Karakteristik dan Sistem Perkawinan Sapi Potong terhadap Peternak di Kabupaten Keerom, Papua (Studi Kasus Peternak Sapi Potong pada Distrik Arso Kabupaten Keerom) Usman1), Batseba M.W. Tiro1), dan Pagiyanto2) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua 2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan E-mail:
[email protected] Abstrak Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk memperoleh data dan informasi terkait karakteristik peternak dan sistem perkawinan ternak sapi potong di distrik Arso, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua. Metode pengumpulan data dilaksanakan melalui survei dan wawancara sebanyak 35 responden peternak sapi potong yang dipilih secara purposive samplingdengan menggunakan koesioner semi-struktur. Data yang dikumpulkan berupa populasi sapi potong, karakteristik peternak, penyediaan pakan dan sistem perkawinan sapi potong. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakterisitik responden peternak sapi potong tergolong dalam usia produktif (48,62 tahun) denganpengalaman beternak > 10 tahun (76,19%), 5-10 tahun (6,52%), dan 3-5 tahun (14,29%). Sistem pemeliharaan sapi potong pada umumnya mengguakan sistem ikat pindah (66,67%). Penyediaan pakan sebanyak 94,29% hanya berupa hijauan. Pelaksanaan sistem perkawinan menunjukkan bahwa 100% responden melakukan kawin alam dan tidak menggunakan pejantan unggul. Pertama kali sapi potong dikawinkan pada umur 1-2 tahun (71,43%) dan <1 tahun (28,57%). Kata kunci : Karakteristik peternak, sistem perkawinan Pendahuluan Pembangunan bidang peternakantidak bisa terlepas dari subsektor lain yang erat kaitannya dengan subsektor peternakan, karena peternakan merupakan bagian dari sektor pertanian dan sektor lainnya. Sehingga menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan subsektor peternakan juga sangat bergantung dari pertumbuhan dan perkembangan sektor lain yang terkait. Sampai saat ini tulang punggung dalam penyediaan produk peternakan termasuk daging sapi di Indonesia hampir sepenuhnya di tangan peternak rakyat yang umumnya berskala kecil, hanya sebagai usaha sambilan atau cabang usaha dan tersebar mengikuti penyebaran penduduk. Pembangunan peternakan pada dasarnya penting untuk dilakukan karena sub sektor ini memiliki peranan yang strategis, yaitu 1) sub sektor ini diharapkan memperbaiki/meningkatkan konsumsi daging sebagai sumber protein hewani, dan 2) untuk meningkatkan pendapatan petani/peternak yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga petani dan masyarakat.Menurut Budi Gusdiansah (2003) bahwa dilihat dari segi ekonomi, ternak sapi mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi dibanding dengan kerbau. Selain itu keunggulan lain dari usaha ternak sapi adalah karena sapi mudah dipelihara baik pada daerah yang mempunyai lahan pertanian sempit maupun daerah yang padat penduduknya. Kabupaten Keerom merupakan salah satu sentra pengembangan sapi potong di Papua. Pemenuhan kebutuhan akan konsumsi daging, khususnya dalam Kota Jayapura pada umumnya suplay daging sapi berasal dari Kabupaten Keerom. Berdasarkan BPS (2015) diketahui jumlah populasi sapi potong di Kabupaten Keerom sebanyak 13.634 ekor, sementara produksi daging sebesar 363.550 kg atau mengalami pertumbuhan sebesar 1,3 % dari tahun sebelumnya (2014). Bagi petani/peternak sapi potong, memelihara ternak sapi memiliki peran yang cukup besar
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
1251
