Hubungan Tayangan Reality Show “Be A Man” di Global TV dengan Perilaku Asertif Transgender Rima Oktavriani dan Yearry Panji Universitas Mercubuana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
[email protected] [email protected] ABSTRAK Penelitian skripsi ini mengenai Hubungan Tayangan Reality Show Be a Man di Global TV dengan Perilaku Asertif Transgender. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori uses and effect dimana dilihat bahwa kaum transgender memiliki kesadaran dalam memilih untuk menonton tayangan Be A Man dengan harapan terciptanya efek tertentu yaitu sikap asertif. Berangkat dari hipotesis ini peneliti ingin melihat korelasi antara dua variabel tersebut. Peneliti melakukan survey dengan terjun langsung ke lapangan, dengan mendatangi komunitas transgender Yayasan Srikandi Sejati untuk memperoleh data berupa pengisian kuesioner dan data-data sekunder lainnya. Baik itu dalam bentuk lisan ataupun tulisan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terpaan tayangan “Be A Man” terhadap perilaku asertif transgender tidak memiliki korelasi yang cukup, justru terhitung sangat lemah dan dianggap tidak ada dengan hasil korelasi statistic 0,155. Berdasarkan hasil uji statistik, pada uji signifikansi dengan hasil 0,219 yang menyatakan bahwa hubungan variable x dengan variable y tidak signifikan. Kesimpulannya adalah tidak ada hubungan yang kuat antara terpaan tayangan dengan sikap asertif kaum transgender, karena besar kemungkinan sikap asertif tersebut terbentuk oleh faktor lain selain tayangan Be A Man. Kata Kunci: Efek Media, Transgender, GLTB, perilaku asertif PENDAHULUAN Dewasa ini, ranah pertelevisian di Indonesia diramaikan dengan maraknya acara program musik dan reality show. Popularitas program reality show sangat menonjol belakangan ini. Sesuai dengan namanya reality show maka program ini mencoba menyajikan suatu situasi seperti konflik persaingan atau hubungan berdasarkan realitas yang sebenarnya. Dengan kata lain program ini mencoba menyajikan suatu keadaan yang nyata dengan cara yang sealamiah mungkin tanpa rekayasa. Pada dasarnya reality show memiliki beberapa bentuk yaitu, hidden camera, competition show, relationship show, fly on the wall dan program mistik (Morissan, 2005: 107). Stasiun televisi komersil di Indonesia memiliki program-program reality show sendirisendiri yang bisa dibilang cukup sukses dalam mencari keuntungan.
Akhir-akhir ini munculnya waria dalam industri televisi di Indonesia semakin banyak. Dimana pada awalnya peran transeksual atau yang lebih dikenal dengan nama banci hanya menjadi pelengkap dalam sebuah cerita. Yang dimaksud pelengkap adalah, memberikan suasana lucu, terkesan tidak serius, dan untuk mengundang tawa penonton. Peran waria masih saja menjadi orang yang dianggap lucu. Mulai dari cara bicara, cara berpakaian, cara berjalan dan sikapnya di sinetron harus bisa membuat orang tersenyum.Gambaran yang diberikan oleh televisi pada akhirnya mau tidak mau menjadi bagian dari kebutuhan hidup yang harus diterima dan dihidupi oleh masyarakat. Maka tak heran, jika peran-peran waria yang berada di televisi sebagai ajang hiburan. Kenyataan riil mengatakan bahwa masyarakat juga akan memberikan penilaian kepada para waria ini sebagai ajang hiburan. Pencitraan televisi akhirnya mempengaruhi pemikiran-pemikiran riil masyarakat. Meski demikian, apa yang ditawarkan media dan yang mendapatkan sambutan dari masyarakat adalah apa yang menjadi kebutuhan besar. Fenomena munculnya waria dalam pertelevisian Indonesia sering kali juga dimaknai berbeda sesuai dengan pandangan kelompok masyarakat. Satu hal yang menjadi perhatian adalah ketika audien lebih tertarik untuk menyaksikan program yang bersifat menghibur dan pencitraan seorang waria yang dianggap hanya sebagai pelengkap dalam setiap program maka penulis memilih program “Be A Man” Global Tv. Dalam hal ini “ Be A Man” merupakan satu-satunya program yang mengedepankan kembalinya jati diri seorang waria menjadi laki-laki sejati. Disini, akan disaring 25 orang waria untuk menjadi seorang laki-laki sejati melalui pelatihan ala militer dalam wadah penggemblengan selama 14 hari. Mereka akan diberikan bekal pendidikan strategi perang dalam misi menjaga keamanan Negara, yang meliputi: wawasan nusantara, dasar kemiliteran, kepemimpinan, pengenalan senjata, survival, dan terjun payung. Para peserta juga harus melalui beberapa tahap eliminasi untuk mencapai gelar “Lelaki Sejati” (http://www.globaltv.com). Mengingat suksesnya tayangan Be A Man angkatan pertama dan kedua maka Global TV menyajikan Be A Man angkatan Ketiga yang ditayangkan setiap hari kamis pukul 19.00 WIB. Menurut Elli Nurhayati, secara sosial dan budaya seakan sudah ada pakem bahwa individu terbiasa memendam perasaannya, sehingga tidak hanya energi negatif saja yang dipendam tapi juga energi positifnya. Menurutnya masyarakat seharusnya belajar untuk mengungkapkan perasaannya dengan cara yang positif. Untuk itu tiap individu seharusnya belajar bersikap asertif dan bukan agresif. Asertif adalah mengekspresikan apa yang kita pikirkan (Republika, 26 Februari 2006).
