4. KONDISI HABITAT SIMPING Kualitas habitat merupakan tempat atau keadaan dimana simping dalam melakukan proses-proses metabolisme, pertumbuhan, sampai produksi. Proses biologi tersebut ditentukan oleh multifaktor mulai dari factor pengatur (analog), pembatas (limiting) dan semu (masking) dalam keadaan sesuai. Semua factor tersebut menjadi factor yang menentukan kehidupan dan kelangsungan hidup simping. Faktor lingkungan tersebut diantaranya suhu, kecerahan, kekeruhan, TSS, derajat keasaman, salinitas, oksigen terlarut, BOD, COD dan redoks potensial serta sedimen. Hasil pengukuran kualitas air selama penelitian dan analisa anova disajikan pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. 4.1. Suhu Perairan Suhu perairan merupakan faktor pengendali (controlling), fisiologi, biologi serta habitat.
Bagi simping
suhu perairan
berperan sebagai factor
pengatur penetasan telur, pematangan gonad, dan reproduksi, serta tingkat kematangan gonad biasanya terjadi pada suhu tinggi. Suhu dapat menyebabkan gangguan yang menjadi titik kritis bagi kelangsungan hidup simping. Analisa anova terhadap rataan suhu antar zona di setiap waktu T1, T2, dan T3 diperoleh hasil sebagai berikut. Rataan suhu antar zona di waktu T1, T2 dan T3 tidak berbeda nyata. Rataan suhu pada waktu T1 yaitu (31,3±0,166) oC pada waktu T2 sebesar (29,37±0,384) oC dan waktu T3 sebesar (30,65±0,100) oC. Secara keseluruhan suhu perairan selama penelitian diperoleh rata-rata antara
31,5
o
C.
Kisaran suhu tersebut masih tergolong normal untuk
perkembangan populasi simping.
Menurut Dharmaraj (2004) simping masih
o
dapat bertahan sampai suhu 37 C dalam kondisi normal. Menurut Silveira et al (2006) , suhu perairan diatas 20oC akan mampu menunjang kehidupan biota bentik hingga mencapai kelimpahan tertinggi. 4.2. Kecerahan Kecerahan perairan merupakan indikasi penetrasi cahaya matahari yang potensial bagi proses asimilasi, pembentukan biomas algae. Pembentukan biomas
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
48 algae tersebut nantinya menjadi sumber energi bagi pertumbuhan simping. Semakin tinggi kecerahan, maka semakin tinggi potensi pembentukan biomas algae. Analisa anova terhadap rataan kecerahan antar zona di setiap waktu T1, T2, dan T3 diperoleh hasil sebagai berikut. Rataan kecerahan antar zona di waktu T1, T3 berbeda nyata, sedangkan pada waktu T2 tidak berbeda nyata.
Rataan
kecerahan pada waktu T1 tertinggi yaitu di zona 3 sebesar (2,96±0,138) m, kemudian di zona I sebesar (1,2±0,072) m dan terendah di zona 2 yaitu (1,1±1,00) m. Pada waktu T3 tertinggi di zona 3 sebesar (1,1±0,045) m, kemudian di zona 2 (0,6±0,04) m dan terendah di zona I sebesar (0,4±0,008) m. Sedangkan rataan kecerahan pada waktu T2 tingkat kecerahan sebesar (0,76 ±0,20) m. Perbedaan kecerahan di T1 dan T3 merupakan indikasi bahwa potensi pembentukan biomas algae meningkat di zona 1 dan di zona 3 yang penting bagi pertumbuhan.