sebagai tabungan hidup terutama dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani.Menurut Hendrawan (2002), bahwa sebagian besar sapi potong di Indonesia berada dalam penguasaan peternak kecil yang tidak memiliki lahan cukup serta modal usaha memadai, sehingga manajemen pemeliharaan lebih ditekankan kepada upaya mempertahankan ternak sebagai fungsi sosial dan tabungan tunai yang dapat dicairkan sewaktu-waktu diperlukan. Kajian ini bertujuan untuk menyajikan data dan informasi terkait karakteristik peternak dan sistem perkawinan ternak sapi potongdi Kabupaten Keerom, Papua. Metodologi Pengkajian ini merupakan studi kasus terhadap peternak sapi potong di Distrik Arso Kabupaten Keerom yang telah dilaksanakandi tiga lokasi yang berbeda yaitu Arso 1, Arso 7, dan Arso 8. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive), karena ketiga lokasi tersebut memiliki jumlah populasi ternak sapi terbanyak di Kabupaten Keerom. Metode pendekatan yang digunakan dalam pengkajian ini, menggunakan metode deskriptif analisis yaitu metode penelitian yang memusatkan perhatian pada suatu permasalahan masa sekarang dengan jalan mengumpulkan data dan menganalisisnya. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui metode survei dan cara observasi lapangan. Metode survei dilakukan melalui wawancara sebanyak 35 responden yang dipilih secara purposive samplingmenggunakan koesioner semistruktur. Sedangkan observasi lapangan yaitu melakukan pengamatan langsung dilapangan dalam rangka untuk menambahkan informasi yang terkait dengan tujuan kegiatan ini. Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder berupa populasi sapi potong diperoleh dari data BPS Provinsi Papua dan Kabupaten Keerom dan beberapa referensi hasil penelitian terkait dengan penulisan makalah. Sedangkan data primer berupa karakteristik peternak, sistem pemeliharaan, penyediaan pakan dan sistem perkawinan ternak sapi yang diperoleh melalui wawancara dengan responden peternak sapi potong. Selanjutnya data yang telah dikumpulkan disusun dan dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil dan Pembahasan Karakteristik peternak Karakteristik responden peternak berupa umur, pengalaman beternak, dan tingkat pendidikan pada lokasi penelitian disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik peternak sapi di Distrik Arso Kab. Keerom. No. 1. 2.
3.
Uraian Umur, rata-rata (tahun) Pengalaman beternak (%) a. 3 – 5 tahun b. 6 – 10 tahun c. > 10 tahun Tingkat pendidikan (%) a. Tidak tamat SD b. Tamat SD c. Tamat SLTP d. Tamat SLTA
48,62 ± 11,48 14,29 9,52 76,19 19,05 9,52 28,57 42,86
Sumber: Data primer di olah, 2015.
1252
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
Hasil penelitian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa karakterisitik responden peternak sebagian besar masih tergolong masih dalam usia produktif (48,62 tahun). Peternak yang mempunyai pengalaman beternak lebih lama (> 10 tahun)76,19%, 5-10 tahun 6,52%, dan 3-5 tahun 14,29%. Faktor umur dan pengalaman merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam usaha pemeliharaan ternak sapi. Umur yang masih tergolong produktif dapat dipacu dengan pendidikan non formal melalui bimbingan yang dilaksanakan secara kontinu dapat membawa perubahan dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak sapi yang diusahakannya. Disamping umur produktif tingkat pendidikan formal turut mempengaruhi petani/peternak dalam mengelola usahanya, semakin tinggi tingkat pendidikan akan menambah wawasan, sehingga akan semakin mudah menerima inovasi teknologi. Hasil survei diketahui bahwa sebagian besar tingkat pendidikan petani/peternak responden adalah tamat SLTA (42,86%). Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas sumberdaya manusia dari mayoritas responden dapat dengan lebih mudah menerima inovasi teknologi atau mengadopsi teknologi yang lebih menguntungkan. Semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin mudah dalam menerima suatu teknologi yang diintroduksi. Selain itu tingkat pendidikan juga akan berpengaruh dalam kemampuan peternak untuk berkomunikasi dengan orang lain. Hasil penelitian Asnawi dan Hastang (2015), bahwa kategori umur produktif masih memiliki kemampuan fisik yang kuat dan pemikiran yang matang terutama dalam mengelola usaha yang dilakukannya. Sistem Pemeliharaan Sistem pemeiharaan ternak sapi potong yang dilakukan oleh responden peternakdi Kabupaten Keerom, khususnya pada Distrik Arsopada umumnya masih diusahakan secara tradisional seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Sistem Pemeliharaan Ternak Sapi Petani/Peternak di Distrik Arso, Kabupaten Keerom. No.
