Hermeneutika dan Misteri Sabda Tuhan (Aris Widodo) 23
HERMENEUTIKA DAN MISTERI SABDA TUHAN
Manhaj Tafsir Thabathaba’i dalam Memaknai Hurufhuruf MuqaĠĠa’ah Aris Widodo Abstrak: Tulisan ini berupaya untuk menelisik bagaimana corak penafsiran Muhammad Hussein Thabathaba’i, seorang mufassir kontemporer dari negeri Iran, dalam magnum opusnya, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân mengenai simbol-simbol dari Sabda Tuhan yang terwujud dalam huruf-huruf muqaĠĠa’ah dalam al-Qur’an. Dari analisa ini ditemukan bahwa meskipun Thabathaba’i memiliki proyek untuk menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan multi-dimensi, namun dalam prakteknya Thabathaba’i tidak selalu menerapkan semua pendekatan yang disebutkan dalam anak-judul karya tafsirnya itu. Dalam hal huruf-huruf muqaĠĠa’ah dalam al-Qur’an, penafsiran Thabathaba’i lebih menitik-beratkan pada pendekatan rawâ’iy, dan ‘ilmiy-fanniy, dan mengesampingkan pendekatan falsafiy, adabiy, târîkhiy, ijtimâ’iy, maupun Ʃadîts yufassiru al-Qur’ân bi al-Qur’ân. Selain mendeskripsikan corak penafsiran Thabathaba’i, tulisan ini juga menyoroti posisinya yang kurang jelas dalam hal apakah huruf-huruf muqaĠĠa’ah itu termasuk dalam kategori ayat-ayat muƩkamât atau tidak. This paper tries to search the exegesis style of Muhammad Hussein Thabathaba’i, an Iranian contemporary exegete, in his magnum opus al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an about the symbols of God’s words manifested in muqatta’ah characters in the Quran. It is found that even though Thabathaba’i interprets the Quran using multi-dimension, he, in fact, does not always use all approaches mentioned in subtitle of his book. In the case of muqatta’ah characters in the Quran, his interpretation focuses more on rawa’i, and ilmi-fanni approach, and does not use falsafi, adabi, tarikhi, ijtima’i, and hadith yufassiru al-Qur’an
*. Jurusan Syari’ah STAIN Pare-Pare
24 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 23-44
bi al-Qur’an. Besides, this paper also analyses his unclear opinion that the muqatta’ah characters are included muhkamat verses or not. Kata kunci: manhaj, huruf muqaĠĠa’ah, pendekatan rawâ’iy dan ‘ilmiy-fanniy.
PENDAHULUAN Tuhan, sebagai Wujud yang misterius bagi manusia, berkomunikasi dengan manusia menggunakan modus yang misterius pula. Tidak hanya sifat komunikasinya yang misterius, tidak jarang pesan-pesan yang disampaikan lewat komunikasi tersebut juga menyisakan misteri. Dalam hal ini, al-Qur’an sendiri, yang merupakan representasi dari komunikasi Tuhan dengan manusia, sebelum mengambil bentuknya yang sekarang berupa mushaf pada lembaranlembaran kertas atau dalam bentuk digital, dahulunya juga melalui proses misterius, seperti diisyaratkan dalam al-Qur’an “Seandainya Kami turunkan kepadamu sebuah kitab dalam lembaran-kertas yang bisa mereka pegang, niscaya orang-orang kafir itu akan berkata, ‘ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.”(QS. al-An’am (6): 7). Ayat ini menunjukkan bahwa al-Qur’an tidak langsung turun dari langit dalam wujud lembaran-lembaran kertas, melainkan melalui proses misterius yang disebut “wahyu.” Meskipun sekarang al-Qur’an telah terwujud dalam bentuk konkret, tidak serta-merta sepenuhnya bisa ditangkap maknanya oleh manusia. Ada banyak kandungan al-Qur’an yang masih menjadi misteri bagi (sebagian) manusia, di antaranya adalah yang berkaitan dengan makna huruf-huruf muqaĠĠa’ah. Menanggapi Sabda Tuhan yang berwujud simbol-simbol misterius tersebut, para mufassir al-Qur’an seringkali berbeda pendapat. Tulisan berikut akan menyuguhkan bagaimana seorang mufassir kontemporer, yaitu Muhammad Husain Thabathaba’i (19041981), merespon misteri Sabda Tuhan yang terwujud dalam huruf-huruf muqaĠĠa’ah. Tulisan ini akan dibelah menjadi dua rangkaian pembahasan. Bagian pertama akan dibuka dengan mengeksplorasi lebih lanjut tentang bentuk-bentuk komunikasi Tuhan dengan manusia, disambung dengan uraian tentang al-Qur’an sebagai manifestasi pesan yang dikomunikasikan Tuhan kepada manusia dan kemudian mengerucut pada pembahasan lebih lanjut tentang salah satu misteri
Hermeneutika dan Misteri Sabda Tuhan (Aris Widodo) 25
dari pesan Tuhan kepada manusia yang terwujud dalam simbol-simbol huruf-huruf muqaĠĠa’ah dalam al-Qur’an. Rangkaian-pembahasan yang kedua dibuka dengan kajian atas beberapa metode yang dipakai untuk menyingkap misteri pesan Tuhan kepada manusia yang diikuti dengan penyajian tentang tafsir Thabathaba’i terhadap huruf-huruf muqaĠĠa’ah dan bermuara pada analisa bagaimana manhaj tafsir Thabathaba’i dengan al-Mîzân-nya dalam menanggapi misteri pesan Tuhan yang terwujud dalam hurufhuruf muqaĠĠa’ah dan terakhir adalah kesimpulan. PEMBAHASAN A. Modus-modus Komunikasi Tuhan dengan Manusia
Menurut informasi al-Qur’an (QS. al-Syura: 51), Tuhan berkomunikasi dengan manusia melalui tiga modus, yaitu (1) melalui wahyu, (2) dari balik tabir (warâ’i ƩijƗb), dan (3) mengirim utusan, yang kemudian utusan tersebut memberi wahyu kepada manusia. Berkaitan dengan modus yang pertama, yaitu melalui wahyu, menurut informasi al-Qur’an, Tuhan tidak hanya menurunkan wahyu kepada manusia, tetapi juga kepada makhluk lain. Tuhan memberikan wahyu kepada bumi, seperti diinformasikan dalam QS. al-Zalzalah: 5, “Bahwasanya Tuhanmu memberikan wahyu (awƩâ) kepadanya (bumi).” Tuhan juga memberikan wahyu kepada hewan, yaitu lebah, seperti diinformasikan dalam QS. al-Nahl: 16, “Dan Kami memberi wahyu (awƩâ) kepada lebah untuk membuat sarang di bukit-bukit, pohon-pohon, dan rumah-rumah yang dibuat manusia.” Tuhan juga memberikan wahyu kepada manusia selain Nabi, seperti kepada Ibu Nabi Musa, “Dan Kami memberi wahyu (awƩâ) kepada Ibu Musa untuk menyusuinya (Musa)” (QS. Al-Qashash: 7). Tuhan juga memberi wahyu kepada para Malaikat, “Ketika Tuhanmu memberi wahyu (yûƩî) kepada para Malaikat bahwasanya Aku bersama kalian,” (QS. al-Anfal: 12). Apa yang dimaksud dengan “memberi wahyu” pada ayat-ayat di atas? Al-Qur’an memberi isyarat apakah yang dimaksud dengan “memberi wahyu.” Surat Maryam: 11 menginformasikan bahwa Nabi Zakaria memberi wahyu (awƩâ) kepada kaumnya untuk bertasbih di waktu pagi dan petang. Maksud “memberi wahyu” di sini dijelaskan oleh Surat Ali ‘Imran: 41, yaitu memberi kode-kode (ramza) yang bisa dipahami oleh kaumnya, karena waktu itu Zakaria tidak bisa berbicara