Dari urairan tersebut diatas, maka dapat dinyatakan bahwa
kecerahan perairan di zona 1, 2 dan 3 makin meningkat dengan semakin dalamnya perairan. Menurut Olenin et al, 2004 perairan dengan tingkat kecerahan rendah biasanya adalah perairan dengan struktur sedimen lembut (soft sedimen) dan banyak dihuni oleh kelompok bivalvia. 4.3. Kekeruhan Kekeruhan merupakan pencerminan komponen padatan tersuspensi yang dipengaruhi hasil kelimpahan algae yang mempengaruhi kecerahan perairan. Kecerahan perairan berperan dalam pembentukan algae. kekeruhan juga dapat berperan dalam mempengaruhi
Selain kecerahan,
hidup simping karena
pengaruh hasil adanya pembentukan padatan tersuspensi. Analisa anova terhadap rataan kekeruhan antar zona di setiap waktu T1, T2, dan T3 diperoleh hasil sebagai berikut. Rataan kekeruhan antar zona diwaktu T1, T2 dan T3 tidak berbeda nyata. Rataan kekeruhan pada waktu T1 yaitu (11,48 ± 8,39) NTU pada waktu T2 sebesar (4,51±2,1) NTU dan waktu T3 sebesar (4,7±1.70) NTU. Kekeruhan yang tidak berbeda nyata, namun secara prinsip potensial mempengaruhi sintasan siklus
stok stadia simping.
Pengaruh perbedaan
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
49 kekeruhan tersebut dapat tercermin dari struktur kelimpahan stadia simping. Hasil pengamatan dilokasi penelitian kekeruhan berkisar antara 2,1-10,3 NTU. Dari uraian diatas maka dapat dinyatakan bahwa kekeruhan yang tidak berbeda nyata namun nilainya yang tinggi potensial mempengaruhi kelangsungan hidup stadia simping. Diperkirakan kelompok stadia spat yang memiliki tingkat adaptasi yang rendah yang terkena dampaknya, serta memberikan dampak dari kekeruhan yang sama di tiap zona. Pantai yang keruh karena struktur sedimen yang berlumpur memungkinkan biota dewasa seperti Atactodea striata, Dona faba hidup dengan baik (Baron, et al, 1992) atau jenis Montastrea cavernosa (Moyer et al, 2003), sehingga daerah pesisir memerlukan perhatian yang lebih layak terutama daerah neritik dan kurang dari 100 m (Narvaez et al. 2004). 4.4. TSS (Total Suspended Solid) TSS
merupakan
komponen
yang
mempengruhi
kecerahan
serta
ketersediaan nutrient yang dapat bermanfaat bagi pertumbuhan simping. Namun begitu, apabila keberadaan TSS melampaui 10 mg.l-1 dapat mengganggu system pernapasan dan filter penyaringan makanan simping dan melebihi baku mutu kepmen LH No 51 tahun 2004 tentang baku mutu perairan laut. Analisa anova terhadap rataan TSS antar zona di setiap waktu T1, T2, dan T3 diperoleh hasil sebagai berikut. Rataan TSS antar zona diwaktu T1, T2 dan T3 tidak berbeda nyata. Rataan TSS pada waktu T1 yaitu (7,6±0,57) mg.l-1 pada waktu T2 sebesar (16,4±10,59) mg.l-1 dan waktu T3 sebesar (26,62±2,28) mg.l-1. Pada pengamatan T1, nilai TSS berada dibawah baku mutu kepmen LH No 51 tahun 2004 tentang kualitas air untuk biota. Pada waktu T2, T3 kandungan TSS antar zona yang tidak berbeda nyata namun
melampaui baku mutu.
Keberadaan TSS pada waktu T2 dan T3 yang melampaui baku mutu tersebut diduga potensial menggangu system respirasi dan mempengaruhi potensi stok simping. Kesimpulan dari uraian tersebut
maka dapat dinyatakan bahwa
keberadaan TSS T1 tidak melampaui baku mutu dan waktu T2 dan T3 melampaui baku mutu, sehingga potensi menggangu kehidupan simping. Namun demikian
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
50 menurut Heilmeyer (2004) kandungan TSS yang berasal dari algae seperti Isocharis galbama diperlukan sebagai sumber makanan larva simping. 4.5. Derajat Keasaman (pH) pH sebagai penyangga respirasi-fotosintesa.
