5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN Evaluasi efektivitas pengelolaan dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap 4 aspek dalam siklus pengelolaan yaitu: perencanaan, masukan, proses, dan keluaran. Setiap aspek merupakan kumpulan komponen pengelolaan yang memiliki ciri khas tertentu. Hasil pengukuran yang diperoleh disajikan seperti berikut. 5.1
Perencanaan Kawasan Terdapat tiga kelompok utama yang menjadi penilaian dalam mengukur
kekuatan perencanaan kawasan konservasi yaitu: penetapan tujuan, kepastian hukum, dan desain tapak. Ketiga kelompok tersebut terdiri dari masing-masing 5 komponen penilaian.
Hasil penilaian terhadap ketiga kelompok utama perencanaan di 23
kawasan konservasi di Indonesia disajikan dalam Gambar 16. 5 Nilai Perencanaan
4 3 2
Keterkaitan kawasan lain
Zonasi
Lay out
Kesesuaian tempat
SDM dan keuangan
Ketiadaan klaim lahan
Tata batas
Perlindungan hukum
Resolusi konflik
Kepastian Hukum
Pemanfaatan sekitar kawasan
Tujuan
Dukungan masyarakat
Pemahaman pengelola
Konsistensi
Keterkaitan dengan aset kehati
-
Perlindungan kehati
1
Desain Tapak
Gambar 16 Grafik nilai berbagai komponen dalam perencanaan kawasan konservasi Gambar 16 menunjukkan bahwa semua kelompok penilaian perencanaan kawasan konservasi yaitu penetapan tujuan, kepastian hukum, dan desain tapak, masih relatif lemah dimana nilai rata-rata keseluruhan aspek lebih kecil dari 3. Secara umum nilai perencanaan tujuan kawasan konservasi sudah relatif lebih baik dibandingkan aspek kepastian hukum dan desain tapak. Hal-hal yang masih perlu perhatian serius dalam
60
penyusunan tujuan kawasan konservasi adalah ketidak konsistenan rencana detail pengelolaan dengan tujuan utama yang ingin dicapai, pemahaman staf terhadap tujuan pengelolaan dan dukungan masyarakat masih lemah. Ditinjau dari aspek kepastian hukum hampir semua komponen yang diamati belum sesuai dengan harapan yaitu masih seringnya muncul klaim atas sumberdaya, tata batas yang tidak jelas, dan konflik yang tidak terselesaikan. Aspek perlindungan hukum yang menunjukkan nilai relatif tinggi pada Gambar 16. lebih mengacu pada adanya dasar hukum pembentukan Taman Nasional yaitu Keputusan Menteri, tapi hal ini tidak didukung oleh aspek lain. Komponen-komponen dalam kelompok desain tapak yang sudah relatif lebih baik adalah komponen kesesuaian tempat dan komponen lay out kawasan konservasi. Sedangkan zonasi, pemanfaatan sekitar kawasan, dan keterkaitan dengan kawasan lain masih relatif lemah. Aspek perencanaan dalam mengelola kawasan konservasi adalah hal yang mengawali sukses tidaknya pengelolaan kawasan konservasi.
Lemahnya aspek
perencanaan kawasan konservasi yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan pentingnya pemerintah dan pemangku kepentingan untuk kembali menata ulang rencana-rencana strategis pengelolaan kawasan konservasi yang telah ada saat ini.
9
d
6
h
3
t
Rawa Pantai dan Mangrove
MangroveTerumbu Karang
Terumbu Karang
Meru Betiri Manupeu Tanadaru
Alas Purwo
Siberut
Baluran
Komodo
Bunaken Taka Bonerate Wakatobi
Kepulauan Seribu
Bali Barat Teluk Cendrawasih
Ujung Kulon Karimun Jawa
Lorentz
Way Kambas Tanjung Puting Kutai Gunung Palung Rawa Aopa Watumohai Wasur
Berbak
0 Sembilang
Nilai Perencanaan
12
Hutan Pantai
Gambar 17 Grafik nilai perencanaan 23 kawasan konservasi. Huruf “d” merupakan desain kawasan, “h” kepastian hukum, dan “t” untuk penetapan tujuan.