26 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 23-44
(taklîm) kepada manusia kecuali dengan kode-kode itu. Memberi wahyu dalam arti “pemberian kode-kode” (ramza) ini berkesesuaian dengan informasi Nabi Muhammad saw, yang diriwayatkan oleh alBukhari dari ‘Aisyah (Ichwan, 2005: 11-12), bahwa salah satu modus pe-wahyu-an adalah beliau mendengar bunyi gemerincing lonceng, dan setelah mendengar bunyi tersebut, beliau memahami sesuatu yang beliau dengar. Makna “memberi wahyu” yang lain adalah “membisikkan” atau “perkataan-lirih” seperti diinformasikan dalam surat al-An’am: 121 bahwa syaitan memberi wahyu (yûƩûna) kepada para “wali”-nya untuk mendebat orang-orang beriman. Maksud dari “memberi wahyu” ini dijelaskan oleh surat al-Nas: 4-5, yaitu memberi bisikan-bisikan tersembunyi (waswâs) di hati (džudûr). Dalam makna yang agak mirip namun dalam konotasi positif, “bisikan-bisikan di hati” (nazalahu ‘ala qalbi-ka) juga diterima oleh Nabi Muhammad dari Malaikat Jibril, seperti diinformasikan dalam surat al-Baqarah: 97, dan surat alSyu’ara: 193-194. Dengan demikian, makna “wahyu” dalam modus pertama komunikasi Tuhan dengan makhluk pada umumnya, dan dengan manusia pada khususnya, adalah “memberi kode-kode” dan “memberi bisikan-bisikan.” Hal ini berkesesuaian dengan makna “wahyu” secara etimologis, yang di antaranya berarti “isyarat,” dan “bisikan” (Ichwan, 2005: 2). Mengenai modus kedua komunikasi Tuhan kepada manusia, yaitu berbicara dari balik tabir, diilustrasikan ketika Tuhan berkomunikasi dengan Musa di lembah Thuwa. Berbeda dengan modus yang pertama, modus kedua ini disebut dengan “berkata” (qâla). Berarti ketika digunakan istilah qâla ini, dalam kaitannya dengan komunikasi Tuhan dengan manusia, menunjuk kepada modus kedua ini, yaitu “berbicara dari balik tabir” (taklîm min warâi Ʃijâb). Hal ini dikuatkan oleh informasi al-Qur’an dalam surat al-Nisa’: 164, “dan Allah berbicara kepada Musa” (wa kallama Allâhu Mûsâ taklîmâ). Pembicaraan Tuhan dengan Musa ini diilustrasikan lebih detail dalam surat al-A’raf: 143, surat Thaha: 11-36, dan surat al-Naml: 9-12. Taklîm di sini berbeda dengan modus pertama, yaitu pemberian “wahyu” dalam arti “pemberian kode-kode” maupun “bisikan tersembunyi,” karena di sini modusnya adalah dengan “berbicara (biasa) secara langsung tapi dari balik tabir.” Kalau tidak demikian, mestinya modus yang kedua ini tidak dikhususkan/dibedakan dari modus pertama.
Hermeneutika dan Misteri Sabda Tuhan (Aris Widodo) 27
Modus yang ketiga adalah Tuhan berkomunikasi dengan manusia melalui “perantara,” yaitu utusan Tuhan yang pada giliran selanjutnya utusan tersebut memberi wahyu kepada manusia. Modus ketiga ini adalah model yang umum dalam komunikasi Tuhan dengan para nabi. Menurut informasi al-Qur’an, Tuhan mengkomunikasikan Sabda-Nya kepada Muhammad melalui perantaraan Malaikat, yaitu Jibril (QS. Al-Baqarah: 97) atau al-Rûh al-Amîn (QS. al-Syu’ara: 193194). Berbeda dengan modus yang pertama dan kedua yang hanya melalui satu proses komunikasi, dalam modus yang ketiga ini proses komunikasi melalui dua tahap, yaitu Tuhan memberi wahyu kepada perantara (Malaikat), kemudian malaikat memberi wahyu kepada manusia. Ketiga modus di atas menunjukkan bahwa komunikasi Tuhan dengan manusia itu bersifat misterius, tidak “bertatap-muka” secara langsung. Dengan, setidaknya, ketiga modus yang misterius itulah Tuhan berkomunikasi dengan manusia, yang manifestasinya adalah berbagai kitab-suci, salah satunya adalah al-Qur’an. B. Al-Qur’an: Manifestasi dan Isi Komunikasi Tuhan kepada Manusia
Al-Qur’an (misalnya QS. Fushshilat: 2) mengklaim diri sebagai manifestasi komunikasi Tuhan dengan manusia. Al-Qur’an, sebagai manifestasi komunikasi Tuhan dengan manusia, itu memakai bahasa manusia, yaitu bahasa Arab, agar bisa dipahami oleh komunitas Arab, sebagai kaum yang pertama kali (umm al-qurâ) menerima pesan Tuhan tersebut, yang kemudian disebarkan ke komunitas lain (Ʃawlahâ) (QS. al-Zukhruf: 3; dan QS. al-Syura: 7). Lebih lanjut, menurut informasi surat Ali ‘Imran: 7, muatan pesan yang dikomunikasikan Tuhan kepada manusia dalam wujud alQur’an itu secara garis besar terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu ayat-ayat muƩkamât dan ayat-ayat mutasyâbihât. Apakah yang dimaksud dengan ayat-ayat muƩkamât dan ayat-ayat mutasyâbihât ini? Menurut Thabathaba’i (1991, jilid 3: 38-45), terdapat setidaknya enam belas pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan istilah muƩkamât maupun mutasyâbihât. Pendapat pertama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan muƩkamât adalah surat al-An’am: 151-152, sedangkan yang dimaksud mutasyâbihât adalah huruf-huruf muqaĠĠa’ah. Pendapat kedua, berkebalikan dari pendapat yang pertama, berpandangan bahwa yang
28 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 23-44
dimaksud dengan muƩkamât adalah huruf-huruf muqaĠĠa’ah, sedangkan yang mutasyâbihât adalah selain huruf-huruf muqaĠĠa’ah. Selanjutnya, menurut pendapat ketiga, yang dimaksud dengan muƩkamât adalah ayat-ayat yang menjelaskan (al-mubayyin), dan yang mutasyâbihât adalah ayat-ayat yang masih global (al-mujmal). Sedangkan menurut pendapat keempat, yang dimaksud dengan muƩkamât adalah ayat-ayat yang me-naskh (al-nâsikhah), dan yang mutasyâbihât adalah ayat-ayat yang telah di-naskh (al-mansûkhah). Berikutnya, pendapat kelima berpandangan bahwa yang dimaksud dengan muƩkamât adalah ayat-ayat yang jelas-tegas (wâdliƩ lâ’iƩ), dan yang mutasyâbihât adalah ayat-ayat yang memerlukan perenungan mendalam (ta’ammul wa al-tadabbur). Sementara itu, pendapat keenam menyatakan bahwa muƩkamât adalah ayat-ayat yang memungkinkan untuk menghasilkan pengetahuan, baik dengan dalil yang nampak (jaliy) maupun yang tersembunyi (khafiy), dan yang mutasyâbihât adalah ayat-ayat yang tidak ada jalan bagi kita untuk mengetahuinya. Pendapat berikutnya, ketujuh, menetapkan bahwa yang dimaksud dengan muƩkamât adalah ayat-ayat yang mengandung