Keberadaan simping
ditentukan oleh keberadaan habitat simping pada pH yang ada.
pH netral
menunjang sintasan pertumbuhan simping. Perubahan temporal pH memberikan indikasi bagi ruang perubahan simping dan sintasan pertumbuhan. Derajat keasaman (pH) merupakan pencerminan keberadaan ion H+ di suatu perairan sehingga menjadi asam (pH<4), netral (pH 7-8) dan basa (pH>9). Keberadaan pH ditentukan oleh berbagai interaksi dengan fotosintesa-respirasi algae. Respirasi biota serta proses bio-degradasi bahan organik. Pada pH nentral (pH 7-8) sesuai bagi sintasan pertumbuhan simping. Pada pH basa (pH>9) dapat menghambat proses pertumbuhan simping sedangkan pada pH asam (pH<4) selain menghambat proses respirasi juga diiringi dengan kematian. Analisa anova terhadap rataan pH antar zona di setiap waktu T1, T2, dan T3 diperoleh hasil sebagai berikut. Rataan pH antar zona diwaktu T1, T3, tidak berbeda nyata, sedangkan pada waktu T2 berbeda nyata. Rataan pH pada waktu T1 yaitu (7,05±0,097), pada waktu T3 sebesar (6,88±0,096) Sedangkan rataan pH pada waktu T2 tertinggi di zona 3 yaitu (7,2±0,05) kemudian zona 2 sebesar (6,7±0,05) dan terendah zona 1 sebesar (6,5±0,16). Rentang keberadaan pH di zona 1, 2 dan 3 termasuk sesuai bagi sintasan pertumbuhan simping. Dari uraian tersebut maka dapat dinyatakan bahwa keberadaan pH di zona 1, 2 dan 3 cukup sesuai bagi sintasan pertumbuhan simping. pH perairan yang tidak tergolong asam maupun basa masih baik untuk perkembangan biota lainnya. Menurut Darmaraj (2004) pH normal untuk simping yait antara 7,0-8,0 atau dalam batasan 6,4-7,7 (SEAFDEC, 2000). Menurut Silveira et al, 2006 kelimpahan tertinggi umumnya pada pH diatas 7 dengan fluktuasi yang rendah. 4.6. Salinitas Salinitas merupakan factor salt (masking) bagi sintasan pertumbuhan simping. Pada tingkat iso-osmotik salinitas sesuai bagi pertumbuhan simping,
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
51 pada kondisi hiper osmotik dapat menghambat pertumbuhan bahkan potensial mematikan. Pada kondisi hippo osmotik akan menghambat proses osmoregulasi stadia muda dan spat. Keberadaaan simping ditentukan oleh kemampuan simping beradaptasi terhadap salinitas. Pada kondisi iso-osmotik metabolisme dan respirasi normal dan menunjang pertumbuhan, sedangkan pada hipo atau hiper-osmotik keberadaan simping dangat ditentukan oleh keberhasilan menyesuaikan diri terhadap salinitas dilapangan. Perubahan terhadap salinitas memberikan indikasi perubahan kesesuaian salinitas terhadap ruang distribusi dan tingkat kelimpahan simping. Analisa anova terhadap rataan salinitas antar zona di setiap waktu T1, T2, dan T3 diperoleh hasil sebagai berikut. Rataan salinitas antar zona di waktu T1, T2 dan T3 tidak berbeda nyata. Rataan salinitas pada waktu T1 yaitu (29,38±1,27) o
/oo pada waktu T2 sebesar (27,66±1,12) o/oo dan waktu T3 rataan salinitas sebesar
(28,52±0,66) o/oo. Secara keseluruhan salinitas rata-rata berkisar antara 28-31 o/oo dan termasuk sesuai bagi sintasan pertumbuhan simping. Dari uraian diatas dapat dinyatakan bahwa rataan salinitas di zona 1, 2 dan 3 sesuai bagi sintasan pertumbuhan simping. Pada penelitian Darmaraj (2004) kisaran salinitas yang sesuai bagi simping yaitu 23-34 o/oo. Penelitian (SEAFDEC, 2000) di Philipina kerang simping dapat hidup pada salinitas antara 18-38 o/oo. Menurut Cusson et al (2005) salinitas dari biota bentik berkisar dari 4-45 o/oo m dengan rata-rata 26,5 o
/oo.