Sistem pemeliharaan
Nilai (%)
1.
Dilepas siang malam
28,57
2. 3.
Sistem ikat pindah Di kandang siang malam (intensif)
66,67 4,76
Sumber : Data Primer diolah.
Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa sistem pemeliharaan ternak sapi oleh petani pada umumnya masih dilakukan dengan sistem ikat pindah (66,67%), baik yang diikat dibawah pohon sawit maupun yang diikat dilahan penggembalaan (lahan kosong). Pada sistem ikat pindah umumnya ternak sapi diberi air minum yang telah dicampur dengan air garam yang bertujuan untuk lebih meningkatkan nafsu makan ternak, sementara dilepas siang malam (28,57%). Sistem ini dilakukan dengan cara melepasternak sapi siang malam, baik yang dilakukan di padang penggembalaan sekitar areal perkebunan kelapa sawit maupun di lahan penggembalaan. Sementara sistim pemeliharaan yang dilakukan secara intensif yaitu dengan mengandangkan ternak sapi siang malam hanya sebagian kecil yang dilakukan oleh peternak (4,76%). Sistem pemeliharaan ternak sapi potong dikenal tiga sistem yaitu (1) Ekstentif adalah sistem pemeliharaanyang dilakukan oleh orang yang sama dan dilapangan pengembalaan yang sama dengan tidak dikandangkan yang meliputi perkawinan, pembesaran, pertumbuhan dan pengemukan, (2) Antara ekstensif dan intensif adalah pemeliharaan ternak yang tindakan spesialisasinya sudah ada misalnya digemukan dengan memperhatikan kualitas dan kuantitas
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
1253
bahan pakan yang diberikan, (3) Intensif adalah pemeliharaan dalam tempat yang terkurung dan makan dibawa kepada ternak, serta melakukan tindakan intensifikasi secara serius demi pencapaian produksi yang efisien (Parakkasi, 1995). Menurut Iqbal dan Anugrah (2009), sistim pemeliharaan yang dilakukan secara intensif/dikandangkan tujuan pemeliharaannya adalah untuk pembibitan dan penggemukan, sementara sistim pemeliharaan dengan cara melepas sapi di padang penggembalaan tujuannya untuk pembibitan. Tatalaksana pemeliharaan dapat dibagi menjadi 3 dengan tujuan pemeliharaan yaitu: (1) Tujuan untuk menghasilkan anak, induk dan anak dipelihara bersama sampai anak disapih umur 6-8 bulan dan kemudian anak dijual, (2) Tujuan untuk menambah dan memperbaiki kualitas daging, penggemukan dapat dilakukan dikandang atau padang rumput, lama penggemukan tergantung umur sapi, (3) Tujuan untuk bibit (Syukur, 2009). Penyediaan Pakan dan Air Minum Ketersediaan pakan dan air minum merupakan faktor yang sangat penting terutama dalam memenuhi kebutuhan hidup pokok ternak sapi setiap hari. Sumber pengadaan pakan oleh peternak pada umumnya mengandalkan pakan penggembalaan yang hingga kini status hukumnya belum jelas. Hal ini penting terutama di kalangan investor untuk mengembangkan usaha peternakan dengan pola pastur di daerah-daerah. Hasil survei terhadap penyediaan pakan dan air minum dilokasi penelitian disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Penyediaan pakan dan air minum di lokasi penelitian No. 1.
2.
3.
Uraian
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Jenis Pakan Yang Diberikan Hijauan
33
94.29
Hijauan dan pakan tambahan (dedak padi)
2
5.71
Digembalakan
20
57.14
Diaritkan, digembalakan
15
42.86
Tidak diberi air minum
8
22.86
Diberi air minum
27
77.14
Cara memperoleh pakan
Pemberian air minum
Sumber : Data primer di olah, 2015.
Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa sebanyak 94,29% responden peternak sapi potong memberikan pakan berupa hijauan dan sebanyak 5,71% responden peternak yang memberikan hijauan dan pakan tambahan berupa dedak padi. Cara memperoleh pakan hijauan sebanyak 57,14% dilakukan dengan cara digembalakan ternak sapi disekitar areal lahan sawit dan lahan penggembalaan berupa lahan kosong dan sebanyak 42,86% responden peternak memberikan pakan berupa hijauan dengan cara diaritkan dan digembalakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teknologi pemberian pakan yang dilakukan oleh responden peternak dilokasi penelitian pada umummnya dilakukan dengan sistem penggembalaan. Demikian pula dalam pemberian pakan berupa hijauan belum sesuai dengan standar kebutuhan ternak sapi potong. Jadi pemberian pakan hanya merupakan perkiraan peternak melalui besar kecilnya ikatan rumput untuk kebutuhan satu hari. Menurut Siregar (2008), bahwa pemberian pakan yang baik diberikan dengan perbandingan hijauan dengan konsentrat 60 : 40, apabila hijauan yang diberikan berkualitas rendah
1254
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
perbandingan hijauan dengan kosentrat dapat menjadi 55 : 45 dan hijauan yang diberikan berkualitas sedang sampai tinggi perbandingan itu dapat menjadi 64 : 36. Dalam pemberian air minum diketahui bahwa sebagian besar responden peternak yaitu sebanyak 77,14% yang memberikan air minum dengan mencampur garam mineral (garam dapur) sebagai penambah nafsu makan pada ternak sapi potong, dan hanya sebagian kecil responden peternak yang tidak memberikan air minum yaitu 22,86%. Bagi responden peternak yang tidak memberikan air minum sebagian berpendapat bahwa ternak sapi akan mendapatkan air dari hijauan atau rumput yang dikonsumsinya. Menurut Syafrial et al. (2007), bahwa ketersediaan air minum untuk ternak sapi adalah hal yang tidak kalah penting diperhatikan. Kebutuhan air minum bagi sapi sebanyak 20-40 liter/ekor/hari, namun sebaiknya diberikan secara ad libitum (tidak terbatas). Sistem Perkawinan Sistem perkawinan pada ternak sapi potong dapat dilakukan melalui Inseminasi Buatan (IB) dan Kawin Alam (InKA) dengan pejantan unggul atau yang sudah terseleksi untuk menghindari terjadinya inbreeding. Sistem perkawinan/reproduksi, umur pertama kawin dan estrus setelah beranak pada ternak sapi potong dilokasi penelitian disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Sistem perkawinan, umur pertama kawin, dan estrus setelah beranak pada sapi potong. No. 1.
2.
3.
Uraian Sistem perkawinan (%) a. IB b. Kawin alam Umur pertama kawin (%) a. < 1 tahun b. 1 – 2 tahun Estrus setelah beranak (%) a. 30 – 35 hari b. 36 – 40 hari
100 28,57 71,43 42,86 57,14
Sumber : Data primer diolah, 2014.