hukum (al-aƩkâm), dan yang mutasyâbihât adalah selain ayat-ayat hukum. Sedangkan menurut pendapat kedelapan, yang dimaksud dengan muƩkamât adalah ayat-ayat yang tidak mengandung kemungkinan untuk di-ta’wîl, karena hanya memuat satu dimensi (wajhan wâƩidan), dan yang mutasyâbihât adalah ayat-ayat yang memuat kemungkinan untuk di- ta’wîl dengan banyak pengertian (awjuhan katsîrah). Selanjutnya, pendapat kesembilan berkesimpulan bahwa muƩkamât adalah ayat-ayat tentang kisah para nabi beserta umat mereka yang mengandung kejelasan (aƩkama) dan rincian (fadžala), dan yang mutasyâbihât adalah ayat-ayat di banyak surat dalam al-Qur’an yang mirip redaksinya (isytabahat alfâdzuhu) dalam mengisahkan para nabi dan umat mereka. Sementara itu, pendapat kesepuluh menyatakan bahwa muƩkamât adalah ayat-ayat yang sudah jelas, sehingga tidak memerlukan penjelasan lagi, dan yang mutasyâbihât adalah ayat-ayat yang masih membutuhkan penjelasan (bayân). Menurut pendapat ke sebelas, yang dimaksud dengan muƩkamât adalah ayat-ayat yang selain harus diimani juga harus dilaksanakan, dan yang mutasyâbihât adalah ayat-ayat yang harus
Hermeneutika dan Misteri Sabda Tuhan (Aris Widodo) 29
diimani, tanpa harus diamalkan. Sedangkan pendapat ke dua belas menyatakan bahwa mutasyâbihât adalah ayat-ayat yang mengandung sifat-sifat Allah, seperti al-‘alîm, al-qadîr, al-Ʃakîm, dan al-khabîr, dan yang muƩkamât adalah ayat-ayat yang selainnya. Berikutnya, pendapat ke tiga belas memahami bahwa yang dimaksud dengan muƩkamât adalah ayat-ayat yang bisa dinalar dengan akal, dan yang mutasyâbihât adalah ayat-ayat yang tidak mampu dinalar dengan akal. Sementara itu, pendapat ke empat belas menetapkan bahwa muƩkamât adalah ayat-ayat yang maknanya sesuai dengan dhâhir-nya, dan yang mutasyâbihât adalah ayat-ayat yang maknanya tidak sesuai dengan dhâhir ayat. Selanjutnya, menurut pendapat ke lima belas, yang dimaksud dengan muƩkamât adalah ayat-ayat yang ta’wîl-nya telah disepakati, dan yang mutasyâbihât adalah ayat-ayat yang ta’wîl-nya belum mendapat kesepakatan. Terakhir, pendapat keenambelas berpandangan bahwa yang dimaksud dengan muƩkamât adalah ayat-ayat yang tidak sulit untuk ditafsirkan karena tidak ada kemiripan lafadz maupun makna dengan ayat-ayat lainnya, dan yang mutasyâbihât adalah ayatayat yang sulit untuk ditafsirkan karena mengandung kemiripan dengan ayat-ayat lain, baik kemiripan dari segi lafadz maupun dari segi makna. Bervariasinya pendapat mengenai pengertian ayat-ayat muƩkamât dan ayat-ayat mutasyâbihât ini menunjukkan bahwa tidak mudah untuk mencapai kesepakatan mana ayat yang masuk dalam kategori pertama, dan mana ayat yang masuk dalam kategori kedua, karena kategorinya sendiri masih diperselisihkan. Tidak adanya kesepakatan mengenai ayat-ayat muƩkamât dan ayat-ayat mutasyâbihât itu juga memberikan indikasi bahwa Sabda Tuhan yang termanifestasi dalam al-Qur’an masih menyisakan teka-teki yang perlu dipecahkan. Menarik untuk dicatat, dari sekian pendapat di atas, terdapat dua pendapat yang berseberangan mengenai ayat-ayat muƩkamât dan ayatayat mutasyâbihât: yang satu memasukkan huruf muqaĠĠa’ah sebagai ayat-ayat muƩkamât (pendapat kedua), sementara yang satunya lagi menetapkan huruf muqaĠĠa’ah sebagai ayat-ayat mutasyâbihât (pendapat pertama). Bagian berikut ini akan memfokuskan pembahasan pada Sabda Tuhan yang berupa huruf-huruf muqaĠĠa’ah dalam alQur’an, yang diperdebatkan oleh dua pendapat tersebut. C. Huruf-huruf MuqaĠĠa’ah: Pesan-Misterius Tuhan kepada Manusia dalam al-Qur’an
30 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 23-44
Salah satu keunikan al-Qur’an adalah 29 dari 114 surat di dalamnya diawali dengan huruf-huruf muqaĠĠa’ah, yakni satu atau lebih huruf hija’iyyah yang tidak membentuk suatu kata (kalimah) tertentu, dengan rincian sebagai berikut: - Tiga surat diawali dengan satu huruf, yaitu Ñ dalam QS. Shad; í dalam QS. Qaf; dan ý dalam QS. Al-Qalam; - Sembilan surat diawali dengan dua huruf, yaitu ĂÛ dalam QS.Thaha; ÊÛ dalam QS. al-Naml; Êċ dalam QS. Yasin; dan ú» (di enam surat: Ghafir; Fushshilat; al-Zukhruf; al-Dukhan; al-Jatsiyah; al-Ahqaf; - Tiga belas surat diawali dengan tiga huruf, yaitu Y¥ (di enam surat: al-Baqarah; Ali ‘Imran; al-‘Ankabut; al-Rum; Luqman; dan alSajdah; Æ÷¥ (di lima surat: Yunus; Hud; Yusuf; Ibrahim; dan al-Hijr; dan úÌÛ (di dua surat: al-Syu’ara; dan al-Qashash; - Dua surat diawali dengan empat huruf, yaitu Ò}¥ di surat al-A’raf; dan Æ}¥ di surat al-Ra’d; - Dua surat diawali dengan lima huruf, baik yang terhubung, yaitu ÒäČĄó di surat Maryam; maupun yang terpisah, yaitu îÌã ú» di surat al-Syura. Apabila disusun
berdasarkan
tata-urutan
dalam
mushaf
Utsmani, maka urutannya adalah sebagai berikut: yaitu Y¥ (al-Baqarah (2); Ali ‘Imran (3); Ò}¥ (al-A’raf (7); Æ÷¥ (Yunus (10); Hud (11); Yusuf (12) ; Æ}¥ (al-Ra’d (13); Æ÷¥ (Ibrahim (14); dan
al-Hijr (15); ÒäČĄó
(Maryam (19); ĂÛ (Thaha (20); úÌÛ (al-Syu’ara (26); ÊÛ (surat al-Naml (27); úÌÛ (al-Qashash (28); Y¥ (al-‘Ankabut (29; al-Rum (30); Luqman
Hermeneutika dan Misteri Sabda Tuhan (Aris Widodo) 31
(31); dan al-Sajdah (32); Êċ (Yasin (36); Ñ (surat Shad (38); ú» (Ghafir (40); fushshilat (41); îÌã ú» (al-Syura (42); ú» di al-Zukhruf (43); alDukhan (44); al-Jatsiyah (45); al-Ahqaf (46); í (Qaf (50); dan ý (alQalam (68). Jika huruf-huruf muqaĠĠa’ah tersebut dipisah-pisah lagi dan disusun berdasarkan huruf abjad Arab, maka urutannya adalah sebagai berikut: Å í Ñ á É ý ù õ ñ ĉ Ù ¹ ā ¥ ; dan apabila huruf-huruf tersebut disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah seperti biasa, maka urutannya adalah seperti ini: ĉ ā ý ù õ ñ í á Ù Ñ É Å ¹ ¥ . Dengan demikin, huruf hijaiyah yang tidak dipakai sebagai huruf-huruf muqaĠĠa’ah adalah sebagai berikut: ą é å Ý Õ Í Ç Ã Á ½ µ ± § . Oleh karena itu, jika kita perhatikan, huruf-huruf muqaĠĠa’ah memakai separoh/setengah dari keseluruhan jumlah huruf abjad Arab yang berjumlah 28, yaitu 14 huruf. Munculnya huruf-huruf muqaĠĠa’ah dalam al-Qur’an ini telah menarik perhatian para peneliti yang mengkaji al-Qur’an, baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim. Dari kalangan non-Muslim, W. Montgomery Watt, misalnya, membahas masalah ini dalam karyanya Introduction to the Qur’an. Menurut pengamatannya (1991: 62) hurufhuruf muqaĠĠa’ah ini ternyata membentuk kelompok-kelompok yang solid (solid block) pada surat-surat tertentu. Misalnya, surat-surat yang diawali dengan huruf muqaĠĠa’ah ú» membentuk kelompok surat 4042; surat-surat yang diawali dengan Æ÷¥ membentuk kelompok surat 1015, termasuk surat 13 dengan tambahan ù ; surat-surat yang diawali ÊÛ dan úÌÛ membentuk kelompok surat 26-28; surat-surat yang diawali dengan Y¥ membentuk dua kelompok terpisah 2-3 dan 29-32. Lebih lanjut, menurut pengamatannya (1991: 62), surat-surat dalam al-Qur’an nampaknya disusun berdasarkan panjang-pendeknya surat, dan ketika kesulitan untuk menetapkan panjang-pendek surat-surat tertentu, maka
