4 KONDISI UMUM TAMAN NASIONAL KUTAI
4.1 Sejarah Kawasan TNK Kawasan TNK pada awalnya berstatus sebagai Hutan Persediaan dengan luas 2 000 000 ha berdasarkan Surat Keputusan (SK) Pemerintah Belanda (GB) Nomor: 3843/AZ/1934, yang kemudian oleh Pemerintah Kerajaan Kutai ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa Kutai melalui SK (ZB) Nomor: 80/22ZB/1936 dengan luas 306 000 ha (TNK 2005). Sejak keberadaannya, TNK tidak pernah lepas dari konflik kepentingan. Berdasarkan data yang ada, dalam kurun waktu 63 tahun terakhir terhitung sejak tahun 1934 sampai tahun 1997 kawasan ini terus mengalami pengurangan luas secara drastis seperti tersaji dalam Tabel 4. Tabel 4 Sejarah status kawasan Taman Nasional Kutai. Luas (ha)
Institusi
Keputusan
Status
Pemerintah Hindia Belanda Pemerintah Kerajaan Kutai Menteri Pertanian
SK (GB) No. 3843/Z/1934
Hutan Persediaan
2 000 000
SK (ZB) No. 80/22-B/1936
Suaka Margasatwa
306 000
SK No. 110/UN/ 1957, tanggal 14 Juni 1957 SK No. 30/Kpts/ Um/6/1971, tanggal 23 Juli 1971
Suaka Margasatwa Kutai Suaka Margasatwa Kutai
306 000
Menteri Pertanian
SK No. 736/ Mentan/X/ 1982
200 000
Menteri Kehutanan
SK No. 435/Kpts-XX/ 1991 SK Menhut No. 325/KptsII/1995 Surat No. 997/ Menhut-VII/ 1997
Taman Nasional Kutai Taman Nasional Kutai Taman Nasional Kutai Taman Nasional Kutai
Menteri Pertanian
Menteri kehutanan Menteri Kehutanan
Sumber: TNK (2005)
200 000
198 629
198 629
198 629
Keterangan
Ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa
Dilepas 106 000 ha, 60 000 ha yang masih asli untuk HPH PT kayu Mas dan sisanya untuk perluasan Industri pupuk dan gas alam. 100 000 ha yang dikelola oleh HPH pada tahun 1969 kemudian dikembalikan ke SMK Dideklarasikan pada Kongres Taman Nasional III Sedunia di Bali sebagai satu dari 11 calon TN Luasnya dikurangi 1 371 ha untuk perluasan Bontang dan PT Pupuk Kaltim Perubahan fungsi dan penunjukan SMK menjadi Taman Nasional Kutai Izin prinsip pelepasan kawasan TNK seluas 25 ha untuk keperluan pengembangan fasilitas pemerintah daerah Bontang
98
4.2 Letak Geografis dan Topografi TNK TNK membentang di sepanjang garis khatulistiwa mulai dari pantai Selat Makassar sebagai batas bagian timur menuju arah daratan sepanjang kurang dari 65 km. Kawasan ini juga dibatasi Sungai Sangatta di sebelah utara, sebelah selatan dibatasi Hutan Lindung Bontang dan HPH PT Surya Hutani Jaya, dan sebelah barat dibatasi ex HTI PT Kiani Lestari dan HPH PT Surya Hutani Jaya. Tabel 5 Deskripsi penutupan lahan TNK. Kategori Penutupan lahan
Luas (ha)
Persentase Kawasan
Hutan primer
59 202.14
29.81
Hutan sekunder
85 931.03
43.27
Belukar Semak
28 952.26 2 452.68
14.58 1.23
Alang-alang
705.47
0.36
Rawa Belukar rawa
4 712 1 802.88
2.37 0.91
Mangrove
5 131.55
2.48
Konversi mangrove menjadi lahan terbuka
1 205.53
0.61
155.81
0.08
329.38 6 935.36 577.94 73.08 636.01 198 605.21
0.17 3.49 0.29 0.04 0.32 100.00
Tambak
Tanah terbuka Pertanian campuran Lahan terbangun Tubuh air Tidak ada data Jumlah Sumber : TNK (2005)
Keterangan Terdapat di bagian tengah kawasan dan menyebar ke arah barat sampai utara Terdapat di bagian barat kawasan yang berbatasan dengan wilayah konsesi HPH Akibat aktivitas pembalakan, pemukiman, dan kegiatan pertanian lahan kering oleh masyarakat dan bencana kebakaran
Formasi yang masih utuh terdapat di Desa Teluk Pandan hingga Teluk Kaba. Sedangkan di pesisir Desa Singa Geweh sangat rentan terhadap degradasi Terdapat di pesisir bagian selatan (Dusun Kanimbungan) dan bagian tengah (Desa Sangkima) Muara S. Sangatta, Muara S. Sangatta Tua, Teluk Lombok/Teluk Perancis, Muara Sungai Sangkima, Teluk Pandan
99
TNK secara geografis berada di 0°7’54”-0°33’53”LU dan 116°58’48”117°35’29”BT, sedangkan secara administrasi pemerintahan, kawasan dengan luas 198 629 ha ini terletak di Kabupaten Kutai Timur (± 80%), Kabupaten Kutai Kartanegara (± 17.48%) dan Kota Bontang (± 2.52%). Buku data dasar TNK (2005) menyatakan bahwa secara umum TNK memiliki topografi datar yang tersebar hampir di seluruh luasan kawasan (92%) dan topografi bergelombang hingga berbukit-bukit tersebar pada bagian tengah kawasan yang membentang arah utara selatan (8%). Sebagian besar kawasan memiliki kelas ketinggian antara 0 – 100 m dpl (61%) yang tersebar pada bagian timur dan barat kawasan. Tingkat ketinggian bagian tengah kawasan antara 100 – 250 m dpl (39%). Deskripsi penutupan lahan menurut buku data dasar TNK disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan hasil pengolahan Citra Terra Aster tahun 2005, diperoleh informasi yang sedikit berbeda dalam luas penutupan lahan (Tabel 6). Tabel 6 Deskripsi penutupan lahan hasil interpretasi citra Terra-Aster 2005. Kategori Penutupan Lahan Luas (ha) areal kota Bontang 77.854 areal pertamina 282.836 areal perusahaan/industri 790.249 areal terbuka 5 533.383 Danau 72.248 genangan air laut 209.129 hutan primer 28 375.278 hutan sekunder 40 658.373 hutan terdegradasi berat 66 274.775 hutan terdegradasi sedang 40 979.635 Mangrove 5 277.779 Nipah 182.086 padang alang-alang, rumput 3 094.044 pemukiman, kebun 5 600.646 Tambak 644.702 JUMLAH 198 053.017 Sumber: Pengolahan Data Citra Terra ASTER tahun 2005