61
Sebagian besar kawasan konservasi yang diamati dalam penelitian ini masih lemah dalam hal perencanaan pengelolaan seperti yang disajikan dalam Gambar 17. Kawasan konservasi yang perencanaannya sudah relatif baik yang lain adalah dari kelompok terumbu karang dan kelompok gabungan terumbu karang dan mangrove. Hal ini disebabkan karena kelompok ini telah bisa memformulasi tujuan pembentukan kawasan dengan baik. Sebaliknya kawasan dengan nilai rata-rata perencanaan yang paling lemah adalah kelompok hutan pantai disebab oleh karena lemahnya desain tapak kawasan. Secara individual, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Bali Barat, Komodo, Taka Bonerate, dan Wasur adalah kawasan konservasi yang relatif lebih baik dibanding kelompok lain. Kawasan konservasi yang nilai perencanaannya paling lemah terdapat pada kelompok hutan pantai dan rawa mangrove yaitu masing-masing adalah Taman Nasional Siberut dan Tanjung Puting. Gambaran tersebut diatas sekilas menunjukkan adanya kebutuhan yang berbeda pada masing-masing type kawasan dengan satu satu kesamaan yaitu bahwa formulasi tujuan pembentukan kawasan telah dibuat lebih baik dibandingkan penegakan/ perlindungan hukum dan desain tapak kawasan. Prioritas penanganan lebih lanjut akan sangat bergantung pada seberapa jauh faktor-faktor ini terkait atau mempengaruhi efektifitas pengelolaan secara umum. Hasil RAPPAM di negara tropis berkembang lain memiliki kebutuhan yang cenderung berbeda dalam tahapan perencanaan kawasan. Kamboja misalnya telah cukup memadai dalam menyusun desain tapak kawasan, tapi lemah dalam perencanaan
dimana
pembentukan
kawasan
tidak
sejalan
dengan
kondisi
keanekaragaman hayati, kawasan konservasi lahan basah pesisir tidak mewakili lahan basah pesisir yang ada di Kamboja, dan banyak dari kawasannya belum memiliki kepastian hukum penetapannya (Lacerda et.al. 2005). Kondisi yang relatif lebih baik ditunjukkan oleh hasil RAPPAM di Brazil dimana perencanaan kawasan telah sejalan dengan kondisi keanekaragaman hayati dan desain tapak dirancang dengan baik sehingga kebutuhan intervensi dalam dua komponen ini relatif kecil (Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo. 2005). Perbedaan keduanya terletak pada
62
pemenuhan kebutuhan akan tenaga yang profesional di Kamboja masih relatif rendah dibandingkan di Brazil. 5.2
Masukan Aspek masukan dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi adalah segala
hal yang dibutuhkan dalam proses pengelolaan untuk membantu mencapai tujuantujuan pengelolaan. Terdapat empat kelompok komponen penilaian yang menjadi perhatian dalam menilai kekuatan “masukan” dalam pengelolaan kawasan konservasi yaitu: pegawai, komunikasi, infrastruktur, dan keuangan.
Nilai masing-masing
kelompok tersebut beserta komponen-komponennya disajikan dalam gambar berikut.
Nilai Masukan
3 2
Dana 5 tahun terakhir
Dana 5 tahun kedepan
Pengelolaan keuangan
Alokasi
Perawatan peralatan
Fasilitas pengunjung
Fasilitas staf
Transportasi
Peralatan lapangan
infrastruktur
keuangan
Stabilitas jangka panjang
komunikasi
Analisis data
Peralatan survey
Data bio, sosek
Peralatan komunikasi
Jumlah staff
Komunikasi ke masyarakat
staff
Kondisi kerja
Keterampilan
Pelatihan
-
Penilaian kinerja
1
Gambar 18 Grafik nilai berbagai komponen masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi Gambar 18 menunjukkan bahwa tidak satupun dari 20 komponen masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi yang telah memadai (nilai>3) untuk mendukung pencapaian tujuan-tujuan pengelolaan kawasan konservasi.
