Prevalensi Hipertensi dan Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi Pada Lansia di Posyandu Lansia Wilayah Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat Tahun 2013 Dwi Suciaty Purnama1, Nurhayati Adnan Prihartono1 1
Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Hipertensi merupakan penyebab kematian utama ketiga di Indonesia untuk semua umur. Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya penyakit degeneratif lainnya. Sebagian besar kasus (90%) penyebab dari hipertensi tidak diketahui, sedangkan 10% lainnya disebabkan oleh penyakit-penyakit yang sudah diketahui seperti aterosklerosis, tumor pada kelenjar adrenal, atau malfungsi ginjal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi hipertensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada lansia di posyandu lansia wilayah Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat tahun 2013. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional. Sampel penelitian adalah lansia yang terdaftar di posyandu lansia wilayah Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat tahun 2013 sebanyak 75 orang. Hasil penelitian ini mendapatkan proporsi lansia yang mengalami hipertensi adalah sebesar 62,7%. Tekanan sistolik tertinggi adalah 240 mmHg, sedangkan tekanan diastolik tertinggi adalah 150 mmHg. Faktorfaktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi dalam penelitian ini adalah riwayat hipertensi keluarga (PR: 3,216 dengan 95% CI: 1,587-6,515), dan riwayat penyakit Diabetes Melitus (PR: 2,375 dengan 95% CI: 1,3664,128). Hubungan yang tidak bermakna secara statistik terdapat pada hubungan antara jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, IMT, asupan natrium, asupan lemak, aktifitas fisik, kebiasaan merokok, dan stres dengan hipertensi. Kata kunci: Hipertensi; Lansia; Tekanan Darah
Prevalence of Hypertension and Factors that Related with the Incidence of Hypertension in Elderly at Elderly Posyandu Subdistrict Johar Baru, Central Jakarta 2013 Abstract Hypertension is the third major cause of death in Indonesia for all ages. Much research has proven that hypertension is the major risk factor for the onset of degenerative disease. Most of the cases (90%) cause of hypertension is unknown, while 10% other caused by diseases already known as atheroschlerosis, tumor on the adrenal glands, or kidney malfunctions. This research aims to know the prevalence of hypertension and factors that related with the incidencce of hypertension in elderly at elderly posyandu subdistrict Johar Baru, Central Jakarta 2013. This research is quantitative research with cross sectional design study. Sample research is elderly who registered at elderly posyandu subdistrict Johar Baru, Central Jakarta 2013 as many as 75 people. Result of this research to get the proportions of elderly who suffer hypertension is 62,7%. Highest systolic pressure is 240 mmHg, while the highest diastolic pressure is 150 mmHg. Factors related to the incidence of hypertension in this research is a family history of hypertension (PR: 3,216 with 95% CI: 1,587-6,515), and a history of Diabetes Mellitus (PR: 2,375 with 95% CI: 1,366-4,128). The relation that no statitically significant are on relations between gender, education, occupation, marital status, BMI, sodium intake, fat intake, physical activity, smoking habit, and stress by hypertension. Keywords: Hypertension; Elderly; Blood Pressure
Prevalensi hipertensi…, Dwi Suciaty Purnama, FKM UI, 2013
Pendahuluan Data WHO di dunia pada tahun 2000 terjadi 55.694.000 kematian, 59% diantaranya diakibatkan oleh penyakit tidak menular. Di regional Asia Tenggara pada tahun 2001 penyakit tidak menular merupakan 49,7% penyebab kematian yang menimbulkan DALYs sebesar 42,2% (Depkes, 2007). Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di negara maju maupun negara berkembang. Hipertensi merupakan penyebab kematian utama ketiga di Indonesia untuk semua umur (6,8%), setelah stroke (15,4%) dan tuberculosis (7,5%) (Depkes, 2008). Berdasarkan data WHO tahun 2008, penyakit jantung iskemik dan stroke merupakan penyebab kematian nomor satu dan dua di dunia, dimana hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama kedua penyakit tersebut. Trend hipertensi semakin meningkat diberbagai negara. Pada tahun 2009-2010, prevalensi hipertensi di Amerika Serikat menurut National Health and Nutrition Survey mencapai 28,6% dengan prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok umur 60 tahun ke atas. Risiko hipertensi meningkat seiring dengan pertambahan usia, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya kecenderungan peningkatan prevalensi hipertensi yang semakin besar pada kelompok umur dewasa dibandingkan remaja yaitu sekitar 40% dengan kematian sekitar di atas 65 tahun (Depkes, 2007). Berdasarkan data hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2007, prevalensi hipertensi berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah meningkat sesuai peningkatan kelompok umur responden. Prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok umur 60 hingga 70 tahun ke atas. DKI Jakarta yang merupakan salah satu provinsi di Indonesia memiliki angka prevalensi hipertensi yang cukup tinggi, yaitu sebesar 28,8%. Menurut Kabupaten/Kota, prevalensi hipertensi tertinggi ditemukan di Jakarta Pusat (12,6%) dengan prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok usia lanjut (Riskesdas Indonesia, 2007). Johar Baru yang merupakan salah satu kecamatan di Jakarta Pusat, memiliki prevalensi hipertensi pada lansia yang paling tinggi jika dibandingkan dengan kecamatan lainnya di Jakarta Pusat. Angka kejadian hipertensi di kecamatan Johar Baru pun meningkat dari tahun ke tahun. Upaya pelayanan kesehatan lansia mulai dilakukan di wilayah Johar Baru berupa pengadaan posyandu bagi lansia di setiap kelurahan. Maka peneliti melakukan penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui besarnya prevalensi hipertensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada lansia di posyandu lansia wilayah kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat tahun 2013.