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan seorang waria sekalipun perlu bersikap asertif, untuk dapat menentukan jati diri yang mereka inginkan dan tidak terpengaruh oleh keadaan sekitar. Seorang waria sekalipun mempunyai hak untuk memilih dan harus dapat berperilaku asertif, yaitu berani untuk berkata tidak tentang hal yang ingin dia tolak, berani untuk menentukan jati diri mereka seperti apa, dan berani untuk selalu menentang apa yang dapat mempengaruhi dirinya dalam lingkungan sekitar. Seorang waria atau transgender akan sangat suli untuk berperilaku asertif, karena lingkungan sekitar mereka yang didominasi oleh kaumnya. Padahal tanpa dipungkiri, beberapa atau mungkin banyak dari mereka ingin “sembuh” atau kembali normal yaitu menjadi seorang lelaki yang sesungguhnya. Reality show “Be A Man” di global tv merupakan sebuah tayangan yang memberikan suatu gambaran dan pembelajaran bagi para transgender untuk dapat mengembalikan jati diri mereka menjadi laki-laki sejati. Adapun alasan penulis mengangkat tayangan reality show “Be A Man” karena”Be A Man” berbeda dengan tayangan-tayangan reality show pada umumnya yang mayoritas menggambarkan tentang percintaan. Selain itu “Be A Man” merupakan satu-satunya program yang berani mengangkat peranan dan citra seorang waria dan menunjukan seperti apa keseharian seorang waria dimana program ini bertujuan untuk mengembalikan jati diri mereka menjadi seorang laki-laki sejati. Komunitas waria Srikandi merupakan salah satu komunitas waria yang aktif dan dapat mengarahkan para anggotanya kearah yang lebih positif. Dengan jumlah keanggotannya yang besar, maka daerah kewilayahannya juga dibagi-bagi. Dalam hal ini penulis mengambil populasi komunitas waria Srikandi untuk wilayah bagian Jakarta barat. Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pengamen jalanan untuk menyambung hidup. Sebagai waria pasti mereka ingin mengetahui apa saja yang terjadi dengan komunitas mereka yang mengikuti program tersebut. Apakah dengan mereka menyaksikan kaum sesamanya, maka mereka akan berubah pikiran dan dapat bersikap asertif untuk menentukan jati diri mereka sendiri? Atau mungkin mereka akan tetap memilih menjadi seorang transgender atau yang lebih sering kita kenal dengan sebutan waria. Selain itu, minimnya komunitas ini juga membuat penulis untuk mengekspose mereka, bahwa kaum waria sudah bukan menjadi hal yang tabu lagi di lingkungan kita. Hampir menyebar diseluruh kota-kota besar di Indonesia sudah memiliki komunitas waria yang jumlahnya besar dan mereka di arahkan ke hal-hal yang bersifat positif seperti pekerja salon, penjahit dan lain sebagainya. Dengan kata lain, mereka hanya ingin kaumnya di akui di lingkungan sekitarnya dan ingin dihargai sebagai seorang makhluk sosial biasa.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: Adakah hubungan antara terpaan tayangan reality show “Be A Man” angkatan III dengan perilaku asertif para transgender ? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak adanya hubungan antara terpaan tayangan reality show “Be A Man” dengan perilaku asertif transgender.
METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode survei yaitu penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari ketenangan-ketenangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah (Nazir, 1988: 65). Pada dasarnya survey memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda, seperti yang dikatakan oleh Bambang Setiawan (1995: 39) dalam bukunya, survey yaitu metode penelitian yang dalam melakukan pengumpulan datanya menggunakan kuesioner, yaitu daftar pertanyaan tertulis yang diajukan pada sekelompok orang yang disebut sampel. Survey juga dapat diartikan sebagai proses penelitian yang dilakukan dengan mengambil sebagian unit analisis (sampel) dari keseluruhan populasi yang menjadi subjek penelitian (Setiawan, 1995: 53). Tujuan dari penggunaan metode pengumpulan data dengan survey adalah untuk memperoleh fakta-fakta yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara aktual. Dalam penelitian ini yang menjadi populasinya ialah Persatuan Waria Srikandi wilayah Jakarta bagian barat. Jumlah populasinya ialah 759 orang. Namun jika menurut data yang ada jumlah populasi dari Persatuan Waria Srikandi wilayah Jakarta Barat berjumlah 180 orang (berdasarkan jumlah keanggotan yang aktif). Melalui rumus Yamane dapat ditentukan jumlah sampel yang diambil sebanyak 65 orang. Tekhnik penarikan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan sampling nonprobabilitas atau Non Probability Sampling yaitu tidak menggunakan prinsip kerandoman. Tekhnik ini dilakukan dengan cara sampling kuota, yaitu menetapkan jumlah tertentu untuk setiap strata lalu meneliti siapa saja yang ada sampai jumlah itu terpenuhi. Pengumpulan data primer dalam peneltian ini akan dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner atau daftar pertanyaan kepada responden. Kuesioner pada dasarnya merupakan media bagi peneliti untuk mendapatkan jawaban dari responden dalam suatu proses interaksi untuk mengumpulkan data (Setiawan, 1995: 218). Tekhnik pengumpulan data dalam memperoleh data sekunder dapat melalui beberapa cara seperti studi pustaka yang
dapat digunakan sebagai bahan referensi berguna untuk memperjelas dan menunjang penelitian. Selain studi pustaka, data sekunder juga dapat dilakukan dengan kajian literature, yaitu dengan hasil penelitian sebelumnya, atau dapat juga dilakukan dengan mengumpulkan artikel terkait dan dokumentasi. Untuk menguji hubungan antara dua variabel, peneliti menggunakan rumus uji statistic, yaitu analisa korelasi Spearman Rank (rho). Metode ini bisa disebut korelasi berjenjang, atau korelasi berpangkat, dan ditulis dengan notasi (rs). Kegunaanya untuk mengukur tingkat atau eratnya hubungan antara dua variabel yaitu variabel bebas dan terikat, mengetahui kecocokan dari dua variabel terhadap grup yang sama, mendapatkan validitas empiris, alat pengumpul data, dan mengetahui reliabilitas alat pengumpul data.
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil survei, diketahui bahwa dari total 65 koresponden, didapatkan data responden yang jarang menonton tayangan Be a Man sebanyak 30 orang, yang sering sebanyak 31 orang dan yang sangat sering sebanyak 4 orang. Jadi mayoritas responden menonton tayangan “Be A Man” adalah sering yaitu dapat dilihat dari prosentasinya sebesar 47,7% atau 31 orang. Peneliti dapat menafsirkan bahwa responden sering menonton tayangan reality show “Be A Man” dapat dikatakan bahwa mereka melakukan hal ini secara sadar. Hal ini dinyatakan nilai prosentase dari frekuensi sebesar 47,7% dari koresponden sering menonton tayangan tersebut. Didapatkan pula data responden yang menonton tayangan Be a Man 1 kali sebulan sebanyak 13 orang, 2-3 kali sebulan sebanyak 26 orang dan yang menonton setiap minggu sebanyak 26 orang juga. Jadi dapat dijelaskan bahwa, dari 65 responden, kebanyakan menonton tayangan “Be A Man” minimal 2-3 kali sebulan sampai dengan setiap minggunya. Hal ini dapat dijelaskan dari hasil prosentasi yang sama sebanyak 40%. Data responden yang menonton tayangan Be a Man kurang dari separuh program sebanyak 19 orang, separuh program sebanyak 27 orang dan yang menonton keseluruhan program sebanyak 19 orang juga. Jadi dapat di jelaskan bahwa, dari 65 responden, mayoritas menonton tayangan “Be A Man” hanya separuh program. Dengan nilai prosentasi sebesar 41,5%. Melalui data yang ada penulis dapat menafsirkan koresponden menonton tayangan “Be A Man” hanya separuhnya saja. Hal ini dinyatakan dari prosentasse tertinggi sebesar 41, 5% .
