4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu terukur berkisar antara 22,14 - 26,16oC, suhu optimal terjadi pada hari kedelapan hingga ke sepuluh dengan kisaran suhu 22,39 - 24,67oC. Kisaran salinitasnya 25,34 - 27,65‰, salinitas optimalnya 26,66 - 27,65‰. pH media tumbuh berkisar antara 5,79 - 6,84, dengan pH optimal 6,27 - 6,68. Konsentrasi oksigen (DO) terlarut berkisar antara 0,52 - 1,52 ppm, DO optimalnya 1 - 1,52 ppm. Salah satu faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan biomassa Chaetoceros sp. adalah intensitas cahaya. Cahaya berperan dalam proses fotosintesis. Penelitian skala laboratorium ini mensimulasikan cahaya matahari yang biasanya digunakan oleh fitoplankton dengan daylight lamp berkapasitas 1500 - 2000 lux. Bila dikonversi ke dalam satuan energi (µmol photon.m-2.s-1) maka kapasitas penyinaran daylight lamp selama kultur berlangsung adalah 20,76 - 27,68 µmol photon.m-2.s-1. Nilai tersebut lebih kecil bila dibandingkan dengan cahaya yang optimal di perairan terbuka. Menurut Yuliana (2002), cahaya optimal bagi proses fotosintesis fitoplankton berkisar antara 204,64 - 241,20 µmol photon.m-2.s-1. Pertumbuhan Chaetoceros sp. dapat terlihat dari peningkatan biomassanya yang diukur melalui pengamatan mikroskop dengan bantuan Haemocytometer Neubauer Improved. Nilai biomassa ini dapat dijadikan indikator pertumbuhan yang terjadi selama satu siklus hidup Chaetoceros sp.. Pertumbuhan fitoplankton
25
26
secara umum dapat dibagi menjadi lima fase yang meliputi fase lag, fase eksponensial, fase penurunan kecepatan tumbuh, fase stasioner dan fase kematian (Mata et al., 2010). Selama kultur berlangsung tidak ditemukan adanya fase penurunan kecepatan tumbuh, hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 8 dimana setelah fase eksponensial tidak ada peningkatan biomassa, tetapi yang terjadi adalah fase kematian yang ditandai dengan penurunan biomassa Chaetoceros sp.. Pada fase lag penambahan jumlah densitas Chaetoceros sp. cenderung linear dengan peningkatan konstan dari 10.330 sel/ml menjadi 448.000 sel/ml pada hari ketujuh. Hal tersebut disebabkan karena sel-sel fitoplankton masih dalam proses adaptasi secara fisiologis terhadap media tumbuh sehingga metabolisme untuk tumbuh manjadi lambat. Fase eksponensial terjadi pada hari kedelapan hingga kesepuluh dengan peningkatan biomassa Chaetoceros sp. dari 800.600 sel/ml menjadi 2.480.000 sel/ml (Gambar 8).
Gambar 8. Pertumbuhan Chaetoceros sp. pada fotobioreaktor
27
Fase eksponensial atau fase logaritmik yaitu fase dimana Chaetoceros sp. memiliki laju pertumbuhan tetap. Sel bereproduksi dengan cepat sehingga pertumbuhan populasi mencapai maksimal. Pada hari kesepuluh hingga hari keduabelas terjadi fase kematian sebesar 720.000 sel/ml. Fase ini terjadi akibat kualitas fisik dan kimia kultur berada pada titik dimana sel tidak mampu lagi mengalami pembelahan (kematian). Pada hari keduabelas hingga akhir kultur terjadi kondisi dimana faktor pembatas dan kecepatan tumbuh sama karena jumlah sel yang membelah dan yang mati seimbang, kondisi ini disebut fase stasioner. Keberhasilan kultur ditandai dengan pertumbuhan yang semakin meningkat dari kepadatan biomassa Chaetoceros sp.. Hal tersebut merupakan waktu generasi pertumbuhan Chaetoceros sp., sehingga dapat dikatakan waktu generasi merupakan waktu yang diperlukan oleh Chaetoceros sp. untuk membelah dari satu sel menjadi beberapa sel selama pertumbuhan. Pada penelitian ini kultur dilakukan selama dua minggu, bila diperpanjang tidak akan meningkatkan biomassa karena keterbatasan faktor fisik dan kimia.
