Faktor Risiko Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Nonpneumoniapada Balitadi Wilayah Kerja Puskesmas Magersari, Kecamatan Magelang Selatan, Kota Magelang, Jawa Tengah Tahun 2013 Ema Fiki Munaya Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia E-mail:
[email protected] /
[email protected]
Abstrak Data menunjukkan bahwa angka kejadian penyakit ISPA nasional selalu menunjukkan peningkatan setiap tahun.Tahun 2013 dengan Provinsi Jawa Tengah menempati posisi ketujuh dengan jumlah penderita ISPA terbanyak. Angka kejadian ISPA nonpneumonia selama 2011-2013 di Kota Magelang maupun di Puskesmas Kelurahan Magersari selalu menunjukkan peningkatan dengan sebagian besar penderita adalah balita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar faktor risiko kualitas lingkungan fisik rumah (jenis lantai, atap, dinding, luas ventilasi, kepadatan hunian) dan pencemaran udara dalam rumah (keberadaan perokok dalam rumah, pengguaan anti nyamuk bakar, bahan bakar memasak dalam rumah)terhadap kejadian ISPA nonpneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Magersari, Kota Magelang, Jawa Tengah tahun 2013. Desain penelitian ini adalah case-control dengan masing-masing sampel berjumlah 50 balita. Case adalah balita yang menderita ISPA nonpneumonia dengan diagnosis dokter puskesmas, sedangkan control balita yang didiagnosis tidak menderita ISPA. Ada hubungan yang bermakna antara jenis lantai nilai p 0,000 &OR 15,881 ( 95% CI : 4,949-50,958), jenis atap nilai p 0,000 & OR 13,500 (95% CI 5,087-35,830), jenis dinding nilai p 0,000 &OR 17,484 ( 95% CI 6,314-48,415), kepadatan hunian, nilai p 0,000 &OR 12,250 (95% CI 4,652-32,258), keberadaan perokok dalam rumah nilai p 0,003 &OR 4,205 ((95% CI 1,692-10,448) dan penggunaan bahan bakar memasak nilai p 0,000 & OR 11,294 ( 95% CI 2,435-52,379).
Risk Factors for The Incidence of Nonpneumonia Acute Respiratory Infections ( ARI ) on Underfive Children in Puskesmas (Health Center) Magersari Work Area, Southern District of Magelang Capital , Central Java 2013 Abstract Nation health data show that the incidence of acute respiratory infection (ARI) always increased every years. 2013, with Central Java Province occupies was the seventh position with the highest number of patients with acute respiratory infection (ARI). The incidence of ARI nonpneumonia during 2011-2013 in the city of Magelang as well as in the Village Health Center Magersari always increase which most of the patientare are under five children . This study aims to determine how big the risk factors of physical quality of the home environment (type of floor, roof, walls, extensive ventilation, residential density) and indoor air pollution (presence of smokers in the home, using anti-mosquito, cooking fuel in the house) to nonpneumonia ARI incidence of under five children in the working area of Magersari health center, Magelang, Central Java in 2013. The Research design was a case-control study by each sample for 50 under five children. Case are under five with nonpneumonia ARI diagnosis by Megersari Helath Center doctors, whereas control are underfive children which not diagnosed with ARIs . There is a significant correlation between the type of floor p value 0.000 and OR 15.881 (95 % CI : 4.949 to 50.958), the type of roof p-value of 0.000 and OR 13,500 (95 % CI 5.087 to 35.830), the type of wall p-value of 0.000
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
Universitas Indonesia
2 and OR 17.484 (95 % CI 6.314 to 48.415), residential density, p-value 0.000 and OR 12,250 ( 95 % CI 4.652 to 32.258), the presence of smokers in the house p-value of 0.003 and OR 4.205 (95 % CI 1.692 to 10.448 ) and cooking fuel p value 0,000OR 11,294 (95 % CI 2.435 to 52.379). Keywords ; risk factors, types of floors, roofs, walls, extensive ventilation, residential density, the presence of smokers in the home, anti-mosquito, cooking fuel in the house, ARI nonpneumonia.