Dari survei tentang variabel tingkat asertif diketahui bahwa jawaban responden yang terbanyak pertama adalah setuju (55,4%), yang artinya mereka setuju bahwa mereka mampu menyatakan tentang apa yang ada dipikiran mereka secara verbal atau dengan perkataan. Pada urutan kedua adalah responden menjawab ragu-ragu 38,5%. Sedangkan yang menjawab tidak setuju hanya 6,2% atau 4 orang saja. Jadi dapat penulis tafsirkan bahwa mayoritas responden menjawab setuju . Sedangkan paling sedikit menjawab tidak setuju artinya adalah bahwa mereka sangat setuju dengan mampu menyatakan dirinya dengan kata-kata verbal. Pada point indikator “mampu bersikap sesuai denga diri sendiri” jawaban responden yang terbanyak pertama adalah setuju (87,7%), yang artinya mereka setuju bahwa mereka mampu bersikap apa adanya sesuai dengan diri mereka sendiri. Kedua responden menjawab tidak setuju 9,2%. Sedangkan yang menjawab ragu-ragu hanya 3,1% atau 2 orang saja. Dari data ini dapat ditafsirkan bahwa mayoritas responden menjawab setuju, mereka mampu bersikap sesuai dengan diri mereka sendiri. Sedangkan paling sedikit menjawab “ragu-ragu” antara mampu atau tidak dengan bersikap sesuai dengan identitas diri mereka sendiri. Dari table distribusi frekuensi di atas, diketahui bahwa jawaban responden yang terbanyak pertama adalah setuju (73,8%), yang artinya mereka setuju bahwa mereka mampu mengungkapkan sesuatu yang dipikirkannya sendiri. Kedua, responden merasa ragu-ragu 24,6% dan hanya 1 orang saja yang tidak mampu untuk menyatakan suatu hal yang ada dipikirannya. Jadi dapat ditafsirkan bahwa mayoritas responden menjawab setuju mereka mampu mengungkapkan apa yang ada dipikirannya. Sedangkan paling sedikit menjawab tidak dapat mengutarakan apa yang dipikirkannya hanya 1 responden saja. Dari table distribusi frekuensi di atas, diketahui bahwa jawaban responden yang terbanyak pertama adalah setuju (69,2%), yang artinya mereka setuju bahwa mereka mampu mengungkapkan sesuatu yang mereka rasakan. Kedua, responden merasa ragu-ragu 26,2% dan tidak setuju bahwa mereka mampu mengatakan tentang apa yang mereka rasakan sebesar 4,6% atau 3 orang saja. Jadi dapat penulis tafsirkan mayoritas responden menjawab setuju bahwa mereka mampu mengungkapkan apa yang mereka rasakan dengan prosentase 69,2%. Sedangkan paling sedikit menjawab tidak dapat mengutarakan apa yang dirasakan hanya 4,6%. Dari hasil survei tentang indikator “mampu mengungkapkan sesuatu yang mereka inginkan terhadap diri mereka sendiri “ diketahui bahwa jawaban responden yang terbanyak pertama adalah setuju (67,7%), yang artinya mereka setuju bahwa mereka mampu mengungkapkan sesuatu yang mereka inginkan terhadap diri mereka sendiri. Kedua,
responden merasa ragu-ragu 26,2% dan tidak setuju bahwa mereka mampu mengatakan tentang keinginan mereka terhadap diri sendiri sebesar 6,2% atau 4 orang saja. Jadi dapat penulis tafsirkan mayoritas responden menjawab setuju bahwa mereka mampu mengungkapkan keinginan mereka terhadap diri mereka sendiri dengan nilai prosentase 67,7%. Sedangkan paling sedikit menjawab tidak dapat mengutarakan keinginan mereka terhadap diri mereka sendiri hanya 6,2% Dari poin indikator “mampu untuk berkomunikasi dengan orang asing” diketahui bahwa terdapat jumlah prosentasi yang sama antara setuju dan ragu-ragu, dengan prosentase sebesar 40%, yang artinya adalah kebanyak dari mereka masih bersikap ragu-ragu namun juga setuju bahwa mereka mampu untuk berkomunikasi dengan orang asing. Maka sisanya adalah mereka yang tidak setuju bahwa mereka mampu untuk berkomunikasi dengan orang asing. Jadi dapat disimpulkan bahwa hasilnya adalah sama, sebagian dari mereka ragu-ragu untuk berkomunikasi dengan orang asing namun sebagian lagi merasa mampu untuk berkomunikasi dengan orang asing dengan jumlah prosentasi terbesarnya sama yaitu 40% atau sebanyak 26 responden. Tentang indikator “merasa cepat akrab dengan siapapun” diketahui bahwa terdapat jumlah prosentase terbesar yaitu 78,5% setuju, yang