3. METODOLOGI PENELITIAN Daerah penelitian mencakup pulau Jawa (Gambar 21), yang terdiri dari provinsi Banten, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, dan Jawa Timur. Waktu penelitian berlangsung
mulai
dari bulan Maret 2009 sampai dengan Juni 2010.
Pelaksanaan penelitian dikelompokkan dalam enam tahapan kegiatan utama, yaitu pengumpulan data, pengolahan data, pembuatan
basisdata geospasial, zonasi
agroekologi dan penghitungan daya dukung, validasi data, analisis indeks keberlanjutan, dan analisis kebijakan. Diagram alir pelaksanaan penelitian diperlihatkan pada Gambar 22.
Gambar 21. Lokasi penelitian keberlanjutan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang 3.1 Pengumpulan Data Penelitian menggunakan data lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosialbudaya yang mencakup data primer dan sekunder. Penggunaan ketiga jenis data tersebut didasarkan pada kepentingan untuk evaluasi keberlanjutan lahan sawah yang sesuai dengan azas pertanian berkelanjutan, yaitu layak ekologi, layak ekonomi, manusiawi, adil, dan luwes (Gips, 1986; dalam Sabiham, 2008). Data lingkungan biofisik digunakan untuk karakterisasi zona agroekologi lahan sawah agar potensi dan daya dukungnya dapat ditentukan. Data lingkungan biofisik tersebut meliputi topografi (rupabumi), data tanah, sistem lahan, penutup lahan
51
Pengumpulan Data
Data Spasial: Peta&Citra Satelit
Data Atribut: Data Statistik, dll
Pengolahan Data Geospasial : - Kompilasi data - Interptretasi Citra Satelit Inderaja
Pembuatan Basisdata Geospasial Basisdata Geospasial
- Zonasi Agroekologi - Penghitungan Daya Dukung
tidak
Validasi/tidak
Ya Analisis Indeks Keberlanjutan
UU No. 26/2007 PP No.26/2008 (PP-RTRWN), dll
Analisis Kebijakan
Pengelolaan Lahan Sawah
Kebijakan Teknis Penataan Ruang
Gambar 22.
Diagram alir penelitian keberlanjutan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang
lahan, agroklimat, dan ketersediaan air irigasi. Data ekonomi dan sosial-budaya diutamakan pada data yang mempengaruhi petani padi sawah secara langsung dalam menjalankan usaha tani. Selain itu, juga dikumpulkan data spasial yang berkaitan dengan aspek legal penggunaan lahan, yaitu peta status kawasan yang terdiri dari status kawasan hutan dan peta pola pemanfaatan ruang (RTRW)
52
Provinsi. Penggunaan data status kawasan tersebut dimaksudkan untuk mengevaluasi kemungkinan terjadinya tumpang tindih alokasi penggunaan lahan pada zona agroekologi lahan sawah yang dipetakan. Data yang dikumpulkan adalah dalam bentuk geospasial digital (peta dan citra satelit Landsat ETM, SPOT-5/tahun2007, Alos Prism/tahun 2007 dan Avnir2/tahun 2007) dan data diskriptif (data statistik, jurnal ilmiah, laporan). Agar posisi keruangannya menyatu dengan sistem referensi Nasional, georeferensi semua data geospasial yang digunakan tersebut mengacu pada sistem ellipsoid World Geodetic System tahun 1984 (WGS’84). Data geospasial ini memiliki keunggulan dalam memberikan informasi posisi keruangan pada permukaan bumi, sehingga penggunaannya untuk zonasi agroekosistem lahan sawah merupakan pilihan yang tepat. Data untuk penelitian tersebut dikumpulkan dari berbagai sumber. Data primer dikumpulkan melalui interpretasi citra Inderaja, analisis laboratorium, dan survei lapangan; sedangkan data sekunder dikumpulkan dari berbagai instansi terkait,
seperti
Badan
Koordinasi
Survei
dan
Pemetaan
Nasional
(BAKOSURTANAL), Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) Kementerian Pertanian, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Pusat Statistik (BPS), Kemeterian Kehutanan (KemHut), dan Kementerian Pekerjaan Umum (KemPu).
Jenis data, kegunaan, dan sumber data dimaksud
dirangkum pada Tabel 9.
3.2 Pengolahan Data Pengolahan
data
geospasial
Penginderaan Jauh (Inderaja).
menggunakan
teknologi
SIG
dan
Kedua teknologi ini memiliki hubungan erat.
Menurut Maguire (1991), teknologi SIG merupakan hasil integrasi dari teknologi Inderaja, katografi, komputer grafis (CAD: Computer Automated Design), dan basisdata (DBMS = database management system). Teknologi Inderaja berfungsi untuk mendukung kemampuan SIG dalam hal pengolahan data dari citra satelit Inderaja. Teknologi kartografi dan komputer grafis mendukung kemampuan SIG dalam visualisasi data. Teknologi basisdata mendukung kemampuan SIG untuk menghimpun dan mengintegrasikan data geospasial dan atribut (diskriptif).
53
Tabel 9. Jenis data yang digunakan untuk penelitian Nomor
Jenis Data
Kegunaan
Sumber
Keterangan
1
Peta rupabumi
Peta dasar
BAKOSURTANAL
1: 250.000 1: 25.000 Tahun 2007
2
Peta sistem lahan
Evaluasi kesesuaian lahan
BAKOSURTANAL
1: 250.000 Tahun 2007
3
Peta penutup lahan
Identifikasi sebaran lahan sawah
BAKOSURTANAL Interpretasi citra Satelit ALOS
1: 250.000 1:25.000 Tahun 2000-2005
4
SRTM
Pembuatan DEM
NASA Amerika
Resolusi 90 m Tahun 2000
5
Peta agroklimat
Identifikasi agroklimat
BMG
Tipe Oldeman Periode 1998-2007
6
Peta irigasi
Identifikasi kondisi irigasi
Departemen Pekerjaan Umum
1: 250.000 Tahun 2003
7
Peta pola pemanfaatan ruang (RTRW)
Identifikasi kawasan
Departemen Pekerjaan Umum
1: 250.000 Tahun 2003
8
Peta Kawasan Hutan
Identifikasi status kawasan hutan
Departemen Kehutanan
1:250.000 Tahun 2005
9
C-organik tanah N-total P-tersedia K-tersedia
Indikator biofisik keberlanjutan lahan sawah, evaluasi kesesuaian lahan
Survei lapangan
Analisis laboratorium
10
Peta status hara P dan K
Indikator biofisik keberlanjutan lahan sawah, evaluasi kesesuaian lahan
Puslitanak
1: 250.000 Tahun 2003
11
Ekonomi budaya
Indikator keberlanjutan lahan sawah, perumusan kebijakan
Survei lapangan BPS
Persepsi petani Persepsi birokrat Persepsi pakar Kondisi pertanian padi sawah
dan
sosial
status
Pengolahan data geospasial dengan teknologi SIG memiliki keunggulan dalam mengintegrasikan berbagai data dengan format georeferensi
berbeda-beda.