Kelompok komponen
yang memperoleh nilai paling lemah adalah kelompok infrastruktur. Sedangkan kelompok komponen yang relatif lebih baik dibanding kelompok lain adalah kelompok pegawai. Dua komponen yang paling lemah dari 20 komponen yang diamati sebagai “modal” suksesnya pengelolaan kawasan konservasi adalah kondisi kerja bagi staf dan
63
perawatan terhadap peralatan. Komponen yang relatif lebih baik dibandingkan dengan yang lain adalah komunikasi dengan masyarakat. Gambaran ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan komponen-komponen masukan sumberdaya manusia, sarana komunikasi, infrastruktur, dan keuangan masih sangat tinggi. Hal ini menjadi sangat penting karena belum terdapat pertumbuhan nyata alokasi keuangan pada lembaga-lembaga pemerintah yang menangani isu konservasi.
Meski secara perlahan Departemen Kehutanan mulai menanamkan
pemahaman konservasi yang lebih dini pada staf-staf barunya dengan memagangkan semua staf baru di kawasan-kawasan konservasi seluruh Indonesia. 12 f
Nilai Masukan
10
i k
8
u 6 4 2
Rawa Pantai dan Mangrove
MangroveTerumbu Karang
Terumbu Karang
Meru Betiri Manupeu Tanadaru
Baluran
Alas Purwo
Siberut
Bunaken Taka Bonerate Wakatobi
Kepulauan Seribu Komodo
Ujung Kulon Karimun Jawa Bali Barat Teluk Cendrawasih
Lorentz
Sembilang Way Kambas Tanjung Puting Kutai Gunung Palung Rawa Aopa Watumohai Wasur
Berbak
0
Hutan Pantai
Gambar 19. Grafik akumulasi nilai berbagai masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Hurup “f” menunjukkan pegawai, “i” untuk infrastruktur, “k” untuk komunikasi, dan “u” anggaran. Gambar 19 menunjukkan bahwa kawasan konservasi yang nilai masukannya sudah relatif lebih baik dibandingkan kawasan konservasi lainnya adalah dari kelompok terumbu karang. Secara individual Taman Nasional Bunaken, Kepulauan Seribu, Bali Barat, Wakatobi, Alas Purwo, Way Kambas dan Wasur adalah kawasan konservasi yang memiliki nilai masukan yang lebih baik. Kawasan konservasi yang nilai masukannya paling rendah adalah Taman Nasional Lorentz dan Manupeu Tanadaru. Kelima kawasan konservasi pertama yang memiliki masukan relatif baik tersebut umumnya memiliki potensi wisata laut yang terkenal sedangkan dua kawasan
64
konservasi yang masukannya paling rendah adalah taman nasional yang didominasi kawasan upland. Gambar 19 juga menunjukkan bahwa nilai masukan suatu kawasan konservasi tidak ditentukan pada kelompok mana dia berada.
Meski demikian terdapat
kecenderungan bahwa kelompok kawasan konservasi terumbu karang mendapatkan masukan yang lebih baik sesuai yang kebutuhan. Terdapat indikasi yang kuat bahwa masukan yang tinggi terjadi pada kawasan konservasi yang dikelola secara kolaboratif dengan LSM Internasional besar the BiNGOs yaitu WWF, CI, TNC, WCS. Pemenuhan kebutuhan akan “masukan” memiliki isu yang relatif sama di Kamboja (Asia), Brazil (Amerika), Kwazulu Natal (Afrika Selatan) yaitu masih terdapat kekurangan yang luar biasa. Hasil RAPPAM di Brazil menemukan bahwa dari segi jumlah, Brazil hanya memenuhi 17% akan kebutuhan jumlah dan kualitas stafnya dan kurang dari 50% terpenuhi kebutuhan infrastruktur maupun kebutuhan keuangannya (Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo. 2005). Hasil RAPPAM Kamboja bahkan mengkategorikan pemenuhan kebutuhan akan komponen masukan (staf, infrastruktur, keuangan) dalam pengelolaan kawasan konservasi di Kamboja sebagai “mengalami kekurangan yang kronis” disetiap level pengelola (Lacerda et. Al. 2005). Hal yang unik terjadi pada Hasil RAPPAM Kwazulu Natal yang menemukan bahwa jumlah staff maupun keahliannya sudah cukup memadai, komunikasi dalam batas sedang, yang masih kurang hanya pada aspek pemenuhan kebutuhan keuangan pengelolaan (Goodman, 2003) 5.3
Proses Pengelolaan Proses pengelolaan adalah tahapan dalam siklus pengelolaan yang merupakan
tindak lanjut perencanaan dan desain kawasan konservasi berdasarkan kondisi obyektif yang ada. Penilaian proses pengelolaan ditujukan untuk mengetahui apakah proses tersebut konsisten dengan tujuan-tujuan kawasan konservasi. Terdapat tiga kelompok yang menjadi penilaian terhadap proses pengelolaan yaitu: (1) perencanaan pengelolaan; (2) pengambilan keputusan dalam pengelolaan atau praktek-praktek pelaksanaan; (3) penelitian, monitoring, dan evaluasi kegiatan.