artinya adalah mereka setuju bahwa mayoritas dari mereka merasa cepat akrab dengan siapapun. Sisanya menjawab masih ragu sebanyak 21,5% dan tidak ada yang menjawab tidak setuju. Dari indikator “mengatakan tentang sesuatu yang dirasakan secara jujur” diketahui bahwa jawaban responden yang terbanyak pertama adalah setuju (73,8%), yang artinya mereka setuju bahwa mereka mampu mengungkapkan sesuatu yang mereka rasakan secara jujur. Kedua, responden merasa ragu-ragu 23,1% dan tidak setuju bahwa mereka mampu mengatakan tentang sesuatu yang mereka rasakan secara jujur sebesar 3,1% atau 2 orang saja. Jadi dapat ditafsirkankan mayoritas responden menjawab setuju bahwa mereka mampu mengungkapkan sesuatu yang mereka rasakan secara jujur dengan prosentase 73,8%. Sedangkan paling sedikit menjawab tidak dapat mengutarakan sesuatu yang mereka rasakan secara jujur hanya 3,1%. Dari indikator “mampu mengungkapkan sesuatu yang mereka rasakan secara langsung” diketahui bahwa jawaban responden yang terbanyak pertama adalah setuju (61,5%), yang artinya mereka setuju bahwa mereka mampu mengungkapkan sesuatu yang mereka rasakan secara langsung. Kedua, responden merasa ragu-ragu 32,3% dan tidak setuju
bahwa mereka mampu mengatakan tentang sesuatu yang mereka rasakan secara langsung sebesar 6,2% atau 4 orang saja. Jadi dapat disimpulkan mayoritas responden menjawab setuju bahwa mereka mampu mengungkapkan sesuatu yang mereka rasakan secara langsung dengan jumlah responden 40. Sedangkan paling sedikit menjawab tidak dapat mengutarakan sesuatu yang mereka rasakan secara langsung hanya 4 responden saja. Sedangkan dari indikator “hanya akan menunggu sesuatu yang mereka inginkan terjadi dengan sendirinya” diketahui bahwa jawaban responden yang terbanyak pertama adalah ya (47,7%), yang artinya adalah mereka hanya akan menunggu sesuatu yang mereka inginkan terjadi dengan sendirinya. Kedua, adalah, tidak yaitu sebesar 33,8% dan sisanya masih merasa ragu-ragu apakah akan menunggu sesuatu hal terjadi dengan sendirinya atau tidak, dengan prosentase sebanyak 18,5%. Maka dapat di ambil kesimpulan bahwa, mayoritas dari sample justru akan menunggu suatu hal terjadi dengan sendirinya, hal ini di tunjukan dari jumlah frekuensi sebesar 31 orang. Dan yang terkecil menjawab ragu-ragu dengan frekuensi 12 orang. Hasil survey pada indikator “akan mengejar sesuatu hal yang diinginkan” diketahui bahwa jawaban responden yang terbanyak pertama adalah ya (80%), yang artinya mereka akan mengejar sesuatu yang mereka inginkan. Kedua, responden merasa ragu-ragu 18,5% dan yang menjawab tidak akan mengejar sesuatu yang mereka inginkan hanya 1,5%. Jadi dapat disimpulkan mayoritas responden menjawab ya bahwa mereka akan mengejar sesuatu hal yang diinginkan dengan jumlah responden 52. Sedangkan paling sedikit menjawab tidak hanya 1 responden saja. Pada indikator “memiliki kemauan untuk mengejar sesuatu hal yang mereka inginkan “ dapat diketahui bahwa jawaban responden yang terbanyak pertama adalah ya (84,6%), yang artinya mereka memiliki kemauan untuk mengejar sesuatu hal yang mereka inginkan. Kedua, responden merasa ragu-ragu 10,8% dan yang menjawab tidak mau mewujudkan sesuatu yang mereka inginkan hanya 4,6%. Jadi dapat disimpulkan mayoritas responden menjawab ya bahwa mereka memiliki kemauan untuk mewujudkan hal yang diinginkan dengan jumlah responden 55. Sedangkan paling sedikit menjawab tidak hanya 3 responden saja. Dari poin indikator “tidak bisa selalu menang dalam setiap kompetisi” diketahui bahwa jawaban responden yang terbanyak pertama adalah ya (66,2%), yang artinya menyadari betul bahwa mereka tidak bisa selalu menang dalam sebuah kompetisi. Dan sisanya di dapati hasil yang sama bahwa 16,9% measa tidak sadar bahwa mereka tidak bisa