% luas 0.04 0.14 0.40 2.79 0.04 0.11 14.33 20.53 33.46 20.69 2.66 0.09 1.56 2.83 0.33 100.00
100
Bila dibandingkan antara hasil pengolahan citra oleh peneliti dengan data dari TNK terdapat perbedaan luas tambak yaitu 155.81 ha (data TNK) dan 644.702 ha (olah data citra). Sementara luas mangrove menurut data TNK adalah 5 131 ha dan menurut hasil olah data citra adalah 5 277.799 ha ditambah dengan 182.086 ha nipah. Perbedaan luas tambak mungkin terjadi karena terdapat perbedaan interpretasi pada tambak yang kering dan tidak dimanfaatkan (lahan kritis), oleh TNK hanya dianggap sebagai konversi mangrove sebagai lahan terbuka. Sementara menurut peneliti, pembukaan lahan mangrove yang awalnya digunakan sebagai tambak, walaupun akhirnya menjadi lahan kritis, tetap dihitung sebagai luasan tambak. Luas lahan tambak yang mencapai 12.22% dari total luas mangrove merupakan ancaman bagi kelestarian habitat mengrove, selain penebangan mangrove menjadi lahan terbuka dan pemanfaatan lain yang mencapai lebih dari 7% dari luas total mangrove.
4.3 Geologi dan Iklim Berdasarkan peta geologi Kalimantan Timur, formasi geologi kawasan ini sebagian besar meliputi tiga bagian, yaitu: 1) Bagian pantai terdiri dari batuan sedimen alluvial induk dan terumbu karang. 2) Bagian tengah terdiri dari batuan miosen atas. 3) Bagian barat terdiri dari batuan sedimen bawah. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, TNK beriklim tipe B dengan nilai Q berkisar antara 14.3 % - 33.3 %. Curah hujan rata-rata setahun 1543.6 mm atau rata-rata 128.6 m dengan rata-rata hari hujan setahun 66.4 hari atau rata-rata bulanan 5.5 hari. Suhu rata-rata adalah 26oC (berkisar antara 21-34 derajat Celcius) dengan kelembaban relatif 67% - 69% dan kecepatan angin normal rata-rata 2 – 4 knot/jam (TNK 2005). Sungai-sungai yang mengalir di dalam dan sekitar TNK antara lain: Sungai Sangatta, Sungai Sangatta Tua, Sungai Banjar, Sungai Banu Muda, Sungai Sesayap, Sungai Sangkima, Sungai Kandolo, Sungai Selimpus, Sungai Teluk
101
Pandan, Sungai Palakan, Sungai Menamang Kanan, Sungai Menamang Kiri, Sungai Tawan, Sungai Melawan dan Sungai Santan.
4.4 Sejarah Perambahan dan Pemukiman di TNK Vayda dan Sahur dalam TNK (2005) mengelompokkan pemukim di TNK berdasarkan 3 wilayah, yaitu (1) Teluk Pandan, disebutkan bahwa pemukim dari Bugis yang berasal dari Bone, Sulawesi Selatan, datang pertama kali pada pertengahan
tahun
1960
untuk
menghindari
kesulitan
ekonomi
akibat
pemberontakan Kahar Muzakar, (2) Selimpus/Kandolo, dihuni pertama kali tahun 1974 dan berkembang tahun 1977 oleh Suku Bugis dan (3) Sangkima, yang dihuni pertama kali tahun 1924 oleh Suku Bugis. Saat itu, Sangkima merupakan hunian peladang berpindah bagi penduduk asli. Keduanya berasimilasi dan semakin banyak pemukim yang berasal dari Selawesi Selatan pada tahun 1954 dan 1960 karena pemberontakan Kahar Muzakar. Ketiga kampung di TNK tersebut berkembang dan diakui keberadaannya oleh Gubernur Propinsi Kalimantan Timur dengan menetapkannya sebagai desa definitif (Teluk Pandan, Sangkima dan Sangatta Selatan) melalui Keputusan No. 06 Tahun 1997 tanggal 30 April 1997. Dalam perkembangannya, Desa Sangatta Selatan dipecah menjadi dua desa, yaitu Desa Sangatta Selatan dan Singa Geweh dengan adanya Keputusan Gubernur Kalimantan Timur No. 410.44/K.452/1999 (TNK 2005).
4.5 Permasalahan Pengelolaan TNK 4.5.1
Perambahan Hutan Taman Nasional Kutai awalnya memiliki 80 % dari spesies burung dan
sebagian dari seluruh mamalia yang ada di Kalimantan termasuk 11 dari 13 spesies primata Borneo (TNK 2005). Namun Taman Nasional Kutai kini banyak mengalami permasalahan. Hal ini disebabkan adanya pembangunan industri, kegiatan pertambangan, eksploitasi hutan di sekitar dan di dalam TNK serta pembangunan jalan trans Kalimantan khususnya ruas jalan Bontang-Sangatta sepanjang 56 km yang melintasi Taman Nasional Kutai. Dampaknya saat ini menyebabkan gangguan yang meluas terhadap keberadaan TNK.