4.2 Pertumbuhan Chaetoceros sp. dan penyerapan CO2 Perubahan konsentrasi gas CO2 diamati setiap hari sesuai dengan pengukuran biomassanya (Lampiran 1). Pertumbuhan Chaetoceros sp. dan gas CO2 memiliki hubungan korelasi negatif, dimana peningkatan biomassa diikuti dengan penurunan konsentrasi gas CO2. Penurunan konsentrasi gas CO2 diduga akibat difusi gas CO2 yang terjadi pada saat gas CO2 dialirkan ke dalam fotobioreaktor. Difusi tersebut menghasilkan CO2 terlarut sehingga meningkatkan
28
konsentrasi karbon anorganik terlarut (DIC) pada fotobioreaktor. Karbondioksida terlarut inilah yang dimanfaatkan oleh Chaetoceros sp. dalam proses fotosintesis. Pada awal kultur terjadi peningkatan konsentrasi CO2 dari 7,15% vol. menjadi 8,17% vol.. Hal ini menunjukkan bahwa injeksi CO2 sebesar 7,15% vol. tidak mengalami difusi di dalam fotobioreaktor, bahkan sebaliknya terjadi difusi dari CO2 terlarut dalam fotobioreaktor kembali menjadi gas CO2 menuju penampungan gas. Pada fase lag (adaptasi) hingga fase eksponensial terlihat bahwa konsentrasi CO2 mengalami penurunan yang cenderung konstan (hari ke 2 - 10) dengan kisaran penurunan 0,34 - 0,52% vol.. Rata-rata penurunan konsentrasi gas CO2 selama kedua fase tersebut adalah 0,574% vol. per hari. Setelah itu pada fase kematian (hari ke 10 dan 11), konsentrasi gas CO2 mengalami penurunan terbesar mencapai 1,35% vol. hingga menjadi 1,65% vol.. Hal tersebut diduga akibat tingginya pertumbuhan biomassa (puncak pertumbuhan) yang tidak diikuti dengan ketersediaan CO2 terlarut di dalam fotobioreaktor (keterbatasan CO2). Hubungan pertumbuhan biomassa Chaetoceros sp. dengan konsentrasi CO2 pada fotobioreaktor diperlihatkan oleh Gambar 9.
Gambar 9. Pertumbuhan Chaetoceros sp. terhadap konsentrasi gas CO2
29
Pada fase stasioner konsentrasi gas CO2 tidak lebih dari 1,65% vol. dan penurunan hanya sebesar 0,02% vol. dan 0,19% vol.. Hal tersebut diduga akibat keseimbangan antara ketersediaan CO2 dengan laju pertumbuhan biomassa Chaetoceros sp.. Konsentrasi CO2 akhir sebesar 1,44% vol., mengalami penurunan dari awal kultur sebesar 6,72% vol.. Bila dibandingkan dengan konsentrasi CO2 pada perairan terbuka, konsentrasi CO2 terlarut di perairan pasifik khatulistiwa tertinggi sebesar 750 ppm dan yang rendah sebesar 150 ppm (Beardall dan Stojkovic, 2006). Konsentrasi CO2 terlarut pada fotobioreaktor lebih rendah dengan kisaran 19 ppm hingga 78,5 ppm (Lampiran 1). Perhitungan penyerapan CO2 pada fotobioreaktor perlu dilakukan untuk mengetahui aliran gas CO2 yang terjadi dalam sistem tertutup seperti yang terlihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Penyerapan karbondioksida pada fotobioreaktor Hari ke 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Masuk (% vol.) 7,15 8,17 7,83 7,3 6,87 6,4 5,57 4,83 4,15 3,52 3,0 1,62 1,63 1,44
Penyerapan CO2 Penyerapan CO2 (%) Keluar (% vol.) Serapan (% vol.) 8,17 -1,02 31,92 7,83 0,34 34,75 7,3 0,53 39,17 6,87 0,43 42,75 6,4 0,47 46,67 5,57 0,83 53,58 4,83 0,74 59,75 4,15 0,68 65,42 3,52 0,63 70,67 3,0 0,52 75 1,62 1,35 86,5 1,63 0,02 86,42 1,44 0,19 88 -
30