5 4 3 2
perencanaan pengelolaan
praktek-praktek pelaksanaan
Penelitian isu sosek
Akses hasil penelitian
Pemanfaatan monitoring
Pencatatan dampak
Penelitian ekologis
Komunikasi efektif
Partisipasi masyarakat
Kolaborasi dgn masyarakat
Organisasi internal
Keterbukaan
Pemantauan
Rencana kerja detail
Pendataan
-
Analisis ancaman
1 Rencana pengelolaan
Nilai Proses Pengelolaan
65
monitoring evaluasi
Gambar 20. Grafik nilai berbagai komponen dalam proses pengelolaan kawasan konservasi Rendahnya nilai pada komponen masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi seperti yang disajikan dalam Gambar 18 menyebabkan kita sulit untuk berharap bahwa dalam tahapan siklus pengelolaan selanjutnya yaitu “proses pengelolaan” akan diperoleh hasil yang lebih baik. Hal ini terlihat dari hasil penelitian terhadap 15 komponen proses yang diamati, ternyata hanya ada 3 komponen yang dinilai cukup memadai yaitu struktur organisasi internal, keterbukaan dalam pengelolaan, dan kolaborasi dengan masyarakat seperti ditunjukkan dalam Gambar 20. Gambar 20 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, komponen-komponen proses pengelolaan memiliki nilai capaian yang sangat rendah dengan nilai dibawah 2 yang berarti bahwa sebagian besar kondisi yang terjadi di lapangan tidak sesuai dengan harapan. Proses pengelolaan yang relatif lebih baik adalah pada kelompok praktekpraktek pelaksanaan, terutama pada komponen organisasi internal pengelola, keterbukaan dalam pengelolaan, dan upaya-upaya kolaborasi dengan masyarakat. Secara umum, bagian paling lemah dalam kegiatan proses pengelolaan adalah monitoring dan evaluasi terutama pada penelitian-penelitian isu sosial ekonomi. Dua dari tiga kelompok komponen dalam proses pengelolaan yang memiliki nilai yang sangat rendah yaitu kelompok perencanaan dan kelompok monitoring dan
66
evaluasi. Lemahnya proses perencanaan biasanya disebabkan oleh hambatan teknis seperti ketiadaan data dan informasi, pendekatan proyek yang dilakukan oleh konsultan, dan terbatasnya waktu pelaksanaan. Akibatnya banyak kawasan konservasi yang tidak menyelesaikan rencana pengelolaannya, kalaupun ada karena difasilitasi oleh lembaga swadaya masyarakat, biasanya hanya berupa dokumen yang tersimpan sebagai arsip tanpa adanya upaya implementasi. Bagian lain dari proses pengelolaan yang lemah adalah pada kelompok monitoring dan evaluasi. Saat ini sistem monitoring dan evaluasi yang dikembangkan masih belum memadai. Akibatnya, informasi yang diperoleh dari kegiatan monitoring sulit untuk diakses pihak lain yang berkepentingan dan sering tidak dimanfaarkan untuk menjadi masukan bagi siklus pengelolaan selanjutya. Gambaran ketidakmemadaian ini bisa dilihat pada produk informasi Taman Nasional yang dipublikasikan Pusat Informasi Konservasi Alam (PIKA) Departemen Kehutanan melalui websitenya http://li.defined.net/cgi-bin/pika.exe. Hingga saat penulisan hasil penelitian ini dilakukan (Desember 2006), informasi mengenai taman nasional yang ditampilkan dalam website tersebut praktis masih berupa tabel-tabel yang sebagian besar dalam keadaan kosong. 15 12
m
6
p
3
e
Rawa Pantai dan Mangrove
Mangrove Terumbu Karang
Terumbu Karang
Meru Betiri Manupeu Tanadaru
Alas Purwo
Siberut
Baluran
Bunaken Taka Bonerate Wakatobi
Kepulauan Seribu Komodo
Ujung Kulon Karimun Jawa Bali Barat Teluk Cendrawasih
Lorentz
Way Kambas Tanjung Puting Kutai Gunung Palung Rawa Aopa Watumohai Wasur
Berbak
0 Sembilang
Nilai Proses
9
Hutan Pantai
Gambar 21. Grafik akumulasi nilai berbagai komponen dalam proses pengelolaan 23 kawasan konservasi. Hurup “m” pada keterangan gambar menunjukkan rencana pengelolaan, “p” untuk praktek pelaksanaan, dan “e” untuk evaluasi.