102
Menurut pengamatan di lapangan dan data dari BTNK (Balai Taman Nasional Kutai) menunjukkan grafik luas perambahan hutan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan kebutuhan lahan yang cukup tinggi dan ada indikasi spekulan-spekulan tanah yang memanfaatkan ketidakpastian hukum di Taman Nasional Kutai (Pemkab Kutim 2005). Data perambahan hutan selama tiga tahun disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Luas perambahan hutan di TNK sepanjang jalan Bontang-Sangatta (19992001). Lokasi
Okt 1999
Luas Areal Perambahan (ha) Nov Peb Mar Mei 1999 2000 2000 2000
Pinang/Masabang Sangkima Teluk Pandan Kandolo/ Teluk Kaba Temputuk, dsk Di dalam enclave1 Di luar areal enclave2 Jumlah
3 322 1 693 1 433 1 543
3 322 1 693 2 336 2 999 1 543
4 307 1 693 2 336 3 883 1 543
4 307 2 477 2 336 5 083 2 475
4 307 2 477 2 336 5 088 2 485
7 991
11 893
13 762
16 678
16 693
Mei 2001
Des 2001
23 712 23 712
23 712 255.75 23 968
Sumber: peta perambahan BTNK 2000 (Pemkab Kutim 2001) 1 : Laporan Tim Enclave, Pemkab Kutim 2001 2 : Kegiatan Penyuluhan Tata Batas Enclave, BTNK 2001
Pada Desember 2001 luas lahan yang diduduki masyarakat di luar kawasan enclave sepanjang jalan Bontang - Sangatta adalah 255.75 ha, sedangkan jumlah kepala keluarga (kk) yang mendiaminya adalah 151 (rata-rata luas penguasaan lahan 1.69 ha/kk). Berdasarkan observasi lapangan, diketahui sebagian besar masyarakat mendiami daerah tersebut baru sekitar tahun 19992000. Lokasi perambahan hutan oleh masyarakat disajikan pada Gambar 25 . Perambahan hutan cenderung terjadi di sepanjang jalan Bontang – Sangatta, yang membelah kawasan TNK, menuju ke arah pesisir pantai. Perambahan ke arah pesisir terjadi karena memang pada awalnya pemukiman penduduk adalah di kawasan pesisir pantai TNK, sehingga menyambung dari arah jalan ke pesisir dan sebaliknya.
103
Gambar 25 Peta perambahan hutan di Taman Nasional Kutai (TNK 2005). Data perambahan hutan mangrove di kawasan TNK dari Balai TNK tidak diperoleh, namun berdasarkan hasil observasi peneliti diketahui bahwa perambahan hutan mangrove terjadi karena pembukaan lahan untuk pemukiman (dibentuk 4 desa definitif di pesisir kawasan TNK), untuk tambak, pemanfaatan kayu mangrove untuk bangunan dan pembuatan alat tangkap ikan (bubu, sero/belat, bagan), pemanfaatan nipah untuk atap. Dokumentasi perambahan hutan mangrove dapat dilihat pada lampiran 29.
4.5.2 Illegal Logging Salah satu masalah terbesar yang menyebabkan rusaknya TNK adalah illegal logging. Data pencurian kayu pada tahun 2005 (TNK 2005) disajikan pada Tabel 8.
104
Tabel 8 Hasil pengamanan hutan di TNK tahun 2005. No. Tempat/Lokasi Kejadian 1 Km. 33 Jl. Bontang – Sangatta, Teluk Kaba II, SKW I 2 Km. 9 Ex Jalan PT Kayu Mas, SKW I 3 Km. 9 Ex. Jalan PT Kayu Mas, SKW I 4 Km. 33 Jl. Bontang – Sangatta, SKW I 5 Senara, SKW II
6 Km.9 Pertamina, SKW II
Barang Bukti
Instansi yang Menangani
1 unit chainsaw
PPNS BTNK Bontang
Kayu ulin = 4.005 Kayu Meranti = 0.868 1 unit chainsaw
PPNS BTNK Bontang PPNS BTNK Bontang
Temuan
Kayu ulin + 2.44 m3 1 unit chainsaw 2 unit chainsaw Meranti 20x20x4=12 batang Ulin 10x10x4 = 10 batang 3 unit chainsaw
PPNS
Temuan
Polres Kutim
Jaksa Penuntut Umum
Polres Kutim
Jaksa Penuntut Umum Jaksa Penuntut Umum
7 Km. 12 Jl. Sangatta – Bontang, SKW II
PPNS TNK
8
PPNS TNK
9
10
11
1 unit chainsaw 1 buah parang Kayu ulin 10x10x2 = 20 batang Km.9 Jl. Bontang – Sangatta, Pick-up KT 8341 CB SKW I Kayu 2x14x2 = 230 batang = 1.2 m3 Km. 10 Jl. Bontang – Truk KT 8754 R Sangatta, SKW I muatan blambangan + 6 m3 Truk KT 8594 AK muatan blambangan + 5 m3 Km.5 Jl. Bontang-Sangatta, Pick-up Zebra KT 8012 SKW II BU Ulin flooring ukuran 2x10x200 = 250 batang = 1 m3 Teluk Kaba II, SKW I Kayu ulin = 0.3 m3
12 Km. 37 Tanah Datar, SKW I Kayu ulin = 0.78 m3 13 Km. 9 Jl. Bontang – Sangatta, SKW I
Penyelesaian/ Tahap Penyelesaian Temuan
2 unit chain saw BB. Kayu 6x12x2 =12 batang Kayu temuan 10x10x4 = 14 batang = 0.56 m3 14 Km. 37 Tanah Datar, SKW I Kayu ukuran 10x10x4 =16 batang =0.6 m3 Kayu 10x5x4=10 batang = 0.2m3
PPNS TNK
Temuan
Keterangan Operasi Fungsional Operasi Fungsional Operasi Fungsional Operasi Fungsional Operasi Fungsional
Operasi Fungsional Perambahan
Jaksa Penuntut Umum
Operasi Fungsional Tanpa SKSHH Jaksa Penuntut Operasi Umum Fungsional Tanpa SKSHH Operasi
PPNS TNK
Jaksa Penuntut Umum
Operasi Fungsional Tanpa SKSHH Operasi
PPNS
Temuan
PPNS
Temuan
Polres Kutim
Polres Kutim
Operasi Fungsional Operasi Fungsional Operasi Fungsional
PPNS
Temuan
Operasi Fungsional
Sumber: TNK (2005)
Setelah pengawasan terhadap mafia pencurian kayu di hutan diperketat, yang berimbas pada tingginya harga kayu hutan seperti ulin dan bengkirai, maka saat ini kayu bakau menjadi alternatif pilihan sebagai kayu bangunan.
