4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penelitian Awal Tahapan penelitian ini meliputi analisis proksimat buah lindur segar, analisis histologi jaringan tumbuhan lindur meliputi batang, daun dan buah, dan pembuatan tepung pati dari buah lindur. Pengujian karakteristik tepung pati buah lindur meliputi pengujian kadar air, pati, amilosa, amilopektin.
4.1.1 Morfologi tumbuhan lindur (Bruguiera gymnorrhiza) Tanaman lindur yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari Pulau Kay, Kabupaten Maluku tenggara. Morfologi dari tanaman lindur dapat dilihat pada Gambar 5.
Daun
Batang
Akar
Gambar 4 Morfologi tumbuhan lindur (Bruguiera gymnorrhiza) Sumber : James dan Duke (2006) Tumbuhan lindur memiliki daun yang umumnya berwarna hijau tua dan berbentuk elips. Daunnya dikenal dengan large-leafed mangrove karena memiliki panjang antara 8-22 cm dan lebar antara 5-8 cm. Ujung daun meruncing, berwarna hijau pada bagian atas dan hijau kekuningan pada bagian bawah dengan bercakbercak hitam. Letak daun biasanya saling berhadapan dengan posisi menyilang. Batang dari tumbuhan ini umumnya berwarna abu-abu sampai hitam, memiliki lentisel yang besar dengan percabangan simpodial. Kulit kayu memiliki lentisel, permukaannya halus hingga kasar dengan warna abu-abu tua sampai coklat. Akar
21
membentuk akar papan dan melebar kesamping tetapi juga memiliki sejumlah akar lutut. Tumbuhan lindur juga memiliki bunga dan buah, bunga terletak diujung buah dengan kelopak berwarna merah muda hingga merah serta panjang bunga berkisar antara 1,5-3,5 cm. Buah berbentuk silinder (hipokotil), melingkar spiral dengan lebar 2-2.5 cm
dan panjang antara 12-30 cm. Gambar 5
menunjukkan bagian daun (a), bagian bunga (b) dan bagian buah (c).
(a)
(b) Gambar 5 Daun, bunga dan buah lindur.
(c)
4.1.2 Anatomi daun Salah satu bagian yang penting pada tumbuhan untuk melakukan fotosintesis adalah daun. Daun mengandung sejumlah besar zat berwarna hijau yang disebut klorofil. Bagian – bagian daun biasanya terdiri atas pelepah daun (vagina), tangkai daun (petiolus) dan helaian daun (lamina). Berdasarkan Gambar 5 diketahui bahwa warna daun bagian atas tampak lebih cerah dan mengkilap dibandingkan dengan bagian bawah daun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tjitrosoepomo (1996) bahwa pada umumnya warna daun pada sisi atas tampak lebih hijau, licin, atau mengkilap jika dibandingkan dengan sisi bawah daun. Sesuai dengan Gambar 6 terlihat bahwa lapisan daun tumbuhan lindur terdiri atas jaringan epidermis atas, dua lapis jaringan palisade, parenkim spons, dan lapisan yang terakhir adalah epidermis bawah. Bagian epidermis atas dan bawah daun lindur tersusun dari satu lapis sel yang berbentuk segi empat memanjang, yang tersusun rapat membentuk lapisan padat dan tidak terdapat ruang antar sel. Dinding sebelah luar epidermis bagian atas tertutup oleh kutikula yang merupakan lapisan tipis dan mengkilat. Menurut Mulyani (2006) bahwa epidermis tumbuhan air tidak
berfungsi untuk perlidungan tetapi untuk
pengeluaran zat makanan, senyawa air dan pertukaran gas. Lapisan di bawah
22
jaringan epidermis atas adalah parenkim palisade dan parenkim spons. Sel-sel parenkim palisade tersusun berdampingan dan membentuk ruang antar sel. Jaringan palisade tersusun dalam dua lapis sel. Adanya titik-titik yang tersebar dalam parenkim palisade menunjukan adanya kloroplas yang berfungsi untuk menangkap cahaya.
Di bawah jaringan parenkim palisade terdapat jaringan
parenkim spons yang berbentuk lobus berongga yang tidak beraturan dan memiliki banyak rongga interseluler. Parenkim spons juga mengandung kloroplas namun tidak sebanyak parenkim palisade. Parenkim palisade tersusun oleh sel-sel yang tidak teratur dan berdinding tipis, lepas dan mengandung kloroplas dalam jumlah yang sedikit (Nugroho et al. 2006). Bagian paling bawah dari daun lindur adalah epidermis bawah, dengan struktur yang mirip dengan epidermis atas.
