emosi terkejut yang tinggi bila dibandingkan dengan golongan usia dewasa tengah. Antara golongan dewasa awal dengan dewasa tengah, ada perbedaan yang signifikan dalam mengekspresikan emosi terkejut (t= 1,712; p= 0,090). Golongan usia dewasa awal lebih ekspresif bila dibandingkan dengan golongan dewasa tengah, ditunjukkan dengan nilai mean sebesar 39,04, sedangkan golongan usia dewasa tengah sebesar 35,49. Kesimpulan hasil analisis uji perbedaan ekspresi emosi pada situasi sepi
Tabel 3. Deskripsi Data Ekspresi Emosi Pada Situasi Sepi Emosi Marah
Muak
Jijik
Takut
Bahagia
Sedih
Terkejut
Usia Remaja akhir Dewasa awal Dewasa akhir Remaja akhir Dewasa awal Dewasa akhir Remaja akhir Dewasa awal Dewasa akhir Remaja akhir Dewasa awal Dewasa akhir Remaja akhir Dewasa awal Dewasa akhir Remaja akhir Dewasa awal Dewasa akhir Remaja akhir Dewasa awal Dewasa akhir
N 47 50 45 47 50 45 47 50 45 47 50 45 47 50 45 47 50 45 47 50 45
Mean 36,04 34,66 34,36 34,19 34,44 32,62 34,34 34,34 30,47 36,15 34,26 33,60 46,30 44,86 46,24 36,34 32,88 32,93 41,19 39,04 35,49
Deviasi standar 9,227 9,684 10,386 8,642 7,530 8,408 10,524 9,393 9,211 8,348 9,659 10,446 9,980 11,507 11,773 9,499 10,692 10,710 10,337 10,156 10,031
0,396
Taraf signifikansi 0,674
0,671
0,513
2,437
0,091
0,899
0,409
0,262
0,770
1,743
0,179
3, 673
0,028
F
ADITYA PUTRA KURNIAWAN & NIDA UL HASANAT
58
Tabel 4. Deskripsi data ekspresi emosi pada situasi ramai
Remaja akhir Dewasa awal Dewasa akhir Remaja akhir Dewasa awal Dewasa akhir
47 50 45 47 50 45
28,70 28,72 29,60 28,85 29,44 29,04
Deviasi standar 10,228 10,331 9,481 9,337 8,851 8,169
Remaja akhir
47
30,13
9,373
Dewasa awal Dewasa akhir
50 45
30,10 27,29
8,765 8,820
Remaja akhir
47
32,38
8,596
Dewasa awal Dewasa akhir
50 45
33,18 30,18
8,964 10,292
Remaja akhir
47
42,57
11,246
Dewasa awal Dewasa akhir
50 45
42,30 44,33
11,772 11,558
Sedih
Remaja akhir
47
30,91
10,490
Terkejut
Dewasa awal Dewasa akhir Remaja akhir Dewasa awal Dewasa akhir
50 45 47 50 45
29,14 28,29 38,64 37,48 33,82
9,296 9,209 10,945 9,939 10,656
Emosi Marah
Muak
Jijik
Takut
Bahagia
Usia
N
Mean
menunjukkan, bahwa golongan usia remaja akhir lebih ekspresif dalam mengekspresikan emosi terkejut jika dibandingkan golongan usia dewasa tengah. Golongan usia dewasa awal lebih ekspresif dalam mengekspresikan emosi terkejut jika dibandingkan golongan usia dewasa tengah. Antara remaja akhir dengan dewasa awal, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam mengekspresikan emosi terkejut. Pada semua golongan usia, secara umum mempunyai tingkat keberagaman yang kecil dalam mengekspresikan ketujuh jenis emosi pada situasi sepi. Analisis selanjutnya adalah mencari perbedaan ekspresi emosi pada situasi yang ramai. Hasil uji perbedaan ekspresi emosi pada situasi ramai didapatkan deskripsi data pada Tabel 4. Pada Tabel 4 dapat dilihat, bahwa tidak ada perbedaan antar tiga kategori tingkat perkembangan dalam pengekspresian ke tujuh jenis emosi dalam situasi yang ramai.
