#30 The Reunion (Reuni) Terbit Juni 1999, ghostwriter Elise Donner
Quote sampul depan : “Lakukanlah sebuah perubahan… Bagi keadaan yang lebih baik.”
Translated by Nat. 2009
[email protected]
Chapter 1 Terjadi lagi. Tidak bisa kupercaya, hal itu terjadi lagi. Seorang wanita tenggelam. Bukan seorang pemimpin pasukan alien yang ditakuti. Hanya seorang wanita. Sendirian di tengah ombak yang bergulung-gulung. Tidak berdaya. Tidak terlindungi. Ibuku. Aku tak akan membiarkan hal itu terjadi lagi. Aku berenang menuju dirinya. Lenganku menegang di setiap hempasan. Kaki-kakiku menendang liar. Bertahanlah. Bertahanlah! Begitu dekat. Cukup dekat untuk melihatnya berjuang sekuat tenaga mempertahankan kepalanya di atas permukaan air yang dingin dan gelap. Lalu aku mencapainya, satu lengan mengelilingi bahunya, yang satu lagi bergerak terus agar kami tetap mengapung. “Bertahanlah!” Teriakku. “Aku sudah memegangmu!” Dia menoleh ke arahku, rambut yang basah menempel di mukanya. Lalu dia bicara. “Terima kasih, Marco.” “Mom…” “Aku bebas, Marco. Aku bebas!” Dan kemudian arus yang kuat merenggutnya dariku dan mengisap tubuhnya ke bawah permukaan laut malam yang berkilauan. “Jangan! Jangan, jangan, jangan!” Aku menyelam. Garam menyengat mataku. Aku mendorong tubuhku makin dalam ke kegelapan. Paru-paruku kesakitan tapi aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi lagi. Aku tidak akan membiarkannya pergi! Tidak setelah dia sudah bebas. Tidak… “TIDAK!” “Marco, Kamu oke?”
Aku langsung duduk tegak seperti papan. Di mana…? Tempat tidurku, kamarku. Ayahku. Aku meletakkan tangan di kepalaku dan menoleh ke arah foto ibuku yang terletak di atas nahkasku. “Kamu oke?” ulangnya. Tidak. Sama sekali. “Yeah. Yeah. Mimpi buruk, kayaknya.” “Tentang dia?” Aku menelan keras. “Yeah.” Dad duduk di pinggir tempat tidur dan memelukku. Aku membalas memeluknya dengan lemah. Menepuk punggungnya. “Aku oke, ‘Yah,” kataku. “Jam berapa sekarang?” “Waktunya bangun dan siap-siap,” jawabnya. “Aku yang mandi duluan. Aku harus masuk pagi hari ini.” Mataku mengikuti ayahku keluar ruangan. Tapi bukannya bangkit dan turun ke bawah untuk semangkuk Honeycomb, aku tetap duduk di bed cover-ku yang berantakan dan sedikit lembab, terlalu lemas untuk bergerak. Namaku, seperti yang mungkin sudah kamu ketahui, adalah Marco. Dan seperti inilah permulaan hari Jumatku. Bukan cara terbaik untuk menyapa hari terakhir dari minggu yang panjang. Tapi tidak terlalu aneh. Mimpi tentang rasa takut dan kehilangan dan harapan yang memudar. Sebelum ibuku jatuh ke tangan musuh, sebelum aku mengetahui invasi Yeerk ke Bumi, hidupku lumayan tenang. Biasanya aku khawatir tentang apakah aku sudah memberikan cukup petunjuk soal kaset Sega mana yang kuinginkan untuk hadiah ulang tahunku pada saat makan malam. Bukan tentang sesuatu seperti perbudakan ras manusia. Masa-masa itu. Atau, seperti yang Ayah bilang, “Salad days.” Aku tidak yakin tadi itu artinya apa – ‘salad days’ – tapi dia sering mengatakannya. Lagipula aku bukan penggemar salad, kecuali ditaburi roti crouton1.
1
Semacam roti yang dipotong dadu, dianggang atau dibakar ulang biar garing. Biasa untuk tambahan salad.
Biar begitu, akan kusingkat ceritanya untukmu. Sesingkat mungkin. Ibuku – ibuku yang cantik, ber-senyum indah, dan pintar – berlayar dengan perahu kami pada suatu malam dan tidak pernah kembali. Mereka menemukan perahunya. Mereka tidak menemukan tubuhnya. Dia dianggap telah tenggelam. Tampa penjelasan atas mengapa dia melakukan hal seaneh membawa perahu sendirian. Pada malam hari. Maksudku, ibuku bukan tipe-tipe orang yang mau bunuh diri. Lanjut. Teman-temanku – Jake, Rachel, Cassie dan Tobias – dan aku, mengalami semacam kesialan khusus sehingga kami bertemu seorang pangeran prajurit Andalite sekarat yang memberitahu kami tentang para Yeerk beserta invasi mereka. Dia memberikan hadiah sekaligus kutukan untuk bisa bermetamorfosis kepada kami, sebuah teknologi Andalite yang membuat kami bisa menyerap DNA binatang manapun dan menjadi – morf – menjadi binatang itu. Itulah senjata pamungkas kami. Senjata lainnya adalah kecerdikan, keberanian dan kerahasiaan. (Dan untukku, ke-cute-an yang tidak bisa ditolak.) Lalu, Aximili-Esgarrouth-Isthill. Adik laki-laki Pangeran Elfangor, bergabung dengan kami. Lanjut. Hal ini terjadi lama setelah aku mengetahui bahwa ibuku tidak jatuh dari kapal dan tenggelam melainkan sudah disusupi seorang Yeerk yang dikenal sebagai Visser One, pelopor invasi Yeerk ke Bumi. Aku bicara tentang saat dimana aku melihat tubuhnya yang lemah dan telah disusupi Yeerk mengambang tengkurap waktu pangkalan bawah laut Yeerk hancur. Sejak saat itu aku sudah menghabiskan waktu sekitar, oh, setrilyun jam bertanya-tanya apakah ibuku bisa selamat. Rachel mendengar kapal selam berdengung waktu itu. Dan aku melihat Pengendali-Leeran berenang menghampiri tubuh ibuku yang mengambang. Jadi ada kemungkinan dia tetap hidup, kemungkinan bahwa Leeran itu sudah membawanya ke kapal selam dan pergi. Setidaknya, itulah yang kupercayai. Tapi di samping itu aku sadar bahwa kemungkinan dia berhasil mencapai kapal selam itu tidaklah besar. Kamu bisa mengerti sekarang mengapa terkadang rutinitas sehari-hariku menjadi benarbenar menyebal… Maksudku, lima orang yang kurang lebih masih anak-anak, satunya lebih mirip burung daripada anak laki-laki, ditambah satu kadet Andalite diharuskan menyelamatkan dunia dari sepasukan parasit mirip-siput yang jahat? Berapa angka persentase hal itu akan terjadi?
Para Yeerk itu seperti parasit. Mereka menggeliat masuk ke liang telingamu dan dari sana, menyusup ke setiap sudut dan celah otakmu. Mereka memegang kontrol penuh dari pikiran dan tindakanmu. Mereka tetap membuatmu sadar dan hidup – tapi sama sekali tidak berdaya untuk bicara sendiri. Kamu dikurung di dalam semacam penjara otak sementara Yeerk itu mengambil alih setiap aspek kehidupanmu. Yeerk itu mengontrol penuh. Mengontrol penuh. Mereka menggerakkan matamu dan tanganmu dan kakimu. Mereka bicara dengan suaramu. Mereka membuka memorimu dan membacanya seperti buku. Setiap memori. Setiap rahasia. Yeerk di kepala ibuku bisa membaca memorinya dan melihat apa yang ibuku lihat saat dia mengayomiku di ranjang bayiku, dulu, dulu sekali. Yeerk itu bisa melihat memori tentang aku yang meangis karena tumitku lecet. Memori sarapan yang penuh keluhan dengan ayahku dan aku. Memori obrolan ‘burung-burung dan lebah’ yang sangat memalukan. Yeerk itu melihat semuanya. Yeerk yang memegang jabatan sebagai Visser One. Pemimpin asli invasi ke Bumi. Yeerk yang memperbudak ibuku. Karena invasi ini hidup kami berubah menjadi pertarungan sengit dan kelolosan yang nyaris-nyaris. Pengalaman yang menghancurkan mental dan meretakkan tulang. Kamu bisa lihat kenapa hari-hariku berbelok dramatis jadi lebih buruk. Saat ayahku pergi bekerja, aku mandi dan bersiap-siap dengan segala keinginan untuk pergi ke sekolah. Benar, lho.
Chapter 2 Dengan muka yang bersih dan rambut yang ditata aku pergi menuju halte bus sekolah. Dan berjalan melewatinya. Malahan aku naik bus yang menuju ke kota. Bukit-bukit jalanan yang merupakan pusat keuangan dan bisnis kota kami sepertinya cocok sebagai tempat untuk menghabiskan waktu. Untuk kabur tanpa mengambil resiko bertemu dengan orang yang mengenaliku. Ada bioskop di sana. Kupikir aku akan melihat-lihat sampai aku menemukan pertunjukan apalah yang berisik dan menyenangkan. Dua puluh menit kemudian aku turun dari bus, bersama tiga puluh pria dan wanita kantoran di pusat orang-orang bersetelan biru. Hari masih pagi tetapi matahari sudah memanggang jalanan, dan gas buangan mobil, truk serta bus menyebar seperti selimut kotor nan bau di atas hutan beton dan besi. Pilihan bagus, Marco. Seharusnya aku pergi ke pantai. Aku mematung di pinggir jalan dan bengong. Sekumpulan manusia yang penuh sesak. Aku pernah mendengar frase itu sebelumnya, dan baru sekarang aku tahu apa artinya. Artinya ‘pekerja kantoran pada jam kerja.’ Kenapa harus cepat-cepat? Apa orang dewasa memang sebegitu senangnya pergi kerja? Atau hari Jumat itu hari donat gratis di kantor? THWACK! Aku jatuh! Lututku menghantam trotoar dan mukaku mendarat di pot tanaman penuh puntung rokok dan cangkir kopi sisa. Musuh! Aku mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan berikutnya. Tapi tidak ada apa-apa. Aku pun menoleh ke atas. Tidak ada yang memerhatikan kalau aku sudah dipukul jatuh. Aku berdiri, tercengang. Aku menggosok sisa-sisa abu, debu, dan kopi basi dari wajahku dengan bagian bawah kaosku. Aku merasa jijik. Dan marah.
Seorang wanita sudah menabrakku dengan tasnya yang super besar. Lalu dia terus berjalan seperti tidak ada yang terjadi. Dan tidak seorangpun berhenti untuk menolongku. “Padahal mereka bilang generasiku nggak punya tata karma,” gumamku. Aku mengecek diri sendiri dengan cepat – tidak ada yang terluka parah kecuali harga diriku – dan mulai bersiap mengikuti wanita yang dengan kejamnya menabrakku. Wanita ini punya janji dengan trotoar kotor, berbasa-basi dengan Saucony Cross Trainer2 yang ditempatkan secara strategis. Aku berhasil mengejarnya setelah sekitar setengah blok dan mengekornya beberapa kaki di belakang. Menunggu kesempatan. Tasnya itu cukup besar untuk dimasuki Doberman dan dibuat untuk melukai, dengan sudut-sudut besi dan kunci kombinasi besar di satu sisi. Lagipula kenapa sih rambutnya? Wanita itu memakai wig pirang keriting yang kaku. Coba pikirkan sebuah lapisan wol-besi. Setelah digunakan. Sedikit dicarik-carik. Dan kuning. Aku melihat titik terbaik untuk melancarkan aksi balas dendamku. Aku menyusuri keramaian dan bersembunyi di belakang sebuah dinding bata yang besar sekitar satu yard3 di depan, tepat di ujung gedung pengadilan. Ketika Wanita Wig itu lewat – bingo, bango! BAM! Dia tak akan bisa berkutik. Aku mengintip dari belakang pilar untuk melihat seberapa dekat dia dengan kakiku yang menjulur. Lalu aku mencubit pipiku sendiri untuk berhenti berteriak. Wanita dengan rambut pirang jelek dan tas besar itu… Adalah ibuku! Visser One! Aku mundur ke balik dinding dan menarik topi South Parkku menutupi mata. Dia melewatiku. Tidak melihatku. Ibuku masih hidup!
2 3
Merek sepatu yang dipakai Marco 1 yard = 0,9 meter. Yah, hitung-hitung semeter lah…
Aku mengambil nafas dalam-dalam dan mencoba memahami fakta ini. Dia sudah meloloskan diri dari kehancuran kompleks Yeerk bawah air. Kelegaan dan kebahagiaan dan ketakutan menyerbu. Dia masih hidup! Tapi dia sangat berbahaya. Sangat, sangat berbahaya. Berpikir, Marco. Dia hidup tapi… penyamaran itu. Setelan biru elektrik. Wig pirang keriting. Lensa kontak biru di belakang kacamata berbingkai hitam. Tas super besar. Kenapa menyamar? Untuk bersembunyi. Dari siapa? Haruskah aku mengikutinya? Mencari teman-temanku? Aku masih bisa ke sekolah sebelum bel selanjutnya. Mungkin. Tapi nanti aku akan kehilangan ibuku lagi. Dan Visser One. Aku memerhatikan tubuh ibuku berjalan menyusuri jalanan. Ketika dia hendak berbelok, aku mengikutinya. Di blok selanjutnya aku melihat dia menaiki tangga menuju pintu depan Menara Sutherland, bangunan tertinggi di kota. Dia masuk dan menjejalkan tasnya ke dalam satu kompartemen pintu putar. Aku berlari menaiki tangganya, menunggu satu putaran lagi dari pintu berpinggiran kuningan itu, lalu mengikutinya ke dalam. Lobinya setinggi sekitar tiga lantai. Di belakang sebaris satpam, air mengalir turun dari dinding marmer pink ke dalam kolam yang disinari lampu. Visser One menunjukkan semacam tanda pengenal dan satpam-satpam itu membiarkannya lewat. Aku tidak punya tanda pengenal. Ditambah lagi, aku anak kecil. Para satpam sudah melihatku masuk, dan sekarang mereka memandangiku seakan aku ini seratus persen tidak-baik. Kalau aku salah bergerak sedikit saja mereka pasti akan menggangguku. Lalu sang Visser akan menoleh untuk melihat keributan itu dan aku akan berada dalam masalah yang amat, sangat besar. Visser One akan mengenaliku sebagai anak dari induk semangnya. Jadi aku berdiri saja. Berhenti di sebelah pintu putar dan menunggu orang selanjutnya masuk. Siapapun itu, DNAnya milikku.
