4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Ekstraksi Mikroalga Mikroalga diekstrak dengan menggunakan metode ekstraksi soxhlet. Prinsip soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut konstan dan pendingin balik. Pelarut yang digunakan adalah pelarut yang memiliki titik didih yang rendah agar cepat menguap sehingga tidak menyebabkan kerusakan pada alat dan bahan dan juga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan satu sirkulasi ekstraksi (Ketaren, 1986). Faktor – faktor yang mempengaruhi hasil ekstraksi adalah luas permukaan singgung zat pelarut dengan bahan yang akan diekstrak, lama proses ekstraksi, jumlah bahan yang akan diekstrak, dan sifat zat pelarut maupun bahan (Maryanto, 1997). Pada penelitian ini bahan yang diekstrak dihaluskan untuk memperluas permukaan singgung antara pelarut dengan bahan yang diekstrak. Berkaitan dengan lama proses ekstraksi, maka proses ekstraksi dihentikan pada saat pelarut dalam thimble berwarna bening dimana ini sebagai tanda lemak yang terdapat pada mikroalga tersebut telah terekstrak seluruhnya. Karena lemak yang akan diekstrak bersifat non polar maka pelarut yang digunakan harus memiliki polaritas yang sama dengan lemak dan minyak tersebut sehingga lemak tersebut dapat larut. Lemak yang dihasilkan adalah lemak kotor yaitu lemak yang terdiri dari natural lipid dan polar lipid. Natural lipid terdiri dari trigliserida, waxe ester, hidrokarbon, free fatty acids
21
22
dan sterol. Sedangkan polar lipid terdiri dari komponen seperti phospholipids, glicolipid, chlorophyll, dan carotenoids (Winaryo, 2009). 4.2 Persentase Kadar Lemak Diatom Hasil penelitian menunjukan bahwa ketiga spesies diatom yang diekstrak lemaknya memiliki kadar lemak yang berbeda. Perbedaan jenis pelarut juga memberikan perbedaan kadar lemak pada ketiga spesies diatom. Data kadar lemak dari ketiga spesies diatom menunjukan bahwa spesies Chaetoceros gracilis memiliki kadar lemak tertinggi yaitu 10.17 % diekstrak dengan menggunakan pelarut nHeksan dan 12.36 % diekstrak dengan menggunakan pelarut kloroform. Spesies Skeletonema costatum memiliki kadar lemak paling rendah yaitu 6.45 % diekstrak dengan menggunakan pelarut n-Heksan dan 9.25 % menggunakan pelarut kloroform. Kadar lemak dari spesies Thalassiosira sp. adalah 7.80 % menggunakan pelarut nHeksan dan 10.43 % menggunakan pelarut kloroform. Skeletonema costatum memiliki laju pertumbuhan spesifik yang lebih tinggi dibandingkan dua spesies lainnya yaitu 0.51 sedangkan Chaetoceros gracilis memiliki laju pertumbuhan spesifik 0.27 (Triswanto, 2010). Lemak dari mikroalga cenderung berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan, dan berbagai faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi proporsi relatif asam lemak dan total kandungan lipid (Borowitzka, 1987). Jadi semakin tinggi laju pertumbuhan maka semakin rendah kadar lemak dari mikroalga tersebut. Hal ini diduga pada saat laju pertumbuhan kecil maka energi yang digunakan untuk tumbuh dikonversi untuk produksi lemak sebagai cadangan makanan.