Berdasarkan Tabel 5, aliran gas CO2 pada sistem tertutup (fotobioreaktor) memiliki konsentrasi awal sebesar 7,15% vol. yang dihitung selisihnya terhadap gas yang keluar dari fotobioreaktor. Kemudian dapat diketahui seberapa besar penyerapan gas CO2 yang dimanfaatkan oleh Chaetoceros sp. pada fotobioreaktor. Sistem tertutup menyebabkan minimnya kemungkinan gas keluar dari sistem sehingga asumsi yang digunakan adalah konsentrasi gas yang keluar dari fotobioreaktor pada hari pertama akan menjadi konsentrasi gas masukan pada hari kedua, dan seterusnya. Selisih konsentrasi yang terjadi diduga akibat difusi gas CO2 ke dalam media tumbuh (air laut), hasil difusi gas tersebut secara langsung dimanfaatkan oleh Chaetoceros sp. untuk fotosintesis karena tidak ada persaingan dengan spesies yang lain. Oleh karena itu selisih tersebut dianggap sebagai penyerapan CO2 oleh Chaetoceros sp.. Pada awal kultur (hari ke 0) tidak terjadi penyerapan CO2, ditunjukkan dengan negatifnya nilai penyerapan -1,02% vol.. Hal ini diduga akibat masuknya gas CO2 yang melimpah dan tidak diimbangi dengan kepadatan biomassa Chaetoceros sp. sebesar 10.330 sel/ml. Berbeda dengan hari berikutnya, penyerapan gas CO2 meningkat sebesar 0,34% vol. yang diduga akibat pemanfaatan CO2 oleh Chaetoceros sp. dalam fotobioreaktor. Pada hari kedua hingga kelima adalah fase lag (adaptasi), hasil pengukuran outlet gas CO2 sebesar 7,83 - 5,57% vol. dengan laju penyerapan 0,43 - 0,83% vol. dari injeksi yang diberikan pada fotobioreaktor. Pada hari kesepuluh, 1,35% vol. gas CO2 terlarut dengan penyerapan sebesar 46% dari injeksi pada hari ke-10. Selanjutnya pada fase stasioner penyerapannya berkisar antara 0,02 0,19% vol.. Selama kultur berlangsung penyerapan CO2 tertinggi oleh
31
Chaetoceros sp. terjadi pada fase eksponensial (hari kesepuluh) sebesar 1,35% vol. diikuti dengan peningkatan biomassa sebesar 960.000 sel/ml akibat kecepatan reproduksi sel yang maksimal. Pada penelitian ini, dalam satu siklus fotobioreaktor (14 hari) Chaetoceros sp. mampu menyerap 10,56% vol. CO2 dari total 12% vol. CO2 yang diinjeksikan ke dalam fotobioreaktor dengan laju penyerapan rata-rata 0,56% vol. CO2 per hari.
4.3 Pengaruh nutrien (nitrat, nitrit, fosfat dan silikat) terhadap pertumbuhan Chaetoceros sp. Nutrien dalam jumlah yang sedikit di perairan menjadi faktor pembatas. Pada penelitian ini pengukuran nutrien dikhususkan kepada nitrat, nitrit, fosfat dan silikat (Lampiran 2). Nitrat adalah senyawa anorganik yang berperan sebagai nutrisi makhluk hidup autotrof untuk tumbuh dan berkembang (Alaerts, 1987). Nitrit bersifat toksik, peningkatan konsentrasi nitrit dapat menyebabkan penurunan biomassa Chaetoceros sp.. Fosfat berperan dalam proses metabolisme serta transfer energi di dalam sel (Boyd, 1982). Silikat lebih banyak digunakan oleh diatom dalam pembentukan dinding sel. Ketersediaan nutrien pada fotobioreaktor sangat terbatas, hal ini dikarenakan sistem batch (tertutup), dimana tidak adanya pergerakan massa air yang membawa sejumlah nutrien, gas dan organisme lain ke dalam fotobioreaktor. Pertumbuhan Chaetoceros sp. pada penelitian ini memiliki hubungan korelasi negatif terhadap nitrat, artinya pertumbuhan biomassa Chaetoceros sp. berbanding terbalik dengan peningkatan konsentrasi nitrat (Gambar 10).