Chapter 3 Pintu putarnya bergerak. Langkah kaki di belakangku. Aku menoleh. “Hei, Dad!” Kataku. “Kenapa lama banget?” Pria itu gemuk, berbaju bagus, dan terkejut. Tapi dia memegang kartu identitasnya di satu tangan, dan aku memegang tangan yang satunya, dan sebelum dia menyadarinya, trance penyerapan DNA sedang berlangsung. “Halo, Mr. Grant,” kata satpam yang rambutnya berminyak. “Ini ‘Hari Ayah Membawa Anaknya ke Tempat Kerja’!” Kataku riang saat aku menggiring Mr. Grant yang melamun melewati mereka. “Well, kalau begitu, nak, hati-hati! Ayahmu itu orang penting lho!” “Yessir!” Balasku. Antusiasme kekanak-kanakkanku bekerja seperti mantra. Aku menyadari kalau kamu bertindak seperti orang bodoh, orang dewasa biasanya meninggalkan kamu sendirian. Kalau mereka pikir kamu sepintar mereka, kamu akan kesusahan. Aku membawa Mr. Grant ke lift. Untuk memperjelas, aku sama sekali tidak punya keinginan morf menjadi orang ini. Aku hanya membutuhkannya untuk membawaku melewati satpam dan naik lift. Dimana Visser One sedang berdiri di samping tas metal raksasanya. Mr. Grant pun sadar. Aku melepaskan tanganku. “Ya ampun,” gumamnya, menaruh tangannya di perut. “Donat selainya tidak tenang di dalam.” Aku menoleh pada Mr. Grant sambil memasang cengiran idiot Adam Sandler. Bekerja seperti mantra. Mr. Grant membuang pandangan dan menunggu liftnya dengan sabar beserta orang-orang bersetelan lainnya. Aku menarik topi menutupi mukaku. DING! Pintu lift terbuka. Orang tua dengan kereta dorong penuh amplop-amplop antar kantor dan beberapa paket UPS mencoba keluar.
“Permisi, permisi!” Dia bergumam sementara orang banyak menghambur di sampingnya ke dalam lift. Visser One melewati sisi kanan orang itu. Aku lewat sisi kirinya. Kerumunan manusia mencegahnya melihat ke arahku. Pintu lift pun menutup. Kami berdiri tersusun dalam lift seperti krayon dalam sekotak krayon. Yang penting Visser One itu krayon yang paling dekat dengan papan tombol, sementara aku krayon yang terletak di ujung belakang sisi berlawanan. Tapi ini nggak bagus, pikirku tiba-tiba. Aku harus keluar ketika ibuku… sang Visser keluar! Kalau aku melewatkan lantainya, aku kehilangan sang Visser. Dan ibuku. Lagi. Pada saat yang sama aku tidak dapat membiarkan Visser One melihatku. Hanya ada satu hal yang dapat kulakukan. Morf. Di lift yang lambat ini. Dikelilingi lima belas orang dan jelmaan iblis. Seorang wanita yang punggungnya hanya berjarak tiga inci dari pinggiran topi baseballku menjatuhkan satu bagian dari Wall Street Journalnya dan aku berlagak tidak melihat. Aku bersandar di dinding lift dan merosot ke bawah, punggung lurus, dan dengan ujung-ujung jariku aku memungutnya dari karpet merah yang kotor. Di belakang punggung-punggung bersetelan para orang dewasa, aku membuka kertasnya selebar mungkin dan memegangnya menutupi muka dan kepalaku, seperti tenda. Kemudian aku memulai salah satu morf yag paling tidak kusukai – Lalat rumahan biasa. Gila! Memang gila. Tapi pilihan apa lagi yang kumiliki? Kehilangan Visser One? TIdak. TIdak akan. Aku langsung mulai menyusut. Dalam beberapa saat, korannya sudah melingkupiku. Penglihatanku berubah gelap lalu menyala lagi, terpecah belah. Dua kaki lalat muncul dari dadaku. Tanganku mengerut menjadi capit. Kulitku mengeras. Dan tidak ada yang menyadarinya. Luar biasa! Tidak ada yang menoleh ke arahku. Semua orang terus saja memandang kosong ke pintu atau ke atas, dimana celah ventilasi terpasang di langit-langit lift. Aku sedang berada di dalam lift penuh manusia, berubah menjadi lalat, dan tidak ada seorangpun yang bahkan melirikku. Aku mencoba menahan keinginan sinting untuk mengatakan, “Hei, aku sedang berubah jadi lalat, nih. Halo? Kalian ini orang apa patung?” Liftnya melambat dan berhenti di suatu lantai. Wanita yang menjatuhkan korannya tadi membungkuk untuk memungutnya.
Masalah. Aku belum selesai morf. Ukuranku sebesar tikus sekarang, dengan kulit pink dan hidung manusia. Sembilan per sepuluh bagian lain sudah merupakan lalat. Sayap, enam kaki-kaki berbulu, mata majemuk, lidah besar lengket di tempat dimana mulutku seharusnya berada. Dan aku bertengger di tengah tumpukan pakaian. Aku tidak bisa membayangkan pemandangan yang lebih menjijikkan daripada ini. Wanita itu mengambil korannya, memandang sebuah titik dua kaki di atas kepala orang di depannya, lalu membeku. “Argh!” Jeritnya. Lewat penglihatan multisudut 360 derajatku aku melihat dia menoleh pelan-pelan ke belakang, ke karpet merah kotor. Tapi sudah terlambat. Sepenuhnya berwujud lalat sekarang, aku memacu sayapku, meluncur dengan gila di udara, melewati kepala wanita itu dan mendarat di ujung tas sang Visser. Pintu lift terbuka. Wanita yang sudah yakin dia tadi melihat manusia-lalat berukuran-tikus di lantai lift berlari keluar dengan tangan menangkup mulutnya. Beberapa orang bisnis lain keluar setelah dia dan sang Visser memencet tombol tutup. Lantai dua puluh satu. Mr. Grant keluar. Sang Visser memijat tombol tutup sekali lagi. Dan aku pun sendirian di dalam lift beserta ibuku. Lantai dua puluh dua. Liftnya melambat untuk berhenti. Pintunya terbuka dan Visser One menapakkan kaki di koridor. Aku mengendarai tasnya sampai ke pintu ketiga di sebelah kanan. Itu saja yang perlu kuketahui. Waktunya pergi dari sini dan beritahu yang lainnya.
Chapter 4 Aku melepaskan pegangan kaki-kaki lalatku yang legket dan bercapit. Aku mendengungkan sayap-sayap tipisku dan melayang menjauh dari tas sang Visser. Naik, putar ke belakang dan menuju… SCHLOOOOP! Angin! Angin puyuh! Sayapku mengepak dengan kecepatan yang hanya bisa dicapai seekor serangga. Tapi aku berada terlalu dekat! Sebuah ventilasi, berkisi-kisi besi, setinggi bangunan sepuluh lantai bagiku, dan dua kali lebih lebar. Pembersih udara! Dengan kekuatan-pabrik. Penghisapan. Menghisap seperti vacuum cleaner! WHAM! Aku menabrak salah satu jeruji logamnya. Lalu aku melewatinya. Meluncur cepat ke dalam lorong udara aluminium. Dan sekarang, setelah terpusat dalam tempat tertutup, arus udaranya tidak bisa dipercaya.
Aku berputar-putar, kehilangan kendali, sayap hampir tak berguna. Dan aku tidak sendirian. Pecahan-pecahan tiras dan rambut manusia. Debu dan kertas berbentuk lingkaran peninggalan puncher kertas tiga-lubang. Campuran nyamuk-nyamuk yang tercengang, serangga lubang, dan lalat-lalat lain, semua berdesing di sekitarku seperti adegan tornado dari The Wizard of Oz. Semuanya pecah menjadi ribuan set layar TV dari mata lalatku. Semuanya dalam warnawarna yang aneh dan terdistorsi. Aku jumpalitan makin cepat dan makin cepat menuju penyaring raksasa. Sekelompok bagian tubuh serangga dan potongan tiras berceceran di bawahnya. Hanya ada satu hal yang dapat kulakukan. Demorf! Aku mulai tumbuh dan hampir saat itu juga aku berhenti meluncur. Apapun yang beratnya melebihi berat benda asing yang mudah disentil rupanya dapat langsung menangkal kekuatan pembersih udara berkekuatan-pabrik itu.
Sayapku mengkerut dan terhisap ke dalam kulitku yang sudah lembut di bawah tulang belikatku. Mataku bergerak dari sisi kepala menuju ke depan mukaku. Dua kaki lalat terhisap masuk dalam dada. LANTAI! LANTAI! Kaki-kaki lalatku yang lain bergerak ke tempat dimana kaki dan tangan manusiaku seharusnya berada dan mulai mengembang. Tida-tiba, aku menyadari bahwa lorong angin aluminium yang serasa sebesar gym sekolah waktu aku jadi lalat, ternyata tidak cukup besar bagi tubuh manusiaku. Aku tidak siap untuk terperangkap bak sepotong besar Snickers Blizzard4 dalam sedotan. Aku mendorong yang-sekarang-merupakan tangan manusiaku di depan dan meluruskan kakiku di belakang. Aku tengkurap lururs-lurus, bertumpu pada perut di lorong itu. Lalu aku berhenti demorf. Kembali seperti semula. Untuk pertama kalinya aku merasa bersyukur jadi orang yang agak pendek. Tapi tetap saja aku masih tergencet dalam lorong udara amat berdebu itu. Aku merayap menyusuri tabung persegi itu, menjauh dari penyaring, menuju cahaya yang memancar di ujung lorong. Aku mendorong diriku dengan ujung-ujung jari kaki dan menarik diriku dengan jari-jariku, berusaha keras agar tidak panik. Cahaya itu datang dari sebuah ventilasi di bagian atas sebuah dinding kantor. Aku memukul kisi-kisinya dan membukanya ke bawah seperti pintu mini. Aku berada sekitar delapan atau sembilan kaki di udara. Aku mendorong diriku sendiri kepala duluan, perlahan, perlahan… Bunyi kunci berkerincingan di luar pintu. Aku jatuh dengan cepat, bersalto sejenak saat aku jatuh. BAM! Tepat ke dalam keranjang sampah. “Three points,” aku berbisik sendiri. Pintu kantor itu terbuka tepat saat aku merangkak serabutan menuju ruangan kedua, sebuah tempat yang besar dan tak berjendela yang penuh dengan kubik-kubik kerja abu-abu.
4
Semacam es krim dalam gelas, dimana toppingnya suka nyangkut di sedotan waktu esnya disedot. Makanya kadang-kadang orang makan snicker’s blizzard pake sendok.
“Halo?” Lampu menyala. “Mr. Grant?” Langkah-langkah kaki. Lambat, tapi menuju ke arahku. Aku tidak punya pilihan! Aku harus morf jadi Mr. Grant. Aku berlari menuju sebuah kubik kerja kosong di bagian belakang ruangan dan merasakan perubahannya mulai terjadi. Morf menjadi lalat mungkin menjijikkan, tapi morf menjadi manusia lain jauh lebih menakutkan. Belum lagi masalah moralnya. Dalam kasus ini, morf menjadi pria dewasa rasanya seperti mendapat secercah penglihatan tentang masa depanku dan menyadari bahwa masa itu tidak begitu bagus. Hal pertama yang berubah adalah perutku. Tumbuh ke depan dan melebar sampai jahitan baju morfku mulai robek. Rambut tebalku yang indah terhisap kedalam tengkorakku yang melebar. Aku langsung menempelkan tangan ke kepalaku. Batas rambut yang menyusut! Pitak tepat di puncak kepala! Aku menonton tanganku berkerut sedikit. Bercak-bercak pucat tersebar di punggung tangan. Aku menyentuh wajahku dengan jari-jariku yang buruk. Wow! Kasar… Kalau begini terus jenggotku akan tumbuh bahkan sebelum siang berlalu! Bokongku! Aku menolehkan kepalaku yang berdagu ganda sejauh yang kubisa dan melihat di belakang bahuku yang tebal sebuah tonjolan lebar – beserta celana bersepedaku yang robekrobek. Kepanikan melanda. Aku lumayan yakin aku tidak tumbuh jadi lebih tinggi tapi, man, aku jadi lebih lebar! “Mr. Grant?” “Ya?” Teriakku, memunculkan kepalaku yang rambutnya sedikit di atas sekat kubik kerja. Wanita itu berdiri di ambang pintu ruangan kedua. “Uh, Anda tidak apa-apa, Mr. Grant?” Dia mengambil satu langkah lagi ke dalam. “Tidak!” Balasku. “Maksudku, jangan masuk. Saya sangat sibuk. Saya baik-baik saja.” “Anda bekerja tanpa penerangan, Mr. Grant. Apakah Anda yakin…” “Ya, saya baik-baik saja, terima kasih. Saya akan selesai beberapa menit lagi,” aku melanjutkan asal saja.
Satu langkah lagi. ‘Kenapa Anda ada di meja Carlos?” Hebat juga. Aku memutar otak cepat-cepat. “Uh, well, ada yang salah dengan komputer saya, jadi, uh, saya pikir saya akan meminjam yang ini dulu. Uh, bisa tolong ambilkan saya kopi dari Starbucks di pinggir sana? Please?” Alis wanita itu berkerut aneh tapi dia perputar dan berjalan ke pintu. “Tentu, Mr. Grant. Saya akan segera kembali.” “Thanks, terima kasih banyak!” Kataku, membungkuk lagi ke ke bawah sekat. Yow! Nyaris sekali. Aku menunggu sampai (kuharap) wanita itu sudah naik lift dan berlari keluar dari kubik. Waktunya mencari tempat aman untuk demorf dan keluar dari bangunan ini. Toilet pria. Aku menarik pintunya. Dan langsung menghantam… “Aaaaah!” Jeritku. “Mr. Grant!” “Apa yang…” ujarnya sebelum dia rubuh ke lantai. Aku melirik sekeliling koridor. Tak ada siapa-siapa. “Ya ampun, ya ampun, Jake akan membunuhku, dan kalau bukan dia, pasti Cassie mau.” Aku menghela tubuh Mr. Grant ke posisi setengah-duduk dan menariknya menyebrangi koridor menuju kamar sapu. Rasanya seperti membawa salah satu batu yang mereka gunakan untuk membangun piramid. Rupanya orang ini suka sekali sama pastry-nya. Aku menutup pintunya dan mencoba menenangkan nafasku yang memburu. Sulit melakukannya kalau kamu diserang kepanikan beberapa kali secara beruntun. Aku mendudukkannya di atas ember pel beroda dan mulai mencopot pakaiannya. Aku buru-buru berganti pakaian dengan setelan biru Mr. Grant. Well, semuanya, kecuali dasi. Aku tidak tahu cara memakai dasi. Setelah berpakaian aku membuka pintu kamar sapu, melirik kanan-kiri, lalu berlari semampu yang bisa dilakukan Mr. Grant menuju lift. Sesaat kemudian pintu lift terbuka dan aku masuk. Kabur dari situ.