Seperti yang dikemukakan oleh Burrough (1986), SIG mempunyai fungsi utama untuk pengumpulan data spasial, penyajian data pada layar monitor (retrieving), transformasi data (manipulasi dan analisis), dan penyajian hasil akhir (output) dalam bentuk peta dan data tabular. Karena berbasis komputer, pengolahan data
54
geospasial dengan teknologi SIG dan Inderaja dapat dilakukan secara cepat dengan ketepatan yang andal.
Kartografi Berkomputer
DBMS Inderaja
SIG
CAD
Gambar 23. Hubungan teknologi SIG dengan teknologi spasial lainnya (Maguire, 1991) 3.2.1 Pembuatan Basisdata Geospasial Pengertian basisdata geospasial tidak jauh berbeda dengan pengertian basisdata umum yang banyak digunakan di sektor perbankan, telekomunikasi, dan lain-lain.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh para ahli (Date, 1995;
Connoly dan Begg, 2002; Rigaux et al., 2002), pada hakekatnya basisdata merupakan kumpulan berkas (files) dijital yang terorganisasi dan terstruktur yang dirancang untuk tujuan tertentu. Yang membedakan antara basisdata geospasial dan basisdata umum adalah jenis datanya. Pada basisdata geospasial, data yang dikelola adalah data grafis bergeoreferensi, sedangkan pada basisdata umum adalah data tekstual. Walaupun jenis datanya berbeda, tujuan utama kedua jenis basisdata tersebut adalah sama, yaitu
untuk menghindari kemubadiran data,
upaya berbagai data (data sharing), menjaga konsistensi dan integritas data, serta memudahkan pemutakhiran data. Basisdata geospasial yang dibangun dalam penelitian ini adalah untuk menghimpun berbagai data geospasial beserta atributnya yang didesain pada sistem referensi nasional (DGN’95) agar data tersebut mudah ditelusur atau
55
diakses,
ditampilkan kembali, diintegrasikan, dan dianalisis
untuk zonasi
agroekologi lahan sawah. Proses pembuatan basisdata geospasial diilustrasikan pada Gambar 24. Pembuatan basisdata geospasial dalam penelitian ini melalui tiga tahap utama, yaitu pemasukan data (input data), proses dalam DBMS, dan keluaran hasil (output). Input data untuk membangun basisdata geospasial zona agroekologi lahan sawah bersumber dari peta analog (peta sistem lahan, peta penutup lahan, kondisi irigasi, status kawasa, dll), data tracking Global Positioning Satellite (GPS), foto digital, dan data tabular (data ekonomi, dan sosial budaya). Input data tersebut dilakukan dengan dijitasi pada layar komputer atau dengan scanner. Kumpulan data (datasets) geospasial yang diproses dalam DBMS tersebut dikelompokkan menjadi kumpulan fitur (feature)
dasar dan kumpulan fitur
tematik. Kumpulan fitur dasar ini terdiri dari layer perairan (hidrologi), layer komunikasi (jalan raya dan jalan kereta api), layer toponimi (nama sungai, kota, gunung, dll), dan batas wilayah administrasi. Kumpulan fitur tematik terdiri dari layer sistem lahan, agroklimat, penutup lahan, status kawasan, kondisi irigasi, ekonomi dan sosial budaya dalam layer batas wilayah administrasi. Orientasi dari fitur tematik tersebut didasarkan pada fitur dasar. DBMS
adalah kumpulan perangkat lunak (software) yang mengelola
struktur dan mengontrol akses yang disimpan dalam basisdata.
DBMS ini
memfasilitasi fungsi pendefinisian tipe data, struktur, dan kendala yang dihadapi; mengkonstruksi dan menyimpan data, memanipulasi, penelusuran (querying) dan penyajian data tertentu, serta pemutakhiran data (Rigaux et al., 2002). Proses dalam DBMS mencakup building topologi, penggabungan data geospasial dan atribut.
Topologi merupakan model struktur data geospasial
dalam bentuk titik (point), garis (line), dan areal atau poligon yang satu sama lain memiliki hubungan geografis. Atribut dari setiap obyek data geografis tersebut digabungkan satu sama lain dengan menggunakan
konsep DBMS relasional
(Rigaux et al., 2002). Fungsi yang dilaksanakan oleh DBMS ini merupakan proses inti yang ada dalam SIG. Dengan adanya DBMS, semua data atribut yang mendiskripsikan obyek geografis
atau fitur dapat digabungkan sehingga
terintegrasi dalam satuan kesatuan data yang memiliki informasi yang lengkap.
56
Data Tabular
GPS Tracking
Foto
Peta Analog
Input Data
Irigasi Sistem Lahan
Proses DBMS
Penutup Lahan
Output
Basisdata Geospasial
Peta kartografis
Data dijital SIG
Tabel
Gambar 24 . Proses pembuatan basisdata geospasial lahan sawah Produk proses DBMS yang tersimpan dalam basisdata dapat dituangkan dalam berbagai bentuk, misalnya dalam bentuk peta kartografis, peta dijital SIG, dan tabel. Dalam penelitian ini, produk basisdata yang dihasilkan terdiri peta zona agroekologi lahan sawah dan daya dukungnya, peta indeks keberlanjutan, dan peta-peta tematik pendukung, seperti peta penutup lahan, peta sistem lahan, peta irigasi,peta status kawasan, agroklimat, dan lain-lain.
3.2.2
Zonasi Agroekologi Lahan Sawah Zona agroekologi (ZAE)
merupakan konsep pewilayahan yang didasari
pada pengertian bahwa komoditi tanaman
mempunyai tingkat kesesuaian,
sehingga dapat dipilah-pilah berdasarkan perbedaan wilayah dengan skala berbeda-berbeda. Pengertian zona dalam ZAE adalah suatu wilayah yang harus didefinisikan berdasarkan penciri tertentu, yaitu lingkungan pertumbuhan tanaman
57
yang dapat menghasilkan produk
dan membawa keuntungan ekonomi
(Wiradisastra, 2003). Menurut FAO (1996), delineasi ZAE didasarkan kombinasi
pada
karakteristik tanah, bentuklahan, dan iklim, yang difokuskan pada
persyaratan agroklimat dan edafik pertumbuhan varietas tanaman pangan dan sistem pengelolaan budidayanya.