Prevalensi hipertensi…, Dwi Suciaty Purnama, FKM UI, 2013
Tinjauan Teoritis Hipertensi merupakan keadaan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala yang akan berlanjut untuk suatu target organ seperti stroke (untuk otak), penyakit jantung koroner (untuk pembuluh darah jantung), dan hipertrofi ventrikel kiri (untuk otot jantung). Dengan target organ di otak yang berupa stroke, hipertensi adalah penyebab utama stroke yang membawa dampak kematian yang tinggi (Bustan, 1997). Hipertensi pada umumnya terjadi karena jantung berusaha sekuat tenaga agar darah yang ada di dalam ventrikel dapat terpompa keluar seluruhnya menuju aorta dan arteri pulmonalis. Jika hal tersebut berlangsung terus menerus, otot jantung akan menebal dan mengalami hipertrofi. Hipertrofi ini akan meningkatkan kebutuhan oksigen pada otot jantung. Menurut WHO, hipertensi didefinisikan sebagai keadaan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Menurut Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment on High Blood Pressure (JNC VII) hipertensi diklasifikasikan seperti berikut. Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC VII 2003 Klasifikasi Tekanan Darah Normal Prehipertensi Hipertensi Stadium 1 Hipertensi Stadium 2
Tekanan Darah Sistolik (mmHg) < 120 120 – 139 140 – 159 ≥ 160
Tekanan Darah Diastolik (mmHg) dan < 80 atau 80 – 89 atau 90 – 99 atau ≥ 100
Hipertensi dapat mempercepat terjadinya atherosclerosis (proses pembentukan plak) pada arteri coronaria. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah pada jantung dan meningkatkan risiko cardiac ischemia dan myocardial infarction. Jika hal tersebut tidak ditanggulangi, maka akan menimbulkan gagal jantung yang kemudian dapat berakibat pada kematian mendadak. Selain jantung, target organ lain dari hipertensi adalah otak, mata, dan ginjal. Hipertensi dapat merusak arteriole (pembuluh darah kecil) yang membuat target organ mengalami disfungsi dan akhirnya menimbulkan stroke, gagal ginjal, dan retinopati hipertensif (Bullock et al., 1996). Hipertensi merupakan faktor utama penyebab penyakit kardiovaskuler. Komplikasi dapat terjadi apabila hipertensi tidak terkendali. Komplikasi tersebut antara lain stroke, infark miokard, gagal ginjal, dan ensefalopati atau kerusakan otak (Corwin, 2009). Faktor risiko hipertensi terbagi atas dua yaitu faktor risiko yang dapat diubah atau dikontrol dan faktor risiko yang tidak dapat diubah atau dikendalikan (Bustan, 1997). Faktor
Prevalensi hipertensi…, Dwi Suciaty Purnama, FKM UI, 2013
risiko yang tidak dapat diubah diantaranya adalah umur, jenis kelamin, suku, pendidikan, status perkawinan, riwayat hipertensi pada keluarga, dan riwayat penyakit tertentu. Sedangkan faktor risiko yang dapat diubah atau dikontrol adalah aktifitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, konsumsi kopi, stress, kepribadian, konsumsi garam berlebih, konsumsi lemak, diabetes melitus, pil KB, dan Indeks Massa Tubuh.
Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan Juni 2013. Pengambilan data dilakukan di puskesmas dan posyandu lansia di wilayah Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat. Desain studi yang digunakan adalah cross sectional. Penarikan sampel dilakukan dengan teknik Probability Proportional to Size (PPS) pada setiap posyandu. Kriteria inklusi untuk sampel penelitian ini adalah lansia yang terdaftar di posyandu lansia wilayah Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat tahun 2013, memiliki KMS dan pencatatan data yang lengkap serta bersedia untuk menjadi responden. Sedangkan kriteria eksklusi sampel untuk penelitian ini adalah lansia yang tidak memiliki KMS, sedang sakit, memiliki kemunduran daya ingat (pikun) dan mengalami gangguan berbicara atau gangguan pendengaran. Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 75 orang lansia dari dua posyandu lansia yang ada. Pengambilan sampel di masing-masing posyandu lansia dilakukan dengan cara konsekutif sampling. Data diperoleh melalui wawancara lansia yang terdapat di posyandu lansia wilayah Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat dan KMS lansia serta laporan hasil kegiatan pelayanan kesehatan lanjut usia di posyandu lansia wilayah Kecamatan Johar Baru. Variabel yang diteliti meliputi variabel dependen status hipertensi, dan variabel independen berupa karakteristik individu (jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, riwayat penyakit Diabetes Melitus, dan riwayat hipertensi pada keluarga), asupan zat gizi (frekuensi konsumsi makanan tinggi lemak dan frekuensi konsumsi makanan tinggi natrium), IMT, serta gaya hidup (aktifitas fisik, kebiasaan merokok, stress). Kriteria hipertensi sesuai JNC VII 2003 adalah hasil pengukuran tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. IMT dihitung berdasarkan hasil pembagian berat badan dalam kilogram dengan tinggi badan dalam meter kuadrat (kg/m2). IMT dibagi dalam 3 kategori yaitu lebih (≥ 25,0 kg/m2), normal (≥ 18,5 – 24,9 kg/m2), dan kurang (< 18,5 kg/m2). Aktifitas fisik dihitung dengan menjumlahkan indeks bekerja, indeks berolahraga, dan indeks waktu luang (Baecke, 1982). Aktifitas fisik digolongkan menjadi 3
Prevalensi hipertensi…, Dwi Suciaty Purnama, FKM UI, 2013
kategori yaitu ringan jika hasil penjumlahan < 5,6, aktifitas fisik sedang jika hasil penjumlahan antara 5,6 – 7,9, dan aktifitas fisik berat jika hasil penjumlahan > 7,9. Asupan zat gizi ditanyakan dengan menggunakan Food Frequency Questionnare (FFQ). Dikategorikan sering apabila konsumsi makanan responden ≥ nilai median, dan jarang jika konsumsi makanan responden < nilai median. Data dianalisis dalam dua tahap yaitu univariat dan bivariat. Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui prevalensi hipertensi pada lansia dan proporsi dari masingmasing variabel yang akan disajikan secara deskriptif. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan dependen.