Chapter 5 Sudah hampir waktu makan siang setelah aku pulang ke rumah, berganti pakaian, dan kembali ke sekolah. Sekarang, masuk ke sekolah saat kamu terlambat bukan hal termudah di dunia, tapi tetap bisa dilakukan. Untungnya sekolah kami tidak punya penjaga atau detektor metal seperti di SMA. Yang harus kukhawatirkan hanyalah guru-guru yang nangkring di berbagai tempat atau monitor koridor tempel. Aku bersandar di pintu depan. Tidak ada siapa-siapa. Hanya ada tukang bersih-bersih, tapi punggungnya menghadapku dan dia sedang memakai headphone. Dan melakukan dansa menyeret-nyeret yang aneh sambil mendorong-dorong alat pel di atas lantai berwarna hijaumuntahan yang merupakan lobi utama sekolah kami. Aku menyelinap lewat tiang pintu dan mengambil jalan lain melewati lobi. Aku dapat melihat puncak kepala guru-guru lewat jendela kelas, tapi aku tahu mereka tidak akan bisa melihatku. Keuntungan lain bertubuh pendek. Aku berhasil sampai ke lockerku tanpa diperogoki siapa-siapa. Sedetik kemudian, bel makan siang berbunyi dan koridor langsung penuh sesak dengan anak-anak yang ngacir dari kelas. Jake termasuk salah satu dari mereka. Aku menjatuhkan buku Matematikaku. Dia memungutnya. “Jake, pedulian amat kamu.” “Dari mana saja kamu?” Tuntunya. “Tebak siapa yang kulihat tadi?” Bisikku, menarik catatan asal saja dari locker. Jake menghela nafas. “Marco, langsung saja kenapa…” “Marco!” Tangan seseorang menepuk bahuku. “Baik sekali kamu mau bergabung dengan kami hari ini.” “Dengan senang hati, Mr. Chapman,” aku berkata. “Aku takkan pernah mau melewatkan seharipun untuk memelajari hal yang baru.” Jake melemparkan pandangan ini-masalahmu-sendiri-ya, dan berjalan pergi. “Ah, menghibur seperti biasanya, Marco. Dan dari mana saja kau? Saya menelepon rumahmu. Tidak ada jawaban. Sama sekali tidak ada jawaban.”
“Saya… bersama ayah saya.” “Oh, masa?” “Betul, Mr. Chapman. Ini ‘Hari Ayah Membawa Anaknya ke Tempat Kerja’ di kantor ayah.” “Kalau begitu kamu tidak akan keberatan saya meneleponnya di tempat kerja?” “Sama sekali tidak,” jawabku sok percaya diri. “Anda mau nomornya?” Chapman memandangku dari atas ke bawah. Kalau dia menelepon ayahku, aku akan ditahan, pasti sekali. “Dia rapat nanti siang, makanya saya kembali ke sekolah,” tambahku. “Tapi Anda bisa meninggalkan pesan di mesin penerima panggilannya.” “Kembali saja tempatmu seharusnya berada, Marco.” “Baik, Sir.” Seharusnya aku membalas “Baik, dasar orang aneh pembawa-Yeerk.” Tapi akibatnya bisa fatal. Untukku. Memberitahu Jake soal Visser One bisa menunggu. Di kantin aku memberikan memo pada Rachel. Bam. Sepulang sekolah. Kabar baik, kabar buruk. Aku duduk di ujung meja kantin dan makan pizzaku sendirian. Mengacuhkan perkelahian kecil tentang makanan di meja sebelah kananku. Hampir tidak menyadari anak berjerawat di ujung meja satu lagi sedang menyeruput semacam sup kuning menjijikkan dari termos berpola kotak-kotak miliknya. Berpikir selama dua detik soal ulangan Sejarah siang ini yang sudah pasti tidak akan bisa kukerjakan. Bertanya-tanya dalam hati apakah Chapman akan membahas soal aku bolos sekolah dan aku gagal dalam ulangan Sejarah di POMG terdekat. Menimbang-nimbang lebih enak bekerja di McDonald’s atau Burger King setelah aku dikeluarkan. Tapi pikiranku tidak bisa diam pada satu topik. Tidak ada yang benar-benar penting, ya kan? Tidak ada kecuali sebuah fakta yang kompleksnya luar biasa, hebatnya mengagumkan. Ibuku masih hidup. Hidup.
Aku melihat Rachel melotot kepadaku dari seberang ruangan. Aku membentuk satu kata lewat mulutku : hidup. Sepertinya Rachel tidak membaca gerakan bibir. Dia salah tangkap dan merespons dengan membentuk dua kata yang tak mau kuulangi disini lewat mulutnya. Tapi aku tidak ambil pusing. Tidak ada yang dapat menghancurkan momen kelegaanku ini. Dia masih hidup. Dan suatu hari, entah bagaimana caranya, dengan sebuah keajaiban yang hanya bisa kuimajinasikan, dia akan menjadi ibuku lagi, seutuhnya.
Chapter 6 “Marco,” kata Cassie. “Beritahu kami kenapa kita ada disini.” ‘Kami’ itu berarti empat anak, seekor burung, dan seorang alien berbulu biru. Nama kami adalah Orang Aneh, dan permainan kami adalah Menyelamatkan Dunia. “Pagi ini aku bolos dan naik bus ke kota,” aku melirik Jake. “Dan sebelum kalian mau ngomel, aku tahu bodoh sekali menarik perhatian orang lain, jadi kalian boleh tuntut aku. Pokoknya, aku sedang mencoba menghindari digepengkan oleh kerumunan orang di pinggir jalan waktu aku melihat Ib… Visser One. Dia sedang dalam penyamaran. Wig jelek, lensa konta biru, kacamata besar persegi. Tapi itu memang dia.” “Ya ampun,” kata Jake. “Kamu yakin itu Ibumu?” “Oh, yeah. Aku melihat wajahnya jelas sekali sebelum aku mau buat dia tersandung.” “Kamu mau menyandung ibumu?” Kata Cassie. “Ya, soalnya dia sudah menjatuhkanku dengan tas metalnya yang besar itu. Nggak penting lah. Yang penting, itu benar-benar Visser One. Ibuku. Dalam penyamaran.” “Kamu yakin dia nggak mengenalimu dan menjatuhkanmu secara sengaja?” Tuntut Rachel. “Yeah,” jawabku. “Kan dia pikir aku ini Pengendali. Ingat waktu kita pergi ke kompleks bawah air Yeerk? Jangan lupa : Kita ngomong. Dia pikir aku salah satu dari mereka. Jadi kenapa dia menghantamku, tanpa provokasi? Lalu kalau dia tahu yang sebenarnya, dia pasti sudah melakukan lebih daripada menjatuhkanku.” “Dan itukah motif brilian dibalik bolos sekolah hari ini?” “Aku ini petualang, Rachel,” kataku. “Persis Daniel Boone. Magellhan. Marco Polo. Aku takkan pernah beristirahat sampai aku selesai menjelajahi setiap gang, setiap sudut, setiap ceruk dari dunia kita yang besar dan gila ini.” “Nggak lucu, Mr. Polo,” katanya kesal. “Kamu bisa saja membawa kami ke masalah besar…” Tobias bertanya-tanya dari tempatnya hinggap di atas kami. <Jadi. Visser One masih hidup,> Ax menyatakan dengan dingin. < Bukan berita bagus.> “Yang berarti satu hal lagi, Ax. Ibuku juga masih hidup,” aku mejelaskan. “Aku mengikutinya ke dalam Menara Sutherland. Dia punya kantor di lantai dua puluh dua.”
“Menurutmu apa yang dia lakukan di sana?” Kata Cassie. Aku menggelengkan kepala. “Aku nggak sempat keliling-keliling untuk cari tahu.” “Terakhir kali kita melihat Visser One,” kata Jake setengah melamun, “Visser Three melihat kita – si musuh – mengampuni nyawanya.” <Jika Visser Three mengerti kita telah mengampuni Visser One, dia pasti akan menyimpulkan bahwa Visser One adalah pengkhianat,> kata Ax. “Yang menjelaskan kenapa dia harus menyamar,” aku menyetujui. “Tapi dia tetap butuh akses ke kolam Yeerk. Ke sinar Kandrona. Yang mana nggak akan diizinkan Visser Three kalau dia pikir Visser One itu pengkhianat. Tentu saja. Jadi…” “Jadi entah bagaimana caranya dia masih hidup, entah bagaimana dia masih bisa mendapat sinar Kandrona,” kata Rachel. “Pertanyaannya adalah kenapa?” “Kenapa apa?” “Kenapa dia berada di sini, di Bumi? Begini deh, kita tahu dari pengalaman kalau Visser One dan Three itu musuhan. Visser One membiarkan kita kabur dari Visser Three pertama-tama. Visser Three pasti sudah curiga kalau dia mendalangi hal itu. Lalu dia punya fakta bahwa kita membiarkan Visser One hidup waktu kita sebenarnya bisa saja menghabisinya di tempat. Jadi Visser Three pasti pingin banget menangkap Visser One. Jadi kenapa dia malah jalan-jalan di kota? Maksudku dengan atau tanpa wig, Bumi bukanlah tempat yang aman untuknya.” Rachel nyengir. “Ayolah, jelas sekali kok. Dia di sini untuk menggulingkan Visser Three. Kenapa lagi? Itu satu-satunya jalan baginya untuk keluar dari masalah. Jatuhkan musuh utamanya. Lalu, selesaikan perkara dengan orang-orang yang menjabat di antara mereka.” Aku mengangguk. Masuk akal. Rachel mengerti sekali cara pandang Visser One. “Mau apa saja motifnya, tetap saja berarti berita buruk buat kita,” Cassie merespon. “Tidak begitu juga,” kata Jake. “Visser-Visser yang terpecah belah lebih gampang ditangani daripada Visser-Visser yang bersatu melawan kita.” kata Ax menyetujui. Jake mengangguk. “Langkah pertama, cari tahu apa yang ada di dalam kantor itu.”
“Lantai dua puluh dua, pintu ketiga di bagian kanan lift,” kataku. saran Ax. “Tobias?” jawabnya. “Morf lalat?” kata Cassie. “Ke atap jadi burung, demorf, morf lalat…” “Nggak kurekomendasikan. Aku punya pengalaman buruk dengan sistem ventilasinya tadi. Tapi serangga yang lebih berat dan cepat mungkin bisa. Serangga yang bisa masuk ke kolong pintu dan dinding.” “Maksudmu…” “Betul sekali.” Aku nyengir. “Tamu favorit setiap rumah. Sang kecoa.” “Kita lakukan secepatnya,” perintah Jake. “Malam ini. Tapi aku nggak bisa. Acara keluarga.” “Aku juga,” kata Rachel, memutar bola matanya. “Aku janji pada Mom untuk menjaga Jordan dan Sara. Dan aku sudah bikin Mom marah terlalu sering akhir-akhir ini.” “Aku nggak suka bilang ini,” lanjut Cassie, “tapi aku juga nggak bisa. Satu ulangan lagi dan aku bakal dapat D di Matematika. Kalau aku dapat D, orangtuaku akan menggrecokiku 24 jam sehari.” kata Tobias. “Aku juga, dong,” kataku. Jake memandangiku. “Bagaimana ayahmu?” Tanya Cassie cepat. Dia mencoba memberiku jalan keluar. “Bagaimana kenapa? Dia sedang bekerja 12 jam per hari di sebuah proyek besar. Dia pulang ke rumah, duduk di sofa, nonton ESPN. Nggak akan pernah tahu aku keluar.” Jake terus saja memandangku. Rachel memalingkan wajah. Ax menyatakan.
Ax paling bisa diandalkan untuk berterus terang. “Ax benar, Marco,” kata Cassie. “Bertemu empat mata lagi dengan Visser One mungkin sulit buatmu. Dan berbahaya. Buat kami semua.” “Apa aku memberitahu identitasku waktu misi Pulau Royan dulu?” tuntutku. “Atau hari ini?” “Pertama kali sih hampir,” Rachel bergumam. “Nggak, nggak hampir,” sergahku kesal. “Sama sekali nggak. Dan itulah faktanya.” Sunyi canggung sejenak. “Aku nggak bisa percaya ini,” kataku. “Kita sudah pernah mengalami hal ini. Misi adalah prioritas utama. Masalah pribadi, kedua. Aku ikut. Aku bakal pergi. Pasti.” Jake menghela nafas. “Oke, Marco, Ax dan Tobias. Malam ini.” Dia memandangku. “Jangan lakukan hal bodoh apapun. Ini cuma misi pengamatan.” Aku mengangguk. “Dan kalau ada keputusan penting yang harus diambil, Tobias yang melakukannya.” Pernyataan itu sama sekali tidak terduga. Tapi tidak ada gunanya membantah. Kalau aku jadi Jake, aku akan melakukan hal yang sama. “No problem.” Jake menghampiriku, menarik tanganku dan membawaku ke luar, dibanjiri cahaya matahari siang. Aku meringis. Aku tahu dia mau apa. “Aku sadar ada beberapa hal yang kekurangan detil dalam ceritamu tadi,” Jake memulai. “Yang membuatku sadar kamu pasti sudah melakukan sesuatu yang kamu nggak pingin aku tahu.” “Yeah. Pasti kamu nggak mau tahu.” Aku mencoba memsang cengiran iblis-pun-peduli. Tidak terlalu berhasil. Jake melipat tangannya di depan dada dan menunduk dalam diam. Lalu menoleh ke arahku. Jake sudah berubah banyak dalam bulan-bulan dimana kami bertarung dalam perang ini. Tatapannya tidak sama seperti temanku Jake, sahabat baikku. Seperti seorang komandan perang. Seram juga melihat perubahannya.
“Marco, kamu ini teman baikku. Tapi kalau kamu melakukan hal seperti itu lagi, di antara kita berdua akan ada masalah serius.” Kalau ini masa lalu aku pasti menjawab, “Coba saja,” atau kalimat lain yang sama pintarnya. Sekarang aku menjawab, “Oke, aku mengerti.” Hanya itu kalimat terbaik yang bisa kupakai untuk mencegahku menjawab, “Ya, sir.”