Pendahuluan ISPA ( Infeksi Saluran Pernafasan Akut) merupakan penyakit yang hampir ada di semua negara di dunia dan banyak diderita oleh balita. WHO tahun 2009 menyebutkan bahwa ISPA merupakan penyebab utama kematian pada balita di seluruh dunia. Angka kematian akibat ISPA pada balita mencapai dua juta per tahun dan ISPA merupakan penyakit yang menduduki peringkat pertama pada penyebab Disability Adjusted Life Years (DALYs) di negara berkembang yaitu sekitar 94,6 juta jiwa atau 6,3%% dari total populasi. Tahun 2007 terlapor ada 7,2 juta kasus ISPA di Indonesia. Tahun 2010, kasus ISPA di Indonesia meningkat menjadi 17,9 juta kasus lalu pada tahun 2011 kasus ISPA di Indonesia meningkat menjadi 18,7 juta kasus. Prevalensi ISPA tertinggi adalah pada balita (>35%), sedangkan terendah pada kelompok umur 15 - 24 tahun (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, 2007). Data dari semua kasus ISPA yang terjadi di masyarakat, 7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. Episode batuk-pilek pada Balita di Indonesia diperkirakan 2-3 kali per tahun (Rudan et al , 2008) dan ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien terutama balita di Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%)(Kementerian Kesehatan RI, 2012). Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa terdapat faktor-faktor risiko tertentu yang mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita. Penelitian yang dilaksanakan oleh Anders Koch dkk pada tahun 2003 tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita di Denmark membuktikan bahwa kejadian ISPA pada balita dipengeruhi oleh pemberian ASI oleh ibu, keberadaan perokok dalam rumah dan kepadatan ruang tidur balita. Penelitian lain yang dilaksanakan di Indonesia oleh Soedjajadi tentang kesehatan perumahan dan pemukiman pada tahun 2005 menyebutkan bahwa kesehatan rumah yang meliputi keadaan fisik rumah, sarana sanitasi dan perilaku penghuni rumah berkaitan erat Universitas Indonesia
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
3
dengan kesehatan penghuni rumah, terutama balita. Agustina Lubis dkk pada tahun 1996 juga melakukan penelitian tentang Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kejadian ISPA pada Balita pada Tahun 2006 yang membuktikan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kualitas lingkungan fisik rumah berupa jenis atap, jenis tembok, lantai, kepadatan hunian dan bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA pada balita. Jawa Tengah merupakan provinsi yang menempati peringkat ketujuh dalam kasus ISPA terbanyak di Indonesia (Balitbangkes Kemenkes RI, 2013). Penderita ISPA di Jawa Tengah sebagian besar merupakan balita. Diketahui bahwa ISPA di Jawa Tengah mempunyai kontribusi 28% sebagai penyebab kematian pada bayi < 1 tahun dan 23% pada anak balita (1 - < 5 th) dimana 80% 90% dari seluruh kasus kematian ISPA disebabkan oleh pneumonia pada Tahun 2012. Selama tiga tahun terakhir, kasus ISPA non pneumonia di Kota Magelang selalu mengalami peningkatan yaitu 7.129 kasus pada tahun 2011 meningkat menjadi 8.480 kasus pada tahun 2012 dan meningkat kembali menjadi 8.626 kasus selama tahun 2013. Kasus ISPA non pneumonia di Puskesmas Magersari juga mengalami peningkatan 2011-2013. Tahun 2011 ISPA non pneumonia di Puskesmas Magersari adalah 58 kasus , lalu meningkat menjadi 230 kasus pada tahun 2012 dan 362 kasus selama tahun 2013. Selama bulan Mei sampai September 2013 kejadian ISPA nonpneumonia di Puskesmas Magersari juga cenderung meningkat. Mei 2013, Kasus ISPA di Puskesmas Magersari adalah 15 kasus, meningkat menjadi 75 kasus pada bulan Juli dan 91 kasus pada bulan September 2013 Dinkes Kota Magelang, 2013). Peningkatan kasus ISPA non Pneumonia di Puskesmas Magersari serta belum adanya penelitian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Magersari membuat peneliti tertarik untuk meneliti risiko kualitas lingkungan fisik rumah (jenis lantai, atap, dinding, luas ventilasi, kepadatan hunian) dan pencemaran udara dalam rumah (keberadaan perokok dalam rumah, penggunaan anti nyamuk bakar, bahan bakar memasak dalam rumah) dengan kejadian ISPA non pneumonia pada balita di wilayah Kerja Puskesmas Magersari, Kota Magelang, Jawa Tengah Tahun 2013. Tinjauan Teoritis Universitas Indonesia
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
4
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernafasan akut yang meliputi saluran pernafasan bagian atas seperti rhinitis, fharingitis, dan otitis serta saluran pernafasan bagian bawah seperti laryngitis, bronchitis, bronchiolitis dan pneumonia, yang dapat berlangsung selama 14 hari (Depkes RI, 2008). ISPA adalah suatu penyakit yang terbanyak diderita oleh anak-anak, baik di negara berkembang maupun negara maju yang sudah mampu dan banyak dari mereka perlu masuk rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat.Penyakitpenyakit pernafasan pada masa bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa dewasa (Suprajitno, 2004). ISPA dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu ISPA nonpneumonia yang meliputi flu biasa disertai batuk pilek dan pernafasan yang cepat dan ISPA penumonia yang biasa berupa napas cepat, sesak napas dan ada tarikan dinding dada. Faktor rumah sehat yang dapat mempengaruhi kejadian ISPA antara lain adalah jenis lantai, jenis dinding, kepadatan hunian, dan jenis bahan bakar yang digunakan dalam rumah. Dari semua faktor tersebut, kepadatan hunian rumah adalah yang dianggap paling berpengaruh terhadap kejadian ISPA (Wati, 2008).. Anak yang tinggal di rumah yang padat (<9m2/orang) akan mendapatkan risiko ISPA sebesar 1,75 kali dibandingkan dengan anak yang tinggal dirumah yang tidak padat (Achmadi, 1993 dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2004 dalam Nasution, 2011 dalam Naufal 2011). Selain itu pencemaran udara dalam ruang juga mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita.