ZAE tersebut menunjukkan pemilahan areal
dari lahan menjadi satuan-satuan lebih kecil yang memiliki kesamaan karakteristik untuk kesesuaian lahan, produksi potensial, dan dampak lingkungan. Syafruddin et al. (2004) mengemukakan bahwa ZAE merupakan salah satu cara untuk menata penggunaan lahan melalui pengelompokkan wilayah berdasarkan kesamaan sifat dan kondisi wilayah. Pengelompokkan wilayah tersebut bertujuan untuk menetapkan areal pertanian dan komoditas potensial, berskala ekonomi, dan tertata dengan baik agar diperoleh sistem usaha tani yang berkelanjutan. Dalam penelitian ini, ZAE lahan sawah didefinisikan sebagai wilayah sistem pertanian persawahan di kawasan budidaya di suatu wilayah yang memiliki kesamaan potensi produksi dan intensitas pertanaman (IP) yang mencerminkan sosial-budaya pola tanam padi sawah. Penentuan kawasan budidaya mengacu pada ketentuan kawasan peruntukan pertanian dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Pasal 66 ayat 1 buitr a, yaitu ”kawasan peruntukan pertanian ditetapkan dengan kriteria memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kawasan pertanian”. Kesamaan potensi produksi didasarkan pada kesamaan kelas kesesuaian lahan yang dicerminkan oleh
kesamaan persyaratan edafik pertumbuhan varietas
tanaman padi sawah, sedangkan kesamaan intensitas pertanaman didasarkan pada kesamaan agroklimat dan kondisi irigasi lahan sawah.
Kesamaan intensitas
pertanaman ini dikorelasikan dengan budaya lokal (sosial-budaya) petani dalam menerapkan pola tanam padi sawah. Zonasi agroekologi lahan sawah (ZAELS) menggunakan basismodel SIG. Penggunaan model ini dilatarbelakangi oleh kemampuan teknologi SIG yang dapat mengintegrasikan berbagai data geospasial melalui proses overlay untuk menghasilkan peta sintesis. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 25, proses sintesa ZAELS dengan basismodel SIG dilakukan melalui tiga tahap, yaitu 1)
58
evaluasi kelayakan faktor biofisik, 2) evaluasi kelayakan status kawasan, dan 3) evaluasi kelayakan sosial-budaya. Evaluasi kelayakan lingkungan biofisik dimaksudkan untuk menilai potensi lahan dan intensitas pertanaman untuk penanaman padi sawah. Penilaian potensi lahan menggunakan metode kesesuaian lahan yang dijelaskan oleh FAO (1976) dan CSR/FAO Staff (1983).
Penilaian dan pendelineasian kesesuaian
lahan
sawah menggunakan basisdata sistem lahan, sedangkan penilaian intensitas pertanaman berdasarkan pada ketersediaan air yang dianalisis dari basisdata agroklimat Oldeman dan kondisi irigasi.
Potensi Lahan Kelayakan Faktor Biofisik
Intensitas Pertanaman ZAE Lahan Sawah
Kelayakan Status Kawasan
Kawasan Budidaya
Kelayakan Sosial-budaya
Sosial-budaya
Gambar 25. Proses zonasi agroekologi lahan sawah Penggunaan data sistem lahan untuk mendelineasi kesesuaian lahan sawah didasarkan pada karakteristik sistem lahan yang dapat menunjukkan pola pengulangan kesamaan topografi (bentuklahan), tanah, vegetasi, dan iklim seperti yang dijelaskan oleh Christian dan Stewart (1968).
Karena karakteristiknya
tersebut, data sistem lahan memiliki keunggulan untuk dapat digunakan mengekstrapolasi data karakteristik lahan dalam hamparan lahan yang luas sehingga pemetaan kesesuaian lahan pada tingkat regional dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Pemetaan kesesuaian lahan dengan pendekatan sistem lahan ini, menurut Dent dan Young (1981), tidak mengedepankan klasifikasi tanah, tetapi lebih pada upaya untuk mengklasifikasi lahan dengan mengintegrasikan faktor iklim, geologi, bentuklahan, vegetasi, dan tanah yang mempengaruhi penggunaan lahan. Tingkat akurasi pemetaan tergantung pada intensitas survei
59
tanah di lapangan. Tingkat akurasi tersebut ditentukan pada kerapatan sampel tanah yang ada di faset lahan-faset lahan yang merupakan komponen penyusun sistem lahan, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 26.
Gambar 26. Contoh sistem lahan TGM (Tanggamus): kerucut gunung api dan kaki lereng, yang banyak dijumpai di Jawa (Wall, 1987) Penggunaan data agroklimat Oldeman dan kondisi irigasi untuk analisis ketersediaan air merupakan pilihan yang tepat. Data agroklimat dapat memberikan informasi
ketersediaan air secara alami dari curah hujan, sedangkan kondisi
irigasi dapat memberikan informasi ketersediaan air secara antropogenik atau rekayasa manusia terhadap sumberdaya air untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman padi sawah. Klasifikasi agroklimat Oldeman dimaksudkan untuk memetakan periode bulan basah (curah hujan bulanan lebih dari 200 mm) dan periode bulan kering (curah hujan bulanan kurang dari 100 mm). Klasifikasi panjangnya periode bulan basah dan bulan kering ini
sangat penting karena
berhubungan dengan kemungkinan penanaman padi (Manan et al. 1980). Seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 Tentang Irigasi, pembuatan irigasi dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaan air untuk
60
untuk menunjang keberlanjutan sektor pertanian. Oleh karena itu, dengan adanya data agroklimat dan kondisi irigasi,
informasi intensitas pertanaman
untuk
penanaman padi dapat diidentifikasi secara tepat. Evaluasi status kawasan dimaksudkan untuk mengetahui fungsi kawasan lahan
sawah
apakah termasuk dalam kawasan budidaya atau non-budidaya
(lindung atau permukiman).
