AAL dan Misteri Dua Merek Sandal Jepit Butut Maria Natalia | Heru Margianto | Jumat, 6 Januari 2012 | 08:40 WIB HUMAS POLRI Perwakilan dari pemerhati anak-anak, KPAI, dan masyarakat dari posko 1000 sandal untuk membela AAL membawa seratus sandal jepit butut untuk Kapolri, di Gedung Humas Polri Jakarta, Kamis (5/1/2012). KOMPAS.com - Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (4/1/2012), memutus bebas AAL, remaja yang dituduh mencuri sandal jepit butut milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng. Meski diputus bebas, AAL dinyatakan bersalah karena mencuri barang milik orang lain. Ia tidak dihukum, tapi dikembalikan kepada orangtuanya. << Ajaib sekali kasus ini. Konyol. Ini seperti Lelucon. >> Putusan ini menuai protes. Hakim dinilai tak memutus perkara berdasarkan kebenaran materiil. Fakta di persidangan, alat bukti yang diajukan berbeda dengan barang yang diduga dicuri. AAL didakwa mencuri sandal merek Eiger nomor 43. Namun, bukti yang diajukan adalah sandal merek Ando nomor 9,5. Selama persidangan pun, tak ada satu saksi yang melihat langsung apakah sandal merek Ando itu memang diambil AAL di depan kamar Rusdi. AAL sendiri membantah melakukan pencurian, tapi menemukan sebuah sandal Ando di luar pagar indekos milik Rusdi. Dalam sidang, saat hakim Rommel F Tampubolon dan sejumlah pengacara AAL bertanya, bagaimana Rusdi yakin itu sandal miliknya, Rusdi menjawab, ”Saya ada kontak batin saat melihat sandal itu.” Saat hakim meminta mencoba, tampak jelas sandal Ando itu kekecilan untuk kaki Rusdi yang besar. Menurut Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Muhammad Ihsan, AAL tak bisa dinyatakan bersalah, karena bukti dan saksi yang dibawa ke persidangan tidak sesuai dengan fakta di lapangan. "Menurut pandangan kami, AAL dinyatakan bersalah tidak benar. Itu tidak sesuai dengan pemeriksaan saksi dan alat bukti di persidangan. Alat bukti di persidangan berbeda," ujar Ihsan saat dihubungi Kompas.com, Kamis (5/1/2012). Mengenai barang bukti yang berbeda dengan dakwaan, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution mengatakan, hakim memiliki kewenangan untuk memutuskan. "Kalau soal itu (bukti berbeda di pengadilan) itu nanti hakim yang memutuskan," katanya.
1
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Noor Rachmad menyatakan, tak benar ada perbedaan antara barang bukti. Menurutnya, sejak awal baik AAL maupun Briptu Rusdi telah ditunjukkan sandal tersebut dan mereka mengakui itulah barang yang hilang dari indekos Briptu Rusdi. "Kepada saksi korban (polisi), sudah ditanyakan apa benar kehilangan sandal ini atau yang mana yang hilang, dia bilang betul yang dihadirkan ke persidangan. Sementara itu, kepada terdakwa pun, dia tidak membantah dan mengakui bahwa sandal itu yang diambil," jelas Noor. Lelucon Pakar hukum pidana dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Yesmil Anwar, dalam perbincangan dengan Kompas.com berpendapat, seyogyianya kasus ini diselesaikan dengan memenuhi jalan damai. "Dibawa ke ranah hukum juga ada benarnya, karena negara kita adalah negara hukum, ada yang melanggar hukum yang harus ditindak. Nah, jika barang bukti berbeda, harusnya damai dan batal demi hukum," jelas Yesmil saat dihubungi Kompas.com. Yesmil tertawa kecil membayangkan kasus tersebut tetap dijalankan sejak penyidikan di kepolisian, kejaksaan, hingga ke pengadilan dengan barang bukti yang tidak sesuai. Hal tersebut ia anggap sebagai proses hukum yang menyimpang. Tak hanya itu, Yesmil menyebut proses hukum dalam kasus sandal jepit sebagai proses yang konyol dan penuh lelucon. "Uang saja yang dicuri, meskipun nilainya sama, tapi kode uangnya beda tidak bisa dijadikan barang bukti. Kasus tidak bisa dijalankan jika barang buktinya tidak sama. Ajaib sekali kasus ini. Konyol. Ini seperti Lelucon," katanya sambil tertawa.
http://www.gatra.com/hukum/31-hukum/6879-sandal-untuk-sang-jendral
Sandal Untuk Sang Jenderal Friday, 06 January 2012 00:25 Sebuah mobil bak terbuka melintas halaman Gedung Humas Polri, Jakarta Selatan, pada Kamis (5/1/2012) siang, sekitar pukul 14.30 WIB. Tidak seperti mobil-mobil lain, pikap itu tampak menyolok karena di bagian depan mobil ditempel spanduk bertuliskan Posko Seribu Sandal untuk Bebaskan AAL.