32 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 23-44
surat-surat tersebut digabung dalam kelompok tertentu dan diasumsikan panjang-pendeknya relatif sama. Selain itu, Watt (1991: 63-64) juga memaparkan pendapat beberapa orientalis berkaitan dengan hurufhuruf muqaĠĠa’ah ini. Namun pendapat-pendapat itu menurutnya tidak ada yang memuaskan. Menurut catatannya (1991: 61), huruf-huruf tersebut tetaplah menjadi misteri (mysterious letters). Pendapat senada juga dikemukakan oleh orientalis lain, Leopod Weis (yang setelah masuk Islam memakai nama Muhammad Asad) (1993: 993), yang— dengan menyitir ungkapan Abu Bakar al-Shiddiq (“Masing-masing kitab-suci memiliki rahasia, dan rahasia al-Qur’an adalah huruf-huruf muqaĠĠa’ah”)—menyatakan bahwa pendapat-pendapat yang berupaya mengungkapkan rahasia huruf-huruf muqaĠĠa’ah tidak lain hanyalah spekulasi (conjecture) belaka. Sedangkan dari kalangan para mufassir al-Qur’an, berbeda pendapat dalam menanggapi huruf-huruf yang misterius ini. Menurut al-Thabrisi, sebagaimana dikutip Thabathaba’i (1991, Jilid 18: 6-7), terdapat, setidaknya, 11 pendapat mengenai huruf-huruf muqaĠĠa’ah ini. Kelompok pertama mengatakan bahwa huruf-huruf muqaĠĠa’ah termasuk ayat-ayat mutasyâbihât, yang tidak diketahui ta’wîl-nya kecuali Allah. Kelompok kedua menyatakan bahwa huruf-huruf muqaĠĠa’ah tersebut merupakan nama bagi surat yang diawali dengannya. Kelompok ketiga berpendapat bahwa huruf-huruf muqaĠĠa’ah merupakan nama-nama al-Qur’an. Selanjutnya, kelompok ke empat berpandangan bahwa hurufhuruf muqaĠĠa’ah menunjuk kepada nama-nama (asmâ’) Allah swt. Kelompok ke lima menyatakan bahwa huruf-huruf muqaĠĠa’ah akan membentuk nama-nama Allah yang Agung (al-Asmâ’ al-A’dham) jika disusun secara benar. Kelompok ke enam berpendapat bahwa hurufhuruf muqaĠĠa’ah merupakan sumpah Allah bahwa al-Qur’an ini merupakan kalam-Nya. Kelompok ke tujuh menyatakan bahwa hurufhuruf muqaĠĠa’ah merupakan isyarat tentang nikmat-nikmat Allah dan juga azab-Nya, juga isyarat tentang umur kejayaan berbagai komunitas dan ajal kebangkrutannya. Kelompok kedelapan berpandangan bahwa huruf-huruf muqaĠĠa’ah mengandung isyarat tentang usia umat Islam. Berikutnya, kelompok ke sembilan menyatakan bahwa hurufhuruf muqaĠĠa’ah merupakan semacam huruf kamus (mu’jam), seperti hanya disebutkan AB dan yang dimaksud adalah A-Z. Kelompok ke sepuluh berpandangan bahwa huruf-huruf muqaĠĠa’ah digunakan untuk
Hermeneutika dan Misteri Sabda Tuhan (Aris Widodo) 33
“membungkam” orang-orang kafir yang ketika dibacakan al-Qur’an kepada mereka selalu membuat gaduh agar al-Qur’an itu tidak masuk ke telinga mereka. Kelompok ke sebelas menyatakan huruf-huruf muqaĠĠa’ah merupakan huruf al-tahajjiy, yaitu menunjukkan kemukjizatan al-Qur’an yang seolah-olah menyatakan: wahai orangorang kafir, al-Qur’an ini disusun dengan huruf-huruf Arab, maka buatlah yang semisal dengannya jika kalian ragu bahwa al-Qur’an ini merupakan Sabda Tuhan. Kesebelas pendapat di atas menunjukkan bahwa ada variasi metode dalam hal menangkap pesan Sabda Tuhan, sehingga menghasilkan pendapat yang berbeda-beda pula. Bagian selanjutnya akan memaparkan beberapa metode yang umum digunakan dalam menyingkap pesan-pesan Sabda Tuhan, dan selanjutnya akan memaparkan metode yang digunakan oleh Thabathaba’i dalam alMîzân-nya. D. Hermeneutika dan Tafsîr: Metode-metode Menangkap Pesan dari Sabda Tuhan
untuk
Sesuatu yang dianggap sebagai Sabda Tuhan, atau Dewa, yang memuat pesan bagi manusia telah menarik perhatian berbagai peradaban manusia, baik masa lalu maupun sekarang. Dalam tradisi Yunani Kuno, misalnya, ada kepercayaan bahwa oracle di Delphi dianggap sebagai pembawa pesan Tuhan bagi manusia; sedangkan dalam tradisi agama-agama, misalnya Yahudi, Kristen, dan Islam, juga terdapat keyakinan bahwa kitab-suci mereka masing-masing merupakan pesan Tuhan kepada manusia. Oleh karena itu, muncullah berbagai upaya untuk menentukan metode yang tepat guna menyingkap makna pesan Tuhan kepada manusia tersebut, agar manusia bisa mendapatkan petunjuk yang benar dari Tuhan atau Dewa. Dalam tradisi Yunani Kuno, metode yang dipakai untuk memahami misteri pesan-pesan Sabda Tuhan atau dewa yang disampaikan kepada manusia tersebut biasa dinamakan dengan hermeneutika. Pada ranah aplikatif, metode ini sebetulnya telah berkembang sejak, setidaknya, masa Sokrates, yang dalam dialog Ionnya Plato digambarkan telah menafsirkan ucapan “utusan Tuhan” (hermenes eisin ton theon) (Palmer, 2005: 15). Namun secara teoritissistematis, disiplin ini dimulai sejak Aristoteles dengan karyanya Peri Hermeneias (Sumaryono, 1993: 24), yang kemudian diterjemahkan ke
34 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 23-44