F 0,121
0,057 1,518
1,308
0,424
0,887
2,625
Taraf signifikansi 0,887
0,945 0,223
0,274
0,655
0,414 0,076
(semua nilai p>0,05). Analisis data selanjutnya adalah mencari tingkat keberagaman jawaban subjek pada Skala Ekspresi Emosi pada masing-masing kategori subjek dalam situasi ramai. Dari perbandingan antara nilai mean dan nilai deviasi standar pada masing-masing kategori subjek, maka dapat dilihat bahwa rata-rata nilai mean pada semua subjek untuk masingmasing jenis emosi berada diatas nilai deviasi standar. Hal ini menunjukkan bahwa semua kategori subjek mempunyai tingkat keberagaman ekspresi emosi yang relatif kecil pada situasi ramai. Hasil kesimpulan dari analisis tambahan terhadap ekspresi emosi ditinjau dari dua situasi yaitu situasi sepi dan ramai, pada golongan remaja akhir lebih ekspresif dalam mengekspesikan emosi terkejut ketika berada pada situasi yang sepi bila dibandingkan dua golongan usia yang lain, sedangkan
ADITYA PUTRA KURNIAWAN & NIDA UL HASANAT
59
Tabel 5. Deskripsi Data Perbandingan Antara Data hipotetik dan Data Empirik Subjek
N
Remaja akhir Dewasa awal Dewasa tengah
47 50 45
Min 136 271 235
Data Empirik Max Mean SD 683 496,74 109,864 83,586 662 484,84 468,27 89,835 683
Min 0 0 0
Data Hipotetik Max Mean SD 924 462 154 924 462 154 924 462 154
Tabel 6. Deskripsi Kategorisasi Ekspresi Emosi Remaja Akhir Kategori Rendah Sedang Tinggi Total
Jumlah Subyek 2 38 7 47
Persentase 4,3 80,9 14,9 100,0
Norma Kategori X < 308 308 < x < 616 X > 616
Tabel 7. Deskripsi Kategorisasi Ekspresi Emosi Dewasa Awal
Kategori Rendah Sedang Tinggi Total
Jumlah Subyek 1 46 3 50
Persentase 2,0 92,0 6,0 100,0
Tabel 8. Deskripsi Kategorisasi Ekspresi Emosi Dewasa Tengah Kategori Jumlah Subyek Persentase Rendah 3 6,7 Sedang 39 86,6 Tinggi 3 6,7 Total 45 100,0 pada situasi yang ramai, baik remaja akhir, dewasa awal dan dewasa tengah tidak ada perbedaan dalam mengekspresikan ketujuh jenis emosi. Tingkat keberagaman pengekspresian ketujuh jenis emosi, baik pada situasi yang sepi maupun yang ramai pada tiga tingkat perkembangan mempunyai nilai variasi yang kecil. Hal ini dapat diartikan, semua kategori subjek kurang memiliki variasi ekspresi emosi dalam mengungkapkan jenis-jenis emosi yang dirasakan. Untuk mengetahui gambaran tingkat ekspresi emosi para subjek pada masingmasing kategori tingkatan perkembangan maka disusunlah norma. Norma untuk
Norma Kategori X < 308 308 < x < 616 X > 616
Norma Kategori X < 308 308 < x < 616 X > 616
ekspresi emosi disusun dengan asumsi bahwa skor subyek terdistribusi secara normal. Batasan kategori ekspresi emosi subyek kemudian disusun berdasar pada satuan deviasi standar dengan memperhitungkan rentangan minimum-maksimum teoritisnya (Azwar, 1995). Adapun kategorisasi ekspresi emosi dibuat menjadi tiga kategori sehingga keenam satuan deviasi standar dibagi menjadi 3 bagian, yaitu (x < M-1 SD) untuk kategori rendah, (M-1 SD < x < M+ 1 SD) untuk kategori sedang, dan (x > M+1 SD) untuk kategori tinggi. Secara umum, data skala ekspresi emosi memiliki skor hipotetik minimal 0x154 = 0 dan skor maksimal 6x154 = 924, rerata hipotetik adalah (0+144) : 2 =
60
ADITYA PUTRA KURNIAWAN & NIDA UL HASANAT