67
Seperti halnya dalam siklus-siklus pengelolaan sebelumnya, Taman Nasional Bali Barat, Komodo, Wakatobi, dan Bunaken tetap merupakan kawasan konservasi yang relatif lebih baik dalam proses pengelolaan sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 21. Sedangkan kawasan konservasi yang proses pengelolaannya masih lemah antara lain Taman Nasional Lorentz, Gunung Palung, Kutai, Baluran, dan Sembilang. Secara umum kawasan konservasi kelompok terumbu karang memiliki nilai proses pengelolaan yang lebih baik dibandingkan kelompok kawasan lainnya. Sebaliknya, kawasan konservasi kelompok rawa/mangrove memiliki nilai proses yang lebih lemah dibanding kelompok lainnya. Hasil RAPPAM di tiga negara tropis yang sedang berkembang menunjukkan kesamaan yang dialami di Indonesia.
Kamboja, Brazil, maupun Kwazulu Natal
memiliki kelemahan dalam penyusunan rencana detail pengelolaan, penelitian, monitoring dan evaluasi pengelolaan. Sedangkan praktek-praktek pelaksanaan telah dijalankan dengan baik seperti keterbukaan, kolaborasi dengan masyarakat, dan komunikasi yang efektif. 5.4
Keluaran Penilaian terhadap keluaran dalam siklus pengelolaan kawasan konservasi
ditujukan untuk mengetahui apakah selama dua tahun terakhir keluaran tersebut konsisten untuk mencapai tujuan-tujuan umum pengelolaan, perencanaan kerja tahunan, dan kesesuaiannya dalam menghadapi tekanan dan ancaman yang dialami kawasan konservasi.
Terdapat 10 komponen keluaran dalam siklus pengelolaan
mencakup isu-isu sosial, ekonomi, biologi, dan kelembagaan pengelola seperti disajikan dalam Gambar 22.
68
Nilai Keluaran
3 2
Upaya restorasi
Pengelolaan pengunjung
Pengembangan infrastruktur
Pencegahan ancaman
Habitat dan satwa liar
Perencanaan dan inventarisasi
Hasil penelitian dan monitoring
Manajemen staf
Peningkatan kepedulian
-
Pelatihan staf
1
Jenis-jenis Keluaran
Gambar 22. Grafik nilai keluaran dalam pengelolaan kawasan konservasi Hasil penilaian terhadap keluaran yang diperoleh dari pengelolaan kawasan konservasi Indonesia menunjukkan bahwa hampir semua komponen keluaran masih jauh dari memuaskan (nilai<3, Gambar 22). Hasil yang paling lemah adalah upaya restorasi, pengelolaan pengunjung, dan pengembangan infrastruktur.
Sedangkan
komponen keluaran yang relatif lebih baik adalah peningkatan kepedulian.
4 3 2
Rawa Pantai dan Mangrove
MangroveTerumbu Karang
Terumbu Karang
Meru Betiri Manupeu Tanadaru
Alas Purwo
Baluran
Siberut
Bunaken Taka Bonerate Wakatobi
Kepulauan Seribu Komodo
Ujung Kulon Karimun Jawa Bali Barat Teluk Cendrawasih
Lorentz
Way Kambas Tanjung Puting Kutai Gunung Palung Rawa Aopa Watumohai Wasur
0
Berbak
1 Sembilang
Nilai Keluaran
5
Hutan Pantai
Gambar 23. Grafik nilai keluaran dalam pengelolaan 23 kawasan konservasi. Pengelolaan yang dilakukan oleh masing-masing kawasan konservasi memberikan hasil yang bervariasi satu sama lain seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 23. Kawasan konservasi keluaran yang lebih baik dalam pengelolaanya adalah Taman
69
Nasional Bali Barat dan Komodo.