Metode penelitian Penelitian ini menggunakan desain studi kasus-kontrol. Desain ini merupakan desain yang paling cocok diterapkan dalam penelitian ini karena penelitian ini bertujuan untuk melihat besarnya risiko faktor fisik lingkungan rumah dan pencemaran udara dalam rumah tertentu pada kejadian ISPA nonpneumonia balita. Desain ini juga memiliki beberapa kelebihan seperti tidak membutuhkan waktu yang relatif lama, biaya relatif lebih murah, dan outcome sudah dipastikan terjadi pada diri subjek penelitian (Notoatmodjo, 2010). Waktu Mei-September
dipilih
karena
pada
bulan-bulan
tersebut
kasus
ISPA
nonpneumonia mengalami peningkatan. Universitas Indonesia
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
5
Populasi dari penelitian ini adalah semua balita di wilayah kerja Puskesmas Magersari yang datang berobat ke Puskesmas Magersari baik didiagnosis ISPA nonpneumonia maupun bukan ISPA oleh petugas medis di Puskesmas Magersari, Kota Magelang, Jawa Tengah selama tahun 2013 (rentang Mei—September2013). Populasi kasus dalam penelitian ini berjumlah 191 orang, sedangkan populasi kontrol dalam penelitian ini berjumlah 320 orang. Sampel dari penelitian ini dibagi menjadi kelompok kasus dan kontrol. Kelompok kasus adalah balita yang didiagnosis ISPA oleh tenaga medis di Puskesmas Magersari, dengan kriterian inklusi antara lain adalah balita yang datang berobat ke Puskesmas Magersari dalam rentang Mei - September 2013, berusia maksimal 4 tahun 11 bulan dan bersedia menjadi subjek penelitian. Adapun kriteria eksklusinya adalah balita yang datang berobat ke Puskesmas Magersari di luar bulanMei - September 2013, berusia lebih dari 4 tahun 11 bulan atau tidak bersedia menjadi sumbjek penelitian Kelompok kontrol adalah balita yang berobat ke puskesmas dan tidak menderita ISPA baik ISPA pneumonia maupun ISPA nonpneumonia, dan tinggal bertetangga dengan kelompok kasus. Kriteria inklusi yang digunakan antara lain balita berusia maksimal 4 tahun 11 bulan yang tidak menderita ISPA baik ISPA pneumonia maupun ISPA nonpneumonia dalam rentang Mei-September 2013 serta bersedia menjadi subjek penelitian Penentuan besar sampel minimal untuk penelitian ini menggunakan rumus Lemeshow dengan perbandingan 1:1 pada kelompok kasus dan kontrol
Dengan,
Keterangan : n = Jumlah sampel minimal kasus dan kontrol Z1-α/2 = Nilai Z pada derajat kepercayaan 1-α atau batas kemaknaan α. (Untuk tingkat kepercayaan 95%, nilai Z = 1,96) Z1-β = Nilai Z pada kekuatan uji 1-β. Universitas Indonesia
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
6
(Untuk kekuatan uji 80%, nilai Z = 0,842) = Proporsi exposure pada kelompok kasus = Proporsi exposure pada kelompok control
P1 P2
Tabel 4.1 Perhitungan Besar Sampel Penelitian Peneliti
Variabel Independen
P1
P2
OR
N
Desain Studi
R,
Marlina, - Lantai
0,667
0,333
2,02
30
2012
sectional
Fidiani, 2011 Rahayu,
- Jenis lantai
0,72
0.28
5,02
20
Cross
- Ventilasi
0,71
0,29
4,58
22
sectional
- ventilasi
0,506
0,143
9,726
26
Cross
2011 Catiyas
Cross
sectional - jenis dinding
0,35
0,65
(2012)
2,321
40
Cross sectional
Hasil Perhitungan:
{1,96
2(0,35)(1 − 0,35) + 0,842 0,65 1 − 0,65 + 0,35(1 − 0,35) }! (0,65 − 0,35)!
n = {1,96 (0,6745) + 0,842 (0,673)}2 (0,3)2 2 n ={1,322 + 0,567} (0,09) n = 3,56 0,09 n = 39,66 n = 40 Besar sampel dipilih berdasarkan beberapa penelitian terdahulu. Terbaru adalah penelitian Catiyas (2012) dengan nilai P1 0,65 dan P2 0,35. Besar sampel minimal yaitu 40 dipilih berdasarkan kemampuan dan sumber daya yang dimiliki peneliti. Namun, untuk menghindari hilangnya sampel maka ditambahkan 10% dari besar sampel minimal sehingga didapatkan 44 sampel dan dibulatkan menjadi Universitas Indonesia
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
7
50 sampel untuk masing-masing sampel kasus dan kontrol dengan perbandingan 1:1 sehingga total responden yang akan diwawancarai sebanyak 100 responden. Sampel akan dipilih dengan cara Simple Random Sampling atau cara acak sederhana. Pemilihan sampel baik kasus atau kontrol akan dipilih secara random dengan menggunakan microsoft exel.Nomor data populai kasus maupun data kontrol terlebih dahulu dimasukkan kedalam microsoft exel. Data populai kasus maupun data kontrol ini didapatkan dari catatan pasien balita yang berobat ke Puskesmas Magersari pada periode yang telah ditentukan. Menggunakan rumus tertentu, nomor data tersebut akan dipilih acak secara otomatis hingga menghasilkan nomor data yang akan menjadi sampel, baik kasus ataupun kontrol. Data primer dalam penelitian ini adalah data semua faktor risiko yang diteliti yaitu kualitas lingkungan fisik rumah (Jenis lantai, atap, dinding, luas ventilasi, dan kepadatan hunian) dan pencemaran udara dalam rumah (keberadaan perokok dalam rumah, pengguaan anti nyamuk bakar, bahan bakar memasak dalam rumah). Data jenis lantai, atap, dan dinding didapatkan dengan observasi dan dinilai dengan kuesioner. Data luas ventilasi didapatkan dengan mengukur luas seluruh ventilasi kamar balita dan ruang keluarga, lalu dibandingkan dengan luas lantai rumah. Data mengenai kepadatan hunian, dihitung dengan mengukur luas rumah lalu dibagi dengan jumlah penghuni rumah. Data pencemaran udara dalam rumah (keberadaan perokok dalam rumah, pengguaan anti nyamuk bakar, bahan bakar memasak dalam rumah) didapatkan dengan wawancara dan observasi. Data sekunder dalam penelitian ini adalah data kasus dan kontrol yang didapatkan dari puskesmas magersari. Data kasus dan kontrol didapatkan dari data pasien yang berobat ke Puskesmas Magersari selama bulan Mei sampai September 2013. Data kasus dan kontrol dipilih secara symple random sampling dari data populasi yang ada, sesuai kriteria inklusi masing-masing. Pengambilan data dilaksanakan oleh peneliti sendiri, dengan dibantu oleh kader kesehatan masing-masing RW dalam pencarian alamat sampel. Hasil Penelitian