Hasil Penelitian Dari hasil analisis diperoleh prevalensi hipertensi pada lansia sebesar 62,7%, sedangkan yang tidak hipertensi sebanyak 37,3%. Tabel 2 memperlihatkan distribusi responden berdasarkan karakteristik individu (jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, riwayat hipertensi keluarga, dan riwayat penyakit DM). Pada tabel 3 disajikan distribusi responden berdasarkan asupan zat gizi (konsumsi natrium dan konsumsi lemak), Indeks Massa Tubuh (IMT), dan gaya hidup responden (aktifitas fisik, kebiasaan merokok, dan stress). Tabel 2. Distribusi Karakteristik Individu Lansia Variabel Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Rendah Tinggi Pekerjaan Tidak bekerja Bekerja Status perkawinan Cerai Hidup Cerai Mati Belum Menikah Menikah Riwayat Hipertensi Keluarga Ya Tidak Riwayat DM Ya Tidak
Jumlah Responden (n) (%) 10 65
13.3 86.7
58 17
77,33 22,67
59 16
78,67 21,33
1 37 2 35
1,3 49,3 2,7 46.7
51 24
68 32
48 27
64 36
Prevalensi hipertensi…, Dwi Suciaty Purnama, FKM UI, 2013
Tabel 3. Distribusi Asupan Zat Gizi, IMT, dan Gaya Hidup Lansia Jumlah Responden
Variabel Konsumsi Natrium Sering Jarang Konsumsi Lemak Sering Jarang IMT Lebih (≥ 25,0 kg/m2) Normal (≥ 18,5 – 24,9 kg/m2) Kurang (< 18,5 kg/m2) Aktifitas Fisik Ringan Sedang Tinggi Kebiasaan Merokok Ya Tidak Stress Ya Tidak
(n)
(%)
38 37
50,7 49,3
39 36
52 48
23 48 4
30,7 64 5,3
2 46 27
2,7 61.3 36
66 9
88 12
61 14
81,3 18,7
Tabel 4. Analisis Bivariat Hubungan Karakteristik Individu dengan Hipertensi Variabel Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Rendah Tinggi Pekerjaan Tidak bekerja Bekerja Status perkawinan Cerai Hidup Cerai Mati Belum Menikah Menikah Riwayat Hipertensi Ya Tidak Riwayat DM Ya Tidak
Hipertensi Ya (%) Tidak (%)
PR
95% CI
P-Value
80 60
20 40
1,333 1
0,923 – 1,926 referens
0,304
65,5 52,9
34,5 47,1
1,238 1
0,762 – 2,011 referens
0,399
62,7 62,5
37,3 37,5
1,003 1
0,654 – 1,539 referens
1,000
100 64,9 50 60
0 35,1 50 40
1,670 1,081 0,833 1
1,272 – 2,184 0,754 – 1,549 0,203 – 3,420 referens
1,000 0,808 1,000
80,4 25
10 18
3,216 1
1,587 – 6,515 referens
0,000*
79,2 33,3
20,8 66,7
2,375 1
1,366 – 4,128 referens
0,000*
Dari tabel 4 diketahui variabel riwayat hipertensi pada keluarga dan riwayat penyakit DM memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian hipertensi. Lansia yang memiliki riwayat hipertensi pada keluarga memiliki risiko 3,216 kali lebih besar dibandingkan responden yang tidak memiliki riwayat hipertensi pada keluarganya. Pada lansia yang
Prevalensi hipertensi…, Dwi Suciaty Purnama, FKM UI, 2013
memiliki riwayat DM, risiko untuk menderita hipertensi adalah sebesar 2,375 kali dibandingkan dengan lansia yang tidak memiliki riwayat DM. Hasil dari tabel 5 diketahui tidak terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara asupan zat gizi, IMT, dan gaya hidup dengan kejadian hipertensi pada lansia. Tabel 5. Analisis Bivariat Hubungan Asupan Zat Gizi, IMT, dan Gaya Hidup dengan Hipertensi Variabel Konsumsi Natrium Sering Jarang Konsumsi Lemak Sering Jarang IMT Lebih (≥ 25,0 kg/m2) Kurang (< 18,5 kg/m2) Normal (≥ 18,5 – 24,9 kg/m2) Aktifitas Fisik Ringan Sedang Tinggi Kebiasaan Merokok Ya Tidak Stress Ya Tidak
Hipertensi Ya (%) Tidak (%)
PR
95% CI
P Value
65,8 59,5
34,2 40,5
1,106 1
0,779 – 1,572 referens
0,631
64,1 61,1
35,9 28,9
1,049 1
0,739 – 1,490 referens
0,815
65,2 75 60,4
34,8 25 39,6
1,079 1,241 1
0,741 – 1,572 0,674 – 2,286 referens
0,797 1,000
50 60,9 66,7
50 39,1 33,3
0,750 0,913 1
0,183 – 3,076 0,641 – 1,300 referens
1,000 0,802
77,8 60,6
22,2 39,4
1,283 1
0,860 – 1,914 referens
0,470
64,3 62,3
35,7 37,7
1,032 1
0,667 – 1,597 referens
1,000
Pembahasan Keterbatasan penelitian ini terdapat pada desain studi yang digunakan, jumlah sampel yang minim, serta kualitas data sekunder yang tidak dapat dikontrol. Keterbatasan lainnya adalah Food Frequency Questionnare (FFQ), bisa terjadi bias informasi dari responden. Penggambaran asupan makanan yang dilakukan hanya berdasarkan frekuensi saja, tidak termasuk jumlah porsi yang dikonsumsi. Selain itu, adanya keterbatasan dalam daya ingat dari lansia untuk menyebutkan frekuensi konsumsi makanan yang dimakan. Selain itu kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah responden sudah mengubah pola hidupnya ke arah yang lebih positif saat penelitian ini dilakukan. Pada penelitian ini, dari jumlah sampel sebanyak 75 orang lansia, diperoleh prevalensi hipertensi sebesar 62,7%. Menurut laporan Riset Kesehatan Dasar 2007, prevalensi hipertensi di Indonesia pada responden berumur 65-74 tahun adalah sebesar 63,5%, sedangkan prevalensi hipertensi pada responden berumur 75 tahun ke atas adalah sebesar 67,3%. Dapat