Berdasarkan pada Tabel 4 diketahui bahwa semua responden peternak sapi potong yang ada di lokasi penelitian 100% melakukan sistem perkawinan ternak sapi potong secara alam (InKa). Namun sistem perkawinan yang dilakukan oleh responden peternak pada umumnya tidak menggunakan pejantan unggul (tidak terseleksi) dan seringnya terjadi perkawinan dalam (inbreeding) sehingga kualitas genetik anak (pedet) yang dihasilkan menjadi semakin menurun dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap rendahnya produktivitas ternak. Berdasarkan pengalaman peternak untuk sistem perkawinan IB, masih terbatas dengan tenaga inseminator dan tidak selalu berhasil sehingga peternak lebih memilih sistem perkawinan secara alam. Terjadinya kegagalan pada saat IB diduga karena pelaksanaan IB yang tidak tepat waktunya. Hasil penelitian (Tabel 4) menunjukkan bahwa sebanyak 71,43% responden peternak yang mengawinkan ternak sapinya untuk pertama kalinya rata-rata pada umur 1-2 tahundan sebanyak 28,57% <1 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa umumnya responden peternak mengawinkan sapi betinanya masih terlalu dini, karena di bawah rekomendasi umur yang dianjurkan untuk kawin pertama kalinya. Bahkan ada yang berumur di bawah 1 tahun tapi sudah kawin. Hal ini terjadi pada ternak sapi betina yang digembalakan secara bersama-sama dengan sapi pejantan. Pada ternak sapi betina biasanya sudah menunjukkan gejala berahi untuk pertama kalinya pada umur 10 – 12 bulan, namun belum saatnya dikawinkan karena sapi betina baru
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
1255
mengalami dewasa kelamin tapi belum mencapai dewasa tubuh. Sapi Indonesia (daerah tropis) sebaiknya dikawinkan pada umur 2-2,5 tahun sebab bangsa sapi tropis tergolong lambat dewasa (Sudarmono dan Sugeng, 2008). Menurut Hasbullah (2003), bahwa pada kondisi peternakan rakyat diperoleh umur pertama kali dikawinkan pada sapi PO adalah 24,05 bulan, sedangkan Waluyo (2004) melaporkan umur pertama kali dikawinkan pada sapi PO adalah 26,31 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 57,14% responden peternak mengetahui bahwa terjadinya estrus pertama pasca beranak berkisar antara 36-40 hari, dan sebanyak 42,86% responden peternak menyatakan bahwa munculnya estrus pertama pasca beranak berkisar antara 30 – 35 hari. Hal ini menunjukkan bahwa interval pasca beranak sampai munculnya estrus kembali masih termasuk dalam kisaran yang normal. Winugroho (2002), menyatakan agar setiap induk dapat beranak setiap tahun maka ternak tersebut harus bunting dalam 90 hari pasca beranak.Estrus pertama pasca beranak harus sekitar 35 hari, sehingga induk mempunyai kesempatan kawin dua kali sebelum bunting (siklus estrus 21 hari). Sedangkan Salisbury dan Vandemark (1985), menyatakan bahwa sebagian besar (65%) dari sapi-sapi betina kembali berahi pada 21-80 hari pasca beranak, dengan waktu untuk involusi uteruspada sapi berkisar 30-50 hari. Dimana induk yang mengalami kekurangan pakan setelah melahirkan dapat mengakibatkan penundaan estrus yang berkisar antara 5 sampai 18 bulan (Wirdahayati, 2010), dan sapi dengan kondisi tubuh yang baik saat beranak akan kembali estrus lebih awal. Estrus pertama pasca beranak pada penelitian ini relatif jauh lebih pendek dibandingkan hasil penelitian Hasbullah (2003), bahwa estrus pertama setelah kelahiran sapi PO 84,78 hari. Demikian pula bila dengan hasil penelitian (Wijono dan Mariyono, 2005), yang melaporkan bahwa anestrus post partumsapi PO pada pola peternak dengan perbaikan pakan adalah 129 hari. Aryogi, (2005) melaporkan anestrus post partum pada sapi PO adalah 119 ± 0,62 hari. Terjadinya perbedaan ini dapat disebabkan bangsa sapi yang berbeda, dimana untuk sapi Bali yang merupakan sapi asli Indonesia memiliki daya adaptasi yang lebih baik terhadap lingkungan buruk maupun mutu pakan yang rendah. Disamping itu sapi Bali mempunyai tingkat kesuburan (fertilitas) yang lebih tinggi dibanding jenis sapi lain yakni mencapai 83% (Guntoro, 2002). Rendahnya tingkat reproduksi dapat disebabkan oleh pengaruh kualitas pakan yang rendah, serangan parasit dan manajemen perkawinan yang belum memadai (Affandhy et al., 2007). Teknologi flushing atau pemberian pakan berkualitas (konsentrat) pada sapi bunting tua dan menyusui dapat meningkatkan kondisi tubuh sehingga mampu memperbaiki reproduksi dan keturunan yang baik (Ensminger, 1976). Kesimpulan Peternak sapi potong pada umumnya memiliki karateristik berupa umur yang masih tergolong dalam usia produktif, sebagian besar telah berpengalaman di atas 10 tahun, akan tetapi dilihat dari tingkat pendidikan pada umumnya masih rendah.