Universitas Indonesia
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
8
GAMBAR 1 PETA KELURAHAM MAGERSARI (Sumber : Profil Wilayah Kelurahan Magersari 2013)
Peta diatas menunjukkan wilayah kerja Puskesmas Magersari. Luas wilayah Kelurahan Magersari adalah 157,2 Ha atau 1,572 km2. Jumlah penduduk di Kelurahan Magersari per bulan Maret 2014 adalah sebanyak 8.689 jiwa. Kepadatan penduduk yang diperoleh dengan membagi jumlah penduduk dengan luas wilayah dalam km2 didapatkan angka sebesar 5534 jiwa/km2 atau dalam kategori padat (Putra, 2012). Secara, geografis wilayah Kelurahan Magersari kebanyakan berupa pemukiman (orange) serta hutan, kebun dan ladang yang digambarkan dengan warna biru muda. Pemukiman penduduk Kelurahan Magersari dibagi menjadi 13 RW. RW 1 adalah Perumahan Tidar Baru yang terletak di tepi Jalan Suprapto. RW 2 adalah dusun Magersari Selatan .RW 3 dan 4 adalah Dusun Magersari Utara, RW 5 dan RW 13 adalah Dusun Sidosari, RW 6 adalah Dusun Rejosari, dan RW 7 adalah Dusun Tejosari. RW 9 terletak di seberang RW 2, 3 dan 4 yaitu Dusun Magersari Timur. RW 10 adalah Dusun Tegalsari. Sebelah selatan Gunung Universitas Indonesia
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
9
Tidar, yang dalam peta dilambangkan dengan warna abu-abu berarsir juga merupakan wilayah Kelurahan Magersari, yaitu RW 8, 11 dan 12 yang tergabung dalam Dusun Tidar Baru. Profil Kelurahan Magersari menyebutkan, ada diantara RW diatas yang merupakan pemukiman kumuh. Hasil analisis antara faktor-faktor yang diteliti dapat dilihat pada tabel dibawah ini. ISPA Variabel
Tidak N %
N
Jenis Lantai - MS - TMS
46 4
68,7 12,1
21 29
Jenis Atap -
MS TMS
42 8
75 18,2
Jenis Dinding - MS - TMS
43 7
Luas ventilasi - MS - TMS
Ya %
Total
OR
95% CI
Nilai-p
N
%
31,3 87,9
67 33
67 33
15,881
(4,949-50,958)
0,000
14 36
25 81,8
56 44
56 44
13,500
(5,087-35,830)
0,000
76,8 15,9
13 37
23,2 84,1
56 44
56 44
17,484
(6,314-48,415)
0,000
48 2
51,1 33,3
46 4
48,9 66,7
94 6
94 6
2,087
(0,365-11,948)
0,687
Kepasatan Hunian - MS - TMS
42 8
73,7 18,6
15 35
26,3 81,4
57 43
57 43
12,250
(4,652-32,258)
0,000
Penggunaan Antinyamuk Bakar - MS - TMS
44 6
52,4 37,5
40 10
47,6 62,5
84 16
84 16
1,833
(0,611-5,502)
0,414
Keberadaan Perokok dalam Rumah - Tidak Ada - Ada
24 26
72,7 38,8
9 41
27,3 61,2
33 67
33 67
4,205
(1,692-10,448)
0,003
Bahan Bakar memasak - MS - TMS
48 2
53,5 11,1
34 16
41,5 88,9
82 18
82 18
11,294
(2,435-52,379)
0,00
•
MS : memenuhi syarat
•
TMS : Tidak memenuhi syarat
Universitas Indonesia
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
10
Pembahasan Dalam penelitian ini tedapat beberapa keterbatasan yang bisa diperbaiki dalam penelitian selanjutnya. Penelitiaan ini berbasis Puskesmas, sehingga data sekunder berupa kasus ISPA nonpneumonia maupun kontrol didapatkan dari Puskesmas Magersari. Data yang diberikan oleh Puskesmas Magersari kurang lengkap, yaitu tidak menyebutkan alamat tinggal jelas keluarga balita sehingga pencarian kasus maupun kontrol menjadi susah. Seringkali nama yang tercantum dalam daftar tidak ditemukan ketika dicari. Magersari adalah pemukiman padat penduduk yang sebagian rumahnya adalah kontrakan, sehingga ada sebagian balita yang telah pindah rumah. Kondisi Magersari yang merupakan pemukiman dengan banyak gang sempit dan sangat padat membuat peneliti sering kesulitan dalam menemukan rumah balita sampel. Desain studi ini adalah case control, sehingga sangat rawan dengan bias informasi karena kasus sudah terjadi satu tahun hingga 7 bulan sebelum pengambilan data dilaksanakan. Bias informasi yang terjadi dalam penelitian ini adalah bias informasi terkait faktor risiko lingkungan fisik rumah. Ada beberapa keluarga balita yang tidak mengizinkan observasi kamar tidur atau pengukuran ukuran rumah sehinggan hanya menggunakan pengetahuan dari ibu atau pengasuh balita tersebut. Penelitian ini hanya melihat fisik rumah dan pencemaran udara dalam ruang sebagai faktor risiko terjadinya ISPA nonpneumonia pada balita, sehingga tidak bisa memunculkan hubungan sebab akibat. Hanya delapan variabel risiko yang diteliti dalam penelitian ini, sehingga masih sangat sempit dalam menggambarkan faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian ISPA nonpneumonia pada balita. Penelitian ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara jenis lantai tempat tinggal balita dengan kejadian ISPA nonpneumonia pada balita yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Festiani Cahyaningrum Putri pada tahun 2010, Ahmad Yuliansyah Tahun 2002 dan Bambang Irianto pada Tahun 2006, Sementara itu, Universitas Indonesia