bahasa Latin menjadi de Interpretatione, ke bahasa Arab fî al-‘Ibârah, dan ke bahasa Inggris the Interpretation. Dalam perkembangan berikutnya, hermenutika ini juga dipakai dalam tradisi Yahudi dan Kristen untuk menafsirkan Bibel. Penggunaan istilah hermeneutika, dalam kaitannya dengan Bibel, pertama kali dipelopori oleh J.C. Dannhauer di Jerman pada tahun 1654; sedangkan di Inggris penggunaan istilah tersebut pertama kali pada tahun 1737 (Palmer, 2005: 39). Penggunaan hermeneutika untuk menafsirkan Bibel semakin massif digunakan sekarang ini, dengan tujuan untuk “menyingkap kebenaran dan nilai-nilai Bibel” [to discover the truths and values of the Bible] (Suharto, 2004: 47). Selain memasuki jalur teologis, yaitu digunakan untuk menafsirkan Bibel, hermeneutika sekarang ini banyak dikembangkan lagi di ranah filsafat, melanjutkan garis-usaha Aristoteles di atas. Usaha-usaha ini dipelopori oleh, misalnya, F.D.E. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas, Paul Ricoeur, dan Jacques Derrida (Sumaryono, 1993). Dikembangkannya hermeneutika oleh banyak tokoh ini juga berimplikasi pada banyaknya variasi hermeneutika, sesuai dengan versinya masing-masing. Pada tahap berikutnya, akhir-akhir ini hermeneutika juga dicoba-kembangkan dalam tradisi Islam, misalnya oleh Fazlur-Rahman, Hassan Hanafi, Mohammed Arkoun, dan Nasr Hamid Abu Zaid, meskipun perkembangan ini memunculkan kontroversi di kalangan para pemikir Muslim, mengingat dalam tradisi Islam telah berkembang metode yang sudah cukup mapan untuk menyelami pesan-pesan dari Sabda Tuhan tersebut, yang dikenal dengan istilah tafsîr. Ulasan singkat pada bagian ini tidak bermaksud untuk ikut masuk dalam kontroversi di atas. Pemaparan singkat pada bagian ini hanya ingin menunjukkan bahwa Sabda Tuhan telah menjadi concern manusia dari berbagai tradisi, mulai dari komunitas Yunani Kuno, komunitas Yahudi, kristen, dan Islam, sampai komunitas para filosof. Dengan demikian, menurut hemat penulis, ditilik dari kajian semantik, hermeneutika dan tafsîr bisa saja senada dalam makna denotatif-nya, yaitu sebuah metode yang dipakai untuk menangkap pesan dari Sabda Tuhan atau dewa; sedangkan dalam makna konotatif-nya bisa berbedabeda, sesuai dengan versi yang dikembangkannya. Tidak hanya antara hermeneutik dan tafsîr, bahkan dalam khazanah tafsîr sendiri, makna konotatif-nya juga berbeda-beda, sesuai
Hermeneutika dan Misteri Sabda Tuhan (Aris Widodo) 35
dengan versi yang dikembangkannya: ada tafsîr bi al-ma’tsûr, yaitu corak penafsiran yang bersandar kepada “jejak” (atsar) yang ditinggalkan oleh Nabi dan para sahabatnya sampai kepada para tabi’in; ada tafsîr bi al-ra’yi, yaitu pola penafsiran yang bersandar pada penalaran dan ijtihad; dan tafsîr al-isyârî, yaitu cara penafsiran yang memperhatikan “isyarat-isyarat bathiniah” yang dikandung oleh ayatayat al-Qur’an (Ichwan, 2005: 168, 179, 192). Adanya corak penafsiran yang berbeda-beda tersebut juga berdampak pada hasil penafsirannya. Bagian berikut akan menampilkan salah satu tafsir kontemporer, yaitu al-Mîzân fî Tafsîr alQur’ân, berkaitan dengan salah satu isu, yaitu misteri pesan Tuhan yang terwujud dalam huruf-huruf muqaĠĠa’ah, untuk menelisik corak seperti apakah yang dianut oleh tafsir ini. E. Tafsir Thabathaba’i terhadap Huruf MuqaĠĠa’ah
Menurut Thabathaba’i (1991, jilid 18: 7), kesebelas pendapat yang beragam dari para mufassir yang disebutkan di atas tidak memuaskan hati, karena pendapat-pendapat tersebut hanyalah spekulasi yang tidak bersandar kepada postulat (dalîl) yang kuat. Khusus mengenai pendapat ke empat, ke tujuh, ke delapan, dan ke sepuluh, menurutnya (1991, jilid 18: 8, 12-16), memang ada beberapa riwayat yang dinisbatkan kepada Nabi saw dan para imam ahlul-bait. Namun, menurutnya, riwayat-riwayat itu masih problematik. Mengenai pendapat ke empat, bahwa huruf-huruf muqaĠĠa’ah menunjuk kepada nama-nama Allah swt, ada riwayat yang ditampilkan Thabathaba’i yang kemudian dikritisinya. Merujuk ke tafsir RûƩ alMa’ânî, terdapat riwayat dari Juwairiyah, yang mendapat riwayat dari Sufyan al-Tsauri, yang bertanya kepada Ja’far ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib mengenai maksud huruf-huruf muqaĠĠa’ah dalam al-Qur’an. Kemudian Ja’far menjelaskan secara panjang lebar, di antaranya berkaitan dengan nama-nama Allah, sebagai berikut: Y¥ di awal surat al-Baqarah merupakan akronim dari òø}¥ 7¥ ¦ÿ ; Y¥ di awal surat Ali ‘Imran merupakan akronim dari ÂČ6¥ 7¥ ¦ÿ ; Ò}¥ adalah akronim dari íÁ¦Ô÷¥ Å°ð}¥ 7¥ ¦ÿ ; Æ÷¥ merupakan akronim dari éąÆ÷¥ 7¥ ¦ÿ ; Æ}¥ adalah akronim dari íÇ¥Æ÷¥ ®Čü}¥ ĈČ¥ 7¥ ¦ÿ ; ÒäČĄó singkatan dari ćÁ¦~¥ Ĉë¦ô÷¥ ¦ÿ
36 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 23-44
; ÊÛ singkatan dari âČüÌ÷¥ ¨÷¦Ü÷¥ ¦ÿ ; úÌÛ singkatan dari ¦ÿ ÂČä}¥ ¡Âª}¥ âČüÌ÷¥ ¨÷¦Ü÷¥ ; ú» singkatan dari ÂČ6¥ ÂČü{¥; îÌã ú» singkatan dari úČø{¥ ĉĆð÷¥ ÅÁ¦ð÷¥ âČüÌ÷¥ Y¦ä÷¥ ¨Č´}¥ . Menanggapi riwayat ini, Thabathaba’i (1991, jilid 18: 14-15) menambahkan bahwa terdapat beberapa hadits lain yang semakna dengan riwayat di atas, yang diriwayatkan melalui jalur ahlus-sunnah melalui ibn Abbas dan al-Rabi’ ibn Anas. Thabathaba’i tidak memberikan komentar mengenai validitas riwayat ini, namun dia mengkritisi matan hadits ini dengan menyatakan bahwa kode-kode (alramz) dalam pembicaraan digunakan ketika sang penutur (almutakallim) menginginkan agar isi pembicaraannya (al-khiĠâb) menjadi rahasia yang tidak diketahui kecuali oleh pihak yang diajak bicara (almukhâĠab). Di sisi lain, nama-nama Allah (al-Asmâ’ al-ƨusnâ) sudah tersebar-luas di banyak ayat al-Qur’an, dan telah dijelaskan secara global maupun detail di banyak tempat. Oleh karena itu, memakai kode-kode (al-ramz) yang menunjuk kepada nama-nama Allah tersebut dengan mengambil inisial huruf-huruf dari nama-nama itu menjadi tidak perlu lagi. Kritik senada dengan argumentasi serupa juga dialamatkan Thabathaba’i kepada kelompok ke lima yang menyatakan bahwa huruf-huruf muqaĠĠa’ah merupakan isyarat kepada nama-nama Allah yang Agung. Mengenai kelompok ke tujuh dan ke delapan, yang menyatakan bahwa huruf-huruf muqaĠĠa’ah merupakan isyarat tentang usia suatu komunitas, ada riwayat dari ibn Ishaq dan al-Bukhari serta ibn Jarir yang meriwayatkan dari ibn Abbas dari Jabir ibn Abdullah ibn Rabab, yang meriwayatkan sebuah dialog antara Huyay ibn Akhtab dengan Nabi saw di hadapan sekelompok orang Yahudi. Huyay mengatakan bahwa Tuhan telah menjelaskan usia umat-umat Nabi sebelum Muhammad saw. Maka dia meminta Muhammad saw untuk membacakan huruf-huruf muqaĠĠa’ah di dalam al-Qur’an untuk menelisik berapa usia umatanya nanti. Maka Nabi pun membaca Ϣϟ, yang kemudian disahut Huyay dengan penjelasan, “alif = 1; lâm = 30; mîm = 40,” seraya membuat pernyataan sinis, “Apakah kalian hendak masuk ke dalam sebuah agama yang usia kekuasaan dan umatanya hanya 71 tahun?”