Chapter 7 Malam itu pukul 11.30, dengan ayahku mendengkur dalam tidurnya, aku morf menjadi burung bangau dan terbang ke salah satu taman kecil yang tersebar di dareah kota. Bangku taman, keranjang sampah, beberapa pohon berpilin. Tempat dimana orang-orang bersetelan memakan sandwich mereka. Aku mendarat di jalanan berdebu untuk memilih buruanku yang ada di keranjang sampah terbalik saat aku mendengar pangilan seekor burung pemangsa. Dengan setengah hati aku berbalik dari sisa-sisa gyro5 dan berangkat untuk bergabung dengan seekor elang ekor-merah yang terbang dari utara dan seekor northern harrier, dari selatan. Pengorek sampah seperti burung bangau itu penerbang yang baik, rendah dan cepat. Tapi tidak bisa dibandingkan dengan elang dan harrier. Kegemukan gara-gara terlalu banyak makan hot dog dan kerang, mungkin. Saat aku berhasil menyusul Ax dan Tobias di atap Menara Sutherland, aku sudah kelelahan karena berjuang terbang tinggi. kata Tobias. balasku percaya diri. Aku yakin sekali. Pintu yang diberitahukan Tobias tadi sudah tidak mungkin menahan orang di luar, apalagi kecoa. Pasti pernah ada orang yang memaksa masuk menggunakan linggis, meninggalkan lobang yang cukup bersar bahkan untuk dimasuki bangau yang gemuk. Tapi kami tetap akan menggunakan kecoa. Mereka bilang setelah pemusnahan total dengan nuklir, ketika setiap makhluk hidup yang ada berubah menjadi lumpur berkelap-kelip, kecoa masih akan bertahan di atas puing-puing peradaban. Kecoa yang hebat, tak dapat dihancurkan. Mereka beradaptasi dengan racun apapun yang diberikan kepada mereka. Dan mereka memakan apa saja yang terlihat – buku, lem, tanaman, ikan mati, sepatu tua. Hampir mustahil untuk menghancurkan mereka. Aku suka bagian itu tentang kecoa. Angin menampar-nampar. Awan gelap bergulung-gulung, menutupi bulan dan bintangbintang. Hanya cahaya dari bangunan sekitar yang menerobos kegelapan. Kami adalah tiga manusia mutan di langit yang menekan dan ditinggalkan. Sehektar batu terlapis tar dan mesin
5
Semacam sandwich Mesir
pendingin ruangan mengelilingi kami. Ada tiang bendera tanpa benderanya. Tali di tiang itu memukuli tiangnya disertai semacam bunyi ‘tang’ bergema. Pemandangan Ax dari Andalite menuju kecoa lebih bisa dibilang menarik daripada menjijikkan. Seperti armadillo dari planet Bunuh-atau-Terbunuh. Kumbang sebesar kucing dengan cangkang yang terbuat dari besi dan enam kaki kecoa, masing-masing ditemani kuku Andalitenya. Tambahkan ekor sepanjang satu kaki dengan pisau di ujungnya dan kamu langsung punya makhluk berwujud sangar. Tobias sih terlihat menjijikkan. Elang ekor-merah dan kecoa tidak diciptakan untuk bersatu. Ada keanggunan absolut di satu sisi dan utilitas absolut di sisi lain. Ibu Bumi tidak membuat seekor seranggaburung untuk alasan yang baik. Paruh Tobias sudah berubah menjadi sebuah rahang, membuka dan menutup tanpa bisa dikendalikan. Antena seukuran pensil mencuat dari kepalanya. Dua tonjolan seperti batang pohon muncul di kedua sisi leher elangnya. Sayapnya sudah melebur dan bergeser ke atas punggungnya. Aku menonton sayap itu mengeras menjadi cangkang transparan. Di bawah itu aku bisa melihat sayap kecoa tumbuh dari bagian atas kepalanya. Aku merinding dan memulai morf. Berfokus pada setiap detil dari kecoa. Sampah, sudutsudut gelap, kamar mandi, kotak sereal yang terbuka… Kulitku mengeras terlebih dulu, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lenganku menempel ke sisi tubuhku, lalu bermigrasi ke punggung. Empat kaki merayap keluar dari sisi-sisi tubuhku dan aku jatuh ke depan. Lantai sudah mulai mendekat saat aku mengecil seukuran koin. Pengihatanku berpiksel. Mata majemuk kecoa, dengan sekitar dua ribu lensa, sudah berada di tempatnya masing-masing. Antenaku bergoyang sat indra pencimuman kecoa yang luar biasa berfungsi. Kecoa bisa mencium segalanya. Bau enak seperti daging digoreng. Bau tidak enak seperti kotoran anjing. Atapnya berbau seperti tar dan listrik dan puntung rokok. Isi tubuhku kehilangan seluruh kekompleksannya dan berubah menjadi satu organ pencernaan yang panjang. Mulutku kehilangan bibirnya. Lidahku menggulung ke dalam tenggorokan dan menjadi semacam mulut kedua. Dan lalu otak kecoanya menyala. Aku berada di ruang terbuka.
Terlalu terbuka. Tak ada atap! Tak ada perlindungan! Takut! Takut! Takut! Aku berlari duluan dan hampir menabrak kecoa lainnya. Aku berbelok, merayap di lapisan tar di atap, berdecit-decit melintasi tumpukan kaca pecah, dan melompat. Aku melakukan gerakan Evel Knievel6 ke Ax. <Marco, Tobias, aku yakin kalian berdua masih belum mengontrol insting kecoa kalian,> kata Ax. Balas Tobias. kataku. <Jangan ada yang bergerak. Kemana kita harus pergi?> Sepuluh menit kemudian kami menemukan jalan kembali ke pintu. Kami merayap melewati pintu yang rusak itu dan menuruni anak tangganya. Ada dua cara bagi kecoa untuk menuruni tangga. Dia bisa memanjat setiap pijakan dan turun di tiap naikan, atau dia bisa langsung lompat saja di setiap anak tangga, mendarat di anak tangga bawahnya. Masalahnya kami punya terlalu banyak anak tangga untuk dituruni ke lantai dua-dua. Jadi aku menyarankan kemungkinan ketiga.
6
Nama lengkapnya Robert Craig Knievel (17 Oktober, 1938 – 30 November, 2007), seorang stuntman sekaligus atlet motor ekstrim. Terkenal sejak akhir 60-an sampai awal 80-an
Chapter 8 aku menjelaskan. Tanya Tobias. jawabku. Aku sudah takut dia akan menanyakan hal itu. Mata kecoa tidak bisa melihat jauh tapi aku yakin jatuhnya akan lurus ke lantai bawah. lanjut Tobias. Pegangan tangga itu berupa silinder besi yang dicat. Satu batangan dilas di sini dan di sana, tapi pokoknya mengular ke bawah dalam bentuk oval sempit panjang yang curam. Memanjatnya bukan perkara gampang. Bahkan bagi kecoa sekalipun. Catnya licin. Untungnya, cat itu sudah dilapisi beberapa kali jadi retakan-retakan dan tonjolannya bisa kami jadikan pijakan. Tapi rasanya masih seperti memanjat Monumen Washington. Saat sampai di atas, kami masih terpeleset-terpeleset di pegangan tangga itu sendiri. Bayangkan salah satu olahraga lompat ski di Olimpiade. Hanya saja kamu tidak bisa melihat ujungnya. Dan lintasannya melengkung, jadi kamu bisa tergelincir ke kanan atau ke kiri. Dan kalau tergelincir ke kanan kamu bisa jatuh sekitar tiga hari. Aku paling depan. kataku. <Maksudku, langsung meluncur daripada merayap pelanpelan.> kata Tobias. Ax menawarkan. Ax tidak punya kepercayaan dalam kemampuan manusia melakukanhal-hal simpel seperti menghitung. Alasannya bagus, sih.
aku mengumumkan. Aku mendorong kaki-kaki kecoaku dan meluncur menuruni silinder itu. Zoooooooom! Menuruni pegangan! Menurutmu seekor kecoa terlihat cepat dari lima kaki di atas saat kamu mecoba menginjaknya di lantai dapur? Rasanya jauh lebih cepat di ketinggian normal kecoa. Mukaku hanya beberap millimeter dari ‘tanah’. Seperti diikat di bagan bawah Porsche seseorang. Kakiku merentang terlalu lebar, jadi dalam setiap langkah, masing-masing dari keenam kakiku terpeleset ke udara. Hasilnya adalah semacam seretan, lari tak-terkontrol yang membuatku meluncur menggunakan perutku sebagian dari waktu. Tobias menjerit di belakangku. Teriakku. Aku berbelok dengan kecepatan yang serasa dua ratus mil per jam. Aku menggelincir ke kanan untuk memegang tonjolan sudut. Benar-benar seperti kereta salju. Kereta salju dengan roket ditempel di bokongmu. Sebuah luncuran dimana pemain skateboard mau menukarkan ginjalnya untuk mengalami hal ini. Turun dengan kecepatan gila-gilaan, kaki mengendalikan, terpeleset, menggunakan perut, antena tertiup ke belakang. ‘Jalan’nya adalah balok keseimbangan yang merupakan pipa. Gila! Aku melempar diriku ke belokan kedua, dan sekarang momentumku sudah mengambil alih. Tak bisa lagi berhenti. Tak ada lagi melambat. Kaki sudah tak terkendali. Kami ini peluru, hampir tidak menyentuh besi pegangan tangga, berbelok di belokan lima gram yang seharusnya bisa menjatuhkan isi perut kami ke kaki. Kalu kami punya isi perut. Atau kaki. Lantai setelah lantai! Nyaris dan nyaris terpeleset. Merayap cepat, menyeret, berkutat dan berlari seperti seseorang yang ditarik di belakang bus. Ax berteriak.
<SEKARANG!> Ax menjerit.
Chapter 9 Aku lompat di belokan terakhir. Tak ada pelemparan diri kali ini. Waktunya untuk meluncur keluar jalur dimana pembawa acara akan mengumumkan, “Oh! Ladies, dan gentlemen, telah terjadi sebuah kecelakaan yang mengerikan; kuharap semuanya baik-baik saja!” Aku menabrak belokannya. Aku tidak berbelok ke bawah. Aku terus saja melaju lurus ke depan. Lurus ke depan dan tiba-tiba kaki-kaki kecoaku yang kecil bergerak-gerak di udara. Aku jatuh. Jatuh yang lama. Plop! Aku menabrak lantai. Plop! Plop! Ax dan Tobias mendarat di dekatku. Kataku. Tobias menyetujui. <Mari kita jangan, jangan pernah melakukan itu lagi!> Kataku. Ax menyetujui. Kami merayap menuju, lalu melewati celah dari pintu darurat, dengan besi menggesek punggung kami, dan masuk ke koridor lantai dua puluh dua. Koridor itu gelap kecuali sebuah sinar lemah dari sebuah pintu tertutup di depan. Kami berlari menyusuri karpet buatan itu, menempel erat pada dinding. Lalu pintu kantor yang ada cahayanya itu terbuka. Seorang pria melangkah keluar dan lampu pun menyala. Panik!
<Jangan ada yang bergarak!> Kami berdiri diam terpaku sementara sosok menjulang itu mengambil langkah lain. “IRS dan bagian audit mereka,” gumam pria itu. Dia mematikan lampunya dan mengunci pintu di belakangnya. Lalu dia kehilangan kendali. “Kecoa!” Jeritnya. Aku merasakan getaran-gataran ganas saat kaki manusianya yang besar menghantam karpet. jawab Ax. kata Tobias. <Sudah, kita diam saja. Freeze!> Pria itu berjalan menuju lift, bergumam tentang berapa banyak biaya sewa yang ia keluarkan untuk kantornya, dan ternyata ada kecoa padahal mereka bilang bangunan ini mewah, hah! Ada bunyi DING yang menandakan kedatangan lift. Lampu koridor mati. Pintu lift tertutup. Kami sendirian di lantai dua puluh dua. Kecuali, tentu saja, ibuku. Bukan, bukan ibuku, kataku pada diri sendiri. Aku tidak bisa mencegah diriku berpikir seperti itu. Dia adalah Visser One. Makhluk yang kami lawan. Kami merayap sampai mencapai pintu yang aku cukup yakin merupakan pintu kantor sang Visser. Mendaki ambang pintunya, lalu melewati sisi atas pintu ke bagian dasar jendela di tengah ruangan. Penglihatan kecoa tidak termasuk spektakuler. Tapi, aku masih bisa melihat cukup baik untuk memutuskan bahwa itu hanyalah kantor biasa. Meja resepsionis, kursi berbantalan empuk, sofa kulit, telepon, komputer, printer, mesin fotokopi, mesin pembuat-kopi. Tidak ada bau Yeerknya sama sekali. kata Ax. kata Tobias sambil berjalan memimpin. Kami menuruni pintu dan mencoba masuk dari celah di bawahnya. Tidak berhasil. <Segel yang tidak tertembus,> Ax menyatakan. <Mungkin dipasang di sekeliling pintu.>
Aku menghela nafas. Aku berjalan duluan melintasi dinding dan masuk ke dalam saluran udara tempat aku terhisap tadi pagi. Tanya Tobias. Kami merangkak melintasi tebaran sampah kecil dan debu ke saluran udara yang langsung berhubungan dengan apa yang pasti merupakan sarang sang Visser. Itu kalau Sang Visser sedang mempersiapkan perang melawan sebuah negara kecil. Ax menjelaskan. <Siapapun bisa melukis sebuah jendela, memproyeksikan hologram ke bagian belakangnya dan menciptakan gambaran sebuah ruangan. Visser sudah memproyeksikan gambaran kantor yang normal ke bagian belakang lukisan ini. Pintar sekali.> <Jadi siapapun yang kebetulan lewat, seperti satpam, nggak akan tahu apa sebenarnya yang ada di bawah sana,> Tobias menambahkan. <Pasti dipasang di jendela bagian luar juga,> aku menduga. Dalam hampir kegelapan total kami merangkak keluar dari celah ventilasi dan menyusuri langit-langit sampai ke tepian dinding. Lalu menuruni dinding ke karpet industri abu-abu. kata Ax. Dalam beberapa menit, kami sudah kembali ke bentuk semula. Dengan panca indra tajan Andalite, elang serta manusia. Dan saat itulah aku berharap aku masih jadi kecoa. Kecoa tidak akan bisa melihat dengan jelas pemandangan yang kulihat sekarang. Di sudut ruangan ada kolam Yeerk kecil, jenis yang dapat dibongkar-pasang. Seperti Jacuzzi berbahan stainless steel. Tas besar berpinggiran besi yang kulihat tadi pagi ada di dekatnya. Di pinggir kolam Yeerk itu ada pengapit besar. Semacam tali pengekang. Leher ibuku dibelit dengan pengekang itu. Mencengkramnya erat. Kepalanya dimiringkan sehingga satu sisi mukanya, satu telinga, berada di bawah permukaan air. Bagian tubuhnya yang lain berdiri dengan posisi aneh, tak berdaya, membungkuk. kata Ax dingin.