23
Berdasarkan hasil persentase kadar lemak dari pelarut n-Heksan dan kloroform menujukan hasil yang berbeda, dimana pelarut kloroform lebih banyak melarutkan lemak mikroalga. Ketika mikroalga diekstrak, maka semua lipid pada mikroalga akan terikut sehingga beberapa jenis alga akan memperlihatkan ekstraksi yang berwarna kehijauan pekat (Winaryo, 2009). Hasil ekstraksi pada penelitian ini menunjukan alga yang diekstrak dengan menggunakan klorofom memperlihatkan hasil ekstraksi yang berwarna hijau pekat. Hal ini disebabkan sifat kloroform yang lebih polar dari n-Heksan sehingga komponen polar lipid seperti chlorophyll dan phospolipid ikut terekstrak (Winaryo, 2009). Hasil dari persentase kadar lemak ketiga spesies diatom dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Persentase kadar lemak (%) ketiga spesies diatom dengan pelarut n-Heksan dan klorofom Pelarut Skeletonema Thalassiosira Chaetoceros Ulangan costatum sp. gracilis 5.99 7.34 10.39 1
n-Heksan
Kloroform
6.61
7.92
10.11
2
6.75
8.14
9.99
3
6.45
7.80
10.17
Rata-rata
0.33
0.34
0.16
St. Dev
9.22
10.58
12.20
1
9.19
10.02
12.34
2
9.34
10.68
12.53
3
9.25
10.43
12.36
Rata-rata
0.07
0.29
0.14
St. Dev
24
4.3 Esterifikasi Sebelum esterifikasi, dilakukan saponifikasi dengan alkali NaOH untuk membentuk free fatty acids. Setelah itu esterifikasi dilakukan dengan mereaksikan trigliserida dengan BF3 methanol menghasilkan fatty acids methyl esters (biodiesel) dengan BF3 sebagai katalis. Katalis digunakan untuk meningkatkan laju reaksi dan rendemen. Proses ini berlangsung pada suhu 60 0C dengan pengadukan menggunakan vortek, untuk meningkatkan frekuensi tumbukan reaktan (Christie, 1993). Proses ini merupakan reaksi dua arah, dimana trigliserida secara bertahap diubah menjadi digliserida, dan kemudian metil esters (Gambar 5).
Sumber : (Christie, 1993) Gambar 5. Reaksi esterifikasi trigliserida dengan BF3 metanol
25
4.4 Identifikasi Fatty Acids Methyl Esters (FAME) Mikroalga Identifikasi fatty acids methyl esters mikroalga dilakukan dengan melihat kromatogram senyawa metil ester asam lemak yang telah direkam selama 30 menit. Karakteristik metil esters asam lemak yang muncul pada spectra massa dicirikan dengan mass to charge ratio (m/z) 74. Selain itu juga dilihat berdasarkan molecular peak yang menunjukan nilai bobot molekul senyawa metil esters asam lemak untuk menentukan nomor karbon pada senyawa metil esters asam lemak. Beberapa metil esters asam lemak yang paling dominan terdeteksi pada diatom adalah metil palmitic (C16:0 ), metil myristic (C14:0 ), dan metil palmitoleic (C16:1 ). Karakteristik metil palmitic (C16:0 ) pada diatom dideteksi berdasarkan base peak (m/z) 270 (Gambar 6), selanjutnya diidentifikasi spectra massanya. Berbeda dengan spectrum metil esters asam lemak jenuh, pada metil palmitoleic (C16:1 ) dideteksi berdasarkan base peak (m/z) 268 (Gambar 7). Terjadi pengurangan bobot molekul dari 270 pada metil palmitic (C16:0 ) menjadi 268 pada metil palmitoleic (C16:1 ). Hal ini menandakan adanya penambahan 1 ikatan rangkap, setiap penambahan 1 ikatan rangkap terjadi pengurangan bobot molekul sebanyak 2 atom dari bobot ikatan asam lemak jenuh sebelumnya (Christie, 2012). Perbedaan juga terjadi pada ion molekul yang mendominasi pada spektra massa, pada asam lemak jenuh puncak dasar dicirikan dengan mass to charge ratio (m/z) 74 sedangkan asam lemak tak jenuh dengan satu ikatan rangkap memiliki puncak dasar dengan mass to charge ratio (m/z) 55 (Christie, 2012).