462, jarak sebarannya adalah 924 - 0 = 924 dan standar deviasinya bernilai 924 : 6 = 154. Perbandingan antara data hipotetik dan data empirik dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 6 di bawah ini menunjukkan, bahwa tingkat ekspresi emosi subjek pada kategori usia remaja akhir sebagian besar berada pada kategori sedang, yaitu sebesar 80,9%. Sebesar 14,9% berada pada kategori tinggi, sedangkan sisanya sebesar 4,3% berada pada kategori rendah. Tabel 7 menunjukkan, bahwa tingkat ekspresi emosi subjek pada kategori dewasa awal, sebagian besar berada pada kategori sedang yaitu sebesar 92%. Sebesar 6% berada pada kategori tinggi dan sisanya sebesar 2% berada pada kategori rendah. Tabel 8 berikut ini menunjukkan, bahwa sebagian besar tingkat ekspresi emosi subjek golongan dewasa tengah berada pada kategori sedang, yaitu sebesar 86,6%, sedangkan pada kategori rendah dan kategori tinggi, sama-sama memiliki prosentase yang seimbang, yaitu sebesar 6,7%. Kesimpulan dari kategorisasi tingkat ekspresi emosi para subjek menunjukkan, bahwa sebagian besar semua golongan usia, yaitu remaja akhir, dewasa awal dan dewasa tengah memiliki tingkat ekspresi emosi yang berada pada kategori sedang berdasarkan norma kategori. Menurut Matsumoto (2005) kemampuan seseorang dalam mengekspresikan emosi adalah bagian dari regulasi emosi yang akan dimanifestasikan dalam perilakunya. Seseorang yang mengekpresikan emosi pada kategori rendah akan berusaha tidak menampilkan atau bahkan menutupi (Masking) emosi yang benarbenar dirasakan, misalnya ketika seseorang mengalami kesedihan, maka sekuat mungkin tidak akan diekspresikan dengan menangis atau dengan menampilkan ekspresi wajah yang seolah-olah sedang bersedih, atau seorang kru penerbangan, walaupun dalam kondisi panik ia akan berusha tetap tersenyum pada para penumpang. Seseorang yang memiliki tingkat ekspresi emosi pada kategori sedang, maka ia berusaha meminimalisir (deamplification) emosi yang dirasakan, namun bukan berarti menutupi atau tidak sama sekali mengekspresikan emosinya, sedangkan seseorang yang tingkat ekspresi
emosinya berada pada kategori tinggi, ia akan akan berusaha mengekspresikan emosinya lebih dari yang ia rasakan (exaggerate) atau melibihi norma-norma umum yang berlaku pada suatu budaya. Diskusi Hasil uji hipotesis dalam penelitian ini yang mengatakan bahwa ada perbedaan dalam pengekspresian emosi pada beberapa tingkatan generasi suku Jawa di Yogyakarta, ditolak (F = 1,042 ; p = 0,356). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum tidak ada perbedaan dalam pengekspresian emosi marah, muak, jijik, takut, sedih, bahagia dan terkejut pada tiga tingkat kategori usia. Tiga tingkat generasi yang diteliti tersebut masih berada dalam keyakinan dan pemahaman kultur yang sama dalam mengekspresikan dorongan-dorongan emosi yang dirasakan yaitu kultur budaya Jawa. Maka dapat dikatakan bahwa hasil penelitian Heppell (2004) yang mengatakan bahwa orang-orang muda di Yogyakarta banyak menggunakan cara-cara baru yang lebih ekspresif, berani dan lugas jika dibandingkan golongan generasi tua dalam berinteraksi, tidak konsisten jika dilihat dari hasil penelitian ini. Peneliti berpendapat bahwa kemungkinan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini telah direspon secara normatif oleh subjek, atau dengan kata lain, Skala Ekspresi Emosi memiliki tingkat social desirability yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan adanya perbedaan antara temuan dalam penelitian ini dengan hasil penelitian Heppell (2004), yang menggunakan metode kualitatif yang lebih fleksibel jika dibandingkan metode kuantitatif. Penggunaan metode kualitatif oleh Heppel memungkinkan mengungkap bentuk-bentuk perilaku subjek pada wilayah unconsciousness dalam mengekspresikan emosinya sehingga dapat mengeliminir tingkat social desirability dalam penelitian. Kajian secara normatif mengenai hasil penelitian ini yang mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan dalam ekspresi emosi pada tiga kategori usia, erat kaitannya dengan fase pengajaran moral sosial dari semenjak masa anak-anak hingga masa dewasa yang dikenal dengan fase penertiban sosial (Geertz, dalam Suseno, 2001). Dalam fase ini, pengajaran moral yang normatif