Epidermis Atas
Parenkim spons
Parenkim Palisade
Epidermis Bawah
Gambar 6 Penampang melintang daun tumbuhan lindur Berdasarkan Gambar 6 terlihat isi sel berwarna keunguan bila diwarnai dengan toluidine blue. Lapisan epidermis bagian atas dinding sel tidak berwarna hanya terlihat sedikit gelap, begitu pula pada epidermis bagian bawah dinding sel tidak berwarna namun isi sel berwarna keunguan, hal ini diduga menunjukan adanya kandungan polisakarida. Terdapat banyak kloroplas yang berwarna keunguan dengan pewarnaan toluidine blue dalam jaringan palisade. Saluransaluran pengangkutan relatif lebih kecil dibandingkan dengan saluran utama terdapat di daerah yang mengarah ke tangkai daun pada jaringan bunga karang. Jaringan palisade memiliki ruang interseluler yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan ruang interseluler pada jaringan bunga karang. Saluran pengangkut terdiri dari xilem dan floem. Floem terletak di luar xilem, floem terdiri dari sel yang lebih kecil dibandingkan dengan sel-sel pada korteks ataupun
23
xilem. Xilem mengalami penebalan dinding dan bentuknya poligonal dengan sisi yang bersudut, adanya pewarnaan dengan toluidine blue akan menjadikan xilem berwarna biru kehijauan dan lebih mengkilat. Sel-sel xilem tumbuhan lindur tersusun berbentuk menjari. Stomata adalah lubang atau celah yang terdapat pada epidermis organ tumbuhan yang berwarna hijau, dibatasi oleh sel khusus yang disebut penutup (Nugroho et al. 2006). Stomata pada daun tumbuhan lindur terdapat pada bagian atas dan bawah daun. Jumlah stomata pada sisi epidermis atas daun lindur lebih banyak dibandingkan jumlah stomata pada sisi epidermis bawah daun lindur. Stomata tanaman lindur terdiri atas stoma dan sel penjaga. Adanya warna kehijauan pada stomata yang tampak pada gambar 7 dikarenakan terdapatnya kloroplast yang merupakan tempat berlangsungnya fotosintesis. Sel penjaga berfungsi untuk mengatur pertukaran gas dan air pada daun (Nugroho et al.2006). Stomata diperlihatkan pada Gambar 7. Stoma
Sel penjaga Sel-sel tetangga
Gambar 7 Stomata pada bagian atas daun tumbuhan lindur 4.1.2 Anatomi batang Batang merupakan bagian tubuh tumbuhan yang amat penting, batang memiliki kedudukan sebagai tubuh tumbuhan sehingga batang dapat disamakan dengan sumbu tubuh tumbuhan. Batang tanaman lindur berwarna hijau muda hingga hijau kecoklatan, batang tanaman diduga lindur memiliki stomata pada bagian epidermisnya. Sesuai dengan Gambar 8 dapat diketahui bahwa bagian paling luar adalah jaringan epidermis yang terdiri dari satu lapis sel dan tersusun secara rapat. Dinding luar batang tampak tidak mengalami penebalan oleh zat kutin, diduga kutikula yang terdapat pada batang sangat tipis sehingga penebalan yang terjadi tidak terlihat. Korteks batang tanaman lindur terdiri atas sel parenkim.
24
Sesuai dengan gambar dibawah terlihat adanya warna unggu pada sel parenkim korteks menunjukkan bahwa sel parenkim korteks batang lindur mengandung butiran pati. Selain itu sel – sel parenkim pada korteks mengandung kloroplas yang ditandai dengan adanya titik-titik kecil yang terdapat pada gambar penampang melintang batang lindur.
Sel korteks beserta butiran pati Rongga antar sel
Epidermis
Gambar 8 Penampang melintang batang tumbuhan lindur 4.1.3 Anatomi buah Buah merupakan salah satu organ tumbuhan untuk pembiakan dan biasanya mengandung biji. Setelah pembuahan pistil (bunga betina) akan tumbuh menjadi buah (Mulyani 2006). Pada umumnya buah hanya akan terbentuk sesudah terjadi penyerbukan dan pembuahan pada bunga. Walaupun demikian buah juga dapat terbentuk tanpa ada penyerbukan dan pembuahan. Butiran pati
Rongga sel Epidermis
Gambar 9 Penampang melintang buah lindur
Buah lindur dapat digolongkan sebagai buah semu tunggal karena terjadi dari satu bunga dengan satu bakal buah. Pada buah ini selain terdapat bakal buah ada bagian lain bunga yang ikut membentuk buah (Tjitrosoepomo 1996). Gambar
25
9 menunjukkan penampang melintang buah lindur yang terdiri dari epidermis, rongga sel dan butiran pati. Sel epidermis terlihat tersusun rapat satu sama lain yang membentuk persegi tanpa ruang antar sel. Tipisnya dinding sel epidermis buah lindur dikarenakan tidak adanya penebalan oleh kutin pada bagian kulit buah lindur sehingga lignin yang ada terlihat kurang begitu jelas.