Prevalensi hipertensi…, Dwi Suciaty Purnama, FKM UI, 2013
dikatakan bahwa hasil penelitian ini memiliki angka prevalensi yang tidak terlalu jauh berbeda dengan angka prevalensi hipertensi nasional pada lansia. Prevalensi hipertensi pada perempuan lebih rendah yaitu sebesar 60% dibandingkan dengan prevalensi pada laki-laki yaitu 80%. Laki-laki mempunyai risiko untuk menderita hipertensi lebih besar dari perempuan dengan rasio sekitar 2,29 untuk peningkatan tekanan darah sistolik. Hal ini diduga karena laki-laki memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan perempuan (Depkes, 2006). Pada umumnya laki-laki mempunyai lebih banyak faktor untuk mendorong terjadinya hipertensi seperti stress, kelelahan dan makan tidak teratur (Darmojo, 1999). Selain itu, perilaku perempuan umumnya dianggap lebih sehat dan tidak berisiko. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh prevalensi hipertensi lebih tinggi pada responden yang memiliki pendidikan rendah yaitu sebesar 65,5% sedangkan prevalensi hipertensi pada responden dengan pendidikan tinggi yaitu sebesar 52,9%. Pendidikan yang rendah diketahui sebagai penyebab yang lebih besar terhadap kejadian hipertensi jika dibandingkan dengan faktor risiko lainnya (Bullock, 1996). Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang faktor-faktor penyebab hipertensi. Menurut Saputri (2010), perbedaan risiko seseorang untuk terkena hipertensi tidak sematamata karena perbedaan tingkat pendidikan, tetapi tingkat pendidikan berpengaruh terhadap gaya hidup. Pada umumnya orang yang berpendidikan tinggi lebih memilih gaya hidup sehat dengan tidak merokok, tidak minum alkohol, dan lebih sering berolahraga. Oleh karena itu, perlu untuk diadakan penyuluhan kesehatan mengenai faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian hipertensi agar masyarakat dapat melindungi dirinya sendiri dari kejadian hipertensi. Pekerjaan berkaitan dengan pendapatan yang juga merupakan salah satu penyebab terjadinya hipertensi. Pendapatan yang rendah memicu terjadinya hipertensi pada masyarakat umumnya. Pendapatan yang rendah diketahui menjadi penyebab yang lebih besar terhadap kejadian hipertensi jika dibandingkan dengan faktor risiko yang lainnya (Bullock, 1996). Penelitian ini memiliki hasil yang sesuai dengan teori Bullock tersebut, didapatkan hasil bahwa prevalensi hipertensi lebih tinggi terdapat pada kelompok yang tidak bekerja (62,7%) dibanding kelompok yang bekerja (62,5%). Pekerjaan berhubungan dengan penghasilan dan kebiasaan makan seseorang (Suhardjo, 1989). Selain itu, pekerjaan akan menimbulkan respon stress atau tekanan psikis yang berbeda. Mereka yang bekerja umumnya memiliki aktifitas fisik yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak bekerja. Aktifitas fisik yang tinggi dapat membantu mengurangi lemak tubuh yang akan berpengaruh pada tekanan darah seseorang. Orang yang
Prevalensi hipertensi…, Dwi Suciaty Purnama, FKM UI, 2013
tidak bekerja aktifitas fisiknya tidak banyak, sehingga dapat meningkatkan kejadian hipertensi. Status perkawinan memiliki hubungan secara tidak langsung dengan status kesehatan termasuk hipertensi melalui faktor risiko perilaku (pola hidup) maupun stress. Selain itu juga berhubungan secara langsung dengan sistem kardiovaskuler, endokrin, kekebalan tubuh, saraf sensorik, dan mekanisme fisiologik lainnya (Wang, 2005 dalam Ananda, 2011). Hipertensi lebih berisiko pada mereka yang berstatus janda atau duda karena kehilangan pasangan atau orang yang dicintai merupakan stres kehidupan yang paling berat dan dapat disertai dengan kemungkinan terkenanya penyakit serta kematian (Swarth J, 2006). Sejalan dengan teori tersebut, pada penelitian ini ditemukan bahwa janda atau duda sebagai kelompok yang paling berisiko untuk menderita hipertensi dengan nilai risiko pada responden yang cerai hidup sebesar 1,67 kali untuk menderita hipertensi dibandingkan responden yang berstatus menikah, dan pada responden dengan status cerai mati memiliki risiko untuk meningkatkan kejadian hipertensi sebesar 1,081 kali dibandingkan responden yang menikah. Sedangkan pada responden yang belum menikah PR yang didapatkan < 1, artinya dalam penelitian ini status perkawinan belum menikah merupakan protektor atau memiliki kecenderungan untuk menurunkan risiko hipertensi. Status perkawinan berpengaruh kuat terhadap gaya hidup dan tekanan sosial yang dialami seseorang. Responden yang belum menikah mempunyai tekanan sosial yang paling rendah di masyarakat dibanding responden yang berstatus menikah. Hal ini dapat dikarenakan seseorang yang berstatus menikah mempunyai kewajiban terhadap keluarganya dan lingkungannya yang kadang-kadang ada masalah, sehingga dapat mengakibatkan stres yang