ADITYA PUTRA KURNIAWAN & NIDA UL HASANAT pada masyarakat Jawa telah mengatur sedini mungkin cara-cara dalam menguasai dorongan-dorongan emosi serta sikap yang seharusnya ditampilkan ketika seseorang berhadapan dengan orang lain yang berkedudukan lebih tinggi status sosialnya atau lebih tua dari segi usia. Pengajaran moral tersebut menciptakan sistem keyakinan yang sama pada semua tingkatan usia masyarakat Jawa dalam mengekspresikan dorongandorongan emosi. Sistem keyakinan dalam budaya Jawa mengharuskan seorang anak untuk senantiasa dapat membawa diri secara beradab dan harus mempelajari segala unsur tata krama dalam pergaulan sosial. Anak belajar untuk merasa isin (bahasa Jawa malu) terhadap orang yang belum dikenal atau terhadap orang yang lebih tua, merasa tidak enak atau sungkan ketika berada dalam lingkungan baru atau suatu forum tidak resmi yang penuh orang-orang dewasa. Pada golongan pemuda suku Jawa, dituntut untuk mengerti konteks-konteks yang harus membuat individu bersangkutan merasa isin, serta diharapkan sudah mampu mengontrol dorongan-dorongan emosinya. Rasa isin dan sungkan ini dikembangkan dan dipelihara secara turun temurun. Semakin individu tersebut menguasai tata krama pergaulan, semakin ia dianggap dewasa dan diakui sebagai anggota masyarakat Jawa penuh (Suseno, 2001) Dengan demikian, pada masyarakat Jawa di Yogyakarta, dari segala lapisan usia lebih sering melakukan kontrol sosial-psikologis terhadap dorongan emosi yang dirasakan ketika berinteraksi dengan sesama, baik pada golongan usia remaja akhir, dewasa tengah maupun dewasa awal. Hal ini tak lain karena prinsip rukun harmonis yang mengutamakan hubungan baik antar manusia dan tata cara yang pantas dalam pergaulan masyarakat Jawa yang masih dijunjung tinggi. Perasaanperasaan seperti gembira, sedih, kecewa, marah, putus asa, harapan-harapan, atau rasa belas kasihan akan dikontrol sedemikian rupa ketika harus diperlihatkan pada banyak orang. Hal ini telah mengakar dan menjadi sistem sosial-psikologis secara turun temurun semenjak individu berusia anak-anak, remaja, dewasa hingga tua. Status umur lebih menunjukkan tugas dan kewajiban normatif
61
atau tata krama dalam pergaulan sosial yang harus diemban sesuai dengan tingkat usianya masing-masing (Suseno, 2001). Penelitian ini juga menemukan bahwa sebagian besar, tingkat pengekspresian emosi keseluruhan subjek penelitian terhadap tujuh jenis emosi yang dirasakan berada pada kategori sedang. Temuan ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa yang diteliti, selalu berusaha menempatkan segala sesuatu dalam keadaan seimbang atau cenderung di tengah (dalam bahasa Jawa disebut “ing sak madya” ), termasuk dalam mengungkapkan dorongan-dorongan emosi yang dirasakan. Jika gembira maka tidak akan sangat gembira sekali ketika mengekspresikannya dan jika mengalami kesedihan maka juga tidak akan diungkapkan secara sangat mendalam. Hal ini membuat seolah-olah masyarakat Jawa terkesan tanpa emosi atau terlihat datar karena banyak mengendalikan dorongan emosinya (Prawitasari, 1993). Hasil analisis selanjutnya adalah, tingkat keberagaman ekspresi emosi pada semua golongan usia mempunyai variasi yang kecil, baik pada situasi sepi maupun situasi ramai (ditunjukkan dengan perbandingan nilai deviasi standar dengan nilai mean pada semua usia). Data temuan ini memperlihatkan bahwa keseluruhan lapisan usia pada