26
% 74
100.0
74
87
75.0 50.0
55
[M]+
25.0
75 53 83 97
0.0
143
227
171
100
270
200
300
400
500
600
m/z Gambar 6. Spektra massa senyawa metil palmitic (C16:0 ) pada diatom. % 100.0
55
55
75.0 50.0 25.0 0.0
69 5474 81 75
110 100
[M]+ 152
194 200
236 268 300
400
500
600
m/z Gambar 7. Spektra massa senyawa metil palmitoleic (C16:1 ) pada diatom.
4.4.1 Fatty Acids Methyl Esters (FAME) Mikroalga Chaetoceros gracilis Karakteristik metil esters asam lemak dari mikroalga Chaetoceros gracilis yang diekstrak dengan menggunakan pelarut klorofom terdeteksi berkisar antara C14 sampai C24 (Gambar 8). Metil esters ini terdiri atas 3 golongan asam lemak, yaitu SAFA (Saturated fatty acids) 63.05 %, MUFA (Monounsaturated fatty acids) 34.01 %, dan PUFA (Polyunsaturated fatty acids) 2.94%. Kandungan metil esters asam lemak SAFA terdiri atas metil myristic (C14) 20.66 %, metil pentadecanoic (C15 ) 1.61 %, metil palmitic (C16 ) 33.29 %, metil stearic (C18 ) 4.64 %, metil arachidic (C20 ) 0.30 %, metil behenic (C22 ) 0.43 %, dan metil lignoceric (C24 ) 0.69 %,
27
dengan demikian kandungan SAFA terbesar adalah C16 dan C14. Kandungan metil ester asam lemak MUFA terdiri atas metil palmitoleic (C16:1) 31.00 %, dan metil oleic (C18:1) 2.63 %. Karakteristik metil esters asam lemak dari mikroalga Chaetoceros gracilis yang diekstrak dengan menggunakan pelarut heksan terdeteksi berkisar antara C13 sampai C24 (Gambar 9). Metil esters ini terdiri atas 2 golongan asam lemak, yaitu SAFA 44.44 %, dan MUFA 56.42 %. Kandungan metil esters asam lemak SAFA terdiri atas metil tridecylic (C13) 0.32 %, metil myristic (C14) 10.39 %, metil pentadecylic (C15 ) 3.57 %, metil palmitic (C16 ) 15.44 %, metil margaric (C17 ) 0.71 %, metil stearic (C18 ) 9.09 %, metil arachidic (C20 ) 0.69 %, metil behenic (C22 ) 1.83 %, dan metil lignoceric (C24 ) 1.52 %, dengan demikian kandungan SAFA terbesar adalah C16 dan C14. Kandungan metil ester asam lemak MUFA terdiri atas metil palmitoleic (C16:1) 49.42 %, dan metil oleic (C18:1) 6.14 %. Berdasarkan penelitian Renaud et al. (2002) in Hu et al. (2008) kandungan asam lemak Chaetoceros sp. terdiri atas asam myristic (C14) 23.60 %, asam palmitic (C16 ) 9.20 %, asam palmitoleic (C16:1) 36.50 %, asam hexadecadienoic (C16:2) 6.9 %, asam hexadecatrienoic (C16:3) 2.60 %, asam margaric (C17 ) 2 %, dan asam oleic (C18:1) 3 %. Kandungan asam lemak paling dominan pada Chaetoceros gracilis yang dipanen pada fase stasioner adalah asam palmitic (C16 ) 32.83 %, asam myristic (C14) 20.32 %, dan asam oleic (C18:1) 31.05 % (Pratiwi et al., 2009). Mikroalga yang diekstrak dengan pelarut heksan menunjukan perbedaan dengan mikroalga yang diekstrak dengan menggunakan pelarut klorofom, dimana
28
pada pelarut heksan terdeteksi metil tridecyclic dan metil margaric sedangkan pada pelarut klorofom tidak terdeteksi kedua metil asam lemak tersebut. Perbedaan juga terjadi pada kadar SAFA dan MUFA mikroalga Chaetoceros gracilis, pada pelarut klorofom kadar SAFA dan MUFA berturut-turut 63.05 % dan 34.01 %, sedangkan pada pelarut heksan kadar SAFA dan MUFA adalah sebesar 44.44 % dan 56.42 %. 