2
Setelah mobil diparkir, lantas dua orang bergerak cepat mengangkat dua kardus besar yang terletak di bak belakang kabin dan membawanya ke dalam lobi gedung humas. Kardus bertuliskan 'Sandal Dari Rakyat. Kepada Yth Kapolri. Agar melindungi Anak Indonesia' itu diletakkan di atas meja, lalu dibuka. Tampak beberapa pasang sandal. Ada yang baru, ada yang berlumuran tanah, dan ada pula sandal putus. Itulah kado yang dijanjikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk Kapolri Jendral Timur Pradopo. Pengantar sandal merupakan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat pendamping anak telantar SOS Children's Village, Budi Kurniawan dan Farid Arifandi. Keduanya diterima perwakilan Polri, yakni AKBP Yusri dan AKBP Umar. Budi, yang juga koordinator aksi, secara simbolik menyerahkan sepasang sandal kepada AKBP Umar sembari berucap, "Sandal-sandal ini dititipkan rakyat untuk Kapolri". Menurut Budi, sandal-sandal itu sebagai simbol keresahan masyarakat atas proses hukum kasus pencurian sandal dengan tersangka berinisial AAL, siswa SMKN 3 Palu, Sulawesi Tengah. "Kami berharap, polisi mendengar suara masyarakat melalui gerakan seribu sandal ini," kata Budi, sambil menyerahkan sepasang sandal jepit secara simbolis. AKBP Umar mengatakan menerima sandal tersebut. "Terima kasih. Seiring doa agar bermanfaat, akan disalurkan ke banyak masjid. Mudah-mudahan bermanfaat, dapat hidayah," kata Umar. Mendengar jawaban tersebut, Budi menyela, "Ini bukan sekadar sandal, tapi kegelisahan atas tahanan anak. Dititipkan ke Kapolri agar bisa mengawal ratusan kasus anak di Indonesia. Untuk koreksi semua. Anak tidak butuh penjara tapi butuh keadilan dan restorative justice," kata Budi. Ia berharap polisi tak memandang sandal hanya sekadar alat atau alas kaki, tapi sebagai kritikan dan tamparan masyarakat kepada Polri. total sandal yang terkumpul dari sejumlah posko mencapai 1.300 pasang. Sandal yang dihadiahkan kepada Kapolri sekitar 100 pasang lebih. Sisanya akan dibagikan ke Kejaksaan, Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, dan sejumlah lembaga pemasyarakatan. Sandal untuk Sang Jenderal itu adalah simbol simpati moral terhadap AAL, bocah yang diancam 5 tahun penjara gara-gara mencuri sandal milik Briptu Ahmad Rusdi di jalan Zebra, Palu, Sulawesi Tengah. Simpati dalam bentuk pengirimman sandal mengalir deras dari masyarakat. Mulai dari kuli bangunan, penarik becak hingga jenderal TNI. Salah satunya dari seniman Ayu Laksmi, yang mengirim 10 sandal buatannya khusus untuk Kapolri Timur Pradopo. "Sandal khusus kami terima pagi ini (Rabu, 4/1/2012), dikirim langsung dari Bali lewat jasa pos," kata Budi.