Penetapan ZAE lahan sawah
dalam kawasan
budidaya sebagaimana yang telah dikemukakan adalah untuk menjamin status keberlanjutan lahan sawah yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu UUPR Pasal 5 dan Peraturan Pemerintah No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP-RTRWN Pasal 64). Dalam prinsip keberlanjutan lahan sawah, kondisi ekonomi, sosial, dan budaya petani perlu dikaji agar usahataninya layak secara ekonomi, manusiawi, dan berkeadilan. Aspek aspek ekonomi, sosial dan budaya yang berperan penting dalam menentukan keberlanjutan lahan sawah diantaranya adalah keuntungan, produksi, akses pupuk, adopsi teknologi, penguasaan lahan, fragmentasi lahan, kearifan lokal, dan lain-lain.
3.2.3 Penghitungan Daya Dukung Lahan Sawah Sebagai produsen beras, sumberdaya lahan sawah berperan strategis dalam menjaga ketahanan pangan nasional karena beras merupakan makan pokok bagi sebagian besar rakyat Indonesia.
Sebagaimana
yang telah dikemukakan,
pertambahan jumlah penduduk merupakan faktor utama yang mengakibatkan penyusutan dan degradasi sumberdaya lahan sawah. Semakin tinggi jumlah penduduk, semakin tinggi tekanannya terhadap sumberdaya lahan sawah. Tekanan terhadap sumberdaya lahan sawah mengakibatkan kerusakan lingkungan biofisik, diiindikasi
ekonomi, dan sosial-budaya.
Kerusakan lingkungan biofisik ini
telah terjadi di Jawa karena produktivitas lahan sawah telah
mengalami kejenuhan atau pelandaian (Adiningsih et al., 2004) sebagai akibat dari penggunaan lahan sawah yang telah berlangsung lama dan sangat intensif dengan penerapan pupuk agrokimia. Kerusakan lingkungan ekonomi dan sosialbudaya disebabkan oleh penyusutan lahan sawah karena konversi lahan sawah menjadi non-pertanian. Bagi pemilik lahan, beralih fungsinya lahan
61
sawah
menjadi non-pertanian tersebut kemungkinan tidak menjadi masalah karena mereka mendapatkan ganti rugi. Sebaliknya bagi petani penggarap atau buruh tani yang mendominasi petani di Jawa menjadi tertekan hidupnya karena dapat mengakibatkan pengangguran. Sebagai akibatnya, para petani penggarap atau buruh tani migrasi ke kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lain-lain.
Karena pada umumnya mereka berpendidikan rendah, mereka sulit
memperoleh pekerjaan atau menjadi pengangguran di kota karena mereka tidak memiliki ketrampilan.
Fenomena ini
menimbulkan masalah sosial, seperti
kemiskinan, kriminitalitas, prostitusi, dan lain-lain. Soemarwoto
(2008)
menjelaskan bahwa tingginya urbanisasi, menurunnya sanitasi, timbulnya banjir, erosi, tingginya tingkat krimininalitas, pengangguran, kemiskinan, perbudakan dan prostitusi yang banyak terjadi di kota-kota besar di Jawa merupakan indikasi daya dukung lahannya telah terlampaui. Terjadinya kerusakan lingkungan baik fisik maupun sosial-budaya tersebut menunjukkan bahwa sumberdaya lahan tidak mampu lagi untuk menopang kebutuhan hidup manusia secara layak karena peningkatan jumlah penduduk. Kemampuan sumberdaya lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia seperti yang diilustrasikan tersebut
didefinisikan
sebagai daya dukung lahan. Dalam penelitian ini, penghitungan daya dukung lahan sawah diarahkan untuk mengetahui tingkat kemampuan sumberdaya lahan sawah dalam memenuhi kebutuhan beras agar permasalahan yang mengancam ketahanan pangan dari aspek ketersediaan beras dapat diantisipasi sedini mungkin. Pada daya dukung lahan sawah, kemampuan sumberdaya lahan sawah untuk memproduksi padi (beras) ditentukan oleh kualitas lahan seperti kesuburan tanah dan ketersediaan air yang ada di setiap zona agroekologi lahan sawah. Kebutuhan beras ditentukan oleh jumlah penduduk di setiap wilayah dan konsumsi beras yang diskenariokan. Untuk mengetahui apakah daya dukung lahan sawah di suatu wilayah telah terlampaui, suplai beras yang diproduksi di setiap zona agroekologi lahan sawah dibandingkan dengan kebutuhan beras yang diperlukan penduduk di setiap wilayah setiap tahun. Penilaian tingkat daya dukung didasarkan pada besarnya nilai rasio antara suplai beras terhadap kebutuhan beras. Model penghitungan daya dukung lahan sawah tersebut mengasumsikan faktor-faktor yang
62
mempengaruhinya seperti konversi lahan, produktivitas, dan kualitas suberdaya lahan sawah dalam kondisi tetap (sateris paribus). Dalam hal ini, daya dukung lahan sawah hanya merupakan fungsi dari jumlah penduduk sebagai pemicu utama ancaman kepunahan lahan sawah. Tingkat daya dukung lahan sawah diklasifikasikan menjadi tiga kelas, yaitu kondisi
berlanjut
(overshoot).
(sustainable),
bersyarat
(conditional),
Daya dukung lahan sawah dinilai
dan
terlampaui
berlanjut apabila nilai daya
dukung lebih besar dari 2. Kondisi bersyarat apabila nilai daya dukung antara 1 dan 2. Kondisi terlampaui apabila nilai daya dukung kurang dari 1. Nilai daya dukung lebih dari 2 berarti terdapat cadangan beras untuk pemenuhan kebutuhan beras minimal selama satu tahun. Nilai daya dukung antara 1 dan 2 berarti produksi beras sesuai dengan kebutuhannya atau pas-pasan. Nilai daya dukung kurang dari 1 berarti produksi beras mengalami defisit. Penilaian daya dukung lahan tersebut cukup rasional dan sederhana untuk diimplementasikan dalam rangka mendeteksi status kualitas lingkungan lahan sawah di suatu wilayah.