4.4.2 Fatty Acids Methyl Esters (FAME) Mikroalga Skeletonema costatum Karakteristik metil esters asam lemak dari mikroalga Skeletonema costatum yang diekstrak dengan menggunakan pelarut klorofom terdeteksi berkisar antara C13 sampai C24 (Gambar 10). Metil esters ini terdiri atas 3 golongan asam lemak, yaitu SAFA 68.31 %, MUFA 29.59 %, dan PUFA 2.10 %. Kandungan metil esters asam lemak SAFA terdiri atas metil tridecylic (C13) 0.52 %, metil myristic (C14) 41.46 %, metil pentadecylic (C15 ) 2.27 %, metil palmitic (C16 ) 22.36 %, metil margaric (C17 ) 0.28 %, metil stearic (C18 ) 0.88 %, metil behenic (C22 ) 0.16 %, dan metil lignoceric (C24 ) 0.38 %, dengan demikian kandungan SAFA terbesar adalah C14 dan C16. Kandungan metil ester asam lemak MUFA terdiri atas metil palmitoleic (C16:1) 26.68 %, dan metil oleic (C18:1) 2.91 %. Kandungan metil ester asam lemak PUFA terdiri atas metil hexadecadienoic (C16:2) 2.10 %. Karakteristik metil esters asam lemak dari mikroalga Skeletonema costatum yang diekstrak dengan menggunakan pelarut heksan terdeteksi berkisar antara C10 sampai C25 (Gambar 11). Metil esters ini terdiri atas 2 golongan asam lemak, yaitu
3.5
(x10,000,000) TIC C16
3.0
C16:1
2.5
C14
2.0 1.5 1.0 0.5
C18 C18:1
C15
C24
C22
0.0 5.0
7.5
10.0
12.5
15.0
17.5
20.0
22.5
25.0
27.5
Gambar 8. Total ionic current metil esters asam lemak diatom Chaetoceros gracilis dengan pelarut klorofom
29
7.0
(x10,000,000) TIC
C16:1
6.0 5.0
C16
4.0
C14
3.0 2.0 C18 C15
1.0
C24
C22
C20
C13
0.0 5.0
7.5
10.0
12.5
15.0
17.5
20.0
22.5
25.0
27.5
Gambar 9. Total ionic current metil esters asam lemak diatom Chaetoceros gracilis dengan pelarut heksan
30
31
SAFA 63.40 %, dan MUFA 36.60 %. Kandungan metil esters asam lemak SAFA terdiri atas metil capric (C10) 0.40 %, metil lauric (C12) 1.97 %, metil tridecylic (C13) 4.20 %, metil myristic (C14) 14.37 %, metil pentadecylic (C15 ) 11.38 %, metil palmitic (C16 ) 12.83 %, metil margaric (C17 ) 1.65 %, metil stearic (C18 ) 6.63 %, metil arachidic (C20 ) 0.92 %, metil behenic (C22 ) 2.17 %, metil tricocylic (C23 ) 0.38 %, metil lignoceric (C24 ) 6.01 %, dan metil pentacocylic (C25 ) 0.49 %, dengan demikian kandungan SAFA terbesar adalah C14 dan C16. Kandungan metil ester asam lemak MUFA terdiri atas metil palmitoleic (C16:1) 31.15 %, metil oleic (C18:1) 4.73 %, dan metil nervonic (C24:1) 0.72 %, Servel et al. (1993) dalam Winaryo (2009) menyatakan bahwa kandungan asam lemak paling dominan dari spesies Skeletonema costatum terdiri atas asam palmitic (C16 ) 16.50 %, asam myristic (C14) 16.50 %, dan asam arachidic (C20:5 ) 40.70 %. Selain itu juga berdasarkan penelitian Berge (1995) kandungan utama (PUFA) diatom Skeletonema costatum terdiri atas C16:1, C16:2, C16:3, dan C20:5. Mikroalga yang diekstrak dengan pelarut heksan menunjukan perbedaan dengan mikroalga yang diekstrak dengan menggunakan pelarut klorofom, dimana pada pelarut heksan terdeteksi metil capric, lauric, arachidic, tricocylic, dan pentacocylic, sedangkan pada pelarut klorofom tidak terdeteksi metil asam lemak tersebut. Perbedaan juga terjadi pada kadar SAFA, MUFA, dan PUFA mikroalga Skeletonema costatum, pada pelarut klorofom kadar SAFA, MUFA, dan PUFA berturut-turut 68.31 %, 29.59 %, dan 2.10 %, sedangkan pada pelarut heksan kadar
32