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
11
penelitian ini tidak sesuai dengan Penelitian yang dilaksanakan oleh Epi Ria Kristina Sinaga pada Tahun 2012. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh jumlah sampel maupun jumlah balita yang menderita ISPA, baik dari kelompok dengan lantai yang tidak memenuhi syarat maupun dari kelompok balita yang tinggal di rumah dengan lantai yang memenuhi syarat. Jenis lantai sangat berpengaruh terhadap kejadian infeksi saluran pernapasan. Nurjazuli 2009 menyebutkan bahwa lantai yang tidak memenuhi syarat mengasilkan banyak debu, yang akhirnya akan dihirup balita dan menyebabkan infeksi saluran pernapasan. WHO tahun 2009 juga menyebutkan bahwa pada lantai yang lembab dan kotor, banyak mikroorganisme yang berkembang biak hingga akhirnya terhirup dan menyebabkan asma, bronkitis atau iritasi pernapasan lainnya. Penelitian ini sejalan dengan hasil tersebut dengan OR sebesar 15, 881 yang artinya adalah bahwa balita yang tinggal di rumah dengan lantai yang tidak memenuhi syarat kesehatan, 16 kali lebih berisiko untuk menderita ISPA nonpneumonia dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan lantai yang memenuhi syarat. Jenis atap tempat tinggal balita dengan kejadian ISPA nonpneumonia pada balita dalam penelitian ini juga menunjukkan hubungan yang bermakna secara statistik . Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Festiani Cahyaningrum Putri pada tahun 2010. Sementara itu, penelitian ini tidak sesuai dengan Penelitian yang dilaksanakan oleh Epi Ria Kristina Sinaga pada Tahun 2012 dan Agustina Lubis dkk tahun 1996. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh jumlah sampel maupun jumlah balita yang menderita ISPA, baik dari kelompok dengan lantai yang tidak memenuhi syarat maupun dari kelompok balita yang tinggal di rumah dengan lantai yang memenuhi syarat. Atap menrupakan salah satu konstruksi rumah yang penting. Hal ini disebabkan oleh atap yang berfungsi untuk melindungi penghuni rumah dari panas cahaya matahari maupun hujan. WHO Tahun 2009 menyebutkan bahwa atap yang buruk memungkinkan hujan maupun debu masuk kedalam rumah yang akan mengganggu kesehatan rumah mapupun penghuni rumah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini yang menyebutkan bahwa balita yang tinggal di rumah dengan Universitas Indonesia
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
12
atap yang tidak memenuhi syarat 13 kali lebih berisiko untuk menderita ISPA nonpneumonia dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan atap yang memenuhi syarat kesehatan. Jumlah balita yang tinggal di rumah dengan atap yang memenuhi syarat dan yang tidak memenuhi syarat besarnya hampir sama, yaitu 56% berbanding 44%. Jenis dinding rumah juga menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kejadian ISPA nonpneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Magersari, sama halnya dengan jenis lantai dan atap rumah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Agustina Lubis dkk (1996), Festiani Cahyaningrum Putri (2010), Akhmad Yuliansyah (2002) dan Kristina (2011). Akan tetapi, tidak sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Epi Ria Kristina Sinaga (2012) dan Bambang Irianto (2006). Bahkan, dalam penelitian yang dilaksanakan oleh Agustina Lubis dan Akhmad Yulianto, setelah uji multivariat didapatkan bahwa jenis dinding merupakan faktor yang paling memepengaruhi terjadinya ISPA pada balita. Dinding
rumah
kedap
air
yang
berfungsi
untuk
mendukung
ataumenyangga atap, menahan angin dan air hujan, melindungi darianas dan debu dari luar, serta menjaga kerahasiaan penghuninya (Keman, 2005). WHO juga menyebutkan bahwa jamur dan bakteri akan tumbuh pada dinding yang lembab dan kotor. Hal ini yang akan menimbulkan alergi atau infeksi jika terhirup oleh manusia. Perbandingan resiko kejadian ISPA nonpneumonia antara balita yang tinggal di rumah dengan dinding yang memenuhi syarat dan balita yang tinggal di rumah yang tidak memenuhi syarat sangat tinggi, yaitu yang tidak memenuhi syarat juga cukup tinggi, yaitu 17 kali. Luas ventilasi dalam penelitian ini adalah luas ventilasi kamar tidur balita karena diestimasikan balita paling banyak menghabiskan waktunya untuk tidur dan beraktifitas adalah di dalam kamar tidur. Luas ventilasi kamar tidur balita menunjukkan
hubungan
yang
tidak
signifikan
dengan
kejadian
ISPA
nonpneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Magersari. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Kristina (2011) dan Hetti (2011). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Epi Ria Universitas Indonesia
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
13