3.3 Validasi Data Kegiatan validasi data dilaksanakan di lapangan. Tujuan kegiatan adalah untuk memverifikasi data lingkungan biofisik dan
pengambilan sampel data
ekonomi dan sosial-budaya yang berkaitan dengan pertanian padi sawah. Obyek sampel yang mencakup data lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu yang berkaitan dengan kondisi faktual dan kebijakan. Pengambilan obyek sampel
faktual dilakukan dengan
pengamatan lapangan dan wawancara dengan petani, sedangkan obyek sampel kebijakan dikumpulkan di instansi-instansi terkait baik di tingkat pusat dan daerah dengan melakukan diskusi atau wawancara dengan para birokrat dan ahli (Gambar 27). Pengelompokkan obyek sampel data tersebut disesuaikan dengan tujuan penelitian yang menyangkut kepada kepentingan petani dan pengambil keputusan kebijakan. Verifikasi data lingkungan biofisik dilakukan melalui pengambilan sampel tanah dan pengamatan langsung kondisi lingkungan biofisik seperti bentuklahan, jenis tanah, dan kondisi irigasi. Pengambilan sampel tanah dilakukan secara komposit pada kedalaman 0-20 cm dengan menggunakan bor
63
tanah. Sampel tanah digunakan untuk mengetahui kandungan bahan organik tanah, unsur hara nitrogen (N) total, fosfor (P) tersedia, dan kalium (K) tersedia. Keempat unsur hara tanah tersebut
dianalisis di laboratorium tanah di
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Kandungan C-organik tanah dianalisis dengan metode Walkley and Black, unsur hara N-total dengan metode Kjedahl, P-tersedia dan K-tersedia dengan metode Bray I. Kualitas air tanah diukur tingkat salinitasnya di lapangan dengan water checker. Obyek Sampel
Biofisik
Sosial-budaya
Ekonomi
Faktual
Kebijakan
- Pengamatan Lapangan - Wawancara dengan petani
- Wawancara dengan birokrat - Wawancara dengan pakar
Gambar 27. Pengumpulan sampel data di lapangan Pengambilan sampel data ekonomi dan sosial-budaya
yang mencerminkan
kondisi faktual dilakukan melalui wawancara langsung dengan petani, sedangkan yang menyangkut dengan aspek kebijakan
dilakukan dengan diskusi atau
wawancara dengan para birokrat dan pakar dari instansi-instansi terkait dan Lembaga Swasembada Masyarakat (LSM).
Data ekonomi dan sosial-budaya
yang dikumpulkan melalui wawancara dengan petani mencakup berbagai aspek yang berkaitan usahatani padi sawah, seperti keuntungan, perolehan kredit, akses pemasaran, perolehan pupuk, fasiltas pascapanen, motivasi bertani, adopsi teknologi, dan lain-lain. Diskusi atau wawancara dengan para birokrat dan pakar
64
PULAU JAWA
ZAE BANTEN
ZAE JABAR
ZAE JATENG
Klaster
ZAE DIY
ZAE JATIM
Klaster
ZAE – KAB. 1
ZAE – KAB. 1
ZAE – KAB. n
ZAE – KAB. r
Stratifikasi
Stratifikasi
Kabupaten 1
Kabupaten 2
Kabupaten 1
Kabupaten 5
ZAE.A. (N1..n1a)
ZAE.A. (N1..n1a)
ZAE.A. (N1..n1a)
ZAE.A. (N1..n1a)
ZAE.B. (N1..n1b)
ZAE.B. (N1..n1b)
ZAE.B. (N1..n1b)
ZAE.B. (N1..n1b)
ZAE.G. (N1..n1g)
ZAE.G. (N1..n1g)
ZAE.G. (N1..n1g)
ZAE.G. (N1..n1g)
Gambar 28. Rancangan teknik pengambilan sampel
65
difokuskan pada kebijakan yang perlu diambil dalam mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah. Pengambilan sampel lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya yang mencerminkan kondisi faktual dilakukan secara terpadu, dengan menggunakan teknik sampel klaster dan stratifikasi, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 28. Pemilihan teknik pengambilan sampel tersebut didasarkan atas cakupan daerah penelitian yang sangat luas dan penyesuaian dengan ketersediaan biaya dan waktu. Pada teknik sampling yang digunakan tersebut, populasi data ZAE yang ada di setiap provinsi (ZAE-PROV: ZAE Banten, ZAE Jabar, ZAE Jateng, ZAE DIY/Daerah Istimewa Yogyakarta, ZAE Jatim) dikelompokkan berdasarkan pada ZAE yang ada di setiap wilayah kabupaten (ZAE-KAB). Sampel data ZAE-KAB di setiap ZAE-PROV dipilih secara purposive, yaitu di kabupaten Serang dan Pandegelang untuk provinsi Banten; kabupaten Cianjur, Subang, Cirebon, Bogor untuk provinsi Jawa Barat (Jabar); kabupaten Pekalongan, Kudus, Demak, dan Sragen untuk provinsi Jawa Tengah (Jateng); kabupaten Kulon Progo, dan Bantul untuk provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY); kabupaten Tuban, Madiun, Magetan, Malang, dan Jember untuk provinsi Jawa Timur (Jatim). Populasi data di setiap ZAE-KAB distratifikasi berdasarkan tipe ZAE, yaitu A, B, C, D, E, F, G, H, dan I. Pengambilan sampel di setiap kelompok (strata) ZAE yang ada di setiap kabupaten yang terplih dilakukan secara acak proporsioanal yang disesuaikan dengan luasan ZAE.
Dari semua data ZAE-KAB tersebut, empat
kabupaten, yaitu Cianjur, Subang, Sragen, dan Jember dipilih untuk pengambilan sampel secara intensif. Pemilihan empat kabupaten tersebut mewakili kondisi agroklimat
beriklim basah (Cianjur dan Subang), intermediet (Sragen), dan
kering (Jember). Selain itu, keempat kabupaten tersebut juga mewakili daerah penghasil beras unggulan yang ada di Jawa.