Korteks Xilem Floem Vakuola dgn butiran pati
Gambar 10 Berkas pembuluh pada buah lindur
Gambar 10 menunjukkan adanya granula pati pada buah ditandai dengan adanya warna keunguan dengan menggunakan pewarnaan toluidine blue yang terdapat dalam vakuola. Menurut Tjitrosoepomo (1996) vakuola merupakan ruang dalam sel yang berisi cairan, berupa rongga yang diselaputi membran (tonoplas). Cairan ini adalah air dan berbagai zat yang terlarut di dalamnya. Vakuola memiliki beberapa fungsi seperti sebagai tempat penyimpanan zat cadangan makanan seperti amilum dan glukosa, tempat menyimpan pigmen (daun, bunga dan buah), tempat penyimpanan minyak atsiri yang merupakan golongan minyak yang memberikan bau khas seperti minyak kayu putih dan sebagai pengatur tirgiditas sel atau tekanan osmotik sel. Terlihat sejumlah besar granula pati yang terdapat pada vakuola baik pada penampang melintang buah lindur maupun pada berkas pembuluh buah lindur. Bagian korteks terlihat tidak berwarna dengan adanya pewarnaan menggunakan toluidine blue. Korteks buah lindur tersusun dari lapisan-lapisan sel yang berdinding tipis. Koteks memiliki ruang-ruang antarsel yang berfungsi untuk pertukaran gas. Peran korteks adalah sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan. Berkas pembuluh xylem pada buah berfungsi untuk transpor air dan garam-garam mineral dari akar ke buah. Penyusun utama
26
xylem buah lindur adalah trakeid dan trakea sebagai saluran pengangkut air dengan penebalan dinding sel yang cukup tebal pada Gambar 10 sekaligus berfungsi sebagai penyokong. Sedangkan pembuluh floem berfungsi untuk mengedarkan gula, asam amino serta hasil fotosintesis lainnya dari daun ke buah dan disinilah cadangan makanan disimpan. Umumnya pembuluh floem memiliki dua bentuk yaitu sel tapis (sieve plate) berupa sel tunggal yang memanjang dan buluh tapis (sieve tubes) yang serupa pipa. (Nugroho et al. 2006).
4.2 Komposisi Kimia Buah Lindur Segar Buah lindur (B. gymnorrhiza) biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai makanan pengganti nasi pada saat musim paceklik, khususnya di Kabupaten Maluku Tenggara dan dibeberapa wilayah nusantara. Buah ini biasanya diolah dengan cara direbus dan dikeringkan agar dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Masyarakat umumnya tidak mengonsumsi buah ini dalam keadaan mentah. Analisis proksimat buah lindur ini perlu dilakukan agar dapat mengetahui komposisi kimia buah segar. Komposisi kimia buah lindur dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kimia buah lindur segar Analisa Proksimat Air Abu Lemak Protein Karbohidrat
Jumlah (%) 62,92 1,29 0,79 2,11 32,91
4..2.1 Air Buah lindur merupakan tumbuhan mangrove yang habitatnya berada di dekat wilayah perairan dan umumnya tumbuh di pesisir pantai. Berdasarkan hasil analisis proksimat dari buah lindur segar menunjukkan bahwa nilai kadar air adalah 62,92 % yang lebih kecil dibandingkan dengan kadar air buah lindur hasil penelitian sebelumnya yaitu sebesar 73,76 (Fortuna 2005) dan kadar air dari buah Sonneratia sp. sebesar 79,24 % (Febrianti 2010). Kadar air hasil penelitian lebih
27
besar dari kadar air Avecennia marina yang diteliti oleh Wibowo et al. (2009) yaitu 61,95%. 4.2.2 Abu Analisis proksimat yang telah dilakukan pada buah lindur segar menunjukan bahwa kadar abu yang dikandung adalah 1,29 %. Nilai kadar abu buah lindur hasil penelitian Fortuna (2005) yang sebesar 0,34% jauh lebih kecil dibandingkan dengan kadar abu hasil penelitian. Apabila dibandingkan dengan kadar abu dari berbagai jenis buah mangrove lain misalnya Sonneratia sp. dan Avecennia marina maka kadar abu hasil penelitian lebih kecil. Sonneratia sp. menghasilkan kadar abu sebesar 4,35% (Febrianti 2010) dan kadar abu buah buah mangrove jenis Avecennia marina sebesar 1,27% (Wibowo et al. 2009) sedikit lebih kecil dari kadar abu buah lindur hasil penelitian.
4.2.3 Lemak Kadar lemak yang didapatkan dari hasil analisa proksimat buah lindur segar adalah 0,79 %. Pada tanaman, lemak disintesis dari satu molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak yang terbentuk dari kelanjutan oksidasi karbohidrat dalam proses respirasi (Winarno 2008). Pada penelitian sebelumnya terhadap buah lindur Fortuna (2005) memperoleh kadar lemak sebesar 1,25% yang lebih besar dari kadar lemak hasil penelitian ini. Begitu pula dengan kadar lemak buah Sonneratia sp. yang dilakukan oleh Febrianti (2010) sebesar 0,89 % yang lebih besar dari kadar lemak hasil penelitian. Sedangkan jika dibandingkan dengan kadar lemak Avecennia marina yang sebesar 0,04%. Dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wibowo et al. (2009) kadar lemak buah lindur hasil penelitian lebih besar.