105
4.6 Proses Enclave di TNK Permasalahan yang kompleks dalam mengelola TNK, terutama berkaitan dengan adanya penduduk di dalam kawasan TNK, mendorong inisiatif pemerintah daerah untuk mengadakan kegiatan lokakarya Taman Nasional Kutai pada tanggal 31 Oktober 2000. Lokakarya tersebut diikuti hampir semua stakeholder yang terkait dengan pengelolaan Taman Nasional Kutai. Kegiatan enclave sendiri merupakan salah satu rekomendasi dari kegiatan lokakarya tersebut. Lokakarya
merekomendasikan
bahwa
salah
satu
cara
untuk
menyelamatkan TNK adalah melalui enclave dan relokasi penduduk melalui beberapa tahap kegiatan, yaitu: -
Perlu segera ditetapkan tapal batas 4 desa didalam TNK sesuai dengan konsep enclave, sementara penduduk yang ada di luar batas enclave desa harus masuk ke dalam wilayah desa yang ditetapkan (Desa Teluk Pandan, Desa Sangkima, Desa Sangatta Selatan dan Desa Singa Geweh)
-
Bagi penduduk yang tidak mau bergabung masuk kedalam batas enclave desa diupayakan untuk masuk program transmigrasi lokal (relokasi) yang letaknya antara sepanjang jalan Sangkulirang (Maloy) hingga Muara Wahau.
Kegiatan enclave ini ditindaklanjuti dengan Surat Perintah Kerja dari Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam No. 830/DJ-V/LH/2000 tanggal 20 November 2000 kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Timur untuk melaksanakan Tata Batas Enclave 4 desa definitif di Taman Nasional Kutai. Tata Batas Taman Nasional Kutai adalah salah satu proses yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur sebelum dilakukan enclave. Persoalan Tata Batas menjadi penting ketika konsep enclave disetujui sebagai salah satu cara untuk penyelesaian berbagai permasalahan di Taman Nasional Kutai. Tahapan proses Tata Batas Taman Nasional Kutai dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Penunjukan Kawasan Hutan : Menurut surat keputusan terakhir adalah sesuai SK Menhut No. 79/Kpts-II/2001 sebagai TNK seluas 198 269 ha. 2. Penataan Batas
106
Tata Batas Suaka Margasatwa Kutai tahun 1979 sepanjang 274 Km (temu gelang) oleh Direktorat Bina Program Kehutanan. Berita Acara Tata Batas oleh Panitia Tata Batas Kabupaten Dati II Kutai tanggal 2 Agustus 1979, disahkan Mentan tanggal 1 Oktober 1980. Tata batas alam 55.7 Km (tahun 2003) yg telah ditandatangani di Panitia Tata Batas Kabupaten Kutai Timur. Rekonstruksi batas buatan 83.7 Km (tahun 2005). Informasi tentang rencana dan realisasi tata batas yang telah dilakukan di areal rencana enclave dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Rencana dan realisasi tata batas di areal rencana enclave No
Desa
Rencana Jarak datar (m)
Realisasi Jarak datar (m)
Luas (ha)
Sangatta Selatan 2 Singa Geweh 3 Sangkima 4 Teluk Pandan
15 500
20 259.39 **
5 200
39 980 23 530 42 250
36 734.83 ** 30 516.80 ** 58 400.87 *
3 600 6 215 8 697
JUMLAH
121 260
1
145 908.89
23 712
Keterangan ** Sudah sampai pemancangan pal definitif * Baru sampai pemancangan patok sementara
Sumber : Laporan Pelaksanaan Tata Batas Enclave, Pelaksanaan Relokasi Penduduk, dan Program Rehabilitasi dan Pemagaran Taman Nasional Kutai, Pemkab Kutai Timur 2009
Tabel 9 diatas menunjukkan bahwa dari 23 712 ha kawasan enclave yang akan ditata batas, baru 15 015 ha atau sepanjang 87 511.02 m yang sudah di tata batas definitif. Sisanya seluas 8 697 ha atau sepanjang 58 500.87 m di desa Teluk Pandan belum dilaksanakan tata batas definitif. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor: 129/Kpts/DJ-VI/1996 tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru, dan Hutan Lindung, menyebutkan bahwa pengukuhan status kawasan dimulai dari proses penunjukan kawasan, penataan batas, pengukuran, pemetaan sampai pada proses penetapan status kawasan. Persoalan tata batas yang belum definitif ini juga menjadi persoalan penting mengapa hingga saat ini proses tata batas belum selesai. Keterlambatan proses tata batas ini bisa berakibat munculnya spekulan-spekulan tanah. Hasil
107
survei Yayasan BIKAL dalam Pemkab Kutai Timur (2005), menunjukkan bahwa para spekulan tanah di TNK 50.5% berasal dari Bontang dan 35.5% berasal dari Sangatta. Tercatat pada Desember 2001 seluas 255.75 ha diluar kawasan enclave telah dikuasai oleh para spekulan dan kemungkinan luasan tersebut akan semakin bertambah bila proses enclave belum selesai. Pada tanggal 29 – 31 Mei 2006 di Sangatta dilaksanakan ”Diskusi Lanjutan Tata Batas di Taman Nasional Kutai”. Kegiatan diskusi tersebut diikuti beberapa stakeholder penting yaitu Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional III, Direktorat Jenderal PHKA, Badan Planologi Departemen Kehutanan, Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kehutanan, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Kalimantan Timur, Balai Taman Nasional Kutai, Yayasan Bina Kelola Lingkungan, Dinas Kehutanan Kutai Timur, Bappeda Kutai Timur, Dinas Lingkungan Hidup Kutai Timur dan Fasda Kalimantan. Diskusi Lanjutan Tata Batas di Taman Nasional Kutai menghasilkan beberapa keputusan yaitu disepakatinya 3 (tiga) alternatif rekomendasi penyelesaian permasalahan Taman Nasional Kutai, meliputi: 9 Alternatif 1: menyelenggarakan pengelolaan kolaboratif dalam area seluas 23 712 ha. Bentuk dan kerjasama pengelolaan akan dirumuskan kemudian dengan mengacu pada SK DIRJEN PHKA terkait. 9 Alternatif 2:
menyelesaikan tata batas TNK yang prosesnya belum
ditetapkan oleh Menhut. Ini dilakukan dengan memperbaharui gabungan hasil pengukuran tata batas pemukiman masyarakat di bagian barat dengan hasil tata batas luar. 9 Alternatif 3 : penyelesaian masalah penggunaaan areal TNK akan dilakukan dengan berdasarkan pasal 19 UU 41 /1999 pada scheme perubahan fungsi. Tiga Alternatif tersebut nanti akan dikaji oleh Tim Pengkajian yang dibentuk oleh Departemen Kehutanan dan di SK-kan oleh Menteri Kehutanan. Tim tersebut dibentuk untuk mengkaji 3 (tiga) alternatif yang dimungkinkan paling tepat untuk pengelolaan Taman Nasional Kutai. Berselang 1 (satu) minggu dari kegiatan diskusi pada tanggal 29-31 Mei 2006 tersebut, tepatnya pada tanggal 8 Juni 2006 melalui Surat No:
108
S.360/Menhut-IV/2006 Menteri Kehutanan Mengeluarkan surat ”Penyelesaian Penataan Batas 4 Desa Dalam Kawasan TNK”. Berikut kutipan isi surat tersebut pada butir 4 : ”Untuk membatasi kerusakan yang lebih luas maka tata batas desa Teluk Pandan dapat dilanjutkan dengan syarat tidak mengakses hal-hal yang tidak dapat dibuktikan keabsahannya dan dilakukan dengan metoda minimalis”. Berdasarkan surat tersebut Pemkab Kutai Timur melalui Dinas Lingkungan Hidup telah mempersiapkan kegiatan penyelesaian Tata Batas TNK. Pada tanggal 13 Juli 2006, Dinas Lingkungan Hidup mengadakan rapat awal penyelesaian penataan batas yang di hadiri oleh Tim Tata Batas Enclave Desa Teluk Pandan. Tim Tata Batas ini melibatkan semua stakehoder yang terkait dengan tata batas di desa Teluk Pandan yaitu Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kutai Timur, Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Timur, Dinas Pertanahan Kabupaten Kutai Timur, Bappeda Kabupaten Kutai Timur, Bagian Hukum Setkab Kutai Timur, Balai Taman Nasional Kutai, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Kaltim, Kepala Desa Teluk Pandan, Kepala Desa Martadinata, Kepala Desa Kandolo, Yayasan Bikal. Rapat tersebut menghasilkan kesepakatan untuk menyusun rencana kegiatan penataan batas desa Teluk Pandan. Menindaklanjuti keluarnya Surat Menteri Kehutanan tersebut maka dilaksanakan beberapa kali pertemuan dengan Tim Tata Batas yang melibatkan Pihak BPKH dan BTNK. 1. Pertemuan Tanggal 30 Nopember 2006 o Pertemuan membahas hal-hal yang perlu segera dilaksanakan terkait dengan Surat Menteri Kehutanan. o Membahas rencana pelaksanaan Tata Batas Kecamatan Teluk Pandan. 2. Pertemuan Tanggal 14 Desember 2006 o Persiapan Teknis Pelaksanaan Tata Batas Kecamatan Teluk Pandan. o Persiapan alat dan bahan yang diperlukan untuk pelaksanaan Tata Batas Kecamatan Teluk Pandan. 3. Pelaksanaan Tata Batas Pengaman Enclave Desa Teluk Pandan, Desa Martadinata dan Desa Kondolo pada tanggal 8 – 23 Januari 2007
109
4.7 Kondisi Sosial Budaya Masyarakat dalam Lokasi TNK Pada masa yang lalu pengelolaan kawasan konservasi sering merugikan masyarakat karena terjadi pembatasan akses mereka terhadap sumberdaya. Masyarakat lokal yang bergantung pada sumberdaya dalam kawasan konservasi yang umumnya paling terpengaruh oleh kondisi ini. Dalam jangka panjang kawasan konservasi akan lestari hanya bila didukung oleh masyarakat lokal. Idealnya kawasan konservasi seharusnya menjadi aset yang sangat berharga yang menghormati hak-hak, mengentaskan kemiskinan, dan memberikan solusi dalam konflik manusia-alam (human-wildlife conflict) agar kawasan konservasi dapat bertahan sesuai fungsinya. Penolakan masyarakat lokal atas beberapa Taman Nasional di Indonesia, baik yang lama maupun yang baru ditetapkan, sesungguhnya hal yang wajar terjadi karena masyarakat juga memiliki konsep, pemikiran dan kepentingan tersendiri dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Mereka juga berhak atas sumberdaya alam yang ada dalam Taman Nasional karena dari situlah kehidupan mereka terbentuk. Maka adalah hak mereka juga untuk duduk setara dengan pihak lain dan menyampaikan konsepnya secara langsung dalam setiap proses pengambilan keputusan. CII (2006) menyatakan potensi konflik yang melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan taman nasional tak sekedar dipicu oleh prosesnya yang bersifat top-down, namun juga oleh dua hal penting lainnya, yaitu persoalan aksesibilitas dan manfaat bagi masyarakat. Aksesibilitas terhadap sumberdaya alam merupakan faktor yang harus dipertimbangkan lewat perspektif sosio-kultural mengingat pengelolaan Taman Nasional dimanifestasikan dalam sistem permintakatan (zonasi) dengan berbagai pengaturannya. Persoalan lantas muncul manakala aturan tersebut berimplikasi pada penyempitan, bahkan penghapusan akses penduduk terhadap sumberdaya alam yang dijadikan zonasi tertentu, terutama pada zona inti (no-take zone). Faktor manfaat kehadiran taman nasional juga perlu dikaji lebih dalam. Masyarakat lokal cenderung mengharapkan manfaat yang bersifat langsung dari apapun kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang diterapkan. Manfaat itu sendiri tidak melulu bersifat ekonomi dan materil, tapi yang lebih mendasar
110
adalah a hak masyarakat m d dalam pengeelolaan ruanng dan sumbberdaya alam m di sekitar mereka; m serrta hak terhhadap keterrsediaan sum mber daya alam yang menjamin kelangsunga k an hidup merreka. Pemaahaman atass kondisi soosial budayaa masyarakaat yang tingggal dalam kawasan tam man nasionaal akan mem mbantu keberhasilan dalam menyusuun rencana pengelolaann Taman Nassional Kutai.. 4.7.1 Jenis J Matap pencaharian n Mataapencahariann masyarakaat di dalam lokasi TNK K tersaji dalaam Gambar 26. 2 bidang usaha jasa paling p banyyak dilakukaan oleh pendduduk yang tinggal di dalam d lokasi TNK, berikkutnya adalaah usaha perrtanian tanam man pangan dan diikuti dengan d usah ha perdaganggan. Tingginnya jumlah penduduk p yaang berusahaa di bidang pertanian p taanaman pang gan dan perrkebunan daapat menjaddi indikator banyaknya konversi k huttan menjadii lahan pertaanian. Bidanng perikanann tidak menjjadi bidang usaha u pentin ng bagi pend duduk. 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
Sangatta Selatan Singa Geeweh Sangkim ma Sangkim ma Lama
G Gambar 26 Juumlah penduuduk sesuai jenis mata ppencaharian. (Sumber: Monografi M Keccamatan Sangattta Selatan Tahhun 2008)
4.7.2 Jumlah J Penduduk TNK K berada di tengah-tenggah daerah industri. i Perrkembangan n perkotaan yang y tidak terkendali t menyebabkan m n masyarakatt bermukim baik di dalaam maupun di d sekitar kawasan k karrena keinginnan untuk memperolehh lapangan pekerjaan. Jumlah J pendduduk desa di d dalam TN NK tersaji dallam Gambarr 27.