Dengan pertimbangan tersebut,
sampel data di keempat kabupaten tersebut dapat berperan sebagai pewakil utama kondisi ekosistem di Jawa. Agar lokasi sampel sesuai dengan ZAE lahan sawah, lokasi geografi dari sampel yang dikumpulkan direkam dengan GPS. Dengan teknik pengambilan sampel tersebut, jumlah sampel yang dikumpulkan adalah 624 sampel dengan tingkat kesalahan sekitar 4%. Penghitungan tingkat kesalahan
66
tersebut menggunakan rumus yang dijelaskan
oleh Eriyanto (2007) sebagai
berikut: n = Z2(p(1-p)/e2 n
= jumlah sampel
Z
= nilai tingkat kepercayaan pada distribusi Z
p (1-p) = variasi populasi (diasumsikan p = 0,5 untuk populasi yang heterogen) e
= tingkat kesalahan (sampling error) yang dikehendaki
3.4 Analisis Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah Pertanian berkelanjutan diartikan sebagai pengelolaan sumberdaya untuk menghasilkan kebutuhan pokok manusia (sandang, pangan, papan), sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam (Sabiham, 2008). Analisis indeks keberlanjutan lahan sawah (IKLS) dimaksudkan untuk mengevaluasi status keberlanjutan pertanian lahan sawah di suatu wilayah yang telah dipetakan zona agroekologi
dan daya
dukungnya. Analisis IKLS dilakukan melalui beberapa tahap kegiatan, yaitu (1) penentuan indikator keberlanjutan di setiap faktor, (2) penapisan indikator, (3) standarisasi data, (4) penilaian IKLS, dan pengkategorian IKLS. Proses analisis IKLS yang didasarkan pada faktor lingkungan biofisik (L), faktor ekonomi (E), dan faktor sosial (S), dan Budaya (B) diperlihatkan pada Gambar 29. Faktor multidimensi tersebut merupakan penentu keberlanjutan lahan sawah
yang
berbasiskan agroekologi. Indikator adalah suatu alat ukur untuk meringkas infomasi yang relevan atau masuk akal dari fenomena tertentu (Bach, 2005). Menurut Rao dan Rogers (2006), indikator menginformasikan status fungsi suatu sistem dari suatu mesin, manusia, ekosistem atau negara.
Indikator keberlanjutan adalah atribut suatu
sistem yang dapat dihitung dan diukur untuk menjastifikasi keberlanjutan sistem tersebut. Atribut indikator keberlanjutan ini bersifat multidimensi dari faktor lingkungan, ekonomi, dan sosial. Indikator-indikator akan
memiliki makna
apabila dituangkan dalam bentuk agregasi indeks. Indeks keberlanjutan dapat digunakan untuk mengkaji keberlanjutan sistem secara terpadu.
67
Penentuan Indikator (Model DPSIR)
Analisis Multivariat: Analisis Faktor
Penapisan Indikator
Standarisasi Data Atribut
Indikator Terpilih
Penilaian IKLS
Nilai IKLS
Pengkategorian IKLS
Analisis Diskriminan
Gambar 29. Proses analisis indeks keberlanjutan lahan sawah
3.4.1
Penentuan Atribut Indikator Diagram penentuan indikator keberlanjutan lahan sawah disajikan pada
Gambar 30.
Konsep penentuan atribut indikator keberlanjutan lahan sawah
memodifikasi konsep yang dikemukakan oleh Rao dan Rogers (2006). Dalam konsep ini, agroekosistem lahan sawah didefinisikan sebagai suatu sistem pertanian berbasis ekologi yang
terdiri dari tanaman padi sawah, manusia, dan
organisme lainnya yang berada di suatu zona agroekologi, yang dimaksudkan untuk produksi pangan (beras). Indikator keberlanjutan lahan sawah diidentifikasi dengan model hubungan sebab akibat (causality) antara (driving force),
tekanan (pressure),
tenaga
pendorong
kondisi keseimbangan (state), dampak
(impacts), dan respon (response), yang dikenal sebagai model DPSIR (Driving
68
Force-Pressure-State-Impact-Response).
Tenaga pendorong
sebagai pemicu adanya ancaman keberlanjutan lahan sawah
yang berperan bersumber dari
aktivitas manusia di berbagai sektor (energi, transportasi, industri, perumahan, pertanian). Tenaga pendorong ini menekan agroekosistem lahan sawah. Tekanan dari tenaga pendorong
mengakibatkan
kondisi
keseimbangan
ekosistem
terganggu.
Komponen Keberlanjutan Lahan Sawah
Tenaga Pemicu
Agroekosistem Lahan Sawah
Indikator/Variabel: Modal SDL Ketersediaan air N-total P-total K-total Penguasaan lahan Modal SDM Pendidikan petani Usia petani Modal Keuangan Modal usaha tani Modal Infrastruktur Kondisi irigasi Fasilitas pascapanen Pemasaran Modal Sosial Motivasi bertani Persepsi terhadap harga padi Persepsi terhadap konversi lahan Keanggotaan Poktan Budaya lokal
Tekanan
Kondisi
Dampak
Kerentanan Agroekosistem Lahan Sawah
Stres Agroekosistem Lahan Sawah
Indikator /Variabel: Kualitas air : Salinitas (ppm) Stres Lahan Potensi konversi lahan Stres Tanaman Serangan hama & penyakit tanaman Degradasi Tanah C-organik tanah P-tersedia K-tersedia
Indikator/Variabel: Lingkungan Bebas bahaya Banjir Ekonomi: Perolehan keuntungan Sosial Fragmentasi lahan
Respon
Pengelolaan Agroekosistem Lahan Sawah
Indikator/Variabel: Ilmu dan Teknologi: Adopsi teknologi Kelembagaan dan Sosial: Fungsi penyuluhan Perolehan pupuk
Indeks keberlanjutan Lahan Sawah
Gambar 30. Diagram penentuan indikator keberlanjutan lahan sawah
69
Terganggunya keseimbangan ekosistem ini menimbulkan dampak. Agar keberlanjutan terjaga,
dampak yang terjadi perlu direspon oleh pemangku
kepentingan (stakeholders)
dalam bentuk pengelolaan agroekosistem lahan
sawah. Indikator tenaga pendorong yang mencerminkan sistem produksi pertanian dikelompokkan dalam komponen agroekosistem lahan sawah, yang terdiri dari modal sumberdaya lahan, modal sumberdaya manusia, modal keuangan, modal infrastruktur, dan modal sosial.
Indikator tekanan menunjukkan stres
agroekosistem karena tekanan yang dipicu oleh tenaga pendorong. Tertekannya agroekosistem lahan sawah dinyatakan dengan empat atribut indikator, yaitu kualitas air, stres lahan, stres tanaman, dan penurunan kesuburan tanah (degradasi tanah). Kondisi gangguan keseimbangan ekosistem dan dampak yang timbul karena tekanan dari tenaga pendorong ditunjukkan oleh kerentanan agroekosistem lahan sawah (vulnerability agroecosystem).
Atribut indikator keberlanjutan untuk
kepekaan agroekosistem ini dinyatakan dengan indikator lingkungan (bahaya banjir),
ekonomi (perolehan keuntungan), dan sosial (fragmentasi lahan).