masyarakat Jawa, ketika mengalami pengalaman emosi pada beberapa jenis emosi kurang memiliki variasi ekspresi. Hasil ini didukung dengan pendapat Mantle Hood (dalam Heider, 1997) yang menyatakan bahwa pada masyarakat Jawa, semua jenis perasaan yang dialami dan dirasakan akan ditunjukkan dengan satu ekspresi yaitu dengan senyuman. Bagi masyarakat Jawa, senyuman mempunyai arti yang bermacam-macam yang berasal dari berbagai emosi yang dirasakan dan belum tentu menunjukkan perasaan senang dan bahagia. Semua itu dilakukan agar keharmonisan dan keselarasan hidup tetap terjaga. Pada beberapa budaya kolektif seperti halnya pada masyarakat Jawa, emosi didefinisikan sebagai sebuah konstrak sosial yang terbentuk di dalam hubungan timbal balik antara individu dan lingkungan. Emosi marah, misalnya, tiap-tiap kultur akan memiliki definisi tersendiri dan tentunya akan berbeda pula dalam mengekspresikannya.
62
ADITYA PUTRA KURNIAWAN & NIDA UL HASANAT
Arti sebuah senyuman bagi orang-orang Asia mempunyai makna yang penting sekali yaitu sebagai sebuah alat untuk menjaga keharmonisan hubungan sosial dengan orang lain, walau individu yang bersangkutan tidak sedang berada dalam kondisi emosi yang menyenangkan (Matsumoto dalam Elfenbein & Ambady, 2003). Sependapat dengan hal itu, penelitian Prawirasari (1993) yang dilakukan sebelumnya tentang emosi melalui komunikasi nonverbal pada masyarakat yang berbeda budaya di Indonesia menunjukkan, bahwa bagi orang Indonesia emosi berarti negatif, sehingga harus dikendalikan baikbaik supaya tidak mempengaruhi hubungan dengan orang lain agar keharmonisan tetap terjaga. Pada penelitian itu, orang Jawa yang tinggal di Yogyakarta sangat berhati-hati dalam mengungkapkan dan mengartikan komunikasi nonverbal. Hal ini tentunya berbeda dari kultur individual masyarakat negara Barat yang cenderung lebih spontan dan ekspresif dalam mengungkapkan emosi yang dirasakan (Matsumoto dalam Elfenbein & Ambady, 2003) Penelitian yang dilakukan Ekman tahun 1973 (dalam Matsumoto, 1994) mencoba membandingkan ekspresi emosi dari dua kultur budaya yang berbeda, yaitu masyarakat Jepang dan Amerika. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kelompok subjek Jepang, ketika berada dalam kelompok lebih banyak menahan emosi negatifnya, yaitu perasaan takut, ngeri dan tertekan untuk tidak diekspresikan di tengah banyak orang bila dibandingkan ketika mereka sendirian ataupun bila dibandingkan dengan subjek yang berasal dari Amerika. Sebaliknya, orang Jepang ketika berada dalam kelompok lebih banyak menampilkan ekspresi emosi positif bila dibandingkan ketika mereka berada dalam keadaan sendiri ataupun dengan kelompok subjek yang berasal dari Amerika. Hasil penelitian Ekman tersebut menunjukkan bahwa kultur akan mempengaruhi cara seseorang dalam mengekspresikan emosi yang dirasakannya. Hasil dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan ekspresi emosi pada tiga tingkat golongan usia pada suku Jawa di yogyakarta menunjukkan, bahwa pada tiga tingkat kategori usia yang diteliti tidak terdapat perbedaan kultur dan keyakinan dalam