berdampak pada meningkatnya tekanan darah seseorang. Masyarakat dengan angka perceraian yang tinggi menunjukkan tingkat tekanan darah yang lebih tinggi (Shapiro dan Goldstein dalam Ananda, 2011). Pada penelitian ini, riwayat hipertensi pada keluarga terbukti sebagai faktor risiko terjadinya hipertensi berdasarkan hasil uji statistik yang ditunjukkan dengan nilai p < 0,05. Kemungkinan terjadinya hipertensi pada mereka yang memiliki riwayat hipertensi pada keluarga adalah sebesar 3,216 kali dibandingkan mereka yang tidak memiliki riwayat hipertensi pada keluarga. Berbeda dengan hasil penelitian Rahayu (2012) yang mengatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat hipertensi pada keluarga dengan kejadian hipertensi. Chunfang Qiu, dkk (2003) mengatakan bahwa keluarga yang memiliki hipertensi dan jantung meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lipat.
Prevalensi hipertensi…, Dwi Suciaty Purnama, FKM UI, 2013
Faktor genetik secara jelas berperan besar dalam terjadinya hipertensi. Menurut Davidson, bila kedua orang tuanya menderita hipertensi, maka sekitar 45% akan turun ke anak-anaknya dan bila salah satu orang tuanya yang menderita hipertensi, maka sekitar 30% akan turun ke anak-anaknya (Depkes, 2006). Menurut Black & Hawks (2005), seseorang yang mempunyai riwayat keluarga hipertensi akan mempunyai risiko yang lebih besar untuk mengalami hipertensi. Hal ini terjadi karena seseorang yang mempunyai riwayat keluarga hipertensi, beberapa gennya akan berinteraksi dengan lingkungan dan menyebabkan peningkatan tekanan darah. Hipertensi merupakan komplikasi penyakit pada diabetes melitus, khususnya pada penderita nefropati. Ditemukan bahwa progresivitas diabetic nefropati meningkat sehubungan dengan peningkatan tekanan darah penderita diabetes melitus. Pada penderita Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM), nefropati merupakan penyebab utama dari hipertensi. Prevalensi hipertensi meningkat sesuai dengan meningkatnya kejadian diabetes melitus dan hal tersebut berhubungan sebagian dengan sindroma metabolik (Fittchet, 2003). Berdasarkan hasil uji statistik, didapatkan hubungan yang bermakna antara hipertensi dengan riwayat penyakit Diabetes Melitus (p < 0,05) dengan kemungkinan terjadinya hipertensi 2,375 kali pada pasien yang memiliki riwayat penyakit Diabetes Melitus dengan rentang interval kepercayaan sebesar 1,366 – 4,128. Saputri (2010) dalam penelitiannya juga membuktikan ada hubungan yang signifikan antara riwayat Diabetes Melitus dengan kejadian hipertensi dengan nilai risiko sebesar 1,52 kali. Natrium adalah mineral yang sangat berpengaruh terhadap tekanan darah dan mekanisme timbulnya hipertensi. Pengaruh asupan natrium terhadap hipertensi terjadi melalui peningkatan volume cairan tubuh dan tekanan darah. Pada masyarakat yang mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang, ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan pada masyarakat asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi (Depkes, 2006). Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa mereka yang sering mengonsumsi natrium memiliki kecenderungan untuk menderita hipertensi sebesar 1,106 kali dibandingkan mereka yang tidak sering mengonsumsi natrium. Namun pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara asupan natrium dengan kejadian hipertensi (p > 0,05). Berbeda dengan penelitian Kamso (2000) juga menemukan adanya hubungan yang signifikan antara asupan natrium dengan tekanan darah. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan analisis dalam menilai konsumsi natrium, dalam penelitian ini penilaian konsumsi natrium
dengan
menggunakan
Food
Frequency
Questionnare,
sedangkan
Kamso
menggunakan 24 hour recall serta mengukur ekskresi natrium melalui urin. Tidak
Prevalensi hipertensi…, Dwi Suciaty Purnama, FKM UI, 2013
ditemukannya hubungan antara konsumsi natrium dengan hipertensi pada penelitian ini juga dapat disebabkan karena sebagian responden sudah mengubah pola hidupnya ke arah yang lebih baik. Berdasarkan pengakuan beberapa lansia yang diwawancara, di usia lanjut seperti mereka penting untuk menjaga asupan makanan yang dikonsumsi
agar terhindar dari