Yeerk harus kembali ke kolam Yeerk setiap tiga hari untuk menyerap sinar Kandrona. Kalau tidak dia akan kelaparan. Kotak rumit ini adalah Kandrona portabel. Ibuku, pada saat ini, pada momen singkat ini, adalah ibuku sendiri. Siput Yeerk yang adalah Visser One sedang keluar dari kepalanya, dalam kolam, makan. Saat ini dia adalah ibuku. Lima langkah dan aku akan berada di sampingnya. Aku bergerak.
Chapter 10 <Marco!> Tobias menyentak. Langkah kedua. Ketiga! Tiba-tiba pisau ekor Andalite sudah berada di leherku. Aku berhenti. <Jangan, Marco,> kata Ax kalem. Aku menggenggam ekornya dan mencoba menyingkirkannya. Tapi ekor Andalite adalah otot yang panjang dan lentur. Bergeser sekitar tiga inci. <Marco, berhenti!> Kata Tobias. <Mundur dan pikirkan dulu! Saat ini dia sedang menoleh jadi dia nggak bisa melihatmu. Kalau kamu melangkah ke jarak pandangannya, dia akan tahu.> Aku berhenti mencoba mendorong ekor Ax. lanjut Tobias lembut. Tanya Ax. Ibuku diikat menjadi catok, tiga kaki jaraknya dariku. Mungkin Ax salah. Mungkin aku bisa melepas pengapit itu. Mungkin… Aku melangkah mundur. Aku merasa seperti sampah. Dia berada tepat di sana! Bebas, walau hanya sebentar saja. Aku dapat memberitahunya aku baik-baik saja! Aku dapat memberitahunya… Tidak. Aku tidak bisa memberitahunya apa-apa. Ax mungkin benar. Aku tidak akan bisa membebaskannya. Visser One akan memasuki kepalanya lagi. Dia akan mengontak penjaga. Rahasia kami tersebar. Lalu? Lalu kami harus menghancurkan mereka yang tidak bersalah bersama yang bersalah. Masuk akal. Itu adalah hal yang pintar yang dingin dan penuh perhitungan. Aku menyeka muka dengan tanganku. Basah.
“Itu apa? Yang di ujung,” bisikku, mengalihkan perhatianku sendiri. Alat itu sebesar sekitar piano yang berdiri tegak. Di bagian atasnya ada piringan satelit, menghadap jendela keluar. Di bagian tengah alat itu ada layar besar. Dan di layar itu ada tayangan yang terlihat diambil dari atas. Tayangan yang anehnya sangat familiar. Tayangan dari Hork-Bajir merdeka. kata Tobias suram. <Senjata Dracon di sebelah sana, alat pengintai, kolam Yeerk portabel,> Ax meneliti, pandangan mata pengintainya mengelilingi ruangan. <Semua yang dibutuhkan sang Visser untuk aksi perang gerilya.> ujar Tobias. <Apa tas itu yang dia bawa pagi ini, Marco?> “Yeah. Dan ada satu lagi di meja dekat jendela,” jawabku berbisik. Ax menerka. <Sekali pakai. Kelihatannya sang Visser hanya punya enam hari untuk menyelesaikan apapun yang sudah dia mulai.> “Membusuklah di neraka!” Kata-kata itu pelan, tapi membara. Kami mematung. Suara ibuku! Tapi dia bicara pada siapa? Pada kami? Apa dia tahu kami di sini? Apa dia mendengar kami? Tidak, tidak tentu saja. Dia sedang berbicara dengan Yeerk itu. Pasti dia sudah mulai memasuki kepalanya. BBWWBBWWBBWW! Ruangan itu mulai bergetar. Aku terlonjak kaget. BAM! Bahkan di kamar mandi aku merasakan efek pukulannya. Seseorang atau sesuatu sedang menghantam pintu kantor. Dengan kekuatan palu besar yang memukul bertubi-tubi. BAM! BAM! “Para Yeerk,” kataku. “Mereka disini untuk membunuhnya!” jawab Ax dingin.
“Nggak sementara aku disini dan menonton,” kataku. Aku mengacuhkannya. Gorila. Itu adalah morf kuat favoritku dan aku sedang siap untuk meretakkan beberapa kepala. Kalau aku tidak bisa menyelamatkan ibuku dari Yeerknya, setidaknya aku bisa menyelamatkannya dari siapapun yang mencoba membunuh Visser One. kata Ax. “Nggak. Kamu membiarkan kebencianmu pada Yeerk menghalangi. Kalau Visser Three mencoba membunuh Visser One mungkin kita akan dapat sedikit keuntungan.” <Sebuah kesempatan?> Tanya Tobias sambil berpikir. <Mungkin,> Ax meneruskan. “Salahkan aku saja nanti,” gumamku. <Pasti,> balas Tobias diiringi tawa. FWAM! Pintu menuju koridor berhamburan ke dalam. TSEEW! TSEEW! Terdengar suara tembakan sinar Dracon yang akrab dengan telinga kami Aku membuka pintu kamar mandi. Di kantor, semuanya berantakan. Sang Visser sudah membebaskan tubuh ibuku dari kolam dan dia sekarang sedang berjongkok di belakang alat pengintai. Dia menembakkan sinar Dracon. Seorang Hork-Bajir terhuyung mundur, di dadanya terdapat lobang berasap. Tapi makin banyak yang masuk lewat ambang pintu. <Waktunya pesta,> kataku, sekarang sudah sepenuhnya gorila. Aku membuka pintu kamar mandi dan menghambur keluar. Visser One melirik kaget ke arahku. Dia menahan diri. Haruskah dia menembak? Dua Hork-Bajir besar menghampirinya. Perhatiannya kembali kepada mereka. Terlambat! Lengan berpisau mengayun. Pasti dimaksudkan untuk memotong lengan ibuku. Meleset dan malah menghantam senjatanya sehingga jatuh. Dia tidak berdaya. Hork-Bajir itu bergerak mendekat.
WHUMPF! Kepalan tanganku meratakan moncong si Hork-Bajir. Dia mundur dengan timpang. Visser One mencoba meraih sinar Draconnya. Ax melompat keluar dari kamar mandi. “Andalite!” salah satu Hork-Bajir berteriak kaget. FWAPP! Pisau ekor Ax melakukan apa yang tadi Hork-Bajir itu ingin lakukan pada ibuku. Tapi Hork-Bajir lain masih berdatangan. Ada empat dalam ruangan. Lebih banyak lagi di luar. “Tseeeeer!” Tobias mengepak, cakarnya keluar. Satu hembusan dan kepakan sayap meninggalkan Hork-Bajir itu terjatuh, memegangi matanya. Kami bertarung melawan alien-alien kebingungan itu, memukul dan menyayat. Lalu, di ujung mataku, aku melihat Visser One mengangkat pistol sinar Draconnya. Padaku! Terlalu jauh bagiku untuk mencapainya. Jeritku. FWAPP! Ekor secepat cambuk-banteng itu mengenai Kandrona portabel yang menghantam kepalanya. kata Ax padanya. “Aku tidak menerima pertolongan dari Andalite!” Dia menjerit marah. Tapi senjatanya sudah jauh di luar jangkauan. Hork-Bajir memblokir semua jalan yang ada untuk mengambilnya kembali. Sang Visser berbalik dan berlari ke kamar mandi. Aku berdiri, tepat sekali, saat seorang Hork-Bajir terluka yang menyerang membabi-buta hendak membuat sebuah sayatan dalam di sisi tubuhku. Aku menangkap salah satu lengannya yang berpisau dan melemparkannya ke dinding. Aku meninju Hork-Bajir kedua. Dan Tobias melukai yang lainnya. Tapi Ax-lah yang memenangkan pertarungan ini. Ekornya mencambuk kiri, kanan, terlalu cepat untuk diikuti pandangan mata. Para Hork-Bajir jatuh di depannya. Pertama jatuh karena bertarung, tapi lalu karena panik. Mereka mulai berlomba-lomba berlari keluar dari pintu. Aku meraih pintu yang sudah amat rusak itu dan menempelkannya kembali ke tempat.
Aku memberi Ax pandangan penuh arti. <Serangan kita memang memiliki nilai kejutan,> jawabnya rendah hati. kata Tobias, kepala elangnya dimiringkan. <Mereka kabur apa bala bantuan datang?> Aku mengangkat sebuah kursi dan melemparkannya ke jendela. Pecah berkeping-keping. kataku. Tobias terbang melewati pecahan kaca yang berkilat-kilat. Dia langsung melaporkan. <Mereka pergi dari sini!> “Mati kau, Andalite!” Pintu kamar mandi menjeblak terbuka. Sebuah lengan sedang terangkat. Lengan yang terlihat-rapuh. Dengan pistol sinar Dracon yang terlihat-tidak-terlalu-rapuh. Dia punya simpanan senjata di kamar mandi! TSEEEW! TSEEEW! Pistol itu diarahkan tepat pada Ax. Tapi Ax sudah tidak berada di sana pada saat dia menarik pelatuknya. Aku menjatuhkan diri di lantai dan maju, meluncur di genangan darah Hork-Bajir. Sang Visser berjongkok di belakang alat pengintai lagi, matanya terpatri oleh kebencian. Dengan kepalan tanganku yang luar biasa besar aku mengambil salah satu tas sang Visser dan melindungi diri dari satu tembakan yang diarahkan pada kepalaku. Mengumpulkan segala kekuatan otot gorilaku, semua kemarahan seorang anak yang menginginkan balas dendam, aku melompat ke depan, menyingkirkan alat pengamat itu, dan menuju Visser One. WHHUMMPPFF. Empat ratus pound otot dan daging meremukkan tubuh manusia ramping ibuku. Aku berdiri, menariknya ke atas kakinya, mengambil dan melemparkan senjatanya ke seberang ruangan dengan tenang. Aku mengunci tangannya. Mengunci tangannya dengan lembut.
Ax mendengus. “Jadi kenapa kau tidak membunuhku saja?” VIsser One meludah. “Sampah Andalite arogan! Kenapa kau tidak membunuhku sekarang?” kata Ax, mengangguk padaku.
Chapter 11 <Bunuh dia sekarang,> kata Ax bagi semua untuk didengar. Tapi dalam bahasa-pikiran pribadi, yang hanya bisa didengar olehku dan Tobias, dia menambahkan, Aku mempererat peganganku. Membuatnya merasakan kekuatan yang tak bisa dilawan dari lenganku. Aku menahan keinginan untuk berteriak, “Maaf, Mom!” “Stop!” Sang Visser menjerit. “Jangan bunuh aku!” Aku membuat lenganku lebih rileks. Tubuh manusia ibuku terjatuh. Aku dapat mendengar nafasnya yang tersendat-sendat. Dapat melihat tulang bahunya dari blus sutra tipis yang ia kenakan. Ax memancing. “Adik Elfangor! Aku seharusnya tahu salah satu anggota keluarganya yang rendah dan pengecut masih hidup! Tapi Visser Three-lah yang mengakhiri nyawanya. Dialah orang yang kau mau. Dan begitu juga denganku. Aku mau dia mati sebesar keinginanmu. Bukan berarti aku tidak akan bangga menyatakan Elfangor sebagai korbanku.” kataku. Aku tidak bisa memeganginya lagi. Aku sedang setengah jalan menuju pelukan penuh kasih dan cekikan penuh amarah. kata Ax secara pribadi. kata Tobias. Aku melepaskannya. Dia meluruskan wig pirangnya dan menarik beberapa tarikan nafas dalam. Aku menyingkirkan wig itu dari kepalanya dengan punggung tanganku. Tidak tahu kenapa. Sang Visser… ibuku.. memandangiku dengan tatapan geli yang dingin. “Prajurit Andalite yang lemah lembut,” katanya mengejek. kataku keras. “Aku tidak akan bertahan hidup terlalu lama,” katanya, tiba-tiba terlihat lelah. “Visser Three sudah menuduhku berkhianat. Sekarang, setelah Hork-Bajirnya melapor, dia akan memiliki bukti yang bisa dia bawa ke Dewan Tiga Belas. Mereka sudah memberikan gashad. Hak untuk membunuhku.”
Tobias terbang melewati gambar yang kami lihat tadi. <Apa yang kamu rencanakan?> Dia tertawa. “Dan kalian pasti penasaran untuk mengetahui setiap detilnya.” kata Ax. “Aku sudah mati.” kata Ax. Matanya yang gelap berkilat. “Kau menolongku menghancurkan Visser Three, lalu kau akan menghancurkanku. Itukah rencanaya?” kataku terus terang. Dia tertawa merendahkan. “Kebenaran. Kalian berlaku hormat dengan tidak menganggapku seseorang yang bodoh.” Dia mendekat, membawa mukanya begitu dekat denganku. “Ya. Memang.” kata Ax, Aku menonton sementara tubuh ibuku menjadi tegak. Suaranya tenang, tanpa emosi. “Dulu aku kembali ke Bumi untuk membangun sebuah fasilitas bawah air. Tempat itu seharusnya digunakan untuk memproduksi tubuh induk semang yang cocok dengan serangan ke bangsa Leera. Tapi seperti yang kalian, para Andalite, ketahui, fasilitas itu hancur. Harga diriku jatuh. Pangkatku diturunkan menjadi sub-Visser. Tapi Visser Three berkeras untuk menghancurkanku. Dia memberitahu siapapun yang mau mendengar bahwa aku adalah seorang pengkhianat. Dewan Tiga Belas mempercayainya dan mengeluarkan gashad. Aku berada dalam persembunyian sejak saat itu.” kata Ax. <Tidak ada keraguan bahwa kau punya pesawat dalam orbit. Dan mungkin sebuah Bug Fighter tersembunyi di planet ini. Tidak ada keraguan kau masih punya lebih banyak lagi generator Kandrona portabel di sana.> Sang Visser menggelengkan kepalanya. “Aku tidak akan membawamu ke pesawatku, Andalite.” Tanpa menyadari apa yang kulakukan, sebelum aku mendapatkan waktu untuk berpikir, aku merrenggut Kandrona portabel itu dari tempatnya dan membantingnya keras-keras ke lantai. <Tiktok. Beritahu dia, Ax,> ujarku.