Kristina Sinaga (2012). Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan jumlah sampel. Rumah yang sehat minimal memiliki luas ventilasi 10% dari luas lantai rumah. Begitu juga kamar, minimal memiliki ventilasi dengan luas minimal 10% dari luas lantai. 10% disini adalah termasuk dengan ventilasi yang tidak permanen seperti pintu dan jendela (Kepmenkes Nomor 829 Tahun 1999). Peran ventilasi adalah untuk pertukaran udara, yaitu menjaga keseimbangan oksigen untuk bernapas para penghui rumah. Secara distribusi, hanya sedikit balita yang tidur di kamar dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat. Hal ini disebabkan karena rumah balita rata-rata berukuran kecil, sehinggan perbandingan lantai dan luas ventilasinya menjadi besar. Selain itu, banyak pula rumah dan kamar balita yang kondisinya sangat terbuka karena atap dan dinding yang tidak memadai , sehingga memperluas luas lubang angin yang ada. Kepadatan rumah balita dan kejadian ISPA nonpneumonia menunjukkan hubungan yang signifikan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Epi Ria Kristina Sinaga (2012), Agustina Lubis dkk (1996), Festiani Cahyaningrum Putri (2010), Akhmad Yuliansyah (2002) dan Kristina (2011). Semua referensi menunjukkan bahwa kepadatan hunian secara statistik berhubungan secara bermakna dengan kejadian ISPA nonpneumonia pada balita. Kepadatan hunian yang berlebihan menyebabkan ruangan terasa pengap dan sesak. Hal ini karena banyaknya orang yang berada dalam satu ruangan bernapas dan mengeluarkan karbon dioksida, sehingga perbandingan antara oksigen dan karbondioksidanya buruk. Hal itu menyebabkan udara terasa pengap dan sesak. Selain itu, balita sangat rentan terhadap infeksi. Kepadatan hunian yang tidak sehat menyebabkan mudahnya mikroorganisme menular dari satu orang ke orang lainnya. Secara statistik, balita yang tinggal di rumah dengan kepadatan yang tidak memenuhi syarat kesehatan kali lebih berisiko untuk menderita ISPA nonpneumonia dibandingkan balita yang tinggal di rumah dengan kepadatan yang memenuhi syarat. Universitas Indonesia
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
14
Penggunaan antinyamuk bakar dalam rumah balita dan kejadian ISPA nonpneumonia menunjukkan hubungan yang tidak signifikan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Epi Ria Kristina Sinaga (2012) dan Bambang Irianto (2006). Akan tetapi, tidak sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Wattimena (2004). Antinyamuk bakar merupakan insektisida pembasmi nyamuk yang digunakan dengan cara dibakar. Pembakaran inilah yang menghasilkan asap yang dapat mengiritasi saluran pernapasan. Asap dari antinyamuk bakar mengandung partikel debu dan mengandung senyawa kimia beracun seperi CO dan CO2. Secara frekuensi, hanya sedikit dari responden yang menggunakan antinyamuk bakar dalam kesehariannya. Mereka lebih banyak menggunakan antinyamuk yang berbentuk lotion atau elektrik. Walaupun begitu, statistik menunjukkan bahwa balita yang tinggal dirumah pengguna antinyamuk bakar 2 kali lebih berisiko untuk terserang ISPA daripada balita tidak tinggal di rumah pengguna antinyamuk bakar. Keberadaan
perokok
dalam
rumah
balita
dan
kejadian
ISPA
nonpneumonia menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Ribka Rerung Layuk (2012), Xafier Bonnefoy (2007), bambang Irianto (2006). Akan tetapi, tidak sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Epi Ria Kristina Sinaga (2012) dan Kristina (2011) Asap rokok merupakan pencemar udara yang mengandung sekitar 4000 jenis bahan kimia berbahaya. Balita yang tinggal di rumah perokok sangat berisiko untuk terserang berbagai gangguan pernapasan yang disebabkan oleh asap rokok. Terlebih lagi, perokok pasif mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita gangguan akibat rokok daripada perokok aktif. Rokok juga menduduki peringkat pertama pada daftar zat yang paling berbahaya pada anak (Sinaga, 2012). Hal itu sejalan dengan hasil penelitian ini yang menyebutkan bahwa anak yang tinggal dengan perokok 4 kali lebih berisiko untuk menderita ISPA nonpneumonia dibandingkan balita yang tidak tinggal serumah dengan perokok.
Universitas Indonesia
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
15
Penggunaan bahan bakar kejadian ISPA nonpneumonia menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Ribka Rerung Layuk (2012), Akhmad Yuliansyah (2002) dan Festiani Cahyaningrum Putri (2010). Akan tetapi, tidak sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Epi Ria Kristina Sinaga (2012). Kayu bakar atau arang merupakan pencemar udara yang mengandung partikel, CO2 dan CO. Balita yang tinggal di rumah pengguna kayu bakar atau rang berisiko untuk mengalami iritasi saluran pernapasan yang disebabkan oleh gas-gas tersebut. Hal itu sejalan dengan hasil penelitian ini yang menyebutkan bahwa anak yang tinggal dirumah pengguna kayu bakar dan arang 11 kali lebih berisiko untuk menderita ISPA nonpneumonia dibandingkan balita yang tidak tinggal dirumah pengguna kayu bakar atau arang. Kesimpulan Kejadian ISPA non pneumonia secara statistik berhubungan secara signifikan dengan jenis lantai nilai p 0,000 dan OR 15,881 ( 95% CI : 4,94950,958), jenis atap nilai p 0,000 dan OR 13,500 (95% CI 5,087-35,830), jenis dinding nilai p 0,000 dan OR 17,484 ( 95% CI 6,314-48,415), kepadatan hunian, p value 0,000 dan OR 12,250 (95% CI 4,652-32,258), keberadaan perokok dalam rumah nilai p 0,003 dan OR 4,205 ((95% CI 1,692-10,448) dan penggunaan bahan bakar memasak nilai p 0,000 dan OR 11,294 ( 95% CI 2,435-52,379).