selalu menang dalam setiap kompetisi, dan 16,9% juga merasa ragu-ragu sadar atau tidak kalau dalam setiap kompetisi mereka tidak bisa selalu menang. Jadi dapat disimpulkan mayoritas responden menjawab ya bahwa mereka menyadari kalau mereka tidak bisa selalu menang dalam setiap kompetisi dengan jumlah responden 43 orang. Dan sisanya masih ragu-ragu dan tidak dengan jumlah frequency yang sama yaitu 11 orang. Dari indikator “menyadari batasan-batasan diri sendiri” diketahui bahwa jawaban responden yang terbanyak pertama adalah ya (81,5%), yang artinya mereka menyadari apa saja batasan-batasan yang ada pada diri mereka sendiri. Kedua, didapati jumlah 13,8% dengan jawaban ragu-ragu dan sisanya 4,6% yang menjawab tidak menyadari atas batasanbatasan diri mereka sendiri. Jadi dapat disimpulkan mayoritas responden menjawab ya mereka menyadari batasanbatasan yang ada pada diri mereka sendiri dengan jumlah responden 53 orang, ragu-ragu 9 orang dan yang tidak menyadari atas batasan-batasan diri
mereka sebanyak 3 orang
responden. Pada survey tentang indikator “mampu untuk menghargai diri mereka sendiri” diketahui bahwa jawaban responden yang terbanyak pertama adalah ya (83,1%), yang artinya mereka mampu untuk menghargai diri mereka sendiri. Kedua, didapati jumlah 13,8% dengan jawaban ragu-ragu dan sisanya 3,1% yang menjawab tidak mampu untuk menghargai diri mereka sendiri. Jadi dapat disimpulkan mayoritas responden menjawab ya mereka mampu untuk menghargai diri mereka sendiri dengan jumlah responden 54 orang, ragu-ragu 9 orang dan yang tidak menyadari atas batasan-batasan diri mereka sebanyak 2 orang responden. Sedangkan untuk indikator “dapat bersikap sportif dalam pengambilan suatu keputusan “ diketahui bahwa jawaban responden yang terbanyak pertama adalah ya (67,7%), yang artinya mereka mampu untuk bersikap sportif dalam pengambilan sebuah keputusan. Kedua, didapati jumlah 26,2% dengan jawaban ragu-ragu dan sisanya 6,2% yang menjawab tidak dapat bersikap sportif dalam pengambilan suatu keputusan. Jadi dapat disimpulkan mayoritas responden menjawab ya mereka mampu bersikap sportif dalam pengambilan sebuah keputusan dengan jumlah responden 44 orang, ragu-ragu 17 orang dan yang tidak bersikap sportif dalam pengambilan sebuah keputusan sebanyak 4 orang responden. Pada indikator “memiliki keingingan untuk menjadi yang terbaik memiliki keingingan untuk menjadi yang terbaik” diketahui bahwa jawaban responden yang terbanyak pertama
adalah ya (83,1%), yang artinya mereka memiliki keingingan untuk menjadi yang terbaik . Kedua, didapati jumlah 10,8% dengan jawaban tidak ingin selalu menang dan sisanya 6,2% yang menjawab ragu-ragu. Jadi dapat disimpulkan mayoritas responden menjawab ya mereka selalu ingin menjadi yang terbaik dengan jumlah responden 54 orang, tidak 7 orang dan yang ragu-ragu sebanyak 4 orang responden. Tabel Uji Korelasi Terpaan Perilaku Tayangan "Be Asertif A Man" Transgender Spearman's rho
Terpaan Correlation Tayangan "Be A Coefficient Man" Sig. (2-tailed) N Perilaku Asertif Correlation Transgender Coefficient Sig. (2-tailed) N
1.000
.155
. 65
.219 65
.155
1.000
.219 65
. 65
Dari table di atas dapat disimpulkan bahwa korelasi antara terpaan tayangan reality show “Be a Man” dengan perilaku asertif transgender memberikan nilai koefisien korelasi sebesar 0,155. Angka koefisien tersebut mengindikasikan adanya hubungan yang sangat lemah, bahkan dianggap tidak ada hubungan diantara dua variable. Selain itu juga dapat disimpulkan bahwa hubungan kedua variable tidak signifikan , yang artinya besar kemungkinan ada variable lain yang lebih berperan dalam mempengaruhi sikap asertif selain terpaan tayangan. Angka koefisien positif menunjukan hubungan positif, yaitu jika semakin tinggi terpaan tayangan semakin tinggi pula sikap asertif. Untuk mengabil keputusan uji hipotesis maka digunakan hipotesis sebagai berikut: Ho : tidak ada hubungan antara variabel terpaan tayangan “Be A Man”di Global TV terhadap perilaku asertif transgender. H1 : ada hubungan antara variable terpalobal TV terhadap perilaku asertif transgender. Jika probabilitas < 0,05 (taraf sig.), H0 ditolak dan H1 diterima. Jika probabilitas > 0,05 (taraf sig.), H0 diterima dan H1 ditolak.