“Langkah taktis yang bagus,” kata sang Visser. “Potong waktuku. Buat aku frustasi. Tapi tidak akan berhasil.” aku bergumam. <Apa rencanamu, Yeerk?< Ax mendesaknya. Visser One menyandarkan tubuh ibuku pada alat pengintai yang berdiri tegak itu. Dalam beberapa saat dia terlihat sama tidak berdosanya seperti seorang guru kelas tiga SD yang hendak menceritakan sebuah kisah mirip legenda dari Abe Lincoln muda. “Hork-Bajir merdeka,” jawabnya singkat. “Visser Three telah membiarkan Hork-Bajir yang bebas membangun koloni tepat di bawah batang hidungnya.” Ax membalas. “Jangan pura-pura bodoh denganku,” kata sang Visser. “Hanya satu hal yang kami kagumi dari kalian para Andalite – kecerdasan.” Tuntut Ax. “Itu urusanku.” Visser One mengangkat bahu. “Ada banyak jalan untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di bawah sana kalau kau punya ketajaman mental yang cukup, sesuatu yang sama sekali tidak dimiliki Visser Three. Beritahu aku, Andalite,” dia melanjutkan. “Bagaimana kakakmu, sang Elfangor yang agung, bertekuk lutut di depan Yeerk sebegitu tidak sempurna dan inkompeten seperti Visser Three?” jawab Ax, dengan tenang. “Aku tahu seberapa pentingnya balas dendam dalam budaya Andalite,” kata Visser One. “Visser Three membunuh kakakmu. Kau terikat harga diri untuk membunuhnya. Aku dapat membuat hal itu terjadi.” kata Ax. “Dengan harga setimpal,” dia menyetujuinya. Tanyaku. “Koloni Hork-Bajir. Berikan padaku para Hork-Bajir merdeka itu. Aku akan memberimu Visser Three.”
Chapter 12 Sunyi sejenak. kataku pada Ax secara pribadi. Tobias meledak. Ax berkata, Dia tertawa. “Kita sepakat?” Ax bertanya kata Tobias padaku. Aku membalas balik. kata Tobias. Aku tidak bisa membantahnya. <Jake bilang kau yang mengambil keputusan, Tobias.> Tobias tertawa tanpa rasa humor. ujarku. kata Tobias. kata Ax. “Beritahu aku dimana para Hork-Bajir itu berada!”
jawab Ax. <Setelah Visser Three muncul, aku akan membunuhnya. Kalau begitu kau tidak harus berkhianat dengan membunuh seorang Visser dan aku akan mendapatkan balas dendamku.> “Satu hal lagi : Kau dan kelompokmu harus berada di sana. Aku akan membutuhkan kalian untuk menghabisi seluruh Hork-Bajir di sana. Aku ini satu orang sendirian.” Ax mulai menjawab. Aku menghentikannya. <Setuju saja, Ax.> <Apa?> Tuntut Tobias. <Sendirian apanya,> kataku. Kata Ax tanpa emosi. <Tidak lebih dari binatang bagi kami.> “Hubungi aku kalau kau siap,” katanya. Dia pun tersenyum. Senyum ibuku. Sekali lagi aku merasakan keinginan membara untuk melakukan dua hal yang berlawanan : untuk menangis sekaligus menghancurkan. “Aku punya e-mail.” Dia tertawa dan memberitahu alamatnya pada kami. Lalu dia menyipitkan matanya dan memandangi kami satu-persatu. “Salah satu dari kalian mendominasi pembicaraan. Dua dari kalian tinggal dalam wujud morf. Visser Three itu seorang idiot. Dia tidak melihat hal yang aneh dalam kelompok pemberontak kalian. Dia melewatkan sesuatu.” Dia tersenyum sadis. “Tapi jangan khawatir. Setelah aku kembali berkuasa aku akan mengetahui hal itu. Lalu… “Dia membuat bentuk pistol dari tangannya, menodongkannya ke kepalaku dan berkata, “Lalu… TSEEEEW!”
Chapter 13 Kami meninggalkan tempat itu. Kami demorf di tangga dan bersusah payah naik ke atas. Sesampainya di atap Tobias mengangkasa untuk memantau keadaan. <Empat helikopter sedang jalan kesini,> lapornya. <Mereka akan sampai dalam lima menit. Visser One akan dikepung pasukan Hork-Bajirnya Visser Three sebelum dia sempat sadar apa yang terjadi.> “Ayo pakai sayap kita,” saranku pada Ax. Beberapa saat kemudian kami semua sudah berada di udara. Penerbangan kami berat. Tak ada angin yang mengangkat, tidak ada termal di malam hari, hanya udara kosong yang membuatmu harus terus mengepak seperti kelelawar. Kami terbang melewati dinding-dinding tinggi dan hutan besi. Di sini dan di sana ada kilapan cahaya, atau cahaya dari seisi lantai. Aku bisa melihat para petugas kebersihan mendorong tempat sampah beroda dan vacuum cleaner. Satu pancaran cahaya menyala di sebuah ruangan penuh dengan pria dan wanita yang terlihat lelah, memakan pizza sambil berdiri mengelilingi semacam diagram. Rasanya aneh, tapi terbang di dekat bangunan-bangunan tinggi selalu membuatmu merasa lebih tinggi dari seharusnya. Kamu pasti menyadari ketinggiannya, mungkin, waktu kamu sedang terbang melewati lantai empat puluh atau apalah. Tak ada yang buka suara sampai kami benar-benar sudah aman. Bunyi helikopter terdengar keras di belakang kami. Aku cukup yakin anak buah Visser Three akan menemukan ruangan kosong. <Well, Marco, kamu baru saja setuju untuk mengkhianati Jara Hamee, Toby, seantero koloni Hork-Bajir. Kamu sebaiknya punya rencana.> <Mau beritahu kami?> kataku. <Mereka mau membunuh satu sama lain, kita bantu mereka.> Aku dapat merasakan keraguan Tobias. <Marco, dia itu->
<Sudahlah Tobias,> ujarku kesal. kata Tobias. Ax, pastinya. Tobias membelokkan sayapnya, bergerak sedikit menjauh. Sumpah, aku tidak pernah melihat seorangpun yang bisa mengekspresikan ketidaksetujuannya seperti Tobias. Tapi waktu itu aku tidak peduli apa yang Tobias pikirkan. Memegang kendali, melakukan sesuatu, akan menahanku dari memikirkannya lebih jauh. Menahanku dari kehancuran hatiku. Aku tahu Tobias dan Ax tidak yakin padaku. Aku tahu mereka tidak sepenuhnya memercayaiku. Mereka pikir aku sedang memainkan peran ganda. Tapi mereka salah. Aku sudah melihat cara untuk menghancrukan kedua Visser. Aku sudah melihat semuanya secara sempurna. Orang-orang tidak mengerti kata ‘dingin’. Mereka pikir artinya ‘kejam’. Bukan soal kejam. Tapi soal melihat garis terang dan jelas, dari poin A ke B. Garis yang beranjak dari motivasi ke tujuan. Awal ke akhir. Soal melihat garis terang dan jelas itu, dan tidak ambil pusing tentang yang lainnya kecuali satu fakta memesona bahwa kamu telah melihat sebuah solusi. Tidak memedulikan apapun kecuali kesempurnaannya. Itulah yang sedang terjadi. Aku melihat cara untuk menjebak kedua Visser. Dan hanya itulah yang penting. Tapi aku tidak akan menjelaskannya pada siapapun. Rasa kasihan orang lain hanya akan mengaburkan garis lurus tersebut. Rasa kasihan orang lain membuatmu berpikir tentang hal-hal yang tak dapat kamu pikirkan saat kamu sedang melihat sang garis. <Sekarang tengah malam di tempat Cassie juga,> kata Tobias. balasku. Ax berargumen.
Sok kuat. Aku tahu mereka akan tetap bertahan bersamaku. Tobias tidak punya pilihan lain. Dia bisa mencoba untuk menghentikanku dengan kekerasan, atau ikut denganku. kata Tobias. kataku.
Chapter 14 Malam itu sangat tenang, sementara kami terbang. Aku tahu dalam hatiku bahwa empat helikopter kecil sarat Hork-Bajir telah mendobrak pintu sebuah kantor kosong dan tidak menemukan seorangpun di dalamnya. Aku tahu itu. Aku tidak memercayai takdir. Tapi aku merasakannya saat ini. Kami akan bertemu lagi, Visser One dan diriku. Kami akan bertemu di puncak gunung. Dan aku akan mengakhiri segalanya di sana. Hanya beberapa bintang berkelap-kelip di angkasa menembus awan yang menipis. Kami terbang lebih berdekatan daripada biasanya di siang hari, ketika pemandangan tiga burung pemangsa bergerombol bersama di langit akan menarik perhatian yang tidak diinginkan. Kami terbang dari bawah kota ke pinggiran, menyebrangi kompleks perumahan tempat Jake dan aku dan Rachel tinggal, melewati lebih banyak lagi perumahan, dan ke tempat yang hampir menyerupai desa dimana keluarga Cassie menempatkan rumah mereka, bersama Klinik Satwa Liar mereka. Kami mendarat di sebuah pohon besar dan berdaun lebat, yang cabangnya sedikit menyentuh jendela kamar Cassie. Tobias bergerak mendekat, berjalan ke samping seperti di komik-komik, seperti burung nuri di sangkarnya. Dia mengetuk kacanya dengan paruhnya. TAP. TAP. TAP. katanya. <Apa dia ada di sana?> Tanyaku. jawabnya sinis. Dia kesal karena kendali sudah diambil alih. Aku mengulang. Ax membeo. <Semuanya diam dong!> Tobias menghentikan kami dengan frustasi. TAP! TAP! TAP!
7
Semacam permainan dengan bola Hacky Sack, intinya harus mempertahankan bola di udara tanpa menggunakan tangan.
TAP! TAP! TA-CSSSHHHH! Kacanya pecah. Berjatuhan dalam pecahan-pecahan yang berkilauan. “Jake?” Cassie langsung duduk tegak di tempat tidurnya. Jawabku, sehingga Cassie dapat mendengarnya. kata Tobias. <Sori soal kacanya.> “Aku jadi harus menjelaskannya pada orangtuaku, tahu,” Kata Cassie, menggosok matanya yang mengantuk. Lalu, perlahan-lahan, dia memperbaiki kerah baju tidurnya. Ax menyarankan. “Itu pasti bakal terdengar nggak biasa,” gumam Cassie. “Kalian lagi ngapain?” <Menggoda cewek-cewek,> aku menyarankan. “Marco, kalian semua ngapain di sini? Apa yang terjadi malam ini? Ada yang terluka?” jawab Ax. ujarku. <Seekor binatang yang bisa memanjat. Yang lumayan besar, kalau mungkin. Sedikit keahlian untuk menjatuhkan hukuman.> “Kamu sebaiknya nggak membangunkanku dan merusakkan jendelaku hanya untuk – “ <Situasinya agak mendesak, nih - > aku menyela. Cassie memandang Tobias, lalu ke Ax dengan ragu. <Marco punya rencana,> kata Tobias kering. “Jake?” Kataku. Dia menarik nafas dalam. “Oke. Kambing gunung.”
“Bukan kambing seperti itu, Marco.” Cassie menggelengkan kepalanya. “Kambing gunung. Tanduknya tajam. Kecepatan yang luar biasa. Tendangan kaki belakangnya bisa membuat orang terbang menembus dinding gudang jerami. Berat mereka bisa sampai tiga ratus pound.” kataku. Cassie berhenti sejenak. “Apa dia baik-baik saja?” Dia menanyai Tobias, merujuk padaku. <Seharusnya sih begitu.> “Tobias, situasi ini menekan bagi Marco. Jake menyerahkan kekuasaan padamu. Kalau Marco – “ “Oke, kalau begitu. Aku akan bertanya padamu. Kamu oke, Marco? Kamu kelihatan agak gelisah. Kalut.” Aku melontarkan sebuah kata kasar. Lalu, <Semua tolong stop berlagak seakan aku ini semacam orang gila. Aku tahu aku sedang melakukan apa. Aku nggak butuh analisa psikologi. Ini bukan Oprah!> Cassie menggigit bibirnya dengan penuh pertimbangan. Pandangannya tidak terfokus. Aku yakin dia sedang mendengar Tobias atau Ax atau mereka berdua berbicara dengannya menggunakan bahasa-pikiran pribadi. Aku tidak tahu apa yang mereka katakan. Tapi aku mengenali secercah emosi yang terpancar di matanya : rasa kasihan. “Well,” akhirnya dia berkata, “The Gardens punya habitat pegunungan yang baru dibuat. Tempatnya terbuka jadi kalian nggak akan punya masalah ke sana setelah jam kunjung. Atau mendekati kambing-kambingnya.” Aku melentingkan diriku dari ambang jendela. Ax dan Tobias tidak ada yang berbicara padaku sementara kami terbang. Mungkin mereka sedang berkasak-kusuk tentangku secara pribadi. Aku tidak peduli. Aku telah melihat garis yang terang dan jelas itu.
Chapter 15 The Gardens : Taman hiburan yang seru ditambah kebun binatang. Tiket masuk yang sangat mahal. Kalau kamu masuk lewat gerbangnya. Aku melihat kincir ria yang lampunya meredup jauh di depan, dan favoritku, roller coaster yang curam dan mengular terletak di bagian taman hiburan The Gardens. Beberapa saat kemudian, terbang melewati kebun binatangnya, aku melihat tempat yang pasti merupakan daerah habitat pegunungan yang sudah Cassie beritahukan. Padang bergulir dan berumput. Aliran sungai berliku di bagian utaranya. Dan di tengah padang tersebut, sebuah ‘gunung’ buatan dari batu amat landai tercampur semen dipenuhi gua dangkal dan tonjolan. Habitat itu sendiri dikelilingi oleh pagar jala yang tinggi, di atasnya kami mendarat. Aku dapat melihat sosok-sosok beberapa kambing bungkuk di dalam gua dangkal terbesar di sana. Mereka sedang duduk-duduk di tanah sambil berkelompok. Bebebrapa kambing lain berdiri tak bergerak, memandangi tiga burung yang balas memandangi mereka. <Menarik,> Ax mengamati. ujarku. kata Tobias gugup. lanjut Ax. <Mungkin lebih baik kita memilih yang sedang tertidur.> Aku mengudara dan terbang ke bibir sebuah gua kecil. Tobias dan Ax mengekor. Aku sudah melihat sebuah sosok besar di dalamnya. Yup. Seekor kambing gunung di dalam, tertidur lelap. Jantan? Aku tidak tahu. Semua kambing punya tanduk hitam dan jenggot walau sepertinya beberapa dari mereka seharusnya betina. Ax dan aku demorf dalam diam beberapa kaki darinya. Gunung buatan itu tidak terlihat terlalu berbahaya ketika kami masih jadi burung. Setelah jadi manusia, tanah di bawah sana terlihat lebih jauh. Aku mengayun dan menggenggam sebongkah batu. Lalu aku mulai merangkak ke dalam menuju hewan besar, berambut putih itu. “Bagaimana kalau dia bangun?” Kataku. jawabnya sebal.