Pengelolaan agroekosistem lahan sawah adalah untuk merespon timbulnya dampak yang mengancam keberlanjutan sebagai akibat dari tekanan tenaga pendorong. Atribut indikator keberlanjutan
untuk pengelolaan agroekosistem
dituangkan dalam bentuk perangkat kebijakan dari hasil rumusan pengelolaan agroekosistem lahan sawah.
Atribut indikator keberlanjutan untuk perangkat
kebijakan tersebut berkaitan dengan adopsi teknologi (pemupukan berimbang, konservasi tanah dan air, efisisensi pengairan), dan pemberdayaan sosial kelembagaan, seperti
peningkatan fungsi peyuluhan dan mempermudah
perolehan pupuk. Semua atribut indikator keberlanjutan tersebut dapat diintegrasikan dengan teknologi SIG dalam satuan pemetaan zona agroekologi.
Agregasi atribut
indikator yang dihasilkan melalui proses SIG ini merupakan indeks keberlanjutan yang dapat digunakan untuk mengkaji keberlanjutan agroekosistem lahan sawah.
70
3.4.2
Penapisan Variabel Indikator Penapisan variabel indikator dimaksudkan untuk menyeleksi variabel-
variabel indikator, sehingga diperoleh indikator utama yang mempengaruhi keberlanjutan lahan sawah. Proses penapisan variabel indikator menggunakan metode statistik multivariat analisis faktor (factor analysis), seperti yang telah dijelaskan oleh para ahli (King, 1969; Srivasta dan Carter, 1983; Timm, 2002; Supranto, 2004). Fungsi
analisis faktor adalah untuk mereduksi data atau meringkas
variabel, dari variabel yang banyak diubah menjadi sedikit variabel.
Variabel
yang terseleksi merupakan variabel utama yang dapat menjelaskan sebagian besar varian (informasi)
yang terkandung dalam variabel asli (original variables).
Variabel-variabel yang diteliti mempunyai hubungan saling terkait.
Hubungan
interdependensi variabel ini dijadikan sebagai dasar untuk pengurangan variabel. Variabel-variabel yang mempunyai hubungan interdependensi dapat digabung menjadi
satu faktor, sehingga bisa diperoleh variabel-variabel atau faktor
dominan (utama) yang dapat menjelaskan sebagian besar varian (informasi) yang terkandung dalam variabel aslinya.
Seperti yang telah dikemukakan,
keberlanjutan lahan sawah dipengaruhi oleh faktor biofisik, ekonomi, dan sosialbudaya. Atribut indikator keberlanjutan dari masing-masing faktor tersebut memiliki hubungan interdependensi. Oleh karena itu, penggunaan analisis faktor merupakan pilihan tepat untuk menentuan indikator utama menjelaskan
yang dapat
pengaruh faktor biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya
terhadap
keberlanjutan lahan sawah.
3.4.3 Standarisasi Data Atribut Standarisasi adalah upaya untuk membakukan nilai atribut data agar dapat diintegrasikan untuk memperoleh informasi yang standar. Dalam penelitian ini, atribut indikator keberlanjutan
diukur dengan satuan yang berbeda-beda.
Misalnya, ketersediaan air diukur dengan satuan liter/detik/ha, kandungan Corganik tanah dalam persen (%), unsur hara P-tersedia dan K-tersedia dalam ppm, keuntungan petani dalam nilai ordinal, motivasi bertani dalam nilai ordinal, dan lain-lain.
Nilai-nilai atribut indikator tersebut bersifat relatif dan tidak dapat
71
diintegrasikan karena satuannya berbeda-beda.
Hal ini dapat berimplikasi pada
nilai indeks keberlanjutan yang tidak standar (baku). Melalui standarisasi, seluruh nilai atribut indikator keberlanjutan lahan sawah memiliki skala sama dan baku, sehingga dapat dijumlahkan dan nilai indeks yang dihasilkan bersifat standar.
3.4.4 Penilaian Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah Nilai Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah (IKLS) dihitung dari nilai atribut indikator utama dari faktor biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya yang telah distandarkan.
Untuk evaluasi keberlanjutan lahan sawah, nilai IKLS yang
diperoleh diklasifikasikan menjadi empat kelas keberlanjutan, yaitu buruk (0 – 25), kurang (> 25 – 50), cukup (> 50 – 75), baik (> 75 – 100). Pengklasifikasian tersebut didasarkan pada nilai kisaran (range) hasil perhitungan IKLS.
3.4.5 Pengkategorian Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah Pengkategorian IKLS dimaksudkan untuk mengelompokkan nilai IKLS yang dihitung dari indikator utama keberlanjutan lahan sawah (faktor biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya) di setiap zona agroekologi. Proses pengkateogorian IKLS
tersebut menggunakan analisis diskriminan. Penggunaan fungsi
diskrimanan untuk pengkategorian IKLS ini mengacu pada konsep yang dijelaskan oleh Supranto (2004). Dengan analisis diskriminan ini, nilai IKLS di setiap zona agroekologi yang diperlakukakan sebagai variabel tidak bebas dapat dikelompokkan sesuai dengan karakteristik lahan yang dicerminkan oleh indikator-indikator utama sebagai variabel bebas yang dapat berfungsi sebagai faktor penghambat maupun pendukung keberlanjutan lahan sawah.
Peranan
indikator utama sebagai faktor penghambat atau pendukung keberlanjutan lahan sawah dimaksud dapat dicerminkan oleh nilai koefiesien diskriminan. Apabila nilai koefsien diskriminan variabel bebas (indikator utama) bernilai negatif, maka indikator utama tersebut berperan sebagai faktor penghambat. Sebaliknya, nilai koefisien diskriminan variabel bebas (indikator utama) bernilai positif, maka indikator utama tersebut berperan sebagai faktor pendukung keberlanjutan lahan sawah.
72
3.5 Analisis Kebijakan Kebijakan (policy) merupakan serangkaian keputusan yang diambil oleh mereka yang memiliki tanggungjawab dan otoritas di area kebijakan yang ada (Keeley dan Scoones, 1999; dalam Abidin, 2004).