Saran Telah dilaksanakannya penelitian ini membuat peneliti menyarankan kepada pihak-pihak terkait untuk lebih memperhatikan ISPA nonpneumonia pada balita ini. Masyarakat disarankan agar selalu menjaga agar sinar matahari selalu masuk rumah di pagi hari dengan cara membuka jendela, untuk mengurangi kelembaban pada lantai, atap dan dinding rumah supaya mikroorganisme tidak berkembang biak di dalam rumah. Masyarakat disarankan pula untuk mengganti Universitas Indonesia
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
16
sebagian atap dengan bahan yang tembus cahaya matahari agar cahaya bisa masuk ke dalam rumah sehingga mengurangi kelembaban dan pertumbuhan bakteri dalam rumah.Bagi masyarakat yang masih menggunakan antinyamuk bakar, agar menggantinya dengan klabu agar balita terhindar dari gigitan nyamuk. Para penghuni rumah yang merokok juga disarankan untuk tidak merokok di dalam rumah, terutama ketika balita ada di dalam rumah. Bagi masyarakat yang masih menggunakan kayu bakar atau arang untuk memasak, disarankan membuat lubang asap diatas tungku yang dapat mengalirkan asap keluar rumah bagi masyarakat yang masih menggunakan kayu bakar atau arang untuk memasak. Ibu balita agar rajin membawa balita ke Posyandu, supaya balita mendapat imunisasi yang lengkap dan mendapat makanan penunjang gizi untuk balita. Lebih baik pula agar ibu balita selalu memberika asi eksklusif bagi balita paling tidak selama 6 bulan pertama, agar menghindarkan balita dari ISPA. Kepada Dinas Kesehatan Kota Magelang bersama Puskesmas Kelurahan Magersari agar menyisipkan materi tentang rumah sehat dalam program Pelayanan Kesehatan Lingkungan dan Sanitasi Dasar yang dilaksanakan oleh Puskesmas Magersari dan melakukan penyluhan terkait pencegahan dan faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita kepada ibu balita atau keluarga balita, hal ini karena pengetahuan ibu atau pengasuh balita terhapap ISPA masih rendah. Kepada Dinas Pekerjaan Umum Kota Magelang bersama Kelurahan Magersari Kota Magelang agar Mengusahakan pemugaran rumah tidak layak huni bagi masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah dengan biaya yang ditanggung pemerintah sehingga tidak ada lagi masyarakat yang tinggal di tepi sungai atau di kontrakan yang tidak layak huni. Daftar Referensi Achmadi, U.F., (2005). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Cetakan 1.Jakarta : Kompas Media Nusantara. Anonim.(2008). Ada Apa dengan ISPA. http://klinikita.co.id/blog/2012/10/30/adaapa-dengan-ispa-infeksi-saluran-pernapasan-akut/. 20 Oktober 2012 pukul 22.45 WIB. Universitas Indonesia
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
17
Arminsih, Ririn. (2012). Slide Mata Ajar Surveilans Kesehatan Lingkungan : Desain Studi Penelitian. Aditama.T.Y. ( 2002). Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Arisman. (2004). Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC. Badan penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. (2007). Laporan Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan. Bonnefroy, Xavier. (2007). Innadequate Housing and Health : an Overview. International Journal of Environment and Pollution Volume 30 Nos 3/4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Profil Kesehana Indonesia 2008.http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/Profil%20Kesehatan% 20Indonesia%202008.pdf. Diunduh pada 8 Oktober 2012 pukul 22.30 WIB. Departemen Kesehatan RI. (2007). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. www.litbang.depkes.go.id/bl_riskesdas2007. 10 Oktober 2012 pukul 22.45 WIB. Dinas Kesehatan Kota Magelang. (2013). Rekap ISPA Tahun 2013. Ferdiaz, S. (1992). Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Gulo, R. R. (2008). Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) Pada Balita Di Kelurahan Ilir Gunung Sitoli Kabupaten Nias Tahun 2008. Medan: Repository USU. InfeksiSaluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita (Penelitian di Puskesmas Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan Tahun 20092010).http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/hasilcari.jsp?method= similar&query=71801&start=30&lokasi=lokal. Diunduh pada pada 20 Oktober 2012 pukul 22.45 WIB. Jackson, S., & et all. (2013). Risk Factor for Severe Acute Lower Respiratory Infection for Children. CMI, 110-121. Jamison, Heachem, & Makgoba. (2006). Diases and Mortality in SubsaharanAfrica 2bd Edition. Washington DC: World Bank. Kaman, S. (2005). Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Pemukiman. Jurnal Kesehatan Lingkungan Volume 2 No.1, 29-42. Kasjono, Heru Subaris. (2011). Penyehatan Pemukiman. Yogyakarta : Gasyam media. Kementrian Kesehatan RI. (2010). Buletin Pneumonia Volume 3.http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/buletin/BULETIN%20PN EUMONIA.pdf. 10 Oktober 2012 pukul 22.45 WIB. Universitas Indonesia