Aku menghela nafas. “Tobias, begini, jangan tambah bebanku, oke? Aku tahu kamu pikir Jake akan menyalahkanmu kalau semuanya jadi berantakan. Tapi kita harus kerja sama, di sini, oke?” Tobias tertawa. Aku melangkah makin dekat. Bodoh sekali takut pada seekor kambing. Dari semua binatang yang pernah kudekati. Dari semua binatang yang pernah kujelmai, sekarang aku takut pada seekor kambing? Aku meletakkan tanganku pada sisi tubuhnya. Dia memandangku. “Please, jangan tusukkan tandukmu di ginjalku,” kataku dengan nada manis. Dia bergerak. Aku mau melangkah mundur. Tapi itu merupakan hal yang salah untuk dilakukan. Tanganku menyentuh bulu-bulu kasar. Aku memusatkan pikiran. Aku memerlukan DNA anak besar ini sekarang. Kambing itu terlihat siap untuk melompat dan menjeblakku ke dimensi berikutnya. Tapi lalu dia menjadi tenang sementara trance penyerapan DNA mengambil alih. Kuku-kuku Ax berkelotakan saat dia maju, dan ketika aku menarik tanganku, dia meletakkan tangannya. Tobias yang terakhir. katanya setelah dia melompat pergi dari punggung kambing yang tertidur itu. <Morf dan ayo pergi dari sini sebelum dia bangun.> “Uh, jangan lihat sekarang tapi kupikir kita punya masalah lain.” Di bibir gua berdiri teman-teman sekamar Mr. Kambing Gunung. Dan mereka tidak terlihat senang melihat kami di sana. “Uh-oh,” kataku. Kambing-kambing itu perlu sekitar dua detik untuk melewati sekitar seratus kaki bebatuan, jurang, dan cekungan. Aku berbalik. Aku berlari. Tobias mengepak menuju tempat aman. Ax melompat pergi dengan anggunnya. Aku? Aku mendapat tanduk kambing di bokong. Aku terbang.
“Aaahhhhh!” Nanti, aku membaca bahwa kambing gunung jantan suka menyeruduk kambing gunung jantan lainnya dengan tanduk mereka – di bokong satu sama lain. Dan biarkan aku berkata sebelum kamu diseruduk dari bukit setinggi lima-belas-kaki oleh kambing gunung jantan marah seberat dua-ratus-lima-puluh-pound, kamu belum merasakan rasa malu sejati.
Chapter 16 Aku berbaring di tempat tidurku, dalam kegelapan. Setiap beberapa menit aku mengecek angka-angka di jam dinding. Tiga lima-belas. Tiga empat-puluh-dua. Empat sembilan. Aku mau tidur. Butuh tidur. Tapi tidak bisa. Pernah mengalami malam-malam seperti ini? Dimana kamu begitu kelelahan, dimana kamu akan membayar apapun juga untuk bisa terlelap? Tapi roda-roda di kepalamu tetap saja berputar dan berputar dan berputar? Pembicaraan imajiner. Aku berbicara, menjelaskan, berargumen. Mengganti kata-katanya, mengulanginya lagi, melatihnya. Terus dan terus dalam lingkaran. Aku berbicara pada Jake, Jake dalam imajinasiku. Menjelaskan dengan logika sempurna. Aku berbicara pada ayahku dalam sebuah masa depan fiksi, sebuah dunia yang tidak eksis dimana ada banyak hal yang berbeda dan pada akhirnya aku bisa memeberitahu semua rahasia yang selama ini telah kujaga dengan nyawaku sendiri. Aku berbicara dengan ibuku. Berapi-api. Menjelaskan. Aku menjelaskan pada ibuku, sebagai ibuku yang asli, kenapa aku harus melakukannya. Aku menjelaskan pada ibuku, sebagai Visser One. Tertawa, cekikikan, menikmati kemenanganku atasnya. Beginilah caraku mengalahkanmu! Aku mengaok. Beginilah caraku menyelamatkanmu! Aku menjelaskan. Tak ada pilihan lain. Tak ada pilihan lain. Aku harus melakukannya, Dad, kau mengerti, kan? Apa lagi yang bisa kulakukan? Terlalu banyak yang dipertaruhkan. Aku memiliki tanggung jawab. Kau tahu rasanya, kan? Dan selain itu, dia sudah mati bagimu. Kau sudah bersedih untuknya, ingat? Kau menghabiskan bertahun-tahun duduk di kursimu, memandang kosong, hidupmu hancur berantakan… Lihat, Jake? Jangan pernah meragukanku lagi. Aku melakukannya, oke? Aku memprioritaskan misi kita. Aku melihat garis besarnya. Jadi jangan pernah meragukanku lagi, karena aku sudah melakukan apa yang harus… Mom, aku harus bagaimana? Aku melihat semua permainannya. Aku melihat semua bidak di papan catur. Tidak ada solusi untuk membebaskanmu. Hanya ada solusi untuk menghancurkanmu. Aku harus melakukannya. Bagaimana lagi? Bagaimana aku bisa… Mati, kau Yeerk, sampah. Mengerut dan matilah, dan ingat-ingat dengan pikiranmu yang sekarat itu : Ini kulakukan untuknya. Aku membunuhmu untuknya.
Untuk Jake. Untuk ayahku. Untuk… Berulang dan berulang lagi, sementara waktu berdetik pergi. Sementara kelelahan meresap ke tulang-tulangku. Suatu hari nanti, ketika kami menang, ketika umat manusia terselamatkan, kami akan masuk buku sejarah. Aku dan Jake dan Cassie dan Tobias dan Ax. Mereka akan jadi nama-nama jalan, seperti jenderal dari Perang Dunia Kedua atau Perang Sipil. Patton dan Eisenhowr, Ulysses Rant dan Robert E. Lee. Anak-anak akan mempelajari kami di sekolah. Kebosanan, mungkin. Dan guru mereka akan menceritakan cerita tentang Marco. Aku akan menjadi bagian dari sejarah. Tindakanku. Beberapa anak akan tertawa. Beberapa anak akan berkata, “Dingin, man. Itu dingin sekali.” Aku harus melakukannya, tahu. Itu perang. Justru itulah intinya, dasar anak bodoh sombong yang cuma bisa cengengesan saja. Apa kamu nggak mengerti? Itulah intinya. Kami menyakiti orang yang tidak berdosa untuk menghentikan si jahat. Hork-Bajir tak berdosa. Taxxon tak berdosa. Pengendali-manusia tak berdosa. Bagaimana lagi cara menghentikan para Yeerk? Bagaimana lagi cara untuk menang? Tak ada pilihan lain, anak kecil. Kami melakukan apa yang harus kami lakukan. “Dingin, man. Si Marco itu? Dia itu dingin.”
Chapter 17 Pagi itu kami semua berkumpul di gudang jerami. Aku sudah lebih dari kelelahan. Bokongku sakit. Sikuku lecet bekas menggesek gunung buatan itu. Tobias terlihat lelah juga. Terllau lelah bahkan untuk mengejekku soal kejadianku dengan kambing itu. Ax terlihat seakan dia telah menghabiskan malam itu mendengkur seperti seorang bayi. Aku menjelaskan rencanaku pada Jake dan yang lainnya. “Kita jatuhkan Visser One. Kita jatuhkan Visser Three. Kita biarkan para Yeerk percaya mereka sudah menghabisi koloni Hork-Bajir itu. Para Hork-Bajir merdeka jadi makin aman; para Yeerk berakhir tanpa pemimpin.” Aku menghindari memandang Cassie. Dari Jake, hanya ada sedikit percikan kesedihan. Tapi Jake juga, ketagihan pada garis yang terang dan jelas. Rachel mengunci pandangannya di bawah, pada lantai tanah-dan-jerami. Rachel tidak bodoh. Dia tahu apapun yang dia katakan hanya akan membuatku marah. Dan kutebak, dia, seperti yang lainnya, sedang membayangkan jika dia berada dalam posisiku. Bertanya-tanya akankah dia akan mampu melakukannya. “Kalau berhasil, kita bisa menyingkirkan mereka berdua,” aku menyimpulkan. “Tapi ada banyak hal yang bisa jadi masalah. Banyak hal nggak terlihat yang – “ Cassie meletakkan tangannya di lenganku. “Marco, kamu tahu kita akan mencoba menolong ibumu, dengan cara apapun yang kita bisa.” “Dia ini hanya satu orang.” Aku mengibaskan tangannya dan bangkit berdiri. “Dan kita seharusnya menyelamatkan seisi bumi, kan? Salah satu kalimat yang kulatih kemarin malam. Terdengar lebih pahit dan kurang keren dan kurang kalem dan kurang terkontrol daripada yang kumau. “Oke,” kata Jake. Itu saja. Hanya ‘oke’. Dia tidak mengucapkan kalimat apapun yang kupikir akan keluar dari mulutnya dalam percakapan imajinerku. “Jadi kita jalankan ini?” Tanyaku. “Yeah. Kamu yang atur, Marco.” Aku menarik satu tarikan nafas yang agak bergetar. “Oke. Oke. Oke, kita mau fokus pada penempatan waktunya. Jangan biarkan Visser One punya waktu untuk memikirkan segalanya.
Biarkan dia kehilangan keseimbangan. Aku tahu tempatnya. Aku pernah hiking kesana sekali dengan ayahku. Aku butuh seseorang untuk menghubungi Erek.” Erek adalah anggota dari sekelompok kecil Chee. Mereka android. Penolak kekerasan dalam program mereka. Tapi bekerja untuk menginfiltrasi kaum Yeerk. Mata-mata. Para Chee hidup sebagai manusia dengan proyeksi hologram mereka yang luar biasa. Mereka menjalani hidup manusia. Banyak kehidupan manusia. Mereka sudah tinggal di Bumi sejak zaman piramid. Tobias menawarkan diri, terbang turun dari kasau ke tumpukan jerami. “Oke. Jangan biarkan dia melihat kita. Kita akan bermain sebagai Andalite arogan selama semuanya berlangsung. Visser One nggak akan –“ “Dia ini ibumu!” Cassie meledak. “Dia bukan ‘Visser One’. Dia itu ibumu! Apa semuanya akan membiarkan ini terjadi begitu saja?” Jake melemparkan padangan dingin kepadanya. “Sekarang bukan waktunya, Cassie.” “Kalau begitu kapan? Waktu otak Marco jadi rusak selamanya gara-gara ini? Dia sedang menyangkali semuanya. Itu ibunya, demi Tuhan.” Jake tidak mengatakan apa-apa. Tidak ada yang mengatakan apa-apa. Kata-kata Cassie bergaung pada udara kosong. “Lanjutkan, Marco,” kata Jake akhirnya. “Kita mau dia fokus pada arogansi para Andalite,” kataku. “Dia benci Andalite. Jadi, kita mau dia bergumul di situ saja. Mungkin akan cukup untuk mencegahnya melihat jebakan yang kita pasang. Setelah kita siap, aku akan e-mail dia.” “Ax, menurutmu kami bisa memainkan peran sebagai Andalite yang arogan?” Tanya Jake. jawabnya. “Yeah. Rendah hati adalah sifat yang pertama kali ada di pikiranku waktu aku berpikir soal ‘Andalite’,” kata Rachel menekankan tiap suku kata. Tobias menganjurkan. Ax mendengus. “Oke, Tobias. Tapi kamu harus menyisihkan waktu untuk pergi ke gunung.”
Aku menyambar komputer yang biasa digunakan Cassie dan ayahnya untuk merekam catatan medis. “Ax? Kami butuh nama samaran yang aman. Sesuatu yang nggak akan bisa ditelusuri oleh para Yeerk sampai ke sini.” Ak bekerja di komputer selama beberapa menit, bergumam tentang teknologi manusia yang begitu primitf. Bergumam dengan cara yang tenang dan rendah hati, tentu saja. Aku mengetik. Aku meng-klik ‘send’. Aku tidak berpikir tentang apa yang baru saja kulakukan. “Oke. Semuanya mengerti apa yang harus dilakukan, kan?” Tanyaku. “Yeah.” “Oke. Aku keluar dari sini.” Aku mulai morf jadi osprey. Beberapa saat kemudian, aku sudah berada di udara. Lega karena sudah berada jauh dari teman-temaku. Sekitar lima belas menit kemudian, aku mendarat di pohon elm berdaun lebat dekat sebuah sudut sibuk di Jalan Green and Spring. Tobias bertengger di tiang telepon di seberang jalan, merapikan bulu-bulunya. Beberapa menit kemudian dia muncul mengemudikan Audi sewaan. Dia memarkirnya dengan kasar ke tempat parkir, menerobos rombongan sebuah keluarga yang mengendarai van Chrysler Town and Country. Dia memanjat turun. Pengendara van tersebut meneriakkan sesuatu padanya. Dia memandangi orang tersebut. Orang itu pun memutuskan untuk berkendara pergi. Dia tidak lagi berada dalam penyamaran. Dia terlihat seperti ibuku lagi. Dia adalah ibuku. Kulit berwarna zaitun. Rambut hitam seperti model iklan shampoo. Mata gelap. aku mengingatkan diri sendiri. Dia berdiri berlagak seperti sedang tertarik pada barang-barang yang dipajang di jendela Ace Hardware.
aku memberitahunya. Kepalanya menoleh. Dia melihat sekeliling. Memerhatikan anjing-penuntun seorang wanita buta dengan curiga. lanjut Tobias. “Chapman!” Dia bergumam. “Salah satu anak buah tak kompeten Visser Three. Dia akan langsung menangkapku kalau artinya dia akan bisa naik pangkat.” Mata ospreyku dapat melihat mulutnya membentuk sederetan kata-kata kotor. Tobias mengacuhkannya. kata Tobias. Visser One berdiri di luar Dunkin’ Donuts jam 1:55 siang. Tepatnya pada 2:10 siang, Chapman berlari mengelilingi bangunan tersebut, dibalut pakaian jogging berwarna hijau-limau dan kuning. Si Yeerk di kepala ibuku membuka pegangannya. Tas tangannya terjatuh. Chapman, selalu bermain peran sebagai sang pilar komunitas, membungkuk untuk memungutnya bagi ibuku. Dia menegakkan badan dan menyerahkan tas tersebut. Visser One tersenyum. Lalu senyum itu membeku. Aktingnya bagus sekali. Chapman tidak mengatakan apa-apa. Tapi aku bisa melihat darah mengalir pergi dari kedua pipinya. Dia mundur satu langkah dan berlari pergi dengan kecepatan dobel. Dari tempat bertenggerku, di atap aluminium berkarat milik Fred’s Car Wash, aku melihat Chapman berhenti pada telepon umum satu blok dari situ dan menekan rentetan nomor dengan panik. Visser One berdiri, mulai kesal. Dia memandang sekeliling lagi, mencoba menentukan keberadaan kami. Tapi ada banyak burung dara dan anjing, dan kami bisa berada dimana saja.