SAFA dan MUFA adalah sebesar 63.40 % dan 36.60 %, dan untuk kadar PUFA tidak terdeteksi. 4.4.3 Fatty Acids Methyl Esters (FAME) Mikroalga Thalassiosira sp. Karakteristik metil esters asam lemak dari mikroalga Thalassiosira sp. yang diekstrak dengan menggunakan pelarut klorofom terdeteksi berkisar antara C14 sampai C24 (Gambar 12). Metil esters ini terdiri atas 3 golongan asam lemak, yaitu SAFA (Saturated fatty acids) 67.22 %, MUFA 31.89 %, dan PUFA 0.89 %. Kandungan metil esters asam lemak SAFA terdiri atas metil myristic (C14) 20.93 %, metil pentadecylic (C15 ) 9.13 %, metil palmitic (C16 ) 34.17 %, metil margaric (C17 ) 0.96 %, metil stearic (C18 ) 0.80 %, dan metil lignoceric (C24 ) 1.23 %, dengan demikian kandungan SAFA terbesar adalah C14 dan C16. Kandungan metil ester asam lemak MUFA adalah metil palmitoleic (C16:1) 31.89 %. Kandungan metil ester asam lemak PUFA terdiri atas metil hexadecadienoic (C18:2) 0.89 %. Karakteristik metil esters asam lemak dari mikroalga Thalassiosira sp. yang diekstrak dengan menggunakan pelarut heksan terdeteksi berkisar antara C12 sampai C25 (Gambar 13). Metil esters ini terdiri atas 3 golongan asam lemak, yaitu SAFA 50.43 %, MUFA 48.38 %, dan PUFA 1.19 %.
(x10,000,000) TIC
C14
2.0
1.5 C16:1
C16
1.0
0.5 C15
C13
C17
C18:1 C18
C24
C22
0.0 5.0
7.5
10.0
12.5
15.0
17.5
20.0
22.5
25.0
27.5
Gambar 10. Total ionic current metil esters asam lemak diatom Skeletonema costatum dengan pelarut klorofom
33
(x10,000,000) TIC
C16:1
C14
4.0
C16
3.0
C15
2.0
1.0
C13 C24
C18:1C18 C12 C17
C10
C20
C22 C23
C21
C25
0.0 5.0
7.5
10.0
12.5
15.0
17.5
20.0
22.5
25.0
27.5
Gambar 11. Total ionic current metil esters asam lemak diatom Skeletonema costatum dengan pelarut heksan
34
35
Kandungan metil esters asam lemak SAFA terdiri atas metil lauric (C12) 0.36 %, metil tridecylic (C13) 0.52 %, metil myristic (C14) 11.15 %, metil pentadecylic (C15 ) 13.96 %, metil palmitic (C16 ) 16.64 %, metil margaric (C17) 2.00 %, metil stearic (C18 ) 1.88 %, metil behenic (C22 ) 0.49 %, metil lignoceric (C24 ) 3.26 %, dan metil pentacocylic (C25 ) 0.17 %, dengan demikian kandungan SAFA terbesar adalah C15 dan C16. Kandungan metil ester asam lemak MUFA terdiri atas metil myristoleic (C14:1) 0.38 %, metil pentadecenoic (C15:1) 0.62 %, metil palmitoleic (C16:1) 44.72 %, dan metil oleic (C18:1) 2.66 %. Berdasarkan penelitian Pratoomyot et al. (2005) kandungan asam lemak paling dominan pada Thalassiosira sp. yang dipanen pada fase stasioner adalah asam palmitic (C16 ) 20.67 %, asam myristic (C14) 6.37 %, dan asam palmitoleic (C16:1) 42.02 %. Thalassiosira sp. yang diekstrak dengan pelarut heksan menunjukan perbedaan dengan mikroalga yang diekstrak dengan menggunakan pelarut klorofom, dimana pada pelarut heksan terdeteksi metil lauric, tridecylic, behenic, dan pentacocylic, sedangkan pada pelarut klorofom tidak terdeteksi metil asam lemak tersebut. Perbedaan juga terjadi pada kadar SAFA (Saturated fatty acids), MUFA (Monounsaturated fatty acids), dan PUFA (Polyunsaturated fatty acids) mikroalga Thalassiosira sp., pada pelarut klorofom kadar SAFA, MUFA, dan PUFA berturutturut 67.22 %, 31.89 %, dan 0.89 %, sedangkan pada pelarut heksan kadar SAFA, MUFA dan PUFA berturut-turut sebesar 50.43 %, 48.38 %, dan 1.19 %.