3
Sebanyak 10 pasang sandal yang dibuat khusus oleh Ayu itu berukuran besar, berbentuk persegi panjang dan berwarna hitam. Melalui akun facebook, Ayu berpesan bahwa sandal ukuran ekstra besar itu bisa dipakai bersama-sama dengan anak-anak. "Maksudnya supaya Polri lebih mengayomi anak-anak Indonesia," ujar Budi. Selain menerima bingkisan sandal dari Ayu, KPAI juga menerima paket sandal dari Bangka Belitung. Sang pengirim yang bernama Abing adalah petugas listrik yang berempati terhadap proses penegakkan hukum kasus AAL. "Abing juga mengirim kerupuk Bangka buat petugas jaga di KPAI," cerita Budi. Sejak sepekan lalu, sejumlah warga di Jakarta menggelar aksi 'Seribu Sandal untuk Kapolri' dalam rangka mendukung AAL. Bermula dari kisah pada November 2010 silam, ketika AAL bersama temannya melintas di Jl Zebra, Palu, di depan kost Briptu Ahmad Rusdi pada Mei 2011. Melihat ada sandal jepit, ia kemudian mengambilnya. Briptu Ahmad Rusdi kemudian memanggil AAL dan temannya. Selain diinterogasi, AAL juga dipukul dengan tangan kosong dan benda tumpul. Kasus ini bergulir ke pengadilan dengan mendudukkan AAL sebagai terdakwa pencurian sandal. Jaksa dalam dakwaannya menyatakan AAL melakukan tindak pidana sebagaimana pasal 362 KUHP tentang Pencurian dan diancam 5 tahun penjara. Sementara itu, Polda Sulteng telah menghukum polisi penyaniaya AAL. Briptu Ahmad Rusdi dikenai sanksi tahanan 7 hari dan Briptu Simson J. Sipayang dihukum 21 hari. Kasus sandal jepit itu menunjukkan bahwa sebagian oknum aparat hukum di negeri ini telah menjelma menjadi 'badut-badut' di mata rakyat. Alih-alih mengurus kasus korupsi yang bertebaran di seantero Nusantara, mereka malah mempertontonkan dagelan yang tidak lucu sama sekali. (HP) Kasus Sandal Japit AAL
Rasa Keadilan Hampir Mati | Eko Hendrawan Sofyan | Jumat, 6 Januari 2012 | 05:17 WIB JAKARTA, KOMPAS.com -- Putusan bersalah yang dijatuhkan kepada AAL karena dituduh mencuri sandal milik seorang anggota polisi semakin menunjukkan, hukum hanya keras terhadap orang lemah. Hukum tak berdaya pada orang yang dekat dengan kekuasaan. Rasa keadilan hampir mati. Demikian kesimpulan yang bisa ditarik dari percakapan Kompas dengan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, M Zaidun; Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Mudji Sutrisno, SJ; Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji dan Hikmahanto Juwana; sosiolog Soetandyo Wignjosoebroto; Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Erna Ratnaningsih; Febri Diansyah dari Indonesia 4
Corruption Watch; serta Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Jakarta Ali Munhanif, Kamis (5/1), secara terpisah. Mereka menanggapi putusan hakim tunggal Rommel F Tampubolon dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Palu, Sulawesi Tengah, yang menilai AAL bersalah dan menyerahkan pembinaannya kepada orangtua. AAL dituduh mencuri sandal jepit merek Eiger nomor 43 milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng. Namun, di persidangan, yang dijadikan alat bukti adalah sandal merek Ando nomor 9,5. Putusan hakim juga tak menyebutkan sandal itu milik Ahmad (Kompas, 5/1). Putusan dari hakim Rommel mungkin tak bermasalah secara legal. Namun, mengingat perlakuan dan vonis yang rendah pada pelaku korupsi, menurut Zaidun, putusan itu tidak memenuhi rasa keadilan rakyat. ”Sanksi pada kasus kenakalan anak adalah pembinaan oleh orangtuanya. Namun, prosesnya tidak bagus. AAL diperlakukan seperti terdakwa dewasa dan tidak ada pendekatan manusiawi,” tuturnya. Mudji Sutrisno dan Ali Munhanif, secara terpisah, mengakui, hukum di negeri ini cenderung memihak penguasa dan pemilik modal. Elite dapat berkelit dari hukum dengan kekuasaan dan uang. Rakyat kecil sulit untuk memperoleh keadilan dan kerap menjadi korban. Kasus AAL bukanlah yang pertama di negeri ini yang menggambarkan ”matinya” rasa keadilan. Ditambahkan Febri, hukum di Indonesia timpang. Buktinya, banyak terdakwa korupsi divonis rendah, bahkan bebas. Namun, AAL dan sejumlah orang kecil lain yang ”terpaksa” melakukan pelanggaran justru dihukum. Menurut Hikmahanto, tak hanya perangkat hukum, aparat penegak hukum dan pemerintah juga belum berpihak terhadap rakyat. Mereka juga tak membantu rakyat kecil untuk