mengekspresikan dorongan-dorongan emosi yang dirasakan. Atau dengan kata lain, tiga tingkat generasi yang diteliti masih berada dalam satu pemahaman kultur yang sama yaitu kultur budaya Jawa. Dalam penelitian ini juga dilakukan analisis tambahan yang membandingkan ekspresi emosi pada tiga tingkat perkembangan dalam dua situasi, yaitu situasi sepi dan situasi ramai. Hasil analisis data menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara ke tiga tingkat perkembangan dalam mengekspresikan emosi marah, muak, jijik, takut, bahagia dan sedih ketika berada dalam situasi ramai maupun situasi sepi (p > 0,05). Perbedaan ekspresi emosi hanya terdapat pada jenis emosi terkejut pada situasi yang sepi (F = 3,673 ; p = 0,028). Melalui uji perbandingan independent sample t-test, dapat diketahui bahwa, golongan remaja akhir lebih ekspresif dalam mengekspresikan emosi terkejut (nilai mean sebesar 41,19) bila dibandingkan dengan dewasa tengah (nilai mean 35,49). Pada golongan usia dewasa awal dan dewasa tengah juga menunjukkan adanya perbedaan (t= 1,712; p= 0,090). Golongan usia dewasa awal lebih ekspresif (nilai mean 39,04) bila dibandingkan dengan golongan dewasa tengah (nilai mean 35,49). Sedangkan antara golongan remaja akhir dengan dewasa awal, tidak ada perbedaan yang signifikan t= 1,034; p= 0,304). Hasil analisis ekspresi emosi terkejut dalam situasi sepi tersebut, yang menunjukkan bahwa golongan usia dewasa tengah memiliki tingkat ekspresi emosi yang kecil, bila dibandingkan dua golongan usia yang lain karena pada fase ini kondisi emosional sudah mencapai tahap kematangan dan kemandirian yang sempurna dalam merespon segala sesuatu yang menyebabkan keterkejutan. Pada fase ini individu sudah mencapai tahap kestabilan emosi yang tertinggi dari beberapa fase usia sebelumnya yang ditunjukkan dengan perilaku yang terkontrol dan lebih sesuai serta selaras dengan norma sosial (Santrock, 2002). Kesimpulan Dan Saran Berdasarkan hasil analisis data penelitian, dapat disimpulkan bahwa secara umum tidak ada perbedaan ekspresi emosi
ADITYA PUTRA KURNIAWAN & NIDA UL HASANAT marah, muak, jijik, takut, sedih, bahagia dan terkejut antara golongan usia remaja akhir, dewasa awal dan dewasa tengah pada suku Jawa di Yogyakarta (F = 1,042 ; p = 0,356). Dengan demikian, hipotesis dalam penelitian ini yang berbunyi “Ada perbedaan dalam pengekspresian emosi pada beberapa tingkatan generasi suku Jawa di Yogyakarta” ditolak. Tingkat keberagaman ekspresi emosi pada semua golongan usia mempunyai variasi yang kecil, baik pada situasi sepi maupun situasi ramai. Penelitian ini juga menemukan bahwa sebagian besar, tingkat pengekspresian emosi keseluruhan subjek penelitian terhadap tujuh jenis emosi yang dirasakan berada pada kategori sedang. Ada perbedaan ekspresi emosi pada tiga golongan usia jika ditinjau dari dua situasi, yaitu situasi sepi dan ramai. Perbedaan ini terdapat pada jenis ekspresi emosi terkejut dalam situasi sepi. Golongan remaja akhir dan dewasa awal lebih ekspresif ketika mengalami emosi terkejut ketika berada dalam situasi sepi jika dibandingkan golongan usia dewasa tengah, sedangkan antara remaja akhir dengan dewasa awal, tidak ada perbedaan yang signifikan. Penggolongan ekspresi emosi yang dituliskan oleh para subjek dalam skala penelitian berdasarkan jenis emosi yang dialami menghasilkan tujuh macam jenis ekspresi emosi yang sering ditulis dalam lembar jawaban pertanyaan skala penelitian, yaitu : diam tidak melakukan apa-apa, pergi/ menjauh/menghindari situasi, mengabaikan perasaan, mencari penyebab timbulnya
63
perasaan, membatalkan niat/aktivitas yang akan dilakukan, mencari teman dan berteriak. Dari ketujuh respon emosi tersebut, perilaku pergi menjauh atau menghindari situasi adalah alternatif jawaban yang paling banyak diberikan oleh para subjek. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan baik secara teoritik maupun dalam hal metode penelitian. Secara teoritik, penelitian-penelitian pada bidang Psikologi Emosi yang berdasarkan kearifan lokal budaya Jawa masih jarang dilakukan sehingga peneliti memiliki keterbatasan dalam membangun kerangka landasan teori yang mampu mendukung dan menjadi acuan dalam penelitian ini. Di samping itu, metode pengumpulan data dengan menggunakan skala yang harus diisi oleh para subjek untuk mengungkap emosi masih sulit dipahami oleh masyarakat Jawa di Yogyakarta dan akan banyak memakan waktu dalam proses pengambilan data. Hal ini karena pada kultur masyarakat Jawa masih dominan dengan budaya lisan sehingga sangat awam dengan budaya tulis. Berdasarkan proses dan hasil dalam penelitian ini, maka peneliti memiliki saran untuk penelitian selanjutnya, khususnya pada kajian Psikologi Emosi yang berbasiskan kearifan lokal suatu kultur budaya agar lebih memperhatikan instrumen dan metode yang akan dipakai dalam penelitian. Peneliti selanjutnya disarankan untuk menggunakan metode kualitatif dalam melakukan penelitian sehingga dapat lebih leluasa dan luwes dalam mengadakan pendekatan dengan subjek penelitian.
Daftar Pustaka Azwar, S. (1995). Sikap manusia teori dan pengukurannya (Edisi kedua). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ekman, P. (1993). Facial expression and emotion. Journal of American Psychologist, 48(4), 384-392
Barret, L. F., & Fossum, T. (2001). Mental representations of affect Knowledge. Cognition and Emotion, 15, 333-363.
Elfenbein, H.A., & Ambady, W. (2003). Universals and cultural differences in recognizing emotions. Psychological Bulletin, 12, 159–163.
Berry, J.W., Poortinga, Y.H., Segall, M.H., & Dasen, P.R. (1999). Psikologi lintas budaya: Riset dan aplikasi (Terj.). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gudykunst, W., & Kim, Y.Y. (1986). Communicating with strangers: An approach to intercultural communication. New York: McGraw Hill.
64
ADITYA PUTRA KURNIAWAN & NIDA UL HASANAT
Hadi, S. (2002). Metodologi research. Jilid 1. Yogyakarta: Andi Offset. Handayani, B.R. (2004). Pemahaman moral remaja. Hubungan antara perilaku pengendalian diri dengan perilaku rukun pada remaja Jawa. Laporan Penelitian. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM. Heider, K. (1997). Theoretical introduction. Emosi, ekspresi wajah dan budaya. Naskah seminar (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM. Heppell, D.J. (2004). Penyebab dan akibat perubahan budaya di Yogyakarta. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). Malang: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMM. Matsumoto, D. (1993). Ethnic differences in affect intensity, emotion judgments, display rule attitudes, and self-reported emotional expression in an American sample. Journal of Motivation & Emotion, 17, 107–123. Matsumoto, D. (1994). People: Psychology from a cultural perspective. California: Brooks/Cole.
Matsumoto, D. (2005). Development and validation of a measure of display rule knowledge: The Display Rule Assessment Inventory. American Psychological Association, 5(1), 23–40. Mulyana, D. (1999). Nuansa-nuansa komunikasi. Meneropong politik & budaya komunikasi masyarakat kontemporer. Bandung : Remaja Rosda Karya. Prawitasari, J.E. (1995). Mengenal emosi melalui komunikasi non-verbal. Buletin Psikologi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Tahun III. No. 1, 27–43. Prawitasari, J.E., & Martani, W. (1993). Kepekaan terhadap komunikasi nonverbal di antara masyarakat yang berbeda budaya. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Santrock, J.W. (2002). Life-span development (Terjemahan). Jakarta : Erlangga Suseno, F.M. (2001). Etika Jawa: Sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
_________________________________________________ Email:
[email protected] dan
[email protected]