Kebijakan itu biasanya
dikaitkan dengan kepentingan keputusan pemerintah karena pemerintah mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat dan bertanggungjawab melayani kepentingan umum. Oleh karena itu, kebijakan sering diartikan dengan kebijakan publik (Abidin, 2004). Parsons (2008) menjelaskan bahwa sebuah kebijakan adalah usaha untuk mendefinisikan dan menyusun basis rasional untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan. Yang paling pokok dalam kebijakan adalah adanya tujuan, sasaran atau kehendak (Abidin, 2004). Analisis kebijakan adalah upaya mencapai kehendak untuk mengatasi isu-isu dan masalah yang terjadi di masyarakat. Genesis kebijakan itu diawali dengan pengenalan isu-isu yang berkembang di masyarakat dan mendefinisikannya menjadi suatu masalah. Tindakan untuk menyelesaikan masalah tersebut dituangkan dalam bentuk kebijakan. Dasar utama dalam analisis kebijakan adalah pendefinisian masalah. Pemahaman proses tentang terjadinya masalah adalah sangat penting bagi penanganan suatu masalah tertentu melalui kebijakan (Parsons, 2008). Gambar 31 memperlihatkan diagram alir analisis kebijakan.
Isu
Masalah
Kebijakan
Gambar 31. Diagram alir analisis kebijakan Diagram alir proses analisis kebijakan keberlanjutan lahan sawah diperlihatkan pada Gambar 32. Pendefinisian masalah berdasarkan pada permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang telah dipetakan pada peta IKLS. Rumusan kebijakan untuk penyelesaian masalah
merupakan hasil pengkajian
pengelolaan lahan sawah dengan mempertimbangkan peraturan perundangundangan yang berlaku dalam merespon masalah (dampak) yang ditimbulkan oleh tekanan terhadap agroekosistem lahan sawah karena peningkatan jumlah
73
penduduk. Rumusan kebijakan tersebut diarahkan untuk mendukung panataan ruang dalam rangka mewujudkan pemanfaatan lahan sawah berkelanjutan. Keberhasilan
untuk
mengimplementasikan
rumusan
kebijakan
keberlanjutan lahan sawah ini ditentukan oleh ketepatan dalam penentuan model pengambilan keputusan. Dermawan (2005) menjelaskan bahwa model keputusan yang baik pada dasarnya merupakan fungsi dari pandangan yang menyeluruh tentang sesuatu masalah. Menurut Marimin (2004), model pengambilan keputusan dengan pendekatan
sistem
dapat
mengidentifikasi dan memahami berbagai
aspek dari suatu permasalahan dan dapat mengarahkan pemecahan secara menyeluruh.
Model pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem ini
diantaranya adalah Proses Hirarkhi Analitik (Analytical Hierarchy Process-AHP). Metode AHP ini cocok untuk diterapkan dalam pengambilan keputusan dalam rangka mewujudkan pemanfaatan lahan sawah berkelanjutan. Dipilihnya metode AHP karena keunggulannya dalam berbagai hal, yaitu keputusan yang diambil dapat digambarkan secara grafis sehingga mudah dipahami, keputusan yang kompleks dapat diuraikan menjadi keputusan-keputusan lebih kecil yang mudah ditangani, dan penilaian keputusan dapat diperbaiki karena adanya penilaian konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan untuk menetapkan berbagai prioritas (Marimin, 2004).
Peta IKLS
Pengelolaan Lahan Sawah
Peraturan Perundangan
Rumusan Kebijakan Pengelolaan Lahan Sawah
Pemanfaatan Lahan Sawah Berkelanjutan
Penataan Ruang
Gambar 32. Diagram analisis kebijakan keberlanjutan lahan sawah Keunikan atau keunggulan utama metode AHP untuk pengambilan keputusan terletak pada kemampuannya untuk menguraikan masalah secara
74
terstruktur dalam bentuk hirarkhi. Dengan metode AHP, masalah dalam sistem yang kompleks diuraikan secara hirarkhi menjadi sub-sub sistem
yang lebih
sederhana. Selain itu, AHP juga memperlihatkan relasi antar sub-sub sistem yang membentuk masalah. Penguraian masalah secara berhirarkhi ini mempermudah pemahaman penyelesaian masalah sampai ke akar penyebab masalah. Penguraian masalah secara hirarkhi dalam metode AHP didasarkan pada pencapaian tujuan, penentuan kriteria, dan penetapan alternatif kebijakan (Marimin, 2004). Untuk analisis kebijakan dalam keberlanjutan lahan sawah, tujuannya ditetapkan untuk mewujudkan pemanfaatan lahan sawah berkelanjutan berdasarkan zona agroekologi. Penentuan kriteria mengacu pada proses pencapaian pertanian berkelanjutan berdasarkan konsep agroekologi, yaitu melalui tiga aspek: ekologis (lingkungan biofisik), ekonomi, dan sosial-budaya. Masing-masing aspek (kriteria)
diklasifikasikan menjadi beberapa sub-aspek
(sub-kriteria), yang merupakan hasil kajian pengelolaan lahan untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang ditunjukkan oleh indikator utama. Masing-masing sub-kriteria kemudian dijabarkan dengan alternatif zona agroekologi, yang digunakan sebagai acuan pemilihan lokasi prioritas penerapan kebijakan untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah. Lokasi prioritas penerapan kebijakan yang berbasiskan zona aagroekologi tersebut berperan untuk mendukung penataan ruang dalam aspek perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian.
3.6 Tingkat Keandalan Penelitian Penelitian indeks keberlanjutan lahan sawah yang berbasiskan data geospasial ini menggunakan skala 1: 250.000. Oleh karena itu, data dan informasi yang dihasilkan dalam penelitian bersifat indikatif. Data utama untuk delineasi zona agroekologi sebagai satuan pemetaan indeks keberlanjutan lahan sawah memiliki keterbatasan sebagai berikut: 1. Karakteristik lahan di setiap sistem lahan diasumsikan homogen dan distribusi jenis tanah pada tingkat great group yang ditampilkan bersifat dominan (sekitar 60%).
75
2. Luasan
lahan sawah hasil interpretasi citra landsat ETM tahun 2005
diasumsikan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan (lahan baku sawah) yang dilindungi oleh UUPLPPB. 3. Peta status kawasan hutan skala 1: 250.000 yang bersumber dari Kementerian Kehutanan
merupakan hasil pembesaran dari skala 1:
500.000. 4. Peta RTRW yang dibuat oleh Departemen
Pekerjaan Umum pada
tahun 2003 masih belum disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang. 5. Peta agroklimat yang dibuat berdasarkan data curah hujan tahun 19982007 masih belum sepenuhnya mewakili kondisi dampak perubahan iklim saat ini, mengingat perubahan iklim masih terus berlangsung sampai dengan sekarang.
76