penyakit. Hull (1996) mengatakan adanya kaitan antara asupan natrium dengan hipertensi pada beberapa individu. Garam akan menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan dalam darah. Diet tinggi garam dapat memompa lebih keras untuk mendorong volume darah yang meningkat melalui ruang yang makin sempit yang pada akhirnya akan menyebabkan tekanan darah semakin meningkat (Hull, 1996). Natrium terdapat pada beberapa bahan makanan yang biasa dikonsumsi sehari-hari, antara lain di sumber karbohidrat (seperti biskuit, krakers asin, kue-kue, roti isi, roti tawar dan mie instan), sumber lauk hewani (daging kornet, daging bebek, ikan tongkol, ikan sarden, ikan asin, keju, sosis, telur bebek, telur ayam, dan udang), susu (susu penuh bubuk, susu skim bubuk, susu kental manis), dan makanan lain (seperti kecap, margarine atau mentega, saus tomat, dan bumbu penyedap). WHO (2005), merekomendasikan pola konsumsi garam adalah tidak lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) per hari. Penyebab lain terjadinya hipertensi adalah konsumsi lemak yang tinggi. Kadar lemak yang tinggi dalam menu makanan sehari-hari akan mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Castillon, et al (2007) pada penelitiannya di Spanyol menunjukkan bahwa makanan berlemak berhubungan dengan obesitas. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang gemuk adalah 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang badannya normal (Depkes, 2006). Lemak tubuh di bagian sentral merupakan faktor yang penting dalam menentukan peningkatan tekanan darah. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa mereka yang sering mengonsumsi makanan tinggi lemak cenderung mengalami hipertensi jika dibandingkan dengan mereka yang tidak sering mengonsumsi makanan tinggi lemak. Nilai kecenderungan tersebut adalah sebesar 1,049 kali bagi mereka yang sering mengonsumsi makanan tinggi lemak. Penelitian lain yang sejalan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Sugiharto (2007) di Kabupaten Karanganyar yang mendapatkan nilai kecenderungan sebesar 2,01 kali bagi mereka yang sering mengonsumsi lemak untuk menderita hipertensi. Kebiasaan konsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan peningkatan berat badan yang berisiko pada terjadinya hipertensi. Berat badan dan Indeks Massa Tubuh berhubungan langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Hal ini disebabkan karena seseorang dengan status gizi lebih memiliki penumpukan lemak tubuh yang melebihi batas
Prevalensi hipertensi…, Dwi Suciaty Purnama, FKM UI, 2013
normal. Lemak tubuh di bagian central merupakan faktor yang penting dalam menentukan peningkatan tekanan darah daripada lemak tubuh di bagian perifer, baik pada pria maupun wanita. Semakin besar massa tubuh, semakin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Hal ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberikan tekanan lebih besar pada dinding arteri (Yundini, 2006). Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa mereka yang memiliki IMT lebih (≥ 25,0 kg/m2) memiliki proporsi kejadian hipertensi yang lebih tinggi yaitu 65,2% dibandingkan mereka yang memiliki IMT kurang (< 18,5 kg/m2) dan IMT normal (≥ 18,5–24,9 kg/m2). Hal ini sesuai dengan pernyataan Hull (1996) yang mengatakan bahwa ada hubungan antara berat badan dan hipertensi, bila berat badan meningkat di atas berat badan ideal maka risiko hipertensi juga meningkat. Berdasarkan hasil uji statistik antara Indeks Massa Tubuh dengan kejadian hipertensi pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna dengan nilai p > 0,05. Meskipun tidak ditemukan hubungan dalam penelitian ini, namun responden yang memiliki IMT lebih 1,079 kali lipat lebih berisiko untuk meningkatkan kejadian hipertensi dibandingkan orang dengan IMT normal. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang gemuk adalah 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang berat badannya normal. Sedangkan pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih (overweight) (Depkes, 2006). Oleh karena itu, pengendalian dan pencegahan hipertensi pada orang dengan obesitas bisa dilakukan dengan cara melakukan penurunan berat badan dan membatasi kalori serta asupan makanan berlemak. Selain itu hal lain yang bisa dilakukan orang obesitas untuk menurunkan tekanan darah adalah dengan berolahraga secara teratur. Melakukan aktifitas fisik secara teratur diketahui sangat efektif dalam mengurangi risiko relatif hipertensi hingga mencapai 19% - 30% (Rahajeng, 2009). Hal ini dikarenakan aktifitas fisik akan mengurangi lemak tubuh yang akan berpengaruh pada tekanan darah seseorang. Pada orang tertentu dengan melakukan olah raga aerobik yang teratur dapat menurunkan tekanan darah tanpa perlu berat badan turun. Aktifitas fisik berpengaruh secara langsung terhadap tekanan darah karena latihan fisik dapat mempengaruhi tekanan darah dengan menormalkan proses-proses tubuh lainnya (Hull, 1996). Orang yang kurang aktifitas cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus berkerja lebih keras ketika berkontraksi. Seseorang dengan aktifitas fisik yang kurang, memiliki kecenderungan 30% - 50% terkena hipertensi daripada mereka yang aktif (Sheps, 2005).