4.2.4 Protein Kadar protein yang didapatkan dari hasil analisa proksimat buah lindur segar adalah 2,11 %. Umumnya kadar protein buah mangrove relatif kecil. Kadar protein buah lindur hasil penelitian lebih besar dibandingkan dengan kadar protein buah lindur dari penelitian sebelumnya dan dari kadar protein buah pedada (Sonneratia sp.) yang berturut-turut sebesar 1,13% dalam penelitian yang
28
dilakukan oleh Fortuna (2005) dan 1,17% dalam penelitian yang dilakukan oleh Febrianti (2010). 4.2.5 Karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi hampir seluruh penduduk dunia, khususnya bagi penduduk negara yang sedang berkembang. Buah lindur memiliki kandungan karbohidrat yang lebih besar dari komponen gizi lainnya. Karbohidrat yang terdapat pada buah lindur segar yang telah dianalisis adalah 32,91 %. Hasil pengujian kadar pati lebih lanjut yang menggunakan metode Luff Scrhrool diperoleh kadar pati sebesar 57,73%, kadar amilosa 31,56 %, dan kadar amilopektin sebesar 26,17%. Kandungan karbohidrat buah lindur hasil penelitian memiliki nilai yang paling besar jika dibandingkan dengan kadar karbohidrat buah lindur dari penelitian sebelumnya maupun dari kadar karbohidrat beberapa buah mangrove lainnya. Kadar karbohidrat buah lindur sebelumnya yang telah diteliti oleh Fortuna (2005) adalah 23,53%, buah Sonneratia sp. memiliki kadar karbohidrat sebesar 14,35 % (Febrianti 2010) dan kadar karbohidrat Avecennia marina yang diteliti oleh Wibowo et al. (2009) adalah 21,43%.
4.3 Karakteristik Tepung Pati Buah Lindur Karakteristik kimia yang dianalisa pada tepung buah lindur adalah kadar air, kadar pati, kadar amilosa, dan kadar amilopektin. Hasil analisa pengujian karakteristik kimia dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi kimia tepung pati buah lindur Komposisi Jumlah (%) Kadar Air Pati Amilosa Amilopektin Lain-lain
6,19 57,73 31,56 26,17 36,08
Semakin tinggi kadar air tepung pati buah lindur maka akan menimbulkan gelembung yang semakin banyak pada larutan edible film. Adanya gelembunggelembung ini akan menjadikan edible film yang dihasilkan memiliki penampakan
29
yang kurang baik setelah dikeringkan. Selain ini dengan kandungan kadar air tepung pati yang dihasilkan dibawah 14% yaitu sebesar 6,19 % yang menjadikan tepung pati buah lindur dapat disimpan hingga jangka yang lama. Tepung yang baik hendaknya memiliki kadar air yang tidak lebih dari 14%, karena batas toleransi mikroba masih dapat tumbuh pada 14-15% (Fardias 1989). Kandungan amilosa dan amilopektin akan menentukan karakteristik film yang dihasilkan. Rasio amilosa dan amilopektin tergantung dari jenis pati. Semakin tinggi kandungan amilosa maka film akan semakin kuat (Schultz 1969). Kandungan amilosa dan amilopektin buah lindur dari hasil penelitian diperoleh sebesar 31,56% dan 26,17 %. Pati terbentuk dari proses asimilasi dalam tumbuhan yang disebut fotosintesis. Pati terbentuk pada siang hari ketika proses fotosintesis melebihi laju gabungan antara respirasi dan translokasi. Dalam butiran pati, rantai-rantai amilosa
dan
amilopektin
tersusun
dalam
bentuk
semi
kristal,
yang
menyebabkannya tidak larut dalam air dan memperlambat pencernaannya oleh amilase pankreas. Bila dipanaskan dengan air, struktur kristal akan rusak dan rantai polisakarida akan mengambil posisi acak. Hal inilah yang menyebabkan pati mengalami pengembangan dan pemadatan (gelatinisasi). Proses pemanasan pati disamping menyebabkan pembentukan gel juga akan melunakkan dan memecah sel, sehingga memudahkan pencernaanya apabila pati dikonsumsi (Muchtadi 2011). Adapun sifat fisik tepung pati yang diuji meliputi derajat putih, bentuk granula, ukuran granula, suhu gelatinisasi, dan warna tepung pati. Hasil dari pengujian karakteristik fisik tepung pati dapat dilihat pada Tabel 3. Derajat putih merupakan tingkat warna putih dari pati dibandingkan dengan warna putih BaSO4 (100 %). Derajat putih tepung pati buah lindur berdasarkan hasil penelitian mempunyai derajat putih sebesar 37,37%. Nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan derajat putih tepung pati bonggol pisang sebesar 64% (Kumalasari 2005). Hal ini disebabkan oleh senyawa polifenol yang menyebabkan adanya rekasi pencoklatan pada tepung pati buah lindur.