32
Gambar 10. Pertumbuhan Chaetoceros sp. terhadap nitrat, nitrit dan fosfat
Pada awal kultur, konsentrasi nitrat berkisar antara 1,37 µmol/kg sampai dengan 1,51 µmol/kg. Namun pada hari kedelapan dan seterusnya berkurang menjadi 1,24 µmol/kg hingga 0,69 µmol/kg. Nitrat adalah hasil proses nitrifikasi oleh bakteri Nitrosomonas sp. yang mengoksidasi nitrit (Hendersen dan Markland, 1987). Proses tersebut diduga akibat ketersediaan oksigen yang melimpah pada fotobioreaktor. Pada saat kultur, penurunan biomassa Chaetoceros sp. akan mengurangi ketersediaan oksigen pada fotobioreaktor, sehingga nitrat yang dihasilkan dari proses nitrifikasi juga berkurang. Menurut Mackentum (1969), konsentrasi nitrat yang optimal untuk pertumbuhan fitoplankton pada perairan laut berkisar antara 3,9 mg/L (82,71 µmol/kg) hingga 15,5 mg/L (328,73 µmol/kg), sedangkan pada fotobioreaktor konsentrasi nitrat jauh lebih kecil dengan kisaran 0,69 µmol/kg hingga 1,51 µmol/kg. Gambar 10 menunjukkan keterkaitan antara nitrit dengan pertumbuhan biomassa Chaetoceros sp. adalah korelasi positif dimana peningkatan konsentrasi nitrit diikuti dengan penurunan biomassa Chaetoceros sp.. Hal ini diduga akibat
33
nitrit yang bersifat toksik menyebabkan kematian Chaetoceros sp. sehingga biomassanya mengalami penurunan seperti yang terlihat pada hari kesepuluh hingga keduabelas. Pada awal kultur konsentrasi nitrit adalah 0,106 µmol/kg dan terus bertambah hingga mencapai 4,75 µmol/kg. Bila dibandingkan dengan perairan terbuka, menurut Effendi (2003) pada perairan alami konsentrasi nitrit sekitar 0,001 mg/L (0,02 µmol/kg), sulit menemukan nitrit dengan konsentrasi melebihi 1 mg/L (21,21 µmol/kg). Hal tersebut menunjukkan konsentrasi nitrit pada fotobioreaktor lebih tinggi dari perairan alami tetapi tidak menyebabkan kematian massal bagi fitoplankton karena kurang dari 0,5 mg/L (10,6 µmol/kg). Fosfat memiliki hubungan korelasi negatif dengan kelimpahan biomassa Chaetoceros sp.. Hal tersebut terlihat dari penurunan konsentrasi fosfat sejak hari pertama kultur (10,67 µmol/kg) hingga pada akhir kultur menjadi 1,94 µmol/kg. Penurunan konsentrasi fosfat pada fotobioreaktor diduga akibat pemanfaatan fosfat oleh fitoplankton untuk transfer energi di dalam sel (Effendi, 2003). Hal tersebut menyebabkan konsentrasi fosfat pada fotobioreaktor lebih tinggi daripada konsentrasi nitrat dan nitrit. Kandungan fosfat yang terdapat di perairan umumnya tidak lebih dari 1,03 µmol/kg, kecuali pada perairan yang menerima limbah dan pemupukan fosfat (Perkins, 1974). Pada fotobioreaktor konsentrasi fosfat berkisar antara 1,94 µmol/kg hingga 10,67 µmol/kg, lebih tinggi daripada perairan terbuka. Fosfat yang optimal untuk pertumbuhan fitoplankton berkisar antara 2,77 µmol/kg hingga 56,58 µmol/kg (Mackentum, 1969). Pada kultur fotobioreaktor terlihat bahwa silikat dan Chaetoceros sp. memiliki hubungan korelasi negatif, artinya peningkatan kelimpahan Chaetoceros sp. diikuti dengan penurunan kadar silikat seperti yang terlihat pada Gambar 11.
34
Gambar 11. Pertumbuhan Chaetoceros sp. terhadap silikat
Hal ini diduga akibat pemanfaatan silikat oleh Chaetoceros sp. untuk pembentukan dinding sel. Konsentrasi silikat mengalami penurunan dari 268,50 µmol/kg hingga 98,98 µmol/kg seperti yang terlihat pada Gambar 11. Pada perairan terbuka, konsentrasi silikat tertinggi sebesar 17,8 mg/L (289,43 µmol/kg) terdapat di sungai dan terendah 0,128 mg/L (2,08 µmol/kg) di perairan Okinawa (Mkadam et al., 2005).
Menurut Kamatani dan Takano (1984), konsentrasi silikat air laut Teluk Tokyo adalah 0,280 mg/L (4,55 µmol/kg). Bila dibandingkan dengan konsentrasi silikat air laut, fotobioreaktor memiliki konsentrasi silikat yang cukup tinggi. Hal ini diduga akibat pemupukan silikat pada awal kultur serta dipengaruhi oleh salinitas dengan kisaran antara 25 - 27‰. Selain itu juga diduga akibat perbedaan kepadatan diatom (Chaetoceros sp.) pada fotobioreaktor lebih tinggi karena volumenya yang terbatas. Konsentrasi nitrogen (penjumlahan antara konsentrasi nitrat dan nitrit) pada fotobioreaktor lebih rendah bila dibandingkan dengan
35
konsentrasi fosfat dan silikat sehingga nitrogen merupakan faktor pembatas pada pertumbuhan Chaetoceros sp..