mendapatkan keadilan ketika berhadapan dengan hukum. Hukum hanya tajam jika ke bawah dan tumpul jika berhadapan dengan kalangan atas. ”Saya prihatin. Hakim terlalu legalistik jika pihak yang lemah menjadi terdakwa. Untuk kasus korupsi, hakim justru tak menggunakan kacamata kuda, tetapi seolah-olah memahami tuduhan korupsi tak terbukti dengan melihat konteks,” ujar Hikmahanto di Jakarta, Kamis. Keadilan pun tidak diperoleh rakyat kecil. Erna pun mengakui, sampai kini penegakan hukum hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Berkaca dari vonis bersalah terhadap AAL dan bebasnya puluhan terdakwa korupsi, rakyat seperti mendapatkan gambaran bahwa pemerintah tidak pernah memberikan keadilan kepada mereka. Menurut Hikmahanto, ketidakadilan yang terus-menerus dirasakan rakyat bisa membuat mereka tak tahan dan berontak. Seharusnya pemerintah peka terhadap rasa ketidakadilan yang terus dialami rakyat. 5
Muji mengakui, hukum di Indonesia saat ini justru menjadi sumber dari ketidakdilan. Itu terjadi karena hampir semua perangkat hukum memihak pada kekuasaan dan modal, bukan memihak pada kebenaran dan keadilan. Keadilan ditentukan oleh permainan kepentingan, kekuasaan, jabatan, dan uang. ”Kondisi ini berbahaya karena yang berlaku dalam kehidupan kita akhirnya seperti hukum rimba. Siapa kuat, dia yang menang. Masyarakat alami krisis dan hukum akan dilecehkan,” katanya. Bagi Ali, hukum yang memanjakan penguasa dan menekan rakyat akibat dominannya politik dalam menyelesaikan problem bangsa. Banyak persoalan bangsa, termasuk kasus hukum, diselesaikan melalui negosiasi politik dengan mengandalkan legitimasi politik. Terlalu legalistik Menurut Soetandyo, putusan bersalah yang dijatuhkan kepada AAL karena hakim terlalu legalistik. Hakim tidak mampu memahami arti dan makna sekaligus kearifan yang terkandung dalam aturan hukum. ”Undang-undang itu dead letter law (hukum yang mati). Hukum menjadi aktif dan dinamik melalui kata hati dan tafsir hakim. Kalau putusannya aneh, itu bukan salah UU, melainkan hakimnya. Hakim harus pandai memberi putusan yang bisa diterima,” ujarnya, Kamis. Hakim bukan komputer yang mengaplikasikan ketentuan tanpa melihat substansi hukum sendiri, yaitu rasa keadilan. Misalnya, aturan mengatur mencuri adalah sebuah tindak pidana. Pelaku tindak pidana harus dihukum. Ketika seseorang didapati mencuri sandal jepit, ia harus dihukum. Hal itu tak benar. Hakim, kata Soetandyo, seharusnya mempertimbangkan hal lain, seperti siapa pelaku pencurian itu. Hukum, menurut dia, terasa tajam untuk rakyat kecil karena masyarakat tidak dilindungi oleh organisasi atau struktur. Kekuatan politik masyarakat rendah. Lain dengan pelaku korupsi yang justru dilindungi organisasi atau struktur pemerintahan. Indriyanto mengutarakan, hakim sebenarnya bisa membebaskan AAL meski terbukti mencuri. Sifat perbuatan melawan hukum dalam suatu tindak pidana bisa dihilangkan dengan cara melihat besarnya kerugian atau dampaknya terhadap masyarakat yang luas. Untuk kasus kecil, seperti pencurian sandal jepit, pisang, dan kakao, pendekatan seperti itu yang juga disebut pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Pendekatan itu juga bisa digunakan pada tingkat penyidikan. Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung (MA) Djoko Sarwoko mengungkapkan, hakim masih sulit menerapkan pendekatan restoratif dalam menangani perkara. Keadilan restoratif sebenarnya masih merupakan wacana dan hingga kini belum dicantumkan dalam UU. 6
Djoko pun mengakui, MA melakukan uji coba penerapan keadilan restoratif di sejumlah pengadilan. Terkait kasus sandal jepit, ia berpendapat, seharusnya tak perlu sampai ke pengadilan. Di Serang, Kamis, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin mengakui sedang memikirkan payung hukum untuk menghindarkan proses penanganan yang berlebihan terhadap tindak pidana yang melibatkan rakyat kecil dan menyangkut kasus kecil. Dari Cilacap, Jawa Tengah, dilaporkan, dua pemuda yang diduga mengalami keterbelakangan mental kini terancam dihukum karena disangka mencuri sembilan tandan pisang. Kendati ada perdamaian dengan pemilik pisang, polisi tetap memproses hukum dan menahan keduanya, tanpa didampingi penasihat hukum. (bil/iam/ray/why/ana/cas/gre/ina)
7