30
Tabel 3 Karakteristik fisik tepung pati buah lindur No
Uji
Keterangan
1
Derajat Putih
37,37%
2
Bentuk Granula
lonjong melebar
3
Ukuran Granula
panjang 11,21 μm lebar 28,9μm
4
Warna
putih kecoklatan
Bentuk granula pati buah lindur adalah lonjong dan melebar pada bagian atas, dengan panjang dan lebar granula antara 11,21μm - 28,9μm. Granula pati umumnya banyak ditemukan pada berbagai jaringan tanaman, mempunyai bentuk, ukuran, keseragaman dan bentuk hilum (sentrik dan eksentrik) yang khas untuk setiap jenis pati, sehingga dapat digunakan untuk identifikasi dari jenis pati (Swinkels 1985). Granula pati mempunyai sifat birefringence, yaitu sifat yang dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi membentuk bidang berwarna jingga dan biru. Adanya warna biru menunjukkan kandungan amilosa dan warna jingga menunjukan adanya kandungan amilopektin. Granula pati buah lindur dapat dilihat pada Gambar 11
A
B
Gambar 11 Granula pati buah lindur perbesaran100 kali (A) dan granula pati di bawah mikroskop polarisasi perbesaran 200 kali (B) Granula pati umumnya tidak larut dalam air dingin. Jika dilakukan pemanasan pati dalam air maka akan terjadi difusi air pada dinding granula pati
31
yang menjadikan pati mengalami pembengkakan. Pada suhu saat pati mengalami pembengkakan inilah yang disebut dengan suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi pati buah lindur adalah 70 0C. Pada pemanasan di atas temperatur inilah granula pati membuka, membentuk gel dari pati di dalam air (Muchtadi 2011). Berbeda dengan pati buah lindur yang dihasilkan, pati dari berbagai sumber karbohidrat dapat dilihat pada Gambar 12.
a Pati Jagung
c Pati Kentang
b Pati Gandum
d Pati Padi
Gambar 12 Bentuk berapa granula pati Sumber: Deutschmann et al. (1992) Berdasarkan Gambar 12 a diketahui merupakan pati jagung yang sebagian besar patinya memiliki bentuk polygonal dengan sudut membulat atau butiran yang hampir bulat, memiliki garis tengah 12-32 μm. Gambar 12 b menunjukan pati gandum yang berukuran 9-50 μm. Memiliki bentuk yang serupa dengan lensa bundar atau jorong, kadang-kadang berbentuk ginjal. Gambar 12c menunjukkan bahwa pati kentang memiliki butiran yang berbentuk bulat telur atau tidak
32 beraturan dengan ukuran bervariasi antara 5-75 μm. Sedangkan Gambar 12 d merupakan gambar pati padi yang berupa butiran kecil dengan ukuran 2-10 μm dan berbentuk poligonal yang bersudut tajam (Deutschmann et al. 1992). Sesuai dengan hasil pengamatan pada pati lindur, diperoleh bahwa dari segi ukuran pati lindur serupa dengan ukuran pati jagung namun dilihat dari bentuk pati lindur tidak mirip dengan keempat pati diatas. Pati lindur memiliki bentuk yang khas yaitu lonjong dan melebar pada bagian atasnya. Buah lindur yang telah dikupas cenderung mengalami perubahan warna akibat adanya reaksi pencoklatan. Adapun gambar perubahan warna yang dialami oleh buah lindur dapat dilihat pada gambar 13 dibawah.
A
B
Gambar 13 Perubahan warna saat dikupas (A) dan (B) buah lindur pada tangan dan setelah dikupas (B) buah lindur diatas nampan. Reaksi pencoklatan pada bahan pangan dapat terjadi secara enzimatik maupun non enzimatik (Winarno 2008). Reaksi enzimatik terjadi karena oksidasi yang dikatalis oleh enzim fenolase. Polifenol oksidase atau polifenolase tergantung dari jenis fenol yang beraksi. Buah lindur mengalami reaksi pencoklatan enzimatik. Terjadinya reaksi pencoklatan diperkirakan melibatkan perubahan bentuk kuinol menjadi kuinon seperti yang terlihat pada Gambar 14.
OH
O OH
O
-2OH oksidasi
kuinol
kuinon
Gambar 14 Reaksi pencoklatan secara enzimatis
33 Warna tepung pati buah lindur yang dihasilkan adalah putih kecoklatan. Selain dipengaruhi oleh reaksi enzimatik yang dialami oleh buah lindur juga dipengaruhi oleh penambahan natrium metabisulfit pada proses pembuatan pati. Penambahan natrium metabisulfit bertujuan untuk mempertahankan derajat putih tepung pati buah lindur. Adanya penambahan natrium metabisulfit dapat mencegah timbulnya warna coklat akibat reaksi anzimatik yaitu dengan adanya reaksi antara natrium metabisulfit dengan enzim. Pati dari berbagai sumber pangan memiliki perbandingan komposisi amilosa dan amilopektin yang berbedabeda. Perbandingan kimia yang meliputi kadar pati, amilosa dan amilopektin dari beberapa jenis pati lainnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Perbandingan kadar pati, amilosa dan amilopektin buah lindur dengan beberapa jenis tepung pati lainnya Komposisi Jenis pati (%) kimia Aren (a) Ubi Kayu Sagu (c) Buah lindur (b)
(d)
Kadar pati
52,14
51,36
58,15
57,73
Amilosa
27,29
17,41
33,05
31,56
Amilopektin
72,21
82,13
25,10
26,17
Keterangan : (a) Irma (1997) (b) Haris (1999) (c) Eveline (2009) (d) Hasil penelitian (2012)
Tepung pati buah lindur memiliki kadar pati yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung pati aren dan ubi kayu. Hal ini menunjukan buah lindur dapat digunakan sebagai sumber pati baru yang potensial. Rasio amilosa dan amilopektin merupakan karakteristik penting dalam menentukan mutu dan fungsional pati. Tabel 4 menunjukkan bahwa kadar pati dan amilosa dari tepung pati buah lindur cukup tinggi, sedangkan kadar amilosa ubi kayu memiliki kadar amilosa terendah yaitu 17,41%.