Hermeneutika dan Misteri Sabda Tuhan (Aris Widodo) 37
Kemudian Huyay menoleh kepada Muhammad saw, seraya menanyakan apakah ada huruf-huruf muqaĠĠa’ah yang lain. Nabi pun membaca Ò}¥ , yang disahut oleh Huyay dengan pernyataan, “Ini lebih berbobot (atsqal) dan lebih panjang (aĠwal),” seraya memberi penguraian hitung-hitungan huruf tersebut: “alif = 1; lâm = 30; mîm = 40; džâd = 90; sehingga jumlahnya = 161 tahun.” Huyay bertanya lagi apakah masih ada huruf-huruf muqaĠĠa’ah yang lain, yang dijawab Nabi dengan membaca Æ÷¥ . Huyay memberi komentar seperti sebelumnya, “Ini lebih berbobot dan lebih panjang,” sambil memberikan hitungannya, “alif = 1; lâm = 30; râ’ = 200; sehingga jumlah totalnya = 231 tahun.” Huyay masih mengajukan pertanyaan lagi, yang dijawab dengan membaca Æ}¥ . Huyay memberikan komentar sama seperti sebelumnya dan memberikan hitungannya, “alif = 1; lâm = 30; mîm = 40; râ’ = 200; sehingga jumlah totalnya = 271 tahun.” Kemudian Huyay pun memberi komentar akhir, “Persoalanmu membingungkan kami wahai Muhammad, sehingga kami tidak tahu apakah engkau diberi sedikit atau banyak.” Komentar ini dijawab oleh Abu Yasir, yang saat itu menyertai Nabi, dengan pernyataan, “Tahukah kalian, semoga saja jumlah tersebut, 71+161+231+271, secara keseluruhan diperuntukkan bagi Muhammad, sehingga totalnya 734 tahun...” Pernyataan Abu Yasir ini mereka timpali dengan pernyataan, “Persoalannya mirip (tasyâbaha) dengan persoalan kita,” sehingga kaum Yahudi itu mengira bahwa ayat yang di dalamnya ada terma mutasyâbihât (Ali ‘Imran: 7) itu turun kepada mereka.” Selain menjadi landasan bagi kelompok ke tujuh dan ke delapan, riwayat di atas sebetulnya bisa juga menjadi landasan bagi kelompok pertama yang menyatakan bahwa huruf-huruf muqaĠĠa’ah termasuk dalam mutasyâbihât. Menanggapi riwayat ini, Thabathaba’i (1991, jilid 18: 12-13) hanya memberi catatan bahwa riwayat ini kurang valid (bi sanadin dla’îf), seraya menambahkan bahwa hurufhuruf muqaĠĠa’ah bukanlah termasuk dalam kategori ayat-ayat mutasyâbihât. Berbeda dengan pendapat-pendapat yang telah disebutkan, Thabathaba’i sendiri (1991, jilid 3: 25) berpendapat bahwa ayat-ayat muƩkamât adalah ayat-ayat yang memuat pokok-pokok yang jelas (al-udžûl al-muslimah) dari al-Qur’an, sedangkan ayat-ayat
38 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 23-44
mutasyâbihât adalah ayat-ayat yang maknanya bisa menjadi jelas dengan merujuk pada pokok-pokok al-Qur’an. Selanjutnya, Thabathaba’i memberikan kritik kepada kelompok ke sepuluh (al-‘âsyirah). Nampaknya, yang ingin dikritik oleh Thabathaba’i sebetulnya adalah kelompok ke sebelas, bukan ke sepuluh, karena kritiknya berkisar pada pendapat bahwa huruf-huruf muqaĠĠa’ah merupakan huruf al-tahajji. Ada riwayat dari Muhammad ibn Ziyad dan Muhammad ibn Siyar yang meriwayatkan dari al‘Askari, yang mengisahkan bahwa orang-orang Quraisy dan Yahudi mendustakan al-Qur’an dengan mengatakannya sebagai, “sihir nyata yang diada-adakan.” Kemudian Allah menurunkan ayat, ΏΎΘϜϟ ϚϟΫ Ϣϟ yang maksudnya adalah, “Wahai Muhammad, kitab ini Kami turunkan kepadamu dengan menggunakan huruf-huruf muqaĠĠa’ah yang di antaranya adalah alif, lâm, mîm, yang tidak lain adalah huruf hijaiyah dan bahasa kalian (kaum Quraisy), maka (wahai kaum Quraisy), datangkanlah yang semisal dengan al-Qur’an itu jika kalian memang benar (bahwa al-Qur’an itu hanyalah diada-adakan Muhammad).” Menyikapi riwayat ini, Thabathaba’i (1991, jilid 18: 16) hanya berkomentar bahwa riwayat dari al-‘Askari ini kurang valid (dla’îf), tanpa memberikan rincian di titik mana hadits tersebut dla’îf. Setelah memberikan respon atas pendapat-pendapat di atas, Thabathaba’i kemudian menentukan posisinya sendiri. Thabathaba’i (1991, jilid 18: 9) berkeyakinan bahwa huruf-huruf muqaĠĠa’ah merupakan saripati kitab-suci al-Qur’an, sebagaimana riwayat dari Ali bin Abi Thalib bahwa “setiap kitab-suci memiliki saripati (džafwah), dan saripati al-Qur’an adalah huruf-huruf al-tahajji (muqaĠĠa’ah).” Sebagai džafwah dari kitab-suci al-Qur’an, huruf-huruf muqaĠĠa’ah, menurut Thathaba’i (1991, jilid 18: 9), merupakan kode-kode (rumûz) rahasia yang hanya dipahami-bersama antara Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada pintu masuk bagi kita untuk memahami kode-kode itu secara sempurna, karena maknanya begitu subtil (adaqqu), begitu mendalam (arqâ), dan di luar ambang-batas kapasitas intelektual kita (arfa’ min afhâminâ). Menurut Thabathaba’i, yang kita ketahui hanyalah sebatas pengetahuan bahwa antara huruf-huruf muqaĠĠa’ah dan kandungan suratnya terdapat keterkaitan khusus. Thabathaba’i (1991, jilid 18: 9) menjelaskan lebih lanjut pendapatnya tersebut dengan menyatakan bahwa huruf-huruf muqaĠĠa’ah yang dipasang di beberapa awal surat memiliki kemiripan