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
18
Kementerian Kesehatan RI. (2012). Pedoman Pengendalian ISPA. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Koch, A., & et all. (2003). Risk Factor for Acute respiratory Tract Infection in Young Greenlandic Children. American Jornal of Epidemiology, 374-384. Layuk, Ribka dkk. (2011). Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di Lembang Batu Sura’. Lindawaty.(2010). Partikulat (PM10) Udara Rumah Tinggal Yang Mempengaruhi Kejadian Lubis, A., Soesanto, S. S., Kusmindar, Nanggolan, R., Djarismawati, & Sukar. (1996). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi kejadian Penyakit Batuk dengan Nafas Cepat pada Balita. Buletin Penelitian Kesehatan 24, 2-3. McCracken, J. P., & Smith, R. K. (1997). Prevemtion of Acute Respiratory Infection (ARI) and Indoor Polution). Barkeley: University of California. Mihrshahi, Oddy, Peat, & Kabir.(2008). Association Between Infant Feeding Patterns And Diarrhoeal And Respiratory Illness: A Cohort Study In Chittagong, Bangladesh. 2008.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19025613.Diunduh pada pada 20 Oktober 2012 pukul 22.35 WIB. Naufal, Achmad. (2011). Hubungan antara Konsentrasi Mangan dalam Udara Ambient dengan Kejadian Iritasi Saluran Nafas Pada Anak-Anak di Kecamatan Reo, Kabupaten Manggarai Tahun 2011. Notoatmodjo, Sukidjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Nurjazuli. (2009). Faktor Risiko Dominan Kejadian Pneumonia pada Balita di Puskesmas Kebumen. Semarang : Skripsi Universitas Diponegoro. Oktora, B. (2008). Hubungan antara Kualitas Fisik Udara dalam Ruang (Suhu dan Kelembaban Relatif) dengan Kejadian Sick Building Syndrome (SBS) pada Pegawai Pusat Kantor Perushaan Jasa Konstruksi "X" di Jakarta Timur Tahun 2008. Jakarta: Skripsi Universitas Indonesia. Putri, Festiani Cahyaningrum. (2010). Hubungan Kondisi Faktor Lingkungan dan Angka Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta Pasca Erupsi Gunung Merapi Tahun 2010. Yogyakarta : Skripsi Universitas Negeri Yogyakarta. Rosalina, S. (2010). Strategi Penanggulangan Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Anak Balita Melalui Analisis Faktor Determinan di Tiga Kecamatan Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan Tahun 2006. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19913/4/Chapter%20II.pdf : Repiratory USU.
Universitas Indonesia
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014
19
Sinaga, Epi Ria Kristina. (2012). Kualitas Lingkungan Fisik Rumah dengan kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kelurahan Warakas Kecamatan Tanjung Priok Jakarta Utara Tahun 2011.Skripsi : Universitas Indonesia. Susanto, Cornelius Eko. (2012). “Perubahan Iklim Picu Sakit Pernapasan”. Media Indonesiaedisi 22 sept 2012. http://www.mediaindonesia.com/read/2012/09/22/350237/265/114/ Perubahan-Iklim-Picu-Sakit-Pernapasan. Diunduh pada pada 8 Oktober 2012 pukul 22.35 WIB.. Suharto, I. (2011). Limbah Kimia dalam Pencemaran Udara dan Air. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta. Sukamawa, A. A., Sulistyorini, L., & Keman, S. (2006). Determinan Sanitasi Rumah dan Sosial Ekonomi Keluarga terhadap Kejadian ISPA pada anak Balita serta Manajemen Penanggulanannya di Puskesmas. Jurnal kesehatan Lingkungan No.1 Volume 3, 49-58. Supariyasa. (2002). Penentuan Status Gizi. Jakarta: EGC. The
World Bank. (2006). Environmental Health And Child Survival.http://siteresources.worldbank.org/INTENVHEA/Resources /9780821372364.pdf. Diunduh pada pada 20 Oktober 2012 pukul 22.35 WIB.
Wati, Erna Kusuma. (2008). Hubungan Episode Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Ispa) dengan Pertumbuhan Bayi Umur 3 sampai 6 Bulan di Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang. Erna Kusuma Wati. http://eprints.undip.ac.id/17420/1/Erna_Kusuma_Wati.pdf.Diunduh pada pada 20 Oktober 2012 pukul 22.45 WIB. WHO.(2009). Acute Respiratory Infection.http://www.who.int/vaccine_research/diseases/ ari/en/index1.html. Diunduh pada 8 Oktober 2012 pukul 22.30 WIB. Wijayanti, Khrisma. (2008). “Penyakit-Penyakit yang Meningkat Kasusnya Akibat Pemanasan Global”.Jurnal Medicines Vol. 21 No.3.http:/isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/213088085.pdf .Diunduh pada pada 8 Oktober 2012 pukul 22.33 WIB. Yuliansyah, Akhmad. (2002). Hubungan antara Kondisi Kesehatan Lingkungan Rumah dengan Kejadian Infeksi Pernapasan Akut (ISPA) di Desa Pagar Dewa Kota Bengkulu Tahun 2002.
Universitas Indonesia
Faktor risiko…, Ema Fiki Munaya, FKM UI, 2014