Pada pengujian hipotesis di atas, dapat dinyatakan bahwa nilai probabilitas sebesar 0,219 yang artinya nilai probabilitas > 0,05. Dari uji hiotesis ini maka dapat dinyatakan untuk menolak H1 dan menerima H0, hal ini berarti tidak terdapat hubungan yang cukup dan signifikan antara variable terpaan tayangan reality show “Be A Man” di Global TV terhadap perilaku asertif waria. Peran media televisi yang menyediakan berbagai jenis program hiburan seperti program reality show
dapat membuat efek yang akan berpengaruh pada pola perilaku
khalayaknya, selain itu televisi melalui berbagai macam program yang ditayangkan dapat menjadi contoh yang dapat berdampak positif ataupun negatif bagi khalayak yang melihatnya. Pembahasan mengenai hubungan terpaan tayangan reality show “Be A Man” dengan perilaku asertif transgender dapat peneliti kelompokan menjadi dua bagian yang sama dengan yang tertera pada daftar pertanyaan yaitu : variable terpaan tayangan reality show “Be A Man” dan variable perilaku asertif. Pembahasan yang telah peneliti uraikan berdasarkan data-data yang terdapat dalam table dari hasil daftar pertanyaan yang telah peneliti sebarkan ke responden, peneliti melihat bahwa jawaban yang diberikan responden sangat beragam atas pertanyaan yang diajukan. Hubungan yang terjadi bila dikaitkan dengan teori uses and effects dinyatakan bahwa, media memberikan efek yang dominan selain itu media juga memberikan motivasi terhadap khalayak. Dengan melihat bagaimana prosentase frekuensi responden dalam menonton tayangan tersebut dapat dikatakan bahwa audiens secara aktif menerima terpaan media (tayangan “Be A Man”) dan mereka melakukannya secara sadar hal ini dapat membuktikan bahwa disini konsep “uses” dalam teori uses and effect dilakukan oleh audiens. Sedangkan dalam konsep “effects” perilaku asertif diwakilkan berdasarkan empat karakter, pertama dalam hal kebebasan koresponden dalam pengungkapan dirinya sendiri, nilai prosentase yang dominan adalah mereka dapat mengungkapkan diri mereka sendiri. Kedua, dari cara mereka berkomunikasi, nilai prosentase yang ada cukup mewakili bahwa mereka cukup asertif dalam berkomunikasi dengan siapapun, baik itu keluarga, teman ataupun dengan orang asing yang belum mereka kenal. Ketiga, dari segi orientasi kehidupan para koresponden dapat dinyatakan setuju dan dapat berperilaku asertif dalam keinginan mereka mengejar suatu hal yang mereka inginkan karna mayoritas dari prosentase yang ada menunjukan bahwa mereka tidak bersifat pasif. Keempat, dilihat dari cara mereka menghargai diri mereka sendiri, mereka menyadari akan batasan-batasan yang ada pada diri mereka sendiri. Dari keempat karakter
yang ada dan jawaban dari koresponden menyatakan bahwa aspek “effect” cukup berperan terhadap koresponden. Namun jika dikaitkan dengan hasil dari terpaan media terlihat bahwa tidak ada korelasi yang cukup, malah dapat dikatakan tidak ada hubungannya antara variable terpaan media “uses” dengan variable perilaku asertif “effect”, atau mungkin dapat dikatakan bahwa ada indikator-indikator lain yang lebih memberikan pengaruh terhadap perilaku asertif transgender dari pada terpaan tayangan. Dari hasil penelitian uji korelasi bahwa hubungan yang terjadi sangat lemah atau dianggap tidak ada hubungan antara variable X (terpaan tayangan Be A Man“) dengan variable Y (perilaku asertif transgender) dengan nilai 0,155. Pada pengujian hipotesis menyatakan bahwa nilai probabilitas sebesar 0,219 maka uji hipotesis menyatakan untuk menerima H0 dan menolak H1 yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara terpaan tayangan reality show “Be A Man” di Global TV terhadap perilaku asertif transgender. Atau mungkin dengan kata lain ada indikator-indikator lain yang mempengaruhi sikap asertif transgender namun bukan berasal dari terpaan tayangan reality show “Be A Man”.