4.4 Penelitian Lanjutan Penelitian lanjutan dilakukan dengan pembuatan edible film berbasis pati buah lindur dengan konsentrasi terpilih beserta pengujian karakteristik edible film
34 yang dihasilkan. Konsentrasi pati yang digunakan adalah 4%, penambahan gliserol sebagai platicizer sebesar 1% dan 1,5 % dan konsentrasi penambahan karagenan 2 %; 2,5 % dan 3%. Adapun parameter yang yaitu ketebalan edible film, kuat tarik (tensile strength), persen elongasi, dan WVTR (laju transmisi uap air). 4.4.1 Ketebalan Hasil pengukuran ketebalan edible film dapat dilihat pada Gambar 15. Ketebalan merupakan parameter yang sangat penting karena akan berpengaruh terhadap tujuan penggunaanya untuk pengemas atau pelapis produk. Pengukuran ketebalan pada penelitian ini menggunakan alat digital thickness. Ketebalan akan mempengaruhi laju transmisi uap air dan gas sehingga mempengaruhi produk yang dikemas. Semakin tinggi nilai ketebalannya maka sifat edible film akan semakin kaku dan keras. Namun produk yang dikemas akan semakin aman dari pengaruh luar.
Gambar 15 Histogram ketebalan edible film Berdasarkan Gambar 15 dapat diketahui bahwa ketebalan antara antara formula A, B, C, D, E dan F tidak seragam. Ketebalan film formula A, B, C memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ketebalan edible film formula B,C,D. Menurut Park et al. (1996), ketebaln edible film dipengaruhi oleh luas cetakan, volume larutan, dan banyaknya total padatan dalam larutan. Walaupun luas cetakan, volume larutan dan total padatan dalam larutan tidak berbeda antara masing-masing formula namun nilai ketebalan yang dihasilkan
35 berbeda. Hal ini diduga disebabkan oleh sifat gliserol, karagenan dan pati yang sama-sama bersifat hidrofilik sehingga mengikat lebih banyak air yang akan menguap setelah proses pengovenan. Adanya penurunan nilai ketebalan dengan penambahan gliserol dengan konsentrasi yang lebih tinggi dikarenakan gliserol 1% dan karagenan mampu membentuk ikatan molekul sehingga pada saat pemanasan air yang hilang tidak terlalu banyak dibandingakan dengan formula penambahan gliserol sebesar 1,5 % yang kehilangan air lebih banyak sehingga menghasilkan ketebalan edible film yang kecil. Selain itu gliserol menurut Winarno (2008) merupakan senyawa alkohol polihidrat dengan tiga gugus molekul hidroksil sehingga mudah berikatan dengan air dan bila mengalami pemanasan air yang terikat mudah menguap. Menurut Bourtoom (2007) lembaran film terbentuk pada saat proses pengovenan berlangsung dimana terjadi penguapan air sehingga akan terjadi pengkerutan partikel yang akan akan membentuk lembaran film. Proses pembentukan film diawali dengan memudarnya jarak antar partikel yang saling berikatan dalam suatu cairan sehingga setelah terjadi proses penguapan akan terbentuk suatu lembaran film. Nilai ketebalan edible film hasil penelitian lebih kecil dibandingkan dengan nilai ketebalan edible film berbasis pati dari ubi kayu (Harris 2002). Hal ini menunjukkan edible film yang dihasilkan memiliki ketebalan yang lebih baik dibandingkan dengan edible film dari pati ubi kayu. Jika dibandingkan dengan dengan ketebalan edible film dari PVC (Bukle et al. 1987), nilai ketebelan edible film hasil penelitian relatif sama. Nilai ketebalan edible film hasil penelitian lebih besar jika dibandingkan degan nilai ketebalan edible film yang menggunakan gelembung renang (Suminto 2006), edible film dari karagenan (Nurochmawati 2002), edible film dari
kitosan (Nurdiana 2002), edible film dari pati sagu
(Hikmat 1997), dan edible film dari pati aren (Irma 1997), maupun edible film yang terbuat dari polypropylene (Bukle et al. 1987). Adapun nilai perbandingan karakteristik edible film yang meliputi nilai ketebalan, nilai kuat tarik, nilai persen elongasi dan nilai laju transmisi uap air dari berbagai edible film lainnya dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.