(x10,000,000) TIC
C16
C16:1
1.00
0.75
C14
0.50 C15
0.25 C17
C24
C18
0.00 5.0
7.5
10.0
12.5
15.0
17.5
20.0
22.5
25.0
27.5
Gambar 12. Total ionic current metil esters asam lemak diatom Thalassiosira sp. dengan pelarut klorofom
36
(x10,000,000) 6.0 TIC
C16:1
5.0
C16
4.0
C14
3.0 C15
2.0 1.0 C12
C13 C14:1
C17
C18:1 C18:2 C18
C24 C22
C25
0.0 5.0
7.5
10.0
12.5
15.0
17.5
20.0
22.5
25.0
27.5
Gambar 13. Total ionic current metil esters asam lemak diatom Thalassiosira sp. dengan pelarut heksan
37
38
4.5 Kandungan SAFA, MUFA, dan PUFA pada Ketiga Spesies Diatom Kandungan SAFA pada spesies Skeletonema costatum berkisar antara 63.40 % sampai 68.31 %, kandungan MUFA berkisar antara 29.59 % sampai 36.60 %, dan kandungan PUFA berkisar antara 0 % sampai 2.1 %. Kandungan SAFA pada spesies Chaetoceros gracilis berkisar antara 44.44 % sampai 63.05 %, kandungan MUFA berkisar antara 34.01 % sampai 52.92 %, dan kandungan PUFA berkisar antara 2.64 % sampai 2.94 %. Kandungan SAFA pada spesies Thalassiosira sp. berkisar antara 50.43 % sampai 67.22 %, kandungan MUFA berkisar antara 31.89 % sampai 48.38 %, dan kandungan PUFA berkisar antara 0.89 % sampai 1.19 %. Secara umum SAFA adalah kandungan paling dominan pada ketiga jenis diatom, hal ini serupa dengan penelitian Tonon et al. (2002) dalam Pratiwi et al. (2009) dimana SAFA adalah asam lemak paling dominan dibandingkan MUFA dan PUFA. Kandungan total SAFA, MUFA, dan PUFA dalam mikroalga dapat diubah dengan mengubah kondisi lingkungan dan media kultur (Mansour et al., 2003; Rousch et al., 2003). Suhu lingkungan yang rendah dapat meningkatkan sintesis asam lemak tak jenuh, karena pada suhu rendah ketersediaan oksigen di dalam sel meningkat, dengan meningkatnya ketersediaan oksigen dapat membantu mempercepat proses enzim pada reaksi desaturasi (Chen dan Jiang, 2000).