Dengan demikian salinitas antara 27,66-29,38 o/oo di perairan Kronjo
tergolong sesuai bagi sintasan pertumbuhan simping. 4.7. Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut (DO) merupakan pembatas bagi proses respirasi-oksidasi sintasan dengan proses osmoregulasi yang dikendalikan oksigen terlarut bersifat diurnal. Bagi proses metabolism oksigen dapat menurut deplesi (deficit) apabila dipakai untuk asimilasi bahan organic dan dapat mematikan. Pada kondisi DO 5-6 ppm metabolism respirasi normal menunjang sintasan pertumbuhan simping. Akibat deplesi dan defisit oksigen terlarut akan potensial mematikan simping,
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
52 khususnya stadia spat dan muda. Ketersediaan DO ditentukan oleh pola aerasi dari photosintesa, produksi-respirasi serta dekomposisi bahan organik. Keberadaan simping ditentukan oleh kemampuan simping beradaptasi dari ketersediaan oksigen terlarut di lapangan. Perubahan temporal oksigen terlarut (DO) memberikan indikasi perubahan kesesuaian habitat bagi ruang distribusi simping. Pada kondisi DO < 3 ppm atau meningkat melampaui > 8,5 ppm potensial mematikan. Analisa anova terhadap rataan oksigen terlarut (DO) antar zona di setiap waktu T1, T2, dan T3 diperoleh hasil sebagai berikut. Rataan oksigen terlarut (DO) antar zona diwaktu T1, tidak berbeda nyata sedangkan waktu T2 dan T3 berbeda nyata. Rataan oksigen terlarut (DO) pada waktu T1 yaitu (2,18±0,34) ppm. Pada waktu T2 rataan tertinggi di zona 3 yaitu (7,7±0,26) ppm, kemudian di zona 2 yaitu (2,92±0,14) ppm dan terendah pada zona 1 yaitu (2,74±0,06) ppm. pada waktu T3 DO tertinggi di zona 3 sebesar (2,66±0,002) ppm, di zona 2 yaitu (2,37±0,02) ppm dan terendah di zona 1 yaitu (2,20±0,007) ppm. Pada waktu T1 meskipun tidak berbeda nyata, namun keberadaaan DO tidak sesuai bagi kehidupan simping (DO< 3 ppm). Begitu juga halnya pada T2 dan T3 keberadaaan DO yang berbeda nyata, namun keberadaan DO termasuk buruk yaitu DO < 3 ppm, kecuali DO pada zona 3 waktu T2. Secara keseluruhan DO di zona 1, 2 dan 3 termasuk kurang sesuai kecuali sewaktu T2 di zona 3. Keberadaan DO tentu akan berimplikasi
terhadap sintasan dari
pertumbuhan stadia simping. Dari uraian diatas, maka dapat dinyatakan bahwa keberadaan DO di zona 1, 2 dan 3 kurang sesuai bagi sintasan pertumbuhan simping kecuali di zona 3 sewaktu T2. Pada kegiatan budidaya P placenta di Philipina oksigen terlarut tercatat antara 2,5-5 ppm (SEAFDEC, 2000). 4.8. Kandungan Bahan Organik (BOD) Kandungan bahan organik yang dapat diurai oleh mikroba degradasi dinyatakan sebagai jumlah DO yang dipergunakan untuk proses penguraian bahan organik (BOD). Nilai BOD mencerminkan tingkat keberadaan bahan organik yang dapat diuraikan. Makin tinggi jumlah bahan organik yang diuraikan, maka makin besar juga oksigen yang diperlukan.