36
Tabel 5 Perbandingan karakteristik edible film dengan film lain Sumber Film Tebal Kuat Persen film tarik E (%) (mm) (Kgf/cm2) Hasil Pati buah lindur 0,13132,8817,77penelitian 0,20 168,33 181,21 (2012) Suminto Gelembung 0,01 1173,331-1,55 (2006) renang 2311,11 Kumalasari (2005) Noviariansyah (2004)
Pati bongol pisang: G: PG (10: 2: 1) Gelatin
Nurochmawati Karagenan (2003) Harris (2002)
Nurdiana (2002)
WVTR (g/m2/24jam) 231,23 298,82 69,3
0,137
63,63
33,39
51,28
0,1220,253
20,14-44,4
448,081612,3
404,90693,37
0-15
-
4,99
61,7
18,28
76,56718,7
1,1113,53
448,081612,3
0,00084- 0-14,50 0,00092
Pati ubi kayu : G 0,256 : CMC : BW (10: 3 : 1: 0,5) Kitosan 0,0880,098
Hikmat (1997) Pati sagu : G : CMC (1 : 0,5 : 0,05) Irma (1997) Pati aren : G : CMC (1: 3: 3)
0,079
15,29
138,65
592,71
0,089
17,43
86,32
477,78
Bukle et al. (1987)
PVC
0,150
-
-
2270,24
Polypropylene
0,030
-
-
314,15
4.4.2 Kuat tarik (Tensile Strenght) Salah satu sifat mekanik yang penting dari edible film adalah tensile strength atau kuat tarik karena dapat merefleksikan ketahanan film dan kemampuan pengemas untuk mempertahankan kokompakan makanan. Nilai kuat tarik rata-rata edible film masing-masing dapat dilihat Gambar 16. Nilai kuat tarik formula A, C, D lebih kecil dibandingkan dengan nilai kuat tarik formula D, E, F. Dengan adanya penambahan konsentrasi karagenan akan meningkatkan nilai kuat tarik edible film, karena karagenan mampu
37
membentuk matriks polimer yang kuat dan menjadikan kekuatan tarik intermolekul semakin kuat pada edible film. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan nilai kuat tarik antara formula B dan E, begitu pula antara formula C dengan F. Adanya penambahan gliserol akan mengakibatkan penurunan gaya intermolekul yang akan menyebabkan menurunnya kekuatan tarik yang terlihat antara formula A dan D. Penambahan gliserol yang akan larut dalam tiap-tiap rantai polimer sehingga akan mempermudah gerakan molekul polimer dan bekerja menurunkan suhu transisi gelas. Bila suhu transisi gelas diturunkan maka polimer yang terbentuk makin lunak sehingga kuat tariknya makin rendah. Menurut Park et al. (1996) adanya penambahan gliserol pada pembuatan edible film akan
Kuat tarik (kgf/cm2)
meningkatkan fleksibilitas film yang dihasilkan .
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
168,33 167,74
159,48 164,76 165,53 132,88
A
B
C
D
E
F
Formula Gambar 16 Histogram Kuat tarik Adanya penambahan gliserol, maka jumlah gugus –OH dalam polimer yang akan mengikat uap air semakin meningkat. Uap air inilah yang terikat dalam polimer yang akan menyebabkan film menjadi basah, lengket dan mudah putus (Kumalasari 2005). Dengan adanya penambahan gliserol akan menyebabkan peningkatan CO2 dan permeabilitas uap air (Garcia et al. 2000). Adanya peningkatan konsentrasi karagenan akan mempengaruhi padatan terlarut dalam edible film. Gliserol dan karagenan akan larut dalam tiap-tiap rantai polimer dan mengisi semua ruang sehingga mengurangi gerakan molekul polimer dan akan menaikkan suhu transisi gelas. Bila suhu transisi gelas meningkat maka polimer
38 yang terbentuk akan semakin keras dan kuat tarik yang terbentuk akan semakin tinggi (Garcia et al.1999). Nilai kuat tarik hasil penelitian lebih besar dibandingkan dengan nilai kuat tarik edible film berbasis pati dari sagu, aren dan ubi kayu yaitu berturut-turut sebesar 0,147 Kgf/cm2 , 0,168 Kgf/cm2 dan 0,048 Kgf/cm2. Hal ini menunjukan edible film hasil penelitian memiliki nilai kuat tarik yang baik dan dapat diaplikasikan pada produk pangan.