Sistem perkawinan sapi potong
dilakukan secara alami dan tidak menggunakan pejantan unggul. Sebagian besar pertama kali ternak sapi potong dikawinkan pada umur 1-2 tahun. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Kepala Badan Penyuluhan Pertanian, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Keerom yang telah bekerja sama dengan Tim
1256
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
Peneliti Peternakan dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua selama kegiatan pengkajian dan survei peternakan sapi potong berlangsung. Daftar Pustaka Affandhy, L., D.M. Dikman, dan Aryogi. 2007. Petunjuk Teknis Manajemen Perkawinan Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Aryogi, 2005. Kemungkinan Timbulnya Interaksi Genetik dan Ketinggian Lokasi terhadap Performan Sapi Potong Silangan Peranakan Ongole di Jawa Timur. Thesis. Program Pascasarjana Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Asnawi, A. dan Hastang. 2015. Pengaruh Karakteristik Peternak Sapi Potong Dengan Keterlibatan Mereka Dalam Kelompok Tani/Ternak Di Pedesaan. JITP Vol. 4 No. 2, Juli 2015 Direktorat Jendral Peternakan. 2012. Data dan Fakta Daging. http://syahyutidaging.blogspot.com/2012/09/konsumsi-daging-sapi-per-kapita-1984.html. Ensminger, M. E. 1976. Animal Science. Printed and Publisher Inc. Denville Illionis. Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Gusdiansah. 2003. Evaluasi Proyek. Pionir Jaya. Bandung. Hasbullah, E.J. 2003. Kinerja Pertumbuhan dan Reproduksi Sapi Persilangan Simmental dengan Peranakan Ongole dan Sapi Peranakan Ongole di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Thesis. Program Pascasarjana Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Hendrawan Sutanto. 2002. Strategi optimasi pemanfaatan sumberdaya dan teknologi tepat guna pertanian untuk meningkatkan pendapatan peternak sapi potong. Prosiding Seminar Nasional. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Iqbal, M. dan I.S. Anugrah. 2009. Rancang Bangun Sinergi Kebijakan AgropolitanDan Pengembangan Ekonomi Lokal MenunjangPercepatan Pembangunan Wilayah. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 7 No. 2, Juni 2009 : 169-188. Parakkasi, A.1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.N Siregar, S. B. 2008. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya. Jakarta. Salisbury dan Vandemark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Santosa U. 2001. Prospek Agribisnis Penggemukan Pedet Jakarta: Penebar Swadaya Sudarmono, A.S. dan Y. B. Sugeng. 2008. Sapi Potong, Pemeliharaan, Perbaikan Produksi, Prospek Bisnis, Analisis Penggemukan. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Syafrial, Z., A. Yusri, E. Susilawati, & Bustami. 2007. Manajemen Pengelolaan Penggemukan Sapi Potong. Laporan Hasil Pengkajian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi. Syukur, 2009. Perbedaan Waktu Pemberian Pakan Pada Sapi JantanTerhadap Income Over Feed Cost. Pakultas Pertanian Tadulako University, Sulawesi Tengah. Waluyo, R. 2004. Pengaruh Persilangan antara Sapi Simmental dengan Peranakan Ongole Betina Terhadap Reproduktivitas di Kabupaten Kulon Progo. Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
1257
Wijono, D.B. dan Mariyono. 2005. Review hasil penelitian model low external input di Loka Penelitian Sapi Potong tahun 2002-2004. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak. Bogor. Hal. 43-56. Winugroho, M. 2002. Strategi pemberian pakan tambahan untuk memperbaiki efisiensi reproduksi induk sapi. Journal Litbang Pertanian. 21: 19-23. Wirdahayati, R.B. 2010. Penerapan teknologidalam upaya meningkatkan produktivitas sapipotong di Nusa Tenggara Timur. Wartazoa. 20(1): 12 – 20.
1258
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016