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
53 Keberadaan bahan organik tersebut potensial mengakibatkan deplesi oksigen (DO). Konsekuensinya sewaktu malam hari low fotosintesa (DO nol) sedangkan respirasi (tetap) maka akan semakin tinggi nilai BOD dan potensial mengakibatkan DO defisit. Fenomena ini sering mengakibat terjadinya kematian massal. Analisa anova terhadap rataan BOD antar zona di setiap waktu T1, T2, dan T3 diperoleh hasil sebagai berikut. Rataan BOD antar zona diwaktu T1, T2 dan T3 tidak berbeda nyata. Rataan BOD pada waktu T1 yaitu (3,01±1,07) mg.l-1 pada waktu T2 sebesar (2,28±0,46) mg.l-1 dan waktu T3 sebesar (1,97±1,67) mg.l-1. Walaupun tidak berbeda nyata, nilai BOD terlihat makin menurun dengan makin dalamnya perairan. Dengan hasil tersebut terlihat kandungan rataan BOD sewaktu T1 maupun T2 dan T3 pada rentang aman bagi penetral diurnal bahan organik.
Keadaan ini memberikan indikasi kandungan BOD kurang
mempengaruhi kehidupan simping. Kandungan BOD belum melampaui tingkat membahayakan kehidupan simping. Dari hasil tersebut maka dapat dinyatakan bahwa keberadaaan BOD belum potensial menghambat kehidupan simping. 4.9. COD (Kebutuhan Oksigen Kimiawi) COD merupakan parameter jumlah oksigen yang diperlukan untuk proses oksidasi seluruh sintasan kimiawi. Nilai COD mencerminkan tingkat kandungan sintesa kimia yang dapat dioksidasi perairan.
untuk mengurangi tingkat pencemaran
Semakin tinggi nilai COD, potensial berimplikasi terhadap
kelangsungan hidup simping. Analisa anova terhadap rataan COD antar zona di setiap waktu T1, T2, dan T3 diperoleh hasil sebagai berikut. Rataan COD antar zona diwaktu T1, T2 dan T3 tidak berbeda nyata. Rataan COD pada waktu T1 yaitu (140±21,85) mg.l-1 pada waktu T2 sebesar (177,3±30,55) mg.l-1 dan waktu T3 sebesar (123,62±14,09) mg.l-1. Dari uraian tersebut diatas maka dapat dinyatakan bahwa keberadaan COD antar zone yang tidak berbeda nyata pada T1, T2 dan T3 potensial mempengaruhi kehidupan. Kandungan COD waktu T1, T2 dan T3 lebih tinggi dari baku mutu
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
54 COD untuk kualitas air menurut Kepmen LH No 51 tahun 2004 tentang kualitas air yaitu 100 mg.l-1. 4.10. Redoks Redok potensial merupakan parameter keberadaaan substansi reductive (CH4, NH3 dan H2S) dengan keberadaan oksigen yang terdapat di suatu substrat. Hasil substitusi reduktif dari hasil biodegradasi dan oksidasi akan memanfaatkan oksigen yang tersedia . Semakin tinggi nilai redok semakin potensial menjadi reductive dan mengarah keadaan anaerob. Perairan yang berada dalam kondisi anaerob akan menyulitkan perkembangan biota yang ada didalamnnya. Analisa anova terhadap rataan redoks antar zona di setiap waktu diperoleh hasil sebagai berikut. Rataan redoks antar zona diwaktu T1, T3, tidak berbeda nyata, sedangkan pada waktu T2 berbeda nyata. Rataan redoks pada waktu T1 yaitu (141,83±28,69) mv pada waktu T3 sebesar (143,9±76,56) mv. Sedangkan rataan redoks pada waktu T2 kandungan redoks tertinggi di zona 3 yaitu (148,6±421,55) mv kemudian zona 1 sebesar (119,6±20,22) mv dan terendah zona 2 sebesar (111,6±1,55) mv. Pada waktu T2 redoks yang tinggi potensial menyebabkan anaerob terutama di zona 3. Kondisi ini potensial mempengaruhi keberadaan simping. Pada waktu T1 dan T3 keberadaan redok tidak berbeda nyata antara zona 1, 2 dan 3.