4.4.3 Persen elongasi (persen pemanjangan) Persen pemanjangan sangat penting dan mengindikasikan kemampuan film dalam menahan beban sebelum film itu putus. Berdasarkan Gambar 17 terlihat adanya perbedaan persen pemanjangan yang diakibatkan oleh adanya perbedaan
Persen pemanjangan (%)
penambahan platicizer. 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
181,21 126,54
52,25
66,92
57,42 17,77
A
B
C
D
E
F
Formula Gambar 17 Histogram persen pemanjangan Hasil penelitian menunjukan semakin besar penambahan platicizer maka persen pemanjanganpun akan semakin bertambah, tetapi setelah penambahan pada konsentrasi tertentu nilainya akan menurun. Gliserol dalam fungsinya sebagai plasticizer menurunkan ikatan kohesi mekanik antara polimer dan dapat merubah sifat rigiditasnya sehingga film yang terbentuk lebih fleksibel. Gliserol memiliki bobot molekul yang kecil sehingga dapat bergabung dalam matriks film dan meningkatkan fleksibilitas serta kemampuan membentuk film (Banker 1996). Semakin banyak konsentrasi platicizer maka ikatan kohesi antar polimer akan semakin kecil dan film yang terbentuk akan lebih lunak sehingga edible film yang
39
terbentuk mudah putus. Dengan adanya penambahan karagenan pada konsentrasi 3% akan menurunkan persen pemanjangan edible film yang dihasilkan yang dapat dilihat pada formula C dan F. Hal ini dikarenakan semakin banyak konsentrasi karagenan yang ditambahkan maka padatan terlarut dalam film semakin meningkat. Dengan semakin meningkatnya karagenan yang larut dalam tiap – tiap rantai polimer maka semua ruang akan terisi sehingga mengurangi gerakan molekul polimer yang akan menaikkan suhu transisi gelas. Bila suhu transisi gelas meningkat maka polimer yang terbentuk akan semakin kaku dan tidak fleksible sehingga mudah patah saat mengalami peregangan (Garcia et al.1999). Nilai persen pemanjangan edible film hasil penelitian bervariasi mulai dari 17,775 hingga 181,21%. Hal ini mirip dengan nilai persen pemanjangan edible film pati sagu, aren dan ubi kayu yaitu berturut-turut sebesar 138,68% ; 86,32% ; dan 61,7% (Tabel 5). Persentase pemanjangan edible film dikategorikan baik jika nilai persen pemanjangannya lebih dari 50%. Hasil penelitian menujukkan nilai persen pemanjangan yang tergolong baik adalah formula A, B, D, E, dan F.
4.4.4 WVTR / Water Vapour Transmissoin Rate (laju transmisi uap air) Laju Transmisi Uap Air (Water Vapour Transmition Rate/WFTR) merupakan laju transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannya rata dengan ketebalan tertentu, sebagai akibat dari suatu perbedaan unit tekanan uap antara dua permukaan tertentu pada kondisi dan suhu tertentu (McHugh dan Krochta 1994). Permeabilitas menyangkut proses pemindahan larutan dan difusi dimana larutan tersebut berpindah dari satu sisi film dan selanjutnya berdifusi ke sisi film yang lainnya. Semakin tebal edible film yang dihasilkan maka maka kemampuan edible film dalam menahan uap air akan semakin baik. Gambar 18 menunjukkan bahwa nilai laju transmisi uap air berkisar 231,23 hingga 298,82. Terlihat pula adanya penambahan nilai laju transmisi uap air seiring dengan adanya penambahan konsentrasi gliserol dan karagenan. Gliserol memiliki gugus hidrofilik yang akan mengurangi kerapatan molekul sehingga terbentuk ruang bebas pada matriks film yang memudahkan difusi uap air (Kumalasari 2005).
WVTR (g/m2/24jam)
40
350 300 250 200 150 100 50 0
273,20 231,23
A
B
298,82
246,06 259,56 256,00
C
D
E
F
Formula Gambar 18 Histogram laju transmisi uap air
Karagenan marupakan salah satu bahan dalam pembuatan edible film yang tergolong hidrokoloid dan umumnya merupakan bahan yang buruk daya tahannya terhadap uap air. Namun edible film ini merupakan penghalang yang baik terhadap O2, dan CO2 dan merupakan edible film yang dapat larut dalam air. Menurut Krochta et al. (1994) permeabilitas dipengaruhi oleh sifat kimia bahan, struktur polimer, kondisi uji dan sifat dari bahan yang akan berdifusi. Sifat karagenan yang hidrofilik menyebabkan edible film yang dihasilkan dapat dengan mudah menyerap uap air (Fransiska 2008). Meskipun nilai laju transmisi uap air hasil penelitian meningkat tetapi nilainya masih cukup rendah jika dibandingkan dengan edible film berbasis pati sagu dan pati aren yang memiliki nilai berturut-turut sebesar 592,71 g/m2/24jam dan 477,78 g/m2/24jam (Lampiran 5). Adapun gambar edible film yang dihasilkan dari enam kode perlakuan yang telah dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 19
a
b
c
Gambar 19 Edible film yang dihasilkan
41
d
e Gambar 19 Edible film yang dihasilkan
Keterangan
:
19 a
: Penambahan Pati 4%, Gliserol 1%, Karagenan 2%,
19 b
: Penambahan Pati 4%, Gliserol 1%, Karagenan 2,5%
19 c
: Penambahan Pati 4%, Gliserol 1%, Karagenan 3%
19 d
: Penambahan Pati 4%, Gliserol 1,5% Karagenan 2%
19 e
: Penambahan Pati 4%, Gliserol 1,5% Karagenan 2,5%
19 f
: Penambahan Pati 4%, Gliserol 1,5% Karagenan 3%
f