kata Tobias. <Embarkasi kendaraan besar yang berhenti di ujung berikutnya. Lakukan debarkasi di JCPenney8.> “Namanya ‘bus’, dasar Andalite bodoh,” balasnya menggumam. Aku kebetulan mendengarnya saat dia berjalan di bawahku. Akting Tobias berefek juga. jawab Tobias. Dua menit kemudian sebuah bus berhenti di seberang pinggiran trotoar yang dicat kuning. kata Tobias tiba-tiba. <Embarkasi?> Tanyaku pada Tobias. Ibuku menaiki bus itu. Aku meluncur dari atap tempat cuci mobil itu dan mendarat, dengan berantakan, di atas atap metal bus yang panas itu. Tidak ada tempat berpegangan. Tapi beberapa retakan sudah terbentuk di sana dan aku menancapkan cakarku pada lubang-lubang itu dengan sepenuh hati. Bukan cara favoritku untuk berpergian. Busnya kembali ke jalan utama dan memulai perjalanan lima-menit menuju mall. Untungnya, kecepatannya tidak pernah melebihi sepuluh atau lima belas mil per jam. Menundukkan kepalaku ke bawah dan membuat tubuhku berbentuk lebih aerodinamis, aku dapat menahan terpaan anginnya. Aku bisa saja mengikuti pola udaranya, yang akan membuatku lebih nyaman. Dua blok dari perhentian bus di depan JC Penney, aku mengangkasa. Dan mengepak mencari ketinggian. Seekor osprey yang berada terlalu dekat dengan daratan akan menarik perhatian. Aku meneliti sekelilingku kalau-kalau ada wajah-wajah yang familiar. Aku menemukan seekor peregrine falcon memandangiku lekat-lekat. Jake sedang bertengger di atas sebuah bank di batas luar lahan parkir mall. <Sejauh ini kita tepat waktu,> laporku. 8
Semacam department store. Di Indonesia setara sama Matahari.
jawabku. Tanyaku. Jake membetulkan. <Jangan lupa, Marco. Kamu diam saja.> kataku, sedikit kelelahan. <Jangan biarkan Visser One mendengar suaraku. Bahkan suara-suara dalam kepalaku.> Aku terbang menuju Dumpster. Tidak seburuk itu. Pikirku. Sampahnya semua berupa kotak-kotak dan benda-benda dari Gap serta old Navy. Jauh lebih baik daripada Dumpster restoran. Aku demorf di Dumpster itu dan memakai pakaian yang ditaruh Jake di sana. Jake mendarat di sampingku. Jake cepat-cepat demorf, lalu morf lagi jadi lalat. Dia mendengungkan sayapnya, berbelokbelok beberapa kali, lalu mendarat di bahuku. Aku memanjat keluar dan kami buru-buru menuju pintu masuk samping JCPenney.
Visser One sudah berjalan dari halte bis melewati pintu depan. Dia menunggu instruksi selanjutnya dengan tidak sabar. Dia berpura-pura belanja, menyentak-nyentak sebuah jersey Michael Jordan untuk akan kecil dengan sebal. Ukuranku, mungkin. Apa dia sedang memikirkan tentang seorang anak yang dulu dimiliki tubuh induk semangnya? Tidak, sepertinya tidak. Dia sedang berpikir tentang sebuah fakta bahwa Pengendalimanusia ada dimana-mana. Berpikir bahwa sekarang Visser Three punya petunjuk tentang keberadaannya. Sedang mengamatinya. Mengetatkan belitannya padanya. Aku bersembunyi di belakang tanaman tinggi dalam pot. “Oke, lurus di depan sana,” bisikku pada Jake. “Ada layar TV bergantung dari atas. Kamu lihat nggak?” Lalat sangatlah lemah dalam melihat jarak jauh. Itulah sebabnya aku harus jadi manusia. Jadi aku bisa berperan sebagai pengatur lalu lintas udara dan menuntun Jake menuju targetnya. “Itu TVnya. Oke, dia berada hampir lurus dari kita dan TV, sedikit saja ke kanan.” Jake berangkat. Aku langsung saja tidak bisa lagi melihatnya. Sulit melihat seekor lalat dilatarbelakangi berbagai macam pemandangan yang membingungkan. Jake mengumumkan beberapa saat kemudian. <Mencoba mengontaknya.> Beberapa detik kemudian aku mendengar bahasa-pikiran Jake, terdengar sangat berbeda. Dan aku melihat kepala ibuku berjengit ke atas. instruksinya. Syal dan sarung tangan. Aku hampir saja tertawa. Sangat Ax-sekali. Visser One pasti baru saja mengatkan sesuatu yang kasar. Hal berikutnya yang kudengar adalah Jake berkata, <jangan bertindak bodoh, Yeerk. Kami sedang menggunakan proses ini untuk memperlengkapimu sesuai kebutuhan. Dan untuk melihat apakah ada yang membuntuti. Hanya untuk informasi, kami sudah melihat empat Pengendali-manusia sedang mengamat-amatimu.> Sebuah kebohongan, tentu saja. Tapi kepala Visser One langsung menoleh kesana-kemari sebelum dia sempat mengontrolnya. kata Jake dengan kesombongan yang kentara. aku memuji Jake.
ujar Jake. kataku. Aku mengerti Visser One. Dia telah melihat garis yang terang dan jelas itu juga. Masalahnya adalah, hanya salah satu dari kamilah yang bisa mencapai ujungnya.
Chapter 18 Rachel, rambutnya ditata menjadi dua kepangan bodoh dan topi pemancing dipasang rendah pada kepalanya, ditempatkan di luar Sepatu dan Tas Tangan. Aku hanya beberapa blok darinya, di Kaus Kaki. Aku terlihat sedikit tidak-pada-tempatnya. Aku hanya bisa berharap tidak ada anak dari sekolahku yang akan melihatku di sini sementara aku meneliti rak stoking pinggang-ke-kaki berwarna cokelat-keabuan. Itu salah satu hal yang akan diingat darimu oleh teman-temanmu di sekolah. Visser One cepat-cepat menuju departemen Syal, Sarung Tangan, dan Topi. Dia mencomot sebuah syal wol abu-abu dari sebuah rak, menyambar sepasang sarung tangan kulit tidak biasa yang agak menyedihkan, dan membayarnya dengan tak-disangkal-lagi-merupakan kartu kredit palsu. Lalu dia mulai berjalan menuju pintu keluarnya yang menuju mall. Semuanya sesuai rencana. Lalu… “Permisi, ma’am? Bisakah Anda mengikuti saya?” Seorang satpam. Berbaju biasa saja. Jenis orang yang sepertinya selalu berakhir mengekoriku di toko. Rachel memandangku. Dia mengangkat alisnya penuh tanya. Aku mendekat, dengan hati-hati, di luar jangkauan pandang Visser One. “Mengikutimu?” Suara ibuku meninggi. “Kenapa?” “Ikuti saja saya, Ma’am. Saya harus menanyai Anda beberapa pertanyaan.” Tangan sang Visser terbang ke tas tangannya. Satpam itu menyadari gerakan tersebut. “Anda harus ditahan karena mencuri syal tersebut.” “Saya membeli syal ini,” jawab sang Visser keras kepala. “Saya punya bonnya.” Satpam itu tertawa gugup. Dia melirik sekeliling, seakan sedang mencari pertolongan. Tapi dia terdengar cukup tegas. “Kalau kau memasukkan tanganmu ke sana dan mengambil senjata Dracon yang aku yakin kau punya, aku akan membunuhmu sekarang juga di sini, pengkhianat.” Visser One memasukkan tangannya. Satpam itu merogoh kantong jaketnya.
Kami berada sekitar dua detik dari peristiwa penembakan di dalam toko yang sarat manusia. Tiba-tiba Rachel berdri di belakangku. “Sembunyi, dasar idiot. Mulutmu terbuka kayak turis! Biar aku yang tangani,” bisik Rachel. Dia benar. Aku tadi berdri di tempat terbuka, mendekat padanya tanpa kusadari. Kalau ibuku tadi menoleh ke belakang… Rachel bergerak cepat. Dia menggamit pergelangan Visser One. Lalu dengan rengekan yang keras dan bernada tinggi dia berkata, “Aku melihatmu membeli syal itu kok!” Satpam itu berhenti sejenak. Visser one menegang. Dia memandangi Rachel lekat-lekat, tapi Rachel menoleh ke arah berlawanan. “Tante ini kok dihukum padahal dia nggak ngapa-ngapain! Lady! Lady! Tadi kamu menjual syal itu padanya, sekarang dia malah dihukum! Kok begini sih tokonya?” Satu hal yang tidak bisa kami lakukan : meninggalkan seorangpun Pengendali yang mengenali kami mulai bertanya-tanya. Rachel menghindari setiap kontak mata, bersembunyi dibalik topi dan rambutnya yang ditata buruk. Bersembunyi dibalik suara palsu. Aku berharap itu cukup. “Nggak masuk akal! Tante ini dihukum padahal dia membayar itu! Dia membayar agak kemahalan, kalau kamu tanya aku, buat kain itu. Bukan kain Kashmir, kan!” Aku memaparkan sebuah cengiran. Lumayan bekerja. Orang-orang mulai berkumpul. Sales yang tadi juga ikut terlibat, setuju bahwa Visser One sudah membayar syal itu. <Apa yang sedang terjadi?> Jake bertanya-tanya, bingung. Sulit untuk mengikuti pembicaraan saat kamu sedang jadi lalat. Tapi tentu saja kami tidak bisa menjawabnya. Rachel berjalan pergi dari keramaian tersebut dan menggenggam lenganku. “Ayo keluar dari sini.” “Nggak ada yang melihat – “ “Kamera keamanan,” desisnya. Dia mengangguk ke arah langit-langit. Aku melihat tonjolah kaca berwarna gelap yang di baliknya tersembunyi sebuah kamera. “Oh.” Aku mengikuti Rachel menuju ruang ganti.
Mungkin kujungan pertama dan terakhirku di kamar ganti wanita. Kami mencapai toko kemah sebelum Visser One dan Jake. Cassie sedang menunggu disana. Dia ikut campur tangan sementara Visser One sibuk membeli tali panjat dan piton. Rachel dan aku berada di sekitar situ, berlagak sedang belanja. Kami sedang mengamati orang lain di toko itu. Mengamati mereka yang mengamati Visser One. Jake tadi berdusta, meyakini bahwa kami sudah melihat empat Pengendali-manusia mengekori Visser One. Itu bukan lagi sebuah kebohongan. Dalam beberapa menit kami pun yakin nomor tersebut bukan empat, tapi lima. “Kamu mau mengecek apa dia benar-benar diikuti, Marco. Sekarang dia diikuti. Dan sekarang kita sedang menyiapkan peristiwa penembakan yang ampun-ampunan di OK Corral,” bisik Rachel. “Kamu sebaiknya benar-benar tahu apa yang lagi kamu lakukan.” “Yeah. Aku sebaiknya benar-benar tahu.”
Chapter 19 Dia membeli tali dan piton, sarung tangan serta boots. Dia dibuntuti beberapa Pengendali-manusia di belakangnya sementara dia mengendari Audi sewaannya dari mall keluar kota, menuju pegunungan nun jauh di sana. OK Corral. Semua anggota kami berada dalam mobil kecuali Tobias dan Ax. Kami semua berada dalam morf kecoa, meringkuk di bawah kursi pengemudi. Karpet hitam yang tebal terasa seperti rumput tinggi dibawah keenam kakiku. Satu gulung Lifesavers peppermint yang terbuka dan terlupakan adalah batang kayu besar, diameternya jauh lebih panjang daripada tinggi kami. Jauh, jauh di atas, setinggi awan-awan, terdapat tabung besi dan kawat melingkar di bagian bawah tempat duduk. Terlalu jauh untuk dilihat lebih dari ukuran dan bayang-bayang tak berbentuk yang dibuatnya, kaki raksasa dan tumit menekan pedal-pedal yang terangkat tinggi. Dia tahu kami berada bersamanya. Dia tidak tahu lokasi kami, tapi dia tahu kami sedang mengamatinya. “Kenapa kita tidak menggunakan helikopter saja untuk mencapai koloni Hork-Bajir ini?” tanyanya. Cassie mengambil alih pembicaraan. Kami harus membuat Visser One melonggarkan kewaspadaannya. Harus membuatnya mulai memandang kami sebagai sekutu. Cassie yang mengemban tanggung jawab itu. “Tentu saja,” jawabnya kesal. “Memangnya aku ini bodoh? Tali? Piton?” Dia berhenti sejenak. <Setelah mereka sampai, pasukanmu akan harus bekerja keras untuk masuk ke dalam.> “Pasukanku?” kata Cassie. “Aku bisa mengurusi masalah Visser Three seorang diri.”
“Rendah hati? Seorang Andalite sepertimu?” <Seorang Andalite yang realistis,> ujar Cassie. Visser One tertawa kering. “Kau takut padanya.” aku berkata secara pribadi pada Cassie. Sebuah kebohongan, tentu. Tapi kedengarannya cukup jujur. Visser One akan berpegang pada informasi itu. Dia akan berpikir kami ini bodoh karena membeberkannya. Kami ingin dia berpandangan bahwa kami ini orang bodoh. “Menurutmu aku akan jadi lebih lunak setelah kembali berkuasa lagi?” Aku mulai memberitahu Cassie apa yang harus dia katakan. Tapi dia sudah sampai di sana, lebih awal daripadaku. <Tidak. Kami hanya berpikir kau akan jadi lebih lemah,> katanya. Sekali lagi, ada rasa kejujuran dari kalimatnya. Ejekan itu membuatnya terdengar lebih jujur. Dan ada sebuah keuntungan yang tercapai dengan memusatkan perhatian ibuku… Visser One… pada tingkat ancaman Visser Three. Kami hanya ingin mengingatkan seberapa mematikannya Visser Three. “Dan entah mengapa…” Visser One berkata, menimbang-nimbang, “Entah mengapa, laporan korban dari Bumi selalu terpusat pada Hork-Bajir dan Taxxon. Faktanya… Aku sedang mencoba mengingat-ingat apakah aku pernah melihat daftar panjang korban Pengendali-manusia.” Isi perutku membeku. Kami sudah membuat sebuah kesalahan. Sebuah kesalahan besar. <Apa yang harus kukatakan?> Pinta Cassie. Otakku tidak mau bekerja. Pikiran-pikiranku tidak mau membentuk semacam perintah konkrit. Visser One baru saja menyentuh rahasia terbesar kami.
Teriak Rachel. <Jangan, sudah terlambat,> sela Jake. “Well, well, well,” ujar Visser One. Dia tahu. Hanya ada satu alasan mengapa sekelompok petarung Andalite bawah tanah mau membiarkan lebih banyak korban Hork-Bajir yang berjatuhan daripada manusia : Pasukan Andalite itu bukan Andalite. Seorang manusia akan mengasihani nyawa manusia lainnya. kata Jake. <Marco…>