Sedangkan nilai keluaran yang rendah dapat
ditemukan pada Taman Nasional Lorentz dan Rawa Aopa, Gunung Palung, dan Karimun Jawa.
Penyebab perbedaan ini kompleks karena status masing-masing
kawasan konservasi sangat berbeda demikian pula dengan tingkat masukan, proses, dan monitoring pengelolaannya. Secara umum kawasan konservasi kelompok terumbu karang memiliki keluaran yang lebih baik dibanding kelompok lainnya dan kelompok Rawa Pesisir dan mangrove memiliki nilai keluaran yang paling rendah. Hal ini sejalan dengan hasil penilaian terhadap proses pengelolaan seperti disajikan dalam Gambar 21 dimana kelompok terumbu karang umumnya memiliki nilai lebih tinggi dibanding kelompok lain dan kelompok Rawa Pesisir dan mangrove umumnya memiliki nilai rendah. Nilai keluaran yang diperoleh dari hasil RAPPAM di Kamboja, Brazil, dan Kwazulu Natal juga masih jauh dari memuaskan. Laporan RAPPAM dari ketiga negara tropis sedang berkembang terus meyakini bahwa lemahnya input menyebabkan keluaran yang diperoleh juga menjadi lebih rendah dari tujuan-tujuan pengelolaan (Lacerda et.al. 2005; Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo. 2005; dan Goodman 2003). 5.5
Akumulasi Komponen Siklus Pengelolaan Efektivitas Pengelolaan merupakan akumulasi penilaian terhadap seluruh siklus
pengelolaan mulai dari perencanaan, masukan, proses, dan keluaran seperti yang disajikan pada Gambar 24. Efektivitas pengelolaan kawasan konservasi Indonesia sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain dan sebagian besar masih dikelola dengan tidak efektif yang ditunjukkan oleh nilai dibawah 9. Gambaran ini merupakan pembenaran terhadap isu yang sudah diketahui secara luas oleh publik pemerhati pengelolaan kawasan konservasi bahwa pengelolaan kawasan konservasi secara umum berjalan tidak efektif.
15 12 9 6 3
Rawa dan Mangrove
Mangrove - Terumbu Karang
keluaran
proses
masukan
Terumbu Karang
Manupeu Tanadaru
Meru Betiri
Baluran
Alas Purwo
Siberut
Wakatobi
Taka Bonerate
Komodo
Bunaken
Kepulauan Seribu
Teluk Cendrawasih
Bali Barat
Karimun Jawa
Ujung Kulon
Lorentz
Wasur
Kutai
Gunung Palung Rawa Aopa Watumohai
Tanjung Puting
Way Kambas
Sembilang
0 Berbak
Nilai Efektivitas Pengelolaan
70
Hutan Pantai
perencanaan
Gambar 24. Grafik nilai efektivitas pengelolaan di 23 kawasan konservasi Terlepas dari rendahnya nilai efektivitas pengelolaan kawasan konservasi secara keseluruhan, secara umum kawasan konservasi yang nilai efektivitasnya cenderung tinggi dibanding kelompok lain adalah kelompok terumbu karang.
Sebaliknya
kelompok yang nilai efektivitasnya cenderung rendah adalah kelompok rawa dan mangrove. Terdapat paling tidak 2 kawasan konservasi yang pengelolaannya sudah efektif yaitu Taman Nasional Bali Barat, Komodo. Sedangkan Bunaken, Wakatobi, dan Kepulauan Seribu tergolong dalam kategori pengelolaan yang cukup efektif. Gambar 24 juga memberikan kita informasi bahwa kawasan konservasi yang paling tidak efektif dalam pengelolaannya adalah Taman Nasional Lorentz, Tanjung Puting, dan Rawa Aopa Watumohai.