39
4.6 Perbandingan Fatty Acids Methyl Esters (FAME) pada Ketiga Spesies Fatty Acids Methyl Esters (FAME) yang terdeteksi dari ketiga spesies diatom berkisar antara C10 sampai C25 (Tabel 5). Kandungan yang paling dominan terdeteksi adalah metil myristic (C14:0), metil palmitic (C16:0 ), dan metil palmitoleic (C16:1), sedangkan kandungan terkecil yang terdeteksi adalah metil undecyclic (C11 ). Kandungan FAME paling dominan yang diekstrak dengan menggunakan klorofom pada ketiga spesies yaitu ; metil ester palmitic (C16 ) pada spesies Chaetoceros gracilis dan Thalassiosira sp.,dan metil ester myristic (C14) pada spesies Skeletonema costatum. Sedangkan FAME paling dominan yang diekstrak dengan menggunakan heksan yaitu metil ester palmitoleic (C16:1 ) pada ketiga spesies. Menurut Borowitzka dan Borowitzka (1988) kandungan mayor dari asam lemak Bacillariophyceae (diatom) terdiri atas asam palmitic (C16:0 ), hexadecenoic (C16:1) dan polynoic (C20), sedangkan kandungan minor adalah asam linoleic (C20). Penelitian Pratoomyot (2005) juga menyatakan bahwa kandungan utama asam lemak pada Bacillariophyceae (diatom) adalah C16:1, C16:0, dan C20:5. Hal ini sesuai dengan data FAME diatas yang menyatakan bahwa kandungan asam palmitic (C16:0 ) dan palmitoleic (C16:1) merupakan kandungan utama asam lemak pada Bacillariophyceae (diatom). Trigliserida diproduksi oleh spesies/strain spesifik yang pada akhirnya dikendalikan oleh susunan genetik dari individu organisme, Mikroalga memproduksi trigliserida dalam jumlah yang kecil dibawah pertumbuhan optimal atau pada kondisi lingkungan yang menguntungkan (Hu et al., 2008). Sintesis dan
40
tingginya akumulasi trigliserida yang disertai dengan perubahan yang cukup besar pada komposisi asam lemak, terjadi pada saat mikroalga mengalami kondisi stress baik secara rangsangan kimia dan fisik. Rangsangan kimia yang utama adalah pemiskinan nutrient sedangkan rangsangan fisik utama adalah temperatur dan intensitas cahaya. Selain itu fase pertumbuhan mikroalga juga mempengaruhi trigliserida dan komposisi asam lemak mikroalga. Nutrient yang paling mempengaruhi metabolisme lipid dalam mikroalga adalah nitrogen, dengan pembatasan nitrogen terjadi akumulasi kandungan trigliserida (Hu et al., 2008). Pada diatom silikon merupakan nutrisi yang sama pentingnya dengan nitrogen dalam mempengaruhi metabolisme lipid, Ketika kekurangan silikon proporsi Saturated Fatty Acids (SAFA) dan Monounsaturated Fatty Acids (MUFA) meningkat (Hu et al., 2008). Pembatasan fosfor juga dapat meningkatkan kandungan trigliserida pada spesies Chaetoceros Sp. (Bacillariophyceae), I. Galbana (Prymnesiophyceae), tetapi terjadi penurunan kandungan pada Nannochlorosis atomus (Chlorophyta) dan Tetraselmis sp. (Prasinophyceae) (Hu et al., 2008). Suhu dan intensitas cahaya juga mempengaruhi komposisi asam lemak dari mikroalga. Menurunnya suhu akan meningkatkan asam lemak tidak jenuh sedangkan apabila suhu ditingkatkan akan meningkatkan asam lemak jenuh pada mikroalga. Intensitas cahaya rendah akan menginduksi pembentukan polar lipid terutama yang berkaitan dengan kloroplas sedangkan apabila intensitas cahaya tinggi akan meningkatkan kandungan neutral lipid terutama trigliserida (Hu et al., 2008).