4.4 Pertumbuhan Chaetoceros sp. dan sistem karbonat dalam fotobioreaktor Karbon sangat penting keberadaannya bagi Chaetoceros sp. sebagai pembentuk asam amino (nutrisi) yang berperan di dalam metabolisme. Karbon anorganik terlarut (DIC) adalah total karbon terlarut yang diperoleh dari penjumlahan senyawa karbon seperti CO2, CO3, HCO3 dan H2CO3. Oleh karena itu perubahan konsentrasi senyawa karbon sangat berpengaruh terhadap konsentrasi DIC. Semakin tinggi penyerapan CO2 oleh Chaetoceros sp. maka akan menyebabkan penurunan konsentrasi DIC di dalam fotobioreaktor. Selama kultur Chaetoceros sp. pada fotobioreaktor, pengukuran karbon anorganik terlarut dan karbon organik partikulat hanya dilakukan tiga kali (Lampiran 3). Karbon anorganik terlarut (DIC) adalah karbon yang belum dimanfaatkan oleh fitoplankton. Hasil pemanfaatan karbon anorganik oleh fitoplankton akan meningkatkan biomassa Chaetoceros sp. dan menghasilkan karbon organik partikulat (POC). Pada penelitian ini hubungan antara pertumbuhan Chaetoceros sp. dengan DIC dan POC terlihat pada Gambar 12. Peningkatan konsentrasi POC dari 0 µmol/kg hingga mencapai 1.550 µmol/kg diikuti dengan peningkatan biomassa Chaetoceros sp. serta penurunan kadar DIC dari 918 µmol/kg menjadi 27,36 µmol/kg. Hal ini menunjukkan bahwa karbon anorganik dimanfaatkan oleh Chaetoceros sp. untuk pertumbuhannya. Selanjutnya, peningkatan kelimpahan Chaetoceros sp. akan menghasilkan POC melalui proses mortalitas.
36
Gambar 12. Pertumbuhan Chaetoceros sp. terhadap POC dan DIC
Hubungan antara DIC dengan POC adalah salah satu proses kesetimbangan karbon yang tidak hanya terjadi di alam tetapi juga di dalam fotobioreaktor, terbukti dengan peningkatan konsentrasi salah satu parameter akan berdampak sebaliknya (penurunan) pada parameter yang lain sehingga total karbon tetap terjaga. Hasil pengukuran karbon pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Clark dan Flynn (2000) mengenai penyerapan karbon oleh Thalassiosira pseudonana yang menunjukkan terjadinya peningkatan karbon organik (POC) seperti yang terlihat pada Gambar 13. Jadi, pada sistem karbonat tertutup ini (fotobioreaktor), proses injeksi gas CO2 yang masuk ke dalam fotobioreaktor akan terlarut menjadi karbon anorganik (DIC) kemudian diserap oleh Chaetoceros sp., dan menghasilkan karbon organik partikulat (POC). Mengingat bahwa pada hari ke-10 terjadi pertumbuhan optimal biomassa Chaetoceros sp., maka aliran karbon dalam sistem tertutup ini menjadi fokus pembahasan selanjutnya.
37
Sumber : Clark dan Flynn (2000) Gambar 13. Hasil pengukuran karbon pada kultur Thalassiosira pseudonana
Laju injeksi sebesar 0,5 liter per menit dari penampungan gas yang berkapasitas 118 liter, artinya dalam satu hari mengalir 720 liter gas ke dalam fotobioreaktor. Gas tersebut adalah campuran antara gas CO2 (12%) dan N2 (88%). Injeksi gas CO2 pada hari ke-10 sebesar 3% vol., sedangkan yang keluar (hari ke-11) 1,65% vol., sehingga gas CO2 yang diserap adalah sebesar 1,35% vol. atau 9,72 liter total yang dimanfaatkan oleh Chaetoceros sp. pada hari ke-10. Selanjutnya 9,72 liter CO2 tersebut terlarut menjadi DIC yang direpresentasikan oleh konsentrasi DIC sebesar 0,33 mgC/L. Pada waktu yang hampir bersamaan, Chaetoceros sp. melakukan fotosintetis untuk pertumbuhannya, dimana terjadi penambahan 960.000 sel/ml dari hari ke-9. Produksi sampingan aktivitas proses biologis (mortalitas) adalah POC, dimana nilainya sebesar 18,97 mgC/L pada hari ke-10. Jadi, dalam sistem tertutup ini DIC cenderung turun dan diikuti oleh peningkatan POC sejak hari ke-0. Hal ini memungkinkan akibat proses dekomposisi belum sempat terjadi dalam siklus 14 hari ini.