Prevalensi hipertensi…, Dwi Suciaty Purnama, FKM UI, 2013
Pada penelitian ini hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan antara aktifitas fisik dan kejadian hipertensi (p > 0,05). Penelitian lain yang dilakukan oleh Sihombing (2010) dengan menggunakan desain kasus kontrol menemukan hasil bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara aktifitas fisik dengan hipertensi, mereka yang memiliki aktifitas fisik kurang berisiko 1,05 kali untuk menderita hipertensi dengan referens adalah kelompok dengan aktifitas fisik cukup. Kebiasaan merokok juga merupakan salah satu faktor risiko hipertensi. Merokok menyebabkan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke jantung menjadi meningkat. Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri. Dhianningtyas dan Hendarti (2006) mengatakan risiko perokok untuk menderita hipertensi adalah 3,4 kali lipat dibanding mereka yang bukan perokok. Pada penelitian ini, prevalensi hipertensi pada responden yang merokok adalah sebesar 77,8%, sedangkan prevalensi hipertensi pada pasien yang tidak merokok hanya sebesar 60,6%. Namun tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi. Tidak ditemukannya hubungan pada penelitian ini mungkin dikarenakan proporsi responden yang merokok hanya sebesar 12% dari 75 responden yang diteliti. Kecilnya proporsi tersebut dapat saja terjadi karena ketika penelitian dilakukan responden sudah mengubah gaya hidupnya ke arah yang lebih positif. Kemungkinan lain adalah perubahan perilaku yang dilakukan oleh responden karena mengetahui tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor risiko dari kejadian hipertensi. Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Stress juga merangsang otak untuk melepaskan sejumlah besar hormon katekolamin. Hormonhormon ini menyebabkan meningkatnya output kardiak, meningkatnya resistensi perifer, menurunnya pembuangan cairan dan garam melalui ginjal, dan menebalnya dinding pembuluh (Ramaiah, 2007). Mekanisme hormon stress terhadap meningkatnya tekanan darah pada kardiovaskular yaitu ketika norepinephrine dihasilkan maka terjadi peningkatan hormon tersebut pada jantung yang dapat meningkatkan output jantung, sehingga kadar epinephrine juga akan meningkat. Peningkatan yang disebabkan oleh hormon tersebut dapat meningkatkan tekanan darah sebanyak 5 mmHg. Proporsi hipertensi pada mereka yang mengalami stress lebih tinggi jika dibandingkan mereka yang tidak mengalami stress. Namun pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara stress dengan kejadian hipertensi, tetapi didapatkan angka
Prevalensi hipertensi…, Dwi Suciaty Purnama, FKM UI, 2013
kecenderungan sebesar 1,032 kali lipat pada mereka yang stress untuk menderita hipertensi dibandingkan dengan mereka yang tidak stress. Berbeda dengan hasil penelitian Rahajeng (2009) yang menemukan proporsi hipertensi lebih banyak ada pada mereka yang tidak stress. Penelitian yang dilakukan oleh Saputri (2010) mendapatkan hasil bahwa ada hubungan yang bermakna antara stress dengan kejadian hipertensi, dengan nilai risiko sebesar 1,34 kali lipat untuk menderita hipertensi pada mereka yang mengalami stress.
Kesimpulan Prevalensi kejadian hipertensi pada lansia di posyandu lansia wilayah Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat tahun 2013 adalah sebesar 62,7% dengan proporsi terbesar terdapat pada lansia laki-laki, sedangkan lansia yang tidak mengalami hipertensi sebesar 37,3%. Dari hasil uji statistik ditemukan bahwa faktor risiko yang berhubungan signifikan secara statistik dengan kejadian hipertensi pada lansia di posyandu lansia wilayah Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat adalah riwayat hipertensi pada keluarga dengan PR 3,216, dan riwayat penyakit Diabetes Melitus dengan PR 2,375.