111
6152
6918
Saangatta Selatan n Sin nga Geweh
1207
Saangkima 3072
5278
Saangkima Lama Teeluk Pandan
Gam mbar 27 Jum mlah penduduuk di empat desa definitiif dalam TN NK. (Sumber: ( 1. Daata Identifikasii Enclave TNK K Tahun 2005, Dinas Lingkunngan Hidup Ku utai Timur; 2. Monografi M Keccamatan Sangattta Selatan Tahhun 2008)
Jumllah pendudu uk Desa Saangatta Selattan terbanyak dibandinngkan desa yang y lainnyaa, karena Deesa Sangattaa Selatan meerupakan dessa tertua di Kecamatan K Sangatta, seebelum dimeekarkan mennjadi Kecam matan Sangattta Utara daan Sangatta Selatan. Deesa Sangattaa Selatan sendiri termasuk dalam m Kecamatan n Sangatta Selatan yang g terdiri darii 3 desa, yaiitu Desa Sanngatta Selataan, Desa Sinnga Geweh, dan d Desa Saangkima. Desaa
Teluk
P Pandan
sellanjutnya
merupakan m
desa
yanng
jumlah
pendudukny p ya tertinggi kedua. Namun, perkkembangan selanjutnyaa desa ini lagi menjaadi Desa Teeluk Pandan dimekarkan d n, Kandolo dan Martaddinata, dan statusnya seekarang mennjadi kecam matan. Deng gan berdirinnya sebuah kecamatan baru, b maka permasalaha p an perambahhan hutan di TNK menjaadi semakin kompleks. Adanya A pem mekaran keecamatan berimplikasi pada pembbangunan sarana s dan prasarana p um mum bagi peenduduk, sepperti sekolah h, tempat ibaadah, saranaa kesehatan dll, d dan akhiirnya pemecahan masalaah TNK mennjadi semakin sulit.
4.7.3 Agama A Agam ma yang diaanut pendudduk di desa definitif d dalaam kawasann TNK dan tempat t ibadaah yang dim miliki disajikaan dalam Tabbel 10.
112
Tabel T 10 Jum mlah pemelu uk agama daan tempat ibaadah di desa definitif dallam TNK Sangatta Selatan Jml TI 6 651 144
Agama Islam Protestan
Singa Geweh** Jml T TI 5 179 11
Sangkim ma* Jml 2 969
TI 7
San ngkima Laama* Jml TI 1 2022 3
Teluk Pandan* Jml TI 5 017 166
81
1
89
-
103
1
5
-
4
-
186
1
10
-
-
-
-
-
-
-
Budha
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Hindu
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Katolik
Sumber: Mo onografi Keecamatan Saangatta Selattan dan Keccamatan Telluk Pandan Tahhun 2008 Keterangan: K i *: Desa Panntai, Jml: juumlah pemeeluk agama, TI: tempat ibadah ggal dalam Tabeel 10 menunnjukkan bahhwa mayorittas penduduuk yang ting lokasi l TNK K beragama Islam. I Jumlaah tempat ib badah yang dibangun dalam d TNK juga j sudah cukup c banyaak yaitu sekittar 51 masjidd dan mushoolla, serta 3 gereja. g 4.7.4 Pendidikan P Saran na pendidik kan di desa definitif daalam kawasaan TNK terrsaji dalam Gambar G 28 dan d Gambarr 29.