41
Tabel 5. Komposisi fatty acid methyl esters (FAME) dari diatom (persentase dari total fatty acids) FAME
C10:0 C11:0 C12:0 C13:0 C14:0 C14:1 C14:2 C15:0 C16:0 C16:1 C16:2 C16:3 C17:0 C18:0 C18:1 C18:2 C18:3 C19:0 C20:0 C20:1 C20:2 C21:0 C22:0 C22:1 C22:2 C23:0 C24:0 C24:1 C25:0
Chaetoceros gracilis Klorofom Heksan 0.11 0.07
Skeletonema costatum Klorofom Heksan 0.52 0.4
Thalassiosira sp. Klorofom Heksan
1.97 4.2 14.37
20.93
0.36 0.52 11.15 0.38
20.72
0.34 10.39
41.46
1.62 33.41 32.61 2.76
3.57 15.44 49.42 2.56
2.27 22.36 26.68 2.1
11.38 12.83 31.15
9.13 34.17 31.89
13.96 16.64 44.72
4.65 2.63
0.71 9.09 6.14
0.28 0.88 2.91
1.65 6.63 4.73
0.96 0.8 0.89
2 1.88 2.66 1.19
0.3
0.86
0.43
1.83
0.69
1.52
0.92
0.16
0.38
2.17
0.38 6.01 0.72 0.49
0.49
1.23
3.26 0.17
42
4.7 Pengaruh Fatty Acids Methyl Esters (FAME) pada Biodiesel Komposisi kimia biodiesel dan fosil diesel sangat jauh berbeda. Fosil diesel biasanya terdiri dari hidrokarbon aromatik 30-35%, parafin 65-70%, dan trace olefins yang sebagian besar berada pada kisaran C10dan C16. Sedangkan biodiesel mengandung C16 dan C18 metil ester asam lemak dengan satu sampai tiga ikatan rangkap per molekul (Mittelbach dan Remschmidt, 2006). Beberapa parameter biodiesel seperti densitas, bilangan setana, dan kandungan sulfur dipengaruhi oleh jenis minyak yang digunakan. Perbedaan densitas dipengaruhi oleh komposisi asam lemak dan kemurnian bahan baku. Densitas akan meningkat seiring dengan penurunan panjang rantai karbon dan peningkatan jumlah ikatan rangkap pada asam lemak, jadi semakin tidak jenuh minyak yang digunakan maka densitas akan semakin tinggi (Mittelbach dan Remschmidt, 2006). Sama halnya dengan densitas, bilangan setana biodiesel dipengaruhi oleh komposisi metil ester asam lemak penyusun biodiesel. Semakin tidak jenuh asam lemak metil ester yang terkandung dalam minyak maka semakin rendah bilangan setana. Semakin rendah bilangan setana semakin rendah pula kualitas penyalannya. Selain asam lemak tak jenuh, panjang rantai karbon yang menyusun asam-asam lemak juga mempengaruhi bilangan setana (Mittelbach dan Remschmidt, 2006). Hasil penelitian Gorpinath et al. (2009) in Tazora (2011) menyatakan bahwa asam stearat (C18:0) memiliki bilangan setana 85.9, asam palmitat (C18:0) 76.6, asam miristat (C14:0) 66.9, asam laurat (C12:0) 61.1, asam oleat (C18:0) 56.9, asam linoleat (C18:2) 39.2, dan asam linolenat (C18:3) 28.
43
Berdasarkan hasil penelitian, kandungan fatty acids methyl esters pada ketiga spesies dapat mempengaruhi densitas dan bilangan setana biodiesel yang dihasilkan. Kandungan SAFA tertinggi terdapat pada spesies Skeletonema costatum, sehingga dapat disimpulkan Skeletonema costatum memiliki densitas biodiesel yang lebih rendah, sedangkan spesies Chaetoceros gracilis memiliki kandungan MUFA dan PUFA yang lebih besar sehingga memiliki densitas biodiesel yang lebih tinggi. Berbeda dengan densitas, bilangan setana berkaitan dengan kandungan SAFA, semakin tinggi kandungan SAFA semakin tinggi bilangan setana. Dapat disimpulkan spesies Skeletonema costatum memiliki bilangan setana yang lebih tinggi dari ketiga spesies, sedangkan Chaetoceros gracilis memiliki bilangan setana yang lebih rendah dari ketiga spesies.