Saran Suku Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta dan Puskesmas perlu lebih menggalakkan program promosi kesehatan mengenai faktor-faktor risiko dari kejadian hipertensi mengingat angka kejadian hipertensi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kesadaran lansia tentang pentingnya pencegahan, risiko dan bahaya komplikasi dari hipertensi perlu ditingkatkan dengan intervensi berupa penyuluhan kesehatan serta pengontrolan tekanan darah secara berkala. Kejadian hipertensi tidak dapat dihindari pada lansia yang memiliki faktor risiko riwayat hipertensi pada keluarga. Namun, faktor risiko riwayat penyakit DM dapat dikontrol dengan beberapa cara, yaitu dengan melakukan pemeriksaan tekanan darah dan pengobatan secara berkala, menjalani pola hidup yang sehat dengan meningkatkan aktifitas fisik, menghentikan kebiasaan merokok, menghindari stress, serta mengurangi frekuensi konsumsi makanan tinggi natrium dan tinggi lemak. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan memperlambat progresivitas dari penyakit hipertensi.
Prevalensi hipertensi…, Dwi Suciaty Purnama, FKM UI, 2013
Daftar Referensi __________. (2006). Pedoman Teknis Penemuan dan Penatalaksanaan Penyakit Hipertensi. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral PP & PL. __________. (2007). Pedoman Surveilans Epidemiologi Penyakit Jantung Dan Pembuluh Darah. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral PP & PL. __________. (2008). Pedoman Pengendalian Stroke. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral PP & PL. Ananda, Shenia. (2011). “Hipertensi pada Kelompok Pra Lansia dan Lansia (45-74 tahun) Gakin di Kelurahan Utan Panjang Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat Tahun 2011”. Skripsi, Program Sarjana Kesehatan Masyarakat FKM UI Depok. Black, J.M dan Hawks, J.H. (2005). Medical Surgical Nursing: Clinical Management for Positive Outcomes. 7th Edition. St. Louis: Elsevier Saunders.. Bullock, Barbara L., et al. (1996). Patophysiologi : Adaptions and Alterations In Function – Fourth Edition. United States : Lipincott. Bustan, M, N. (1997). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : PT Rineka Cipta. Castillon, Guallar, Et Al. (2007). Intake Of Fried Foods Is Associated With Obesity In The Cohort Of Spanish Adults From The European Prospective Investigation Into Cancer And Nutrition. Am J Clin Nutr 86: 198-205. Chunfang Qiu, Michelle A. Williams, Wendy M. Leisenring, et al. Family History of Hypertension. North Seattle: American Heart Association, Inc. 2003;41;408. Corwin, Elisabeth. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi Edisi Ke-3. Jakarta: Kedokteran EGC. Darmojo, Boedhi R. dan H. Hadi Martono. (1999). Geriatric (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Dhianningtyas, Y Dan Hendarti, L. (2006). Risiko Obesitas, Kebiasaan Merokok, Dan Konsumsi Garam Terhadap Kejadian Hipertensi Pada Usia Produktif. The Indonesian Journal Of Public Health Vol. 2 No. 3. Maret, 2006. Fichett, D. H. (2003). “Strategies for Management of Hypertension in Diabetic Patient”. Geriatrics and Aging 6(2): 35-40. Hull, Alison. (1996). Penyakit Jantung, Hipertensi, dan Nutrisi. Jakarta: Bumi Aksara. Kamso, Sudijanto. 2000. “Nutritional Aspects of Hypertension In The Indonesian Elderly : A Community Study In 6 Big Cities”. Disertasi, FKM UI, Depok. Rahajeng, Ekowati dan Sulistyowati, T. (2009). Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di Indonesia. Pusat Penelitian Biomedis dan Farmasi, Badan Penelitian Kesehatan. Departemen Kesehatan RI Jakarta. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol: 59, No.12, Desember 2009.
Prevalensi hipertensi…, Dwi Suciaty Purnama, FKM UI, 2013
Rahayu, Hesti. (2012). “Faktor Risiko Hipertensi Pada Masyarakat RW 01 Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa Kota Jakarta Selatan”. Skripsi, FIK UI, Depok. Ramaiah, Savitri. (2007). Hipertensi. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Komputer. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Saputri, Deasy Eka. (2010). “Hubungan Stress dengan Hipertensi Pada Penduduk Indonesia Tahun 2007 (Analisis Data Riskesdas 2007)”. Tesis, Program Studi Epidemiologi FKM UI, Depok. Seventh Report of The Joint National Commitee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. (2004). Classification of Blood Pressure for Adults: National Heart, Lung, and Blood Institute. U.S Department of Health and Human Services, National Institutes of Healths. Sheps, Sheldon. (2005). Mayo Clinic Hipertensi, Mengatasi Tekanan Darah Tinggi. Jakarta: PT Intisari Mediatama. Sihombing, Marice. (2010). Hubungan Perilaku Merokok, Konsumsi Makanan/Minuman, dan Aktifitas Fisik dengan Penyakit Hipertensi Pada Responden Obes Usia Dewasa di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol: 60, No. 9, September 2010. Sugiharto, Aris. (2007). “Faktor-Faktor Risiko Hipertensi Grade II Pada Masyarakat; Studi Kasus di Kabupaten Karanganyar”. Tesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang. Suhardjo. (1989). Sosio Budaya Gizi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi – Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi – Institut Pertanian Bogor. Swarth, Judith. (2004). Stress dan Nutrisi. Jakarta: Bumi Aksara. Yundini. (2006). Faktor Risiko Hipertensi. Jakarta: Warta Pengendalian Penyakit Tidak Menular, 2006.
Prevalensi hipertensi…, Dwi Suciaty Purnama, FKM UI, 2013