3 2.5 5 2 Unit 1.5 5 1 0.5 5 0
Sangattaa Selatan Singa Ge eweh Sangkim ma Sangkim ma Lama Teluk Paandan
G Gambar 28 Sarana S pendidikan di dessa definitif ddalam TNK. (Sumber: ( M Monografi Keec. Sangatta Selatan dan Kec. Teluk Pandan Tahu un 2008) Gam mbar 28 mennunjukkan baahwa fasilitaas sarana penndidikan yanng tersedia bagi b masyaarakat yang berada dallam TNK sudah s relatiff lengkap, mulai dari
113
pendidikan p TK hingga Sekolah Menengah Atas. Denngan demikkian dapat dikatakan d baahwa masyaarakat sudahh memperoleeh pendidikaan yang cuku up. Namun demikian d haasil survei kepada k respoonden menu unjukkan ratta-rata respo onden yang bekerja b di biidang perikaanan lebih daari 70% hanyya bersekolaah sampai SD D dan tidak lulus l SD. Gamb bar 29 menuunjukkan daari keempat desa definittif yang adaa di dalam TNK T umum mnya lebih dari d 30% pennduduknya hanya h berseekolah sampai SD, dan yang y bersek kolah samppai SLTA hanya sekiitar 10-20% %. Rendahny ya tingkat pendidikan p masyarakatt akan meempengaruhii pemaham man masyarrakat akan pentingnya p menjaga keelestarian linngkungan, teerkait dengaan lingkung gan mereka yang y merupaakan kawasaan taman nassional. 60 50 40
Tidak Sekolah SD
30
SLTP 20
SLTA Perguruaan Tinggi
10 0 Saangatta S Selatan
Singga Geweh
Sangkima
Teluk Pandan
Gambaar 29 Tingkatt pendidikann masyarakatt di desa deffinitif dalam TNK. (Sumbeer: Data Inden ntifikasi Enclaave Taman Nasional N Kutaii tahun 2005, Dinas L Lingkungan H Hidup Kab. Kutai K Timur)
Kegiaatan pengelolaan ekosisttem mangrov ve akan efekktif bila diduukung oleh sumberdayaa manusia yang berm mutu. Hal ini berarti seseorang memiliki kemampuan k n berpikir daan keteramppilan untuk berbuat sessuatu karenaa memiliki tingkat t penngetahuan yang y tingggi. Dengan tingginya tingkat peengetahuan diharapkan d masyarakat dapat lebihh memaham mi manfaat ppengelolaan ekosistem mangrove m untuk u kehiduupan merekaa dan juga dapat berpeeran aktif daalam setiap kegiatan k penngelolaan maangrove.
114
4.7.5
Kesehatan
Sarana kesehatan di desa definitif dalam kawasan TNK disajikan dalam Tabel 11. Sarana kesehatan bagi masyarakat dalam lokasi TNK cukup tersedia dengan adanya 1 Rumah sakit, 2 puskesmas dan 2 puskesmas bantu. Tabel 11 Sarana kesehatan di desa definitif dalam TNK Fasilitas Kesehatan RUMAH SAKIT PUSKESMAS PUSBAN POSYANDU
Sangatta Selatan Jml
Singa Geweh Jml
Jml
Sangkima Lama Jml
Teluk Pandan Jml
-
-
1
-
-
1 7
2
1 2
1 1
1 -
Sangkima
Sumber: Monografi Kecamatan Sangatta Selatan dan Kecamatan Teluk Pandan Tahun 2008 4.7.6
Aspek Kelembagaan
Kelembagaan yang terlibat dalam kegiatan kelestarian lingkungan yang beraktivitas di kawasan TNK terdiri dari lembaga swadaya masyarakat, perusahaan swasta, dan instansi pemerintah. Lembaga-lembaga tersebut antara lain: 1. Balai TNK Balai TNK yang berkedudukan di Kota Bontang, Propinsi Kalimantan Timur, merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkup Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA). Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6186/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002, Balai TNK mempunyai tugas pokok melaksanakan pengelolaan ekosistem TNK dalam rangka konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam menyelenggarakan tugas pokok tersebut, BTNK mempunyai fungsi: a. Penyusunan rencana, program dan evaluasi pengelolaan TNK; b. Pengelolaan TNK; c. Pengawetan dan pemanfaatan secara lestari TNK; d. Perlindungan, pengamanan dan penanggulangan kebakaran TNK;
115
e. Promosi dan informasi, bina wisata dan cinta alam, serta penyuluhan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; f. Kerjasama pengelolaan TNK; g. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. 2. LSM BIKAL (Bina Kelola Alam) BIKAL adalah salah satu lembaga swadaya yang sangat perhatian pada kelestarian alam Taman Nasional Kutai. Untuk saat ini BIKAL memiliki program yaitu : a.
Penguatan masyarakat sipil Kutai Timur dalam mendorong partisipasi publik
b.
Analisis Kelembagaan (DPRD, Masyarakat, dan Konflik Pengelolaan SDA)
c.
Pengembangan media informasi
d.
Pembuatan fungsi kontrol
e.
Menggalang aliansi
3. LSM BEBSIC (Borneo Ecological Biodiversity Science) BEBSIC
merupakan
LSM
yang
banyak
menaruh
perhatian
pada
keanekaragaman hayati. Adapun program BEBSIC yang ada di TNK adalah : a.
Riset Keanekaragaman Hayati (Orangutan)
b.
Kampanye Kesadaran Publik
4. Polres Bontang Polres Bontang adalah instansi yang bertanggungjawab terhadap pengamanan kawasan terutama pada kasus-kasus pencurian kayu dan perambahan hutan yang mengganggu keberadaan Taman Nasional Kutai. Program utama kepolisian dalam pengamanan TNK adalah melakukan kegiatan-kegiatan operasi di wilayah TNK dengan sandi Operasi Jaring Kakap, Operasi Wanalaga I Mahakam dan Operasi Wanalaga II Mahakam dengan sasaran penertiban penebangan-penebangan liar dan perambahan hutan. Kegiatan tersebut bekerjasama dengan Polsus Jagawana TNK. 5. Mitra TNK Dalam upaya pengelolaan kawasan, Balai TNK telah menggandeng 8 perusahaan berskala besar yang mempunyai lokasi kegiatan bersebelahan dengan TNK dalam wadah Mitra Kutai (Friends of Kutai). Perusahaan tersebut yaitu PT. KPC dan PT. Indominco Mandiri (tambang batubara), PT Pupuk
116
Kaltim (pupuk), PT Badak NGL dan Pertamina (minyak dan gas) serta PT. Kiani Lestari, PT. Surya Hutani Jaya dan PT Porodisa (pemegang konsesi hutan). Mitra Kutai memberikan dukungan finansial dan teknis yang sangat dibutuhkan untuk pengelolaan kawasan kepada Balai TNK. Bentuk partisipasi dan kerjasama Mitra Kutai tersebut dikukuhkan melalui SK Dirjen PHPA No. 121/Kpts/Dj-VI/1995 tanggal 30 April 1994.