Hermeneutika dan Misteri Sabda Tuhan (Aris Widodo) 39
kandungan surat (tasyâbuh al-madlâmîn) dan keterkaitan konteks pembicaraan (tanâsub al-siyâqât), yang dalam hal ini ditandai dengan adanya kedekatan redaksi (taqârub al-alfâdz). Dia memberi ilustrasi bagaimana surat-surat yang diawali dengan huruf-huruf muqaĠĠa’ah ϢΣ pada umumnya disambung dengan kalimat Ϳ Ϧϣ ΏΎΘϜϟ ϞϳΰϨΗ, sedangkan surat-surat yang dibuka dengan ήϟ pada umumnya diikuti dengan ϚϠΗ ΏΎΘϜϟ ΕΎϳ. Selain itu, menurut Thabathaba’i (1991, jilid 18: 9), antara huruf muqaĠĠa’ah pembuka surat dengan kandungan surat terdapat keterkaitan khusus, misalnya surat al-A’raf yang dibuka dengan huruf κϤϟ kandungan suratnya seolah-olah merupakan kombinasi (jâmi’atun) antara kandungan surat yang dibuka oleh Ϣϟ dan ι; begitu juga surat al-Ra’d yang dibuka dengan huruf ήϤϟ kandungan suratnya seolah-olah merupakan kombinasi (jâmi’atun) dari surat-surat yang dibuka dengan Ϣϟ dan ήϟ. Begitulah tafsir Thabathaba’i terhadap huruf-huruf muqaĠĠa’ah dalam al-Qur’an, yaitu mencukupkan diri dengan penjelasan dari sisi formal (bentuk)-nya saja, dan tidak mau melakukan penetrasi lebih dalam lagi untuk menginterpretasikan makna-makna batiniah hurufhuruf misterius tersebut. F. Manhaj Tafsir Thabathaba’i mengenai Huruf MuqaĠĠa’ah dalam al-Qur’an
Dari pemaparan di atas, kita bisa mulai menelisik bagaimana manhaj tafsir Thabathaba’i dalam al-Mîzân-nya, khususnya yang berkaitan dengan huruf-huruf muqaĠĠa’ah dalam al-Qur’an. Tafsir yang oleh Thabathaba’i ditulis selama sekitar 17 tahun (Ghafur, 2008: 89) ini lengkapnya berjudul al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân: kitâb ‘ilmiy-fanniy, falsafiy, adabiy, târîkhiy, rawâ’iy, ijtimâ’iy, Ʃadîts yufassiru al-Qur’ân bi al-Qur’ân. Dari judul tersebut kita bisa menengarai pendekatan apa yang dipakai oleh Thabathaba’i dalam tafsirnya itu. Judul ini mengindikasikan bahwa sang penulis (al-mu’allif) berupaya untuk memakai pendekatan multi-dimensi, yaitu pendekatan ilmiah-sastrawi, pendekatan filosofis, etis, historis, periwayatan, sosiologis, dan tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an yang termuat dalam Hadits. Oleh karena itu, ditilik dari corak penafsirannya, tafsir ini merupakan perkawinan antara tafsîr bi al-ma’tsûr dan tafsîr bi al’ra’yi. Meskipun begitu, dalam prakteknya, menurut pengamatan Ghafur (2008: 95), Thabathaba’i tidak selalu menerapkan semua
40 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 23-44
pendekatan yang disebutkan dalam judul itu dalam menafsirkan ayatayat al-Qur’an. Terkadang hanya beberapa di antara pendekatan itu yang dipakai Thabathaba’i. Hal ini berlaku juga pada penafsirannya atas huruf-huruf muqaĠĠa’ah dalam al-Qur’an. Pembahasan Thabathaba’i dalam persoalan ini lebih menitik-beratkan pada kajian rawâ’iy, dan ‘ilmiy-fanniy, dan mengesampingkan pendekatan falsafiy, adabiy, târîkhiy, ijtimâ’iy, maupun Ʃadîts yufassiru al-Qur’ân bi alQur’ân. Pendekatan rawâ’iy tampak pada tanggapan Thabathaba’i yang hanya diarahkan kepada pendapat-pendapat yang memiliki sandaran riwayat-riwayat (pendapat pertama, ke empat, ke tujuh, ke delapan, dan ke sebelas), sedangkan pendapat-pendapat yang tidak memiliki sandaran riwayat (pendapat ke dua, ke tiga, ke lima, ke enam, ke sembilan, dan ke sepuluh) tidak ditanggapinya, selain hanya memberi pernyataan bahwa pendapat-pendapat ini tidak memiliki postulat dan dasar argumentasi yang kuat. Sedangkan pendekatan ‘ilmiy-fanniy tampak pada respon Thabathaba’i atas pendapat kelompok ke empat dan ke lima mengenai makna huruf-huruf muqaĠĠa’ah. Terma-terma yang dia gunakan untuk mengkritik kedua kelompok ini tampak memanfaatkan analisa linguistik, seperti al-ramz, al-mutakallim, al-khitâb, dan al-mukhâtab. Menarik untuk dicermati, Thabathaba’i tidak berupaya untuk merangsak-masuk lebih dalam lagi untuk menguak makna-terdalam dari huruf-huruf muqaĠĠa’ah ini, padahal biasanya huruf-huruf yang berwujud simbol-simbol misterius ini merupakan lahan-subur bagi perenungan dan kontemplasi filosofis, atau, memakai terma yang dipakai dalam judul tafsirnya, pendekatan falsafiy. Thabathaba’i sendiri tumbuh-besar dalam tradisi-panjang yang sangat lekat dengan pendekatan filosofis, terutama filsafat yang bercorak mistis (mystical philosophy) (Fahham, 2004: 22-25). Dia sangat menguasai filsafat ibn ‘Arabi, Suhrawardi, Mulla Shadra, dan mengulas karya-karya mereka, misalnya, ta’lîqât ‘alâ kitâb al-asfar yang merupakan komentar atas kitab al-asfar al-arba’ah karya Mulla Shadra (Ghafur, 2008: 65). Namun, yang menarik, dalam al-Mîzân-nya Thabathaba’i justru menutup pintu-masuk ke lorong kontemplasi filosofis via huruf-huruf muqaĠĠa’ah ini, dengan menyatakan bahwa huruf-huruf tersebut merupakan kode (al-ramz) rahasia yang hanya dipahami bersama antara Allah dan rasul-Nya.