Namun demikian secara umum kandungan redoks yang tinggi cenderung
membahayakan kehidupan simping. Dari uraian diatas maka dapat dinyatakan bahwa keberadaaan redok pada T1, T2 dan T3 berpengaruh. Keberadaan redoks yang cenderung tinggi dapat mengarahkan lingkungan pada kondisi anaerob. Performa oksigen yang rendah dapat jadi indikator bahwa redok potensial yang tinggi dan performa aktivitas dari biota benthic terutama malam hari (Wenzhofer et al, 2004). 4.11. Substrat Sediment yang diamati adalah fraksi sedimen pada lokasi sampling yang menjadi habitat simping.
Kawasan tersebut merupakan kawasan tempat hidup
yang sesuai dengan biota simping.
Komposisi substrate pada pada zona 1
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
55 didominasi oleh fraksi liat, kemudian debu dan yang terendah fraksi pasir. Pada zona 2 didominasi oleh komposisi debu, kemudian liat dan terendah pasir. Sedangkan pada zona 3 juga didominasi oleh debu, kemudian liat dan terendah fraksi pasir. Komposisi ini relative sama antara zona, sehingga tidak terdapat perbedaan yang nyata dari tiap zona baik pasir,liat maupun debu. Berdasarkan kedalaman terjadi perubahan komposisi dari dominasi liat menjadi debu. Kedalaman kurang dari 3 m dengan substrat berlumpur umumnya memiliki struktur komunitas bentik yang lebih komplek dibandingkan dengan yang lebih dalam atau substrate yang lebih kasar (Moyer et al, 2003). Substrat merupakan habitat dari biota simping yang muda dan dewasa. Preferensi habitat menunjukan pola sebaran biota simping.
Sebagian besar
simping hidup pada substrat dengan komposisi debu dan liat. Hasil analisa anova tidak terlihat perbedaan komposisi substrat pada tiap zona, dimana komposisi debu yang paling tinggi 47 %,, kemudian liat 42 % dan paling sedikit pasir 11 %. Sehingga dapat disimpulkan bahwa habitat simping adalah substrat yang sebagian besar mengandung fraksi debu dan liat. Menurut Connel et al, 2005 perbedaan substrate tidak berdampak pada nilai P/B rasio untuk kelas annelida. Hasil analisa kualitas air secara keseluruhan dalam kondisi kurang baik namun masih dalam batas syarat minimal untuk menndukung kehidupan simping. Kondisi kualitas air menurut waktu pengamatan T1, T2, dan T3 secara keseluruhan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil evaluasi parameter kualitas air setiap waktu pengamatan No Parameter Waktu Pengamatan Anova BM* T1 T2 T3 a a a 1 Redoks 141,83 126,6 143,9 Ns 2 pH 7,05 a 6,7 a 6,8 a Ns 6,5-8,5 3 Suhu 31,3 a 29,3 a 30,6 a S Alami a a a 4 Kecerahan 1,71 0,75 0,67 Ns 5 Kekeruhan 10,42 a 4,84 a 4,77 a Ns 5 6 Salinitas 29,55 a 28,44 a 28,52 a Ns Alami a a a 7 DO 2,29 4,47 2,36 Ns 4 8 COD 140 a 122,1 a 171,5 a Ns 100 9 TSS 7,66 a 16,44 b 26,62 b S 30 a a a 10 BOD 3,01 2,16 2,47 ns 20 Ket: (S) signifikan pada SK 95% dan (Ns) tidak signifikan anova satu arah *) Kepmen LH No 51 Tahun 2004 ttg kualitas air, baku mutu untuk biota.
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/