4.8 Persepsi Masyarakat Persepsi masyarakat terkait dengan pengelolaan mangrove di TNK ditelusuri dengan menggunakan alat kuisioner dan wawancara secara mendalam. Hasil penelusuran terhadap persepsi masyarakat disajikan secara deskriptif berikut. 4.8.1 Pemahaman Masyarakat terhadap Pengelolaan Hutan Mangrove Dalam
penelitian
ini,
pemahaman
masyarakat
diartikan
sebagai
pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang kondisi ekosistem mangrove, peraturan, fungsi dan pemanfaatan hutan mangrove bagi kehidupan manusia dan lingkungan. Tingkat pemahaman masyarakat terhadap ekosistem mangrove di kawasan TNK khususnya terhadap kondisi, rehabilitasi dan konservasi mangrove secara umum cukup baik. Namun tingkat pemahaman terhadap fungsi dan peraturan yang terkait dengan ekosistem ini relatif rendah. Hal ini terlihat dari jumlah responden yang paham terhadap kondisi mangrove di TNK, apakah masih bagus atau mulai terdegradasi, sebesar 67%. Responden yang memahami perlunya rehabilitasi dan konservasi hutan mangrove di TNK sebanyak 50%. Namun demikian, walaupun banyak responden yang setuju untuk konservasi mangrove, mereka juga merasa pemanfaatan hutan mangrove bebas dilakukan, kelompok ini sejumlah 58.33%. Sebanyak 25% masyarakat memahami fungsi mangrove bagi perikanan, dan namun yang mengerti peraturan perundangan tentang mangrove hanya 20 % (Tabel 12). Pemahaman masyarakat terhadap fungsi mangrove dalam hal ini adalah sebagai pencegah abrasi dan erosi, tempat hidup, bertelur dan berkembang biak beberapa jenis ikan, udang, kepiting dan kerang.
117
Tabel 12 Pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan mangrove. No Tingkat Pemahaman Masyarakat Persentase (%) 1 Kondisi mangrove 66.67 2 Fungsi ekologis mangrove 25 3 Peraturan tentang mangrove 20 4 Setuju Rehabilitasi dan konservasi 50 5 Bebas memanfaatkan mangrove 58.33 Sumber: Hasil olahan data primer 2009
Pemahaman terhadap rehabilitasi dan konservasi hutan mangrove menunjukkan seberapa penting kedua kegiatan ini dilakukan. Masyarakat sangat mendukung diadakannya program-program rehabilitasi dengan syarat tidak membatasi mereka dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada. Walaupun masyarakat mendukung program rehabilitasi, namun di sisi lain masyarakat masih memanfaatkan mangrove dengan cara yang merusak, misalnya mengambil kayu untuk bangunan atau membuka tambak. Sehingga diduga bahwa pemahaman masyarakat mengenai pengelolaan mangrove masih bersifat sepotong-sepotong, dimana keterkaitan antara fungsi, pemanfaatan dan konservasi mangrove belum dipahami seutuhnya. Tingkat pemahaman yang rendah terhadap peraturan yang berkaitan dengan mangrove di TNK umumnya disebabkan kurangnya sosialisasi dan informasi terhadap peraturan-peraturan yang ada yang menyebabkan masyarakat memanfaatkan mangrove secara tidak terkendali dan tidak ramah lingkungan yang pada akhirnya menyebabkan degradasi mangrove. Untuk itu diperlukan upaya yang lebih intensif dalam sosialisasi peraturan-peraturan tentang perlindungan mangrove dan sanksi-sanksi terhadap peraturan yang ada. Selain itu diperlukan juga informasi-informasi yang berkaitan dengan pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari dan berkelanjutan dalam hal pemanfaatan sumberdaya mangrove. Tingkat persepsi yang berkembang dalam masyarakat dibangun oleh beberapa faktor internal yang terdapat dalam masyarakat, faktor-faktor internal tersebut merupakan kekuatan yang mendukung terhadap segala bentuk kegiatan masyarakat khususnya yang menyangkut perilakunya dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Namun demikian, persepsi masyarakat ini tidak dapat dijadikan ukuran mutlak untuk melihat suatu gejala, karena persepsi tersebut
118
dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan sosial ekonomi dan tingkat pendidikan maupun pengetahuan seseorang.
4.8.2
Persepsi Masyarakat terhadap Pemanfaatan S. serrata
Kepiting bakau sebagai salah satu sumberdaya yang terdapat dalam ekosistem mangrove TNK sudah lama dikenal masyarakat sebagai bahan makanan. Sampai saat ini masyarakat hanya mengetahui cara memperoleh kepiting bakau hanya melalui penangkapan kepiting bakau di alam. Sedangkan teknologi budidaya kepiting bakau bagi sebagian besar masyarakat di TNK masih menjadi hal yang asing. Namun demikian animo masyarakat, terutama dari kalangan nelayan untuk menerima introduksi teknologi budidaya kepiting bakau cukup besar. Hasil dari pengolahan data kuisioner mengenai persepsi masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya S. serrata disajikan dalam Tabel 13. Dari hasil analisis kuisioner diketahui bahwa tidak banyak masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya S. serrata untuk matapencaharian yaitu hanya 16.67% saja. Hanya orang-orang yang mempunyai keahlian dalam mencari dan menangkap kepiting bakau saja yang mau memanfaatkan kepiting bakau untuk matapencahariannya. Tabel 13 Tingkat pemahaman masyarakat mengenai pemanfaatan S. serrata. Persentase No Tingkat Pemahaman Masyarakat (%) 1 Matapencaharian S. Serrata 16.67 2 Setuju membudidayakan S. Serrata 46.67 Mengganti pemanfaatan mangrove dg S. 3 20 Serrata Sumber: Hasil olahan data primer 2009 Namun demikian, pada saat diperkenalkan dengan teknologi budidaya kepiting bakau, hampir separuhnya (46.67%) menyatakan tertarik dan menganggap sebagai matapencaharian yang baik. Hanya saja, masyarakat juga masih beranggapan bahwa mangrove boleh dimanfaatkan dengan bebas, dan sebagian masyarakat menyatakan bahwa pendapatan dari mangrove tidak dapat digantikan dengan usaha budidaya kepiting bakau (20%). Hal ini disebabkan masyarakat belum yakin akan keberhasilan budidaya kepiting bakau.