Hermeneutika dan Misteri Sabda Tuhan (Aris Widodo) 41
Hal ini berbeda dengan “guru”-nya, ibn ‘Arabi, yang dalam tafsirnya, sejak di halaman-halaman awal tampak tanpa ragu-ragu langsung menyingkap misteri huruf-huruf muqaĠĠa’ah dalam al-Qur’an. Ketika memulai penafsiran atas pembuka surat al-Baqarah (2) yang memuat huruf-huruf muqaĠĠa’ah Ϣϟ, misalnya, ibn ‘Arabi (t.t: 9) langsung “tancap-gas” dengan mengaitkan huruf-huruf misterius ini dengan “filsafat wujud”-nya. Ketiga huruf ini, menurut ibn ‘Arabi, merangkum keseluruhan wujud (kullu al-wujûd): huruf alif merupakan isyarat kepada Zat yang merupakan Wujud Pertama (awwal al-wujûd); sedangkan huruf lam merujuk pada Akal Aktif (al-‘aql al-fa’âl) yang dinamai Jibril yang merupakan Wujud Tengah (awsaĠ al-wujûd), yang fungsinya sebagai “perantara” yang mengambil-limpahan (yastafîdlu) dari Wujud Pertama untuk kemudian dilimpahkannya (yufîdlu) pada Wujud Terakhir, yaitu Muhammad saw. yang disimbolkan dengan huruf mim. Keengganan Thabathaba’i untuk melakukan penafsiran filosofis-mistis seperti yang dilakukan ibn ‘Arabi di atas memunculkan teka-teki, karena di tempat lain Thabathaba’i (1988: 49), sebagaimana dikutip Ghafur (2008: 82), menyatakan bahwa seluruh ayat al-Qur’an itu bisa dipahami manusia, dan tidak ada satu pun ayat yang tidak bisa diketahui maknanya oleh manusia. Jika ditilik dari standar kebenaran “kepanggahan dakhil”, posisi Thabathaba’i ini menjadi problematik, karena di satu sisi menyatakan bahwa tidak satu pun ayat yang tidak bisa diketahui maknanya oleh manusia, sedangkan di sisi lain berpendapat bahwa huruf-huruf muqaĠĠa’ah merupakan kode rahasia yang hanya diketahui maknanya oleh Allah dan rasul-Nya. Posisi Thabathaba’i yang problematik ini juga berimplikasi pada problema lainnya, yaitu persoalan huruf-huruf muqaĠĠa’ah dalam kaitannya dengan kategori ayat-ayat muƩkamât dan mutasyâbihât. Di satu sisi dia memasukkan huruf-huruf muqaĠĠa’ah sebagai “bukan mutasyâbihât,” tetapi di sisi lain, sejauh penelusuran saya, dia tidak secara tegas memasukkan huruf-huruf muqaĠĠa’ah sebagai muƩkamât. Hal ini bisa memunculkan spekulasi apakah menurut Thabathaba’i, huruf-huruf muqaĠĠa’ah ini termasuk ayat yang “bukan-bukan”: bukan mutasyâbihât, bukan muƩkamât. Namun spekulasi ini nampaknya juga problematik, karena Thabathaba’i sendiri, ketika dia mengkritik pendapat pertama tentang muƩkamât dan mutasyâbihât (1991, jilid 3: 38), secara implisit menganut “prinsip menolak kemungkinan ke tiga”
42 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 23-44
(principium exclusi tertii), bahwa tidak ada kategori ketiga (qism tsâlits) di luar dua kategori muƩkamât dan mutasyâbihât ini. Dengan demikian, pendapat Thabathaba’i tentang huruf-huruf muqaĠĠa’ah dalam kaitannya dengan muƩkamât dan mutasyâbihât ini tidak bisa dipastikan. Dalam hal sistematika pembahasan, tafsir Thabathaba’i atas huruf-huruf muqaĠĠa’ah ini mengambil pola sebagai berikut: bagian (1) bayân, yang di dalamnya dijelaskan secara global muatan yang dikandung oleh surat al-Syura; kemudian disebutkan status surat ini apakah termasuk makiyyah atau madaniyyah; setelah itu dimulai pembahasan tentang huruf-huruf muqaĠĠa’ah, beserta berbagai pandangan yang variatif mengenainya, seraya mengkritisi pandanganpandangan tersebut dan menentukan posisinya sendiri; selanjutnya dikemukakan bagian (2) bahtsun rawâ’iy, yang di dalamnya ditampilkan riwayat-riwayat hadits yang memuat penafsiran atas hurufhuruf muqaĠĠa’ah, kemudian komentar dan kritiknya atas riwayatriwayat tersebut, baik dari segi sanad maupun matan-nya. Hal lainnya lagi, meskipun tidak disebut secara khusus, terkadang Thabathaba’i juga memakai pola tafsir mawdlû’iy (Ghafur, 2008: 96). Pola ini juga diaplikasikannya pada kasus huruf-huruf muqaĠĠa’ah. Meskipun huruf-huruf muqaĠĠa’ah mulai muncul sebagai pembuka (fawâtiƩ al-suwar) di surat-surat yang letaknya di awal, seperti al-Baqarah (2), Ali ‘Imran (3), maupun al-A’raf (7), Thabathaba’i tidak langsung menguraikan pembahasannya atas persoalan huruf-huruf muqaĠĠa’ah di surat-surat awal tersebut, tetapi justru mengumpulkan pembahasannya di surat yang ke-42, yaitu surat al-Syura. Di awal surat al-Syura inilah Thabathaba’i membahas panjang-lebar huruf-huruf muqaĠĠa’ah seperti dipaparkan di atas. KESIMPULAN Dari analisa atas tafsir Thabathaba’i terhadap huruf-huruf misterius ini, penulis berkesimpulan bahwa meskipun tafsir ini lengkapnya berjudul al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân: kitâb ‘ilmiy-fanniy, falsafiy, adabiy, târîkhiy, rawâ’iy, ijtimâ’iy, Ʃadîts yufassiru al-Qur’ân bi al-Qur’ân, yang mengindikasikan bahwa tafsir ini memakai pendekatan multi-dimensi (ilmiah-sastrawi, filosofis, etis, historis, periwayatan, sosiologis, dan tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an yang termuat dalam hadits), namun pendekatan yang dipakai oleh sang
Hermeneutika dan Misteri Sabda Tuhan (Aris Widodo) 43
mufassir dalam kaitannya dengan huruf-huruf muqaĠĠa’ah dititikberatkan pada pendekatan periwayatan (rawâ’iy) dan ilmiah-sastrawi (‘ilmiy-fanniy). Dengan demikian, tidak semua pendekatan yang disebutkan dalam judul tafsir tersebut diberlakukan dalam keseluruhan penafsiran atas ayat-ayat al-Qur’an. Berkaitan dengan penafsiran atas huruf-huruf muqaĠĠa’ah, sang mufassir tidak memberlakukan pendekatan filosofis, etis, historis, sosiologis, dan tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an yang termuat dalam Hadits. Sebagai catatan-kecil, tulisan ini menyoroti Thabathaba’i, seorang kampiun filsafat yang mewarisi tradisi panjang filsafat-mistis, yang tidak memanfaatkan pendekatan filosofis dalam menafsirkan huruf-huruf muqaĠĠa’ah, padahal huruf-huruf misterius ini menjadi lahan subur bagi kontemplasi filosofis, seperti ditunjukkan oleh, misalnya, tafsir ibn ‘Arabi, yang dengan asyik mengaitkan huruf-huruf muqaĠĠa’ah dengan filsafat wujud-nya. Selain itu, penulis juga menggaris-bawahi posisi Thabathaba’i yang, dalam pandangan penulis, tampak tidak jelas dalam menentukan status huruf-huruf muqaĠĠa’ah, apakah sebagai ayat-ayat muƩkamât atau tidak. Terakhir, meskipun tidak disebut secara eksplisit, Thabathaba’i juga memakai pola tafsir tematik (maudlû’i) dalam menafsirkan hurufhuruf muqaĠĠa’ah dalam al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA ‘Arabi, Muhyiddin ibn, Tafsîr ibn ‘Arabi, Beirut: Dar Shadir, t.t. Asad, Muhammad, The Message of the Qur’an, Gibraltar: Dar alAndalus, 1993. Fahham, Achmad Muchaddam, Tuhan dalam Filsafat Allamah Thabathaba’i, Jakarta Selatan: Teraju, 2004. Ghafur, Waryono Abdul, Millah Ibrâhîm dalam al-Mîzân fî Tafsîr alQur’ân Karya Muhammad Husein Thabathaba’i, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008.
44 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 23-44
Ichwan, Mohammad Nor, Belajar al-Qur’an: Menyingkap Khazanah Ilmu-ilmu al-Qur’an melalui Pendekatan HistorisMetodologis, Semarang: RaSAIL, 2005. Palmer, Richard E., Hermeneutika, Teori Baru mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Suharto, Ugi, “Apakah al-Qur’an Memerlukan Hermeneutika,” dalam Islamia, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, tahun 1, no 1, Maret 2004. Sumaryono, E, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1993. Thabathaba’i, Muhammad Hussein, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân: kitâb ‘ilmiy-fanniy, falsafiy, adabiy, târîkhiy, rawâ’iy, ijtimâ’iy, Ʃadîts yufassiru al-Qur’ân bi al-Qur’ân, Beirut: Muassasah al-a’lami li al-mathbu’at, 1991. Watt, W. Montgomery, Introduction to the Qur’an, Edinburg: Edinburg University Press, 1991.