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai “Hubungan Terpaan Tayangan Reality Show “Be A Man” di Global TV terhadap perilaku asertif transgender” maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa : (1) Penelitian ini membuktikan bahwa terdapat hubungan yang sangat lemah dan tidak signifikan antara terpaan tayangan reality show “Be A Man” terhadap perilaku asertif transgender. Hal ini terlihat dengan dengan tingkat korelasi sebesar 0,155 dan signifikansi sebesar 0,219. (2) Meskipun hubungan antara terpaan tayangan reality show “Be A Man” di Global TV terhadap perilaku asertif transgender lemah, tapi mereka tetap menonton tayangan tersebut. Perilaku asertif mereka yang tinggi tidak memiliki korelasi yang kuat dengan terpaan tayangan, artinya ada kemungkinan perilaku asertif mereka dipengaruhi variabel lainnya. Saran yang diberikan penulis berdasarkan penelitian tayangan reality show “Be A Man” terhadap sikap asertif transgender ini antara lain adalah: Berdasarkan hasil kesimpulan penelitian, menunjukan bahwa terpaan tayangan reality show “Be A Man” tidak memberikan korelasi dengan perilaku asertif transgender. Padahal dalam teori yang peneliti gunakan dijelaskan bahwa, media memberikan efek yang dominan dan dapat menjadi salah satu motivator terhadap khalayak. Ini perlu menjadi perhatian khusus, mengapa dapat terjadi hal
sedemikian rupa. Karena jika memang teori uses and effects itu benar, maka seharusnya dalam tayangan reality show “Be A Man” hal ini juga dapat dibuktikan, namun dari hasil peneliti dapat disimpulkan bahwa ada kemungkinan indikator-indikator lain yang lebih memberikan efek atau pengaruh terhadap perilaku asertif dan bukan dari tayangan reality show “Be A Man”. Hasil penelitian menunjukan bahwa terpaan tayangan tidak memberikan korelasi terhadap perilaku asertif transgender, maka sebaiknya hal ini dipikirkan apa dampaknya terhadap transgender sendiri setelah menonton tayangan reality show “Be A Man” DAFTAR PUSTAKA Ardianto, Elvinaro, dan kawan., Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Bandung, 2004 Bungin, Burhan., Metode Penelitian Kuantitatif, Jakarta, 2006 Currah, Paisley dkk., Transgender Right, University of Minnesota.2006 Djuarsa Sendjaja, Sasa. dkk, Pengantar Komunikasi, Universitas Terbuka, Jakarta, 2001 Fensterheim, Herbert, dan kawan., Dont Say Yes If You Want to Say No; Making Life Right When It Feels All Wrong, New York, Dell, 1975 Israel, Gianna E, dkk., Transgender care: recomanded guidelines, practical information, and personal accounts, Temple University Press- Philadelphia.1997. Kountour,Ronny, Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis Bisnis, Jakarta, 2003. Morissan, Media Penyiaran Strategi Mengelola Radio dan Televisi, Tangerang.Ramdina Prakarsa, 2005 Mulyana, Deddy. Human Communication Konteks, Bandung,2001 Nazir,Moh, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, 1988 Rakhmat, Jalaludin.Psikologi Komunikasi.. Bandung :PT Remaja RosdaKarya. 2005 _______________. Metode Penelitian Komunikasi, Bandung, 1984 S.A, Rathus dan J.S,Nevid Adjusment and Growth, The challenges of Life USA Setiawan,Bambang, Metode Penelitian Komunikasi I, Jakarta, 1995 Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian, Bandung, 2004 Stanley Barran dan Dennis Davis, Mass Communication Theory, Belmont: Wadsworth, 2000 Stryker Susan, dan White Stephen., The transgender Studies Reader, Taylor and Francis Group. Routledge,2006. Sumber-sumber lain: Agresif, Asertif atau Pasif? Republika, Minggu 26 Februari 2006 Situs Resmi Global TV http://www.globaltv.co.id